Bab 5. Ringkasan. antara munculnya fenomena futoukou dengan school culture yang berlaku di sekolah

Transkripsi

1 Bab 5 Ringkasan Tujuan disusunnya penulisan ini adalah karena penulis tertarik dengan kasus futoukou yang terjadi di Jepang. Secara tidak sengaja, penulis menemukan hubungan antara munculnya fenomena futoukou dengan school culture yang berlaku di sekolah sekolah Jepang. Penulis mengambil data pendukung yang berasal dari situs Mentri Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang ( MEXT ) berupa grafik yang berkaitan dengan kasus futoukou di sekolah SD, SMP dan SMA Jepang. Berikut merupakan latar belakang, tujuan, dan hasil penelitian secara ringkas. Kata futoukou jika diartikan ke dalam bahasa Inggris, maka arti yang didapatkan adalah mangkir dari sekolah; siswa yang tidak masuk sekolah. Dalam kamus kanji, kata futoukou harus dibagi ke dalam dua bagian, yaitu fu yang berarti tidak, dan toukou yang berarti masuk sekolah. Sehingga futoukou dapat kita artikan sebagai siswa yang tidak masuk sekolah /dan membolos dari sekolah. Definisi dari futoukou adalah siswa yang tidak masuk sekolah dalam jangka waktu satu bulan atau lebih dalam waktu satu tahun ajaran. Faktor yang melatarbelakangi munculnya futoukou adalah adanya faktor psikologis, faktor emosi maupun faktor fisik dibalik faktor sosial yang dialami oleh siswa. Bukan disebabkan adanya permasalahan ekonomi maupun kesehatan. Selain itu, menurut Kerney dan Silverman ( 1996 ), seseorang anak yang membolos karena adanya perilaku bermasalah. Sehingga merasa tidak betah untuk berada di dalam kelas. Awalnya siswa dianggap sebagai futoukou jika membolos lebih dari 50 hari dalam waktu satu tahun ajaran. Akan tetapi jangka waktunya diperpendek menjadi 30 hari pada tahun Kasus futoukou menjadi salah satu fenomena yang menjadi perhatian besar bagi Departemen Pendidikan di

2 Jepang, di samping fenomena ijime yang sering dibahas dalam permasalahan pendidikan di Jepang maupun dalam manga atau dorama Jepang. School culture dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya futoukou pada siswa di Jepang. Liliweri (2003) memberikan beberapa teori budaya, tetapi inti dari teori teori tersebut adalah budaya merupakan nilai yang diturunkan atau diwariskan kepada semua anggota kelompok dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Dalam school culture, kebiasaan tersebut diwariskan oleh guru kepada siswa siswa di sekolah dan dijadikan sebagai sebuah kebiasaan. School culture memiliki empat bagian di dalamnya, terdiri dari budaya institusi sekolah, budaya para guru, budaya siswa dan budaya etos sekolah. Kemudian, setiap budaya memiliki sisi implisit dan sisi ekplisit. Di antara keempat budaya tersebut, budaya siswa sering mendapatkan pengaruh buruk dari ketiga budaya lainnya sehingga menyebabkan banyak permasalahan di antara siswa siswa. Pengertian dari setiap budaya tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya subjek dan nilai yang diwariskan saja yang berbeda. Sisi eksplisit memiliki arti yang sama dengan kata terang, gamblang, jelas, kentara ( Kamus Thesaurus, 2007: 168 ). Dengan demikian, sisi ekplisit dari budaya siswa berarti nilai siswa yang dapat terlihat oleh pihak luar selain siswa itu sendiri, yaitu guru. Dua bagian yang merupakan sisi eksplisit budaya siswa adalah nilai akademis dan peraturan sekolah ( Tomari dan Kudomi, 2007: 5 10 ). Nilai akademis merupakan tanggung jawab yang dibebankan oleh sekolah kepada guru. Nilai yang diperoleh siswa merupakan hasil dari pendidikan yang diberikan oleh guru, yang disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Bentuk pengajaran yang diterapkan oleh guru guru di sekolah Jepang bersifat intens, sangat menekan siswa dan keras dalam pembelajaran. Siswa siswa lebih bersifat pasif dibandingkan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Guru

3 berharap siswa siswanya mampu menghapalkan seluruh pelajaran yang telah dijelaskan sehingga pada saat ujian nilai yang diperoleh siswa pun bagus. Teori pendidikan klasik dari Sukmadinata ( 1997 ) yang menjelaskan bahwa teori pendidikan ini menekankan pada hasil daripada proses pembelajaran. Guru dianggap sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penampungnya. Di Jepang, seluruh guru mengikuti pelatihan sebelum resmi menjadi guru. Mereka diajarkan untuk mengajar siswa dengan pola yang sama. Siswa yang memiliki karakter mudah bosan, ketika menghadapi guru yang memiliki bentuk pengajaran yang sama, akan membuat mereka bosan. Tentu saja siswa tidak akan mendengarkan penjelasan dari guru yang bersifat monoton dan asik dengan hal hal lainnya. Bahkan memungkinkan adanya kecenderungan untuk membolos menghindari kegiatan belajar mengajar yang monoton. Selain itu, bentuk pengajaran yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar bersifat satu arah. Tidak semua siswa mampu memahami pelajaran dengan bentuk pengajaran satu arah. Sehingga mempengaruhi nilai siswa. Santrock ( 2009: 7 ) menjelaskan bahwa sistem pengajaran yang efektif adalah sistem pengajaran yang tidak menerapkan satu sistem pengajaran karena setiap anak memiliki variasi individu yang berbeda beda. Maka dari itu, sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru di Jepang merupakan sistem pengajaran yang tidak efektif. Sistem pengajaran yang tidak efektif mempengaruhi nilai akademis siswa. Siswa dengan nilai yang buruk, akan merasa minder dan menimbulkan pemikiran bahwa masa depannya tidak akan cerah, sehingga memicu mereka untuk membolos sekolah. Kemudian, nilai akademis yang diperoleh siswa juga bergantung pada motivasi mereka untuk belajar. Monbukagakushou mencatat bahwa rata rata jumlah waktu yang digunakan siswa untuk belajar sendiri adalah satu jam saja. Rendahnya waktu

4 yang digunakan siswa untuk belajar mandiri menunjukkan kurangnya motivasi siswa dalam belajar. Alasannya adalah keraguan mereka akan kegunaan pendidikan yang mereka pelajari di masa depannya. Selain itu, keadaan ekonomi keluarga yang rendah mengharapkan anak anaknya lebih cepat mencari pekerjaan, akan menjadi lebih baik. Sedangkan, masyarakat Jepang berkeyakinan memiliki sertifikat lulusan universitas akan menjamin masa depan yang cerah. Hal tersebut mempengaruhi motivasi siswa sehingga nilai prestasi mereka pun menurun dan akhirnya memicu munculnya futoukou. Peraturan sekolah di Jepang bersifat keras. Jika guru tidak mensosialisasikan sisi positif dari peraturan sekolah, siswa akan bersikap apatis. Komensky ( Albertoes, 2007: 234 ) mengatakan bahwa dalam mendisiplinkan siswa, hendaknya dididik dengan cara lunak sehingga mereka mengerti dan tidak akan mengulangi kesalahan kembali. Akan tetapi tidak demikian dengan guru di Jepang. Siswa tidak menyadari maksud baik dari peraturan dan guru pun tidak mensosialisasikan maksud dibalik peraturan sekolah. Sehingga siswa sering melanggar peraturan dan sering dihukum. Akibatnya mereka menjadi jenuh dengan peraturan dan hukuman yang harus mereka hadapi dan memilih untuk membolos saja. Pendisiplinan dalam bentuk hukuman fisik dominan dilakukan oleh guru. Siswa yang melanggar peraturan kerap dihukum dengan cara dipukul, berdiri di koridor, lari keliling lapangan, dijemur. Bahkan efek dari hukuman tersebut ada yang berujung pada kematian. Siswa lain menjadi takut dengan hukuman yang akan mereka terima jika melanggar peraturan. Sesuai dengan Komensky ( Albertoes, 2007: 234 ) yang menjelaskan bahwa pendisiplinan dalam bentuk kekerasan akan mengakibatkan sikap anti terhadap sekolah. Dengan luka psikologis yang mereka rasakan maupun mereka lihat memicu motivasi untuk membolos dari sekolah.

5 Sisi implisit dalam budaya siswa yang memicu futoukou adalah ijime. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat homogen. Jika terdapat perbedaan dalam anggotanya, maka perbedaan tersebut akan dihilangkan. Perilaku masyarakat semacam itu sesuai dengan teori solidaritas mekanis yang menekankan persamaan dalam kelompok. Jika terdapat perbedaan, maka akan diberikan hukuman bagi yang melanggar hukum persamaan ( Durkheim dalam Sunarto, 2004: 132 ). Ijime muncul karena adanya perbedaan dalam kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa adanya kelebihan atau kekurangan dari korban. Kelebihan yang dimaksud seperti pintar dalam pelajaran, jago olahraga, atau cantik. Kelebihan tersebut menimbulkan rasa iri dari anggota lainya sehingga mereka melakukan ijime terhadap siswa yang memiliki kelebihan. Sesuai dengan pernyataan dari Scaglione ( Sastra, 2009: ) yang menjelaskan salah satu penyebab terjadinya ijime adalah adanya rasa iri dari pelaku. Selain karena adanya rasa iri terhadap kelebihan, korban yang memiliki karakter lemah atau memiliki kekurangan dalam dirinya pun tidak luput menjadi korban. Nuryati ( 2005: ) menjelaskan bahwa siswa yang memiliki cacat fisik, memiliki karakter yang lemah, berasal dari keluarga miskin, pendiam dan sebagainya sering di ijime oleh teman temannya. Bentuk ijime yang lebih sering dilakukan adalah dengan cara mengejek, mengancam atau mengolok olok korban. Efek dari bentuk ijime tersebut lebih menyakitkan dari sisi psikologis korban. Hal ini sesuai dengan konsep ijime yang berlaku di Jepang, di mana ijime yang dilakukan lebih menyakiti sisi psikologis korban ( Monbukagakushou, 2009 ). Penderitaan psikis yang dialami korban membuat mereka merasa takut untuk bersekolah dan menghadapi teman temannya sehingga memicu siswa untuk menjadi futoukou.