Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Rinitis Alergi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Rinitis Alergi"

Transkripsi

1 24 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Rinitis Alergi The Difference between Allergen-specific Immunotherapy (SIT) and BCG Vaccination for Improving Life Quality of Patients with Allergic Rhinitis Andriana Tjitria Widi 1 ABSTRACT Background: Allergen-specific immunotherapy (SIT) is a therapy for allergic disease with a common natural allergen. BCG vaccination have been shown remedical clinical symptom and reduces drugs usage at asthma patient. This research was conducted to prove that BCG vaccination is more effective compared to SIT for remedical clinical symptom and life quality of allergic rhinitis patients. Design and Method: The study was designed as a Control Group Pre test - Post test conducted between April 2004 and September 2005 in Ear and Nose Therapy (ENT) clinic at Dr. Kariadi Hospital, Semarang. All patients with medium degree allergic rhinitis attending allergic clinic, part of ENT department at Dr. Kariadi Hospital Semarang, were included in the study. Data was analyzed by Mann Whitney U test, Mc Nemar test, and Chi Square test (p<0.05). Result: The BCG and SIT group on clinical sympthom for every week showed no significant differences (p>0.05). There was no significant difference between the BCG vaccination and SIT group on life quality (p>0.05). Conclusion: The BCG vaccination and SIT were shown the same effect in improving and medicating clinical symptoms and life quality, (Sains Medika, 1 (1) : 24-35). Keywords: allergic rhinitis, allergen-specific immunotherapy (SIT), BCG, life quality ABSTRAK Pendahuluan: Imunoterapi alergen spesifik (ITS) adalah pengobatan penyakit alergi dengan paparan alergen alami. Penggunaan vaksinasi BCG pada penderita asma menunjukkan perbaikan gejala klinik dan penurunan penggunaan obat-obatan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa vaksinasi BCG lebih efektif dibandingkan ITS terhadap perbaikan gejala klinik dan kualitas hidup penderita Rinitis alergi. Metode Penelitian: Desain penelitian yang digunakan Randomized Control Group Pre test Post test Design yang dilaksanakan pada bulan April 2004 sampai dengan September 2005 di Klinik Kesehatan THT RS Dr. Kariadi, Semarang. Populasi penelitian adalah semua penderita Rinitis Alergika derajat sedang berat menurut kriteria WHO yang berobat di Klinik Alergi, bagian THT RS. Dr. Kariadi Semarang. Analisis data menggunakan Mann Whitney U test, Mc Nemar test, dan Chi Square Test. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah p<0,05. Hasil Penelitian: Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok dengan vaksinasi BCG dan kelompok dengan ITS dalam memperbaiki gejala klinik (p>0,05). Tidak ada perbedaan secara signifikan antara kelompok dengan vaksinasi BCG dan kelompok dengan ITS dalam memperbaiki kualitas hidup (p>0,05). Kesimpulan: Vaksinasi BCG dan ITS mempunyai efek yang sama dalam memperbaiki gejala klinik dan kualitas hidup, (Sains Medika, 1 (1) : 24-35). Kata Kunci: rhinitis allergika, imunoterapi alergen spesifik (ITS), BCG, kualitas hidup PENDAHULUAN Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai Ig E (Gell & Comb tipe I). Gejala klinik berupa hidung buntu, bersin, gatal dan rinore. Hidung buntu bisa bilateral unilateral dan 1 Bagian Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang, (andriana_wardhani@yahoo.com)

2 Efektifitas ITS dan Vaksinasi BCG pada Penderita RA 25 berpindah-pindah terutama terjadi pada malam hari (Baraniuk, 1997; Durham, 1997; Skoner, 2001). RA tidak mengancam jiwa, akan tetapi dapat mengganggu, menurunkan kualitas hidup penderita dan memerlukan biaya yang sangat besar untuk pengobatannya. Menurut Malone (1999) 39 juta orang di Amerika Serikat terkena RA, namun hanya 12,3% (4,8 Juta) yang mendapat pengobatan. Angka absen kerja hari dan absen sekolah hari, total biaya tahun 1994 US $ 1,23 milyar. Penanganan RA pada dasarnya adalah mengatasi gejala RA akibat reaksi alergi fase segera (RAFS) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL), dengan cara avoidance, medikamentosa dan imunoterapi dengan alergen spesifik (Bousquet et al., 2001). Penanganan cara tersebut saat ini belum dapat menyembuhkan dengan sempurna. Imunoterapi dengan alergen spesifik (ITS) adalah pengobatan penyakit alergi dengan paparan alergen alami sehingga mengurangi beratnya penyakit. ITS digunakan pada pasien yang memerlukan pengobatan tiap hari untuk jangka waktu lama, karena obat yang diberikan tidak memberikan respon yang cukup, biasanya merupakan terapi akhir yang digunakan (Corey et al., 2000). ITS sampai saat ini masih digunakan sebagai pilihan terakhir, walaupun mempunyai banyak kekurangan, antara lain: waktu pengobatan yang lama atau merupakan pengobatan jangka panjang, untuk itu diperlukan kepatuhan penderita dan biaya yang mahal sehingga sering menyebabkan penderita drop out. Maka perlu dicari pengobatan RA yang lebih efektif dan efisien. Penelitian yang menghubungkan antara efisiensi penggunaan BCG dan ITS dengan perbaikan gejala klinik dan kualitas hidup pada penderita penyakit atopi (alergi) khususnya rinitis alergi masih sedikit dilakukan. Penyakit atopi, diantaranya asma bronkial, rinitis alergi, dan dermatitis mempunyai mekanisme yang identik, yaitu adanya ketidakseimbangan antara sel Th1/Th2 sehingga terjadi polarisasi ke arah produksi sitokin sel Th2 (IL-4, IL-5) dan peningkatan produksi Ig E oleh sel B (Baraniuk, 1997). Penelitian menggunakan vaksinasi BCG pada penyakit atopi terutama asma sudah banyak dilakukan yang menunjukan hasil berupa perbaikan pada gejala klinik asma dan kualitas hidupnya. Akan tetapi, masih banyak ahli yang meragukan manfaat klinik terapi ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas vaksinasi BCG dibanding ITS terhadap proporsi perbaikan gejala klinik dan kualitas hidup pada penderita rinitis alergi. Penilaian terhadap gejala klinik dan kualitas hidup mengacu pada penelitian Choi & Koh (2002) tentang efek BCG pada penderita asma yang menunjukkan perbaikan gejala klinik

3 26 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 dan penurunan penggunaan obat-obatan. Hasil penelitian ini diharapkan bahwa BCG dapat memberikan hasil yang baik pada rinitis alergi seperti pada penderita asma, sehingga dapat dipakai sebagai terapi alternatif disamping imunoterapi. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan Randomized Control Group Pretest Posttest Design. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2004 sampai dengan September 2005 di Klinik Kesehatan THT RS Dr. Kariadi Semarang. Populasi penelitian adalah semua penderita Rinitis alergi derajat sedang berat menurut kriteria WHO yang berobat di Klinik Alergi, bagian THT RS. Dr. Kariadi Semarang. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Pemilihan untuk tiap-tiap kelompok dipakai secara acak dengan menggunakan tabel random. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi. Dari perhitungan dengan menggunakan software PEPI 2002 maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 19, dan untuk menghindari data yang tidak sempurna maka ditambah 10 % = 21 sampel untuk masing-masing kelompok. Kriteria inklusi penelitian ini adalah laki-laki dan wanita, umur tahun dengan hasil test alergi prick test positif 3 atau lebih terhadap satu/lebih aeroalergen terutama mite, test PPD (Mantoux) negatif dan bersedia ikut penelitian sampai selesai. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah penderita TBC aktif, penderita asma berat, penderita mempunyai penyakit lain yang mempengaruhi hasil terapi seperti septum deviasi, sinusitis, dan polip, pengguna steroid sistemik jangka lama sedikitnya 1 bulan sebelumnya, pengguna obat-obatan β Bloker, pernah mendapat imunoterapi, dan wanita hamil atau menyusui. Kriteria drop-out penelitian ini adalah penderita yang mengalami efek samping obat yang berat meliputi gejala klinik makin berat dan shock anapilaktif, serta penderita yang kemudian diketahui hamil. Ekstrak alergen yang digunakan untuk tes tusuk kulit dibuat oleh LAPI Jakarta. Dikerjakan dengan cara intrakutan, yaitu dengan menyuntikan ekstrak alergen sehingga timbul bentol (wheal) dan eritema. Sebagai kontrol positif dipakai larutan histamin dan kontral negatif dipakai larutan buffer fosfat yang merupakan pelarut alergennya. Reaksi histamin positif diberi skor 3+, buffer fosfat skor (-). Berbagai macam alergen disuntikkan

4 Efektifitas ITS dan Vaksinasi BCG pada Penderita RA 27 di regio volar lengan bawah, ditunggu 15 menit. Reaksi dibandingkan dengan kontrol (+) dan (-). Reaksi yang timbul sama dengan histamin diberi skor 3+, lebih besar dari histamin 4+, reaksi antara keduanya diberi nilai 2+ dan 1+. Vaksin BCG yang digunakan adalah vaksin BCG kering yang mengandung kuman hidup dari biakan Bacillus Calmete & Guerin Institut Pasteur Paris No P2 buatan Biofarma Bandung. Vaksin dilarutkan dengan pelarutnya kemudian disuntikkan di regio deltoid kiri dengan dosis 0,1ml sampai membentuk wheal berdiameter 8-10 mm. ITS adalah terapi menggunakan alergen spesifik dari ALK-ABELLO Spanyol, terdiri dari 4 botol dengan label berbeda. ITS 1 (label abu-abu) berisi alergen dengan konsentrasi 1:1000. ITS 2 (label hijau) berisi alergen dengan konsentrasi 1: 100. ITS 3 (label kuning) berisi alergen dengan konsentrasi 1:10, sedangkan ITS 4 (label merah) berisi alergen dengan konsentrasi 1:1. Kuisioner data penderita dan catatan harian penderita yang berisi pertanyaan tentang skor berat ringannya gejala-gejala hidung dan kuisioner kualitas hidup sebelum dan sesudah mendapat terapi. Penderita diminta untuk mengisi kuisioner gejala klinik, efek samping setiap hari yang diisi di rumah selama 7 hari. Setiap 1 minggu diminta kontrol untuk dinilai kembali gejala klinik melalui kuesioner. ITS disuntikkan secara subkutan pada penderita 2x per minggu dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap. Evaluasi berjalan selama 8 minggu. Penilaian gejala klinik dalam penelitian ini menggunakan skor total gejala klinik (GK ). GK merupakan suatu jumlah dari skor gejala yang dinilai pasien untuk: bersin, rinore, hidung gatal dan hidung buntu. Masing- masing gejala dinilai berdasarkan 4 (empat) skala meliputi skala 0 (tidak ada gejala/pilek), skala 1 (gejala pilek ringan, tidak mengganggu), skala 2 (gejala pilek mengganggu tapi tak mengganggu aktifitas atau tidur), skala 3 (gejala pilek mengganggu aktifitas dan atau tidur). Gejala total hari tersebut adalah jumlah skor dari masing-masing gejala, sedangkan skor gejala dalam 1 minggu adalah nilai rerata skor gejala harian dalam 1 minggu. Respon terapi gejala klinik dibagi menjadi skor baik bila rentang nilai 0 4 dan skor buruk bila mempunyai rentang nilai 4,1 12. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi pada saat pertama datang, tiap minggu dan minggu terakhir penelitian. Respon positif (+) atau berhasil apabila selama 1 minggu

5 28 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 sebelum evaluasi skor dari setiap gejala maksimal 1 atau rerata jumlah skor maksimal ke 4 gejala pokok RA = 4. Penilaian kualitas hidup menggunakan skor dari kuesioner dengan 7 skala meliputi skala 0 (tidak terganggu) sampai dengan skala 6 (sangat terganggu sekali). Skala ini digunakan untuk menilai 7 domain kualitas hidup yaitu aktifitas, gangguan tidur, gejala non hidung/non mata, masalah praktis, gejala hidung, gejala mata dan emosi. Respon terapi dari skor kualitas hidup dan skor total masing-masing domain dibagi menjadi: skor baik bila mempunyai rentang 0 3 dan skor buruk bila mempunyai rentang 3,1 6. Perbaikan kualitas hidup apabila terdapat perbedaan pengurangan skor kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi. Imunoterapi setelah 2 tahun efektif pada 90% pasien dan akan tetap membaik selama 2-3 tahun setelah dihentikan. Pada penelitian ini imunoterapi yang digunakan adalah dosis eskalasi selama 8 minggu. Hasil penelitian ini dianggap efektif bila lebih dari 25%. Perhitungan minum obat, dilakukan dengan menghitung rerata dan dilakukan dengan skor sedikit bila minum obat 1-3 perminggu dan banyak bila minum obat 4-7 perminggu. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Mann - Whitney U test untuk menguji perbedaan umur antar kelompok, menggunakan Mc Nemar test untuk menguji proporsi respon terapi dalam kelompok BCG dan ITS, dan menggunakan Chi Square test untuk menguji proporsi respon terapi antar kelompok BCG dan ITS. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah p<0,05. HASIL PENELITIAN Dari 44 penderita rinitis alergi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia mengikuti penelitian, 42 penderita menyelesaikan sampai akhir penelitian (21 penderita kelompok ITS dan 21 penderita kelompok BCG), 1 penderita tidak melanjutkan oleh karena pindah alamat dan 1 penderita tidak dapat dihubungi. Banyaknya minum obat pada kelompok BCG dibanding ITS pada tiap-tiap minggu tampak perbedaan yang tidak bermakna (p>0,005).

6 Efektifitas ITS dan Vaksinasi BCG pada Penderita RA 29 Karakteristik subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin Umur responden kelompok BCG rata-rata 26,7 tahun dengan umur termuda 15 tahun dan umur tertua 44 tahun. Umur responden kelompok ITS rata-rata 31,1 dengan umur termuda 18 tahun dan umur tertua 50 tahun (Tabel 1.). Jenis kelamin responden kelompok BCG 33,3% laki-laki dan 66,7% perempuan. Jenis kelamin responden kelompok ITS 38,1 % laki-laki dan 61,9 % perempuan. Pada kelompok BCG ada riwayat alergi keluarga 40,0 % dan tidak ada riwayat alergi keluarga 59,1 %. Kelompok ITS ada riwayat alergi keluarga 60,0 % dan tidak ada riwayat alergi keluarga 40,9 % (Tabel 2.). Distribusi berdasarkan jenis kelamin (p=0,75) dan riwayat alergi keluarga (p=0,22) antara dua kelompok tidak ada perbedaan bermakna. Keluhan utama sebelum mendapat terapi BCG maupun ITS Sebelum mendapat BCG responden yang mengalami hidung gatal 9,5%; bersin 47,5%; hidung berair 28,6%; dan hidung tersumbat 14,3%. Sebelum ITS responden yang mengalami hidung gatal 19,0%; bersin 19,0%; hidung berair 33,3%; dan hidung tersumbat 28,6% (Tabel 3). Distribusi berdasarkan umur antara dua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p=0,24). Gejala klinik BCG maupun ITS per minggu Hasil uji Chi Square perbaikan gejala klinik per minggu, selama 8 minggu pada pengobatan BCG dibandingkan dengan ITS menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05), sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 1. Karakteristik responden kelompok BCG dan ITS menurut umur Tabel 2. p= Mann- Whitney U Karakteristik responden kelompok BCG dan ITS menurut jenis kelamin dan riwayat alergi p =Chi Square

7 30 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 Tabel 3. Keluhan utama responden sebelum mendapat BCG maupun ITS Tabel 4. Gejala klinik tiap minggu kelompok BCG dan ITS p =Chi Square Kualitas hidup sebelum dan sesudah BCG maupun ITS Pada kelompok BCG sebelum terapi terdapat 3 (14,3%) penderita dengan kualitas hidup baik, dan 18 (85,7%) penderita kualitas hidup buruk. Dari jumlah tersebut yang mengalami perbaikan kualitas hidup sejumlah 15 (71,4%) penderita dan 6 (28,6%) penderita tetap buruk (Tabel 5). Hasil uji McNemar menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada kualitas hidup sebelum dan sesudah BCG.

8 Efektifitas ITS dan Vaksinasi BCG pada Penderita RA 31 Pada kelompok ITS sebelum terapi terdapat 5 (23,8%) penderita dengan kualitas hidup baik dan 16 (76,2%) penderita kualitas hidup buruk. Dari jumlah tersebut yang mengalami perbaikan kualitas hidup menjadi 19 (90,5%) penderita dan 2 (9,5%) penderita tetap buruk (Tabel 6.). Hasil uji McNemar menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada kualitas hidup sebelum dan sesudah ITS. Kualitas Hidup Sesudah BCG dan Sesudah ITS Hasil uji Chi Square pada perbaikan kualitas hidup sesudah vaksinasi BCG dan sesudah ITS menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05), sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Kualitas Hidup Masing Masing Domain Sesudah BCG dan Sesudah ITS. Untuk mengetahui kualitas hidup masing-masing domain sesudah BCG dan ITS digunakan statistik non parametrik dengan uji Chi Square (Tabel 8). Kualitas hidup masingmasing domain kelompok BCG dibanding kelompok ITS tidak berbeda bermakna (p>0,05). Tabel 5. Kualitas hidup sebelum dan sesudah BCG p = McNemar test Tabel 6. Kualitas hidup sebelum dan sesudah ITS p = McNemar test Tabel 7. Kualitas hidup sesudah BCG dan ITS p =Chi Square

9 32 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 Tabel 8. Kualitas hidup masing-masing domain sesudah BCG dan ITS p =Chi Square PEMBAHASAN Gejala Klinik Vaksinasi BCG memberikan perbaikan bermakna (p<0,0001) pada gejala klinik sesudah minggu ke-8. Hal ini sesuai dengan penelitian Choi & Koh (2002) bahwa vaksinasi BCG pada penderita asma menurunkan skor gejala asma secara bermakna pada minggu ke-8 sampai minggu ke-16. Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Jing Li et al. (2005) didapatkan penurunan skor gejala klinik rinitis lebih rendah secara bermakna pada hari ke-36 dan 72 ( minggu ke-5 dan ke-10). Protein mikobakterium terikat pada TLRs makrofag, sehingga makrofag menjadi aktif. Makrofag aktif ini memproduksi IL-12 yang akan menginduksi sel Th1 untuk menghasilkan IFNγ. IFNγ merupakan counterbalance sitokin sel Th2, menghambat produksi IgE sehingga produksi mediator inflamasi sel mast berkurang dan selanjutnya gejala klinik alergi akan berkurang (Baraniuk, 1997; Supomo, 1995). Dengan demikian terjadi perbaikan gejala klinik sesudah pemberian BCG. Gejala klinik sesudah mendapat ITS terjadi perbaikan bermakna (p<0,05) pada penderita rinitis alergi. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori bahwa paparan alergen dosis eskalasi berhubungan dengan peningkatan produksi IL-4 dan penurunan produksi IFNγ sehingga perbaikan gejala klinik belum ada (Creticos, 2000; Haugaard, 1999). Zhikang et al. (1991) melaporkan bahwa perbaikan gejala klinik rinitis alergi dengan ITS dosis moderat tidak tampak sampai 2 tahun. Corey (2000) melaporkan bahwa akan terjadi perbaikan gejala klinik sejak minggu ke-12 dan akan terus meningkat dalam

10 Efektifitas ITS dan Vaksinasi BCG pada Penderita RA 33 periode 1 sampai 2 tahun. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Akdis & Blaser (2000) yang melaporkan bahwa kadar IgE belum menunjukkan penurunan setelah dilakukan ITS selama 6 bulan, sehingga perbaikan gejala kliniknya pun masih belum ada. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian (belum dipublikasikan) dengan menggunakan subyek yang sama, didapatkan hasil ITS dosis eskalasi sudah menyebabkan penurunan kadar IL-4 yang tidak bermakna dan belum dapat meningkatkan kadar IFNγ (Sudarmini, 2006). Hal ini dimungkinkan karena sel T reg sudah terpacu, dimana Sel T reg ini dapat menghambat respon sel Th1 dan Th2, sehingga secara aktif menghambat reaksi autoimun dan respon alergi (Jing et al., 2005), sehingga sudah dapat memperbaiki gejala klinik. Pada penelitian ini tidak diukur rasio IL4/IFNγ maupun IL10 yang merupakan produk dari sel T reg. Pada penelitian ini banyaknya hari minum obat mingguan pada kelompok BCG dibanding kelompok ITS tidak berbeda bermakna, sehingga dapat disimpulkan gejala klinik pada kelompok BCG maupun ITS tidak dipengaruhi dengan banyaknya hari minum obat. Berdasarkan hasil penelitian ini, gejala klinik mingguan pada kelompok BCG dibanding ITS tidak berbeda bermakna. Apabila diamati lebih lanjut terlihat bahwa perbaikan gejala klinik pada kelompok ITS lebih banyak dibandingkan kelompok BCG, tetapi tidak berbeda bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa kedua terapi mempunyai pengaruh yang sama terhadap perbaikan gejala klinik atau dengan kata lain BCG tidak lebih efektif dibandingkan dengan ITS. Penelitian lain (belum dipublikasikan) dengan menggunakan subyek kelompok BCG yang sama, didapatkan hasil kenaikan rasio IL-4/IFNγ dan skor gejala klinik yang tidak berbeda bermakna dengan kontrol (Sudrajat, 2006). Hal ini kemungkinan disebabkan faktor genetik, strain BCG, dan dosis vaksinasi yang berbeda. Pada penelitian ini digunakan vaksin BCG strain 1173 P2 Paris dengan dosis 0,1 ml ( CFU), merupakan vaksin BCG yang direkomendasikan di Indonesia untuk mengurangi resiko terjadinya tuberkulosis. Pada penelitian Koh et al. (2002) di Korea dengan menggunakan vaksin BCG strain 172 Tokyo dengan dosis 58, CFU. Dosis ini 10 kali lebih besar dari dosis yang digunakan di Eropa menghambat terjadinya asma, dimana penderita asma diasumsikan sama dengan rinitis alergi.

11 34 Sains Medika, Vol. 1, No. 1, Januari Juni 2009 Kualitas Hidup Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sesudah BCG dan ITS sama-sama bermakna terhadap peningkatan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup pada masingmasing domain antara kelompok BCG dan kelompok ITS tidak berbeda bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa BCG dan ITS sama-sama efektif untuk meningkatkan kualitas hidup penderita rinitis alergi. Okubo et al. (2005) melaporkan bahwa perbaikan kualitas hidup pada penderita RA berhubungan secara signifikan dengan perbaikan gejala klinik. Peningkatan kualitas hidup terjadi pada masing-masing domain yaitu pada aktivitas yang terganggu, masalah praktis, gejala hidung dan gejala mata. Masalah praktis, gejala mata, dan keterbatasan aktivitas mengalami perbaikan secara signifikan. Durham (2005) menyimpulkan bahwa penggunaan imunoterapi serbuk sari dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita RA musiman dan menurunkan gejala asma musiman dan asma bronkhial. Hasil penelitian menunjukkan perbaikan gejala klinik lebih dari 25% pada kelompok BCG maupun kelompok ITS setelah minggu ke-8. Namun perbaikan gejala klinik kelompok BCG dibanding kelompok ITS tidak berbeda bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa vaksinasi BCG tidak lebih efektif dibanding ITS. KESIMPULAN Vaksinasi BCG dan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) mempunyai efek yang sama dalam memperbaiki gejala klinik dan kualitas hidup penderita rinitis alergi. SARAN Vaksinasi BCG dapat dipakai sebagai terapi kombinasi dengan imunoterapi pada penderita rinitis alergi. Penelitian terkait vaksinasi BCG dengan dosis BCG yang ditingkatkan atau dengan strain BCG yang berbeda perlu dilakukan agar diperoleh hasil yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Akdis C.A. and Blaser K., 2000, Mechanisms of Allergen Spesific Immunotherapy, Allergy, 55 : Baraniuk J.N., 1997, Patogenesis of Allergic Rhinitis, J Allergy Clin Immunol, 99:

12 Hubungan Paparan Debu Kayu dan TMSH 35 Bousquet J., Cauwenberge P.V., and Khaltaev N., 2001, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, J Allergy Clin Imunol, 108. Choi S.I. and Koh Y.I., 2002, Therapeutic Effect of BCG Vaccination in Adult Astmatic Patiens: a Randomized Controlled Trial, Ann Allergy Asthma Immunol, 88: Corey J.P., Kemker B.J., Branca J.T., Kuo F., Chang Y., and Gliklich R.E., 2000, Health Status in Allergic Rhinitis, Otolaryngol Head and Neck Surgery, 122: Creticos P.S., 2000, The Consideration of Immunotherapy in the Treatment of Allergic Asthma, J Allergy Clin Immunol, 105: S Durham S.R., 2005, Grass Pollen Immunotherapy using a Cluster Regime for Seasonal Rhinitis and Asthma, Royal Brompton Hospital, NHLI Imperial College London United Kingdom. Haugaard L., 1999, Immunologic Effect of Immnutherapy, Allergy, 54 (suppl. 58): Jing L., Ding Fen L., Sui-ying L., Bao-Qing S., and Nan-Shan Z., 2005, Efficacy of Intramuscular BCG Polysaccharide Nucleotide on Mild to Moderate Bronchial Asthma Accompanied with Allergic Rhinitis: a Randomized, Double Blind, Placebo- Controlled Study, Chinese Medical Jurnal, 19: Koh Y.I., Choi I.S., and Park S.C., 2000, BCG Infection During Pre-Sensition or Even Post- Sensition Inhibits Airway Sensitions in an Animal Model of Allergyc Asthma, J Korean Med Sci, 15: Malone D.C., Lawson K.A., Smith D.H., Arrighi H.M., Battista C.A., 1999, Cost of Illness Study of Allergic Rhinitis in the United States, J Allergy Clin Immunol, 1007: Okubo K., Gotoh M., Shimada K., Ritsu M., Okuda M., and Crawford B., 2005, Fexofenadine Improves the Quality of Life and Work Productivity in Japanese Patients with Seasonal Allergic Rhinitis during the Peak Cedar Pollinosis Season, Allergy and Immunology, 136: Skoner D.P., Allergy Rhinitis: Definition, Epidemiology, Pathofisiologhy, Detection and Diagnosis, J Allergy Clin Immunol, 108: 2-8. Sudarmini M., 2006, Pengaruh ITS terhadap Rasio IL-4/IFNγ Perbaikan Gejala Klinik Rinitis Alergi (belum dipublikasi), Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Semarang. Sudrajat H., 2006, Pengaruh Vaksinasi BCG terhadap Rasio IL-4/IFNγ Perbaikan Gejala Klinik Rinitis Alergi (belum dipublikasi), Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Universitas Diponegoro, Semarang. Supomo S., 1995, Manfaat Kortikostiroid Topikal pada Rinitis Alergi, Dalam: Losin K., (ed.), Kumpulan Naskah Konas XI Perhati Yogyakarta: Zhikang P., Robert N.M., Philips N.S., and Franklin N.A., 1991, Quantitative IgE and IgG Subclass Responses During and After Long Term Ragweed Immunotherapy, Division of Allergy and Clinical Immunology, Departement of Medicine, The Johns Hopkins University School of Medicine,

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi 29 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Jumlah Sampel Penelitian Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan 44 penderita rinitis alergi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya

Lebih terperinci

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun 17 BAB 3. METODA PENELITIAN 3.1. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. 3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN IMUNOTERAPI DOSIS ESKALASI TERHADAP PERUBAHAN RASIO IL-4/IFN- DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PENDERITA RINITIS ALERGI

HUBUNGAN IMUNOTERAPI DOSIS ESKALASI TERHADAP PERUBAHAN RASIO IL-4/IFN- DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PENDERITA RINITIS ALERGI HUBUNGAN IMUNOTERAPI DOSIS ESKALASI TERHADAP PERUBAHAN RASIO IL-4/IFN- DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PENDERITA RINITIS ALERGI THE RELATIONSHIP OF IMMUNOTHERAPY ESCALATION DOSES ON RATIO IL-4/IFN- AND THE

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP KADAR IgE-TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI

PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP KADAR IgE-TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP KADAR IgE-TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI (The effect of BCG vaccination to total IgE level and clinical improvement of allergic rhinitis) Tesis untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL 4.1.1. Gambaran Umum Penelitian ini dilakukan di Klinik Alergi Bagian THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, dari Bulan April 2004 sampai dengan Bulan Oktober 2005. Semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2012-2013 Rinitis alergi bukan merupakan penyakit fatal yang mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan penurunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada anak yang memiliki atopi yang sebelumnya telah terpapar

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL Karya Tulis Ilmiah Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG Anita Mayasari 1, Setyoko 2, Andra Novitasari 3 1 Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit alergi merupakan masalah kesehatan serius pada anak. 1 Alergi adalah reaksi hipersentisitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. 2 Mekanisme alergi

Lebih terperinci

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9% DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 SKRIPSI OLEH: Regita Binar Samanta NRP: 1523011041 PRODI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2014 PROFIL PASIEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah ruang lingkup disiplin ilmu kesehatan kulit. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian - Tempat penelitian : Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Elia Reinhard 2 O. I. Palandeng 3 O. C. P. Pelealu Kandidat skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat masa awal kanak-kanak dimana distribusi lesi ini sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Setyoko 1, Andra Novitasari 1, Anita Mayasari 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

EFEK TERAPI VAKSINASI BCG TERHADAP PERUBAHAN KADAR IgG TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PADA RINITIS ALERGI

EFEK TERAPI VAKSINASI BCG TERHADAP PERUBAHAN KADAR IgG TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PADA RINITIS ALERGI EFEK TERAPI VAKSINASI BCG TERHADAP PERUBAHAN KADAR IgG TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PADA RINITIS ALERGI THE THERAPEUTIC EFFECT OF BCG VACCINATION TO THE TOTAL IgG LEVEL CHANGES AND IMPROVEMENT CLINICAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan suatu penyakit kronik yang mengenai jalan napas pada paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa batuk kronik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Fakultas

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Hubungan Gejala Klinis Dengan Hasil Tes Cukit Kulit Pada Pasien Dengan Rinitis Alergi di RS. H. Adam Malik Medan Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati,

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat tidak hanya di negara barat juga negara berkembang.dewasa ini rinitis alergika merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengandung kelenjar sebasea seperti: muka, dada dan punggung ( kelenjar/cm). 1,2 Acne

BAB 1 PENDAHULUAN. mengandung kelenjar sebasea seperti: muka, dada dan punggung ( kelenjar/cm). 1,2 Acne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu penyakit kulit yang merisaukan remaja dan dewasa adalah jerawat, karena dapat mengurangi kepercayaan diri seseorang 1. Acne vulgaris atau lebih sering

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET XYLITOL TERHADAP LAJU ALIRAN SALIVA (Studi Kasus Pada Pasien Radioterapi Kepala dan Leher di RSUP Dr. Kariadi Semarang) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik 77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September sampai dengan. Desember 2013 di beberapa SMP yang ada di Semarang.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September sampai dengan. Desember 2013 di beberapa SMP yang ada di Semarang. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup disiplin ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Permasalahan Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya namun mampu memicu respon yang dimulai dari sistem imun tubuh dan menyebabkan reaksi alergi (Aaaai.org,

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA 120100267 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN 2015 ii ABSTRAK Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2007-2009 Oleh: ILAVARASE NADRAJA NIM: 070100313 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terkait disiplin Ilmu Kesehatan Anak khusunya bagian Respirologi, Alergi & Imunologi, serta Ilmu Fisiologi. 3.2 Tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu kesehatan kulit dan kelamin.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu kesehatan kulit dan kelamin. BAB III METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah ilmu kesehatan kulit dan kelamin. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH 1 HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ASSOCIATION BETWEEN ALLERGIC RHINITIS WITH PEAK EXPIRATORY FLOW MEASUREMENT ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Herry Priyanto*, Faisal Yunus*, Wiwien H.Wiyono* Abstract Background : Method : April 2009 Result : Conclusion : Keywords

Lebih terperinci

Hubungan Klasifikasi Rinitis Alergi dengan Interleukin-5 pada Penderita Rinitis Alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan

Hubungan Klasifikasi Rinitis Alergi dengan Interleukin-5 pada Penderita Rinitis Alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Hubungan Klasifikasi Rinitis Alergi dengan Interleukin-5 pada Penderita Rinitis Alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated allergy). 1,2

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ASMA BRONKIALE BERKAITAN DENGAN RINITIS ALERGI. : dr. July Ivone, MKK, MPd. Ked

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ASMA BRONKIALE BERKAITAN DENGAN RINITIS ALERGI. : dr. July Ivone, MKK, MPd. Ked ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ASMA BRONKIALE BERKAITAN DENGAN RINITIS ALERGI Ivan Selig Stianto, 2011. Pembimbing I Pembimbing II : dr. Jahja Teguh Widjaja, Sp.P, FCCP : dr. July Ivone, MKK, MPd. Ked Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit kronis dan residif, gatal dan ditandai dengan kelainan kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi,

Lebih terperinci

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi Laporan Penelitian Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi Rita Talango, Aminuddin, Abdul Qadar Punagi, Nani Iriani Djufri Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit peradangan kronik, hilang timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa bayi

Lebih terperinci

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi ORLI Vol. 41 No. 2 Tahun 211 Laporan Penelitian Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi Rita Talango, Aminuddin, Abdul Qadar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENULISAN. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Ilmu Kesehatan Masyarakat

BAB III METODOLOGI PENULISAN. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Ilmu Kesehatan Masyarakat 34 BAB III METODOLOGI PENULISAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Ilmu Kesehatan Masyarakat 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian April 2016. Penelitian dilakukan di SMA Kesatrian

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis 41 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Gambaran Umum Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis alergi yang menjalani tes alergi di Klinik KTHT-KL RSUP Dr.Kariadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Mulut. Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang)

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang) PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang) HEMOGLOBIN LEVELS OF NASOPHARYNGEAL CANCER PATIENTS BEFORE

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG FAKTOR RISIKO PENYAKIT SEREBROVASKULAR TERHADAP KEJADIAN STROKE ISKEMIK ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG FAKTOR RISIKO PENYAKIT SEREBROVASKULAR TERHADAP KEJADIAN STROKE ISKEMIK ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG FAKTOR RISIKO PENYAKIT SEREBROVASKULAR TERHADAP KEJADIAN STROKE ISKEMIK ASSOCIATION BETWEEN KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOUR ABOUT RISK FACTOR OF CEREBROVASKULAR

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung

Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung Archietobias MA, Sibero HT, Carolia N Medical Faculty of Lampung University

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1. Lingkup Ilmu Penelitian ini melingkupi Ilmu Imunologi, Penyakit Infeksi, dan Farmakologi. 4.1.2. Lingkup Tempat Penelitian ini dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi asma di berbagai negara sangat bervariasi, namun perbedaannya menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)

Lebih terperinci

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Lampiran 1 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :... Umur :... tahun (L / P) Alamat :... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN

Lebih terperinci