BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH, PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH, PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI"

Transkripsi

1 31 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH, PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1 Perlindungan Hukum Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum.hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). 20 Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 21 Selain itu, Muchsin berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi Soeroso, 2006, Pengahantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14

2 32 Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaaf) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)", elemen pokok negara hukum adalah pengakuan & perlindungan terhadap "fundamental rights". Hubungan hukum tersebut dilakukan antara subyek hukum, baik manusia (naiurlijke person), badan hukum (Recht Persoon) maupun jabatan (ambt) merupakan bentuk dari perbuatan hukum, yang mana masing- masing subyek hukum merupakan pemikul hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan hukum berdasarkan atas kemampuan dan kewenangan. Hubungan hukum yang terjadi akibat interaksi antar subyek hukum tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan adanya relevansi serta adanya akibat-akibat hukum. Sehingga nantinya agar suatu hubungan hukum tersebut dapat berjalan dengan seimbang serta adil dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya serta dapat menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main yang mengatur, melindungi serta menjaga hubungan tersebut.

3 33 Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalme, yaitu menjamin kebebasan/hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya imperatif hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Begitu banyaknya hak-hak kita sebagai manusia dan begitu maraknya pelanggaran-pelanggaran serta tindakan-tindakan yang dalam hal ini mengancam hak-hak asasi kita maka pemerintah mengadakan perlindungan hukum dimana itu semua sangat memerlukan perhatian yang tidak biasa karena menyangkut hak-hak kita sebagai manusia Jenis Jenis Perlindungan Hukum Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. 23 a. Perlindungan Hukum Preventif Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. 23 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 3.

4 34 Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M. Hadjon preventif merupakan keputusan keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan. 24 Jika dibandingkan dengan teori perlindungan hukum yang represif, teori perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari pentingnya teori perlindungan hukum preventif terutama dikaitkan dengan asas freies ermesen (discretionaire bevoegdheid). Asas freies ermesen, yaitu kebebasan bertindak untuk memecahkan masalah yang aturannya belum ada, sedangkan masalah itu harus diatasi dengan segera. 25 b. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan hukum represif ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), cetakan kedelapan, Gajah Mada University, Yogyakarta, h Ibid. 26 Muchsin, Op.cit, h. 20.

5 Nasabah Pengertian Nasabah Nasabah pada dasarnya lebih dikenal sebagai pengguna jasa dalam bidang Perbankan. Pengertian nasabah dalam kamus besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa Nasabah adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank (Dalam hal keuangan), dapat juga diartikan sebagai orang yang menjadi tanggungan asuransi, perbandingam pertalian. 27 Dalam peraturan Bank Indonesia No. 7/7/ PBI 2005 jo No. 10/10 PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah atau mitra adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Dalam Pasal 1 angka 17 dan angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang Undang Perbankan) dimuat mengenai jenis-jenis nasabah. Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan bedasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam Pasal 1 angka 18 Undang 27 Dinas Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, h. 775.

6 36 Undang Perbankan disebutkan Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdsarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat para ahli yang mengemukakan mengenai pengertian nasabah, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Djaslim Saladin dalam bukunya Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank yang dikutip dari Kamus Perbankan yang menyatakan bahwa Nasabah atau mitra adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank. 28 Komaruddin dalam Kamus Perbankan menyatakan bahwa Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank. 29 Sedangkan menurut Muhammad Djumhana menyebutkan bahwa nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. 30 Apabila dilihat dari segi ilmu ekonomi, nasabah merupakan orang yang menggunakan jasa pelayanan pada perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Nasabah adalah orang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses produksi selesai, karena mereka adalah pengguna produk. 28 Saladin Djaslim, 1994, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Bank, CV Rajawali, Jakarta, h Komarudin, 1994, Kamus Perbankan, CV Rajawali, Jakarta, h Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h

7 37 Terdapat beberapa pendapat dari ahli yang mengemukakan mengenai nasabah sebagai pengguna jasa pada perusahaan. Menurut Webster s Nasabah adalah seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu barang atau peralatan. 31 Menurut Irawan bahwa Nasabah adalah orang yang paling penting dalam perusahaan. 32 Sedangkan menurut Rangkuti disebutkan Nasabah adalah orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. Seseorang bisa disebut nasabah tanpa perlu membeli produk atau jasa, melainkan cukup hanya mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa tersebut. 33 Nasabah dari segi ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Nasabah internal Nasabah internal atau konsumen internal adalah orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, penciptaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran dan penjualan dan pengadministrasian. Mereka itu antara lain adalah jajaran direksi, manajer, pimpinan bagian, pimpinan seksi, penyelia, dan para pegawai organisasi komersial (perusahaan), pengurus dan pegawai organisasi non komersial (nirlaba), pegawai pada instansi pemerintah 2. Nasabah eksternal 31 Lupiyoadi Rambat, 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, Cetakan Pertama, Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta, h Irawan Handi, 2004, 10 Prinsip Kepuasan Nasabah, Cetakan Kelima, Elex Media Komputindo, Jakarta, h Lupiyoadi, Op.cit, h. 318.

8 38 Nasabah eksternal atau konsumen eksternal adalah semua orang yang berada di luar organisasi komersil atau organisasi non komersil, yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa dari organisasi (perusahaan). Apabila ditinjau dari sisi kegiatan komersil dan non komersil, nasabah eksternal tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : a) Kelompok nasabah dalam kegiatan komersil Penerima layanan yang termasuk kelompok nasabah dalam kegiatan komersil. b) Kelompok nasabah dalam kegiatan non-komersil Penerima layanan yang termasuk kelompok nasabah kegiatan non-komersil adalah mereka yang menerima layanan dari penyedia layanan non-komersil yang sifat layanannya cuma-cuma atau dengan mengeluarkan pembayaran yang sepadan dengan manfaat yang diperolehnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah adalah seorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk atau jasa tersebut Dari pengertian nasabah yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa pengertian nasabah dari segi ilmu ekonomi dirasa lebih tepat digunakan dalam karya ilmiah ini, dimana pada karya tulis ini membahas mengenai suatu perusahaan yaitu PT. Victory International Futures yang merupakan perusahan yang bergerak di bidang investasi. Jadi pengertian nasabah dari segi ekonomi inilah yang dirasa lebih

9 39 tepat digunakan dibandingkan dengan pengertian nasabah dalam segi ilmu hukum yang lebih menjurus ke dalam ranah hukum perbankan. 2.3 Perjanjian Baku (Standar) Pengertian Perjanjian Baku (Standar) Perjanjian Standar dikenal dengan istilah dalam bahasa inggris yakni standar contract. Dalam bahasa belanda perjanjian standar yaitu standard voorwarden. Perjanjian ini dikenal juga dengan istiah take it or leave it contract. Mariam Darus Badrulzaman mendifinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 34 Hondinius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan izin dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya tertentu. 35 Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang 34 Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (Selanjutnya disebut dengan Mariam Darus Badrulzaman I), Alumni, Bandung, h Ibid.

10 40 spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. 36 Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang Undang Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh kon4sumen. 37 Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa perjanjian baku memiliki korelasi dengan konsumen. Dengan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjian tersebut, maka posisi konsumen akan menjadi lemah dibandingkan dengan pelaku usaha yang telah menentukan isi atau klausul-klausul di dalam perjanjian itu secara sepihak. Lemahnya posisi konsumen tersebut dikarenakan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjin baku yang dapat menghilangkan hak konsumen sebagaimana seharusnya di dapatkan atau diterima oleh konsumen, serta menghilangkan tanggungjawab dari pelaku usaha. Sedikit mengenai konsumen, pengertian konsumen berdasarkan pada Pasal 1 huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa 36 Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta. 37 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

11 41 konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. 38 Beberapa ahli juga mendefinisikan mengenai konsumen, seperti Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan. 39 Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu: Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil. 40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h Mariam Darus Badrulzaman, 1981 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, h. 48.

12 42 keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Seperti pengertian yang telah disampaikan diatas, konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha 41, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Namun dalam hal ini PT. Victory International Futures yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang investasi dengan fokus produk investasi di forex, index futures, dan precious metal ini menggunakan istilah nasabah bagi sesorang yang menggunakan produk atau jasa pada perusahaan. Apabila dikaitkan dengan konsumen dan nasabah, maka pengertian nasabah yang ada di dalam hal ini merupakan pengguna produk/jasa pada perusahaan dapat dikatakan sebagai konsumen. Hal tersebut disebabkan karena pengertian mengenai konsumen tersebut meskipun secara umum dikatakan sebagai pengguna produk/jasa akhir namun nasabah juga merupakan seseorang yang menggunakan produk/jasa yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut Bentuk dan Karakteristik Perjanjian Baku (Standar) Rumusan mengenai pengertian perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan di atas, dimana sebelum perjanjian baku tersebut ditawarkan kepada konsumen (yang dalam hal ini adalah nasabah), para pelaku usaha (yang dalam hal ini 41 Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku), Binacipta, Jakarta, H. 57.

13 43 adalah perusahaan) terlebih dahulu menentukan mengenai isi dan ketentuanketentuan yang berlaku terhadap perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut tidak dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, melainkan hanya pihak pelaku usaha saja yang membuat perjanjian tersebut dengan adanya klausula baku dalam perjanjian. Dengan melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, Mariam Daruz Badrulzaman membedakan bentuk-bentuk perjanjian baku berdasarkan perbedaan pihak-pihak yang menyusun perjanjian baku tersebut atas 4 (empat) bentuk, yaitu 42 : 1. Perjanjian baku sepihak Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh satu pihak yang mempunyai kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditor/ pelaku usaha dibandingkan dengan pihak debitor. Dalam perjanjian yang sepihak ini, kondisi atau ketentuan-ketentuan perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor, tanpa melalui proses tawarmenawar terlebih dahulu kepada pihak konsumen, sedangkan pihak debitor hanya bersifat menerima atau menolak isi perjanjian. Perjanjian baku bentuk ini dalam bahasa Prancis disebut dengan Contract d adhesion. Artinya perjanjian baku yang dengan sengaja dipersiapkan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi keinginan ataupun kebutuhan masyarakat selaku konsumen. 2. Perjanjian baku timbal balik 42 Mariam Darus Badrulzaman, 1980 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman III), Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 77

14 44 Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya terlebih dahulu ditentukan oleh kedua belah pihak yang isinya dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis dalam bentuk formulir yang digunakan oleh anggotanya. Perjanjian baku jenis ini umumnya digunakan dalam bidang organisasi. Secara formal debitor ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tersebut, tetapi secara material debitor hanya mengikatkan diri sebagai anggota dari perkumpulan tersebut. Perjanjian baku yang timbal balik ini adalah bersifat relatif, karena apabila perkataan timbal balik diartikan secara absolut atau murni, maka seolah-olah isi perjanjian tersebut ditetapkan dan disepakati oleh kehendak bebas dari para pihak yang terkait dalam perjanjian. Apabila diartikan secara umum, maka salah satu sifat perjanjian baku yaitu tidak terdapat kehendak bebas dari para pihak dalam menentukan isi perjanjian, dimana perjanjian hanya ditetapkan berdasarkan kehendak bebas pihak yang posisinya kuat dalam perjanjian tersebut. 3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan tertentu. Keterlibatan pemerintah dalam perjanjian baku ini adalah hanya sebagai undangundang atau peraturan-peraturan terhadap warga negara yang menyangkut kepentingan umum. 4. Perjanjian baku yang isi perjanjiannya ditetapkan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai orang yang ahli

15 45 Perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga ini, biasanya paling banyak ditemui dalam lingkungan advokad dan notaris, yaitu perjanjian yang pertama konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokad yang bersangkutan Misalnya seorang notaris yang menyediakan berbagai jenis formulir perjanjian yang dapat dipakai para pihak yang ingin menggunakan jasa mereka. Perjanjian baku tidak hanya ada pada lingkungan advokad atau notaris saja tetapi dalam semua lingkungan profesi yaitu dokter, akuntan swasta, dan lain-lain. Bentuk-bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat terdiri atas 43 : a. Dalam Bentuk Dokumen Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartukartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk bersangkutan. Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar kertas tertentu, tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia berbentuk tulisan dengan kalimat-kalimat antara lain: Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan (biasanya termuat pada bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau 43 Az. Nasution, 2007 (Selanjutnya disingkat Az. Nasution I), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h

16 46 kedai), ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman (pada bon atau kuitansi dari perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang), ganti rugi dalam bentuk penggantian satu rol film baru (biasanya pada toko pencuci dan pembuat foto atau foto-foto studio), barang-barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di luar tanggung jawab kami (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir kendaraan bermotor), barang-barang yang dicuci tidak dijamin apabila terjadi hal-hal tertentu (biasanya pada toko/perusahaan pencuci pakaian atau laundry), barang-barang yang dijamin sesuai dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini, dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus, sehingga sulit diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang persoalannya. b. Dalam Bentuk Perjanjian Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian yang konsep atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di samping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratanpersyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut halhal tertentu dan/atau berakhirnya perjanjian itu. Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat ketentuan tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain

17 47 yang pada umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk. Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain perjanjian perusahaan pialang, perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan sebagainya. Seiring berkembangnya perjanjian baku mengikuti kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka berkembang pula ciri-ciri perjanjian baku dalam kehidupan masyarakat mengikuti perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat tersebut. Hal utama yang sangat menonjol terhadap perkembangan ciri-ciri ini yaitu mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha. Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan ciri-ciri perjanjian baku secara lebih rinci, yang mana perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut 44 : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 44 Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, h. 11

18 48 2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis); 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif. Dari ciri-ciri yang telah disebutkan diatas, berikut penjelasan dari kelima ciri, sebagai berikut 45 : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat Dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syaratsyarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tangani perjanjian tersebut. 2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat 45 Op.cit, h

19 49 kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa: a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak. 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu. Sebagi pihak yang mempunyai posisi yang lemah maka konsumen tidak dapat mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Apabila, konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang diberikan kepadanya, maka konsumen tersebut menandatangani perjanjian yang diberikan kepadanya. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia menerima beban tanggung jawab walaupun kemungkinan pihak konsumen tidak bersalah dan pihak konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Apabila konsumen tidak

20 50 menyetujui dengan syarat-syarat perjanjian yang diberikan tersebut, pihak konsumen tidak dapat menolak substansi dari perjanjian tersebut Bentuk tertulis Suatu perjanjian standar/baku pada umumnya dibuat secara tertulis dengan tujuan untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum. Bentuk tertulis dari perjanjian baku tersebut memudahkan pengusaha untuk membuktikan persetujuan dari konsumen. Melalui bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Perjanjian yang dibuat secara tertulis memiliki arti bahwa perjanjian tersebut memuat syarat-syarat baku itu menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Apabila huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Hal seperti inilah yang umumnya merugikan konsumen, kesalahan membaca syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang merugikan konsumen di masa mendatang. 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif Pada umumnya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor, perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar umunya juga digunakan 46 Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet. 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7.

21 51 oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat- syarat baku. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya telah ditetapkan oleh salah satu pihak (dalam hal ini pelaku usaha/perusahaan) tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan pihak lain (dalam hal ini konsumen/nasabah) yang memiliki keterkaitan dengan perjanjian tersebut. Isi dari perjanjian tersebut dapat berupa syarat-syarat maupun ketentuan-ketentuan tertentu yang seluruhnya dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha. Syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha di dalam perjanjian itulah yang disebut dengan klausula baku. Klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian tersebut bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen yang telah menyetujui perjanjian tersebut. Orang atau pihak lain itu, dan umumnya mereka adalah konsumen, dapat menerimanya atau tidak menerimanya sebagai suatu perjanjian (take it or leave it). 47 Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut: Az. Nasution I, op.cit, h Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.

22 52 1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen. 2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian. 3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal. 4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan. Perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga saat ini pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara 49 : 1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha, produsen, distributor, atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat elektronik, dan lain sebagainya. 2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel, bon, kuitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima barang. Seperti lembaran bon, kuitansi, atau tanda terima barang dari toko, kedai, supermarket. 3. Pencantuman klausula baku dalam bentuk pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir, 49 Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h. 97, dikutip dari Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 76.

23 53 hotel, dan penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman klausula baku. 2.4 Klausula Eksonerasi Pengertian Klausula Eksonerasi Perjanjian baku disebut juga sebagai perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut standard contract atau kontrak persetujuan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 50 Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Dalam perjanjian baku, hal yang dibakukan dalam perjanjian tersebut meliputi model, rumusan, dan ukuran. Perjanjian baku diadakan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi. Format perjanjian tersebut telah dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul klasulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. 50 Mariam Darus Badrulzaman I, Op.cit, h. 48

24 54 Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul klausulnya. 51 Rijken memberikan pendapat bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. 52 Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa istilah klausul eksonerasi adalah sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggunjawaban dari kreditur, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya. 53 Shidarta mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/ penyalur produk (penjual). 54 Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan 51 Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta 52 Mariam Daruz Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, h Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 120

25 55 produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersbeut menjadi beban konsumen Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen yang mengandung ketentuan yang berlaku umum, sehingga pihak konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu menyetujui atau menolaknya. Adanya pilihan tersebut dikatakan bahwa tidak melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 jo KUHPerdata yang berarti bahwa bagaimana pihak konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it). Persyaratan yang terdapat dalam sutau perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian standar yang mengandung klasula eksonerasi pada umumnya dikhawatirkan oleh masyarakat karena dapat membatasi bahkan menghapus tanggungjawab yang seharusnya dibebankan kepada produsen. Klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi antara produsen dan konsumen. Terciptanya keseimbangan antara produsen dan konsumen dengan cara membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dengan adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan pemerintah terlihat dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan 55 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press, Jakarta. h.114

26 56 Pasal 4 Undang Undang Perlindungan Konsumen ditentukan secara prinsipnya terdapat hak konsumen terdapat: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Undang Undang Perlindungan Konsumen tidak mencamkan istilah klausula eksonerasi melainkan klasula baku. Dalam Pasal 1 Undang Undang Perlidungan Konsumen disebutkan Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajin dipenuhi oleh konsumen. Secara sederhana, klausula baku mempunyai ciri sebagai berikut: a. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisi relatif lebih kuat dibandingkan konsumen;

27 57 b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi dari klausula baktu tersebut; c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat missal; d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena di dorong oleh kebutuhan. Dalam melindungi hak konsumen dari lemahnya kedudukan konsumen, Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen; 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan secara tindaka sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

28 58 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu dimana larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Berlakunya Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam suatu perjanjain dengan pelaku usaha, sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi. Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang Undang Perlidungan Konsumen diatur secara prinsipnya bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya

29 59 sulit dimengerti. Letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku berkaitan dengan Pasal 7 Undang Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur pada prinsipnya bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 18 ayat (3) Undang Undang Perlindungan Konsumen disebutkan Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana diaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Pasal 18 ayat (3) Undang Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersbut tercantum mengenai klausula eksonerasi. Dalam Pasal 1266 jo KUHPerdata disebutkan secara prinsipnya bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim. Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang memiliki arti bahwa pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Dari penjelasan tersebut maka ketika perjanjian baku memuat klausula eksonerasi dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya.

BAB II PEKERJA (WAITRESS), DAN KECELAKAAN KERJA

BAB II PEKERJA (WAITRESS), DAN KECELAKAAN KERJA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, PEKERJA (WAITRESS), DAN KECELAKAAN KERJA 1.1. Perlindungan Hukum 1.1.1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1 Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen Istilah konsumen berasal dari alih bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perjanjian Standar Dan Klausula Eksonerasi Kegiatan usaha yang pada umumnya saat ini melibatkan lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Oleh: Firya Oktaviarni 1 ABSTRAK Pembiayaan konsumen merupakan salah

Lebih terperinci

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku Azas Hukum Kontrak sebagaimana ditetapkan oleh BPHN tahun 1989 menyatakan beberapa azas yaitu: - konsensualisme - Keseimbangan - Moral - Kepatutan - Kebiasaan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D 101 09 185 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Lebih terperinci

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK ANALISIS TERHADAP PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK Pebisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN BAKU ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh : Glen Wowor 2 ABSTRAK Penelitian ini dialkukan bertujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perbankan memiliki peran penting dalam pembangunan khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah satu lembaga pembiayaan yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : Anak Agung Ketut Junitri Paramitha I Nengah Suharta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perjanjian jual beli sangat banyak macam dan ragamnya, salah satunya adalah perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Konsumen 2.1.1. Pengertian Konsumen Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan konsumen adalah pemakai

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN A. Klausula Eksonerasi Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang tentang pencantuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pelaksanaan pembangunan nasional harus lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Al-Qishthu Volume 13, Nomor 2 2015 185 ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pitriani Dosen Jurusan Syari ah

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN I. UMUM Pasal 4 UU OJK menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia. Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 ABSTRAK Setiap perbuatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. 1 Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama BAB I PENDAHULUAN Perjanjian berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis dari berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama bisnis dilakukan oleh pelaku bisnis dalam bentuk

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Wahyu Simon Tampubolon, SH, MH Dosen Tetap STIH Labuhanbatu e-mail : Wahyu.tampubolon@yahoo.com ABSTRAK Konsumen

Lebih terperinci

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE)

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE) KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I Pada Jurusan Hukum Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis Perlindungan Konsumen Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 8 Pengertian & Dasar Hukum Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis. Tentunya proses yang berjalan

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis. Tentunya proses yang berjalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perekonomian di Indonesia saat ini didukung oleh perkembangan globalisai yang semakin maju. Perkembangan globalisasi tersebut berpengaruh terhadap semakin pesatnya

Lebih terperinci

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU ANALISA HUKUM TERHADAP BEBERAPA KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KEANGGOTAAN KARTU KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI SUDUT KUH PERDATA DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: IRDANURAPRIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard contract. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang ditentukan dan telah dituangkan

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Jasa Parkir antara Konsumen pada Chandra Supermarket dan Departement Store Chandra Supermarket dan Departement Store merupakan salah satu pasar swalayan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berjanji atau membuat suatu perjanjian merupakan perbuatan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat, BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat, masalahnya terdapat di klausula baku tersebut dengan adanya klausula eksonerasi yang berpihak kepada pelaku

Lebih terperinci

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Abdul Latif 1) 1) Staff Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pasir Pengaraian email : abdullatifun@gmail.com Abstract Standard contract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pengamatan penulis selama ini dalam kenyataannya beberapa perusahaan pengiriman barang/paket di Kota Yogyakarta secara sepihak telah mencantumkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Tinjauan Hukum Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Penerapan Klausula Baku Dalam Transaksi Kredit Sebagai Upaya Untuk Melindungi Nasabah Dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam variasi barang maupun jasa. Banyaknya variasi barang maupun jasa

BAB I PENDAHULUAN. macam variasi barang maupun jasa. Banyaknya variasi barang maupun jasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini perkembangan di berbagai bidang tumbuh dengan pesat. Perkembangan ekonomi salah satunya. Perkembangan ekonomi ini membawa banyak pengaruh juga

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum Oleh : SETIA PURNAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan merupakan kebutuhan utama atau primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi

Lebih terperinci

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia pembangunan meningkat setiap harinya, masyarakat pun menganggap kebutuhan yang ada baik diri maupun hubungan dengan orang lain tidak dapat dihindarkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari identifikasi masalah dalam sub sub bab sebelumnya, dijelaskan sebagai berikut: 1. Perkembangan transaksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, CEK KOSONG, DAN JAMINAN. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, CEK KOSONG, DAN JAMINAN. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, CEK KOSONG, DAN JAMINAN 2.1 Perlindungan Hukum 2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, makhluk sosial

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional Indonesia merupakan paradigma pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik secara material maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang banyak bermunculan. Kegiatan usaha terbagi menjadi

I. PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang banyak bermunculan. Kegiatan usaha terbagi menjadi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian saat ini semakin pesat, hal ini diakibatkan oleh kegiatan usaha yang banyak bermunculan. Kegiatan usaha terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu

Lebih terperinci

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen Oleh : M. Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur Disampaikan : Dalam diskusi Review Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan informasi menyebabkan arus transaksi barang dan/atau jasa telah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan informasi menyebabkan arus transaksi barang dan/atau jasa telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di Indonesia yang kian pesat saat ini, telah menghasilkan beragam jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Adanya dukungan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian, mengingat perjanjian sering digunakan oleh individu dalam aspek kehidupan. Salah satu

Lebih terperinci

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 Abstrak: Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN KONSUMEN: Studi Tentang Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Penitipan Barang

NASKAH PUBLIKASI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN KONSUMEN: Studi Tentang Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Penitipan Barang NASKAH PUBLIKASI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN KONSUMEN: Studi Tentang Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Penitipan Barang di Terminal Tirtonadi Surakarta Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. Perkembangan globalisasi ekonomi dimana arus barang dan jasa tidak lagi mengenal batas Negara membuat timbul berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan

Lebih terperinci

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : Putu Prasintia Dewi Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACK Standard contract is typically made

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat kembali dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Untuk mencapai. pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Untuk mencapai. pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan keuangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia selama ini adalah merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi.

BAB I PENDAHULUAN. pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan di bidang teknologi dewasa ini meningkat dengan pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi. Mulai dari barang kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability, sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijk atau

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi. Barang dan atau

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH 3.1 Kegagalan Suatu Akad (kontrak) Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci