V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi Selatan sampai Barat Laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi Selatan hingga Barat Laut, dan kaki hingga puncak sisi Timur hingga Utara), provinsi Nusa Tenggara Barat. Kondisi Gunung Tambora dari hasil analisis ditunjukkan oleh potensi-potensi yang terdapat di sekitar Gunung Tambora. Untuk mengidentifikasi potensi Gunung Tambora dilakukan dengan menentukan titik-titik objek dan atraksi berdasarkan tiga aspek, yaitu: (1) budaya, (2) arkeologis, dan (3) ekologis. Obyek merupakan elemen penting untuk menjadi daya tarik wisata. Berdasarkan hasil dari identifikasi potensi Gunung Tambora dilakukan dengan menentukan titik-titik obyek dan atraksi berdasarkan tiga aspek budaya, arkeologis, dan ekologis Identifikasi Potensi Sumberdaya Wisata Gunung Tambora Potensi Obyek Wisata Budaya (1) Kondisi Fisik Obyek Wisata Budaya Potensi budaya Gunung Tambora yang bisa menjadi obyek interpretasi dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 19. Tabel 16. Rekapitulasi Dokumentasi Gambar Potensi dan Obyek Wisata Budaya. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 1. Desa Pancasila 8 11'11.90"S '41.54"E Desa Pancasila menjadi salah satu gerbang untuk mencapai puncak gunung Tambora di sini menawarkan titik obyek dan atraksi wisata budaya

2 57 Tabel 16. Lanjutan. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 2. Pemukiman Bali 8 11'23.71"S '30.41"E 3. Pure 8 11'32.71"S '20.51"E Pemukiman Bali salah satu bentuk pluralisme budaya yang ada pada titik obyek wisata sekitar Gunung Tambora. 4. Desa Oi bura (air putih) Pure salah satu potensi titik obyek dan atraksi yang memperkaya nilai budaya (religi). 5. Komples Bangunan Kolonial Belanda dan Perkebunan Kopi 8 10'52.50"LS '38.62"BT Desa Oi bura (Air putih) salah satu desa baru hasil dari pemekaran Desa Tambora, pintu gerbang menuju situs Tambora. Di lokasi ini terdapat bangunan Belanda yang berpotensi menjadi obyek interpretasi sejarah budaya kolonial yang mewarnai kehidupan masyarakat di sekitar kaki Gunung Tambora pada jaman sebelum kemerdekaan. Sekarang keberadaan bangunan tersebut tidak terawat dan digunakan untuk rumah tinggal pengelola kebun kopi.

3 58 (a) Dusun Pancasila Morfologi Dusun Pancasila terbentuk dari masyarakat pekerja kebun kopi eks Belanda yang berada di sebelah Selatan gunung Tambora, pemberian nama dusun Pancasila diawali dari kondisi masyarakat yang plural multi etnis yang bekerja dikebun kopi dan PT. Feneria. Setelah ada pemekaran desa yang ada kecematan Pekat, pada awalnya orang hanya mengetahui dengan sebutan Tambora. Mengingat pluralisme masyarakat yang ada, gubernur Nusa Tenggara Barat Warsito pada tahun 1995 menganjurkan dengan pendekatan nama dari dasar unsur negara, seperti Garuda, Pancasila. Pola permukiman dusun Pancasila terbentuk karena adanya potensi yang ada dan kondisi topografi yang datar. Pola morfologi permukiman dusun Pancasila sangat erat kaitannya dengan upaya pengelolaan area penduduk yang dengan latar belakang budaya beragam dan tidak memberikan kesan yang eksklusif antara etnik satusamalainnya. Penataan permukiman dusun Pancasila dengan menggunakan pola grid mengingat kondisi lahan yang datar dan mudah diatur dalam penataanya walaupun berkesan monoton. Sebagian besar masyarakat dusun pancasila bermatapencarian sebagai petani, pola pertanian menetap mengingat kondisi tanah yang bagus untuk bercocok tanam. Desa Pancasila menjadi salah satu pintu masuk menuju puncak Gunung Tambora memiliki obyek dan atraksi yang menarik bagi pengunjung sebagai bentuk keanekaragaman budaya masyarakat sekitar Gunung Tambora dengan kategori (baik), total skoring 4,00, dan hasil penilaian percentile 100%. Adat istiadat dalam bentuk seni dan budaya sering ditemukan pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti lenggo (tarian), gantao (tarian perang untuk laki-laki), hadara pasapu monca (pemukulan rabana dan tarian sapu tangan kuning), pemukulan gendang pada saat penyambutan tamu-tamu, acara-acara pernikahan, dan acara ritual adat.

4 59 (b) Permukiman Bali Masyarakat Bali pertama masuk Tambora pada tahun 1982 dan di sahkan oleh pemerintahan daerah kabupaten Bima pada tahun Pola morfologi permukiman Bali ini sangat erat kaitannya dengan upaya pengelolaan area matapencaharian penduduk sebagai petani, aktifitas pertanian sawah, atau ladang mempunyai pola yang spesifik sesuai dengan kondisi lingkungan dan topografinya. Kendala-kendala lingkungan mampu menjadikan perkampungan Bali ini terlihat menyatu dengan lingkungan, suatu pertimbangan arif dalam mengelola lingkungan. Permukiman Bali merupakan salah satu bentuk tatanan budaya yang ada di sekitar obyek wisata Gunung Tambora. Seperti pada umumnya, masyarakat Bali di wilayah ini menganut agama Hindu yang taat menjalankan ajaran agamanya. Dimana atraksi ibadah, adat istiadat, atau tradisi merupakan daya tarik yang bisa dikembangkan menjadi wisata budaya khas Gunung Tambora. Perkampungan Bali memiliki obyek dan atraksi yang menarik bagi pengunjung sebagai salah satu bentuk keanekaragaman budaya masyarakat sekitar Gunung Tambora dengan kategori (rendah), total skoring 1,95, dan hasil penilaian percentile 33,33%. Pure yang berada di sekitar pemukiman Bali menjadi salah satu potensi obyek dan atraksi yang memperkaya nilai budaya pada sekitar Gunung Tambora. Pure memiliki obyek dan atraksi yang menarik bagi pengunjung sebagai salah-satu bentuk keanekaragaman budaya masyarakat sekitar Gunung Tambora dengan kategori (rendah), total skoring 2,35, dan hasil penilaian percentile 33,33%. Selanjutnya permukiman bali ini bisa di kembangkan menjadi obyek wisata budaya (religi) (d) Desa Oi Bura Oi bura (Air putih) seperti biasanya pemberian nama suatu tempat biasanya dibarengi dengan adan sejarah atau potensi yang dimiliki oleh daerah itu sendiri untuk memudahkan dalam sebutan atau dalam ingatan. Oi bura nama satu sungai yang sangat jernih, sebagai sumber air masyarakat setempat, bertepatan dengan

5 60 pemekaran desa yang ada di kecematan Tambora dari desa kenanga di tambah satu desa, desa Oi bura. Pola perkampungan lokal dengan bentuk kurva linier dengan mengikuti kondisisi topografi. Perkampungan Oi bura (air putih) memiliki obyek dan atraksi yang menarik bagi pengunjung sebagai salah satu bentuk keanekaragaman budaya masyarakat sekitar Gunung Tambora dengan kategori (rendah), total skoring 1,95, dan hasil penilaian percentile 33,33%. Desa Oi bura merupakan salah satu desa baru hasil dari pemekaran Desa Tambora, dan menjadi gerbang menuju situs Tambora. (e) Kompleks Bangunan Kolonial Belanda dan Perkebunan Kopi Pada lereng bagian selatang Gunung Tambora terdapat pekebunan kopi, penanaman kopi dimulai pada tahun 1930 di lereng bagian barat laut gunung Tambora di desa Pekat dan sekarang menjadi desa Oi Bura. Penanaman tersebut mencakupi daerah seluas hektar (800 km²) (Wikipedia, 2009). Terdapat kompeks bangunan Belanda, yang dulu menjadi bangunan pengelola dan rumah pekerja di kebun kopi berpotensi menjadi obyek interpretasi sejarah budaya kolonial yang mewarnai kehidupan masyarakat di sekitar kaki Gunung Tambora pada jaman sebelum kemerdekaan. Sekarang keberadaan bangunan tidak terawat dan digunakan untuk rumah tinggal pengelola kebun kopi. Bangunan rumah Belanda menjadi salah satu obyek yang menarik, dan berada di tengah-tengah kebun kopi yang ada pada Gunung Tambora. Bangunan dan panorama kebun kopi yang indah memiliki kategori sedang, total skoring 2,45, dan hasil penilaian percentile 66,66%. Bangunan belanda ini merupakan salah satu cagar budaya yang dapat dilakukan untuk aktivitas pendidikan dan ilmiah. Obyek ini tidak begitu unik karena masih banyak ditemukan di tempat lain. Obyek ini dapat membantu dalam program interpretasi wisata. Kondisi bangunan saat ini ditempati oleh pegawai dan pengelola kebun kopi.

6 61 Gambar 19. Peta Objek Wisata Budaya Gunung Tambora, Propinsi Nusa Tenggara Barat. 61

7 62 (2) Penilaian Potensi Obyek Wisata Budaya Hasil penilaian potensi obyek wisata budaya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Penilaian Potensi Obyek Wisata Budaya. No. Nama Obyek Fungsi Nilai Nilai Nilai Nilai Daya Nilai Musiman Kategori Sosial Sejarah Keunikan Tradisi Tarik Partisipasi Total (bobot 5%) Potensi (bobot 15%) (bobot 10%) (bobot 20%) (bobot 10%) (bobot 30%) (bobot 10%) 1. Desa Pancasila ,00 Baik 2. Permukiman ,90 Sedang Bali 3. Desa Oi bura ,95 Rendah 4. Kompeks Bangunan Kolonial Belanda dan Perkebunan kopi ,45 Sedang Keterangan: Total Skor 1-3,33 = Baik, Total Skor 3,34-4,17 = Sedang, dan Total Skor 1-3,33 = Buruk. 62

8 Potensi Obyek Wisata Arkeologi (1) Kondisi Fisik Obyek Wisata Arkeologi Potensi arkeologi Gunung Tambora yang bisa menjadi obyek interpretasi dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 20. Tabel 18. Rekapitulasi Dokumentasi Gambar Potensi dan Obyek Wisata Arkeologi. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 1. Situs Tambora 8 10'22.80"LS '54.89"BT Penemuan situs peninggalan sejarah budaya Kerajaan Tambora yang hilang akibat letusan Gunung Tambora. Ditemukan pada bulan Juli hingga Agustus 2004 oleh tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh Haraldur Sigurdsson. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai Pompeii dari Timur temuan ini menjadi potensi untuk obyek dan atraksi wisata interpretasi. Situs Tambora merupakan obyek yang bisa diunggulkan sebagai obyek andalan yang ada pada Gunung Tambora karena memiliki potensi yang tinggi dibandingkan dengan obyek lainnya yang ditunjukan oleh nilai yang tinggi pada masing-masing kriteria. Fungsi pendidikan dan ilmiah, nilai sejarah, dan nilai keunikan memiliki kategori baik, percentile 100%, dengan skor 5,00. Banyak kegiatan ilmiah yang bisa dilakukan di tempat ini seperti penelitian tentang sejarah kehancuran Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar merupakan kerajaan yang hilang ditelan oleh aliran lava akibat letusan Tahun Penemuan arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan Gunung Tambora. Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS yang memimpin proses penggalian situs Tambora, menyatakan ada kemungkinan bahwa Tambora menjadi Pompeii di Timur dan ini bisa menjadi kepentingan budaya yang besar. Pompeii sendiri merupakan nama kota Romawi di dekat Naples, Italia yang disapu oleh Gunung Vesuvius yang meletus pada Tahun Gunung itu mengubur kota tersebut di bawah

9 64 timbunan abu raksasa dan lenyap selama tahun sebelum ditemukan kembali secara tidak disengaja. Hasil penggalian memberikan detail gambaran menakjubkan atas Kota Pompeii yang berdiri semasa Kerajaan Romawi itu. Kini, Pompeii merupakan salah satu tujuan wisata ternama di Itali dan dinobatkan sebagai Lokasi Warisan Dunia UNESCO. (2) Penilaian Potensi Obyek Wisata Arkeologi Hasil penilaian potensi obyek wisata ekologi dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Penilaian Potensi Obyek Wisata Arkeologi. No. Nama Obyek Wisata Fungsi Sosial (bobot 20%) Nilai Sejarah (bobot 50%) Nilai Keunikan (bobot 30%) Total Kategori Potensi 1. Situs Tambora ,00 Baik Keterangan: Total Skor 4,18-5 = Baik, Total Skor 3,34-4,17 = Sedang, dan 1-3,33 = Rendah.

10 65 Gambar 20. Peta Objek Wisata Arkeologi Gunung Tambora, Propinsi Nusa Tenggara Barat. 65

11 Potensi Obyek Wisata Ekologi (1) Kondisi Fisik Obyek Wisata Ekologi Potensi ekologi Gunung Tambora yang bisa menjadi obyek interpretasi dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 21. Tabel 20. Rekapitulasi Dokumentasi Gambar Potensi dan Obyek Wisata Ekologi. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 1. Kawah Gunung Tambora 8 14'29.90"LS '38.92"BT 2. Hutan Cemara 8 13'25.90"LS '42.38"BT Di titik lokasi ini terdapat dua potensi keindahan alam yaitu (1) keindahan alam ke arah bentang lanskap kawah gunung Tambora sepanjang kaldera, dan (2) keindahan alam ke arah bentang lanskap lereng pegunungan berpadu dengan pemandangan laut. 3. Hutan Kalanggo (Duabanga Molucana) 8 12'13.61"LS '5.10"BT Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah hutan cemara yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit serta cenderung miring ke arah lereng pegunungan. Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem hutan yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit

12 67 Tabel 20. Lanjutan. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 4. Rumput Gajah 8 12'22.72"LS '18.60"BT 5. Pemandangan Alam 8 13'55.20"LS '48.30"BT Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem hutan yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit. 6. Lanskap Hutan Cemara 8 13'57.29"LS '56.90"BT Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem hutan yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit. Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem hutan yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit.

13 68 Tabel 20. Lanjutan. No. Nama Obyek Dokumentasi 1 Dokumentasi 2 7. Padang Pasir dan Bunga Edelweiss 8 13'55.42"LS '17.71"BT 8. Jelatang 8 13'39.90"LS '55.81"BT Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem. Hamparan pasir dan tumbuhan Edelweiss salah satu cirikhas tumbuhan yang berada diketinggian dengan bentuk lanskap yang berbukit. 9. Bekas Hutan Veneria 8 11'15.68"LS '28.91"BT Di lokasi ini menawarkan keindahan alamiah ekosistem hutan yang berpadu dengan bentuk lanskap yang berbukit pada di penuhi tumbuhan menjalar jelateng (sebutan lokal meladi). Pemandangan di lokasi ini tidak begitu menarik. Hutan bekas areal HPH Veneria. Hutan Duabanga yang habis, sudah rusak. (a) Kawah Kawah Gunung Tambora merupakan obyek yang diunggulkan karena memiliki potensi yang paling tinggi dibandingkan dengan obyek ekologi yang lain hal tersebut ditunjukan oleh nilai yang tinggi pada masing-masing kriteria dengan kategori baik, percentile 100%, dan skor 5. Padang pasir luas di sepanjang bibir kawah yang ditumbuhi bunga Edelweiss kerdil sekitar 0,5 meter sampai 1,5 meter dengan jarak masing-masing berjauhan sekitar dua meter sampai 100 meter. Ruang terbuka pada

14 69 sekitar kawah ini yang biasa di gunakan bagi pengunjung untuk melakukan kegiatan interpretasi seperti trekking, pendidikan tentang lingkungan pada daerah ketinggian, penelitian tentang vulkanologi dan geologi, foto (hunting) dengan obyek pemandangan kawah, lautan, Pulau Satonda, padang pasir yang indah (lanskap Gunung Tambora). Kawah Gunung Tambora yang memiliki diameter 6 x 7 km dengan tinggi kaldera sekitar m, hanya bisa dijumpai pada daerah ini saja sehingga obyek kawah memiliki daya tarik yang tinggi. Kawah Gunung Tambora terkenal dengan The Greatest Crater in Indonesia (Kawah Terbesar di Indonesia) akibat dari adanya letusan terdahsyat di dunia pada tahun 1815 terkenal dengan The Largest Volcanic Eruption in History, sebelum terjadi letusan pada Tahun 1815 mempunyai ketinggian mencapai m di atas permukaan laut (Sutawijaya, 2006). Menjadikan kawah ini sangat langka yang tidak di temui di tempat lain di Indonesia. Pencapaian pada kawah Gunung Tambora bisa di kunjungi sepanjang tahun. (b) Hutan Cemara Gunung Tambora mempunyai formasi vegetasi yang pada umumnya adalah savana. Akan tetapi pada elevasi tinggi mendekati puncak formasi digantikan cemara di lereng Timur dan hutan tropika pada lereng-lereng sisanya. Padang Savana hutan cemara (Casuarina sp.) serta beberapa pohon liar juga dapat dijumpai di Gunung Tambora Selatan. Di samping itu, pakis dan kalimone serta beberapa jenis liana seperti rotan dan anggur hutan juga melengkapi tipe vegetasi yang ada pada Gunung Tambora sangat penting untuk obyek interpretasi. Obyek ini memiliki kategori sedang (hutan cemara), hasil penilaian percentile 66,66%, dan skor 2,9 seperti yang tertera pada Tabel 16. Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan pada daerah ini. (c) Hutan Kalanggo (Duabanga) Gunung Tambora memiliki semua jenis habitat seperti hutan Kalanggo (Duabanga molucana). Keanekaragaman hayati flora menjadi daya tarik sendiri sebagai obyek interpretasi, yang berada pada ketinggian sekitar 1212 m dpl. Informasi obyek hutan ini menjadi penting untuk wisata yang berminat mempelajari tentang formasi hutan hujan tropis dataran rendah hingga pegunungan. Berdasarkan hasil kriteria

15 70 penilaian objek dan atraksi ekologis maka nilai tertinggi didapatkan pada hasil penilaian potensi ekologi hutan kalanggo termasuk dalam kategori sedang, dengan hasil penilaian percentile 66,66%, dan skor 2,60. (d) Rumput Gajah Salah satu formasi vegetasi gunung tambora memiliki padang rumput pada ketinggian 1616 m dpl memiliki nilai daya tarik tersendiri untuk obyek interpretasi. Berdasarkan hasil kriteria penilaian objek dan atraksi ekologis maka nilai tertinggi didapatkan pada hasil penilaian potensi ekologi rumput gajah termasuk dalam kategori sedang, dengan hasil penilaian percentile 66,66%, dan skor 2,60. (e) Pemandanagan Alam 2190 m dpl Pemandangan alam ini beada pada ketinggian 2190 m dpl menjadi salah satu tempat yang penting bagi penggiat alam (pendakian Gunung Tambora) sebagai tempat untuk istirahat dan menyaksikan keindahan alam sebelum pendakian dilanjutkan. Pada sore hari para pendaki dapat menyaksikan terbenamnya matahari (sunset) para pendaki akan membuka tenda dan bermalam di sini, untuk mencapai puncak biasanya di pilih waktu sekitar jam Obyek ini memiliki kategori sedang, hasil penilaian percentile 66,66%, dan skor 2,6 seperti yang tertera pada Tabel 16. Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan pada daerah ini. (f) Lanskapa Hutan Cemara 2286 m dpl Lanskap hutan cemara dapat terlihat dari ketinggian 2286 m dpl tidak banyak aktifitas rekreasi ruang terbuka yang bisa dilakukan dikarenakan kondisi suhu tinggi dan kelas lereng 15-25% dan >25% dengan kode jalur 7A-8A yang tertera pada tabel 22. Pada titik obyek ini wisata bisa melakukan interpretasi tentang lanskap alam pegunungan, foto hunting, interpretasi geologis. Obyek ini memiliki kategori baik dengan skor 3,10 seperti yang tertera pada tabel 21.,

16 71 (g) Padang pasir dan bunga Edelweiss 2451 m dpl Pada puncak Gunung Tambora terdapat Padang pasir yang sangat luas dan di tuhi bunga Edelweiss berada pada ketinggian 2451 m dpl obyek ini memiliki kategori baik dengan skor 3,30. Lokasi ini memiliki nilai estetika tinggi karena dari tempat ini pengunjung dapat menikmati pemandangan alam yang indah ke arah laut, Pulau Satonda, Moyo, Gunung Rinjani yang berada sebelah barat Gunung Tambora dan sekitarnya. Wisata dapat melakukan terpretasi tentang padang pasir, bunga Edelweiss, geologi, sisa aliran lava. (h) Jelatang Pada ketinggian 1848 m dpl tumbuh tumbuhan perambat jelatang setiap kali para pendakian, pendaki merasa tidak nyaman kalau melewati jalur ini karena pohon meladi (sebutan lokal) memiliki daun yang sangat gatal. Obyek ini termasuk dalam kategori rendah dengan skor 2,30. Pada titik ini arah pandangan tidak begitu luas, karena ditutupi oleh kerapatan tajuk yang cukup lebat. (i) Hutan bekas Veneria Degradasi lingkungan akibat kegiatan hak penguasaan hutan (HPH) dan perambatan hutan oleh masyrakat sekitar Gunung Tambora. Obyek ini termasuk dalam kategori rendah dengan skor 1,40. interpretasi yang bisa dilakukan pada obyek ini tentang kehancuran ekosistem hutan akibat kegiatan HPH. (2) Penilaian Potensi Obyek Wisata Ekologi Setelah dideskripsikan secara kualitatif pada pembahasan sebelumnya maka sesuai dengan metodologi dilakukan pula penilaian secara kuantitatif terhadap obyekobyek yang ada. Hasil penilaian potensi obyek wisata ekologi dapat dilihat pada Tabel 21.

17 72 Dari hasil identifikasi potensi sumberdaya wisata terdapat tiga potensi yang dijadikan sebagai obyek dan atraksi wisata, budaya, arkeologi dan ekologi, setelah dilakukan suatu penilain terhadap obyek dan atraksi wisata untuk mendapatkan kategori potensi sebagai dasar untuk menentukan model jalur wisata yang berkelanjutan dan program pada jalur. Penentuan model jalur berdasrkan sebaran obyek yang ada. Dari hasil penilaian obyek dan atraksi didapat beberapa obyek yang memiliki total skor tinggi dapat dilihat pada Tabel 17, 19 dan 21. Obyek wisata budaya di wakili Dusun Pancasila dengan total 4,00 (kategori baik), Arkeologi diwakili Situs Tambora dengan total skor 5,00 (kategori baik) dan Ekologi diwakili kawah Gunung Tambora total skor 5,00 (kategori baik) sebagai obyek yang di unggulkan dan perpotensi untuk pentuan penataan jalur wisata. Sebaran obyek dapat dilihat pada Gambar 19, 20 dan 21.

18 73 Gambar 21. Peta Objek Wisata Ekologi Gunung Tambora, Propinsi Nusa Tenggara Barat. 73

19 74 Tabel 21. Penilaian Potensi Obyek Wisata Ekologi. No. Nama Obyek Aktivitas Rekreasi Ruang Terbuka (bobot 20%) Nilai Daya Tarik (bobot 40%) Nilai Kelangkaan (bobot 10%) Nilai Musiman (bobot 10%) Variasi Aktivitas (bobot 20%) Total Kategori Potensi 1. Kawah ,00 Baik 2. Hutan Cemara ,50 Sedang 3. Hutang kalanggo ,60 Sedang 4. Rumput Gajah ,60 Sedang 5. Pemandangan alam ,60 Sedang 6. Lanskap hutan cemara ,10 Baik 7. Padang pasir dan Bunga ,30 Edelweiss Baik 8. Pemandangan alam ,30 Rendah 9. Bekas Hutan Veneria ,40 Rendah Keterangan: Total Skor 3-5 = Baik, Total Skor 2,6-2,9 = Sedang, dan Total Skor 1-2,4 = Rendah. 74

20 Analisis Jalur Wisata Jalur Wisata Berdasarkan pola penyebaran potensi wisata Tambora, maka jalur wisata Tambora terbagi menjadi 3, yaitu: (1) jalur wisata budaya, (2) jalur wisata arkeologi, dan (3) jalur wisata ekologi (Tabel 17). Kondisi topografi pada masingmasing jalur dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23. Gambar 22. Kondisi Topografi Jalur Wisata Budaya dan Arkeologi (Data Olahan, 2008). Gambar 23. Kondisi Topografi Jalur Wisata Ekologi (Data Olahan, 2008).

21 Kesesuaian Lahan Jalur Setapak Untuk keberlanjutan dari potensi wisata yang ada pada Gunung Tambora diperlukan suatu model perencanaan pengembangan kawasan wisata yang berkelanjutan dalam bentuk jalur wisata interpretasi. Kondisi fisik jalur setapak wisata pada Gunung Tambora sangat baik untuk di kembangkan menjadi jalur wisata interpretasi dengan kondisi drainase cepat dan memiliki kelas lereng relatif datar (0-15%-15-25%), dan termasuk dalam kategori baik. Pada titik tertentu yang mendekati puncak gunung tambora terlihat pada Tabel 22, kode jalur 6A-7A, 7A- 8A, dan 8A-9A terdapat kelas lereng yang curam atau >25%, dan termasuk dalam kotegori buruk dalam standar kesesuaian lahan tidak ada perlakuan pada titik ini kondisi lereng tetap, pada kondisi kelerengan seperti ini menjadikan jalur yang menarik untuk pendakian. Kondisi ini dapat terlihat pada Tabel 22 dan Gambar 24 dengan tutupan lahan berupa belukar dan hutan. Jalur yang biasa digunakan untuk pendakian Gunung Tambora perlu dihitung kesesuaian lahannya. Setelah dihitung, secara keseluruhan kondisi jalur pendakian tersebut sesuai digunakan untuk pendakian. Karena dilihat dari kondisi drainase, topografi, kelerengan, dan tutupan lahan mendukung untuk digunakan sebagai jalur wisata Gunung Tambora. Kondisi kesesuaian lahan jalur wisata Gunung Tambora dapat dilihat pada Tabel 23 dan Gambar 25. Waktu yang dibutuhkan untuk pendakian kurang lebih 2-3 hari sehingga di perlukan tempat untuk beristrahat berupa area berkemah. Lokasi berkemah ditentukan berdasarkan kedekatanya dengan sumber mata air dan potensi pemandangan alam, yaitu pos 1, pos2, pos 3, dan pos 4. Setelah dihitung, keempat area tersebut sesuai digunakan untuk berkemah. Karena kondisi drainase, kelerengan, dan tekstur tanah mendukung untuk digunakan sebagai tempat berkemah. Kondisi kesesuaian lahan zona berkemah dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 25.

22 77 Tabel 22. Kondisi Fisik Jalur Setapak Wisata Tambora. No. Kategori Wisata Kode Jalur Panjang (m) Luas (Ha) Persentase Tehadap Luas Total Kondisi Drainase Jenis Tanah Kelas Lereng Penutupan Lahan 1. Wisata Budaya 30,1 10,0% 1A-1B 3.051, % Hutan 0,6 0,2% 10,5 3,5% 0-15% Belukar, Hutan, 1B-1C 1.094,1 0,01 0,01% 15-25% Kebun 1,3 0,4% 0-15% 1B-3A 217,6 Kom. Reg. Cok. Hutan 0,3 0,1% 15-25% Drainase Kekelabu & 1C-2A 923,5 8,8 2,9% Belukar, Kebun Cepat Litosol, Tekstur Belukar, Kebun, 2A-2D 158,3 1,2 0,4% berpasir (kasar) 0-15% Pemukiman Belukar, Kebun, 2D-3C 229,0 2,2 0,7% Pemukiman 14,3 4,8% 0-15% Belukar, Hutan, 3B-3C 1.499,8 0,2 0,1% 15-25% Kebun Sub Total 7.173,4 69,5 23,1% 2. Wisata Arkeologi Belukar, Kebun, 2A-2B 417,6 3,9 1,3% Pemukiman Kom. Reg. Cok. Belukar, Hutan, Drainase Kekelabu & 2B-2C 1.226,5 12,4 4,1% 0-15% Pemukiman, Cepat Litosol, Tekstur Padang Rumput berpasir (kasar) 2B-2D 470,5 4,0 1,3% Sub Total 2.114,6 20,3 6,7% Belukar, Pemukiman 77

23 78 Tabel 22. Lanjutan. No. Kategori Wisata 3. Wisata Ekologi Kode Jalur Panjang (m) Luas (Ha) Persentase Tehadap Luas Total Kondisi Drainase Jenis Tanah Kelas Lereng Penutupan Lahan 3A-4B 4.727,4 38,5 12,8% 0-15% 7,5 2,5% 15-25% Hutan 3C-4A 451,9 4,1 1,4% 0-15% Belukar, Hutan 4A-4B 3.461,2 22,9 7,6% 0-15% 11,2 3,7% 15-25% 4B-5A 294,0 0,6 0,2% 0-15% 2,3 0,8% 15-25% 26,7 8,9% Kom. Reg. Cok. 0-15% 5A-6A 3.656,5 9,6 3,2% Drainase Kekelabu & 15-25% Hutan 14,3 4,8% Capat Litosol, Tekstur 0-15% 6A-7A 4.578,4 31,0 10,3% berpasir (kasar) 15-25% 0,1 0,0% >25% 2,4 0,8% 0-15% 7A-8A 1.154,7 8,7 2,9% 15-25% 8A-9A 3.059,8 Sub Total ,9 211,2 70,2% Total ,9 301,0 100,0% 0,4 0,1% >25% 5,5 1,8% 0-15% 19,8 6,6% 15-25% 5,6 1,9% >25% Belukar, Hutan 78

24 79 Tabel 23. Nilai Kesesuaian Lahan Jalur Setapak Wisata Tambora. No. Kategori Wisata 1. Wisata Budaya Kode Jalur Panjang (m) Luas (Ha) Persentase Tehadap Luas Total Penilaian Terhadap Kondisi Jenis Kelas Penutupan Drainase Tanah Lereng Lahan Kategori 1A-1B 3.051,1 30,7 10,2% = Baik 1B-1C 1.094,1 10,5 3,5% = Baik 1B-3A 217,6 1,6 0,5% = Baik 1C-2A 923,5 8,8 2,9% = Baik 2A-2D 158,3 1,2 0,4% = Baik 2D-3C 229,0 2,2 0,7% = Baik 3B-3C 1.499,8 14,5 4,8% = Baik Sub Total 7.173,4 69,5 23,1% 2. Wisata Arkeologi 2A-2B 417,6 3,9 1,3% = Baik 2B-2C 1.226,5 12,4 4,1% = Baik 2B-2D 470,5 4,0 1,3% = Baik Sub Total 2.114,6 20,3 6,7% 3. Wisata Ekologi 3A-4B 4.727,4 46,0 15,3% = Baik 3C-4A 451,9 4,1 1,4% = Baik 4A-4B 3.461,2 34,1 11,3% = Baik 4B-5A 294,0 2,9 1,0% = Baik 5A-6A 3.656,5 36,4 12,1% = Baik 6A-7A 4.578,4 45,4 15,1% = Baik 7A-8A 1.154,7 11,5 3,8% = Baik 8A-9A 3.059,8 30,8 10,2% = Baik Sub Total ,9 211,2 70,2% Total ,9 301,0 100,0% Keterangan: Total Skor 9-12 = Baik, Total Skor 5-8 = Sedang, dan Total Skor 1-4 = Buruk. 79

25 80 Tabel 24. Kondisi Fisik Zona Perkemahan Wisata Tambora. No. Lokasi Berkemah Luas (Ha) Persentase Tehadap Luas Total 1. Pos 1 0,5 14,3% 2. Pos 2 0,5 14,3% 3. Pos 3 1,5 42,8% 4. Pos ,6% Total 3,5 100% Kondisi Drainase Drainase Cepat Drainase Cepat Drainase Cepat Drainase Cepat Jenis Tanah Kom. Reg. Cok. Kekelabu & Lit, Tekstur berpasir (kasar) Kom. Reg. Cok. Kekelabu & Lit, Tekstur berpasir (kasar) Kom. Reg. Cok. Kekelabu & Lit, Tekstur berpasir (kasar) Kom. Reg. Cok. Kekelabu & Lit, Tekstur berpasir (kasar) Kelas Lereng 0-8% 0-8% 0-8% 0-8% Tabel 25. Nilai Kesesuaian Lahan Zona Perkemahan Wisata Tambora. No. Lokasi Berkemah Luas (Ha) Persentase Tehadap Luas Total Kondisi Drainase Jenis Tanah Kelas Lereng Kategori 1. Pos 1 0,5 14,3% = Baik 2. Pos 2 0,5 14,3% = Baik 3. Pos 3 1,5 42,8% = Baik 4. Pos ,6% = Baik Total 3,5 100% Keterangan: Total Skor 7-9 = Baik, Total Skor 4-6 = Sedang, dan Total Skor 1-3 = Buruk.

26 81 TUTUPAN LAHAN JALUR WISATA Gambar 24. Peta Tutupan Lahan Jalur Wisata Gunung Tambora, Propinsi Nusa Tenggara Barat. 81

27 82 KESESUAIAN LAHAN JALUR WISATA DAN ZONA PERKEMAHAN Gambar 25. Peta Kesesuaian Lahan Jalur Wisata dan Perkemahan Gunung Tambora, Propinsi Nusa Tenggara Barat. 82

28 Daya Dukung Daya Dukung Fisik (PCC = Physical Carrying Capasity) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik tercukupi oleh ruang yang disediakan pada waktu tertentu dan dinyatakan dengan rumus (Cifuentes, 1992 dalam Lascurain, 1996): PCC = A x V/a x Rf Dimana: A = area yang tersedia untuk digunakan oleh umum. V/a = 1 pengunjung per m 2. Rf = faktor rotasi (jumlah kunjungan per hari). Tabel 26. Waktu Yang Digunakan untuk Menempuh Jalur Wisata Tambora. No. Kategori Wisata 1. Wisata Budaya Kode Jalur Panjang (m) Waktu Tempuh (jam) 1A-1B 3.051,1 2 1B-1C 1.094,1 1 1B-3A 217,6 0,25 1C-2A 923,5 0,5 2A-2D 158,3 0,25 2D-3C 229,0 0,25 3B-3C 1.499,8 2 Sub Total 7.173,4 6,25 2. Wisata Arkeologi 2A-2B 417,6 0,5 2B-2C 1.226,5 2 2B-2D 470,5 0,5 Sub Total 2.114, Wisata Ekologi 3A-4B 4.727,4 3 3C-4A 451,9 0,25 4A-4B 3.461,2 3 4B-5A 294,0 0,25 5A-6A 3.656,5 2 6A-7A 4.578,4 3 7A-8A 1.154,7 2 8A-9A 3.059,8 4 Sub Total ,9 17,5 Total ,9 26,75

29 84 Untuk menghitung PCC Jalur Wisata Tambora, beberapa asumsi dasar dipertimbangkan: 1. Setiap orang umumnya perlu ruang jalur 1 m untuk dapat bergerak bebas (V/a). 2. Panjang jalur yang tersedia (A) adalah: a. Jalur Budaya = 7.173,4 m b. Jalur Arkeologi = 2.114,6 m c. Jalur Ekologi = ,9 m 3. Faktor rotasi (Rf) dihitung sebagai berikut (Tabel 30): a. Setiap kali melewati jalur wisata budaya membutuhkan 6,25 jam, setiap orang dapat melakukan kunjungan sebanyak 6 kali per minggu. b. Setiap kali melewati jalur wisata arkeologi membutuhkan 3 jam, setiap orang dapat melakukan kunjungan sebanyak 3 kali per minggu. c. Setiap kali melewati jalur wisata ekologi membutuhkan 17,5 jam, setiap orang dapat melakukan kunjungan sebanyak 2 kali per minggu. 4. PCC Jalur Wisata dapat dihitung sebagai berikut: a. PCC Jalur Wisata Budaya = 7.173,4 m x 1 pengunjung/m x 6 kunjungan per minggu = orang per minggu. b. PCC Jalur Wisata Arkeologi = 2.114,6 m x 1 pengunjung/m x 3 kunjungan per minggu = orang per minggu. c. PCC Jalur Wisata Ekologi = ,9 m x 1 pengunjung/m x 2 kunjungan per minggu = orang per minggu. Untuk menghitung PCC Wisata Berkemah Tambora, beberapa asumsi dasar dipertimbangkan: 1. Setiap orang umumnya perlu ruang berkemah 1,1 m x 2,5 m = 2,75 m 2 untuk dapat bergerak bebas (V/a). 2. Area berkemah yang tersedia (A) adalah: a. Pos 1 = m 2 b. Pos 2 = m 2 c. Pos 3 = m 2 d. Pos 4 = m 2

30 85 3. Setiap kali berkemah orang dapat melakukan kunjungan sebanyak 4 kali per minggu. 4. PCC Wisata Berkemah dapat dihitung sebagai berikut: a. PCC Pos 1 = m 2 x 1 pengunjung/2,75 m 2 x 4 kunjungan per minggu = orang per minggu. b. PCC Pos 2 = m 2 x 1 pengunjung/2,75 m 2 x 4 kunjungan per minggu = orang per minggu. c. PCC Pos 3 = m 2 x 1 pengunjung/2,75 m 2 x 4 kunjungan per minggu = orang per minggu. d. PCC Pos 4 = m 2 x 1 pengunjung/2,75 m 2 x 4 kunjungan per minggu = orang per minggu. Jumlah pengunjung yang ada dari Tahun dapat dilihat pada Tabel 27. Melihat hasil perhitungan daya dukung, jumlah pengunjung yang ada sampai saat ini tidak melebihi jumlah dari hasil perhitungan daya dukung, sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan di Gunung Tambora masih relatif rendah. Tabel 27. Trend Jumlah Pengunjung yang Melewati Jalur Wisata Tambora. No. Tahun Jumlah Pengunjung per Maret Tujuan Puncak Gunung Tambora Penelitian Segmen Penggiat alam Mahasiswa Peneliti Media Namun, jumlah pengunjung yang ada pada Tabel 27 masih kurang dari kenyataan di lapangan, karena setiap tanggal 17 Agustus pada tiap tahunnya pengunjung dapat mencapai orang untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia di puncak Gunung Tambora. Masih banyak jumlah pengunjung yang tidak terdata pada setiap tahun akibat tidak adanya pemantauan pengelolaan

31 86 pengunjung Gunung Tambora (Kelompok Pencinta Alam Tambora (K-PATA) dan Tambora Trekking Centre). Berdasarakan kesesuaian yang ada dan tingat kelerengan pada jalur sangat cocok untuk sebuah pengembangan model wisata pendakian dengan daya dukung masih dalam batas toleransi Rencana Jalur Wisata Gunung Tambora Kajian jalur wisata Gunung Tambora bertujuan untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya wisata yang ada, dan dapat dijadikan petunjuk bagi rencana penataan jalur interpretasi wisata Gunung Tambora. Sasaran utama dari rencana jalur wisata interpretasi adalah pemanfaatan sumberdaya keparawisataan Gunung Tambora secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya dan peningkatan edukasi masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan program kegiatan yang mendukung pelestarian dan konservasi potensi keanekaragaman hayati Gunung Tambora. Pendeketan yang digunakan dalam perencanaan jalur interpretasi wisata di Gunung Tambora adalah dengan pendekatan potensi obyek dan jalur wisata. Konsep yang digunakan dalam perancangan wisata adalah suatu jalur interpretasi wisata yang edukatif. Selanjutnya jalur wisata dibagi tiga jalur berdasarkan potensi obyek wisata antara lain jalur interpretasi wisata budaya, jalur interpretasi wisata arkeologi dan jalur interpretasi wisata ekologi yang diharapkan pada setiap jalur bisa memberikan pesan masing-masing tentang potensi obyek di Gunung Tambora. Jalur interpretasi wisata ini diharapkan menjadi dasar untuk penataan jalur wisata yang berkelanjutan di Gunung Tambora. Strategi yang digunakan dalam perencanaan jalur interpretasi wisata di Gunung Tambora ini adalah mengoptimalkan kondisi eksisting yang sudah ada menjadi lebih baik, serta mendukung kelestarian kawasan baik secara ekologi, sosial, dan ekonomi sesuai dengan asas yang berkelanjutan. Pengoptimalisasi kondisi yang sudah ada dapat dilakukan melalui penataan dan pengaturan jalur yang sudah ada secarah tersistem melalui program-program interpretasi, sebagai media pembelajaran bagi masyarakat dan pengunjung tentang pentingnya pelestarian sumberdaya.

32 Konsep Ruang Jalur Wisata Konsep ruang jalur interpretasi wisata yang digunakan dalam rencana untuk jalur wisata Gunung Tambora adalah suatu koridor jalur dengan menggunakan teknik buffer, yaitu selebar 50 m (Gambar 29). Konsep koridor ini bertujuan untuk memanfaatkan sempadan jalur sebagai ruang untuk kegiatan konservasi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Ilustrasi rencana koridor dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27. Gambar 26. Penampang Melintang Koridor Jalur. Gambar 27. Penampang Melintang Koridor Jalur.

33 88 Gambar 28. Sketsa Koridor Jalur Wisata Gunung Tambora. 88

34 89 Konsep ruang jalur dibagi beberapa ruas jalur antara lain: (1) jalan/jalur setapak, (2) ruang konservasi (penghijauan dan peneduh), (3) ruang ekonomi (warung sovenir, warung perlengkapan pendakian, dan lain-lain), dan (4) ruang sosial (berkemah, shelter, dan papan interpretasi ). Konsep ruang jalan setapak, ruang konservasi, dan ruang ekonomi dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30. Warung Sovenir Shelter Papan Interpretasi Vegetasi Gambar 29. Sketsa Konsep Ruang Jalan Setapak. Gambar 30. Konsep Ruang Sosial.

35 Rencana Jalur Interpretasi Wisata Rencana jalur interpretasi wisata yang menggambarkan obyek utama dan pendukung wisata. Rencana jalur interpretasi wisata ini memberi gambaran pentingnya menjaga kelestarian lingkungan alam, sejarah, dan budaya untuk keberlanjutan suatu kehidupan, serta untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Rencana jalur interpretasi wisata di Gunung Tambora berdasarkan sebaran obyek terdiri dari: (1) obyek dan atraksi wisata budaya (kulturasi dan cagar budaya), (2) obyek dan atraksi wisata arkeologi (situs Kerajaan Tambora), dan (3) obyek dan atraksi wisata ekologi (fenomena alam dan lanskap ) yang selanjutnya menjadi dasar penamaan dan pembagian jalur interpretasi wisata. Jalur interpretasi wisata terbagi menjadi tiga berdasarkan obyek wisata yang berpotensi untuk pengembangan Gunung Tambora, yaitu obyek yang memiliki kategori: (1) baik, (2) sedang, dan (3) rendah sesuai dengan Tabel 28, 29. dan 30. Berdasarkan potensi obyek wisata Gunung Tambora tersebut dapat dikembangkan tiga model jalur interpretasi wisata budaya, jalur interpretasi wisata arkeologi, dan jalur interpretasi wisata ekologi sebagai berikut: 1. Jalur interpretasi wisata budaya berdasarkan penilaian obyek diwakili oleh Desa Pancasila. Interpretasi yang dapat dilakukan berupa kulturasi masyarakat tradisional Gunung Tambora. 2. Jalur interpretasi wisata arkeologi, berdasarkan penilaian obyek diwakili oleh situs Kerajaan Tambora. Interpretasi yang dapat dilakukan berupa sejarah. 3. Jalur interpretasi wisata ekologi, berdasarkan penilaian obyek diwakili oleh kawah dan lanskap alam. Interpretasi yang dapat dilakukan berupa sumberdaya alam. Rencana jalur interpretasi wisata dapat dilihat pada Gambar 31, 32 dan 33.

36 91 Gambar 31. Jalur Interpretasi Wisata Untuk Budaya. 91

37 92 Gambar 32. Jalur Interpretasi Wisata Untuk Arkeologi. 92

38 93 Gambar 33. Jalur Interpretasi Wisata Untuk Ekologi. 93

39 Touring System Touring system merupakan suatu sistem yang memberikan peluang yang tinggi untuk melihat banyak atraksi dan informasi serta memberi peluang yang tinggi untuk meningkatkan waktu dan pengeluaran yang merupakan dua hal utama dalam merencanakan suatu jalur wisata. Konsep ini diharapkan mendukung kelestarian potensi alam dan budaya pada kawasan Gunung Tambora. Touring system yang di kembangkan pada kawasan Gunung Tambora dalam bentuk jalur interpretasi budaya, jalur interpretasi wisata arkeologi, jalur interpretasi ekologi dapat dilihat pada Tabel 33, 34 dan 35. Menurut Simonds (1983), dalam touring system perlu dipertimbangkan: 1. Jarak atau waktu tempuh yang merupakan fungsi dari area, sedangkan area merupakan fungsi dari ruang (space), sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. 2. Keutuhan, yang menggambarkan keharmonisan dan kesatuan (unity) dari elemen-elemen, sehingga elemen-elemen tersebut tidak terpilah-pilah. 3. Sekuen, yang menggambarkan urutan terhadap obyek yang mempunyai persepsi kontinuitas sehingga merupakan pengorganisasian dari elemenelemen pada suatu ruang.

40 95 Tabel 28. Touring System Jalur Interpretasi Wisata Budaya. No. Nama Obyek Kelas Atraksi 1. Desa A Pemukulan gendang pada saat Pancasila penyambutan tamu-tamu, acaraacara pernikahan, dan acara ritual adat. Hadara pasapu monca (pemukulan rabana dan tarian sapu tangan kuning). Lenggo (tarian). Gantao (tarian perang untuk laki-laki). Kehidupan masyarakat. 2. Pure Peribadatan Hindu, adat istiadat, atau tradisi upacara adat. 3. Permukiman B Kehidupan masyarakat. Bali 4. Kompeks B Sejarah budaya kolonial yang Bangunan mewarnai kehidupan masyarakat kolonial di sekitar kaki Gunung Tambora Belanda dan pada jaman sebelum Perkebunan kemerdekaan. Kopi Panorama kebun kopi yang indah. 5. Oi bura C Kehidupan masyarakat. Waktu 1 jam 1 jam 0,5 jam 0,5 jam 0,5 jam Aktifitas Pengunjung Touring System Pengenalan sistem sosial masyarakat Gunung Tambora. Pengenalan seni budaya masyarakat Gunung Tambora. 0,5 jam 1 jam 95

41 96 Tabel 29. Touring System Jalur Interpretasi Wisata Arkeologi. No. Nama Obyek Kelas Atraksi 1. Situs A Artefak Kerajaan Tambora. Tambora Waktu 3 jam Aktifitas Pengunjung Pendidikan dan ilmiah. Pengenalan sejarah Kerajaan Tambora. Pengenalan budaya Kerajaan Tambora. Menginterpretasikan situs-situs peninggalan Kerajaan Tambora. Touring System 96

42 97 Tabel 30. Touring System Jalur Interpretasi Wisata Ekologi. No. Nama Obyek Kelas Atraksi 1. Pemandangan alam kebun kopi. 2. Bekas Hutan Veneria Pos 1 C 4. Hutan Kalanggo B 5. B 6. Rumput Gajah Pos 2 I Istirahat III Istirahat Formasi hutan hujan tropis dataran rendah hingga pegunungan Padang rumput 7. Pos 3 8. Hutan Cemara Jelatang Pos 4 B I Istirahat III Istirahat I Berkemah II Berkemah Pemandangan alam. Pemandangan alam B C Pemandangan alam. Tumbuhan merambat II Istirahat II Istirahat Pemandangan alam. Waktu 0,5 jama d 0,5 jama d 0,75 jama d 0,75 jama d 1 jambc 0,5 jambc 1 jambc Aktifitas Pengunjung Touring System Trekking. Menginterpretasikan tumbuhan/vegetasi dan stratifikasi hutan yang ada di sepanjang jalur. Menginterpretasikan kehancuran ekosistem hutan akibat dari hak penguasaan hutan (HPH). Menginterpretasikan satwa-satwa yang terdapat di sepanjang jalur. Menginterpretasikan tumbuhan merambat yang ada di gunung Tambora. Menginterpretasikan fungsi hidrologi hutan. 97

43 98 Tabel 30. Lanjutan. No. Nama Obyek Kelas Atraksi 12. Lanskap A Pemandangan alam dan Hutan fenomena alam (ke arah laut, Cemara Pulau Satonda, Moyo, Gunung Rinjani yang berada sebelah barat Gunung Tambora). Lubang-lubang bekas kawah dan batu-batu besar berwarna hitam. 13. Padang Pasir A Padang pasir Edelweiss dan bunga Lubang-lubang bekas kawah dan Edelweiss batu-batu besar berwarna hitam. 14. Kawah A Fenomena alam. Pemandangan alam (lautan, Pulau Satonda, padang pasir luas di sepanjang bibir kawah yang ditumbuhi bunga Edelweiss). Waktu 1 jambc 0,25 jambc 0,5 jambc 0,5 jambc 1 jamb Aktifitas Pengunjung Menginterpretasikan geologis disepanjang jalur. Menginterpretasikan padang pasir, edelweiss dan sisa aliran lava di sepanjang jalur puncak Gunung Tambora. Menginterpretasikan fenomena alam (kawah Gunung Tambora). Pendidikan tentang lingkungan pada daerah ketinggian. Penelitian tentang vulkanologi dan geologi. Foto hunting. Touring System Keterangan: a = Hari pertama pendakian. b = Hari kedua pendakian. c = Hari kedua turun dari puncak. d = Hari ketiga turun dari puncak. 98

44 Program Interpretasi Wisata yang Berkelanjutan Interpretasi adalah suatu mata rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada (Sharpe, 1982). Menurut Tilden (1957), dalam Interpreting Our Heritage menyatakan bahwa interpretasi adalah kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan arti dan keterkaitan suatu obyek. Muntasib (2003) menyatakan bahwa interpretasi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan misteri alam, seni dan budaya kepada pengunjung baik secara langsung (melalui interpreter) maupun tidak langsung (melalui poster, slide, film, foto, ataupun alat peragaan lainnya), berupa seni yang menarik, dan merupakan penggabungan berbagai pengetahuan yang terkait (flora, fauna, sejarah, geologi, dan sebagainya). Pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata terutama bertujuan untuk menikmati alam dan seisinya baik keindahan, keunikan, dan kekhasannya. Melalui interpretasi pengunjung dapat mengerti akan makna dari Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang ada, sehingga membangkitkan emosional pengunjung untuk mencintai dan melestarikan alam dan budaya. Penyusunan program interpretasi wisata budaya, arkeologi, dan ekologi di Gunung Tambora bertujuan untuk mengkomunikasikan obyek dan potensi sumberdaya yang ada pada jalur wisata yang dilalui oleh pengunjung. Program interpretasi dibagi tiga jalur berdasarkan potensi obyek wisata untuk pengembangan Gunung Tambora, yaitu jalur interpretasi wisata budaya, jalur interpretasi wisata arkeologi, dan jalur interpretasi wisata ekologi. (1) Program Jalur Interpretasi Wisata Budaya Program interpretasi yang dapat dilaksanakan di jalur wisata budaya adalah (Gambar 34 dan 35): Kulturisasi a. Tema: Pengenalan dan pengamatan kebudayaan masyarakat di sepanjang jalur wisata budaya Gunung Tambora. b. Kelompok sasaran: usia tahun. c. Tujuan:

45 100 Memperkenalkan sistem sosial masyarakat Gunung Tambora untuk menambah pengetahuan peserta, sehingga dapat merangsang tumbuhnya kesadaran peserta akan arti penting kebudayaan yang beragam. d. Materi kegiatan: 1) Pengenalan sistem sosial masyarakat Gunung Tambora (Gambar 34). 2) Pengenalan seni budaya masyarakat Gunung Tambora (Gambar 35). Gambar 34. Program Interpretasi Sosial Budaya Masyarakat Gunung Tambora. Gambar 35. Program Interpretasi Seni Budaya Masyarakat Gunung Tambora. (2) Program Jalur Interpretasi Wisata Arkeologi Program interpretasi yang dapat dilaksanakan di jalur wisata arkeologi adalah (Gambar 36): Tapak Tilas Sejarah a. Tema: Pengenalan dan pengamatan situs-situs Kerajaan Tambora di sepanjang jalur wisata arkeologi Gunung Tambora.

46 101 b. Kelompok sasaran: usia >15 tahun (khususnya siswa Sekolah Menengah Atas). c. Tujuan: Memperkenalkan sejarah Kerajaan Tambora untuk menambah pengetahuan peserta, sehingga akan dapat merangsang tumbuhnya kesadaran peserta akan arti penting sejarah. d. Materi kegiatan: 1) Pengenalan sejarah Kerajaan Tambora. 2) Pengenalan budaya Kerajaan Tambora. 3) Menginterpretasikan situs-situs peninggalan Kerajaan Tambora. Gambar 36. Program Interpretasi Tapak Tilas Sejarah Gunung Tambora (Sumber: Wibisono, 2008). (3) Program Jalur Interpretasi Wisata Ekologi Program interpretasi yang dapat dilaksanakan di jalur wisata ekologi adalah (Gambar 37): 1. Lintas Alam

47 102 a. Tema: Pengenalan dan pengamatan keanekaragaman hayati yang terdapat di sepanjang jalur wisata ekologi sampai kawah Gunung Tambora. b. Kelompok sasaran: usia tahun. c. Tujuan: Memperkenalkan kondisi lingkungan Gunung Tambora (flora, fauna dan fenomena alam) untuk menambah pengetahuan peserta sehingga akan dapat merangsang tumbuhnya kesadaran peserta akan arti penting alam dan pelestariannya bagi manusia. d. Materi kegiatan: 1) Menginterpretasikan tumbuhan/vegetasi dan stratifikasi hutan yang ada di sepanjang jalur. 2) Menginterpretasikan kehancuran ekosistem hutan akibat dari hak pengusahaan hutan (HPH). 3) Menginterpretasikan satwa-satwa yang terdapat di sepanjang jalur. 4) Menginterpretasikan pemandangan alam yang terlihat dari jalur/track kearah Gunung Tambora, dan pemandangan ke arah luar laut (Gunung Rinjani). 5) Menginterpretasikan fungsi hidrologi hutan. 6) Menginterpretasikan geologis disepanjang jalur. 7) Menginterpretasikan padang pasir dan sisa aliran lava di sepanjang jalur puncak Gunung Tambora. 8) Menginterpretasikan fenomena alam (kawah Gunung Tambora). Gambar 37. Program Interpretasi Lintas Alam Gunung Tambora.

48 Jungle Survival a. Tema : Pengenalan dan pengamatan keanekaragaman hayati yang terdapat di sepanjang jalur wisata ekologi sampai kawah Gunung Tambora. b. Kelompok sasaran: Usia tahun. c. Tujuan: Memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk dapat bertahan hidup di dalam hutan. d. Materi kegiatan: 1) Pengenalan jungle survival. 2) Cara-cara survival di hutan 3) Pengenalan jenis-jenis tumbuhan dan satwa didalam hutan yang dapat dimanfaatkan (mulai dari identifikasi sampai cara-cara pemanfaatanya).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia termasuk Negara Kepulauan yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 240 gunung. Diantaranya, sekitar 70

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian. IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada jalur pendakian Gunung Tambora wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama

Lebih terperinci

KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN

KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN

KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN KAJIAN JALUR WISATA INTERPRETASI GUNUNG TAMBORA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT (NTB) MAS UDDIN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan 116 VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar perencanaan adalah mengembangkan laboratorium lapang PPDF sebagai tempat praktikum santri sesuai dengan mata pelajaran yang diberikan dan juga dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA. Abstrak

MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA. Abstrak MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA BERWAWASAN KONSERVASI DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO KABUPATEN SEMARANG Rahma Hayati Jurusan Geografi FIS -UNNES Abstrak Penelitian ini

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG Geografis dan Administrasi Kabupaten Sintang mempunyai luas 21.635 Km 2 dan di bagi menjadi 14 kecamatan, cakupan wilayah administrasi Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nusantara maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan. yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan di bidang pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. nusantara maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan. yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan di bidang pariwisata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak potensi alam baik di daratan maupun di lautan. Keanekaragaman alam, flora, fauna dan, karya cipta manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah merupakan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK

BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK 26 BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK 5.1 Konsep Pengembangan Ancol Ecopark Hingga saat ini Ancol Ecopark masih terus mengalami pengembangan dalam proses pembangunannya. Dalam pembentukan konsep awal,

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan. 23 1. Potensi Wisata Gunung Sulah Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP TAHAPAN KEGIATAN ARL ARL 200 Departemen Arsitektur Lanskap PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI /LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP Proses memahami kualitas &

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 55 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Ekologis Kawasan Gambut Karakter ekologis kawasan gambut Baning yang diperhatikan adalah kondisi fisik dan vegetasi dalam kawasan. Karakter ekologis terdiri dari ketebalan

Lebih terperinci

BAB III KAJIAN TAPAK KAWASAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL

BAB III KAJIAN TAPAK KAWASAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL BAB III KAJIAN TAPAK KAWASAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL Kabupaten Bantul adalah kabupaten yang terletak di bagian Selatan Barat daya Provinsi D.I. Yogyakarta. Kawasan ini terletak antara 07 44 04 08 00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera utara terletak di bagian timur p,secara geografis simalungun terletak pada 02 0 36 05-03 0

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan bentuk industri pariwisata yang belakangan ini menjadi tujuan dari sebagian kecil masyarakat. Pengembangan industri pariwisata mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Lebih terperinci

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak V. KONSEP 5.1. Konsep Dasar Perencanaan Tapak Konsep perencanaan pada tapak merupakan Konsep Wisata Sejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu. Konsep ini dimaksudkan untuk membantu aktivitas interpretasi

Lebih terperinci

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL ARSITEKTUR LANSKAP ARL 200 PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP Departemen Arsitektur Lanskap PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peraturan Pendakian

Lampiran 1. Peraturan Pendakian 93 Lampiran 1. Peraturan Pendakian 1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diberlakukan bagi pendaki gunung

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI 3.1. Umum Danau Cisanti atau Situ Cisanti atau Waduk Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Secara geografis Waduk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL Proyek yang direncanakan dalam Studio Konsep Perancangan Arsitektur (SKPA) berjudul Boyolali Historical Park sebagai Pengembangan Taman Sonokridanggo. Maksud dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interpretasi 2.1.1 Definisi dan Tujuan Interpretasi Tilden (1957) menyatakan bahwa interpretasi merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna,

Lebih terperinci

TINJAUAN PULO CANGKIR

TINJAUAN PULO CANGKIR BAB II TINJAUAN PULO CANGKIR II.1 GAMBARAN UMUM PROYEK Judul Proyek : Kawasan Rekreasi Kampung Pulo Cangkir dan Sekitarnya. Tema : Arsitektur Tradisional Sunda. Kecamatan : Kronjo. Kelurahan : Pulo Cangkir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat serbaguna dalam kehidupan. Selain sebagai sumber daya penghasil kayu dan sumber pangan yang diperlukan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemetaan geologi merupakan salah satu bentuk penelitian dan menjadi suatu langkah awal dalam usaha mengetahui kondisi geologi suatu daerah menuju pemanfaatan segala sumber daya yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan berbagai macam suku dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan berbagai macam suku dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan berbagai macam suku dengan adat istiadat yang berbeda,yang mempunyai banyak pemandangan alam yang indah berupa pantai,danau,laut,gunung,sungai,air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wana Wisata Kawah Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata Kawah Putih

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Luas KHDTK Cikampek adalah 51,10 ha. Secara administratif

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang bersedia mengeluarkan uang untuk mengisi waktu luang (leisure) dalam rangka menyenangkan diri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta DAFTAR PUSTAKA [BKSDA Jawa Tengah] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005a. Inventarisasi Potensi Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali. Semarang : Balai Konservasi

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, SP., MAgr, PhD. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Tujuan: Memahami dasar pemikiran merencana

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar pada perencanaan kebun agrowisata Sindang Barang adalah kebun produksi tanaman budidaya IPB untuk

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar pada perencanaan kebun agrowisata Sindang Barang adalah kebun produksi tanaman budidaya IPB untuk VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar pada perencanaan kebun agrowisata Sindang Barang adalah kebun produksi tanaman budidaya IPB untuk ditunjukkan pada pengunjung sekaligus sebagai pusat produksi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia dengan luas daratan 1,3% dari luas permukaan bumi merupakan salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman ekosistem dan juga keanekaragam hayati yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat beragam. Potensi tersebut menciptakan peluang pengembangan dan pengelolaan

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mapun pembahasan, penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah sebuah saujana yang

Lebih terperinci

PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN

PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terkenal dengan kekayaan keindahan alam yang beraneka ragam yang tersebar di berbagai kepulauan yang ada di Indonesia dan

Lebih terperinci

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara Lanskap Sejarah Aspek Wisata Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Keadaan Fisik Fungsi

KONDISI UMUM Keadaan Fisik Fungsi 19 KONDISI UMUM Keadaan Fisik Kebun Raya Cibodas (KRC) merupakan salah satu kebun raya yang terdapat di Indonesia. KRC terletak di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pintu gerbang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta terletak antara 70 33' LS ' LS dan ' BT '

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta terletak antara 70 33' LS ' LS dan ' BT ' BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di bagian selatan tengah Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan dan Propinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.LATAR BELAKANG. I.1.1.Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN I.1.LATAR BELAKANG. I.1.1.Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I.1.LATAR BELAKANG I.1.1.Latar Belakang Pengadaan Proyek Kabupaten Sleman merupakan bagian dari wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) dengan luas wilayah 547,82 km² atau

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci