EXECUTIVE SUMMARY HASIL PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EXECUTIVE SUMMARY HASIL PENELITIAN"

Transkripsi

1 EXECUTIVE SUMMARY HASIL PENELITIAN PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT SERTA HAK- HAK TRADISIONALNYA DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Oleh: TIM PENELITI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT KERJASAMA PPUU DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI DENGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2009

2 HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak- Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan 2. Program Studi : Ilmu Hukum 3. Fakultas : Hukum 4. Universitas : Lambung Mangkurat 5. Peneliti a. Ketua : Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum. b. Wakil Ketua : H. F. A. Abby, SH., MH. c. Sekretaris : Mahyuni, SH., MH 6. Dibiayai : PPUU DPD RI Jakarta 7. Kesepakatan MoU : Jakarta, 25 Juni Lama Penelitian : 48 hari 9. Waktu Pelaksanaan : 26 Juni s/d 13 Agustus Tempat Pelaksanaan : Provinsi Kalimantan Selatan Mengetahui Banjarmasin, 10 Agustus 2009 Dekan, Ketua Tim Peneliti Rosita Saifuddin, S.H. Dr. Abdul Halim Barkatullah, SH., M.Hum NIP NIP

3 LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT SERTA HAK- HAK TRADISIONALNYA DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Oleh: TIM PENELITI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT KERJASAMA PPUU DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI DENGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2009

4 HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan 2. Program Studi : Ilmu Hukum 3. Fakultas : Hukum 4. Universitas : Lambung Mangkurat 5. Peneliti d. Ketua : Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum. e. Wakil Ketua : H. F. A. Abby, SH., MH. f. Sekretaris : Mahyuni, SH., MH 6. Dibiayai : PPUU DPD RI Jakarta 7. Kesepakatan MoU : Jakarta, 25 Juni Lama Penelitian : 48 hari 9. Waktu Pelaksanaan : 26 Juni s/d 13 Agustus Tempat Pelaksanaan : Provinsi Kalimantan Selatan Mengetahui Banjarmasin, 10 Agustus 2009 Dekan, Ketua Tim Peneliti Rosita Saifuddin, S.H. Dr. Abdul Halim Barkatullah, SH., M.Hum NIP NIP

5 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya hasil penelitian Pengakuan dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan dapat diselesaikan. Tim Peneliti berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penelitian ini. Tiada gading yang tak retak, demikian kata pepatah, demikian pula dengan hasil penelitian ini. Dengan melalui berbagai hambatan ditengah-tengah kesibukan, rutinitas, ditambah banyaknya konflik dan potensi konflik didaerah penelitian menuntut kesabaran, keteguhan hati Tim Peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Tim Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, mustahil penelitian ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, pada kesempatan ini Tim Peneliti ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Ketua PPUU Dewan Perwakilan Daerah RI yang telah memberikan kepercayaan kepada tim Peneliti Universitas Lambung Mangkurat untuk meneliti secara ilmiah tentang Pengakuan dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Terima kasih yang tulus Tim Peneliti haturkan kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim Peneliti untuk melaksanakan tahapan-tahapan penelitian sehingga hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Akhirnya Tim Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi PPUU Dewan Perwakilan Daerah RI dalam mengambil kebijakan dibidang Legislasi, dan bermanfaat bagi masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin, 10 Agustus 2009 Tim Peneliti

6 DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR i ii iii Halaman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. 1 B. Permasalahan. 4 C. Tujuan penelitian... 5 D. Landasan Teori E. Metode Penelitian II. PENGAKUAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT SERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA.. 18 A. Pengakuan dan Penghormatan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Dunia Internasional B. Pengakuan dan Penghormatan Negara Terhadap Hak-hak Adat Dalam peraturan Perundang-undangan UUD TAP MPR UUPA No. 5/ UU No. 39/ 1999 Tentang HAM UU No. 18/ 2004 Tentang Perkebunan UU No. 7/ 1999 Tentang Sumber Daya Air UU No. 24/ 1992 Tentang Penataan Ruang UU No. 5/ 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Internasioanal Mengenai Keanekaragaman Hayati UU No. 10/ 1992 Tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera

7 iii 10. PP No. 24/ 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat C. Hak-hak Tradisional yang Dihormati dan Diakui Dalam Peraturan Perundang-undangan D. Masyarakat Hukum Adat E. Eksistensi dan Kekuatan Berlakunya Hak-hak Adat F. Kekuatan Berlaku Hak-hak Adat G. Permasalahan Pengakuan Hak-hak Adat Dalam Peraturan Perundang-undangan UU No. 5/ 1979 Tentang pemerintahan Desa UU Tentang Kehutanan UU di Bidang pertambangan H. Penyelesaian Konflik Peraturan Perundang-undangan Makna dikuasai oleh negara Dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD Penyelesaian dengan Teori Sistem Hukum III. HAK-HAK ADAT TRADISIONAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN A. Karakteristik Pada Masyarakat hukum Adat di Provinsi Kalimantan Selatan Gambaran Umum Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Selatan Hak-hak Adat Atas Tanah Hak-hak Adat Selain Tanah Hak Tradisional Lainnya Problem Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Selatan. 114

8 iv B. Pola Aturan Adat atau hukum Adat yang Berlaku Pada Masyarakat Adat di Provinsi Kalimantan Selatan Pola Penguasaan Tanah & Hak-hak Adat lainnya Eksistensi Hak-hak Adat Atas Tanah Urang Bukit di Meratus Hulu di Provinsi Kalimantan Selatan Konflik dan Potensi Konflik Hak Atas Tanah BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA

9 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) keberadaan masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya semakin diakui oleh Negara. Salah satu prinsip yang mendasar dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen adalah pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya, termasuk didalamnya hak-hak atas pengelolaan SDA yang sangat terkait dengen keberadaan masyarakat adat. Namun pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah serta beberapa UU sektoral misalnya UU tentang Kehutanan dan UU pertambangan tidak banyak memberikan jaminan hukum yang berkepastian atas hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA, akhirnya masyarakat adat lebih banyak hanya menerima dampak negatif dari pengelolaan SDA, oleh karena itu kehadiran otonomi daerah tidak dirasakan membawa kebaikan bagi masyarakat adat justru sebaliknya merusak kelestarian masyarakat adat. Masalah lain yang memarginalkan keberadaan masyarakat adat adalah pembagian Wilayah Indonesia kedalam daerah-daerah yang bersifat otonom yang tidak menjadikan keberadaan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Pembagian wilayah Indonesia kedalam pemerintahan daerah otonom tersebut

10 2 mengakibatkan masyarakat adat dengan struktur masyarakat adat dan budayanya, menjadi terpecah-pecah kedalam beberapa pemerintahan daerah otonom. Keterpecahan masyarakat adat tersebut dalam kurun waktu yang berikutnya membuat masing-masing pecahan masyarakat adat mengalami dampak yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan perubahan ini didorong oleh dua hal, yaitu: 1. Setiap pemerintah daerah otonom membuat kebijakan setempat yang berbeda dengan daerah lain; 2. Perbedaan perkembangan antara pecahan masyarakat adat yang satu dengan lainnya didorong oleh letak wilayah yang secara ekonomis berbeda. Faktor lain yang cukup memegang peranan dalam memarginalkan keberadaan masyarakat adat adalah program-program pembangunan yang bersifat elitis. Dalam konteks ini keberhasilan pembangunan dinilai secara makro pada tataran negara (pemerintah pusat dan daerah). Oleh karena itu hal-hal yang bersifat lokal dan berciri khusus- sehingga meminta perhatian yang berbeda antara masyarakat adat setempat yang satu dengan lainnya-cendrung dipandang sebagai faktor penghambat pembangunan. Dalam lingkup ini ungkapan yang sangat populer adalah pembangunan versus masyarakat lokal. Tidak mengherankan jika banyak konflik antara sumberdaya yang diakui sebagai milik masyarakat adat dengan sumber daya yang diakui sebagai milik negara. Otonomi daerah yang tidak ramah terhadap keberadaan masyarakat adat tentu saja tidak sejalan dengan semangat konstitusi yang mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, karena itu harus dievaluasi

11 3 dan diperbaiki untuk masa mendatang sebelum menimbulkan kerusakan yang semakin meluas, UU No. 32/33 tahun 2004 dan UU Kehutanan dan UU Pertambangan harus lebih menjamin hak-hak masyarakat adat terutama dalam pengelolaan SDA, masyarakat adat harus dilibatkan dan diberikan ruang untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan SDA. Keberadaan masyarakat adat eksistensinya diakui secara kontsitusional. Tetapi keberadaan masyarakat adat yang eksistensinya diakui ini pada kenyataannya terkadang kontradiktif jika dihubungkan dengan kepentingan pembangunan dan pemodal yang mengedepankan kepastian hukum dan status hak atas tanah. Banyak sekali kepentingan-kepentingan pemodal terutama dalam hal eksploitasi SDA atau hal-hal lain yang pada akhirnya cenderung menegasikan hak-hak masyarakat adat. Kajian terhadap pengakuan dan penghormatan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan dan investasi di era globalisasi dan otonomi daerah menjadi sesuatu yang menarik, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa hak-hak adat atas tanah dalam masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang dan masa yang akan datang mempunyai peranan penting dalam menjamin kehidupan masyarakat, khususnya kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan pada sisi lain pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara; globalisasi perdagangan dunia yang menuntut setiap negara untuk membuka diri bagi berbagai produk perdagangan dan investasi akan terus mendesak hak-hak adat atas tanah masyarakat hukum adat. Kondisi demikian mengharuskan para pembuat kebijakan dalam membuat

12 4 pengaturan hukum harus memperhatikan hak-hak adat dalam arus globalisasi dan era otonomi daerah ini. Dalam penelitian ini, tim penulis membatasi pembahasan tentang pengakuan penghormata Negara terhadap masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan B. Permasalahan Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka permasalahan pokok yang akan diteliti adalah bagaimanakah pengakuan dan penghormatan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Berdasarkan permasalahan pokok tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia? 2. Apakah karakteristik pada masyarakat hukum adat di Provinsi Kalimantan Selatan dapat diakui keberadaannya sesuai dengan peraturan perundanng-undangan? 3. Bagaimanakah pola aturan adat atau hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Selatan?

13 5 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 1. Untuk mengetahui pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia? 2. Untuk mengetahui apakah karakteristik pada masyarakat hukum adat di Provinsi Kalimantan Selatan dapat diakui keberadaannya sesuai dengan peraturan perundanng-undangan? 3. Mendeskripsikan pola aturan adat atau hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Selatan? D. Landasan Teori Keberadaan hak adat jelas diatur dalam hukum adat yang berlaku dimasyarakat adat yang bersangkutan. Ahmad Chomzah menyatakan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak tertulis yang keberadaannya diakui dan dilindungi oleh UUD Dalam UUD 1945 perubahan kedua (amandemen kedua) terdapat 2 Pasal yang mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat yaitu Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3). Pasal 18 UUD 1945 yang semula hanya terdiri dari satu ayat, berubah menjadi 7 ayat ditambah dengan Pasal 18A terdiri dari dua ayat, 1 Ali Achmad Chomzah Hukum Pertanahan. Jakarta: Prestasi Pustaka, hlm

14 6 Pasal 18 B juga terdiri dari dua ayat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak adat yang berbunyi sebagai berikut : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Apa yang dimaksud dengan negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya tidak ada penjelasan lebih lanjut. Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, juga memuat pernyataan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan kata menghormati dalam penjelasan tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian menghormati antara lain : mengakui dan mentaati (tentang aturan, perjanjian) 2. Berdasarkan pada kata menghormati tersebut, maka negara Republik Indonesia harus menghormati (artinya mengakui dan mentaati), keberadaan masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya, dan hak-hak adat atas tanah yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat (hak adat) dan hak perorangan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah adat. Pasal 28 yang semula juga hanya terdiri atas satu ayat berubah menjadi Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Pasal 28 I terdiri atas 5 ayat, ayat (3) memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat sebagai berikut: 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 312.

15 7 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Hak masyarakat tradisional itu di antaranya adalah hak adat/ulayat. Dari Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa : a. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. b. Pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya tersebut, harus memenuhi dua syarat, yaitu : 1) Sepanjang masa hidup (syarat eksistensinya), syarat ini sama dengan syarat eksistensi hak ulayat, sebagaimana telah dijelaskan di atas; 2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa yang dimaksud dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan; 3) Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban, apa yang dimaksud dengan perkembangan zaman dan peradaban, juga tidak ada penjelasan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas syarat yang dipertahankan adalah syarat eksistensinya dan sesuai dengan kepentingan nasional. c. Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya misalnya hak upaya, akan diatur dengan undangundang.

16 8 Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 memerintahkan untuk mengatur hakhak adat dalam bentuk undang-undang. Sampai saat ini undang-undang yang khusus mengatur lebih lanjut kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya belum ada. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) Pasal 5 secara tegas menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme yang tercantum dalam undang-undang dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UUPA tersebut di atas dan mengacu pada penjelasan Umum III angka (1) UUPA dapat disimpulkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah: a. Hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara; b. Berdasarkan atas persatuan bangsa; c. Berdasarkan sosialisme Indonesia; d. Berdasarkan berbagai peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan perundangan lainnya serta e. Segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada Hukum Agama.

17 9 Dari uraian di atas, hak adat diakui keberadaanya dalam sistem hukum di Indonesia. Namun karena adanya sifat dilematis yang sering melekat pada hak-hak adat, eksistensi hak adat menjadi terabaikan. Ini terjadi manakala masyarakat adat setempat tidak dapat membuktikan keberadaan, wilayah, kepemilikan dan luas dari tanah adat yang dimilikinya. Kreteria yang dapat dijadikan acuan guna menentukan masih ada atau tidaknya hak ulayat/hak-hak adat atas tanah di suatu daerah tertentu, beberapa ahli hukum telah memberikan pendapatnya mengenai kriteria-kriteria dengan mengacu kepada pengertian fundamental mengenai hak ulayat itu sendiri. 3 Menurut Maria S.W. Sumardjono, hak ulayat dapat dikatakan ada jika tiga kriteria berikut terpenuhi secara kumulatif: 4 a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat; b. Adanya tanah tentang wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) yang merupakan objek hak ulayat; c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuaraikan diatas. 3 Maria S.W. Sumardjono Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas, hlm Ibid., hlm. 57.

18 10 Menurut pendapat Boedi Harsono, 5 untuk dapat menyatakan bahwa suatu hak ulayat di suatu tempat tertentu masih eksis, ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi, yaitu: a. Unsur masyarakat, yaitu sekelompok orang yang merasa terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari; b. Unsur wilayah, yaitu adanya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut, sekaligus sebagai tempat anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan untuk mengambil keperluan hidupnya sehari-hari dan; c. Unsur hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya, yaitu adanya tatanan hukum adat tentang pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum yang bersangkutan. Dari kedua pendapat pakar hukum agraria tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek, objek dan hubungan hukum yang terjadi antara subjek dengan objek tanah adat/ulayat dapat menentukan ada atau tidaknya hak ulayat atas tanah yang bersangkutan. Apabila ketiga unsur tanah kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa hak ulayat/adat masih eksis. Karena masih ada, masyarakat hukum adat yang menguasai tanah adat yang bersangkutan dapat menjalankan hak 5 Boedi Harsono Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan, hlm. 59.

19 11 dan kewajibannya, termasuk untuk melakukan proteksi pertahanan terhadap eksistensi tanah adatnya. Sedangkan dalam UU Kehutanan No. 41/1999 disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat, yakni kelompok masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechts-gemeenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan khusus untuk masyarakat adat yang masuk dalam tipe kelompok keempat, oleh Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Keputusan Mensos No. 67/2000, disebut sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT), yakni kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Ciri-cirinya: (a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; (b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan; (c) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau; (d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (e) peralatan dan teknologi sederhana; (f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya alam setempat relatif tinggi; (g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.

20 12 E. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif, 6 yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang menggunakan bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, untuk menjawab permasalahan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia. Selain menggunakan jenis penelitian hukum normatif penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian hukum empiris, yakni mengenai kondisi masyarakat hukum adat, yang berada di Kalimantan Selatan untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan apakah karakteristik pada masyarakat hukum adat di Kalimantan Selatan dapat diakui keberadaannya sesuai dengan peraturan perundanng-undangan, dan bagaimanakah pola aturan adat atau hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat di Kalimantan Selatan Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah inventarisasi peraturan perundang-undangan tentang bentuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan dari negara pada hak-hak tradisional masyarakat adat, khususnya dalam konstitusi, dan peraturan perundang-undangan pada bidang pertanahan, pertambangan, dan perkebunan. 6 Johnny Ibrahim Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia Publishing., hlm. 295.

21 13 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu peneliti menggambarkan atau memaparkan dan menjelaskan suatu keadaan yang didasarkan pada gejala-gejala serta fakta-fakta yang diperoleh di lapangan yang kemudian dikaji berdasarkan bahanbahan kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu: Pertama, bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 7 berupa Peraturan Perundangan-undangan, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. 1. Bahan hukum primer tersebut meliputi : a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; d. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penetaan Ruang; e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan; g. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; h. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air i. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT RajaGarafindo Persada., hlm. 13.

22 14 j. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Baru; k. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan.; l. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; m. Dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya 2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rencana undang-undang, hasil-hasil penelitian, jurnal, buku-buku, hasil karya dari kalangan hukum, 8 khususnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, Anotasi peraturan perundang-undangan, dan lain-lain. 9 Untuk memperoleh bahan hukum, teknik pengumpulan dilakukan dengan studi pustaka, dari bahan hukum primer dan sekunder maupun tertier seperti telah diuraikan di atas. Dengan studi pustaka untuk memperoleh bahan hukum tentang bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. Pendapat para ahli juga diperlukan untuk melengkapi kajian terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tertier. 8 Ibid. 9 Ibid.

23 15 Dalam memperoleh data primer peneliti menggunakan penelitian lapangan dengan mendeskripsikan keberadaan masyarakat adat serta hak-hak adat yang bersifat tradisional lainnya. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat adat asli Kalimatan Selatan yang disebut Suku Dayak, yang merupakan suku asli kalimantan. Metode antropologis akan digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data, khususnya: antropologi hukum 10 yang difokuskan pada aspek-aspek normatif dari kehidupan sosial. 11 Inti dari penelitian ini adalah mengumpulkan data melalui penelitian lapangan di beberapa masyarakat secara bersamaan, namun data yang relevan juga akan dikumpulkan dari berbagai sumber diluar masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, penelitian ini memusatkan perhatian pada konstelasi empiris hak-hak adat yang ada dalam masyarakat setempat, dan persepsi mereka pada tingkat tersebut. Dalam hal ini dua jenis data akan diperoleh, Pertama, data yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan kasat mata (yaitu materialistiuc approach) yang berfokus pada kenyataan dan pola-pola perilaku ( the way of life dari masyarakat yang diteliti). Kedua, data yang diperoleh melalui pendekatan ideational yang mengungkapkan pandangan (persepsi/kognitif) masyarakat mengenal realita: ide-ide, kepercayaan, dan interpretasi mereka. Karena penelitian ini 10 Koesnoe membedakan anthropology of law /antropologi hukum dan legal anthropology yang beliau anggap sebagai legal (yuridis) yang menerapkan kosep metode antropologis. Penelitian antropologi hukum perlu untuk mengumpulkan data empiris yang merupakan bahan analisis teoritis hukum dalam tahap berikutnya (Legal Anthropology). 11 Representasi hukum positif tentang kenyataan normatif mungkin berbeda dengan gambaran mental. Namun, bukan merupakan tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan kenyataan normatif dari segi hukum positif. Kenyataan hukum mungkin berbeda dari kenyataan empiris: keduanya harus dipisahkan.misalnya larangan hukum untuk melewati lampu merah tidak dengan sendirinya berarti lampu merah tidak pernah dilanggar.

24 16 akan dilakukan di pelbagai lokasi di Provensi Kalimatan Selatan, maka diperlukan suatu formulasi konsep-konsep analitis (atau definisi kerja) yang cukup luas untuk dapat mencakup semua variasi sistem atau pola-pola dalam lokasi yang berbeda-beda. Daerah penelitian yang akan di teliti adalah daerah yang ada di Provensi Kalimantan Selatan, karena luasnya daerah penelitian, maka penelitian ini di fokuskan pada Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Hulusungai Tengah, dan Kabapeten Hulu Sungai Selatan yang diindikasikan adanya masyarakat adat dayak yang masih memegang tradisi adat dan memiliki hak-hak tradisionalnya. Untuk mencapai tujuan penelitian ini akan digunakan beberapa metode atau teknik dalam memperoleh data primer, antara lain yaitu; 1. Wawancara mendalam akan dilakukan dalam bentuk obrolan maupun dengan menggunakan panduan wawancara. Teknik wawancara informal ini akan digunakan selama di lapangan karena teknik ini cocok untuk mengetahui topiktopik penting, mendapatkan apa yang dipikirkan orang, kategori apa yang mereka gunakan, dan membandingkan persepsi seseorang dengan yang lainnya. 2. Life Histories dan Case Studies akan digunakan untuk merekonstruksi kembali beberapa kejadian penting di lokasi studi yang berdampak pada status tanah tertentu; 3. Key actors (informan) akan dipilih secara hati-hati berdasarkan pengetahuan khusus mereka dan informasi yang mereka berikan harus dapat dipercaya (reliabilitas);

25 17 4. Documentation studies akan digunakan untuk mengetahui bagaimana peraturan pertanahan baik nasional maupun lokal berlaku di lokasi penelitian. Teknik pengolahan bahan hukum dengan cara seluruh bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta data yang didapat dalam penelitian lapangan yang telah terkumpul disusun sedemikian rupa kemudian dihubungkan antara bahan hukum primer, sekunder dan tersier untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Untuk menjawab pertanyaan diatas, penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu hukum yang mengenal tiga lapisan ilmu hukum (rechtsleer), yaitu dogmatik, teori hukum, dan filsafat hukum. Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan hukum dan data yang diperoleh dari penelitian lapangan, dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Penggunaan analisis kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu pertama penelitian ini adalah penelitian hukum. Kedua, bahan hukum yang dikaji beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, sifat dasar bahan hukum yang dianalisis adalah menyeluruh (comprehensive). Hal ini ditandai dengan keanekaragaman bahannya serta memerlukan informasi yang mendalam.

26 18 BAB II PENGAKUAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT SERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Negara Indonesia merupakan suatu negara yang terkenal dengan ciri kemajemukannya dari berbagai sisi, baik geografis, ras, suku, bahasa, maupun agama. Adanya kemajemukan tersebut telah disadari oleh para pendiri negara ini (founding fathers) dengan menghimpun suatu negara yang terdiri atas keberagaman suku bangsa dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni didasarkan atas semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, yang mana secara filosofis menunjukkan pengakuan dan penghormatan bangsa Indonesia atas keberagaman dan menunjukkan adanya kesadaran bahwa keberagaman tersebut dipandang sebagai suatu energy sosial. Kemajemukan tersebut membentuk keragaman struktur dan sistem bermasyarakat, serta norma-norma tersendiri yang menjadi adat istiadat yang dipatuhi serta dijalankan oleh masyarakatnya. Masyarakat Indonesia memiliki struktur dan sistem, serta norma-norma tersendiri yang tetap hidup dan dipatuhi anggotanya inilah yang disebut sebagai masyarakat adat. Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia di tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hakhak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis ornop dalam pertemuannya menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara

27 19 umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masingmasing. Dalam pertemuan itu disepakati juga bahwa istilah yang sesuai untuk menerjemahkan istilah indigenous peoples dalam konteks Indonesia adalah masyarakat adat. Artinya ketika kita berbicara tentang hak-hak masyarakat adat di Indonesia, acuannya adalah hak-hak dari indigenous peoples yang berlaku secara universal. 12 Walaupun secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan, dalam keadaan ketertinggalan dan keterbelakangan mereka tetap memiliki hak sebagai warga negara dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diakui dan dilindungi keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai tradisionalnya. Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat hukum adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh. Karena itu, pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak adat diakui secara konstitusional yakni salah satu tujuan nasional yang ditegaskan dalam 12 Sandra Moniaga Hak-Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia. Jakarta: No. 10/Tahun II/12 Juni hlm 1.

28 20 Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Frasa segenap bangsa Indonesia menunjuk pada pengakuan atas realitas keragaman,yang semuanya harus mendapatkan perlindungan. Namun, pengakuan pada tataran konstitusional tersebut tidak selalu sejalan dengan realitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat masih banyak permasalahan terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap surnber daya alam. Cerita penggusuran mereka dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan negeri ini. Sebut raja suku Amungme dan Komoro di bumi Irian karena adanya eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan. Sebagaimana menurut pendapat Eddie Riyadi Terre menyebutkan bahwa ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat (indigenous peoples), yaitu: Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan, termasuk sumberdaya alamnya; Kedua, masalah self determination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja

29 21 kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples). 13 A. Pengakuan dan Penghormatan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat di Dunia Internasional Pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat sangat beragam dari sektor satu dengan sektor yang lainnya, demikian pula bentuk-bentuk pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat oleh tiap pemerintah daerah juga berbeda. Pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat ini sebenarnya tidak saja merupakan isu nasional, akan tetapi hal ini juga telah lama menjadi perhatian internasional dan dalam perkembangannya pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat tersebut terus meningkat, hal ini nampak pada salah satu puncak penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat pada tahun 1993 Indigenous People Year oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang merupakan tidak lanjut dari rangkaian kesepakatan konvensi-konvensi dunia yang menekankan pentingnya pemerintah negara-negara anggota PBB untuk segera melaksanakan pemberdayaan masyarakat adat. Konvensi dunia tersebut antara lain adalah : 1. Konvensi International Labour Organization (ILO) 169 tahun 1989, di mana pada pasal-pasalnya disebut: Pasal 6 memuat prinsip partisipasi dan konsultasi dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan yang menimbulkan dampak 13 Eddie Riyadi Terre, Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM dan AMAN, Jakarta, 2006, hal 8.

30 22 terhadap kelompok masyarakat ini pada tingkat nasional. Pasal 7 sampai Pasal 12 mencakup berbagai aspek mengenai hubungan antara sistem hukum adat dan sistem hukum nasional. Pasal 13 sampai Pasal 19 memuat pengaturan tentang Hak-hak atas tanah adat ; 2. Deklarasi Rio 1992 dan Agenda pada intinya pada Pasal 22 menekankan perlunya pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, yang mana masyarakat hukum adat diharapkan mendapat perlakuan yang lebih adil; 3. Rancangan Naskah PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (Dokumen PBB no. E/CN.4/Sub.2/1993/29) mempertegas perlunya keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini terabaikan; 4. Keputusan Strategi Konservasi Dunia menjaga bumi (Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth) 1991, yang mendukung peran khusus dan penting dari Masyarakat Adat sedunia dalam menjaga lingkungan; 5. Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, IUCN, yang secara aklamasi mendukung hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk menggunakan sumber daya alam setempat secara bijaksana menurut tradisi mereka; 6. International Tropical Timber Agreement (Persetujuan Kayu Tropis Internasional) tahun 1994 dalam ITTO Guidelines, menyatakan bahwa kegiatan pengelolan hutan harus mengakui kepentingan masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya yang hidup bergantung pada hutan;

31 23 7. IUCN Working Group on Community Involvement in Forest Management (kelompok Kerja IUCN mmengenai Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan) pada tahun 1996 merekomendasikan agar regenerasi hutan secara alamiah yang ada dalam system pengelolaan hutan oleh masyarakat adat harus diakui sebagai alternatif pemulihan hutan; 8. Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati) tahun 1992 telah di Ratifikasi dan diundangkan dengan UU No 5 tahun Sebagai suatu usaha perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan intelektual (intelectual property right, IPR) dari masyarakat adat, Pertukaran Teknologi (Sharing Technology) dan Keamanan Hayati (Bio-Savety); 9. United Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination (Deklarasi dan Program Aksi PBB untuk menetang rasisme dan diskriminasi rasial) yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1978 pada Pasal 21 mengakui hak masyarakat adat untuk memelihara struktur ekonomi tradisional dan budaya mereka, termasuk bahasa, dan hubungan khusus dengan tanah dan sumber daya alam tidak boleh direnggut dari mereka; 10. World Council of Indigenous Peoples (WCIP) di Kiruna Swedia 1966 menekankan bahwa hak masyarakat adat atas tanah adalah hak milik penuh, tidak melihat apakah mereka memegang hak resmi yang diterbitkan oleh penguasa ataupun tidak; 11. Manifesto Mexico dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke X tahun 1985 menekankan perlunya pengakuan kelembagaan masyarakat adat beserta

32 24 pengetahuan aslinya untuk dapat mengelola hutan termasuk kegiatan perlindungan dan pemanfaatan hutan dan disebut sebagai community based forest management. 12. Demikian pula dengan hasil Kongres Kehutanan Sedunia ke XI tahun 1991 di Paris menekankan kembali tentang pentingnya keberpihakan kepada masyarakat yang terpinggirkan termasuk masyarakat adat dan sekaligus memandatkan pentingnya suatu rencana aksi yang disebut Tropical Forest Action Plan (TFAP) dan setiap negara akan membuat National Forest Action Plan (NFAP) yang juga merupakan turunan dari Agenda 21 Pasal Dalam Basic Principles FAO tentang National Forestry Action Plan dikatakan dalam prinsip dasar No 4 tentang Partisipasi dalam perencanaan program Kehutanan dikatakan bahwa proses konsultasi yang melibatkan semua pihak termasuk masyarakat adat dan kelompok perempuan perlu dilakukan dan pada prinsip No 5 tentang pendekatan Holistik dan Inter-sectoral dikatakan bahwa Masyarakat Adat dan masyarakat yang tinggal didalam hutan harus dilihat sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari ekosistem. 14. Hasil deklarasi International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest (Aliansi Masyarakat Adat di Wilayah Hutan Tropis) tahun 1996 dikatakan bahwa; Masyarakat adat mengakui bahwa untuk kepentingan jangka panjang kehidupannya akan menggunakan sumber daya hutan secara lestari dan menghargai kepentingan konservasi lingkungan. Masyarakat adat mengakui bahwa kemampuan organisasi konservasi dapat membantu meningkatkan

33 25 pengembangan swadaya dan mendapatkan hubungan yang saling menguntungkan berdasar atas saling percaya, keterbukaan dan akuntabilitas. B. Pengakuan dan Penghormatan Negara Terhadap Hak-Hak Adat dalam Peraturan Perundang-undangan Hak-hak masyarakat adat merupakan satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat pada dasarnya adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan, sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Beberapa peraturan-perundangan tingkat nasional sudah mengatur dan mengakui hakhak masyarakat adat tersebut, antara lain : 1. Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia, sejak awal terbentuknya telah memberikan dasar hukum (Legal Reason) pengakuan dan penghormatan dalam hal kemajemukan budaya, termasuk pula pengakuan atas adanya kemajemukan sumber-sumber hukum yang berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehari-hari serta pengakuan dan penghormatan terhadap hakhak masyarakat adatnya. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat diatur di dalam Pasal 18 UUD 1945, yakni dinyatakan bahwa: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan

34 26 Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Sedangkan dalam penjelasanya dikatakan, Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenannya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa...segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengatur hak-hak asal-usul daerah tersebut. Daerah yang bersifat istimewa sebagaimana dimaksud di atas adalah masyarakat dengan susunan asli yang memiliki wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang khas, yang berbeda dengan wujud kelembagaan, tatanan hak dan kewajiban yang berada di luar kesatuan daerah yang dimaksud. Karenanya, sesuatu aturan yang datang dari luar susunan asli itu tidaklah relevan diberlakukan di dalam tatanan susunan asli tertentu, oleh sebab itu pengaturan di atas menghendaki walaupun Negara Indonesia berbentuk kesatuan (eenheidsstaat atau unitary state) namun Negara menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengatur hak-hak asal-usul daerah tersebut. Dengan demikian, persoalan hak-hak asal-usul yang salah satunya adalah hak atas sumber daya alam atau hak ulayat dan lain-lain sebagai penanda keberadaan masyarakat adat, direduksi menjadi persoalan tata pemerintahan, artinya dengan pengaturan tersebut negara memberikan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai masyarakat yang memiliki susunan asli.

35 27 Disamping pengaturan hak-hak masyarakat adat tersebut, UUD 1945 sejak diberlakukannya juga memberikan pengaturan dan pembatasan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, yakni mengatur (hak) penguasaan negara atas sumber daya alam yang dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang menyatakan bahwa : Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak tahun 1998 dengan bergulirnya gerakan reformasi telah terjadi perubahan dalam konstitusi dinegara ini, yakni salah satunya dengan di Amandemen UUD Amandemen terhadap UUD 1945 ini tidak terlepas ketentuan berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat, yakni pasca Amandemen UUD 1945 pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat semakin ditingkatkan. Tepatnya setelah Amandemen Kedua UUD pada tahun 2000, nilai-nilai tersebut diangkat ke dan dijadikan rumusan pasal tersendiri dalam Batang Tubuh, karena pasca amandemen UUD tidak mengenal lagi penjelasan. Terdapat 2 pasal penting dalam UUD tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya pasca amandemen. Pertama, Ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (amandemen kedua) yang memuat pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak adat yang berbunyi sebagai berikut :

36 28 (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU (Pasal 18B ayat 1) dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya (Pasal 18B ayat 2). Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan dengan hak-hak atas sumber daya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum) adat dengan pemerintahan kerajaan lama yang masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak adatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat (2) mencantumkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak adat yang dapat dinikmatinya secara aman. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah: a. Sepanjang masih hidup; b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; c. Sesuai dengan prinsip NKRI; d. Diatur dalam Undang-undang. Rikardo Simarmata menyebutkan bahwa persyaratan terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya yang dilakukan oleh UUD 1945 pasca amandemen memiliki

37 29 sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Aglemene Bepalingen (1848), Reglemen Regering (1854) dan Indische Staatregeling (1920 dan 1929) mengatakan bahwa orang pribumi dan timur asing yang tidak mau tunduk kepada hukum Perdata Eropa, diberlakukan undang-undang agama, lembaga dan adat kebiasaan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang keadilan. 14 Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 (amandemen kedua) maupun Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) telah memuat pernyataan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi apa yang dimaksud dengan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan kata menghormati dalam penjelasan tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian menghormati antara lain : mengakui dan mentaati (tentang aturan, perjanjian) : kita akan persetujuan dan perjanjian yang telah kita buat. Berdasarkan pada kata menghormati tersebut, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menghormati (artinya mengakui dan mentaati) keberadaan masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya, dan hakhak masyarakat hukum adatnya. Kedua, lebih jauh dikemukakan lagi ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat dalam Pasal 28 UUD 45 (amandemen kedua) yang semula hanya terdiri atas satu ayat berubah menjadi Pasal 14 Rikardo Simarmata Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP, hlm

38 30 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat tersebut tepatnya dalam pasal 28I ayat (3), yang menyatakan sebagai berikut : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia: Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan atas hak masyarakat adat. Pengakuan dan penghormatan hak masyarakat adat tersebut terlihat dalam Pasal 32 TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan : Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil sewenang-wenang, selanjutnya dalam Pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian tak terpisahkan dari TAP MPR ini, ditegaskan : Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia ini telah diterjemahkan ke dalam UU HAM No. 39 tahun Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA : TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas

39 31 hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumber daya agraria/sumber daya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam Pasal 4 TAP MPR No.IX/2001, bahwa : Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya alam berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat 3. Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat, diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi sebagai berikut : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian

40 32 rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih penting. Pasal 3 ini lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Umum Nomor II/3 dan Penjelasan pasal demi pasal. Penjelasan Umum Nomor II/3 berbunyi sebagai berikut : Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air kekuasaan Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 dan 2 maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesauan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa : Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada jaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak itu menurut kenyataannya memang masih ada

41 33 itu menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian suatu hak atas tanah (seperti hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu. Dalam penjelasan pasal demi pasal dijelaskan bahwa : Yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak serupa itu ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut beschikkingsrecht. Selanjutnya lihat penjelasan umum (II angka 3). Menurut pasal 3 UUPA beserta penjelasannya tersebut hak ulayat dari masyarakat hukum adat diketahui oleh hukum agraria nasional dengan dua syarat, yaitu : Pertama, syarat eksistensinya (keberadaannya) yakni: hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Hal ini berarti bahwa, di daerahdaerah yang semula ada hak ulayat, namun dalam perkembangan selanjutnya, hak milik perseorangan menjadi sangat kuat sehingga menyebabkan hilangnya hak adat/ulayat, hak adat/ulayat tidak akan dihidupkan kembali. Demikian pula di daerahdaerah yang tidak pernah ada hak adat/ulayat, tidak akan dilahirkan hak adat/ulayat baru. Kedua, syarat pelaksanaan hak adat/ulayat yaitu, tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari UUPA, dihilangkan karena di daerah-daerah yang masih eksis hak ulayatnya diberlakukan sepenuhnya hukum adat setempat. Peraturan perundang-undangan hanya berlaku di daerah-daerah yang tidak ada hak adat/ulayatnya, sehingga terjadi dualisme hukum yaitu, hukum

42 34 adat berlaku didaerah-daerah yang masih ada hak adat/ulayatnya dan peraturan perundang-undangan berlaku di daerah-daerah yang tidak ada hak adat/ulayatnya. Dengan demikian maka, syarat hak adat/ulayat agar diakui oleh hukum agraria nasional adalah, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (syarat eksistensinya) dan pelaksanaannya sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa. Pengakuan ini juga harus diikuti dengan pengakuan terhadap semua hak-hak masyarakat hukum adat/warga masyarakat hukum adat yang melekat pada hak adat/ulayat itu, yaitu: a. Hak masyarakat hukum adat untuk menguasasi semua tanah yang ada di wilayah hukumnya (tanah adat/ulayat); b. Hak warga masyarakat hukum adat terhadap tanah adat/ulayatnya, yaitu: 1) Hak untuk membuka tanah (hutan); 2) Hak untuk memungut hasil hutan; 3) Hak untuk mengambil kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi (bahan tambang); 4) Hak untuk mengambil ikan di sungai, danau atau pantai yang ada diwilayah hukumnya; 5) Hak untuk mengambil binatang liar yang ada di hutan yang belum dipunyai oleh orang. Hak-hak masyarakat hukum adat/warga masyarakat hukum adat yang melekat pada hak adat/ulayat tersebut, semuanya terkait erat dengan tanah adat/ ulayat, sebab hak-hak itu muncul/ berada di atas tanah adat/ulayat. Tanpa tanah adat/ulayat, hak-

43 35 hak masyarakat hukum adat/warga masyarakat hukum adat tidak akan ada. Oleh karena itu, pengakuan terhadap hak adat/ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA, juga harus diikuti dengan pengakuan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Lebih lanjut, ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat bisa dilihat dalam Pasal 5 UUPA yang menyebutkan bahwa : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa. Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadaran hukum berdasarkan adat. Hanya saja memang semangat UUPA ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UUPA ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA.

44 36 4. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng (sustainable), oleh karena itu harus dilindungi, dihormati dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Ini berarti bahwa setiap orang dan pemerintah mengemban kewajiban untuk mengakui dan menghormati Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 September 1999, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM memuat ketentuan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak adat tersebut, yakni sebagai berikut : (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah; (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Dalam penjelasan pasal demi pasal, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan sebagai berikut :

45 37 (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus di hormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memungkinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM. Lebih jauh, Pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas)

46 38 nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memungkinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM. 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Dasar hukum pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat diatur dalam Pasal 9 undang-undang Nomor 18 tahun 2004, yang menyatakan sebagai berikut : (1) Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya. Ketentuan pasal tersebut di atas memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas tanah adatnya daripada kepentingan penyelenggaraan perkebunan, artinya dalam rangka penyelenggaraan perkebunan harus lebih dulu memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya apabila tanah

47 39 tersebut pada kenyataannya merupakan tanah hak ulayat masyarakat adat. Adapun Penjelasan Pasal 9 undang-undang tersebut di atas, maka yang dimaksud masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschaft); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah. Adapun kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya tersebut melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas tanah. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat lebih lanjut diatur dalam Pasal 35 Undang-undang Nomer 18 tahun 2004, yakni menyatakan : Penelitian dan pengembangan perkebunan dimaksudkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perkebunan agar berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan tradisional dan budaya lokal. Ketentuan menghargai kearifan tradisional dan budaya lokal dimaksudkan agar penerapan teknologi untuk pengembangan usaha perkebunan di suatu wilayah dapat bersinergi dengan kebiasaan, tradisi, adat, agama, dan budaya setempat sehingga dapat diterima oleh masyarakat agar mencapai hasil yang optimal.

48 40 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan pengganti daripada Undang-undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan, di mana dalam pengelolaannya sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi, yakni sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air menurut undang-undang tersebut di atas tepatnya dalam Pasal 6 Ayat 1 menyatakan bahwa : Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Walaupun demikian, tetapi dalam hal ini negara tetap memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hakhak masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 dan Ayat 3 serta dalam Pasal 34 Ayat 3, yakni sebagai berikut : Pasal 6 Ayat (2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan; Ayat (3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Pasal 34 Ayat (3) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber

49 41 daya air dan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. daya dukung sumber daya air ; b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat ; c. kemampuan pembiayaan; dan d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air. Terkait pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat dalam pasal tersebut diatas, maka menurut penjelasan pasal demi pasalnya adalah sebagai berikut : Pasal 6 Ayat (2) Yang dimaksud dengan penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber daya air. Yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya : tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali; totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak; Ayat (3) Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu : a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan; c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan,

50 42 Pasal 34 penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat. Menurut penjelasannya, kekhasan daerah adalah sifat khusus tertentu yang hanya ditemukan di suatu daerah, bersifat positif dan produktif serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Bentuk pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan hukum adat juga dijamin oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Penjelasan pasal 4 ayat 2 dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Penggantian yang layak diberikan pada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.

51 43 8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity) Dalam Pasal 8 mengenai konservasi ini dalam huruf j dikatakan; menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan pemanfaatan seara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya dalam Pasal 15 butir 4 dikatakan ; Akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya). 9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Undang Undang ini menjamin sepenuhnya hak penduduk Indonesia atas wilayah warisan adat mengembangkan kebudayaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 6 (b) menyatakan :.hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaaan budaya, hak untuk mengembangkan

52 44 kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku budayanya. 10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Mengatur Panitia Ajudikasi yang melakukan pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai suatu obyek hak antara lain dalam penjelasan Pasal 8c dikatakan memungkinkan dimasukkannya Tetua Adat yang mengetahui benar riwayat/kepemilikan bidang-biang tanah setempat dalam Panitia Ajudikasi, khususnya di daerah yang hukum adatnya masih kuat. Sedangkan dalam memberikan pedoman bagaimana Pembuktian Hak Lama dalam pasal 24 ayat 2 dikatakan Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1, bukti tertulis tau keterangan yang kadar kebenaranya diakui Tim Ajudikasi ), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan penguasan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut dengna syarat; a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.. serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dilakukan dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/keluruhan yang bersangkutan atau pihak-pihak lainnya. Mengenai bentuk penerbitan hak atas tanah dikenal dua bentuk hak 1. Hak yang terbukti dari riwayat tanah tersebut didapat dari tanah adat mendapatkan Pengakuan hak atas tanah oleh Pemerintah sedangkan yang ke 2 adalah Hak yang tidak terbukti dalam riwayat lahannya didapat dari hak adat tetapi dari tanah negara maka mendapatkan

53 45 pemberian Hak atas tanah oleh Pemerintah. Sehingga jelaslah posisi pemerintah dalam mengakomodir hak-hak atas tanah adat yaitu bukan memberikan hak tetapi mengakui hak yang ada. 11. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Permen yang dijanjikan Menteri Agraia untuk mengakui keberadan tanah ulayat dalam saresehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini diterbitkan tgl 24 Juni 1999 mendefinisikan Hak Ulayat dalam pasal 1 ayat 1 sbb: Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Walaupun secara keseluruhan Permen ini mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat, akan tetapi Permen ini belum menjabarkan secara jelas bentuk pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah direbut, dan lebih jauh lagi Permen belum dapat diimplementasikan sebelum ada Perda yang dipersiapkan oleh DPRD setempat dengan melibatkan sebesar-besarnya kelompok masyarakat adat yang berkepentingan.

54 46 C. Hak-hak Tradisional yang Dihormati dan Diakui Dalam Paraturan Perundang-undangan Sebelum lebih jauh membahas hak-hak tradisional, maka perlu kiranya dikemukakan pengertian hak tradisional itu sendiri. Hak-hak tradisional yang dimaksudkan disini adalah hak-hak yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat dalam lingkup dan batas kehidupan masyarakat yang bersangkutan sebagai warisan dari para leluhur mereka guna mempertahankan kehidupan secara alami dan berkesinambungan. Prinsip yang terkandung di dalam hak-hak tradisional dimaksud adalah hak untuk mempertahankan hidup secara biologis, sosial, nilai-nilai budaya maupun kepercayaan yang mereka. Dalam perkembangan selanjutnya sangat mungkin hak-hak mereka ada yang telah diangkat ke dalam naskah norma perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan pengakuan dan penghormatan atas hak-hak tradisional dimaksud oleh negara akan semakin diperluas dan ditingkatkan. Akan tetapi, terlepas dari ada atau tidaknya pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisonal masyarakat adat oleh negara, keberadaan hak tradisional masyaratkat adat tidak akan pernah terhapus dengan ada selama komunitas masyarakatnya serta alam dan wilayah tempat mereka hidup dan berkembang masih ada. Sejak bangsa Indonesia menyatakan dirinya merdeka pada tahun 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat itu sudah ada, akan tetapi hanya masih tersebar pada Pasal-pasal tertentu di dalam Undang Undang Dasar 1945, karena masa 1945 sampai dengan 1959 bangsa Indonesia masih

55 47 terbelenggu pada suasana politik pemerintahan yang jatuh dan bangun maka upaya untuk menidak-lanjuti penjabaran atas hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana termaktub pada beberapa pasal di dalam Undang Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang organik menjadi terabaiakan. Setelah Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, dengan Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1945, suasana politik antara parlemen dan pemerintah diharapkan lebih kondusif, dan pekerjaan rumah yang tercecer diharapkan akan diselesaikan dan diwujudkan. Diantara masalah politik dan hukum yang belum dituntaskan tersebut adalah mengejawantahkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sebagaimana disebut secara implisit di dalam Konstitusi Negara. Pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bersama Pemerintah, tepatnya tanggal 24 September 1960 telah berhasil menyetujui Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (LN No.106 Tahun 1960), yang dikenal dengan Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, yang lebih populer disingkat dengan UUPA. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tersebut telah mengawali dasar-dasar peletakan atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, di samping hak-hak atas tanah lainnya. Hak-hak-hak tradisional masyarakat adat di dalam UUPA yang dapat dikatagorikan sebagai hak-hak tradisonal masyarakat adat yaitu sebagaimana tersebut pada:

56 48 1. Pasal 3 yang berbunyi: Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, panjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dab negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi. 2. Pasal 5 yang berbunyi: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, aitr dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 3. Pasal 16 yang terdiri atas 2 ayat, yaitu: - ayat (1) disebutkan antara: 1. hak membuka tanah; 2. hak memungut hasil hutan; - ayat (2) disebutkan antara lain: 1. hak guna air; 2. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Di samping hak-hak tradisional sebagaimana disebutkan pada Undangundang No. 5 Tahun 1960, di undang-undang yang lain juga ada disebutkan, yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tantang Kehutanan.

57 49 Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, khusus yang berkaitan dengan pengakuan dan penghormatan oleh negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, dirumuskan istilah: 1. Hutan Adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ketentuan Umum huruf f, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah: Hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 2. Penguasaan hutan oleh negara yang di dalamnya terdapat kumunitas masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 4 ayat (3), yang menyatakan: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional Memang diakui bahwa semenjak bergulirnya reformasi di Indonesia selama satu dekade terakhir, pegakuan dan penghormatan atas hak-hak tradisional baik dalam Konstitusi Negara, maupun yang terjabar di dalam perundang-undangan dibawahnya, serta dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat nasional maupun lokal dirasakan memang ada. Dalam tataran aturan yang bersifat teknis, atas hak-hak komunal masyarakat adat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun peraturan tersebut bersifat teknis, akan tetapi dapat pula diketahui istilah-istilah hak ulayat, tanah ulayat dan masyarakat hukum adat yang baku, paling

58 50 tidak dalam paraturan tersebut, hal mana selama ini diketahui bahwa ada beberapa istilah yang berbeda mengenai pengertian hak ulayat, tanah ulayat dan masyarakat hukum adat itu sendiri. Pasal 5 ayat (1, 2, 3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut masing-masing disebutkan pengertian secara yuridis tentang hak ulayat, tanah ulayat dan masyarakat hukum adat, yaitu: 1. Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriyah dan batiniah turun temurun tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan, ayat (1); 2. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, ayat (2); Upaya untuk lebih peduli dan keberpihakan kepada pengakuan dan penghormatan atas masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya di era-era sekarang nampaknya semakin terlihat dan terasa oleh negara. Pengakuan tersebut tidak saja dalam arti yuridis formal (kaedah hukum positif dalam naskah perundang-undangan), akan tetapi juga ditemukan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Tanah (konsep untuk mengganti UUPA) yang dipersiapkan oleh Pemerintah cq. Badan Pertanahan Nasional bermitra dengan para pakar dari berbagai Perguruan Tinggi.

59 51 Akan tetapi sangat disayangkan RUU dimaksud pada tahun 2004 tidak kunjung sampai ke DPR/dibahas di DPR dikarenakan suasana politik yang tidak menguntungkan bagi Pemerintah saat itu. Bagi peneliti RUU tersebut berlaku sebagai ius constituentum. Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya di dalam RUU Tentang Tanah dapat di lihat pada pasal-pasal berikut: 1. Pasal 19 (2) Tanah ulayat ialah tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (3) Tanah-tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi: a. tanah-tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak tanah; b. tanah-tanah bekas sesuatu hak tanah yang telah hapus haknya; c. tanah-tanah yang sudah diperoleh atau dimohon hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pasal 20 (2) Hak ulayat dari masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, yang masih berlangsung, diakui, dihormati dan dilindungi keberadaannya; (3) Hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk:

60 52 a. mengatur pendaftaran tanah ulayat untuk keperluan sendiri dari anggota masyarakat hukum adat; b. mengatur penguasaan hak ulayat bagi anggota masyarakat hukum adat. c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah ulayat kepada warganegara Indonesia, pemerintah maupun badan hukum Indonesia untuk dimohon hak tanahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk pembangunan, masyarakat hukum adat berhak memperoleh recoqnitie yang bentuk dan besarnya ditetapkan dengan musyawarah berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 29, menyatakan: Hak atas tanah dapat dipunyai secara individual dan komunal. 4. Pasal 30, menyatakan: (2) Hak tanah dipunyai secara komunal apabila: a. dipunyai oleh sekelompok subyek hak yang jumlah dan masing-masing identitasnya tidak dapat ditentukan; b. pembagian menurut jumlah subyek haknya tidak ditentukan. Meskipun hal-hal yang telah diutarakan diatas hanya berupa Rancangan Undang-undang, yang masih belum menjadi ketntuan ketentuan normatif, akan tetapi konsep RUU tersebut sepadan dan selaras pula dengan konsepsi hukum adat mengenai hak ulayat.

61 53 Di samping itu RUU yang lahir dari nilai-nilai kehidupan, ini merupakan kaedah hukum normatif dimasa yang akan datang, ius constituendum. Indonesia yang di dalam konstitusinya menyatakan bahwa negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat), maka sudah barang tentu di dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memuat dan menjamin diakuinya hak-hak warga negara, tidak terkecuali hakhak masyarakat adat. Dari sekian banyak produk Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia sejak republik ini berdiri, dari pemerintahan yang silih berganti berdasarkan sistem demokrasi yang dibangun, keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat secara keseluruhan, tak terkecuali masyarakat adat, secara juridis formal oleh negara diakui ada. Hak-hak adat yang dimaksudkan di sini pada mulanya hanya bersumber dari hak ulayat yang meliputi baik hak yang ada dipermukaan tanah/air maupun yang ada di atas tanah, yang meliputi tanaman/hutan dan hasil dari tanaman/hutan yang menyertainya, termasuk di sini binatang yang ada di dalam hutan. Menurut Ter Haar, Bzn hak ulayat atas tanah meliputi hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan (sungai, danau, perairan pantai, laut), tanam-tanaman, dan binatang yang ada di wilayah hukum adat masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan menurut Kelompok Pembaruan Agrari (KPA, 1998), hak-hak masyarakat adat adalah meliputi hutan, padang penggembalaan ternak, belukar, bekas ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secara berputar, perairan darat maupun laut, penambangan tradisional dan penangkapan ikan di sungai dan laut.

62 54 Berikut akan dikemukakan beberapa hak-hak adat dari sisi peraturan perundang-undangan yang telah disepakati dan dirumuskan pengakuan dan keberadaannya oleh negara sebagaimana tersebut di bawah ini, baik hak-hak adat atas tanah maupun hak-hak adat selain tanah. 1. Hak-hak Adat atas Tanah 1. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria: a. Pasal 3 menyebut; Hak ulayat dan hak yang serupa dengan itu; yang dimaksud dengan hak ulayat tersebut ialah hak ulayat atas tanah. b. Pasal 16 ayat (1) menyebut; Hak membuka tanah. 2. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Pertambangan: - Pasal 5; menyebut Peertambangan Rakyat; ini dapat pula diartikan sebagai hak atas tambang secara tradisional. 2. Hak-hak Adat selain Tanah 1. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960: a. Pasal 16 ayat (1); Hak memungut hasil hutan. b. Pasal 16 (2); 1. Hak guna air. 2. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. 3. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan: - Pasal 4 ayat (3) jo. Pasal 5 ayat (2); Hak penguasaan hutan adat. 4. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah:

63 55 - Pasal 203 ayat (3); Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sepanjang masih hisup dan diakui keberadaannya. Apa yang tersebut di atas, baik hak-hak adat atas tanah maupun hak-hak adat selain tanah, oleh negara dengan jelas telah ada disebutkan dan diberikan kepada seleuruh masyarakat Indonseia, tidak terkecuali masyarakat adat, ketentuan normatif menyebutkan demikian, dari segi formal tidak dipermasalahkan. Akan tetapi pada dasarnya hukum bagi warga negara itu tidak hanya sekedar tersurat di dalam naskah peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus benar-benar dirasakan bahwa hak-hak tersebut harus benar-benar dirasakan pelaksanaannya. Implementasi hak-hak masyarakat adat di lapangan jusrtu amatlah penting, karena itulah wujud hukum yang sebenarnya. D. Masyarakat Hukum Adat Perihal pengertian masyarakat adat itu sendiri, ada banyak pengertian atau istilah yang dikemukakan oleh para pakar, untudang-undang, ataupun kelompok pemerhati masyarakat hukum adat. Berikut akan dikemukakan beberapa istilah tentang masyarakat hukum adat dimaksud. Menurut Ter Haar, Bzn yang dimaksud dengan Masyarkat Hukum Adat (rechtsgemeeinschappen) ialah kesatuan manusia yang teratur yang menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai pengurus-pengurus dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun yang tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masingmasing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut

64 56 kodrad alam, dan tidak seorangpun diantara anggota itu mempunyai pikiran atau kecendrungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh dan meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999, yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; 5. masih mengadakan pungutanhasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuahan hidup sehari-hari. Masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi budaya, sosial dan ekonominya membedakan mereka dari bagaianbagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya dan sebagaian oleh adat yang tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum atau peraturan khusus (Konvensi ILO 169, 1998). Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Permen). Selanjutnya berdasarkan hasil Lokakarya Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (1993),

65 57 menyepakati bahwa masyarakat adat sebagai terjemahan dari indigenous peoples, dan merumuskan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta mamiliki sistem nilai, ideologi politik, ekonomi, sosial budaya dan wilayah sendiri. E. Eksistensi dan Kekuatan Berlakunya Hak-hak Adat Dalam rangka studi ini, ciri-ciri pengenal eksistensi Hak Tanah Ulayat/tanah komunal tradisional atau tanah adat antara lain meliputi: Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban. 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya. 3. Ada wilayah hukum adat yang jelasnya. 4. Ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati ; dan 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal yang serupa kemudian juga diakui dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Untuk sementara ini kriteria yang dipakai dalam Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No.18 Tahun 15 Abdurrahman, Meneliti Keberadaan Hak Ulayat di Kalimantan, Makalah Pelatihan Tenaga Peneliti dalam Rangka Penelitian Hak Tanah Ulayat di Kabupaten Kota Baru di Fakultas Hukum Unlam, Agustus 2007, hlm 9.

66 tentang Perkebunan dapat dijadikan sebagai kriteria dan pedoman untuk penelitian hukum adat. 16 Dengan demikian maka hak adat dianggap masih eksis apabila: 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan seharihari; 2. Terhadap tanah adat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tepatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari; 3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah adat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Di daerah-daerah yang masih eksis hak adatnya, juga dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang melengkapi dan menyempurnakan ketentuan hukum adat. Misalnya tentang pendaftaran hak atas tanah dan perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Pemberlakuan peraturan perundangundangan tersebut dilakukan dengan cara persuasif melalui sosialisasi yang gencar agar tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Untuk daerah-daerah yang tidak ada/sudah tidak ada hak adatnya, secara penuh diberlakukan ketentuan hukum tanah yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. 16 Ibid.

67 59 Dengan demikian menguatkan hak-hak individu atas tanah, secara alamiah lambat laun hak adat masyarakat hukum adat akan menjadi hilang. Hilangnya hak adat itu, harus terjadi secara alamiah tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Sedangkan objek hak-hak adat adalah, semua tanah seisinya yang ada di wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat. Selain tanah seisinya (kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah), objek hak-hak adat juga termasuk air (sungai, danau, dan laut di sekitar pantai), binatang liar yang hidup di hutan dan pohon-pohon yang ada di hutan yang belum dipunyai oleh perorangan. F. Kekuatan Berlaku Hak-hak Adat Disamping hak adat mempunyai objek dan subjek juga mempunyai kekuatan berlaku di dalam dan ke luar. Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam artinya, berlaku bagi anggota masyarakat hukumnya sendiri, sedang mempunyai kekuatan berlaku ke luar artinya, berlaku bagi selain anggota masyarakat hukumnya. Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam: 1. Masyarakat hukum itu dalam arti anggota-anggotanya secara bersama-sama dapat memungut hasil dari tanah dan dari binatang-binatang dan tanamantanaman yang terdapat di situ; 2. Masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak anggota-anggotanya atas tanah untuk kepentingan sendiri. Hubungan hak pertuanan dengan hak perorangan bersifat mengucap-mengembang, bertimbal balik dengan tiada hentinya. Artinya apabila hak perorangan menguat maka hak bersama menjadi

68 60 lemah. Begitu pula sebaliknya, apabila hak perorangan melemah maka hak bersama menguat; 3. Anggota masyarakatnya dapat berburu dan mengambil hasil hutan untuk dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa diperolehnya; 4. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang tumbuh sendiri di hutan dengan menempelkan suatu tanda dan melakukan pemujaan; 5. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanah yaitu menyelenggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah dengan memberi tanda dan melakukan pemujaan (upacara adat); 6. Masyarakat umum dapat menentukan tanah untuk kepentingan bersama misalnya untuk makam, pengembalaan umum dan lain-lain. Mempunyai kekuatan berlaku ke luar terdiri atas: 1. Orang-orang luar hanya dapat mengambil hasil dari tanah setelah mendapat izin untuk itu dari masyarakat setempat dengan membayar uang pengakuan di muka dan uang pengganti dibelakang. uang pengakuan (wang pemasungan di Aceh, mesin di Jawa) dibayarkan pada permulaan pemakaian tanah. Disamping itu setelah panen membayar uang pengganti yang besarnya diperjanjikan; 2. Orang luar tidak boleh mewaris membeli, atau membeli gadai tanah pertanian; 3. Masyarakat hukum setempat bertanggung jawab terhadap kejahatan yang terjadi diwilayah yang tidak diketahui pelakunya Ter Haar, op.cit, hlm.72-80; Roestandi Ardiwilaga, op,cit, hlm.31; Boedi Harsono, op,cit, hlm

69 61 Masyarakat hukum itu diwakili oleh penghulu-penghulu rakyat/kepala-kepala adat yang mempunyai tugas keluar sebagai wakil masyarakat menghadapi orangorang di luar lingkungan masyarakatnya, ke dalam mengatur hubungan antara orangorang dengan tanah diwilayahnya serta bertugas sebagai pemelihara tanah. Dalam pemerintahan adat terdapat aparat yang ditugasi untuk melindungi perbatasan agar tidak dilanggar oleh orang lain, di Minangkabau bernama Jaring, di Minahasa bernama Teterusan,di Ambon bernama Kepala kewang, di Tugunan (Bali) bernama Lelipi slem bukit, di Jawa bernama Resko bumi. G. Permasalahan Pengakuan Hak-Hak Adat Dalam Peraturan Perundangundangan Dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, yang dalam pengaturannya ada mengatur dan menghormati tentang hak-hak adat atau hak-hak tradisional masyarakat adat. Di samping ada yang mengakui dan menghormati hak-hak adat juga, namun ada yang tidak mengakui hak-hak adat masyarakat adat. Terjadinya kontradiksi antara berbagai aturan perundang-undangan ini haruslah dicari solusi yang tepat untuk menjamin keberadaan hak-hak adat yang merupakan hak kotinstitusional masyarakat hukum adat, tidak diakuinya hak-hak adat tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi hak-hak adat dan tanah ulayat/adat yang dinyatakan sebagai tanah negara. Peraturan perundang-undangan yang diindikasikan telah mengingkari hak-hak adat adalah:

70 62 1. Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang sekarang tidak berlaku lagi, dengan diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. UU ini tidak mengatur secara langsung tentang Hakhak Adat Masyarakat Adat, namun undang-undang ini membawa dampak negatif terhadap eksistensi masyarakat adat yang merupakan suatu bentuk persekutuan masyarakat adat. Undang-undang ini mengarah pada penyeragaman bentuk dan susunan Pemerintahan Desa dengan corak Nasional yang menghilangkan bentuk dan ciri kedaerahan sebagai warisan nenek moyang yang beraneka ragam, sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pasal 1 (a) Undang-undang No. 5 tahun 1979, berbunyi: Desa adalah suatu wilayah yang ditempai oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan mayarakat hukum yang pempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya senndiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyeragaman semua bentuk kesatuan masyarakat terendah menjadi Desa berakibat tidak diakuinya bentuk-bentuk lain yang beraneka ragam, temasuk kesatuan masyarakat hukum adat dayak di Kalimantan. Penyeragaman ini menghilangkan secara bertahap ciri masyarakat adat di suatu daerah dan keberadaan wilayah masyarakat adat itu sendiri, dan akhirnya akan hilang ciri kedaerahan dalam suatu persekutuan masyarakat adat.

71 63 2. Undang-undang tentang Kehutanan Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Indonesia telah mempunyai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang mengatur tentang masalah kehutanan, sebelum membahas UU No. 41 Tahun 1999, peneliti akan menguraikan terlebih dahulu akar masalah dari UU kehutanan sebelumnya. Dalam konsideran bagian mengingat Nomor 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, mencantumkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai bahan pertimbangan, dan tidak mencantumkan UUPA, undang-undang tersebut tidak berinduk pada UUPA tetapi langsung menyebutkan pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai induknya. Dengan kata lain. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 UUD Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 terdapat ketentuan yang serupa dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai negara atas hutan, yang berbunyi sebagai berikut : (1) Semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara. (2) Hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (1) memberi wewenang untuk : a. menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara; b. mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas;

72 64 c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Menurut Pasal 5 ayat (1) tersebut, semua hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di seluruh wilayah Indonesia, dikuasai oleh negara. Penguasaan negara atas hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan 3 hal sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) tersebut, atas dasar wewenang negara itu, menteri kehutanan berwenang untuk menyatakan suatu kawasan sebagai Hutan negara atau hutan milik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut: Berdasarkan pemiliknya menteri menyatakan hutan sebagai : (1) Hutan Negara yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik; (2) Hutan Milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Di dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa dipergunakannya istilah Hutan Negara, untuk menyebut semua hutan yang bukan Hutan Milik. Dengan demikian maka pengertian Hutan Negara itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasar peraturan-peraturan maupun hukum adat dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan masyarakat hukum adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada hukum adat, yang lazimnya disebut hak ulayat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi sepanjang menurut

73 65 kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut kenyataannya hak-hak adat itu sudah tidak ada lagi (tidak pernah ada) dan tidak akan dihidupkan kembali. Menurut perkembangan hak-hak adat itu terjadi karena pengaruh berbagai faktor yang menunjukkan kecenderungan bertambah lama menjadi bertambah lemah. Selain pembatas tersebut di atas, pelaksanaan hak-hak adat itu pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dalam pasal-pasal tersebut di atas, pada pokoknya berisi pengingkaran terhadap hutan adat masyarakat hukum adat, sehingga hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya menjadi hilang. Pengakuan hak-hak adat harus diikuti dengan pengakuan terhadap tanah adat, karena tanpa tanah adat pengakuan hak-hak adat tidak ada artinya. Sebagai akibat pengingkaran terhadap tanah adat yang dinyatakan sebagai tanah negara, menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah adat masyarakat hukum adat. Selanjutnya berdasar hak menguasai oleh negara atas tanah, negara dapat memberikan tanah negara itu (tanah adat) kepada suatu subjek hukum dengan suatu hak misalnya HGU, HPH, atau kuasa pertambangan. Hal ini berarti bahwa, hak menguasai tanah oleh negara lebih kuat (mendominasi) dan mendesak hak-hak adat masyarakat hukum adat, sehingga menyebabkan hilangnya tanah-tanah adat dan menyebabkan timbulnya konflik vertikal antara rakyat dengan negara atau rakyat dengan pemilik modal yang didukung oleh negara. Dengan kata lain terjadi konflik vertikal antara rakyat dengan

74 66 pemilik modal dan negara. Dalam hal ini negara berperan sebagai penyedia sarana dan prasarana yang diperlukan pemilik modal dalam mengembangkan usahanya terutama berupa tanah, dan bertindak cepat menyingkirkan segala hambatan yang menghalang-halangi pemilik modal membuka usahanya di Indonesia. Sumber utama terjadinya konflik vertikal tersebut dipicu oleh terjadinya perebutan sumber daya alam baik berupa hutan, tambang maupun tanah pertanian, antara rakyat dengan pemilik modal dan negara. Perebutan ini biasanya akan dimenangkan oleh pemilik modal dan negara. Jika perebutan ini dimenangkan oleh pemilik modal dan negara, sehingga menyebabkan terjadinya penggusuran massal. Rakyat yang berdasarkan hukum adatnya, dipaksa atau kalau perlu dengan cara kekerasan yang dibantu oleh militer, untuk meninggalkan tanahnya. Menurut Endang Suhendra & Yohana Budi Winarni jumlah pemegang Hak Penguasahaan Hutan (HPH) dan luas tanahnya sebanyak : sejak diberlakukannya undang-undang pokok kehutanan pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1972, pemerintah Indonesia telah memberikan sebanyak 462 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan luas hutan yang dieksploitasi sekitar 43 juta hektar dengan nilai investasi sebesar US$ 779 juta. Sebagian besar izin HPH tersebut terkonsentrasi di hutan-hutan Kalimantan. Investor asing terbesar dalam eksploitasi hutan adalah Jepang, Filipina, Hongkong, Singapura, Korea Selatan. Besarnya minat pemilik modal dalam eksploitasi hutan dapat dilihat dari jumlah pendaftaran HPH yang tercatat, yaitu ada 259 pendaftaran baru HPH antara bulan Juli Desember 1972.

75 67 Sampai dengan tahun 1990, pemerintah Indonesia telah memberikan konsesi kepada 578 pemegang HPH yang mengeksploitasi sekitar 59,9 juta hektar hutan. Sampai saat ini tercatat sebanyak 296 industri pengolahan kayu dan 119 industri plywood. Pada awalnya eksploitasi hutan ini banyak dilakukan oleh investor asing, bahkan sampai dengan tahun 1978 telah tercatat 95 perusahaan asing yang memperoleh konsesi hutan. Hal ini karena dari segi permodalan, mereka lebih mampu dibandingkan dengan pengusaha HPH dalam negeri. Pada perkembangan berikutnya, banyak perusahaan asing yang kemudian melakukan kerjasama (joint venture) dengan perusahaan besar pemegang HPH hasil kerjasama perusahaan dalam negeri dan perusahaan asing 18. Tanah seluas lebih dari 64 juta hektar tersebut semula merupakan tanah-tanah adat (tanah ulayat) kepunyaan masyarakat hukum setempat. Oleh karena masyarakat hukum adat tidak dapat menunjukkan alat bukti tertulis tentang hak di atas tanah adat, maka pemerintah mengklaim tanah itu sebagai tanah negara dan dapat diberikan kepada para pengusaha. Pada era reformasi bangsa Indonesia menggantungkan harapannya kepada pemerintah agar mampu mewujudkan tatanan (sistem) pemerintah yang bersih dan berwibawa yang berpihak pada rakyat serta dapat menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD Untuk merealisasi harapan bangsa Indonesia tersebut, pemerintah orde 18 Endang Suhendar & Yohana Budi Winarni Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Akatiga, hlm. 111.

76 68 reformasi harus mengagendakan kegiatannya untuk melakukan reformasi di segala bidang termasuk di bidang hukum agraria dan kehutanan. Di bidang kehutanan pemerintah telah mencabut berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan memberlakukan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam bab XVII Ketentuan Penutup Pasal 83 ayat (2) secara tegas menyatakan tidak berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun definisi yaitu: Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 memuat beberapa 1. Hutan adalah sumber kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 nomor 2); 2. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah; 3. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 ini menyatakan semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (Pasal 4) dan hutan adat dinyatakan sebagai hutan negara (Pasal 5) Bunyi Pasal 4 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 sebagai berikut : 1. semua hutan di wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 2. penguasaan hutan oleh negara sebagai dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk : a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

77 69 b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan; 3. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam penjelasan pasal demi pasal, Pasal 4 dijelaskan antara lain sebagai berikut : pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini. Dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa : Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 berbunyi: (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : a. hutan negara dan b. hutan hak (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat; (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya;

78 70 (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Dalam penjelasan pasal demi pasal, Pasal 5 ayat (1) berbunyi: Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeencshap) Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertautan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Pernyataan dalam penjelasan tersebut yang berbunyi, hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat, tidak dapat dibenarkan yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat. Tidak dapat dibenarkan sebab jauh sebelumnya berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 bahkan jauh sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, hutan-hutan adat itu sudah dikelola oleh masyarakat hukum adat setempat. Jadi, tidak perlu adanya penyerahan pengelolaan dari negara. Hal ini menunjukkan organisasi negara yang menganggap di dirinya berkuasa/berwenang untuk memberi/menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat hukum adat, pada hal pengelolaan hutan itu sudah dipunyai oleh masyarakat hukum adat jauh sebelum terbentuknya negara republik Indonesia.

79 71 Selanjutnya dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa : Mengantisipasi perkembangan aspirasi perkembangan masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut undang-undang nomor 5 tahun 1960, termasuk didalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui kebenarannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 menyatakan hutan adat sebagai hutan negara, sehingga negara dapat memberikan hutan tersebut kepada suatu subjek hukum dengan suatu hak. Hal ini berarti pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dan berarti pula pengingkaran terhadap hak-hak adat masyarakat hukum adat. Pada tahun 2004 berlaku undang-undang yang juga mengatur tentang kehutanan yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Undangundang ini hanya memuat penjelasan tentang usaha di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung sebagai mana dijelaskan dalam penjelasan umum sebagai berikut:

80 72 Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut tetap berlaku. Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlakunya undang-undang tersebut dan tidak diberlakukan surut. Undang-undang Nomor 19 tahun 2004, hanya memuat penjelasan tentang usah pertambangan di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999, dan tidak mengubah Undang-undang Nomor 41 tahun Pasal 38 ayat (4) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 secara tegas melarang usaha pertambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung. Dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan usaha pertambangan di kawasan hutan lindung yang ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan berbagai macam penafsiran. Untuk menghilangkan ketidakpastian hukum dan multi tafsir tersebut, Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 mempertegas bahwa, larangan usaha di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung, hanya berlaku setelah berlakunya Undangundang Nomor 41 tahun 1999 dan tidak berlaku surut. Nama Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 yaitu Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, memberi

81 73 persepsi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 mengubah Undang-undang Nomor 41 tahun Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tidak mengubah Undangundang Nomor 41 tahun 1999, undang-undang itu hanya memberi penegasan tentang usaha pertambangan di kawasan hutan lindung yang ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun Undang-undang di Bidang Pertambangan Sebelum Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pengaturan masalah pertambangan diatur oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Uraian ini akan menguraikan UU No. 11 tahun 1967 yang banyak menimbulkan akibat pada keberadaan hak-hak adat masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Indonesia dan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 11 masih berlaku sampai sekarang. Pasal 1 UU No. 11 tahun 1967, menyebutkan bahwa, segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar penguasaan negara terhadap segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang menurut Pasal 2 huruf k meliputi seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia negara mempunyai wewenang yang

82 74 luas untuk mengatur mengusahakan pemanfaatan pengawasan atas bahan-bahan galian yang ada dalam perut bumi Indonesia. Dalam hubungannya dengan penguasaan tanah, Pasal 26 Undang-undang Pokok Pertambangan menyatakan bahwa: Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas suatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas dasar mufakat kepadanya: a. sebelum pekerjaan dimulai dengan memperlihatkan surat kuasa pertambangan atau salinannya yang ada diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaanpekerjaan itu akan dilakukan; b. diberi ganti rugi atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu. Dari Pasal 26 Undang-undang Pokok Pertambangan itu tampak bahwa, jika suatu pihak memperoleh izin kuasa pertambangan di atas tanah kepunyaan orang lain, maka orang yang berhak atas tanah itu diwajibkan untuk membolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan. Dengan demikian berarti bahwa, pekerjaan kuasa pertambangan tidak dapat dihentikan kegiatannya oleh pemegang hak atas tanah, walaupun belum ada persetujuan, asal ada jaminan pemberian ganti rugi. Bagi pemegang hak atas tanah tidak ada alternatif lain kecuali membolehkan pemegang izin kuasa pertambangan di atas tanahnya, bahkan oleh Pasal 32 ayat (2) Undangundang Pokok Pertambangan, pemegang hak atas tanah yang merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah diancam dengan pidana.

83 75 Bunyi selengkapnya Pasal 32 tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, barang siapa yang tidak berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah; (2) dihukum dengan hukuman selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, barang siapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 26 dan 27 undang-undang ini; (3) Mekanisme pemberian ganti rugi diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi sebagai berikut: (1) apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan; (2) Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada menteri; (3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat satu pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah yang bersangkutan; (4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan; (5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan menteri. Dari ketentuan Pasal 26 dan 27 Undang-undang Pokok Pertambangan tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Pemegang hak atas tanah yang tanahnya terkena kegiatan usaha pertambangan, harus membolehkan pemegang izin pertambangan untuk melakukan usaha

84 76 pertambangan pemegang hak atas tanah tidak boleh menolak tanahnya untuk dipakai kegiatan usaha pertambangan. 2. Antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang izin kuasa pertambangan dapat dirumuskan mengenai besarnya ganti rugi yang ditentukan melalui cara: a. musyawarah untuk mencapai mufakat; b. jika tidak tercapai kata mufakat, besarnya ganti rugi ditentukan oleh menteri; c. jika pemegang hak atas tanah tidak dapat menerima penentuan besarnya ganti rugi yang ditetapkan oleh menteri, penentuan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Pengadilan negeri setempat. Ketentuan tersebut jelas merusak hak-hak rakyat atas tanah yang seharusnya dilindungi oleh negara. Berkaitan dengan hak masyarakat hukum adat, yang berdasar hak-hak adatnya dapat mengambil bahan tambang yang ada di wilayahnya (tanah ulayat/adat), oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 beserta peraturan pelaksanaannya dibatasi secara ketat, yaitu: 1. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 mengatur tentang bentuk organisasi dan usaha pertambangan sebagai berikut : Usaha pertambangan dapat dilakukan oleh: a. Instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri; b. perusahaan negara; c. perusahaan daerah; d. perusahaan dengan modal ber bsama antara negara dan daerah; e. koperasi; f. badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); g. perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan koperasi dan/atau badan perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1); h. pertambangan rakyat. 2. Menurut Pasal 5 huruf h tersebut, masih dibuka kemungkinan bagi usaha pertambangan dalam bentuk Pertambangan Rakyat. Usaha pertambangan rakyat ini diatur dalam : a. Pasal 11 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 yang berbunyi:

85 77 (1) Pertambangan rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun negara di bidang pertambangan dengan bimbingan pemerintah; (2) Pertambangan rakyat hanya dapat dilakukan oleh rakyat setempat yang memegang kuasa pertambangan (Izin) pertambangan rakyat; (3) Ketentuan-ketentuan mengenai pertambangan rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh kuasa pertambangan (Izin) pertambangan rakyat diatur dalam peraturan pemerintah. b. Izin pertambangan rakyat diatur dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagai berikut : Pasal 5 (1) Permintaan izin pertambangan rakyat untuk melaksanakan usaha pertambangan termaksud dalam Pasal 2 ayat (3) peraturan ini, ditujukan kepada menteri dengan menyampaikan keterangan mengenai : a. Wilayah yang akan diusahakan; jenis bahan galian yang akan diusahakan; (1) Menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan izin pertambangan rakyat kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dengan menyatakan syarat-syarat dan petunjuk-petunjuk yang perlu diindahkan dengan pelaksanaannya; (2) Dalam hal termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka permintaan izin pertambangan rakyat diajukan kepada Gubernur / Kepala daerah Tingkat I yang bersangkutan; (3) Izin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka waktu selamalamanya 5 (lima) tahun dan bilamana diperlukan dalam diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Pasal 6 berbunyi: (1) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk suatu izin pertambangan rakyat tidak boleh melebihi 5 (lima) hektar; (2) Jumlah luas wilayah izin pertambangan rakyat yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum koperasi tidak boleh melebihi 25 (dua puluh lima) hektar.

86 78 Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan adanya pembatasan yang ketat terhadap hak masyarakat hukum adat untuk mengambil bahan tambang yang ada di wilayahnya (tanah adatnya), yaitu : 1. Yang dapat melakukan usaha pertambangan rakyat adalah, rakyat setempat yang telah memperoleh izin pertambangan rakyat. 2. Instansi yang berwenang memberi izin pertambangan rakyat adalah menteri. Wewenang itu dapat dilimpahkan kepada Gubernur. 3. Pertambangan rakyat hanya diperuntukkan bagi usaha pertambangan kecil yang luas wilayahnya maksimum 5 hektar. Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut berarti undang-undang Nomor 11 tahun 1967 beserta peraturan pelaksanaan mengingkari hak-hak masyarakat hukum adat yang melekat pada hak-hak adat misalnya, hak untuk mengambil sumber daya alam termasuk bahan tambang yang ada di wilayahnya (tanah adatnya), karena : 1. berdasarkan hukum adat, warga masyarakat hukum adat setempat dapat mengambil bahan tambang yang ada di wilayahnya tanpa izin dari instansi pemerintah. Mereka cukup memberitahukan kepada ketua masyarakat hukum adat setempat dan membayar bunga emas yang jumlahnya sepersepuluh dari hasil tambang yang diperolehnya Warga masyarakat hukum adat dilarang untuk menghalang-halangi pekerjaan pemegang kuasa pertambangan yang sah (Pasal 26 Undang-undang Nomor Sajuti Thalib Hukum Pertambangan Indonesia. A.G.P. Bandung: Akademi Geologi dan Pertambangan. hlm. 72

87 79 tahun 1967), bahkan bagi mereka yang menghalang-halangi pekerjaan pemegang kuasa pertambangan diancam dengan sanksi pidana (Pasal 32 Undang-undang Nomor 11 tahun Pengingkaran terhadap hak-hak warga masyarakat adat atas bahan tambang yang ada di wilayahnya (tanah adatnya), juga berarti pengingkaran terhadap hak-hak adat masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh Pasal 3 UUPA, karena warga masyarakat hukum adat kehilangan hak-haknya yang bersumber pada hak-hak adat, yaitu mengambil bahan tambang yang ada di tanah adatnya. Penanaman modal asing di sektor pertambangan mulai berdatangan ke Indonesia sejak tahun 1967, yaitu sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (yang sekarang sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal ) dan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Maraknya pertambangan dan penanaman modal asing tampak tidak diakui dan dihormatinya terhadap hak-hak adat masyarakat hukum adat, yang menyebabkan hilangnya hak-hak warga masyarakat hukum adat untuk mengambil SDA yang ada di wilayah tanah adat sesuai dengan ketentuan hukum adatnya. Berbeda dengan Undang-undang No 11 Tahun 1967 Undang-undang Minyak dan Gas sebagai aturan khusus dalam pertambangan terasa lebih melindungi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, minyak dan

88 80 gas bumi yang ada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara, yang hal ini diatur dalam konsideran menimbang huruf b yang berbunyi Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya dalam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komuditas vital yang menguasai hajat orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pasal 4 yang berbunyi: (1) Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara; (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan; (3) Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan mebentuk badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 1 angka 23. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi baik berupa eksplorasi maupun eksploitasi mutlak memerlukan tanah karena usaha tersebut dilakukan di atas tanah. Oleh karena itu kegiatan tersebut berhubungan langsung dengan penguasaan tanah, baik tanah yang telah ada alas haknya maupun tanah yang belum ada alas haknya. Hubungan antara usaha minyak dan gas bumi Pasal 33 sampai dengan Pasal 37 Undang-undang Migas. Pasal 33 ayat (3) mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah baik perorangan maupun masyarakat, yang berbunyi sebagai berikut : Kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada: a. Tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat;

89 81 b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah disekitarnya; c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara; d. bangunan, rumah tinggal atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU Migas dijelaskan bahwa Pada prinsipnya seluruh kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang dilakukan pada suatu lokasi memerlukan izin dari instansi pemerintah. Namun pada tempat-tempat tertentu sebelum memperoleh izin dari instansi pemerintah terlebih dahulu perlu mendapat persetujuan dari masyarakat dan atau perseorangan Dari pasal 33 ayat (3) dan penjelasannya tersebut tampak bahwa semua kegiatan usaha minyak dan gas bumi memerlukan izin dari instansi pemerintah dan untuk tempat-tempat tertentu yang telah dipunyai dengan suatu hak oleh perseorangan atau masyarakat harus mendapat izin dari perseorangan atau masyarakat yang berhak atas tanah tersebut. Perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang diberikan oleh Pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunakan bidangbidang tanah hak atau tanah negara di dalam wilayah kerjanya. Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

90 82 (2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2) dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hakhak adat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasar hukum adat yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 34 ayat (2) dan penjelasannya apabila kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilakukan di atas tanah adat masyarakat hukum adat, maka penyelesaiannya harus dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat berdasar hukum adat yang berlaku. Dari ketentuan ini tampak adanya perlindungan hukum terhadap tanah adat dari masyarakat hukum adat. Perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah juga diberikan oleh Pasal 35 yang berbunyi sebagai berikut: Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan badan usaha dan bentuk usaha tetap untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan apabila : a. Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerjasama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

91 83 Dari ketentuan Pasal 35 tersebut tampak bahwa jika badan usaha 20 atau bentuk usaha tetap 21 telah memperlihatkan kontrak kerja sama atau salinannya yang sah kepada pemegang hak dan telah dilakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara, maka pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk mengizinkan badan usaha atau bentuk usaha tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanahnya. Tanpa persetujuan dari pemegang hak atas tanah tentang penyelesaian atau jaminan penyelesaian kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan. Ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 ini berbeda dengan ketentuan Pasal 26 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 yang tidak memerlukan persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 26 Undangundang Nomor 11 tahun 1967, jika suatu pihak telah memperoleh izin kuasa pertambangan di atas tanah milik orang lain, orang yang berhak atas tanah itu diwajibkan untuk membolehkan pekerjaan kuasa pertambangan. Hal ini berarti bahwa pekerjaan kuasa pertambangan tidak dapat dihentikan kegiatannya oleh pemegang hak atas tanah, walaupun belum ada persetujuan tentang ganti rugi asal ada jaminan pemberian ganti rugi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa undang-undang Nomor 22 tahun 2001 lebih memberi perlindungan hukum bagi pemegang hak atas 20 Menurut Pasal 1 Nomor 17 Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21 Menurut Pasal 1 Nomor 18 bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

92 84 tanah dan pemakai tanah di atas tanah negara dari pada Undang-undang Nomor 11 tahun Undang-undang minyak dan gas bumi merupakan peraturan khusus (lex specialis) terhadap undang-undang pertambangan yang merupakan peraturan umum (lexgeneralis), sehingga ketentuan-ketentuan dalam undang-undang pertambangan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya juga berlaku bagi pertambangan minyak dan gas sepanjang tidak diatur khusus oleh undang-undang minyak dan gas bumi. Oleh karena itu pembatasan-pembatasan terhadap hak masyarakat hukum adat untuk mengambil bahan tambang yang ada di wilayahnya (tanah adatnya) sebagi mana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 1967, juga berlaku bagi pertambangan minyak dan gas bumi di samping itu setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan golongan strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapat kuasa pertambangan dari menteri pertambangan (Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1980 tentang penggolongan bahan-bahan galian, mengatur tentang macam-macam bahan galian sebagai berikut : Bahan-bahan galian terbagi atas tiga golongan: 1. Golongan bahan galian yang strategis adalah: - minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam; - bitumen padat, aspal;

93 85 - antrasit, batu bara, aspal; - antrasit, batu bara, batu baramuda; - uranium, radium, thorium dan bahan-bahan galian radicaktip lainnya; - nikel, kobalt; - timah. 2. Golongan bahan galian yang vital adalah - besi, mangaan, molibdon, khroom, wolfram, vanadium, titan; - bauksit, tembaga, timbal, seng; - emas, platina, perak, air raksa, intan; - arsin, antimony, bismuth; - yttrium, rhutenium, cerium dan logam-logam langka lainnya; - berilliun, kordundum, zirkom, kristal kwarsa; - kriolit, fluorspar, barit; - yodium, brom, khol, belerang. 3. Golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b adalah - nitrat-nitra, pospat-pospat, garam batu (halite) asbes, talk, mika, grafit magnesit; - yarosit, leusit, tawas (alum) oker; - batu permata, bat setengah permata; - pasir kwarsa, kaolin feldspar, gips, bentonit; - batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diateme, tanah serao (fullers earth); - marmer batu tulis;

94 86 - batu kapur, dolomite kalsit; - granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat dan pasai sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan a maupun golongan b dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Minyak dan gas bumi termasuk golongan bahan galian strategis, sehingga setiap usaha pertambangan minyak dan gas bumi terlebih dahulu telah mendapat kuasa pertambangan dari menteri. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut hak masyarakat hukum adat untuk mengambil bahan tambang yang ada di wilayah (tanah adatnya) menjadi hilang. Dari uraian di atas tampaknya adanya ambiguous tentang eksistensi hak-hak adat yaitu : di satu sisi keberadaan hak-hak adat diakui dan dilindungi, namun pada sisi yang lain juga diingkari, dalam dataran konsep secara de jure hak-hak adat diakui dan dilindungi oleh UUD 1945, Tap MPR dan UUPA, namun dalam tataran implementasi secara de facto. Di samping itu, keberadaan hak-hak adat selalu dibenturkan dengan sepanjang menurut kenyataannya mash ada, dengan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang tidak jelas batas-batasnya dan dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam benturan ini hak-hak adat masyarakat hukum adat, selalu dikalahkan. Akibatnya terjadi proses peminggiran dan pengingkaran terhadap hak-hak adat secara sistematis yang dilakukan oleh negara atas dasar hak menguasai tanah oleh negara.

95 87 Dari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengambilan SDA tersebut, yakni Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (yang sekarang telah digantikan dengan Undang-undang No. 4 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara), dan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, meletakkan hak tradisional masyarakat hukum adat yang diatur dalam hukum adat, pada posisi yang paling rendah bahkan lebih rendah dari pada peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 203 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berbunyi : Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat dan yang diakui yang ditetapkan dalam peraturan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Jadi menurut pasal tersebut, berlakunya hukum adat digantungkan pada peraturan daerah yang menyatakan berlakunya hukum ada itu. Tanpa adanya peraturan daerah yang menyatakan berlakunya hukum adat, hukum adat menjadi tidak berlaku. Dengan demikian, peraturan daerah lebih tinggi kedudukannya dari pada hukum adat dan dapat menggusur berlakunya hukum adat. Penggusuran ini menampakkan kekuasaan pemerintah yang sangat besar yang kemudian secara sistematis digunakan untuk mengabaikan dan menggusur hak tradisional masyarakat hukum adat yang diatur dalam hukum adatnya.

96 88 Hal ini yang menyebabkan terjadi gejolak di masyarakat berupa protes, demo bahkan konflik secara fisik antara rakyat dengan petugas keamanan seperti yang terjadi selama ini. oleh karena itu untuk menghindari terjadinya gejolak di masyarakat hukum adat/warga masyarakat beserta hak-hak yang timbul dari adat itu harus diakui, dihormati dan dilindungi oleh negara sehingga tidak dilanggar oleh siapapun H. Penyelesaian Konflik Peraturan Perundang-undangan Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan hukum antara negara dan tanah. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundangundangan yang akan mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah adatnya serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut. Hukum yang mengatur tantang pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika melihat hubungan negara dengan tanah terlapas dengan hubungan anatara masyarakat hukum adat dengan tanah adantnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lain, dan merupakan hubungan yang bersifat tritunggal. Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah adantnya

97 89 melahirkan hak adat/ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh negara, hak adat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Bagitu pula dengan pengelolaan SDA yang menyangkut dengan hak-hak masyarkat adat. Permasalahan dalam peraturan perundang-undangan yang menyangkut dengan hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam pengelolaan SDA adalah dalam penafsiran makna dikuasai oleh negara dan konflik perundang-undangan, yang mengatur hak-hak masyarakat adat. 1. Makna dikuasai oleh negara Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 Eksistensi istilah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai konsekuensi dari kata-kata dikuasai oleh negara dan dipergunakan (dalam Pasal 33 ayat 3). Meskipun kedua kata mempunyai arti yang berbeda, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama dan saling berkaitan. Sebab dipergunakan sebagai akibat adanya penguasaan negara. Kedua aspek kaidah tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik, Hak Penguasaan negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objectives).

98 90 Istilah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan kelanjutan atau normatifisasi dari beberapa istilah dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 seperti memajukan kesejahteraan umum,.. perdamaian abadi dan keadilan sosial,. Serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada tiga kata yang digunakan secara bergantian dari ketiga istilah di atas yaitu; rakyat, sosial, dan umum. Ketiga kata di atas, meskipun berbeda tetapi masuk dalam kategori subjek hukum, maka usaha untuk menemukan makna atas istilah tersebut, dilakukan dalam kerangka yang berhubungan dengan subjek hukum. Mengenai kata rakyat, selain berhubungan dengan kata kemakmuran dan keadilan sosial, juga berhubungan dengan faham kedaulatan dan lembaga perwakilan seperti; kedaulatan rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain hubungan-hubungan tersebut din atas, rakyat juga dapat dipahami dalam tiga kemungkinan; a. Rakyat sebagai individu atau bersifat individual (perorangan). Sebagai individu rakyat adalah otonom yang memiliki hak dan kewajiban yang dirinci dalam konstitusi negara. b. Rakyat sebagai golongan-golongan atau kelas. Rakyat dalam faham kedaulatan, bukanlah rakyat sebagai individu-individu melainkan rakyat sebagai keseluruhan yang meliputi berbagai golongan-golongan dalam masyarakat. c. Rakyat yang mengabaikan dikotomi baik berdasarkan individual maupun golongan-golongan.

99 91 Ketiga pola hubungan tersebut, oleh Soepomo 22 disebutnya sebagai teori yang mendasari aliran pikiran kenegaraan, yaitu aliran perorangan (individualisme), aliran teori golongan yang komunalistik dan aliran teori integralistik yang bersifat totaliter. Pengertian rakyat yang dikemukakan di atas, dalam perspektif politik dan sosiologis. Lalu bagaimana pengertian rakyat dalam optic yuridis? Secara etimologis, rakyat berarti segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah; orang kebanyakan; orang biasa. Kemudian menurut Black s Law Dictionary, 23 pengertian rakyat (citizen) adalah setiap orang (one who) yang oleh peraturan perundangundangan diberi hak-hak dan kewajiban tertentu; semua orang (all persons) yang lahir dan memperoleh kewarganegaraan (Amerika). Kemudian istilah sosial dan hukum berdasarkan UUD 1945 dipahami dalam suatu nafas yaitu rakyat dan pemerintah dalam arti satu kesatuan dan keseluruhan. Namun demikian rakyat sebagai subjek hukum batas-batas mengenai hak dan kewajibannya harus jelas. Karena hak dan kewajiban merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan dalam kerangka kehidupan bernegara sebagai satu kesatuan. Disinilah hukum harus berperan untuk merumuskan sedemikian rupa batas hak dan kewajiban rakyat sebagai warga negara maupun kepentingan-kepentingan rakyat sebagai individual. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya berbagai konflik sebagai akibat pertentangan kepentingan umum dan kepentingan pribadi. 22 Abrar Saleng Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, hlm Henry Campbell Black Black s Law Dictionary. Abridget Sixth Edition. West Publishing, hlm 166.

100 92 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur dan menetapkan penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara. Pertanyaan: Siapakah yang menjadi pemiliknya dan bagaimana tentang pemilikan pada umumnya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat juga di gali atau dikaji dalam sistem hukum asli bangsa Indonesia yaitu hukum adat. Salah satu undang-undang yang relevan dan berkaitan erat dengan permasalahan ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA menjadi penting dalam pembahasan ini, karena secara tegas dalam Pasal 5 UUPA, menyebutkan bahwa UUPA berdasarkan atas Hukum Adat. Salah satu faham Hukum Adat yaitu religius dan komunal sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA sebagai berikut: Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional. Pasal tersebut mengakui bahwa semua ciptaan di alam raya adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa berada dalam Kekuasaan-Nya. Pandangan religius yang demikian melekat pula dalam masyarakat tradisional dan rakyat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia. Tuhan yang menciptakan manusia dan makhluk lainnya. Bahkan masyarakat tradisional sebelum mengenal adanya Tuhan Yang Maha Esa melalui agama-agama yang merek anut sekarang, sudah mengenal Sang Pencipta Alam

101 93 melalui kepercayaan nenek moyang mereka dengan berbagai nama yang berbedabeda pada setiap daerah. Selanjutnya bagaimana sifat hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menurut UUPA? Memori penjelasan pada angka II/a menyatakan bahwa sifat hubungan semacam hak ulayat. Dalam hukum adat hubungan itu adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan wilayahnya. Bila pengertian yang demikian diangkat dalam konteks yang lebih luas yaitu masyarakat bangsa Indonesia, maka hubungan yang disebut semacam hak ulayat itu ditempatkan pada tingkat paling tinggi meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Lalu muncul pertanyaan: Apakah hubungan itu identik dengan hak milik, artinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya milik bangsa Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini dikembalikan kepada konsep pemilikan dan hak ulayat menurut sistem hukum adat. Memori penjelasan UUPA menegaskan bahwa hubungan hak ulayat bukanlah hubungan hak milik. Pengertian penguasaan dan hak milik atas tanah versi UUPA yang berdasarkan sistem hukum adat. Pengertian yang demikian sejalan pula dengan sistem perekonomian menurut Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 yaitu berintikan kepada keseimbangan antara hak perorangan dan hak masyarakat. Penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menurut konsepsi hukum adat atau UUPA harus selalu dikaitkan dengan maksud dan tujuan Tuhan Yang Maha Kuasa mengkaruniakan semua itu, yaitu

102 94 sebagai sumber kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip diatas, rakyat melalui UUD 1945, khususnya Pasal 33 memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai sumber-sumber alam dengan suatu kewajiban publik, yaitu dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara teoritis, Friedmann 24 mengemukakan empat fungsi negara dalam bidang ekonomi: a. Fungsi negara sebagai provider (penjamin). Fungsi ini, berkenaan dengan negara kesejahteraan (welfare state) yaitu negara bertanggung jawab dan menjamin suatu standar minimum kehidupan secara keseluruhan serta bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya. b. Fungsi negara sebagai regulator (pengatur). Kekuasaan negara untuk mengatur merupakan wujud dari fungsi sebagai regulator. Bentuknya bermacam-macam, ada yang berupa peraturan perundangundangan, tetapi juga bersifat peraturan kebijaksanaan. Secara sektoral misalnya pengaturan tentang investasi disektor industri pertambangan, ekspor-impor, pengawasan dan lain-lain. c. Fungsi negara selaku entrepreneur (melakukan usaha ekonomi). Fungsi ini sangat penting dan perkembangannya sangat dinamis. Negara dalam kedudukan demikian, menjalankan sektor-tertentu dalam bidang ekonomi melalui badan usaha milik negara (state owned corporations). Sifat dinamis tersebut berkaitan dengan usaha yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan 24 W. Friedmann The State and The Rule of Law in A Mixed Economy. London: Stevens and Sons. hlm.3

103 95 keseimbangan dan hidup berdampingan (co-existence) antara peran sektor swasta dan sektor publik. d. Fungsi negara sebagai umpire (wasit,pengawas). Dalam kedudukan demikian, negara dituntut untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor-sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi, diantaranya mengenai perusahaan negara. Fungsi terakhir ini diakui sangat sulit, karena disatu pihak negara melalui perusahaan negara selaku pengusaha, tetapi dilain pihak ditentukan untuk menilai secara adil kinerjanya sendiri dibanding dengan sektor swasta yang lainnya. Dalam kepustakaan lain, Ingnacy Sachs dalam sebuah karyanya Searching fo New Development Strategies Challanges of Development Strategies Challanges of Social Summit, sebagaimana dikutip Rusli Karim 25, membagi fungsi-fungsi negara secara umum dapat dicakup dalam tiga kategori, yakni: (a) fungsi entrepreneural; (b) fungsi membangun; dan (c) fungsi pengaturan. Fungsi negara ini biasanya dikaitkan dengan intervensinya kedalam berbagai urusan masyarakat, sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam arti umum, intervensi negara di abad ke-20 didasarkan pada alasan modernisasi dan efesiensi ekonomi. Tetapi tidak dapat pula diabaikan pandangan normatif yang melihat negara atau pemerintahan itu bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sehingga kedaulatan negarapun bersifat terbatas. Namun ini pula bukanlah suatu 25 M.Rusli Karim Negara: suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal-Usul dan Fungsi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. hlm. 28

104 96 jaminan bagi pembatasan kesewenangan negara. 26 Lalu bagaimanakah keterkaitan antara fungsi-fungsi negara diatas dengan hukum? Menjawab pertanyaan tersebut Friedmann 27 mengemukakan bahwa hukum seharusnya bukan hanya mengabdi kepada subjek yang menguasai sumber-sumber kemakmuran dan yang memegang kekuatan ekonomi, melainkan juga harus menemukan jalan untuk memberdayakan subjek individu yang secara ekonomi kurang mampu. Keempat karakteristik negara kesejahteraan dengan empat fungsi negara dalam bidang ekonomi Friedmann serta tiga kategori fungsi negara secara umum oleh Ingnacy Sachs di atas, sangat relevan dengan tipe negara hukum modern dan konsep hak penguasaan negara. Pendapat di atas, membenarkan intervensi negara/pemerintah dalam bidang sosial-ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum masyarakat. Karena cita-cita paling mendasar bagi negara hukum adalah memenuhi kesejahteraan sosial-ekonomi seluruh warganya. Apabila dipelajari secara cermat evolusi perkembangan konsep tentang nengara, akan ditemukan bahwa menyejahterakan masyarakat, didalamnya terkandung makna keadilan sosial yang merupakan landasan legitimasi keberadaan negara. Keadilan sosial menjadi prinsipil, karena realitas politik dan hukum disepanjang sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa di dunia, mengajarkan bahwa 26 Ibid 27 W. Friedmann. Op.Cit. hlm. 20.

105 97 kekuatan yang paling dahsyat yang dapat memporak-porandakan bangunan masyarakat sebagai suatu bangsa adalah ketidakadilan sosial. 28 Esensi yang mendorong pendiri negara dan pembuat UUD 1945 untuk memuat konsep HPN atas sumber daya alam (Pasal 33) adalah terciptanya suatu masyarakat yang berkeadilan sosial untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 2. Penyelesaian dengan Teori Sistem Hukum Peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem hukum. Sistem artinya merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian-bagian tersebut dan juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) di antara bagian-bagian itu. 29 Dalam suatu sistem menghendaki adanya hubungan yang harmonis dan serasi di antara bagian yang satu dengan yang lain, dan tidak menghendaki adanya pertentangan-pertentangan atau kontradiksi (konflik) di antara bagian-bagian itu. Jika sampai terjadi konflik akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. 30 Konflik hukum di antara sesama peraturan perundang-undangan diatasi dengan asas hukum, yaitu asas: 28 Siswono Yodhohusodo. 10 Desember Negara dan Masyarakat yang berkeadilan Sosial (artikel) Jakarta:Harian Umum Kompas. hlm Subekti Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 4 Tahun IX, Juli hlm Ibid, h. 103

106 98 1. Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum) Kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi, jadi semua peraturan perundang-undangan yang ada di bawah konstitusi haruslah sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, teori ini dikenal dengan Stufenbau des Recht. 31 Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang seharusnya berubah menjadi sesuatu yang dapat dilakukan. 2. Lex specialis derogat legi generali Arti asas ini adalah apabila terjadi konflik hukum antara peraturan perundangundangan yang bersifat khusus (spesial) dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general) maka yang dikesampingkan adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general). Asas hukum ini dipakai apabila konflik hukum di antara peraturan perundang-undangan itu sama derajatnya. 3. Lex superior derogat legi inferiori 31 Bagir Manan Teori dan Politik Konstitusi. Cetakan Kedua. Yogyakarta: FH UII Press. hlm

107 99 Arti asas ini adalah apabila terjadi konflik hukum antara peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatnya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya, maka yang dikesampingkan adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya. Asas hukum ini dipakai apabila konflik hukum di antara peraturan perundang-undangan itu tidak sama derajatnya. 4. Lex posterior derogat legi priori Arti asas ini adalah apabila terjadi konflik hukum antara peraturan perundangundangan yang baru dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka yang dikesampingkan adalah peraturan perundang-undangan yang lama. asas hukum ini juga dipakai apabila konflik hukum di antara peraturan perundangundangan itu sama derajatnya. Konflik hukum di antara sesama peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik hukum antara peraturan perundangundangan yang sama derajatnya (sinkronisasi horizontal), dan konflik hukum antara peraturan perundang-undangan yang tidak sama derajatnya (sinkronisasi vertikal). Diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur hak-hak adat terjadi konflik hukum, baik secara horizon maupun vertikal. Konflik pertuaran perundang-undangan secara horizontal terjadi antara Pasal 3 UUPA dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1967, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999, Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 dan Undangundang Nomor 22 tahun 2001, Undang-undang Nomor 4 tahun Pasal 3

108 100 UUPA mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat, sedang kelima undangundang tersebut menyatakan tanah ulayat/adat sebagai tanah negara (mengingkari tanah ulayat/adat), sehingga hak-hak masyarakat hukum adat yang melekat pada hak-hak adat, menjadi hilang. Dengan demikian, pengingkaran tanah adat juga berarti pengingkaran hak-hak adat, karena pengakuan hak-hak adat tidak berarti apapun bagi masyarakat hukum adat setempat apabila tanah adatnya tidak diakui. Kedudukan UUPA terhadap Undang-undang Pertambangan dan Kehutanan adalah sederajat (sama) dan keempat undang-undang tersebut tidak harus berinduk/mengacu pada UUPA. Sampai saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur konflik hukum antara undang-undang dengan undang-undang (sinkronisasi horizontal) yang sudah diatur hanyalah konflik hukum antara peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya (sinkronisasi vertikal), yaitu pada lembaga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam: 1) Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: (a) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung; (b) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan

109 101 (c) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Mahkamah Agung hanya berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka wewenang menguji undang-undang terhadap undang-undang (sinkronisasi horizontal) seharusnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Konflik peraturan perundang-undangan secara vertikal terjadi antara Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 perubahan kedua Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 dengan Undang-undang di bidang pertambangan dan kehutanan Konflik hukum ini diatasi dengan asas konstitusional dan asas lex superior derogat legi inferiori, artinya, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan berdasar pada asas lex superior derogat legi inferiori tersebut, maka Undangundang di bidang Kehutanan dan Pertambangan yang dikesampingkan, karena kedudukannya lebih rendah daripada UUD Agar pasal-pasal yang dikesampingkan itu menjadi tidak berlaku, salah satu cara ditempuh melalui uji materiel (judicial review) terhadap berbagai undangundang tersebut melalui Mahkamah konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (10) UUD 1945 yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undangundang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

110 102 diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

111 103 BAB III HAK-HAK ADAT TRADISIONAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN A. Karakteristik Pada Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Selatan 1. Gambaran Umum Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan terbagi dalam 13 (tiga belas) daerah otonom yaitu Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Kotabaru. Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari beragam suku diantara mayoritas suku Banjar yang merupakan penduduk asli. Selain suku Banjar sebagai penduduk asli, terdapat satu suku diantara beragam suku tersebut yang juga merupakan penduduk asli, yaitu Urang Bukit (Suku Dayak) yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan urang bukit Meratus. Pada umumnya Urang Bukit atau urang bukit Meratus bermukim di wilayah berhutan dan berbukit-bukit di sepanjang pegunungan Meratus yang tersebar dan masuk dalam wilayah beberapa daerah otonom, seperti di Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Balangan. Urang Bukit merupakan masyarakat peladang yang hidup

112 104 secara berkelompok dalam suatu komunitas 32 di wilayah permukiman tradisional mereka dengan Balai Adat sebagai sentralnya, sehingga dalam setiap satu wilayah permukiman tradisional komunitas Urang Bukit selalu terdapat satu Balai Adat 33. Kehidupan mereka tidak terlepas dari hutan dan alam sekitarnya. Selain sebagai peladang, secara turun temurun mereka juga dikenal sebagai suku peramu dan pemburu, yaitu memanfaatkan hutan dan berbagai hasilnya (seperti memanfaatkan madu dari lebah, sarang burung walet, dan memburu binatang liar) sebagai sumber kehidupan.. 32 Bagi urang bukit Meratus yang bermukim di Meratus Hulu (Kabupaten Hulu Sungai Tengah), pengelompokan dalam suatu komunitas ini disebut Bubuhan (keluarga besar) yang terdiri dari beberapa Umbun (keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak). Adanya pertalian keluarga di antara beberapa umbun telah mempersatukan mereka dalam suatu komunitas yang dinamakan bubuhan. 33Balai Adat selain berfungsi sebagai tempat tinggal bersama dari beberapa keluarga (tempat tinggal komunal), juga berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan berbagai upacara baik ritual maupun seremonial, serta sebagai tempat penyelesaian sengketa (lembaga peradilan) baik yang terjadi antar orang di lingkungan suatu komunitas maupun antar orang dari lingkungan komunitas yang berbeda. Di Kecamatan Batang Alai Timur yang terdiri dari 11 (sebelas) desa, 8 (delapan) desa yang merupakan tempat permukiman tradisional urang bukit Meratus dan di 8 (delapan) desa tersebut terdapat 25 (duapuluh lima) buah Balai Adat. Sementara ini ada kecenderungan terjadinya pergeseran fungsi dimana Balai Adat sudah tidak lagi dijadikan sebagai tempat tinggal bersama (komunal) melainkan hanya berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat. Kecenderungan ini tidak terlepas dari konsep rumah tunggal sebagai tempat tinggal keluarga dan ini dibuktikan dengan semakin banyaknya berdiri rumah tunggal sebagai tempat tinggal keluarga di setiap permukiman tradisinal mereka. Perubahan fungsi Bala Adat yang tidak lagi menjadi tempat tinggal berwal dari adanya proyek permukiman (resetlement) dari Departemen Sosial yang membangun rumah-rumah tunggal yang diperuntukan bagi Urang Bukit.

113 105 Gambar 1 : Salah satu Balai Adat yang terdapat di desa Atiran Kecamatan Batang Alai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Gambar 2: Pohon Mangaris, salah satu jenis pohon yang biasa dijadikan oleh Lebah Madu sebagai tempat bersarang.

114 106 Gambar 3: Kijang, hewan liar yang sudah mulai langka yang menjadi salah satu hewan buruan favorit Berladang merupakan mata pencaharian pokok Urang Bukit di Meratus Hulu pada umumnya. Berladang merupakan tradisi turun temurun yang sudah terintegrasi ke dalam sistem kepercayaan mereka. 34 Sistem perladangan mereka dikenal dengan istilah ladang berpindah (shifting cultivation). Dengan sistem perladangan yang demikian, lahan perladangan untuk pertama kali diperoleh melalui menebang dan membakar hutan (primer) yang kemudian ditanami dengan berbagai komuditas, utamanya adalah padi, demikian seturusnya, sehingga seringkali muncul suatu penilaian bahwa aktivitas mereka berladang selama ini dianggap sebagai penyebab 34 Bagi Urang Bukit, khususnya yang masih memeluk agama Kaharingan, berladang atau yang dalam istilah mereka disebut bahuma, merupakan cerminan dari keyakinan mereka yang selama ini menganggap padi sebagai tanaman sakral. Kesakralan padi bisa dilihat dari adanya peelaksanaan berbagai upacara adat (Aruh/Baaruh) yang selalu dilaksanakan dan dimulai ketika membuka lahan, menanam, memanen, sampai padi dapat dikonsumsi. Segala bentuk Aruh ini merupakan wujud dari rasa syukur serta harapan dan doa yang ditujukan kepada Nining Bahatara yang menurut keyakinan mereka sebagai penguasa alam semesta. Syukur atas segala hasil berladang yang telah mereka peroleh selama setahun serta harapan dan doa agar ladang mereka mendatangkan hasil yang lebih baik lagi pada musim tanam tahun berikutnya, diberi keselamatan dan dihindarkan dari segala bencana.

115 107 terjadinya kerusakan hutan. Perladangan berpindah yang mereka lakukan sesungguhnya tidak dalam arti bahwa mereka melakukan perladangan berpindahpindah dengan cara membuka dan membakar hutan primer atau hutan skunder dari satu tempat ke tempat lainnya secara terus menerus. Mereka mengenal sistem bera sebagai suatu kearifan lokal, yang dengan sistem ini dimaksudkan adalah sebagai suatu masa dimana lahan bekas ladang diberikan kesempatan untuk memulihkan kesuburannya kembali secara alami. Dengan mengenal dan memahami sistem perladangan mereka, maka di balik aktivitas perladangan ini sesungguhnya terdapat hal-hal yang sangat substansial dalam kaitannya dengan tanah bagi Urang Bukit yang tinggal dan menetap di dalam dan di sekitar hutan. Tanah bagi mereka tidak hanya bernilai ekonomis tetapi juga mempunyai nilai religius-magis. 2. Hak-hak Adat atas Tanah Tanah masyarakat adat yang dikuasai dan dikerjakan secara individual di Kalimantan Selatan ada dan banyak ditemukan, khususnya pada masyarakat pedalaman yang tinggal di pegunungan Meratus dalam wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Balangan, Tabalong dan Kotabaru. a. Hak Membuka Tanah Semua masyarakat adat yang bertempat tinggal di Pedalaman Kabupaten Tapin (kawasan Miawa), Hulu Sungai Selatan (kawasan Loksado), Hulu Sungai Tengah (di beberapa Desa Kecamatan Labuhan Amas Timur (Desa Mandilang,

116 108 Batu Tangga, Hinas Kiri/Batu Kembar, Kiyu, Bukit Batu Besar, Balangan desadesa di Kecamatan Halong, Tabalong (desa-desa di Kecamatan Warukin dan Kotabaru (desa-desa di Kecamatan Hampang) pada dasarnya melakukan kegiatan membuka tanah jika ingin berladang sesuai dengan musim tanam/musim berladang yang berlaku di daerah itu, bisanya dimulai pada sekitar bulan juni sampai September untuk selanjutnya memulai penanaman pada bulan September Oktober. Pembukaan tanah/lahan dengan cara membabat hutan (dengan pohonpohon yang tidak terlalu besar), untuk selanjutnya dilakukan pembakaran setelah dua bulan kemudian. Pada ladang yang dibuka tersebut biasanya ditnami padi dan palawija, utamanya tanaman padi. Lahan yang telah digarap dan dipanen dipanen pada ini tidak akan digarap ulang pada tahun depan. Alasannya adalah bila digarap setiap tahun hasil panennya tidak akan baik dan banyak. Pembuka lahan (masyarakat) akan kembali lagi membuka dan menanami tanah/lahan tersebut setelah 5 atau 6 tahun lagi. Inilah yang dikatakan sebagai sistem perladangan berputar. Pembuka tanah/lahan pertama (secara individu) akan mendapat hak prioritas membuka kembali tahah/lahan yang pernah digarapnya pada 5 atau 6 tahun yang lalu. Inilah yang dimaksud dengan Hak Membuka Tanah dalam hukum adat. Sejalan dengan semakin meningkatnya pemberian HGU untuk perusahaan-perusahaan perkebunan berkala besar tentunya mengancam kehidupan dan hak-hak masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan

117 109 pedalaman, mengingat cara-cara hidup semacam itu telah dijalani oleh para pendahulu mereka. b. Hak Atas Tambang Secara Tradisional Hak atas kegiatan petambangan secara tradisional juga ditemukan pada masyarakat adat yang hidup di pedalaman, walaupun tidak semua daerah/kebupaten ada lahan tambangnya. Di Kaliamantan Selatan lahan tambang tradisional umumnya terdapat di Kabupaten Kotabaru, khususnya Kecamatan Hampang. Bahan tambang yang digali/ditambang tidaklah beragam, utamnaya emas. Hasil tambangpun hanya sekedar untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan untuk bahan tambang pasir dan batu umumnya hanya untuk kebutuhan konsumtif semata, bahan membuat rumah misalnya. Bahan tambang batu bara dan biji besi tidak dilakukan penambangan, nampaknya karena tidak mengerti teknologinya maupun pemasarannya, di samping budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya tidak sampai pada kegiatan penambangan bahan tersebut. Kegiatan penambangan yang dilakukan sangat sederhana, umumnya dengan alat sederhana dan mekanis skala kecil, jadi dijamin tidak akan menimbulkan kerusakan alam.

118 Hak-hak Adat selain Tanah a. Memungut Hasil Hutan Pertama-tama yang dimaksud dengan hasil hutan disini adalah kayu, madu, enau, getah kayu, buah, berbagai jenis bunga-bungaan, damar, binatang konsumsi, binatang liar, dan benda-benda lainya yang bermanfaat untuk hidup atau dijual guna menopang kehidupan masyarakatnya. Hasil hutan kayu misalnya, pembabatan/penebangannya hanya dilakukan dengan alat yang sangat sederhana, tidak dengan alat mekanis, hanya dengan tenaga manusia dari sekelompok kecil warga secara bergotong goyong (handipan). Pengangkutannya dilakukan dengan tenaga manusia secara bersama-sama gotong royong. Jumlah yang didapatpun volumenya tidak besar, umumnya hanya untuk keperluan sendiri dari para warga (konsumtif) untuk pembuatan/perbaikan tempat tinggal yang sangat sederhana. Pengolahan kayunyapun dilakukan dilokasi penebangan, agar mudah dan ringan dalam pengangkutannya. Kalau saja untuk dijual, maka pemasarannyapun (yang membeli) hanya anggota warga dilingkungan satu desa. Kayu hasil tebangan tidak untuk dibawa/dijual keluar.

119 111 Selama ini tidak terdegar dikawasan masyarakat berdiam telah terjadi banjir dimusim hujan karena adanya penebangan kayu oleh para warganya. Sedangkan hasil hutan lainnya selain kayu, itu umumnya dicari/diburu secara bermusim. Madu, enau, getah kayu, buah, berbagai jenis bunga-bungaan, damar, binatang konsumsi, binatang liar, dan benda-benda lainya yang bermanfaat untuk hidup atau dijual guna menopang kehidupan masyarakatnya semua ini dicari diburu dan didapatkan masyarakat tidak pada setiap saat, akan tetapi pada saat-saat tertentu, yaitu bila tepat sesuai dengasn musimnya. Madu lebah (wanyi) misalnya tidak setiap tahun/musim mudah didapatkan, itu semua tergantung pada berbunga atau tidaknya pohon keruing dan meranti. Bila tahun berjalan kedua pohon tersebut di hutan itu tidak berbungai,maka sudah dapat dipastikan masyarakat tidak akan mendapatkan/memanen madu. Demikian juga dengan hasil hutan lainya, pokoknya selain kayu benda-benda tersebut bersifat musiman. Dari kenyataan di atas dapat diketahui bahwa, hasil hutan akan sangat tergantung sekali kepada keberadaan isi hutan

120 112 itu sendiri. Sebut saja misalnya, kalau saja kayu keruing dan meranti ditebang/dibabat dalam skala besar, maka tidak akan ada lagi bunga-bunga keruiang dan meranti yang dapat dihisap oleh lebah madu, berarti masyarakat sekitar dan manusia dikota kesulitan mendapatkan madu alam asli pegunungan Meratus. c. Hak Guna Air Hak guna air disini maksudnya adalah hak untuk menggunakan/memanfaatkan air untuk keperluan hidup, seperti dikonsumsi, cuci-mandi dan keperluan bercocok tanam dan pemanfaatan untuk kolam ikan. Kualitas air tergantung pada kondisi dihulu sungai, jika terjadi penambangan di hulu maka kualitan air yang mengalir ke hilir akan terpengaruh, keruh misalnya. Jika terjadi penebangan/penggundulan hutan di hulu, maka pasokan air ke hilir hilir akan semakin berkurang debitnya, karena tanaman/hutan sebagai penyerap air. Hak atas guna air ada pada setiap masyarakat pedalaman Kaliantan Selatan. Pemberian konsesi atas pertambangan dan penebangan hutan secara resmi maupun illegal akan berpengaruh buruh terhadap

121 113 kehidupan warga masyarakat adat di pedalaman. Untuk itu perlu ada upaya-upaya perlindungan baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah guna menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat di pedalaman. b. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan Khusus untuk hak pemeliharaan ikan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, pada masyarakat adat di pedalaman Kalimantan Selatan sangatlah kurang. Akan tetapi untuk menangkap ikan (perikanan tangkap) hal ini lebih digemari, karena dalam perikanan tangkap tidak perlu menabur benih, sementara kondisi alam untuk perikanan budidaya masih Belem memungkinkan. Pada perikanan tangkap ini pun tidak semua masyarakat adat di pedalaman melakukannya, karena perairan (sungai) gunung tidak semuanya dalam dan berdanau. 4. Hak Tradisional Lainnya Hak tradisional lainnya yang dimaksud di sini ádalah hak untuk menjalankan ibadah / kepercayaan terhadap keyakinan / religi masyarakat adat pedalaman serta mengembangkan budaya warisan leluhur masyarakat adat pedalaman. Dari hasil pengamatan Tim Peneliti di lapangan, masyarakat adat

122 114 yang tinggal di pedalaman dapat dengan tenang dan selalu melakukan ritualritual kepercayaan dan keyakinannya menurut waktu dan tempat yang telah ditentukan secara berkala. Pelaksanaannya nampaknya berjalan aman dan lancar dan sukses. Hanya saja satu hal yang sangat perlu dan harus diperhatikan oleh pemerintah bila ingin lebih membina masyarakat adat pedalaman yang juga perlu untuk diperhatian adalah bangunan fisik Balai Adat, untuk kemudahan dan kenyamanan masyarakat adat itu sendiri di dalam melaksanakan acara-acara ritual. Upacara Aruh utamanya yang pasti dilakukan oleh semua masyarakat adat pedalaman secara berkelompok di setiap lingkungan mereka tinggal. 5. Problem Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Selatan Persoalan nyata yang sedang dan akan mereka hadapi adalah sedang terjadi gejala dimana rotasi sistem ladang berpidah menjadi singkat karena luas hutan primer atau hutan skunder yang semakin berkurang akibat adanya penebangan hutan baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal bersamaan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. 35 Ekspansi kapitalisme dengan modal besar yang memerlukan 35 Pada saat ini, masa bera dalam sistem perladangan Urang Bukit yang bermukim di Meratus Hulu pada umumnya berkisar antara 5 7 tahun atau sama dengan antara 5 7 kali musim tanam, dengan pengertian lain bahwa mereka akan berladang di bekas ladang sebelumnya setelah 5 7 tahun atau 5 7 kali musim tanam. Menurut A.F. Tucker (1986), masa bera yang dianggap cukup waktu adalah sekitar 12 tahun atau lebih.. Dengan adanya masa bera berkisar antara 5 7 tahun berarti daya dukung tanah sebagai tempat berladang sudah semakin berkurang sekaligus mengurangi juga tingkat

123 115 tanah luas dalam rangka mengembangkan usaha perkebunan serta mengeksploitasi sumber daya alam seperti batubara, biji besi, emas, dan lain-lain, di satu sisi dapat memacu pertumbuhan ekonomi di daerah, namun di sisi lain telah dan akan menjadi pemicu timbulnya konflik baik vertikal maupun horisontal, terutama dalam kaitannya dengan keberadaan hak hak tradisional (adat) atas tanah. B. Pola Aturan Adat atau Hukum Adat yang Berlaku Pada Masyarakat Adat di Provinsi Kalimantan Selatan 1. Pola Penguasaan Tanah dan Hak-hak Adat Lainnya Dalam hal penguasaan tanah, bagi Urang Bukit pada umumnya, setiap satu keluarga mempunyai tanah yang bersifat individual yaitu berupa tanah perumahan dan pekarangan, tanah kebun, dan tanah ladang dan tanah bekas ladang. Tanah perumahan dan pekarangan adalah tanah yang di atasnya berdiri rumah sebagai tempat tinggal satu keluarga, bahkan ada rumah yang dijadikan sebagai tempat tinggal lebih dari satu keluarga. Tanah kebun di antaranya berupa kebun karet dan kebun buah-buahan, tanah ladang adalah tanah yang dijadikan sebagai tempat berladang, sedangkan tanah bekas ladang adalah tanah yang dibiarkan dalam waktu tertentu menjadi semak belukar dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada tanah dalam memulihkan kesuburannya secara alami sehingga dapat dijadikan sebagai tempat untuk berladang kembali. produktivitas hasil tanam. Data tahun 1993 menunjukan bahwa masa bera di Meratus Hulu berkisar antara 6 8 tahun. Dengan demikian berarti selama kurang lebih 16 tahun terjadi penurunan waktu masa bera berkisar antara 1 2 tahun.

124 116 Di samping itu, ada pula tanah-tanah yang secara khusus tidak berada di bawah penguasaan perorangan (individual) atau tanah yang merupakan milik bersama dalam suatu komunitas Urang Bukit (tanah komunal). Tanah-tanah tersebut bisa berupa tanah di mana Balai Adat berdiri di atasnya, kawasan hutan termasuk di dalamnya adalah kawasan hutan tertentu yang oleh masyarakat di anggap sebagai hutan keramat atau hutan larangan dan tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai tempat keramat. 36 Gambar 4: Kawasan hutan G. Halau-Halau/G. Besar (1892 me/dpl) yang oleh Urang Bukit di Meratus Hulu dianggap sebagai hutan keramat atau hutan larangan. 36 Bagi Urang Bukit yang bermukim di Meratus Hulu, ada larangan bagi mereka untuk melakukan aktivitas apa pun di dalam kawasan hutan Gunung Halau-Halu/G. Besar (1892 m/dpl). Urang Bukit percaya bahwa apabila larangan ini dilanggar maka mereka akan menerima bencana. Larangan ini tetap mereka patuhi sampai sekarang. Tempat keramat adalah tempat-tempat tertentu yang oleh Urang Bukit dianggap sebagai tempat berkuburnya leluhur mereka.

125 117 Selain penguasaan atas tanah, mereka juga mengenal adanya penguasaan terhadap pohon-pohon tertentu dan lubang-lubang tertentu. Pohon-pohon tertentu adalah pohon-pohon yang biasanya menjadi tempat bagi lebah madu bersarang seperti pohon mangaris, jelamu, linuh, kuranji, dan lain-lain. Lubang-lubang tertentu adalah lubang-lubang yang biasanya menjadi tempat bagi burung walet bersarang. Penguasaan terhadap pohon-pohon tertentu dan lubang-lubang tertentu ini bisa bersifat indiviual dan bisa pula bersifat bersama tergantung ketika pohon-pohon atau lubang-lubang itu ditemukan. Apabila seseorang dalam satu keluarga yang menemukan maka maka hak penguasaannya hanya dimiliki oleh satu keluarga, tapi apabila yang menemukan beberapa orang dari beberapa keluarga maka hak penguasaanya berada pada beberapa orang dari beberapa keluarga atau berada pada beberapa keluarga tersebut. 2. Eksistensi Hak-hak Adat atas Tanah Urang Bukit di Meratus Hulu di Provinsi Kalimantan Selatan Dalam penelitian ini ditemukan adanya hak-hak adat atas tanah di dikuasai oleh orang bukit yang bersifat komunal, namun hak-hak adat atas tanah yang ada di wilayah ini tidak dapat disamakan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, karena mempunyai ciri dan karaktristik yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Jika dihubungkan dengan kriteria eksistensi keberadaan hak-hak adat atas tanah, seperti yang telah dijelaskan terdahulu, maka hak-hak adat atas tanah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan dapat dianalisis sebagai berikut:

126 118 a. Unsur Masyarakat Adat Dalam masyarakat urang bukit masih mempunyai nilai-nilai tradisional lembaga adat. Masyarakat Urang bukit dalam mengolah tanah untuk berladang yang merupakan tradisi turun-temurun dengan menggunakan sistem ladang berpindah. Dalam kelembagaan adat dipimpin seorang penghulu adat atau kepala adat yang dipilih secara musyawarah antar tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat dan masyarakatnya sendiri. Dalam menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat setempat masih mempergunakan sistem hukum adat. Seperti diberlakukannya hukuman dengan menggunakan perhitungan tahil 37 terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah, seperti mencuri, menganiaya, berkelahi, dan lain-lain. b. Unsur Wilayah Tim Peneliti dari Unlam menemukan bahwa pada wilayah masyarakat adat yang ada di Provinsi Kalimatan Selatan terdapat beberapa varian, apabila dihubungkan dengan wilayah administrasi desa/kelurahan yang ada, hal ini disebabkan dari perbedaan sejarah dan bubuhan 38 Urang bukit masing-masing daerah dalam menentukan batas wilayah adatnya, sehingga batas wilayah masyarakat adat berbeda dengan batas wilayah administrasi dan hal ini menjadi masalah tersendiri dalam menentukan wilayah masyarakat adat pada masing-masing 37 Yang dimaksud dengan tahil adalah perhitungan untuk menentukan sanksi bagi yang dinyatakan bersalah secara adat. 1 tahil = 10 piring atau mangkok. Sanksi yang diberikan minimal 3 tahil atau setara dengan 30 piring atau mangkok. Bagi masyarakat setempat (Urang bukit), piring atau mangkok dimaknai sebagai sesuatu yang sangat berharga. 38 Bubuhan (Banjar) adalah konsep yang menunjukan suatu kelompok dalam masyarakat yang bisa diikat oleh ikatan darah (family), atau darah.

127 119 kecamatan. Varian wilayah masyarakat adat dapat dikelompokan menjadi tempat, antara lain : Pola I Dalam pola ini wilayah masyarakat adat sama dengan wilayah administrasi Pola II Desa I Desa II Dalam pola ini satu wilayah masyarakat adat berada dalam 2 (dua) desa atau lebih

128 120 Pola III Wilayah Adat Wilayah Adat Wilayah Adat Wilayah Adat Dalam pola ini beberapa wilayah masyarakat adat berada dalam satu wilayah administasi/satu desa Wilayah Adat Dalam pola ini satu wilayah adat berada dalam beberapa wilayah administrasi/ Desa/Kecamatan/Kabupaten/Provinsi

129 121 c. Perolehan Hak Atas Tanah Bagi Urang Bukit yang tinggal dan menetap di dalam dan sekitar hutan, perolehan hak atas tanah erat kaitannya dengan sistem perladangan yang selama ini mereka lakukan. Perolehan hak atas tanah diawali ketika mereka untuk pertama kali membuka dan membakar hutan primer atau hutan skunder untuk dijadikan sebagai tempat berladang. Ketika mereka membuka dan membakar hutan untuk membuat ladang, maka ketika itu pula muncul adanya suatu hak. 39 Demikian seterusnya, sehingga hak atas tanah di beberapa bekas ladang ini melekat sampai kepada ahli waris. Perolehan hak atas tanah dengan cara yang demikian tetap hidup dan berkembang sampai sekarang. Pola Penggunaan Lahan dalam Sistem Ladang Berpindah Gambar 5: 39 Hak atas tanah ini pada umumnya tidak didukung dengan bukti-bukti formal melainkan hanya sebatas pada penguasaan secara fisik serta pengakuan di antara mereka tanpa di daftarkan sebagaimana lazimnya hak atas tanah yang ada di perkotaan. Di antara mereka jarang terjadi konflik mengenai hak atas tanah. Karena mereka sangat menghormati dan menghargai hak kepemilikan atas tanah.

130 122 Gambar 6: Gambar 7: Gambar 8:

131 123 Gambar 9: Pola I: Ladang -> Palawija -> Kebun/Semak belukar -> Hutan skunder -> Hutan Primer Pola II: Ladang -> Palawija -> Kebun/Semak Belukar -> Hutan skunder/hutan Primer Pola III: Ladang -> Palawija -> Kebun/Semak Belukar -> Hutan Skunder Pola IV: Ladang -> Palawija -> Kebun -> Semak Belukar Selain melalui pembukaan hutan, 40 perolehan hak atas tanah bisa terjadi melalui peralihan hak, yaitu melalui warisan dan bisa pula melalui pemberian dan pembelian (jual-beli). Perolehan melalui warisan adalah berlaku sebagaimana halnya warisan pada umumnya. Hak seseorang atas tanah diperoleh melalui pemberian, yaitu pemberian dari seorang yang memiliki hak atas tanah kemudian diberikan kepada 40 Pembukaan hutan untuk dijadikan sebagai tempat berladang yang baru masih dimungkinkan oleh setiap orang /keluarga sepanjang hutan yang akan di buka belum ada hak di atasnya dan hutan tersebut berada dalam wilayah permukiman tradisonal komunitas Urang Bukit, dimana orang/keluarga yang ingin membuka hutan tersebut merupakan bagian dari komunitas itu. Konsep yang demikian oleh Urang Bukit di Meratus Hulu dikenal dengan istilah Paranjaian.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari

Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari Forest Forest Concession Area Abdon Nababan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Indigenous Peoples Alliance of

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK MASYARAKAT ADAT Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) DEFINISI MASYARAKAT ADAT Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL AKHIR PENELITIAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

LAPORAN HASIL AKHIR PENELITIAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI Kode/Rumpun Ilmu : 596/ilmu hukum LAPORAN HASIL AKHIR PENELITIAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI SENGKETA PERTANAHAN HAK MASYARAKAT ADAT DENGAN HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN SAWIT DI KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DR. Wahiduddin Adams, SH., MA ** Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat yang ada di seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

Lebih terperinci

the Right of Indigenous Peoples, melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote),

the Right of Indigenous Peoples, melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote), POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL 1 OLEH: DR.IR.ADHI SANTIKA, MS, SH BALITBANG HAM DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM 1. Pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Muslim Andi Yusuf 1 Universitas Cokroaminoto Palopo 1 Penelitian ini

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL

POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 24 Agustus 2007 POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah atau wilayah provinsi dan setiap daerah atau wilayah provinsi terdiri atas

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah atau wilayah provinsi dan setiap daerah atau wilayah provinsi terdiri atas BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia yang merupakan Negara kesatuan yang berbentuk republik dalam penyelenggaraan pemerintahanya Negara Indonesia terdiri dari beberapa daerah atau wilayah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT JAKARTA 2013 KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Lebih terperinci

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. Latar Belakang Sifat pluralisme atau adanya keanekaragaman corak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 sebagai Politik Hukum Nasional untuk Mewujudkan Perlindungan Anak

Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 sebagai Politik Hukum Nasional untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 sebagai Politik Hukum Nasional untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Novelina MS Hutapea* * Dosen Fakultas Hukum Universitas Simalungun Abstrak

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa sebagai bagian dari bangsa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian dan pembahasan serta analisis yang dilakukan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian dan pembahasan serta analisis yang dilakukan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan serta analisis yang dilakukan terhadap hasil penelitian dalam Bab II, dapat disimpulkan bahwa, Penetapan Bukit Puruk Kambang sebagai Kawasan

Lebih terperinci

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa 1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat meliputi semua tanah serta yang termasuk dalam lingkungan wilayah tertentu. Tingginya tingkat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCE NING THE ABOLlT1ON OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nagari dalam sejarah dan perkembangannnya merupakan suatu wilayah Pemerintahan terendah. Pengakuan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terdapat pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014 PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT TENTANG HAK ULAYAT 1 Oleh : Admon Saleo 2 A B S T R A K Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana eksistensi masyarakat adat dan hukum adat di Indonesiadan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. 1 Tanah dalam

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. 1 Tanah dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat di negara Indonesia terdiri dari berbagai etnis, suku, adat dan budaya.

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

PERJALANAN PANJANG PERKEMBANGAN KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

PERJALANAN PANJANG PERKEMBANGAN KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI 2. Pengusahaan hutan diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian dan azas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN. Al Ulum Vol.53 No.3 Juli 2012 halaman 30-34 30 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN Noor Azizah* PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem demokrasi rakyat memberikan kesempatan yang sama dalam proses penyelenggaraan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH 1 Oleh : Gabriela Georgeinia Voges 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Pemerintah Daerah mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alenia IV dijelaskan tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari berbagai bentuk pembangunan. Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan Desa di Indonesia sudah ada sejak lama, sebelum Indonesia merdeka hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010 2014 A. PENDAHULUAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2013 Ketentuan yang dimohonkan Pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan adalah mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak hak masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN. Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1.

TINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN. Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1. TINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1 Abstrak Tulisan ini merupakan suatu hasil penelitian dengan pokok permasalahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut MHA) di Indonesia merupakan kesatuan kemasyarakatan yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi

Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi 1 BAB PEMERINTAH DAERAH Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia desentralisasi dan sentralisasi telah beberapa kali mengalami

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan rumusan masalah diperoleh kesimpulan, yaitu:

BAB V PENUTUP. Berdasarkan rumusan masalah diperoleh kesimpulan, yaitu: 103 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah diperoleh kesimpulan, yaitu: 1. Dampak kedudukan kelembagaan adat Dayak Kedamangan dalam Peraturan Daerah Provinsi Nomor 16 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA Sumber: www.survivalinternational.org I. PENDAHULUAN Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah. tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah.

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah. tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberadaan tanah dalam kehidupan di dunia sebagai salah satu sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia

Lebih terperinci

FPIC DAN REDD. Oleh : Ahmad Zazali

FPIC DAN REDD. Oleh : Ahmad Zazali FPIC DAN REDD Oleh : Ahmad Zazali SEMINAR DAN LOKAKARYA Skill share pengalaman mengembangkan proyek redd di berbagai wilayah di indonesia, dilaksanakan oleh scale up, dinas kehutanan riau dan fakultas

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA DISKUSI PUBLIK PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA MEDAN, 12 MEI 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H.,M.H. Kepala Pusat Analisis

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa. terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa. terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT BAB II ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT A. Prinsip Umum tentang Perlindungan Bagi Masyarakat dan Masyarakat Adat Dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi societes ibi ius), hukum

Lebih terperinci