Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS. Tahun Kementerian Kesehatan RI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS. Tahun Kementerian Kesehatan RI"

Transkripsi

1 Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV-AIDS Tahun Kementerian Kesehatan RI

2 Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2

3 Sambutan Direktur Jenderal Pencegahan Pengendalian Penyakit Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan merupakan kelanjutan dari rencana pengendalian penyakit HIV dan AIDS sebelumnya yang telah berakhir pada tahun Dalam penyusunan rencana aksi ini juga mengacu pada Visi, Misi, dan Nawacita Presiden yang ditetapkan pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun Rencana aksi ini berisi upaya pengendalian yang dijabarkan dalam bentuk strategi, kegiatan, indikator dan target sampai dengan kerangka pendanaan yang bertujuan untuk menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030 sesuai dengan situasi epidemi di setiap wilayah serta kondisi sumber daya yang tersedia. Rencana aksi ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan program pengendalian HIV dan AIDS untuk digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program dalam kurun waktu , serta dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan jajaran kesehatan baik di Pusat maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor pemerintah maupun swasta serta dunia usaha. Saya mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Tahun dengan mengajak kepada semua pihak untuk saling bersinergi dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan guna tercapainya sasaran pembangunan kesehatan. Semoga penyusunan dan penerbitan Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Tahun ini mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin. i

4 ii

5 Ringkasan Eksekutif iii

6 iv

7 Daftar Isi Kata Pengantar... Error! Bookmark not defined. Ringkasan Eksekutif... iii Sambutan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan LingkunganError! Bookmark n Daftar Isi... v Daftar Istilah dan Singkatan... viii Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Tahun Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Dasar Hukum Kebijakan Pembangunan Nasional Bab 2 Analisis Situasi Situasi Epidemi Global Situasi Epidemi di Indonesia Situasi Pengendalian HIV dan AIDS Perkembangan respon untuk mengendalikan HIV dan AIDS di Indonesia Perkembangan Program dan Cakupan Bab 3 Kebijakan dan Target Kebijakan Tujuan Target Bab 4 Strategi dan Kegiatan Strategi Kegiatan Utama Kegiatan utama Strategi-1: Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB Peningkatan Konseling dan Tes HIV Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Kesehatan Reproduksi (Kespro) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), Kolaborasi TB-HIV Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN) Kewaspadaan Standar Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain Kegiatan Utama Strategi 2 : Penguatan Sistem Kesehatan Nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS v

8 Memperkuat Sistem Pembiayaan Program Penguatan Manajemen Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Bab 5 Pembiayaan Prinsip Penganggaran Transparansi dan Akuntabilitas Kapasitas Fiskal dan Upaya Fasilitasi Bab 6 Monitoring dan Evaluasi Monitoring Evaluasi Penutup Daftar Pustaka Daftar Tabel dan Gambar Tabel 1. Tabel Indikator Pencapaian Pembangunan Kesehatan Nasional Tabel 2. Target Tabel 3. Rencana Pengembangan Layanan Konseling dan Tes HIV tahun di Indonesia Tabel 4. Target cakupan KT-HIV tahun Tabel 5. Target cakupan tes HIV pada bumil, pasien TB dan pasien IMS Tabel 6. Rencana Pengembangan layanan PDP tahun di Indonesia Tabel 7. Target cakupan pengobatan ARV tahun Tabel 8. Rencana Pengembangan Layanan IMS tahun di Indonesia Tabel 9. Target Cakupan Layanan IMS tahun di Indonesia Tabel 10. Rencana Pengembangan Layanan PPIA tahun di Indonesia Tabel 11. Target Layanan PPIA tahun di Indonesia Tabel 12. Indikator & Target Tabel 13. Rencana Pengembangan Layanan TB-HIV tahun di Indonesia Tabel 14. Rencana Pengembangan Layanan LASS tahun di Indonesia Tabel 15. Rencana Pengembangan Layanan PTRM tahun di Indonesia Tabel 16. Rencana Pengembangan UTD yang mampu melaksanakan uji saring IMLTD dengan metode immunoassay tahun di Indonesia Tabel 17. Data Pelatihan terkait Program Pengendalian HIV-AID dan IMS yang pernah dilaksanakan di Pusat tahun Tabel 18. Alokasi Pembiayaan Logistik Program HIV dan AIDS vi

9 Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin sampai dengan September Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun September Gambar 7. Jumlah Orang yang dites HIV pertahun, Tahun Sept Gambar 8. Skema Sistem Rujukan Laboratorium HIV dan IMS Gambar 9. Jumlah Fasyankes yang memberikan Layanan PTRM dan Perkembangan Jumlah Kumulatif Pasien yang dilayani ( ) Gambar 10. Jumlah Unit Transfusi Darah Berdasarkan Kepemilikan Tahun Gambar 12. Hasil Uji Saring IMLTD tahun Gambar 13. Dukungan Sistem Kesehatan dalam Pelaksanaan LKB Gambar 14. Siklus Manajemen Logistik Program vii

10 Daftar Istilah dan Singkatan AEM AIDS APBD APBN ART ARV Bappenas Bappeda CD4 DFAT DIPA Fasyankes GARPR HIV IBI ICA IDAI IDI IMLTD IMS IVA JKN : Asian Epidemic Model : Aqcuired Immuno Deficiency Syndrome : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional : Antiretroviral Therapy : Antiretroviral : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah : cluster of differentiation 4, salah satu jenis sel darah putih : (Australian) Department of Foreign Affairs and Trade : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran : Fasilitas Layanan Kesehatan : Global AIDS response progress reporting : Human Immunodeficiency Virus : Ikatan Bidan Indonesia : Investment Case Analysis : Ikatan Dokter Anak Indonesia : Ikatan Dokter Indonesia : Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah : Infeksi Menular Seksual : Inspeksi Visual dengan Asam Asetat : Jaminan Kesehatan Nasional Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri Kemenkes : Kementerian Kesehatan Kemensos : Kementerian Sosial KKP : Kantor Kesehatan Pelabuhan KPA : Kuasa Pengguna Anggaran KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional KTIPK : Konseling, Testing Inisisasi Petugas Kesehatan Lapas : Lembaga Pemasyarakatan LASS : Layanan Alat Suntik Steril LKB : Layanan Komprehensif Berkesinambungan LSL : Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki-laki MDGs : Millenium Development Goals NAPZA : Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ODHA : Orang Dengan HIV dan AIDS PBI : Penerima Bantuan Iuran PDBN : Pengurangan Dampak Buruk akibat NAPZA PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun : Pengguna Napza Suntik Perdossi : Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia Perdosri : Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan viii

11 PKVHI : Perhimpuan Konselor VCT HIV Indonesia POGI : Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia PPIA : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak PP INH : Pengobatan Preventif Isoniazid (IPT = Isoniazid preventive therapy) PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia PPU : Pekerja Penerima Upah PTRM : Pelayanan Terapi Rumatan Metadon Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat RAN : Rencana Aksi Nasional Renja : Rencana Kerja RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RKA-KL : Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga RKP Rencana Kerja Pemerintah RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah RS : Rumah Sakit Rutan : Rumah Tahanan SCP : Survei Cepat Peri laku SIKDA : Sistem Informasi Kesehatan Daerah SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD KUA : Satuan Kerja Perangkat Daerah Kebijakan Umum Anggaran SKPD - RKA : Satuan Kerja Perangkat Daerah Rencana Kerja Anggaran SPM : Standar Pelayanan Minimum SRAN : Strategi dan Rencana Aksi Nasional (untuk HIV dan AIDS) SSH : Surveilans Sentinel HIV STBP : Survei Terpadu Bilogis dan Peri laku TB : Tuberculosis TEMPO : Temukan secara aktif, Pisahkan dan Obati TKHIV : Tes, Konseling HIV TWG : Technical Working Group UN : United Nations (Persatuan Bangsa-Bangsa) UNAIDS : Joint United Nations Programme on HIV/AIDS UNDP : United Nations Development Programme UNFPA : United Nations Population Fund UNICEF : United Nations Children s Fund UNGASS : United Nations General Assembly Special Session UTD : Unit Transfusi Darah Waria : Wanita Pria (Trans-gender) WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan (penghuni Lapas dan Rutan) WHO : World Health Organization WPSL : Wanita Pekerja Seks Langsung WPSTL : Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung ix

12 Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang Kesehatan Tahun Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014), memperkirakan lebih dari satu juta orang Indonesia akan terinfeksi HIV pada tahun Angka estimasi dapat meningkat bila upaya percepatan penanggulangan HIV dan AIDS tidak segera dilakukan. Tantangan yang dihadapi sangat besar, dipandang dari segi geografis maupun sosial-ekonomi. Indonesia berpenduduk terbesar ke-empat di dunia dan terdiri 17,500 pulau serta dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup 508 kabupaten/kota di 34 provinsi. Jika Indonesia mampu mengendalikan HIV dan AIDS di seluruh wilayah, maka dapat memberikan manfaat juga bagi upaya pengendalian HIV dan AIDS secara global. Dalam pelaksanaan pengendalian HIV dan AIDS selama periode , telah banyak terjadi perkembangan dan kesepakatan baru di tingkat nasional, regional maupun global, yang mempengaruhi arah pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia untuk tahun , seperti: Di tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target global untuk mencapai cakupan pengobatan ARV sebanyak 15 juta pada tahun 2015 oleh negara anggota PBB. Di tingkat regional: disepakatinya Gettting to Zero 1 termasuk Universal Access terhadap pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS pada pertemuan KTT ASEAN di Bali. Berdasarkan bukti ilmiah dari berbagai negara terutama Afrika, pada tahun 2013 WHO merekomendasikan inisiasi ART dini untuk mencegah angka kematian terkait AIDS, dan mencegah 3,5 juta orang tertular HIV. (Sumber: WHO and UNAIDS. Global update on HIV treatment: results, impact and opportunities, Geneva, WHO, 2013). Di Indonesia, rekomendasi WHO ini diadaptasi dengan melakukan akselerasi temuan kasus HIV 2,3 dan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan 1 Menurunkan jumlah kasus baru, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan diskriminasi 10

13 pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nya pada kelompok populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan tetapnya HIV negatif) Dengan tersedianya bukti bahwa pemberian ARV mengendalikan HIV hingga tidak terdeteksi dan memperbaiki kualitas hidup serta menurunkan risiko penularan, maka pemberian ARV dapat dilakukan di tingkat Fasyankes primer, oleh dokter sebagai kewenangan dasar melakukan inisiasi dini pengobatan ARV, bahkan pada situasi epidemi generalisata dapat dilakukan task-shifting kepada petugas kesehatan lain yang terlatih Hasil Kajian Eksternal Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2011 dalam rangka akselerasi pencapaian Getting to Zero, dapat diidentifikasi beberapa hal yang perlu perhatian khusus, seperti: o revitalisasi pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Puskesmas dan RS, o penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota, o peningkatan keterlibatan odha dan keluarganya, komunitas/lsm peduli AIDS, populasi kunci dan kader masyarakat dalam upaya penjangkauan, o perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas, o perluasan kampanye peningkatan pengetahuan komprehensif tentang pencegahan penularan HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan pendidikan formal dan non-formal, terstruktur (kurikuler) maupun tidak terstruktur (nonkurikuler). o penguatan penanganan pencegahan penularan lebih lanjut berupa distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di Fasyankes, Rencana Aksi Nasional (RAN) ini disusun dengan merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dimana isu HIV dan AIDS menjadi bagian dari strategi pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. RAN ini akan menjadi acuan pengembangan strategi dan pelaksanaannya di sektor pemerintahan, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia dengan memperhatikan prioritas nasional dalam memantapkan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dengan mengedepankan keunggulan kompetitif sesuai struktur budaya dan sosial dan SDM yang berkualitas untuk pemenuhan hak rakyat Indonesia di bidang kesehatan, khususnya HIV-AIDS dan IMS di Indonesia. Dokumen ini juga akan menjadi acuan untuk penyusunan RAPBN dan RAPBD serta pengembangan rencana aksi masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemenuhan UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, di tingkat nasional dokumen ini menjadi perangkat untuk mobilisasi dana ke tingkat nasional maupun internasional. Kegiatan yang dipaparkan dalam RAN ini berorientasi pada kegiatan-kegiatan intervensi yang 2 Surat Edaran Kementrian Kesehatan no. 129 tahun Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 11

14 terstruktur terpadu, dengan prioritas sasaran adalah masyarakat berisiko tinggi dan orang terinfeksi HIV, serta masyarakat rentan lainnya dengan pendekatan pelayanan komprehensif berkesinambungan, mulai dari tahap promosi, pencegahan, deteksi dini/penemuan kasus dengan tes HIV dan diagnosis, pengobatan sampai perawatan dan dukungan serta rehabilitasi kesehatan. 1.2 Dasar Hukum Dasar Hukum RAN ini menjadi dasar dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS di semua tingkatan untuk: 1. Mobilisasi sumber daya baik nasional maupun daerah secara optimal sebagai investasi pembangunan nasional, termasuk sumber pendanaan internasional serta dukungan para mitra lainnya 2. Mengembangkan pelayanan HIV dan AIDS secara terintegrasi sesuai dengan epidemi HIV setempat dalam kerangka kerja layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) 3. Menentukan rincian target pencapaian tahunan (indikator tahun , dan memasukannya dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Kebijakan Umum Anggaran (Renja SKPD-KUA) dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah-Rencana Kerja Anggaran (SKPD-RKA) 4. Menetapkan indikator yang dapat dilakukan oleh wilayahnya, serta memantau perkembangannya dengan mengacu pada indikator yang tertuang dalam RAN ini. 5. Meningkatkan koordinasi pengendalian HIV dan AIDS secara berjenjang dan terpadu Dasar Hukum dan peraturan perundangan tersebut adalah sbb: 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia 7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 10. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba. 11. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 12. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 13. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 12

15 14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 15. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 16. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 17. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan 18. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan 19. Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. 20. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintahan Propinsi dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 21. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. 22. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah. 23. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika 24. Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif 25. Peraturan Pemerintah RI Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik 26. Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan 27. Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 28. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 29. Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 30. Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. 31. Peraturan Presiden RI Nomor 76 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral. 32. Peraturan Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. 33. Peraturan Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Peraturan Presiden RI Nomor 3 tahun 2015 tentang perubahan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun Peraturan Bersama Mendagri Nomor 15 Tahun 2010 dan Menkes Nomor 162/Menkes/PB/I/2010 tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian 36. Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. 13

16 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / KaBappenas Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 38. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis 39. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/VII/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 40. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. 41. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik 42. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan 43. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian 44. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran 45. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. 46. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran 47. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat. 48. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 46 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang telah Diputus oleh Pengadilan. 49. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 tahun 2013 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan. 50. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. 51. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2013 tentang Cara Penyelenggaraan Laboratorium Klinik yang Baik. 52. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak 53. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis 54. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona

17 55. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium untuk Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas. 56. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan. 57. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional 58. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik 59. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer 60. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik 61. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak 62. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas 63. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV 64. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas 65. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular 66. Kesepakatan Bersama Menkes, Mendagri, Mendikbud, Menag dan Mensos RI tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS pada Penduduk Usia 15 sampai dengan 24 Tahun 67. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1190/MENKES/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Virat (ARV) untuk HIV/AIDS. 68. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 567 Tahun 2006 tentang Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza 69. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV. 70. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tentang Rumah Sakit Rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS. 72. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 328/Menkes/SK/VIII/2013 Tentang Formularium Nasional 73. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 445/Menkes/SK/XI/2013 Tentang Kelompok Kerja Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan. 74. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor GK/MENKES/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Dari Ibu ke Anak (PPIA) 15

18 75. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). 76. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS. 77. Surat Edaran Direktur Jenderal BUK Nomor HK.03.03/III/0992/2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Orng dengan HIV-AIDS di Rumah Sakit 78. Surat Direktur PPML Nomor BN.01.01/III.2/2482/2013 Perihal Surat Pemberitahuan Proses Aktivasi Layanan ARV 1.3 Kebijakan Pembangunan Nasional 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Arah pembangunan nasional tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang merupakan tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun Dengan berpayung kepada UUD 1945 dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP tadi, RPJMN , disusun sebagai penjabaran dari Visi, Misi, dan 9 agenda prioritas yang disebut Nawa Cita yaitu: a. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. b. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. c. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. d. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. e. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. f. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. g. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. h. Melakukan revolusi karakter bangsa. i. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Sasaran pokok pembangunan nasional 16

19 Sesuai dengan visi pembangunan Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong, maka pembangunan nasional akan diarahkan untuk mencapai sasaran utama yang mencakup: a. Sasaran Makro; b. Sasaran Pembangunan Manusia dan Masyarakat: c. Sasaran Pembangunan Sektor Unggulan; d. Sasaran Dimensi Pemerataan; e. Sasaran Pembangunan Wilayah dan Antarwilayah; f. Sasaran Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Pembangunan Kesehatan merupakan bagian dari sasaran utama kedua; Pembangunan Manusia dan Masyarakat yang meliputi Kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. Sasaran dalam pembangunan kesehatan meliputi tiga sasaran pokok yaitu 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat; 2) meningkatnya pengendalian penyakit menular dan tidak menular dan 3) meningkatnya pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan. 2. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan merupakan penjabaran dari RPJMN , dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/52/2015. Renstra ini disusun dengan mengacu pada Visi, Misi, dan Nawacita Presiden yang ditetapkan pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun Renstra Kementerian Kesehatan Tahun ini digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam kurun waktu , serta dilaksanakan oleh seluruh stakeholders jajaran kesehatan baik di Pusat maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor dan dunia usaha. Selanjutnya Renstra Kementerian Kesehatan Tahun dijabarkan dalam bentuk Rencana Aksi Program (RAP) di tingkat Eselon I dan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) di tingkat Eselon II. Pembangunan kesehatan pada periode adalah Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran pokok RPJMN adalah: (1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak; (2) meningkatnya pengendalian penyakit; (3) meningkatnya akses dan mutu pelayanan 17

20 kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan. Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS menjadi salah satu sasaran penting dari pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya pengendalian penyakit sebagaimana dapat dilihat pada tabel rencana pencapaian yang diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut: Tabel 1. Tabel Indikator Pencapaian Pembangunan Kesehatan Nasional No Indikator 1 Meningkatnya Status Kesehatan dan Gizi Masyarakat Status Awal 2013 Target AKI per kelahiran hidup AKB per kelahiran hidup(persen) Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita 19, Prevalensi stunting pada anak baduta 32, Meningkatnya Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular 1 Prevalensi TB per penduduk Prevalensi HIV (persen) 0,46 < 0,50 3 Jumlah Kab/Kota mencapai eliminasi malaria Prevalensi tekanan darah tinggi (persen) 25,8 23,4 5 6 Prevalensi obesitas pada penduduk 18+ tahun Prevalensi merokok penduduk usia < 18 tahun 3 Meningkatnya Pemerataan dan Mutu Pelayanan Kesehatan 4 15,4 15,4 7,2 5,4 1 Jumlah kecamatan yang memiliki minimal satu puskesmas yang tersertifikasi akreditasi Jumlah kab/kota yang memiliki minimal satu 2 RSUD yang tersertifikasi akreditasi nasional Persentase kab/kota yang mencapai 80% 3 imunisasi dasar lengkap pada bayi 71,2 95 Meningkatnya Perlindungan Finansial, Ketersediaan, Penyebaran dan Mutu Obat serta Sumber Daya Kesehatan Persentase kepesertaan JSN kesehatan 1 (persen) 51,8 Min 95 Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 2 jenis tenaga kesehatan Persentase RSU Kab/kota kelas C yang 3 memiliki 7 dokter spesialis Persentase ketersediaan obat dan vaksin di 4 Puskesmas 75, Persentase obat yang memenuhi syarat

21 Bab 2 Analisis Situasi 2.1 Situasi Epidemi Global Secara global, epidemi HIV mengalami penurunan sekitar 33% sejak 2001, sehingga pada tahun 2012 diperkirakan terjadi hanya sekitar 2,3 juta infeksi baru pada dewasa dan anak. Kematian yang dikaitkan dengan AIDS menurun sampai 30% sejak 2005 karena peningkatan akses pengobatan ARV, termasuk kematian yang dikaitkan dengan TB, juga menurun sampai 30% sejak 2004 (WHO, Global Update on HIV treatment, 2013). Dalam setahun, telah terjadi peningkatan 20% dalam pengobatan ARV karena hampir 10 juta orang dari negara-negara berkembang mendapat akses pengobatan ARV. Diperkirakan di tahun 2013 dan seterusnya akan ada tambahan 10 juta ODHA lagi yang masuk ke dalam kriteria pengobatan sebagai dampak dari perubahan batas ambang nilai CD4 untuk pengobatan ARV yang diperlonggar dari 350 cell/mm 3 menjadi 500 cell/mm 3 4. Beberapa negara bahkan telah menjalankan Test and Treat dimana inisiasi pengobatan ARV dilakukan segera setelah hasil tes HIV nya positif, tanpa perlu merujuk pada nilai CD4-nya. Pengendalian HIV dan AIDS di Asia Pasifik cukup sukses dengan perkiraan penurunan infeksi baru HIV sampai dengan 26% sejak Jika dihitung pencapaian keseluruhan region Asia Pasifik, cakupan pengobatan ARV mencapai 51%, atau peningkatan sampai 46% sejak tahun Kematian yang dikaitkan dengan AIDS diperkirakan menurun sampai orang atau 18% sejak 2005 sampai Situasi Epidemi di Indonesia Indonesia menghadapi epidemi HIV terkonsentrasi di sebagian besar provinsi, kecuali di dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat, menghadapi epidemi HIV pada populasi umum. Secara nasional, estimasi prevalensi HIV pada populasi usia tahun pada daerah epidemi terkonsentrasi sebesar 0,4%, sedangkan di Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 2,4% pada populasi kelompok umur yang sama (2013). Dengan estimasi dan proyeksi HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2012, dapat diperkirakan pada tahun 2013 terdapat infeksi baru HIV, orang dengan HIV dan AIDS, dan orang meninggal terkait AIDS di Indonesia. Situasi ini akan terus mengalami peningkatan jika tidak dibarengi dengan upaya yang strategis. 4 Pedoman WHO

22 Pada daerah epidemi terkonsentrasi, infeksi HIV terjadi dengan angka prevalensi tinggi pada populasi kunci, seperti laki-laki suka seks dengan laki-laki (LSL), waria, wanita pekerja seks (WPS) dan pelanggannya, serta pengguna napza suntik (penasun). Pada tahun 2012, diperkirakan estimasi jumlah populasi kunci tersebut sebesar 8 juta orang. Estimasi infeksi baru HIV yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah infeksi baru HIV pada orang dewasa mengalami peningkatan terutama pada kelompok LSL, dan perempuan dari populasi umum (Gambar 1). Gambar 1. Estimasi infeksi HIV baru berdasarkan populasi kunci Tahun (Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia, Kemenkes 2012) Berdasarkan laporan program HIV provinsi, secara kumulatif sampai dengan September 2014 telah ditemukan orang yang HIV positif, dimana 86,3% dari seluruh kasus merupakan kelompok umur tahun (69,1% pada kelompok umur tahun, 17,2% pada kelompok umur tahun (Kemenkes, 2014). Gambar 2. Jumlah kasus Infeksi HIV Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin sampai dengan September 2014 (Sumber: Kemenkes September 2014) 20

23 Laporan kasus HIV sejak tahun 2008 hingga September 2014 menunjukkan bahwa proporsi perempuan terinfeksi HIV mengalami peningkatan dari 34% menjadi 42%. Peta di dibawah ini menunjukkan sebaran ODHA di Indonesia yang bervariasi antar wilayah. Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali merupakan 7 (tujuh) provinsi dengan jumlah ODHA terbesar, yaitu melebihi orang. Gambar 3. Estimasi Jumlah ODHA di Indonesia per Provinsi, tahun 2012 Sumber: Estimasi dan Proyeksi HIV di Indonesia, Kemenkes 2012 Indonesia telah melaksanakan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada populasi kunci di dua kelompok daerah yang berbeda. Satu kelompok dilakukan pada tahun 2007 dan 2011, sementara kelompok lainnya dilakukan pada tahun 2009 dan Selain itu, untuk mendapatkan situasi epidemi pada wilayah STBP tahun 2007 dan 2011, maka pada tahun 2013 Kemenkes melakukan kegiatan surveilans sentinel HIV (SSH) dan survei cepat perilaku (SCP) bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. STBP pada populasi umum dilaksanakan di Tanah Papua tahun 2006 dan 2013 pada kelompok usia tahun. Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti dibawah ini: 1. Penasun Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007 menjadi 41% di tahun Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda (Tangerang, Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV ratarata dari 27% di tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun Pada periode waktu yang sama, proporsi penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik mengalami kenaikan di 3 kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di Yogkarta, 36% menjadi 47% di Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak. 21

24 2. LSL Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi 12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, dan Kota Makasar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53% pada SSH/SCP Waria Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22 kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%. Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari 27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14% dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP 2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24% menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota Makasar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang sama. 4. WPSL dan WPSTL Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu dari 10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang mengalami peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%. Secara keseluruhan, prevalensi sifilis pada WPSTL menurun dari 9,8% pada STBP 2011 menjadi 5,7% pada SSH/SCP 2013 di 15 lokasi survei. Prevalensi sifilis pada WPSTL menurun signifikan di 5 dari 15 lokasi survei tersebut, yaitu Deli Serdang dari 16,6% menjadi 4,8%, Kota Batam dari 11,6% menjadi 3,3%, Kota Bandung dari 22

25 10,4% menjadi 2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari 13,4% menjadi 1,2%. Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9 lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Bitung, Makasar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi 30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore mengalami penurunan pada periode waktu yang sama. Perubahan perilaku merupakan tantangan pada kelompok WPS. Jumlah rata-rata pelanggan WPSL cenderung mengalami kenaikan pada STBP 2011 dan SSH/SCP Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir sangat bervariasi di berbagai tempat pada kedua survei tersebut. Terjadi penurunan yang signifikan pada proporsi WPSL dalam penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di Kota Denpasar, yaitu dari 90% menjadi 76,5%, akan tetapi pada periode waktu yang sama terjadi kenaikan yang signifikan proporsi penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari 35,1% menjdai 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%. 5. Tanah Papua Berdasarkan hasil STBP tahun 2013 pada populasi umum usia tahun di Tanah Papua, 2,3% populasi terinfeksi HIV dimana 2,3% pada laki-laki dan 2,2% pada perempuan. Hasil survei juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara sirkumsisi pada laki-laki dengan infeksi HIV, dimana infeksi HIV terjadi pada 2,4% laki-laki yang tidak disirkumsisi dan 0,1% pada laki-laki yang disirkumsisi. Pada perempuan, asosiasi yang signifikan terjadinya infeksi HIV adalah pada orang yang melakukan hubungan seks dengan imbalan pada satu tahun terakhir sebesar 3,5%, sedangkan 2,2% perempuan terinfeksi HIV tidak melakukannya. Secara statistik tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi HIV pada STBP tahun 2006 (2,4%) dan 2013 (2,3%) di Tanah Papua. Prevalensi sifilis aktif dilaporkan sebesar 4,7% pada laki-laki dan 4,2% pada perempuan. Diantara laki-laki yang tidak sirkumsisi ditemukan prevalensi cukup tinggi yaitu 4,8% jika dibandingkan dengan laki-laki yang disirkumsisi sebesar 1,1%. Hasil STBP juga menunjukkan perilaku seksual berisiko masih terus terjadi di Tanah Papua, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada satu tahun teakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan imbalan pada lakilaki sebesar 12,7% dan perempuan 3,6%. Penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir pada laki-laki mengalami kenaikan signifikan dari 14,1% (STBP 23

26 2006) menjadi 40,3% (STBP 2013). Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan yang positif pada perilaku seks yang aman. Peningkatan juga terjadi pada akses ODHA untuk mendapatkan perawatan HIV dan pengobatan ARV. Sampai dengan Bulan September 2014 terdapat ODHA yang dalam pengobatan ART dan diantaranya anak-anak. Cakupan pengobatan ARV secara nasional mencapai 23% dari ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV (dengan dasar perhitungan mengacu pada pedoman WHO tahun 2010 tentang syarat pemberian ARV dengan batas ambang CD4 350 cell/mm3). Percepatan cakupan program dan pengobatan ARV masih menghadapi tantangan besar sebagaimana dapat dilihat dari kaskade pengobatan ARV. Data kumulatif perawatan HIV dan pengobatan ARV tahun 2013 mengindikasikan diantara orang yang masuk perawatan HIV dan memenuhi syarat ART, sekitar 75% memulai ART dan berdasarkan laporan kohort tahun 2013, 71% masih dalam pengobatan setelah 1 tahun, 29% dilaporkan meninggal dan gagal follow-up. Cakupan pengobatan ARV pada ibu hamil dan anak-anak dengan HIVjuga meningkat, namun masih dibawah 20% (ibu hamil) dan 15% (anak-anak). Gambar 4. Kaskade Pengobatan ARV Kumulatif Orang Yang Masuk Perawatan HIV 153,887 Kumulatif Orang Yang Memenuhi Syarat ART Kumulatif Orang Yang Pernah Mendapat ART 84, ,060 Kumulatif Orang Yang Dalam Perawatan ART 45,631-50, , , ,000 (Sumber: Kemenkes, September 2014) Dengan demikian, akselerasi cakupan tes HIV dan pengobatan ARV serta perbaikan kualitas layanan HIV dan AIDS akan menjadi prioritas dalam 5 tahun mendatang. 2.3 Situasi Pengendalian HIV dan AIDS Perkembangan respon untuk mengendalikan HIV dan AIDS di Indonesia Pada saat ditemukan kasus AIDS pertama di Bali pada tahun 1987, upaya pengendalian HIV dan AIDS dimulai secara lokal di beberapa kota, bekerja sama dengan mitra lembaga internasional dan negara / lembaga donor. Respon sektor kesehatan 24

27 secara nasional dimulai setelah Kementerian Kesehatan membentuk Komisi AIDS Nasional yang diketuai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL). Upaya pengendalian AIDS menjadi lebih intensif dengan adanya Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1994 tentang pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), yang salah satu tugasnya adalah menyusun strategi nasional dan rencana lima tahun pengendalian HIV dan AIDS. Kementerian Kesehatan menjadi Wakil Ketua 1 Bidang Kesehatan dan berperan lebih aktif dalam pengendalian HIV dan AIDS. Surat Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 1285/MENKES/ SK/X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan AIDS dan Penyakit Menular Seksual dan Rencana Strategis Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan tahun menjadi landasan program nasional pengendalian HIV dan AIDS sejak saat itu. Mengacu pada landasan tersebut, Menko Kesra menyusun Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun Didukung dengan perkembangan teknologi kesehatan dan mulai tersedianya obat ARV untuk menekan jumlah virus di dalam tubuh ODHA, Kementerian Kesehatan mengembangkan 25 Rumah Sakit Rujukan ODHA pada tahun Menteri Kesehatan ikut menandatangani Komitmen Sentani di tahun 2004 bersama-sama dengan Menteri Koordinator bidang Kesehjateraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Kepala BKKBN, Ketua Komisi VII DPR RI serta 6 Gubernur dari provinsi-provinsi yang paling banyak terkena dampak (Bali, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Riau dan Papua). Komitmen Sentani merupakan upaya menghindari agar epidemi tersebut tidak menjadi lebih luas lagi, dan menyebar ke populasi umum (generalized epidemic) dan menjadi ancaman nasional, melalui 7 poin komitmen. Untuk menanggulangi masalah penularan HIV melalui penggunaan alat suntik, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan no. 567/2006 tentang Pengurangan Dampak Buruk Pengguna Napza. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi penyediaan dan distribusi peralatan menyuntik steril pada penasun serta menghentikan beredarnya alat suntik bekas pakai yang berpotensi menularkan HIV, Hepatitis B dan C. Tahun 2011 telah dilaksanakan Kajian Eksternal Upaya Sektor Kesehatan dalam Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia, di bawah kepemimpinan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), melibatkan mitra program dari Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, lembaga mitra internasional dan lembaga donor, serta didukung secara teknis oleh WHO. Dibandingkan tahun 2007, perkembangan program secara keseluruhan selama empat tahun terakhir telah meningkat secara signifikan. Kemajuan dan peningkatan komitmen nyata terlihat di banyak daerah, namun demikian, cakupan intervensi belum merata di seluruh provinsi, 25

28 termasuk beberapa daerah dengan beban HIV dan AIDS tertinggi, yaitu di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Kemajuan dan peningkatan komitmen pada upaya pengendalian HIV dan AIDS di Tanah Papua dapat dilihat pada peningkatan anggaran baik nasional maupun lokal, dan peningkatan koordinasi program. Hasilnya dapa dilihat dari angka penggunaan kondom tertinggi di Indonesia pada kelompok WPS, namun demikian, cakupan pencegahan dan pengobatan masih menjadi tantangan dengan hanya sekitar 38% ODHA mendapatkan pengobatan ARV. Di beberapa daerah, koordinasi antar layanan masih belum sebaik yang diharapkan dan tantangan yang harus dihadapi di daerah sulit masih sangat berat, antara lain infrastruktur kesehatan yang lemah dan akses ke layanan sangat sulit karena jarak dan tingginya biaya yang harus dibayar pasien. Terjadi peningkatan anggaran Kemenkes pada pembelanjaan obat ARV, namun, di beberapa provinsi serta kabupaten/kota lain, jumlah pembelanjaan untuk program HIV tidak tampak meningkat sejak tahun 2007, bahkan secara riil menunjukkan ada sedikit penurunan. Upaya pencegahan juga terlihat meningkat sejak kajian terakhir. Hasil STBP 2013 menunjukkan dampak dari upaya yang ada. Program pencegahan, terutama penggunaan kondom, pengendalian IMS, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan cakupan program LASS menunjukkan kemajuan meskipun masih sangat terbatas. Beberapa tantangan besar yang masih harus dihadapi antara lain tidak konsistennya penyediaan layanan di provinsi maupun antar provinsi, kurangnya jejaring antar layanan dan antar komponen program, rendahnya cakupan program serta keberlanjutan program pencegahan. Beberapa tahun terakhir telah tampak kemajuan signifikan dalam hal pengembangan jumlah layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP) dan cakupan ART, namun retensi pengobatan ARV masih perlu ditingkatkan. Beberapa layanan PDP telah tampak ada kemajuan, sementara beberapa layanan lain tetap menjadi tantangan, seperti layanan infeksi oportunistik dan HIV pediatrik. Menindaklanjuti salah satu rekomendasi kajian eksternal terhadap upaya sektor kesehatan dalam pengendalian HIV dan AIDS tahun 2011, Indonesia menerapkan model layanan komprehensif HIV dan IMS berkesinambungan (LKB). Dalam strategi nasional tahun layanan komprehensif HIV-IMS berkesinambungan menjadi dasar upaya pengendalian HIV, yang bertujuan: Meningkatkan akses dan cakupan upaya promosi, pencegahan dan pengobatan HIV dan IMS serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring layanan hingga tingkat Puskesmas, termasuk layanan untuk populasi kunci. Meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggung jawab dalam mengendalikan epidemi HIV dan IMS di Indonesia dengan peningkatan koordinasi antar layanan HIV melaui peningkatan partisipasi komunitas dan organisasi masyarakat 26

29 madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan Memperbaiki dampak pengobatan HIV dalam model layanan terintegrasi dan terdesentralisasi di tingkat kabupaten/ kota. Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 menandai pengaturan kembali prinsip dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan perkembangan selama 5 tahun terakhir. Pada tahun tersebut juga telah tersusun buku Pedoman Layanan Komprehsif HIV dan IMS Berkesinambungan (LKB) yang penyelenggaraannya didasarkan atas 6 pilar utama yaitu: 1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini untuk mendapatkan dukungan dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan 2. Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan Keluarga untuk membangun akseptabilitas layanan, meningkatkan cakupan, dan retensi, serta mengurangi stigma dan diskriminasi 3. Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat 4. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan, berkualitas sesuai kebutuhan individu. 5. Sistem rujukan dan jejaring kerja untuk menjamin kesinambungan dan kelekatan antara komunitas dan layanan kesehatan 6. Akses Layanan Terjamin baik dari sisi geografis, finansial dan sosial, termasuk bagi kebutuhan populasi kunci Ketiga unsur utama dalam LKB yaitu 1) layanan kesehatan (primer, sekunder, dan tersier) termasuk layanan swasta maupun pemerintah, 2) unsur koordinasi melalui KPAD dan 3) unsur masyarakat termasuk LSM, Ormas, organisasi keagamaan dan kelompok populasi kunci, merupakan jejaring yang harus terkait satu sama lain dalam suatu kerangka kerja sebagaimana tergambar di bawah ini. Sampai dengan akhir tahun 2014 LKB telah terlaksana di 90 kabupaten/kota dan akan diperluas ke seluruh kabupaten/kota secara bertahap dengan memobilisasi berbagai sumber daya yang ada. 27

30 Gambar 5. Kerangka Kerja Layanan Komprehensif Berkesinambungan COMMUNITY ORGANIZER KPA Fasyankes Primer PUSKESMAS Fasyankes Sekunder RS Kab/Kota KADER Masyarakat Keluar ga PBM: Fasyankes Tersier RS Provinsi LSM, Ormas, Orsos, Relawan Kelompok Dukungan PBR: Keluarga ODHA COMMUNITY ORGANIZER Perkembangan Program dan Cakupan Promosi Kesehatan Pada tahun 2012, pemerintah berupaya untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS bagi masyarakat melalui Kesepakatan Bersama 5 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman di kalangan remaja dilakukan melalui melalui program Aku Bangga Aku Tahu (ABAT) yang diintegrasikan dalam kegiatan pendidikan formal dan nonformal (SMP, SMA, MTs, MA, Perguruan Tinggi, Karang Taruna). Program ABAT dilengkapi dengan 325 fasilitator terlatih yang berasal dari 65 Kabupaten/kota di 13 provinsi. Bentuk kampanye lain yang dilakukan adalah melalui media sosial (Microsite, tweeter dan facebook), media elektronik (media televisi, radio dan talkshow) dan media cetak (periklanan pada koran dan pesan kampanye pada kereta rel listrik di jabodetabek), menjalin kemitraan dengan dunia usaha, koordinasi dan konsolidasi dengan lintas sektor. Layanan Alat Suntik Steril dan Terapi Rumatan Metadon Sejak tahun 2006, Puskesmas telah melaksanakan LASS bagi penasun. Sampai dengan tahun 2013, terdapat 194 unit LASS dimana 162 unit adalah Puskesmas dan 32 unit di LSM, yang tersebar di 19 propinsi dan 72 kabupaten/kota. Review program LASS oleh KPAN menyimpulkan akses alat suntik steril di kota-kota seperti Makassar, Surabaya, Medan, Jakarta dan Bandung bagi penasun sudah tidak menjadi masalah. Dari hasil STBP 28

31 2011 juga disebutkan bahwa 33% penasun memperoleh alat suntik steril secara mandiri dari apotek. Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM) umumnya diberikan oleh RS, namun di beberapa kota dengan tingkat kebutuhan yang cukup tinggi seperti di Provinsi DKI Jakarta, Pulau Jawa dan Bali maka layanan terapi rumatan metadon tersedia di Puskesmas dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terpilih. Sampai dengan Bulan September 2014, layanan PTRM berjumlah 86 unit dimana 35 unit di RS, 42 unit di Puskesmas dan 9 unit di Lapas dan Rutan, yang tersebar di 17 provinsi. Jumlah pasien metadon yang aktif cenderung stabil, seperti terlihat pada Gambar 6. Gambar 6. Jumlah Pasien PTRM aktif pertahun, Tahun September 2014 Konseling dan Tes HIV Selama 5 tahun terakhir, fasilitas layanan konseling dan tes HIV meningkat 6 kali lipat dari 156 layanan di 27 provinsi pada tahun 2008 menjadi 990 layanan di 33 provinsi pada tahun 2013 dan terus bertambah. Jumlah orang yang dites HIV juga mengalami peningkatan yang signifikan, seperti terlihat pada grafik dibawah ini Gambar 7. Jumlah Orang yang dites HIV pertahun, Tahun Sept

32 Pemanfaatan layanan tes HIV yang meningkat dikonfirmasi oleh data STBP yang menunjukkan telah terjadi peningkatan pada populasi kunci, waria 45% menjadi 54%, WPSL 54% menjadi 67%, WPSTL 31% menjadi 42%, penasun 40% menjadi 54%, LSL 25% menjadi 38% (STBP 2009 dan STBP 2013). Penanganan IMS dan Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual Data STBP 2011 dan STBP 2013 mengungkapkan tetap tingginya angka IMS di kalangan populasi kunci. Angka penggunaan kondom pada seks komersial dilaporkan telah meningkat, tapi angka klamidia dan gonore pada WPSL dan WPSTL meningkat sedangkan prevalensi sifilis dilaporkan berkurang. Prevalensi IMS di populasi umum tidak diketahui dan surveilans IMS tidak secara rutin dilaksanakan.. Kondom mulai tersedia di beberapa klinik, bahkan beberapa Puskesmas sudah mulai menyediakan kondom di tempat-tempat yang mudah diakses. Antibiotik untuk pengobatan sifilis (benzatin penisilin), gonore (sefiksim) dan klamidia (azitromisin) tersedia di klinik IMS, namun pengobatannya terkadang tidak sesuai standar,pemberitahuan pada pasangan dan penanganannya juga tidak rutin dilaksanakan. Belum semua layanan IMS terintegrasi dengan layanan KIA dan skrining sifilis pada ibu hamil tidak secara rutin dilaksanakan. Dilaporkan bahwa pemeriksaan sifilis pernah dilakukan secara rutin di layanan ibu hamil tetapi berhenti pada beberapa tahun terakhir dengan alasan yang tidak jelas. Jumlah layanan IMS telah bertambah dari 301 layanan pada tahun 2011 menjadi layanan di bulan September 2014, di antaranya adalah Puskesmas di 124 kabupaten dan 70 kota di 34 provinsi. Dukungan pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis IMS masih kurang memadai, begitu pulapemantapan mutu eksternal nya. Jumlah layanan IMS dan jejaring antara layanan IMS dengan layanan lainnya masih terbatas. Surveilans untuk resistensi terhadap antibiotik juga belum dilakukan secara rutin. Program Pencegahan Penularan HIV melalui Ibu ke Anak (PPIA) Berdasarkan hasil proyeksi, prevalensi ibu hamil yang positif cenderung meningkat dari 0,34% pada tahun 2011 menjadi 0,49% di tahun 2016 (Estimasi 2012). Dengan meningkatnya jumlah perempuan usia reproduktif yang terinfeksi HIV, maka penularan HIV dari ibu ke anak akan cenderung meningkat jika upaya pencegahan tidak dipercepat dan diperluas. Sampai September 2014, jumlah unit layanan PPIA telah mencapai 119 Rumah Sakit dan 91 Puskesmas. Sebanyak 236 fasyankes terlatih layanan PPIA di 65 kab/kota di 21 provinsi. Jumlah ibu hamil yang mengikuti tes HIV meningkat secara signifikan dari 100,926 orang (2013) menjadi (September 2014), dimana 3.1% (2013) dan 0.9% (September 2014) diantaranya HIV positif. Sesuai rekomendasi hasil kajian ekternal tahun 2011, maka pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan mengeluarkan (1) Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 1 tahun 30

33 2013 tentang Pelayanan PPIA, (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 51 tahun 2013, tentang Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), (3) Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (RAN PPIA) , dan (4) Pedoman Pelaksanaan PPIA bagi Petugas Kesehatan. Dokumen-dokumen tersebut mendukung perluasan cakupan tes HIV pada ibu hamil yang datang ke pelayanan antenatal. Di beberapa layanan, penerimaan atas penawaran tes HIV di kalangan ibu hamil yang dilakukan pada ANC cukup tinggi, namun beberapa layanan konseling dan tes HIV nampak secara pasif menawarkan tes HIV. Dokter spesialis kebidanan belum banyak dilibatkan dan umumnya masih merekomendasikan persalinan melalui bedah sesar tanpa memandang status klinis ataupun terapi ARV. Meskipun banyak ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas, namun kunjungan antenatal pertama di Puskesmas seringkali dilakukan pada kehamilan yang telah lanjut bahkan sering sudah mendekati persalinan. Program monitoring dan evaluasi yang komprehensif atas program layanan PPIA selain pelaporan rutin PPIA mulai dikembangkan melibatkan kedua program. Program Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Dalam kurun waktu 2009 sampai dengan September 2014 terjadi peningkatan jumlah layanan PDP dari 154 menjadi 329 Rumah Sakit rujukan ARV, 15 Puskesmas Rujukan Mandiri, dan 6 fasyankes lainnya serta 120 unit layanan satelit ARV. Layanan ART masih terpusat di RS, dan masih menjadi kendala bagi beberapa ODHA untuk mengakses ARV karena sulitnya transportasi. Cakupan pengobatan ARV nasional baru 23% dari estimasi jumlah ODHA yang membutuhkan pengobatan ARV. Perluasan layanan ARV sampai ke Puskesmas akan memudahkan ODHA untuk mengakses yang akan meningkatkan cakupan ARV bagi ODHA. Infeksi oportunistik merupakan penyebab kematian pada ODHA, dan yang paling sering dilaporkan adalah kandidiasis (mencapai 30% dari seluruh kasus infeksi oportunistik) Tuberkulosis (22%), dan diare kronis (22%). (Kemenkes, September 2014). Surveilans, Monitoring dan Evaluasi Kementerian Kesehatan telah menyusun Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi Program HIV-AIDS dan IMS tahun 2013 sebagai acuan para pengelola program dan pemangku kepentingan lain dalam melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS secara efisien dan efektif. Pedoman ini memuat indikator keberhasilan program dan format pencatatan dan pelaporan standar untuk seluruh kegiatan program pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS di Indonesia. Form pencatatan standar telah disesuaikan dengan indikator yang disepakati baik secara nasional maupun global. 31

34 Sistem pencatatan dan pelaporan rutin dari unit pelayanan kesehatan sampai nasional merupakan bagian dari respon nasional untuk pengendalian HIV AIDS dan IMS. Sistem informasi yang disebut Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS (SIHA) tersebut diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan pada akhir Desember 2012, dan telah berfungsi dengan baik di 686 fasilitas pelayanan kesehatan pada 146 kabupaten/kota di 24 provinsi. STBP pada populasi berisiko dilaksanakan secara periodik pada 2 kelompok wilayah yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari 22 kab/kota di 11 provinsi, dan kelompok kedua terdiri dari 9 kab/kota di 9 provinsi. STBP pada kelompok pertama dilaksanakan tahun 2007 dan 2011 dan kelompok kedua pada tahun 2009 dan STBP juga dilakukan pada populasi umum di Provinsi Papua dan Papua barat, yang dilaksanakan pada tahun 2006 dan tahun Pemetaan populasi kunci merupakan alat penting dalam perencanaan program. Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan KPAN telah mengembangkan petunjuk teknis nasional dengan menggunakan metodologi standar bagi petugas kabupaten/kota dalam melakukan pemetaan populasi kunci, khususnya WPS, waria, LSL dan penasun. Pemetaan populasi kunci dengan metodologi standar ini telah dilaksanakan khusus pada kelompok LSL di 16 kabupaten/kota pada tahun 2014 dan kelompok Penasun di 68 kabupaten/kota. Estimasi populasi kunci dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan untuk memahami situasi epidemi dalam suatu area, memperkirakan beban penyakit, dan menyusun prioritas yang sesuai dalam merespon epidemi HIV. Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa kali estimasi, yaitu pada tahun 2002, 2004, 2006, 2009, dan Sedangkan untuk estimasi dan proyeksi epidemi HIV telah dilakukan pada tahun 2008 dan Indonesia telah mengadopsi strategi untuk memantau hubungan antara faktor progam pengobatan ARV dan perkembangan resistensi obat HIV (HIV Drug Resistance/HIV-DR) selama pengobatan. Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan membuat strategi nasional untuk pencegahan dan pemantauan resistensi obat HIV sebagai bagian dari program pengendalian HIV dan AIDS nasional. Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia telah ditunjuk sebagai laboratorium rujukan nasional untuk resistensi obat HIV dan sedang dipersiapkan untuk mendapat akreditasi WHO. Tiga kegiatan utama HIV-DR yang telah dilaksanakan adalah (1) pelaksanaan survei ambang batas (threshold survey) 5 untuk memantau mutasi resistensi transmisi, (2) 5 Threshold survey pertama telah dilakukan pada orang yang baru terkena HIV pada bulan April 2006 sampai September 2007 di lima lokasi pilot (RSCM, RSK Dharmais, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, dan RSPAD Gatot Soebroto), dan pada tahun 2012 di antara pengunjung yang datang ke layanan KTS di dua lokasi (Yayasan Kerti Praja, Puskesmas Kuta Selatan). 32

35 monitoring indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWI) di layanan ART 6 ; dan (3) survei pemantauan (monitoring survey) untuk memonitor munculnya mutasi yang resisten selama pengobatan 7. Laporan Kajian Paruh Waktu tahun 2013 terhadap pelaksanaan SRAN menyimpulkan bahwa meskipun ada respon yang meningkat seperti yang digambarkan di atas, Indonesia masih belum memenuhi target dan dampak program sebagaimana yang diharapkan. MDG menargetkan 95% populasi umum usia tahun memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Hasil Riskesdas dan Survei Cepat pada tahun 2010, dan 2012 menunjukkan peningkatan dua kali lipat, dari 11,4% pada tahun 2010 menjadi 20,6% pada tahun Meskipun demikian, tentu saja hasil ini masih jauh dari target MDG.. SRAN menargetkan 70% populasi kunci memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS. Namun hasil STBP 2011 dan 2013 pada populasi kunci, menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti, yaitu antara 15% - 43% (IBBS 2011) menjadi 15% - 42% (STBP 2013). Penasun memiliki tingkat pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS yang tertinggi pada hasil STBP 2011 dibandingkan populasi kunci lain (44%), namun ada penurunan dibandingkan tahun 2007 (60%). Penggunaan kondom secara konsisten di antara WPS langsung dan pelanggannya berdasarkan STBP 2011 dan STBP 2013 bervariasi antar kota (5% - 89%). Dari hasil Laporan Bulanan Perawatan HIV dan AIDS (LBPHA), hanya 23% ODHA yang masih minum ARV dari ODHA yang memerlukan ARV. Cakupan PPIA di kalangan ibu hamil meningkat pesat, laporan PPIA dari 131 kab/kota di 31 provinsi menunjukkan bahwa ibu hamil mendapat test HIV dengan hasil HIV pos Sekitar 80% (1624) sudah mendapat ARV. Jumlah lahir hidup dilaporkan 1772 dan jumlah anak yang HIV pos 97. Hasil kegiatan ini masih dibawah 20% terhadap target, dan hanya 15% dari estimasi anak yang memenuhi syarat yang mendapatkan pengobatan ARV. Hanya sedikit atau tidak ada penurunan prevalensi HIV di antara populasi kunci, kecuali penasun dan WPS langsung yang baru. Bahkan prevalensi di kalangan LSL menjadi dua kali lipat, dan meningkat di antara pelanggan. Kajian Paruh Waktu menggarisbawahi pendekatan yang berpotensi memberi dampak positif di masa mendatang seperti Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang disertai dengan penggunaan strategis obat antiretroviral (Strategic Use of ARV - SUFA). Hasil analisis finansial tahun 2014 oleh KPAN menunjukkan 49% sumber pendanaan pengendalian HIV dan AIDS berasal dari pembiayaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana 5/6 nya berasal dari APBN. Dengan asumsi kontribusi pemerintah pusat 6 EWIs monitoring di 16 RS di 6 Propinsi pada tahun Rumah sakit yang melaksanakan EWIs 2011 adalah RSK Dharmais, RSPAD Gatot Soebroto, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, RS Hasan Sadikin, RS dr. Kariadi, RS Sardjito, RS dr. Soetomo, RS Karang Tembok, RS Ramelan, RS Sanglah, RS Buleleng, RS Wangaya, RS Badung, RS Sanjiwani, dan RS Tabanan. Pengembangan EWIs tahun 2012 dilaksanakan pada 82 RS di 18 propinsi. 7 Monitoring survey HIV DR pertama kali dilakukan di RSPI Sulianti Saroso Jakarta pada tahun bulan September 2008 sampai Juli 2009 dengan hasil menunjukkan bahwa rejimen lini pertama masih efektif 33

36 naik 10% per tahun, pemerintah daerah naik 20% per tahun, dan sektor swasta (filantrofi, CSR, swasta lain) naik 0.5-2% per tahun, maka sampai dengan tahun 2019 Indonesia diperkirakan masih kekurangan dana 55,810,000 USD (ICA 2014). Pembiayaan untuk pengendalian HIV harus lebih ditingkatkan, terutama APBD bukan hanya APBN. UU no. 36 tahun 2009 menyatakan bahwa minimal 5% anggaran pemerintah pusat dan 10% anggaran pemerintah daerah harus digunakan untuk kesehatan, namun dalam pelaksanaannya alokasi anggaran untuk kesehatan masih rendah. Contohnya, selama ini alat suntik steril dan petugas penjangkau masih mengandalkan dana dari Global Funds ATM dan Australian Aid (melalui proyek HCPI). Hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bandung yang menyanggupi pengadaan alat suntik steril yang didistribusikan melalui Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, menetapkan tugas dan kewajiban di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pengendalian HIV dan AIDS. Surat Edaran Dirjen PP dan PL tahun 2013 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS yang mengatur agar pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan obat dan bahan habis pakai melalui anggaran yang menyatu atau terpisah dengan anggaran kesehatan (lihat tabel 1, dalam kegiatan pengadaan). Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan no. 21 tahun 2013 ini perlu dikawal melalui upaya mobilisasi sumber daya lokal yang ada. Sumber daya dan otoritas di tingkat desa juga menjadi penting dengan adanya UU Desa no. 6/2014 yang mengatur bahwa desa ikut dalam mengelola program termasuk mengelola anggaran yang dialokasikan kabupaten/kota bagi desa tersebut. 34

37 Bab 3 Kebijakan, Tujuan dan Target 3.1 Kebijakan Dasar kebijakan RAN Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan sebagaimana tertuang dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, sebagai berikut: a. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia; b. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional; c. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas; d. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif; e. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan; f. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS; g. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS; h. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan i. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna. Beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam pengendalian HIV dan AIDS adalah: a) memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan; b) menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; c) kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga; d) kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e) kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi yang terinfeksi HIV (ODHA) serta orang-orang terdampak HIV dan AIDS; f) kegiatan dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah berdasarkan kemitraan; 35

38 g) melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS; h) memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif. 3.2 Tujuan RAN HIV dan AIDS Bidang Kesehatan ini disusun untuk mencapai tujuan pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan umum: Menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun Tujuan khusus: Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA 3.3 Target Sejalan dengan kebijakan mencapai Fast Track maka akselerasi kegiatan dilakukan semaksimum mungkin dengan melakukan mobilisasi berbagai sumber baik pemerintah maupun dukungan ekternal dalam mencapai target 90/90/90. Di bawah ini adalah baseline dan target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2019: Tabel 2. Target Program Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS VARIABEL BASELINE 2013/ Penurunan infeksi HIV baru 50% a) Prevalensi HIV pada usia tahun b) Prosentase bayi yang HIV Positif DO: jumlah bayi lahir dengan HIV Positif dibagi jumlah bayi lahir hidup dari ibu HIV X 100% Seluruh bayi lahir HIV positif dibagi total bayi lahir yang hiv positif c) Cakupan Populasi kunci yang melakukan tes HIV 0,43 <0,5% 4,5% <1 % WPS = 53,491/228,253x10 70% 36

39 VARIABEL BASELINE 2013/ Jumlah populasi kunci yang di tes HIV dan menerima hasil pada tahun berjalan DO: Jumlah populasi kunci yang di tes HIV pada tahun berjalan dibagi estimasi jumlah populasi kunci pada tahun berjalan dikurangi populasi kunci yang hasil tesnya positif tahun sebelumnya dikali 100% d) Cakupan tes HIV pada Ibu hamil DO: jumlah ibu hamil yang dites HIV dibagi jumlah seluruh ibu hamil x 100% e) Cakupan tes Sifilis pada ibu hamil DO: jumlah ibu hamil yang di-tes Sifilis dibagi jumlah ibu hamil X 100% f) Cakupan tes sifilis pada Populasi kunci DO: jumlah populasi kunci yang dites Sifilis dibagi jumlah populasi kunci X 100% g) Persentase pasien TB yang dites HIV DO: jumlah pasien TB yang hasil tes HIV tercatat diregister TB dibagi jumlah pasien TB baru tercatat pada tahun berjalan X 100% 2. Penurunan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS a) Cakupan ODHA yang mendapat pengobatan ARV DO: jumlah ODHA on ART dibagi ODHA yang memenuhi syarat pengobatan ARV x 100% b) Prosentase ibu hamil HIV yang mendapatkan pengobatan ARV DO: jumlah ibu hamil HIV yang mendapat ARV dibagi jumlah ibu hamil HIV x 100% c) Cakupan pasien ko-infeksi TB- HIV yang mendapatkan pengobatan ARV DO: jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV 0% = 23,4% ; Waria = 4,874/38,031x100% = 12,8% ; LSL = 15,164/144,636x10 0% = 10,5%; Penasun = 8,896/74,326x100% = 12,0%; 4,5% 70% NA 70% NA 70% 9,5% Untuk wilayah epidemi meluas 80% Untuk wilayah epidemi terkonsentrasi 50% NA 25% 8 22% (Lap. Triwulan 3 Th & Proyeksi 2012 Th. 2014) 70% 74,4% 100% 51% 100% 8 Proyeksi kematian akibat AIDS 48,440 (2019) jika respon Indonesia terhadap AIDS masih seperti sekarang (Sumber: ICA 2014) 37

40 VARIABEL BASELINE 2013/ yang mendapatkan ARV dibagi jumlah pasien koinfeksi TB-HIV x 100% d) Cakupan pengobatan profilaksis ARV pada bayi DO: jumlah bayi lahir dari ibu HIV mendapatkan ARV profilaksis dibagi jumlah bayi lahir hidup dari ibu HIV X 100%. 3. Penurunan diskriminasi terhadap ODHA a) Proporsi kab/kota yang melaksanakan LKB DO: Jumlah Kab/kota yg melaksanakan LKB dibagi Jumlah kab/kota yang melaporkan kasus HIV dikali 100% 83,12% 100% =90/247 x 100% = 36,4% - 90% 38

41 Bab 4 Strategi dan Kegiatan RAN Pengendalian HIV-AIDS dan IMS Sektor Kesehatan akan dipaparkan secara sistematis dalam bentuk kegiatan yang terstruktur dan selaras dengan RAN bidang kesehatan dan non-kesehatan lain (misalnya SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS, RAN KIA, RAN TB, RAN Malaria, RAN Kespro, dan rencana aksi di sektor lain) untuk mencapai tujuan penurunan infeksi baru HIV dengan pendekatan khusus pada populasi kunci, populasi khusus maupun kelompok masyarakat rentan terhadap HIV AIDS dan IMS. RAN ini akan terus mendorong perkembangan dan pemantapan LKB yang merupakan strategi dan kebijakan nasional serta harus dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia. Rencana aksi yang berfokus pada LKB meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV-AIDS dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan konseling dan tes HIV dan IMS, PDP, PPIA, PDBN (LASS dan PTRM), layanan IMS, pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya, kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilans epidemiologi di Puskesmas, Rumah Sakit Rujukan kabupaten/kota dan fasyankes lainnya, termasuk fasyankes swasta. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan diharapkan dapat mendukung pencapaian target SRAN Strategi Strategi dalam RAN ini merupakan kelanjutan dari strategi dalam RAN dengan memperhatikan hasil-hasil pelaksanaannya. Strategi yang dikembangkan berupaya menjawab berbagai tantangan yang ada, dan sesuai hasil rekomendasi Kajian Eksternal Upaya Sektor Kesehatan dalam Pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia tahun dan Kajian Paruh Waktu SRAN Mengacu pada strategi pengendalian HIV dan AIDS dalam Permenkes no. 21 tahun 2013, maka dapat dirangkum 2 strategi pengendalian sebagai berikut: 1. Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB: 2. Memperkuat sistem kesehatan nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS 4.2 Kegiatan Utama Berbagai upaya untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS yang telah dilakukan selama ini masih belum mencapai hasil yang optimal sehingga perlu dilakukan akselerasi. Kegiatan-kegiatan dikelompokkan berdasarkan isu spesifik akan dijalankan selama tahun untuk mencapai tujuan pengendalian disusun dalam bentuk Rencana Aksi 39

42 Nasional (RAN) Target secara rinci dan waktu pelaksanaan dari masing-masing komponen dari kegiatan utama dapat dilihat dalam Lampiran 1. Tabel Kegiatan Utama Kegiatan Utama disusun berdasarkan kelompok program untuk mendukung strategi 1 dan strategi 2. Kegiatan utama ini akan diuraikan menurut tempat dan waktu pelaksanaan sesuai dengan Grand Design rencana pengembangan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Kegiatan utama strategi-1 : Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB 1. Peningkatan Konseling dan Tes HIV 2. Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV 3. Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS) 4. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu dan Anak (PPIA), 5. Kolaborasi TB-HIV 6. Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS 7. Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN) 8. Kewaspadaan Standar 9. Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS 10. Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain Kegiatan Utama Strategi 2: Penguatan Sistem Kesehatan Nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS 1. Penguatan Sistem Pembiayaan Program 2. Penguatan Manajemen Program 3. Pengembangan Sumber Daya Manusia 4. Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi 5. Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS 6. Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kegiatan utama Strategi-1: Meningkatkan cakupan layanan HIV- AIDS dan IMS melalui LKB Peningkatan Konseling dan Tes HIV Sampai dengan September 2014, layanan konseling dan tes HIV sudah dilaksanakan di layanan yang terdiri dari 352 RS, 1234 Puskesmas, serta 22 klinik di Lapas/Rutan dan fasyankes lainnya yang tersebar di 237 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Meskipun cakupan konseling dan tes HIV sudah meningkat, namun kesenjangan antara perkiraan jumlah ODHA dengan yang sudah didiagnosis masih besar. Perluasan layanan akan dilakukan ke seluruh Indonesia sehingga sampai tahun 2019 akan tersedia Fasyankes pemerintah maupun non-pemerintah yang mampu memberikan layanan konseling dan tes HIV. Perluasan layanan di Puskesmas akan dilakukan secara bertahap 40

43 sehingga di tahun 2019 seluruh Puskesmas mampu melakukan konseling dan tes HIV. Sedangkan perluasan layanan di Rumah Sakit akan menjangkau seluruh Rumah Sakit Pemerintah termasuk RS milik TNI/Polri dan 269 Fasyankes lainnya termasuk Lapas/Rutan, KKP serta klinik dan Rumah Sakit swasta. Tahapan pengembangan layanan konseling dan tes HIV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3. Rencana Pengembangan Layanan Konseling dan Tes HIV tahun di Indonesia Tingkat Peningkatan jumlah layanan tes HIV dan konseling Total Baseline * Provinsi Kabupaten RS PKM Lain-lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) Total Pengembangan di tahun tsb Tabel 4. Target cakupan KT-HIV tahun Indikator Base line Jumlah dan % WPS yang dites HIV Jumlah dan % Waria yang dites HIV Jumlah dan % LSL yang dites HIV Jumlah dan % Penasun yang dites HIV Jumlah dan % Pelanggan yang dites HIV ,4% 25,0% 35,0% 50,0% 60,0% 80,0% ,8% 26,0% 50% 80% 80% 80% ,5% 25,0% 40% 60% 70% 80% ,0% 26,0% 50% 80% 80% 80% ,9% 4,5% 6% 7% 8% 10% Tabel 5. Target cakupan tes HIV pada bumil, pasien TB dan pasien IMS Indikator Base line Cakupan bumil dites HIV Cakupan pasien TB dites HIV Cakupan pasien IMS dites HIV ,50% 20% 40% 60% 80% 80% % 20% 30% 40% 50% 60% % 17% 33% 52% 72% 96% 41

44 Dengan adanya penawaran tes HIV yang lebih aktif dan pengobatan ARV lebih dini, maka konseling pasca tes perlu diperkuat dan dikembangkan lebih luas meliputi: konseling kepatuhan, konseling pasangan, konseling keluarga, dan konseling berkelanjutan. Selain akses konseling dan tes HIV, pemeriksaan laboratorium penunjangnya seperti CD4 dan VL juga perlu ditingkatkan akses layanannya. Untuk itu, kerjasama dengan komunitas penting ditingkatkan untuk menjangkau populasi sasaran. Luaran dari kegiatan peningkatan cakupan Konseling dan Tes HIV adalah: 1. Meningkatnya cakupan tes HIV pada a. populasi kunci dan populasi khusus seperti pasien TB, pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan ODHA dan WBP di wilayah dengan epidemi HIV terkonsentrasi b. populasi kunci dan populasi khusus seperti pasien TB, pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan ODHA, WBP dan pasien di fasyankes di wilayah epidemi HIV meluas 2. Mempercepat inisiasi ARV pada ODHA 3. Tersedianya petugas kesehatan / konselor terlatih konseling di layanan konseling HIV yang tersebar di 34 propinsi dan 508 kota/kabupaten Uraian Kegiatan 1. Perluasan layanan konseling dan tes HIV 1.1 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di wilayah Provinsi 1.2 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di wilayah Kabupaten / kota 1.3 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di Rumah Sakit 1.4 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di Puskesmas 1.5 Perluasan layanan konseling dan tes HIV di fasyankes (termasuk RS Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan, DPS dll). 2. Pembentukan jejaring Faskes dengan petugas penjangkau 3. Pembentukan jejaring rujukan antar Fasyankes 4. Meningkatkan Cakupan tes HIV 4.1 Pelaksanaan layanan konseling dan tes HIV pada populasi kunci di wilayah dengan epidemi HIV terkonsentrasi 4.2 Pelaksanaan layanan konseling dan tes HIV populasi khusus (pasien IMS, TB dan hepatitis; ibu hamil, WBP, dan pasangan ODHA). di wilayah dengan epidemi HIV terkonsentrasi serta konseling dan tes HIV donor darah reaktif sebagai tindak lanjut hasil skrining darah di UTD Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV Jumlah layanan PDP yang telah mencapai 454 Fasyankes masih belum memadai, terlebih dalam mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang mengakses layanan PDP sesuai dengan kebijakan terkini mengenai pengobatan ARV. Pengembangan layanan ARV akan dilakukan secara bertahap dengan harapan pada tahun 2019 akan tersedia 3949 Fasyankes pemerintah maupun non-pemerintah yang mampu memberikan layanan PDP bagi ODHA di seluruh Indonesia. 42

45 Di tiap kabupaten/kota, minimal terdapat 1 RSUD yang menjadi rujukan layanan HIV-AIDS dan IMS termasuk layanan ARV. Sampai dengan tahun 2019, direncanakan akan ada pengembangan di 295 Rumah Sakit seiring dengan pengembangan kabupaten/kota, sehingga diharapkan akan tersedia 647 RS Pemerintah maupun non pemerintah yang mampu memberikan layanan ARV. Puskesmas yang mampu menginisiasi ARV akan diprioritaskan pada Puskesmas dengan layanan rawat inap. Sampai dengan Desember 2013, Puskesmas dengan rawat inap berjumlah Puskesmas diantara Puskesmas yang ada, dengan kemungkinan akan terjadi penambahan lagi setiap tahunnya. Kemenkes juga akan memperluas kemitraan dengan Kementerian Hukum dan HAM serta sektor swasta, agar klinik di Lapas Rutan serta klinik dan fasyankes swasta lainnya akan mampu menginisiasi ARV. Perluasan ini direncanakan akan dapat ditambah dengan minimal 50 fasyankes baru tiap tahun sehingga sampai dengan tahun 2019 menjadi sekitar 269 layanan. Layanan PDP tersebut akan terintegrasi dengan layanan terkait HIV lainnya. Rincian tahapan pengembangan layanan PDP selama 5 tahun mendatang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 6. Rencana Pengembangan layanan PDP tahun di Indonesia Jumlah layanan PDP Total Tingkat Baseline Provinsi Kabupaten RS PKM inisiasi ARV PKM satelit ARV Lain-lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) Total Pengembangan layanan PDP di tahun tsb Tabel 7. Target cakupan pengobatan ARV tahun Indikator Jumlah dan Persentase ODHA Dewasa (>14th) memenuhi syarat, mendapat ART Denomin ator Base line Target % 17% 20% 25% 30% 35% 40% Est ODHA memenuh i syarat

46 Indikator Jumlah ODHA anak (<14th) memenuhi syarat, mendapat ART Denomin ator Base line Target % 14% 35% 50% 60% 80% 80% Est ODHA anak memenuh i syarat Pengembangan layanan harus dilengkapi dengan kapasitas dan profesionalisme petugas medis dan non-medis di tingkat layanan Puskesmas. Kemitraan dengan komunitas dan keluarga ODHA juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan akses layanan HIV, Home Based Care dan kepatuhan terapi ARV. Luaran dari kegiatan perawatan, dukungan dan pengobatan adalah: 1. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang memberikan layanan PDP dan melaksanakan pemberian ARV dini kepada populasi kunci dan populasi khusus 2. Meningkatnya jumlah ODHA yang mendapat perawatan dan pengobatan ARV di Fasyankes primer dan sekunder 3. Meningkatnya jumlah ODHA dari populasi kunci dan populasi khusus yang mendapatkan pengobatan ARV secara dini 4. Meningkatnya jumlah ODHA yang patuh mengkonsumsi ARV 5. Meningkatnya kemitraan fasyankes dengan komunitas ODHA dan keluarganya untuk meningkatkan akses layanan HIV dan kepatuhan terapi ARV Uraian kegiatan: 1. Perluasan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) 1.1 Perluasan layanan PDP di wilayah Kabupaten/kota 1.2 Perluasan layanan PDP di Rumah Sakit 1.3 Perluasan layanan PDP di Puskesmas untuk inisiasi pemberian ARV 1.4 Perluasan layanan PDP di Puskesmas sebagai Satelit pemberian ARV 1.5 Perluasan layanan PDP di Fasyankes lainnya (termasuk RS swasta, klinik swasta, NGO, BUMN dan Lapas/Rutan 2. Meningkatkan jumlah ODHA yang mendapat pengobatan ARV di Fasyankes primer dan sekunder 2.1 Memberikan ARV pada ODHA dewasa yang memenuhi syarat pengobatan 2.2 Memberikan ARV pada ODHA anak yang memenuhi syarat pengobatan 3. Meningkatkan retensi ODHA yang mendapat pengobatan ARV 3.1 Pembentukan kelompok dukungan sebaya di fasyankes 44

47 3.2 Pertemuan kader / koordinator KDS dengan tenaga kesehatan dan pasien di fasyankes 4. Memberikan pengobatan profilaksis kotrimoksasol pada ODHA yang membutuhkan termasuk pasien TB-HIV 5. Meningkatkan kemitraan Fasyankes dengan komunitas/lsm peduli AIDS dan keluarga ODHA untuk meningkatkan akses layanan HIV dan kepatuhan terapi ARV 5.1 Pemberian KIE kepada ODHA,anggota keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan retensi terapi ARV 5.2 Perluasan jejaring layanan perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Kesehatan Reproduksi (Kespro) Jumlah layanan IMS yang telah mencapai Fasyankes masih belum memadai untuk menurunkan risiko penularan HIV. Oleh karena itu, direncanakan akan dilakukan perluasan layanan IMS secara bertahap sehingga pada tahun 2019 seluruh Puskesmas (9.719) akan mampu memberikan layanan IMS. Rencana pengembangan ini merupakan amanat dari Peraturan Menteri Kesehatan No 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, dimana IMS menjadi salah satu pelayanan kesehatan standar yang harus ada di Puskesmas. Layanan IMS dengan pemeriksaan laboratorium akan tersedia di Puskesmas dengan layanan rawat inap. Sementara penanganan kasus IMS di Puskesmas lainnya minimal berdasarkan pendekatan sindrom. Layanan IMS juga akan diperluas dengan melibatkan 649 fasyankes lain seperti klinik swasta, LSM dan Lapas/Rutan sampai tahun Dengan demikian perluasan layanan IMS, baik di fasyankes pemerintah maupun non-pemerintah, akan berkembang dengan pesat, bersama dengan penambahan fasyankes yang memberi layanan, dari pada tahun 2014 menjadi pada tahun Layanan IMS akan dilengkapi dengan konsultasi, penapisan, pemeriksaan laboratorium, tes HIV, pengobatan IMS, tes Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) untuk deteksi dini kanker rahim dan deteksi serta pengobatan sifilis pada ibu hamil untuk mencegah congenitas sifilis. Rincian tahapan pengembangan layanan IMS dan Kesehatan Reproduksi selama 5 tahun mendatang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8. Rencana Pengembangan Layanan IMS tahun di Indonesia Tingkat Jumlah layanan IMS Total Baseline Provinsi Kabupaten RS yang menyediakan layanan IMS PKM yang menyediakan layanan

48 diagnosis dan pengobatan IMS Layanan IMS dengan pemeriksaan laboratorium Layanan lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) Total Pengembangan Layanan IMS di tahun tsb Tabel 9. Target Cakupan Layanan IMS tahun di Indonesia Indikator Base line jumlah dan proporsi orang diperiksa sifilis di antara populasi yang berisiko* 12% 15% 25% 40% 70% 70% proporsi (%) kasus IMS (sifilis) yang diobati di antara kasus Sifilis yang didiagnosis 80% 85% 90% 90% 90% Jumlah ibu hamil diperiksa sifilis saat ANC 18% 27% 44% 60% 80% Jumlah dan % ibu hamil sifilis diobati diantara yang terdiagnosis sifilis 90% 90% 95% 95% 100% Jumlah Kab/Kota melakukan Penapisan Sifilis 6 bulan sekali Jumlah kab/kota melakukan mobile klinik IMS setiap bulan Jumlah kondom diberikan melalui layanan IMS *Populasi yang berisiko = jumlah populasi kunci + 5% jumlah LBT = 1,797,781 Cakupan layanan IMS akan terus ditingkatkan secara bertahap dengan sasaran utama pada populasi kunci dan populasi rentan, dan disesuaikan dengan pengembangan layanan HIV. Pengembangan cepat pada jumlah layanan ini harus diikuti dengan peningkatan kapasitas petugas di layanan dan kemitraan dengan komunitas. Perubahan pada pola pelayanan IMS tidak dapat mengabaikan begitu saja perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya ditutupnya lokalisasi dan pola pola transaksi seksual yang makin beragam. Untuk itu, kerjasama dengan komunitas penting ditingkatkan untuk dapat menjangkau populasi sasaran yang diharapkan. Pengamatan dan pemantauan akan dilakukan dengan lebih cermat dari waktu kewaktu agar pengembangan dapat terlaksana dengan baik 46

49 Di layanan kesehatan, penanganan IMS merupakan bagian dari kegiatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT). Ruang lingkup dari PKRT tsb adalah : 1. KIA 2. KB 3. Kesehatan Reproduksi Remaja 4. Penanganan IMS dan HIV 5. Kesehatan reproduksi lanjut usia Luaran dari kegiatan Pengendalian IMS dan Kesehatan Reproduksi adalah: 1. Tersedianya layanan IMS berkualitas di puskesmas dan FKTP lainnya (Lapas/Rutan, TNI, Polri, BUMN, swasta/ngo), serta fasyankes rujukan (FKTRL) 2. Menurunnya penularan HIV dengan memutus rantai penularan IMS pada populasi kunci (LSL, WPS, waria, penasun) 3. Penurunan penularan IMS dan HIV dari ibu ke anaknya 4. Tersedianya dan digunakannya informasi yang terpercaya dalam pengendalian IMS Uraian Kegiatan : 1. Menyediakan layanan IMS sesuai standar di seluruh Puskesmas dan fasyankes lainnya 1.1 Memperluas jangkauan layanan IMS di wilayah Provinsi 1.2 Memperluas jangkauan layanan IMS di wilayah Kabupaten/ Kota 1.3 Meningkatkan jumlah RS yang menyediakan layanan IMS 1.4 Meningkatkan jumlah Puskees,as yang menyediakan layanan IMS 1.5 Meningkatkan jumlah PKM yang menyediakan layanan IMS dengan pemeriksaan laboratorium 1.6 Meningkatkan layanan IMS di Lain-lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) 2. Meningkatkan cakupan pemeriksaan dan pengobatan IMS 2.1 Melakukan pemeriksaan rutin IMS dan penapisan sifilis untuk populasi kunci di Kab/ kota secara berkala. 2.2 Penyediaan layanan bergerak untuk pemeriksaan rutin IMS dan penapisan sifilis untuk populasi kunci oleh Kab / Kota 2.3 Menyediakan kondom sebagai alat pencegahan dan paket pengobatan IMS 2.4 Melakukan pemeriksaan IMS (sifilis) pada populasi berisiko 2.5 Mengobati kasus IMS (sifilis) yang ditemukan pada populasi berisiko 3. Mengurangi penularan IMS dan HIV dari ibu ke anaknya 3.1 Memperluas cakupan deteksi dini HIV, sifilis dan IMS lainnya pada ibu hamil yang datang ANC 3.2 Mengobati ibu hamil dengan sifilis untuk pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi yang dikandungnya 47

50 4. Memastikan ketersediaan dan penggunaan informasi yang terpercaya dalam pengendalian IMS 4.1 Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai standar 4.2 Mendorong inisiasi pencatatan dan pelaporan IMS dari layanan kesehatan mandiri dan swasta Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), Program PPIA merupakan program pencegahan penularan vertikal dari seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya serta pada anak yang menyusu padanya. Kerangka kerja program PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut 9 : Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular HIV Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan pengidap HIV Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya dan yang disusuinya Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya Sampai dengan September 2014, Fasyankes yang telah menyediakan layanan PPIA di Indonesia berjumlah 408 Fasyankes yang tersebar di 65 kota/kabupaten. Dalam 5 tahun ke depan, diharapkan semua Fasyankes terutama pemerintah telah mampu melakukan deteksi HIV pada ibu hamil dan bayi, sehingga: 1. Proporsi ibu hamil yang dites dan diobati sifilis menurun; 2. Proporsi ibu hamil yang dites HIV dan diobati ARV meningkat, 3. Proporsi bayi dari ibu HIV yang diperiksa dan diobati meningkat, 4. Proporsi bayi dari ibu sifilis yang diperiksa dan diobati meningkat 5. Angka kematian dan kecatatan pada bayi terkait sifilis, HIV dan IMS lainnya menurun. Rincian tahapan pengembangan layanan PPIA selama 5 tahun mendatang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 10. Rencana Pengembangan Layanan PPIA tahun di Indonesia Tingkat Jumlah layanan PPIA Baseline Total Provinsi Kabupaten Indikator utama masing-masing Prong dapat dilihat dalam lampiran 48

51 RS PKM Lain-lain Total Pengembangan di tahun tsb Tabel 11. Target Layanan PPIA tahun di Indonesia Indikator Cakupan Ibu Hamil di tes HIV Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV* Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat ARV profilaksis** Base line Total ,30% 20% 40% 60% 80% 80% 80% 78,80% 80% (2584) 91,64% 95% (754) 90% (3670) 100% (544) 100% (4.942) 100% (395) 100% (4.991) 100% (250) 100% (3.921) 100% (157) 100% 100% Luaran dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak ini adalah: 1. Meningkatnya jumlah kabupaten / kota yang mampu memberikan layanan komprehensif berkesinambungan meliputi layanan Konseling & Tes, PDP, PPIA dan IMS dari 91 kabupaten / kota menjadi seluruh (508) kabupaten / kota 2. Meningkatnya jumlah layanan HIV dan IMS yang berkualitas dan terintegrasi dengan layanan KIA dari 418 menjadi Fasyankes (2019) 3. Menguatnya pengendalian IMS, pencegahan HIV dari ibu ke anak (PPIA), KB dan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu 4. Semua ibu hamil dan bayi/anak dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pengobatan ARV dan/atau sifilis 5. Meningkatnya pengetahuan populasi umum terutama perempuan usia reproduktif terhadap HIV DAN AIDS 6. Meningkatnya dukungan masyarakat dan organisasi profesi terkait 7. Meningkatnya jumlah kabupaten / kota dengan PPIA yang terintegrasi dengan layanan KIA / KB 8. Meningkatnya jumlah provinsi dan kabupaten / kota yang mampu melaksanakan manajemen PPIA dalam LKB Kegiatan-kegiatan: 1. Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Termasuk layanan untuk Konseling penyiapan open status pada anak 49

52 1.1 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Provinsi 1.2 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di wilayah Kabupaten 1.3 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di Rumah Sakit 1.4 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di Puskesmas 1.5 Perluasan layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) di lainlain Faskes (termasuk Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) 2. Memberikan ARV pada Bumil HIV (+) 3. Memberikan ARV profilaksis kepada bayi yang terlahir dari ibu HIV (+) 4. Memberikan profilaksis kotrimoksasol pada bayi yang terlahir dari ibu HIV(+) 5. Melaksanakan Diagnosis dini bagi bayi yang terlahir dari ibu HIV(+) 6. Melaksanakan pengobatan Sifilis bagi bayi yang mengidap sifilis kongenital Kolaborasi TB-HIV Berdasarkan data rutin Program Nasional Kemenkes capaian kolaborasi TB-HIV pada tahun 2013 tercatat kurang dari 2% pasien TB telah mengetahui status HIV-nya. Diantara pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut, 40% merupakan pasien koinfeksi TB- HIV. Tingginya angka positif pada pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut kemungkinan disebabkan belum semua pasien TB dilakukan tes HIV, masih berdasarkan faktor risiko. Pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapatkan kotrimoksazol sebanyak 54% dan yang menerima ART sebanyak 49% selama pengobatan TB. Dari ODHA yang berkunjung ke layanan HIV, 83% dikaji status TBnya, dan 69% ODHA dengan TB mendapat pengobatan TB. Oleh karena itu, penemuan kasus, diagnosis dan pengobatan dini TB pada pasien HIV sangat penting dilakukan dan ditingkatkan cakupannya. Saat ini, kegiatan Pengobatan Pencegahan dengan INH baru dilaksanakan di 14 provinsi, dan di rencanakan akan dilakukan pengembangan secara bertahap sampai dengan 2019 ke seluruh provinsi 11. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di layanan HIV belum berjalan secara optimal, untuk itu diperlukan upaya penguatan pelaksanaan program di lapangan. Rumah Sakit ARV yang sudah menjalankan DOTS sampai dengan Desember 2013 adalah 262 (Data Dasar TB 2013). Dalam 5 tahun ke depan, diharapkan seluruh Fasyankes : 8 provinsi, 2015: 16 provinsi, 2016: 10 provinsi 50

53 penyedia layanan ARV (4.617 Fasyankes) dapat menjalankan DOTS, yang terdiri dari 647 RS dan Puskesmas serta 649 RS dan klinik-klinik swasta serta Lapas/Rutan. Untuk memperkuat kolaborasi TB-HIV dan meningkatkan akses pasien TB untuk tes HIV serta pasien dengan ko-infeksi TB-HIV, layanan tes dan ART perlu dikembangkan. Tabel 6. Rencana Pengembangan layanan PDP tahun , dan indikator serta target kolaborasi TB-HIV dijabarkan di tabel berikut. Indikator Tabel 12. Indikator & Target TB-HIV Baseline Target A. Membentuk dan memperkuat mekanisme kolaborasi TB-HIV Jumlah Pokja/Forkom TB-HIV di Provinsi yang aktif Jumlah Provinsi yang memiliki perencanaan bersama TB-HIV Ada data prevalensi HIV pada pasien n/a n/a Ada Ada Ada Ada TB, dan prevalensi TB pada ODHA Jumlah Kab/Kota yang mempunyai jejaring LSM/komunitas mendukung kegiatan kolaborasi TB HIV B. Menurunkan Beban TB Pada ODHA dan Inisiasi Pemberian ART Dini Persentase ODHA dikaji TB pada 83% 90% 95% 100% 100% 100% kunjungan terakhir Persentase ODHA-TB mendapat 69% 100% 100% 100% 100% 100% pengobatan TB sesuai standar Persentase ODHA baru yang menerima PP INH per tahun NA 10% 20% 30% 40% 50% Jumlah layanan perawatan HIV yang melakukan PPI TB C. Menurunkan Beban HIV Pada Pasien TB Persentase pasien TB yang mengetahui 2% 20% 30% 40% 50% 60% status HIV Persentase pasien TB-HIV mendapat 54% 100% 100% 100% 100% 100% PPK selama pengobatan TB Persentase pasien TB-HIV mendapat ART selama pengobatan TB 49% 100% 100% 100% 100% 100% Tabel 13. Rencana Pengembangan Layanan TB-HIV tahun di Indonesia Tingkat Jumlah layanan TB-HIV di PDP Total Baseline

54 Provinsi Kabupaten RS PKM Lain-lain (termasuk Fasyankes Swasta, Klinik Swasta, NGO, BUMN, Lapas/Rutan) Total Pengembangan di tahun tsb Luaran 1. Menguatnya kolaborasi program TB -HIV di semua tingkatan 2. Mengurangnya beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini 3. Mengurangnnya beban HIV pada pasien TB 4. Keterlibatan komunitas dan LSM dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV Kegiatan 1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan 1.1 Membentuk dan memperkuat mekanisme kolaborasi TB-HIV 1.2 Melaksanakan surveilans TB-HIV 1.3 Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV 1.4 Memperkuat Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV 2. Menurunkan Beban TB pada ODHA dan inisiasi pemberian ART dini 2.1 Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas 2.2 Pengobatan pencegahan dengan isoniazid pada ODHA 2.3 Penguatan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan yang memberikan layanan HIV, termasuk tempat orang berkumpul (Lapas/ Rutan, panti rehabilitasi untuk pengguna NAPZA) Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS Pemeriksaan laboratorium dilakukan oleh unit laboratorium pemeriksa di fasyankes untuk menegakkan diagnosis dan pemantauan hasil terapi. Setiap pemeriksaan laboratorium harus mengikuti Standar Pemeriksaan yang telah ditetapkan. Pemeriksaan laboratorium HIV sampai dengan saat ini telah dilaksanakan oleh fasyankes, meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir ini (dari 388 menjadi 1.391). Pemeriksaan laboratorium IMS layanan. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dilakukan Pemantapan Mutu (quality assurance). Pemantapan mutu laboratorium adalah keseluruhan proses atau semua tindakan yang dilakukan untuk menjamin ketelitian dan ketepatan hasil 52

55 pemeriksaan. Kegiatan ini berupa Pemantapan Mutu Internal (PMI), Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dan Peningkatan Mutu (quality improvement). Pengkajian Mutu External (PME) atau External Quality Assessment (EQA) adalah suatu proses yang terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh laboratorium rujukan yang ditetapkan untuk menilai mutu hasil pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di laboratorium pemeriksa Tiga metode yang dipakai untuk melaksanakan pengkajian mutu external Uji silang yaitu pengiriman sediaan dari laboratorium pemeriksa HIV dan IMS ke laboratorium rujukan pertama untuk dibaca ulang. Supervisi/ on site evaluation/ pembinaan yaitu pemantauan mutu dan bimbingan teknis kegiatan laboratorium dengan kunjungan lapangan. Pembinaan ini dilakukan berjenjang, baik dalam hal teknis pemeriksaan maupun manajemen laboratorium. Tes panel (panel testing/ proficiency testing) yaitu pengiriman sediaan dari laboratorium rujukan yang lebih tinggi ke laboratorium rujukan di tingkat yang lebih rendah dan laboratorium pemeriksa, untuk dibaca ulang Pemantapan Mutu Eksternal (PME) yang saat ini telah berjalan adalah untuk pemeriksaan diagnosis anti-hiv (PME Imunologi) dan untuk pemeriksaan CD4. PME anti- HIV telah diikuti oleh 519 (49%) dari 1,062 layanan HIV, sementara 543 layanan belum mengikuti (Kemenkes, TW I tahun 2014). Ketersediaan mesin pemeriksaan hitung CD4 masih terbatas di 203 Fasyankes di 189 Kabupaten/Kota, sementara mesin pemeriksaan viral load (V.L) masih terbatas di 15 Fasyankes di 16 Provinsi saja. PME CD4 telah diikuti oleh 166 (66%) Fasyankes (RS pemerintah, RS Swasta, BLK maupun Puskesmas) dari 250 fasyankes memeriksa CD4 (Kemenkes, TW I tahun 2014). Pelaksanaan PME CD4 ini melibatkan peserta baik yang menggunakan metode POCT maupun flowcitometry. PME untuk laboratorium IMS yang telah dilaksanakan adalah 166 Fasyankes karena menjadi satu paket dengan PME HIV. Selama tahun , jumlah fasilitas kesehatan yang mengikuti PME akan ditingkatkan seiring dengan penambahan sarana pemeriksaan sesuai dengan rencana pengembangan layanan HIV dan IMS, dimana sampai dengan akhir tahun 2019, diharapkan setiap kabupaten/kota telah memiliki minimal 1 mesin CD4, dan di tiap provinsi memiliki minimal 1 mesin VL. Semua peralatan harus dikelola demikian rupa sehingga penggunaan bisa lebih efektif dan efisien, begitu juga penyimpanan sampel darah serta ketersediaan dan distribusi reagen dengan memperhatikan jenis mesin, metode penggunaan dan rentang kadaluarsa berbagai reagensia, termasuk reagensia untuk CD4 maupun viral load. Pemantapan Mutu Internal (PMI) adalah suatu proses pemantauan yang terencana, sistematik, dan efektif yang dilakukan oleh laboratorium itu sendiri untuk memastikan 53

56 bahwa proses pemeriksaan laboratorium dilaksanakan dengan benar dan baik, serta untuk mendeteksi adanya kesalahan dan menganalisis kesalahan yang terjadi. Pemantapan mutu internal pada pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS dilaksanakan mulai dari persiapan penderita, pengambilan dan penanganan spesimen, pemeliharaan semua alat yang digunakan, pengujian kualitas reagen, penyusunan protap sampai dengan pencatatan dan pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS. Selama 5 tahun kedepan ( ) akan terus dilakukan PMI di laboratorium yang bersangkutan, dengan pengawasan dan pembinaan berjenjang melalui kegiatan supportive supervision dan mentoring klinis.jumlah laboratorium pemeriksa HIV dan IMS akan terus ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas pelayanan HIV dan IMS. Mutu pemeriksaan juga akan terus ditingkatkan dengan pemantapan mutu internal dalam fasyankes tersebut, disertai dengan pengembangan jejaring rujukan nasional laboratorium HIV DAN AIDS dan IMS untuk pemantapan mutu ekternalnya. Satu atau beberapa Laboratorium rujukan nasional (National refference laboratory) akan disiapkan, didukung oleh beberapa rujukan regional untuk pemantapan mutu external sebagai pelaksana uji profisiensi. Tahun 2015 Kemenkes akan menunjuk 7 laboratorium rujukan regional dan 1 laboratorium rujukan IMS yang melayani laboratorium pemeriksa di seluruh Indonesia. Selama kurun waktu tahun 2019 akan dikembangkan menjadi 4 laboratorium rujukan nasional dan 7 laboratorium rujukan regional yang tersebar di seluruh Indonesia. Laboratorium Rujukan regional dibentuk berdasarkan perhitungan jumlah beban kerja, yang dihitung dari jumlah fasyankes yang memiliki laboratorium pemeriksa HIV dan IMS dan luas wilayah yang dijangkau. Dengan cara perhitungan ini, maka wilayah binaan laboratorium rujukan regional, bisa hanya menjangkau satu provinsi atau beberapa provinsi. Gambar 8. Skema Sistem Rujukan Laboratorium HIV dan IMS Laboratorium* Rujukan*Nasional Jenis jenis pemeriksaan yang akan dilakukan: 1. HIV diagnosis (Antibody/Antigen testing) 1.1. Enzyme Immunoassays (EIAs) 54

57 1.2. Rapid test 1.3. Western blot (WB) 2. Early infants diagnosis 2.1. p24 3. Initiation and monitoring of ART 3.1. CD Viral Load Luaran dari kegiatan penguatan laboratorium HIV dan IMS ini adalah: 1. Meningkatnya jumlah dan mutu pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di laboratorium pemeriksa 2. Terbentuknya jejaring laboratorium HIV dan IMS untuk memastikan bahwa pelayanan laboratorium dilaksanakan dengan berkualitas sesuai standard. Kegiatan-kegiatan: 1. Review dan update Pedoman dan Standar serta pengembangan Jejaring Nasional Laboratorium HIV dan IMS 1.1 Penyusunan standar pemeriksaan reagen tes HIV 1.2 Penyusunan petunjuk teknis uji discordan reagen HIV (termasuk uji pendahuluan discordant reagen HIV) 1.3 Pengembangan jejaring laboratorium HIV dan IMS Persiapan pembentukan Laboratorium rujukan nasional. Satu untuk wilayah barat di Jakarta dan satu lagi untuk wilayah timur di Surabaya Persiapan pembentukan Laboratorium rujukan regional di 6-8 lokasi Pengembangan buku pedoman jejaring rujukan laboratorium HIV dan IMS termasuk pemantapan mutu pemeriksaan HIV dan IMS Pengadaan peralatan dan bahan habis pakai Pengembangan modul pelatihan petugas laboratorium rujukan Penyusunan instrument bimbingan teknis laboratorium HIV dan IMS 1.4 Penyusunan Pedoman Pelayanan Laboratorium Drug Resistance (DR) HIV dan IMS 1.5 Penyusunan Pedoman laboratorium pemeriksaan IMS 1.6 Review pedoman laboratorium pemeriksa HIV dan IO 1.7 Penyusunan instrument bimbingan teknis laboratorium HIV dan IMS 2. Peningkatan kapasitas petugas laboratorium pemeriksa atau petugas kesehatan lain yang menerima pendelegasian wewenang untuk menjalankan tugas sebagai petugas laboratorium HIV dan IMS 2.1 Penyusunan modul pelatihan petugas laboratorium pemeriksa HIV dan IMS bagi petugas kesehatan 2.2 Pelaksanaan pelatihan bagi petugas laboratorium pemeriksa di Fasyankes primer dan Fasyankes rujukan 55

58 3. Pelaksanaan jaminan mutu bagi laboratorium pemeriksa yang memberikan layanan HIV, meliputi CD4, viral load, EID dan IMS meliputi 3.1 Evaluasi reagen/ tes kit HIV 3.2 Evaluasi reagen post market (discordant >5%) 3.3 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa HIV dan IMS 3.4 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa CD4 3.5 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa Viral Load 3.6 Pemantapan mutu eksternal Lab pemeriksa EID 3.7 Pemantapan mutu eksternal Lab UTD 4. Peningkatan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium HIV dan IMS di fasilitas pelayanan kesehatan, sesuai dengan rencana pengembangan pelayanan HIV dan IMS 4.1 Pengembangan laboratorium regional Pemantapan Mutu External terakreditasi SNI ISO sebagai pelaksana uji profisiensi 4.2 Penguatan sarana dan prasarana laboratorium regional 5. Pertemuan koordinasi laboratorium rujukan nasional HIV dan IMS dan evaluasi hasil pelaksanaan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) 6. Supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Laboratorium pemeriksa HIV dan IMS di RS dan Puskesmas dan fasyankes lainnya oleh Laboratorium rujukan Nasional dan laboratorium rujukan regional Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN) Atas dasar situasi dan dinamika epidemi HIV & AIDS pada populasi pengguna napza suntik (penasun), WHO mengembangkan rekomendasi paket komprehensif program pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik yang terdiri dari sembilan (9) komponen. Rekomendasi ini merupakan penyempurnaan dari rekomendasi yang telah dikembangkan sebelumnya yang terdiri dari 12 komponen. Penyempurnaan ini dimaksudkan agar layanan kepada penasun bisa lebih tepat guna dan tepat sasaran serta memperhatikan lingkungan yang dibutuhkan oleh penasun untuk mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Paket komprehensif tersebut terdiri dari komponen-komponen program sebagai berikut: 1. Layanan Alat Suntik Steril (LASS). 2. Terapi Substitusi Opiat dan Perawatan Napza lainnya 3. Tes dan Konseling HIV. 4. Pencegahan Infeksi Menular Seksual. 5. Promosi kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya. 6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang diarahkan secara khusus kepada penasun dan pasangan seksualnya. 56

59 7. Terapi Antiretroviral. 8. Vaksinasi, Diagnosis dan Terapi untuk Hepatitis. 9. Pencegahan, Diagnosis dan Terapi untuk TB. Berbagai komponen program tersebut diatas pada dasarnya mengacu pada berbagai pedoman teknis dari masing-masing komponen yang berlaku saat ini yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan Data yang ada menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir program PDBN secara umum telah berhasil menahan laju epidemi di kalangan Penasun. Untuk mempertahankan hal tersebut, sebaran dan jumlah Fasyankes dengan LASS perlu ditingkatkan terutama di 141 kota/kabupaten prioritas. Saat ini 194 Fasyankes dengan LASS tersebar di 72 kota/kabupaten, Diharapkan dalam 5 tahun mendatang, 240 fasyankes dengan LASS akan tersedia di semua kota/kab prioritas, yang terdiri dari 200 Puskesmas serta 40 LSM dan klinik swasta lainnya. Layanan LASS yang telah ada selama ini akan dikaji kembali dengan memperhatikan jumlah penasun yang dilayani - paling tidak di atas 50 orang (disesuaikan dengan populasi penasun) per layanan. Rencana pengembangan layanan alat suntik steril akan menjangkau 34 provinsi dengan 110 kabupaten/kota dan 240 fasyankes seperti pada tabel dibawah ini: Tabel 14. Rencana Pengembangan Layanan LASS tahun di Indonesia Tingkat Jumlah Layanan LASS Baseline Total Provinsi Kabupaten RS PKM Lain-lain Total Pengembangan di tahun tsb Data yang ada sampai dengan bulan September tahun 2014 menunjukkan bahwa layanan PTRM yang sudah dapat diakses oleh klien terdapat di 87 Fasyankes yang berada di 49 kota/kabupaten sebagaimana grafik jumlah fasyankes dibawah ini.perkembangan jumlah fasyankes dan pasien yang dilayani 57

60 Gambar 9. Jumlah Fasyankes yang memberikan Layanan PTRM dan Perkembangan Jumlah Kumulatif Pasien yang dilayani ( ) Jumlah Fasyankes yg memberikan layanan PTRM Perkembangan Jumlah Fasyankes dan Jumlah pasien Sumber data: Direktorat PPML tahun 2014 Diharapkan dalam 5 tahun mendatang, akan tersedia 100 layanan PTRM yang tersebar di sekitar 55 kota/kabupaten. Layanan PTRM tersebut minimal akan disediakan oleh 40 Rumah Sakit, 48 Puskesmas dan 12 Lapas/Rutan. Pengembangan layanan PTRM akan disesuaikan dengan layanan LASS karena penasun yang mengakses LASS akan diarahkan ke PTRM. Rincian tahapan pengembangan layanan PTRM selama 5 tahun mendatang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 15. Rencana Pengembangan Layanan PTRM tahun di Indonesia Tingkat Jumlah layanan PTRM Baseline Total Provinsi Kabupaten RS PKM Lain-lain Total Pengembangan di tahun tsb Luaran dari rencana kegiatan Pengurangan Dampak Buruk Napza Suntik (PDBN) selama tahun ini adalah: 1. Tersedianya pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan metadon di tingkat Fasyankes dan mitra swasta 2. Meningkatnya kapasitas petugas kesehatan dalam pengurangan dampak buruk di Fasyankes 58

61 3. Meningkatnya peran petugas penjangkau, kader dan petugas kesehatan dalam menyelenggarakan kegiatan penjangkauan, kelompok dukungan untuk komunitas, pasangan dan keluarga (penasun dan pasien metadon). 4. Meningkatnya peran pemangku kepentingan dalam menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi yang kondusif 5. Meningkatnya pemahaman dan perubahan perilaku kelompok secara kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga kerentanan terhadap HIV berkurang Kegiatan-kegiatan: 1. Penyediaan pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan metadon di tingkat Fasyankes dan mitra swasta 1.1. Pemutakhiran pedoman PDBN Suntik 1.2. Pemutakhiran Petunjuk Teknis LASS 1.3. Pemutakhiran Petunjuk Teknis PTRM 2. Penyediaan pedoman yang diperbaharui dalam melaksanakan LASS dan metadon di tingkat Faskes dan mitra swasta 2.1. Pemutakhiran Juknis Suntik 2.2. Pemutakhiran Petunjuk Teknis PTRM 3. Meningkatkan kapasitas petugas penjangkau, kader dan petugas kesehatan dalam menyelenggarakan kegiatan penjangkauan, kelompok dukungan untuk komunitas, pasangan dan keluarga (penasun dan pasien metadon) Peningkatan kapasitas petugas penjangkau/kader pendukung program PDBN dalam bentuk workshop 3.2. Melaksanakan penjangkauan penasun untuk dirujuk ke layanan PTRM atau LASS 4. Sosialisasi layanan kepada pemangku kepentingan di tiap kabupaten/kota yang ada layanan. 5. Pengembangan jejaring kemitraan LASS dengan apotik terutama dalam penyediaan alat suntik steril bagi penasun yang sudah mengakses alat suntik steril secara mandiri Pertemuan dengan apotik daerah percontohan (DKI) 5.2. Rekrut konsultan 5.3. Mengembangkan konsep kemitraan dengan apotik 5.4. Melakukan uji operasional pelaksanaan kemitraan LASS dengan Apotik 5.5. Evaluasi hasil uji operasional 5.6. Perluasan bertahap jejaring kemitraan LASS dengan apotik 6. Meningkatkan pemahaman dan perubahan perilaku kelompok secara kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok Kewaspadaan Standar Kewaspadaan Standar merupakan kewaspadaan lapis pertama dari kewaspadaan isolasi. Kewaspadaan ini menekankan isolasi terhadap darah, semua cairan tubuh, sekreta, ekskreta kecuali keringat tanpa memandang jenis penyakit pasien. Kewaspadaan standar harus dilakukan setiap melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap pasien. Selanjutnya kewaspadaan berdasarkan Transmisi merupakan lapis kedua dari kewaspadaan isolasi sebagai tambahan Kewaspadaan Standar. Kewaspadaan ini 59

62 menekankan isolasi berdasarkan transmisi kontak, percikan dan udara diterapkan kepada pasien yang terbukti atau diduga kasus penyakit menular. Kewaspadaan Standar merupakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga para pengguna yaitu pasien dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan. Program ini hanya dapat berjalan bila masing-masing pihak menyadari dan memahami peran dan fungsinya masing-masing. Kewaspadaan standar harus dilakukan setiap melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap pasien. Pemeliharaan kesehatan karyawan merupakan bagian dari kewaspadaan standar dari program PPI. Salah satu dari program pemeliharaan kesehatan karyawan itu adalah penatalaksanaan pasca pajanan darah dan cairan tubuh. Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan. Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi melalui darah yang terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C adalah patogen melalui darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di seluruh dunia. Risiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah (bloodborne) seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPI HIV saja. Di seluruh fasyankes, kewaspadaan standar merupakan layanan standar minimal untuk mencegah penularan patogen melalui darah. Fasyankes dan petugas kesehatan wajib menerapkan kewaspadaan standar dalam memberi pelayanan kesehatan. Luaran dari kegiatan peningkatan kewaspadaan standar adalah: Menurunnya risiko penularan HIV akibat pekerjaan (bagi petugas kesehatan) maupun masyarakatyang menerima pelayanan medis. Kegiatan: 1. Penguatan penerapan kewaspadaan standar secara berkesinambungan di Fasyankes 1.1. Penyusunan SoP tentang kewaspadaan standar, termasuk profilaksis pasca pajanan okupasional 1.2. Sosialisasi SoP tentang kewaspadaan standar kepada tim PPI masingmasing RS, termasuk profilaksis pasca pajanan okupasional 60

63 2. Menyediakan layanan dan memberikan profilaksis pasca pajanan bagi orang terpajan HIV di lingkungan fasyankes. 3. Melaksanakan surveilans kecelakaan kerja di Fasyankes 4. Supervisi pelaksanaan kewaspadaan standar 5. Pengendalian infeksi HIV pada tenaga kesehatan yang terpajan di fasyankes Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang pencegahan IMS dan HIV, sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan yang sesuai dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS yang telah dilaksanakan berupa: edukasi pencegahan HIV pada kelompok usia tahun melalui Kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT), kampanye melalui iklan layanan masyarakat (ILM) dan media massa, pemberdayaan masyarakat, serta penguatan dukungan dan komitmen lintas program (LP) dan lintas sektor (LS). Orientasi fasilitator kampanye ABAT telah dilakukan di 33 provinsi dan 210 kabupaten/kota di 33 provinsi telah melaksanakan kampanye ABAT, dengan didukung dana Dekon, APBD, dan dana mitra. Sekitar orang berusia tahun mengikuti kampanye tersebut. Tahun 2014, kampanye ABAT juga dilaksanakan oleh Kemendikbud dan institusi pendidikan. Beberapa kegiatan kampanye melalui ILM dan media massa dilakukan selama bulan Oktober sampai dengan Desember Penayangan ILM pencegahan HIV AIDS/ABAT di 3 televisi nasional dan ILM ABAT di 4 televisi daerah, serta pemasangan ILM ABAT di kereta api commuter line jurusan Jabodetabek dan billboard di jalan tol. Edukasi tentang HIV dan AIDS melalui media massa dilakukan melalui media online/social media, seperti Twitter dan Youtube, konferensi pers, dan wawancara di televisi dan media nasional/internasional lain, serta pemanfaatan AIDS Digital dan social media oleh masyarakat. Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS juga melibatkan peran serta masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat. Strategi komunikasi PPIA, penyusunan pedoman dukungan sebaya dalam PPIA (bagi kader dan petugas kesehatan), video pembelajaran konseling pada PPIA, pedoman pendidikan sebaya HIV dan AIDS bagi siswa SMP dan SMA, serta panduan bagi guru SMP dan SMA dalam membimbing dan mendampingi pendidik sebaya HIV dan AIDS telah dikembangkan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di daerah yang telah dilakukan adalah pengembanga Warga Peduli AIDS (WPA) di beberapa kota, a.l. Bandung, Bogor dan 61

64 Semarang. Selain itu, pada 20 November 2014 Provinsi Papua melahirkan "Deklarasi Keputusan Mubes Pemberantasan Miras, Narkoba, dan Pencegahan HIV/AIDS dalam Enam Kabupaten di Wilayah Adat Mee Pago" untuk melindungi generasi muda Papua dari HIV dan AIDS. Penguatan dukungan dan komitmen lintas program dan lintas sektor yang telah dilaksanakan meliputi pertemuan berkala LS dan Ormas dalam "Kelompok Kerja Remaja untuk Penanggulangan HIV dan AIDS" berkoordinasi dengan KPAN; pertemuan 5 kementerian (Kemendikbud, Kemenag, Kemensos, Kemendagri, Kemenkes) yang melakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS; rapat koordiasi Kampanye ABAT LS dan LP, serta pertemuan dengan BPPSDMK tentang Kampanye ABAT di Poltekes. Selain itu, beberapa kegiatan terkait peringatan Hari AIDS Sedunia 2014 juga telah dilaksanakan, a.l. "Gebyar Remaja Peduli HIV AIDS" dan Kegiatan Hari AIDS Sedunia yang melibatkan 1000 siswa. Kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS dengan kelompok sasaran populasi kunci yang dilaksanakan berupa peningkatan pengetahuan (edukasi) tentang penularan HIV, risiko infeksi, upaya pencegahan IMS/HIV, dan perilaku pencarian pengobatan yang benar, yang dilaksanakan dalam bentuk intervensi perubahan perilaku (IPP). Populasi kunci yang berisiko terinfeksi HIV dan IMS meliputi pekerja seksual (wanita, waria, dan pria); lelaki seks dengan lelaki (LSL); dan pengguna napza, termasuk penasun. Kegiatan promosi pencegahan IMS pada populasi kunci dilaksanakan bekerja sama dengan LS-LP, LSM, organisasi masyarakat sipil dan populasi kunci di wilayah "hotspot", yang dikoordinasikan oleh KPA atau Pokja masyarakat setempat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan berupa pelatihan pendidik sebaya, petugas/relawan penjangkau, pendamping, dan kader (community organizer). Luaran dari kegiatan Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS adalah: 1. Meningkatnya pengetahuan komprehensif yang benar tentang HIV dan AIDS terutama di kalangan remaja dan masyarakat umum 2. Meningkatnya jumlah masyarakat termasuk populasi kunci yang mengetahui status HIV nya Kegiatan-kegiatan: 1. Meningkatnya pengetahuan komprehensif yang benar tentang HIV dan AIDS terutama di kalangan remaja dan masyarakat umum 1.1 Penguatan kementerian/lembaga yang telah melakukan MoU dalam Kampanya HIV AIDS untuk kelompok remaja 1.2 Bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan OR, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Organisasi profesi kesehatan, dan mitra lainnya 62

65 1.3 Memfasilitasi pemerintah daerah dalam melakukan kampanye ABAT ke semua kabupaten/kota dengan dukungan dana APBD, pemanfaatan pajak rokok, dan mitra 1.4 Jambore fasilitator ABAT (nasional) tahun Menerapkan pedoman pendidikan sebaya tentang Pencegahan HIV AIDS di SMP dan SMA 1.6 Mengoptimalkan peran Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dalam Kampanye ABAT 1.7 Mendorong terbentuknya WPA dan Pokja pencegahan HIV dan IMS masyarakat di daerah 1.8 Pemberdayaan masyarakat (?) 2. Meningkatnya jumlah masyarakat termasuk populasi kunci yang mengetahui status HIV nya 2.1 Meningkatkan kapasitas komunitas untuk melaksanakan penjangkauan dan pendampingan 2.2 Melaksanakan penjangkauan dan pendampingan ODHA 2.3 Meningkatkan partisipasi petugas penjangkau dan komunitas terlatih sebagai tim bersama Puskesmas. 3. Melaksanakan kegiatan promosi pencegahan HIV/IMS terintegrasi dengan promosi kesehatan lainnya (contoh: PHBS, KIA, KB, Kespro, TB, Gizi, Kesja OR, PTM, dll) 4. Meningkatkan kapasitas petugas promkes di fasyankes untuk dapat melaksanakan kegiatan promosi pencegahan HIV dan IMS Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di fasyankes, petugas penjangkau, kader, guru dan pengelola program serta keluarga ODHA dalam melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS KIE dan IPP 4.2 Melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS bagi pekerja sektor formal dan informal melalui kemitraan pemerintah dan sektor swasta 4.3 Melaksanakan promosi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dalam bentuk kampanye dan melalui media massa untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi 13 ; 4.4 Memanfaatkan media promosi kesehatan lainnya untuk promosi pencegahan HIV dan IMS Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain Guna memenuhi ketersediaan darah untuk kebutuhan pelayanan kesehatan di Indonesia selama ini pelaksanaannya dilakukan oleh Unit Transfusi Darah yaitu fasilitas Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan model pendampingan yang dilakukan LSM dengan kader program kesehatan lainnya seperti kader KB dan kader PMO TB Pesan dalam kampanye massal salah satunya adalah dengan mengenalkan contoh dukungan keluarga dan masyarakat kepada ODHA, menghilangkan mitos penularan HIV bahwa HIV bisa menular melalui jabat tangan, dll Terintegrasi dengan kegiatan

66 pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan donor darah, penyediaan darah, dan pendistribusian darah. Saat ini terdapat 376 Unit-unit Transfusi Darah (UTD) yang dikelola oleh pemerintah daerah (168) dan PMI (208) yang tersebar di 367 kabupaten /kota di 34 provinsi dengan rincian seperti terpapar dalam tabel di bawah ini. Gambar 10. Jumlah Unit Transfusi Darah per-regional Berdasarkan Kepemilikan Tahun 2013 Berdasarkan PP No. 7/2011, ujisaring IMLTD (Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah) pada darah donor harus diperiksa dengan minimal 4 parameter yaitu HIV, HBV, HCV dan Sifilis. Dalam kurun waktu , telah dilakukan uji saring terhadap 4 penyakit IMLTD dari pendonor dengan hasil seperti 64

67 Gambar dibawah. Pelayanan transfusi darah sangat rentan terhadap penyakit infeksi menular, salah satu upaya untuk mengamankan darah untuk transfusi adalah dengan melakukan uji saring darah donor terhadap infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi, seperti Sifilis, Hepatitis B, HIV dan Hepatitis C serta malaria. Seperti diketahui berdasarkan data global 0,1% 0,6% penderita HIV akibat transfusi darah, sedangkan data tahun 2013 didapatkan hasil uji saring HIV reaktif di Indonesia sebesar 0,03%. 65

68 Gambar 11. Hasil Uji Saring IMLTD tahun * 2* %*Reak4f* 1.5* 1* 0.5* 0* 2005* 2006* 2007* 2008* 2009* 2010* 2011* 2012* 2013* i HepaGGs*B* 1.66* 1.78* 1.95* 2.13* 1.95* 1.8* 1.75* 1.64* 1.64* HepaGGs*C* 0.33* 0.59* 0.58* 0.56* 0.59* 0.59* 0.55* 0.4* 0.41* HIV* 0.08* 0.07* 0.05* 0.06* 0.04* 0.02* 0.03* 0.07* 0.22* Sifils* 0.16* 0.37* 0.38* 0.45* 0.62* 0.66* 0.76* 0.84* 0.83* (Sumber: Kemenkes 2013) Metode pemeriksaan uji saring yang digunakan oleh UTD pun beragam, antara lain ada 250 UTD menggunakan metode rapid test, 113 UTD menggunakan metode Immuno Assay dan 12 UTD selain menggunakan metode Immuno Assay juga metode Nucleic Acid Amplification Technology Test (NAT). Untuk meminimalkan penularan infeksi sebagai dampak buruk infeksi pada darah donor dan produk darah lain, maka perlu dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kualitas uji saring IMLTD yang dilaksanakan oleh UTD, dengan meningkatkan jumlah UTD yang melaksanakan uji saring dengan metode immunoassay (EIA/ChLIA) 2. Melaksanakan rujukan donor darah reaktif untuk diagnosa dan pengobatan Baseline data awal per Juni 2014 bahwa terdapat 113 UTD yang telah menerapkan melakukan uji saring IMLTD dengan Metode minimal Immunoassay (EIA/ChLIA). Kemenkes mentargetkan sampai dengan 2019 seluruh darah donor harus melewati uji saring IMLTD dengan metode minimal immunoassay (EIA/CLIA) di 200 UTD. Prioritas pengembangan UTD yang melakukan uji saring IMLTD akan memperhatikan unsur sbb: Prioritas I: UTD dengan jumlah Donasi sekitar 60 / minggu (asumsi UTD dengan Produksi darah minimal pada tahun 2013 dengan proyeksi akan ada penambahan donasi pada tahun 2014). Prioritas II: UTD pada propinsi atau regional tertentu yang belum ada Uji Saring Immunoassay untuk rujukan dikab sekitarnya (Dibagi dalam prioritas II A dan II B karena terkait dengan pembagian tahun pelaksanaan kegiatan) Prioritas III: UTD dengan produksi darah lebih dari kantong/ tahun 2014 Tapi diperkirakan akan ada peningkatan dalam beberapa tahun atau Untuk 66

69 kepentingan pendidikan atau penelitian atau daerah dengan prevalensi IMLTD yang tinggi Tabel 16. Rencana Pengembangan UTD yang mampu melaksanakan uji saring IMLTD dengan metode immunoassay tahun di Indonesia Tingkat Jumlah layanan UTD Baseline Total Provinsi Kabupaten UTD Khususnya untuk HIV, pencegahan penularan HIV melalui transfusi juga perlu ditingkatkan dengan meningkatkan efektifitas memaksimalkan skrining darah donor dan merujuk pendonor yang darahnya reaktif dari UTD ke Fasyankes rujukan untuk tindaklanjut pemeriksaan dan pengobatan. Luaran dari kegiatan pengamanan darah donor dan produk darah lain adalah: 1. Tersedianya pedoman pengamanan darah donor 2. Meningkatnya jumlah UTD yang melakukan ujisaring IMLTD sesuai standar 3. Terbentuknya jejaring rujukan pendonor yang reaktif HIV dari UTD ke layanan HIV. Kegiatan-kegiatan: 1. Sosialisasi dan advokasi tentang pengamanan darah donor 2. Peningkatan kapasitas petugas UTD dalam melakukan dan melaporkan hasil uji saring serta merujuk pendonor yang reaktif HIV dari UTD ke layanan HIV 2.1 Pertemuan koordinasi antara UTD dan Fasyankes dengan Dinas Kesehatan 2.2 Membentuk jejaring UTD dengan layanan rujukan di setiap Kota/Kabupaten 2.3 Pertemuan nasional evaluasi pelaksanaan pengamanan darah donor 3. Supervisi fasilitatif tentang pelaksanaan pengamanan darah donor Kegiatan Utama Strategi 2 : Penguatan Sistem Kesehatan Nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang ditetapkan pemerintah dengan Peraturan Presiden no. 72 tahun 2012, adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan merupakan proses atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan 67

70 melalui pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Dalam Peraturan Presiden ini, komponen pengelolaan kesehatan yang disusun dalam Sistem Kesehatan Nasional dikelompokkan dalam subsistem: a. upaya kesehatan; b. penelitian dan pengembangan kesehatan; c. pembiayaan kesehatan; d. sumber daya manusia kesehatan; e. sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; f. manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan; dan g. pemberdayaan masyarakat. Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang merupakan strategi pengendalian HIV-AIDS dan IMS sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013, dilaksanakan sebagai upaya kesehatan yang merupakan salah satu sub-sistem dalam SKN, dengan dukungan sub-sistem lain sebagaimana tergambar dalam skema dibawah ini : Gambar 12. Dukungan Sistem Kesehatan dalam Pelaksanaan LKB S.D.M* Pembiayaan* Layanan* ** Komprehensif* Berkesinambungan! Logis4k* Sistem* Informasi* Pemberdayaan* Masyarakat* 68

71 Memperkuat Sistem Pembiayaan Program Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi antara pusat, provinsi dan Kota/Kabupaten sangat mempengaruhi pembiayaan dan pengelolaan layanan kesehatan dan sosial, termasuk HIV-AIDS dan IMS. Kementerian Kesehatan, bersama-sama KPAN akan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendukung Layanan Komprehensif Berkesinambungan melalui penerbitan peraturan daerah dan dukungan pembiayaan bersumber APBD. SKN mengamanatkan bahwa pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni: Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good) yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan ini, diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan akan mencapai universal healthcoverage sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pada 1 Januari 2014, Indonesia memasuki era baru dalam pembangunan kesehatan dengan mulai diberlakukannya Sistem JKN yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengintegrasian pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam JKN menjadi solusi alternatif dalam jaminan pembiayaan layanan HIV bagi ODHA. Hambatan dan tantangan mulai dari sosialisasi, kepersertaan serta beberapa aturan pelaksanaan masih dalam pembenahan dengan melibatkan semua stakeholders, termasuk penerima manfaat atau ODHA, untuk menjamin ketersediaan dan akses pembiayaan ke depan. Dengan mulai berlakunya UU ini, maka pembiayaan untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS pembebanannya akan melalui 2 skema yaitu pertama dengan pembiayaan Program melalui APBN dan APBD dan yang kedua dengan pembiayaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang Kesehatan (BPJS Kesehatan) sesuai dengan aturan pembiayaan yang berlaku untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai PPK-1 dan FKTR (Fasilitas Kesehatan Rujukan) sebagai PPK-2 dan PPK-3. Penguatan sistem pembiayaan untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS untuk menghambat laju epidemi HIV akan dilakukan secara sistematis dan terstruktur selama kurun waktu tahun

72 Luaran dari kegiatan pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan adalah: 1. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan barang publik (public good) dalam rancangan APBN maupun APBD. 2. Seluruh populasi kunci, ODHA dan keluarganya menjadi peserta JKN mandiri, keluarga, Pekerja Penerima Upay (PPU) atau Tenaga Kerja 3. Seluruh populasi kunci dan ODHA dari keluarga Peserta Keluarga Harapan (PKH) menjadi peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI) 4. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan barang publik (public good) dalam rancangan APBN maupun APBD. 5. Terpenuhinya pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan bagi ODHA dan populasi kunci yang mampu dengan menjadi peserta JKN Mandiri dan bagi yang tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah dengan menjadi peserta JKN PBI (Penerima Bantuan Iuran) 6. Meningkatnya pemahaman para petugas penjangkau, pendamping, populasi kunci dan ODHA tentang prosedur pemanfaatan JKN yang benar. 7. Berhasilnya advokasi sehingga disetujuinya perubahan pasal-pasal, ayat-ayat pada berbagai aturan yang mendiskriminasi populasi kunci dan ODHA untuk mengakses layanan JKN 8. Terintegrasinya layanan HIV-AIDS dan IMS kedalam skema JKN, baik di FKTP maupun di FKR 9. Dukungan pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan terkait HIV (KTHIV, Pemeriksaan laboratorium IMS di Fasyankes) Kegiatan-kegiatan: 1. Pertemuan konsultasi dan koordinasi dengan BPJS 2. Peningkatan kapasitas petugas kesehatan, LSM dan kader masyarakat melalui edukasi manfaat JKN dalam pengendalian HIV dan AIDS, 3. Penyebaran informasi kepersertaan dan pemanfaatan JKN yang benar terintegrasi dengan program lain di tingkat Fasyankes (dalam kegiatan sosialisasi program, kegiatan support group ODHA dan keluarganya, dll), 4. Monitoring pemanfaatan JKN oleh populasi kunci, ODHA dan keluarganya. 5. Advokasi kepada manajemen tempat kerja untuk mendorong kepesertaan JKN bagi Pekerja Penerima Upah (PPU) atau Tenaga Kerja guna pemanfaatan JKN dalam mendukung pembiayaan kesehatan bagi ODHA pekerja 6. Advokasi pemerintah daerah dalam dukungan pelaksanaan KTHIV dan pemeriksaan laboratorium IMS di Fasyankes Penguatan Manajemen Program Sistem Kesehatan Nasional mengamanatkan bahwa untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen 70

73 kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, regulasi, sinkronisasi, dan harmonisasi berbagai subsistem SKN agar efektif, efisien, dan transparan dalam penyelenggaraan SKN tersebut. Program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS memerlukan kapasitas pengelolaan program yang kuat dan terstruktur baik, yang bekerja secara sistematis dengan standar kemampuan yang memenuhi syarat. Penguatan manajemen program HIV-AIDS dan IMS, diharapkan akan menghasilkan luaran seperti dibawah ini: Luaran dari kegiatan Penguatan Manajemen Program 1. Meningkatnya kualitas manajemen program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS 2. Tersedianya dokumen perencanaan dan penganggaran sesuai dengan grand design rencana pengembangan program nasional pengendalian HIV_AIDS dan IMS 3. Terbitnya peraturan peraturan (termasuk peraturan daerah) yang mendukung upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS 4. Meningkatnya tatakelola upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS dengan strategi LKB di berbagai tingkatan 5. Tersedianya pedoman pedoman yang dibutuhkan untuk program pengendalian HIV-AIDS dan IMS 6. Terlaksananya dan tersedianya dokumen perencanaan dan penganggaran; standarisasi dan pengembangan program; pelaksanaan dan operasional program serta pemantauan dan evaluasi 7. Terlaksananya supervisi dan bimbingan teknis sebagai bagian dari pemantapan dan peningkatan mutu program nasional 8. Tersosialisasikannya peraturan perundangan sosialisasi peraturan perundangan tentang layanan HIV di Fasyankes 9. Konsistensi dukungan para pemangku kebijakan pada layanan terkait HIV di Fasyankes Kegiatan yang akan dilaksanakan: 1. Penyusunan pedoman perencanaan dan penganggaran untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS yang berbasis data di semua tingkatan dengan alokasi pendanaan dari berbagai sumber dana yang ada dan memungkinkan 2. Menyusun perencanaan dan penganggaran jangka menengah (lima tahunan) program pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS 3. Melaksanakan pertemuan untuk menyusun rencana tahunan pelaksanaan kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan 4. Melaksanakan kajian paruh waktu pelaksanaan program 5 tahun dan melakukan penyesuaian apabila dipandang perlu 71

74 5. Melaksanakan kajian kebutuhan program terhadap peraturan peraturan pendukung dan memfasilitasi penyusunan peraturan yang dibutuhkan untuk pengembangan dan peningkatan pengendalian HIV-AIDS dan IMS 6. Melakukan review Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian HIV- AIDS dan IMS dan menyusun edisi update Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian HIV- AIDS dan IMS 7. Melakukan kajian, pengembangan atau pemutakhiran pedoman, kebijakan dan tatalaksana terkait HIV-AIDS dan IMS (TKHIV, PDP, IMS, PPIA, TB-HIV, Laboratorium, PDBN, Kewaspadaan Standar, surveilans) (25 NSPK)* a. Pemutakhiran pedoman program b. Revisi Kebijakan terkait HIV-AIDS dan IMS c. Pemutakhiran pedoman tatalaksana/teknis terkait HIV-AIDS dan IMS 8. Menyusun Pedoman Supervisi program dan Pedoman Bimbingan Teknis Tatalaksana Klinis 9. Melaksanakan supervisi dan bimbingan tata kelola program serta bimbingan teknis tata laksana klinis a. Dari Nasional ke Provinsi b. Dari Provinsi ke Kab Kota 10. Melaksanakan peningkatan tatakelola upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS dengan strategi LKB di berbagai tingkatan melalui koordinasi dan konsultasi rutin lintas sector dan komunitas a. Pembentukan LKB di kab/kota b. Pertemuan Koordinasi LKB di kab/kota setiap bulan c. 2Pertemuan koordinasi di Puskesmas dan RS dengan Komunitas, kader, LSM 11. Melakukan kajian kebutuhan riset operasional untuk pengembangan dan peningkatan program (Research need assessment) 12. Advokasi dan sosialisasi peraturan perundangan tentang layanan HIV di Fasyankes kepada semua pemangku kepentingan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan merupakan salah satu pilar utama sistem kesehatan, yang sekaligus juga merupakan sub-sistem dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang ditetapkan pemerintah dengan Peraturan Presiden no. 72 tahun Sumber daya manusia kesehatan diperlukan dalam jenis dan jumlah yang mencukupi dan kualitasnya memenuhi standar, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai kebutuhan pembangunan kesehatan. SDM kesehatan merupakan pelaksana upaya kesehatan, dengan dukungan sub-sistem kesehatan lain yang meliputi pendanaan, sistem informasi, logistik, dan dukungan manajemen organisasi yang dipayungi oleh kebijakan dan aspek hukum yang berlaku 72

75 Program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS sebagai salah satu bagian dari upaya kesehatan prioritas, pada pengembangannya memerlukan sumber daya manusia (SDM) kesehatan dalam jumlah, jenis dan kualitas yang mencukupi, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai standar yang ditetapkan. SDM yang berkualitas diperlukan untuk mengelola program mulai dari Pusat sampai ke kabupaten/kota dan untuk memberikan layanan di fasyankes. Kebutuhan tenaga akan di identifikasi, mengacu pada rencana pengembangan program dan desentralisasi layanan dengan memperhatikan prioritas area dan tingkat epidemi HIV. Dalam menerapkan kerangka kerja LKB untuk pengendalian HIV-AIDS dan IMS, Kementerian Kesehatan memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memfasilitasi pendidikan dan pelatihan petugas meliputi aspek manajemen, teknis dan administrasi yang sifatnya Pelatihan untuk Pelatih = ToT (Traing of the Trainers) untuk mendorong dan menyiapkan kemampuan petugas dan komunitas terutama populasi berisiko. Kegiatan pengembangan SDM yang telah dilakukan oleh program pengendalian HIV-AIDS dan IMS selama ini sebagaimana tergambar pada tabel tersebut dibawah ini: Tabel 17. Data Pelatihan terkait Program Pengendalian HIV-AID dan IMS yang pernah dilaksanakan di Pusat tahun 2014 Jenis Pelatihan Jumlah batch Pelatihan Jumlah Tenaga dilatih TOT KT-HIV TOT PDP TOT PMTCT 2 65 TOT IMS TOT MONEV 2 75 TOT Sentinel 2 49 TOT LKB TOT IPP TOT Laboratorium 2 60 Mekanisme kolaborasi antara petugas kesehatan, aparat dan masyarakat setempat serta komunitas, populasi kunci dan ODHA harus diperkenalkan sejak awal dengan metode pelatihan yang dibuat satu kelas untuk pengelola program dan petugas layanan yang berasal dari lokasi kota/kabupaten yang sama. Dengan demikian akan didapat pemahaman yang sama bahwa program HIV adalah inklusif dan terintegrasi kedalam semua layanan yang tersedia di fasyankes. Demikian pula dengan pemantauan dan bimbingan teknis pelaksanaan program pengendalian HIV DAN AIDS dan IMS, harus dilakukan secara terpadu dan berjenjang. SDM kesehatan sebagai pelaksana upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS, secara garis besar terbagi dalam Program Management dan Layanan di Fasyankes, dengan tugas 73

76 dan fungsi yang berbeda. Petugas manajemen program secara garis besar menangani perencanaan dan penganggaran program, logistic and supply chain management, suveilans, pengembangan SDM, mengkoordinasikan jejaring kesehatan dan melaksanakan supportive supervision. Petugas layanan di fasyankes secara garis besar, menangani manajemen kasus/pasien dengan tugas utama mendeteksi kasus/menemukan penderita dengan melakukan pemeriksaan dan tes serta memberikan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan). Tentu saja semua petugas kesehatan dalam melaksanakan tugasnya selalu memperhatikan ke empat unsur pelayanan kesehatan yaitu pencegahan (preventive), peningkatan (promotive), pengobatan (curative) dan pemulihan (rehabilitative). Pengembangan SDM Kesehatan untuk pengembangan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS akan dilakukan dengan eskalasi dan ekspansi sesuai dengan rencana pengembangan program dan desentralisasi layanan. Peningkatan kapasitas petugas dilakukan melalui pelatihan berjenjang mulai dari dibentuknya kelompok pelatih nasional di pusat yang akan bekerja sama dengan pusat pusat pelatihan kesehatan di provinsi dan dinas kesehatan provinsi untuk menyelenggarakan pelatihan ToT. Selanjutnya para ToT ini yang akan melaksanakan pelatihan untuk petugas, baik dalam pelatihan manajemen program maupun pelatihan untuk petugas yang akan memberikan layanan di fasyankes. Pengembangan sumber daya manusia, merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan bukan hanya pelatihan. Pelatihan yang berbasis kompetensi tentu saja akan memastikan bahwa petugas mengerti apa tugasnya dan bagaimana melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi yang ditentukan untuk tugas tersebut. Tapi beberapa faktor lain juga memerlukan perhatian para manajer program di semua tingkatan. Luaran dari kegiatan Penguatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Meningkatnya jumlah dan mutu petugas pengelola manajemen program HIV- AIDS dan IMS di Indonesia 2. Meningkatnya jumlah dan mutu petugas pengelola layanan HIV-AIDS dan IMS di Indonesia 3. Meningkatnya mutu upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS Kegiatan-kegiatan yang dilakukan: 1. Merancang sistem pengembangan sumber daya manusia pengelola program pengendalian HIV-AIDS dan IMS a. Asesmen situasi ketenagaan, baik jumlah maupun jenis dan kapabilitas di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota dan layanan (need assessment) b. Pertemuan analisis dan evaluasi hasil kajian 74

77 c. Menyusun rancangan pengembangan SDM pengelola program dan layanan HIV-AIDS dan IMS perbaikan sistem pengelolaan logistik program HIV-AIDS dan IMS d. Melakukan review modul pelatihan manajemen program pengendalian HIV -AIDS dan IMS dan melakukan revisi 2. Melakukan review modul pelatihan teknis tatalaksana HIV-AIDS dan IMS di Faskes dan melakukan revisi modul yang meliputi: Modul Pelatihan Teknis 1) TKHIV, 2) PDP, 3) IMS, 4) PPIA, 5) TB-HIV, 6) Laboratorium, 7) PDBN, 8) Kewaspadaan Standar --> 18 Modul Pelatihan 3. Membentuk sistem pelatihan dan melatih Pelatih, Mentor dan Supervisor untuk melaksanakan peningkatan kapasitas secara berjenjang a. Membentuk Sistem Pelatihan Teknis b. Melatih Pelatih (1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar)(1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar; 9. Tatakelola Logistik; termasuk 10. Home Based Care) di Nasional untuk Provinsi c. Melatih Mentor dan supervisor (1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB- HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar; 9. Tatakelola Logistik; termasuk 10. Home Based Care) di Nasional utk 34 Prov d. Melatih Pelaksana Layanan dan Pelaksana Program (1. TKHIV; 2. PDP; 3. IMS; 4. PPIA; 5. TB-HIV; 6. Laboratorium; 7. PDBN; 8. Kewaspadaan Standar; 9. Tatakelola Logistik; 10 Home Based Care) di Kab/ Kota 4. Meningkatkan kapasitas melalui supervisi berjenjang dan bimbingan di lapangan serta kerja praktik/magang a. Supervisi nasional ke Provinsi 10% prov / tahun b. Supervisi semua Provinsi ke 5 Kab/ Kota/ th c. Supervisi semua Kab Kota ke layanan ke 5 Layanan/ th d. Magang petugas teknis 10 orang/kab/ tahun 5. Menyelenggarakan mentoring klinis tatalaksana HIV-AIDS dan IMS di setiap Faskes 6. Mengembangkan kurikulum HIV DAN AIDS dan IMS di insitusi pendidikan kesehatan bekerja sama dan berjejaring dengan institusi pendidikan kesehatan dalam mempersiapkan calon-calon tenaga kesehatan (preservice training) 7. Advokasi dan kerjasama dengan asosiasi profesi Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi Sebagaimana diamanatkan dalam Sistem Kesehatan Nasional, sebagai sub-sistem dari SKN, penyelenggaraan sistem informasi kesehatan bertujuan untuk menyediakan data dan informasi terkini, akurat, valid, cepat, transparan serta berhasil guna dan berdaya guna. Data dan informasi inilah yang digunakan sebagai bahan pengambilan 75

78 keputusan kesehatan dengan mempertimbangkan faktor desentralisasi, kecukupan data termasuk data terpilih yang responsif gender, dan aspek kerahasiaan yang berlaku di bidang kesehatan. Informasi kesehatan maupun manajemen program merupakan tulang punggung program dan dasar perencanaan, serta pemantauan dan evaluasi program pengendalian HIV AIDS dan IMS. Informasi strategis perlu dikelola dengan baik dalam suatu sistem yang kuat yang dapat memfasilitasi pengelolaan informasi sejak dari pengumpulan data, pencatatan, pengelolaan, analisis hingga pada pemanfaatannya. Untuk memperkuat perencanaan, perlu memanfaatkan hasil-hasil kajian yang ada. Selama kurun waktu akan dilakukan penguatan dan peningkatan sistem informasi strategis, monitoring dan evaluasi, sesuai dengan rencana pengembangan dan peningkatan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Luaran dari kegiatan penguatan sistem informasi strategis dan monitoring dan evaluasi adalah: 1. Terlaksananya kegiatan surveilans penyakit / infeksi HIV-AIDS dan IMS dan surveiland perilaku 2. Terlaksananya monitoring dan evaluasi program pengendalian HIV-AIDS dan IMS 3. Meningkatnya penggunaan informasi strategis sebagai dasarpenyusunan kebijakan, perencanaan, penganggaran, pengalokasian sumber daya, manajemen program dan penilaian kinerja serta akuntabilitas pelayanan kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota 4. Terintegrasinya sistem informasi HIV-IMS dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS) dan Sistem Informasi Daerah (SIKDA) 5. Tersedianya tenaga pengelola data dan sistem informasi yang kompeten Kegiatan-kegiatan: 1. Sosialisasi pedoman nasional Surveilans HIV Generasi Kedua termasuk petunjuk teknis dan modul pelatihan kepada pengelola program dan mitra terkait 1.1 Sosialisasi di tingkat provinsi 1.2 Sosialisasi di tingkat kab/ kota 2. Pemutakhiran pedoman dan modul pelatihan monitoring dan evaluasi sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi 3. Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS tentang surveilans epidemiologi 3.1 Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS tentang surveilans epidemiologi di tingkat Nasional dan provinsi dengan berkoordinasi dengan mitra terkait 76

79 3.2 Peningkatan kapasitas petugas program pengendalian HIV/AIDS and IMS tentang surveilans epidemiologi yang diselenggarakan oleh provinsi untuk petugas Kab/ kota 4. Pelaksanaan pemetaan populasi kunci, sosial, dan sumber daya untuk intervensi program HIV di setiap Kab/ Kota 5. Pelaksanaan surveilans sentinel HIV dan Sifilis pada populasi kunci, ibu hamil, WBP dan pasien IMS laki-laki 6. Pelaksanaan surveilans terpadu biologis dan perilaku pada populasi kunci dan populasi umum di area terpilih 6.1 STBP di populasi umum (Papua) 6.2 STBP di populasi kunci dan sasaran 7. Pelaksanaan perhitungan estimasi jumlah populasi kunci dan proyeksi epidemi HIV/AIDS 8. Pelaksanaan surveilans resistensi obat ARV Pelaksanaan pemantauan indikator kewaspadaan dini resistensi obat ARV yang terintegrasi dengan monev ART (EWI) 8.2 Pelaksanaan surveilans resistensi obat sebelum terapi ARV selama waktu tertentu (PDR) 8.3 Pelaksanaan surveilans resistensi obat setelah terapi ARV selama waktu 9. Pelaksanaan monitoring hasil pengobatan ARV (kohort) 10. Pengkajian data program sebagai berikut: estimasi jumlah populasi kunci dan proyeksi epidemi HIV/AIDS, surveilans sentinel HIV, surveilans terpadu biologis dan perilaku, cakupan dan kualitas pelaksanaan program 11. Diseminasi hasil analisis kajian program kepada pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya. Dilaksanakan secara rutin dan periodik 12. Melaksanakan kajian operasional terkait pengendalian HIV/AIDS dan MS 13. Perbaikan fitur sistem informasi dan pemanfaatan data oleh pelaku program di daerah: 14. Sosialisasi penggunaan aplikasi SIHA (sistim informasi HIV DAN AIDS dan IMS) kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, fasyankes dan mitra terkait dalam kegiatan pengendalian HIV - AIDS dan IMS sebagai perangkat standar dalam pencatatan dan pelaporan nasional. 15 Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) tahun 2014 tentang strategi monitoring HIVDR, Indonesia perlu memperbaharui monitoring resistensi obat HIV yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu: 1. Monitoring indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWIs monitoring) yang bertujuan untuk melihat indikator kewaspadaan dini yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya resistensi obat ARV di setiap tempat pelayanan ARV. Kegiatan EWIs dilakukan dengan mengukur empat indikator yang dilihat dari pencatatan dan pelaporan yang ada di rumah sakit. Survei ini menggunakan data rutin, sehingga pencatatan dan pelaporan di unit pelayanan kesehatan harus dipastikan berjalan dengan baik. 2. Surveilans resistensi obat ARV pada saat inisiasi terapi ARV, termasuk restart (Surveillance of Pretreatment HIV DR/PDR). Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan estimasi prevalensi HIVDR diantara semua yang inisiasi ART secara nasional dan hasil survei dapat dibagi menjadi yang terpajan dan tidak terpajan obat HIV. 3. Surveilans resistensi obat ARV yang didapatkan setelah terapi ARV dalam waktu tertentu (Surveillance of Acquired HIVDR/ADR). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menghitung estimasi prevalensi supresi viral load dan resistensi obat HIV pada orang yang menerima ART pada 12 bulan (± 3 bulan) dan 48 bulan secara nasional. Pelaksanaan ADR pada orang dewasa dan anak dilakukan terpisah. 77

80 14.1 Penguatan dan perluasan penggunaan aplikasi SIHA keseluruh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, fasyankes dan mitra terkait pemberi layanan HIV DAN AIDS dan IMS Peningkatan dukungan operasional fasilitas Sistem informasi (perangkat keras, perangkat lunak, dan internet) serta pemeliharaan aplikasi SIHA 14.3 Konsultasi dan koordinasi dengan Pusdatin dan unit Data dan Informasi (Datin) di daerah 14.4 Peningkatan kapasitas petugas data dan informasi di tingkat Kabupaten 15. Melakanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program disemua tingkatan dan melakukan identifikasi kebutuhan peningkatan dan penyesuaian program 15.1 Melakukan pemantauan dan analisis data hasil kegiatan dan cakupan program melalui laporan rutin maupun hasil supervisi Mengirimkan umpan balik hasil analisis data, dari pusat ke Dinas Kesehatan Provinsi, dan seterusnya secara berjenjang, Dinas Kesehatn Provinsi dan kabupaten/kota melakukan hal yang sama 16. Melaksanakan pertemuan monitoring dan evaluasi kemajuan program secara berjenjang, tingkat nasional minimal setahun sekali, di provinsi dan kabupaten/kota minimal satu kali setiap semester 16.1 Pertemuan MONEV Provinsi di Nasional 16.2 Pertemuan MONEV Kab Kota di Provinsi 17. Mengembangkan standar agenda pertemuan dan tools yang dibutuhkan Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS Untuk menjamin ketersediaan logistik program HIV-AIDS dan IMS yang terdiri dari obat ARV dan IMS serta komoditas lainnya yakni alat dan bahan terkait diagnostik dan penunjang lainnya yang aman, bermutu, berkhasiat serta terjangkau, perlu dibangun satu sistem manajemen logistik yang kuat dan baik. Pasokan tak terputus obat antiretroviral (ARV) untuk pengobatan HIV-AIDS adalah prasyarat utama dan sekaligus tantangan besar bagi terlaksananya program HIV-AIDS. Merancang sistem tata kelola logistik program untuk menjaga kesinambungan rantai pasokan yang efektif dan berkelanjutan ini sangat penting artinya bagi implementasi program, terutama dengan meningkatnya jumlah orang yang menjalani pengobatan. Sistem tata kelola ini juga harus memastikan obat dalam kondisi baik, penyimpanan obat yang aman dan memenuhi syarat, distribusi menggunakan transportasi seefisien mungkin, didukung oleh sistem informasi yang kuat. Sistem tata kelola logistik ini merupakan salah satu pilar utama dari Sistem Kesehatan Nasional. Sistem ini menggunakan pendekatan siklus lima fungsi manajemen logistik yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan, dengan dukungan sistem kesehatan lain yang meliputi organisasi, 78

81 pendanaan, sistem informasi, sumber daya manusia, dan jaga mutu. Rangkaian antara siklus dan dukungan manajemen ini dipayungi oleh Kebijakan dan Aspek Hukum yang berlaku. Gambar 13. Siklus Manajemen Logistik Program Perencanaan* Penggunaan* DUKUNGAN*MANJEMEN:* Organisasi* SDM* SDM* Pembiayaan* Sistem*Informasi* Jaga*Mutu* Pengadaan* Distribusi* Penyimpanan* KEBIJAKAN*DAN*PERATURAN* Untuk memastikan ketersediaan logistik program dalam jumlah dan jenis yang cukup, telah terbit Surat Edaran Direktur Jenderal PP & PL no. HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang alokasi pembiayaan logistik program HIV-AIDS dan IMS (lihat table xx) yang mengatur pembagian tanggungjawab pembiayaan obat, alat dan bahan terkait diagnostik dan penunjang lainnya, Sampai dengan akir tahun 2014, meskipun belum terpenuhi seluruhnya proporsi budget sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran tersebut, tetapi sudah cukup banyak provinsi dan kabupaten/kota yang telah mendapatkan alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan logistik tersebut. Tabel 18. Alokasi Pembiayaan Logistik Program HIV dan AIDS Jenis Obat dan Komoditas lainnya Pengadaan oleh Pusat (% dari total kebutuhan) Pengadaan oleh Daerah (% dari total kebutuhan) Reagen tes HIV Reagen Sifilis Reagen Pewarnaan Gram Reagen CD Reagen VL Obat ARV Obat IO Obat IMS Metadon

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015 SRAN 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Per 1 September 2015 Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional Tahun 2015 Bab 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara : KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA Disampaikan Pada Acara : FORUM NASIONAL VI JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Padang, 24-27 Agustus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA 2007 2010 KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL 2 0 0 7 Ringkasan Eksekutif Dokumen ini berisi Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV disampaikan oleh : Kasi Resisten obat Nurjannah, SKM M Kes Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI Epidemilogi

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Priscillia Anastasia Koordinator PMTS 1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

RPJMN dan RENSTRA BPOM

RPJMN dan RENSTRA BPOM RPJMN 2015-2019 dan RENSTRA BPOM 2015-2019 Kepala Bagian Renstra dan Organisasi Biro Perencanaan dan Keuangan Jakarta, 18 Juli 2017 1 SISTEMATIKA PENYAJIAN RPJMN 2015-2019 RENCANA STRATEGIS BPOM 2015-2019

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.122, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. TB. Penanggulangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang. Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012

Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang. Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012 Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012 Pokok bahasan Situasi epidemi: Tren kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan dan kebijakan

Lebih terperinci

PRA-MUSRENBANGNAS RKP 2016 Kelompok Pembahasan: Kesehatan

PRA-MUSRENBANGNAS RKP 2016 Kelompok Pembahasan: Kesehatan PRA-MUSRENBANGNAS RKP Kelompok Pembahasan: Kesehatan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Jakarta, 16-24 April 2015 Buku I: STRATEGI PEMBANGUNAN NORMA PEMBANGUNAN 1) Membangun untuk manusia dan masyarakat;

Lebih terperinci

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan

Lebih terperinci

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 (LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR 08/PER/MENKO/KESRA/I/2010)

Lebih terperinci

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru Artikel 1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya Tidak dapat dipungkiri, epidemi HIV/AIDS telah berkembang begitu pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kasus ini paling

Lebih terperinci

Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV. Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES

Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV. Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES Latar Belakang Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014): > 1jt ODHA pad th 2025 Akan terus

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO SALINAN BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara global hingga pada pertengahan tahun 2015 terdapat 15,8 juta orang yang hidup dengan HIV dan 2,0 juta orang baru terinfeksi HIV, serta terdapat 1,2 juta

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Nasional

Strategi dan Rencana Aksi Nasional Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA Komisi

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KEGIATAN sd Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan

RENCANA AKSI KEGIATAN sd Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan RENCANA AKSI KEGIATAN 2015 sd. 2019 Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL POLICY BRIEF 03 PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB)

Lebih terperinci

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014

STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010-2014 (LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT SELAKU KETUA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS NASIONAL NOMOR 08/PER/MENKO/KESRA/I/2010)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara : KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS PROVINSI DKI JAKARTA Disampaikan Pada Acara : LATAR BELKANG 1. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

oleh: Nina Sardjunani Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Bappenas

oleh: Nina Sardjunani Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Bappenas oleh: Nina Sardjunani Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Bappenas Jakarta, 23 April 2015 OUTLINE I. Pendahuluan II. III. IV. Kondisi Umum Kesehatan Kondisi Umum SDM Kesehatan Tantangan Pembangunan SDM Kesehatan

Lebih terperinci

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Department of Foreign

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN (Permenkes No. 43/ 2016)

PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN (Permenkes No. 43/ 2016) PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN (Permenkes No. 43/ 2016) Biro Perencanaan dan Anggaran Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 1 DASAR HUKUM STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS

POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh, Kepada Yth Pelaksana Tugas Kepala BKKBN, Bapak Sudibyo Alimuso, Sekretaris

Lebih terperinci

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN www.aidsindonesia.or.id APRIL 2014 K ebijakan penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 harus memperhatikan Post 2015 Development Agenda yang merupakan kelanjutan dari MDGs yang berakhir pada 2015 Dr. Hadiat

Lebih terperinci

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka HIVdanAIDS

Lebih terperinci

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev www.aidsindonesia.or.id MARET 2014 L ayanan komprehensif Berkesinambungan (LKB) merupakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun

Lebih terperinci

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KESEHATAN

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KESEHATAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KESEHATAN 2015-2019 Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes Disampaikan pada: RAPAT KONSULTASI NASIONAL PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALKES PALU, 31 MARET 2015 VISI PRESIDEN Terwujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

Lebih terperinci

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan telah terpengaruh oleh HIV sejak awal epidemi terjadi dan dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). Secara global HIV dan

Lebih terperinci

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program www.aidsindonesia.or.id AGUSTUS 2012 A gustus 2012 kali ini terasa special. Pertama karena pada tanggal 17 diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 67. Kedua, yaitu bersamaan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi HIV adalah melalui kontak seksual;

Lebih terperinci

Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa

Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa Menkokesra selaku Ketua KPA Nasional menunjuk IBCA sebagai Sektor Utama Pelaksana Peringatan HAS 2013 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBENTUKAN KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBENTUKAN KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan pembangunan kesehatan. Pola penyakit yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU,

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 SERI B.25 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KOLABORASI TB-HIV (TUBERKULOSIS-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) KABUPATEN

Lebih terperinci