BAB I PENDAHULUAN. Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi juga dilindungi oleh negara-negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi. 1 Pengungsi dapat terjadi disetiap negara yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang membuat seseorang lebih memilih untuk berpindah (mengungsi) dari negara asalnya ke negara lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak aman bagi seseorang atau kelompok, apabila tetap berada pada wilayah negara tertentu, jadi demi keamanan dan keselamatan orang, kelompok tersebut memilih untuk berpindah kewilayah negara yang lebih aman bagi mereka. Hukum pengungsi internasional mengatur bahwa tidak semua orang atau kelompok yang berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta dikategorikan sebagai pengungsi. Banyak dari orang atau kelompok yang berpindah dari negaranya dengan cara illegal. Illegal disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum internasional. 2 1 Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol.20 No.2 Juni Hlm 9 2 Ibid. Hlm 10 2

2 Masalah pengungsi dan pemindahan orang didalam negeri merupakan persoalan yang paling pelik yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini. Sejumlah orang menyerukan ditingkatkannya kerjasama dan koordinasi antara lembaga pemberi bantuan, sebagian lain menunjuk pada celah-celah dalam peraturan internasional dan menghimbau disusunnya standarstandar dalam bidang ini lebih jauh lagi. Bagaimanapun, setiap orang setuju bahwa persoalan ini merupakan masalah multidimensional dan global. Oleh karenanya setiap pendekatan dan jalan keluar harus dilakukan secara komprehensif dan menjelaskan semua aspek permasalahan, dari penyebab eksodus massal sampai penjabaran respon yang perlu untuk menanggulangi rentang permasalahan pengungsi, dari keadaan darurat sampai pemulangan mereka (repatriasi). 3 Dalam perdebatan ini beberapa fakta tetap tidak dapat diingkari. Ketika sejumlah pemindahan massal masih mungkin untuk dicegah, tidak ada yang sukarela melakukannya. Tidak ada orang yang menyukai atau memilih menjadi pengungsi. Menjadi pengungsi berarti menjadi lebih buruk daripada menjadi orang asing. Pengungsi berarti hidup dalam pembuangan dan tergantung kepada orang lain untuk memperoleh kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan perumahan.informasi mengenai jumlah pengungsi didunia, pembagian wilayah mereka, dan penyebab dari eksodus pada umumnya telah ada. Secara kronologis, informasi ini 3 Hak Asasi Manusia dan Pengungsi. Lembar Fakta Nomor 20 (http;//lem_fak-ham_dan_pengungsi.pdf). Diakses pada hari minggu, 12 April 2015, Pukul WIB. Hlm 1-2 3

3 menyampaikan bahwa masalah pengungsi telah mengalami perubahan yang drastis dalam jumlah dan mutu selama lima dasawarsa terakhir. 4 Semenjak pembentukannya, PBB telah bekerja untuk melindungi para pengungsi diseluruh dunia. Pada 1951, saat kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi (UNHCR) didirikan, diperkirakan satu juta pengungsi berada dalam mandat UNHCR. Saat ini jumlah tersebut telah meningkat menjadi sekitar 17.5 (tujuh belas koma lima) juta pengungsi, disamping 2.5 (dua koma lima) juta pengungsi yang ditangani oleh bantuan PBB dan perwakilan pekerja untuk pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA) dan lebih dari 25 juta orang mengalami pemindahan di dalam negeri. 5 Pada tahun 1951 hampir seluruh pengungsi adalah orang Eropa. Saat ini sebagian besar pengungsi berasal dari Asia dan Afrika. Tidak seperti dahulu, pergerakan pengungsi saat ini lebih banyak terjadi dalam bentuk eksodus massal daripada pelarian secara individual. 80% (delapan puluh persen) pengungsi saat ini adalah perempuan dan anak-anak. Penyebab terjadinya eksodus juga telah berlipat ganda, dan sekarang termasuk karena bencana alam atau ekologi dan kemiskinan yang amat sangat. Akibatnya, banyak pengungsi saat ini yang tidak sesuai dengan definisi dalam konvensi sehubungan dengan kedudukan pengungsi. Hal ini menyangkut korban-korban pengejaran (persecution) karena alasan ras, agama, kewarganegaraan, anggota dari kelompok sosial atau pandangan politik tertentu. Situasi pengungsi telah menjadi contoh klasik sifat saling ketergantungan masyarakat internasional, terbukti bagaimana persoalan pengungsi satu Negara dapat membawa akibat langsung terhadap 4 Amanna Gappa. Op Cit., Hlm 10 5 Ibid. 4

4 Negara lainnya. Hal ini juga merupakan contoh saling ketergantungan antara masalah itu. Ada hubungan yang jelas antara persoalan pengungsi dan masalah hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM bukan hanya sebagian diantara penyebab utama eksodus massal, tetapi juga menghilangkan adanya pilihan pemulangan secara sukarela selama hal tersebut terjadi. Pelanggaran terhadap hak kelompok minoritas dan pertikaian antar suku makin banyak menjadi sumber eksodus massal dan pemindahan di dalam negeri. 6 Pengabaian hak minimum pada pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan di dalam negeri merupakan dimensi lain dari hubungan antara kedua masalah tersebut. Selama dalam proses mencari suaka, jumlah orang-orang yang menghadapi upaya-upaya pembatasan, yang menyebabkan mereka tidak mempunyai akses pada wilayah yang aman, semakin bertambah. Pada sejumlah contoh, pencari suaka dan pengungsi ditahan dan dikembalikan dengan paksa ke daerah dimana jiwa, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam. Beberapa diantara mereka diserang oleh kelompok bersenjata, atau dimasukkan menjadi anggota angkatan bersenjata dan dipaksa berperang untuk salah satu pihak atau pihak lainnya dalam pertikaian sipil. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban serbuan berdasarkan ras. Para pengungsi mempunyai hak yang harus dihormati sebelum, selama dan setelah proses pencarian suaka. Penghormatan terhadap HAM merupakan syarat yang penting untuk mencegah dan menyelesaikan masalah arus pengungsi saat ini. Oleh karena itu, masalah pengungsi telah menjadi isu internasional yang harus segera ditangani. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang segala bentuk tindakan pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, 6 Ibid. 5

5 atau kejahatan lainnya, yang menjadikan cikal bakal lahirnya pengungsi. Sepanjang sejarah manusia dibelahan bumi manapun selalu terpaksa melarikan diri dari tempat kelahirannya mencari tempat untuk berlindung dari penganiayaan, kekerasan, maupun konflik bersenjata, namun baru pada awal abad ke-20 negara-negara menyadari bahwa untuk melindungi pengungsi dibutuhkan kerjasama global. 7 Maka dalam bentuk penanganannya, masyarakat internasional berkomitmen untuk memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pengungsi, ini ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi PBB tentang status pengungsi Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi 1951) oleh beberapa Negara di Jenewa, Swiss, pada tanggal 2 sampai dengan 25 Juli Alasan dihadirkannya Konvensi 1951 oleh PBB oleh karena agar setiap Negara dapat bertanggung jawab dan menjamin agar hak warganya dihormati, oleh karenanya perlindungan internasional hanya diperlukan jika perlindungan nasional tidak diberikan atau tidak ada. Pada saat itu, tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan internasional terletak pada negara dimana individu mencari suaka. Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk hukum hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Prinsip non refoulement sebagaimana tercantum dalam pasal 33 Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951 merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam, dan oleh karenanya mengikat semua negara yang 7 UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang Yang Menjadi Perhatian UNHCR. (Switzerland: Komisaris Tinggi PBB Untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5 6

6 menjadi peserta Konvensi Namun seringkali dalam keadaan terdesak, para pengungsi segera memilih untuk meninggalkan negara asalnya dan mencari perlindungan di negara yang mereka rasa aman tanpa tahu apakah negara tersebut merupakan negara peserta Konvensi 1951 atau bukan. Jadi negara-negara yang menjadi peserta/penanda-tangan Konvensi 1951 mengenai status pengungsi dan/atau Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera dalam perangkat-perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum bagi perlindungan pengungsi dan pencari suaka). Akan tetapi dalam praktiknya, banyak negara-negara yang kemudian menangani pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (non refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional, sebut saja Negara Thailand, yang telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai prinsip non refoulement yang ia lakukan kepada para pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya, seharusnya Thailand dapat bercermin kepada Kanada ataupun Australia yang tetap mempertahankan politik multikulturalisme yaitu tetap membiarkan komunitas-komunitas budaya tetap hidup berdampingan tanpa kehilangan identitasnya, kehidupan yang saling menghargai keyakinan dan pandangan budaya masing-masing diutamakan dalam persatuan yang dibentuk. Berbeda dengan sikap Thailand yang menolak dan mengusir pengungsi Rohingya, pihak Pemerintah Indonesia justru menerima dan menampung sementara pengungsi tersebut berdasarkan alasan kemanusiaan, meskipun kondisi dalam negeri Indonesia sendiri tak terlalu kondusif. Sikap dan tindakan Thailand melakukan pengusiran jelas memperlihatkan tindakan tidak manusiawi. Bahkan dalam berita menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah mengirim 8 Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Hlm

7 pulang secara paksa sekitar pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka, Myanmar. 9 Dapat kita bayangkan, jika banyak negara melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh negara Thailand terhadap pengungsi yang datang ke wilayahnya. Namun disisi lain negara Thailand tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, ini dikarenakan negara Thailand adalah salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia. Indonesia juga termasuk salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967 namun pada praktiknya Indonesia secara konsisten telah menerapkan prinsip ini ketika menghadapi eksodus pengungsi Vietnam. 10 Indonesia telah banyak membantu para pengungsi yang telah datang kewilayahnya bahkan menangani para pengungsi tersebut berdasarkan penanganan sesuai yang diatur dalam Konvensi 1951, beberapa diantara nya yaitu non diskriminasi terhadap pengungsi yang berasal dari Negara manapun (Article 3 Konvensi 1951), penyatuan (Article 20 Konvensi 1951), tempat tinggal (Article 21 Konvensi 1951), pendidikan (Article 22 Konvensi 1951), pertolongan publik (Article 23 Konvensi 1951) serta larangan pengusiran atau pengembalian ke negara asal (non refoulement /Article 33 Konvensi 1951), penanganan-penanganan seperti ini sudah dilakukan indonesia mulai dari tahun 1975 hingga saat ini, didukung pula dengan salah satu pasal dalam konstitusi kita Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa : setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan 9 Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya. SINDOnews.com (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul WIB) 10 Enny Soeprapto, Bijaksanakah RI Menolak Ratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi? tersedia di (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul 12.00WIB) 8

8 derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 11 Pemerintah sampai saat ini belum mengajukan undang-undang untuk meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi. Namun DPR sepenuhnya mendukung Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang dicanangkan pemerintah, termasuk rencana untuk meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi. 12 Perlu proses dalam meratifikasi konvensi tersebut dan UNHCR menghargai komitmen Indonesia untuk menjunjung tinggi HAM. 13 Indonesia sebagai negara yang strategis dipeta dunia, dapat menjadi negara penghasil ataupun negara transit pengungsi dan hingga saat ini tidak pernah ditemukan kasus, Indonesia menjadi negara tujuan akhir para pengungsi. B. Permasalahan Berdasarkan pemaparan diatas maka tersusunlah 3 hal yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini, yaitu : 1. Bagaimana pengaturan pengungsi di Indonesia? 2. Bagaimana tanggung jawab negara mengenai prinsip non refoulement? 3. Bagaimana hambatan yang dialami Indonesia dalam menangani pengungsi? 11 Fandi Ahmad dam Tim Setia Kawan, UUD 1945 Amandemen pertama-keempat (Jakarta: Setia Kawan, 2004). Hlm Tosari Wijaya, DPR Dukung Ratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi, (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul 12.30WIB) 13 Ibid. 9

9 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan pengungsi di Indonesia 2. Untuk mengetahui tanggung jawab Negara mengenai prinsip non refoulement 3. Untuk mengetahui hambatan yang dialami Indonesia dalam menangani pengungsi Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara teoritis Memberikan pemahaman akan adanya prinsip-prinsip yang harus ditaati dalam menangani pencari suaka atau para pengungsi yang sesuai dengan prinsip non refoulement dan menambah pengetahuan kita bersama dalam mendalami dan mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum pengungsi internasional secara khusus tentang menangani masalah pengungsi. 2. Secara praktis Agar skripsi ini dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional karena dalam menangani permasalahan pengungsi harus mematuhi prinsip non refoulement dan memperhatikan rasa kemanusiaan terhadap pengungsi karena menjadi pengungsi bukan lah impian dan menjadi keinginan setiap orang. Sehingga kita menjadi lebih kritis terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap prinsip non refoulement. 10

10 D. Keaslian Penulisan Sepanjang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari Prinsip Non Refoulement belum pernah ada ditulis sebelumnya. Khusus yang terdapat di Fakultas Hukum, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian atau jurusan hukum internasional. E. Metode Penelitian Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipakai sebagai berikut : 1. Jenis Pendekatan Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan, sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan. 11

11 2. Data Penelitian Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini berasal dari Library Research (penelitian kepustakaan). Meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, jurnal ilmiah hukum dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini menggunakan metode metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, jurnal ilmiah hukum dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi kepustakaan adalah sebagai berikut : a. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, serta dokumen-dokumen pemerintahan. b. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. c. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Analisis Data Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara 12

12 berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum. Kemudian selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukum nya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. F. Tinjauan Kepustakaan Prinsip non refoulement merupakan prinsip dan konsep fundamental dalam sistem perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka. Makna utama dari prinsip non refoulement adalah tidak boleh ada negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi atau pencari suaka ke suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan pengungsi atau pencari suaka tersebut terancam. 14 Non refoulement harus dibedakan dengan pengusiran (expulsion) atau deportasi (deportation). Pengusiran atau deportasi terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara setempat, atau merupakan tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses peradilan. 15 Pada awal pertengahan abad ke-19, konsep suaka dan prinsip non-extradition hanya sebatas pelanggaran politik. Setidaknya tercatat setelah Perang Dunia Pertama, praktik internasional mulai menerima gagasan non-return. Baru tahun 1933, terdapat referensi pertama prinsip pengungsi (internasional) yang menyebutkan should not be returned to their country of origin dalam instrumen internasional. 14 Sigit Riyanto, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 3, Oktober Hlm Ibid., Hlm

13 Prinsip ini menjadi fundamental terlebih sejak dilembagakan pada Konvensi Seperti dalam Pasal 32 Konvensi ayat (1) berbunyi Para negara peserta tidak dapat mengeluarkan seorang pengungsi yang secara tidak sah berdiam di dalam wilayah mereka kecuali atas alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum. Ayat (2) nya berbunyi Pengusiran seorang pengungsi tersebut hanya akan dilakukan menurut keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali alasanalasan keamanan nasional yang memaksa meminta sebaliknya, pengungsi itu harus diperkenankan menyampaikan bukti untuk menjelaskan dirinya dan permohonan naik banding serta diwakili untuk diajukan dihadapan penguasa yang berwenang, atau seorang atau orangorang yang secara khusus ditunjuk oleh penguasa yang berwenang. Ayat (3) nya berbunyi Para negara peserta akan memberikan kepada seorang pengungsi tersebut suatu jangka waktu yang layak selama itu untuk mencari izin masuk yang sah ke negara yang lain. Para negara peserta akan menyediakan hak untuk memberlakukan selama jangka waktu tersebut, upaya-upaya internal seperti yang mereka mungkin anggap perlu. Sedangkan dalam Pasal 33 Konvensi 1951 mengatur mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (refoulement). Ayat (1) menyatakan bahwa Tidak satu pun Negara peserta dapat mengeluarkan atau mengembalikan seorang pengungsi dalam cara apapun ke perbatasan wilayah apabila kehidupan atau kebebasannya terancam karena alasan rasnya, agamanya, kewarganegaraannya, keanggotaannya pada suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik tertentu 16 Suakaindonesia.files.wordpress.com (diakses pada Minggu, 12 April 2015 pukul WIB) 14

14 Ayat (2) menyatakan Kemanfaatan ketentuan ini, bagaimanapun juga, tidak dapat dituntut oleh seorang pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang pantas untuk menganggap sebagai bahaya keamanan dari negara dimana dia dihukum, atau sedang dihukum dengan putusan terakhir mengenai suatu kejahatan berat terutama sekali, yang merupakan bahaya terhadap masyarakat negara yang bersangkutan. Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949, Pasal 13 pada Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights) 1966, dan instrumen-instrumen HAM lainnya. Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi 1951 pun harus menghormati prinsip non refoulement ini. Prinsip utama yang melatarbelakangi perlindungan internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat kuncinya adalah Konvensi 1951 dan Protokol Ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya meliputi: a) Larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang beresiko menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non refoulement). b) Persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non diskriminatif. c) Standar perlakuan terhadap pengungsi. 17 UNHCR, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian UNHCR. (Switzerland: Komisaris Tinggi PBB Untuk Urusan Pengungsi, 2005). Hlm. 5 15

15 d) Kewajiban pengungsi kepada Negara tempatnya suaka. Prinsip non refoulement muncul dari pengalaman dan sejarah internasional ketika terjadinya kegagalan negara-negara selama Perang Dunia II untuk menyediakan tempat yang aman untuk pengungsi yang melarikan diri genosida tertentu yang pada saat itu dilaksanakan oleh rezim Nazi. 18 Dalam perkembangannya, prinsip non refoulement tidak hanya bersifat mengikat bagi Negara pihak Konvensi 1951 saja, namun telah menjadi Jus Cogens. 19 Sebagai contohnya kewajiban negara untuk menghormati kedaulatan territorial sesama negara, kewajiban setiap negara menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain sebagainya. 20 Hal ini berarti negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 juga harus tunduk pada prinsip ini. Masyarakat internasional mengenal dua macam karakter norma hukum yang berlaku, yakni Jus Dispositivum 21 dan Jus Cogens. Jus Cogens dikategorikan sebagai norma hukum yang lebih tinggi kedudukannya dari norma Jus Dispositivum. Negara sebagai masyarakat internasional, dengan alasan apapun tidak dapat menyimpangi norma hukum internasional yang memiliki karakter sebagai Jus Cogens. Jus Cogens dianggap sebagai norma yang esensial bagi e) Tugas Negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsifungsinya. 18 Non-refoulement principles in the international legal system (diakses pada senin, 13 April 2015 pukul WIB) 19 Menurut Pasal 53 Konvensi Wina 1969, Jus Cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai norma yang tidak boleh dikesampingkan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional yang muncul kemudian yang memiliki karakter yang sama. Jus cogens sering juga disebut norma pemaksa 20 I Wayan Parthiana Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2. Bandung: Mandar Maju. Hlm Jus Dispositivum adalah norma hukum internasional dimana negara sebagai anggota masyarakat internasional berdasarkan situasi dan syarat-syarat tertentu dimungkinkan untuk menyimpangi atau melakukan modifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut 16

16 sistem hukum internasional, sehingga pelanggaran terhadap norma yang esensial sifatnya ini dapat mengancam kelangsungan sistem hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat internasional. 22 Dengan mempertimbangkan bahwa non refoulement memiliki karakter sebagai Jus Cogens, membawa konsekuensi bahwa negara baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif tidak boleh melanggar prinsip tersebut karena prinsip non refoulement merupakan ketentuan hukum internasional yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat internasional. Dukungan dan kepatuhan terhadap prinsip non refoulement oleh negara-negara dan organisasi internasional yang relevan telah menegaskan arti penting prinsip ini dalam sistem hukum internasional pada umum nya. Sifat non-derogable 23 larangan pengusiran yang juga ditegaskan kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967 bahkan lebih jauh ditetapkan bahwa prinsip non refoulement merupakan kemajuan peremptory norm 24 dalam hukum internasional. Prinsip non refoulement hanya berlaku bagi pengungsi dan pencari suaka. Suaka adalah penganugerahan perlindungan dalam wilayah suatu negara kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara bersangkutan karena menghindari pengejaran atau bahaya besar. Pada draft yang dibuat UNHCR, suaka diartikan sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa seseorang adalah pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu. 25 Dasar hukum permohonan suaka berdalih adanya rasa takut atau ancaman terhadap keselamatan diri dari penganiayaan/penyiksaan. Apabila membandingkan dengan 22 Sigit Riyanto. Op Cit., Hlm Non-derogable merujuk pada hal yang tidak boleh dikurangi baik dalam keadaan damai maupun dalam sengketa bersenjata (menurut Kamus Hukum Indonesia Internasional karangan Dzulkifli Umar dan Utsman Handoyo) 24 Istilah lain untuk Jus Cogens 25 Wagiman Pengantar Hukum Pengungsi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm

17 batasan/definisi pengungsi, alasan tambahan dari permohonan suaka ialah adanya cukup alasan/bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena suatu alasan yang telah ditentukan oleh hukum internasional. Alasan tersebut mencakup sebab-sebab yang bersifat rasial, agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik. Disamping itu, yang bersangkutan tidak mendapat jaminan ataupun perlindungan yang seharusnya di negaranya. 26 Penetapan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang tersebut adalah pengungsi dan tahap dimana fakta dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi atau tidak. Penerapan prinsip non refoulement tidaklah bersifat mutlak atau absolute kepada pengungsi atau pencari suaka. Pengaturan mengenai pengungsi internasional di Jerman pada tahun 1936 dan pada tahun 1938 memuat pembatasan pengaturan mengenai hal expulsion atau return (pengembalian/pemulangan). Aturan tersebut membolehkan atau mengijinkan para negara pihak dalam perjanjian untuk melakukan expulsion atau return hanya dengan pertimbangan atau alasan for reason of national security atau public order. Pada era ini, skala internasional lebih fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Kebutuhan terhadap prinsip-prinsip perlindungan bagi pengungsi mulai muncul. Namun demikian pengaturannya masih terbatas. Instrumen-instrumen yang mengaturnya masih secara samar atau kurang tegas. 26 Ibid., Hlm

18 Sumber hukum adalah sumber yang tepat untuk mencari asal atau dasar yang digunakan sebagai aturan hukum internasional. Adapun menurut Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional adalah : 1) Perjanjian internasional 2) Kebiasaan internasional 3) Prinsip hukum umum 4) Jurisprudensi 5) Ajaran/doktrin para ahli Untuk menjamin hak-hak pengungsi dapat berjalan dengan baik, serta agar mereka tetap mendapatkan perlindungan, maka dibuat beberapa instrumen hukum yang mengatur tentang pengungsi, yaitu : I. Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees 1951) dan Protokol tentang Status Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967). Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tersebut mengandung tiga ketentuan yaitu : 1) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian pengungsi. 2) Ketentuan yang mengatur tentang status hukum pengungsi termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap. 3) Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif maupun diplomatik. 19

19 II. Instrumen-instrumen pendukung : 1) The Convention Relating to the Status of Stateless Persons Konvensi ini mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara. 2) The Convention on the Reduction of Statlessness Konvensi ini mengatur tentang pengaturan terhadap jumlah orang-orang yang tidak memiliki warga negara pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak mereka yang lahir di negara itu. 3) The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War Konvensi ini mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang. 4) The 1967 United Nations Declaration on Territorial Asylum Konvensi ini bertujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan. III. Instrumen-instrumen Regional 1. Afrika Pertumbuhan jumlah pengungsi yang melarikan diri dari perang dan pertikaian di dalam negeri di Afrika, yang dimulai pada 1950, menyebabkan ditetapkannya suatu perjanjian yang umumnya dianggap sebagai suatu perjanjian regional paling komprehensif dan signifikan sehubungan dengan amsalah pengungsi. Pada 10 September 1969, Organization of African United (OAU), menetapkan Konvensi 20

20 OAU yang mengatur aspek-aspek tertentu pada masalah pengungsi di Afrika. Selain itu terdapat The African Charter on Human and People s Rights Eropa Dewan eropa telah menetapkan sejumlah instrumen tentang pengungsi. Beberapa diantaranya yang paling penting adalah : 27 a) Persetujuan Eropa tentang penghapusan visa bagi pengungsi b) Resolusi 14 tahun 1967 tentang Suaka Bagi Seseorang Dalam Bahaya Pengejaran. c) Persetujuan Eropa tentang Pengalihan Tanggung Jawab Bagi Pengungsi d) Rekomendasi tentang Harmonisasi Prosedur Nasional Sehubungan Dengan Suaka e) Rekomendasi tentang Perlindungan Bagi Orang-orang yang Memenuhi Kriteria Konvensi Jenewa yang Secara Resmi Bukan Pengungsi f) Konvensi Dublin 1990 yang mencantumkan kriteria untuk menentukan negara anggota mana yang bertanggung jawab untuk mempelajari permintaan suaka, ketika peminta suaka menyampaikan permohonan suaka kepada suatu negara anggota atau lebih. 3. Amerika a) Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional 1889 b) Konvensi Caracas tentang Wilayah Suaka Hak Asasi Manusia dan Pengungsi, Lembar Fakta No.20, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia 21

21 c) American Convention on Human Right 1969 d) Deklarasi Cartagena tentang pengungsi Konvensi ini mencantumkan landasan hukum bagi perlakuan terhadap pengungsi dari Amerika Tengah, termasuk prinsip tidak memulangkan (non refoulement), perlunya mempersatukan pengungsi, dan melakukan usaha-usaha untuk membasmi penyebab persoalan pengungsi. 28 Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjeksubjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara dengan negara, dan negara dengan subyek hukum internasional bukan negara, atau antar subyek hukum internasional bukan negara satu sama lain 29. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Hukum internasional sering juga disebut sebagai hukum bangsabangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara. Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan berdasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan dan 28 Ibid. 29 Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie Desain Instruktur Dasar Hukum Internasional. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hlm

22 karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting adalah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaan masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. 30 Di dalam teori hukum internasional, telah berkembang dua pandangan tentang hukum internasional, yaitu pandangan yang disebut voluntarisme 31 yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara. Pandangan yang kedua adalah pandangan objekvitis 32 yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini dilepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula, karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objekvitis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang ada pada hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul dua aliran pandangan utama terkait teori tersebut, yakni : 1. Aliran pandangan dualisme 30 Mochtar Kusumaatmaja Pengantar Hukum Internasional cetakan kedua. Bandung: Putra Abardin. Hlm Voluntarisme berasal dari bahasa Latin vluntas yang berarti kehendak, diperkenalkan pertama kali oleh Toennies pada tahun Paham ini menyatakan kehendak adalah kunci untuk segala yang terjadi. 32 Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir. Kelzen dianggap bapak dari mazhab wina yang mempengaruhi teori objektivis ini 23

23 Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak mempunyai saling hubungan superioritas atau subordinansi. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum berlakunya dalam lingkungan hukum nasional. Akibat yang penting dari teori ini bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasarkan perangkat hukum yang lain, dengan kata lain tidak aka nada persoalan hierarki antara kedua perangkat hukum itu. Dengan demikian ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan nasional Aliran pandangan monoisme Paham monoisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monoisme ini ialah bahwa antar kedua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monoisme, yaitu 34 : Aliran Monoisme Dengan Primat Hukum Nasional 33 Melda Kamil Ariadno. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Volume 5 Nomor 3 April Hlm Ibid., Hlm

24 Dalam pandangan ini, hukum internasional merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres staatsrecht. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini, dan dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional negara. Aliran Monoisme Dengan Primat Hukum Internasional Menurut paham monoisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Hukum nasional memang mempunyai kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu negara akan mempunyai kewenangan dengan hukum internasional sebagai pembatasnya. Setiap negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang berada di wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang sedang berada di wilayah kedaulatannya. Bentuk perlindungan tersebut salah satunya adalah perlindungan hukum dimana negara tersebut berkewajiban untuk memenuhi hak-hak hukum yang melekat pada subyek hukum individu tersebut. 25

25 Sekali sebuah negara mengakui keberadaan orang asing diwilayahnya, negara tersebut masuk kedalam sebuah kewajiban atas perlakuan secara baik terhadap individu orang asing tersebut dan beserta kepentingannya. Kewajiban ini berhubungan dengan penerimaan aktivitas orang asing tersebut. Negara bertanggung jawab juga atas tindakannya yang berimplikasi pada orang asing tersebut (seperti eksproriasi atas harta benda orang asing tersebut) atau atas tindakan normal atau non aksi dalam respon terhadap tindakan individual (seperti perlindungan atas tindakan kriminal). Dasar tanggung jawab negara adalah terletak pada konsep tanggung jawab negara terhadap orang asing. Tanggung jawab sebuah negara terhadap orang asing di wilayahnya pada era hukum internasional modern bercirikan pada pengakuan dan pemberian pengakuan pada individu dengan tidak memperhatikan kewarganegaraannya. Setiap individu ditempatkan pada kedudukan serta memiliki hak-hak dasar yang harus dihormati dimanapun individu itu berada. Maka, negara dituntut untuk menghormati norma-norma dasar Hak Asasi Manusia, dan pada sisi lain pelanggaran suatu negara terhadap norma-norma dasar tersebut dapat dijadikan sebagai dasar gugatan. 35 Setiap individu memiliki hak asasi yang diakui secara internasional. Termasuk mereka yang merupakan anggota dari suatu bangsa minoritas yang tidak memiliki kedaulatan teritorial sekalipun. Untuk mencapai hal ini, dibentuklah sebuah prinsip federasi yaitu principle consistent with both the diversity of communities and the need to relax the political energies and tensions bound up with national sovereignty. 36 Disebutkan lebih lanjut bahwa a federal arrangement would require the renunciation, not of one s own tradition and national past, but of the binding 35 Wagiman Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm Prinsip tersebut digagas oleh Arendt. Lihat 26

26 authority which tradition and past have always claimed. Masih mengutip dari sumber yang sama, prinsip federasi ini searus dengan pemikiran Jurgen Habermas bahwa post-traditional national identity yang artinya a political identity capable of renouncing any kind of chauvinism and reflexively acknowledging its own partiality in a world of many nations and communities. 37 Tanggung jawab negara yang bersifat eksternal diatur oleh standar-standar internasional. Hal itu juga sangat bergantung pada hukum internasional sepanjang dan sejauh mana tindakan atau kelalaian suatu negara dianggap sah atau tidak sah. Negara memiliki kewenangan penuh untuk menolak masuknya orang asing kewilayah mereka. Oleh karena itu, negara yang warganya orang asing yang ditolak itu tidak memiliki hak menuntut terhadap negara yang telah menolak warganya tersebut.hukum internasional mengakui yurisdiksi suatu negara yang melakukan tindakan tersebut. Terdapat dua hal fundamental negara. 38 Pertama, hak untuk menjalankan yurisdiksi didalam wilayahnya sendiri yang sifatnya bebas dari pengawasan negara lain. Kedua, hak suatu negara melindungi warga negaranya diluar negeri. Berkenaan dengan perlakuan orang asing, terdapat dua pendapat bagaimana memberlakukan orang asing. Pertama, Standar Minimal Internasional, dimana negara berkewajiban untuk memberlakukan orang asing lebih istimewa dari warga negaranya sendiri dari sehi hukum maupun penegakan hukumnya, yaitu perlindungan efektif menurut hukum internasional. Kedua, Standar Minimal Nasional, dimana perlakuan terhadap orang asing tidak berbeda atau sama saja sebagaimana halnya memperlakukan warga negaranya Ibid. 38 Syahmin, Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis 3, Jakarta: Bina Cipta. Hlm Wagiman. Op Cit., Hlm 65 27

27 Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan siapa yang termasuk warga negara dan orang asing. Persoalan kewarganegaraan merupakan persoalan dalam negeri suatu negara yang berkaitan dengan perlindungan keamanan negara, kepentingan ekonomi, sosial dan perlindungan hak asasi yang bersumber kepada kepentingan nasional tersebut. Untuk mengetahui siapa orang asing dalam suatu negara harus diketahui siapa termasuk warga negara karena untuk orang asing selalu bertitik tolak pada kewarganegaraan negara itu. Sudah sejak lama hukum internasional mengatur mengenai perlindungan atas hak-hak kemanusiaan yang dituangkan dalam berbagai perjanjian. Sekalipun perjanjian itu tidak secara langsung menciptakan hak-hak kemanusiaan bagi individu, telah menciptakan kewajibankewajiban tertentu kepada negara dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap penduduk, baik warga negara maupun orang asing. Sekalipun yang menjadi peserta perjanjian tersebut adalah negara, tidak berarti bahawa hak-hak yang diberikan oleh hukum internasional itu adalah milik negara. Sebaliknya, yang lebih dapat diterima adalah bahwa hak kemanusiaan itu dimiliki individu karena kodratnya, atau manusia dianggap subjek dalam hubungan antara negara dan manusia sebagaimana dianut oleh kaum positivis. 40 Setiap orang secara asasi memiliki perlindungan. Prinsip perlindungan itu sendiri erat kaitannya dengan aspek keimigrasian pada segi diizinkannya seseorang masuk ke wilayah suatu negara, sekalipun tidak menggunakan dokumen resmi seperti paspor dan visa. Kondisi demikian bisa terjadi mengingat dalam kondisi yang tidak dimungkinkan (bukan dalam keadaan normal). Hukum internasional secara prinsipil mengatur tentang perlakuan terhadap orang asing. Setidaknya terdapat beberapa alasan. Pertama, adanya keyakinan bahwa manusia tanpa memandang asalnya serta dimanapun keberadaannya mempunyai hak atas perlindungan hukum. 40 Yudha Bhakti Ardhiwisastra Hukum Internasional: Bunga Rampai. Bandung: Alumni. Hlm.12 28

28 Kedua, adanya mobilitas perhubungan penduduk yang semakin tinggi diantara warga negara yang satu dengan lainnya dalam berbagai bidang kebutuhan dan kehidupan manusia merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Ketiga, perlunya memelihara hubungan baik antar negara sangat penting bagi setiap negara agar warga negaranya yang berada diluar negeri diperlakukan secara wajar. Artinya warga negaranya dapat hidup aman dan tentram diluar negaranya. 41 Adapun perlakuan terhadap orang asing meliputi perlindungan atas hak-hak kemanusiaan bagi setiap individu. Hukum internasional juga telah mengatur kewajiban-kewajiban kepada negara dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap penduduk, baik warga negara maupun orang asing. Perjanjian internasional yang telah memberikan hak-hak tertentu kepada orang perorangan, maka hak-hak itu harus diakui dan memiliki daya laku pada hukum internasional juga. 42 G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Adapun sistematika skripsi ini sebagai berikut : 41 Wagiman. Op Cit., Hlm Ibid., Hlm

29 BAB I : Pendahuluan Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Tinjauan Umum Mengenai Pengungsi di Indonesia Yaitu menguraikan tentang Pengertian Pengungsi Secara Umum, Pengertian Pengungsi Secara Yuridis, Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi, Kriteria Pengungsi Internasional, Pengaturan Pengungsi di Indonesia, dan Konsep Tentang Hak Asasi Manusia. BAB III : Tanggung Jawab Negara Mengenai Prinsip Non Refoulement Yaitu menguraikan tentang Pengertian Prinsip Non Refoulement, Prinsip Non Refoulement Sebagai Ius Cogens, Pengecualian Penerapan Prinsip Non Refoulement, dan Tanggung Jawab Negara Berkaitan Dengan Prinsip Non Refoulement. BAB IV : Hambatan yang Dialami Indonesia Dalam Menangani Pengungsi Yaitu menguraikan tentang Hubungan Indonesia dan Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi, dan Upaya Indonesia Dalam Menerapkan Prinsip Non Refoulement Berkaitan Dengan Pengungsi di Indonesia. BAB V : Penutup Yaitu menguraikan Kesimpulan dan Saran dari pembahasan yang sudah di paparkan mengenai penanganan pemerintah Indonesia terhadap pengungsi ditinjau dari prinsip non refoulement. 30

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI. Lembar Fakta No. 20. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI. Lembar Fakta No. 20. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI Lembar Fakta No. 20 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PENDAHULUAN Masalah pengungsi dan pemindahan orang di dalam negeri merupakan persoalan yang paling pelik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D 101 09 550 ABSTRAK Pada hakikatnya negara/pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan

Lebih terperinci

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Jun Justinar Abstrak Dari sudut pandang negara penerima, pengungsian merupakan masalah kemanusiaan yang dapat berdampak pada bidang keamanan, ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi internasional yang bersifat universal

Lebih terperinci

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan K o n v e n s i 1 9 5 4 t e n t a n g S t a t u s O r a n g - O r a n g T a n p a k e w a r g a n e g a r a a n SERUAN PRIBADI DARI KOMISIONER TINGGI

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni. DAFTAR PUSTAKA Buku, 2005, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional (Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian UNHCR) Modul Pembelajaran Mandiri, Geneva: Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluar wilayah suatu negara harus tunduk pada hukum negara tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keluar wilayah suatu negara harus tunduk pada hukum negara tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan peraturan keimigrasian merupakan atribut yang sangat penting dalam menegakkan kedaulatan hukum suatu negara di dalam wilayah teritorial negara yang bersangkutan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI Organisasi internasional atau lembaga internasional memiliki peran sebagai pengatur pengungsi. Eksistensi lembaga

Lebih terperinci

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) KOMNAS PEREMPUAN KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Mengenal

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli. NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 91 DAFTAR PUSTAKA Buku: Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono, (2011), Perdagangan Orang : Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Budi, Winarno, (2001),

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungsi menjadi salah satu isu global yang banyak dibicarakan oleh masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus dari dunia internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai anggota keluarga warga negara yang sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satu-kesatuan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Maka

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (born) human beings has inherent dignity and is inviolable (not-to be-violated),

BAB I PENDAHULUAN. (born) human beings has inherent dignity and is inviolable (not-to be-violated), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia secara umum dapat di artikan sebagai hak kodrati yang didapatkan seseorang secara otomatis tanpa seseorang itu memintanya. Sebagai hak kodrati,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN

Lebih terperinci

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Bernadus Ardian Ricky M (105010100111087) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara

I. PENDAHULUAN. Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara Indonesia dan untuk mengantisipasinya diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan, baik

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. Keterkaitannya selalu menjadi bagian dari perilaku umat manusia dan setua dengan sejarah fenomena

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci