II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Mangrove 2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Fungsi Fisik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Mangrove 2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Fungsi Fisik"

Transkripsi

1 7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove, yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Bengen (2002) menyatakan komunitas vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang-surut yang kuat. Gunarto (2004) dan Kasim (2006) menyatakan hutan mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuari sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa oleh air sungai dari daerah hulu. Kawasan mangrove merupakan kawasan yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis, Sneda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku (Bengen 2002). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Noor et al. (1999) menyatakan dari 202 jenis tersebut, 43 jenis disebut sebagai mangrove sejati (true mangrove), sedangkan jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove ikutan (associated mangrove). 2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi mencakup fungsi fisik dan biologi/ekologi (Knox 1986; Bengen 2002) Fungsi Fisik Hutan mangrove berperan penting dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir melalui penjebakan sedimen dan sisa bahan organik yang terbawa air sungai dari daratan. Kondisi ini menyebabkan pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-state equilibrium) sehingga akan memelihara ekosistem padang

2 8 lamun dan terumbu karang. Endapan lumpur yang terperangkap akan menyebabkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Proses ini menyebabkan mangrove sering dikatakan sebagai pembentuk daratan. Hutan mangrove juga berperan dalam melindungi pantai dari angin kencang, abrasi dan pengendali banjir Fungsi Biologi/Ekologis Hutan mangrove mempunyai nilai produktivitas bersih yang cukup tinggi, yakni biomassa sebesar 62,90 398,80 ton/ha/th dan guguran serasah 5,80 25,80 ton/ha/th. Hal ini disebabkan daun mangrove yang jatuh dan masuk ke kolom air setelah mencapai dasar akan diuraikan oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian berupa detritus dapat digunakan sebagai makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan air lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di ekosistem ini. Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai sumber plasma nuftah. Snedaker dan Getter (1985) menyatakan sekitar 80% dari jenis-jenis biota laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase di ekosistem mangrove. Hutan mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Fitoplankton selanjutnya dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustase termasuk udang putih. Sukardjo (1995) menyatakan guguran serasah daun mangrove sebesar 13,08 ton/ha/th dapat menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Mahmudi et al. (2008) mendapatkan ekosistem mangrove di Nguling Pasuruan hasil reboisasi dari jenis Rhizophora mucronata seluas 57,10 ha berpotensi menghasilkan produksi serasah daun sebesar 1.119,16 kg/ha/th dan menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 507,35 kg N/th, 21,90 kg P/th dan 25121,52 kg C/th.

3 9 2.3 Peran Ekosistem Mangrove dalam Menunjang Sumberdaya Udang Penaeid Ekosistem mangrove adalah suatu sistem ekologi tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, dipengaruhi pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan payau (Santoso 2000). Ekosistem mangrove memainkan peran penting dalam menunjang kehidupan berbagai biota perairan termasuk udang putih. Chong et al. (1990) menyatakan campuran deposit organik dengan tumbuhan, bakteri, diatom, dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di substrat mangrove merupakan sumber makanan bagi udang putih. Biota ini umumnya menghabiskan masa mudanya (pascalarva dan juvenil) di ekosistem mangrove sebelum beruaya ke laut lepas untuk memijah. Sebagai fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor yaitu: tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan perairan, dan keragaman vegetasi. Konsentrasi bahan organik yang tinggi pada ekosistem mangrove disebabkan adanya aliran air tawar dari sungai, pencampuran air akibat terjadinya pasang surut, serta produktivitas yang tinggi, merupakan faktor penting dari rantai makanan sehingga udang putih banyak ditemukan di ekosistem ini. Faktor kekeruhan di perairan mangrove juga merupakan salah satu penyebab banyaknya dijumpai populasi udang putih di ekosistem ini, disebabkan dapat menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran udang putih, yang akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup juvenil biota tersebut. Keragaman vegetasi mangrove yang tinggi dengan perakaran yang menjulur ke dalam perairan sangat baik sekali untuk tempat berlindung udang putih juvenil dari predator, sehingga biota ini banyak dijumpai di ekosistem mangrove (Knox 1986).

4 Sistematika dan Morfologi Udang Putih Penaeus merguiensis de Man Udang putih P. merguiensis de Man menurut Myers et al. (2008) dapat dikelompokkan ke dalam Kingdom Animalia, Phylum Arthropoda, Subphylum Crustacea, Class Malacostraca dengan sistematika sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Crustacea Class : Malacostraca Subclass : Eumalacostraca Super Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub Ordo : Dendrobranchiata Super Family : Penaeoidea Famili : Penaeidae Genus : Penaeus Species : Penaeus merguiensis de Man Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam Famili Penaedae (termasuk udang putih P. merguiensis) secara garis besar dapat dibedakan dari jenis udang famili lainnya oleh dua ciri utama yaitu : pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua tertutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan (periopod) pertama mempunyai capit (chelae) yang hampir sama besarnya (Naamin 1984). Udang putih secara morfologi ditandai dengan warna badan yang berwarna putih kekuningan dengan bintik coklat dan hijau. Umumnya memiliki panjang total 24 cm untuk betina, dan 20 cm untuk jantan. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennulae bergaris-garis merah tua dan antena berwarna merah. Bittner dan Ahmad (1989) menyatakan tubuh udang putih dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (sepalotoraks), dan bagian tubuh sampai ke pangkal ekor yang disebut abdomen. Bagian kepala ditutupi oleh sebuah kelopak kepala (karapaks) yang bagian ujungnya meruncing dan bergigi disebut cucuk kepala (rostrum). Pada udang putih gigi rostrum bagian atas biasanya berjumlah 8 buah dan bagian bawah 5 buah sehingga didapatkan rumus gigi rostrum 8/5. Seluruh tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kulit luar yang mengeras (eksoskeleton) terbuat dari kitin (Gambar 2), di bagian kepala terdapat 13 ruas dan bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala diantara rahang (mandibula). Di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal rostrum terdapat mata

5 11 majemuk bertangkai yang dapat digerakkan. Ukuran mata udang putih jauh lebih besar dari udang windu, dan ukuran mata ini dapat digunakan untuk membedakan jenis udang putih dengan udang windu pada tingkat juvenil. sefalotoraks karapaks abdomen antenula mata majemuk rostrum telson skafoserit antena periopod peliopod uropoda Gambar 2 Morfologi udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Bittner dan Ahmad (1989). Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasangan antara lain sungut kecil (antenula), sungut besar (antena), sirip kepala (skafoserit), rahang bawah (mandibula), alat pembantu rahang/rahang atas (maksila) yang terdiri atas 2 pasang, dan maksiliped yang terdiri atas tiga pasang. Kaki jalan (periopod) terdiri atas lima pasang, dan 3 pasang diantaranya dilengkapi capit yang disebut chelae. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang (peliopod) yang terletak di setiap ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) yang ujungnya membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus). Secara keseluruhan ciri morfologi udang putih P. Merguiensis de Man disajikan pada Tabel 1.

6 12 Tabel 1 Tingkatan, sub tingkatan dan ciri morfologi P. Merguiensis de Man (Bittner & Ahmad 1989) Tingkatan Sub Tingkatan Ciri Morfologi Nauplius (N) (Stadium 1) Pembagian tubuh belum jelas, pasanganpasangan setae terdapat pada ujung posterior N I Sepasang setae pada ujung posterior N II Dua pasang setae pada ujung posterior N III Tiga pasang setae pada ujung posterior N IV Empat pasang setae pada ujung posterior N V Lima pasang setae pada ujung posterior N VI Enam pasang setae pada ujung posterior N VII Tujuh pasang setae pada ujung posterior Zoea (Z) (Stadium II) Z 1 Cehpalohtorax dan abdomen dapat dibedakan dengan jelas Z II Sepasang mata majemuk mulai terlihat, rostrum tumbuh di tengah karapaks Z III Sepasang uropoda tumbuh Mysis (M) M I Pangkal pleopoda timbul (Stadium III) M II Segmen pertama terbentuk M III Pembentukan pleopoda sudah sempurna tetapi belum terbuka Pascalarva (PL) (Stadium IV) PL I Pleopoda terbuka sempurna, telson sedikit cekung di bagian tengah ujung posteriornya PL II Telson datar pada ujung posteriornya PL III Telson cembung pada ujung posteriornya, formula telson 4/8/1, gigi rostrum 2/0 PL IV Formula telson 4/8/4, gigi rostrum 3/0 5/4 PL V Formula telson 4/4, 4/4, gigi rostrum 6/5 PL VI Formula telson 4/4,4/4, gii rostrum 6/5 2.5 Daur Hidup Udang Putih P. merguiensis de Man Pada umumnya daur hidup udang penaeid menurut Dall et al. (1990) dibedakan atas 3 tipe, yaitu : Tipe 1. Udang penaeid yang seluruh daur hidupnya berada di estuari, termasuk dalam kelompok ini adalah: Metapenaeus elegans, M. conjunctus, M. benettae, M. moyebi dan M. brevicornis. Pada tipe ini pasca larva cenderung bermigrasi ke bagian hulu sungai dengan salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi juvenil, bergerak kembali ke muara sungai yang bersalinitas lebih tinggi. Seluruh spesies penaeid ini bersifat euryhaline dan mampu bertahan hidup pada perairan tawar.

7 13 Tipe 2. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di estuari, tetapi memijah di dasar perairan antara pantai (inshore) dan lepas pantai (offshore). Termasuk dalam tipe ini adalah jenis Penaeus indicus, P. monodon, P. japonicus, P. merguiensis, P. setiferus, Parapenaeopsis hardwickii dan Xiphopenaeus kroyery. Tipe 3. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di pantai, tetapi memijah di dasar perairan lepas pantai. Udang jenis ini lebih menyukai salinitas tinggi, sehingga tahapan dari siklus hidupnya tidak ada yang tinggal di estuari, umumnya bersifat stenohaline. Termasuk di dalamnya Atypopenaeus dearmatus, Heteropenaeus longimanus, Macropetasma africanus, Protrachypene precipua, dan Trachypenaeus curvirostris. Garcia dan Le Reste (1981), Dall et al. (1990), Naamin et al. (1992), Stewart (2005), dan FAO (2005) menyatakan daur hidup udang putih P. merguiensis terbagi menjadi dua fase, yaitu fase laut dan fase estuari (Gambar 3). Gambar 3 Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Stewart (2005). Udang putih P. merguiensis banyak dijumpai di perairan tropik dan sub tropik Asia dan Australia, antara 67 sampai 166 bujur timur dan antara 25 lintang utara sampai 29 lintang selatan. Di Indonesia, daerah penyebaran

8 14 udang putih adalah di perairan sepanjang pantai barat Sumatera, Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan Laut Arafura (Naamin 1984). Daerah penyebarannya mulai dari daerah muara sungai sampai ke tengah laut yang bervariasi menurut tingkatan hidupnya (larva, juvenil, dan dewasa). Chan (1998) menyatakan pada udang penaeid termasuk udang putih, telurnya akan menetas setelah jam menjadi larva sederhana yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali pergantian kulit, nauplius berubah menjadi zoea selama lebih kurang 6 hari. Pada fase ini udang masih bersifat planktonis, dan mulai muncul ke permukaan perairan yang secara berangsurangsur bergerak menuju perairan pantai yang ada di sekitarnya. Zoea akan berubah menjadi mysis setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 4 hari), sudah bersifat kanibalisme, dan sasarannya adalah udang-udang muda yang sedang molting dan masih dalam kondisi lemah. Sifat kanibalisme ini sering muncul saat udang dalam kondisi lapar. Mysis akan berubah menjadi pascalarva setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 10 hari). Dall et al. (1990) menyebutkan pada fase pascalarva ini udang sudah aktif berenang dan bermigrasi ke bagian hulu yang memiliki salinitas rendah, dan mulai menuju ke dasar perairan. Kirkegaard et al. (1970) dalam Naamin (1984) dan Naamin et al. (1992) menyatakan pada saat pascalarva, udang putih umumnya hidup di muara sungai yang ada hutan mangrovenya dengan salinitas rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki perakaran menjulur ke dalam perairan, sehingga sangat baik untuk tempat berlindung udang tersebut dari predator. Di perairan mangrove, pascalarva secara bertahap akan berubah menjadi udang muda/juvenil setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit (selama lebih kurang tiga bulan). Setelah tumbuh menjadi juvenil, udang akan bergerak kembali ke muara sungai berhutan bakau (dengan salinitas lebih tinggi), dan aktif mencari makan di kawasan ini. Selama tiga sampai empat bulan selanjutnya udang juvenil akan tumbuh menjadi dewasa, kemudian mulai beruaya ke arah perairan terbuka di sekitar kawasan tersebut (seperti estuari, laguna, dan teluk), yang selanjutnya akan sampai ke daerah pemijahan/spawning ground dengan kedalaman > 12 m.

9 Pakan dan Pemanfaatan Pakan Vitalitas organisme adalah daya hidup untuk bertahan, tumbuh dan berperan dalam habitatnya. Vitalitas ditandai pada kemampuan memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan. Larva udang penaeid membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhannya. Selama stadia nauplius larva udang menggunakan kuning telur yang dibawa sejak menetas sebagai sumber pakannya. Kuning telur tersebut merupakan satu-satunya sumber materi dan energi bagi seluruh aktivitas metabolisme larva baik untuk keperluan osmoregulasi maupun untuk metamorfosis. Kualitas dan kuantitas kuning telur yang terkandung dalam tubuh nauplius sangat menentukan vitalitas larva. Makin besar energi yang digunakan untuk metabolisme (termasuk osmoregulasi) selama perkembangan telur maka kandungan kalori di dalam nauplius makin kecil sehingga vitalitas untuk hidup makin berkurang (Mathavan et al dalam Anggoro 1992). Larva udang mulai membutuhkan pakan dari luar pada stadia zoea, setelah kandungan kuning telurnya habis. Pada stadia zoea ini, udang mulai memakan plankton, detritus dan nauplius udang-udang kecil (Liao 1985), selanjutnya pada saat dewasa udang secara alamiah sudah bersifat omnivora, karnivora, pemakan bangkai serta pemakan detritus. 2.7 Pertumbuhan Udang Putih Pertumbuhan adalah perubahan bentuk atau ukuran, baik panjang, bobot atau volume dalam jangka waktu tertentu (Hartnoll 1982). Secara morfologi, pertumbuhan diwujudkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis), sedangkan secara energetik pertumbuhan dapat diwujudkan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode tertentu. Allen et al. (1984) menyatakan pertumbuhan udang umumnya bersifat diskontinyu karena hanya terjadi setelah ganti kulit yaitu saat kulit luarnya belum mengeras sempurna. Hartnoll (1982) menyatakan pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui proses metamorfosis dan ganti kulit (molting), serta peningkatan biomassa sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi massa tubuh udang. Lebih lanjut Gilles (1979) dalam Anggoro (1992) menyatakan hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh kelancaran ganti kulit, mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh osmoefektor

10 16 antara cairan intra sel (CIS) dengan cairan ekstra sel (CES). Osmoefektor anorganik (Na + dan Cl - ) berkonsentrasi tinggi di dalam cairan ekstra sel, sebaliknya osmoefektor organik (asam amino bebas) dan ion K + berkonsentrasi tinggi di cairan intra sel. Perimbangan ini sangat menentukan ph optimum dan kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu dipertahankan agar sel-sel penyusun jaringan tubuh tumbuh dengan normal. Pertumbuhan pada udang ditandai dengan adanya pergantian kulit/molting, yang secara sederhana digambarkan sebagai berikut : a) udang berganti kulit, melepaskan dirinya dari kulit luarnya yang keras/eksoskleton. b) air diserap, ukuran udang bertambah besar. c) kulit luar yang baru terbentuk, dan d) air secara bertahap hilang dan diganti dengan jaringan baru. Berdasarkan hal tersebut pertumbuhan panjang individu merupakan fungsi berjenjang/step function. Tubuh udang akan bertambah panjang pada setiap ganti kulit, dan tidak bertambah panjang pada saat antara ganti kulit (intermolt). Pada setiap ganti kulit integumen membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll 1982; Fox 1972 dalam Naamin 1984). Anggoro (1992) menyatakan prinsip faali dan karakteristik ganti kulit pada udang sebagai berikut: a. Mobilisasi dan akumulasi cadangan material metabolik seperti Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode antar ganti kulit (intermolt akhir). b. Pembentukan kulit baru diiringi dengan reasorbsi material organik dan anorganik dari kulit lama selama periode persiapan/awal ganti kulit (premolt). c. Pelepasan kulit lama pada saat ganti kulit dan diikuti dengan absorpsi air dari media eksternal dalam jumlah besar. d. Pembentukan dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang berasal dari hemolimfe (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari media eksternal), yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt). e. Pertumbuhan jaringan somatik selama periode setelah ganti kulit dan awal antar ganti kulit (intermolt awal).

11 17 Laju pertumbuhan udang secara internal tergantung pada kelancaran proses ganti kulit dan tingkat kerja osmotik/osmoregulasi yang dialaminya (Hartnoll 1982; Ferraris et al. 1987). Selama stadia larva, udang penaeid mengalami beberapa kali metamorfosis dan ganti kulit sampai stadia pascalarva (PL). Berdasarkan ciri-ciri morfologinya, tahap pertumbuhan larva udang penaeus dibedakan menjadi 4 stadia, yaitu: nauplius (N), zoea (Z), mysis (M) dan pascalarva (PL). Dari empat stadia tersebut dapat dibedakan lagi menjadi: enam sub stadia nauplius (N1-N6), tiga sub stadia zoea (Z1-Z3), tiga sub stadia mysis (M1-M3) sebelum mencapai PL1 (Motoh 1981; Solis 1998). Pertumbuhan udang setelah substadia M3 lebih ditekankan pada perubahan biomassa, baik bobot maupun ukuran tubuh. Pada setiap ganti kulit sebagian massa hilang sebagai eksuvia. Kehilangan massa pada setiap ganti kulit ini mengakibatkan model pertumbuhan (bobot) udang menjadi diskontinyu (Allen 1984). Pertumbuhan udang pada dasarnya bergantung kepada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut dipergunakan di dalam tubuh dan secara teoritis hanya akan terjadi bila kebutuhan minimum untuk kehidupannya terpenuhi. Udang memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi, dan kehilangan energi sebagai akibat metabolisme termasuk untuk keperluan osmoregulasi. Efisiensi pemanfaatan energi (pakan) untuk pertumbuhan sangat bergantung pada daya dukung lingkungannya (Anggoro 1992). 2.8 Reproduksi Udang Putih Udang putih termasuk ke dalam kelompok heteroseksual, sehingga secara morfologi dapat dibedakan antara udang jantan dan betina (sexual dimorphisme). Udang jantan mempunyai alat kelamin yang disebut petasma terletak diantara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang betina disebut telikum yang terletak diantara pangkal kaki jalan keempat dan kelima dengan lubang saluran kelamin terletak diantara pangkal kaki ketiga (Bittner & Ahmad 1989). Motoh (1981) menyatakan organ reproduksi udang putih jantan terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang testis, sepasang vas deferens, dan sepasang terminal ampul. Testis terletak di tengah bagian dorsal cephalothorax, tepatnya di bagian ventral jantung (tepat di bawah sinus perikardia dan bagian dorsal hepatopankreas). Vas deferens merupakan saluran testis yang

12 18 membentuk banyak gulungan berkelok-kelok, terletak di bagian anterior memanjang sampai organ hepatopankreas membentuk tabung hampir lurus di bawah pinggiran posterolateral kepala dan diteruskan sampai ke terminal ampul yang membesar. Terminal ampul merupakan alat yang membentuk kantong diselaputi dengan lapisan otot tipis yang terletak pada kaki jalan kelima. Organ eksternalnya adalah petasma yang merupakan modifikasi dari bagian endopodit kaki renang pertama. Petasma berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkannya pada alat kelamin betina. Organ eksternal lainnya adalah apendix masculina yang terletak pada kaki renang kedua. Organ reproduksi udang putih betina juga terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang ovarium yang memanjang di tengah bagian dorsal karapaks, tepatnya di bagian ventral jantung dan bagian dorsal hepatopankreas sampai ke bagian pangkal ekor. Saluran telur/oviduct keluar dari bagian tengah kedua sisi ovarium, bermuara pada suatu lubang yang terdapat dalam koksapodit dari pasang kaki jalan ketiga. Organ eksternal udang betina adalah telikum. Pada bagian dalam telikum terdapat seminal reseptakel yang berfungsi untuk menyimpan spermatofor setelah terjadi kopulasi. Udang putih betina menurut Bittner dan Ahmad (1989) dapat menghasilkan telur hingga mencapai butir dalam sekali peneluran. Peter et al. (2003) menyatakan udang putih P. merguiensis dapat menghasilkan telur berkisar butir dalam sekali peneluran. Pada saat pelepasan telur biasanya induk udang betina berenang berputar-putar dengan kecepatan tinggi. Telur dilepaskan melalui saluran telur. Pelepasan telur membutuhkan waktu dua menit dan biasanya didahului oleh pelepasan sperma yang tersimpan di dalam telikum induk udang betina (Nurdjana 1986; Chamberlain 1987). Pembuahan terjadi di dalam air setelah sperma bertemu dengan telur. Pertemuan antara sperma dan telur seringkali telah dimulai pada saat telur dikeluarkan melalui bulubulu halus tempat menempelnya sperma di dalam telikum induk udang betina (Chamberlain et al. 1987).

13 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan gambaran tentang perkembangan kematangan gonad. Gonad udang putih terletak pada bagian dorsal tubuh. Pengamatan tingkat kematangan gonad udang menurut Effendi (1997) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis lebih mudah sehingga banyak dilakukan oleh para peneliti. Motoh (1981), Croccos dan Kerr (1983), Primavera (1983), serta King (1995) menyatakan bahwa penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilakukan menggunakan variabel bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad. Motoh (1981) membuat kriteria lima tahapan perkembangan tingkat kematangan gonad sebagai berikut: Tingkat 1 : Belum matang. Ovari tipis, bening dan tidak berwarna. Tingkat 2 : Kematangan awal. Ovari membesar, bagian depan dan tengah berkembang. Tingkat 3: Kematangan lanjut. Ovari berwarna hijau muda dan dapat dilihat melalui eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh. Tingkat 4: Matang telur. Ovari berwarna hijau tua. Ovum lebih besar dari tingkatan sebelumnya. Pada tingkatan ini dianggap sebagai tingkat kematangan telur. Tingkat 5: Spent. Ovari lembek dan kisut. Ovum sudah dilepaskan. Biasanya tubuh udang terasa lembek dan rongga bagian atas abdomen kosong. Primavera (1983), Naamin dan Purnomo (1972) dalam Naamin (1984) membagi tingkat TKG udang penaeid menjadi 5 tingkatan (Gambar 4). Tingkat 1 : Gonad tipis dan transparan, belum terlihat dengan jelas. Tingkat 2 : Gonad terlihat seperti benang halus yang berwarna hijau pekat. Tingkat 3 : Gonad semakin tebal dengan warna semakin gelap. Tingkat 4: Gonad semakin melebar, di bagian anteriornya (ruas badan pertama dan kedua) terlihat adanya lekukan-lekukan dan bulatan-bulatan. Pada tahap ini udang sudah siap memijah. Tingkat 5: Gonad berwarna jernih atau pucat karena seluruh atau sebagian telurnya telah dilepas.

14 20 Gambar 4 Tingkat perkembangan dan kematangan gonad induk betina udang putih P. merguiensis de Man. Naamin dan Purnomo (1972) dalam Naamin (1984). Croccos dan Kerr (1983) menghubungkan tingkat kematangan gonad (TKG) dengan perubahan makroskopis ovari, sehingga dapat memperkirakan TKG udang tanpa harus melakukan pembedahan mikroskopis, sebagai berikut: Tingkat 1: Ovari jernih, diameter lebih kecil dari usus. Oosit belum berkembang. Tingkat 2: Ovari buram dan diameter sama besar dengan usus. Ukuran oosit bertambah Tingkat 3: Ovari berwarna kekuningan dan diameter lebih besar dari usus. Vitelin terakumulasi dalam oosit. Tingkat 4: Ovari berwarna lebih gelap dan terletak di bagian dorsal tubuh. Oosit matang Tingkat 5: Ovari telah dipijahkan, sehingga lembek dan terbelit. Ovum yang tersisa diserap kembali (reabsorbsi) Rekruitmen Udang Putih Rekruitmen diartikan sebagai penambahan baru ke dalam stok perikanan (Effendie 1997). Stok adalah kelompok ukuran biota (udang) yang tersedia pada waktu tertentu sehingga dapat tertangkap oleh alat tangkap. Masuknya sediaan/stok dari luar wilayah perikanan ke dalam suatu stok perikanan berasal dari hasil reproduksi yang telah mencapai ukuran stok. Faktor penentu besarnya penambahan baru/rekruitmen udang putih di alam adalah jumlah induk udang yang siap memijah dan mortalitas pada rentang waktu antara pemijahan sampai

15 21 dengan udang mencapai ukuran stok, atau disebut juga dengan mortalitas per rekruitmen Preferensi Udang Putih terhadap Parameter Fisik-Kimia Air Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di habitat alaminya. Udang putih di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia daur hidupnya. Faktor fisik kimia air yang mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di alam antara lain: Suhu Perairan Suhu perairan merupakan salah satu variabel utama yang mempengaruhi pertumbuhan udang putih. Fast dan Lester (1992) menyatakan suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas, maupun nafsu makan udang putih. Suhu perairan di bawah 20,00 C akan menghambat pertumbuhan udang putih. Suhu juga sangat dibutuhkan udang putih pada saat memijah guna menjaga kelulusan hidup larva, perkembangan embrio, dan penetasan telur Kedalaman Perairan Kedalaman suatu perairan sangat mempengaruhi distribusi udang putih terutama dalam hal memijah. Udang berukuran dewasa banyak dijumpai pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 12,00 m (Kirkegaard et al. 1970). Crocos dan Kerr (1983) menyatakan P. merguiensis berukuran besar ditemukan memijah pada kedalaman < 15 m di perairan Teluk Carpentaria, Australia. Lebih lanjut Naamin (1984) menyatakan udang putih betina dewasa di Perairan Arafura banyak ditemukan memijah pada kedalaman antara 13,00 m 35,00 m Kecepatan Arus Kecepatan arus berperan dalam distribusi udang-udang muda/juvenil. Pertambahan aliran sungai akibat terjadinya hujan dapat menyebabkan udangudang muda banyak meninggalkan sungai. Kecepatan arus dapat mempengaruhi distribusi udang secara langsung maupun tidak langsung. Dall et al. (1990) menyatakan secara tidak langsung pengaruh kecepatan arus dapat menentukan distribusi partikel-partikel sedimen dasar, dan secara langsung dapat

16 22 mempengaruhi tingkah laku udang. Arus yang cukup kuat akan menyebabkan udang membenamkan diri di dalam substrat, sedangkan bila kecepatan arus lemah udang banyak melakukan aktifitas Salinitas Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram), yang terkandung dalam 1 kg air laut. Salinitas berperan dalam mempengaruhi proses osmoregulasi udang putih khususnya selama proses penetasan telur dan pertumbuhan larva. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dan memiliki fluktuasi lebar dapat menyebabkan kematian embrio dan larva udang. Hal ini disebabkan terganggunya keseimbangan osmolaritas antara cairan di luar tubuh dan di dalam tubuh udang, serta berkaitan dengan perubahan daya absorbsi terhadap oksigen. Udang akan tumbuh lebih baik pada perairan dengan kisaran salinitas Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan udang menurun (Boyd & Fast 1992) Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme perairan. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan termasuk udang putih. Kandungan oksigen terlarut dapat mempengaruhi kelulusan hidup udang putih juvenil. Gaudy dan Sloane (1981) dalam Anggoro (1992) menyatakan laju respirasi udang juvenil mengikuti ketersediaan oksigen perairan. Jika kelarutan oksigen dalam perairan tinggi, maka laju respirasi udang akan meningkat ph Air Derajat keasaman atau ph merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. Nilai ph merupakan fakor penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air maupun di dalam embrio/telur udang. Telur udang memiliki toleransi yang rendah terhadap ph tinggi. ph air juga berperan dalam mendukung pertumbuhan udang. Nilai ph air yang terlalu rendah dapat menyebabkan kandungan CaCO 3 pada kulit udang akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen akan meningkat, permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan (Sumeru & Anna 2010).

TINJAUAN PUSTAKA. Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom

TINJAUAN PUSTAKA. Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom 5 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Udang Putih Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Famili Penaeidae,

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

KAJIAN BIOEKOLOGI UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis de Man) DI EKOSISTEM MANGROVE PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA MISWAR BUDI MULYA

KAJIAN BIOEKOLOGI UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis de Man) DI EKOSISTEM MANGROVE PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA MISWAR BUDI MULYA KAJIAN BIOEKOLOGI UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis de Man) DI EKOSISTEM MANGROVE PERCUT SEI TUAN SUMATERA UTARA MISWAR BUDI MULYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) LOBSTER LAUT Salah satu jenis komoditas yang biasa ditemukan di kawasan terumbu karang adalah udang barong atau udang karang (lobster).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) Kelompok Macrura (lanjutan) Bangsa Udang Penaeid Pada stadium post larva, anakan udang hidup merayap atau melekat pada benda2 di dasar

Lebih terperinci

MOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA

MOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA MOLTING PADA HEWAN CRUSTACEA Molting adalah proses pergantian cangkang pada hewan Crustacea : udang, kepiting, lobster, dll. dan terjadi ketika ukuran daging udang bertambah besar sementara eksoskeleton

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei 2.1 Biologi Udang Vannamei 2.1.1 Klasifikasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut : Kingdom Sub kingdom Filum Sub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus) Udang kelong memiliki klasifikasi sebagai berikut, Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Crustaceae Subkelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diaphanosoma sp. 1. Klasifikasi Klasifikasi Diaphanosoma sp. adalah sebagai berikut: Fillum Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Arthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Cladocera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.) Ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) adalah salah satu komoditas budidaya air tawar yang tergolong dalam famili ikan Labirin (Anabantidae).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et al.,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et al., BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Udang Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar. Kata Crustacea berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Udang Vannamei Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerang Hijau (Perna Viridis ) Kerang hijau (Perna virisis) memiliki nama yang berbeda di Indonesia seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di atas permukaan air dan hidupnya selalu terbawa oleh arus, plankton digunakan sebagai pakan alami

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas:

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) Lobster Air Tawar (LAT) Crayfish/ crawfish atau yang dikenal sebagai lobster air tawar merupakan salah satu jenis Crustacea yang memiliki

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Udang Galah Sebagian besar udang air tawar termasuk dalam famili Palaemonidae dan genus Macrobrachium yang merupakan genus paling banyak jenisnya. Udang galah merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir Klasifikasi Emerita emeritus menurut Zipcodezoo (2012) dan Hippa ovalis menurut crust.biota.biodiv.tw (2012) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini maka makhluk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove dunia sebagian besar di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci