BAB I PENDAHULUAN. segi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan. Perkembangan kemajuan
|
|
- Widyawati Agusalim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat selalu seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya segala aspek kebutuhan, termasuk dari segi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan. Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya tuntutan akan penegakan supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi dan transparansi yang telah melahirkan paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab bagi pihak-pihak yang terkait dengan penegakan hukum yang dalam hal ini khususnya adalah para aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia dibebani harapan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang harus semakin meningkat dan berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belakangan ini terus diuji citranya akibat diterpa berbagai kasus-kasus seperti penyuapan, korupsi, Ham dan berbagai kasus pidana lainnya. Kasus terus bermunculan seperti tidak ada habisnya. Belum tuntas satu kasus, muncul kasus baru. Tapi saat ini opini masyarakat yang berkembang bahwa menganggap terkesan seolah setiap anggota Polri kebal hukum karena banyaknya kasus yang melibatkan polisi menguap sebelum sampai di persidangan. Masyarakat pasti masih mengingat 1
2 kasus dugaan korupsi proyek pengadaan jaringan radio dan alat komunikasi sebesar Rp 60,2 miliar atas laporan Blora Center. Kasus itu tidak terdengar lagi. Selanjutnya ada kasus tentang rekening 15 oknum perwira Polri yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diduga tidak wajar pun juga belum ketahuan hasilnya. Dana tidak wajar itu diduga diperoleh karena menyalahgunakan kewenangan saat menduduki jabatan basah. Kasus yang juga ramai digunjingkan publik adalah pelepasan kapal penyelundup bahan bakar minyak (BBM) di Jawa Timur. Dalam kasus ini, Kasat Polairud Polda Jatim, Kombes Toni Suhartono, dicopot dari jabatannya karena melepas kapal itu, yang katanya atas perintah Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Polisi Binarto. 1 Kasus lain yang tidak kalah menghebohkan adalah dugaan suap dalam penyidikan pembobolan dana Bank Negara Indonesia (BNI) yang disebut-sebut melibatkan mantan Kepala Polri, Jenderal Da'i Bachtiar. Kasus ini bermula saat Adrian Herling Waworuntu, pembobol BNI sebesar Rp 1,3 triliun, ditangguhkan penahanannya oleh penyidik Polri. Saat penangguhan penahanan itulah Adrian kabur ke Amerika Serikat, sekitar Oktober Kasus tersebut juga melibatkan mantan Direktorat Reserse Ekonomi Khusus, Brigjen Samuel Ismoko, yang telah diproses dan dikenakan penahanan. Memang Adrian telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup, tetapi misteri di balik pelariannya 1 Anton Tabah, Meragukan Netralitas Poliis, Diakses tanggal 08 April 2011.
3 menyisakan persoalan yang terus disoroti publik. 2 Setiap personel penegak hukum pasti diikat oleh aturan atau undangundang sebagai acuan dalam bertindak. Aturan-aturan yang mengikat Polri diantaranya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi banyaknya aturan yang mengikat Polri tersebut tidak menjamin tumbuhnya jiwa profesional dalam diri sebagian anggotanya. Dewasa ini banyak terjadi hal-hal yang merupakan bentuk pelanggaran kode etik profesi kepolisian. Dimana di satu sisi polisi diharapkan sebagai penegak hukum tetapi sebaliknya polisi melakukan pelanggaran terhadap profesi etika kepolisian sendiri, Hal ini dapat dilihat dari sikap dengan 'gaya hidup mewah sebagian b pejabat Polri yang jelas-jelas tidak sebanding dengan gaji dan tunjangan resmi yang diterima setiap bulan. Sebuah fenomena yang amat kontroversi dengan kehidupan sederhana sebagian besar aparat kepolisian yang berpangkat menengah dan rendahan, terlebih yang tidak menduduki jabatan penting. Padahal cukup banyak anggota Polri yang baik, jujur, dan berotak cemerlang tetapi tidak mendapat kesempatan menduduki jabatan penting. 2 Ibid.
4 Berkaca dari berbagai kasus yang timbul, seharusnya Polri perlu memulai langkah baru dengan menghindarkan diri dari kesan menerapkan asas imunitas untuk melindungi sesama anggota korps dalam berbagai penyelewengan. Selama ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang tidak serius menangani kasus-kasus korupsi, ham, illegal logging, narkoba, perjudian, dan lainnya. Keanehan proses hukum kasus-kasus berskala besar yang menjadi perhatian publik di tubuh Polri, bukan lagi sekadar menyangkut oknum, melainkan Polri sebagai institusi. Untuk itu, Kepala Polri harus memulai ''tradisi baru'' untuk memihak dan menghargai anggota Polri yang bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan berotak cemerlang. Masyarakat sebenarnya berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan menguap. Pengungkapan untuk kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, masih minim keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai kasus dan penyelewengan di tubuh Polri. Sinyalemen yang berkembang adanya semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai ''kultur'' belum bisa dihilangkan sama sekali. Padahal, kultur tersebut merugikan reputasi Polri sebagai institusi penegak hukum. 3 3 Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, 9 Nopember 2005, hal. 3.
5 B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut maka pembahasan dalam skripsi yang berjudul Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia akan dibatasi pada rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian? 2. Bagaimana penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran kode etik Kepolisian? 2. Untuk mengetahui penyelesaian pelanggaran kode etik profesi kepolisian yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagia bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik profesi kepolisian. 2. Secara praktis. a. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum, institusi pemerintah dan penegak hukum.
6 b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan hukum terhadap kode etik c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang hukum pidana, khususnya yag berkaitan dengan pelanggaran kode etik kepolisian. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis adalah penelitian terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangan yang berlaku khususnya tentang Hukum Kepolisian. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang hanyalah menggunakan data sekunder dengan penyusunan kerangka secara konsepsionil. 2. Data dan Sumber data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari 3 bahan hukum, yakni : a. Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang menjadi acuan pokok. 4 Dalam hal ini yang digunakan adalah : 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
7 Hukum Acara Pidana. 3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5) Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 6) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 7) Keputusan Presiden No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. 8) Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2003 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 9) Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia 10) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol Kep/44/IX/2004 tentang tata cara sidang disiplin bagi anggota kepolisian RI 11) Keputusan Kapolri No.Pol.Kep/35/VIII/2004 Tanggal 9 Agustus Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Tata Cara Pelaksanaan 4 Moh. Nasir, 1999, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 13.
8 Pemberhentian Sementara Dari Jabatan Dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia b. Bahan hukum sekunder adalah Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literaturliteratur. 5 Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah buku-buku: jurnal hasil penelitian dan makalah-makalah di bidang hukum kepolisian 3. Metode Pengumpulan Data Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku, peraturan perundangan yang terkait dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang disajikan. 4. Analisis Data Analisa bahan hukum dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisa kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, dan dipadu dengan teori yang mendukung kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang ada. 6 F. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini terdiri dari: 5 Ibid. 6 Ibid., hal 5
9 1. Pelanggaran Kode Etik Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan pula oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat. Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang. Pengertian Kode etik profesi Polri disebutkan secara jalas dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan bahwa : Kode etik profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika
10 profesi kepolisian terdiri dari : a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai
11 dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam prakteknya tidak setiap kode etik kepolisian akan dijalankan dengan baik oleh setiap anggota kepolisian. Banyak dari mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik. Untuk pengertian pelanggaran sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat 12 PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan mengenai Pelanggaran yakni: Perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/janji anggota, sumpah/janji jabatan, peraturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jadi pelanggaran kode etik merupakan ketidaksesuaian setiap perbuatan dari anggota Polri terhadap norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri. 2. Pengertian Tindak Pidana Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Sedangkan Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum pidana sendiri adalah hukum yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana
12 diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 7 Dari definisi tersebut ditarik suatu pengertian bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung normanorma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf, baar, feit, yang mana straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedang perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Apabila diartikan, maka kata straf artinya pidana, baar artinya dapat dan boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan atau perbuatan aktif tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP). Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat 8 7 C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 67.
13 Moeljatno yang menyatakan 9 : Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. J.E. Jonkers memberi rumusan tentang tindak pidana, bahwa tindak pidana adalah Perbuatan yang melanggar hukum (wedderechttelijk) yang berhubung dengan kesengajaan atau kesalahan yang dapat dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum, maksudnya adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan. Kemudian menurut Simons merumuskan tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. 10 Dari empat rumusan tersebut menunjukkan bahwa didalam membicarakan perihal tindak pidana selalu diidentikkan bahwa didalamnya telah ada orang yang melakukan dan oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat 9 Ibid., hal. 71.
14 yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/ terjadi, baru melihat pada orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana. Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut : Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht atau sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. 11 Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan hukum. Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/ dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat. 12 Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah 13 : 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. 2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan. hal Ibid. 11 Moeljatno, 1993, Asas-AsasHukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal Sudarto,1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 13 Ibid., hal. 164.
15 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Adapun penjelasan dari point unsur-unsur pertanggung jawaban pidana di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan. 14 Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diamdiam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggung jawab menurut adalah 16 : E.Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. F.Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 14 Ibid., hal Ibid., 16 Ibid.., hal. 165.
16 Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah : Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya (pasal 44 ayat (1) KUHP) Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan. Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu. Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : Keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa, hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu. Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu 17 : H.Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus) I.Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan. J.Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis). Menurut pendapat Simons mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah
17 diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu 18 : a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum. b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum. Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu 19 : a. Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum. b. Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah. c. Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah. 4. Tidak adanya alasan pemaaf Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). 20 Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan. seseorang adalah Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya 21 : 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu 17 Ibid. 18 Ibid., hal Schafmeister, 1995, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, hal Moeljatno, Op.Cit., hal Ibid..
18 (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll. 2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut : 1. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. 2. Pasal 48 mengenai daya memaksa 3. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa 4. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan peritah jabatan yang tidak sah. Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. G. Sistematika Penulisan Adapun Sistematika Penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini pada dasarnya membahas tentang: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan. BAB II : BENTUK PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN Bab kedua ini membahas tentang: Aturan Hukum Kode Etik Profesi Kepolisian, Pengertian Hukum Disiplin, Bentuk Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian serta Penegakan Kode Etik Profesi.
19 BAB III : PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN Bab ini membahas tentang: Tindakan-Tindakan Kepolisian Yang Dikategorikan Sebagai Pelanggaran Kode Etik Etika Profesi Kepolisian, Melakukan Tindak Pidana Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian, Pelaksanaan Teknis Penanganan Anggota Polri Yang, Proses Penyelesaian Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian serta Sanksi-Sanksi Yang Diberikan Kepada Anggita Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian. BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB I PENDAHULUAN. kondisi sosial, diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi merupakan aparat penegak hukum yang berkewajiban dalam mewujudkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, kepolisian merupakan lembaga
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia selalu erat kaitannya dengan etika, baik ketika manusia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata etika sudah melekat dalam setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya. Sebagai suatu subyek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang kita ketahui, semua Negara pasti mempunyai peraturanperaturan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti yang kita ketahui, semua Negara pasti mempunyai peraturanperaturan dan hukum, begitu juga dengan Negara Indonesia.Negara Indonesia adalah Negara hukum,
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Hsl Rpt (12) Tgl 19-05-06 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi dan perubahan sosial, tidak hanya perubahan-perubahan yang berlangsung dengan intensif ditingkat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan
12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan secara
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang
20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.
PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan, negara Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang peranan Bidang Pembinaan Hukum Polda Jawa Tengah terhadap Provos dalam menangani tindak pidana kekerasan dalam rumah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum
Lebih terperinciII.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk
II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum
1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu keberhasilan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam peradilan pidana. Salah satu pembuka
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan
Lebih terperinciETIKA PROFESI SATPAM
SECURITY SERVICES ETIKA PROFESI SATPAM ABU SAKKIR NRG. 19 07 003651 PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI Yang disebut kode etik adalah kumpulan dari etika, sedangkan etika adalah pernyataan tentang apa apa yang
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan
Lebih terperinci2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.263, 2015 LIPI. Pegawai. Kode Etik. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara berdasarkan hukum, atau yang sering disebut sebagai negara hukum. Ditengah-tengah itu, polisi merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum dan pelanggaran hukum dapat dikatakan merupakan satu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum dan pelanggaran hukum dapat dikatakan merupakan satu kesatuan ibarat orang berjalan diikuti oleh bayangannya, begitu pula dengan hukum di negara kita yang
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.143, 2016 KEUANGAN BPK. Kode Etik. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5904) PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Lebih terperinciPERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,
1 PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa untuk mencapai tujuan Ombudsman, para
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
- 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK
Lebih terperinciTindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemasyarakatan yang berperan penting dalam proses penegakan hukum. Untung S. Radjab (2000 : 22) menyatakan:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam tatanan kehidupan bernegara yang berlandaskan dengan ketentuan hukum, penguasa dalam hal ini pemerintah telah membentuk beberapa lembaga penegak hukum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada zaman modern sekarang ini, pertumbuhan dan perkembangan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu karena didukung oleh derasnya arus informasi
Lebih terperinciDr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PERKEMBANGAN RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP Oleh Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Makalah disampaikan pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinci2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara
No.1352, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAKAMLA. Kode Etik Pegawai. PERATURAN KEPALA BADAN KEAMANAN LAUT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN KEAMANAN LAUT DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya
Lebih terperinciKEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Bernadus Ardian Ricky M (105010100111087) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciRANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN
RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tata tertib hukum didalamnya terkandung keadilan, kebenaran dan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum 1, hal tersebut dapat diartikan bahwa
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1647, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL. Kode Etik. PNS. Pembinaan. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fungsi dan wewenang, sebagai suatu organisasi yang baik dan kuat memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepolisian Negara Republik Indonesia selain mempunyai tugas pokok, fungsi dan wewenang, sebagai suatu organisasi yang baik dan kuat memiliki aturan tata tertib
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP.05.02 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
Lebih terperinci2011, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
No.605, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kode Etik. Pegawai Pemasyarakatan. Majelis Kehormatan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciKODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMBUKAAN
KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMBUKAAN Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1230, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Perilaku. Kode Etik. Jaksa. Pencabutan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER 014/A/JA/11/2012 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA DENGAN
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM
BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan. Hal ini
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
-1- PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK POKOK KEPEGAWAIAN;
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK POKOK KEPEGAWAIAN; DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 47 TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG
SALINAN NOMOR 35/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 47 TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinci2016, No Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesi
No.1388, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BIN. Kode Etik Intelijen. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN INTELIJEN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK INTELIJEN NEGARA DENGAN
Lebih terperincipermasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan
A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-02.KP TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI IMIGRASI
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-02.KP.05.02 TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI IMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Lebih terperinciPENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM
PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM 1 (satu) Hari Kerja ~ waktu paling lama, Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebagaimana
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan
Lebih terperinci