PERANAN KETERANGAN AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM MENENTUKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (Studi Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang) ARTIKEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANAN KETERANGAN AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM MENENTUKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (Studi Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang) ARTIKEL"

Transkripsi

1 PERANAN KETERANGAN AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM MENENTUKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (Studi Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang) ARTIKEL Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: DOWA PALITO Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2015 REG NO : 14/PID-02/I-2015

2 2

3 Peranan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dalam Menentukan Pertanggungjawaban Pidana (Studi Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang) Dowa Palito 1, Uning Pratimaratri 1, Yetisma Saini 1 1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta palitodowa@yahoo.com ABSTRACT Not all cases of crimes committed by someone whose spirit is healthy, sometimes carried out by someone who has a mental disorder. If the judge experiencing uncertainty about the state of mind of the defendant, the judge requires expert witnesses by asking the help of a specialist psychiatric mental state of the accused to examine in order to determine criminal responsibility. Expert testimony is evidence both in Article 184 Criminal Procedure Code. Expert witness is a person who has the knowledge and experience to give testimony in court. In this case that an expert witness is a psychiatric expert. The problem in this thesis: 1). How does the role of expert psychiatric testimony in determining criminal responsibility in the State Court Class IA Champaign? 2). How the power of expert psychiatric testimony in determining criminal responsibility in the State Court Class IA Champaign? The approach used in this research is the socio-legal research. Research data includes primary and secondary data. Data collection techniques used were interviews and document study. Data were analyzed qualitatively. The results of the research are: 1). The role of expert psychiatric testimony in determining criminal responsibility is as valid evidence because medical experts testified appropriate psychiatric expertise in order to make light of a crime to convince a judge to make a decision. 2). Psychiatric expert testimony has complete and perfect power in exposing criminal liability. Keywords: Role, Expert, Accountability, Criminal Latar Belakang Setiap negara tidak terkecuali negara yang paling maju sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang mengancam dan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Semakin banyaknya jumlah kejahatan yang terjadi dan sangat sulit untuk diberantas merupakan suatu akibat dari sulitnya upaya pembuktian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang melibatkan peranan saksi ahli sebagai pengungkap fakta dan kebenaran dalam suatu tindak pidana. Ilmu Kedokteran Forensik mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Keberadaan dokter forensik atau dokter yang melakukan pemeriksaan atas diri korban tindak pidana, atau tersangka pelaku tindak pidana. Salah satu yang termasuk dalam ilmu kedokteran forensik adalah ilmu kedokteran jiwa. Ilmu kedokteran jiwa adalah salah satu cabang 1

4 khusus ilmu kedokteran yang mempelajari seluruh aspek kejiwaan pada manusia dalam keadaan sakit atau terganggu jiwanya. Tidak semua kasus kejahatan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa yang sehat, terkadang suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Apabila gangguan jiwa tersebut telah diketahui dalam tahap penyidikan, maka tidak akan dilanjutkan dalam tahap pengadilan atau gangguan jiwa dapat diketahui setelah terdakwa diproses di pengadilan. Jadi apabila seorang hakim yang menangani kasus tersebut mengalami ketidakpastian atau ragu-ragu tentang seseorang atau keadaan jiwa terdakwa, maka hakim yang menangani kasus tersebut akan meminta bantuan seorang dokter ahli jiwa (psikiater) untuk membantu memeriksa dan menentukan kadar penyakit jiwa yang dialami oleh terdakwa. Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan dalam membantu upaya menemukan kebenaran material suatu perkara pidana, terutama dalam hal terdapatnya gangguan jiwa dari seorang terdakwa yang telah melakukan tindak pidana. Hal tersebut sangat berkaitan dengan tujuan dari proses peradilan pidana, karena apabila putusan berdasarkan pada dugaan saja, kebenaran material tidak akan terlaksana. Perbuatan pidana memerlukan pertanggungjawaban yang terdapat pada orang yang berbuat. Kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana merupakan suatu keadaan dari hubungan jiwa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Dalam menentukan pertanggungjawaban tersebut, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia (selanjutnya disebut dengan KUHAP), ahli (keterangan ahli) menempati peringkat kedua dalam tata urutan sebagai alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Undang-undang yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Tindak Pidana yang paling dominan adalah jenis kejahatan terhadap harta kekayaan, khususnya yang termasuk di dalamnya adalah tindak pidana penggelapan uang. Tindak Pidana tersebut sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Penyalahgunaan kepercayaan menjadi unsur utama terjadinya tindak pidana penggelapan uang. Kejahatan penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP adalah perbuatan mengambil barang 2

5 milik orang lain sebagian atau seluruhnya dimana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah, misalnya penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Salah satu bentuk kasus yang memerlukan pertanggungjawaban pidana adalah kasus penggelapan uang yang dilakukan oleh seorang karyawan perusahaan swasta di Kota Padang. Pada awalnya ia diberi tanggung jawab untuk menyimpan uang milik perusahaan. Tetapi karena tuntutan ekonomi, dia terpaksa memakai uang yang dipercayai kepadanya itu. Lambat laun, atasannya mengetahui perbuatannya yang berlangsung cukup lama itu. Sehingga atasannya menuntut dia untuk mengganti uang yang telah dipakainya kurang lebih jumlahnya sebesar Rp Atasannya juga memberi peringatan kepadanya, jika ia tidak dapat mengganti uang perusahaan yang telah dipakainya, maka ia akan dilaporkan ke pihak yang berwajib oleh atasannya. Dalam sidang penyelesaian kasus pidana ini, tersangka mengaku bahwa ia melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sadar, tetapi karena dia tidak mampu mengganti uang tersebut, ia mengalami depresi. Untuk menentukan kondisi kejiwaan terdakwa, hakim memandang perlu memanggil saksi ahli. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan penelitian. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian di lapangan dengan cara wawancara atau interview dengan tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Klas IA Padang yaitu Radiantoro, Iwan Munir dan Fitrizalyanto, serta seorang dokter ahli kejiwaan yaitu JS Nurdin. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kantor Pengadilan Negeri Klas IA Padang 3

6 berupa berkas perkara pidana yang memerlukan keterangan ahli kedokteran jiwa yaitu berkas perkara No.36/PID.B/2013/PN.PDG. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini, penulis memperoleh keterangan dan data terkait penelitian dengan cara: a. Wawancara Wawancara yang digunakan untuk pengumpulan data adalah wawancara semi terstruktur yaitu percakapan yang diarahkan untuk menggali topik-topik yang telah ditetapkan dan pertanyaanpertanyaan baru yang menyertainya merupakan bentuk pendalaman dari topik tersebut. b. Studi Dokumen Studi dokumen yaitu dengan mempelajari bahan-bahan hukum yang ada di kepustakaan dan literatur-literatur hukum yang ada berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Setiap bahan hukum itu harus diperiksa ulang validitasnya (keabsahan berlakunya) dan reliabilitasnya (hal atau keadaan yang dapat dipercaya), sebab hal ini sangat menentukan hasil dari suatu penelitian. 4. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan yang dilakukan adalah membandingkan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan buku referensi, serta data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara kualitatif yang akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Peranan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Dalam Menentukan Pertanggung jawaban Pidana Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang Pembuktian merupakan titik sentral dalam pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan. Dikatakan demikian karena melalui tahapan inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan untuk membuktikan dan menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu peristiwa pidana di Pengadilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua orang hakim yaitu Radiantoro dan Iwan 4

7 Munir di Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Hakim Radiantoro menyatakan bahwa alat bukti berupa keterangan ahli kedokteran jiwa merupakan alat bukti yang sah karena kesehatan jiwa si pelaku tindak pidana merupakan salah satu unsur bagaimana seseorang melakukan tindak pidana, sehingga keterangan ahli seperti dokter ahli kejiwaan juga ikut mempengaruhi putusan hakim di pengadilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam Pasal 133 KUHAP. Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP. Pasal 1 KUHAP Butir 28 juga menjelaskan bahwa Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pada Pasal 186 KUHAP dijelaskan bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Hakim Iwan Munir juga menyatakan bahwa keterangan saksi ahli kedokteran jiwa menjadi salah satu alat bukti yang sah karena memang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan menyangkut jiwa si pelaku tindak pidana, karena seseorang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan terganggu jiwanya, tidak bisa diproses persidangannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa : Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Substansi norma tersebut paling tidak menjelaskan tiga hal berikut, yaitu : a. Alasan keberadaan ahli di persidangan adalah untuk menjernihkan persoalan yang melingkupi suatu perkara pidana yang tengah diperiksa. Dimana dalam perkara-perkara tertentu, ada dimensidimensi yang sangat spesifik yang tidak diketahui oleh semua orang, khususnya hakim yang memeriksa. Misalnya terkait dengan sebab kematian seseorang yang hanya bisa dijelaskan oleh seorang yang berprofesi dibidang kesehatan, dalam hal ini misalnya dokter forensik (kedokteran kehakiman). b. Keterangan ahli yang dibutuhkan disini khusus dalam proses pemeriksaan di pengadilan, bukan pada saat prapersidangan, seperti misalnya pada saat penyidikan. Pada dasarnya sistem peradilan pidana sudah dianggap berjalan semenjak tahap penyelidikan dan 5

8 kemudian penyidikan dan penuntutuan untuk selanjutnya diperiksa dipersidangan. Adakalanya, ketika perkara yang sudah masuk pada tahap pra-persidangan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) keterangan ahli juga dibutuhkan untuk menela ah apakah memang benar peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana dan juga pada saat menyusun sangkaan dan dakwaan berdasarkan unsur-unsur dari Pasal yang hendak dikenakan kepada tersangka. Namun yang menjadi fokus perbincangan pada Pasal 170 ayat (1) KUHAP adalah pada saat perkara sudah diperiksa di pengadilan. c. Pihak yang secara eksplisit disebutkan berwenang menghadirkan ahli di persidangan adalah hakim ketua sidang. Artinya, seorang ahli yang datang untuk didengarkan keterangannya di persidangan adalah atas dasar permintaan dari hakim atau pengadilan, bukan pihak yang berperkara. Dengan demikian, kebutuhan untuk mendatangkan ahli bukanlah dari masing-masing pihak beperkara melainkan kebutuhan hakim yang memeriksa perkara. Hanya saja ketentuan tersebut tidak secara tegas menempatkan kedudukan ahli yang sebenarnya sama dengan saksi. Dimana, kehadiran seorang ahli ke persidangan adalah karena dipanggil oleh pengadilan untuk kepentingan proses peradilan pidana, bukan diminta dihadirkan. Hal ini yang kemudian ditafsirkan dalam praktik bahwa ahli yang didatangkan ke persidangan diminta oleh hakim namun dihadirkan oleh para pihak ke persidangan, dalam hal ini oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya. Hakim Iwan Munir menambahkan bahwa keterangan ahli kedokteran jiwa sangat membantu hakim dalam memberikan keputusan yang adil di pengadilan menyangkut tindak pidana yang memerlukan alat bukti keterangan ahli kedokteran jiwa. Hal ini sejalan dengan kedudukan saksi ahli dalam proses pembuktian pada hakikatnya memang cukup dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan kebenaran peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian dilakukan terhadap aspek-aspek sebagai berikut : a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti 6

9 b. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan itu d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa Hasil wawancara dengan dokter spesialis kejiwaan di RS. Bhayangkara Kota Padang yaitu JS Nurdin menyatakan bahwa peran ahli kedokteran jiwa dibutuhkan untuk menjadi saksi ahli pada kasus tertentu. Ahli kedokteran jiwa akan menilai secara objektif bagaimana kondisi kejiwaan seseorang saat sebelum dan pada masa perawatan. Pendapat ahli kedokteran jiwa kemudian sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak pada persidangan tentang hak masing-masing. Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatu kejadian, baik yang ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan pendapatnya tersebut. Saksi ahli merupakan orang yang memenuhi syarat dalam hal pengetahuan dan pengalamannya untuk memberikan pendapat tentang isu tertentu ke pengadilan. Seorang saksi ahli harus memiliki kualitas sebagai berikut : a. Pengetahuan dan pengalaman praktis dari materi yang dibahas dalam kasus. b. Kemampuan untuk berkomunikasi mengenai temuan atau opini yang akan disampaikan dengan jelas, singkat, dan dapat dipahami oleh pihak-pihak awam yang terkait dalam persidangan. c. Fleksibel dalam hal pikiran dan kepercayaan diri untuk memodifikasi pendapat sebagai bukti baru atau argumen yang berlawanan. d. Kemampuan untuk berpikir dari sisi yang berbeda agar dapat menguasai situasi apapun yang bisa saja terjadi di persidangan. e. Sikap dan penampilan yang meyakinkan di peradilan. JS Nurdin juga menyatakan bahwa kesehatan jiwa seseorang adalah penentu seseorang melakukan suatu tindakan karena berhubungan dengan keadaan akal dan pikiran. Ada tiga faktor gangguan kejiwaan, yakni biologis, psychoeducational dan sosial budaya. Ketiga hal ini secara umum menjadi dasar timbulnya gangguan jiwa pada seseorang. Gangguan jiwa akan langsung muncul apabila terpicu oleh beberapa sebab atau stressor, misalnya tertimpa musibah, mengidap penyakit maupun faktor sosial lain. Saat ini psikiatri mulai memasuki bidang-bidang hukum pidana untuk memberi bantuan pada keputusan hakim yang dapat dipandang lebih adil dan lebih memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Ilmu 7

10 kedokteran Jiwa sekarang telah mencapai titik yang dapat menjelaskan beberapa hal penting mengenai alam dan keperluan hukum. Psikiatri dapat bertindak selaku pembimbing di bidang hukum, moral, dan filsafat politik, yaitu dengan menjelaskan kemampuan manusia dalam pertumbuhan dan mengenai faktor-faktor yang membimbing manusia menghadapi kemunduran dalam kedewasaan dan pertumbuhannya. Psikiatri memberi bantuan pada hukum untuk melihat sasaran tujuan yaitu perkembangan kemampuan individu untuk mencapai kebebasan dan keberhasilan dalam memahami konsepsi psikologis yang berhubungan dengan rasa prasangka seseorang. Saksi ahli kedokteran jiwa memegang kedudukan yang sangat serius dalam keberhasilan suatu proses peradilan pidana. Kedudukan saksi ahli ini sangat penting untuk mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana, yaitu untuk menanggulangi masalah kejahatan, sehingga masyarakat puas karena keadilan telah ditegakkan, terlebih pada kasus tindak pidana yang pelakunya mengalami gangguan kejiwaan. Jika dihubungkan dengan isi dakwaan perkara No.716/Pid.B/2012/ PN.PDG bagian kedua yaitu : Menimbang, bahwa dikarenakan ia terdakwa menunjukkan sikap seolah-olah tidak mengenal dirinya sendiri dan tidak merespon pertanyaan yang diajukan kepadanya, di persidangan telah didengar di bawah sumpah keterangan ahli dr. Arma Diani (Dokter Ahli Jiwa) dari Rumah Sakit Saanin Kota Padang sesuai dengan keahliannya sebagai berikut : a. bahwa terdakwa adalah pasien dari Rumah Sakit Jiwa Saanin Kota Padang; b. bahwa ahli telah melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa ; c. bahwa dari hasil pemeriksaan terdapat temuan-temuan : terdakwa mengenal dirinya, apabila ada pertanyaan singkat dan jelas ia bisa mengerti, dan keluhannya baru 6 (enam) bulan ini disebabkan adanya masalah hukum yang dihadapinya; d. bahwa terdakwa pada waktu menghadapi masalah/persoalan yang agak berat, bermakna, maka akan timbul depresinya; e. bahwa komunikasi dan integrasi terdakwa cukup bagus dan dimengerti; f. bahwa terdakwa menyadari keadaan dirinya; g. bahwa terdakwa saat ini kejiwaannya biasa, mengerti, dan memahami; Dengan memerhatikan isi dari dakwaan tersebut dan putusan hakim yang menyatakan penahanannya ditunda selama masa rehabilitasi di RSJ HB.Saanin Padang, penulis berpendapat bahwa kedudukan dokter ahli kejiwaan sebagai saksi ahli yang diperankan oleh dr. Arma Diani sangat 8

11 menentukan dalam proses peradilan pidana (Criminal justice process) yang dapat membuat terang suatu peristiwa tindak pidana. Berdasarkan analisis fakta dan analisis hukum tersebut, maka penulis merumuskan bahwa peranan saksi ahli di dalam putusan tersebut adalah sebagai alat bukti yang sah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hal menentukan kekuatan pembuktian yang sangat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan (vonis) bagi terdakwa dalam perkara tindak pidana karena saksi ahli memberikan keterangannya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya Di samping itu, peran saksi ahli juga sangat menentukan pembuktian yang dapat membentuk keyakinan hakim oleh karena saksi ahli tersebut mengetahui keadaan jiwa pelaku tindak pidana yang dicurigai dalam keadaan terganggu jiwanya. Sudah sangat jelas bahwa saksi ahli memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai alat bukti yang sah dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. B. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Dalam Menentukan Pertanggungjawaban Pidana Di Pengadilan Negeri Klas IA Padang Keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam proses persidangan pidana. Keterangan ahli dapat dianggap sebagai alat bukti apabila orang yang menjadi saksi ahli tersebut benar-benar memiliki pengetahuan tentang masalah apa yang menjadi pembahasan dalam persidangan pidana. Dalam hal ini misalnya dokter ahli kejiwaan berperan sebagai saksi ahli di dalam persidangan pidana kasus penggelapan uang. Dokter ahli kejiwaan dalam hal ini memberi keterangannya sebagai saksi ahli menyangkut dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana. Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang hakim yaitu Radiantoro, Iwan Munir dan Fitrizalyanto di Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Radiantoro menyatakan bahwa alat bukti berupa keterangan saksi ahli kedokteran jiwa memiliki kekuatan yang lengkap dan sempurna sebagai alat bukti selama tidak ada bukti lain yang melemahkannya. Beliau juga menyatakan bahwa kesehatan jiwa si pelaku sangat memengaruhi pertanggungjawaban pidana yang dilakukannya itu. Selama pelaku dinyatakan memiliki kesehatan jiwa yang terganggu, maka proses persidangannya ditunda dalam jangka waktu paling lama 1 tahun sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam menghadapi fakta tindak pidana ini hal pertama yang harus 9

12 diperhatikan tertuju pada keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, yang dalam ilmu hukum pidana merupakan unsur pembuat delik yang lazim disebut kemampuan bertanggungjawab. Hal yang kedua mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang merupakan bentuk perbuatan kesengajaan, atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan bentuk dari kesalahan. Unsur-unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, kongkritnya tidak mungkin ada kesengajaan atau kealpaan bila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam hukum pidana terdapat banyak teori yang dipakai untuk menetapkan hubungan kausal secara normatif, akan tetapi bagaimanapun untuk mengukur suatu kelakuan dapat ditentukan musabab dari suatu akibat yang dilarang dan mengingat pula kompleksnya keadaan yang telah terjadi disekitar itu, diperlukan logic obyektive yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lain. Hakim sebagai penerap hukum inkonkrito tidak mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang hal itu, sehingga diperlukan bantuan ahli yang menguasai ilmu pengetahuan tersebut salah satunya adalah ilmu pengetahuan kedokteran. Hakim Iwan Munir juga menyatakan bahwa alat bukti berupa keterangan saksi ahli kedokteran jiwa itu menjadi lengkap keberadaannya karena sangat membantu proses persidangan jika memang keahliannya itu diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan. Misalnya saja pada kasus penggelapan uang yang dilakukan oleh saudara Bombon, di sana dinyatakan bahwa dia mengalami depresi selama proses persidangannya berlangsung. Hal ini membuat proses persidangannya terhambat. Dalam hal ini diperlukanlah dokter ahli kejiwaan untuk memeriksa kesehatan jiwanya. Sedangkan Hakim Fitrizalyanto menyatakan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan terganggu jiwanya, maka proses pesidangannya tidak dilanjutkan karena ia tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya dan ia dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk rehabilitasi. Sedangkan seseorang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan sehat jiwanya dan selama proses pemeriksaan dan penyidikan ia terbukti bersalah, tetapi ia mengalami depresi maka proses persidangannya tetap dilanjutkan. Tetapi ia dirujuk ke rumah sakit jiwa terlebih dahulu untuk rehabilitasi sampai kesehatan jiwanya sehat dengan biaya dari keluarganya, kemudian setelah ia sembuh ia diberikan sanksi sesuai keputusan pengadilan atas tindak pidana yang dilakukannya. Jika keluarganya tidak bersedia membiayai proses rehabilitasinya 10

13 sampai ia sembuh, maka ia tetap di rehabilitasi di dalam tahanan. JS Nurdin seorang Dokter Ahli kesehatan Jiwa di RS. Bhayangkara Padang, berpendapat bahwa apabila Hakim menyatakan bahwa kasus yang pelakunya diduga menderita depresi atau kelainan jiwa, maka pelaku tindak pidana tersebut diberikan waktu untuk pemulihan gangguan kejiwaannya (rehabilitasi). Rehabilitasi dengan metode meditasi dan relaksasi secara medis diyakini menjadi salah satu cara untuk menangani masalah kejiwaan. Dengan meditasi dimungkinkan seseorang dapat memperoleh ketenangan, kestabilan emosi, sehingga secara psikis keadaannya akan lebih baik. Jiwa yang baik akan membantu proses persidangan agar berjalan dengan baik pula. Karena kesehatan jiwa adalah hal yang mendasar dalam diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan, maka kesehatan jiwa adalah hal yang sangat penting, dan peran ahli kedokteran jiwa menjadi sangat menentukan dalam mengungkap pertanggungjawaban pidana. Menurut Jurisprudensi Indonesia kata akal dalam Pasal 44 KUHP diartikan sebagai kejiwaan (psikis) pelaku. Kurang sempurna akal dapat diartikan sebagai kekurangan perkembangan kecakapan jiwa, misalnya penyakit jiwa Oligophrenie (kepandiran), Schizophrenie dan beberapa jenis kegilaan lain yang mungkin sudah ada sejak dilahirkan. Sakit berubah akal yaitu beberapa penyakit jiwa yang menimpa untuk sementara waktu, berbeda dengan orang berfikiran waras. Penyakit ini dapat timbul untuk sementara, misalnya pada saat orang itu demam atau orang itu melakukan tindakan kekerasan. Peneliti melihat bahwa aspek-aspek psikologis dan atau psikiatris tidak saja perlu dipelajari bahkan lebih jauh diperlukan pula di bidang tertib hukum, penegakan hukum serta memberi pegangan bagi setiap penegakan hukum (law enforcement). Hakim sebagai manusia dapat salah dalam menentukan putusan pada perkara pidana. Hal ini akan merugikan kepentingankepentingan tindak pidana. Untuk mengatasinya ada beberapa aliran pembuktian dalam hukum acara pidana. Setiap aliran pembuktian mengajukan teori yang menjadi dasar dalam pembuktian yang terikat alat bukti. Secara garis besar ada dua macam alat bukti dari bidang ilmu forensik yaitu : 1. Kedokteran kehakiman menentukan kepastian menyebabkan penyakit atau kematian. 2. Psikiatri kehakiman menentukan besar kecilnya tanggungjawab seorang dalam melanggar hukum pidana. Dalam kasus di atas penelitian difokuskan pada alat bukti di bidang ilmu kedokteran jiwa. Sering seorang dalam 11

14 perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya pikirannya, tetapi dalam pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang dapat mengurangi tanggung jawabnya. Sedangkan pada kasus dalam penelitian ini, terdakwa melakukan penggelapan uang dalam keadaan sadar atau tidak terganggu jiwanya. Hanya saja ia mengalami gangguan jiwa saat persidangan. Selanjutnya ia diberi tenggang waktu tertentu oleh hakim untuk masa pemulihan jiwanya. Setelah sehat jiwanya, maka persidangannya dilanjutkan kembali untuk menentukan pertanggungjawabannya. Jika masa pemulihan jiwanya melebihi waktu yang diberikan hakim maka proses persidangannya dihentikan dan dianggap selesai karena tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Pasal 44 KUHP berlaku jika ada kondisi-kondisi memaafkan. Seorang yang melakukan penggelapan uang harus diteliti, apakah ia mempunyai akal yang sempurna. Berkenaan keadaan si pelaku dikaitkan dengan pertanggungjawaban, sebagai dasar dari hukum pidana dalam praktek bahkan ditambahkan bahwa pertanggung jawab pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan tersebut. Secara lengkap asas ini adalah actus non facit reum, nisi mens sit rea. Actus reus berarti perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, yang harus dilengkapi dengan mens rea yang dibuktikan dengan penuntutan bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana. Secara keseluruhan perbuatan tidak dapat dinyatakan orang itu bersalah kecuali bila dilakukan kejahatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaiknya penegak hukum dalam memutuskan perkara tidak hanya ilmu hukum yang digunakan, perlu juga digunakan ilmu-ilmu lain sebagaimana pendapat pakar hukum seperti Barda Nawawi Arif, Rousco Pound, dan pakar hukum lainnya agar hukuman sesuai dengan tindak pidananya karena orang yang tidak mengerti perbuatannya maka ia tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan tidak dihukum. Demikian pula mengenai proses peradilan pidana yang menyangkut pelaku tindak pidana mempunyai kelainan jiwa. Akibatnya hukuman tersebut mungkin tidak sesuai dengan tingkat sakit jiwa. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana, maka peranan saksi ahli kedokteran jiwa dan ahli bidang lainnya menjadi sangat penting. Dalam hal ini keterangan ahli kedokteran jiwa tersebut sangat diperlukan di dalam peradilan pidana. Dengan kata lain, keterangan ahli kedokteran jiwa memiliki kekuatan yang lengkap dan sempurna dalam menentukan pertanggungjawaban pidana di Pengadilan Negeri Klas IA Padang. 12

15 Simpulan 1. Peranan keterangan ahli kedokteran jiwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidana di Pengadilan Negeri Klas IA Padang adalah sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan. Saksi ahli merupakan orang yang memenuhi syarat dalam hal pengetahuan dan pengalamannya untuk memberikan pendapat tentang isu tertentu ke pengadilan. Selain itu Keterangan ahli kedokteran jiwa berperan dalam membuat terang suatu kejadian tindak pidana. Hal tersebut berguna untuk meyakinkan hakim dalam membuat suatu keputusan terhadap pelaku tindak pidana. 2. Kekuatan pembuktian keterangan ahli kedokteran jiwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidana di Pengadilan Negeri Klas IA Padang adalah bukti yang lengkap dan sempurna tentang apa saja yang tercantum didalamnya. Keterangan dokter yang dikemukakan di dalamnya wajib dipercaya sepanjang belum ada bukti lain yang melemahkan. Keterangan ahli kedokteran jiwa adalah bukti yang otentik sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sebagai alat bukti yang sah dan dinyatakan oleh dokter ahli kejiwaan sebagai pejabat ahli yang berwenang. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam segala hal demi kelancaran penulisan skripsi ini. Pihak tersebut adalah : (1) Ibu Dr. Uning Pratimaratri, S.H., M.H, selaku Pembimbing I, (2) Ibu Yetisma Saini, S.H., M.H selaku Pembimbing II, dan merangkap Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum, (3) ibu Syafridatati, S.H., M.H dan selaku Penguji I, (4) ibu Deaf Wahyuni Ramadhani, S.H., M.H, selaku Penguji II, (5) Ibu Deswita Rosra, S.H., M.H, selaku Penguji III, (6) Keluarga tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materil, (7) serta teman-teman seperjuangan. Daftar Pustaka A. Buku-buku Adami Chazawi, 2006, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu Media, Jakarta. Adi Rianto, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. 13

16 Amir Amri, 2005, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik,Ramadhan, jakarta. Amiruddin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Andi Hamzah, 2011, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta. Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta. Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung. PAF. Lamintang, 2003, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Penerbit Sinar Baru, Bandung. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta. Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta B. Perundang-undangan Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 14

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN I Gede Made Krisna Dwi Putra I Made Tjatrayasa I Wayan Suardana Hukum Pidana, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2014

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2014 PELAKSANAAN KEWAJIBAN DOKTER DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN AHLI DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG ARTIKEL Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Diajukan oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI AHLI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR PADANG. ABSTRACT

PERANAN SAKSI AHLI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR PADANG.   ABSTRACT PERANAN SAKSI AHLI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR PADANG 1 Ade Suryadi, 1 Fitriati, 1 Syafridatati 1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email: adesuryadi41@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : Cintya Dwi Santoso Cangi Gde Made Swardhana Bagian Hukum Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG.

IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG. IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG Mila Artika 1, Syafridatati 1, Yetisma Saini 1 1 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR Oleh: I Gusti Bagus Eka Pramana Putra I Ketut Mertha I Wayan Suardana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI Oleh : Islah.SH.MH 1 Abstract Judges are required to be fair in deciding a case that they

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan larangan atau keharusan keharusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strafbeerfeit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1 Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017 ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan alat transportasi mengalami perkembangan, terutama penggunaan kendaraan roda dua dan roda empat. Hal ini mengakibatkan kepadatan lalu lintas, kemacetan,

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelakunya disebut penjahat. Labelling Theory memandang bahwa para

BAB I PENDAHULUAN. pelakunya disebut penjahat. Labelling Theory memandang bahwa para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diciptakan oleh orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan kejahatan dan pelakunya disebut

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha Anak Agung Gede Oka Parwata Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum i JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT Program Studi Ilmu Hukum Oleh : TITI YULIA SULAIHA D1A013378 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2017 i HALAMAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HAK HAK DAN KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG YANG TELAH DIPUTUS LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN DAN REHABILITASINYA DALAM PROSES HUKUM

HAK HAK DAN KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG YANG TELAH DIPUTUS LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN DAN REHABILITASINYA DALAM PROSES HUKUM HAK HAK DAN KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG YANG TELAH DIPUTUS LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN DAN REHABILITASINYA DALAM PROSES HUKUM (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Surakarta) Disusun sebagai salah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA.

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA. ABSTRAK ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA Oleh Andika Nafi Saputra, Tri Andrisman, Rini Fathonah Email

Lebih terperinci

ARTIKEL. EKSEKUSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA PADA PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Perkara Pada Kejaksaan Negeri Kota Padang)

ARTIKEL. EKSEKUSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA PADA PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Perkara Pada Kejaksaan Negeri Kota Padang) ARTIKEL EKSEKUSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA PADA PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Perkara Pada Kejaksaan Negeri Kota Padang) Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015 KETERANGAN SAKSI AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Christian Kabangnga 2 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini ada;lah untuk mengetahui bagaimana kedudukan keterangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci