MODEL DINAMIK PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU SURYO KUSUMO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL DINAMIK PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU SURYO KUSUMO"

Transkripsi

1 MODEL DINAMIK PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU SURYO KUSUMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 0

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 0 Suryo Kusumo NIM C50900

4 4 4

5 ABSTRACT SURYO KUSUMO. Dynamic Model of Coral Reefs Ecosystem Management at the Pramuka Island, Thousand Islands Marine National Park. Under direction of ARIO DAMAR and MENNOFATRIA BOER. The increasing number of tourists since 003 and the development of community-based tourism in protected areas of Pramuka Island in the Thousand Islands Marine National Park caused the pressure on the quality of resources, especially coral reefs ecosystem and also the pressure on the environment. Therefore required a strategy of sustainable management of coral reef resources for tourism activities and coral reefs resources to be sustainable. This study aim is to build a dynamic model of management strategies that can be relied upon in doing the management of coral reef resources in Pramuka Island. Simulations was carried out on 5 scenarios that are scenario A, with no management; scenario B, destructive fishing management (biology sub-system); scenario C, management of entry fee to marine conservation park of Pramuka island (socio-ecomic subsystem); scenario D, waste management (marine environment sub-system) and scenario E, integrated management of coral reefs. Based on multicreria analysis of all scenarios using trade-off analysis that scenario E is the best mangement for sustainability of coral resources at Pramuka island. Management of biology subsystem, marine environments sub-system and socio-economic sub-system are closely related to one another and should be implemented in an integrated manner to ensure the sustainability of coral reef resources. Integrated management of coral reef ecosystem at Pramuka island include the management of the factors that threaten coral reefs; minimum fee into conservation areas of Pramuka Island of Rp ,00 for the tourist; minimum wastewater treatment by 30% before being discharged directly into waters. Integrated management not only ensure the sustainability of coral reef resources, but also to ensure social and economic sustainability at Pramuka Island. Keywords : dynamic model, sustainable management, coral reef ecosystem, integrated coral reef management

6 6 6

7 RINGKASAN SURYO KUSUMO. Model Dinamik Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan MENNOFATRIA BOER. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Ibukota Jakarta yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Sebagian wilayah Kepulauan Seribu merupakan kawasan konservasi yaitu Taman Nasional (TN) Kepulauan Seribu. Pengembangan wilayah Kepulauan Seribu lebih ditekankan pada bidang budidaya laut dan wisata. Kedua bidang tersebut merupakan penggerak utama pembangunan Kepulauan Seribu. Sejak tahun 003 kegiatan wisata mulai berkembang di sekitar Pulau Pramuka terutama kegiatan wisata berbasis masyarakat atau dikenal sebagai wisata pemukiman. Kegiatan wisata yang dikembangkan antara lain menyelam, snorkeling dan menikmati alam terutama ekosistem terumbu karang. Secara langsung kegiatan tersebut meningkatkan aktifitas perekonomian masyarakat lokal terutama didalam pemenuhan fasilitas wisata seperti penginapan, peralatan menyelam dan snorkeling, transportasi laut dan fasilitas lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk membangun suatu model dinamik strategi pengelolaan yang dapat diandalkan didalam melakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Pulau Pramuka, Zona Pemukiman Taman Nasional Kepulauan Seribu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang bagi pemangku kepentingan di Pulau Pramuka, yaitu Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu pada bulan April 0 hingga Mei 0. Data yang dibutuhkan didalam pengembangan model ini antara lain data pemanfaatan lahan, wisatawan, penduduk, tutupan karang hidup dan alga, faktor-faktor yang mengancam terumbu karang, parameter lingkungan perairan dan curah hujan. Selanjutnya disusun 5 skenario pengelolaan, yaitu skenario A, tanpa pengelolaan; skenario B, pengelolan perikanan yang merusak (sub-model biologi); skenario C, pengelolaan biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka (sub-model sosial ekonomi); skenario D, pengelolan limbah (sub-model lingkungan perairan) dan skenario pengelolaan terpadu dari seluruh sub-model. Selanjutnya dilakukan analisis kriteria ganda (multicriteria analysis) menggunakan analisis trade off terhadap seluruh hasil simulasi skenario pengelolaan untuk memperoleh skenario yang terbaik didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang Tidak adanya upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang menyebabkan tutupan karang hidup akan semakin berkurang dan tutupan alga akan semakin tinggi dalam 0 tahun ke depan. Hal ini selain disebabkan tidak adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang juga disebabkan tidak adanya pengolahan limbah BOD sebelum dibuang ke sehingga nilainya mencapai mg/l yang mendekati ambang batas nilai BOD untuk kesehatan karang yang berdasarkan simulasi yaitu sebesar mg/l. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka juga akan semakin berkurang. Penurunan kualitas

8 8 tutupan karang dan kualitas lingkungan perairan membuat penilaian wisatawan terhadap ekosistem terumbu karang (WTP) menjadi sebesar Rp ,- pada 0 tahun yang akan datang yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai saat ini sebesar Rp ,-. Pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang membuat tutupan karang menjadi lebih baik dibandingkan saat ini. Pada stasiun tutupan alga cenderung semakin tinggi pada akhir simulasi. WTP wisatawan lebih rendah yaitu sebesar Rp ,- pada akhir simulasi. Jumlah wisatawan menjadi lebih tinggi hingga mencapai orang pada akhir simulasi dan pada awal simulasi melebihi daya dukung penginapan yang ada. Limbah yang dibuang ke perairan mencapai mg/l yang berada diatas ambang batas yaitu mg/l yang menyebabkan tutupan alga pada stasiun cenderung meningkat dibandingkan stasiun lainnya. Pengelolaan melalui biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka sebesar Rp ,- tidak mampu untuk memperbaiki kondisi tutupan karang hidup. Nilai WTP wisatawan lebih tinggi dibandingkan tanpa adanya pengelolaan yaitu sebesar Rp ,- akan tetapi jumlah wisatawan yang berkunjung lebih sedikit hingga mencapai 367 orang pada akhir simulasi. Limbah yang dibuang ke perairan mencapai mg/l yang masih berada dibawah ambang batas. Berdasarkan wawancara yang mendalam terhadap masyarakat maka sejumlah 68% limbah domestik masyarakat diendapkan dan kemudian menguap atau terserap ke tanah dan hanya sejumlah 3% dibuang langsung ke perairan tanpa melalui proses pengolahan terlebih dulu. Adanya pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan sangat penting dilakukan untuk menghindari pencemaran perairan yang semakin tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka yang dapat mengancam tutupan karang hidup. Skenario pengolahan air limbah yang dibuang ke perairan sebesar 30% hanya membuat tutupan karang hidup pada stasiun dan stasiun menjadi lebih baik hanya pada awal simulasi dan setelah 0 tahun akan semakin berkurang, sedangkan pada stasiun 3 tutupan karang hidup cenderung semakin baik pada akhir simulasi. Pada stasiun 4 dan stasiun 5 tutupan karang hidup cenderung menurun hingga akhir simulasi. Jumlah kandungan limbah mencapai mg/l yang masih berada dibawah ambang batas bagi kesehatan tutupan karang hidup hasil simulasi. Jumlah wisatawan yang berkunjung lebih banyak dibandingkan tanpa pengelolaan yaitu sebanyak orang dan nilai WTP hanya sebesar Rp ,- yang lebih rendah dibandingkan awal simulasi. Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang menyebabkan tutupan karang hidup untuk semua stasiun menjadi lebih baik dan tutupan alga menjadi berkurang. Limbah yang dibuang langsung ke perairan sejumlah mg/l yang berada dibawah ambang batas bagi kesehatan tutupan karang hidup hasil simulasi. Pengelolaan terpadu menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung menjadi lebih banyak hingga mencapai orang dan berada diatas daya dukung penginapan yang ada sebanyak orang. Penilaian ekosistem terumbu karang (WTP) oleh wisatawan lebih tinggi dibandingkan dengan skenario pengelolaan lainnya dan awal simulasi yaitu sebesar Rp ,- per orang. Nilai total benefit yang diperoleh mencapai Rp ,- dimana nilai total 8

9 benefit tersebut belum didiskon dan hanya untuk mengetahui aliran nilai multiyears. Berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa pada akhir simulasi bulan Mei 0 masih terdapat lahan kosong yang belum dimanfaatkan seluas.47 hektar. Harus ada kebijakan pemanfaatan lahan untuk tetap menjaga agar lahan kosong tersebut tetap terjaga dan tidak dimanfaatkan. Hal ini disebabkan apabila lahan kosong tersebut ditanami dengan vegetasi dan tidak dialihfungsikan sebagai bangunan maka akan cukup bermanfaat sebagai daerah resapan air untuk menjaga kualitas sumber air tawar di Pulau Pramuka. Berdasarkan analisis kriteria ganda menggunakan analisis trade-off maka skenario pengelolaan terpadu dari sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi merupakan strategi pengelolaan yang paling tepat dibandingkan dengan skenario pengelolaan lainnya yang tidak menitikberatkan pengelolaan hanya pada sektor-sektor tertentu. Berdasarkan studi model dinamik didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang keberlanjutan di Pulau Pramuka maka dapat disimpulkan antara lain : pengelolaan secara sektoral dari sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan, sub-model sosial ekonomi tidak menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang; pengelolaan sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi sangat terkait satu sama lain dan harus dilaksanakan secara terpadu untuk menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang; pengelolaan terpadu untuk menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang antara lain meliputi : pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang yaitu berupa pembatasan atau pengurangan perikanan muroami, pengelolaan sampah yang berasal dari masyarakat, pengolahan air limbah sebelum dibuang langsung ke perairan, pembuatan jangkar kapal permanen untuk tambatan kapal nelayan, peningkatan kesadaran bagi wisatawan yang melakukan kegiatan selam dan snorkeling, perikanan tradisional yang ramah lingkungan, pelarangan perikanan menggunakan bom dan potasium/sianida serta mencegah aktifitas yang mengakibatkan tingginya sedimentasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, biaya memasuki kawasan konservasi Pulau Pramuka minimal sebesar Rp ,- bagi para wisatawan atau individu, pengolahan air limbah sebesar 30% sebelum dibuang langsung ke perairan; pengelolaan terpadu bukan saja menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang tetapi juga dapat menjamin keberlanjutan ekosistem lainnya seperti lamun dan mangrove serta keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pramuka; model dinamik dalam penelitian ini dapat diandalkan sebagai salah satu alternatif bagi pemangku kepentingan didalam mengelola ekosistem terumbu karang.

10 0 0

11 Hak Cipta milik IPB, tahun 0 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

12

13 MODEL DINAMIK PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU SURYO KUSUMO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 0

14 4 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc 4

15 Judul Penelitian Nama NRP Pogram Studi : Model Dinamik Pengelolaan Eksosistem Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu : Suryo Kusumo : C50900 : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 5 Agustus 0 Tanggal Lulus :

16

17

18

19 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 0 ini adalah model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku penguji luar komisi, Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku penguji program studi dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Sc yang telah banyak memberikan saran dan masukan didalam menyempurnakan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulisan sampaikan kepada bapak, ibu, seluruh keluarga serta teman-teman SPL-IPB angkatan tahun 009 dan juga teman-teman di Asosiasi Koral Kerang dan Ikan hias Indonesia (AKKII) yang telah banyak membantu didalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Mahmuddin dan keluarga, Bapak Halimun dan Bapak Leo atas bantuannya selama penulis melakukan pengambilan data lapangan di Pulau Pramuka. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, Amin. Cibubur, Agustus 0 Suryo Kusumo

20

21 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja pada tanggal Juni 974 dari ayah Sutedjo dan ibu Munasiah Aryani. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 993 penulis lulus SMA Laboratorium Universitas Udayana dan tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus pada tahun 999. Tahun 00 penulis bekerja di Asosiasi Koral Kerang dan Ikan hias Indonesia (AKKII) sebagai staf sekretariat hingga saat ini. Aktifitas yang dilakukan antara lain pemanfaatan karang hias hasil transplantasi untuk tujuan perdagangan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi (PO) LIPI dan Kementerian Kehutanan. Tahun 009 penulis diterima di Program Studi Pengelolan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana IPB.

22

23 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN...xxix. PENDAHULUAN.... Latar Belakang.... Rumusan Permasalahan....3 Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Berkelanjutan Sistem Dinamik....3 Pergantian Fase antara Karang dan Alga METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Peneltian Model Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Batasan Model Model Dinamik Pengelolaan Struktur Model Metode Pengumpulan Data dan Analisis Pemanfaatan lahan Wisatawan Penduduk Tutupan karang dan alga Perikanan yang Merusak Parameter Lingkungan Perairan Sedimen BOD Derajat keasaman (ph), Suhu, Salinitas, DO, Nitrat dan Fosfat Curah Hujan Skenario Pengelolaan Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sub-model Biologi Analisis Tutupan Karang dan Alga Analisis Sedimentasi Analisis Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Sub-model Lingkungan Perairan Analisis Curah Hujan Analisis Parameter Lingkungan Sub-model Sosial Ekonomi xxi

24 xxii Analisis Lahan Analisis Penduduk Analisis Wisatawan Analisis WTP Variabel Tak Bebas dan Variabel Bebas Simulasi Model Dinamik Simulasi Faktor-Faktor yang Mengancam Terumbu Karang Simulasi Biaya Masuk Kawasan Konservasi Pulau Pramuka Simulasi Pengolahan Air Limbah Simulasi Pengelolaan Terpadu Analisis Skenario Pengelolaan Terumbu Karang Simulasi Pertumbuhan Penduduk Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA L A M P I R A N... xxii

25 DAFTAR TABEL Halaman. Hasil analisis persentase tutupan karang hidup dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Laju sedimentasi di perairan Pulau Pramuka pada bulan Mei Persentase faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Sebaran faktor-faktor yang mengancam ekosistem terumbu karang pada setiap stasiun Hasil tangkapan ikan karang di Pulau Pramuka Parameter lingkungan sekitar terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Hasil pengamatan parameter BOD 5 di Pulau Pramuka, TN. Kepulauan Seribu Hasil analisis pemanfaatan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Data penduduk Pulau Pramuka tahun Data pertumbuhan penduduk Kelurahan Pulau Panggang Data kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka dan hasil verifikasi sepanjang tahun Data persentase wisatawan yang hanya melakukan kegiatan wisata diving dan snorkeling di Pulau Pramuka Nilai hasil simulasi setiap masing-masing skenario Skor untuk masing-masing skenario Simulasi kelompok WTP (dalam ratusan ribu rupiah) berdasarkan pendapatan Nilai WTP individu dari wisatawan dan total benefit kegiatan wisata di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Pemanfaatan lahan untuk pemukiman penduduk dan fasilitas penginapan. 0 xxiii

26 xxiv

27 DAFTAR GAMBAR Halaman. Zona kerentanan di Kepulauan Seribu (Farhan & Lim 0) Jumlah kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu tahun (BTNKS 0) Luas penutupan karang keras dan karang mati tahun 003, 005 dan 007 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Fadila & Idris 009 in Prastowo et al. 0) Indeks kematian karang tahun 003, 005 dan 007 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Fadila & Idris 009 in Prastowo et al. 0) Kerangka pemikiran penelitian Model Dominansi Relatif (Relative Dominance Model) dari karang dan alga (Littler et al. 006) Tutupan karang hidup karang (garis solid) dengan resiliensi normal (a) dan resiliensi rendah (b) sebagai respon terhadap gangguan utama (yaitu masukan nutrien, herbivori rendah atau kombinasi keduanya), tutupan frondose macroalgae (garis putus-putus) dan tutupan encrusting red algae (garis titiktitik) (McManus & Polsenberg 004) Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu Tahapan proses pengembangan model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Diagram causal-loops untuk ekosistem terumbu karang yang tidak berkelanjutan (a) dan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan (b) di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu.... Struktur sub- model biologi Struktur sub-model lingkungan perairan Struktur sub- model sosial ekonomi Metode pengambilan data tutupan karang dan alga menggunakan foto kuadrat (modifikasi dari Preskitt et al. 004; Kohler & Gill 005; English et al.997) Pengambilan sampel sedimen menggunakan perangkap sedimen Persentase tutupan karang hidup, alga, karang mati, pasir dan biota lainnya di perairan Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Hasil pengamatan tutupan karang hidup dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Sub-model biologi stasiun (modifikasi dari Chang et al. 008) xxv

28 xxvi 9. Sub-model biologi stasiun (modifikasi dari Chang et. al. 008) Sub-model biologi stasiun 3 (modifikasi dari Chang et. al. 008) Sub-model biologi stasiun 4 (modifikasi dari Chang et. al. 008) Sub-model biologi stasiun 5 (modifikasi dari Chang et. al. 008) Variabel grafik musim_ yang menyatakan persentase sedimentasi pada stasiun, stasiun dan stasiun 4 pada bulan Mei-April Variabel grafik musim_ yang menyatakan persentase sedimentasi pada stasiun 3 dan stasiun 5 pada bulan Mei-April Variabel grafik FISH_C yang menyatakan hasil tangkapan ikan karang pada bulan Mei-April di perairan Pulau Pramuka Variabel grafik CORAL_T_ pada stasiun Data pengamatan curah hujan (mm) rerata bulanan pada Stasiun Maritim Meteorologi dan Geofisika Tanjung Priok tahun Lokasi pengambilan sampel parameter lingkungan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Sub-model lingkungan perairan (modifikasi dari Chang et al. 008) Grafik variabel WQ untuk menilai kualitas perairan berdasarkan persepsi wisatawan Persentase penggunaan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Peta penggunaan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Grafik kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka dan hasil verifikasi sepanjang tahun Hasil analisis kuesioner wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Sub-model sosial ekonomi (modifikasi dari Chang et al. 008) Variabel grafik kualitas penginapan FQ Tampilan muka model pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu menggunakan perangkat lunak Stella v Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) xxvi

29 xxvii 4. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi biaya masuk terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengolahan limbah terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) xxvii

30 xxviii 59. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pengelolaan terpadu terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi pertumbuhan penduduk dan daya dukung pemukiman di Pulau Pramuka pada Mei 0 hingga Mei Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu xxviii

31 DAFTAR LAMPIRAN Halaman. Citra satelit GeoEye- Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Kuesioner bagi wisatawan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Responden wisatawan di Pulau Pramuka, TN. Kepulauan Seribu Hasil kuesioner wisatawan Hasil analisis WTP menggunakan regresi linier berganda Foto kuadrat tutupan karang hidup dan alga pada stasiun pengamatan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Hasil analisis persentase tutupan karang dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Perangkap sedimen Data hasil pengamatan curah hujan (mm) pada Stasiun Maritim Meteorologi dan Geofisika Tanjung Priok tahun Data penduduk Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun Perhitungan hasil kuesioner untuk verifikasi data Simulasi skenario A (tanpa pengelolaan) Simulasi skenario B (pengelolaan perikanan yang merusak) Simulasi skenario C (biaya masuk sebesar Rp ,-) Simulasi skenario D (pengolahan limbah 30 %) Simulasi skenario E (pengelolaan terpadu) Skema model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka menggunakan perangkat lunak Stella v Formulasi model dinamik Perhitungan data inisial model Variabel model sub-model biologi stasiun Variabel model sub-model biologi stasiun Variabel model sub-model biologi stasiun Variabel model sub-model biologi stasiun Variabel model sub-model biologi stasiun Variabel model sub-model lingkungan perairan Variabel model sub-model sosial ekonomi xxix

32 xxx 7. Simulasi jumlah penduduk (orang), daya dukung pemukiman (orang/hektar) dan daya dukung penginapan (orang/hektar) di Pulau Pramuka Rerata simulasi jumlah limbah BOD (mg/l) yang merusak terumbu karang (tutupan karang hidup kurang dari 50%) Analisis biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka xxx

33 . PENDAHULUAN. Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Ibukota Jakarta dimana sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Sebagian wilayah Kepulauan Seribu merupakan kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Pengembangan wilayah Kepulauan Seribu lebih ditekankan pada bidang budidaya laut dan wisata. Kedua bidang tersebut merupakan penggerak utama pembangunan Kepulauan Seribu. Masyarakat Kepulauan Seribu sangat tergantung kehidupannya pada ekosistem terumbu karang. Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan demikian juga sebaliknya. Menurut Cesar (000), ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska, berbagai jenis kepiting bagi masyarakat yang hidup di kawasan pesisir. Selain itu, bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, terumbu karang menyediakan makanan dan tempat untuk memijah bagi berbagai jenis biota laut. Namun beberapa tahun terakhir banyak aktivitas yang memberikan dampak buruk terhadap keberadaan dan kesehatan terumbu karang. Aktivitas manusia tersebut antara lain adalah pengembangan kawasan budidaya laut, ekowisata, limbah rumah tangga yang secara terus menerus dibuang langsung ke perairan dan pembangunan fisik bangunan, baik untuk pembangunan fasilitas wisata, rumah pribadi maupun pembangunan pelabuhan laut. Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/004 tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu maka Pulau Pramuka termasuk kedalam zona pemukiman. Zona pemukiman merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan bagi penduduk. Selain kegiatan pemerintahan maka aktifitas lainnya yang diijinkan adalah kegiatan wisata berbasis masyarakat, perikanan tradisional dan juga perlindungan, pelestarian dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove.

34 Sejak tahun 003 kegiatan wisata mulai berkembang di sekitar Pulau Pramuka terutama kegiatan wisata berbasis masyarakat atau wisata pemukiman. Kegiatan wisata yang dikembangkan antara lain menyelam (diving), snorkeling dan menikmati alam terutama ekosistem terumbu karang. Secara langsung kegiatan tersebut meningkatkan aktifitas perekonomian masyarakat lokal terutama didalam pemenuhan fasilitas wisata seperti penginapan (homestay), peralatan menyelam dan snorkeling, transportasi laut dan fasilitas lainnya. Meningkatnya jumlah wisatawan setiap tahunnya akan meningkatkan pemenuhan fasilitas penginapan dan akomodasi lain seperti makan. Akan tetapi pemenuhan fasilitas tersebut, terutama fasilitas penginapan, dimana pembangunannya masih menggunakan karang dan pasir laut di sekitarnya. Selain itu pemenuhan makan untuk wisatawan dengan mengkomsumsi ikan-ikan karang yang ditangkap di sekitar perairan sekitarnya. Apabila tidak dilakukan pengelolaan yang tepat maka kegiatan wisata tersebut justru akan menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang yang nantinya juga akan mematikan kegiatan wisata ke Kepulauan Seribu. Kegiatan manusia di wilayah pesisir yang tidak terkoordinasi dapat memberikan dampak terhadap lingkungan pesisir. Bryan et al. (998) in Chang et al. (008) menyatakan bahwa lebih dari 80% terumbu karang di wilayah Asia bagian selatan dalam kondisi terancam terutama karena akibat aktifitas manusia. Penelitian ini akan mengkaji strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan di sekitar perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu.. Rumusan Permasalahan Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Farhan & Lim (0) tentang kajian kerentanan kondisi ekologi di Kepulauan Seribu yang antara lain menggunakan indikator keretanan seperti tutupan karang hidup, tutupan karang mati, perubahan garis pantai, pemanfaatan lahan dan polusi maka wilayah Kepulauan Seribu dibagi menjadi 3 zona kerentanan (Gambar ). Zona merupakan daerah yang memiliki jarak hingga 7 km dari Teluk Jakarta dan sangat dipengaruhi oleh tekanan dari penduduk kota Jakarta dan sebagian Provinsi

35 3 Banten dan juga dipengaruhi oleh 4 sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta dan merupakan daerah dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Pulau Pramuka terletak di zona dengan jarak 7 50 km dari Teluk Jakarta. Zona ini dicirikan dengan pulau-pulau yang memiliki populasi penduduk yang cukup padat. Akan tetapi karena masyarakatnya memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan maka zona ini memeliki keberlanjutan yang lebih baik. Zona merupakan daerah dengan tingkat kerentanan sedang sedangkan zona 3 merupakan daerah yang berjarak lebih dari 50 km dari Teluk Jakarta dan memiliki tingkat kerentanan rendah. Zona ini lebih dipengaruhi oleh dinamika alami dari sumberdaya seperti melimpahnya populasi bulu seribu (crown of thorn starfish) sejak tahun 005 yang mengancam ekosistem karang di zona tersebut. Keterangan Keterangan : Zona : kerentanan tinggi Zona : kerentanan sedang Zona 3 : kerentanan rendah Gambar. Zona kerentanan di Kepulauan Seribu (Farhan & Lim 0).

36 4 Meskipun Pulau Pramuka terletak pada zona akan tetapi aktifitas penduduk lokal, kegiatawan wisata serta aktifitas lainnya dapat mengancam keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Beberapa aktifitas masyarakat nelayan Pulau Pramuka dan sekitarnya yang bersifat merusak ekosistem terumbu karang dan masih berlangsung hingga saat ini di sekitar perairan Pulau Pramuka antara lain perikanan muroami, perikanan ikan hias dan tradisional lainnya, masih adanya pemboman yang dilakukan oleh orang luar Kepulauan Seribu, serta limbah domestik yang dibuang langsung ke perairan. Selain itu semakin meningkatnya kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun, dimana sebagian wisatawan melakukan kegiatan menyelam dan snorkeling, diduga juga menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sejak tahun 003 telah melaksanakan kegiatan ekowisata bahari yang bertujuan untuk menjadikan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai pelaku utama didalam usaha ekowisata bahari (BTNKS 00). Kegiatan ekowisata bahari berbasis masyarakat tersebut menyebabkan kunjungan wisatawan yang meningkat sangat tinggi. Pada tahun 003, kunjungan wisata berjumlah 000 orang sedangkan tahun 008 meningkat hingga 8 98 orang, kemudian terjadi penurunan pada tahun 009 menjadi 3 57 orang. Tahun 00 terjadi peningkatan hingga 7 85 orang dan 6 33 pada tahun 0. Grafik jumlah kunjungan wisatawan sejak tahun 003 hingga 0 dapat dilihat pada Gambar. Jumlah wisatawan (orang) 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000,000,000-8,98 7,85 6,33 3,57,738,7, Tahun Gambar. Jumlah kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu tahun (BTNKS 0).

37 5 Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan tersebut memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat. Hal ini antara lain dibuktikan dengan semakin banyaknya didirikan penginapan (homestay) terutama di Pulau Pramuka, Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu mencatat kurang lebih terdapat 34 unit wisma dan penginapan yang dimiliki oleh masyarakat pada tahun 00. Selain itu terjadi peningkatan permintaan akan ikan karang untuk dikonsumsi oleh wisatawan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah usaha penyediaan makanan sejumlah unit usaha pada tahun 00. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Terangi (Fadila & Idris 009 in Prastowo et al. 0) yang melakukan pengamatan terhadap penutupan karang di sekitar perairan Pulau Pramuka pada tahun 003, 005, 007 dan 009 maka terjadi perubahan penutupan karang (Gambar 3). Turunnya persentase tutupan karang keras dan karang mati pada tahun 0 diduga disebabkan karena meningkatnya persentase tutupan alga Persentase penutupan (%) karang keras karang mati Gambar 3. Luas penutupan karang keras dan karang mati tahun 003, 005 dan 007 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Fadila & Idris 009 in Prastowo et al. 0). Pada tahun 003, penutupan karang mati di Pulau Pramuka mencapai 34.%, kemudian turun pada tahun 005 menjadi 0.9% dan naik pada tahun 007 menjadi 53.3%. Penutupan karang keras pada tahun 003 sebesar 34.7% kemudian turun pada tahun 005 menjadi 6.0% dan tahun 007 meningkat menjadi 34.6%. Meskipun penurunan luas penutupan karang mati diimbangi

38 6 dengan luas penutupan karang keras akan tetapi indeks kematian karang di Pulau Pramuka cenderung naik seperti terlihat pada Gambar 4. Indeks kematian (%) Tahun Gambar 4. Indeks kematian karang tahun 003, 005 dan 007 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Fadila & Idris 009 in Prastowo et al. 0)..3 Kerangka Pemikiran Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan sejak tahun 003 dan semakin berkembangnya wisata pemukiman di Pulau Pramuka menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kualitas ekosistem terutama terumbu karang dan juga tekanan lingkungan lainnya baik itu berupa buangan limbah, pemenuhan ikan karang untuk dikonsumsi, kegiatan perikanan muroami yang bersifat merusak dan sampah yang berasal dari pulau dan juga yang terbawa arus yang terutama berasal dari Teluk Jakarta yang juga memberikan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem terumbu karang agar kegiatan wisata dan ekosistem terutama terumbu karang menjadi berkelanjutan. Strategi pengelolaan dapat dilakukan dengan melakukan pemodelan dan perancangan skenario pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 5..4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membangun suatu model dinamik strategi pengelolaan yang dapat diandalkan didalam melakukan pengelolaan ekosistem

39 7 terumbu karang di sekitar perairan Pulau Pramuka, Zona Pemukiman Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu..5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang bagi pemangku kepentingan di Pulau Pramuka, yaitu Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. wisata perikanan yang merusak penduduk lokal fasilitas wisata snorkeling dan selam limbah pemukiman limbah ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka degradasi kualitas sumberdaya pesisir (ekosistem terumbu karang) pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di Pulau Pramuka Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian.

40 8

41 . TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang komplek dan tingginya tingkat kompetisi diantara berbagai sektor ekonomi. Pembangunan dan perencanaan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir yang dilakukan dengan pendekatan sektoral telah gagal untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan dan bijaksana dari sumberdaya eksosistem global yang komplek. Pengelolaan terpadu wilayah pesisir (Integrated Coastal Management/ICM) merupakan suatu alternatif didalam pengelolaan dan perencanaan menggunakan metode-metode tradisional di wilayah pesisir (IWICM 996). ICM merupakan suatu proses dinamik yang membutuhkan waktu didalam menyelesaikan tahapan-tahapannya didalam suatu siklus ICM yang beragam sesuai dengan kemampuan dari kapasitas kelembagaan dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi (Corepoint 007; IWCM 996). Pada awalnya ICM dirancang untuk membangun kepedulian publik, membangun kapasitas dan kerjasama, penguatan kelembagaan dan kerangka legal serta memformulasikan dan mengimplementasikan rencana aksi. Semakin berkembangnya dan meningkatnya kemampuan serta pengangalaman maka ruang lingkup ICM diperluas untuk dapat mencakup masalah-masalah baru, mengeksplorasi kesempatan pembangunan yang baru, kerjasama antar lembaga, kolaborasi dan integrasi pembangunan dan pelestarian lingkungan (IWCM 996). Wilayah pesisir bukan hanya merupakan lingkungan alam yang komplek tetapi merupakan suatu wilayah kebijakan yang komplek dimana berbagai lembaga yang berbeda yang memiliki tujuan, tanggung jawab dan wewenang yang saling tumpang tindih. Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu upaya untuk memperoleh manfaat bagi masyakarat dalam waktu jangka panjang, termasuk mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya (Scottish-Office 997 in Chang et al. 008). Pengelolaan terpadu merupakan suatu kerangka kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang tidak hanya memadukan komponen-komponen darat dan

42 0 laut, tetapi juga dimensi-dimensi spasial dan temporal dari isu-isu yang menjadi perhatian dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan. pengelolaan terpadu juga mencari keseimbangan diantara keuntungan ekonomi dari pembangunan, pemanfaatan oleh manusia dan sumberdaya alam wilayah pesisir dalam jangka waktu yang panjang. Seluruh kegiatan tersebut harus dibatasi oleh dinamika alami dan daya dukung. Dalam prakteknya, pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan meliputi pengumpulan informasi, perencanaan, pembuatan keputusan dan implementasi dari pengelolaan dan pengawasan seperti yang disarankan oleh European Commision pada tahun 999 (Chang et al. 008). Pengelolaan wilayah pesisir termasuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang memiliki karakteristik sumberdaya alam, ekonomi dan sumberdaya lainnya yang khas dan terbatas yang merupakan kasus khusus didalam pembangunannya. Sangat sedikit pilihan didalam pembangunan secara ekologi dan ekonomi, penyediaan utilitas dan layanan publik sangat sulit dan dengan biaya yang tinggi serta sumberdaya manusia yang langka. Beberapa pilihan didalam pembangunan yang berkelanjutan di pulau kecil antara lain : perlindungan sumberdaya, pemulihan sumberdaya, peningkatan kualitas sumberdaya, pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, penyediaan layanan bagi manusia dan pembangunan sumberdaya lainnya (Hess 990; Marshall 98 in Engelen et al. 996). Pulau kecil merupakan daerah dimana terkonsentrasinya kegiatan sosial ekonomi, dimana terdapat kompetisi ruang dan tingginya limbah dan polusi yang dihasilkan (Blommestein 993 in Engelen et al. 996) serta ekosistem akuatik dan terestial yang sangat rentan. Sumberdaya tersebut yang akan pertama kali mengalami dampak akibat adanya peningkatan muka laut dan perubahan iklim. Menurut Hess (990), perencanaan merupakan hal yang sangat mendasar didalam pembangunan berkelanjutan pulau kecil. Perencanaan meliputi studi daya dukung dan analisis dampak terhadap lingkungan, sosial atau efektifitas kelembagaan dan juga metode dan panduan untuk menentukan kemampuan sumberdaya yang multi manfaat yang dapat menjadi alternatif didalam pengelolaan. Pengelolaan terpadu menjamin pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan dengan mengurangi kerentanan wilayah pesisir dan mempertahankan

43 proses-proses ekologi yang penting, sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati (Cicin-Sain & Knecht 998). Tujuan umum dari pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang kehidupannya tergantung pada ekosistem pesisir dengan mempertahankan keanekaragaman biologi dan produktifitas ekosistem pesisir (Corepoint 007). Menurut Cicin-Sain & Knecht (998), pengelolaan terpadu wilayah pesisir dibutuhkan karena terjadinya penurunan kualitas sumberdaya di wilayah pesisir, seperti perikanan tangkap lebih atau eksploitasi karang untuk bahan bangunan, yang merupakan faktor utama. Selain itu semakin meningkatnya polusi yang membahayakan kesehatan publik. Adanya keinginan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dari pemanfataan sumberdaya pesisir, seperti wisata bahari, juga membutuhkan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Tantangan pengelolaan terpadu wilayah pesisir antara lain koordinasi diantara pemangku kepentingan yang tidak efisien. Strategi yang efektif dari masing-masing stakeholder tidak cukup mampu untuk berhasil tanpa mempertimbangkan strategi dari pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan keterpaduan diantara lembaga didalam mengelola suatu wilayah pesisir yang berkelanjutan (Cicin-Sain & Knecht 998 in Chang et al. 008). Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam pengelolaan secara sektoral, dampak crosssectoral atau cross-regional seringkali terabaikan. Akibatnya model pengelolaan sektoral akan menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan atau sumberdaya dan juga akan mematikan sektor lain (Hutabarat et al. 009b). Perencanaan dan pengelolaan terpadu dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir ini mencakup 4 (empat) aspek, yaitu : () keterpaduan wilayah ekologis;

44 () keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan pemangku kepentingan (Hutabarat et al. 009b).. Sistem Dinamik Berdasarkan konsep ilmu fisika dan ilmu biologi maka sistem merupakan suatu kumpulan komponen-komponen yang saling berhubungan teratur yang dicirikan dengan adanya batasan dan kesatuan fungsi. Kumpulan komponenkomponen tersebut secara bersama melakukan suatu fungsi. Sistem juga merupakan suatu proses komplek yang saling bertautan yang dicirikan adanya hubungan sebab akibat yang timbal balik (Grant et al. 997), sedangkan sistem dinamik merupakan suatu metode untuk menganalisis permasalahan dimana faktor waktu merupakan hal yang penting (Coyle 977 in Ford 999). Sistem dinamik merupakan suatu metode sederhana yang menggunakan diagram causal-loop dan stock-flow untuk menjelaskan hubungan diantara sistem. Sistem dinamik mampu untuk membuat suatu model dinamik dan komponen yang komplek menjadi suatu sistem yang terpadu. Selain itu, sistem dinamik juga mampu menyelesaikan sistem fisik dan sistem sosial yang komplek, non-linier, dan berupa struktur yang bersifat feedback-loop yang sesuai penggunaannya didalam pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan (Chang et al. 008). Teknologi informasi yang berkembang saat ini mampu untuk membantu didalam pengelolaan lingkungan terutama sistem pendukung keputusan. Secara umum sistem pendukung keputusan merupakan suatu sistem berbasis komputer yang dirancang untuk mendukung pembuat keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang semi terstruktur atau tidak terstruktur melalui pemanfaatan data dan model (Turban & Aronson 998 in Chang et al. 008). Aplikasi-aplikasi sistem pendukung keputusan telah banyak digunakan didalam pengelolaan lingkungan, seperti pengelolaan hutan, pengelolaan perikanan, evaluasi kualitas ekologi sungai, pengelolaan akuakultur (Hargrave 00; Scardi et al. 008; Jarre et al. 008). Sistem pendukung keputusan tersebut harus dapat memberikan dukungan yang cukup didalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang memberikan pilihan sebanyak mungkin untuk generasi yang akan datang (Engelen et al. 996)

45 3.3 Pergantian Fase antara Karang dan Alga Suatu konseptual paradigma yang dikemukakan oleh Littler et al. (984) in Littler et al. (006) tentang Model Dominansi Relatif (Relative Dominance Model) menjelaskan tentang perspektif untuk menilai mekanisme pendorong interaktif yang mengendalikan pergantian masa (phase shift) diantara kelompok fungsional bentik dominan pada ekosistem terumbu karang tropis, yaitu antara alga (mikro alga dan makro alga) dengan karang penyusun terumbu dan coralline algae (Gambar 6). Dimana hubungan dominansi relatif dari kedua kelompok tersebut dimediasi oleh nutrien (pengendali bottom-up) dan herbivori (pengendali top-down). peningkatan dampak manusia penurunan resiliensi terumbu karang aktifitas grazing tinggi pengendali top down menurun penurunan resiliensi terumbu karang pengendali bottom up berkurang kandungan nutrien meningkat karang & crustose corraline algae bentuk masif Gambar 6. Model Dominansi Relatif (Relative Dominance Model) dari karang dan alga (Littler et al. 006). Meningkatnya faktor pengendali bottom-up (nutrien) maka akan meningkatkan kelimpahan alga meskipun pada kondisi intensitas herbivori yang tinggi, namun sebaliknya, akan menghambat atau membatasi pertumbuhan karang penyusun teurmbu. Nutrien sebagai pengendali bottom-up akan secara langsung bertindak sebagai faktor pembatas (seperti tekanan fisiologis) dan mekanisme stimulator (faktor meningkatkan pertumbuhan) dan juga secara tidak langsung akan mempengaruhi kompetisi antara karang dan alga (Littler et al. 006).

46 4 Gambar 7 memperlihatkan suatu model konseptual dari respon tutupan karang hidup, tutupan frondose macroalgae dan encrusting red algae terhadap gangguan utama ekosistem terumbu karang (McManus & Polsenberg 004). Gangguan utama ekosistem terumbu karang berupa masukan nutrien, tingkat herbivori yang rendah atau kombinasi keduanya. Encrusting red algae berperan sebagai fasilitator planula karang untuk menempel pada subtrat. Persentase penutupan Persentase penutupan Setelah gangguan (tahun) Gambar 7. Tutupan karang hidup karang (garis solid) dengan resiliensi normal (a) dan resiliensi rendah (b) sebagai respon terhadap gangguan utama (yaitu masukan nutrien, herbivori rendah atau kombinasi keduanya), tutupan frondose macroalgae (garis putus-putus) dan tutupan encrusting red algae (garis titik-titik) (McManus & Polsenberg 004). Gambar 7(a) memperlihatkan kondisi resiliensi terumbu karang normal dimana dengan adanya gangguan membuat tutupan karang akan semakin bertambah secara bertahap sedangkan tutupan frondose macroalgae meningkat pada awal tahun dan kemudian cenderung menurun, demikian pula halnya dengan encrusting red algae. Setelah gangguan (tahun) Kondisi resiliensi yang dibawah normal (rendah)

47 5 menyebabkan tutupan frondose macroalgae meningkat begitu cepat sedangkan encrusting red algae bertambah hanya sedikit dan kemudian berkurang, sedangkan tutupan karang hidup akan bertambah dengan laju yang sangat lambat dibandingkan frondose macroalgae (Gambar 7b).

48 6

49 3. METODOLOGI PENELITIAN 3. Lokasi dan Waktu Peneltian Penelitian ini dilakukan Pulau Pramuka di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) pada bulan April 0 hingga Mei 0 (Gambar 8). Penentuan lokasi dari setiap stasiun penelitian ditentukan dengan melakukan survei awal berupa pengamatan kondisi terumbu karang, sumber dan buangan pencemar dan posisi geografis dari Pulau Pramuka serta pengaruh musim timur dan musim barat. Gambar 8. Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

50 8 Berdasarkan survei tersebut maka ditentukan stasiun pengamatan kondisi tutupan karang dan alga di Pulau Pramuka sebanyak 5 stasiun yaitu stasiun pada bagian barat laut, stasiun pada bagian barat, stasiun 3 pada bagian timur laut, stasiun 4 pada bagian selatan dan stasiun 5 pada bagian timur. Kelima stasiun tersebut diharapkan dapat mewakili seluruh kondisi ekosistem terumbu karang dari kondisi yang baik hingga rusak di perairan Pulau Pramuka. 3. Model Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang 3.. Batasan Model Penelitian ini mengadaptasi model pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis sistem dinamik yang dikembangkan oleh Chang et al. (008). Suatu batasan-batasan dibutuhkan untuk menyederhanakan suatu permasalahanpermasalahan yang komplek didalam pemodelan. Batasan-batasan didalam pemodelan ini antara lain :. Limbah yang masuk ke perairan Pulau Pramuka hanya berasal dari limbah rumah tangga atau domestik, limbah dari penginapan wisata serta fasilitas bangunan lainnya berupa BOD di Pulau Pramuka;. Pengaruh alam diabaikan, seperti ombak, badai dan anomali perubahan suhu permukaan laut. 3.. Model Dinamik Pengelolaan Pemodelan pengelolaan ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Pulau Pramuka terdiri dari 4 tahapan (Gambar 9), yaitu : ) Tahap pertama pengumpulan data yaitu data kondisi sosial ekonomi antara lain melakukan survei kuesioner bagi para wisatawan untuk menghitung valuasi ekonomi ekosistem terumbu karang, data jumlah wisatawan per bulan, data pemanfaatan lahan pulau dan data penduduk Pulau Pramuka; data lingkungan perairan yaitu dengan mengambil sampel limbah dari beberapa lokasi di Pulau Pramuka untuk dianalisis kadar BOD, data curah hujan rata-rata bulanan; dan data biologi seperti kondisi survei tutupan karang hidup, alga dan komponen biotik dan abiotik lainnya dan data perikanan muroami di Pulau Pramuka;

51 9 ) Tahap kedua adalah melakukan analisis data untuk masing-masing subsistem, yaitu : sub-model sosial ekonomi melakukan analisis pemanfaatan lahan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis pertumbuhan penduduk Pulau Pramuka, analisis Willingness to Pay (WTP) dari wisatawan untuk menghitung valuasi ekonomi ekosistem terumbu karang; sub-model lingkungan perairan dengan melakukan analisis BOD dari beberapa lokasi di Pulau Pramuka, analisis rata-rata curah hujan bulanan; sub-model biologi dengan melakukan analisis sampel sedimen dan analisis tutupan karang hidup dan alga. 3) Tahap ketiga adalah pengembangan model sistem dinamik yang dikembangkan oleh Chang et al. (008) yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Pulau Pramuka. Kemudian dilakukan penentuan beberapa skenario pengelolaan yang selanjutnya masing-masing skenario tersebut disimulasi. Hasil simulasi dari semua skenario dilakukan analisis kriteria ganda (multicriteria analysis) menggunakan analisis trade-off untuk menentukan skenario pengelolaan yang paling tepat (Brown et al. 00). 4) Tahap keempat adalah implementasi skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Pramuka. Pemodelan sistem dinamik menggunakan diagram causal-loops untuk menunjukkan umpan balik dari struktur sistem. Diagram causal-loops merupakan diagram jaringan (network) yang menunjukkan hubungan sebab akibat diantara variabel-variabel sistem menggunakan causal link.

52 Sub-model Sosial Ekonomi Sub-model Biologi Sub-model Lingkungan Perairan Tahap ke- Data pemanfaatan lahan Data kuesioner wisatawan Data penduduk Survei photoquadrat Survei faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang Data curah hujan Data sampel BOD Data sedimen Analisis SIG Analisis WTP Analisis pertumbuhan penduduk Analisis tutupan karang dan alga Analisis faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang Analisis curah hujan bulanan Analisis BOD Analisis sedimentasi Tahap ke- Pengembangan Model Dinamik Simulasi skenario pengelolaan Tahap ke-3 Analisis skenario pengelolaan dengan analisis kriteria ganda (analisis trade-off) Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di P. Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu Tahap ke-4 Gambar 9. Tahapan proses pengembangan model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. 0

53 perikanan yang merusak - - tutupan karang hidup - - limbah ke perairan kegiatan wisata penduduk lokal + + pemanfaatan lahan (a) ekosistem terumbu karang tidak berkelanjutan perikanan yang merusak pengendalian dan perikanan ramah lingkungan + + tutupan karang hidup + + biaya masuk dan edukasi bagi wisatawan limbah ke perairan - - pengolahan limbah kegiatan wisata pengolahan limbah penduduk lokal + + pemanfaatan lahan (b) ekosistem terumbu karang berkelanjutan Gambar 0. Diagram causal-loops untuk ekosistem terumbu karang yang tidak berkelanjutan (a) dan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan (b) di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu

54 Gambar 0(a) menunjukkan diagram causal-loops dari kondisi ekosistem terumbu karang sekitar perairan Pulau Pramuka. Terdapat negatif feedback-loops. Negatif feedback-loops dimulai dan diakhiri pada node kegiatan wisata dan limbah. Negatif feedback-loops menjelaskan bahwa meningkatnya kegiatan atau aktifitas wisata akan mengurangi tutupan karang hidup sehingga konsekuensinya bahwa menurunnya tutupan karang hidup akan menekan kegiatan kegiatan wisata. Akan tetapi dibutuhkan jeda waktu antara kegiatan wisata dan tutupan karang hidup untuk memperbaiki tutupan karang hidup. Diagram causal-loops dari model sistem dinamik yang akan diteliti dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 0(b). Pengelolaan ekosistem terumbu karang melalui biaya masuk, edukasi bagi wisatawan, pengolahan limbah dan pengelolaan perikanan yang merusak menyebabkan tutupan karang hidup semakin meningkat Struktur Model Model pengelolan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka terdiri dari 3 sub-model, yaitu sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan submodel sosial ekonomi. Komponen dari suatu sub-model juga menjadi anggota komponen sub-model lainnya sehingga terdapat hubungan antara satu sub-model dengan sub-model lainnya. Pada sub-model biologi, terdapat kompetisi ruang diantara karang dan alga. Kompetisi tersebut dipengaruhi oleh faktor ruang yang menghambat dan faktor yang memacu. Sedimentasi dan aktifitas manusia yang bersifat merusak dapat menghambat pertumbuhan karang dan kondisi karang tersebut akan menentukan kualitas dari ekosistem terumbu karang. Pertumbuhan alga dihambat oleh grazing ikan herbivor dan sedimentasi sedangkan limbah organik dapat memacu pertumbuhan alga. Grazing ikan herbivor dipengaruhi oleh aktifitas penangkapan oleh manusia. Sedimentasi yang mempengaruhi karang dan alga berubah sepanjang tahun yang disebabkan adanya musim timur dan musim barat. Struktur model sub-model biologi dapat dilihat pada Gambar.

55 3 menghambat pertumbuhan kualitas terumbu karang aktifitas manusia karang menghambat pertumbuhan pemanfaatan ruang ruang sedimentasi musim barat dan musim timur pemanfaatan ruang menghambat pertumbuhan limbah organik alga memacu pertumbuhan menghambat pertumbuhan grazing ikan herbivor penangkapan ikan herbivor mengurangi populasi Gambar. Struktur sub- model biologi. Pada sub-model lingkungan perairan, limbah organik yang berada di perairan berasal dari point source pollution limbah organik dan non-poit source pollution limbah organik. Point source pollution limbah organik dihasilkan dari buangan domestik, baik oleh penduduk maupun wisatawan, yang dibuang langsung ke perairan, sedangkan non-point source pollution dihasilkan dari aktifitas kegiatan manusia seperti aktifitas pelabuhandan juga disebabkan adanya pola musim hujan. Pengolahan limbah organik sebelum dibuang ke perairan akan menentukan kualitas perairan tersebut. Struktur sub-model lingkungan perairan dapat dilihat pada Gambar. Sub-model sosial ekonomi terdiri dari pemanfaatan lahan untuk penambahan fasilitas wisata bagi wisatawan dan juga pemukiman penduduk. Populasi penduduk dipengaruhi oleh penambahan populasi, yaitu, laju kelahiran dan laju orang yang datang dan menetap di pulau, dan pengurangan populasi, yaitu laju kematian dan laju orang yang meninggalkan pulau. Penilaian wisatawan terhadap kondisi kualitas terumbu karang, kualitas lingkungan perairan dan kualitas fasilitas yang ada akan mempengaruhi keinginan wisatawan untuk membayar berupa willingnes to pay (WTP). Biaya masuk kawasan konservasi dan WTP akan mempengaruhi keinginan wisatawan untuk datang berwisata kembali. Struktur sub-model sosial ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.

56 4 wisatawan penduduk lokal aktifitas manusia pola musim hujan point source pollution limbah organik non-point source pollution limbah organik limbah organik pengolahan limbah kualitas lingkungan perairan Gambar. Struktur sub-model lingkungan perairan. fasilitas penginapan lahan kosong pemukiman penduduk daya dukung pemukiman penambahan penduduk populasi penduduk pengurangan penduduk laju kelahiran imigrasi laju kematian emigrasi daya dukung penginapan jumlah wisatawan Willingness to Pay biaya masuk kualitas fasilitas penginapan kualitas terumbu karang kualitas lingkungan perairan Gambar 3. Struktur sub-model sosial ekonomi.

57 5 3.3 Metode Pengumpulan Data dan Analisis 3.3. Pemanfaatan lahan Data pemanfaatan lahan di Pulau Pramuka diperoleh dengan melakukan sensus dan pengecekan langsung di lapangan. Sebelum melakukan pengecekan langsung maka dilakukan pemetaan awal pemanfaatan pulau dengan citra satelit terkini yang diperoleh, yaitu menggunakan citra satelit GeoEye- dengan resolusi.65 m (GeoEye 00) yang diperoleh dari GeoEye Foundation. Selanjutnya data pemanfaatan lahan tersebut dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis. Data pemanfaatan lahan dikelompokkan menjadi 6 kategori, yaitu : lahan kosong, pemukiman penduduk, fasilitas jalan, fasilitas wisata berupa penginapan, fasilitas publik dan pemerintahan dan fasilitas pelabuhan Wisatawan Data jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka diperoleh dari Paguyuban Pengelola Penginapan/Homestay dan Suku Dinas Pariwisata Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sepanjang tahun 0. Selanjutnya data wisatawan tersebut diverifikasi berdasarkan persepsi masyarakat, apakah data yang ada sesuai dengan kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka. Kemudian data tersebut dianalisis untuk memperoleh sebaran persentase wisatawan dan rata-rata kunjungannya per bulan selama tahun 0. Valuasi ekonomi wisatawan yang menggambarkan tingkat kepuasan wisatawan terhadap kondisi wisata di Pulau Pramuka dilakukan dengan menghitung Willingness to Pay (WTP) menggunakan metode Contingent Valuation (CV). Metode Contingent Valuation (CV) merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CV juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan sesorang untuk memperoleh suatu barang (willingness to pay/wtp) dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepas suatu barang (willingness to accept/ WTA) (FAO 000). CV digunakan untuk menghitung nilai kenyamanan atau estetika lingkungan dari suatu barang publik (public goods). Barang publik dapat didefinisikan sebagai suatu barang yang dapat dinikmati oleh satu individu tanpa mengurangi

58 6 proporsi individu lain untuk menikmati barang tersebut. Oleh karena itu, keinginan untuk membayar satu individu seperti yang diperoleh dari kuesioner survei dapat diagregasi menjadi nilai keseluruhan populasi (Barton 994), dimana harus dilakukan kehati-hatian didalam mewawancarai seorang responden dengan memberikan selang nilai yang lebih besar agar dapat diperoleh contoh yang lebih representatif. Survei WTP menggunakan kuesioner terhadap responen wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka. Jumlah responden yang dibutuhkan didalam pengisian kuesioner adalah sebesar 5% dari jumlah wisatawan pada minggu ke- bulan Pebruari 0 seperti pada persamaan berikut :. () n = jumlah responden wisatawan Estimasi nilai WTP dilakukan dengan menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat perhargaan responden terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkannya. WTP dari responden diasumsikan dipengaruhi oleh kualitas penginapan (FQ), kualitas terumbu karang (CORAL_T), kualitas perairan (WQ) dan pendapatan (I). Menurut Khorshiddoust (005), terdapat hubungan antara WTP dengan karakteristik responden (parameter) dimana WTP merupakan variabel tidak bebas dan parameter merupakan variabel bebas sehingga terdapat hubungan linier sebagai berikut: WTP = f(fq, CORAL_T,WQ, I)... ()... (3) = WTP dugaan; b 0 = konstanta; b, b, b 3 = koefisien regresi; x = variabel FQ (kualitas fasilitas penginapan); x = variabel CORAL_T (kualitas terumbu karang); x 3 = variabel WQ (kualitas perairan); x 3 = variabel I (pendapatan) Variabel FQ merupakan penilaian wisatawan terhadap kualitas fasilitas penginapan di Pulau Pramuka dimana nilainya berkisar antara 0% (buruk) hingga

59 7 00% (sangat baik). Variabel CORAL_T merupakan penilaian wisatawan terhadap kondisi terumbu karang yang nilainya berkisar antara 0% (rusak) hingga 00% (sangat baik). Variabel WQ merupakan penilaian wisatawan terhadap kualitas perairan di Pulau Pramuka yang nilainya berkisar antara 0% (tercemar) hingga 00% (sangat baik) Penduduk Data penduduk Pulau Pramuka selama tahun 0 diperoleh dari RW 4 dan RW 5 Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dimana data tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan masing-masing RT setempat. Selain itu juga diperoleh data jumlah penduduk Keluruhan Pulau Panggang dari Kelurahan Pulau Panggang sepanjang tahun 0. Data-data penduduk tersebut selanjutnya dianalisis pertambahan dan pengurangan populasi penduduk Pulau Pramuka yaitu dengan menghitung tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat pertambahan penduduk yang datang dan menetap, tingkat kematian dan tingkat pengurangan penduduk yang meninggalkan Pulau Pramuka Tutupan karang dan alga Data tutupan karang hidup dan alga pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh menggunakan metode Rapid Ecological Assessment (REA) yaitu foto kuadrat menggunakan kamera digital bawah air dan perangkat lunak untuk analisis fotografik menggunakan Coral Point Count with Excel extension (CPCe) yang dikembangkan oleh National Coral Reef Institute (NCRI) (Preskitt et al. 004; Kohler & Gill 005). CPCe merupakan perangkat lunak berbasis sistem operasi Microsoft Windows didalam menentukan tutupan karang atau organisme bentik lainnya menggunakan foto transek. Pengguna mengidentifikasi titik-titik yang ada di dalam foto transek yang kemudian tutupan organisme bentik dihitung secara statistik dan hasilnya berupa spreadsheet Microsoft Excel secara otomatis (Kohler & Gill 005). Pengambilan data tutupan karang hidup dan alga dilakukan pada kedalaman 3 m, 5 m dan 0 pada masing-masing stasiun pengamatan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran m x m sepanjang 50 m, sehingga dalam stasiun

60 8 pengamatan akan diperoleh ± 3 x 50 transek foto kuadrat (Gambar 4). Selanjutnya pengolahan dan analisis data foto kuadrat dilakukan menggunakan perangkat lunak CPCe v4.0. yang telah dimodifikasi menggunakan acuan kategori tutupan biota bentik seperti pada English et al. (997). 50 m m m Gambar 4. Metode pengambilan data tutupan karang dan alga menggunakan foto kuadrat (modifikasi dari Preskitt et al. 004; Kohler & Gill 005; English et al.997) Perikanan yang Merusak Kegiatan perikanan yang merusak seperti perikanan muroami, penggunaan sianida dan bom, jangkar kapal serta kegiatan snorkeling dan menyelam yang dilakukan oleh wisatawa dan sampah yang masih berlangsung di sekitar perairan Pulau Pramuka dapat secara langsung mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Besarnya atau persentase dampak dari tiap-tiap kegiatan perikanan serta aktifitas wisata terhadap penurunan kualitas terumbu karang dihitung berdasarkan persepsi masyarakat Pulau Pramuka. Data persentase dampak tersebut dilakukan melalui kuesioner terhadap 0 orang masyarakat Pulau Pramuka.

61 Parameter Lingkungan Perairan Sedimen Pengumpulan sampel sedimen dilakukan dengan mengkoleksi sedimen yang terperangkap dalam perangkap sedimen (sediment trap) yang dipasang selama 30 hari pada kedalaman 3-5 m di setiap stasiun pengamatan (Gambar 5). Sampel sedimen tersebut selanjutnya dianalisis di Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Selanjutnya perhitungan laju sedimentasi (mg/m /bulan) menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Rogers et.al. (994) sebagai berikut : dimana r = jari-jari perangkap sedimen (cm) dan n = jumlah paralon perangkap sedimen (3 unit).. Gambar 5. Pengambilan sampel sedimen menggunakan perangkap sedimen BOD BOD (Biochemical Oxygen Demand) merupakan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (termasuk proses respirasi pada keadaan aerob) sehingga BOD dapat menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh mikroorganisme yang terjadi di perairan. BOD disebut juga Biological Oxygen Demand yang menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh mikroorgansme yang

62 30 terjadi di perairan dimana proses yang terjadi tidak hanya proses biologi oleh mikroorganisme tetapi juga proses penguraian secara kimia (Hariyadi et al. 000). Penentuan BOD dilakukan dengan cara menghitung kadar oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang terlarut di perairan dalam waktu 5 hari, yang merupakan selisih kadar oksigen pada hari ke- dengan hari ke-5. Metode ini menggunakan botol terang dan botol gelap. Botol terang langsung dilakukan kadar oksigen terlarutnya sedangkan botol gelap disimpan dalam BOD inkubator pada suhu 0 o C selama 5 hari dimana merupakan suhu dan waktu yang standar dalam penentuan BOD karena dianggap pada temperatur tersebut proses dekomposisi berjalan optimum dan sekitar 75 % bahan organik telah terdekomposisi. Pengambilan sampel BOD dilakukan di sekitar terumbu karang, sekitar pantai dan pembuangan limbah domestik di Pulau Pramuka pada bulan Mei 0 yang berjumlah 5 stasiun pengamatan. Selanjutnya sampel BOD dianalisis di Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Derajat keasaman (ph), Suhu, Salinitas, DO, Nitrat dan Fosfat Parameter derajat keasaman (ph), suhu, salinitas, DO, nitrat dan fosfat diukur pada setiap stasiun pengamatan terumbu karang perairan Pulau Pramuka. Alat pengukur DO meter digunakan untuk mengukur parameter ph, suhu, salinitas dan DO secara langsung di setiap stasiun pengamatan. Parameter nitrat dan fosfat diukur dengan dilakukan pengambilan sampel pada setiap stasiun pengamatan dan kemudian dianalisis di Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Menurut Tomascik (997) kondisi derajat keasaman yang cocok bagi pertumbuhan karang pada kisaran 8, 8,5. Derajat keasaman menunjukkan aktivitas ion H + dalam air. Apabila suatu perairan laut mendapatkan gangguan maka ion bikarbonat dalam air laut akan membentuk suatu larutan penyangga yang mampu menetralisir ion-ion yang masuk sehingga derajat keasaman tetap stabil (Gibson et al. 005).

63 3 Karang hermatipik tumbuh dan berkembang dengan subur antara suhu 5 o C sampai 9 o C. Secara umum di alam fluktuasi suhu tidak sempit dengan suhu terendah untuk organisme ini sebagian besar hidup di atas suhu 8 o C dan suhu tertinggi 3 o C (Thamrin 006). Salinitas mematikan seluruh jenis karang terjadi di atas 48. Salinitas terendah dimana karang masih mentolelir sekitar 7 namun ada kondisi pada salinitas mendekati 0 masih ditemukan (Thamrin 006). Organisme karang hidup dengan sangat baik pada salinitas 35 atau sama dengan salinitas rata-rata lautan (samudra). Nilai salinitas optimum untuk pertumbuhan karang yaitu 34 sampai 36 (Supriharyono 000). Menurut Romimohtarto dan Juwana (00), keadaan lingkungan disenangi pertumbuhan karang meliputi salinitas diatas 30 tetapi di bawah 35. Oksigen merupakan salah satu gas terlarut di perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan tergantung suhu,salinitas, turbulensi air, dan tekanan. Perairan diperuntukkan bagi kepentingan perikanan memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l menimbulkan efek kurang menguntungkan bagi organisme akuatik (Effendi 003) Curah Hujan Data curah hujan di Pulau Pramuka diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat. Data tersebut diperoleh dari Stasiun Klimatologi dan Geofisikan Tanjung Priok, Jakarta, berupa data curah hujan (mm) tiap bulan selama 5 tahun yaitu sepanjang tahun 997 hingga 0. Selanjutnya data tersebut dianalisis untuk melihat persentase curah hujan bulanan selama setahun. 3.4 Skenario Pengelolaan Terumbu Karang Berdasarkan Chang et al. (008) maka skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka terdiri dari 5 skenario pengelolaan. Skenario pengelolaan tersebut antara lain skenario tanpa pengelolaan, skenario pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang, skenario pengelolaan dengan biaya masuk kawasan konservasi, skenario pengolahan limbah dan skenario pengelolaan terpadu, yaitu sebagai berikut:

64 3. Skenario A, yaitu tanpa adanya pengelolaan, baik pengelolaan terhadap sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi;. Skenario B, yaitu hanya dilakukan pengelolaan terhadap faktor-faktor yang merusak terumbu karang seperti perikanan yang merusak, kegiatan wisata snorkeling dan menyelam yang ramah lingkungan, pengelolaan sampah dan pelarangan perikanan muroami (pengelolaan sub-model biologi); 3. Skenario C, yaitu hanya dilakukan pengelolaan terhadap biaya masuk ke kawasan konservasi Pulau Pramuka bagi wisatawan (pengelolaan submodel sosial-ekonomi); 4. Skenario D, yaitu hanya dilakukan pengelolaan terhadap air limbah yang dibuang langsung ke perairan (pengelolaan sub-model lingkungan perairan); 5. Skenario E, yaitu pengelolaan terpadu yang meliputi pengelolaan submodel biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi. Selanjutnya dilakukan analisis trade-off melalui skoring untuk memperoleh skenario yang memiliki nilai tertinggi. Skoring dilakukan menggunakan persamaan benefit indicators dan cost indicator (Brown et al. 00; Nardo et al. 005) seperti pada persamaan berikut : benefit indicators :... (5) cost indicators :..... (6) dimana : Xs = nilai skor; X = nilai kriteria; X max = nilai maksimum; X min = nilai minimum Setelah dilakukan skoring maka dilakukan pembobotan untuk masingmasing kriteria, dimana kriteria sub-model biologi sebesar 40%, kriteria submodel lingkungan perairan 30% dan kriteria sub-model sosial ekonomi 30%. Skenario yang dipilih adalah skenario yang memiliki nilai akhir tertinggi.

65 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Hasil 4.. Sub-model Biologi 4... Analisis Tutupan Karang dan Alga Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan photoquadrat dan CPECe maka tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada Stasiun 3 sebesar 7.3% dan terendah di Stasiun sebesar 4.66%. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 04 tahun 00 tentang Kriteri Baku Kerusakan Terumbu Karang, maka hanya pada Stasiun 3 kondisi tutupan karang hidupnya masuk kedalam kategori rusak sedang, sedangkan stasiun lainnya masuk kedalam kategori rusak buruk. Tabel. Hasil analisis persentase tutupan karang hidup dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Stasiun pengamatan No. Kategori % Karang hidup 0.99* 4.66* 7.3**.66* 3.60*.77* Karang mati Alga Pasir Biota lainnya Sampah Total Jumlah transek kuadrat Sumber : Data hasil pengamatan Keterangan : * : kategori rusak buruk; ** : kategori rusak sedang (Kepmen LH No. 04 tahun 00 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang) Tutupan alga menunjukkan persentase yang tinggi pada hampir setiap stasiun pengamatan, kecuali pada Stasiun dimana tutupan karang mati sangat mendominasi. Tutupan alga tertinggi terdapat pada Stasiun 5 sebesar 74.95% dan terendah pada Stasiun Stasiun sebesar 3.57%. Tutupan karang mati terbesar ditemukan pada Stasiun sebesar 76.4% dan Stasiun sebesar 44.33%. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan masyarakat setempat dimana Stasiun dan Stasiun merupakan lokasi perikanan

66 34 muroami yang masih berlangsung hingga saat ini sehingga karang mati yang ditemukan memiliki persentase yang besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Sampah laut dengan persentase tertinggi ditemukan pada Stasiun 4 sebesar 0.6%, Stasiun dan Stasiun 3 sebesar 0.0%. Sampah laut sebagian besar berupa sampah plastik yang diduga selain berasal dari Pulau Pramuka juga berasal dari tempat lainnya. Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa tutupan karang hidup lebih kecil dibandingkan tutupan alga pada sebagian besar stasiun. Secara keseluruhan tutupan karang hidup sebesar.77% sedangkan tutupan alga jauh lebih besar yaitu sebesar 40.94%. Tutupan karang mati juga menunjukkan persentase yang lebih tinggi dari tutupan karang hidup yaitu sebesar 3.39% (Gambar 6). Gambar 6. Persentase tutupan karang hidup, alga, karang mati, pasir dan biota lainnya di perairan Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Berdasarkan peta sebaran tutupan karang, alga serta organisme biotik dan abiotik lainnya (Gambar 7) dapat dapat dilihat masing-masing stasiun penelitian memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik yang berbeda tersebut disebabkan oleh kondisi geografis yang berbeda-beda sehingga akan mengalami pengaruh dari alam berupa arus, angin dan gelombang yang berbeda pula sepanjang tahun.

67 35 Kategori : karang hidup karang mati alga pasir biota lain sampah Gambar 7. Hasil pengamatan tutupan karang hidup dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Analisis Sedimentasi Berdasarkan pengamatan sedimentasi selama 30 hari pada bulan Mei 0 maka diperoleh hasil analisis sedimen dapat dilihat pada Tabel. Laju sedimentasi di perairan Pulau Pramuka di pengaruhi musim barat dan musim

68 36 timur sepanjang tahun. Pada musim barat, arus berasal dari timur pada pagi hari sedangkan pada siang hingga sore hari arus berasal dari selatan sehingga stasiun, stasiun dan stasiun 4 akan mengalami sedimentasi yang rendah dan pada stasiun 3 dan stasiun 5 akan mengalami sedimentasi yang tinggi. Pada musim timur, arus berasal dari barat pada pagi hari dan pada siang hingga sore hari arus berasal dari tenggara, sehingga pada stasiun 3 dan stasiun 5 sedimentasi relatif lebih rendah, sedangkan pada stasiun, stasiun dan stasiun 4 sedimentasi relatif lebih tinggi. Tabel. Laju sedimentasi di perairan Pulau Pramuka pada bulan Mei 0. No. Stasiun pengamatan Bobot (gr) Laju sedimentasi (gr/m /bulan) Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Rerata Sumber : data hasil olahan (0) Analisis Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Untuk mendapatkan faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di sekitar perairan Pulau Pramuka berdasarkan persepsi masyarakat setempat maka dilakukan survei terhadap 0 orang yang terdiri dari nelayan 7 orang (35%), Pegawai Negeri Sipil 5 orang (5%), operator wisata 5 orang (5%), wirausaha orang (0%) dan Pengurus RT orang (5%), dimana dianggap memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka serta mengamatinya dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil kuesioner maka terdapat 9 faktor penyebab kerusakan terumbu karang seperti terlihat pada Tabel 3 dan Lampiran. Berdasarkan Tabel 3 maka menurut masyarakat faktor perikanan yang bersifat merusak merupakan faktor terbesar penyebab kerusakan karang. Menurut masyarakat Pulau Pramuka bahwa kegiatan pemboman dan sianida dulu pernah berlangsung di perairan Pulau Pramuka, dan hingga kini masih ditemukan kegiatan pemboman ikan meskipun secara sembunyi-sembunyi. Selanjutnya sampak yang berasal dar luar Pulau Pramuka sebagai faktor penyebab kerusakan terumbu karang terbesar selanjutnya, dimana pada beberapa tahun belakangan ini sangat sering dijumpai sampah di perairan yang diduga berasal dari daratan.

69 37 Tabel 3. Persentase faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. No. Faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Pramuka % Perikanan muroami.90 Sampah yang berasal dari Pulau Pramuka Sampah yang berasal dari luar Pulau Pramuka Limbah dari pemukiman penduduk yang langsung dibuang ke perairan laut Jangkar kapal Kegiatan wisatawan (menyelam dan snorkeling) Kegiatan perikanan lainnya (ikan hias, mancing, dan lainnya) Perikanan yang bersifat merusak (bom, sianida, dan lainnya) Pengaruh sedimentasi 6.75 Jumlah total Perikanan muroami merupakan faktor terbesar penyebab kerusakan terumbu karang selanjutnya. Kegiatan perikanan ini masih berlangsung hingga saat ini meskipun jumlah armada yang ada sudah sangat berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu itu limbah domestik yang langsung dibuang ke perairan juga menyebabkan kerusakan terumbu karang, dimana menurut masyarakat bahwa sebesar 3% limbah domestik langsung dibuang ke perairan sedangkan 68% sisanya diendapkan di daratan pulau. Jangkar kapal terutama milik nelayan juga menyebabkan kerusakan terumbu karang serta sampah yang berasal dari Pulau Pramuka yang dibuang langsung ke perairan. Kegiatan wisatawan berupa selam dan snorkeling, kegiatan perikanan tradisional seperti memancing dan ikan hias serta sedimentasi juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka. Berdasarkan pengamatan dan wawancara terhadap masyarakat maka kegiatan perikanan yang merusak yaitu penggunaan bom dan sianida hanya dilakukan di sekitar stasiun 4 dan stasiun 5. Hal ini disebabkan karena lokasi di sekitar stasiun tersebut relatif kurang adanya pengawasan baik dari masyarakat maupun pihak berwenang seperti Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan pemerintah daerah setempat. Kegiatan snorkeling dan menyelam yang berpotensi merusak terumbu karang terjadi pada stasiun, stasiun, stasiun 4 dan stasiun 5, sedangkan pada stasiun 3 hampir jarang ditemui adanya kegiatan wisata. Faktorfaktor lainnya seperti sampah, jangkar, pengaruh sedimentasi dan buangan limbah hampir terjadi secara merata pada setiap stasiun. Sebaran faktor-faktor yang mengancam ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Tabel 4.

70 38 Tabel 4. Sebaran faktor-faktor yang mengancam ekosistem terumbu karang pada setiap stasiun. No. Faktor yang mengancam Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Satuan terumbu karang Jangkar kapal % Perikanan yang merusak % Perikanan lain % Selam dan snorkeling % Sampah dari luar % Sampah dari dalam % Muroami % Laju sedimentasi gr/m /bln Tutupan karang hidup % Tutupan alga % Sumber : data hasil olahan (0) Sub-model biologi dikembangkan berdasarkan model Chang et al. (008) yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi yang ada di Pulau Pramuka. Pemodelan sub-model biologi dilakukan pada masing-masing stasiun pengamatan terumbu karang karena masing-masing stasiun memiliki karakteristik terumbu karang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut antara lain tutupan karang hidup, tutupan alga, tuutpan karang mati dan substrat pasir. Stasiun lebih didominasi oleh karang mati dan alga. Stasiun didominasi oleh karang mati dan substrat pasir. Tingginya persentase tutupan karang mati pada stasiun dan stasiun 3 diduga karena merupakan daerah operasi kegiatan perikanan muroami yang cenderung bersifat merusak terumbu karang secara langsung. Rendahnya tutupan alga pada stasiun diduga disebabkan tingginya kelimpahan biota bulu babi (sea urchin) di sekitarnya yang merupakan predator bagi alga. Stasiun 3 didominasi oleh alga dan karang hidup, stasiun 4 didominasi oleh alga, subtrat pasir, karang hidup dan karang mati serta stasiun 5 didominasi oleh alga dan karang hidup. Selain itu faktor-faktor yang mengancam terumbu karang juga berbeda-beda pada setiap stasiun (Tabel 4). Sub-model biologi pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 8 hingga Gambar dan keterangan variabelvariabel model tersebut dapat dilihat pada Lampiran 0 hingga Lampiran 6.

71 39 Sub-model Biologi Stasiun DEST FISH DEST FISHING DEST FISHING FACTOR ~ PHY D DIVING OTHER FISHING ANCHOR CORAL T PERCENT DIVING DEST DIVING C COLONY CORAL C DISPLACE DEST DIVING FACTOR WPC ~ DOM WASTE EC CC Limbah MD OUTER MD INNERMUROAMI CA PT CA PT A SS CA EA ~ musim SS SS CE TOTAL OPEN ~ FISH P ALGA SS AA SS AE ~ FISH C ~ FISH P A COLONY Gambar 8. Sub-model biologi stasiun (modifikasi dari Chang et al. 008). Sub-model Biologi Stasiun DEST FISH DIVING DEST FISHING DEST FISHING FACTOR OTHER FISHING ANCHOR ~ CORAL T PHY D DEST DIVING PERCENT DIVING C COLONY CORAL C DISPLACE ~ DEST DIVING FACTOR DOM WASTE EC CC Limbah MD OUTER MD INNER CA PT CA MUROAMI SS CA EA PT A SS CE ~ ~ musim SS SS AE OPEN FISH P ALGA SS AA TOTAL A COLONY Gambar 9. Sub-model biologi stasiun (modifikasi dari Chang et al. 008).

72 40 Sub-model Biologi Stasiun 3 DEST FISH 3 DEST FISHING 3 DEST FISHING FACTOR ~ DIVING OTHER FISHING ANCHOR CORAL T 3 PHY D PERCENT DIVING 3 DEST DIVING FACTOR DEST DIVING 3 ~ DOM WASTE C COLONY 3 EC 3 CC 3 CORAL 3 C DISPLACE 3 Limbah 3 ~ musim MD OUTER MD INNER SS CA SS CE 3 SS 3 MUROAMI OPEN 3 ~ FISH P EA 3 CA 3 PT CA 3 ALGA 3 PT A SS AA SS AE 3 TOTAL 3 A COLONY 3 Gambar 0. Sub-model biologi stasiun 3 (modifikasi dari Chang et al. 008). Sub-model Biologi Stasiun 4 DEST FISH 4 DEST FISHING 4 DEST FISHING FACTOR ~ DIVING OTHER FISHING ANCHOR CORAL T 4 PHY D DEST DIVING 4 C COLONY 4 CORAL 4 C DISPLACE 4 PERCENT DIVING 4 DEST DIVING FACTOR ~ DOM WASTE EC 4 CC 4 Limbah 4 MD OUTER MD INNER CA 4 PT CA 4 MUROAMI SS CA EA 4 PT A ~ musim SS 4 SS CE 4 OPEN 4 ~ FISH P ALGA 4 SS AE 4 TOTAL 4 A COLONY 4 SS AA Gambar. Sub-model biologi stasiun 4 (modifikasi dari Chang et al. 008).

73 4 Sub-model Biologi Stasiun 5 DEST FISH 5 DEST FISHING 5 DEST FISHING FACTOR ~ PHY D DIVING OTHER FISHING ANCHOR CORAL T 5 DEST DIVING 5 PERCENT DIVING 5 ~ DOM WASTE DEST DIVING FACTOR EC 5 C COLONY 5 CC 5 CORAL 5 C DISPLACE 5 Limbah 5 MD OUTER MD INNER CA 5 PT CA 5 MUROAMI PT A ~ musim SS CA SS 5 SS CE 5 OPEN 5 ~ FISH P EA 5 ALGA 5 SS AA SS AE 5 TOTAL 5 A COLONY 5 Gambar. Sub-model biologi stasiun 5 (modifikasi dari Chang et al. 008). Pengaruh musim barat dan musim timur terhadap laju sedimentasi dinyatakan kedalam variabel musim_ dan variabel musim_. Persentase sedimentasi pada stasiun, stasiun dan stasiun 4 dipengaruhi oleh variabel musim_ dan terlihat pada Gambar 3, sedangkan persentase sedimentasi pada stasiun 3 dan stasiun 5 dipengaruhi oleh variabel musim_ dan terlihat pada Gambar 3. Gambar 3. Variabel grafik musim_ yang menyatakan persentase sedimentasi pada stasiun, stasiun dan stasiun 4 pada bulan Mei-April.

74 4 Gambar 4. Variabel grafik musim_ yang menyatakan persentase sedimentasi pada stasiun 3 dan stasiun 5 pada bulan Mei-April. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan maka jumlah nelayan ikan karang di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka rerata tiap bulan sekitar 30 orang dimana masing-masing nelayan rerata dapat menangkap ikan maksimum sebanyak 35 kg setiap hari maka rerata hasil tangkapan total setiap bulan adalah sebanyak kg. Daerah penangkapan ikan karang adalah di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Karang Lebar dan Karang Congkak. Hasil tangkapan yang hanya berasal dari Pulau Pramuka diperkirakan sebanyak 5% dari total tangkapan. Hasil tangkapan bulanan sangat dipengaruhi musim dimana pada musim barat hasil tangkapan akan lebih tinggi dibandingkan dengan musim timur. Menurut nelayan, hal ini disebabkan pada musim timur umumnya surut terendah terjadi pada pagi hingga siang hari sehingga nelayan tidak dapat memaksimalkan upaya tangkapnya, sedangkan pada musim barat umumnya surut terendah terjadi pada sore hingga malam hari sehingga pada pagi hingga siang hari nelayan dapat memaksimalkan upaya tangkapnya. Variabel yang menyatakan hasil tangkapan ikan karang di Pulau Pramuka dinyatakan sebagai FISH_C dan daerah penangkapan tersebar merata di perairan Pulau Pramuka. Hasil tangkapan ikan karang di perairan Pulau Pramuka seperti terlihat pada Tabel 5 dan variabel FISH dapat dilihat pada Gambar 4.

75 43 Tabel 5. Hasil tangkapan ikan karang di Pulau Pramuka. Bulan Persentase tangkapan (%) Hasil tangkapan (kg) Sumber : data hasil olahan wawancara dengan nelayan Pulau Pramuka (0) Gambar 5. Variabel grafik FISH_C yang menyatakan hasil tangkapan ikan karang pada bulan Mei-April di perairan Pulau Pramuka. Variabel CORAL_T pada setiap stasiun menyatakan penilaian wisatawan terhadap kondisi kualitas terumbu karang. Penilaian kualitas terumbu karang bersifat linier dengan kondisi terumbu karang aktual dimana semakin baik kondisi terumbu karang maka semakin baik juga penilaian dari wisatawan. Variabel grafik CORAL_T_ untuk stasiun berdasarkan kondisi terumbu karang pada stasiun seperti terlihat pada Gambar 5.

76 44 Gambar 6. Variabel grafik CORAL_T_ pada stasiun. 4.. Sub-model Lingkungan Perairan Parameter lingkungan yang digunakan didalam model ini antara lain laju sedimentasi, BOD dan curah hujan, sedangkan parameter pendukung lainnya antara lain suhu perairan, salinitas, derajat keasaman (ph), nitrat (NO 3 -N) dan fosfat (PO 4 -P). Pengamatan parameter lingkungan tersebut dilakukan pada Stasiun hingga Stasiun 5 dan Stasiun A hingga Stasiun J (Gambar 7) Analisis Curah Hujan Data curah hujan yang digunakan didalam penelitian berasal dari stasiun klimatologi terdekat dengan Pulau Pramuka yaitu Stasiun Maritim Meteorologi dan Geofisika Tanjung Priok (Lampiran 9). Data yang digunakan merupakan rerata curah hujan bulanan tahun 997 hingga 0 (80 bulan atau 5 tahun) dan grafik curah hujan bulanan dapat dilihat pada Gambar 6. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari, Pebruari dan Desember sedangkan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Pada bulan Maret hingga Juni terlihat curah hujan berkurang yang merupakan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, sedangkan bulan September hingga Nopember curah hujan bertambah yang merupakan peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.

77 45 Gambar 7. Data pengamatan curah hujan (mm) rerata bulanan pada Stasiun Maritim Meteorologi dan Geofisika Tanjung Priok tahun Analisis Parameter Lingkungan Data parameter lingkungan yang diamati antara lain : suhu, salinitas, derajat keasaman (ph), oksigen terlarut (DO), BOD 5, fosfat (PO4-P) dan nitrat (NO3-N). Pengambilan sampel dilakukan pada Stasiun, Stasiun, Stasiun 3, Stasiun 4 dan Stasiun 5 yaitu di sekitar terumbu karang seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Parameter lingkungan sekitar terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Stasiun pengamatan Parameter Satuan Baku mutu (a) Suhu Curah hujan (mm) Jan Peb Mar April Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Rerata Bulan o C (b) Derajat keasaman (ph) (c) Salinitas (d) Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 BOD 5 mg/l Fosfat (PO 4 -P) mg/l Nitrat (NO 3 -N) mg/l Sumber : Data hasil pengamatan Keterangan : (a) Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Kepmen LH No. 5 tahun 004 (b) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < o C dari suhu alami (c) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0, satuan ph (d) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

78 46 Berdasarkan data hasil analisis parameter lingkungan maka parameter suhu, ph, salinitas, DO dan BOD 5 masih berada diambang baku mutu sesuai dengan Kepmen LH No. 5 tahun 004, sedangkan nilai parameter fosfat dan nitrat untuk semua lokasi stasiun pengamatan lebih tinggi dari baku mutu. Gambar 8. Lokasi pengambilan sampel parameter lingkungan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Nilai parameter fosfat untuk semua stasiun pengamatan lebih besar dibandingkan baku mutu (0.005 mg/l). Nilai parameter fosfat tertinggi ditemukan pada Stasiun 4 (0.095 mg/l) dan terendah pada Stasiun 5 (0.064 mg/l). Demikian juga halnya dengan nilai parameter nitrat, dimana nilainya lebih tinggi

79 47 dari nilai baku mutu (0.008 mg/l). Nilai parameter nitrat tertinggi ditemukan pada Stasiun (0.539 mg/l) dan terendah pada Stasiun 5 (0.035 mg/l). Tingginya nilai kandungan nitrat dan fosfat pada perairan terumbu karang di Pulau Pramuka diduga karena pengaruh buangan limbah dari limbah domestik. Kandungan nitrat berlebihan di suatu perairan diduga akan mempengaruhi reproduksi karang (Koop et al. 00). Kandungan fosfor yang berlebihan disertai dengan keberadaan nitrogen akan memacu pertumbuhan alga sehingga terbentuk lapisan yang dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari (Effendi 003), sedangkan menurut Koop (00) menyatakan bahwa penambahan kadar nutrient antara nitrat dan fosfat meningkatkan sitasan karang. Sampel parameter BOD 5 diambil pada 5 titik yang terdiri dari 5 titik di sekitar terumbu karang (Stasiun, Stasiun, Stasiun 3, Stasiun 4 dan Stasiun 5), 6 titik di perairan pantai dekat buangan limbah domestik penduduk (Stasiun A, Stasiun C, Stasiun D, Stasiun E, Stasiun G dan Stasiun I) dan 4 titik di lokasi buangan limbah domestik penduduk (Stasiun B, Stasiun F, Stasiun H dan Stasiun J) seperti terlihat pada Tabel 7. Nilai BOD di perairan yang tertinggi ditemukan di sekitar pelabuhan perikanan sebesar 8.95 mg/l. Tingginya nilai BOD tersebut diduga berasal dari limbah aktifitas pelabuhan perikanan. Nilai BOD terendah di sekitar perairan pantai ditemukan pada Stasiun C dimana hanya ditemukan saluran buangan limbah yang langsung ke perairan, sedangkan untuk perairan pantai lainnya (Stasiun D, Stasiun E, Stasiun G dan Stasiun I) nilai BOD relatif lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan banyaknya saluran buangan limbah domestik yang langsung dibuang ke perairan. Nilai BOD di perairan pantai Pulau Pramuka secara keseluruhan masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu kurang dari 0 mg/l untuk biota laut. Nilai BOD dari limbah domestik tertinggi ditemukan pada Stasiun B yaitu terletak di sebuah fasilitas penginapan, sedangkan nilai BOD terendah ditemukan di Stasiun F sebesar.35 mg/l. Nilai BOD yang berasal dari limbah domestik di Pulau Pramuka masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup yaitu kurang dari 00 mg/l.

80 48 Tabel 7. Hasil pengamatan parameter BOD 5 di Pulau Pramuka, TN. Kepulauan Seribu. Stasiun pengamatan BOD 5 (mg/l) Keterangan Stasiun A 8.95 * Pelabuhan perikanan Stasiun B 8.50 ** Lokasi buangan limbah penginapan Stasiun C.65 * Perairan pantai di sekitar buangan limbah domestik Stasiun D 5.45 * Perairan pantai di sekitar buangan limbah domestik Stasiun E.65 * Perairan pantai di sekitar buangan limbah domestik Stasiun F.35 ** Lokasi buangan limbah rumah tangga Stasiun G 7.05 * Perairan pantai di sekitar buangan limbah domestik Stasiun H 5.30 ** Lokasi buangan limbah rumah tangga Stasiun I 6.95 * Perairan pantai di sekitar buangan limbah domestik Stasiun J.75 ** Lokasi buangan limbah penginapan Sumber : Data hasil pengamatan Keterangan : * Baku mutu parameter BOD 5 air laut maksimal 0 mg/l untuk untuk biota laut berdasarkan Kepmen LH No. 5 tahun 004 ** Baku mutu parameter BOD 5 maksimal 00 mg/l untuk untuk air limbah domestik berdasarkan Kepmen LH No. tahun 003 dan maksimal 75 mg/l untuk air limbah rumah tangga berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. tahun 005 Perhitungan nilai BOD inisial yang digunakan dalam model dihitung berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 6 seperti terlihat pada Lampiran 9. Rerata nilai BOD yang dihasilkan oleh setiap orang adalah sebesar 0.99 mg/l. BOD inisial merupakan penjumlahan dari BOD PP (BOD point source pollution) dan BODN PP (BOD non-point source pollution). Nilai BOD PP bulan Mei 0 diperoleh sebesar mg/l dan hanya sejumlah 3% yaitu mg/l yang dibuang langsung ke perairan. BOD NPP dihitung dari limbah pelabuhan pelabuhan, baik pelabuhan perikanan dan pelabuhan penyeberangan antar pulau dan penyeberangan dari Jakarta dan Pulau Pramuka. Berdasarkan hasil perhitungan maka BOD NPP yang dihasilkan bulan Mei 0 sejumlah 8.3 mg/l. BOD inisial total yang digunakan dalam model adalah sebesar mg/l. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap masyarakat maka rerata jumlah air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah sebesar liter/orang/hari dan jumlah air limbah yang dihasilkan adalah sebesar 4% dari jumlah air bersih yang digunakan. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/00 tentang pedoman penentuan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, perumahan dan permukiman dan pekerjaan umum maka air bersih minimal yang dibutuhkan untuk perumahan sebesar liter per

81 49 orang setiap hari. Pemenuhan kebutuhan air bersih di Pulau Pramuka sudah sesuai dengan kebutuhan minimal air bersih yang ditetapkan. Sub-model lingkungan perairan digunakan untuk menghitung jumlah limbah BOD yang dibuang langsung ke perairan, baik yang berasal dari limbah domestik (point source pollution) maupun dari kegiatan pelabuhan (non-point source pollution). Berdasarkan persepsi masyarakat maka sejumlah 3% air limbah domestik masyarakat (PPR), yang berupa limbah organik, dibuang langsung ke perairan dan sisanya sejumlah 68% diendapkan di sekitar pemukiman. Limbah BOD yang dihasilkan berasal dari buangan domestik masyarakat dan wisatawan (PP). Limbah yang berasal dari kegiatan pelabuhan (NPP) dipengaruhi oleh curah hujan (RPP) dan terbuang langsung ke perairan. Sub-model lingkungan perairan dapat dilihat pada Gambar 8 dan nilai variabel model dapat dilihat pada Lampiran 5. Sub-model Lingkungan Perairan TOURIST Penduduk PPR PP Limbah ~ INFLOW DISP RPP NP WPC Limbah ~ WQ NPP Limbah 3 Limbah 4 Limbah ~ WQ Limbah 5 ~ WQ 5 ~ WQ 4 ~ WQ 3 Gambar 9. Sub-model lingkungan perairan (modifikasi dari Chang et al. 008). Variabel pengolahan air limbah (WPC) merupakan upaya pengolahan air limbah sebelum dibuang langsung ke perairan. Kualitas perairan menurut valuasi wisatawan dihitung dalam variabel WQ yang akan mempengaruhi valuasi ekonomi wisatawan terhadap keseluruhan sumberdaya terumbu karang di Pulau

82 50 Pramuka. Diasumsikan limbah yang dibuang langsung ke perairan tersebar secara merata di seluruh perairan Pulau Pramuka (Limbah_, Limbah_, Limbah_3, Limbah_4 dan Limbah_5). Limbah yang dibuang langsung ke perairan diasumsikan menyebar merata di seluruh perairan Pulau Pramuka. Masing-masing stasiun akan mandapat beban /5 dari total limbah. Limbah yang dibuang pada masing-masing stasiun dihitung kualitas perairannya berdasarkan persepsi wisatawan menggunakan variabel WQ (Chang et al. 008) berupa grafik seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar 30. Grafik variabel WQ untuk menilai kualitas perairan berdasarkan persepsi wisatawan. Berdasarkan kuesioner terhadap wisatawan tentang kualitas perairan di Pulau Pramuka maka nilai rerata kualitas perairan adalah sebesar 53% dimana nilai tersebut setara dengan nilai kualitas air sebenarnya berdasarkan kandungan BOD perairan sebesar mg/l. Berdasarkan perhitungan tersebut maka grafik nilai kualitas perairan pada Gambar 9 disesuaikan dengan kondisi sebenarnya Sub-model Sosial Ekonomi Analisis Lahan Penggunaan lahan di Pulau Pramuka dianalisis menggunakan citra satelit GeoEye- dengan resolusi.65 m (GeoEye 00) yang diakuisisi pada tanggal 30 Juli 00. Penggunaan lahan dibagi menjadi 6 kategori, yaitu () lahan kosong, () pemukiman penduduk, (3) jalan umum, (4) penginapan, (5) fasilitas publik dan

83 5 pemerintah serta (6) pelabuhan. Pengecekan lapangan dilakukan secara langsung untuk menentukan kategori penggunaan lahan yang terlihat di dalam citra satelit. Selanjutnya dibuat poligon untuk setiap bangunan sesuai dengan kategori dan peta penggunaan lahan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 dan ArcGIS 9.3 serta dihitung luasan masing-masing poligon tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan maka penggunaan lahan di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 30. Peta penggunaan lahan di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Gambar 3. Lahan atau tanah kosong yang belum dimanfaatkan merupakan bagian yang terbesar yaitu seluas 5.87 hektar (6.77%). Penggunaan lahan untuk fasilitas publik dan pemerintah seluas 5.65 hektar (5.74%), pemukiman penduduk seluas 4.78 hektar (.8%), jalan umum seluas.76 hektar (.60%) dan pelabuhan, baik pelabuhan transportasi laut dan pelabuhan perikanan seluas.3 hektar (6.0%). Dari luas lahan kosong yang tersedia maka sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai fasilitas penginapan bagi wisatawan dan pemukiman penduduk setempat. Berdasarkan hasil analisis perhitungan pemanfaatan lahan untuk pemukiman penduduk maka rerata luas rumah di Pulau Pramuka sebesar 0.05 hektar (50 m ) dimana rerata jumlah penduduk setiap rumah berjumlah 4. orang. Satuan lahan di Pulau Pramuka adalah kapling dimana luas kapling adalah 0.08 hektar (80 m ). Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Pulau Pramuka maka luas rumah kapling dihuni 4 0 orang dengan rerata 7 orang setiap kapling rumah merupakan batasan maksimal untuk merasa nyaman, sehingga jumlah orang maksimal dalam hektar adalah sebanyak 388 orang (Lampiran 9). Berdasarkan persepsi masyarakat maka jumlah rumah yang dibangun setiap tahun adalah 4 unit rumah. Luas rata-rata setiap rumah adalah 50 m (0.05 hektar) sehingga dalam tahun dibangun rumah seluas 600 m (0.06 hektar). Laju pertumbuhan pemukiman penduduk setiap bulan adalah sebesar 0.06 hektar / bulan yaitu hektar/bulan (Lampiran 9).

84 5 Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 9 maka daya dukung penginapan bagi wisatawan adalah sebesar 833 orang/hektar, sedangkan daya dukung pemukiman masyarakat adalah sebesar 388 orang/hektar. Tabel 8. Hasil analisis pemanfaatan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu No. Kategori Luas Luas Persentase Jumlah (m ) (hektar) (%) (unit) Lahan kosong Pemukiman penduduk Fasilitas jalan Fasilitas penginapan Fasilitas publik dan pemerintahan Pelabuhan Total Sumber : Data hasil olahan (0) Gambar 3. Persentase penggunaan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Terdapat lokasi wisata snorkeling yang biasa dikunjungi wisatawan di Pulau Pramuka yaitu di bagian utara darmaga utara dan bagian selatan dari darmaga kabupaten. Lokasi selam yang biasa dikunjungi wisatawan di Pulau Pramuka adalah bagian timur Pulau Pramuka, yaitu terdapat wisata selam untuk melihat kapal karam. Lokasi selam lainnya adalah di dekat darmaga yang biasa digunakan bagi para wisatawan yang sedang mengambil sertifikasi selam (gambar 3). Pulau Pramuka merupakan salah satu pelabuhan transit dari kapal masyarakat tujuan Muara Angke Pulau Panggang dan menjadi tujuan akhir dari kapal cepat Kerapu milik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Selain itu

85 53 pelabuhan Pulau Pramuka juga merupakan salah satu tujuan dari angkutan kapal antara pulau dari Pulau Panggang Pulau Karya Pulau Pramuka (Gambar 3). Gambar 3. Peta penggunaan lahan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Analisis Penduduk Data jumlah penduduk Pulau Pramuka pada tahun 0 diperoleh dari masing-masing RT di RW 4 dan RW 5 Kelurahan Pulau Panggang di Pulau Pramuka yang dapat lihat pada Tabel 9. Penduduk berjenis kelamin laki-laki

86 54 berjumlah 58 orang (44.35%) dan perempuan berjumlah 79 orang (55.65%) dan total jumlah penduduk sejumlah 30 orang. Tabel 9. Data penduduk Pulau Pramuka tahun 0. No. RW Penduduk L P Jumlah Total Sumber : RW 4 dan RW 5 Kelurahan Pulau Panggang, Kab. Adm. Kepulauan Seribu 0 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 0 (Lampiran 0), maka dilakukan analisis pertumbuhan penduduk seperti dapat dilihat pada Tabel 0. Faktor pertambahan penduduk yaitu laju kelahiran sebesar.5% per bulan dan tidak ada pendatang yang tinggal di Pulau Pramuka. Faktor pengurangan penduduk yaitu laju kematian sebesar 0.34% per bulan dan laju orang yang meninggalkan pulau sebesar 0.07% per bulan. Tabel 0. Data pertumbuhan penduduk Kelurahan Pulau Panggang No. Kategori Persentase Pertambahan penduduk - kelahiran.5% per bulan - pendatang 0.00% per bulan Pengurangan penduduk - kematian 0.35% per bulan - meninggalkan pulau 0.07% per bulan Sumber : data olahan (0) Analisis Wisatawan Data jumlah wisatawan diperoleh dari Paguyuban Pengelola Penginapan/Homestay di Pulau Pramuka sepanjang tahun 0. Data jumlah wisatawan sepanjang tahun 0 tersebut diverifikasi dengan cara memberikan kuesioner kepada 0 orang masyarakat pemerhati kegiatan wisata dan kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka. Verifikasi data tersebut berupa pertanyaan apakah data kunjungan wisatawan per bulan sepanjang tahun 0 melebihi atau kurang dari data yang ada. Data kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka sepanjang tahun 0 dan hasil verifikasinya dapat dilihat pada Tabel dan Lampiran.

87 55 Data jumlah wisatawan tersebut digunakan untuk menentukan jumlah responden wisatawan (n) yang diperlukan didalam pengisian kuesioner. Sebanyak 5 % dari perkiraan jumlah wisatawan yang berkunjung pada minggu ke- bulan Pebruari 0 yaitu sekitar 00 orang seperti pada persamaan berikut : Tabel. Data kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka dan hasil verifikasi sepanjang tahun 0. Jumlah Verifikasi Jumlah No. Bulan sebelum Persentase (%) Jumlah hasil verifikasi* Lebih Kurang Lebih Kurang verifikasi** Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Rerata Sumber : * : Paguyuban Pengelola Penginapan/Homestay di Pulau Pramuka; ** : hasil olahan 8,000 7,000 7, 6,360 7,6 7,6 Wisatawan (orang) 6,000 5,000 4,000 3,000,000,434,379,953,953 3,486 3,303,569,59,774,384,398,393 4,763 4,76 3,9,976,855,734 5,456 5,93,000 - Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop Des Bulan Jumlah sebelum verifikasi Jumlah hasil verifikasi Gambar 33. Grafik kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka dan hasil verifikasi sepanjang tahun 0.

88 56 Berdasarkan hasil verifikasi pada Tabel dan Gambar 33 maka terjadi perbedaan jumlah kunjungan wisatawan setiap bulannya kecuali pada kunjungan wisatawan pada bulan Maret 0. Akan tetapi secara keseluruhan apabila dilihat rerata kunjungan wisatawan setiap bulan maka hanya dikoreksi sejumlah orang. perempuan 37% Laki-laki 63% belum bekerja 7% PNS 3% wiraswasta % pelajar 7% karyawan swasta 46% mahasiswa 6% (a) Jenis kelamin (b) Jenis pekerjaan tidak menjawa b 7% Depok 6% Tangeran g 6% Lainnya % D3 0% SMP 9% D S % % S3 % SMA/SM K/STM 33% Bogor 8% Bekasi 0% (c) Kota asal Jakarta 57% S % tidak menjawa b 4% (d) Tingkat pendidikan 3-40 thn 0% 4-50 thn 3% >50 thn % tidak menjawa b % < thn 3% > 5jt 6% tidak ada 3% < jt 34% 3-5 jt 3% -30 thn 53% (e) Usia - 3 jt 34% (f) Penghasilan Gambar 34. Hasil analisis kuesioner wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu.

89 57 Kunjungan wisatawan tertinggi ke Pulau Pramuka terjadi pada awal tahun, pertengan tahun dan akhir tahun. Hal ini disebabkan karena pada bulan-bulan tersebut merupakan saat puncak liburan sehingga masyarakat lebih banyak dapat meluangkan waktu berwisata ke Pulau Pramuka. Berdasarkan survei kuesioner terhadap 00 orang wisatawan yang dilakukan pada bulan Pebruari 0 (Lampiran 3 dan Lampiran 4) maka diperoleh persentase kunjungan wisatawan berdasarkan jenis kelamin, jenis pekerjaan, kota asal, tingkat pendidikan, usia dan penghasilan seperti terlihat pada Gambar 33. Sejumlah 63% pria yang berwisata ke Pulau Pramuka, lebih besar dibandingkan wanita sebesar 37%. Berdasarkan jenis pekerjaan, maka persentase wisatawan terbesar adalah berprofesi sebagai karyawan swasta sebesar 46% kemudian diikuti mahasiswa sebesar 6% dan pelajar 7%. Sebanyak 57% wisatawan berasal dari Jakarta serta diikuti kota-kota lainnya seperti Bekasi, Bogor, Depok dan Tangerang. Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka berdasarkan tingkat pendidikan maka tingkat pendidikan SMU dan sederajat sebesar 33%, tidak menjawab 4%, S sebesar % serta diikuti dengan tingkat pendidikan D3, SMP, D, S dan S3. Sejumlah 53% wisatawan memiliki kisaran usia antara 30 tahun, sebesar 3% dengan usia dibawah tahun, sebesar 0% berusia antara 3-40 tahun, sebesar 3% berusia antara 4-50 tahun dan % berusia lebih dari 50 tahun serta sisanya tidak menjawab. Berdasarkan penghasilan atau pendapatan per bulan maka wisatawan berpenghasilan berkisar antara Rp ,- - Rp ,- sebesar 34% sama dengan dengan wisatawan berpenghasilan kurang dari Rp ,-. Demikian juga halnya wisatawan berpenghasilan Rp ,- - Rp ,- sebesar 3% sama dengan wisatawan yang belum memiliki penghasilan. Sebanyak 6% wisatawan memiliki penghasilan lebih dari Rp ,- per bulan. Survei kegiatan wisata menyelam (diving) dan snorkeling dari wisatawan dilakukan pada bulan Mei 0, September 0 dan Pebruari 0 dimana survei dilakukan terhadap 00 orang wisatawan pada setiap survei. Berdasarkan hasil survei tersebut maka sejumlah rerata 8% dari wisatawan yang hanya

90 58 melakukan kegiatan diving dan snorkeling di Pulau Pramuka seperti terlihat pada Tabel. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menghitung jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan diving dan snorkeling (variabel DIVING) didalam sub-model sosial ekonomi. Tabel. Data persentase wisatawan yang hanya melakukan kegiatan wisata diving dan snorkeling di Pulau Pramuka. No. Pengambilan data Jumlah responden Melakukan diving dan snorkeling % (orang) (orang) Mei September Pebruari Rerata Sumber : hasil olahan ( 0) Analisis WTP Berdasarkan data kuesioner terhadap wisatawan maka dilakukan analisis WTP menggunakan metode statistik regresi linier berganda pada taraf p = 0.05 (Lampiran 5). Jumlah responden yang mengisi dengan benar dan hasilnya dapat dipercaya adalah sebanyak 40 orang. Persamaan regresi linier berganda untuk menduga nilai WTP adalah sebagai berikut : WTP = 5 FQ CORAL_T WQ I (6) dimana : WTP = WTP dugaan (dalam ratusan ribu rupiah); FQ = kualitas fasilitas penginapan; CORAL_T = kualitas terumbu karang; WQ = kualitas perairan; I = pendapatan (dalam jutaan rupiah) Berdasarkan kelompok pendapatan maka wisatawan dibagi menjadi 5 kelompok yaitu : () tidak memiliki pendapatan; () kurang dari Rp ,-; (3) antara Rp dan Rp ,-; (4) antara Rp ,- dan Rp ,- dan (5) lebih dari Rp ,-. (Gambar 34f). WTP untuk masing masing kelompok pendapatan tersebut dihitung seperti pada persamaan berikut : WTP x = 5 FQ CORAL_T WQ I x (7) dimana :

91 59 x = kelompok pendapatan (0: tidak punya pendapatan; : kurang dari Rp ,-; antara Rp ,- dan Rp ,-; 4: antara Rp ,- dan Rp ,- dan 5: lebih dari Rp ,-) Hasil pengembangan sub-model sosial ekonomi yang dimodifikasi dari model Chang et al. (008) dapat dilihat pada Gambar dan keterangannya dapat dilihat pada Tabel 3. Sub-model sosial ekonomi meliputi jumlah wisatawan yang berkunjung, jumlah wisatawan yang berkunjung lagi, kepuasan wisatawan terhadap fasilitas yang ada kondisi terumbu karang dan kualitas lingkungan perairan, pemanfaatan lahan untuk pembangunan fisik untuk menunjang kegiatan wisata, pertumbuhan penduduk lokal, pertambahan jumlah rumah penduduk dan pemanfaatan lahan untuk pembangunan pemukiman penduduk akibat terjadinya pertumbuhan penduduk. Rerata kualitas terumbu karang menurut valuasi wisatawan pada setiap stasiun (CORAL_T_, CORAL_T_, CORAL_T_3, CORAL_T_4 dan CORAL_T_5) dinyatakan dalam CORAL_T. Kualitas terumbu karang (CORAL_T), kualitas perairan (WQ) dan kualitas fasilitas penginapan (FQ) digunakan untuk menghitung valuasi wisatawan terhadap sumberdaya terumbu karang (WTP). FEE_EFF merupakan peluang jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka yang dipengaruhi oleh biaya masuk (FEE). WTP, FEE_EFF dan persentase jumlah kunjungan wisatawan tiap bulan (ATR) digunakan untuk menghitung jumlah wisatawan yang akan berkunjung kembali ke Pulau Pramuka (COME) selain jumlah wisatawan yang baru pertama kali berkunjung (OTHER), dimana berdasarkan hasil survei maka jumlah wisatawan yang baru pertama kali berkunjung ke Pulau Pramuka sebesar 5 %. Jumlah kunjungan wisatawan akan mempengaruhi permintaan akan fasilitas penginapan. Pertumbuhan fasilitas wisatawan di Pulau Pramuka memanfaatkan lahan kosong yang ada dengan laju sebesar hektar per bulan atau m per tahun dengan rerata luas tiap penginapan 58.9 m dan daya dukung penginapan bagi wisatawan sebesar 833 orang/hektar. Jumlah penduduk Pulau Pramuka dipengaruhi oleh laju kelahiran, laju pendatang, laju kematian dan laju meninggalkan pulau. Pertambahan jumlah penduduk tersebut membutuhkan pemukiman dengan laju pertumbuhan sebesar

92 hektar/bulan yang memanfaatkan lahan kosong yang tersedia dengan daya dukung pemukiman sebesar 388 orang/hektar. Sub-model sosial ekonomi dapat dilihat pada Gambar 34 dan nilai variabel model dapat dilihat pada Lampiran 6. ~ CORAL T 4 ~ ~ CORAL T 5 CORAL T 3 ~ CORAL T ~ WQ 3 ~ WQ ~ ~ CORAL T WQ CORAL T I FQ ~ CORAL T ~ WQ 5 WQ 4 WTP WQ ~ I FQ WQ CORAL T ~ WQ FQ WQ ~ WTP 4 CORAL T WTP I 4 ~ FQ CORAL T I 0 WTP 5 WTP WQ CORAL T WQ WTP 0 I 5 ~ FQ ~ TRNY FEE EFF FEE TotalBenef it Sub-model Sosial Ekonomi ~ FQ ~ ATR OTHER COME Tourist ratio TOURIST Luas penginapan Daya dukung penginapan GO DIVING Pertumbuhan penginapan GR suitable IMI INP POP Lahan kosong Penduduk ActualGR ~ GRmultiplier f raksi Pertumbuhan pemukiman EMI OUT POP DR Penduduk per hektar Luas pemukiman Daya dukung pemukiman Local ratio Gambar 35. Sub-model sosial ekonomi (modifikasi dari Chang et al. 008). WTP dugaan untuk kelompok yang tidak berpenghasilan dinayatakan sebagai variabel WTP 0, berpenghasilan kurang dari Rp ,- sebagai variabel WTP, berpenghasilan antara Rp ,- hingga Rp ,- sebagai variabel WTP, berpenghasilan antara Rp ,- hingga Rp ,- sebagai variabel WTP 4 dan berpenghasilan lebih dari Rp ,- sebagai variabel WTP 5. Variabel WTP merupakan rerata dari variabel WTP 0, WTP, WTP, WTP 4 dan WTP 5. Variabel CORAL_T dan variabel WQ merupakan rerata dari kualitas terumbu karang dan kualitas lingkungan perairan dari seluruh stasiun. Variabel FQ (kualitas penginapan) merupakan penilaian kondisi penginapan dimana semakin mendekati rasio antara jumlah wisatawan dengan daya dukung penginapan maka kualitas penginapan akan semakin berkurang. Variabel grafik dari FQ dapat dilihat pada Gambar 35.

93 6 Gambar 36. Variabel grafik kualitas penginapan FQ Variabel Tak Bebas dan Variabel Bebas Variabel tak bebas didalam model dinamik ini antara lain kunjungan wisatawan ke Pulau Pramuka (TOURIST), buangan limbah ke perairan (Limbah), persentase tutupan karang hidup (CORAL) dan persentase tutupan alga (ALGA). Variabel bebas didalam model dinamik ini antara lain faktor-faktor yang merusak terumbu karang, pengelolaan limbah (WPC) dan biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka (FEE). Berdasarkan variabel tak bebas dan variabel bebas maka model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di P Pramuka dapat dinayatakan seperti pada persamaan berikut : (TOURIST, Limbah, CORAL, ALGA) = f(coral THREATS, WPC, FEE).. (7) dimana : TOURIST = jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka (orang); Limbah = jumlah limbah (BOD) total yang dibuang langsung ke perairan (mg/l) CORAL = persentase tutupan karang hidup; ALGA = persentase tutupan alga; CORAL THREATS = faktor-faktor yang mengancam terumbu karang di Pulau Pramuka (%); WPC = pengolahan air limbah (%); FEE = biaya (Rp) Simulasi Model Dinamik Simulasi model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu menggunakan perangkat lunak Stella v9.0. seperti terlihat pada Gambar 37. Tampilan muka model digunakan untuk

94 6 melakukan simulasi variabel-variabel didalam sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka. Gambar 37. Tampilan muka model pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu menggunakan perangkat lunak Stella v9.0.. Simulasi model dinamik pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka TN Kepulauan Seribu dilakukan selama 0 bulan (0 tahun) yang dimulai pada bulan Mei 0 hingga Mei 0 untuk melihat pengaruh suatu kebijakan pemangku kepentingan di Pulau Pramuka terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang. Simulasi dilakukan dengan beberapa skenario antara lain untuk melihat pengaruh perubahan pada variabel bebas (faktor-faktor yang mengancam terumbu karang, pemanfaatan lahan untuk akomodasi wisata, biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka dan pengolahan limbah) terhadap variabel tak bebas yaitu perubahan persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan alga, jumlah limbah yang masuk ke perairan dan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka Simulasi Faktor-Faktor yang Mengancam Terumbu Karang Berdasarkan persepsi masyarakat Pulau Pramuka bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka antara lain perikanan menggunakan bom dan potasium, sampah yang berasal dari luar pulau,

95 63 perikanan muroami, sampah yang berasal dari pulau, jangkar kapal nelayan, kegiatan wisata selam dan snorkeling, sedimentasi dan perikanan tradisional seperti memancing dan ikan hias, sedangkan faktor limbah domestik yang dibuang ke perairan yang juga menyebabkan kerusakan terumbu karang lebih terkait dengan pengolahan air limbah. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka dapat dilihat pada Gambar 38 hingga Gambar 43. Tanpa adanya pengelolaan terumbu karang menyebabkan tutupan alga pada stasiun cenderung meningkat hingga mencapai 55% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang hidup cenderung meningkat pada awal simulasi dari 0.99% menjadi.95% akan tetapi pada tahun ke- cenderung menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi (Gambar 38a). Adanya pengelolaan faktorfaktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan tutupan alga cenderung menurun dari 7.53% pada awal simulasi hingga mencapai 0.45% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang cenderung meningkat dimana sebesar 0.99% pada awal simulasi menjadi 69.6% pada akhir simulasi (Gambar 38b). : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a)

96 64 : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 38. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a)

97 65 : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 39. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pada stasiun terlihat tutupan alga cenderung meningkat pada awal simulasi hingga akhir simulasi, yaitu dari 3.57% hingga mencapai 5.39%, sedangkan tutupan karang hidup cenderung meningkat pada awal simulasi dari 4.66% meningkat mencapai 0.50% pada simulasi ke-6 (September 03) dan kemudian cenderung menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi (Gambar 39a). Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan tutupan alga cenderung menurun pada awal simulasi dan pada awal 09 cenderung meningkat hingga mencapai 8.4% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang hidup cenderung meningkat dari 4.66% pada awal simulasi hingga mencapai 60.06% pada simulasi ke-6 (Juli 04) dan kemudian mencapai 8.04% pada akhir simulasi (Gambar 39b).

98 66 : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 40. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pada Gambar 40(a) memperlihatkan simulasi tutupan alga pada stasiun 3 yang cenderung menurun pada awal simulasi dan kemudian cenderung meningkat pada simulasi ke-49 (Juni 06) hingga mencapai 5.05% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang hidup cenderung menurun pada awal simulasi hingga mencapai 0.03% akhir simulasi.

99 67 : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 4. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang pada stasiun 3 menyebabkan tutupan alga cenderung menurun pada awal simulasi hingga akhir simulasi mencapai.6%, sedangkan tutupan karang hidup cenderung menurun pada awal simulasi dan kemudian meningkat pada simulasi ke-5 hingga mencapai 56.% pada pada akhir simulasi (Gambar 40b). Tutupan alga dan tutupan karang hidup cenderung menurun pada awal simulasi pada stasiun 4 dan kemudian tutupan alga cenderung meningkat hingga akhir simulasi hingga mencapai 55.46% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan

100 68 karang hidup cenderung tetap menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi (Gambar 4a). : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (c) Gambar 4. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Adanya pengelolaan terumbu karang menyebabkan tutupan alga pada stasiun 4 cenderung menurun pada awal simulasi hingga akhir simulasi mencapai 0.36%, sedangkan tutupan karang hidup cenderung meningkat pada awal simulasi hingga akhir simulasi mencapai 70.4% (Gambar 4b).

101 69 Gambar 4(a) memperlihatkan simulasi tutupan alga dan tutupan karang hidup pada stasiun 5 tanpa adanya pengelolan terumbu karang. Tutupan alga dan tutupan karang hidup cenderung menurun pada awal simulasi, tetapi tutupan alga cenderung meningkat pada simulasi ke-48 hingga mencapai 54.77% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang hidup cenderung menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi. Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan tutupan alga cenderung menurun hingga mencapai 0.6% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan karang hidup cenderung meningkat hingga mencapai 69.3% pada akhir simulasi (Gambar 4b). Tanpa adanya pengelolaan terumbu karang menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung cenderung menurun dari sebanyak orang pada awal simulasi menjadi sekitar 074 orang pada akhir simulasi. WTP cenderung meningkat pada awal simulasi dan kemudian cenderung menurun dari sejumlah Rp ,- pada awal simulasi hingga mencapai Rp ,- pada akhir simulasi (Gambar 43a). Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan jumlah wisatawan meningkat hingga mencapai orang pada akhir simulasi. WTP wisatawan juga cenderung meningkat pada awal simulasi hingga mencapai Rp ,- pada simulasi ke-0 (Januari 04) akan tetapi kemudian cenderung menurun hingga mencapai Rp ,- pada akhir simulasi (Gambar 43b). Adanya pengelolaan terhadap faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan jumlah wisatawan cenderung meningkat akan tetapi nilai WTP menjadi lebih kecil dibandingkan tanpa adanya pengelolaan.

102 70 : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 43. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Tanpa adanya pengelolaan menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung cenderung menurun dan tidak melebihi daya dukung penginapan yang ada (Gambar 44a). Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan jumlah kunjungan wisatawan cenderung meningkat hingga melebihi daya dukung penginapan yang ada pada yaitu simulasi ke- hingga ke- 35 dan kemudian cenderung berada dibawah daya dukung penginapan. Adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang menyebabkan jumlah

103 7 wisatawan yang berkunjung cenderung meningkat hingga melebihi daya dukung penginapan (Gambar 44b). : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :30 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 44. Simulasi pengelolaan faktor-faktor yang merusak terumbu karang terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b) Simulasi Biaya Masuk Kawasan Konservasi Pulau Pramuka Simulasi biaya masuk ke kawasan konservasi dilakukan untuk melihat dampaknya terhadap tutupan karang hidup di perairan Pulau Pramuka. Berdasarkan PP Nomor 59 tahun 998 tentang Tarif Atas Jenis PNBP pada Departemen Kehutanan maka besarnya biaya masuk ke kawasan konservasi Pulau

104 7 Pramuka adalah sebesar Rp. 500,-, sedangkan sebagian besar wisatawan yang berkunjung tidak membayar biaya masuk. Hasil kuesioner terhadap wisatawan menunjukkan bahwa rerata biaya masuk yang sanggup mereka bayar adalah sebesar Rp ,-. Berdasarkan analisis biaya masuk (Lampiran 9) maka besarnya biaya masuk yang paling optimal adalah sebesar Rp ,-. dan digunakan didalam simulasi pengelolaan biaya masuk. : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 45. Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b).

105 73 Gambar 45(a) memperlihatkan simulasi tutupan alga dan tutupan karang hidup pada stasiun dengan tanpa adanya pengelolaan, dimana tutupan alga lebih tinggi dibandingkan awal simulasi sedangkan tutupan karang hidup cenderung menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi. Adanya biaya masuk menyebabkan tutupan alga cenderung meningkat hingga akhir simulasi mencapai 54.0%, sedangkan tutupan karang hidup cenderung menurun hingga mencapai 0.04% pada akhir simulasi (Gambar 45b). : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 46. Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b).

106 74 Gambar 46 menunjukkan simulasi tutupan alga dan tutupan karang hidup pada stasiun dengan pengelolaan biaya masuk. Terlihat bahwa adanya pengelolaan biaya masuk tidak menyebabkan tutupan karang hidup menjadi lebih baik bahkan cenderung sama dengan tanpa adanya biaya masuk, sedangkan tutupan alga pada tanpa ada biaya masuk dan dengan biaya biaya masuk cenderung meningkat lebih tinggi. : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 47. Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). stasiun 3. Gambar 47 menunjukkan simulasi tutupan karang hidup dan alga pada Terlihat bahwa dengan adanya pengelolaan biaya masuk tidak

107 75 menyebabkan tutupan karang hidup menjadi lebih baik bahkan cenderung sama dengan tanpa adanya biaya masuk, dimana tutupan karang hidup cenderung menurun hingga 0.03% sedangkan tutupan alga cenderung menurun pada awal simulasi dan kemudian meningkat hingga mencapai 5.07% pada akhir simulasi. : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 48. Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Demikian juga halnya pada stasiun 4 pada Gambar 48, dimana adanya pengelolaan biaya masuk tidak menyebabkan tutupan karang hidup lebih baik dan bahkan cenderung menurun hingga mencapai 0.0%, sedangkan tutupan alga

108 76 cenderung menurun pada awal simulasi dan kemudian meningkat hingga mencapai 54.43% pada akhir simulasi. : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (c) Gambar 49. Simulasi biaya masuk terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pada stasiun 5 pada Gambar 49(a) dan Gambar 49(b) menunjukkan bahwa adanya pengelolaan biaya masuk tidak menyebabkan tutupan karang hidup lebih baik dan bahkan cenderung menurun hingga mencapai 0.0%, sedangkan tutupan alga cenderung menurun pada awal simulasi dan kemudian meningkat hingga mencapai 53.78% pada akhir simulasi.

109 77 : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 50. Simulasi biaya masuk terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Gambar 50(a) dan Gambar 50(b) menunjukkan simulasi jumlah wisatawan dan WTP tanpa pengelolaan terumbu karang dan adanya pengelolan biaya masuk. Adanya biaya masuk menyebabkan WTP lebih besar pada akhir simulasi yaitu sebesar Rp ,- dibandingkan tanpa biaya masuk sebesar Rp ,-. Akan tetapi jumlah wisatawan lebih sedikit yaitu sebanyak 367 orang dibandingkan tanpa biaya masuk sebanyak 074 orang pada akhir simulasi.

110 78 : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :34 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 5. Simulasi biaya masuk terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Adanya pengelolaan biaya masuk menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung cenderung lebih sedikit, sedangkan tanpa adanya pengelolaan menyebabkan jumlah wisatawan lebih banyak dibandingkan dengan adanya pengelolaan biaya masuk. Kedua skenario pengelolaan tersebut tidak menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung melebihi daya dukung penginapan yang ada (Gambar 5a dan Gambar 5b).

111 Simulasi Pengolahan Air Limbah Simulasi pengolahan limbah dilakukan untuk melihat dampaknya terhadap tutupan karang, tutupan alga, jumlah wisatawan, kandungan limbah yang dibuang ke perairan dan nilai WTP wisatawan. Pengolahan air limbah yang digunakan didalam simulasi ini adalah sebesar 30% yang merupakan nilai persentase pengolahan terkecil untuk menjamin ekosistem terumbu berada dalam kondisi baik (tutupan karang hidup lebih dari 50 %). : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 5. Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b).

112 80 Gambar 5(a) menunjukkan kondisi tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa adanya pengelolaan terumbu karang, dimana tutupan karang cenderung menurun sedangkan tutupan alga cenderung meningkat. Adanya pengolahan limbah sebesar 30% menyebabkan tutupan karang hidup cenderung meningkat pada awal simulasi tetapi kemudian cenderung menurun hingga mencapai 0.8% pada akhir simulasi. Tutupan alga cenderung menurun pada awal simulasi akan tetapi kemudian cenderung meningkat hingga mencapai 4.95% pada akhir simulasi. : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 53. Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b).

113 8 Adanya pengolahan limbah menyebabkan tutupan karang hidup pada stasiun cenderung meningkat pada awal simulasi hingga mencapai 3.49% pada simulasi ke-4 (Juli 04) akan tetapi kemudian menurun hingga mencapai 0.03% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan alga cenderung stabil pada awal simulasi dan kemudian meningkat hingga mencapai 39% pada akhir simulasi (Gambar 53b). : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 54. Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Tanpa adanya pengelolaan (Gambar 54a) menyebakan tutupan karang hidup pada stasiun 3 cenderung menurun hingga mencapai 0.03% pada akhir simulasi,

114 8 sedangkan adanya pengolahan limbah menyebabkan tutupan karang hidup menurun tetapi pada simulasi ke-9 (Oktober 04) cenderung meningkat hingga mencapai 3.64% pada akhir simulasi (Gambar 54b), sedangkan tutupan alga lebih rendah yaitu 6.0% dibandingkan tanpa adanya pengolahan limbah mencapai 5.05%. : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 55. Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Tanpa adanya pengelolan terumbu karang (Gambar 55a) dibandingkan dengan adanya pengolahan limbah pada stasiun 4 tidak menyebabkan tutupan

115 83 karang hidup pada stasiun 4 menjadi lebih baik (Gambar 55b) bahkan cenderung menjadi semakin rusak. Berbeda halnya dengan tutupan alga, adanya pengolahan limbah menyebabkan adanya jeda peningkatan tutupan alga dan mencapai 4.47% yang lebih rendah dibandingkan tanpa pengolahan limbah yang mencapai 55.46% pada akhir simulasi. : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (c) Gambar 56. Simulasi pengolahan limbah terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Seperti halnya pada stasiun 4, maka kondisi tutupan karang hidup pada stasiun 5 tidak berbeda apabila dilakukan simulasi untuk melihat dampak tanpa pengelolaan terumbu karang (Gambar 56a) dengan pengolahan limbah (Gambar

116 84 56b). Tutupan karang hidup cenderung semakin buruk pada akhir simulasi. Akan tetapi tutupan alga tanpa adanya pengelolaan dengan pengolahan limbah cenderung semakin meningkat hanya saja peningkatan tutupan alga dengan pengolahan limbah sedikit lebih lambat dan lebih rendah dibandingkan tanpa adanya pengelolaan. : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 57. Simulasi pengolahan limbah terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Adanya pengolahan limbah menyebabkan jumlah wisatawan cenderung lebih banyak mencapai orang dibandingkan tanpa pengelolaan sebanyak 074 orang. Nilai WTP dengan pengolahan limbah cenderung lebih tinggi pada

117 85 awal simulasi dibandingkan tanpa pengelolaan, akan tetapi pada akhir simulasi nilai WTP dengan pengolahan limbah lebih besar yaitu sebesar Rp ,- dibandingkan tanpa pengelolaan sebesar Rp ,-. Pengolahan limbah menyebabkan nilai BOD dari limbah yang dibuang ke perairan lebih rendah pada akhir simulasi yaitu sebanyak mg/l dibandingkan tanpa pengelolaan sebanyak mg/l (Gambar 57a dan Gambar 57b). : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :37 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 58. Simulasi pengolahan limbah terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pengolahan limbah menyebabkan jumlah wisatawan cenderung lebih banyak (Gambar 58b) dibandingkan tanpa adanya pengelolaan (Gambar 58a).

118 86 Tanpa adanya pengelolaan dan pengolahan limbah tidak menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung tidak melebihi daya dukung penginapan yang ada Simulasi Pengelolaan Terpadu Simulasi pengelolaan terpadu merupakan simulasi gabungan dari nilai-nilai ideal dari sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi. Nilai-nilai dari variabel tersebut antara lain :. Pengelolaan faktor-faktor yang mengancam kerusakan terumbu karang seperti pembatasan kegiatan perikanan yang bersifat merusak, penanggulangan sampah baik yang berasal dari dalam maupun luar Pulau Pramuka, pelarangan kegiatan perikanan muroami, pembuatan tambatan jangkar permanen, meningkatnya kemampuan dan kesadaran dari wisatawan yang melakukan penyelaman dan snorkeling untuk menghindari terjadinya kerusakan terumbu karang, kecuali sampah yang berasal dari luar Pulau Pramuka yang tidak bisa dikelola secara langsung karena terkait dengan wilayah lainnya;. Biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka sebesar Rp ,-; 3. Pengolahan air limbah sebesar 30% sebelum dibuang ke perairan. Berdasarkan nilai variabel-variabel tersebut di atas maka dilakukan simulasi untuk melihat dampaknya terhadap tutupan karang hidup, tutupan alga, jumlah wisatawan yang berkunjung, total limbah yang dibuang langsung ke perairan dan penilaian wisatawan terhadap ekosistem terumbu karang. Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka menyebabkan tutupan karang hidup pada stasiun meningkat menjadi 7.3% pada akhir simulasi sedangkan tutupan alga cenderung menurun hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi. Adanya pengelolaan terpadu membuat kondisi tutupan karang hidup menjadi jauh lebih baik dibandingkan tanpa adanya pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 59(a) dan Gambar 59(b).

119 87 : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 59. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pengelolaan terpadu juga menyebabkan tutupan karang hidup pada stasiun pada akhir simulasi lebih baik yaitu mencapi 58.09% dibandingkan pada awal simulasi sebesar 4.66%. Tutupan alga cenderung menurun dengan adanya pengelolaan terpadu meskipun mencapai 0.03% pada akhir simulasi. Pengelolaan terpadu menyebabkan tutupan karang hidup pada stasiun menjadi lebih baik. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga dapat dilihat pada Gambar 60(a) dan Gambar 60(b).

120 88 : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL ALGA : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 60. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Demikian juga halnya pada stasiun 3, dimana tutupan karang hidup berada pada kondisi lebih baik yaitu mencapai 60.5% pada akhir simulasi dan tutupan alga menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada awal simulasi yaitu sebesar 0.0% pada akhir simulasi. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup pada stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 6(a) dan Gambar 6(b).

121 89 : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 3 ALGA 3 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 6. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 3 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang juga menyebabkan tutupan karang hidup pada stasiun 4 menjadi lebih baik dibandingkan pada awal simulasi yaitu mencapai 7.8% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan alga menjadi berkurang hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi. Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang membuat tutupan karang hidup pada stasiun 4 menjadi lebih baik dibandingkan dengan awal simulasi (Gambar 6a dan Gambar 6b).

122 90 : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 4 ALGA 4 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 6. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 4 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Tutupan karang hidup pada stasiun 5 juga menjadi lebih baik dengan adanya pengelolan terpadu yang mencapai 7.% pada akhir simulasi, sedangkan tutupan alga menjadi berkurang hingga mencapai 0.0% pada akhir simulasi. Adanya pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang membuat tutupan karang hidup pada stasiun 5 menjadi lebih baik. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 dapat dilihat pada Gambar 63(a) dan Gambar 63(b).

123 9 : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : CORAL 5 ALGA 5 : : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (c) Gambar 63. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap tutupan karang hidup dan tutupan alga pada stasiun 5 dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang menyebabkan jumlah wisatawan cenderung meningkat hingga mencapai pada akhir simulasi (Gambar 64b) dibandingkan tanpa pengelolaan hanya mencapai 074 orang (Gambar 64a). Adanya pengelolaan terpadu membuat wisatawan yang berwisata ke Pulau Pramuka menjadi meningkat. Nilai WTP wisatawan cenderung meningkat dengan adanya pengelolaan terpadu yang mencapai Rp ,- pada akhir simulasi akan tetapi lebih kecil

124 9 dibandingkan pada awal simulasi sebesar Rp ,-. Makin kecilnya WTP disebabkan karena semakin banyaknya jumlah wisatawan maka kualitas perairan dan kualitas penginapan akan semakin menurun meskipun kualitas terumbu karang menjadi semakin baik. : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : 3: 4: : TOURIST Penduduk 3: WTP 4: Limbah : 3: 4: : 3: 4: Page Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 64. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap jumlah wisatawan, WTP dan limbah dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Adanya pengelolaan terpadu membuat limbah BOD yang dibuang ke perairan menjadi lebih rendah yang sebesar mg/l dibandingkan dengan ambang batas limbah bagi tutupan karang hidup yaitu sebesar mg/l

125 93 (Lampiran 8). Pengelolaan terpadu menyebabkan limbah yang dibuang ke perairan berada dibawah ambang batas pada akhir simulasi. Simulasi pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang terhadap jumlah wisatawan, nilai WTP wisatawan dan limbah yang dibuang ke perairan dapat dilihat pada Gambar 64(a) dan Gambar 64(b). : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (a) : : TOURIST Day a dukung penginapan 0000 : 0000 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months :4 PM Wed, Aug, 0 (b) Gambar 65. Simulasi pengelolaan terpadu terhadap jumlah wisatawan dan daya dukung penginapan dengan tanpa pengelolaan (a) dan adanya pengelolaan (b). Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu di Pulau Pramuka menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung lebih banyak dibandingkan tanpa adanya pengelolaan. Jumlah wisatawan tersebut hingga melebihi daya dukung

126 94 penginapan yang ada yaitu pada simulasi ke-0 (Januari 04) hingga simulasi ke- 49 (Juni 06), simulasi ke-69 (Pebruari 08) hingga simulasi ke-76 (September 08) dan simulasi ke-94 (Maret 00) hingga simulasi ke-0 (Nopember 00) serta simulasi ke-0 (Mei 0) (Gambar 65a dan Gambar 65b) Analisis Skenario Pengelolaan Terumbu Karang Pengelolaan ekosistem terumbu karang terdiri dari 5 skenario, yaitu : skenario A yaitu tanpa adanya pengelolaan, skenario B yaitu pengelolaan submodel biologi, skenario C yaitu pengelolaan sub-model sosial-ekonomi, skenario D yaitu pengelolaan sub-model lingkungan perairan dan skenario E yaitu pengelolaan terpadu yang meliputi pengelolaan sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi. Untuk melihat seberapa besar nilai atau skor dari masing-masing skenario pengelolaan dan juga untuk memilih skenario yang tepat dan terbaik bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan di Pulau Pramuka maka dilakukan analisis trade-off dari seluruh skenario. Bobot untuk masingmasing kriteria adalah sub-model biologi sebesar 40%, sub-model lingkungan perairan sebesar 30% dan sub-model sosial ekonomi sebesar 30%. Kriteria submodel biologi memiliki bobot yang terbesar karena variabel-variabel didalam submodel tersebut terkait secara langsung dengan keberlanjutan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka. Nilai simulasi dan skor untuk masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 untuk kriteria sub-model biologi maka skenario E memiliki nilai yang tertinggi sebesar 00 kemudian diikuti dengan skenario B sebesar 87., skenario D sebesar 6.83, skenario C sebesar 0.95 dan skenario A sebesar Skenario terbaik untuk sub-model biologi adalah pengelolaan terpadu kemudian selanjutnya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang, pengolahan limbah, pengelolaan biaya masuk dan tanpa pengelolaan. Berdasarkan kriteria sub-model lingkungan perairan maka skenario D memiliki nilai tertinggi yaitu 00, kemudian diikuti skenario A sebesar 85.46, skenario C sebesar 33.40, skenario A sebesar 7.33 dan skenario B sebesar Pengelolaan limbah merupakan pengelolaan terbaik untuk kriteria sub-model

127 95 lingkungan perairan disebabkan karena total limbah yang dibuang ke perairan lebih rendah dibandingkan pengelolaan lainnya. Skenario pengelolaan biaya masuk merupakan skenario pengelolaan dengan skor terendah karena disebabkan total limbah yang dibuang ke perairan paling tinggi dibandingkan pengelolan lainnya. Berdasarkan kriteria sub-model sosial ekonomi maka skenario E memiliki nilai tertinggi yaitu 00, kemudian diikuti skenario B sebesar 55.8, skenario D sebesar 37.9, skenario C sebesar 4.89 dan skenario A sebesar Pada kriteria sub-model sosial ekonomi maka skenario pengelolaan terpadu merupakan skenario pengelolaan yang paling baik dibandingkan dengan skenario pengelolaan lainnya. Skenario tanpa pengelolaan merupakan skenario pengelolaan dengan skor terendah disebabkan tidak adanya pengelolaan baik faktor-faktor yang mengamcam langsung skosistem terumbu karang, pengolahan limbah serta tidak adanya biaya masuk ke kawasan konservasi Pulau Pramuka. Secara keseluruhan maka skenario E memiliki nilai skor tertinggi yaitu sebesar 95.5, kemudian diikuti skenario D sebesar 5.58, skenario B sebesar 47.68, skenario C sebesar 9.75 dan skenario A sebesar.74. Berdasarkan hasil akhir dari pembobotan pada masing-masing skenario maka skenario A memiliki nilai tertinggi sebesar 0.8, kemudian diikuti skenario B sebesar 53.49, skenario D sebesar 5.70, skenario C sebesar 9.8 dan skenario A sebesar.73. Berdasarkan analisis trade-off untuk memilih skenario apa yang paling tepat didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka maka skenario pengelolaan terpadu merupakan skenario yang terbaik dibandingkan skenario pengelolaan lainnya. Kemudian diikuti dengan skenario pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang, skenario pengelolaan melalui pengolahan limbah yang dibuang ke perairan, skenario pengelolaan biaya masuk kawasan konservasi dan terakhir adalah skenario tanpa ada pengelolaan.

128 96 Tabel 3. Nilai hasil simulasi setiap masing-masing skenario. Kriteria Skenario A B C D E Sub-model biologi () Tutupan karang hidup stasiun (%)* () Tutupan karang hidup stasiun (%)* (3) Tutupan karang hidup stasiun 3 (%)* (4) Tutupan karang hidup stasiun 4 (%)* (5) Tutupan karang hidup stasiun 5 (%)* (6) Tutupan alga stasiun (%)** (7) Tutupan alga stasiun (%)** (8) Tutupan alga stasiun 3 (%)** (9) Tutupan alga stasiun 4 (%)** (0) Tutupan alga stasiun 5 (%)** Sub-model lingkungan perairan () Limbah (jumlah total BOD yang dibuang ke perairan mg/l)** Sub-model sosial ekonomi () Jumlah wisatawan (orang)* (3) WTP (ratusan ribu rupiah)* (4) Total benefit (ratusan ribu rupiah) + * Keterangan : + = nilai total benefit belum didiskon dan hanya untuk mengetahui aliran nilai multiyears; * = benefit indicators; ** = cost indicators 96

129 97 Tabel 4. Skor untuk masing-masing skenario. Kriteria Skoring skenario A B C D E Sub-model biologi (bobot 40 %) () Tutupan karang hidup stasiun (%)* () Tutupan karang hidup stasiun (%)* (3) Tutupan karang hidup stasiun 3 (%)* (4) Tutupan karang hidup stasiun 4 (%)* (5) Tutupan karang hidup stasiun 5 (%)* (6) Tutupan alga stasiun (%)** (7) Tutupan alga stasiun (%)** (8) Tutupan alga stasiun 3 (%)** (9) Tutupan alga stasiun 4 (%)** (0) Tutupan alga stasiun 5 (%)** Rerata Ranking Sub-model lingkungan perairan (bobot 30 %) () Limbah (jumlah total BOD yang dibuang ke perairan mg/l)** Rerata Ranking Sub-model sosial ekonomi (bobot 30 %) () Jumlah wisatawan (orang)* (3) WTP (ratusan ribu rupiah)* (4) Total benefit (ratusan ribu rupiah)* Rerata Ranking Skor rerata keseluruhan Ranking Nilai akhir dengan pembobotan Ranking Keterangan : * = benefit indicators; ** = cost indicators 93 97

130 Simulasi Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan daya dukung pemukiman bagi penduduk di Pulau Pramuka pada bulan Mei 0 hingga Mei 0 maka terlihat pada awal simulasi jumlah penduduk yang ada masih berada dibawah daya dukung pemukiman. Pada simulasi ke-39 (Agustus 05) terlihat jumlah penduduk mendekati daya dukungnya hingga akhir simulasi. Berdasarkan simulasi terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Pulau Pramuka dibatasi oleh luasan pemukiman yang ada hingga akhir simulasi (Mei 00) dimana jumlah penduduk mencapai 585 orang atau sekitar 87 % dari jumlah penduduk saat ini (Gambar 66). : : Penduduk Day a dukung pemukiman 3000 : 500 : Page 0 Mei Mei Mei Mei Mei Mei Months 3: PM Wed, Aug, 0 Gambar 66. Simulasi pertumbuhan penduduk dan daya dukung pemukiman di Pulau Pramuka pada Mei 0 hingga Mei Pembahasan Tidak adanya upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang menyebabkan tutupan karang hidup akan semakin berkurang dan tutupan alga akan semakin tinggi dalam 0 tahun ke depan. Hal ini selain disebabkan tidak adanya pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang dan juga disebabkan tidak adanya pengolahan limbah BOD sebelum dibuang ke sehingga nilainya mencapai mg/l yang mendekati ambang batas nilai BOD untuk kesehatan karang yang berdasarkan simulasi yaitu sebesar mg/l.

131 99 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka juga akan semakin berkurang. Penurunan kualitas tutupan karang dan kualitas lingkungan perairan membuat penilaian wisatawan terhadap ekosistem terumbu karang (WTP) menjadi yaitu sebesar Rp ,- pada 0 tahun yang akan datang yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai saat ini sebesar Rp ,-. Pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang yang dapat dilakukan antara lain : a. Pengurangan atau pembatasan aktifitas perikanan muroami yang hingga saat ini masih berlangsung, meskipun dengan jumlah armada yang telah jauh berkurang, dimana berdasarkan data dari Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupataen Administrasi Kepulauan Seribu jumlah unit muroami pada tahun 009 berjumlah 9 unit menjadi 8 unit pada akhir tahun 0; b. Pengelolaan sampah yang berasal dari penduduk setempat agar tidak dibuang langsung ke perairan yaitu dengan mengaktifkan kembali unit pembakaran sampah yang saat ini tidak beroperasi di Pulau Pramuka; c. Sampah dari luar Pulau Pramuka sangat sulit untuk dihindari mencapai perairan Pulau Pramuka terutama pada musim hujan sampah relatif lebih banyak mencapai perairan Pulau Pramuka dibandingkan pada musim lainnya. Sampah tersebut diduga berasal dari sungai-sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta. Pengelolaan sampah ini sangat terkait dengan lembaga pemerintah daerah lainnya seperti DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten; d. Pembuatan tambatan kapal permanen sangat diperlukan untuk menghidari kerusakan karang akibat jangkar kapal terutama kapal nelayan yang melakukan aktifitas di sekitar perairan Pulau Pramuka; e. Sosialisasi dan pelatihan tentang teknik menyelam dan snorkeling yang ramah lingkungan bagi para wisatawan yang tidak merusak ekosistem terumbu karang; f. Kegiatan perikanan tradisional seperti memancing dan ikan hias menggunakan metode yang ramah lingkungan dan tidak menginjak langsung karang yang dapat mengancam ekosistem terumbu karang;

132 00 g. Pelarangan penggunaan bom dan potasium atau sianida, dimana kegiatan ini sudah berlangsung pada akhir tahun 970-an hingga saat ini masih berlangsung terutama untuk menangkap ikan konsumsi dan ikan hias. Penggunaan bom hingga saat ini masih berlangsung dan menurut masyarakat pelakunya diduga berasal dari daerah di luar Kepulauan Seribu. Pengawasan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Pemerintah Administrasi Kepeulauan Seribu harus ditingkatkan untuk menghindari ancaman dari perikanan yang merusak tersebut; h. Secara alami sedimentasi yang tinggi masih terjadi, baik karena adanya pola arus musiman yang membawa kandungan sedimen yang tinggi dan juga sedimentasi yang terjadi di dalam pelabuhan kabupaten yang apabila terbawa arus akan menutupi karang hidup di sekitar pelabuhan tersebut. Pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang membuat tutupan karang menjadi lebih baik dibandingkan saat ini. Pada stasiun tutupan alga cenderung semakin tinggi pada akhir simulasi. WTP wisatawan lebih rendah yaitu sebesar Rp ,- pada akhir simulasi. Jumlah wisatawan menjadi lebih tinggi hingga mencapai orang pada akhir simulasi dimana pada awal simulasi melebihi daya dukung penginapan yang ada. Limbah yang dibuang ke perairan mencapai mg/l yang berada diatas ambang batas yaitu mg/l yang menyebabkan tutupan alga pada stasiun cenderung meningkat dibandingkan stasiun lainnya. Pengelolaan melalui biaya masuk kawasan konservasi Pulau Pramuka sebesar Rp ,- tidak mampu untuk memperbaiki kondisi tutupan karang hidup. Nilai WTP wisatawan lebih tinggi dibandingkan tanpa adanya pengelolaan yaitu sebesar Rp ,- akan tetapi jumlah wisatawan yang berkunjung lebih sedikit hingga mencapai 367 orang pada akhir simulasi. Limbah yang dibuang ke perairan mencapai mg/l yang masih berada dibawah ambang batas. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap masyarakat maka sejumlah 68% limbah domestik masyarakat diendapkan dan kemudian menguap atau terserap ke tanah dan hanya sejumlah 3% dibuang langsung ke perairan tanpa melalui proses pengolahan terlebih dulu. Adanya pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan sangat penting dilakukan untuk menghindari pencemaran perairan yang

133 0 semakin tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pramuka yang dapat mengancam tutupan karang hidup. Skenario pengolahan air limbah yang dibuang ke perairan sebesar 30% hanya membuat tutupan karang hidup pada stasiun dan stasiun menjadi lebih baik hanya pada awal simulasi dan setelah 0 tahun akan semakin berkurang, sedangkan pada stasiun 3 tutupan karang hidup cenderung semakin baik pada akhir simulasi. Pada stasiun 4 dan stasiun 5 tutupan karang hidup cenderung menurun hingga akhir simulasi. Jumlah kandungan limbah mencapai mg/l yang masih berada dibawah ambang batas bagi kesehatan tutupan karang hidup hasil simulasi. Jumlah wisatawan yang berkunjung lebih banyak dibandingkan tanpa pengelolaan yaitu sebanyak orang dan nilai WTP hanya sebesar Rp ,- yang lebih rendah dibandingkan awal simulasi. Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang menyebabkan tutupan karang hidup untuk semua stasiun menjadi lebih baik dan tutupan alga menjadi berkurang. Limbah yang dibuang langsung ke perairan sejumlah mg/l yang berada dibawah ambang batas bagi kesehatan tutupan karang hidup hasil simulasi. Berdasarkan hasil simulasi pengelolaan terpadu maka diperoleh sebaran WTP berdasarkan kelompok pendapatan seperti pada Tabel 5. WTP tiap kelompok dan rerata pada akhir simulasi lebih kecil dibandingkan pada awal simulasi. Semakin besar pendapatan wisatawan maka keinginan untuk membayar kualitas ekosistem terumbu karang juga akan semakin besar. Tabel 5. Simulasi kelompok WTP (dalam ratusan ribu rupiah) berdasarkan pendapatan. Kelompok WTP Awal simulasi (Mei 0) Akhir simulasi (Mei 0) WTP WTP.48.8 WTP WTP WTP rerata Sumber : data hasil olahan (0) Pengelolaan terpadu menyebabkan jumlah wisatawan yang berkunjung menjadi lebih banyak hingga mencapai orang dan berada diatas daya dukung penginapan yang ada sebanyak orang. WTP wisatawan sebesar Rp ,- per orang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario pengelolaan lainnya tetapi lebih kecil dibandingkan awal simulasi sebesar Rp ,-. Nilai

134 0 total benefit yang diperoleh mencapai Rp ,- dimana nilai total benefit tersebut belum didiskon dan hanya untuk mengetahui aliran nilai multiyears (Hutabarat et al. 009a). Nilai perhitungan WTP dan total benefit dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Nilai WTP individu dari wisatawan dan total benefit kegiatan wisata di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Simulasi WTP i individu Jumlah wisatawan Total benefit* Awal (Mei 0) Rp , Rp ,- Akhir (Mei 0) Rp , Rp ,- Sumber : Data hasil olahan Keterangan : * = nilai sebelum didiskon Berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa pada akhir simulasi bulan Mei 0 masih terdapat lahan kosong yang belum dimanfaatkan seluas.47 hektar (Tabel 7). Harus ada kebijakan pemanfaatan lahan untuk tetap menjaga agar lahan kosong tersebut tetap terjaga dan tidak dimanfaatkan. Hal ini disebabkan apabila lahan kosong tersebut ditanami dengan vegetasi dan tidak dialihfungsikan sebagai bangunan maka akan cukup bermanfaat sebagai daerah resapan air untuk menjaga kualitas sumber air tawar di Pulau Pramuka. Tabel 7. Pemanfaatan lahan untuk pemukiman penduduk dan fasilitas penginapan. Pemanfaatan lahan Luas awal simulasi Mei 0 Luas akhir simulasi Mei 0 (hektar) (hektar) Luas pemukiman Luas penginapan Luas lahan kosong Sumber : Data hasil olahan Pengelolaan sektoral, seperti pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang (sub-model biologi), tidak cukup untuk menjaga keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Demikian juga halnya pengelolaan biaya masuk kawasan konservasi (sub-model sosial ekonomi) tidak dapat membuat kondisi lingkungan perairan dan ekosistem terumbu karang menjadi berkelanjutan. Pengelolaan pengolahan air limbah (sub-model lingkungan perairan) juga tidak dapat membuat ekosistem terumbu karang menjadi berkelanjutan. Berdasarkan analisis kriteria ganda menggunakan analisis trade-off maka skenario pengelolaan terpadu dari sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan sub-model sosial ekonomi merupakan strategi pengelolaan yang

135 03 paling tepat dibandingkan dengan skenario pengelolaan lainnya yang tidak menitikberatkan pengelolaan hanya pada sektor-sektor tertentu. Secara umum pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 67. Sub-sistem Sosial Ekonomi - Kunjungan wisatawan - Pemanfaatan lahan Kualitas lingkungan perairan - Kunjungan wisatawan - Aktifitas wisatawan Ekosistem terumbu karang Sub-sistem Lingkungan Perairan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Terumbu Karang di P. Pramuka, Taman Nasional Kep. Seribu Sub-sistem Biologi limbah (BOD) Gambar 67. Pengelolaan terpadu ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu.

136 04

137 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5. Kesimpulan Berdasarkan studi model dinamik didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang keberlanjutan di Pulau Pramuka maka dapat disimpulkan sebagai berikut :. Pengelolaan secara sektoral dari sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan, sub-model sosial ekonomi tidak menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang;. Pengelolaan sub-model biologi, sub-model lingkungan perairan dan submodel sosial ekonomi sangat terkait satu sama lain dan harus dilaksanakan secara terpadu untuk menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang; 3. Pengelolaan terpadu untuk menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang antara lain meliputi : a. Pengelolaan faktor-faktor yang mengancam terumbu karang yaitu berupa pembatasan atau pengurangan perikanan muroami, pengelolaan sampah yang berasal dari masyarakat, pengolahan air limbah sebelum dibuang langsung ke perairan, pembuatan jangkar kapal permanen untuk tambatan kapal nelayan, peningkatan kesadaran bagi wisatawan yang melakukan kegiatan selam dan snorkeling, perikanan tradisional yang ramah lingkungan, pelarangan perikanan menggunakan bom dan potasium/sianida serta mencegah aktifitas yang mengakibatkan tingginya sedimentasi di sekitar perairan Pulau Pramuka; b. Biaya memasuki kawasan konservasi Pulau Pramuka minimal sebesar Rp ,- bagi para wisatawan atau individu; c. Pengolahan air limbah sebesar 30% sebelum dibuang langsung ke perairan. 4. Pengelolaan terpadu bukan saja menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang tetapi juga dapat menjamin keberlanjutan ekosistem lainnya seperti lamun dan mangrove serta keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pramuka;

138 06 5. Model dinamik dalam penelitian ini dapat diandalkan sebagai salah satu alternatif bagi pemangku kepentingan didalam mengelola ekosistem terumbu karang. 5. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:. Perlu adanya pengelolaan sampah secara terpadu bukan saja antara Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tetapi juga wilayah terkait terutama daerah-daerah yang memiliki muara sungai di Teluk Jakarta seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat;. Perlu dilakukan studi tentang pengaruh kualitas air tawar akibat meningkatnya pemanfaatan lahan baik untuk pemukiman masyarakat maupun untuk pembangunan fasilitas wisata; 3. Perlu ditetapkan luasan lahan kosong minimal sebagai ruang terbuka hijau dan resapan air untuk menjaga kualitas dan keberlajutan sumber air tawar di Pulau Pramuka; 4. Dana yang diperoleh dari biaya masuk wisatawan digunakan untuk pembangunan pengolahan limbah domestik, pengadaan dan perbaikan sarana sanitasi dan saluran buangan limbah domestik serta pengembangan dan perbaikan sarana pengolahan sampah. 5. Perlu dilakukan kegiatan-kegiatan wisata yang mengajak wisatawan untuk secara langsung membantu melakukan rehabilitasi dan perbaikan ekosistem di Pulau Pramuka seperti kegiatan penanaman karang, lamun dan mangrove serta sosialisasi tentang pentingnya ekosistem terumbu karang; 6. Perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu antara Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu selaku pemangku kepentingan untuk menjamin keberlanjutan ekosistem terumbu karang.

139 DAFTAR PUSTAKA [BTNKS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 0. Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta. [MENPPW]. 00. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/00 tentang Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum (Lampiran ). Jakarta. [MENLH]. 00. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 00 (Lampiran ) tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta. [MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Tahun 003 (Lampiran ) tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Jakarta. [MENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 004 (Lampiran 3) tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta. [Provinsi DKI Jakarta] Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor tahun 005 (Lampiran 3) tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta. Boyd, C. E Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University Agriculture Experiment Station. Alabama. Brown, K et al. 00. Trade-off analysis for marine protected area management. Ecological Economics 37: Chang Y.C., F.W, Hong, M.T. Lee A system dynamic based DSS for sustainable coral reef management in Kenting coastal zone, Taiwan. Journal of Ecological Modelling Cicin-Sain, B. and Knecht, R.W Integrated Coastal Zone Management : Concepts and Practises. Island Press. Washington DC USA. Cesar, H. S. J Coral reefs: Their functions, threats and economic value. In Cesar, H.S.J. (Ed). Collected essays on the economics of coral reefs. Corepoint Review of International Approaches to Integrated Coastal Zone Management (ICM). Marine Law and and Ocean Policy Center. Ireland. Effendi, H Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

140 08 Engelen, G., White, R., Uljee, I. and Warnies, S Numerical Modelling of Small Island Socio-Economic to Achieve sustainable Development. Coastal and Estuarines Studies 5:437:463. English, S., C. Wilkinson, V. Baker Survey Manual for Tropical Marine Resources. nd edition. Australian Institute of Marine Science. Australia. Ford, A Modelling the Environment : An Introduction to System Dynamics Modeling of Environmental Systems. Island Press Washington DC USA. Fabricius, K.E Effects of terrestrial runoff on the ecology of corals and coral reefs : review and synthesis. Marine Pollution Bulletin 50:5-46. Farhan, A.R. and Lim, S. 0. Vulnerability assessment of ecological conditions in Seribu Islands, Indonesia. Journal of Ocean & Coastal management 65:- 4. FAO Application of the contingent valuation method in developing countries. FAO Economic and Social Development Paper. No. 46/000. Rome. Italy. GeoEye. 00. GeoEye- Fact Sheet. GeoEye Inc. USA. Gibson, R. N., R. J. Atkinson dan J. D. M. Gordon Oceanography and Marine Biology an Annual Review. CRC Press. New York. Grant, W.E., Pedersen E.K. and Marin S.L Ecology and Natural Resource Management : System Analysis and Simulation. John Wiley & Sons Inc. Canada. Hannon, B., Ruth, M., 997. Modeling Dynamic Biological Systems. Springer- Verlag, New York. Hargrave B.T. 00. A traffic light decision system for marine finfish aquaculture sitting. Journal of Ocean & Coastal Management 45:5-35. Hariyadi, S, Suryadiputra, Widigdo, B Limnologi : Metode Analisa Kualitas Air. Laboratorium Limnologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Hess, Alison L Overview : Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Man and the Biosphere Series 5:3-4. Hubbard, DK Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. P

141 09 Hutabarat, AA et al. 009a. Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Pusdiklat Kehutanan-SECEM. Bogor. Hutabarat, A.A., Yulianda, F., Fahrudin, A., Harteti, S., Kusharjani. 009b. Pengelolaan esisir dan Laut secara Terpadu. Pusdiklat Kehutanan- SECEM. Bogor. IWICM (The International Workshop on Integrated Coastal Management in Tropical Developing Countries: Lesson Learned from Success and Failures) Enhancing the success of integrated coastal management: Good practises in the formulation, design and implementation of integrated coastal management initiatives. MPP-EAS Technical Report No., 3p. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of marine Pollution in the East Asian Seasand the Coastal management Center, Quezon City, Philippines. Jarre et.al Knowledge-based systems as decision support tools in an ecosystem approach to fisheries : Comparing a fuzzy-logic and a rule-based approach. Journal of Progress in Oceanography 79: Khorshiddoust, A.M Contingent Valuation in Estimating the Willingness to Pay for Environmental Consevation in Tabriz, Iran. Environmental Studies 30:-. Kohler K.E. and Gill S.M Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Journal of Computers & Geosciences Koop, K., D. Booth, A. Broadbents, J. Brodie, D. Bucher, D. Capone, J. Coll, W. Dennison, M. Erdmann, P. Harrison, O. Hoegh-Guldberg, P. Hutchings, G. Williamson, dan D. Yellowless. 00. ENCORE: the Effect of Nutrient Enrichment on Coral Reef. Synthesis of Result and Conclusions. Marine Pollution Buletin 4():9-0. Sydney. McManus, J.W. and Polsenberg J.F Coral-algal phase shift on coral reefs : ecological and environmental aspects. Progress in Oceanography 60: Nardo, M., Saisana M., Saltelli A., Tarantola, S Tools for Composite Indicators Building. European Commision. Italy. Nybakken, J. W Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT Gramedia. Jakarta. Prastowo, M., S. Timotius dan M. Syahrir. 0. Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 009 dan Perbandingan Dua Tahunan

142 0 (005, 007 dan 009). Terumbu Karang Jakarta : Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu ( ). Yayasan Terangi, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Dinas Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kepulauan Seribu dan The David Lucile & Packard Foundation. Jakarta Preskitt L.B., Vroom P.S., Smith C.M A Rapid Ecological Assessment (REA) Quantitative Survey Method for Benthic Algae Using Photoquadrats with Scuba. Journal of Pacific Science 58():0-09. Roger, C.S Responses of Coral Reef and Reef Organism to Sedimentation. Marine Ecology Progress Series Rogers, C.S, Garrison, G, Grobber, R, Hillis, Zandy-Marie, Franke, Mary Ann Coral reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands National Park. USA. Romimohtarto, K., dan S. Juwana. 00. Biota Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Salvat, B Human Impact On Coral Reef : Facts and Recommendation. Impacts des activities humanies sur les recifs corraliens : Connaissance et recomendatuions. Antene de Tahiti Museum EPHEBP 03. Papetoai, Moorea, Polynese Francaise. Scardi et.al An expert system based on fish assemblages for evaluating the ecology quality of streams and rivers. Journal of Ecological Informatics 3: Smantz, A.M. 00. Nutrient enrichment on coastal reefs : Is it a major cause of coral reef decline. Journal of Estuaries 5(4b): Supriharyono Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. Sutika, N Ilmu Air. Universitas Pajajaran-BUNPAD. Bandung. Thamrin Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres. Pekanbaru. Tomascik T, Mah A.J., Nontji A, Moosa MK The Ecology of the Indonesian Seas : Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore.

143 L A M P I R A N

144

145 Lampiran. Citra satelit GeoEye- Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu 3

146 4 Lampiran. Kuesioner bagi wisatawan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA - INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kepada Yth. : Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, responden. Untuk keperluan penyusunan tesis, maka saya : Nama : Suryo Kusumo - Perguruan Tinggi : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Saat ini sedang menyusun tesis dengan topik : Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu. Saya sangat mengharapkan parsitipasi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk dapat meluangkan waktu untuk dapat membantu didalam menjawab beberapa pertanyaan. Atas partisipasinya saya ucapkan terima kasih. Petunjuk : Berilah tanda silang (X) atau check ( ) pada jawaban yang Anda pilih. Pilih satu jawaban saja untuk satu pertanyaan, serta mengisi titik-titik jawaban yang diperlukan. Nama Pekerjaan Kota asal : : Pelajar / Mahasiswa / Karyawan Swasta / Pegawai Negeri Sipil / : Jakarta / Tangerang / Bekasi / Depok / Bogor / Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan Pendidikan terakhir :. Berapa usia Anda? a. < tahun d tahun b. -30 tahun e. >50 tahun c tahun. Berapa pendapatan Anda per bulan? a. < Rp. juta d. > Rp. 5 juta b. Rp., juta Rp. 3 juta c. Rp. 3 juta Rp. 5 juta 3. Pulau Pramuka termasuk kedalam kawasan konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu dan apabila Anda memasuki kawasan konservasi maka akan dikenakan biaya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Anda berapa jumlah uang yang harus dibayarkan untuk masuk ke Pulau Pramuka? Rp.

147 5 Lampiran. (Lanjutan) 4. Selama di Pulau Pramuka, dimanakah Anda menginap? (Anda bisa menjawab lebih dari satu jawaban) 5. Kegiatan apa yang biasanya Anda lakukan? (Anda bisa menjawab lebih dari satu jawaban) ( ) Menikmati pemandangan alam ( ) Menyelam (diving) ( ) Snorkeling ( ) Memancing ( ) Lainnya 6. Dimanakah Anda melakukan kegiatan wisata di atas (nomor 5)? (Anda bisa menjawab lebih dari satu jawaban) ( ) Pulau Pramuka ( ) Pulau Karya ( ) Pulau Panggang ( ) Pulau Semak Daun ( ) Lainnya 7. Apakah Anda puas berwisata di Pulau Pramuka? a. Sangat tidak puas b. Tidak puas c. Cukup puas d. Puas e. Sangat puas 8. Dalam tahun berapa kali Anda akan berkunjung ke Pulau Pramuka? kali 9. Menurut Anda, bagaimana kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka? (dalam persen) % Kisaran nilai : (0 % = rusak) (50 % = sedang) (00 % = sangat baik) 0. Berapa jumlah uang yang sanggup anda bayarkan untuk menikmati keindahan terumbu karang dengan kondisi saat ini? Rp.. Menurut Anda, bagaimana kondisi kualitas perairan laut di Pulau Pramuka? (dalam persen) % Kisaran nilai : (0 % = tercemar) (50 % = sedang) (00 % = sangat baik). Berapa jumlah uang yang sanggup anda bayarkan untuk menikmati keindahan perairan laut dengan kondisi saat ini? Rp. 3. Menurut Anda, bagaimana kondisi fasilitas penginapan di Pulau Pramuka? (dalam persen) % Kisaran nilai : (0 % = buruk) (50 % = sedang) (00 % = sangat baik)

148 6 Lampiran. (Lanjutan) 4. Menurut Anda, berapa harga penginapan yang sanggup anda bayar per malam dengan kondisi penginapan yang ada saat ini? (dalam persen) Rp. 5. Jika Anda berwisata ke Pulau Pramuka, berapa jumlah rombongan/teman Anda? orang Terima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari responden. Hormat saya, Suryo Kusumo

149 7 Lampiran 3. Responden wisatawan di Pulau Pramuka, TN. Kepulauan Seribu No. Nama Pekerjaan Kota Asal Jenis Kelamin Pendidikan Usia Pendapatan Shinta Mahasiswa Jakarta Laki-laki < Aditya P. Mahaiswa Bogor Laki-laki SMA Wahid Mahasiswa Jakarta Laki-laki STM Irma Karyawan swasta Depok Perempuan SMA -30 <juta 5 Supriatna Karyawan swasta Depok Laki-laki SMA -30 <juta 6 Henri Karyawan swasta Jakarta Laki-laki D >5juta 7 Kevin Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA Fristi.M.P Mahasiswa Bogor Perempuan S -30 <juta 9 Lina Yuni K Mahasiswa Bandung Perempuan S -30 <juta 0 Satria Afnan Mahasiswa Nganjuk Laki-laki S < <juta Arif. N Mahasiswa Bandung Laki-laki S -30 Azzahra Khairunnisa Mahasiswa Jakarta Perempuan S -30,-3 juta 3 Lukman Hakim Mahasiswa Bogor Laki-laki S -30,-3 juta 4 Tegar. B Karyawan swasta Jakarta Laki-laki S -30 >5juta 5 Aditya.P.M Karyawan swasta Jakarta Laki-laki S -30,-3 juta 6 Tata Karyawan swasta Jakarta Perempuan S -30,-3 juta 7 Leo Mahasiswa Jakarta Laki-laki S -30 <juta 8 Hesti Karyawan swasta Jakarta Perempuan S juta 9 Jeanny Karyawan swasta Jakarta Perempuan S -30,-3 juta 0 Widya Karyawan swasta Jakarta Perempuan S -30,-3 juta Fiqri Suthori Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA < < juta Agnes Mahasiswa Jakarta Perempuan SMA < < juta 3 Dio Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA -30 < juta 4 Farrel Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA -30 <juta 5 Archie Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA -30,- 3 juta 6 Riris Budiati Mahasiswa Bekasi Perempuan SMK < < juta 7 Akmal Karyawan swasta Bekasi Laki-laki SMK <,-3 juta 8 Dede Akbar PNS Bekasi Perempuan S3 < < juta 9 Rahadyan Syafari Mahasiswa Bekasi Laki-laki SMK < 30 Nuryanto - Depok Laki-laki Nova Mahasiswa Bekasi Perempuan SMA SMA -30,-3 juta 33 M. Khalid Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA -30,-3 juta 34 Trishe Rastavanie Karyawan swasta Jakarta Perempuan S -30,-3 juta 35 Rana Kumbolo Karyawan swasta Bekasi Laki-laki SMA -30,-3 juta 36 Surip Jakarta Laki-laki STM Sandi Komara Karyawan swasta Jakarta Laki-laki D juta 38 Hany - Perempuan <,-3 juta 39 I Yoman Semehartha PNS Bali Laki-laki D juta 40 Harun AL Karyawan swasta Bekasi Laki-laki SMA -30,-3 juta 4 Syaifullah BUMN/PNS Jakarta Laki-laki S 4-50 >5juta 4 < <juta 43-30,-3 juta 44 Arip Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMA -30,-3 juta 45 Dhamar Pramudhito Karyawan swasta Depok Laki-laki S juta 46 Nevina Pelajar Jakarta Perempuan SMP < < juta 47 Jessica Pelajar Bogor Perempuan SMP < < juta 48 Era Pelajar Jakarta Perempuan SMP <,-3 juta 49 Tessi Karyawan swasta Jakarta Perempuan S -30 >5 juta 50 Jasper Pelajar Bogor Laki-laki SMP < <juta 5 Riyandi Dwi Prakoso Mahasiswa Jakarta Laki-laki SMA < <juta 5 Priscilla Pelajar Bogor Perempuan SMP < <juta 53 Jennifer Pelajar Bogor Perempuan SMP < <juta 54 Ananda Pelajar Jakarta Perempuan SMP < <juta 55 Sarahwenda Pelajar Depok Perempuan SMA < < juta 56 Angela Mayrina Pelajar Jakarta Perempuan SMA < 57 Nathaya Pelajar Bogor Perempuan < <juta 58 Wiliam. L Pelajar Jakarta Laki-laki < <juta 59 Nikolas Adia Pelajar Bogor Laki-laki SMA < 60 Jeremy Haryanto Pelajar Jakarta Laki-laki < < juta 6 Hendra Mahasiswa Semarang Laki-laki SMA <,-3 juta

150 8 Lampiran 3. Lanjutan. No. Nama Pekerjaan Kota Asal Jenis Kelamin Pendidikan Usia Pendapatan 6 Heri Wiraswasta Jakarta Laki-laki S juta 63 Dedi Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMA 4-50,- 3 juta 64 Awi Karyawan swasta Jakarta Laki-laki 3-40,- 3 juta 65 David Karyawan swasta Jakarta Laki-laki 3-40,- 3 juta 66 Edi Karyawan swasta Jakarta Laki-laki >50,-3 juta 67 Johan Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMA 3-40,-3 juta 68 Riyanto Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMP -30 < juta 69 Jason Karyawan swasta Jakarta Laki-laki S 3-40 >5 juta 70 Agata Mahasiswa Jakarta Perempuan D -30 < juta 7 Asroyo Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMA juta 7 Anita Ganestriawati Magasiswa Jakarta Perempuan SMA < - 73 Ahmad Nauval.J Pelajar Jakarta Laki-laki < 74 Angkasa Deaztara.P.S Pelajar Jakarta Laki-laki < < juta 75 Syahrullah.R Pelajar Jakarta Laki-laki SMP < < juta 76 Kurniawan Pelajar Jakarta Laki-laki < < juta 77 Deni Karyawan swasta Tangerang Laki-laki -30 < juta 78 Vivi Karyawan swasta Tangerang Perempuan S -30,-3 juta 79 Kezia Karyawan swasta Jakarta Perempuan -30,-3 juta 80 Restia Karyawan swasta Jakarta Perempuan SMK <,-3 juta 8 Anti Karyawan swasta Jakarta Perempuan juta 8 Tina Karyawan swasta Tangerang Perempuan SMA -30,-3 juta 83 Hadi.W Karyawan swasta Laki-laki S -30 <juta 84 Apip Karyawan swasta Jakarta Laki-laki Diploma -30,-3 juta 85 Novan Putra.F Karyawan swasta Jakarta Laki-laki SMA -30,-3 juta 86 Ruly Karyawan swasta Tangerang Laki-laki D3-30,-3 juta 87 Anto Karyawan swasta Tangerang Laki-laki D juta 88 Widya Mahasiswa Bekasi Perempuan -30 < juta 89 Irma Karyawan swasta Jakarta Perempuan -30,-3 juta 90 Sizi. P Karyawan swasta Jakarta Perempuan SMA -30,-3 juta 9 Anisa.M.D Karyawan swasta Jakarta Perempuan Diploma juta 9 Putra Zia Karyawan swasta Bekasi Laki-laki SMK <,- 3 juta 93 Rizqy Karyawan swasta Tangerang Laki-laki D juta 94 Faris Ilman Mahasiswa Depok Laki-laki D3 < < juta 95 Ronny Karyawan swasta Laki-laki SMA -30,-3 juta 96 Tuti Karyawan swasta Jakarta Perempuan juta 97 Angel Karyawan swasta Jakarta Perempuan juta 98 Rina Karyawan swasta Jakarta Perempuan D >5 juta 99 Bagus Siswoyo Mahasiswa Jakarta Laki-laki -30 < juta 00 M.Azis Mahasiswa NTT Laki-laki -30 No. Retribusi Tempat menginap Kegiatan wisata homestay menikmati pemandangan alam,500 Mess TNKS menikmati pemandangan alam, snorkling, memancing 3 menikmati pemandangan alam 4 menikmati pemandangan alam 5 6 0,000 homestay memancing 7 50,000 Dermaga cottage menikmati pemandangan alam dan memancing 8,500 Rumah nelayan menikmati pemandangan alam, snorkling dan penelitian 9,500 Rumah nelayan snorkling 0 0,000 homestay diving homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan penelitian,000 Rumah nelayan menikmati pemandangan alam, snorkling, penelitian dan diving 3 0,000 wisma menikmati pemandangan alam,snorkling,memancing dan bekerja 4 wisma menikmati pemandangan alam,snorkling,memancing diving dan pacaran 5 Rumah nelayan menyelam dan Snorkling 6 5,000 wisma Safir menikmati pemandangan alam dan snorkling 7,500 wisma Safir menikmati pemandangan alam, snorkling, memancing dan diving 8 0,000 wisma Safir menikmati pemandangan alam, snorkling dan naik banana boat 9 5,000 wisma Safir snorkling dan diving 0 5,000 wisma Safir menikmati pemandangan alam, snorkling, diving dan memancing 5,000 homestay snorkling 5,000 homestay snorkling 3 5,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling

151 9 Lampiran 3. Lanjutan. No. Retribusi Tempat menginap Kegiatan wisata 4 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 5 5,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 6,500 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan naik banana boat 7 3,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 8,000 homestay menikmati pemandangan, snorkling, memancing dan diving 9,000 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan diving 30 0,000 menikmati pemandangan alam 3,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 3,000 menikmati pemandanganalam,snorkling, diving, mancing dan camping 33,500 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan diving 34 0,000 menikmati pemandangan alam 35,500 snorkling 36 homestay menikmati pemandangan alam 37,500 menikmati pemandangan alam, snorkling, diving dan memancing ,000 homestay snorkling 39 5,000 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan diving 40,000 di kapal 4 5,000 Rumah nelayan memancing 4 5,000 di kapal menikmati pemandangan alam dan memancing 43 gratis di kapal menikmati pemandangan alam dan memancing 44 5,000 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving 45,500 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 46,000 homestay menikmati pemandangan alam 47 homestay snorkling 48 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving 49 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 50 00,000 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving 5 0,000 homestay snorkling 5 5,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 53 5,000 homestay menikmati pemandangan alam 54 5,000 homestay Snorkling 55 5,000 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling, diving dan mengerjakan tugas 56 5,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 57 5,000 homestay menikmati pemandangan alam 58 5,000 homestay menyelam 59 5,000 homestay snorkling dan basket hall 60 5,000 homestay snorkling 6 0,000 homestay snorkling 6 5,000 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling, diving dan menjual jasa guide 63 homestay menikmati pemandangan alam dan memancing 64,500 homestay menikmati pemandangan alam an memancing 65,500 homestay menikmati pemandangan alam dan memancing 66,000 homestay memancing 67,500 homestay menikmati pemandangan alam dan memancing 68,500 homestay menikmati pemandangan alam dan memancing 69 50,000 homestay diving 70 0,000 homestay diving 7 homestay diving 7 7,500 Homestay Snorkeling 73 0,000 homestay diving 74 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 75 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 76 00,000 homestay menikmati pemandngan alam 77,000 homestay menikmati pemandangan alam an snorkling 78 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 79 0,000 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan memancing 80 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan foto-foto 8 homestay menikmati pemandangan alam,snorkling dan foto-foto 8 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 83 0,000 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan jalan-jalan 84 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 85 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 86 0,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 87 50,000 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving

152 0 Lampiran 3. Lanjutan. No. Retribusi Tempat menginap Kegiatan wisata 88,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 89 5,000 Homestay menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving 90 30,000 homestay menikmati pemandangan alam,dan foto-foto 9 00,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 9 350,000 menikmati pemandangan alam dan snorkling 93 0,000 menikmati pemandangan alam, ding dan memancing 94,500 menikmati pemandangan alam, snorkling dan diving ,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling ,000 homestay menikmati pemandangan alam, snorkling, diving dan bersepeda 97 30,000 homestay snorkling dan diving 98 50,000 homestay menikmati pemandangan alam dan snorkling 99 00,000 menyelam dan Snorkling 00 5,000 homestay menikmati pemandangan alam dan diving No. Lokasi wisata Tingkat kepuasan Frek. Kunjungan Pulau Pramuka cukup puas kali Pulau Pramuka, P. Rambut puas - kali 3 Pulau Pramuka Pulau Pramuka puas 5 kali 7 Pulau Pramuka puas -3 kali 8 Pulau Pramuka puas 4 kali 9 Pulau Pramuka puas 0 Pulau Pramuka puas 3 kali Pulau Pramuka puas Pulau Pramuka, Karya, Panggang dan Semak Daun puas - kali 3 Pulau Pramuka puas kali 4 Pulau Pramuka dan Tidung cukup puas 0 kali 5 Pulau Pramuka puas kali 6 Pulau Pramuka,Semak daun dan Keramba puas kali 7 Pulau Pramuka cukup puas 8 Pulau Pramuka cukup puas kali 9 Pulau Pramuka cukup puas kali 0 Pulau Pramuka, Panggang dan Semak Daun cukup puas kali Pulau Semak Daun cukup puas kali Pulau Pramuka cukup puas kali 3 Pulau Pramuka cukup puas kali 4 Pulau Pramuka dan Tidung cukup puas kali 5 Pulau Pramuka puas kali 6 Pulau Pramuka, Air dan Semak Daun puas 0 kali 7 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun puas 8 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun cukup puas 0 kali 9 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun sangat puas 5 kali 30 Pulau Pramuka puas 3 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun puas 5 kali 3 Pulau Perak dan Panjang kecil cukup puas 7 kali 33 cukup puas kali 34 Pulau Perak cukup puas 35 Pulau Perak cukup puas kali 36 Pulau Pramuka cukup puas kali 37 Pulau pramuka, Panggang, Perak, Kelapa dan Putri cukup puas kali 38 Pulau Pramuka,Panggang, Karya, Harapan dan Tidung puas kali 39 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun sangat puas 6-7 kali 40 4 Pulau Peniki cukup puas 0 kali 4 Pulau Pramuka puas kali 43 Pulau Pramuka cukup puas kali 44 Pulau Pramuka, Semak Daun dan lain cukup puas 30 kali 45 Pulau Pramuka dan Semak Daun puas 0 kali 46 Pulau Pramuka cukup puas kali 47 Pulau Pramuka puas kali

153 Lampiran 3. Lanjutan. No. Lokasi wisata Tingkat kepuasan Frek. Kunjungan 48 Pulau Pramuka puas kali 49 Pulau Pramuka dan Semak Daun cukup puas kali 50 Pulau Pramuka puas kali 5 Pulau Pramuka dan Semak Daun puas 3-4 kali 5 Pulau Pramuka dan Semak Daun puas kali 53 Pulau Pramuka puas kali 54 Pulau Pramuka cukup puas kali 55 Pulau Pramuka dan Tidung cukup puas kali 56 Pulau Pramuka cukup puas kali 57 Pulau Pramuka cukup puas kali 58 Pulau Pramuka sangat puas kali 59 Pulau Pramuka sangat puas kali 60 Pulau Pramuka dan Semak Daun sangat puas kali 6 pulau Pramuka puas kali 6 Pulau Pramuka,panggang, Karya, Sepa, Air dan Bidadari sangat puas 0 kali 63 Pulau Pramuka, Panggang dan Onrus tidak puas 5 kali 64 Pulau pramuka, Panggang, dan Ondrus cukup puas 6 kali 65 Pulau Pramuka dan Panggang puas kali 66 Pulau pramuka, Panggang dan Tidung cukup puas 3 kali 67 Pulau Pramuka dan Untung Jawa cukup puas kali 68 Pulau Pramuka puas kali 69 Pulau Pramuka puas kali 70 Pulau Pramuka dan Panggang cukup puas 5 kali 7 Pulau Pramuka, Panggang dan Semak Daun cukup puas 4 kali 7 Pulau Pramuka, P. Karya, P. Semak Daun cukup puas kali 73 Pulau Pramuka sangat puas kali 74 Pulau Pramuka puas kali 75 Pulau Pramuka puas kali 76 Pulau Pramuka puas kali 77 Pulau Pramuka cukup puas kali 78 Pulau Air dan Semak Daun puas 79 Pulau Pramuka, Semak Daun dan Air puas kali 80 Pulau Pramuka,Semak Daun dan Air puas 8 Pulau Pramuka,Semak Daun dan Air kali 8 Pulau Semak Daun dan Pulau Air puas 83 Pulau Tidung cukup puas kali 84 Pulau Pramuka dan Semak Daun puas 85 Pulau Panggang dan Pulau Semak Daun cukup puas kali 86 Pulau Pramuka dan Panggang cukup puas kali 87 Pulau Pramuka, Semak Daun dan Pulau Air puas kali 88 Pulau Pramuka puas 5 kali 89 cukup puas kali 90 Pulau Pramuka, Semak Daun, Air dan Tidung cukup puas kali 9 Pulau Semak Daun dan Pulau Air cukup puas kali 9 Pulau Semak Daun dan Pulau Air cukup puas kali 93 Pulau Air cukup puas kali 94 Pulau Pramuka, Panggang, Karya dan Semak Daun puas kali 95 Pulau Pramuka, Panggang, Semak Daun dan alin-lain puas kali 96 Pulau Pramuka sangat puas kali 97 Pulau Pramuka dan Pulau Panggang puas kali 98 Pulau Pramuka dan Semak Daun puas kali 99 Pulau Pramuka puas kali 00 Pulau Pramuka puas kali No. CORAL_T Biaya terumbu karang WQ Biaya perairan FQ Biaya menginap Jumlah grup 50% 0,000 0% 0,000 70% 300,000 3 orang 50% 5,000 75% 5,000 50% 50,000 < 0 orang % 90%,000,000 80% 300,000 3 orang 7 50% 50% 80% 50,00-4 orang

154 Lampiran 3. Lanjutan. No. CORAL_T Biaya terumbu karang WQ Biaya perairan FQ Biaya menginap Jumlah grup 8 45% 50% 0,000 60% 5 orang 9 50% 50% 50% 5 orang 0 50% 0,000 50% 00,000 50% 00,000 0 orang 50% 00% 00% 50% 500,000 50% 500,000 80% 300,000 5 orang 3 50% 5,000 00% 0,000 50% 00,000 0 orang 4 30% 50% 60% 0, orang 5 0% 300,000 50% 300,000 50% 00,000 6 orang 6 50% 00,000 65% 00,000 50% 75,000 7 orang 7 60% 50,000 80% 50,000 80% 50,000 7 orang 8 60% 00,000 60% 00,000 70% 00,000 7 orang 9 50% 50,000 45% 00,000 65% 50,000 6 orang 0 50% 00,000 30% 00,000 85% 00,000 5 orang 50% 0,000 70% 5,000 85% 50,000 0 orang 50% 50,000 50% 0,000 50% 0 orang 3 50% 00,000 50% 00,000 00% 00,000 0 orang 4 30% 5,000 0% 5,000 40% 30,000 orang 5 75% 00,000 75% 00,000 75% 50,000 0 orang 6 50% 50% 50% 0 orang 7 50% 50% 80% 0 orang 8 50% 50% 80% 0 orang 9 60% 00,000 50% 300,000 80% 50,000 0 orang 30 50% 5,000 50% 5,000 50% 4 orang 3 50% 50% 300,000 50% 50,000 0 orang 3 50% 350,000 50% 50,000 50% 00,000 0 orang 33 50% 300,000 50% 300,000 50% 50,000 0 orang 34 50% 50,000 50% 50,000 50% 00,000 0 orang 35 60% 00,000 70% 50,000 50% 0 orang 36 50% 50% 00,000 orang 37 30% 50,000 60% 50,000 30% 00,000 0 orang 38 50% 30,000 50% 30,000 00% 300,000 5 orang 39 50% 300,000 50% 0,000 00% 300, orang % 30,000 50% 0,000 70% 00,000 3 orang 4 40% 0 50% 5,000 60% 30,000 3 orang 43 50% 0,000 50% 00,000 50% 00,000 5 orang 44 50% 00,000 50% 00,000 60% 00,000 0 orang 45 50% 0,000 60% 5,000 60% 400, orang 46 60% 50% 30% 00, orang 47 50% 50,000 50% 00,000 30% 50,000 0 orang 48 55% 00,000 45% 50,000 0% 50, orang 49 60% 00,000 50% 00,000 50% 50, orang 50 30% 50,000 75% 50,000 50% 00, orang 5 30% 300,000 0% 00,000 80% 00, orang 5 50% 50,000 70% 5,000 60% 00, orang 53 70% 5,000 50% 5,000 45% 00, orang ,000 45% 50,000 50% 00, orang 55 0% 0,000 50% 5,000 50% 00, orang 56 50% 0,000 50% 5,000 50% 00, orang 57 50% 7,500 50% 0,000 50% 00, orang 58 50% 75,000 0% 50,000 50% 00, orang 59 75% 75,000 50% 00,000 75% 00, orang 60 75% 0,000 75% 0,000 75% 50, orang 6 5% 0,000 0% 0,000 5% 75, % 500,000 50% 500,000 70% 300, orang 63 50% 00,000 30% 00,000 50% 350,000 3 orang 64 0% 30% 30,000 70% 300,000 3 orang 65 60% 60,000 30% 0,000 70% 00,000 3 orang 66 80% 00,000 50% 0,000 50% 00,000 orang 67 30% 5,000 0% 5,000 00% 300,000 5 orang 68 50% 30,000 50% 30,000 80% 50,000 5 orang 69 30% 30,000 30% 50,000 0% 300,000 orang 70 5% 50,000 0% 30,000 80% 400,000 orang 7 0% 0 40% 0 60% 400,000 3 orang

155 3 Lampiran 3. Lanjutan. No. CORAL_T Biaya terumbu karang WQ Biaya perairan FQ Biaya menginap Jumlah grup 7 75% 0,000 75% 9,000 75% 00, orang 73 50% 50,000 00% 00,000 00% orang 74 70% 0,000 85% 5,000 75% orang 75 65% 0,000 85% 5,000 75% orang 76 75% 0,000 50% 0,000 00% orang 77 30% 0,000 35% 0,000 50% 00,000 3 orang 78 00% 00% 50% 5-8 orang 79 00% 50% 50% orang 80 50% 50% 75% 00,000 0 orang 8 70% 85% 90% 00,000 0 orang 8 00% 00% 50% 0 orang 83 00% 00,000 50% 00,000 00% 00,000 6 orang 84 50% 00,000 50% 300,000 50% 300,000 0 orang 85 50% 00,000 50% 300,000 50% 300,000 0 orang 86 50% 00,000 50% 00,000 50% 300,000 0 orang 87 60% 50,000 50% 50,000 70% 00,000 0 orang 88 50% 50,000 40% 30,000 40% 50,000 orang 89 50% 00,000 50% 00,000 50% 00,000 5 orang 90 45% 300,000 55% 00,000 80% 00,000 orang 9 50% 00,000 50% 50,000 0 orang 9 50% 300,000 50% 00,000 50% 00,000 0 orang 93 50% 00,000 50% 300,000 00% 300,000 0 orang 94 50% 50,000 50% 80% 300,000 0 orang 95 70% 50,000 90% 00,000 90% 300,000 0 orang 96 50% 00,000 50% 300,000 60% 00,000 0 orang 97 45% 450,000 40% 400,000 80% 50,000 0 orang 98 60% 500,000 38% 500,000 70% 00,000 5 orang 99 60% 50,000 50% 50,000 70% 350,000 0 orang 00 0% 90% 30,000 00% 300,000 0 orang

156 4 Lampiran 4. Hasil kuesioner wisatawan. Jenis pekerjaan Asal kota No. Pekerjaan Jumlah Jumlah % No. Kota (orang) (orang) % Karyawan swasta Jakarta Mahasiswa 6 6 Bekasi Pelajar Bogor Belum bekerja Tidak menjawab PNS Depok Wiraswasta 6 Tangerang 6 6 Jumlah 00 7 Lainnya 6 6 Jumlah Jenis kelamin Usia No. Jenis kelamin Jumlah Jumlah % No. Umur (orang) (orang) % Laki-laki < thn 3 3 Perempuan thn Jumlah thn thn > 50 thn 6 Tidak menjawab Jumlah Pendapatan Frekuensi kunjungan No. Pendapatan Jumlah Jumlah % No. Kunjungan (orang) (orang) % < Rp. jt/bln kali/thn 6 6 Rp.,-3jt/bln kali/thn Rp. 3-5jt/bln kali/thn > Rp. 5jt/bln >6 kali/thn 5 Belum ada Tidak tahu 5 5 Jumlah Jumlah Pendidikan Tempat menginap No. Pendidikan Jumlah Jumlah % No. Tempat (orang) (orang) % SMP 9 9 Penginapan SMU Tidak menjawab Diploma 3 Lainnya S Jumlah S 6 S3 7 Tidak menjawab 4 4 Jumlah 00 00

157 5 Lampiran 5. Hasil analisis WTP menggunakan regresi linier berganda. Tabel. Data kuesioner yang digunakan dalam analisis regresi linier berganda No. responden WTP FQ CQ WQ I Keterangan : WTP = Willingness to Pay (dalam ratusan ribu rupiah); FQ = kualitas fasilitas penginapan; CORAL_T = kualitas terumbu karang; WQ = kualitas perairan laut; I = pendapatan (dalam jutaan rupiah).

158 6 Lampiran 5. Lanjutan. SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square 0.57 Standard Error.76 Observations ANOVA df SS MS F Significance F Regression E-07 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept FQ CQ WQ I n = 40 orang, = 5 %, F (4,35) =.64 sumber : data primer diolah (0) menggunakan Microsoft Excel

159 7 Lampiran 6. Foto kuadrat tutupan karang hidup dan alga pada stasiun pengamatan di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu. Stasiun Kedalaman 3 m Kedalaman 5 m Kedalaman 0 m Stasiun Kedalaman 3 m

160 8 Lampiran 6. (Lanjutan) Kedalaman 5 m Kedalaman 0 m Stasiun 3 Kedalaman 3 m Kedalaman 5 m

161 9 Lampiran 6. (Lanjutan) Kedalaman 0 m Stasiun 4 Kedalaman 3 m Kedalaman 5 m Kedalaman 0 m

162 30 Lampiran 6. (Lanjutan) Stasiun 5 Kedalaman 3 m Kedalaman 5 m Kedalaman 0 m

163 Lampiran 7. Hasil analisis persentase tutupan karang dan alga di Pulau Pramuka, TN Kepulauan Seribu Stasiun Pengamatan No. Kategori Stasiun Stasiun Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 % 3 m 5 m 0 m % 3 m 5 m 0 m % 3 m 5 m 0 m % 3 m 5 m 0 m % 3 m 5 m 0 m % Karang hidup Karang mati Alga Pasir Biota lainnya Sampah Total Jumlah transek

164 3 Lampiran 8. Perangkap sedimen. Stasiun Stasiun Stasiun 4 Stasiun 5

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Hasil 4.. Sub-model Biologi 4... Analisis Tutupan Karang dan Alga Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan photoquadrat dan CPECe maka tutupan karang hidup tertinggi terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kita sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi. Di dalam pembangunan ekonomi, di negara yang sudah maju sekalipun selalu tergantung pada sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di dalam wilayah perairan Indo West Pacific (Hutomo & Moosa, 2005). Terumbu karang adalah salah satu ekosistem penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Kesejahteraan masyarakat pesisir secara langsung terkait dengan kondisi habitat alami seperti pantai, terumbu karang, muara, hutan mangrove

Lebih terperinci

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Julianto Subekti, Suradi Wijaya Saputra, Imam Triarso Program Studi Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.... i DAFTAR ISI..... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN.... 1 III. STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN... 5 A.

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dengan baik. Kegiatan ini adalah kelanjutan

Lebih terperinci

DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI

DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015 KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015 Kementerian Negara/Lembaga : Kementerian Lingkungan

Lebih terperinci