BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
|
|
- Yulia Jayadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Penelitian ini berupaya untuk menemukan jawaban terhadap pokok masalah yakni Bagaimana penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia melakukan unjuk santun dalam berbahasa Indonesia. Masalah tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian (1) Indikator kebahasaan apa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (2) Bagaimana strategi yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (3) Prinsip-prinsip apa yang diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur dalam berunjuk santun? (4) Nilainilai kearifan lokal apa yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk kesantunan? Setelah melakukan kajian dengan menggunakan metode analisis kontekstual naturalistik terhadap tuturan penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dari aspek kebahasaan yang meliputi kesesuaian pilihan kata, kesantunan menggunakan kalimat, dan penggunaan intonasi serta strategi dan kearifan lokal dalam penunjukan kesantunan diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Indikator kebahasaan yang disepakati dan ditetapkan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia adalah: a. Kata yang sesuai dan halus, artinya kata tersebut memiliki nilai rasa bahasa yang secara khas kedaerahan bermakna penghormatan dan penghalusan sesuai dengan budaya daerah. Merujuk pada pernyataan itu, kata dan atau kelompok kata yang dimaksud ada yang berbentuk kata yang tidak sesuai dengan norma bahasa, namun ada pula bentuk yang sengaja dilakukan oleh penutur dengan melakukan campur kode antara 250
2 251 bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Contoh kata kasepuhan yang dirasakan oleh penutur lebih bernilai rasa halus daripada kata tokoh masyarakat. Kata mangga dirasakan lebih bernilai rasa halus daripada menggunakan kata silahkan. b. Kalimat literal tidak langsung, artinya kalimat yang digunakan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah kalimat yang tidak langsung tertuju pada maksud kalimat itu. Kalimat literal tidak langsung disamping berkonsekuensi pada kalimat tersebut merupakan kalimat panjang, kalimat tersebut juga memiliki makna implisit sehingga memerlukan penafsiran yang harus mendalam dari mitra tutur. Misalnya seorang penutur yang meminta kesediaan waktu dari mitra tutur untuk menerima dirinya bersilaturahmi akan menyatakan Maaf Pak mengganggu, barangkali ada waktu, kapan saya bisa bersilaturahmi? (dituturkan oleh seorang mahasiswa yang mau bimbingan dengan dosennya). c. Lagu tutur (langgam) hormat, artinya lagu tersebut bernada mengalun dengan tekanan tidak keras, pelafalan mengalami pemanjangan pada akhir kata dan berjeda lambat. Dalam bahasa Sunda, lagu tutur (langgam) hormat disebut lentong santun. Dari tiga unsur kebahasaan sebagai penentu kesantunan, lagu tutur (langgam) hormat (intonasi) dalam tuturan merupakan penentu utama penunjukan kesantunan berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia untuk aspek kebahasaan. Lagu tutur inilah yang akan memunculkan keberterimaan mitra tutur terhadap tuturan dari pihak penutur. Keberterimaan inilah hakikat isi komunikasi yang santun. 2. Strategi yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan Sunda- Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia terdiri atas penggunaan norma, penggunaan ragam bahasa dan relevansi. Strategi ini dikelompokkan
3 252 menjadi dua jenis, yakni (1) strategi bahasa dan (2) strategi cara. Strategi bahasa dilakukan melalui a. menggunakan kalimat literal tidak langsung; b. melakukan campur kode dan alih kode; c. menggunakan ungkapan baik ungkapan dalam bahasa daerah Sunda (babasan), pribahasa Sunda (paribasa) maupun ungkapan dan pribahasa dalam bahasa Indonesia. Strategi cara berunjuk santun berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah a. menggunakan fatis (basa-basi); b. melakukan perendahan diri peninggian martabat mitra tutur; c. mengangkat kearifan lokal bidang bahasa. Strategi kesantunan dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam dimensi budaya adalah strategi yang dinamakan trirasa yakni. a. Raba rasa, adalah ungkapan yang dapat diartikan sebagai upaya memahami keadaan perasaan orang lain; b. Balik rasa, merupakan ungkapan yang diartikan sebagai upaya introspeksi diri yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia akan berprinsip kondisi yang dirasakan oleh orang lain akan dirasakan pula oleh penutur; dan c. Genah rasa, adalah ungkapan yang memiliki makna senang, enak, yang timbul karena bahasa yang digunakan memiliki kepatutan dan kelayakan. 3. Prinsip-prinsip kesantunan yang harus digunakan dan diterima oleh penutur dan mitra tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun adalah penghormatan dan peninggian martabat mitra tutur (permufakatan). Disamping itu disepakati pula penjagaan dan penghormatan martabat diri melalui keberterimaan terhadap bentuk dan makna tuturan. Bentuk tuturan
4 253 merujuk pada kata dan kalimat yang jelas untuk diterima dan dipahami karena memiliki nilai kehalusan, makna tuturan merujuk pada maksud dan tujuan yang jelas yang terkandung dalam tuturan. 4. Kearifan lokal dalam bidang bahasa yang diangkat dan digunakan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam menunjukkan kesantunan berbentuk ungkapan dan pribahasa yang memiliki nilai-nilai a. Pernyataan bijaksana sebagai falsafah kehidupan (Sunda = wawaran luang), contoh Silih asah silih asih silih asuh; b. Pendorong berperilaku baik (Sunda = pangjurung laku hade), contoh Hade ku basa goreng ku basa; dan c. Pencegah perilaku salah (Sunda = panyaram lampah salah), contoh Ulah getas harupateun; 5.2 Implikasi Bahasa merupakan nikmat Allah yang manusiawi dan komunikatif. Allah mengajarkan (manusia) pandai berbicara (Al-Qurat surat Ar-rahman ayat 4). Dengan bahasa kita bisa berkomunikasi dengan sesama dan dengan bahasa pula kita berpikir untuk membuat kehidupan ini lebih maju dalam bingkai Silih asih, silih asah, silih asuh. Bahasalah yang akan membawa kekehidupan ini tentram atau sebaliknya sebuah bangsa bisa hancur karena bahasa. Berbahasa berarti menggunakan bahasa untuk saling menyampaikan dan menerima pesan antara penutur dan mitra tuturnya. Pesan sebagai isi komunikasi dan penutur akan diterima dan ditindkalanjuti oleh mitra tutur jika komunikasi berlangsung lancar karena tidak terhambat oleh penentu keharmonisan komunikasi. Salah satu penentu keberhasilan (kelancaran) komunikasi itu adalah penutur menggunakan cara berkomunikasi yang diterima oleh mitra tutur. Hal yang dimaksud adalah santun berbahasa. Dengan memperhatikan kesantunan berbahasa pelaku komunikasi yang saling menghormati, saling menjaga martabat diri, saling
5 254 menyampaikan dan menerima pesan dengan menaati norma kebahasaan dan nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku dan dipelihara oleh masyarakat. Kesantunan tak terbatas siapa pelaku komunikasi, kapan berkomunikasi, dimana berkomunikasi dan bagaimana situasi komunikasi. Seseorang anak harus santun kepada orang tuanya, gurunya, teman sebayanya, orang yang lebih tinggi usianya, demikian juga sebaliknya. Orang tua harus santun kepada anaknya (sekaligus memberi contoh), guru harus santun kepada anak didiknya (mendidik), seseorang yang lebih tua harus santun kepada yang lebih muda, seseorang harus santun pula pada teman sebayanya. Kesantunan tidak akan merendahkan martabat diri seseorang, malah sebaliknya, kesantunan dalam berbahasa akan menempatkan diri orang tersebut pada karakter (santun) yang terpuji. Kapan dan dimana berkomunikasi menuntut kita memahami dan menerapkan konsep bahasa yang baik. Bahasa yang baik diartikan sebagai bahasa yang pemakaiannya memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Bahasa yang santun adalah bahasa yang memperhatikan tempat dan waktu komunikasi. Setting and scene sebagai salah satu indikator kesantunan menurut Dell Hymes (1978) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. Dengan begitu bahasa yang baik adalah bahasa yang santun. Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang majemuk dengan bahasa dan budaya satu sama lain berbeda. Kenyataan terdapatnya perbedaan tersebut jangan sampai mengurangi nilai-nilai kesantunan karena dapat dipastikan setiap bahasa mempunyai piranti kesantunan bahasa dan budaya masing-masing yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya yang terkait dengan pilar-pilar karakter (santun) baik yakni: 1) mencintai Allah dan ciptaan-nya; 2) memiliki kemandirian dan tanggung jawab; 3) menjungjung nilai kejujuran; 4) melaksanakan amanah; 5) bersikap horamt/ santun; 6) memiliki rasa percaya diri, kreatif dan ulet; 7) memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan; 8) bersikap rendah hati; dan 9) bertoleransi pada sesama.
6 255 Santun dalam berbahasa artinya menggunakan nila-nilai yang benar tentang bahasa dan memperhatikan kebaikan serta norma kemasyarakatan dalam berkomunikasi, lingkungan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi pemakaian bahasa. Kegiatan berbahasa akan terkait dengan lingkungan sosial budaya dan kesantunannya akan terkait dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Lingkungan sosial budaya merasakan betapa perlunya anggota masyarakat santun dalam berbahasa. Dengan kesantunan, lingkungan sosial budaya akan beroleh keharmonisan dalam berkomunikasi, kerukunan dalam bermasyarakat, dan kenyamanan dalam berkehidupan. Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kepribadian/karakter (santun) berbahasa santun akan merasakan kesantunan sebagai bagian penting dan proses pendidikan, khususnya pendidikan formal. Sekolah berada dalam lingkungan masyarakat bahkan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Jawaban siapa yang ada di sekolah (siswa, guru, karyawan, pimpinan) mengisyaratkan bahwa sekolah juga merupakan institusi sosial. Untuk itu sekolah harus menjadi gambaran (miniatur) dan masyarakat lingkungannya (Sauri, 2006). Sistem pendidikan di sekolah harus mampu menjadikan siswa memiliki kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh siswa selama dan sesudah mengikuti pendidikan. Komunikasi yang diharapkan dalam pendidikan adalah komunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif sehingga akhirnya siswa dapat berkomunikasi yang memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Bahasa yang komunikatif dan memberikan nilai positif bagi penutur dan mitra tuturnya disebut juga bahasa santun. Dengan demikian, pendidikan barus bisa mewujudkan pendidikan berbahasa santun. Kesantuan sebagai salah satu tujuan pendidikan bahasa belum menunjukkan pencapaian hasil yang membanggakan. Bahkan ironisnya, kesantunan dalam bahasa mengalami pengikisan. Orang tua sering mengeluhkan anaknya menggunakan bahasa yang tidak menunjukkan kesantunan, demikian guru juga merasakan siswa-siswanya
7 256 belum bisa membedakan mana bahasa santun dan mana bahasa yang tidak santun. Dalam tanyangan telivisi tak jarang kita lihat, orang-orang terhormat (pejabat pemerintah) kurang bahkan tidak menunjukkan kesantunan ketika berbahasa. Kesantunan dalam berbahasa dapat dibentuk dan diwujudkan dalam proses pendidikan (pembelajaran) yang tidak hanya melibatkan pihak sekolah (siswa, guru) melainkan juga pelibatan lingkungan masyarakat. Untuk ini diperlukan strategi yang terus menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Sauri (2006:72) berpendapat pengembangan strategi pendidikan berbahasa santun diartikan sebagai upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah. Hal yang akan menjadi penanda pertama karakter (santun) seseorang yang bisa diamati adalah penggunaan bahasanya. Kebenaran seseorang dalam berbahasa (tidak berbohong), kedermawanan (memberikan keuntungan), kebaikan (memperhatikan situasi) dan kehalusan dalam berbahasa akan menunjukan bahwa pemakai bahasa itu mempunyai satu sisi karakter (santun) yang positif yakni santun. Berbahasa bukan hanya sekedar menuturkan bunyi-bunyi yang bermakna ke dalam rentetan kata dan kalimat agar dipahami oleh orang lain. Perbuatan berbahasa melibatkan aspek mental yang bertemali dengan sikap dan perilaku komunikasi. Dalam tataran bahasa, kita mengenal adanya komponen sikap bahasa yakni kesetiaan berbahasa, kebanggaan berbahasa, kesadaran adanya norma bahasa. Pemakaian bahasa yang tidak melibatkan aspek mental (sikap) akan menjadikan bahasa sebagai pemicu terjadinya berbagai masalah kemanusiaan seperti yang dapat kita temukan sekarang (dekadensi moral). Orang tua menyatakan keanehan dan kegundahannya karena anak-anaknya bersikap, berbahasa, dan berperilaku kasar kepada temanteman, saudara, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Guru-guru di sekolah pun merasa prihatin karena siswa-siswanya kurang mempunyai sikap hormat ketika
8 257 berkomunikasi di sekolah. Masyarakat sering dibuat resah oleh tawuran siswa dan perkelahian masal akibat bahasa yang digunakan bersifat saling mengejek. Demikian adanya pemakaian bahasa yang menunjukan karakter (santun). Bahasa, karakter, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bahasa yang mengesampingkan karakter akan menjadikan lulusan yang tidak berkarakter positif sehingga berkemungkinan berpengaruh terhadap martabat bangsa. Lickona (2001) mengungkapkan sepuluh tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, yakni 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; 2) penggunaan kata dan bahasa yang memburuk; 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri; 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) menurunnya etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan negara; 9) membudayanya ketidakjujuran; dan 10) adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama. Kalau semua ciri itu kita perhatikan, pada hakikatnya semua itu bermula dari pemakaian bahasa yang tidak berkarakter (santun). Bahasa yang tidak berkarakter (santun) bisa saja bersumber dari pendidikan bahasa yang tidak menghubungkan bahasa dan pembelajarannya dengan pendidikan karakter (santun). Perlunya pendidikan karakter (santun) seakan-akan tak pernah berhenti dibicarakan, dibahas dalam berbagai kesempatan baik dalam situasi formal akademis maupun dalam pembicaraan-pembicaraan atau tulisan-tulisan di media masa. Hampir semuanya berpendapat bahwa karakter (santun) bangsa ini telah mengalami dekandensi sehingga disana-sini muncul perilaku anak bangsa yang tidak lagi sesuai dengan norma dan nilai keagamaan, etika sosial, dan nila-nilai pendidikan yang dijadikan sebagai kerangka dasar acuan dalam bersikap dan berprilaku. Dari berbagai masalah karakter (santun) yang muncul, pendidikan dijadikan sebagai tersangka yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan moral dan hilangnya karakter (santun) bangsa yang selama ini terkenal oleh bangsa lain sebbagai bangsa yang beradab. Pendidikan dituduh telah gagal dalam mengemban misinya sehingga
9 258 dinyatakan tidak mampu lagi melahirkan generasi yang bisa membangun dirinya dan bangsanya melalui kecerdasan akademik, kekuatan spiritual, dan kebaikan karakter (santun). Pendidikan karakter (santun) bukan merupakan sesuatu yang baru dalam pendidikan kita. Kita tidak boleh lupa apa yang dikatakan Kihajar Dewantara tentang tujuan pendidikan dan fungsi pendidikan sebagaimana tersirat pada pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter (santun) serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, wacana publik selama ini tentang pendidikan karakter (santun) sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Selama ini pembahasan-pembahasan pendidikan karakter (santun) seolah-olah menjadi objek bahasan pendidikan nilai, pendidikan moral, dan kewarganegaraan, padahal sebetulnya harus merupakan pendidikan integratif apalagi dalam pendidikan formal disekolah-sekolah. Bahasa dan pendidikan bahasa harus mampu memberikan kontribusi pada pendidikan karakter (santun) karena karakter (santun) itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Art-Ong (Makalah Human Values Integrated Instructional Model dapat dibentuk melalui pendidikan/pembelajaran ). Guru mesti membentuk karakter (santun) yang baik pada diri siswa. seorang yang berkarakter (santun) adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan. Nilai-nilai tersebut terkait dalam tuntutan berbahasa dan pembelajarannya, yakni santun berbahasa dan pembelajaran bahasa yang santun. Pendidikan bahasa santun pada masyarakat tidak berbatas empat dinding kelas yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya pendidikan berbahasa santun adalah pembentukan dan atau pengubahan karakter peserta didik. Model yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam melakanakan pendidikan bahasa santun dilakukan melalui langkah-langkah
10 Pengertian + pemahaman; 2. Pembelajaran + pembinaan; 3. Pemodelan + peneladanan; 4. Pelatihan + pembiasaan. Pengertian dimaksudkan sebagai proses mengartikan konsep-konsep yang bersifat teoretis praktis. Sekaitan dengan pendidikan kesantunan, pengertian yang bersifat pengetahuan diharapkan dimiliki oleh peserta didik sebagai dasar atau pondasi untuk kemampuan berbahasa santun. Dengan demikian dalam konteks pendidikan berbahasa santun yang dipentingkan bukan hafal teori-teori santun berbahasa melainkan memiliki pengetahuan-pengetahuan praktis untuk bisa berbahasa santun. Pemahaman merupakan penyerta pengertian. Dengan memahami pesertas didik akan memiliki kesadaran sehingga timbul atau terbentuk sikap positif terhadap kesantunan berbahasa. Sikap inilah yang akan menjadi dasar untuk perilaku berbahasa santun. Pembelajaran berbahasa santun harus diupayakan untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam peserta didik karena setiap individu mempunyai potensi yang bisa dikembangkan sehingga bisa diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan. Sekaitan dengan pendidikan berbahasa santun, pembalajaran merupakan proses yang bisa dibentuk sesuai dengan kemampuan masing-masing individu dalan berbahasa. Pembelajaran berbahasa santun harus dilakukan melalui penambahan porsi kegiatan melalui proses pembinaan. Proses pembinaan lebih diarhakna pada penanaman sikap positif terhadap bahasa yang dipelajari di samping menumbuhkembangkan keinginan untuk lebih tau dan lebih bisa. Proses pendidikan bahasa santun tidak cukup mengandalkan hal-hal yang bersifat teori dan pengetahuan melainkan harus diupayakan terwujudnya sebuah model yang akan dijadikan sebagai contoh perilaku. Dalam konteks pendidikan berbahasa santun pemodelan merupakan hal yang sangat penting karena memungkinkan peserta didik tidak mengalami verbalisme. Tanpa adanya model yang
11 260 nyata sebagai contoh penggunaan berbahasa santun dalam berbagai konteks, peserta didik hanya akan bisa menghafal dan mengetahui teori berbahasa santun tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya. Model dalam pendidikan bahasa santun harus merupakan sosok yang patut dijadikan teladan. Oleh karena itu, peneladanan harus dilakukan setelah pemodelan. Dengan adanya peneladanan, peserta didik akan tumbuh kepercayaannya sehingga akan menajdikan yang bersangkutan memiliki keyakinan bahwa yang sedang dilakukannya merupakan hal yang positif dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Langkah berikutnya adalah pelatihan dan pembiasaan. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang akan dimiliki seseorang melalui proses berlatih. Dalam konteks pendidikan kesantunan berbahasa, peserta didik diberi kesempatan yang sangat leluasa untuk melakukan latihan yang didasari oleh stimulus penggunaan bahasa yang santun. Latihan yang dimaksud dalam konteks ini adalah latihan yang terstruktur dan berkesinambungan. Pelatihan tidak akan memberi perubahan yang sangat signifikan tanpa diikuti oleh pembiasaan. Proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses membiasakan bertutur dengan pola-pola bahasa yang diketahui oleh penuturnya. Bahasa merupakan serangkaian kebiasaan, oleh karena itu dalam konteks pendidikan bahasa yang santun harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan pesertad didik dapat membiasakan kemampuan-kemampuan berbahasa yang dimilikinya. berikut. Sistematika kegiatan pendidikan berbahasa santun dapat dikemukakan sebagai 1. Penentuan tujuan pendidikan; 2. Penentuan konteks penggunaan bahasa; 3. Penentuan materi pendidikan; 4. Penentuan metode pendidikan; 5. Penentuan media pendidikan; 6. Penentuan sumber pendidikan;
12 Penentuan langkah-langkah pendidikan; 8. Penentuan penilaian sikap; 9. Penentuan penilaian unjuk kerja. Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan berencana untuk mencapai tujuan. Pernyataan ini akan memberikan makna bahwa pendidikan berbahasa santun harus didasari oleh adanya kesadaran, pentingnnya penggunaan bahasa santun dalam berkomunikasi. Proses pendidikan yang dimaksud harus dilaksanakan secara berencana karena pendidikan berbahasa santun jangan sampai memunculkan peserta didik yang kurang bisa menggunakan hasl belajarnya dalam kepentingan pemakaian bahasa sesungguhnya. Pendidikan berbahasa santun harus bertujuan untuk mewujudkan peserta didik (masyarakat) yang mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa-bahasa yang diterima oleh masyarakat karena bahasa tersebut sesuai dengan norma bahasa itu dan sesuai pula dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tempat digunakannya bahasa itu. 5.3 Rekomendasi Penelitian yang telah menghasilkan deskripsi karakteristik kemampuan penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Kehidupan bermasyarakat keberlangsungannya sangat ditentukan oleh keberhasilan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Keberhasilan komunikasi ini ditentukan oleh pemahaman dan penggunaan bahasa yang santun. Oleh karenanya, untuk mewujudkan kesantuanan dalam berbahasa hendaknya penutur dan mitra tutur memperhatikan norma bahasa dan nilainilai sosial budaya masyarakat yang berlaku dan diterima oleh masyarakat. 2. Penutur dan mitra tutur hendaknya menggunakan kata, kalimat, dan intonasi yang mengindikasikan penunjukan kesantunan sehingga mitra tutur menunjukan simpati pada penutur.
13 Penutur dan mitra tutur (masyarakat) hendaknya berkomunikasi melalui bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. a. Perlukah bertutur, dengan siapa bertutur, bagaimana cara bertutur. b. Dalam berkomunikasi hendaknya pelaku komunikasi memperhatikan strategi raba rasa, balik rasa, genah rasa. 4. Budaya daerah memiliki nilai-nilai kebaikan yang telah tertanam dan dipeliharaa oleh masyarakatnya. Nilai-nilai kebaikan ini harus diimplementasikan dalam kehidupan modern sekarang karena memiliki kearifan lokal dalam bidang bahasa berisi fatwa-fatwa atau petuah kepada masyarakat budaya itu agar berbudi pekerti baik dan berbahasa dengan santun. Penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia harus paham berikutnya mengaplikasikan kearifan lokal dalam bidang bahasa sebagai berikut. a. Hade ku basa goreng ku basa; b. Kudu bisa silih asih, silih asah, silih asuh; c. Sangkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. 5. Penelitian sejenis yang akan mengembangkan penelitian ini akan memperkaya khasanah keilmuan dan konsep kesantunan yang masih belum memiliki kebakuan. Oleh karenanya sangat dinantikan keterwujudannya.
R HENDARYAN, 2015 EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berbahasa pada hakikatnya merupakan kegiatan berkomunikasi melalui tuturan-tuturan yang berisi pesan komunikasi. Dalam proses ini pelaku komunikasi (penutur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Problem kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit pada sebagian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Problem kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit pada sebagian generasi muda. Gejala kemerosotan moral antara lain diindikasikan dengan merebaknya kasus penyalahgunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian terhadap ekspresi kesantunan dalam tuturan bahasa Indonesia yang difokuskan pada cara berunjuk santun dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Lebih terperinciPERAN PENDIDIK DAN SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK. Oleh : S.Wisni Septiarti, M.Si Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
PERAN PENDIDIK DAN SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK Oleh : S.Wisni Septiarti, M.Si Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Paper disampaikan dalam acara seminar parenting Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh akhlak bangsa tersebut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh akhlak bangsa tersebut. Bangsa yang menjunjung tinggi dan membiasakan akhlak mulia diikuti dengan penguasaan ilmu pengetahuan
Lebih terperinciABSTRAK
STIMULUS KESANTUNAN BERBAHASA MEMBENTUK KARAKTER PADA ANAK Octaria Putri Nurharyani Roch Widjatini Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Email: octariaputri97@gmail.com ABSTRAK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan karakter siswa yang diharapkan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan elemen yang sangat penting dalam perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program pendidikan yang ada diperlukan kerja keras
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. produk dengan kualitas-kualitas yang lebih baik. Untuk memenuhi. sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memerlukan sumberdaya manusia yang kompetitif dalam pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak mengabaikan aspek substansial yaitu spiritual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masyarakat terus berkembang dan berubah menyesuaikan dengan kondisi jaman dan peradaban. Manusia sebagai bagian dari perkembangan jaman adalah faktor penentu keberlangsungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas Sumber
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa paling sensitif dalam kehidupan manusia yang biasanya berlangsung antara usia 12 hingga 18 tahun. Dalam masa ini seseorang bukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dengan potensi tersebut, seseorang akanmenjadi manfaat atau tidak untuk dirinya
BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membantu peserta didik mengembangkan seluruh potensinya (hati, pikir, rasa, dan karsa, serta raga). Dengan potensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan yang bermula dari seluruh negara di dunia yang dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan early childhood
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan manusia untuk
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Chaer (2011: 1) mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi, bersifat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Atik Rahmaniyar, 2015
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan karakter secara eksplisit maupun implisit telah terbentuk dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan. Fenomena tersebut sebenarnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah tapi di rumah dan di lingkungan sosial, bahkan sekarang ini peserta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan bahwa akhlak bersifat abstrak, tidak dapat diukur, dan diberi nilai oleh indrawi manusia (Ritonga,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat menciptakan kemajuan peradaban dan kualitas hidup bangsa. Dalam penyelenggaraan pendidikan faktor pembentukan
Lebih terperinciSTRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMP NEGERI 3 MALANG
STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMP NEGERI 3 MALANG SKRIPSI Ditujukan kepada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lebih terperinci2 Menetapkan : Negara Republik Indonesia Nomor 4496) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas P
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1314, 2014 KEMENDIKBUD. Instruktur. Kursus Dan Pelatihan. Kompetensi. Kualifikasi. Standar. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha pembinaan dan pengembangan generasi muda terus ditingkatkan sejalan dengan proses pembangunan nasional yang terus berlangsung baik didalam pendidikan formal sekolah
Lebih terperinciSTANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI INSTRUKTUR
SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI DAN KOMPETENSI INSTRUKTUR PADA KURSUS DAN PELATIHAN STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Pendidikan dapat dimaknai sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Pendidikan sebagai hak asasi manusia telah dilindungi oleh undangundang dan hukum, sehingga setiap individu memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai keragaman sosial, suku bangsa, kelompok etnis, budaya, adat istiadat, bahasa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan
Lebih terperincipentransferan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Kebudayaan R.I. Fuad Hasan berpendapat bahwa, "Sebaik apapun kurikulum jika
2 bahwa guru merupakan pihak pertama yang paling bertanggung jawab dalam pentransferan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Terkait dengan pernyataan tersebut, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyimpangan sosial di kalangan pelajar, terutama yang berada di jenjang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyimpangan sosial di kalangan pelajar, terutama yang berada di jenjang pendidikan setingkat sekolah menengah atas (SMA), semakin memprihatinkan. Misalnya, penyalahgunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bab II Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
Lebih terperinci2016 ANALISIS POLA MORAL SISWA SD,SMP,SMA,D AN UNIVERSITAS MENGENAI ISU SAINS GUNUNG MELETUS D ENGAN TES D ILEMA MORAL
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia termasuk negara yang sering terjadi bencana alam, seperti banjir, gunung meletus dan lain-lain. Salah satu yang sering terjadi pada tahun 2014 adalah gunung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengalami gejolak dalam dirinya untuk dapat menentukan tindakanya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia anak-anak merupakan usia yang sangat penting dalam perkembangan psikis seorang manusia. Pada usia anak-anak terjadi pematangan fisik yang siap merespon apa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Banyaknya fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat, khususnya kasus-kasus
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Banyaknya fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat, khususnya kasus-kasus yang terjadi di sekolah hingga perguruan tinggi, seperti tawuran, aksi pornografi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia seutuhnya yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan bagi negaranya. Hal ini selaras dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah
BAB I PENDAHULUAN Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah yang meliputi: 1) Bagaimana efektivitas kebijakan pendidikan Budi Pekerti pada komunitas Homeschooling sekolah Dolan
Lebih terperincikeunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada (Yamin, 2010:64). Tetapi terkadang dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai keragaman di setiap wilayahnya membuat Indonesia disebut sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semakin pesat dapat membawa perubahan kearah yang lebih maju. Untuk itu perlu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat dapat membawa perubahan kearah yang lebih maju. Untuk itu perlu disiapkan Sumber Daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai mencapai kedewasaan masing-masing adalah pendidikan. Pengalaman
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Aspek kehidupan yang harus dan pasti dijalani oleh semua manusia di muka bumi sejak kelahiran, selama masa pertumbuhan dan perkembangannya sampai mencapai kedewasaan
Lebih terperinci2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berisi rumusan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi moralitas, sebagaimana disebutkan dalam
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusiayang berkualitas dan berkarakter.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan diselenggarakan dalam rangka mengembangkan pengetahuan, potensi, akal dan perkembangan diri manuisa, baik itu melalui jalur pendidikan formal,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, oleh sebab itu hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat.di mana pengalaman-pengalaman yang didapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usia 0-6 Tahun merupakan usia yang sangat menentukan pembentukan karakter dan kecerdasan seorang anak.anak pada usia dini berada pada proses perkembangan yang sangat
Lebih terperinciPENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1 Oleh Drs. H. Syaifuddin, M.Pd.I Pengantar Ketika membaca tema yang disodorkan panita seperti yang tertuang dalam judul tulisan singkat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan. dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dari budaya
Lebih terperinciSTANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI
STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI Disajikan pada kegiatan PPM Di UPTD BALEENDAH KAB BANDUNG Oleh BABANG ROBANDI JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Makna Kompetensi
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. Salah satu wacana yang menarik dalam studi globalisasi adalah hipotesis tentang
BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi memberi pengaruh penting pada kondisi negara Indonesia. Salah satu wacana yang menarik dalam studi globalisasi adalah hipotesis tentang homogenitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemajuan sebuah negara. Maka dari itu, jika ingin memajukan sebuah negara terlebih dahulu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan di dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam menentukan
Lebih terperinciKELUARGA ADALAH MINIATUR PERILAKU BUDAYA. Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin
KELUARGA ADALAH MINIATUR PERILAKU BUDAYA Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin i Topik Makalah Keluarga Adalah Miniatur Perilaku Budaya Kelas : 1-ID08 Tanggal Penyerahan Makalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman selalu berubah setiap waktu, keadaan tidak pernah menetap pada suatu titik, tetapi selalu berubah.kehidupan manusia yang juga selalu berubah dari tradisional menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru perilaku orang tua. Orang tua memiliki peran penting dalam membimbing, mengawasi, mengarahkan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin
8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Lia Venti, dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya
Lebih terperinciPERAN GURU DALAM MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR 1
PERAN GURU DALAM MENANAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR 1 Fauzatul Ma rufah Rohmanurmeta 2 IKIP PGRI Madiun ABSTRAK Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh guru kepada peserta didik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan di bidang pendidikan yang dialami bangsa Indonesia pada saat ini adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pembentukan watak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan manusia yang berkualitas dan berkarakter.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan seseorang atau individu menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus mendapatkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fenomena yang menarik pada zaman modern di Indonesia adalah pemahaman dan implementasi tentang nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara. Secara eksplisit pendidikan karakter adalah amanat Undang-undang Nomor 23
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. isinya. Beberapa pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Peribahasa Jawa cukup banyak jumlahnya dan beraneka ragam isinya. Beberapa pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ajaran moral yang cukup tinggi terkandung di dalamnya.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, dunia pendidikan menghadapi berbagai masalah yang sangat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Fenomena merosotnya karakter kebangsaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Guru dan siswa dalam dunia pendidikan merupakan dua komponen penting,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Guru dan siswa dalam dunia pendidikan merupakan dua komponen penting, hal ini yang menyebabkan adanya interaksi antara keduanya, karena satu sama lain saling membutuhkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai orang tua kadang merasa jengkel dan kesal dengan sebuah kenakalan anak. Tetapi sebenarnya kenakalan anak itu suatu proses menuju pendewasaan dimana anak
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lunturnya rasa solidaritas. Hampir setiap hari orang disibukkan dengan kegiatan
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salim dan Kurniawan (dalam Kurniawan, 2013: 17) mengatakan bahwa kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tinggi yang mencapai puncaknya. Seiring berkembangnya zaman, rasa. nasionalisme dikalangan pemuda kini semakin memudar.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini sangatlah kompleks, salah satunya memudarnya semangat nasionalisme. Para pemuda pada zaman kolonialisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Generasi muda adalah generasi penerus bangsa. Membangun manusia Indonesia diawali dengan membangun kepribadian kaum muda. Sebagai generasi penerus, pemuda harus
Lebih terperinciBAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan berlangsung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Noviyanto, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah peradaban dalam suatu bangsa akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar, filusuf, yang mengatakan bahwa faktor moral
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah kompleks, salah satunya karena lemahnya pemahaman para generasi muda sebagai generasi penerus bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. generasi muda bangsa. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekaligus menjadi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia saat ini sedang dihadapkan kepada situasi yang kurang menguntungkan. Kondisi ini terjadi sejalan dengan semakin banyaknya kenyataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN KAJIAN KETERBACAAN DAN NILAI KARAKTER TEKS ARTIKEL HARIAN KOMPAS SERTA UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR MEMBACA KRITIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan salah satu keterampilan yang berkaitan erat dengan keterampilan dasar terpenting manusia yaitu berbahasa. Oleh karena itu, keterampilan membaca
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu dimana manusia mempunyai perasaan, jiwa, hati dan pikiran masing-masing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Zuriah (2007:22), Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasi dan menyederhanakan sumber-sumber moral
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam. Undang Undang No 2/1989 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas
BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No 2/1989 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuan pada Bab II, Pasal
Lebih terperinciBAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar
Profesi Keguruan Rulam Ahmadi BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU A. Kompetensi Dasar Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar kompetensi guru yang meliputi guru PAUD/TK/RA, guru SD/MI,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan tujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea 4 dinyatakan bahwa negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan tujuan tersebut, setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu
BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap manusia. Pendidikan dapat dilakukan baik secara formal maupun non formal. Setiap pendidikan tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengembangan karakter saat ini sangat penting untuk mendidik generasi muda di Indonesia. Karakter perlu dikembangkan mengingat banyak sekali penyimpangan sosial
Lebih terperinciPENDIDIKAN MELALUI KETELADANAN: SOLUSI MENGURANGI TAWURAN PELAJAR TAMRIN
PENDIDIKAN MELALUI KETELADANAN: SOLUSI MENGURANGI TAWURAN PELAJAR TAMRIN (Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan) Tawuran antara pelajar sering terjadi, terutama di kota-kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. didik (siswa), materi, sumber belajar, media pembelajaran, metode dan lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sebagai suatu proses merupakan suatu sistem yang melibatkan berbagai komponen antara lain komponen pendidik (guru), peserta didik (siswa), materi,
Lebih terperinciBULETIN ORGANISASI DAN APARATUR
BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DIMENSI PROSES BELAJAR DAN PEMBELAJARAN (Dapat Dijadikan Bahan Perbandingan dalam Mengembangkan Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lembaga Diklat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Bangsa yang memiliki karakter tangguh lazimnya tumbuh berkembang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa yang memiliki karakter tangguh lazimnya tumbuh berkembang makin maju dan sejahtera, namun yang terjadi pada bangsa Indonesia justru nilai-nilai dan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hasil penelitian implementasi gaya kepemimpinan transformasional kepala madrasah dalam pembentukan guru berkarakter (Studi Kasus di MTs Negeri Kotaagung)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga pendidikan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian, karakter, serta tingkah laku moral para peserta didik. Di bangku sekolah, para peserta
Lebih terperinciPERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN MORAL BAGI ANAK USIA DINI. Ati Sukmawati Dosen Jurusan Pendidikan IPA Biologi FITK IAIN Mataram.
PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN MORAL BAGI ANAK USIA DINI Ati Sukmawati Dosen Jurusan Pendidikan IPA Biologi FITK IAIN Mataram Abstrak Pendidikan sebagai sarana pelestarian moralitas sekaligus pengembangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa guna mencapai tujuan pendidikan nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm Fathul Mu in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan. Sebagai sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan manusia. Pertama, ia bisa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku.
Lebih terperinciETOS KERJA PELATIHAN OPERATOR WHEEL LOADER MODUL : WLO - 01 PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI
PELATIHAN OPERATOR WHEEL LOADER MODUL : WLO - 01 ETOS KERJA DEPARTEMEN DEPARTEMEN PEKERJAAN PEKERJAAN UMUM UMUM BADAN BADAN PEMBINAAN PEMBINAAN KONSTRUKSI KONSTRUKSI DAN DAN SUMBER SUMBER DAYA DAYA MANUSIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyebutkan bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu proses pemuliaan diri yang di dalamnya terdapat tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain. Bahasa sebagai alat komunikasi dibagi menjadi dua yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
Lebih terperinci