BAB I PENDAHULUAN. ditawarkan kepada pembeli dengan ketentuan jumlah, jenis, kualitas, tempat dan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Proses lelang adalah proses pembelian dan penjualan barang dan atau jasa dimana penjual memberikan penawaran jenis barang dan atau jasa beserta harga yang ditawarkan kepada pembeli dengan ketentuan jumlah, jenis, kualitas, tempat dan waktu yang sudah disepakati antara pembeli dan penjual berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan disepakati antara pembeli dan penjual maupun antara penjual yang mengikuti proses. 1 Tujuan dasar dari proses pelelangan adalah agar pembeli mendapatkan barang dan atau jasa yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kebutuhan dari segi jumlah, kualitas, harga, waktu dan tempat. Dengan demikian, pembeli dituntut untuk mendapatkan beberapa kandidat penjual yang nantinya akan dipilih sebagai pemenang lelang yang dapat memberikan produk barang dan atau jasa sesuai dengan persyaratan maupun ketentuan dari pembeli. Hal ini menimbulkan persaingan antara penjual yang ikut dalam lelang. Dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia telah diatur dengan jelas bagaimana proses penilaian kualifikasi para penjual dalam setiap proses lelang. 1 Weele, Arjan J. van (2010). Purchasing and Supply Chain Management: Analysis, Strategy, Planning and Practice (5th ed.). Andover: Cengage Learning diakses dari 1

2 2 Sedangkan dalam proses lelang, muncul pertanyaan, apakah setiap pihak pembeli maupun penjual dapat selalu menjalankan proses secara transparan? Bagaimana apabila ada conflict of interest? Bagaimana apabila penjual memiliki keterkaitan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pembeli, misal dalam hal kepemilikan perusahaan secara keluarga? Pertanyaan pertanyaan ini yang dapat menimbulkan hubungan persaingan usaha tidak sehat antara pihak penjual yang mengikuti proses lelang maupun antara pihak penjual dan pembeli. Contoh persekongkolan lelang yang terjadi dapat dilihat dalam Putusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) No.01/KPPU-L/2000, dimana pasal yang dilanggar adalah Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana bunyi dari Pasal 22 tersebut adalah Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang lelang sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan lelang ini berawal dari adanya laporan dari salah satu pelapor yang merupakan salah satu peserta lelang dalam rangka pengadaan casing yang berfungsi untuk menjaga kestabilan tanah selama proses pengeboran berlangsung, dan pengadaan tubing atau pipa pengeboran, yang melaporkan bahwa terlapor yakni panitia lelang memberlakukan persyaratan baru dalam penawaran lelang pada saat lelang sudah berjalan, yaitu sistem penawaran satu paket dengan menggabungkan low-grade dengan high-grade. Dalam hal ini terlapor sudah terlebih

3 3 dahulu mengetahui bahwa pelaku usaha yang dapat memenuhi persyaratan tersebut hanyalah PT Citra Tubindo Tbk dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya. Selain itu terlapor juga mensyaratkan bahwa peserta lelang yang hanya memiliki fasilitas low grade diharuskan menyerahkan surat dukungan (letter of support) kepada pelaku usaha dalam negeri (Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Ditjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No. 005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri) yang memiliki fasilitas high-grade. Oleh karena adanya persyaratan tersebut, agar dapat mengikuti proses lelang, para peserta lelang yang tidak memiliki persyaratan lelang yang baru tersebut yakni PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi meminta surat dukungan bekerjasama dalam pengerjaan proyek dari PT Citra Tubindo, Tbk, dengan dilakukannya pertemuan satu hari menjelang dibukanya lelang. Surat dukungan tersebut diberikan setelah PT Citra Tubindo meminta PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi memperlihatkan harga penawaran karena dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan dari PT Citra Tubindo dalam proyek yang dimaksud, apabila PT Citra Tubindo ditunjuk sebagai pemenang lelang. Hal ini dimaksudkan agar pada saat pembukaan lelang, PT Citra Tubindo memberikan harga penawaran terendah dari pada para peserta lelang yang lain, sehingga PT Citra Tubindo memenangkan lelang tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan bahwa dalam pembukaan lelang yang diselenggarakan oleh terlapor, telah terjadi persekongkolan antara PT Citra

4 4 Tubindo dengan PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi untuk mengatur dan atau menentukan pemenang lelang sehingga menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 22 UU No5 Tahun Hampir sama dengan contoh kasus yang sudah diputuskan KPPU di atas, pada penelitian ini, penulis juga memaparkan bentuk persekongkolan antara panitia lelang dengan peserta lelang. Namun yang membedakan dengan contoh kasus di atas adalah penulis menemukan adanya indikasi bentuk persekongkolan antara para peserta lelang, dimana para peserta lelang diindikasikan melakukan kesepakatan sebelum proses lelang demi meloloskan satu peserta untuk menjadi pemenang lelang. Pendekatan sistematis tentang hukum persaingan usaha yang digunakan contoh kasus di atas berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dengan 53 pasal yang ditelurkan melalui hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini diklaim telah memenuhi standar internasional antara lain dengan mengikuti pedoman dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Dalam Undang-Undang ini terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menilai apakah sebuah perbuatan dilarang karena perbuatannya atau dilarang karena akibat yang ditumbulkannya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan per se illegal dan rule of reason. 2 Persekongkolan Lelang Sebagai Suatu Tindakan yang Anti Persaingan Sehat, diakses dari persekongkolan- lelang-sebagai-suatu-tindakanyang-anti-persaingan-sehat

5 5 Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Per se illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut atas akibat yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Manfaat penggunaan metode per se illegal adalah kemudahan dan kejelasan dalam proses administratif, selain memiliki kekuatan mengikat (self-encorcing) daripada larangan-larangan yang masih tergantung pada evaluasi dari pengaruh pasar yang rumit. Sedangkan keuntungan rule of reason adalah dapat mengetahui apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan usaha yang sehat atau tidak melalui analisis ekonomi. Pada hakikatnya, semua tindakan yang terlarang secara per se diasumsikan mengandung konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan rule of reason 3. Misalnya, Pasal 5 Ayat (1) tentang perjanjian penetapan harga: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Pasal ini dimasukkan dalam kategori terlarang secara per se. 3 Terminologi yang ditampilkan untuk menunjuk kepada bentuk-bentuk perjanjian atau kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini sebenarnya 3 Tri Anggraini, 2005, Jurnal Hukum Bisnis Vol 24 No 2, Persaingan Usaha Dan Persekongkolan Lelang, Yogyakarta, hlm 2.

6 6 tidak tersusun secara sistematis dan pengertian suatu istilah seringkali tumpang tindih dengan istilah lainnya 3. Kartel untuk mengontrol harga, misalnya, dapat saja berarti sama dengan penetapan harga (price fixing). Perjanjian tertutup (exclusive dealing) bisa saja isinya merupakan pemboikotan 4. Sifat pendekatan per se atau rule of reason yang disebutkan pada tiap-tiap bentuk perjanjian/kegiatan adalah asumsi sementara dengan sekadar melihat pada indikator rumusan kalimat pasal-pasal yang mengaturnya. Dalam penelitian ini, dibahas mengenai indikasi adanya bentuk persekongkolan lelang di antara para pelaku usaha yang mengakibatkan harga peserta lelang lain tidak kompetitif dan proses lelang yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku terutama UU no 5 Tahun 1999 dan khususnya berdasarkan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 Revisi II Tahun 2011 yang mengatur pengelolaan proses lelang antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama, sebagai panitia lelang, dengan para peserta lelang yang mengikuti proses lelang di industri minyak dan gas bumi Indonesia. Pedoman Tata Kerja ini merupakan produk hukum Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Bumi (BP Migas) yang digunakan sebagai landasan proses lelang dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Tugas, fungsi dan wewenang BP Migas diganti oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Bumi (SKK Migas) sesuai dengan Perpres No 9 Tahun 2013 dan Peraturan Mentri Energi Sumber Daya Mineral 4 Shidarta, 2013, Binus, Jakarta, hlm 8.

7 7 (ESDM) Nomor 9 Tahun Selain itu, akibat ekonomi dan akibat hukum dari adanya bentuk persekongkolan lelang, juga dibahas dalam peneltian ini. 2. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut : 1) Apa saja bentuk persekongkolan antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagai panitia lelang dengan peserta lelang di industri minyak dan gas bumi di Indonesia? 2) Bagaimana akibat hukum dan akibat ekonomis dalam persekongkolan lelang yang terjadi di industri minyak dan gas bumi Indonesia? 3. Tujuan Penelitian Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 dan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 Revisi II Tahun 2011, penulisan ini dibuat untuk menjelaskan bentuk persekongkolan lelang yang terjadi antara panitia atau penyelenggara lelang maupun antara peserta lelang itu sendiri dari tiga kasus sebagai berikut: 1) Indikasi persekongkolan antara panitia lelang, PT. X dengan peserta lelang PT. Y, PT. Z dan PT. W. Dalam kasus ini, indikasi persekongkolan masih dalam proses investigasi oleh SKK Migas.

8 8 2) Kasus putusan KPPU No. 31/KPPU-l/2010 dalam proyek Integrated Drilling Services for Exploration Wells in Madura Island Block antara PT Huabei Petroleum Service dengan SPE Petroleum, Ltd. 3) Kasus putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010 berkaitan dengan Proses Beauty Contest Proyek Donggi -Senoro yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero), PT. Medco Energi Internasional, Tbk., PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan Mitsubishi Corporation. Di samping itu, penulis juga bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana akibat hukum dan akibat ekonomi bagi panitia lelang yakni Kontraktor Kontrak Kerja Sama maupun bagi peserta lelang yang mengikuti proses lelang industri minyak dan gas bumi di Indonesia. 4. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga penelitian ini dapat dijadikan pedoman maupun referensi bagi peneliti lain sesuai dengan manfaat yang diberikan sebagai berikut: 1) Manfaat Teoritis Penulisan ini melengkapi bahan-bahan yang akan diberikan dalam mata kuliah ilmu hukum khususnya hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta dapat bermanfaat untuk memberikan pemikiran bagi pihak-pihak yang tertarik dalam masalah yang akan ditulis.

9 9 2) Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan bahan hukum bagi para pelaku usaha industri minyak dan gas bumi di Indonesia maupun praktisi hukum agar dapat mengetahui dan menentukan cara yang tepat untuk dapat melaksanakan dengan tepat tata cara proses lelang dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. 3) Manfaat bagi Masyarakat Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap ketentuan landasan proses lelang dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia dan bagaimana upaya perlindungan hukum maupun sanksi yang ada bagi para pelaku usaha industri minyak dan gas bumi di Indonesia dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya dalam Pedoman Tata Kerja (PTK) Nomor 007 Revisi II Tahun 2011 dan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai analisis persekongkolan lelang memang sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yang membahas mengenai persekongkolan lelang secara umum yakni tulisan Budianto Monareh dengan judul Masalah Persekongkoklan Lelang Dalam Persaingan Usaha - Studi Kasus Putusan KPPU No.

10 10 35/KPPU-1/2010 Dalam Proyek Donggi Senoro, yang ditulis tahun Namun dalam penelitian kali ini, penulis ingin menitikberatkan pada persekongkolan lelang dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia yang dikaitkan dengan Pedoman Tata Kerja 007 Revisi II. Tidak dipungkiri, penulis juga menemukan adanya kemiripan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain dalam hal penjelasan bentuk persekongkolan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999, yakni penelitian dengan judul Analisis Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Lelang oleh Krisanto, Yakub Adi yang ditulis tahun Sedangkan yang membedakan dalam penelitian ini, penulis tidak hanya membahas bentuk persekongkolan yang terjadi berdasarkan UU No. 5 Tahun Penelitian ini juga memaparkan akibat hukum maupun akibat ekonomis yang terjadi dari contoh kasus berdasarkan pengalaman penulis sendiri dalam mengikuti langsung proses lelang industri minyak dan gas bumi di salah satu perusahaan minyak dan gas bumi di Jakarta. Selain itu, yang membedakan penelitian ini adalah pedoman analisa yang diambil tidak hanya diambil dari Pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 mengenai persaingan usaha tidak sehat, namun juga diambil dari Pedoman Tata Kerja 007 Revisi II yang menjadi dasar hukum proses lelang di industri minyak dan gas bumi Indonesia. Sedangkan persamaan dari penelitian sebelumnya adalah referensi peraturan yang digunakan adalah Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.

11 11 Dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan kepada dua pedoman hukum dalam proses lelang industi minyak dan gas bumi yang berlaku di Indonesia, yaitu: 1) Pedoman Tata Kerja 007 Revisi II Tahun 2011 dan 2015 yang dikeluarkan oleh SKK Migas sebagai regulator industri minyak dan gas bumi di Indonesia. 5 2) Pasal 22 Undang Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5 Surat Keputusan Kepala BPMIGAS Nomor KEP-0003/BP00000/2011/S0.Buku Kedua Revisi-II Pedoman Tata Kerja Pengelolaan Rantai Suplai KKKS. 19 Januari 2011