5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Sub-bab 1.7

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Sub-bab 1.7"

Transkripsi

1 5. PEMBAHASAN 5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 1.7 (novelty), bahwa salah satu yang membedakan model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini dengan model-model kerentanan yang telah ada sebelumnya, adalah perbedaan konsep dalam menempatkan ekosistem pesisir sebagai salah satu parameter yang mampu mereduksi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Keterkaitan antara kerentanan lingkungan dan ekosistem pesisir ini telah disajikan pada sub bab (kerentanan lingkungan). Model kerentanan pesisir yang dikembangkan oleh Gornitz (1992) seperti pada persamaan (7) yang kemudian banyak diadopsi dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain oleh Doukakis (2005), DKP (2008), Pendleton et al. (2004). Untuk melihat perbedaan sensitivitas antara model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini dengan konsep yang dikemukakan oleh Gornitz (1992), pada Tabel 21 sajikan perbandingan hasil pengujian terhadap nilai parameter kerentanan salah satu lokasi penelitian (Pulau Saonek) sebagaimana yang telah disajikan pada Tabel 19. Indeks 1 adalah indeks kerentanan Pulau Saonek saat ini, sedangkan indeks 2 adalah indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek dengan mengasumsikan dilakukan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan menggunakan konsep kerentanan Gornitz (1992) indeks kerentanan lingkungan Pulau Saonek berada pada kerentanan kategori tinggi ( ), sedangkan model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi pada penelitian ini berada pada kategori kerentanan sedang ( ). Dengan merubah nilai ekosistem mangrove menjadi lebih baik sehingga meningkatkan kapasitas adaptif untuk kasus model indeks kerentanan lingkungan dalam penelitian ini dan menurunkan kerentanan untuk model Gornitz (1992), kedua-duanya mampu menunjukkan perubahan atau penurunan kerentanan. Namun, pada konsep Gornitz (1992) masih berada pada kategori kerentanan tinggi. Untuk model kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini mampu menurunkan kerentanan dari kerentanan sedang ke kategori kerentanan rendah ( ).

2 118 Tabel 21. Perbandingan 2 model indeks kerentanan pulau-pulau kecil Model Indeks 1 Indeks 2 Nilai Indeks Nilai Indeks Minimum Maksimum Gornitz (1992) Tahir (2010) Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa model indeks kerentanan yang konstruksi dalam penelitian ini, mampu menunjukkan peran ekosistem pesisir sebagai sebuah ekosistem pulau-pulau kecil yang mampu menurunkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Keragaman ekosistem yang terdapat di Pulau Saonek juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas fungsi ekosistem sebagaimana dikemukakan oleh Peterson et al. (1998), yang menyebutkan bahwa semakin tinggi keanekaragaman hayati semakin tinggi stabilitas fungsi ekosistem Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan Analisis Parameter Ketersingkapan/Keterbukaan (Exposure) Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Sub-bab 4.4.1, terdapat 4 parameter dari komponen exposure yang berbeda antara ketiga pulau, yaitu kenaikan muka laut, pertumbuhan dan kepadatan penduduk serta kejadian tsunami. Perbedaan kenaikan muka laut ketiga pulau disebabkan oleh posisi pulau tersebut terhadap kondisi perairan. Seperti telah disebutkan dalam Sub-bab 3.1 (perbedaan lokasi penelitian), bahwa Pulau Kasu berada pada perairan sempit, Pulau Barrang Lompo berada pada perairan yang lebih luas, dan Pulau Saonek berada perairan luas. Perbedaan posisi pulau-pulau tersebut diperkirakan sebagai faktor pembeda laju kenaikan muka laut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Church et al.(2001) yang menyebutkan bahwa kenaikan muka laut dipengaruhi oleh volume air laut baik yang disebabkan oleh pemanasan global dan mencairnya es di kutub maupun karena faktor meteo-oseanografi regional. Faktor-faktor tersebut tentunya memiliki pengaruh berbeda terhadap ketiga perairan dimana ketiga pulau tersebut berada. Kejadian tsunami juga berbeda antara ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo merupakan pulau yang paling dekat dengan kejadian tsunami sebagaimana yang direkam sejak tahun 1900 sampai tahun 2008, jumlah kejadian yang tercatat sebanyak 5 kali. Catatan kejadian tsunami yang pernah terjadi di sekitar Pulau

3 119 Saonek sebanyak 2 kali, sedangkan untuk Pulau Kasu tidak terdapat rekaman kejadian tsunami. Perbedaan kejadian tsunami ini lebih dikarenakan posisi ketiga pulau terhadap karakteristik geologi berbeda. Dengan demikian, Pulau Barrang Lompo memiliki resiko yang tinggi terhadap kemungkinan dampak tsunami pada masa yang akan datang, lebih-lebih lagi karena pulau ini merupakan pulau datar yang memiliki resiko dari kenaikan muka laut. Ketiadaan vegetasi pantai di Pulau Barrang Lompo menjadikan daratan pulau ini sangat rentan terhadap kejadian tsunami dan juga hantaman gelombang pada musim tertentu (pada bulan Desember-Januari). Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) natalitas dan mortalitas (kelahiran dan kematian), dan (2) migrasi (keluar-masuknya) penduduk dari suatu daerah. Perbedaan laju pertumbuhan penduduk ketiga pulau ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas. Laju pertumbuhan penduduk yang lebih besar di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek disebabkan oleh kedua faktor pertumbuhan di atas. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk di Pulau Kasu hanya dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian. Implikasi dari laju pertumbuhan penduduk tersebut adalah tingkat kepadatan penduduk juga akan tinggi, manakala luas areal yang tersedia untuk kawasan pemukiman terbatas dan jumlah penduduk yang besar. Dalam kasus Pulau Barrang Lompo dan Saonek, meskipun tingkat pertumbuhan penduduk sama-sama tinggi dan luas daratan pulau yang tidak terlalu berbeda, namun karena jumlah penduduk di kedua pulau tersebut jauh berbeda menyebabkan tingkat kepadatan penduduk berbeda di kedua pulau tersebut. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, meskipun jumlah penduduk besar, namun karena luas areal daratan pulau yang jauh lebih besar dibandingkan Pulau Barrang Lompo, maka tingkat kepadatan penduduknya rendah Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity) Nilai parameter sensitivity yang dipaparkan pada Sub-bab 4.4.2, menunjukkan perbedaan antara ketiga pulau. Ketinggian atau elevasi sebagaimana dipaparkan pada Sub-bab 4.2, memperlihatkan bahwa ketiga pulau memiliki elevasi yang berbeda. Pulau Barrang Lompo memiliki elevasi yang paling rendah, dimana sekitar % dari luas daratan pulau berada pada

4 120 ketinggian kurang dari 100 cm. Sementara itu, daratan Pulau Saonek yang berada pada elevasi kurang dari 100 cm sekitar %, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar %. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tipologi ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek pada prinsipnya memiliki tipologi pulau relatif sama sebagai pulau karang, dimana umumnya memiliki elevasi yang rendah (Woodroffe 2008). Pulau Kasu memiliki tipologi yang berbeda dengan Pulau Barrang Lompo dan Saonek, dimana Pulau Kasu adalah pulau petabah yang umumnya merupakan pulau berbukit (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau Saonek dan Barrang Lompo memiliki sensitivity yang tinggi terhadap kemungkinan perendaman sebagaimana banyak terjadi pada pulau-pulau karang di kawasan Pasifik (Woodroffe 2008). Jika dilihat dari kemiringan, Pulau Barrang Lompo memiliki areal yang paling luas berada pada kemiringan yang paling sensitif (0-8 %), yaitu seluas ha atau sekitar %. Luas daratan Pulau Saonek yang berada pada kemiringan 0-8 % adalah ha atau sekitar %. Adapun daratan Pulau Kasu yang berada pada kemiringan 0-8 % seluas ha atau sekitar %. Tipologi pantai dari ketiga pulau juga memiliki perbedaan. Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 19 sebelumnya, terlihat bahwa Pulau Saonek memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan 2 pulau lainnya. Hal ini disebabkan karena tipologi pantai berpasir cukup dominan di Pulau Saonek. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Pulau Barrang Lompo, hampir seluruh pantai Pulau Barrang Lompo merupakan pantai berpasir, hanya saja lebih dari setengah pantai pulau ini telah dibangun bangunan pelindung pantai, yang kemudian dikategorikan sebagai pantai berbatu. Pulau Kasu memiliki pantai dengan tingkat sensitivitas yang paling rendah. Meskipun pulau ini memiliki pantai berlumpur yang merupakan pantai paling sensitif terhadap kemungkinan terjadinya erosi pantai, namun sebagian besar pantainya merupakan pantai bervegetasi. Perbedaan tipologi pantai ketiga pulau tersebut, memiliki hubungan yang erat dengan jenis pulau, dimana pulau-pulau karang umumnya memiliki pantai berpasir dan berbatu, sedangkan pulau petabah memiliki pantai bervegetasi dan berlumpur. Keberadaan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun di ketiga pulau tersebut terkait erat dengan jenis pulau (Asriningrum 2009).

5 121 Tipologi penggunaan lahan ketiga pulau juga berbeda. Seperti tersaji pada Tabel 19 sebelumnya, Pulau Barrang Lompo memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi terkait dengan penggunaan lahan, disusul oleh Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Perbedaan tipologi penggunaan lahan ini secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan tingkat kepadatan penduduk. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Barrang Lompo berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk pemukiman sangat besar, sementara ketersediaan lahan sangat terbatas. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, menyebabkan konversi lahan menjadi kawasan pemukiman juga semakin tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, ketersediaan lahan daratan yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan penduduk untuk kawasan pemukiman, sehingga lahan-lahan yang ada dapat diperuntukkan bagi pemanfaatan lain yang memiliki tingkat sensitivitas yang lebih rendah (lahan tidak termanfaatkan dan lahan pertanian/perkebunan). Sensitivitas pemukiman ditentukan dua hal, yaitu letak pemukiman dari garis pantai (jarak dari pantai), dan letak pemukiman dilihat dari ketinggian dari permukaan laut. Sebagaimana telah diulas pada Sub-bab 4.4, letak pemukiman penduduk di Pulau Barrang Lompo dan Saonek relatif sama, yaitu berada di sekitar pantai. Sebaliknya pemukiman penduduk di Pulau Kasu berada di atas perairan. Jika dilihat dari letak pemukiman ini, maka pemukiman yang dibangun di atas perairan lebih sensitif dibandingkan dengan yang berada di sekitar pantai (sempadan pantai). Semakin jauh letak pemukiman dari pantai semakin rendah tingkat sensitivitasnya terhadap kemungkinan gangguan alam seperti badai. Dampak yang dialami oleh pemukiman di atas perairan seperti pada kasus Pulau Kasu adalah kenaikan muka laut yang mencapai lantai rumah penduduk. Sementara untuk permukiman penduduk yang berada di sekitar pantai mengalami ancaman hempasan gelombang yang kadang-kadang mencapai dinding rumah, sebagaimana terjadi pada sebagian rumah penduduk di Pulau Barrang Lompo. Pertumbuhan penduduk di suatu pulau dan perpindahan internal penduduk menjadi faktor pendukung terhadap tekanan berupa peningkatan kebutuhan pemukiman penduduk di wilayah pantai/pesisir kebutuhan utilitas, dan

6 122 penggunaan sumberdaya (Mimura et al. 2007). Perubahan muka laut dan berbagai peristiwa alam memiliki konsekuensi serius terhadap penggunaan lahan Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity) Ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun adalah habitat pesisir yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil. Ketiga ekosistem ini merupakan satu kesatuan ekologi yang memiliki peran dan fungsi yang saling terkait. Hamparan ketiga ekosistem ini akan membentuk suatu habitat yang disebut dengan habitat pesisir. Habitat pesisir dan ketiga ekosistem pulau-pulau kecil ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai gangguan dari luar. Selain itu, konservasi laut juga mampu meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dikemukakan McClanahan et al. (2008). Dalam konteks pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, kapasitas adaptif diartikan sebagai kemampuan dari suatu kelompok untuk mengantisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang dan lamun) untuk meminimalisasi dan memulihkan dari berbagai konsekuensi (McClanahan et al. 2008). Semakin luas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil, semakin besar kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Secara umum, ketiga pulau memiliki kesamaan dalam hal keberadaan habitat pesisir, dimana habitat pesisir lebih luas dibandingkan wilayah daratan. Peran habitat pesisir cukup besar dalam hal perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu didominasi oleh vegetasi mangrove dan padang lamun. Kedua jenis habitat pesisir ini berkembang dengan baik di pesisir Pulau Kasu. Keberadaan kedua ekosistem ini berperan penting dalam perlindungan daratan Pulau Kasu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Mazda et al. (2007), bahwa ekosistem mangrove memiliki peran dalam perlindungan pantai dari gelombang, badai dan erosi pantai. Sebagai pencegah erosi, habitat pesisir juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas sedimen di sekitar pantai, sebagaimana yang dikemukakan Victor et al. (2006) bahwa dalam proses sedimentasi sekitar 40 % dari sedimen yang mengalir ke kawasan mangrove terperangkap dalam ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove dikemukakan Othman (1994) yang menyebutkan bahwa ekosistem mangrove berperan dalam mereduksi energi

7 123 gelombang, perangkap sedimen dan memperlambat proses-proses erosi pantai. Mazda et al. (2007) menambahkan peran mangrove sebagai pelindung dari tsunami. Perlindungan mangrove terhadap tsunami juga dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005) di sepanjang pantai Parangipettai, Tamil Nadu, India. Ekosistem mangrove yang cukup rapat di Pulau Kasu dan Pulau Saonek memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap gangguan atau hempasan ombak sebagaimana yang dikemukakan Alongi (2008). Semakin tinggi kerapatan pohon mangrove semakin besar kemampuannya mereduksi energi gelombang dan tsunami (Hiraishi dan Harada 2003). Kemampuan mangrove melindungi daratan pulau dari tsunami dan berbagai bencana dari laut sangat dipengaruhi oleh lebar mangrove, kemiringan, diameter pohon dan densitas atau kerapatan (Alongi 2008). Dalam kaitannya dengan kenaikan muka laut, ekosistem mangrove mampu beradaptasi terhadap perubahan muka laut yang terjadi. Gilman et al. (2008) menyebutkan terdapat 3 cara mangrove beradaptasi terhadap kenaikan muka laut, yaitu pada saat kenaikan muka laut stabil, maka kondisi mangrove juga akan berada pada posisi stabil. Apabila muka air laut mengalami penurunan, maka ekosistem mangrove akan berkembang ke arah laut (seaward) untuk menjaga kondisi agar tetap sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan. Pada saat muka laut mengalami kenaikan maka mangrove akan berkembang ke arah darat (landward). Kemampuan mangrove dalam memitigasi dampak dari luar seperti tsunami dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005); Vermat dan Thampanya (2006). Habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo dan Saonek didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Berbeda dengan Pulau Kasu yang merupakan pulau petabah, Pulau Barrang Lompo dan Saonek merupakan pulau karang. Meskipun Saonek dan Barrang Lompo memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup luas, namun karena aktivitas penambangan karang pernah dilakukan di pulau ini, maka dampak dari kerusakan karang terhadap pantai Pulau Saonek dan Barrang Lompo mulai dirasakan oleh masyarakat, yaitu adanya erosi pantai. Rusaknya ekosistem terumbu karang ini, menyebabkan berkurangnya fungsi pelindung dari habitat pesisir terhadap pantai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Moberg dan Folke (1999) yang menyebutkan bahwa hilangnya perlindungan terumbu

8 124 karang terhadap pantai dari arus, gelombang dan badai menyebabkan hilangnya daratan pulau karena erosi pantai. Hal ini disebakan karena berkurangnya peran terumbu karang sebagai peredam gelombang yang mencapai pantai. Peran kapasitas adaptif di Pulau Barrang Lompo dan Saonek ini lebih didominasi oleh terumbu karang. Terumbu karang merupakan salah satu pemeran dari ketahanan fisik dan sangat penting untuk memahami perilaku garis pantai yang dihadapkan pada permasalahan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Oleh karena itu, pengelolaan terbaik untuk meningkatkan ketahanan dari sistem pulau-pulau kecil dan mereduksi kerentanan lingkungan dan sosial (Mimura 1999). Konservasi laut di ketiga lokasi belum dilakukan secara formal. Pulau Saonek sudah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) tetapi berada pada daerah secara fisik tidak termasuk dalam habitat pesisir Pulau Saonek. Demikian juga ekosistem mangrove belum ditetapkan secara formal dengan suatu aturan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat yang tinggi tentang peran perlindungan ekosistem mangrove terhadap pulau sangat tinggi, sehingga secara sadar mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem tersebut. Hal yang sama juga sudah mulai dilakukan untuk terumbu karang, kegiatan penambangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sudah mulai dihentikan. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, kegiatan penambangan karang masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan yang tegas melarang masyarakat untuk menambang karang. Sebagian masyarakat yang tidak menyadari akan dampak kerusakan karang terhadap keberadaan daratan pulau masih terus melakukan penambangan karang. Masyarakat Pulau Kasu, memiliki kesamaan dengan masyarakat Pulau Saonek. Meskipun secara formal, ekosistem mangrove belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, namun karena masyarakat menyadari arti penting ekosistem ini, maka aktivitas pemanfaatan yang merusak tidak dilakukan. Hal ini berdampak positif terhadap peran habitat pesisir sebagai pelindungan pantai. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan ekosistem ini, perlu penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut secara formal.

9 125 Karakteristik masing-masing pulau dilihat dari parameter kerentanan juga dapat dilihat dari hasil analisis Priciple Component Analisys (PCA) atau analisis komponen utama terhadap parameter kerentanan pulau-pulau kecil. Dari hasil analisis PCA diperoleh beberapa parameter utama yang mencirikan masingmasing pulau kecil. Seperti terlihat pada Gambar 36, Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo dicirikan oleh kesamaan parameter laju pertumbuhan penduduk (PD), elevasi pulau (EL) dan penggunaan lahan (PL). Sebaliknya Pulau Kasu dicirikan oleh beberapa parameter sebagai pembeda dari Pulau Saonek dan Barrang Lompo, yaitu tipologi pemukiman (PP), habitat pesisir (HP), ekosistem lamun (LM), kemiringan (SL), dan gelombang (GL). Parameter lainnya tidak secara spesifik mencirikan keterkaitannya dengan ketiga pulau kecil yang ditetiti. Biplot (axes F1 and F2: 92,43 %) 4 2 MR PPKasu LM F2 (28,22 %) 0 2 KL SR KP TP TS PS ER TK HP Saonek B. Lompo EL PL GL SL PD F1 (64,21 %) Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian (pulau-pulau kecil)

10 Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan Sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-bab 1.1 bahwa kelebihan konsep kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konsep ini lebih aplikatif yang mana mengintegrasikan ekosistem pesisir yang merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil sebagai parameter yang mampu mereduksi kerentanan pulau-pulau kecil. Selain itu, adanya sifat dinamis dari kerentanan, akan menyebabkan perubahan kerentanan lingkungan dari waktu ke waktu sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford- Smith (2009). Perubahan kerentanan ini, juga sudah diindikasikan Lewis (2009) yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil dengan berbagai karakteristik yang melekat padanya, menyebabkannya sebagai objek yang rentan, yang akan selalu mengalami perubahan. Ekosistem pesisir yang terdiri dari terumbu karang, mangrove dan lamun, secara alami akan mengalami pertumbuhan dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan, manakala tekanan terhadap lingkungan sekitarnya sesuai dengan kapasitas pemulihannya. Sayangnya, dalam banyak kasus tekanan terhadap ketiga ekosistem ini, jauh lebih besar dari kemampuan pulihnya, sehingga seringkali tekanan atau perubahan lingkungan yang terjadi semakin memberikan tekanan atau dampak negatif terhadap ekosistem pesisir. Oleh karena itu, untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas ketiga ekosistem ini perlu dilakukan pengelolaan. Konservasi laut merupakan instrumen pengelolaan yang sudah banyak dilakukan untuk mempertahankan atau juga meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Perlindungan dan preservasi (konservasi) memiliki peran dalam meningkatkan kapasitas adaptif dari ekosistem pesisir (McClanahan et al. 2008). Upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut seharusnya didasarkan pada kapasitas alami dari sistem alam yang didukung oleh perencanaan adaptasi seperti pelindung pantai dan infrastruktur sosial (Hay et al. 2003). Melalui konservasi ini, ekosistem pesisir mampu meningkatkan kapasitasnya terhadap penyesuaian perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan melakukan konservasi, berarti memberikan kesempatan kepada ekosistem pesisir untuk terus berkembang dengan baik, atau memulihkan diri dari kerusakan yang dialami (recovery). Hubungan antara konservasi dengan upaya penurunan

11 127 kerentanan pulau-pulau kecil dapat pada Gambar 37. digambarkan dalam sebuah argoritma seperti Gambar 37. Algoritma kajian kerentanan pulau-pulau kecil. Kerentanan pulau-pulau kecil dipengaruh oleh faktor eksternal dan internal pulau itu sendiri. Faktor eksternal adalah komponen dimensi exposure, sedangkan faktor internal adalah komponenn dimensi sensitivity dan dimensi adaptive capacity. Komponen kerentanan dimensi sensitivity berbanding lurus dengan kerentanan, artinya semakin tinggii nilai sensitivitas suatuu pulau semakin besar kontribusiny ya terhadap kerentanann pulau-pulau kecil. Sebaliknya, komponen dimensi adaptive capacity berbanding terbalik dengan kerentanan. Hal ini berarti semakin tinggi kapasitas adaptif suatu pulau semakin rendah kerentanan pulau tersebut. Dari 5 parameter kerentanan dimensi adaptive capacity, ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun merupakan parameter yang dinamik, yaitu parameter yang dapat berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Apabila

12 128 kondisi lingkungan mendukung persyaratan pertumbuhan ekosistem ini, maka ekosistem tersebut akan berkembang menjadi lebih baik. Sebaliknya, apabila tekanan lingkungan yang dialami lebih tinggi dari persyaratan hidupnya, maka ekosistem tersebut akan berkembang ke arah yang lebih buruk. Dari data lapangan, terlihat kecenderungan ekosistem tersebut mengalami penurunan karena tekanan penduduk yang cukup besar, terutama di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek. Oleh karena itu, konservasi laut adalah instrumen pengelolaan yang dapat digunakan untuk mempertahakan atau meningkatkan kualitas dari ketiga ekosistem tersebut. Melalui pengembangan konservasi laut, kapasitas adaptif dari pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan. Terkait dengan luasan kawasan konservasi, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menentukan kawasan konservasi, yaitu kawasan konservasi skala luas dan skala kecil seperti daerah perlindungan laut. Konservasi skala luas di dikenal dengan nama large marine ecosystem (LMEs), yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan dari suatu kawasan pesisir dan laut untuk di konservasi. LMEs ini ditetapkan untuk kawasan pesisir dan laut seluas km 2 atau lebih yang dikarakteristikkan oleh kedalaman, hidrografi, produtivitas, aspek antropologi atau penduduk (Mohan et al. 2009). Konsep ini telah digunakan sekitar 25 tahun yang lalu, dan telah diinvestigasi pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir dan laut dunia. Konsep ini digunakan untuk mengatasi isu ekosistem pesisir pada skala geografi yang banyak dipengaruhi oleh aspek biofisik. Pendekatan LMEs ini fokus pada lima hal yaitu produktivitas, ikan dan kegiatan perikanan, kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan tata-kelola ekosistem pesisir dan laut. Beberapa kawasan konservasi yang mengikuti pendekatan LMEs adalah kawasan konservasi Phoenix Island di di Republik Kiribati dengan luas km 2, Taman Laut Great Barrier Reef Marine dengan luas km 2, dan Taman Laut Nasional di Pulau Hawai seluas km 2 (Edward 2008). Oleh karena itu, dalam skenario penurunan kerentanan pulaupulau kecil digunakan pendekatan areal yang lebih luas (mencapai 50 % dari habitat pesisir) dari habitat pesisir pulau-pulau kecil. Kisaran luasan konservasi juga dikemukakan Halpern (2003) yang menyebutkan bahwa kawasan konservasi berkisar antara km 2 sampai 846 km 2, dengan nilai tengah 4 km 2. Semua

13 129 kawasan konservasi tersebut memberikan manfaat dengan periode waktu yang berbeda-beda Pulau Kasu Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 4.6 dan 4.7, kerentanan ketiga pulau berbeda, dimana Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek memiliki kerentanan sedang, sedangkan Pulau Kasu masih dalam kategori kerentanan rendah. Setelah mencermati perilaku dari parameter kerentanan dari setiap komponen (exposure, sensitivity, dan adaptive capacity), diperoleh beberapa indikasi parameter yang akan cepat mengalami perubahan. Perubahan kerentanan Pulau Kasu dalam 2 tahun ke depan disebabkan oleh pengaruh kenaikan muka laut terhadap letak pemukiman penduduk yang umumnya dibangun di atas perairan. Hal ini telah diindikasikan oleh dampak yang sudah mulai dirasakan masyarakat, bahwa pada saat pasang tertinggi, permukaan air beberapa kali sudah mencapai lantai rumah penduduk yang berada di atas permukaan laut. Dengan demikian, parameter yang akan mempengaruhi perubahan kerentanan Pulau Kasu secara cepat adalah kenaikan muka laut dan pemukiman penduduk. Dengan mengubah nilai skor dari kedua parameter tersebut, perubahan kerentanan dapat diprediksi hingga tahun Hasil analisis menunjukkan, bahwa akan terjadi perubahan kerentanan secara signifikan pada Pulau Kasu. Tabel 22 menyajikan skenario perubahan kerentanan (tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2). Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu Perubahan Kerentanan No. Skenario Pengelolaan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Dinamika kerentanan Pulau Kasu relatif kecil, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 22 di atas. Perubahan kerentanan baik tanpa dilakukan pengelolaan maupun dilakukan pengelolaan hingga tahun 2100, maksimal hanya berada pada kategori kerentanan tinggi, yang berarti tidak mencapai kategori kerentanan sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena skor masing-masing parameter ketiga

14 130 dimensi kerentanan umumnya berada pada kategori rendah sampai sedang. Jika tidak dilakukan pengelolaan, dalam waktu 7 tahun akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Perubahan kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi akan terjadi dalam waktu 23 tahun. Jika dilakukan pengelolaan skenario 1 (penetapan habitat pesisir Pulau Kasu seluas 30 % menjadi kawasan konservasi), dalam jangka waktu 11 tahun dari sekarang akan terjadi perubahan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan dapat diperlambat selama 4 tahun untuk perubahan dari kerentanan rendah ke kerentanan sedang. Untuk perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dibutuhkan waktu sekitar 39 tahun, yang berarti terjadi perlambatan 20 tahun yaitu dari tahun 2040 (tanpa pengelolaan) menjadi tahun 2060 (pengelolaan skenario pengelolaan 1). Apabila dilakukan pengelolaan skenario 2 (penetapan konservasi 50 % dan pemindahan pemukiman), perubahan kerentanan dari keadaan saat ini menjadi kerentanan sedang baru terjadi pada 22 tahun ke depan. Berdasarkan dinamika kerentanan Pulau Kasu ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Kasu sebagai pulau petabah (berbukit) tidak terlalu rentan terhadap perubahan kenaikan muka laut dan faktor-faktor lainnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Karakteristik pulau yang relatif terlindung dengan tingkat kapasitas adaptif yang tinggi, menyebabkan kerentanan Pulau Kasu relatif rendah. Perubahan parameter komponen kerentanan yang ada juga tidak banyak, sehingga dinamika kerentanan pada masa yang akan datang relatif rendah Pulau Barrang Lompo Kerentanan Pulau Barrang Lompo berbeda dengan kerentanan Pulau Kasu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pulau Barrang Lompo memiliki kerentanan saat ini (kerentanan awal) sudah berada pada kategori kerentanan sedang. Parameter kerentanan baik pada dimensi exposure maupun dimensi sensitivity umumnya memiliki skor yang sudah tinggi. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo akan akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke kerentanan tinggi dan kerentanan sangat tinggi. Pada Tabel 23 disajikan skenario perubahan kerentanan dari tiga skenario, yaitu tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2.

15 131 Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Seperti terlihat pada Tabel 23 di atas, apabila tidak dilakukan pengelolaan, dalam 13 tahun ke depan akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi. Dalam kurun waktu 51 tahun dari saat ini akan berubah menjadi kerentanan sangat tinggi. Apabila dilakukan pengelolaan dengan skenario 1 (menetapkan 30 % dari habitat pesisir sebagai kawasan konservasi laut), maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 17 tahun menjadi tahun 2027, dan 47 tahun berikutnya baru mencapai kerentanan sangat tinggi (2074). Apabila pengelolaan skenario 2 dilakukan (meningkatkan kawasan konservasi menjadi 50 % dan membangun bangunan pelindung pantai) maka perubahan kerentanan dari kerentanan tinggi menjadi kerentanan sangat tinggi dapat diperlambat selama 12 tahun dari skenario 1 menjadi tahun Berdasarkan dinamika kerentanan ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Barrang Lompo sebagai pulau karang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi menyebabkan kerentanan Pulau Barrang Lompo relatif tinggi. Upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif alami tidak terlalu signifikan dalam menurunkan kerentanan Pulau Barrang Lompo, namun penurunan kerentanan lingkungan dapat dilakukan dengan membangun bangunan pelindung pantai pada seluruh pantai Pulau Barrang Lompo. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang berada Selat Makasar dengan gelombang yang cukup besar menyebabkan juga perlunya membangun alat pemecah ombak pada sisi barat Pulau Barrang Lompo Pulau Saonek Sama halnya dengan Pulau Barrang Lompo, kerentanan Pulau Saonek masih dalam kategori kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Saonek akan meningkat ke kerentanan tinggi pada masa yang akan datang. Nilai ketersingkapan dan sensitivitas Pulau Saonek yang cukup tinggi

16 132 menyebabkan kerentanan lingkungan saat ini cukup tinggi (kerentanan sedang). Skenario perubahan kerentanan lingkungan Pulau Saonek disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. Tanpa pengelolaan Pengelolaan skenario Pengelolaan skenario Berdasarkan analisis yang disajikan pada Tabel 24, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi terjadi pada tahun 2027 jika tidak dilakukan pengelolaan, dan perubahan dari kerentanan tinggi ke kerentanan sangat tinggi terjadi pada tahun Jika dilakukan pengelolaan skenario 1, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 14 tahun menjadi tahun 2041, sedangkan jika dilakukan pengelolaan skenario 2, maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 37 tahun menjadi tahun 2064 jika dibandingkan dengan kondisi tidak dilakukan pengelolaan. Baik pengelolaan skenario 1 maupun pengelolaan skenario 2 tidak akan mencapai kerentanan sangat tinggi sampai tahun Analisis Laju Perendaman Daratan Pulau Perendaman (inundation) merupakan salah satu konsekuensi terbesar bagi pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut sebagaimana yang terjadi di belahan bumi (Woodroffe 2008; Mimura 1999). Perendaman berbeda dengan banjir (flooding), perendaman adalah perembesan air yang terjadi pada saat muka air naik masuk ke dalam daratan pulau, sedangkan banjir adalah aliran air yang melewati suatu daratan yang terjadi ketika curah hujan tinggi atau karena badai siklon. Perendaman pulau sangat terasa bagi pulau-pulau kecil dari kelompok pulau karang atau pulau atol, karena kedua jenis pulau ini memiliki elevasi yang sangat rendah, yang berpeluang akan mengalami perendaman.

17 133 Dari perkiraan laju perendaman daratan pulau yang dipaparkan pada Subbab 4.8, diketahui bahwa Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami dampak yang sangat ekstrim dibandingkan dengan Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Pada tahun 2040, sekitar % daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Pulau Kasu masing-masing hanya sekitar % dan 5.74 %. Pada tahun 2060, daratan Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami perendaman sekitar %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing % dan 7.78 %. Pada tahun 2080, persentasi luas daratan Pulau Barrang Lompo yang mengalami perendaman adalah %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing sebesar % dan 9.99 %. Pada akhir tahun 2100 sekitar % lahan daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu sebesar % dan 10.49%. Perbedaan laju perendaman ketiga pulau tersebut disebabkan oleh perbedaan 2 faktor penting yang mempengaruhi perendaman daratan pulau, yaitu elevasi pulau dan laju kenaikan muka laut. Seperti telah diuraikan pada Sub-bab 4.2, sekitar % daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Dengan ketinggian daratan pulau seperti ini, maka peluang daratan tersebut mengalami perendaman karena kenaikan muka laut jauh lebih besar. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, Pulau Saonek memiliki daratan pulau sekitar % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm. Faktor kedua yang menyebabkan perbedaan laju perendaman daratan pulau adalah laju kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut tertinggi terjadi di perairan sekitar Pulau Saonek yaitu sekitar 7.06 mm/tahun, perairan Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun dan Pulau Kasu sekitar 3.99 mm/tahun. Berdasarkan laju kenaikan muka laut tersebut, pada tahun 2100 daratan dengan ketinggian kurang dari 45 cm di Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman. Adapun daratan setinggi 63 cm di Pulau Saonek akan terendam pada tahun 2100, dan daratan kurang dari 36 cm di Pulau Kasu akan terendam. Perkiraan laju perendaman daratan pulau ini tidak memperhitungkan faktor subsiden dari masing-masing pulau.

18 134 Besarnya dampak kenaikan muka laut terhadap perendaman daratan Pulau Barrang dan Saonek merupakan konsekuensi dari pulau-pulau karang dari kelompok pulau datar, sebagaimana banyak menimpa pulau-pulau kecil di daerah Karibati-Tuvalu yang mengalami ancaman perendaman karena ketinggian kurang dari 2 m (Woodroffe 2008). Perendaman daratan pulau memberikan dampak yang cukup besar terhadap sistem lingkungan pulau-pulau kecil. Selain terganggunya sistem lingkungan pulau-pulau kecil, dampak ekstrim lainnya dari perendaman daratan pulau seperti yang terjadi di Funafuti-Tavalu adalah terjadinya migrasi atau perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya (Mimura 1999). Woodroffe (2008) juga menyebutkan beberapa aspek yang terkait dengan topografi yang mempengaruhi perendaman adalah luas daratan yang berada pada ketinggian kurang dari 2 m, serta kisaran pasang surut dan tinggi gelombang laut. Salah satu pendekatan yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kerentanan pulau dataran rendah terkait dengan kenaikan muka laut adalah pendekatan morfodinamika (Capobianco et al. 1999). Pendekatan ini didasarkan pada penilaian dinamika alami dari ekosistem pulau dan perencanaan pengelolaan untuk meningkatkan resiliensi atau kapasitas adaptif, guna meminimalisasi dampak dari kenaikan muka laut. 5.5 Rancangan Strategi Adaptasi Berdasarkan analisis perubahan kerentanan dan laju perendaman daratan ketiga pulau yang telah diuraikan di atas, pilihan strategi adaptasi yang dapat dikembangkan untuk ketiga pulau adalah strategi adaptasi yang bersifat reaktif seperti yang dikemukakan UNFCCC (2007). Strategi adaptasi reaktif adalah (a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir/pulau-pulau kecil, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Ketiga strategi adaptasi di atas dapat diimplementasikan untuk ketiga pulau, baik untuk Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo, maupun Pulau Saonek. Pada Tabel 25 disajikan pilihan strategi adaptasi untuk masing-masing pulau.

19 135 Tabel 25. Strategi adaptasi pulau-pulau kecil No. Lingkup Perencanaan 1. Jangka Pendek (1-5 tahun) 2. Jangka menengah (6-10 tahun) 3. Jangka Panjang (11-20 tahun ) Strategi Adaptasi P. Kasu P. Barrang Lompo P. Saonek Penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari luas habitat pesisir Penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari luas habitat pesisir Pemindahan sebagian pemukiman penduduk ke lahan daratan pulau Melanjutkan program pemindahan pemukiman penduduk ke lahan daratan pulau Penetapan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari luas habitat Penetapan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari luas habitat pesisir Membangun pelindung pantai pada bagian pantai berpasir Pembuatan alat pemecah ombak pada sisi luar pulau dan pembangunan rumah panggung Menetapkan kawasan mangrove dan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 30 % dari habitat pesisir Menetapkan kawasan mangrove dan terumbu karang sebagai kawasan konservasi laut sebesar 50 % dari habitat pesisir Membangun bangunan pelindung pantai pada pantai berpasir yang mengalami erosi Merelokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih tinggi yang masih terdapat di pulau ini Strategi adaptasi yang dirancang untuk ketiga pulau adalah (1) pengembangan kawasan konservasi laut (terumbu karang, lamun dan mangrove), termasuk penyadaran masyarakat dan rehabilitasi ekosistem pesisir, (2) perlindungan bangunan pelindung pantai, dan (3) pemindahan lokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman (memiliki daya adaptasi yang tinggi). Strategi adaptasi yang dikemukakan pada Tabel 25 di atas, adalah strategi adaptasi yang sudah umum dilakukan dibanyak tempat. Hal ini seperti yang dikemukakan Bijlsma (1996), bahwa terdapat 3 strategi yang umum dilakukan, yaitu

20 136 perlindungan, akomodasi, dan lokalisir (retreat). Perlindungan dengan teknikal (hard engineering) seperti contruksi groin, seawall, breakwaters, dan bulkheads telah dipraktekkan dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mengatasi erosi dan banjir di negara-negara kepulauan. Sayangnya, pendekatan ini tidak selalu efisien dan efektif diimplementasikan karena pada beberapa kasus menimbulkan kerentanan di tempat lain (Mimura dan Nunn 1998; Solomon dan Forbes 1999). Pendekatan ini adalah pilihan terbaik apabila pembangunan pantai dilakukan secara baik dimana ketika infrastruktur vital berada pada kondisi resiko tinggi. Konservasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif telah lama dilakukan di negara-negara pasifik seperti Maldives. Selain peningkatkan kawasan konservasi, upaya yang dilakukan adalah mengurangi dampak kegiatan manusia terhadap terumbu karang. Pemindahan penduduk dan penataan kembali pemukiman penduduk merupakan salah satu strategi adaptasi yang efektif untuk meningkatkan resiliensi pemukiman penduduk di suatu pulau (Barnet 2001). Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak kenaikan muka laut yang mengancam pulau-pulau dataran rendah (low-lying). Ekosistem terumbu karang, mangrove dan pantai berbatu merupakan hal penting dalam meningkatkan kapasitas adaptif terhadap bencana alam karena berfungsi sebagai pelindung alami (Mimura 1999). Ekosistem ini cukup efektif sebagai pelindung terhadap keselamatan lahan daratan pulau-pulau kecil. Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun memiliki keterkaitan dalam melindungi pulau-pulau kecil. Peran secara fisik ketiga ekosistem tersebut adalah sebagai pencegah erosi, perangkap sedimen dan penghalang gelombang dan arus (Moberg dan Folk 1999). Beberapa peran yang tidak tergantikan oleh pembangunan sea wall dalam peningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dimiliki oleh ekosistem mangrove dan terumbu karang adalah sebagai pengatur nutrien, absorsi limbah (waste treatment), pengatur interaksi ekologi dan fungsi-fungsi biologi lainnya, memelihara keanakeragaman hayati. Dalam konteks kestabilan ekosistem dan lingkungan di pulau-pulau kecil, keanekaragaman hayati mempengaruhi kestabilan ekologi/lingkungan (Peterson et al. 1998). Semakin tinggi keanekaragaman hayati suatu lingkungan, semakin tinggi tinggi stabilitas ekologi di lingkungan tersebut (Gambar 38). Peran

21 137 ekosistem terkait dengan keanekaragaman juga dikemukakan oleh Palumbi et al. (2009). Menurutnya ada dua manfaat yang diperoleh dari keanekaragaman, yaitu menyangkut manfaat keanekaraga aman terhadap proses-proses ekosistem dan manfaat keanekaragaman terhadap jasa-jasa ekosistem (Gambar 39). Gambar 38. Peran ekosistem mangrove, lamun dan terumbuu karang meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil Gambar 39. Manfaat keanekaragaman hayati terhadap proses dan fungsi ekosistem

22 138 Salah satu fakta menarik seperti yang dilaporkan oleh Newscientist hasil penelitian Kench dan Webb (2010) yang menyebutkan penambahan daratan beberapa pulau di kepulauan pasifik. Pulau yang mengalami penambahan daratan adalah Funamanu seluas 0.44 ha atau sekitar 30 % dari luas area sebelumnya. Pulau lainnya pulau Betio, Bairiki and Nanikai yang meningkat masing-masing sebesar 30 % (36 ha), 16.3 % (5.8 ha) and 12.5 % (0.8 ha). Menurut Webb pulau-pulau ini dikelili oleh terumbu karang. Karang-karang ini mengalami erosi dan menghasilkan pasir yang kemudian terbawa oleh angin, gelombang dan arus secara kontinyu yang kemudian membentuk daratan di pulau-pulau tersebut. Kemampuan terumbu karang membentuk daratan melalui endapatan pasir/sedimen juga dikemukakan oleh Moberg dan Folk (1999). Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka perlindungan terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang akan meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil dalam beradaptasi terhadap kenaikan muka laut. Pengembangan kawasan konservasi laut seperti yang diusulkan untuk ketiga pulau sebagai strategi adaptasi jangka pendek, pada intinya adalah peningkatan adaptasi alamiah dari sistem alam yang ada di setiap pulau. Melalui pengembangan kawasan konservasi habitat pesisir, kapasitas alamiah dari pulaupulau kecil untuk beradaptasi terhadap gangguan alam dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Pengembangan konservasi laut ini merujuk kepada konsep konservasi sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan. Pengembangan kawasan konservasi ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota laut, dan melindungi situs budaya tradisional. Pengembangan strategi jangka menengah, dilakukan untuk mengoptimalkan peran kapasitas alamiah dari pulau-pulau kecil dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut dari habitat pesisir di setiap pulau. Strategi ini juga diimbangi dengan strategi adaptasi yang bersifat hard construction, karena kemampuan dari kapasitas adaptasi alami tidak mampu lagi secara cepat menurunkan kerentanan pulau kecil. Adapun strategi adaptasi jangka

23 139 panjang dilakukan apabila strategi adaptasi yang dikembangkan pada jangka pendek dan menengah tidak lagi mampu menurunkan laju perubahan kerentanan pulau-pulau kecil. Selain strategi adaptasi yang bersifat reaktif sebagaimana dikemukakan di atas, pengembangan strategi adaptasi yang sifatnya antisipasi juga perlu dilakukan. Strategi adaptasi yang bersifat antisipasi adalah (a) implementasi konsep dan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b) penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir. Menurut Solomon dan Forbes (1999) pengelolaan pesisir terpadu (ICM) dapat menjadi alat antisipasi dan prediksi dengan kemampuan merencanakan dan merespon permasalahan yang muncul untuk jangka menengah dan panjang seperti kenaikan muka laut.

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 1. Perhitungan batas bawah Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah daratan dan perairan yang besar. Kawasan daratan dan perairan di Indonesia dibatasi oleh garis pantai yang menempati

Lebih terperinci

FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL

FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat AMIRUDDIN TAHIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Indeks Kerentanan Saat Ini Sub Bab 1.7 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN SUMENEP MADURA

MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN SUMENEP MADURA http://journal.trunojoyo.ac.id/jurnalkelautan Jurnal Kelautan Volume 10, No. 1, 2017 ISSN: 1907-9931 (print), 2476-9991 (online) MODEL DINAMIK TINGKAT KERENTANAN PANTAI PULAU POTERAN DAN GILI LAWAK KABUPATEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek

3. METODOLOGI. Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, P. Barrang Lompo dan P. Saonek 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan Nopember - Desember 2009. Lokasi penelitian adalah 3 pulau sangat kecil yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah 5 (lima) kecamatan pesisir Pantai Utara Jakarta, Propinsi DKI Jakarta yang terletak antara 08º22'00-08º50'00 Lintang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR

RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG EVAKUASI BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus: Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Kulonprogo) TUGAS AKHIR Oleh : BIMA SAKTI L2D005352 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit. 11 dianggap nol. Sehingga biaya proteksi pantai dapat diketahui dari biaya kehilangan lahan basah dan biaya kehilangan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang tergenang sepanjang tahun, dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan, SUMBER DAYA AIR Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan lagi dalam tataran wacana, namun secara nyata telah menjadi tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Pada dasarnya perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 13 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA GEOLOGI 1. Pendahuluan Perencanaan tataguna lahan berbasis mitigasi bencana geologi dimaksudkan untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Perubahan Iklim Perubahan iklim dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan pada sebuah keadaan iklim yang diidentifikasi menggunakan uji statistik dari rata-rata perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sangat panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove tersebar di wilayah tropis sampai sub tropis dan sebagian besar terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Restorasi mangrove: menanam atau tidak menanam?

Restorasi mangrove: menanam atau tidak menanam? Restorasi mangrove: menanam atau tidak menanam? Penanaman mangrove sudah sedemikian dikenal. Sayangnya, banyak diantara kegiatan penanaman tersebut yang mengalami kegagalan. Pendekatan yang lebih efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci