ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H"

Transkripsi

1 ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN KHURUM MAQSUROH, H , Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN). Transfer antar pemerintah adalah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap. Pemberian transfer dihadapkan pada suatu fenomena umum dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah. Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun demikian pemberian transfer berakibat pada ketidakefektifan dalam pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dengan adanya kebijakan desentralisasi dengan periode 1995 dan Selain itu juga untuk melihat respon kinerja keuangan terhadap alokasi transfer dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. Pemilihan lokasi dilakukan pada kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan sebagai bagian dari Provinsi yang memiliki struktur PAD yang kuat dan untuk melihat bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer. Pada penelitian ini menggunakan metode kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 1995 sebelum desentralisasi dan tahun 2006 pada masa pelaksanaan desentralisasi. Selain itu juga digunakan data panel yang meliputi wilayah kabupaten/kota Jawa Tengah pada tahun untuk melihat respon kebijakan otonomi terhadap kinerja keuangan yang meliputi penerimaan PAD dan pengeluaran operasional (rutin) dan pengeluaran pembangunan (modal). Periode waktu yang digunakan tahun pada masa sebelum pelaksanaan otonomi dan periode yang menggambarkan kondisi perekonomian pada masa pelaksanaan otonomi enam tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal ditandai dengan tingginya nilai elastisitas, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat

3 elastisitas lebih kecil dari satu yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1 persen fiskal akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian lebih dari satu pada 31 daerah di Jawa Tengah. Berdasarkan metode kuadran menunjukkan bahwa kondisi kapasitas fiskal terhadap pengeluaran daerah berada pada kuadran II ada 9 daerah dan 26 daerah berada pada kuadran IV pada belanja modal. Berdasarkan metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen. Model panel data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Chow-test, LM test, dan Hausman-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih sesuai digunakan sebagai parameter estimasi adalah Fixed Effect Model. Pengalokasian transfer pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah memberikan impuls yang tinggi pada upaya penggalian PAD. Respon ini menunjukkan bahwa pemberian transfer dapat mendorong daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Selain itu pemberian transfer berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran operasional dan modal pemerintah kabupaten/ kota Jawa Tengah yang ditunjukkan peningkatan pengeluaran pada kedua jenis pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap pengeluaran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer dari pemerintah atau disebut dengan adanya anomali pada kinerja PAD (flypaper efffec). Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada penerimaan PAD adalah tarif pajak lokal, populasi, bagi hasil, dana alokasi, variabel lag dan dummy desentraliasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan faktor tarif pajak lokal memberikan signifikansi yang paling tinggi menunjukkan tidak adanya flypaper effect pada kinerja tarif pajak lokal terhadap penerimaan PAD. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan PAD responsif terhadap penerimaan dari sumber potensi internal daerah yang ditandai dengan peningkatan potensi fiskalnya. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran operasional adalah dana alokasi, tarif pajak lokal, dan lag belanja operasional. Koefisien dana alokasi menunjukkan elastisitas paling tinggi daripada penerimaan daerah lainnya sehingga telah terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja belanja operasionalnya yaitu terjadinya peningkatan terhadap belanja operasionalnya setiap terjadi peningkatan alokasi transfer dana alokasi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal adalah bagi hasil, dana alokasi, tarif pajak lokal, populasi, dan variabel lag, serta dummy desentralisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemberian transfer terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ditandai dengan terjadinya flypaper effect pada kinerja pengeluaran modal dengan pemberian dana alokasi. Jawa Tengah sebagai daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat memiliki potensi besar dalam pencapain pertumbuhan daerahnya. Pengalokasian transfer seharusnya dapat dijadikan bagian pendukung bagi keberlangsungan kinerja keuangan yang adil dan transparan. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemerintah daerah dalam menetapkan standar pelayanan minimum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.

4 ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA JAWA TENGAH Oleh KHURUM MAQSUROH H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Khurum Maqsuroh Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi Judul Skripsi : Ilmu Ekonomi : Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, Fifi Diana Thamrin, SP, MSi NIP Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D NIP Tanggal Kelulusan:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Januari 2009 Khurum Maqsuroh H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Khurum Maqsuroh lahir pada tanggal 12 Juni 1985 di sebuah Kota Batik Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis anak ke enam dari 7 bersaudara. Pada tahun 1989 ayah penulis Penulis telah berpulang ke Rahmatullah sehingga penulis hanya dibesarkan oleh seorang ibu Nurhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Muhammadiyah Pekajangan III tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Muhammadiyah Pekajangan dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMU Muhammadiyah Pekajangan I di Pekalongan dan lulus pada tahun Pada tahun 2004 penulis diterima melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajeman. Alasan penulis melanjutkan studi di IPB adalah mengikuti jejak dari kakak-kakak penulis. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi rokhis FORMASI pada periode 2006/2007 pada staf departemen Syar i dan periode 2007/2008 sebagai Bendahara FORMASI.

8 iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teori Desentralisasi Fiskal Pendapatan Asli Daerah (PAD) Transfer Keuangan Transfer Pajak Kabupaten Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran Teori Pengeluaran Pemerintah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tinjauan Penelitian Terdahulu Kajian Transfer Daerah Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data iii vi vii viii

9 iv 3.2. Metode Analisis Metode Kuadran Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) Pool Least Square Pengujian Model Uji Hipotesis Evaluasi Model IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN JAWA TENGAH Gambaran Administratif Jawa Tengah Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kemampuan Fiskal Daerah Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Metode Indeks Analisis Panel Data Hasil Uji Statistik Hasil Estimasi Parameter Model PAD Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Operasional Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan lainnya terhadap terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah Implikasi Kebijakan... 82

10 v VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91

11 vi DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi Jawa Tengah Tahun Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Status Kemampuan Keuangan berdasarkan Metode Kuadran Hasil Uji Chow-Test Hasil Uji LM-Test Hasil Uji Hausman-Test Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada PAD Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Operasional Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Modal Fixed Effect Cross Pengaruh Transfer dan Variabel Lainnya dalam Model... 81

12 vii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer) Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen Asimetri Informasi pada Keuangan Publik Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen Pengeluaran Pemerintah pada Keynesian Cross Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Diagram Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah Perkembangan Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Total Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan Perkembangan Kontribusi Transfer terhadap Pengeluaran Total Jawa Tengah Tahun 1995 dan Persentase Penerimaan Fiskal terhadap Pengeluaran Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan Pertumbuhan Komponen Pendapatan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tengah Tahun 1995 dan Perkembangan Elastisitas Fiskal terhadap Pertumbuhan Perekonomian Tahun 1995 dan Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Modal Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Operasional Indeks Kemampuan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tahun dan

13 viii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Definisi Operasional Variabel Penelitian Perkembangan Kinerja PAD Tahun 1995 dan Perkembangan Kinerja Transfer terhadap pengeluaran daerah Tahun 1995 dan Realisasi Fiskal dan Pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Kontribusi Fiskal terhadap Pengeluaran Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Elastisitas Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Penentuan Lokasi Kuadran Kabupaten/Kota Jawa Tengah Hasil Perhitungan Indeks X IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Hasil Perhitungan IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Hasil Peringkat IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan Parameter Estimasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Parameter Estimasi Pengeluaran Operasional (BO) Parameter Estimasi Peengeluaran Modal (BM)

14 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berakibat pada perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan antara pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama delapan tahun dihadapkan pada fenomena semakin timpangnya tingkat pembangunan di wilayah Indonesia. Daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal dalam pembangunan karena ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Selain itu, juga disebabkan ketidakmampuan daerah dalam menggali potensi fiskal dari pajak dan retribusi daerah yang potensial sebagai sumber PAD, sehingga berakibat pada perbedaan dalam penerimaan maupun pengeluaran antar daerah. Transfer antar pemerintah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap merupakan salah satu sumber penerimaan penting pemerintah daerah. Pemberian transfer diharapkan dapat menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah (Oates dalam Haryo, 2007).

15 2 Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer, yaitu dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumbersumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun, pemberian transfer juga mengakibatkan ketidakefektifan pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah. Peningkatan kapasitas fiskal daerah sebagai bentuk upaya pemerintah daerah dengan menggali sumber-sumber PAD merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang efektivitas transfer pemerintah pusat kepada daerah. Oleh karena itu, pemberian transfer seharusnya disikapi pemerintahan daerah dengan upaya memacu pembangunan yang berkesinambungan dalam menciptakan kemandirian daerah dengan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Peningkatan kapasitas fiskal daerah perlu diikuti dengan pemberian inisiasi dari pemerintah dalam pengoptimalannya melalui kebijakan dan peraturan yang menguntungkan banyak pihak. Undang-Undang No. 25 tahun 1999 PAD mencerminkan kemampuan daerah dalam memperoleh pendapatan yang berasal dari daerah sendiri, sedangkan Dana Perimbangan merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.

16 3 Perubahan pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengalokasian transfer seharusnya dapat memberi impuls kepada daerah dalam meningkatkan upaya pemerintah daerah dalam menggali sumbersumber keuangan yang potensial bagi keberlangsungan pembangunan daerah. Namun, setelah delapan tahun pelaksanaan otonomi menunjukkan semakin tingginya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, terutama pada daerah di luar Pulau Jawa. Jawa Tengah memiliki kapasitas fiskal yang kuat (> 50 persen) dan memiliki kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah sudah sangat baik (Tabel 1.1). Sebelum desentralisasi fiskal, PAD Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 28,61 persen dengan tingkat kontribusi 30,81 persen pertahun menjadi 59,50 persen pertahun. Penerimaan PAD mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1998 sebesar Rp juta disebabkan krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang berdampak pula pada tingkat penerimaan PAD. Tingginya kontribusi pertumbuhan PAD mengindikasikan tingginya kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri. Pertumbuhan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam pendapatan suatu daerah sehingga dapat meningkatkan pembangunan pelayanan fasilitas publik. Pertumbuhan rata-rata dari PAD pada tahun di Jawa Tengah sebesar 25,60 persen, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu tahun 2001 sebesar 75,23 persen (Tabel 1.1). Pada Tabel 1.1 juga terlihat bahwa tingkat pertumbuhan penerimaan pada tingkat terendah tahun 1998 mengalami penurunan yang fluktuatif (-34,20 persen)

17 4 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang turut berdampak pada kinerja keuangan daerah. Pada tabel terlihat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap kinerja PAD Jawa Tengah yang ditandai dengan meningkatnya secara rata-rata kemampuan daerah dalam membiayai anggaran daerah dari sumber PAD dengan tingkat kontribusi rata-rata 59,50 persen pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Tabel 1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi Jawa Tengah PAD DAPER TR (Juta Rupiah) Realisasi PAD (Juta Rupiah) Realisasi Daper (Juta Rupiah) Kontribusi Growth Kontribusi Growth Tahun (%) (%) (%) (%) , , ,93 17, ,78 10, ,48 10, ,81-2, ,51-34, ,51-66, ,94 33, ,08 1, , ,50 Rata-rata 30,81 15,12 61,66-3,06 DESENTRALISASI ,96 75, ,26 67, ,13 49, ,82-17, ,50 16, ,81 24, ,69 28, ,36-11, ,62 33, ,89 2, ,08 2, ,54 0,16 Rata-rata 59,50 25,60 30,45 4,46 Sumber : Departemen Keuangan, 2008 (diolah) Keterangan : TR = Total Penerimaan Daerah (Juta Rupiah) PAD = Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) Daper = Dana Perimbangan (Juta Rupiah) Growth = Pertumbuhan Komponen Penerimaan(Juta Rupiah) Kontribusi = Alokasi Penerimaan terhadap Total penerimaan Daerah (Juta Rupiah) Dana perimbangan sebagai komponen penerimaan daerah juga berperan penting dalam peningkatan PAD dan pembiayaan pembangunan daerah. Dana perimbangan Jawa Tengah memiliki kontribusi terhadap penerimaan daerah

18 5 sebesar 61,66 persen pertahun sebelum desentralisasi fiskal dan 30,45 persen pertahun pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi, atau mengalami penurunan sebesar 31,21 persen. Penurunan dana perimbangan yang disertai dengan peningkatan PAD mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Pertumbuhan dana perimbangan Jawa Tengah mengalami penurunan yang sangat tinggi pada tahun 1998 yaitu sebesar -66,08 persen sebagai dampak dari terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi berakibat pada melemahnya kinerja keuangan sehingga terjadi penurunan dalam pengalokasian dana perimbangan yang bersumber dari penerimaan dari Bagi Hasil (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dan Dana Alokasi. Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumentasi (P3D) dalam jumlah besar. Namun, hal tersebut disikapi dalam bentuk penggalian sebesar-besarnya PAD yang berupa peningkatan tarif pajak yang besar sehingga terjadi ketidakefektifan dalam pembangunan, yaitu menghambat minat investor dalam menanamkan modalnya karena tidak adanya alokasi dana yang menguntungkan. Hal tersebut juga akan berdampak pada masalah pengangguran dan kemiskinan. Penggalian PAD melalui pajak dan retribusi daerah perlu ditingkatkan dengan mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya, sehingga tidak perlu dengan meningkatan tarifnya. Dari sektor pajak dan retribusi inilah diharapkan akan membentuk suatu struktur PAD yang kuat di masing-masing daerah. Struktur

19 6 PAD yang kuat dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama suksesnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di dalam mendukung terciptanya suatu kemandirian daerah Perumusan Masalah Salah satu tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah menjadikan daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pembangunan pemerintah maupun pembangunan daerahnya melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan pengelolaan sumbersumber potensialnya. Pencapaian peningkatan pembangunan melalui kemandirian harus sesuai dengan asas money follows function, yaitu penyerahan kewenangan daerah diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih dikuasai oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru kepada daerah masingmasing di era desentralisasi fiskal (Waluyo, 2007). Desentralisasi merupakan peluang bagi daerah dalam peningkatan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah yang ditandai dengan adanya penyerahan sumber-sumber pembiayaan. Dengan adanya desentralisasi fiskal berupa pemberian transfer yang telah berjalan delapan tahun, diharapkan daerah dapat meningkatkan potensi fiskal yang dapat mewujudkan kemandirian daerah. Permasalahan mendasar dari pemberian alokasi transfer kepada daerah adalah menjadikan daerah semakin bergantung pada penerimaan alokasi transfer dan kurang memperhatikan upaya penggalian sumber pendapatan dari pajak lokal yang sangat potensial sebagai sumber PAD.

20 7 Realisasi yang ada pada pembangunan daerah pada saat ini menunjukkan hanya beberapa daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat (> 50 persen) yaitu hanya pada daerah yang terletak di Pulau Jawa yang secara historis memang sudah kuat sejak lama. Jawa tengah sebagai bagian dari wilayah dari Pulau Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi memiliki struktur PAD yang standar kuat dalam kontribusi penerimaan daerah. Pelaksanaan otonomi disikapi dengan peningkatan penerimaan yang cukup signifikan dan turut berpengaruh pada peningkatan pengeluaran daerah. Transfer pemerintah dalam bentuk dana perimbangan dapat dijadikan komplemen dalam upaya peningkatan pembangunan melalui peningkatan fasilitas pelayanan publik. Pelaksanaan transfer pemerintah berdasarkan hasil studi awal World Bank- Bappenas 2000 dalam Kuncoro (2007) menunjukkan terdapat sejumlah permasalahan kebijakan pembiayaan sektor publik yang secara potensial memberikan dampak negatif dalam jangka panjang. Pertama, pemda terlalu bergantung kepada dana transfer dari pemerintah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua, peningkatan penerimaan melalui PAD yang diintensifkan dengan menambah jumlah biaya dan ragamnya, baik berupa pajak lokal, maupun potongan dan retribusi yang lebih banyak menimbulkan ketidakpuasan publik. Fenomena ini dalam pembangunan kinerja keuangan dikenal dengan Flypaper effect. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon dari kinerja keuangan Jawa tengah dalam menyikapi perubahan pelaksanaan transfer pemerintah.

21 8 Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan 2006 di kabupaten/kota Jawa Tengah? 2. Apakah ada keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya penggalian PAD dan pengaruhnya terhadap pengeluaran operasional dan pengeluaran modal dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota Jawa Tengah periode ? 3. Apakah ada fenomena Flypaper Effect pada kinerja keuangan daerah dalam menyikapi perubahan transfer pada alokasi realisasi anggaran daerah periode ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai berikut: 1. Menganalisis kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan Menganalisis keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber PAD dan respon belanja daerah dalam kerangka kebijakan desentralisasi. 3. Menganalisis fenomena Flypaper Effect pada kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota Jawa Tengah.

22 Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah penelitian, secara umum penelitian peranan transfer dalam pembangunan kabupaten/kota Jawa Tengah bermanfaat: 1. Bagi pemerintah, kajian pengaruh transfer terhadap kinerja keuangan daerah pada era otonomi dapat dijadikan bahan evaluasi dalam proses pengembangan kawasan secara berkelanjutan dengan menggali sumber-sumber PAD lainnya yang potensial. Selain itu juga dapat memberikan gambaran umum pengaruh transfer dan PAD terhadap kapasitas pengeluaran Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah dalam memenuhi kepentingan pembangunan publik. 2. Bagi para pengusaha atau investor, penelitian ini dapat memberikan gambaran kuantitatif tentang peluang penanaman modal pada kabupaten/kota Jawa Tengah dengan memberikan acuan tentang kondisi keuangan daerah Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa kawasan Jawa Tengah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan memiliki posisi yang stategis, yaitu dekat dengan pusat pemerintahan negara dan terletak antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan panel data (pooled data) yang meliputi 29 Kabupaten dan 6 Kota di Jawa Tengah selama periode yang meliputi realisasi APBD dan PDRB. Fokus penelitian ini adalah pada alokasi transfer dan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan daerah dengan melihat dari sisi peningkatan

23 10 pengeluaran daerah dan upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kemandiriannya yang tercermin dari peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga tercipta struktur PAD yang kuat. Batasan penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi dari kebijakan otonomi daerah dari sisi keefektifan transfer pemerintah dalam peningkatan kinerja keuangan daerah yang tercermin dari struktur PAD dan pengeluaran daerahnya, selain itu agar tercipta pembangunan yang lebih efisien dari kondisi sebelumnya.

24 11 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori Desentralisasi Fiskal Salah satu fenomena pembangunan negara berkembang adalah pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai upaya memacu peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga pemerintah daerah memiliki keleluasaan wewenang dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran berdasar kebutuhan daerahnya. Kebijaksanaan fiskal memiliki makna adanya unsur kebijaksanaan pemerintah daerah dalam bidang pengeluaran dan pendapatan masyarakat dengan tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sukirno, 1985). Menurut UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, memilki wewenang dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Secara teoritik ada empat fungsi ekonomi yang harus diperankan pemerintah daerah dalam merespon kebijakan otonomi: (1) Fungsi Alokasi. Melalui fungsi ini diharapkan pemda dapat merespon kegagalan pasar, terutama untuk mengantisipasi terjadinya kompetisi yang tidak sehat yang dapat mengakibatkan inefisiensi pasar.

25 12 (2) Fungsi Distributif. Fungsi ini disebut juga fungsi pemerataan. Melalui fungsi ini pemerintah daerah melalui kebijakan penerimaan dan kebijakan belanja daerah harus dapat memberikan pelayanan lebih kepada kelompok masyarakat miskin. Misalnya dengan menerapkan kebijakan penerimaan dari sektor pajak, terutama untuk kelompok masyarakat menengah keatas dalam bentuk pajak progresif dan pemungutan retribusi yang disesuaikan dengan pemakaian jasa. (3) Fungsi Pengaturan. Fungsi ini berarti pemerintah daerah harus dapat membuat kebijakan yang menjamin semua kelompok dalam masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan dengan standar yang sama dan membuat perencanaan kota yang dapat memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat miskin, misalnya dengan membuat tempat-tempat penampungan bagi para PKL (semacam jalur hijau yang dapat digunakan PKL tanpa ancaman penertiban). (4) Fungsi Stabilisasi. Fungsi ini dijalankan pemda untuk menghindari terjadinya benturan dengan kebijakan ekonomi daerah lain, misalnya menciptakan kondisi yang dapat merangsang pertumbuhan sektor industri kecil. Beberapa kriteria dasar dalam menentukan jenis dan besaran sumber pendapatan (pajak dan retribusi) serta pos belanja (kegiatan-kegiatan yang didanai), yaitu: (1) menfasilitasi dan memacu pertumbuhan ekonomi; (2) meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan; (3) memberdayakan masyarakat; (4) menjaga keberlangsungan pembangunan ekonomi dan pelayanan

26 13 kepada masyarakat. Hal tersebut dapat tercapai apabila terdapat upaya dari pemda dalam pengalokasian dana pada pengeluaran sektor-sektor pelayanan publik yang dapat mendukung kinerja produktivitas masyarakat. Pada sistem pemerintahan desentralisasi peranan pemerintah daerah mulai terlihat dalam menjalankan pemerintahan dan pengelolaan anggaran daerah. Sistem desentralisasi diwujudkan dalam bentuk penyerahan kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, pemungutan pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pendapatan yang terbesar dibandingkan dengan pendapatan lainnya yang berasal dari pajak, retribusi, bagian laba perusahaan daerah dan Pendapatan Asli Daerah lainnya. PAD terdiri dari : 1) Hasil Pajak daerah Pajak daerah adalah pungutan dari masyarakat oleh pemerintah daerah berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Marihot (2006), berdasarkan lembaga pemungutnya pajak dibedakan 2, yaitu: (1) pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat dengan undangundang dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan, (2) pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh

27 14 daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pengeluaran daerah. Penentuan tarif pajak optimal akan memaksimalkan penghasilan pemerintah dapat ditunjukkan dengan kurva Leffer (Joseph dan David, 2000). Dasar konsep yang digunakan adalah ada nya keyakinan bahwa ada suatu titik yang akan memaksimalkan penghasilan pemerintah. Pada gambar 1.2 menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak dari 0 ke T 1, maka pendapatan pajak pemerintah juga akan mengalami peningkatan. Akan tetapi jika diatas T 1, maka merupakan peningkatan pajak yang kontra produktif. Efek disinsentif dari peningkatan pajak akan mengurangi pajak dasar (misal pengurangan jam-jam kerja atau terjadi pengurangan permintaan tenaga kerja), sehingga meskipun jumlah pendapatan dalam pajak mengalami peningkatan, tetapi ada sejumlah pendapatan yang menurun lebih cepat dan akan berakibat penerimaan pajak lebih sedikit. Dengan kata lain, jika tarif pajak berada diatas T 1, maka hal ini akan dibiayai pemerintah dengan mengurangi pendapatan pajaknya. Kurva GG menggambarkan laju pertumbuhan GDP pertahun pada tarif pajak yang berbeda-beda. Puncak kurva diasumsikan terletak pada G 1. Peningkatan tarif pajak dibawah G diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan ketentuan sektor publik dibiayai dari perolehan pajak, contohnya adalah pada proyek pembangunan jalan dan pembelaan hukum. Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan investasi swasta karena peningkatan jaminan dalam berproduksi di suatu daerah. Akan tetapi apabila tarif pajak berada diatas G, maka pertumbuhan pajak dan belanja publik akan rendah. Tarif pajak

28 15 yang memaksimalkan jumlah pendapatan bagi pemerintah mungkin tidak akan sama dengan yang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah dapat dihadapkan pada dilema antara memaksimalkan pendapatan dan memaksimalkan pertumbuhan ekonominya. Tarif Pajak 100% T G T 1 G 1 Keterangan : G Pertumbuhan GDP 0 Total Penerimaan Pajak T = Tarif pajak awal G = Pertumbuhan GDP awal T = Tarif pajak 100% G = Pertumbuhan pada tarif pajak T 1 = Peningkatan tarif pajak ke-1 Sumber : Joseph dan David (2000) Gambar 2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer) 2) Hasil retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada pemerintah daerah karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada penduduk secara perseorangan atau badan dengan balas jasa diberikan secara langsung. Jasa yang diberikan pemerintah adalah usaha dan pelayanan yang dapat berupa barang, fasilitas, atau bentuk lainnya dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan usaha. 3) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. 4) Lain-lain PAD yang Sah (LLPYS) T

29 16 LLPYS adalah sumber penerimaan daerah yang berasal dari pinjaman daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. LLPYS memiliki kontribusi kecil terhadap penerimaan daerah karena tidak semua daerah melakukan pinjaman dalam anggaran daerahnya Transfer Keuangan Transfer keuangan adalah bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam bentuk suatu kebijakan pemerintah untuk membantu kinerja keuangan daerah dalam mengatasi disparitas dalam pembangunan. Transfer yang diberikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yaitu melalui pemberian dana bagi hasil yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana alokasi yang diberikan kepada daerah sebelum dentralisasi dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) dan Subsidi Daerah Otonom (SDO). Dalam UU No.32/2004 berisi pengaturan tentang pelaksanaan kewenangan Pemerintah daerah, Pemerintah pusat dalam memberikan transfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah daerah. Penggunaan dana transfer diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah daerah dalam meningkatkan

30 17 pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana transfer harus secara transparan dan akuntabel agar tepat sasaran. Yulianti (2002), dana perimbangan sebagai bentuk penerimaan daerah dalam wilayah sendiri. Dana perimbangan sebagai pendukung pelaksanaan otonomi daerah memiliki peranan dalam : (1) memacu pembangunan daerah, (2) meningkatkan pertumbuhan antar daerah, (3) pembagian dana yang rasional dan adil kepada daerah penghasil, (4) meningkatkan pemerataan pembangunan, (5) mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, (6) memberikan kepastian keuangan daerah yang berasal dari daerah yang bersangkutan, (7) meminimalkan tuntutan daerah, (8) meningkatkan respon pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, (9) dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pasal 6 Undang-undang No.25 tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari: 1. Bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea peralihan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam (transfer pajak kabupaten/kota) dalam bentuk dana bagi hasil (bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak). 2. Dana Alokasi Umum (DAU). Pemberian DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah dengan pengalokasian sebagian keuangan pusat kepada daerah untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horisontal antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini dikarenakan tidak semua daerah memiliki potensi pajak yang besar, seperti potensi minyak bumi.

31 18 Konsep dasar formulasi DAU sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 25 tahun 1999 berdasarkan fiscal gap. Konsep fiscal gap merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dan kebutuhan yang ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Berdasarkan konsep fiscal gap dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknya daerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal mencerminkan suatu daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerah. Penentuan DAU didasarkan pada komponen populasi, densitas, IHK (Indeks Harga Konsumen), IHB (Indeks Harga Bangunan). DAU memiliki sifat fleksibel dalam alokasi penggunaan dan jumlahnya dapat diprediksi. 3. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi khusus adalah transfer dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membiayai proyek pembangunan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat. Penentuan DAK tidak didasarkan suatu formula seperti dalam penentuan DAU. DAK memiliki sifat terikat yaitu penggunaannya harus berdasar ketentuan pemerintah pusat dalam proyek pembangunan. DAK memiliki peran penting bagi pemmbangunan dalam pembiayaan yang secara khusus tidak dapat dibiayai pemerintah setempat.

32 Transfer Pajak Kabupaten Menurut ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000, minimum dari 10 persen dari hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dialokasikan untuk kepentingan desa. Pengaturannya didasarkan pada aspek pemerataan dan potensi yang dimiliki oleh desa- desa yang bersangkutan. Undang-undang No.25 tahun 1999 mengatur tentang pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengaloksian dana bagi hasil (Tabel 2.2). Pada tabel menunjukkan adanya perubahan alokasi dana bagi hasil sebelum dan sesudah desentralisasi, yaitu pengalokasian dana perimbangan telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), royalti dan landrent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya migas. Selain itu dalam undang-undang desentralisasi menunjukkan adanya peningkatan beberapa pos penerimaan daerah bagi daerah penghasil. Perubahan pengalokasian dana perimbangan dapat mengimpuls daerah penghasil dalam meningkatkan kinerja daerah untuk mengelola sumber daya alamnya secara optimal, sehingga daerah dapat lebih mandiri dalam mengatur sumber pendapatan daerahnya sendiri. Penetapan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan kekayaan wilayah ini dapat memacu daerah dalam mencari sumber-sumber potensial dari kekayaan yang ada di daerahnya. Daerah yang kreatif semakin dapat bersaing dengan daerah lainnya, sebaliknya daerah yang tidak kreatif akan semakin tertinggal dalam pembangunan yang akan menyebabkan tingkat

33 20 ketergantungan yang tinggi pada pusat dengan adanya transfer pemerintah dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum). Tabel 2.2. Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal Penerimaan Daerah (%) I. Bagian daerah 1) Pajak bumi dan bangunan (PBB). 2) Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB). 3) Pajak penghasilan (PPh). 4) SDA kehutanan : Iuran hasil hutan (IHH). Provisi sumber daya hutan (PSDH). 5) SDA Pertambangan umum: Royalti 3,3% dari 13,5% (batubara +emas) Landrent (iuran tetap) 6)SDA migas : Minyak bumi Gas alam 7) Agraria 8) Royalti perikanan Pungutan pengusaha perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Sebelum Desentralisasi (%) Pusat Prop Kab/ Kota , , Setelah Desentralisasi (%) Pusat Prop Semua Kab/ Kota , , Kab/Kota penghasil Kab/ Kota lain II. DAU SDO dan Inpres 75 2,5 22,5 - - III. DAK Dialokasikan Sesuai Kebutuhan Sumber : Tambunan (2001) Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran Oates dalam Kuncoro (2007), pemberian transfer yang lebih tinggi pada dasarnya akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang/jasa publik, tetapi biaya marginalnya tidak mengalami penurunan. Penurunan biaya rata-rata tidak memiliki pengaruh pada masyarakat yang cukup signifikan karena masyarakat

34 21 tidak bisa membedakan penurunan biaya yang terjadi antara biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Pembangunan pemerintah tidak akan berjalan tanpa adanya interaksi dengan wilayah sekitarnya dalam penyediaan fasilitas publik. Secara umum penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat memberikan efek eksternalitas kepada wilayah lainnya, dalam arti tidak dibatasi pelayanan publik hanya untuk golongan masyarakat tertentu, misal perguruan tinggi seluruh pihak dapat memanfaatkan. Apabila tidak ada balas jasa yang menguntungkan maka pemerintah daerah tidak berminat untuk berinvestasi. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan pada upaya pemerintah dapat lebih optimal dalam pembangunan dalam menciptakan sumber investasi yang potensial bagi fiskal daerahnya. Jenis-jenis Transfer Pusat Transfer pemerintah pusat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Transfer tidak bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant). 2. Transfer dengan syarat (conditional grant, categorical grant, specific purpose grant). 1. Transfer Tidak Bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant) Transfer tidak bersyarat dapat dijelaskan melalui pendekatan teori perilaku konsumen. Transfer ini memiliki tujuan terjadinya peningkatan pembangunan daerah yang tercermin dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan perkapita.

35 22 Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan dari teori perilaku konsumen. Wilde (1968) dalam Haryo (2007) mempelopori analisis transfer ke dalam bentuk kendala anggaran dan kurva indiferensi. Analisis Wilde pada Gambar 2.2 menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik. Perilaku individu seperti masyarakat yang mempunyai preferensi seperti ditunjukkan oleh kurva indiferensi (U 0, U 1, U 2 ) dengan kendala anggaran (garis Z dan Z+G (grant)). Masyarakat dianggap berperilaku rasional yang memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Efek dalam bantuan tidak bersyarat (unconditional grants), transfer sebesar G memberikan kenaikan garis anggaran dari Z ke (Z+G) pada Gambar 2.2 Gorodnichenko (2001), barang publik diasumsikan sebagai barang normal. Asumsi yang digunakan adalah transfer yang bersifat umum (lump-sum) akan menggeser keseimbangan konsumen dari titik E 0 ke E M. Pada posisi keseimbangan yang baru akan merubah konsumsi barang publik dan barang privat masing-masing menjadi sebesar Y 1 dan X 1. Transfer tidak bersyarat memiliki sifat apabila ada tekanan fiskal pada basis pajak lokal akan menurun yang kemudian menyebabkan penerimaan pajak juga mengalami penurunan yaitu sebesar TR 1, selain itu pengeluaran konsumsi barang publik tetap meningkat. Hal ini berarti transfer akan mengurangi beban pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu menaikkan pajak untuk membiayai penyediaan barang publik. Oleh karena itu dalam konsep ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah daerah dalam penyediaan barang

36 23 publik tidak akan berbeda sebagai akibat dari penurunan pajak daerah atau kenaikan transfer. Bantuan tidak bersyarat pada Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya anomali (Gramlich dalam Kuncoro, 2007) yaitu adanya keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer berada pada titik E FP yang menunjukkan kenaikan penerimaan pajak daerah (TR 2 ) dan juga kenaikan konsumsi barang publik (dari Y 1 menjadi Y 2 ). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer akan meningkatkan pengeluaran konsumsi barang publik, tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Fenomena tersebut di dalam literatur disebut sebagai flypaper effect. Barang Privat (X) TR 1 TR 2 X 1 X 0 X 2 E M E 0 E FP R U 1 U 2 U 0 0 Y 0 Y 1 Y 2 Z Z+ GRANT Sumber : Alderete (2001) Gambar 2.2. Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen Barang Publik (Y) Jackson (1993), Flypaper effect merupakan respon pemerintah daerah dalam meyikapi alokasi anggaran dari pemerintah pusat dengan meningkatkan tingkat pengeluaran lebih besar, ataupun pemberian impuls dengan pemotongan tingkat pajak suatu daerah. Namun apabila tingkat penerimaan lebih besar lagi

37 24 maka akan berakibat pada tingginya ketergantungan daerah semakin besar sehingga flypaper effect tidak lagi berlaku. X i c a X 2 e 2 X 3 e 3 X 1 e 1 h f g 1 g 2 g 3 b d Sumber : Jackson (2003) Gambar 2.3. Asimetri Informasi pada Keuangan Publik Permasalahan dalam model flypaper Eeffect pada gambar 2.3 adalah pemberian transfer tanpa syarat akan meningkatkan anggaran menjadi af dari keseimbangan awal (ab) dan total transfer yang diterima menjadi e 3 h (ac). Secara teori flypaper effect memprediksikan bahwa setiap matching grant akan menstimulasi peningkatan yang sama pada pengeluaran barang publik yang digambarkan oleh slope dari transfer. Prediksi ini tidak didukung kenyataan yang terjadi, bahwa meningkatnya transfer pada kenyataannya berakibat pada peningkatan pengeluaran barang publik yang lebih besar dari slope anggaran yang ada.

38 25 2. Transfer Bersyarat Transfer bersyarat akan mempengaruhi konsumsi masyarakat sehingga dapat dijelaskan melalui teori perilaku konsumen. Pada Gambar 2.4 menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik dengan preferensi ditunjukkan kurva indeferensi (U 0, U 1, U 2 ) dengan kendala anggaran garis Z dan Z+G (Grant). Diasumsikan masyarakat berperilaku rasional yang akan memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Pemberian transfer bersyarat Indonesia dalam bentuk DAK (Dana Alokasi Khusus). Transfer bersyarat (conditional grants) berpengaruh pada konsumsi barang privat melalui efek harga. Bantuan bersyarat, misalnya transfer penyeimbang tidak terbatas (open-ended matching grants), akan menurunkan harga barang publik. Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan subsidi untuk setiap unit barang publik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 bantuan bersyarat berasosiasi dengan pergeseran garis anggaran bergeser ke kanan sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Hal tersebut berakibat pada peningkatan konsumsi barang publik dari Y 0 menjadi sebesar Y 1 Pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang privat tergantung pada sensivitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat apabila pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak. Sebelum ada penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat adalah sebesar X 1. Setelah penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat meningkat menjadi sebesar X 2. Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian berakibat pada kenaikan

39 26 konsumsi barang publik dan sebagian lagi pada konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui penurunan tarif pajak. Barang Privat (X) X 2 E FP - TR X 1 E M X 0 E 0 U 2 U 1 U 0 Barang Publik (Z) 0 Y 0 Y 2 Y 1 Z Z Z+Grant Sumber : Alderete (2001) Gambar 2.4. Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen Teori Pengeluaran Pemerintah Teori pengeluaran pemerintah dapat diterangkan melalui Keynesian cross, yaitu hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara teori digambarkan dalam Gambar 2.5 ( Mankiw, 2003). Pada grafik dapat dilihat peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui pendapatan dan tingkat output peningkatan besar pengeluaran pemerintah daerah akan menggeser keseimbangan dari titik A ke titik B yang berarti terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (Y). Kebijakan pelaksanaan desentralisasi akan mengalami perubahan melalui penerimaan transfer maupun penerimaan PAD. Hal ini akan berdampak pula pada

40 27 alokasi perubahan kinerja pengeluaran daerah. Perubahan pelaksanaan pengelolaan anggaran akan mendorong perubahan pada kinerja fiskal yang akan ikut berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian daerah. Pengeluaran Pemerintah Actual Expenditure Planned Expenditure 2 E2=Y2 B Planned Expenditure 1 E1=Y1 A 0 E1= Y1 E2=Y2 Income, Output, Y Sumber : Mankiw (2003) Gambar 2.5. Pengeluaran Pemerintah pada Keynesian Cross Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikelompokkan dalam tiga golongan (Mangkusoebroto, 1993): 1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. 2. Hukum Wagner menganai perkembangan aktivitas pemerintah. 3. Teori Peacock dan Wiseman. 1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah dikembangkan Rostow dan Musgrave, pertumbuhan dimulai pada tahap-tahap pembangunan, yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap investasi total besar, sebab pemerintah harus menyediakan prasarana (misal pendidikan, kesehatan dan prasarana transportasi). Pada tahap menengah pembangunan

41 28 ekonomi, investasi pemerintah diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, pada tahapan ini peranan investasi pemerintah semakin membesar. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut pembangunan ekonomi aktivitas pemerintah lebih ditujukan pada penyediaan sarana dan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperi program kesejahteraan hari tua, progaram pelayanan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya (Mangkoesubroto, 1993). 2. Hukum Wagner Teori Wagner tentang perkembangan pengeluaran pemerintah disebut sebagai Wagner law of increased government activity. Teori ini berisi bahwa apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Hukum Wagner di formulasikan sebagai berikut : Pk PP1 Pk PP2 PPK PPK 1 2 Pk PP PPK n n PPP = Pengeluaran Pemerintah Perkapita PPK = Pendapatan Perkapita, yaitu GDP/ Jumlah penduduk 3. The Displacement Effect Teori ini didasarkan pandangan bahwa pemerintah selalu akan memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang akan semakin besar. Mangkoesubroto (1993), Peacock dan Wiseman mendasarkan teori displacemen effect bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat

42 29 dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman sebagai berikut : Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin meningkat. Oleh karena itu dalam keadaan normal, menigkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar. Pengeluaran Pemerintah (GDP) Wagner,Solow dan Musgrave Peacock dan Wiseman 0 Waktu (tahun) Sumber: Mangkoesubroto (1995) Gambar 2.6. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaysful (2003), Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, Propinsi maupun

43 30 kabupaten/kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu Daerah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu nilai PDRB yang dihasilkan oleh masingmasing Propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut. Perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu ; Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. 2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu : Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi pemerintah. Pembentukan modal tetap domestik bruto. Perubahan stok. Ekspor netto.

44 31 3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua jenis faktor produksi tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan Tinjauan Penelitian Terdahulu Kajian Transfer Daerah Gorodnichenko (2001), dalam penelitiannya mengenai fenomena flypaper effect dalam perubahan pengalokasian transfer pemerintah pusat terhadap kinerja keuangan dan perekonomian Ukraina. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa respon pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Asli Daerah lebih elastis dibandingkan respon pengeluaran pemerintah terhadap alokasi transfer pemerintah pusat. Hasil dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja pengeluran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer. Ronald (2005), dalam penelitiannya mengenai Analisis Kinerja Pengeluaran Pemerintahan Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan PAD dengan pertumbuhan pengeluaran terdapat hubungan yang signifikan, yang berarti sesuai dengan hipotesa. Variabel ini memiliki pengaruh diamana setiap kenaikan 1 persen PAD hanya akan menyebabkan pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah bertambah sebesar 1,4 persen. Variabel

45 32 Dana Perimbangan mempunyai tanda parameter positif yang berarti sesuai dengan hipotesa. Kenaikan 1 persen dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat pada pemerintah daerah kota/kabupaten Jawa Tengah akan menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah di masing-masing daerah sebesar 0,9 persen. Dana perimbangan secara signifikan berpengaruh terhadap variabel pengeluaran pemerintah di kota/kabupaten Jawa Tengah, sehingga dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan mampu mempengaruhi pengeluaran pemerintah masingmasing daerah secara positif. Hasugian (2006), hasil penelitiannya mengenai Pengaruh Otonomi terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan menggunakan data panel dapat disimpulkan bahwa kondisi kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik sebelum berlakunya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi dengan metode panel menunjukkan bahwa setiap peningkatan transfer akan berpengaruh negatif dalam penerimaan PAD. Demikian juga dengan pemberlakuan desentralisasi pada variabel dummy menunjukkan nilai signifikan dan negatif terhadap penerimaan PAD yang artinya penerimaan rasio PAD lebih kecil terhadap penerimaan total lebih kecil daripada sebelum pelaksanaan desentralisasi. Maimunah (2006), dalam penelitiannya mengenai Flypaper Effect pada DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Sumatra. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan: Pertama, besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada kabupaten/kota di Sumatera.

46 33 Ketiga, pengaruh flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan. Keempat, tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah yang PAD-nya tinggi di kabupaten/kota pulau Sumatera. Kelima, tidak terjadi flypaper effect pada belanja daerah bidang Pendidikan, tetapi terjadi flypaper effect pada belanja daerah bidang kesehatan dan bidang Pekerjaan Umum. Kuncoro (2007), dalam penelitiannya mengenai Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan transfer diikuti dengan upaya daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD yang lebih tinggi. Penggalian PAD yang didasarkan faktor inkremental seperti peningkatan tarif pajak akan berdampak negatif pada perekonomian daerah. Peningkatan alokasi transfer menunjukkan terjadinya peningkatan belanja yang lebih tinggi dari penerimaan transfer, terutama dalam belanja operasional. Respon yang berlebihan dari pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer ini dikenal dengan fenomena Flypaper Effect. Sikap ini dalam jangka waktu lama akan berakibat memperburuknya pembangunan daerah karena tingkat persaingan daerah semakin meningkat Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah. Dedy (2008), hasil penelitiannya mengenai peta kemampuan keuangan daerah pada periode sebelum otonomi Provinsi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah menempati Kuadran III.

47 34 Hal ini mengindikasikan bahwa peta kemampuan keuangan Jawa Tengah berada pada kondisi kurang ideal dengan tingkat share PAD tinggi dan growth PAD rendah sehingga memiliki kemampuan kecil dalam mengembangkan potensi keuangannya. Selain itu dari sisi IKK (Indeks Kemampuan Keuangan) dari 27 Provinsi yang diteliti menunjukkan Jawa Tengah berada pada posisi IKK yang tinggi sehingga berpeluang dalam menciptakan sumber-sumber PAD lainnya ditandai dengan tingginya kemampuan sumberdaya yang dimiliki.

48 Kerangka Pemikiran Desentralisasi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.32 tahun 2004 Perubahan Alokasi Transfer (Fiscal Gap) UU No.25 Tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 IKF Kabupaten dan Kota Upaya Pengumpulan PAD Faktor-faktor yang mampengaruhi Flypaper Effect? Pengeluaran Daerah Implikasi Kebijakan Gambar 2.7. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional Keterangan : Alur Pemikiran = Berhubungan = 2.4. Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi Pajak Daerah (TAX), Retribusi Daerah (RET) semakin tinggi Kapasitas Fiskal Daerah (KF), PAD akan semakin meningkat.

49 36 2. Pendapatan perkapita dan populasi berpengaruh positif terhadap PAD dan pengeluaran daerah (hukum Wagner). 3. Semakin tinggi alokasi transfer (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi) dan PAD, maka pengeluaran daerah akan semakin tinggi. 4. Flypaper Effect terjadi apabila transfer memberi pengaruh signifikan pada Kinerja Keuangan daerah.

50 37 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data (pooled data) yang meliputi Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data sekunder, yaitu data realiasi APBD, PDRB sektor-sektor dalam perekonomian kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah atas dasar harga konstan 1993 dan 2000 dengan periode penelitian tahun 1995 sampai tahun Data diperoleh dari BPS Pusat Jakarta dan Departemen Keuangan Metode Analisis Metode Kuadran Metode ini digunakan untuk melihat kondisi kemampuan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan melihat dari kondisi kinerja PAD melalui share, growth dan elastisitas. Share merupakan rasio dari PAD terhadap pengeluaran daerah. Rasio ini digunakan untuk melihat kemampuan PAD dalam membiayai anggaran rutin atau operasional dan anggaran pembangunan atau modal suatu daerah. Selain itu growth adalah pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1. Peta kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari nilai share dan growth kabupaten/kota Jawa tengah terhadap nilai share dan growth provinsi. Kondisi keuangan daerah disajikan dalam metode kuadran berdasarkan tingkat kemampuan keuangan provinsi.

51 38 1. Share Share adalah persentase rasio antara penerimaan fiskal dengan belanja daerah. Share merupakan cerminan kemampuan fiskal dalam membiayai anggaran belanja daerah Share BO = Keterangan : TAXRET BO t t Share BM = TAXRET BM t t TAXRET BO BM = Penerimaan fiskal daerah = Pajak + Retribusi (Juta Rupiah) = Belanja Operasional (Juta Rupiah) = Belanja Modal (Juta Rupiah) t = tahun Growth Growth fiskal daerah adalah tingkat perubahan fiskal dari tahun 1995 ke tahun 2006 yang menggambarkan kondisi pertumbuhan fiskal dari pelaksanaan desentralisasi. Pertumbuhan fiskal merupakan cerminan peningkatan kapasitas potensial fiskal suatu daerah. TAXRETt TAXRETt 1 Growth Fiskal = TAXRETt t = tahun 2006 t-1 = tahun sebelumnya (tahun 1995) 3. Elastisitas Elastisitas adalah persentase perubahan fiskal terhadap pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Elastisitas mencerminkan perubahan kapasitas fiskal

52 39 dari tahun dasar terhadap tahun berikutnya serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan perekonomian. Elastisitas = TAXRET PDRB PDRB X TAXRET Keterangan: TAXRET = Perubahan penerimaan pajak dan retribusi tahun 1995 dan 2006 (persen) PDRB = Perubahan penerimaan PDRB tahun 1995 dan 2006 (persen) TAXRET = Penerimaan rata-rata fiskal daerah (tahun 1995 dan 2006) PDRB = Penerimaan rata-rata PDRB (tahun 1995 dan 2006) Tabel 3.1. Status Kemampuan Keuangan Berdasarkan Metode Kuadran. Kuadran Kondisi I Kondisi ideal. Nilai share dan growth tinggi. PAD memiliki peran besar dalam anggaran daerahnya sehingga daerah memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokal. II Kondisi belum ideal. Nilai share rendah dan growth tinggi. Daerah memiliki peluanga mengembangkan potensi lokalnya sehingga daerah berpeluang meningkatkan share PAD. III Kodisi belum ideal. Share PAD tinggi dan growth rendah. Daerah memiliki peluang kecil dalam meningkatkan PADnya karena tingkat pertumbuhan PAD rendah. IV Kondisi paling buruk. Share dan growth PAD rendah. Daerah belum memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokalnya. Sumber : Bappenas dalam Dedy (2008) Metode Indeks Kemampuan Fiskal Indeks kemamapuan Fiskal (IKF) merupakan suaru ukuran untuk melihat peringkat secara umum pertumbuhan kemampuan fiskal suatu daerah. Indeks kemampuan fiskal adalah rata-rata penjumlahan dari indeks pertumbuhan

53 40 (growth), indeks share dan indeks elastisitas. Nilai indeks dari ketiga komponen didapatkan dari nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen. Indeks X Growth = ( Nilai X hasil pengukuran Nilai X minimum) (Nilai X maksimum - Nilai X minimum) Indeks X growth = Indeks Xshare 2006 = Indeks X elastisitas X G = X S = X E X S + X G + X E IKF = 3 IKF = Indeks Kapasitas Fiskal Pool Least Square Model regresi dengan data panel dapat memiliki residual dengan tiga kemungkinan yaitu residual time series, cross section maupun gabungan keduanya. Metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi model regresi panel adalah metode Fixed Effect dan Random Effect. 1. Metode Fixed Effect Teknik model ini adalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan dummy untuk melihat perbedaan intersep. Fixed Effect didasarkan adanya perbedaan intersep antar variabel, namun intersepnya sama antar waktu. Untuk mengestimasi Fixed Effect dimana intersep berbeda antar variabel digunakan metode teknik variabel dummy untuk menjelaskan intersep. Model estimasi ini disebut dengan teknik Least Square Dummy Variabel (LSDV). Model dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut : ln Y it = ln X 1i + 2 ln X 2i + 3 D 1i + 4 D 2i + 5 D 3i + e it

54 41 dimana D 1i = 1 untuk variabel 1 = 0 untuk variabel lainnya D 2i = 1 untuk variabel 2 = 0 untuk variabel lainnya D 3i = 1 untuk variabel 3 = 0 untuk variabel lainnya 2. Model Random Effect Model random effect memiliki ketidakpastian model dimana variabel residual yang mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Random effect diasumsikan setiap variabel memiliki perbedaan intersep. Model random dituliskan dalam model sebagai berikut: ln Y it = ln X 1it + 2 ln X 2it + e it Dimana 0 tidak tetap tetapi bersifat random sehingga dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut: 0i = 0 + t dimana: i =1,...n 0 adalah parameter yang tidak diketahui yang menunjukkan rata-rata intersep populasi dan adalah reseidual yang bersifat random yang menjelaskan adanya perbedaan perilaku variabel secara individu. Y it = ln X 1it + 2 ln X 2it + v it Dimana, V it = e it + t Random effect residual terdiri dari dua komponen yaitu residual secara menyeluruh e it, yaitu kombinasi time series dan cross section dan residual secara individu t, berbeda-beda antar individu tapi tetap antar waktu. Adanya korelasi

55 42 antara residual didalam persamaan maka metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimasi yang efisien. Metode yang tepat untuk mengestimasi model random effect adalah Generalized Least Square (GLS) Pengujian Model Data panel dapat diestimasi dengan tiga teknik, yaitu model OLS (common), model Fixed Effect dan model Random Effect. Pengujian yang digunakan dalam mengestimasi model terdiri dari, pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect. Kedua, uji Langrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect. Terakhir, untuk memilih antara Fixed Effect atau Random Effect digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. 1. Uji F atau Uji Chow Pemilihan model yang baik, dapat diketahui dengan menggunakan restricted F-test. Persamaan yang diestimasi dengan OLS adalah persamaan restricted sedangkan yang diestimasi dengan LSDV adalah unrestricted (Gujarati, 2003). PLS adalah restricted model dimana menerapkan intersep yang sama untuk seluruh individu. Pada dasarnya asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis karena dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Untuk mengetahuinya dengan menggunakan restricted F-test untuk menguji hipotesis: H 0 : Model PLS (Restricted) H 1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)

56 43 F = dimana, 2 2 ( RUR RR )/ m 2 ( 1 R )/ n k UR R 2 UR = koefisien determinasi untuk unrestricted model (LSDV model) 2 R R = koefisien determinasi untuk restricted model (OLS model) m = jumlah restrictions n = jumlah sampel k = total jumlah koefisien regresi (termasuk konstanta) Jika F-hitung > F-tabel (m, n-k) maka OLS model invalid sehingga LSDV atau FEM adalah valid. 2. Uji Langrange Multiplier (LM) Uji LM (Lagrange Multiplier) digunakan jika estimasi model hasilnya harus menggunakan fixed effect. LM digunakan untuk pemilihan estimator struktur heteroskedastik dan homoskedastik. Hipotesa dinyatakan sebagai berikut: T LM = 2 2 σ i 2 t= 1 σ 1 2 Hipotesis: H o = i 2 = Homoskedastik (Pooled Least Square) H 1 = i = 2 = Heteroskedastik (Random Effect) Dimana i adalah varian residual persamaan ke i pada persamaan yang lebih retriksi dan 2 adalah sum square residual persamaan. Apabila dalam

57 44 penelitian hasil estimasi model disimpulkan menggunakan Fixed Effect Model serta terjadi heterokedastik, maka cara untuk mengatasi heterokesdastik dapat dilakukan dengan model kuadrat terkecil tertimbang (weighted least square) atau Generalized Least Square (GLS). 3. Uji Hausman Uji Hausman digunakan untuk mengetahui apakah menggunakan model fixed effect atau random effect. Model data panel dengan uji Hausman dapat digunakan untuk melihat kelayakan penggunaan model panel. W = X 2 [k] = (b- ) [ Var (b)- Var ( )] Nilai W merupakan nilai tes Chi-square hitung. Apabila nilai berada di bawah nilai Chi-square tabel, maka terima H 0 bahwa efek individu tidak berkorelasi dengan variabel bebas tidak dapat ditolak, sehingga model efek random adalah pilihan terbaik. Hipotesis : H 0 = ada gangguan antar individu (random effect) H 1 = tidak ada gangguan antar individu (fixed effect) Statistik uji Hausman ini mengikuti ditribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak k dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari pada nilai kritisnya atau hasil dari Hausman test signifikan (p-value signifikan), maka H 0 ditolak, yang berarti model yang tepat adalah fixed effect, sebaliknya apabila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka model yang tepat random effect.

58 Uji Hipotesis 1. Uji F Uji F digunakan untuk melihat bagaimana variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas secara keseluruhan. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai F kritis 1 dengan F-hitung. Hipotesis yang digunakan: H 0 : 1 = 2 = k = 0 H 1 : Minimal ada satu nilai yang tidak sama dengan nol Apabila F hitung > F tabel, maka tolak H 0. Hal tersebut dapat diartikan variabel vebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya. 2. Uji t Uji ini digunakan untuk mengetahui koefisien dari variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : i = 0 H1: i ; i= 0,1,2,...,k Apabila koefisien i tidak sama dengan nol maka keputusan yang diperoleh adalah tolak H 0. Hal tersebut dapat diartikan bahwa i nyata atau memiliki nilai yang dapat mempengaruhi variabel dependent. 3. Uji Koefisien Determinasi R 2 Koefisien R 2 digunakan untuk menyatakan seberapa besar keragaman yang diterangkan dalam model terhadap variabel tak bebas. Selain itu koefisien R 2 juga digunakan untuk mengukur seberapa kuat variabel bebas dalam menerangkan model.

59 Evaluasi Model 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas dalam model dapat dilihat dari nilai t dan F dalam model. Apabila nilai F berpengaruh signifikan tetapi nilai t tidak signifikan maka dapat diduga terjadi multikolinearitas. Perbaikan dalam pelanggaran ini dapat diatasi dengan pemberian perlakuan crossection weight. 2. Autokorelasi Firdaus (2004), autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Autokorelasi dapat dilihat dengan menggunakan ketentuan berikut : Nilai DW < 1, maka ada autokorelasi Nilai DW antara 1,1-1,54, maka tidak ada kesimpulan Nilai DW antara 1,55-2,46, maka tidak ada autokorelasi Nilai DW antara 2,47-2,90, maka tidak ada kesimpulan Nilai DW 2,91 atau lebih maka ada autokorelasi Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1) atau AR(2). 3. Heteroskedastisitas Data panel digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteoskedastisitas dapat dilihat dari perbandingan antara sum square resid pada weighted statistic. Jika sum square resid weighted statistic < sum square resid unweighted statistic maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Pelanggaran dapat diatasi dengan mengestimasi GLS dengan uji white heteroskedasticity.

60 47 Model Persamaan yang digunakan dalam menganalisa pengaruh transfer terhadap kinerja keuangan dari sisi penerimaan pada PAD dan pengeluaran modal dan operasional. Dengan penentuan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi PAD Kebijakan pelaksanaan transfer merupakan insentif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kinerja pembangunan daerah untuk mencapai kemandirian yang terkait dengan kapasitas fiskal daerah yang tercermin dari struktur PAD. Pengaruh transfer pada upaya pemerintah daerah kabupaten/kota Jawa Tengah dalam menggali sumber-sumber PAD dapat dilihat dengan menghubungkan antara perolehan transfer dengan upaya pengumpulan PAD. Pengumpulan PAD diasumsikan dipengaruhi oleh variabelvariabel, seperti tarif pajak dan retribusi daerah (Taxr) dan tingkat pendapatan. Parameter dugaan yang mempengaruhi PAD dituliskan dalam persamaan sebagai berikut : PAD it = BH it + 2DA it + 3 Taxr it + 4 Pop it + 5 Y it + 6 PAD it Dodf + it... (3.1) Parameter dugaan yang diharapkan : 1, 2, 3, 4 5, 7 > 0; dan 0 < 6 < 1. Keterangan : PAD BH DA = Pendapatan Asli Daerah (perkapita Juta Rupiah) = Bagi Hasil (perkapita Juta Rupiah) = Dana Alokasi (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) Perkapita Juta Rupiah

61 48 TAXR = Tarif pajak lokal (Rasio antara penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah dengan pendapatan masyarakat) = Persen Y = Pendapatan Perkapita (Juta Rupiah) PAD it-1 = PAD tahun sebelumnya (perkapita Juta Rupiah) Dodf it = Dummy Otonomi dan Desentralisasi Fiskal = Error Transfer pemerintah yang diberikan kepada daerah adalah suatu impuls daerah dalam meningkatkan PAD. Distribusi transfer di Indonesia mengikuti prinsip untuk mengisi celah fiskal. 2. Implikasi Transfer pada Kinerja Pengeluaran Daerah Penerimaan transfer dan PAD selanjutnya dialokasikan untuk mendanai belanja pemerintah daerah. Estimasi pengaruh transfer pada perilaku belanja pemerintah daerah adalah dengan menghubungkan antara keduanya. Total belanja pemerintah daerah terdiri dari belanja operasional (BO) dan belanja modal (BM) dengan menghubungkan antara perolehan transfer dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kapasitas pengeluaran. Parameter dugaan yang mempengaruhi pengeluaran daerah adalah penerimaan Bagi Hasil (BH) yang terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi (DAU dan DAK), Populasi, pendapatan perkapita. Parameter dugaan yang mempengaruhi pengeluaran daerah dalam kaitannya dengan perolehan transfer dituliskan dalam persamaan sebagai berikut : BO it = BH it + 2DA it + 3 Taxr + 3 Pop it + 4 Y it + 5 BO it Dodf + it...(3.2)

62 49 Keterangan : BO = Belanja Operasional (perkapita Juta Rupiah) BO it-1 = lag Belanja Operasional = belanja operasional tahun sebelumnya (perkapita Juta Rupiah) Parameter dugaan yang diharapkan : 1, 2, 3, 4, 6> 0; dan 0 < 5 < 1 Pada model pengeluaran modal, model yang digunakan sebagai berikut: BM it = BH it + 2 DA it + 3 Pop it + 4Taxr + 4Y it + 5 BM it Dodf + it...(3.3) Parameter dugaan yang diharapkan : 1, 2, 3, 4, 6 > 0; dan 0 < 5< 1. Keterangan : BM BM it-1 PAD BH DA TAXR Y Dodf it = Belanja Modal (perkapita Juta Rupiah) = lag Belanja Modal = belanja Modal tahun sebelumnya (perkapita Juta Rupiah) = Pendapatan Asli Daerah (perkapita Juta Rupiah) = Bagi Hasil (perkapita Juta Rupiah) = Dana Alokasi (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) Perkapita Juta Rupiah = Tarif pajak lokal (Rasio antara penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah dengan pendapatan masyarakat) = Persen = Pendapatan Perkapita (Juta Rupiah) = Dummy Otonomi dan Desentralisasi Fiskal = Error

63 50 IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH 4.1. Gambaran Administratif Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi di Jawa terletak diantara dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki potensi ekonomi yang besar dalam pencapaian derajat kemandirian daerah melalui penggalian sumbersumber keuangan yang potensial. Provinsi Jawa Tengah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga memiliki peluang tinggi dalam pencapain tingkat percepatan pembangunan melalui peningkatan pendapatan daerah. Secara administratif Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota, yang terbagi kedalam 565 kecamatan, 764 kelurahan dan 7804 desa. Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa (1,70 persen luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1 juta hektar (30,80 persen) lahan sawah dan 2,25 juta hektar (69,20 persen) bukan lahan sawah. Dengan posisi strategis Provinsi Jawa Tengah memiliki peluang besar dalam pembangunan secara berkelanjutan bagi kemajuan daerahnya di masa mendatang Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah Pelaksanaan otonomi yang telah berlangsung dari tahun 2001 memberi dampak positif terhadap kinerja PAD Provinsi Jawa Tengah. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.1 dimana nilai PAD terus mengalami peningkatan dengan nilai

64 51 280,65 Milyar Rupiah pada tahun 1995 menjadi 2.550,72 Milyar Rupiah pada tahun 2006 (mengalami peningkatan 809 persen). PAD Tahun Sumber : BPS, 2008 (diolah) Gambar 4.1. Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah (Milyar Rupiah) 4.3. Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah. PAD sebagai cerminan kemandirian daerah dalam pengelolaan keuangannya dalam artian semakin tinggi kontribusi PAD maka daerah semakin mandiri. Pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kontribusi PAD terhadap pengeluaran total kabupaten/kota Jawa Tengah sebelum desentralisasi (1995) lebih baik dibandingkan setelah desentralisasi (2006) yang menunjukkan meningkatnya kemampuan daerah dalam mencapai kemandirian. Pada Gambar menunjukkan bahawa kontribusi PAD terbesar setelah pelaksanaan desentralisasi adalah pada Kota Semarang dengan tingkat kontribusi terendah wilayah Demak, namun secara rata-rata nilai PAD pada kabupaten/kota terus mengalami peningkatan (Lampiran 2).

65 52 SHARE PAD Kontribusi PAD 1995 Kontribusi PAD WILAYAH Keterangan *) : Kota 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang* 31. Surakarta* 32. Salatiga* 33. Semarang* 34. Pekalongan* 35.Tegal* Sumber : Lampiran 2 Gambar 4.2. Perkembangan Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Total Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah Kinerja transfer pada kabupaten/kota di Jawa Tengah cenderung fluktuatif kontribusinya pada masing-masing daerah, ditandai dengan ada yang cenderung mengalami peningkatan ataupun penurunan terhadap pengeluaran daerahnya. Daerah yang semakin meningkat kemandiriannya ditandai dengan meningkatnya kemampuan daerah dalam mengelola potensi fiskalnya. Pada Gambar 4.3 menunjukkan daerah yang mengalami penurunan kontribusi besar transfer terhadap pengeluaran totalnya adalah Cilacap, Tegal dan Kota Tegal, sedangkan daerah yang semakin meningkat ketergantungannya setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Batang (Lampiran 3).

66 53 SHARE TRANSFER WILAYAH Transfer 1995 Transfer 2006 Keterangan : Lihat *) Sumber : Lampiran 3. Gambar 4.3. Perkembangan Kontribusi Transfer terhadap Pengeluaran total Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006

67 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah Kemampuan fiskal suatu daerah sebagai cerminan kemandirian dan kemampuan daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Kinerja Fiskal suatu daerah terdiri dari pajak dan retribusi merupakan sumber potensial bagi pendapatan daerah dalam meningkatkan kemandiriannya. Kemampuan daerah dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pengeluaran daerah (share), pertumbuhan fiskal (growth) dan elstisitas dari potensi fiskal terhadap pertumbuhan pendapatan suatu daerah. 1. Share Kemampuan daerah dalam membiayai anggaran daerahnya dilihat dari kontribusi PAD terhadap anggaran daerahnya. Pajak dan retribusi sebagai sumber utama perolehan daerah yang berasal dari sumber potensial daerahnya memiliki peranan penting dalam perolehan PAD. Semua kabupaten/kota secara rata-rata belum mampu membiayai anggaran daerah dari potensi fiskalnya. Persentase fiskal terhadap pengeluaran operasional lebih kecil dibandingkan persentase fiskal terhadap pengeluaran modal, hal ini menunjukkan bahwa anggaran dana keseluruhan masih didominasi pada belanja operasional sehingga perolehan fiskal hanya sebagian kecil dalam membiayai belanja operasional. Selain itu dari kondisi kinerja fiskal terhadap pengeluaran operasional maupun pengeluaran modal menunjukkan peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2006 yang berarti bahwa berlangsungnya pelaksanaan desentralisasi memberikan respon yang

68 55 positif terhadap belanja modal maupun operasional (Gambar 5.1). Secara umum pelaksanaan desentralisasi berakibat pada meningkatnya pengeluaran operasional sehingga share fiskal sebagai sumber utama bagi daerah sebagai alokasi anggaran belum mampu sepenuhnya membiayai belanja daerahnya. Kota Semarang pada Gambar 5.1 menunjukkan kontribusi tertinggi pertumbuhannya pada pengeluaran modal, yang dapat diartikan bahwa dengan berlangsungnya desentralisasi pemerintahan daerah kota Semarang merespon positif dengan meningkatkan pelayanan publiknya SHARE (%) Share BM 2006 Share BM 1995 Share BO 2006 Share BO WILAYAH Keterangan : 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang* 31. Surakarta* 32. Salatiga* 33. Semarang* 34. Pekalongan* 35.Tegal* * ) : Kota Sumber : Lampiran 5 Gambar 5.1. Persentase Penerimaan Fiskal terhadap Pengeluaran Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006

69 56 2. Growth Pertumbuhan kinerja fiskal daerah sebagai tolak ukur kemampuan daerah dalam menggali potensi fiskal daerahnya. Peningkatan pertumbuhan kemampuan fiskal daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam menciptakan sumbersumber pendapatan daerah sehingga memberi peluang bagi daerah dalam mendistribusikan pendapatannya melalui pencipataan lapangan pekerjaan. Sejalan dengan perkembangan perekonomian secara umum akan meningkatkan penerimaan daerah dalam alokasi anggarannya. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat menumbuhkan sikap kemandirian daerah dengan menggali sumber potensial yang ada di daerahnya. Pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa penerimaan fiskal daerah mengalami peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2006, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi adalah Purbalingga dan pertumbuhan terendah adalah Batang GRWOTH % growth WILAYAH Keterangan : *) : Kota 1. Cilacap 7.Wonosobo 2. Banyumas 8. Magelang 3. Purbalingga 9. Boyolali 4. Banjar Negara 10. Klaten 5.Kebumen 11.Sukoharjo 6. Purworejo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang* 31. Surakarta* 32. Salatiga* 33. Semarang* 34. Pekalongan* 35.Tegal* Sumber : Lampiran 7,8 Gambar 5.2. Pertumbuhan Komponen Pendapatan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006

70 57 3. Elastisitas Elastisitas sebagai tolak ukur kemampuan kinerja fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pada grafik secara rata-rata menunjukkan kinerja fiskal mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang lebih baik. Kinerja fiskal daerah pada daerah Propinsi menunjukkan pada elastisitas 1,31, hal ini dapat diartikan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi memberikan respon positif terhadap pertumbuhan perekonomian sebesar 1,31 persen pada setiap peningkatan fiskal sebesar 1 persen (Lampiran 6). Selain itu pelaksanaan kebijakan ini juga menunjukkan perubahan kearah pertumbuhan perekonomian daerah yang lebih baik dari sebelumnya, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat elastisitas lebih kecil dari satu, dimana tingkat elastisitas tertinggi adalah Purbalingga dan elastisitas terendah adalah Batang dan Pekalongan (Gambar 5.3). Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi dengan fiskal sebagai salah satu mediasinya mampu meningkatkan kapasitas daerah dalam menciptakan sumber-sumber pertumbuhan perekonomian. ELASTISITAS % ELASTISITAS WILAYAH Keterangan : *) : Kota 1. Cilacap 6. Purworejo 2. Banyumas 7.Wonosobo 3. Purbalingga 8. Magelang 4.Banjar NGR 9. Boyolali 5.Kebumen 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26.Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30.Magelang* 31. Surakarta* 32. Salatiga* 33. Semarang* 34. Pekalongan* 35.Tegal* Sumber : Lampiran 6 Gambar 5.3. Perkembangan Elastisitas Pertumbuhan Fiskal terhadap Pertumbuhan Perekonomian Tahun 1995 dan 2006

71 Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran Kemandirian fiskal terhadap pengeluaran modal merupakan cerminan kemampuan pendapatan fiskal dalam membiayai pengeluaran modal untuk kepentingan pemmbangunan dan peningkatan pelayanan kualitas publik. Dimana alokasi fiskal ini mampu memberikan multiplier effect terhadap perolehan fiskal daerah dengan adanya pembangunan pada fasilitas publik yang penting bagi sinergitas usaha masyarakat daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini diharapkan daerah dapat dengan mudah melakukan pengelolaan terhadap SDM (Sumberdaya Manusia) dan kekayaan alam yang ada dengan adanya akses kemudahan dari pemerintah dan peraturan yang lebih berdasar pada kepentingan setempat. Pada metode kuadran alokasi kinerja fiskal kabupaten/kota Jawa Tengah terhadap pengeluaran modal pada tahun 1995 dan 2006 dapat dilihat bahwa ratarata kondisi keuangan terdistribusi pada kuadran IV sebesar 74 persen (26 wilayah) dari rata-rata pertumbuhan rasio kinerja fiskal Provinsi sebesar 678,80 persen dan kontribusi fiskal provinsi sebesar 81 persen terhadap belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kabupaten/kota Jawa Tengah belum memiliki kemampuan fiskal yang kuat dalam melakukan pembiayaan pembangunan dan perbaikan kualitas publik. Fenomena ini ditandai pada kenyataan bahwa pelaksanaan desentralisasi berimplikasi pada tingginya tingkat ketergantungan wilayah dan masih tingginya alokasi anggaran pada pengeluaran administrasi pemerintahan (masih berpihak pada dominasi kepentingan penguasa).

72 59 Pada Gambar 5.4 menunjukkan bahwa hanya ada 4 wilayah yang berada pada kuadran II, hal ini menunjukkan bahwa keempat wilayah ini berada pada kondisi sedang yang memiliki pertumbuhan fiskal tinggi dan kontribusi fiskal rendah terhadap pengeluaran modalnya. Keempat wilayah ini memiliki peluang dalam meningkatkan fiskal yang bersumber pada pengeluaran modalnya. SHARE 86% 1400 KUADRAN II KUADRAN I G R O W T H 678,80 % KUADRAN IV KUADRAN III G R O W T H 678,80 % SHARE 86% Keterangan : 1. Cilacap 2. Banyumas 3. Purbalingga 4. Banjar Negara 5.Kebumen 6. Purworejo 7.Wonosobo 8. Magelang 9. Boyolali 10. Klaten 11.Sukoharjo 12.Wonogiri 13. KR.Anyar 14.Sragen 15.Grobogan 16.Blora 17.Rembang 18. Pati 19. Kudus 20.Jepara 21.Demak 22.Semarang 23.Temanggung 24. Kendal 25. Batang 26. Pekalongan 27. Pemalang 28. Tegal 29. Brebes 30. Magelang* 31. Surakarta* 32. Salatiga* 33. Semarang* 34. Pekalongan* 35.Tegal* *) : Kota Sumber : Lampiran 7,8,9 Gambar 5.4. Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah terhadap Pengeluaran Modal Tahun 1995 dan 2006

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H14104008 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 21 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Otonomi Daerah 2.1.1. Definisi Otonomi Daerah Secara filosofis otonomi daerah maksudnya adalah pemberdayaan dan intensifikasi sumber-sumber daya yang ada di daerah. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85). 23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Untuk mengidentifikasi keterkaitan biaya dengan manfaat serta keterkaitan antara nilai uang dan hasil di tingkat pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan sendiri urusan rumah tangga suatu daerah dengan harapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi sistem pemerintahan telah dilaksanakan secara efektif di Indonesia sejak 1 Januari 2001. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ketetapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daearh merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis pengaruh keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Menurut Bahl (2008), desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai proses pelimpahan wewenang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UU Nomor 33 Tahun 2004 Draf RUU Keterangan 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci