BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA"

Transkripsi

1 26 BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA A. Masa Pemerintahan Belanda Politik Hukum Agraria dalam kasus Indonesia apabila dilihat dari segi aspek kesejarahannya ternyata melalui perkembangan yang panjang sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 cenderung tidak berpihak pada kepentingan masyarakat melainkan sangat menguntungkan bagi kepentingan kaum penjajah. 57 Penjajahan Belanda yang dimulai sejak VOC melakukan perebutan daerah demi daerah di Indonesia sehingga sejak itulah timbul kegoyahan dalam hak-hak kepemilikan tanah rakyat Indonesia karena pihak Belanda mengabaikan hak-hak rakyat dengan memungut hasil bumi dari tanah-tanah milik rakyat, kecuali terhadap hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Belanda dalam hal ini KUHPerdata (BW) yang di dalamnya Buku II ada mengatur mengenai hak-hak atas tanah antara lain Eigendom, Erfpacht dan Opstal. Khusus terhadap penguasaan tanah untuk luas tanah yang besar bagi perkebunan diberikan Hak Erfpacht. 58 Pemerintah Hindia Belanda tidak mewariskan suatu pendaftaran tanah di Indonesia, khusus untuk seluruh hak-hak atas tanah adat yang terdapat di Indonesia, 57 H. Muchsin,dkk, Hukum Agraria Indonesa Dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT Refika Aditama, 2007, hal G Kartasapoetra,dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta : PT Bina Aksara, 1985, hal

2 27 sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris terhadap jajahannya. Hal ini lah yang menyebabkan di Indonesia lebih dari 80% tanah-tanah tidak bersurat sama sekali atau pun kalau ada suratnya hanya berupa surat-surat bermaterai yang ditandatangani oleh pihak-pihak dan oleh kepala desa atau lurah atau kepala marga dan sebagainya, 59 samping itu sifat Hukum Adat adalah umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam hukum adat tanah, umumnya pemilikan tanah adat seseorang atau masyarakat hukum adat tidak ada bukti tertulis, dalam hal ini pemilik hak atas tanah cukup dibuktikan dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari pengetua adat, adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak atas tanah. Jadi tidak cukup hanya dengan mengerjakan (menggarap) tanah tertentu akan dapat melahirkan hak atas tanah harus ada prosedur tertentu yakni beberapa pengakuan dari pihak yang berwenang. Oleh karena itu, hak garap tidak ada dalam hukum tanah. Menurut hukum penguasaan tanah, yang menggarap tidak ada landasan haknya jika tidak ada legalisasi dari pihak yang berwenang. Justru penguasaannya yang melanggar hak pada pihak pemilik tanah atau hak Negara jika yang diduduki itu tanah Negara. Kalaupun ada pemberian biaya pindah, hal tersebut semata kebijaksanaan Bupati/Walikotamadya dalam menyelesaikan kasusnya AP Parlindungan, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan, Medan : USU Press, 1998, hal Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2005, hal 114

3 28 Penguasaan atas tanah yang diikuti dengan formalitas berupa pengakuan atas penguasaan ataupun pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang akan melahirkan hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha. HGU tersebut dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur dalam Buku II KUHPerdata (BW) kemudian diadopsi dalam UUPA dengan nama Hak Guna Usaha selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesulatanan Deli di Residen Sumatera Timur. Hak Erfpacht dan Hak Konsesi tersebut sejak berlaku UUPA dapat dikonversi menjadi HGU. HGU di areal PTPN II Kebun Helvetia semula berasal dari Hak Konsesi dari Sultan Deli kepada NV. Deli Batavia Masstschappij dengan Akta Konsesi Nomor 3 tanggal 4 Oktober 1982 dan disahkan oleh Residen Sumatera Timur dengan Registrasi Nomor 354 tanggal 15 Oktober 1892 untuk waktu 75 tahun dengan luas tanah 2567 Ha. 61 Ketika masa pemerintahan Belanda, masyarakat Melayu yang pada saat itu diberi ijin Pemerintah untuk mengusahakan tanah pertanian setelah masa panen tembakau dengan sistem rotasi, dimana setelah masa panen tembakau Pengusaha Swasta Asing pada masa Pemerintahan Belanda tersebut berpindah-pindah tempat dan masyarakat Melayu dapat menggunaka tanah tembakau tersebut setelah selesai masa panen dengan menanami tanaman semusim seperti padi dan hal tersebut diakui 61 Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Risalah Perkebunan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfpacht Perkebunan Bwsar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat Atas Tanah Perkebunan di Sumatera Utara, 1976, tidak dipublikasi, hal 8.

4 29 sebab adanya Akta Konsesi yang menunjukkan bahwa orang Melayu dapat mengelolah tanah tersebut setelah selesai masa panen tembakau. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen tembakau yang dikelola Rakyat Penunggu disebut tanah Djaluran yang mereka yakini seperti tanah ulayat. B. Masa Pemerintahan Jepang Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya Pemerintah Belanda di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah djaluran. Akan tetapi setelah kekuasaan Belanda digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk mendapat tanah djaluran mulai terganggu. Awal terjadinya garapan pada areal perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, dimana pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia, yang menimbulkan keadaan darurat sehingga banyak rakyat mengusahai tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai berkembang. Namun kekuasaan Jepang tidak bertahan lama, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diploklamirkan, tidak lama sejak berdirinya Republik Indonesia di Sumatera Timur terbentuk partai politik dan laskar-laskar. C. Masa Sekarang Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan perkembangan

5 30 dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir. 62 Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau hapus tersebut dapat di perpanjang kembali. 63 Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55 UUPA (Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta 62 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2008, hal 174.

6 31 berencana). Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 64 Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut memungkinkan Negara/Pemerintah secara berkala melakukan pengawasan apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan. 65 Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang berlaku. Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja, 64 G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal Maria S W Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2001, hal 94.

7 32 tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di Negara- Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas. 66 Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanian/perkebunan diredistribusikan kepada para petani penggarap/buruh tani dengan pembayaran uang ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang (15 tahun). Karena administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari aparat agraria kabupaten/kotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di indahkan. 67 Redistribusi tanah pertanian/perkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas pemegang hak, pembayaran ganti rugi (harga) tanah kepada Negara, sampai kepada pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas pemilikan/penggarapan tanah tersebut hingga saat ini. 66 H. Affan Mukti, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta :Sinar Grafika, 1993, hal 233.

8 33 Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat, Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat melayu) 68. Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas. 69 Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat 68 Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, hal3.

9 34 merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat hukum adat. 70 Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya. Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang menyengsarakan rakyat. 71 Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut. 72 Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi 70 Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah Bandung : Alumni, 1978, hal 83.

10 35 yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaan/pendudukan secara tidak sah oleh masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002. Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 menyatakan bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah pensiunan karyawan dan bahkan RUTR/RUTW. 73 Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang, sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen yang sah seperti salah satunya SIM (Surat Izin Menggarap) yang ada di lapangan 73 Wawancara dengan Hasinuddin, selaku bagian Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, tanggal 05 Februari di Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Medan.

11 36 serta bukti-bukti yang konkrit yang benar-benar menyatakan bahwa si pemegang hak memperoleh ijin menggarap pada masa itu, namun kenyataan dilapangan yang ditunjukan hanyalah fotocopy-fotocopy, jika sesuai dan akurat data-data di lapangan maka tanah tersebut dapat dikeluarkan dari areal Eks HGU PTPN II dan apabila tuntutan garapan tersebut ternyata penggarap yang tidak dilindungi oleh Undang- Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 maka tuntutan tersebut ditolak dan penggarap tersebut diperintahkan oleh aparat untuk meninggalkan areal Eks HGU PTPN II. Selanjutnya tanah yang dimohonkan menjadi tanah yang dikeluarkan dari areal HGU PTPN II antara lain apabila tanahnya atau obyeknya maupun subyeknya (penggarap) maupun ahli waris penggarap dilindungi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 sedang ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang jika dikeluarkan harus ada kejelasan kepada siapa tanah tersebut diberikan, sebab penerbitan ijin pengeluaran dari asset oleh Menteri yang berwenang tanpa terlebih dahulu adanya penelitian kepada siapa yang berhak justru akan menimbulkan bentrok fisik antar pihak-pihak yang menginginkan tanah areal Eks HGU PTPN II tersebut. Menurut Muhammad Zamkani, selaku Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, makna pelepasan asset lahan tersebut juga belum ada persamaan persepsi, sebab menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis maka tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik Negara cq.pemda. Jika PTPN II sebagai pihak lama yang mengelola nya masih mau, maka HGU diperpanjang lagi untuk PTPN II. Namun tidak dipungkiri, jika sudah ada putusan Pengadilan yang memerintahkan lahan itu dilepaskan, maka Kementerian BUMN

12 37 juga melepaskannya, akan tetapi kewenangan pelepasan asset tersebut harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan setiap jajaran direksi juga sudah mempersiapkan solusi, serta harus berhati-hati karena menyangkut tanggung jawab menjaga asset. Menurut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Managam Manurung, bahwa lahan di PTPN II sudah tidak lagi menjadi ranah BPN untuk memproses penyelesaiannya, sebab pihak BPN sudah memutuskan tidak lagi memperpanjang HGU untuk PTPN II di lahan-lahan yang bermasalah, dan hal tersebut dibenarkan oleh Kementerian BUMN telah menerima surat permintaan pelepasan asset. Akan tetapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan asset, samping itu BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus yang dibentuk oleh Gubsu Gatot Pujo Nugroho berdasarkan SK Gubsu tanggal 23 September 2011 sebab PTPN II itu sendiri tidak masuk dalam tim tersebut. 74 Gubsu Gatot Pujo Nugroho bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) menyerahkan sejumlah dokumen diantaranya permohonan pelepasan asset atas tanah Ha eks PTPN II serta menyerahkan hasil kerja Tim Khusus Penanganan Areal eks HGU PTPN II yang dibentuk FKPD Plus pada September 2012, yang tugas Tim Khusus tersebut adalah mengiventarisasi tanah eks HGU PTPN II sekaligus juga melaporkan tentang HGU yang telah diperpanjang dan hasil tersebut dilaporkan ke Menteri BUMN. 74 BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013.

13 38 Berbagai langkah telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait dengan permasalahan eks HGU PTPN II yang sudah cukup panjang sejak tahun 1999 sampai sekarang, namun kemajuan yang telah dilakukan terlihat pada tahun 2010 hingga 2012 setelah terbentuknya tim khusus yang menangani tentang pemetaan atas tanah-tanah yang saat ini di atas lahan eks HGU. Dalam hal ini Gubernur juga meminta kepada Menteri BUMN sesuai ketentuan yang diatur oleh Keputusan Kepala BPN bahwa lahan-lahan eks HGU yang habis masanya sebelum diberikan peruntukannya harus secara langsung dilepas oleh Menteri BUMN yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sesuai peruntukannya. Langkah-langkah yang telah dilakukan Gubernur bersama FKPD dan Tim disambut baik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena upaya yang dilakukan tersebut adalah bertujuan untuk mencari win-win solution yang terbaik bagi kepentingan masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang tuntas mengenai masalah tanah Eks HGU PTPN II tersebut. 75 Sementara itu, salah satu pihak yang mengajukan tuntutan dan penggarapan atas areal PTPN II dengan klaim hak ulayat adalah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) menurut pendapat Buyung salah satu penggarap Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia pada awalnya areal Kebun Helvetia keseluruhannya adalah tanah perkampungan. Menurut beliau bahwa dalam Undang- Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan bumi dan air serta kekayaan 75 Sengketa Lahan Sumut : Konflik Lahan Bekas HGU PTPN II Agar Dituntaskan Secara Persuasif, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013.

14 39 alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, hal ini menurut Buyung bahwa UUD 1945 tanah yang dimaksud bukan milik Negara namun diplesetkan seakan-akan menjadi tanah Negara, padahal sesungguhnya tanah tersebut pada awalnya sebelum merdeka rakyat yang lebih dulu menguasai tanah tersebut, sehingga menjadi sengketa dikarenakan Pemerintah menguasai tanah rakyat. Maka bagi rakyat penunggu di areal tersebut menuntut agar tanah ulayat mereka dikembalikan yang telah diambil oleh pihak perusahaan. Sebab menurut rakyat penunggu bahwa Pemerintah tidak mempedulikan nasib rakyat yang asli penduduk pribumi yang dahulu di jaman Belanda diakui hakhaknya untuk bercocok tanam dan sebelum perang dunia II adanya sebuah perjanjian akta konsesi dengan Sultan atas nama rakyat. Pada awalnya tanah tembakau ini berupa tanah djaluran 76, menurut Buyung dahulu setelah masa panen tembakau maka tanah dilepas lalu rakyat di ijinkan untuk mengelola tanah sehabis panen tembakau tersebut untuk menanam tanaman semusim selama 1 tahun setelah itu dihutankan kembali selama 7 tahun (sistem rotasi) namun sistem ini telah berhenti sekitar tahun Pemerintah tidak memberi ijin kepada rakyat untuk bercocok tanam kembali sebab pihak perkebunan menanam tanaman 76 Tanah Djaluran juga perwujutan dari hak ulayat dari pada masyarakat hukum yang terdapat di Sumatera Timur khususnya. Timbulnya tanah djaluran berhubung karena para konsesionaris (dahulu disebut para saudagar) ingin mengetahui dan meletakkan dasar serta dipertegas hak ulayat dari pada masyarakat hukum tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena para ondernemer ketika itu tidak biasa dengan hukum adat kita (yang tidak tertulis) maka dalam model akta 1877, model aktaa 1878,1884 dan 1892 menjelaskan dan mempertegas hak rakyat tanah-tanah yang dahulu termasuk hak ulayat kampungnya baik atas penanaman pohon,buah-buahan untuk rakyat, tetapi lebih bersifat bahwa tanah djaluran bukan persetujuan antara raja-raja Sumatera Timur dengan para ondernemer akan tetapi dengan persetujuan pemerintah Belanda yang hanya bersifat deklaratif saja dari pada hukum adat dalam bidang pertnahanan.

15 40 tebu setelah habis panen tembakau, hingga pada akhirnya rakyat penunggu menuntut atas tanah ulayat mereka apalagi terlebih rakyat penunggu ini mayoritas adalah bertani. Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga bagi rakyat penunggu hanya bertumpu pada tanah. Pengacara demi pengacara telah dibentuk oleh pihak rakyat penunggu untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. Namun hingga saat ini menurut Buyung penanganan sengketa tanah garapan tersebut tidak terselesaikan sebab adanya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi sehingga menjadi alasan bahwa daerah Sumatera Utara sudah tidak kondusif disebabkan tidak terselesainya permasalahkan tentang sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia Wawancara dengan Buyung selaku pemangku adat Masyarakat Adat di bawah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Sumatera Utara, pada tanggal 22 Maret 2013 di kediaman Buyung pemangku Masyarakat Adat di bawah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sejarah lahan tanah jaluran di Sumatera Timur bermula dari kedatangan onderneming swasta yang dimulai oleh J. Nienhuys yang mampu menghasilkan 50 bal tembakau dan

Lebih terperinci

HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42/HGU/BPN/2002

HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42/HGU/BPN/2002 Christina Carolyn 1 HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42/HGU/BPN/2002 CHRISTINA CAROLYN ABSTRACT PT Perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tanah Obyek Landreform 2.1.1 Pengertian Tanah Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara agraris yang berarti bahwa penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pendapatan nasional sebagian besar bersumber dari

Lebih terperinci

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar di Negara Agraris. Tidak dapat dipungkiri fenomena sengketa pertanahan dalam kehidupan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA S I L A B I

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA S I L A B I A. IDENTITAS MATA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA S I L A B I NAMA MATA STATUS MATA KODE MATA JUMLAH SKS DOSEN : HUKUM AGRARIA : WAJIB : HKT 4006 : 3 (TIGA) SKS : 1. Prof. Dr. Moch. Bakri, SH, MS

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketentuan Konversi Hak-Hak Lama Menjadi Hak-Hak Baru Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1. Sejarah Munculnya Hak Atas

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai. berikut :

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai. berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Eksistensi Tanah hak milik adat (bekas okupasi tentara jepang) tersebut sampai dengan

Lebih terperinci

SILABUS. I. Mata Kuliah : HUKUM AGRARIA Kode : HTN 028 Fakultas : Syari ah Program Studi : Hukum Tata Negara Program : S.1

SILABUS. I. Mata Kuliah : HUKUM AGRARIA Kode : HTN 028 Fakultas : Syari ah Program Studi : Hukum Tata Negara Program : S.1 SILABUS I. Mata Kuliah : HUKUM AGRARIA Kode : HTN 028 Fakultas : Syari ah Program Studi : Hukum Tata Negara Program : S.1 Bobot : 2 SKS Sifat : Pilihan II. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini hendak

Lebih terperinci

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BAGI ORANG ASING DI INDONESIA

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BAGI ORANG ASING DI INDONESIA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BAGI ORANG ASING DI INDONESIA Mira Novana Ardani miranovana@yahoo.com ABSTRAK Orang asing yang berkedudukan di Indonesia memerlukan tanah yang akan dijadikan tempat tinggal mereka

Lebih terperinci

BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA CUT LINA MUTIA

BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA CUT LINA MUTIA BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA Oleh: CUT LINA MUTIA Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Tanah merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan sebagian besar kehidupan masyarakatnya masih bercorak agraris karena sesuai dengan iklim Indonesia

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah : Hukum Agraria Bobot sks Tim Penyusun : : 3 SKS 1. Prof. Dr. Moch. Bakri, SH, MS 2. Dr. Suhariningsih, SH, SU 3. Dr. Iwan Permadi, SH, MH 4. Imam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap orang sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, apalagi kepastian yang berkaitan dengan hak atas sesuatu benda miliknya yang sangat berharga

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus. 19 BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA A. Pengertian Tanah Terlantar Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn SEJARAH HUKUM TANAH DI INDONESIA A. SEBELUM BERLAKUNYA HUKUM TANAH NASIONAL Pengaturan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH A. Pengertian Tanah Menarik pengertian atas tanah maka kita akan berkisar dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, hanya saja secara rinci pada ketentuan

Lebih terperinci

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 Juli 2008 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Balai Petitih Kantor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA FUNGSI UUPA 1. Menghapuskan dualisme, menciptakan unifikasi serta kodifikasi pada hukum (tanah)

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017 PEROLEHAN HAK ATAS TANAH MELALUI PENEGASAN KONVERSI MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA 1 Oleh : Calvin Brian Lombogia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

ANALISA YURIDIS PELAKSANAAN PROGRAM PRONA DALAM RANGKA PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH (Studi Di Desa Ngujung Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan)

ANALISA YURIDIS PELAKSANAAN PROGRAM PRONA DALAM RANGKA PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH (Studi Di Desa Ngujung Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan) ANALISA YURIDIS PELAKSANAAN PROGRAM PRONA DALAM RANGKA PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH (Studi Di Desa Ngujung Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan) Sigit Sapto Nugroho 1 Mudji Rahardjo 2 1 dan 2 adalah Dosen

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena tanah mempunyai nilai ekonomi, ekologi, dan nilai sosial dalam kehidupan. Kenyataan sejarah menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan maupun

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN. Al Ulum Vol.53 No.3 Juli 2012 halaman 30-34 30 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN Noor Azizah* PENDAHULUAN

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan. sebagai berikut :

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan. sebagai berikut : 115 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan perndaftaran tanah pertanian hasil redistribusi tanah Absentee dalam

Lebih terperinci

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 13 BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 Agus Suprijanto agussuprijanto@upgris.ac.id ABSTRAK Dalam era globalisasi, warga negara asing mempunyai peluang besar

Lebih terperinci

STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960

STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960 JURNAL ILMU HUKUM 201 STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960 ULFIA HASANAH Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru Abstrak Dengan berlakunya UU

Lebih terperinci

SENGKETA TANAH PERKEBUNAN

SENGKETA TANAH PERKEBUNAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN Masa: Hindia Belanda Jepang Indonesia merdeka Sumber dari buku karangan Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH.(2013).Politik Hukum Agraria, Bab IV. Jakarta: Konstitusi Press. Masa Hindia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlindung dan melanjutkan kehidupannya. Sejalan dengan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. berlindung dan melanjutkan kehidupannya. Sejalan dengan bertambahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kemakmuran yang adil dan merata hanya dapat dicapai melalui pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia, tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan memanfaatkan tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan

Lebih terperinci

PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER

PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY LAPORAN PENELITIAN DOSEN PEMULA PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER Warah Atikah, SH., M.Hum. NIDN. 0025037306 Di danai oleh: DIPA Universitas Jember

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

PENYIMPANGAN DALAM PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH. Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

PENYIMPANGAN DALAM PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH. Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya PENYIMPANGAN DALAM PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com PERSPEKTIF Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei ABSTRAK

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA. Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah. Dalam Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia

HUKUM AGRARIA. Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah. Dalam Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia HUKUM AGRARIA Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah Dalam Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia Dr. H. Martin Roestamy S.H., M.H FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR www.unida.ac.id DAFTAR BACAAN

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional yang tercermin dari hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah yaitu hubungan

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI KECAMATAN JASINGA

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI KECAMATAN JASINGA 26 PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI KECAMATAN JASINGA Riwayat Status Tanah di Jasinga Program reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini yang berwenang adalah Badan Pertanahan Nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA

BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA 78 BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA A. Aspek Kelembagaan Sudah menjadi kelaziman bahwa perubahan struktur pemerintahan membawa pula perubahan-perubahan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerja Praktik merupakan suatu proses penerapan disiplin ilmu yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja praktik dilaksanakan. Dalam kerja praktik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman manusia Indonesia hidup bertani dan menetap, dimulai pola penguasaan tanah secara adat dan berlangsung turun temurun tanpa memiliki tanda bukti kepemilikan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Tanah adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan yang sangat penting karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017 TATA CARA PERPANJANGAN DAN PEMBAHARUAN HAK GUNA BANGUNAN BERDASARKAN PP. NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Sitti Rachmi Nadya Mo o 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Penyelenggaraan peralihan hak milik atas tanah secara hibah di Kabupaten Karanganyar telah dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Keadaan seperti itu yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Keadaan seperti itu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk memenuhi kebutuhan papan dan lahan yang menjadikan tanah sebagai alat investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hak Guna Bangunan 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Tanah sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menunjang berbagai aspek

Lebih terperinci

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL 87 BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat berkaitan dengan tanah timbul. Pemerintah daerah kota bengkulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan,

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian. hukum. Semua responden yang mengkonversi Leter C telah memperoleh

BAB III PENUTUP. konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian. hukum. Semua responden yang mengkonversi Leter C telah memperoleh 70 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perolehan konversi Leter C di Kabupaten Klaten telah mewujudkan kepastian hukum. Semua responden yang mengkonversi

Lebih terperinci

RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG

RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG Disusun Oleh : BANUN PRABAWANTI NIM: 12213069 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III

BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III 40 BAB II PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III A. Landasan Hukum Hak Guna Usaha 1. Terjadinya Hak Guna Usaha Menurut Pasal 28 Undang-Undang No 5 tahun 1960

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PENERBITAN IZIN LOKASI DAN PERSETUJUAN PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya bergantung pada tanah. Pentingnya tanah bagi kehidupan manusia karena kehidupan manusia tidak bias terpisahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan tanah. Tanah sangat penting bagi manusia sebagi tempat

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan tanah. Tanah sangat penting bagi manusia sebagi tempat A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup, serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pola perekonomian sebagian besar yang masih bercorak agraria.

BAB I PENDAHULUAN. pola perekonomian sebagian besar yang masih bercorak agraria. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan manusia pada dasarnya erat kaitannya dengan tanah. Sejak awal dilahirkan sampai pada meninggal dunia, manusia selalu bersinggungan dan tidak terlepas dari

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG TATA CARA PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh :

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh : PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan, maupun dengan pihak ketiga. Pewaris adalah orang yang

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan, maupun dengan pihak ketiga. Pewaris adalah orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pewarisan adalah proses peralihan harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia sebagai pemberi kepada para ahli warisnya sebagai penerima. 1 Seiring

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG 1 RUANG LINGKUP HGU SUBYEK HGU JANGKA WAKTU HGU PENGGUNAAN

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 ASPEK YURIDIS PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI TUKAR-MENUKAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 1 Oleh: Natalia Maria Liju

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PEMUKIMAN ZAIDAR, SH,MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

MEKANISME PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PEMUKIMAN ZAIDAR, SH,MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara MEKANISME PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PEMUKIMAN ZAIDAR, SH,MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara I. Pendahuluan GBHN 1993 mengamanatkan bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

Lebih terperinci