MODEL PENYEIMBANGAN NILAI TAMBAH BERDASARKAN TINGKAT RISIKO PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT SYARIF HIDAYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENYEIMBANGAN NILAI TAMBAH BERDASARKAN TINGKAT RISIKO PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT SYARIF HIDAYAT"

Transkripsi

1 MODEL PENYEIMBANGAN NILAI TAMBAH BERDASARKAN TINGKAT RISIKO PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT SYARIF HIDAYAT SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2012 Syarif Hidayat NIM. F

4 ABSTRACT SYARIF HIDAYAT. A model to balance the added value based on the risk level in the palm oil supply chain. Supervised by MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI and MOHAMAD YANI In palm oil supply chain the smallholder farmers sell their fresh fruit bunch (FFB) to Palm Oil Mills through traders. Palm Oil Mills convert the FFB into crude palm oil (CPO). CPO is sold to the refinery, who converts CPO into frying oil and sends the product to the distributors. The distributors subsequently sell them to the consumers. The risk levels between the actors may not be proportionately rewarded by the same levels of added value. The objectives of this study are to identify and evaluate the risks faced by the actors, to find or improve a formula to calculate the added value for all actors successively, to design a model to simulate the interactive behaviors of the palm oil supply chain actors, and to facilitate optimum distribution of the added value for each actor, while considering the successive investment and risk levels. Information obtained from the interviews with selected experts and industry players were processed using Fuzzy Analytic Hierarchy Process (FAHP). From the 12 risks identified the result converged into supply continuity and product quality risks. In this study the original Hayami method was modified to calculate the added value for all actors successively. The price of the output product from one actor became the input cost for the next actor, this went on until the end of the chain. The modified Hayami method can also measure the added value levels between all supply chain actors. Netlogo agent-based modeling tool was used for this purpose as it provided the best means to identify and study the supply chain actors (or agents) behaviors. To facilitate fair distribution of rewards for the supply chain actors a concept of added value utility based on investment and risk level was introduced. To optimize the added value distribution between the agents the concept of stakeholder dialogue was used. The selling prices were negotiated between the actors until each reached a satisfactory value, which was ruled by the levels of optimum added value utility. This research is important because the developed model may facilitate a better formula to calculate the fair distribution of added value among the actors, therefore ensure its sustainability and improve the total supply chain added value. Keywords: Value Added, Palm Oil Supply Chain, Hayami method, Fuzzy AHP, Netlogo.

5 RINGKASAN SYARIF HIDAYAT. Model penyeimbangan nilai tambah berdasarkan tingkat risiko pada rantai pasok minyak sawit. Dibawah bimbingan MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI dan MOHAMAD YANI. Di dalam rantai pasok minyak sawit (RPMS), para petani swadaya menjual tandan buah segar (TBS) kepada pabrik kelapa sawit (PKS) melalui para pedagang perantara atau pengepul. Minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) dijual ke pabrik minyak goreng (refinery) yang menjualnya kepada para distributor yang kemudian menyalurkannya kepada para pengguna. Terdapat banyak risiko usaha yang dihadapi setiap pelaku RPMS. Ada risiko bahwa tingkat mutu dan harga produk berfluktuasi. lain adalah ketidakpastian kelanjutan pasokan sehingga setiap pelaku rantai pasok menghadapi risiko rugi dan berhenti berbisnis. Tingkat bobot risiko antara para pelaku rantai pasok tidak dengan sendirinya diikuti oleh imbalan nilai tambah yang seimbang. Dalam hampir semua kejadian, petani hampir tidak memiliki kekuatan tawar-menawar dalam penentuan harga komoditas. Untuk kondisi Indonesia harga TBS, CPO dan minyak goreng sawit sangat ditentukan oleh dan tergantung kepada harga CPO dunia. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi risikorisiko yang dihadapi oleh para pelaku rantai pasok, menentukan atau memperbaiki formula untuk menghitung nilai tambah untuk semua pelaku secara beranting, merancang suatu model untuk melakukan simulasi perilaku interaktif para pelaku rantai pasok minyak sawit, dan mengupayakan distribusi optimum dari nilai tambah setiap aktor dengan memperhatikan bobot risiko antara para pelaku tersebut. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risikorisiko yang dihadapi oleh para pelaku rantai pasok adalah Fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) untuk memproses data masukan para narasumber. Para narasumber digabungkan menjadi tiga kelompok yang mewakili tiga rantai pasok lengkap. Dari studi kepustakaan dan wawancara dengan para pakar bidang industri sawit didapatkan 12 risiko usaha yang perlu diperhatikan. Setelah diproses dengan FAHP dari 12 jenis risiko tersebut didapatkan dua risiko yang

6 terpenting yaitu risiko keberlangsungan pasokan dan risiko mutu produk. Urutan bobot risiko para pelaku RPMS adalah Petani (0,338), PKS (0,214), Refinery (Pabrik MGS) (0,184), Pengepul (0,119), Distributor (0,098) dan Konsumen (0,046). Urutan bobot dari jenis-jenis risiko adalah Pasokan (0,151), Kualitas (0,129), Pasar (0,121), Harga (0,105), Produksi (0,0981), Kemitraan (0,081), Teknologi (0,064), Transportasi (0,058), Lingkungan (0,054), Informasi (0,050), Penyimpanan (0,045), dan Kebijakan (0,039). Untuk strategi peningkatan nilai tambah, yang dipandang terpenting adalah perbaikan infrastruktur/pengembangan klaster (0,406) dan perbaikan produktivitas/budidaya (0,331). Metode penghitungan nilai tambah yang diteliti adalah metode yang dikembangkan oleh Hayami. Metode Hayami yang asli dibuat untuk satu pelaku pada satu siklus musim tanaman jangka pendek dibawah 1 tahun, atau satu siklus produk industri satu jenis makanan saja. Penelitian ini memodifikasi metode Hayami yang asli menjadi dapat digunakan untuk menghitung nilai tambah industri yang terjalin dalam suatu rantai pasok lebih dari satu tahun dan bahan serta produk yang beragam. Model formula perhitungan Hayami modifikasi ini menghitung juga rasio-rasio nilai tambah bagi pelaku industri. Pada skala industri kapasitas PKS 30 ton TBS/jam dibutuhkan sebanyak kg TBS per tahun, yang dihasilkan dari kebun sawit sendiri dan kebun rakyat seluas total ha. Pada model penelitian ini diasumsikan bahwa PKS memiliki kebun sawit sendiri seluas sama dengan sumber luar, yaitu seluas ha. Dengan asumsi bahwa setiap petani memiliki 2 hektar kebun maka diperlukan sebanyak orang petani. Pada tingkat harga jual TBS Rp 1.423/kg, harga MKS Rp 6.500/kg, palm kernel (PK) Rp 3.500/kg, MGS Rp /kg, stearin Rp 5.000/kg dan PFAD Rp 2.500/kg didapat hasil perbandingan nilai tambah Petani : Pengepul: PKS : Refinery : Distributor = 4,27% : 1,54% : 51,11% : 40,02% : 3,06%. Nilai tambah untuk Kelompok Petani adalah Rp untuk satu tahun. Dari nilai ini dapat dihitung nilai tambah untuk setiap petani sebesar Rp per bulan. Metode yang digunakan untuk membuat model simulasi perilaku para pelaku RPMS adalah pemodelan berbasis-agen. Metode ini dipilih karena

7 kemampuannya mengidentifikasi pola perilaku para pelaku untuk mengoptimalkan nilai tambah masing-masing. Dengan pemodelan berbasis-agen ini dapat dilakukan simulasi yang mendukung dan terkait erat dengan hasil dari metode Hayami termodifikasi dan identifikasi serta evaluasi risiko tiap pelaku RPMS. Untuk memfasilitasi distribusi nilai tambah yang adil diusulkan suatu formula utilitas nilai tambah sebagai fungsi dari tingkat investasi dan risiko. Software Netlogo dipergunakan untuk membuat model berbasis-agen karena software tersebut paling populer and praktis penggunaannya. Model ini sekaligus mengupayakan optimisasi distribusi dengan konsep stakeholder dialogue. Dengan konsep ini para pelaku melakukan negosiasi secara bertingkat untuk mendapatkan tingkat harga yang menghasilkan nilai tambah yang seimbang dengan bobot risiko. Bobot risiko ini didapatkan dari hasil penerapan metode FAHP. Dari simulasi dengan model Netlogo ini didapatkan bahwa nilai harga jual produk tiap pelaku sebelum stakeholder dialogue telah bergeser mengikuti tingkat utilitas optimal nilai tambah. Para pakar ternyata secara konvergen memilih untuk mengatasi risiko pasokan yang tidak stabil serta memastikan untuk mendapatkan bahan berkualitas dan menghasilkan produk berkualitas. Berdasarkan hasil evaluasi dengan FAHP tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko rantai pasok minyak sawit mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kontinyuitas pasokan. Ini berarti bahwa semua responden dan pakar sepakat menyatakan bahwa kelancaran arus bahan baku dan produk secara beranting merupakan hal yang mutlak harus dijamin dalam RPMS agar terjadi kelangsungan usaha. Penelitian ini penting karena model-model yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengukur bobot risiko para pelaku, menghitung nilai tambah para pelaku dalam kesatuan rantai pasok, serta memberikan tingkat harga bahan dan produk yang memberikan nilai tambah yang optimal seimbang dengan bobot investasi dan risikonya. Penelitian dapat dilanjutkan ke sisi hulu (usaha pembibitan) maupun ke hilir (industri oleokimia pangan dan non-pangan). Formula utilitas nilai tambah dapat diperluas, misalnya dengan faktor teknologi. Kata kunci : Nilai Tambah, Rantai Pasok Minyak Sawit, Metode Hayami, Fuzzy AHP, Netlogo.

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 MODEL PENYEIMBANGAN NILAI TAMBAH BERDASARKAN TINGKAT RISIKO PADA MANAJEMEN RANTAI PASOK MINYAK SAWIT SYARIF HIDAYAT Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

10 Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi 2. Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Zuhal, MSc.EE 2. Prof. Dr. Ir. Tien Rusprihatin Muchtadi, MS

11 Judul Penelitian : Model Penyeimbangan Nilai Tambah Berdasarkan Tingkat Pada Rantai Pasok Minyak Sawit Nama NIM : Syarif Hidayat : F Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc Ketua Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota Dr. Ir. Sukardi, MM Anggota Dr. Ir. Mohamad Yani, MEng Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 19-Juli-2012 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan izin, pertolongan dan rahmat-nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, bapak Dr. Ir. Sukardi, MM, serta bapak Dr. Ir. Mohammad Yani, MEng selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali MSi. dan bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng. selaku Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Zuhal, MSc.EE dan ibu Prof. Dr. Ir. Tien Rusprihatin Muchtadi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka. 5. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. selaku Ketua Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka. 6. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan bapak Dr. Ir. Taufik Djatna, M.Eng selaku perwakilan Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Sidangsidang Tertutup dan Terbuka. 7. Bapak Hepi Sapirman, Fauzi Orbanta dan Soeseno Suparman dari Bakrie Sumatera Plantations yang telah membuka wawasan saya kepada realitas kebun sawit dan pabrik CPO di Tungkal Ulu Jambi.

13 8. Ibu Satriyana Sinulingga dan bpk Munansyah serta pimpinan/staf PT Amal Tani Medan yang telah memberikan informasi yang jelas perihal profitabilitas dan pemasaran usaha kebun sawit dan pabrik CPO. 9. Bapak-bapak pimpinan beserta staf pada kantor-kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Perkebunan di Dumai, Pakanbaru dan Padang yang telah memberikan informasi yang jelas perihal ketentuan-ketentuan perkebunan sawit di daerah Dumai, Riau dan Sumatera Barat. 10. Bapak-bapak Dr. Suharjito MSi, Dr. Ir. Alexie Herryandie Bronto Adi, MS, Dr Emirul Bahar MSi, Dr Dadang Suryasa MT, Dr Ir. Rika Ampuh Hadiguna, atas masukan dan bantuannya yang tidak ternilai. 11. Bapak Imran Mazhni SE Akt yang telah menyediakan waktunya yang berharga sebagai kawan berdiskusi dan mengembangkan model simulasi Netlogo berbasis-agen. 12. Seluruh staf Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dalam pengurusan administrasi. 13. Pimpinan Universitas Al Azhar yang telah memberikan izin dan dukungan untuk pelaksanaan program pendidikan doktoral saya di IPB. 14. Pimpinan dan rekan-rekan dosen di FST UAI yang telah turut memberikan dukungan semangat. 15. Para mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia yang telah ikut membantu mempersiapkan draft akhir disertasi ini terutama Riyana Susanti, Syantie Nurmalasari, Masud dan Nurfadilah. 16. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, utamanya rekan-rekan kelompok konsultasi hari Kamis/Jumat di Lab TMI IPB, atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan program pendidikan ini dengan sebaik-baiknya. Penulis selalu mendoakan agar Allah SWT memelihara, mengasihi dan mengampuni ibunda Hj Siti Hadidjah (Almarhumah) dan Bapak HM Ismail (Almarhum), sebagaimana beliau memelihara penulis semasa kecil.

14 Isteri penulis Hj. Annie Maryatun telah mendampingi penulis sejak lebih dari 32 tahun lalu dalam kehidupan yang penuh dengan bauran kemudahan dan kesusahan yang kami hadapi bersama dengan tabah. Anak-anak penulis Kharisma Pusparuri, Kharisma Rengganis dan Kharisma Anggraini telah ikut bercapai-lelah membantu menyiapkan formula, worksheet, diagram, bahan presentasi dan mengedit draft Disertasi sampai dengan bentuknya yang final. Semoga karya Disertasi ini merupakan sumbangan yang cukup bernilai bagi kekayaan khazanah karya ilmiah di negeri Indonesia tercinta ini. Amin. Jakarta, Agustus 2012 Syarif Hidayat

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangandaran pada tanggal 13 September 1946 sebagai anak sulung dari pasangan M.Ismail dan Siti Hadidjah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Departemen Elektroteknik Institut Teknologi Bandung lulus tahun Pada tahun 1976, penulis diterima pada the School of Mechanical & Industrial Engineering di the University of New South Wales di Sydney, lulus pada tahun Selain itu penulis juga mengikuti Program Magister Manajemen di Universitas Indonesia, lulus pada tahun Setelah selesai dari perkerjaan terakhir di Unilever Indonesia, penulis kemudian bergabung menjadi dosen tetap pada Program Studi Teknik Industri Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Penulis memutuskan untuk mengikuti Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Program Pascasarjana IPB pada tahun Selama mengikuti program S3, penulis aktif dalam kegiatan ilmiah seperti Hibah bersaing DIKTI dan juga Hibah Kompetensi DIKTI bersama-sama dengan dosen pembimbing dalam penulisan buku ajar Teknik dan Analisis Pengambilan Keputusan Fuzzy Dalam Manajemen Rantai Pasok. Karya ilmiah yang berjudul Kesetaraan nilai tambah pada rantai pasok agroindustri kelapa sawit yang terintegrasi telah disajikan pada seminar Nasional Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI) pada bulan Januari Sebuah artikel telah diajukan untuk diterbitkan dengan judul Model identifikasi risiko dan strategi peningkatan nilai tambah pada rantai pasok minyak sawit pada Jurnal Teknik Industri UK Petra (Surabaya). Artikel lain yang berjudul Modifikasi metode Hayami untuk perhitungan nilai tambah pada rantai pasok agroindustri kelapa sawit akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 22 tahun Penulis juga turut menulis untuk artikel Added value and performance analyses of edamame soybean supply chain untuk Jurnal Internasional OSCM (Operations and Supply Chain Management) Vol. 3, Issue Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.

16 i DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... ix DAFTAR ISTILAH... x 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Asumsi-asumsi Pokok Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Rantai Pasok Pengertian Rantai Pasok Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) Rantai Pasok dan Rantai Nilai Kemitraan dengan Pemasok Kelapa Sawit Pohon Industri Kelapa Sawit Proses-proses Pengolahan Kelapa Sawit Rantai Pasok Industri Minyak Sawit Nilai Tambah dan Pengertian Umum Nilai Tambah Kebutuhan Terhadap Nilai Tambah Pengertian Nilai Tambah untuk Penelitian ini Nilai Tambah dan Produktivitas Metode-Metode Perhitungan Nilai Tambah i

17 ii Metode Hayami Kekuatan dan Kelemahan Metode Hayami Nilai Tambah Dalam Agroindustri Pengertian Manajemen Konsep Dasar Agen dan Sistem Multi Agen Latar Belakang Sistem Multi Agen Sistem Multi Agen dan Motivasi Penggunaannya Pemodelan Berbasis Sistem Multi Agen untuk Rantai Pasok Software Netlogo Pendekatan Sistem Analisis Kebutuhan Pengguna Identifikasi Permasalahan Identifikasi Sistem Analisis Kebutuhan Sistem Logika dan Analisa Fuzzy Dasar-dasar Logika Fuzzy Aturan-aturan Fuzzy Analytical Hierarchy Process (AHP) Fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) Stakeholder Dialogue METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Teknik-Teknik yang Digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) Fuzzy Inference System Stakeholder Dialogue Pemodelan dengan Sistem Multi Agen (SMA) Unified Modeling Language (UML) Verifikasi dan Validasi Model Model Modifikasi Metode Hayami... 61

18 iii Proses Modifikasi Model Identifikasi dan Perhitungan Bobot Formulasi Nilai Tambah Berdasarkan Tingkat dan investasi Model Penyeimbangan Nilai Tambah dengan Sistem Multi-Agen Penggunaan UML Formulasi Proses Bisnis dan Prosedur Pengambilan Keputusan Tata Laksana Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Pengumpulan/Pengolahan Data, Informasi dan Pengetahuan Posisi Penelitian Ini ANALISIS SITUASIONAL Gambaran Pelaku Rantai Pasok Minyak Sawit Kegiatan Petani Kegiatan Pengepul Kegiatan Pabrik Minyak Sawit Kegiatan Pabrik Minyak Goreng Kegiatan Distributor Analisa Permasalahan Rantai Pasok Sawit Tata Niaga TBS Tata Niaga Minyak Sawit Tata Niaga Minyak Goreng Pengaruh Harga Minyak Sawit Dunia Proses Pelelangan Minyak Sawit oleh KPBN Perhitungan Index Proporsi k oleh Dinas Perkebunan HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Terhadap Model Hayami Proses Modifikasi Terhadap Model Hayami Penerapan modifikasi Metode Hayami Verifikasi dan Validasi Model Analisa Fuzzy untuk dan Keuntungan Rantai Pasok Sawit iii

19 iv Identifikasi dan Evaluasi Rantai Pasok Identifikasi dan Bobot Tiap Pelaku RPMS Identifikasi dan Evaluasi Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS Model Simulasi Berbasis-Agen Pendahuluan Formulasi Model Perhitungan Nilai Tambah RPMS berbasis-agen Formulasi Model Netlogo Verifikasi dan Validasi Model Hasil simulasi dengan Model Netlogo Implikasi Manajerial SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

20 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Template Metode Hayami yang asli (Hayami et al., 1987) Tabel 3.1 Template perhitungan nilai tambah Metode Hayami yang dimodifikasikan Tabel 3.2 Posisi penelitian ini terhadap penelitian terdahulu dalam rantai pasok Tabel 4.1 Penentuan harga minyak goreng berdasarkan harga minyak sawit luar negeri.. 87 Tabel 5.1Template Metode Hayami yang dimodifikasi (dihitung untuk setahun) Tabel 5.2 Formulasi perhitungan nilai tambah dengan Metode Hayami Termodifikasi Tabel 5.3 Bobot tujuan FAHP dan risiko pelaku Tabel 5.4 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah Tabel 5.5 Daftar tingkat utilitas optimum Tabel 5.6 Kesimpulan hasil simulasi penyeimbangan nilai tambah Tabel 5.7 Kesimpulan hasil simulasi software Netlogo (urutan nilai tingkat) v

21 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Nilai ekspor minyak sawit Indonesia menurut kelompok... 1 Gambar 2.1 Skema sistem rantai pasok (Vorst, 2004)... 9 Gambar 2.2 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004) Gambar 2.3 Buah kelapa sawit penampang membujur (Mahfot, 2011) Gambar 2.4 Kebun sawit dengan buah unggulan (Teoh, 2009) Gambar 2.5 Pohon industri kelapa sawit (KPPU, 2006) Gambar 2.6 Diagram alir pengolahan awal TBS (BSPJ, 2009) Gambar 2.7 Diagram alir proses refinery (BPPMD, 2009) Gambar 2.8 Metode pengurangan untuk menghitung nilai tambah (Cruz, 2011) Gambar 2.9 Diagram manajemen risiko (Meydanoğlu, 2009) Gambar 2.10 Diagram manajemen risiko (IRM, 2002) Gambar 2.11 Interaksi agen dengan lingkungannya (Russel dan Norvig, 2003) Gambar 2.12 Rantai pasok minyak sawit (Hidayat et al., 2012) Gambar 2.13 Diagram lingkar input-output RPMS (Marimin, 2005) Gambar 2.14 Diagram input-output untuk agroindustri minyak sawit (Marimin, 2005) Gambar 2.15 Diagram kebutuhan sub-sistem Gambar 2.16 Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy (Marimin, 2007) Gambar 2.17 Fungsi keanggotaan fuzzy berbentuk segitiga (Gao dan Zhang, 2009) Gambar 2.18 Fungsi keanggotaan fuzzy TFN (Gao dan Zhang, 2009) Gambar 2.19 Gambar fungsi keanggotaan bilangan fuzzy triangular (Suharjito, 2011) Gambar 2.20 Model stakeholder dialogue 4 fasa (Palazzo, 2010) Gambar 3.1 Rantai nilai global komoditas kelapa sawit Indonesia Gambar 3.2 Kerangka pemikiran penelitian Gambar 3.3 Diagram alir global penelitian Gambar 3.4 Diagram alir proses modifikasi formula Hayami Gambar 3.5 Diagram alur identifikasi dan evaluasi risiko Gambar 3.6 Diagram alir model penyeimbangan nilai tambah Gambar 3.7 Diagram use-case rantai pasok minyak sawit Gambar 3.8 Sequence Diagram RPMS Gambar 3.9 Class Diagram RPMS vi

22 vii Gambar 3.10 Proses bisnis generik pelaku usaha RPMS Gambar 3.11 Diagram alir generik pengambilan keputusan pelaku RPMS Gambar 4.1 Alur pergerakan TBS yang dijual oleh petani (KPPU, 2009) Gambar 4.2 Alur tata niaga minyak sawit minyak goreng distributor (KPPU, 2009). 83 Gambar 4.3 Alur tata niaga refinery - distributor-konsumen (KPPU, 2009) Gambar 4.4 Proses penjualan pada pelelangan minyak sawit Gambar 5.1 Rantai pasok minyak sawit (BSPJ, 2009) Gambar 5.2 Diagram alir prosedur modifikasi formula Hayami Gambar 5.3 Struktur hirarki identifikasi faktor risiko tiap tingkatan RPMS Gambar 5.4 Struktur hirarki identifikasi strategi peningkatan nilai tambah RPMS Gambar 5.5 Histogram perbandingan bobot risiko pelaku RPMS Gambar 5.6 Histogram perbandingan bobot faktor risiko petani Gambar 5.7 Histogram perbandingan bobot faktor risiko pengepul Gambar 5.8 Histogram perbandingan bobot faktor risiko PKS Gambar 5.9 Histogram perbandingan bobot faktor risiko refinery Gambar 5.10 Histogram perbandingan bobot faktor risiko distributor Gambar 5.11 Histogram perbandingan bobot faktor risiko konsumen Gambar 5.12 Histogram perbandingan bobot faktor risiko total RPMS Gambar 5.13 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah Gambar 5.14 Diagram alir pemodelan berbasis agen Gambar 5.15 Proses bisnis petani dalam rantai pasok minyak sawit Gambar 5.16 Diagram alir pengambilan keputusan oleh petani Gambar 5.17 Proses bisnis pengepul dalam RPMS Gambar 5.18 Diagram alir keputusan pengepul Gambar 5.19 Proses bisnis pabrik minyak sawit Gambar 5.20 Diagram alir keputusan pabrik minyak sawit Gambar 5.21 Proses bisnis refinery Gambar 5.22 Diagram alir keputusan refinery Gambar 5.23 Proses bisnis distributor MGS Gambar 5.24 Diagram alir keputusan distributor MGS Gambar 5.25 Diagram alir simulasi Netlogo Utilitas dan Netlogo Negosiasi vii

23 viii Gambar 5.26 Diagram alir global program Netlogo Negosiasi RPMS Gambar 5.27 Diagram alir program simulasi Netlogo Gambar 5.28 Diagram alir program Netlogo untuk pelaku selanjutnya Gambar 5.29 Simulasi utilitas nilai tambah Petani Gambar 5.30 Simulasi utilitas nilai tambah Pengepul Gambar 5.31 Simulasi utilitas nilai tambah PKS Gambar 5.32 Simulasi utilitas nilai tambah Pabrik minyak goreng (refinery] Gambar 5.33 Simulasi utilitas nilai tambah Distributor Gambar 5.34 Nilai tambah tiap pelaku RPMS Gambar 5.35 Harga jual produk tiap pelaku RPMS Gambar 5.36 Rasio nilai tambah tiap pelaku saat awal negosiasi Gambar 5.37 Rasio nilai tambah tiap pelaku setelah negosiasi selesai

24 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar Pakar dan Narasumber Lampiran 2 Masukan Pakar untuk Identifikasi/Evaluasi RPMS Lampiran 3 Masukan Pakar untuk Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS.172 Lampiran 4 Hasil Simulasi Model Netlogo (Nilai dalam Satuan Rp/kg produk) Lampiran 5 Panduan Penggunaan Model Simulasi Netlogo ix

25 DAFTAR ISTILAH No ISTILAH PENGERTIAN 1 Agen Suatu entitas fisik atau virtual yang memiliki tujuan tertentu, berfungsi dan berinteraksi secara kontinyu dan otonomus didalam suatu lingkungan bersama agen-agen lain. 2 Agroindustri Industri yang mengolah hasil pertanian yang bernilai rendah menjadi barang lain yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi melalui kemampuan teknologi dengan melibatkan proses fisika, kimia maupun biologi. 3 AHP (Analytical Hierarchy Process) - model pengambilan keputusan yang mampu memecahkan persoalan kompleks secara kuantitatif, dikembangkan oleh Thomas L.Saaty 4 Defuzzyfisikasi Proses konversi nilai fuzzy kembali ke nilai crisp (tunggal) 5 FAHP Fuzzy AHP - proses pemecahan masalah dengan pendekatan AHP yang menggunakan data fuzzy 6 Fuzzyfikasi Proses konversi nilai crisp ke nilai fuzzy 7 Manajemen rantai pasok 8 9 Model Netlogo Pengelolaan aliran bahan, informasi, dan uang melalui suatu jaringan kerja melibatkan beberapa organisasi. Dapat terdiri dari pemasok, pengolah, pedagang besar, distributor, dan pengecer. Tujuan kegiatannya adalah menjamin berlangsungnya arus bahan untuk berproduksi dan pengiriman produk atau jasa untuk pelanggan Model adalah suatu entitas perwakilan fisik atau matematik yang mewakili suatu sistem atau proses. Model merupakan penyederhanaan realitas sistem yang kompleks dengan hanya menganalisis faktor-faktor yang dominan dan dianggap perlu. Netlogo adalah suatu sarana pemodelan dengan program komputer untuk kasus-kasus sains ataupun sosial, berbasis Java, merupakan software yang open-source, dapat diunduh secara gratis 10 Nilai Jumlah yang rela dibayar oleh seorang pembeli atau pengusaha untuk mendapatkan produk atau jasa dari suatu perusahaan lain. x

26 xi 11 Nilai tambah Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dan biaya input dan proses pengolahan. Nilai tambah merupakan semua tambahan nilai yang dibuat oleh faktor-faktor produksi, termasuk nilai barang tangible yang ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan barang modal, serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal intelektual 12 Produktivitas Rasio output terhadap input, baik parsial ataupun total. 13 Rantai pasok Rantai pasok atau supply chain adalah serangkaian kumpulan dari perusahaan yang saling tergantung dan bekerjasama dalam pengendalian, pengelolaan dan perbaikan arus barang dan informasi dari sisi penyalur sampai ke sisi pengguna akhir 14 dapat didefinisikan sebagai adanya ketidak pastian tentang pencapaian sasaran perusahaan, dan adanya variasi pada distribusi hasil potensial. 15 Sistem Sistem adalah kumpulan obyek-obyek yang saling berinteraksi dan 16 Sistem Multi Agen (SMA) 17 Stakeholder dialogue bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang kompleks. Sistem yang memperhatikan bagaimana suatu kelompok agen yang otonom dan cerdas mengatur perencanaannya sendiri agar dapat mencapai tujuan tertentu (lokal atau global). Untuk bekerja dengan SMA diperlukan aturan-aturan (rules) yang didefinisikan untuk setiap agen perihal langkah apa yang diambil bila menghadapi kondisi tertentu. Stakeholder dialogue adalah suatu diskusi yang terstruktur dan iteratif diantara wakil-wakil perusahaan atau organisasi yang berinteraksi. Harus dilakukan kesepakatan perihal tujuan, aturan-aturan, dan harapan yang ingin dicapai dalam dialog. 18 TFN (Triangular Fuzzy Number) merupakan representasi bilangan fuzzy paling populer dengan bentuk keanggotaan segitiga. 19 Utilitas Nilai guna yang menggambarkan tingkat kepuasan seseorang atau suatu perusahaan dalam menerima suatu keadaan tertentu

27

28 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Kelapa sawit diperkenalkan ke Indonesia pertama kali pada tahun 1848 ketika empat bibit pohon kelapa sawit ditanam sebagai hiasan di Kebun Raya Bogor (Setiadi, 2008). Perkebunan komersial pertama kali dikembangkan di Sumatra pada tahun Luas areal kebun menjadi sekitar 31,600 hektar pada tahun 1925 dan menjadi 92,000 hektar pada saat Perang Dunia II (Corley and Tinker, 2003). Sejak tahun 2005 ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia terus meningkat, kecuali untuk tahun Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa total kenaikan nilai ekspor sawit dan produk sawit dari tahun 2009 ke 2010 naik dari 11,6 menjadi 15,6 milyard US$. Dalam persentase, kenaikan tersebut hampir sebesar 35%, jauh melebihi tingkat pertumbuhan ekspor produk-produk non-migas lain kecuali batubara. Hal ini mendukung pernyataan bahwa agroindustri kelapa sawit dapat merupakan motor penggerak ekonomi Indonesia. Suatu penghambat menurut BAPPENAS (2010) adalah adanya kesenjangan produktivitas antara perkebunan rakyat (13,61 ton TBS/ha/tahun) dengan perkebunan besar negara (16,98 ton TBS/ha/th) dan perkebunan besar swasta (16,69 ton TBS/ha). Selain itu juga diperlukan sertifikasi yang disyaratkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dari institusi yang berwenang agar ekspor minyak sawit dapat diterima Eropa (Gumbira-Sa id, 2009). Indonesian Palm Oil Export (in US$ million) CPO (Raw mat'l) 1ST Downstream 2ND Downstream Total 15634, , ,9 8769,7 8277,7 9663,5 5365,6 7148,7 4354, ,2 2901,9 5250,3 2362,4 3730,4 4117,5 5248,6 138,8 10,1 101,3 155,3 489,6 349,7 722, Gambar 1.1 Nilai ekspor minyak sawit Indonesia menurut kelompok (PKPN, 2011) 1

29 2 Teoh (2011) menguraikan masalah yang serupa. Pengamatan tahun 2008 di Indonesia produktivitas petani hanya 2,52 ton CPO/ha, lebih rendah 35% dan 40% dari kebun milik swasta dan milik Negara, padahal secara teori harusnya bisa mencapai 8,6 ton CPO/ha. Pada situasi monopsonistik di daerah-daerah maka kekuatan tawar petani adalah lemah. Mulyana (2004) menyatakan kejadian yang sama. Konflik lahan yang timbul dari kepemilikan ganda atau kurang jelas telah banyak dilaporkan di Indonesia (WG, 2011). CAO (2009) melaporkan keprihatinan tentang produktifitas petani kecil yang rendah dan kesenjangan besar dalam keuntungan per hektar dibandingkan dengan perkebunan; kurangnya akses ke layanan keuangan dan teknis; dan kurangnya perwakilan yang memadai dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat perusahaan perkebunan dan industri minyak sawit. Mulyana (2004) menguraikan bahwa petani sawit menerima harga TBS yang rendah padahal menghadapi risiko lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik CPO yang mempertahankan tingkat margin usahanya. Disertasi ini berusaha mengembangkan suatu model yang menggambarkan interaksi rantai nilai agroindustri kelapa sawit yang memberikan tingkat keuntungan yang seimbang dengan bobot risikonya kepada para pelaku atau stakeholder. Alasan utama perlunya hal ini dikembangkan adalah bahwa secara prinsip dan pengalaman sejarah, ketidak-adilan atau ketidakseimbangan tingkat keuntungan dan risiko antara sisi hilir dan sisi hulu suatu rantai pasok yang berlangsung lama akan merugikan semua pihak yang terlibat. Persoalan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah menyeimbangkan tingkat nilai tambah para stakeholder berdasarkan tingkat risiko yang dihadapinya. Nilai tambah dihitung dengan memperhatikan aturan interaksi antara para stakeholder sesuai dengan tujuan usaha masing-masing. Untuk menghitung nilai tambah pada rantai pasok agroindustri terdapat beberapa pendekatan. Dalam penelitian ini dipelajari metode mana yang dapat digunakan secara praktis dengan mempertimbangkan karakteristik investasi, motif usaha, siklus hidup usaha, dan ketersediaan data para pelaku rantai pasok minyak sawit (RPMS). Pada disertasi ini pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana mengupayakan keseimbangan distribusi nilai tambah yang adil berdasarkan bobot risiko untuk para pelaku RPMS, agar terjadi arus produk, informasi dan dana secara berkelanjutan dan jangka panjang.

30 3 Pertanyaan penelitian tersebut untuk praktisnya diuraikan sebagai berikut: 1. Metode apa yang saat ini digunakan untuk menghitung nilai tambah setiap pelaku pada rantai pasok agroindustri kelapa sawit, dan apa saja kelebihan dan keterbatasan metode tersebut? 2. Bagaimana mengatasi keterbatasan metode tersebut untuk dapat mengupayakan beroperasinya rantai pasok secara berkelanjutan (sustainable)? 3. Bagaimana perimbangan bobot risiko dan nilai tambah antara para pelaku tersebut dan apakah perimbangan tersebut cukup adil? 4. Apa saja prinsip keadilan yang layak diterapkan, dan bagaimana perimbangan tersebut dapat diubah agar terjaga prinsip keadilan dalam rantai pasok tersebut? 5. Pendekatan model rantai pasok minyak sawit yang bagaimana yang dapat mewakili perilaku para pelaku yang dinamis dan masing-masing mempunyai tujuan sendirisendiri, tetapi harus dapat saling memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan pelaku lain yang berinteraksi dengannya? 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dibagi dalam dua tingkat, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah untuk menghasilkan model yang menggambarkan interaksi hubungan kerja antara para pemangku kepentingan dalam RPMS. Setiap pemangku kepentingan akan berusaha meng-optimumkan nilai tambahnya, tetapi distribusi nilai tambah untuk masing-masing pelaku harus seimbang untuk menjaga kesinambungan keseluruhan rantai pasok. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui para pemangku kepentingan yang aktif dan dominan terlibat dalam interaksi yang mengupayakan lancarnya arus barang, uang dan informasi dari RPMS. 2. Mengembangkan model untuk mengukur bobot risiko antara para pelaku RPMS serta mengetahui strategi mana yang terbaik untuk meningkatkan nilai tambah RPMS. 3. Memilih dan memperbaiki model pengukuran nilai tambah para pelaku RPMS yang memenuhi prinsip keseimbangan dengan distribusi bobot risiko dan berkelanjutan. 4. Mengetahui karakteristik interaksi antar para pemangku kepentingan sehingga dapat ditentukan prosedur negosiasi pencapaian keseimbangan nilai tambah. Karakteristik ini akan dinyatakan dalam aturan-aturan (rules) yang akan diikuti dan dipatuhi oleh setiap pelaku.

31 4 5. Menghasilkan model berdasarkan konsep Sistem Multi Agen (SMA) sebagai dasar untuk menyusun formulasi fungsi tujuan masing-masing pemangku kepentingan dalam hal optimasi nilai tambah usahanya. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian bagi keseluruhan aktor rantai pasok minyak sawit dan bagi masyarakat ilmiah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mendapatkan gambaran umum dari permasalahan yang dihadapi para stakeholder dalam rantai pasok minyak sawit. 2. Model-model yang akan dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan keseimbangan yang adil dalam rantai pasok minyak sawit. 3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok minyak sawit dari hulu sampai hilir dengan terjadinya optimasi distribusi nilai tambah. 1.4 Asumsi-asumsi Pokok Pemodelan adalah kegiatan yang sulit dilaksanakan untuk sistem yang kompleks seperti halnya rantai pasok minyak sawit dari hulu ke hilir. Sangat banyak perilaku kegiatan bisnis beserta interaksi antar pelaku yang terjadi. Keputusan-keputusan yang diambil dan variabel yang diperhatikan sangat banyak. Untuk dapatnya dilakukan pemodelan yang praktis dan rasional maka pada penelitian ini penulis menggunakan asumsi-asumsi pokok sebagai berikut. 1. Sepanjang rantai pasok akan terjadi pertambahan nilai produk pada setiap pelaku atau pemangku kepentingan. Akumulasi nilai tambah sepanjang rantai pasok berakhir pada harga yang dibayar oleh konsumen. 2. Keuntungan atau nilai tambah dihasilkan sebagai selisih dari harga jual dengan biayabiaya yang harus dikeluarkan. Nilai tambah ini sudah memperhitungkan risiko-risiko yang dihadapi. 3. Negosiasi akan terjadi diantara dua aktor yang bersebelahan dalam rantai pasok dengan masing-masing mengoptimumkan pencapaian tujuan usahanya. Setiap aktor dalam rantai pasok memiliki beberapa pertimbangan berbeda dalam bernegosiasi. 4. -risiko yang dihadapi oleh para stakeholder bersifat tidak tergantung satu sama lain. Urutan tingkat risiko merupakan pertimbangan yang rasional untuk urutan tingkat besarnya nilai tambah para stakeholder secara kesatuan pelaku.

32 5 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Seperti diuraikan pada asumsi-asumsi di atas, penelitian akan mencakup keseluruhan siklus rantai pasok dari sisi petani/kebun, pengepul, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik lanjutan (minyak goreng) disisi hilir, distributor/pengecer, dan konsumen. Batasan ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk membatasi penelitian agar dapat dilaksanakan dengan baik maka dipilih beberapa perwakilan dari masing-masing aktor atau pemangku kepentingan. Untuk produk industri hilir dipilih satu jenis industri pengolah saja yaitu refinery atau pabrik minyak goreng sawit (MGS). Nilai penjualan produk sampingan berupa stearin dan Palm fatty acid distillate (PFAD) tetap diperhitungkan sebagai pendapatan pabrik MGS. 2. Interaksi antar pemangku kepentingan diutamakan kepada yang bersifat transaksi kuantitatif dan rasional. 3. Penyusunan model rantai pasok minyak sawit dengan Sistem Multi Agen menggunakan suatu perangkat lunak yang dipilih dari beberapa jenis yang sudah tersedia dan berdasarkan konsep open source. Dengan demikian penulis dapat menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak pendukung yang sudah dimiliki. 4. Formulasi perhitungan nilai tambah menggunakan pendekatan metode Hayami yang dimodifikasi. 1.6 Kebaruan Penelitian Kebaruan pertama yang diajukan pada penelitian ini adalah pengembangan (scaling-up) metode perhitungan nilai tambah Hayami (1987). Kebaruan kedua adalah usulan formula utilitas nilai tambah yang merupakan fungsi dari tingkat risiko dan investasi. Pada model yang asli, metode Hayami menghitung nilai tambah untuk satu pelaku, satu jenis komoditas, dalam satu siklus usaha dan kurun waktu pendek dibawah satu tahun. Dengan modifikasi maka metode ini dapat menghitung nilai tambah untuk beberapa pelaku usaha yang terikat dalam suatu rantai pasok. Harga jual produk dari satu pelaku menjadi harga beli atau biaya bahan dari pelaku berikutnya. Fokus perhatian metode yang dimodifikasi adalah kepada pelaku rantai pasok dalam kesatuan. Sebagai kebaruan kedua diusulkan formula utilitas nilai tambah sebagai berikut. Formula utilitas nilai tambah diusulkan merupakan suatu fungsi yang tergantung kepada nilai bobot risiko

33 6 dan bobot nilai investasi dari pelaku rantai pasok tertentu. Motif dari usulan ini adalah merumuskan keadilan bagi pelaku rantai pasok sebagai berikut. Apabila bobot risiko yang dihadapi pelaku adalah tinggi maka seharusnya pelaku tersebut menerima nilai tambah yang tinggi. Sebaliknya apabila bobot risiko yang pelaku tersebut rendah maka nilai tambah yang didapatnya harus rendah pula. Demikian juga bila bobot investasi yang dikeluarkan pelaku adalah tinggi maka nilai tambah yang diterimanya seharusnya tinggi. Sebaliknya bila bobot investasinya rendah maka rendah pula penerimaan nilai tambahnya. Dalam suatu rantai pasok yang terdiri dari beberapa pelaku akan terdapat perbedaan bobot risiko dan bobot investasi. Perbandingan nilai tambah yang adil bagi para pelaku seharusnya ditentukan oleh perbandingan bobot risiko dan bobot invetasinya. Formulasi utilitas nilai tambah ini diuraikan secara lebih jelas pada Sub-bab 3.5.

34 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rantai Pasok Pengertian Rantai Pasok Rantai pasok atau supply chain adalah serangkaian kumpulan dari perusahaan yang saling tergantung secara berurutan dan bekerjasama dalam pengendalian, pengelolaan dan perbaikan arus barang dan informasi dari sisi penyalur sampai ke sisi pengguna akhir (Christopher, 2005; Pujawan dan Mahendrawathi, 2010). Selanjutnya Walker (2008) mendefinisikan rantai pasok atau supply chain sebagai jaringan global yang digunakan untuk menyampaikan barang atau jasa dari mulai bahan baku sampai kepada pengguna-akhir melalui suatu arus informasi, distribusi fisik, dan uang. Menurut Vorst (2004) rantai pasok adalah jaringan fisik dan aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di dalam atau melintasi batas-batas perusahaan. Mekanisme rantai pasok produk pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu sendiri. Adanya kelemahan-kelemahan produk pertanian, seperti mudah rusak, musiman, jumlah yang banyak dengan nilai relatif kecil, tidak seragam, akan mempengaruhi mekanisme pemasaran, sering kali menyebabkan fluktuasi harga, yang akan merugikan pihak petani dan produsen (Marimin dan Magfiroh, 2010). Manajemen rantai pasok adalah upaya mengintegrasikan pengelolaan pasokan dan permintaan di dalam dan antar perusahaan, dan bertanggung-jawab menterpadukan fungsi-fungsi bisnis dan proses-proses bisnis di dalam dan antar perusahaan dalam suatu model perusahaan yang unggul (Vitasek, 2003). Manajemen rantai pasok adalah usaha yang sangat sulit terutama karena 3 hal yaitu: 1) Perusahaan dalam rantai pasok tidak lagi membuat keputusan sendiri-sendiri tetapi harus memperhatikan dan memprediksi keputusan yang diambil atau mungkin akan diambil perusahaan lain dalam rantai pasok tersebut (Simchi-Levi et al., 2004). Secara tradisional fungsi-fungsi dalam suatu perusahaan seperti pengadaan, produksi, keuangan dan pemasaran mungkin telah mengambil keputusan-keputusan yang mungkin merugikan karena masing-masing dapat saja mempunyai tujuan yang berlawanan. Hal ini akan membebani perusahaan dengan biaya dan pemborosan. 2) Terjadi dinamika rantai pasok karena adanya interaksi antar anggota rantai pasok tersebut (Parunak, 1998), yang terdiri dari negosiasi jual beli, pemesanan barang, pengiriman, 7

35 8 pembayaran, dll. Interaksi ini terus berubah sehingga sebetulnya suatu jaringan rantai pasok tidak pernah mencapai keadaan stabil. 3) Rantai pasok modern adalah sangat kompleks karena terdapatnya arus barang dan informasi yang bertujuan untuk menjamin bahwa produk yang benar, dengan jumlah yang benar, dikirimkan ke tempat yang benar, dengan jumlah, harga dan waktu serta biaya yang benar (Chapman et al., 2002). Kemudian riset dari DTT (2003) melaporkan 3 trend yang kritis sebagai berikut: a) Tekanan terus menerus kepada perusahaan untuk selalu meminimalkan biaya rantai pasok sejak dibuatnya konsep produk, produksi dan seterusnya sampai ke pengirimannya ke konsumen. b) Mengejar pasar dan saluran bisnis yang baru dan menarik. c) Semakin cepatnya inovasi produk. Oleh karena itu diperlukan ketangguhan rantai pasok untuk dapat bertahan beroperasi secara efektif dan efisien menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut. Pada sisi hulu terdapat 2 macam sumber tandan buah segar kelapa sawit (TBS) yaitu Kebun swadaya dan Kebun Inti- Plasma. Kebun swadaya dimiliki oleh petani swadaya. Untuk makalah ini pabrik CPO/PKO adalah Perusahaan Perkebunan Nasional milik Pemerintah (PTPN), sedangkan Kebun petani plasma dimiliki oleh petani tetapi dalam kontrak pemeliharaan dan jual-beli hasil dengan PBSN maupun PTPN. Rantai pasok atau supply chain adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pelanggan atau pemakai akhir (Chopra dan Meindl, 2007; Pujawan dan Mahendrawathi, 2010). Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi pemasok, pabrik, distributor, toko atau pengecer, serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) Istilah Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management, SCM) dipopulerkan pertama kalinya pada tahun 1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang menekankan pada pasokan bahan baku. Pada tahun 1990-an isu manajemen rantai pasok telah menjadi agenda para manajemen senior sebagai kebijakan strategis perusahaan. SCM adalah keterpaduan dari perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk menghantarkan nilai maksimal dari konsumen pada biaya termurah sebagai keseluruhan yang

36 9 memenuhi kebutuhan kepuasaan para pihak yang berkepentingan dalam rantai pasok tersebut (Simchi-Levi et al., 2004). Ellram (1991) mendefinisikan SCM sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan secara total. Penggunaan istilah rantai dalam SCM benar-benar menunjukkan sebuah rantai (jaringan kerja) perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi untuk mengantarkan produk/jasa ke konsumen akhir, mengaitkan aliran dari bahan mentah sampai pengguna terakhir. Para manajer senior menyadari bahwa keunggulan daya saing perlu didukung oleh aliran bahan baku dari hulu (pemasok) hingga hilir (pengguna akhir) secara efisien dan efektif. Sebagai pendukung kelancaran arus barang maka harus terjadi juga aliran informasi yang terkait. Gambar 2.1 menguraikan tahapan yang harus dilalui oleh aliran barang dari hulu hingga hilir, yaitu pemasok, pabrik, distribusi, ritel dan konsumen akhir. Pemasok Pemasok Pabrik Distributor Ritel Pelanggan Pelanggan Pelanggan Pabrik Ritel Distributor Pemasok Pabrik Ritel Pelanggan Gambar 2.1 Skema sistem rantai pasok (Vorst, 2004) Pengelolaan atau manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk menghantarkan nilai maksimal dari konsumen dengan biaya termurah kepada pelanggan. Rantai pasok lebih ditekankan pada sisi aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Vorst, 2006). Pada tingkat agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian produk-produk pertanian. Kelembagaan rantai pasok adalah

37 10 hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung diantara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas (Marimin dan Magfiroh, 2010). Brown (1994) mengatakan bahwa untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Pasokan bahan baku dalam agroindustri mempunyai karakteristik musiman, mudah rusak, beragam, dan kamba. Manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian sebagai strategi mengurangi resiko kerusakan atau penurunan kualitas produk secara total serta meminimasi biaya. Rantai pasok adalah jaringan pelayanan, material dan aliran informasi yang menghubungkan keterkaitan dengan pelanggan, proses pemenuhan order, serta proses keterkaitannya dengan para supplier dan pelanggannya. Sinkronisasi dari proses perusahaan terhadap pemasok disesuaikan dengan aliran barang/bahan, jasa dan informasi dari permintaan. Implikasi strateginya akan melibatkan koordinasi dari proses kunci di perusahaan seperti penerimaan order (pesanan), pemenuhan order dan pembelian yang didukung oleh fungsi pemasaran, keuangan, sistem informasi, operasional dan logistik. Beberapa pemain utama yang merupakan pelaku-pelaku yang mempunyai kepentingan dalam manajemen rantai pasok adalah para pemasok, produsen, distributor, retail outlets dan pelanggan. Menurut Austin (1981) agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Brown (1994) untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Gambar 2.2 menunjukkan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan jaringan. Beberapa pembahasan rantai pasok agroindustri yang telah dilakukan diantaranya Wouda et al., (2001) menggunakan programa linier untuk komoditas susu, Vorst (2007) untuk agroindustri peternakan menggunakan model simulasi untuk membahas persediaan dan distribusi untuk produk pangan. Beberapa hasil penelitian ini memperlihatkan perkembangan baik pembahasan dalam rantai pasok agroindustri untuk berbagai komoditas. Rantai pasok sayuran

38 11 merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dipelajari dan dikembangkan model pengambilan keputusannya. Gambar 2.2 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004) Rantai Pasok dan Rantai Nilai Istilah rantai pasok diambil dari pengertian dalam uraian pada buku Porter (1985) yang berjudul Competitive Advantage. Didalam suatu organisasi rantai nilai mencakup semua kegiatan yang menyentuh produk atau pelanggan, termasuk kegiatan logistik masuk (inbound logistics), produksi atau kegiatan operasional, logistik keluar (outbound logistics), pemasaran, dan penjualan dan jasa. Analisa Rantai nilai dapat digunakan untuk mengukur kelayakan komersial dan teknikal dai suatu usulan proyek. Salah satu sarana pengukur yang layak untuk kelayakan politis adalah melaksanakan analisa dampak ekonomi-sosial. Didalam suatu sistem ekonomi yang sedang tumbuh, pemerintah pusat maupun lokal mungkin saja cemas atau ragu-ragu terhadap dampak suatu kegiatan kerjasama yang baru didalam suatu pasar yang sudah ada (Roekel et al., 2009). Didalam konsep rantai nilai, ada fungsi atau komponen kegiatan-kegiatan yang mendukung usaha pokok, yaitu Pengadaan, Teknologi, SDM, dan sarana infrastruktur seperti jalan raya. Setiap organisasi mengaitkan jaringan rantai pasoknya dengan rantai nilai dengan komponen-komponen yang serupa. Porter (1985) juga menambahkan unsur profit margin kedalam rangkaian value chain-nya. Profit margin ini mewakili perbedaan dari harga yang

39 12 dibayar pelanggan dan harga atau biaya kegiatan rantai nilai tersebut. Keuntungan yang lebih tinggi berarti bahwa organisasi mempekerjakan kapasitas atau kemampuan produksinya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan nilai tambah kepada para pelanggannya, yang diukur dari kerelaannya membayar untuk jasa atau produk tersebut. Kegiatan rantai pasok merupakan sub-set dari value chain yang meliputi kegiatan inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing dan services. Kegiatan pemindahan barang atau logistik merupakan pekerjaan pokok para pengepul dan distributor yang termasuk proses value chain dan turut memberikan nilai tambah terhadap produk yang dipindahkan (Porter, 1985). Pada prinsipnya nilai tambah yang dibahas pada penelitian ini adalah keuntungan (profit) yang merupakan selisih dari hasil penjualan produk dikurangi biaya bahan dan biaya pengolahan Kemitraan dengan Pemasok Menurut Wong (2002) kemitraan di antara anggota rantai pasok dilakukan untuk menjamin kualitas produk dan efektivitas rantai pasok yang selanjutnya akan menghasilkan solusi untuk kepentingan bersama. Pengembangan rantai pasok yang efektif dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut. Pertama, memilih kelompok pemasok berdasarkan reputasi industri dan transaksi sebelumnya tentang harga dan kualitas melalui program penilai pemasok. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan pemasok terbaik dalam industri yang menjamin kualitas pasokan. Kedua, memilih pemasok yang memiliki manajemen rantai pasok berhubungan erat dengan strategi perusahaan. Langkah ini akan meminimalkan peluang terjadinya konflik target strategis dengan para mitra. Kemitraan rantai pasok bersifat jangka panjang dan merupakan keputusan penting yang membutuhkan komitmen semua pihak. Ketiga, membentuk kemitraan rantai pasokmelalui negosiasi dan kompromi. Keempat, membangun sarana untuk menjamin pengetahuan tentang informasi produksi yang diberikan tepat waktu melalui perjanjian teknologi. SCM harus menjamin ketepatan waktu, efektivitas biaya dan sistem informasi yang komprehensif untuk menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan pasokan yang optimum. Kelima, disusun sistem monitoring yang memantau kinerja mitra. Proses ini dimaksudkan untuk memelihara hubungan dengan pemasok dalam menjamin administrasi yang lancar dan pengendalian logistik yang efisien.

40 Kelapa Sawit Pohon Industri Kelapa Sawit Kelapa sawit atau Elaeis guineensis, aslinya berasal dari Afrika (Basiron et al., 2004). Nilai komersial pokok tanaman ini terletak pada minyak yang dapat diambil dari mesocarp dan kernel. Gambar 2.3 menunjukkan buah kelapa sawit pada penampang membujur. Gambar 2.4 memperlihatkan kebun sawit dengan buah unggulan. Gambar 2.3 Buah kelapa sawit penampang membujur (Mahfot, 2011) Kelapa sawit digunakan terutama untuk membuat minyak goreng, margarin dan shortening; juga sebagai bahan sarana non-makanan seperti sabun, deterjen, dan kosmetik. Gambar 2.4 Kebun sawit dengan buah unggulan (Teoh, 2009) Gambar 2.5 menunjukkan Pohon Industri Kelapa Sawit. Tandan Buah Segar (TBS) adalah hasil panen petani kelapa sawit ataupun kebun kelapa sawit. Buah kelapa sawit yang terdiri dari daging dan biji kelapa sawit merupakan sumber utama dari minyak sawit. Ruang lingkup produk penelitian ini dibatasi pada jalur yang diberi warna kuning, yaitu buah, daging buah, minyak sawit (CPO), olein dan minyak goreng.

41 14 Gambar 2.5 Pohon industri kelapa sawit (KPPU, 2006)

42 15 Kelapa sawit diperkenalkan ke Indonesia berupa 4 bibit kelapa sawit dari Mauritius oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, dan ditanam di kebun Raya Bogor (Teoh, 2009). Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial. Luas areal perkebunan mencapai Ha. Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan kelapa sawit menyusut sebesar 16% sehingga produksi minyak sawitpun hanya mencapai ton pada tahun Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara. Pada tahun 1980, luas lahan mencapai Ha dengan produksi CPO sebesar ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat dengan pelaksanaan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan Proses-proses Pengolahan Kelapa Sawit 1) Proses Awal TBS Menjadi Minyak Sawit Diagram alir pengolahan awal kelapa sawit ditunjukkan pada Gambar 2.6 (BSPJ, 2009). Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan minyak sawit (CPO) adalah buah kelapa sawit yang terdapat dalam tandan buah segar (TBS). Minyak sawit diperoleh dari daging buah (mesokarp) dan endosperm (dari inti ) buah segar kelapa sawit. Proses pengolahan TBS menjadi minyak sawit dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu sterilisasi, perontokan buah (pemipilan), pengepresan (ekstraksi), dan pemurnian minyak. Sementara itu biji yang dihasilkan memerlukan tahapan pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan minyak inti sawit (PKO). Gambar 2.6 Diagram alir pengolahan awal TBS (BSPJ, 2009)

43 16 2) Proses Lanjutan Minyak Sawit Menjadi RBDPO (Minyak Goreng) Diagram alir proses pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng (RBDPO) ditunjukkan pada Gambar 2.7 (BPPMD, 2009). Proses tersebut pada dasarnya terdiri dari 3 langkah yaitu (1) Proses Degumming, (2) Proses Pemucatan (Bleaching) dan (3) Proses Deodorisasi-Fraksinasi (Hariyadi, 2007). Gambar 2.7 Diagram alir proses refinery (BPPMD, 2009) 1) Proses Degumming. Secara teknis degumming adalah proses operasional pemurnian minyak yang mengandung impurities dalam bentuk koloid atau terlarut. Degumming adalah proses untuk membuang gums yang tidak diinginkan, yaitu phosphatide yang dapat mengganggu stabilitas produk akhir yaitu adanya flavor dan warna yang buruk, serta menyingkat waktu simpan (Hariyadi, 2007). 2) Pemucatan - Bleaching. Proses pemucatan (bleaching) adalah proses yang selektif dalam membuang pigmen dan impurities lain secara fisika dan kimia sehingga menaikkan

44 17 kualitasnya. Dengan demikian proses ini dapat juga disebut proses pemurnian. Pemucatan adalah proses penjerapan secara fisik dengan menggunakan bleaching earth atau karbon aktif untuk lebih jauh membuang zat-zat yang tidak diinginkan seperti residu sabun (untuk menetralkan minyak), presipitasi gum, logam, produk-produk oksidasi dan pigmen warna seperti klorofil. 3) Deodorisasi dan Fraksinasi. Degummed and bleached palm oil (DBPO) kemudian dialirkan ke deodorizer untuk proses deacidifikasi dan deodorisasi. Kemudian RBDPO disaring melalui penyaring pengendap lain untuk menghasilkan minyak yang lebih murni, dialirkan lagi ke PHE untuk memanaskan minyak sawit yang baru masuk pretreatment, dan akhirnya dipompa ke tangki timbun pada suhu 50 o -80 o C. Untuk menghasilkan produk-produk turunan lain proses dapat dilanjutkan dengan proses Fatty Acid Distillation Plant (FADP) atau Dry Fractionation Plant untuk mendapatkan PFAD, Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBDPO) serta Refined, Bleached, Deodorized Palm Stearin (RBDPS). Fraksinasi digunakan untuk menghasilkan beberapa grade olein sawit (grade normal, grade super dan olein. Seperti halnya pada proses industri kimia yang lain maka proses pembuatan CPO/RBDPO ini memerlukan kondisikondisi operasional seperti suhu, tekanan, bahan baku, perlengkapan dan peralatan proses, adanya katalist, dll yang harus diikuti untuk mendapatkan hasil maksimal dengan kualitas maksimal pula (Hariyadi, 2007). Industri pembuatan RBDPO dan produk turunannya dari minyak sawit saat ini sangat diperlukan dan menguntungkan bagi negara Indonesia karena kebutuhan akan minyak goreng (RBDPO) adalah kebutuhan sehari-hari dan akan terus dibutuhkan. Pabrik RBDPO sangat banyak dan persaingan pasar sangat ketat antara semua produsen. Penggunaan bahan baku yang baik, proses produksi yang terbukti aman bagi pemakai akhir, serta harga yang terjangkau akan memberikan pangsa pasar yang bagus bagi produsennya. Untuk menambah daya saing Indonesia didunia internasional sudah selayaknya diupayakan berdirinya industri-industri turunan minyak sawit menjadi olein dan produk-produk lain yang bernilai jauh lebih tinggi. Perjuangan untuk merebut pasar lokal maupun internasional sangat perlu dilakukan, dan kita tidak seharusnya bertahan pada posisi sebagai penghasil dan eksportir minyak sawit saja yang bernilai jual lebih rendah (Kementerian Pertanian, 2009).

45 Rantai Pasok Industri Minyak Sawit Pada disertasi ini diambil sudut pandang kegiatan usaha, artinya rantai pasok dilihat sebagai suatu urutan dari proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dan arus produk, informasi dan dana, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dan hal-hal tersebut berlangsung didalam dan diantara tahap-tahap rantai pasok yang berbeda. Rantai pasok yang sesungguhnya akan meliputi pengembangan produk, pemasaran, kegiatan operasional, distribusi, keuangan, dan pelayanan kepada pelanggan (Chopra dan Meindl, 2007). 2.3 Nilai Tambah dan Pengertian Umum Nilai Tambah Nilai tambah dapat didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih lanjut dalam suatu proses produksi (Coltrain et al., 2000). Menurut Hines (2004) nilai tambah adalah beda antara biaya input dengan nilai output. Konsep nilai tambah adalah status pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input fungsional yang diperlakukan pada status komoditas. Input fungsional adalah perlakuan dan jasa yang menyebabkan bertambahnya kegunaan dan nilai komoditas selama mengikuti arus komoditas pertanian (Harjanto, 1999). Nilai tambah merupakan motif utama untuk berdirinya dan berkembangnya suatu usaha. Tanpa nilai tambah ini maka tidak ada pengusaha ataupun investor yang mau melakukan usaha atau menanamkan modalnya dalam suatu usaha. Upaya untuk merealisasikan peningkatan keuntungan merupakan motivasi yang paling kuat yang mendorong seseorang atau organisasi untuk ikut dalam suatu rantai pasok (Li dan Yuanyuan, 2005). Bunte (2006) menyatakan bahwa distribusi biaya dan keuntungan yang tidak merata sepanjang rantai pasok agroindustri membahayakan kelangsungannya, karena menghambat upaya-upaya modernisasi pertanian tersebut yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan industri tersebut. Bunte (2006) mengamati bahwa porsi keuntungan pelaku pertanian dari tahun ke tahun di Eropa semakin mengecil dibandingkan para pengolah, perdagangan/distribusi dan pelayanan jasa makanan. Hal ini disebabkan karena produktivitas dalam bidang pertanian meningkat lebih tinggi dan cepat dibandingkan dengan bidang manufaktur dan pelayanan jasa (Bernard dan Jones, 1996). Bunte mengamati juga bahwa faktor produktivitas dalam pertanian meningkat 40% dan 180% lebih cepat ketimbang faktor produktivitas dalam manufaktur dan jasa

46 19 pelayanan. Sebagai dampaknya bidang pertanian mempekerjakan lebih sedikit faktor produksi dan porsinya dalam nilai tambah produk makanan menjadi menurun Kebutuhan Terhadap Nilai Tambah Pada setiap bisnis, nilai tambah diperlukan agar pengusaha atau penanam modal mendapatkan tingkat keuntungan atau nilai tambah yang menarik, yaitu melebihi tingkat pendapatan pada investasi yang aman seperti deposito di bank atau investasi lain. Distribusi nilai tambah atau keuntungan sepanjang suatu rantai pasok haruslah adil dan disepakati semua anggota rantai pasok untuk menjaga kerjasama dan keberlangsungannya (Li dan Yuanyuan, 2005). Salah satu atau sekelompok anggota dapat saja menjadi dominan didalam rantai pasok tersebut dan berperan sebagai pemimpin serta mengambil porsi yang lebih besar dari keuntungan pelaku yang lain. Untuk mengatasi dominasi itu harus dilakukan kerjasama antara para pelaku rantai pasok. Daya tarik bagi investor atau pengusaha untuk bergerak dalam usaha apapun termasuk usaha agroindustri adalah adanya pengaturan yang seimbang antara risiko dan imbalan (keuntungan) (Preckel et al., 2004). Van Staden (2000) mendefinisikan nilai tambah sebagai nilai yang diciptakan oleh karena adanya kegiatan suatu perusahaan dan para pekerja atau karyawannya, dihitung dengan mengurangi penjualan dengan biaya-biaya pembelian bahanbahan dan jasa-jasa Pengertian Nilai Tambah untuk Penelitian ini Tujuan dari suatu rantai pasok, termasuk rantai pasok agroindustri adalah menciptakan nilai tinggi untuk konsumen produk akhirnya (Chen et al., 2010). Untuk tujuan ini sangatlah penting bahwa kapasitas dan fasilitas produksi dibagikan secara benar kepada para anggota rantai pasok, dan untuk melakukan hal ini diperlukan informasi yang lengkap dan akurat dari sisi hulu dan hilir rantai pasok tersebut. Nilai tambah diperlukan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam suatu kegiatan usaha dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1) Pengusaha atau penanam modal menginginkan pendapatan dengan tingkat keuntungan atau nilai tambah yang menarik, yaitu melebihi tingkat pendapatan pada investasi yang aman seperti deposito di bank atau investasi lain. Tingkat keuntungan ini harus lebih besar dari weighted average cost of capital (WACC) atau minimum acceptable rate of return (MARR).

47 20 2) Pengelola atau manajer yang tidak berhasil menciptakan tingkat keuntungan yang cukup tinggi untuk dapat memberikan imbalan investasi kepada pemilik modal, akan kehilangan pekerjaannya. Perusahaan akan dapat bangkrut dan karyawan akan kehilangan nafkahnya bagi diri dan keluarganya. 3) Perusahaan yang bangkrut akan menyebabkan pemasoknya kehilangan peluang untuk memasok bahan baku. Bila perusahaan yang bangkrut ini merupakan pembeli yang utama dari produk yang dihasilkannya maka pemasok inipun akan mengalami kemunduran usahanya. 4) Para konsumen dari perusahaan yang berhenti beroperasi juga akan terpaksa mencari perusahaan lain yang memproduksi barang yang sama. 5) Pemerintah akan kehilangan peluang untuk mendapatkan pajak penghasilan dan pajak perusahaan dari perusahaan yang bangkrut. Untuk penelitian ini nilai tambah didefinisikan sebagai keuntungan yang didapat suatu pelaku atau stakeholder. Secara teoritis nilai tambah adalah keuntungan dan dapat dihitung dengan formula berikut (Salvatore, 2004; Buffett, 2010): Biaya pengolahan: TC = TFC + TVC (1) TC = total cost = biaya total pengolahan produk TFC = total fixed cost (total biaya tetap) TVC = total variable cost (total biaya variabel) Penerimaan: TR = P * Q (2) TR = total revenue (total penerimaan) P = price per unit (harga jual per unit) Q = quantity (jumlah produksi) Keuntungan = nilai tambah: Π = TR TC... (3) Π = pendapatan bersih atau keuntungan Penelitian ini penting untuk dapat melakukan perhitungan nilai tambah yang rasional seimbang untuk para aktor dalam rantai pasok untuk beragam kondisi dan sifat usaha industri tersebut. Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk dapat mengidentifikasikan faktor-faktor dan

48 21 formula perhitungannya sehingga dapat dilakukan perubahan yang mempengaruhi nilai tambah rantai pasok tersebut Nilai Tambah dan Produktivitas Dalam suatu kegiatan usaha atau produksi produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) (Parham, 2011; Cruz, 2011), dan diartikan sebagai seberapa optimum penggunaan sumberdaya yang dipergunakan secara bersama-sama untuk menghasilkan output. Untuk dapat bersaing dengan rantai pasok yang lain maka perusahaan atau kegiatan usaha yang terkait dalam suatu rantai pasok harus berusaha mendapatkan produktivitas yang tinggi melebihi produktivitas perusahaan atau rantai pasok pesaing. Rumus produktivitas dapat dituliskan sebagai: Produktivitas = Dari rumus tersebut dapat dilihat bahwa produktivitas yang meningkat dari waktu ke waktu berarti adanya peningkatan rasio output/input dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk dari output adalah nilai tambah (Cruz, 2011). Oleh karena itu maka rumus produktivitas dapat ditulis: Produktivitas = Ada dua metode penghitungan nilai tambah (Cruz, 2011) yaitu metode pengurangan dan metode penambahan. Dengan metode pengurangan nilai tambah dihitung sebagai nilai penjualan dikurangi semua pembelian atau pengadaan dari luar perusahaan (misalnya bahan, energi, jasa-jasa) ditambah dengan perubahan semua persediaan bahan (bahan jadi dan bahan setengah jadi). Dengan metode penambahan nilai tambah dihitung sebagai penambahan nilai keuntungan dengan semua biaya personalia (Gaji dan upah), manajemen, biaya-biaya untuk mempertahankan keuangan perusahaan (misalnya bunga pinjaman, depresiasi). Penelitian ini menggunakan pendekatan metode pengurangan. Perhitungan terperinci adalah seperti terlihat pada diagram gambar 2.8. Dari gambar ini dapat kita menurunkan beberapa besaran rasio nilai tambah yaitu: Produktivitas Tenaga Kerja, Daya saing biaya tenaga kerja dan Produktivitas modal dihitung dengan rumus-rumus berikut: Produktivitas tenaga kerja =

49 22 Daya saing Biaya tenaga kerja = Profitabilitas = Gambar 2.8 Metode pengurangan untuk menghitung nilai tambah (Cruz, 2011) Menurut Soekartawi (2001), usaha tani pada hakekatnya adalah perusahaan, maka seorang petani atau produsen sebelum mengelola usahataninya akan mempertimbangkan antara biaya dan pendapatan, dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien, guna memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaikbaiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Dengan demikian maka salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah dan produktivitas adalah dengan meningkatkan efisiensi, yaitu dengan mengurangi atau menghilangkan biaya-biaya atau pengeluaran yang tidak menambah nilai Metode-Metode Perhitungan Nilai Tambah Nilai tambah adalah salah satu bentuk dari ukuran kinerja perusahaan dan rantai pasok. Menurut Aramyan et al., (2006), terdapat beberapa metode yang telah dikembangkan untuk pengukuran kinerja manajemen rantai pasok antara lain Activity-based Costing (ABC) (Akyol, Tuncel, dan Bayhan, 2005), Life-Cycle Analysis (LCA) (Kasai, 1997), Economic Value Added (EVA) (Worthington dan Tracy 2001), dan Metode Hayami (Hayami et al., 1987).

50 23 ABC mengukur kinerja perusahaan dalam hal pengalokasian biaya-biaya dari aktivitas perusahaan tersebut (Akyol, Tuncel, dan Bayhan, 2005). ABC dirancang untuk memotivasi karyawan untuk melakukan pengurangan biaya dalam jangka panjang melalui pengelolaan aktivitas. Salah satu manfaat ABC adalah untuk penentuan biaya per unit suatu produk baik berupa barang maupun jasa secara akurat. Keunggulan ABC adalah memberikan informasi biaya yang berlimpah, tetapi dengan demikian memerlukan biaya pengumpulan data yang besar, padahal mengumpulkan data yang diinginkan tidak selalu mudah. LCA mengukur kinerja perusahaan dalam pendayagunaan input dan limbah lingkungan sepanjang umur pembuatan produk, distribusinya dan daur ulang atau pemusnahan limbahnya (Kasai, 1997). Keunggulannya adalah pada kemampuan untuk menyajikan informasi perihal kebutuhan-kebutuhan sumberdaya untuk produk-produk yang dibuat. Kelemahan utamanya adalah sangat perlu data yang lengkap dan sempurna, dan bahwa langkah analisanya sering membingungkan penggunanya. EVA menilai kinerja perusahaan dengan fokus pada ekspektasi penyandang dana. EVA memperkirakan laba ekonomis yang sesungguhnya dari perusahaan dalam tahun berjalan, mengukur nilai tambah dengan cara mengurangi beban biaya modal yang timbul (Worthington dan Tracy 2001). Keunggulannya adalah bahwa EVA melihat kegiatan-kegiatan bisnis secara terpisah, sedangkan kelemahannya adalah sangat tergantung pada transparansi internal dalam perhitungan yang perlu akurat, padahal dalam kenyataannya seringkali perusahaan kurang transparan dalam mengemukakan kondisi internalnya. Metode Hayami pertama kali dikembangkan oleh Hayami (Hayami et al., 1987) untuk mengukur kinerja nilai tambah usaha-tani di daerah Garut (Pasundan). Dengan metode ini dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output, dan produktivitas. Dapat juga diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi. Seperti halnya semua metode lain, metode Hayami memiliki kelemahan-kelemahan. Pertanyaan penelitian yang diajukan disini adalah bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan pada formulasi perhitungan nilai tambah metode Hayami, agar formula tersebut dapat dipergunakan untuk agroindustri secara umum Metode Hayami Perhitungan nilai tambah metode Hayami pada rantai pasok minyak sawit digunakan untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah yang terdapat pada satu kilogram minyak goreng di sisi konsumen dibandingkan dengan harga bahan baku pada proses paling hulu (petani) yang

51 24 menghasilkan satu kilogram minyak goreng tersebut. Secara berantai akan diketahui berapa tingkat nilai tambah masing-masing pelaku pada rantai pasok tersebut, yaitu petani, pedagang, pabrik minyak sawit, pabrik minyak goreng dan distributor/retailer. Dengan perhitungan ini dapat dilihat perbandingan tingkat nilai tambah masing-masing dan dinilai apakah perbedaan tingkat tersebut dapat diterima oleh keseluruhan rantai pasok. Metode Hayami diuraikan sebagai berikut dengan menggunakan template seperti pada Tabel 2.1. Bagian I. Output, Input dan Harga merupakan langkah untuk memasukkan angka-angka faktual dari lapangan, dan untuk menghitung parameter konversi yaitu besarnya perubahan input bahan menjadi produk yang dihasilkan. Tabel 2.1 Template Metode Hayami yang asli (Hayami et al., 1987) No Variabel Satuan Nilai I. Output, Input, dan Harga 1 Output kg (1) 2 Bahan Baku Pokok kg (2) 3 Tenaga Kerja Langsung HOK (3) 4 Faktor Konversi (4) = (1)/(2) 5 Koefisien Tenaga Kerja Langsung HOK/kg (5) = (3)/(2) 6 Harga Output Rp/kg (6) 7 Upah Tenaga Kerja Langsung Rp/HOK (7) II. Penerimaan dan Keuntungan 8 Harga Bahan Baku Rp/kg (8) 9 Harga Input lainnya Rp/kg (9) 10 Nilai Output = Penjualan Rp/kg (10) = (4) x (6) 11 a. Nilai Tambah Rp/kg (11a) = (10) (8) (9) b. Rasio Nilai Tambah % (11b) = (11a)/(10) x a. Pendapatan tenaga kerja Langsung Rp/kg (12a) = (5)*(7) b. Pangsa tenaga kerja langsung % (12b) = (12a)/(11a) x a. Keuntungan Rp/kg (13a) = (11a) (12a) b. Tingkat Keuntungan % (13b) = (13a)/(10) x 100 III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14 Marjin Rp/kg (14) = (10) (8) a. Pendapatan tenaga kerja langsung % (14a) = (12a)/(14) x 100 b. Sumbangan input lain % (14b) = (9)/(14) x 100 c. Keuntungan perusahaan % (14c) = (13a)/(14) x 100

52 25 Bagian II Penerimaan dan Keuntungan, merupakan langkah menghitung nilai tambah berdasarkan masukan nilai harga bahan dan masukan dari Bagian I, serta menghitung rasio-rasio nilai tambah tersebut. Bagian III Balas Jasa Pemilik Faktor-faktor Produksi, merupakan langkah menghitung porsi keuntungan dalam presentase (%) bagi pihak ketiga yaitu pemilik perusahaan (investor) dan pekerja. Metode ini menghitung nilai tambah untuk satu siklus produksi atau musim tanam. Dengan demikian maka data output (1) dan semua masukan lain adalah dalam satuan volume/berat produk untuk satu siklus usaha. Bila siklus atau bentuk usaha adalah jangka panjang (setahun atau lebih dari setahun) maka perlu dilakukan penyesuaian atau pengembangan terhadap Template metode Hayami tersebut Kekuatan dan Kelemahan Metode Hayami Pada metode perhitungan nilai tambah dengan metode Hayami dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output dan produktivitas. Dapat juga diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi. Seperti halnya semua metode lain metode Hayami memiliki kelemahan-kelemahan. Pertanyaan penelitian yang ingin diajukan disini adalah bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada formulasi perhitungan nilai tambah dengan metode Hayami, agar formula tersebut dapat dipergunakan untuk agroindustri secara umum. Kelebihan metode Hayami adalah dapatnya diketahui besarnya nilai tambah, nilai output, dan produktivitas (Suprapto, 2005; Yulida dan Kusumawatty, 2011). Selain itu dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi, dan rasio-rasio nilai tambah terhadap satuan output maupun tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi. Kelemahannya adalah bahwa metode ini digunakan untuk satu jenis pelaku usaha saja, dan dengan produk tunggal. Metode ini tidak dapat digunakan untuk proses produksi atau usaha yang siklusnya panjang, yaitu satu tahun atau lebih. Kemudian metode ini tidak dapat menjelaskan produk sampingan (kalau produk yang dibuat lebih dari satu). Dari uraian kekuatan dan kelemahan metode Hayami maka penulis menyusun pertimbangan pengembangan terhadap metode Hayami sebagai berikut: 1. Untuk rantai pasok minyak sawit yang siklus usahanya jangka panjang satu tahun atau melebihi satu tahun akan dihitung output untuk satu tahun berdasarkan penjualan yang terjadi.

53 26 2. Untuk usaha budidaya dengan output berupa hasil panen dalam satuan berat tidaklah selalu dapat dibandingkan dengan input (benih) dengan satuan berat juga. Demikian juga dengan budidaya yang outputnya tidak dihitung beratnya tetapi nilainya (seperti bunga) dengan masukan input yang berbeda satuan penilaiannya, akan lebih rasional bila digunakan satuan harga (misalnya rupiah). 3. Template yang ada saat ini menghitung faktor konversi satuan berat output (produk) terhadap satuan berat input (bahan). Untuk usaha budidaya jangka panjang perlu ada perubahan faktor konversi, karena output berupa hasil panen dalam satuan berat tidaklah selalu dapat dibandingkan dengan input (benih) dengan satuan berat juga. 4. Template yang ada saat ini adalah untuk menghitung nilai tambah satu pelaku pada rantai pasok, sehingga untuk suatu rantai pasok dengan beberapa pelaku harus dibuat rangkaian yang secara konsisten menghitung nilai tambah berdasarkan suatu satuan output. Perhitungan nilai tambah pada pelaku sebekumnya harus berdasarkan masukan yang memberikan satuan output yang sama Nilai Tambah Dalam Agroindustri Khususnya nilai tambah dalam agroindustri dapat dihasilkan dari proses-proses inovatif sebagai berikut (USDA, 2002): 1. Menanam komoditas untuk suatu pasar khusus, 2. Merubah bentuk dari komoditas sebelum dipasarkan, 3. Merubah cara pengemasan komoditas yang dipasarkan, 4. Merubah cara memasarkan komoditas tersebut, atau 5. Membentuk suatu perusahaan baru. Coltrain et al., (2000) menambahkan bahwa nilai tambah dalam agroindustri dapat dilakukan juga sebagai berikut: 1. Penerapan (bio-)teknologi baru kedalam proses pengolahan bahan makanan 2. Restrukturisasi sistem distribusi dan pemasaran 3. Globalisasi sumberdaya yang dapat menurunkan biaya total bahan baku, keahlian, pengolahan dan pengiriman produk akhir kepada konsumen. Boland (2009) menambahkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah masalah pokoknya adalah pada menilai apa, dimana, bagaimana dan siapa yang secara efisien dapat

54 27 melakukan fungsi pemasaran. Kemudian dapat dilakukan langkah inovasi dan koordinasi, dengan hal-hal berikut: 1. Tanaman pengganti yang dapat menggantikan tanaman tradisional, sebagai misal adalah sorghum sebagai pengganti gandum. 2. Produk inovatif non-makanan sebagai alternatif dari produk makanan dibuat dari bahan baku yang sama. Sebagai contoh adalah pembuatan bio-diesel dari minyak sawit, etanol dari jagung, dan papan-partikel dari jerami. 3. Contoh koordinasi adalah kegiatan koperasi menggabungkan beberapa banyak petani perorangan, untuk memadukan pengadaan bibit, pupuk, pestisida dll, serta menjualkan produk hasil akhir ke pembeli. 4. Integrasi vertikal, dengan cara berinvestasi pada kegiatan pengolahan (untuk pekebun) atau kegiatan perkebunan (untuk pengusaha pengolah bahan). Dengan cara ini akan dapat dikurangi biaya yang dikeluarkan para pedagang penghubung. Keberhasilan upaya ini sangat tergantung kepada berapa bagus perencanaan dan implementasinya. 5. Perlu diperhatikan bagaimana biaya dapat ditekan pada kegiatan pengolahan penambahan nilai serta pemasaran sehingga minimalisasi biaya dapat dilakukan. Hanya produser pengolah bahan secara efisien yang akan dapat bertahan hidup dan bersaing di pasar produk pertanian. Dalam banyak kejadian nilai tambah didapat dari kombinasi semua atau sebagian dari lima proses tersebut untuk menghasilkan pendapatan lebih tinggi lagi. Selain itu produk-produk value-added dapat membuka pasar yang baru, menciptakan pengakuan dan penghargaan kepada pertanian, dan memperpanjang musim pemasaran, menciptakan banyak lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan daerah karena terjadinya pembelian komoditas di daerah tersebut (USDA, 2002). Kemudian, ditinjau dari segi ekonomi (Soekartawi, 2001), pengolahan produk pertanian menjadi produk-produk tertentu untuk diperdagangkan akan memberikan banyak arti, antara lain sebagai berikut:

55 28 1) Meningkatkan nilai tambah Adanya pengolahan produk pertanian dapat meningkatkan nilai tambah, yaitu meningkatkan nilai (value) komoditas pertanian yang diolah dan meningkatkan keuntungan pengusaha yang melakukan pengolahan komoditas tersebut. 2) Meningkatkan kualitas hasil Dengan kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang akan menjadi lebih tinggi. Kualitas hasil yang baik dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang digunakan. Perbedaan segmentasi pasar, tetapi juga mempengaruhi harga barang itu sendiri. 3) Meningkatkan pendapatan Selain pengusaha, petani penghasil bahan baku yang digunakan dalam industri pengolahan tersebut akan mengalami peningkatan pendapatan. 4) Menyediakan lapangan kerja Dalam proses pengolahan produk-produk pertanian menjadi produk lain tentunya tidak terlepas dari adanya keikutsertaan tenaga manusia sehingga proses ini akan membuka peluang bagi tersedianya lapangan kerja. 5) Memperluas jaringan distribusi Adanya pengolahan produk-produk pertanian akan menciptakan atau meningkatkan diversifikasi produk sehingga keragaman produk ini akan memperluas jaringan distribusi. Strategi menemukan langkah-langkah pertambahan nilai dapat dilakukan dengan mencoba mengetahui apa yang diinginkan para konsumen akhir pada produk yang dibeli dan digunakannya (Coltrain et al., 2000). Hal ini akan membuat para penyedia bahan baku dan produsen berfikir bagaimana cara mempersiapkan produk akhir yang diinginkan konsumen tersebut. Misalnya saja peternak/pemotong hewan ternak dapat menyediakan daging siap masak (table-ready meat) Pengertian Holton (2004) mendefinisikan risiko sebagai keadaan terpapar (exposure) kepada suatukemungkinan kejadian yang tidak pasti. IRM (2002) didalam pedoman ISO/IEC Guide 73 mendefinisikan risiko sebagai kombinasi dari probabilitas suatu kejadian dengan konsekwensikonsekwensinya. Dalam semua kegiatan usaha selalu ada potensi kejadian dan konsekwensi yang berupa manfaat (positif) berupa keuntungan, atau ancaman (negatif) terhadap keberhasilan.

56 29 Menurut Pinto (2007) risiko adalah suatu konsep dengan beragam implikasi dan derajat kepastian, yang berawal dari kurangnya pengetahuan perihal suatu kejadian yang dapat menimpa suatu kegiatan, dan kemampuan untuk mengatasinya. Kaplan dan Garrick (1981) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan kerugian atau kecelakaan beserta tingkat kemungkinan terjadinya kerugian atau kerusakan tersebut. Secara matematis risiko adalah ketidakpastian ditambah kerusakan. Menurut Zimmerman (2000) ketidak pastian disebabkan oleh 5 hal utama yaitu pertama adalah kurangnya informasi atau pengetahuan perihal terjadinya peristiwa dimasa depan, baik dari pesaing atapun pelanggan. Penyebab kedua adalah melimpahnya informasi, atau kompleksitas, hal yang berlawanan dengan yang pertama tadi, sehubungan dengan keterbatasan manusia dalam mengamati dan mengolah data yang melimpah dan tersaji sekaligus. Kemudian penyebab ketiga adalah adanya kenyataan kejadian yang saling bertentangan, karena suatu informasi mengandung kesalahan atau tidak relevan, atau bahkan meragukan. Jenis-jenis risiko sebagai dampak dari ketidakpastian, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut. Pengelompokan pertama adalah berdasarkan asal timbulnya risiko tersebut. internal adalah yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri. Kerusakan peralatan kerja pada proyek karena kesalahan operasi, risiko kecelakaan kerja, risiko harus membayar gaji, upah dan sebagainya. Kemudian ada juga risiko yang berasal dari luar perusahaan seperti misalnya risiko tabrakan armada pengiriman, pencurian, penipuan, fluktuasi pasokan, perubahan kebijakan pemerintah, dan sebagainya (IRM, 2002). Lebih lanjut risiko dapat dikelompokkan menurut fungsionalnya sebagai risiko finansial, risiko stratejik, risiko operasional dan risiko bahaya kecelakaan (hazard). Langkah manajemen risiko digambarkan oleh Meydanoglu (2009) seperti Gambar 2.9. Meydanoğlu mengatakan bahwa dalam konteks analisa dan evaluasi risiko, risiko dievaluasi dalam pengertian probabilitas terjadinya dan potensi kerusakannya. Gambar 2.9 Diagram manajemen risiko (Meydanoğlu, 2009)

57 Manajemen IRM (2002) mendefinisikan manajemen risiko sebagai upaya merupakan pengenalan, pengukuran dan perlakuan terhadap kerugian dari kemungkinan kecelakaan yang muncul. Agar perusahaan dapat menanggulangi semua risiko yang mungkin terjadi, diperlukan sebuah proses yang dinamakan sebagai manajemen risiko. Tiga macam pengertian perihal manajemen risiko antara lain adalah Proses formal dimana faktor-faktor risiko secara sistematis diidentifikasi, diukur dan dicari solusinya. Yang kedua adalah metode penanganan formal sistematis yang dikonsentrasikan pada identifikasi dan pengendalian peristiwa yang memiliki kemungkinan perubahan yang tidak diinginkan. Jenis ketiga adalah manajemen risiko dalam konteks proyek, yang berupaya mengidentifikasi, menganalisadan menjawab faktor-faktor risiko sepanjang masa proyek. Manajemen risiko rantai pasok sudah menjadi kegiatan yang diharuskan dalam manajemen rantai pasok, agar dapat menghindari atau paling tidak mengurangi terjadinya kegagalan berbisnis yang kelihatannya menjadi hal yang sering terjadi dalam era penuh ketidakpastian saat ini. IRM (2002) menggambarkan kegiatan-kegiatan manajemen risiko dengan Gambar Pada diagram ini terlihat bahwa sasaran-sasaran strategis organisasi menentukan hasil-hasil kerja yang harus dicapai. Gambar 2.10 Diagram manajemen risiko (IRM, 2002)

58 31 Untuk setiap uraian hasil akan harus ditentukan risiko-risiko yang dihadapi. Untuk kejelasan masalahnya risiko-risiko tersebut dianalisa dengan langkah-langkah identifikasi, deskripsi dan diperkirakan dampak, paparan serta peluang terjadinya. Setelah kemudian dievaluasi maka risiko-risiko tersebut dilaporkan kepada pimpinan organisasi atau tim yang ditunjuk dengan kelengkapan uraian tentang ancaman-ancaman serta peluang-peluang mengatasinya. Setelah keputusan tindakan ditentukan untuk tiap risiko maka tindakan tesebut dilaksanakan oleh pihak yang ditunjuk, kemudian sisa masalah yang belum tertangani dilaporkan. Kesemua kegiatan tersebut di-monitor oleh tim yang bertugas, biasanya dalam uraian tugas tim auditor. Apabila terdapat kegiatan operasional usaha organisasi yang perlu diperbaiki maka dilakukan modifikasi yang diperlukan. 2.4 Konsep Dasar Agen dan Sistem Multi Agen Latar Belakang Sistem Multi Agen Sistem Multi Agen (SMA) awalnya merupakan model konsep sederhana tentang mikrokomputer yang dilakukan oleh Von Neumann dengan ciptaannya yaitu mesin Von Neumann, yakni suatu model teoritis yang memiliki kemampuan reproduktif (Bhatt, 2012). Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh mitra Von Neumann sendiri yakni Stanislaw Ulam, seorang matematikawan yang memunculkan model cellular automata, mengikuti perkembangan awal teknologi komputer pada akhir tahun 1940-an. Ide dasar dari cellular automata adalah membuat simulasi dari situasi nyata antara tingkat mikro dengan makro untuk suatu sistem sosial. Secara teoritis kecenderungan suatu sistem adalah selalu dalam keadaan seimbang (equilibrium) atau menuju dan bergerak disekitar titik keseimbangan. Interaksi sistem ini diperkenalkan oleh seorang pakar komputer Craig Reynold dalam kehidupan biologi yang dikenal dengan sebutan model Artificial Life. Secara konseptual SMA diturunkan dari gabungan antar disiplin ilmu yang dikenal dengan konsep Science of Complexity, yakni istilah yang diungkapkan Ramalingam dan Jones (2008). Secara ilmiah konsep biologi dan ilmu sosial digabungkan sehingga menghasilkan gabungan kompleks yang dapat mengantisipasi sistem yang non-linier, dapat mengatur diri sendiri, heterogen, dapat beradaptasi, ada feedback, dan dapat memunculkan perilaku. Semua gabungan ilmu tadi diimplementasikan kedalam suatu teknik komputer dan software yang membentuk kerangka kerja pemodelan berbasis agen.

59 32 Axelrod dan Tesfatsion (2005), menjelaskan bahwa SMA adalah suatu metode untuk mempelajari suatu sistem yang terdiri dari agen yang saling berinteraksi dan memunculkan sifat baru karena interaksi. Sifat baru yang muncul ini merupakan hasil penggabungan sederhana dari sifat-sifat agen, dan memunculkan sifat atau perilaku baru yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa SMA adalah suatu metode yang mengikuti pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) tentang bagaimana perilaku-perilaku agen mempengaruhi perilaku sistem. Kemudian dibuat model simulasi berbasis komputer. Diharapkan bahwa interaksi antar para agen dapat menghasikan sifat-sifat unggul untuk membantu proses pengambilan keputusan di dunia nyata. Metode SMA dimulai dengan menentukan entitas atau agen yang membangun suatu sistem (Axelrod dan Tesfatsion, 2005). Observasi dilakukan terhadap sistem nyata untuk menentukan sifat dari masing-masing agen (atribut agen) dan interaksi yang mungkin terjadi antara agen-agen. Kemudian dengan simulasi komputer, dibuat sejarah data yang dapat mengungkapkan konsekuensi dinamis dari setiap asumsi yang digunakan pada awal simulasi tadi. Agen yang digunakan tadi dapat mewakili individu manusia seperti konsumen, penjual, dan pembeli. Agen dapat juga mewakili keluarga, perusahaan, komunitas, bahkan lembaga pemerintahan dan negara. SMA adalah sistem komputer yang terdiri dari entitas yang mandiri atau agen-agen yang memiliki pengetahuan serta kemampuan pengolahan informasi yang terbatas. Suatu agen dapat saja merupakan suatu sub-rutin pada suatu program komputer, tetapi dapat juga merupakan entitas yang lebih besar, dengan kemampuan pengendalian yang persisten (Berger, 2001). Teknologi Agen dan SMA dirancang untuk menjawab tantangan kompetisi dan perubahan situasi, selera serta pilihan pelanggan. Oleh karena itu teknologi agen dan SMA sesuai untuk pemodelan dan pelaksanaan kegiatan rantai pasok. Setiap anggota dari rantai pasok dimodelkan sebagai suatu agen yang mandiri dan memiliki kemampuan membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi lingkungan yang tersedia (Datta, 2007). Dengan demikian maka fasilitas produksi diwakili oleh Agen Pabrik, yang merupakan replika dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh seorang manager pabrik, berdasarkan arus barang yang mengalir dan keluar masuk pada suatu pabrik dan informasi strategis yang dibuat perusahaan (misalnya introduksi produk baru, pasar baru, dll). Secara sama

60 33 maka pedagang diwakili oleh Agen Pedagang yang merupakan replika perilaku para pedagang yang membuat keputusan membeli dan menjual produk atau komoditas berdasarkan harga dan permintaan pasar. Demikian juga distributor diwakili oleh Agen Distributor yang merupakan replika perilakunya dalam memutuskan mengenai membeli, menyimpan dan menjual serta membagikan produk sesuai dengan informasi perihal penjualan per area atau rayon, prediksi serta strategi organisasi. Aplikasi komersial dari SMA sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 1990-an sebagai alternatif solusi masalah bisnis dan teknologi (Russel dan Norvig, 2003). Bentuknya antara lain adalah optimasi rantai pasok dan logistik, pemodelan perilaku konsumen, dampak terhadap jaringan sosial, manajemen sumberdaya manusia, manajemen lalu lintas, dan manajemen portfolio. Gambar 2.11 Interaksi agen dengan lingkungannya (Russel dan Norvig, 2003) Interaksi antar agen, aktuator dan lingkungan dapat diihat pada Gambar Pada gambar tersebut terlihat bahwa sensor dari agen akan memberikan masukan perihal keadaan lingkungan kepada agen. Keadaan lingkungan tersebut dijabarkan dalam status (state), yang dapat berubah-ubah. Kemudian agen akan mempelajari apa yang akan terjadi dengan lingkungan bila ia melakukan aksi A, dan berapa bahagia atau nyaman ia dalam keadaan tersebut. Setiap agen mempunyai sasaran (goal) yang ingin dicapai, dan bila ia akan nyaman dengan kondisi

61 34 lingkungan sebagai dampak aksi A, maka ia akan menggerakkan aktuatornya untuk merubah keadaan lingkungan tersebut Sistem Multi Agen dan Motivasi Penggunaannya Dalam suatu komunitas sistem pada umumnya akan terdapat lebih dari satu agen, seiring dengan semakin kompleksnya tugas yang dikerjakan oleh sistem tersebut (Axelrod dan Tesfatsion, 2005). Dilain pihak, dengan populernya paradigma agen terjadi pembengkakan populasi agen, karena setiap vendor ataupun pembuat software berkeinginan untuk memakai paradigma agen dalam sistem mereka. Dengan demikian perlu dilakukan standarisasi agen, dengan tujuan untuk mendukung pertumbuhan teknologi agen dan SMA yang kompatibel dan lebih terbuka. Meskipun berbeda vendor dan pembuat, satu sistem agen dengan sistem lain dapat berkomunikasi dan berkoordinasi dalam suatu pekerjaan. Keuntungan utama dari pendekatan SMA adalah (Moyaux et al., 2006) sebagai berikut: 1) Setiap agen pelaku langsung berhubungan dengan lingkungan dunia nyata, maka status perhitungan sistem mengikuti status kondisi dunia nyata secara langsung pula. 2) Tidak diperlukan adanya suatu database terpusat, karena masing-masing pelaku mempunyai database sendiri 3) Perilaku menyeluruh dari sistem muncul berkembang dari keputusan-keputusan lokal. Sistem akan menyesuaikan diri (adjust) secara otomatis terhadap perubahan lingkungan. 4) Software untuk setiap agen pelaku adalah lebih pendek dan sederhana daripada bila dilakukan pendekatan terpusat, dan karena itu lebih mudah ditulis, diuji dan dikoreksi. 5) Sistem mengatur jadwal operasionalnya sendiri sambil berjalan. Tidak diperlukan fasa penjadwalan sistem yang terpisah, dan tidak diperlukan waktu menunggu selesainya suatu jadwal tertentu untuk mulai bekerjanya proses sistem yang lain Pemodelan Berbasis Sistem Multi Agen untuk Rantai Pasok Kegiatan manajemen rantai pasok berhubungan dengan perencanaan dan penjadwalan kegiatan-kegiatan suatu perusahaan dari mulai pengadaan bahan baku, produksi sampai ke distribusi dan pengiriman produk barang jadi yang diproduksi (Porter, 1985). Ketangkasan manajemen rantai pasok saat ini dalam menghadapi persaingan bisnis yang sejenis maupun berbeda, akan sangat menentukan keberlangsungan usahanya. Tiap anggota rantai pasok mengejar tujuan sendiri-sendiri dalam keterbatasan lingkungannya baik internal maupun

62 35 eksternal. Masing-masing pelaku atau anggota rantai pasok mempunyai sifat berikut (Wooldridge dan Jennings, 1995): 1) Otonomi: setiap pelaku melakukan dan mengendalikan kegiatannya secara bebas tanpa keharusan menerima dan mengikuti perintah pihak lain. 2) Adanya kebutuhan sosial: artinya adalah bahwa tiap pelaku perlu berinteraksi dengan pelaku yang lain, apakah dalam memesan bahan, barang atau jasa, ataupun melakukan pembayaran untuk bahan yang didapatnya. 3) Reaktif: tiap pelaku mengamati dan bereaksi terhadap kondisi lingkungannya yang berubah. Perubahan dapat berupa perubahan harga barang, perubahan selera pasar, perubahan teknologi dan peralatan, ataupun perubahan peraturan. Setiap pelaku merubah perilaku ataupun keputusannya berdasarkan perubahan tersebut yang dapat saja bersifat kompetitif. 4) Pro-aktif: tiap pelaku tidak hanya bereaksi terhadap lingkungannya, tetapi juga berinisiatif melakukan tindakan baru (misal: memproduksi jenis barang baru), ataupun berantisipasi terhadap adanya kemungkinan perubahan pasar. Perilaku emergent, artinya hasil akhir dari simulasi pada tingkat makro merupakan turunan (derived) dari interaksi satu atau kelompok agen pada tingkat mikro. Contoh yang mudah dipahami adalah bagaimana keadaan suatu jalan raya (tingkat makro) suatu saat tertentu merupakan akibat dari interaksi para pemakai jalan tersebut (tingkat mikro : motor, mobil, bis, dll) yang selalu berubah. Keadaan sesaat tersebut dapat berupa macet, lancar, tabrakan, dll. Didalam suatu rantai pasok terdapat beberapa pelaku kegiatan usaha yang saling berinteraksi. Interaksi tersebut merupakan kegiatan yang berurutan dari sisi pelaku yang paling hulu sebagai penghasil sumber bahan baku untuk pelaku berikutnya. Bentuk interaksi tersebut untuk rantai pasok minyak sawit (RPMS) diperlihatkan pada Gambar Petani yang mengelola kebun menghasilkan TBS yang dijual kepada pabrik minyak sawit melalui pengepul. Gambar 2.12 Rantai pasok minyak sawit (Hidayat et al., 2012)

63 36 Pabrik minyak sawit membayar harga TBS kepada pengepul, kemudian pengepul membayar kepada petani. Besar, cara dan waktu pembayaran tergantung kepada prosedur yang disepakati oleh kedua pihak yang berhubungan. Hal ini juga terjadi pada sisi berikutnya pada RPMS dengan produk minyak sawit dan minyak goreng Software Netlogo Netlogo adalah suatu sarana pemodelan dengan program komputer untuk kasus-kasus sains ataupun sosial (Tisue dan Wilensky, 2004). Netlogo berbasis Java dan merupakan software yang open-source, dapat diunduh secara gratis oleh siapapun. Netlogo dikembangkan oleh Uri Wilensky pada tahun 1999 dan sampai saat ini masih terus diperluas dan dikembangkan di The Center for Connected Learning and Computer-Based Modeling, Northwestern University, Evanston, IL, USA. Netlogo khususnya sesuai untuk pemodelan sistem yang kompleks dan berkembang atau berubah setiap waktu. Pembuat model dapat menyusun model dengan agen yang banyak, sampai ratusan bahkan ribuan. Dengan Netlogo pemodel dapat menyusun interaksi antar agen yang beroperasi secara independen, berdasarkan perilaku bisnisnya baik pada tingkat mikro, maupun interaksi pada tingkat makro sebagai dampak dari kegiatan tingkat mikro. Software Netlogo sudah mempunyai banyak contoh model yang dibuat oleh pemodel terdahulu yang dapat diperluas oleh pemodel berikutnya. Contoh tersebut berada pada Models Library, yang merupakan khazanah model simulasi yang dapat langsung digunakan ataupun dimodifikasi sesuai kebutuhan. Model yang sudah tersedia pada saat ini pada Models Library adalah dalam bidang-bidang keilmuan dasar seperti fisika, kimia, biologi dan matematika; dan ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi dan psikologi. Agen didalam model Netlogo adalah entitas yang dapat mengikuti instruksi dan juga mempunyai tujuan, keinginan dan keterbatasan. Didalam Netlogo didefinisikan ada empat jenis agen yaitu turtles, patches, links dan observers. Turtles adalah agen yang bergerak dan berusaha didalam dunia bisnis. Patches mewakili dunia usaha atau kegiatan dan terdiri dari segmensegmen atau grids. Setiap patch adalah suatu kepingan segi-empat tempat bergeraknya turtles. Links adalah agen-agen yang menghubungkan dua turtles. Link dapat mempunyai arah jurusan (dari satu turtle ke turtle yang lain) atau tidak mempunyai jurusan (dua turtle bergandengan saja). Observer tidak mempunyai tempat dalam bidang Netlogo, dan hanya merupakan penghubung antara pemodel dan model Netlogo yang dibuat. Observer dapat memantau posisi dan kondisi dari turtles, links dan patches.

64 Pendekatan Sistem Menurut Bertalanffy (1950) menguraikan suatu kerangka konsep dan teori umum tentang sistem yang berlaku pada berbagai bidang ilmu, yang dinamai General System Theory (GST). GST menyatakan bahwa pada bidang sains maupun sosial berlaku secara umum adanya keharusan interaksi antara bagian-bagian dari sistem, dan bahwa ada keterbatasan pencapaian tujuan sistem. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2005). Dengan demikian manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Pendekatan sistem merupakan suatu metode pemecahan masalah dengan menggunakan abstraksi keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah. Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan kegiatan yang bersifat multi disiplin dan terorganisir, penggunaan model matematika, mampu berfikir kuantitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta diaplikasikan dengan bantuan komputer (Eriyatno, 1999). Pada disertasi ini sistematika pendekatan sistem disusun dengan urutan berikut: (1) analisis kebutuhan pengguna, (2) identifikasi permasalahan, (3) identifikasi sistem, (4) analisis kebutuhan sistem Analisis Kebutuhan Pengguna Suatu sistem atau model dibuat untuk memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan kegiatan usaha maupun informasi bagi setiap pelaku pada rantai pasok minyak sawit (RPMS). Sebagai langkah pertama perlu diketahui kebutuhan-kebutuhan pencapaian tujuan usaha tersebut. Merujuk kepada hasil penelitian Suharjito (2011) dan masukan dari para responden maka untuk enam pelaku RPMS dapat ditentukan kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai berikut. 1. Petani sawit swadaya a. Kemudahan memperoleh bibit sawit unggul b. Terkendalinya risiko gagal panen c. Kemudahan memperoleh sarana budidaya kebun dan produksi d. Peningkatan kualitas TBS dan produktivitas kebun sawit e. Kemudahan memperoleh informasi dan akses pasar yang lebih luas f. Kemudahan memperoleh modal dengan kredit dari lembaga keuangan

65 38 g. Terjadinya harga TBS yang memberikan nilai tambah yang tinggi 2. Pedagang TBS (pengepul) a. Kemudahan memperoleh sumber TBS berkualitas dan kontinyu b. Kestabilan harga TBS yang memberikan keuntungan yang optimum c. Tersedianya infrastruktur dan sarana transportasi yang mendukung d. Kemudahan mendapatkan mitra pabrik minyak sawit yang kooperatif e. Terkendalinya risiko kualitas TBS dan transportasi 3. Agroindustri (Industri minyak sawit maupun minyak goreng) a. Ketersediaan bahan baku yang berkualitas, cukup dan kontinyu b. Harga bahan baku yang stabil dan rendah c. Kontinuitas produksi d. Tingkat nilai tambah yang optimum e. Terjaminnya pemasaran produk baik lokal maupun global f. Kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung g. Terkendalinya risiko-risiko usaha 4. Distributor/pengecer minyak goreng a. Ketersediaan minyak goreng berkualitas untuk didistribusikan b. Kemudahan distribusi dan pemasaran c. Terjadinya nilai tambah yang optimum d. Tersedianya sarana dan prasarana distribusi yang diperlukan e. Terkendalinya risiko distribusi f. Kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung 5. Konsumen a. Tersedianya minyak goreng berkualitas dengan kuantitas yang cukup b. Kestabilan harga minyak goreng c. Kemudahan akses informasi pasar dan produk Identifikasi Permasalahan Berdasarkan hasil studi pustaka dan masukan para pakar dan responden didapatkan bahwa permasalahan yang dihadapi para pelaku RPMS adalah sebagai berikut. 1) Khususnya untuk petani sawit swadaya terjadi kesulitan mendapatkan bibit sawit yang unggul dan bersertifikat dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau (Purwantoro,

66 ; Bakir, 2007). Kesalahan bibit dapat berakibat fatal karena TBS yang dihasilkan tidak akan pernah mencapai kuantitas dan kualitas yang bagus dan diterima oleh pasar. 2) Belum tersedianya infrastruktur daerah kebun secara baik sehingga proses pengumpulan dan pengiriman TBS dari mulai kebun, TPH, pengepul dan pabrik minyak sawit tidak cukup lancar (BI, 2007; Hasibuan dan Harjanto, 2008; Sucipto, 2010). Hal ini menyebabkan biaya transportasi tinggi, kehilangan di perjalanan, dan kenaikan tingkat asam lemak bebas. Keadaan ini juga terjadi untuk pengangkutan minyak sawit ke pembeli yang bersangkutan. 3) Secara umum terjadi terdapat ketergantungan sektor pertanian terhadap musim. Hal ini menyebabkan ketersediaannya tidak kontinyu dengan jumlah yang dibutuhkan. Kemudian terjadi fluktuasi harga bahan baku bagi industri pengolah minyak sawit maupun minyak goreng (Pahan, 2007). 4) Untuk RPMS terdapat pengaruh fluktuasi harga minyak sawit global yang menyebabkan fluktuasi harga minyak sawit lokal dan harga minyak goreng (BI, 2007; KPPU, 2009). Fluktuasi harga minyak sawit tersebut mempengaruhi harga TBS yang ditetapkan setiap dua minggu di kantor Dinas Perkebunan Propinsi. Pemerintah mengamati fluktuasi harga minyak sawit dan minyak goreng global untuk menentukan kebijakan tingkat bea keluar (BK) dari produk sawit dan turunannya. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan pasokan dan harga produk sawit dan turunannya. 5) Teknologi dan ketersediaan sarana budidaya kebun sawit Indonesia masih kalah dari Malaysia sehingga produktivitas kebun dan kualitas TBS masih dibawah produktivitas dan kualitas produk sejenis di Malaysia (Teoh, 2009). 6) Saat ini pelaku pasar ekspor minyak sawit pada umumnya adalah perusahaan besar swasta. Dominasi ini menyebabkan penentuan harga minyak sawit dan harga TBS dikuasai oleh perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pihak petani swadaya tidak memiliki cukup bargaining power dan ini mempengaruhi tingkat nilai tambah yang diperolehnya (Mulyana, 2004). Hal ini terjadi juga pada pasar minyak goreng yang didominasi oleh perusahaan swasta. 7) Belum terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antar pelaku rantai pasok produk agroindustri sehingga menimbulkan setiap pihak mempunyai keinginan untuk

67 40 mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan risiko yang ditimbulkan terhadap pihak lain (Mulyana, 2004; BAPPENAS, 2010; Sucipto, 2010). 8) Belum berkembangnya kesadaran petani dalam mengelola kesejahteraan kehidupannya secara rasional sehingga seringkali terjadi kesalahan prioritas penggunaan dana produktif (Bakir, 2007). Hal ini menyebabkan ketergantungan petani kepada penyandang dana dan terpaksa menerima saja tingkat harga maupun term pembayaran TBS yang dijualnya. 9) Distribusi tingkat nilai tambah masih belum seimbang dibandingkan dengan tingkat risiko yang dihadapi para pelaku dalam jaringan RPMS (Bakir, 2007; Teoh, 2009) Identifikasi Sistem Untuk dapat mengembangkan suatu model sistem RPMS perlu diketahui hubungan atau pengaruh antara kebutuhan pelaku dengan permasalahan yang telah teridentifikasi. Identifikasi sistem merupakan mata rantai hubungan antara pernyataan-pernyataan kebutuhan setiap pelaku dalam sistem dengan permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram Input-Output (Marimin, 2005). Gambar 2.13 Diagram lingkar input-output RPMS (Marimin, 2005) Hubungan antara komponen di dalam suatu RPMS dapat diuraikan dengan Gambar 2.13 yang merupakan diagram Lingkar Input-Output. Diagram lingkar ini menggambarkan hubungan

68 41 antar komponen-komponen tersebut dengan tanda positif atau negatif yang menunjukkan sifat pengaruhnya. Diagram sebab akibat ini digunakan sebagai dasar pengembangan model. Pemerintah membuat kebijakan bidang sawit yang mengupayakan terjadinya keseimbangan nilai tambah dan kemitraan yang jujur pada masing-masing pelaku rantai pasok minyak sawit (Chalil, 2008). Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi oleh keputusan investasi dari para investor serta harga minyak sawit dunia. Kebijakan ini mengakibatkan terbentuknya iklim usaha yang bagus, yang mendorong pembentukan klaster serta peningkatan infrastruktur. Dengan adanya pembentukan klaster dan peningkatan infrastruktur ini diharapkan produktivitas dari hasil olahan kelapa sawit meningkat. Produktivitas juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan bibit kelapa sawit serta teknik budidaya yang unggul (PPKS, 2006). Hal ini dapat meningkatkan kualitas pasokan dari produk olahan kelapa sawit. Dengan meningkatnya kualitas produk-produk maka nilai penjualannya juga meningkat. Peningkatan penjualan serta kontinuitas pasokan produk olahan kelapa sawit dalam negeri akan meningkatkan keuntungan dari masing-masing pelaku rantai pasok. Peningkatan keuntungan masing-masing pelaku rantai pasok minyak sawit ini akan menciptakan keseimbangan nilai tambah yang diperoleh masing-masing pelaku rantai pasok minyak sawit yang mengakibatkan kemakmuran Indonesia semakin meningkat. Kemakmuran Indonesia akan mempercepat keputusan investasi produk olahan kelapa sawit di Indonesia. Keseimbangan nilai tambah juga menumbuhkan kemitraan yang jujur pada masing-masing pelaku rantai pasok. Keputusan investasi dan kemitraan yang jujur akan menyebabkan meningkatnya jumlah pendirian pabrik minyak sawit atau minyak goreng (KPPU, 2009). Keputusan investasi dan meningkatnya kerjasama dengan perbankan dapat meningkatkan perluasan lahan kelapa sawit di Indonesia. Perluasan lahan kelapa sawit dapat meningkatkan pendirian pabrik minyak sawit/minyak goreng sehingga semakin bertambahlah penyerapan tenaga kerja. Banyaknya pabrik minyak sawit/minyak goreng yang didirikan akan mempengaruhi jumlah hasil olahan kelapa sawit yang diekspor (BI, 2007). Akan tetapi volume ekspor ini dipengaruhi oleh harga minyak sawit didunia. Banyaknya hasil olahan kelapa sawit yang diekpor berpengaruh negatif terhadap kontinuitas pasokan hasil olahan kelapa sawit dalam negeri. Semakin sedikit jumlah ekspor produk olahan kelapa sawit maka semakin banyak jumlah pasokan olahan yang tersedia untuk industri minyak sawit di dalam negeri.

69 42 Gambar 2.14 Diagram input-output untuk agroindustri minyak sawit (Marimin, 2005) Diagram kedua pada langkah pengembangan sistem adalah diagram input-output yang diuraikan pada Gambar 2.14 (Marimin, 2005). Diagram ini menyajikan bentuk-bentuk masukan (input) dan keluaran (output) dari model yang akan dikembangkan. Ada dua jenis input kedalam sistem ini yaitu yang berasal dari luar sistem atau input lingkungan dan input internal yang berasal dari dalam sistem. Input internal merupakan perubah yang diperlukan oleh sistem dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan keluaran yang dikehendaki. Input internal ini terdiri dari input terkendali dan input tidak terkendali. Input terkendali terdiri dari aspek manusia, bahan atau material, energi, modal dan informasi. Input terkendali ini dapat dikendalikan selama proses pengoperasian sistem untuk mencapai kinerja yang dikehendaki. Input tidak terkendali tidak berperan besar dalam mengubah kinerja sistem sehingga cenderung diabaikan. Input terkendali dari model yang akan dikembangkan meliputi jenis dan kualitas bahan baku, jenis dan jumlah produksi, jumlah investasi, serta sarana dan prasarana. Pengendalian input terkendali menjadi titik kritis keberhasilan sistem dalam mencapai output yang diinginkan sekaligus untuk mengurangi output yang tidak dikehendaki. Input ini menjadi perhatian utama karena input terkendali merupakan input yang dapat dikelola agar keluaran sistem sesuai dengan yang diharapkan.

70 43 Input tidak terkendali dalam sistem meliputi produktivitas lahan, permintaan, harga dan selera pasar, tingkat suku bunga, tingkat bunga bank, nilai tukar rupiah, pasokan/harga bahan baku, serta kualitas bibit. Input tidak terkendali ini juga mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Input lingkungan terdiri antara lain dari kebijakan pemerintah, pengaruh globalisasi perdagangan, kondisi sosial budaya setempat, dan kondisi infrastruktur. Khusus untuk industri sawit terdapat persyaratan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang sangat mempengaruhi tingkat ekspor produk sawit ke Eropa (Gumbira-Sa id, 2009). Output dari sistem terdiri dari dua jenis yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki umumnya dihasilkan dari hasil pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada saat dilakukan analisis kebutuhan sistem. Output yang dikehendaki dari sistem yang dimodelkan meliputi kualitas dan kontinuitas produk akhir yang bagus, perluasan lapangan kerja, stabilitas harga produk yang dihasilkan, pengembalian investasi tepat waktu, peningkatan kesejahteraan petani, dan peningkatan nilai tambah semua pelaku, dan menurunnya ketergantungan impor. Output yang tidak dikehendaki merupakan hasil samping atau dampak yang ditimbulkan secara bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output tidak dikehendaki meliputi minat investasi industri kelapa sawit turun, persaingan tidak sehat, pendapatan nilai tambah tidak seimbang, biaya produksi meningkat, fluktuasi harga berlebihan. Output tidak dikehendaki ini perlu dikendalikan melalui manajemen pengendalian terhadap input yang terkendali sehingga kinerja sistem dapat berjalan Analisis Kebutuhan Sistem Disertasi ini ingin menghasilkan suatu model yang mewakili rantai pasok minyak sawit (RPMS) dengan berbagai permasalahannya. Permasalahan pertama yang akan dimodelkan pada disertasi ini adalah perhitungan nilai tambah yang didapat oleh tiap pelaku RPMS yang terdiri dari petani, pengumpul, agroindustri, distributor dan konsumen. Agroindustri disini diwakili oleh pabrik minyak sawit dan pabrik minyak goreng. Permasalahan kedua adalah memodelkan risikorisiko apa saja yang dihadapi oleh para pelaku RPMS dan bagaimana bobot risiko tersebut diantara para pelaku RPMS. Hal ini adalah untuk menghasilkan terjadinya keseimbangan yang adil antara risiko dan nilai tambah. Setelah model-model ini dapat dikembangkan maka ingin dilakukan simulasi untuk mempelajari perilaku para pelaku RPMS dengan pendekatan lain yaitu

71 44 pendekatan pemodelan berbasis-agen. Pendekatan model berbasis-agen digunakan disini karena kemampuannya mengidentifikasi pola nilai tambah dan perilaku para pelaku untuk mengupayakan nilai tambah yang maksimal. Setelah kesemua aspek tersebut diketahui dan model-model yang diinginkan selesai dibuat maka dapat diambil simpulannya. Dengan pemodelan berbasis-agen ini dapat dilakukan simulasi yang mendukung dan terkait erat dengan hasil dari modifikasi perhitungan nilai tambah metode Hayami dan identifikasi serta evaluasi risiko tiap pelaku RPMS. Gambar 2.15 Diagram kebutuhan sub-sistem Berdasarkan uraian tersebut maka kebutuhan pemodelan sistem dapat digambarkan pada Gambar Untuk model Hayami modifikasi diperlukan masukan-masukan: (1) kapasitas proses pabrik minyak sawit, (2) asumsi-asumsi produktivitas semua pelaku yang lain, (3) standar

72 45 kapasitas dan randemen pengolahan bahan, (4) data harga dan biaya semua produk dan proses produksi/operasional. Luaran model ini adalah total nilai tambah dan bobot nilai tambah antar pelaku RPMS. Luaran ini merupakan masukan data awal bagi model simulasi berbasis-agen. Model kedua yaitu Identifikasi dan Evaluasi risiko RPMS memerlukan masukan pendapat dan evaluasi para pakar dan pelaku usaha RPMS, yang diproses menggunakan metode fuzzy AHP dan memberikan luaran berupa faktor-faktor dan bobot risiko serta strategi peningkatan nilai tambah RPMS. Luaran ini merupakan masukan sebagai constraint untuk model ketiga yaitu model simulasi berbasis-agen yang menggunakan software Netlogo. Model ketiga menggunakan masukan dari dua model pertama dan menghasilkan luaran berupa nilai tambah yang seimbang optimum untuk para pelaku RPMS. Untuk membentuk model Netlogo diperlukan masukan berupa uraian definisi aturan interaksi (interaction rules) diantara para pelaku RPMS. Aturan interaksi ini diterjemahkan menjadi prosedur kerja pada model Netlogo. 2.6 Logika dan Analisa Fuzzy Dasar-dasar Logika Fuzzy Dalam pemodelan mengenai fenomena dunia nyata, seringkali harus memperhatikan suatu faktor ketidakpastian yang bersifat inheren. Dalam banyak kasus, ketidakpastian tersebut bukan dalam konteks keacakan, akan tetapi lebih bersifat vagueness atau fuzziness yang tidak dapat ditangani dalam kerangka kerja matematik teori peluang (Lin, 2001). Berkenaan dengan hal tersebut, pada tahun 1965, Prof. L.A. Zadeh mengembangkan teori fuzzy untuk menangani masalah fuzziness ini (Marimin, 2007). Gambar 2.16 Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy (Marimin, 2007)

73 46 Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sistem intelejen yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy yang pada dasarnya merupakan bagian dari logika Boolean yang digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran, yaitu nilai kebenaran antara benar dan salah. Dalam implementasinya, logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal (Marimin, 2007). Dalam logika fuzzy terdapat beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then-else, dan proses inferensi fuzzy. Alur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode fuzzy disajikan pada Gambar Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy, yaitu: 1) Variabel fuzzy merupakan variabel yang hendak dibahas dalam suatu sistem fuzzy. Sebagai contohnya adalah permintaan, jumlah produksi, dan sebagainya. 2) Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy. Sebagai contohnya adalah: permintaan turun, jumlah produksi normal dan sebagainya. 3) Semesta pembicaraan adalah keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy. Semesta pembicaraan merupakan himpunan bilangan real yang senantiasa naik (bertambah) secara monoton dari kiri ke kanan. Contohnya semesta pembicaraan untuk variabel permintaan [0-4000]. 4) Domain himpunan fuzzy adalah keseluruhan nilai yang diijinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy. Domain merupakan himpunan bilangan real. 5) Dalam logika fuzzy dikenal adanya istilah fungsi keanggotaan. Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik input data ke dalam nilai-nilai keanggotaan (sering juga disebut tingkat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai keanggotaan adalah melalui sebuah pendekatan fungsi. Suatu contoh dari fungsi keanggotaan yang sering digunakan adalah fungsi keanggotaan fuzzy segitiga yang diperlihatkan pada Gambar 2.17.

74 47 Dalam keanggotaan fuzzy segitiga, nilai fungsi keanggotaan adalah nol seperti µ(a) dan µ(c). Nilai fungsi keanggotaan adalah satu yaitu seperti µ(b) ketika rating sepenuhnya milik istilah linguistik. Dengan demikian, fungsi keanggotaan fuzzy segitiga dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Gambar 2.17 Fungsi keanggotaan fuzzy berbentuk segitiga (Gao dan Zhang, 2009) Aturan-aturan Fuzzy Disamping fungsi keanggotaan, ada komponen kedua dari logika fuzzy yaitu aturanaturan fuzzy (fuzzy rules) yaitu suatu aturan yang memungkinkan menterjemahkan aturan-aturan fuzzy dari kecerdasan manusia menjadi program yang dapat diimplementasikan pada komputer. Terdapat beberapa cara untuk menurunkan aturan fuzzy (Ngai & Wat 2005) antara lain berdasarkan: 1. Pengetahuan pakar atau diturunkan dari ilmu rekayasa yang bersesuaian 2. Sifat/kemampuan operatif yang direkam dan kemudian dilakukan analisa untuk menentukan aturan-aturan tersebut. 3. Penurunan berdasarkan model fuzzy dari sistem atau proses. Teori gugus fuzzy pertama kali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguity dalam bahasa. Teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguity secara matematis yang mencakup konsep peluang. Menurut Marimin (2007), sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy

75 48 yang sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Selain diterapkan pada sistem pakar, sistem fuzzy juga diterapkan pada pengambilan keputusan kelompok pada beberapa bidang (Marimin 2007). Dalam analisa risiko, ekspresi tingkat kemungkinan terjadinya risiko dan dampak yang ditimbulkan penilaiannya dinyatakan dalam sistem fuzzy (Schmucker, 1986). Analisis risiko fuzzy tidak hanya memberikan estimasi fuzzy terhadap kemungkinan terjadinya risiko dari sebuah komponen, namun juga memberikan suatu estimasi fuzzy pentingnya masingmasing komponen terdapat totalitas sistem (Schmucker, 1986) Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1994), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah goal atau tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan tersebut akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Prinsip Kerja AHP Terdapat tiga prinsip dalam menyelesaikan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu penyusunan hirarki, penilaian tingkat hirarki, penetapan prioritas, dan konsistensi logis. a) Penyusunan Hirarki Penyusunan hirarki dilakukan dengan cara mengidentifikasi pengetahuan atau informasi yang sedang diamati, yang dimulai dari permasalahan yang kompleks yang diuraikan menjadi elemen pokoknya, dan elemen pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarkis. Jumlah bagian ini berkisar antara lima sampai sembilan. Dalam kajian evaluasi pemasok di sebuah retailer, susunan hirarkisnya terdiri dari goal, kriteria dan alternatif. b) Penilaian Setiap Tingkat Hirarki Penilaian setiap tingkat hirarki dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1994), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Skala 1-9 ditetapkan sebagai pertimbangan dalam

76 49 membandingkan pasangan elemen di setiap tingkat hirarki terhadap suatu elemen yang berada di tingkat atasnya. Skala dengan sembilan satuan dapat menggambarkan derajat sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata hubungan antar elemen. AHP dapat diterapkan pada bidang kegiatan yang sangat beragam termasuk perencanaan, pemilihan alternatif, alokasi sumberdaya, penyelesaian konflik, optimasi (Vaidya dan Kumar, 2006). AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan komplek dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Tabel nilai kualitatif dari skala perbandingan Saaty (Saaty, 1994) Nilai Keterangan 1 Faktor Vertikal sama penting dengan Faktor horizontal 3 Faktor Vertikal lebih penting dari Faktor Horisontal 5 Faktor Vertikal jelas lebih penting Faktor Horisontal 7 Faktor Vertikal sangat jelas lebih penting dari Faktor Horisontal 9 Faktor Vertikal mutlak lebih penting dari Faktor Horisontal 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen yang berdekatan 1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2-9 Selain itu AHP juga menguji konsistensi penilaian. Bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi yang sempurna, hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hirarki harus distruktur ulang. c) Penentuan Prioritas Untuk setiap tingkat hirarki, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk menentukan prioritas. Sepasang elemen dibandingkan berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas preferensi antar elemen. Hubungan antar elemen dari setiap tingkatan hirarki ditetapkan dengan membandingkan elemen itu dalam pasangan. Hubungannya menggambarkan pengaruh relatif elemen pada tingkat hirarki terhadap setiap elemen pada tingkat yang lebih tinggi.

77 Fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) Penilaian narasumber terhadap suatu jenis risiko, kriteria ataupun alternatif tidak dapat terlepas dari sisi subyektifnya, dan hal ini mengandung ketidak-tegasan. Narasumber lebih merasa yakin memberikan penilaian dalam suatu interval dibandingkan dengan penilaian yang tegas (crisp) (Erginel dan Şentürk, 2011). Sering terjadi juga bahwa responden sulit memutuskan pilihan secara tegas dari beberapa alternatif yang dihadapinya (Chan dan Kumar, 2007). Oleh karena itu diperlukan suatu perluasan dari AHP menjadi Fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) yang menggunakan cara pengambilan keputusan menggunakan pendekatan logika kumpulan fuzzy. Menurut Marimin (2007), fuzzyfikasi pada metode fuzzy AHP adalah proses pengubahan nilai selang rating (berupa batas nilai) yang diberikan oleh penilai menjadi selang dalam bentuk bilangan fuzzy dengan maksud untuk menghilangkan ketidakkonsistenan nilai yang disebabkan oleh selang rating dan bias setiap penilai. Sebaliknya, defuzzyfikasi merupakan proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp). Secara singkat pengembangan AHP menjadi FAHP menambahkan urut-urutan kegiatannya seperti berikut. 1) Pembuatan struktur hierarki. Langkah ini sama dengan untuk AHP konvensional. 2) Penilaian alternatif dan kriteria. Penilaian dilakukan oleh pengambil keputusan dalam bentuk variabel linguistik seperti: sangat baik, sedikit baik sedang, sedikit buruk dan lainlain. Penentuan nilai fuzzy untuk setiap alternatif dalam bentuk Triangular Fuzzy Number (TFN) akan diperoleh tiga fungsi keanggotaan (under optimistic, most likely dan pessimistic condition). TFN dikembangkan dengan menentukan nilai dari fungsi keanggotaan pessimistic sebagai a, nilai dari fungsi keanggotaan most likely sebagai b, dan nilai dari fungsi keanggotaan optimistik sebagai c. Hal ini dapat dilihat pada Gambar Gambar 2.18 Fungsi keanggotaan fuzzy TFN (Gao dan Zhang, 2009)

78 51 3) Fuzzyfikasi terhadap hasil penilaian. Menurut Marimin (2007), fuzzyfikasi pada metode fuzzy AHP adalah proses pengubahan nilai selang rating (berupa batas nilai) yang diberikan oleh penilai menjadi selang dalam bentuk bilangan fuzzy dengan maksud untuk menghilangkan ketidakkonsistenan nilai yang disebabkan oleh selang rating dan bias setiap penilai. 4) Defuzzifikasi. Defuzzifikasi dilakukan untuk menentukan satu nilai crisp dari skor fuzzy. Disini dapat dipergunakan metode centroid, yaitu nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Pada prinsipnya nilai crisp didapat dengan rumus rata-rata geometrik berikut: N crisp = 5) Membuat matriks kriteria dan alternatif. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tunggal untuk kriteria dan alternatif dari masing-masing kriteria, kemudian dibuat matriksnya. Matriks ini nanti digunakan untuk menghitung bobot dengan cara manipulasi matriks. 6) Menghitung bobot kriteria, nilai eigen tiap alternatif, dan consistency ratio(cr). Bobot kriteria dan nilai eigen dihitung dengan manipulasi matriks. Consistency ratio dihitung dengan rumus: CR = CI / RI CI = (P N) / (N 1) Dimana : CR = Consistency Ratio CI = Concistency Index RI = Index Random dari Oardkridge. P = nilai rata-rata konsistensi vektor N = jumlah elemen kriteria atau alternatif 7) Hitung skor akhir dari tingkat dan bobot risiko. Nilai eigen dari setiap alternatif juga dihitung dengan cara manipulasi matriks. Skor akhir didapat dari hasil perkalian matriks nilai eigen alternatif dengan bobot tiap kriteria. Setelah itu hasil perkalian diurutkan menurut nilai tertinggi sampai terendah untuk mendapatkan hasil akhir. Pada FAHP digunakan bilangan fuzzy triangular 1 ~ 9 ~ sebagai pengembangan skala 9 pada AHP konvensional. Untuk mempertimbangkan penilaian kualitatif para pakar yang kurang

79 52 tegas, 5 bilangan fuzzy triangular ditetapkan dengan fungsi keanggotan yang terkait seperti yang ditunjukkan pada Gambar Himpunan fuzzy didefinisikan sebagai F = {(x,µ(x)), x U}, dengan x merupakan bilangan riil, U adalah himpunan semesta, dan µ(x) adalah fungsi keanggotaan dengan nilai [0,1]. Definisi dan contoh fungsi keanggotaan bilangan fuzzy ditunjukkan pada Gambar 2.19 dan Tabel 2.3. µ M(x) 1.0 Sama Penting ~ 1 Sedikit Lebih Penting ~ 3 Lebih Penting ~ 5 Sangat Lebih Penting ~ 7 Mutlak Lebih Penting ~ Gambar 2.19 Gambar fungsi keanggotaan bilangan fuzzy triangular (Suharjito, 2011) Tabel 2.3 Definisi dan Fungsi Keanggotaan Bilangan Fuzzy (Suharjito, 2011) Tingkat Bilangan Skala Skala Kepentingan Fuzzy Linguistik Fuzzy TFN 1 1 Sama penting (1, 1, 2) 3 3 sedikit lebih penting (2, 3, 4) 5 5 Lebih penting (4, 5, 6) 7 7 Sangat lebih penting (6, 7, 8) 9 9 Mutlak lebih penting (8, 9, 10) Stakeholder Dialogue Secara konseptual penyeimbangan nilai tambah dalam suatu rantai pasok dapat dilakukan dengan pendekatan manajemen pengambilan keputusan secara bersama antara para pelaku dengan konsep stakeholder dialogue yang saling menguntungkan. Pendekatan ini bertujuan untuk mempertahankan kontinuitas pasokan dan meningkatkan kualitas bahan baku dengan menyeimbangkan kepentingan yang berbeda pada setiap tingkatan rantai pasok. Petani menginginkan harga yang tinggi untuk kualitas produk seadanya tetapi pihak pengepul dan pabrik minyak sawit menginginkan harga yang serendah-rendahnya dengan kualitas bahan yang tinggi (Awal, 2012). Pada dasarnya stakeholder dialogue adalah suatu diskusi yang terstruktur

80 53 diantara wakil-wakil perusahaan atau kelompok perusahaan (Palazzo, 2010). Harus dilakukan kesepakatan perihal tujuan, aturan-aturan, dan harapan yang ingin dicapai dalam dialog. Stakeholder dialogue dapat dilaksanakan dengan model proses empat-fase pada Gambar 2.20 dan diuraikan sebagai berikut. Fasa 3 : Pelaksanaandialog Dialog Pengamatan hasil dialog Penumbuhantrust Fase 4 : Langkah selanjutnya Dokumentasi Penyebaranhasildialog Evaluasi bersama perihal hasil Bila perlu lakukan siklus baru Fase2 : Persiapan Klarifikasi tujuan dansumberdaya Pendefinisianbersamaperihaltujuan, desain, aturan dialog, peran dan harapanharapan 1 Fase 1 : Eksplorasidan Konsultasi Identifikasi masalah-masalah Definisikansasaran-sasaran Definisikantingkatpartisipasi Pemilihan mitra Gambar 2.20 Model stakeholder dialogue 4 fasa (Palazzo, 2010) Fase1: Eksplorasi dan konsultasi Ini adalah fasa identifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu komunitas, kelompok atau rantai pasok. Kemudian sasaran-sasaran bersama didefinisikan dan disepakati. Tingkat partisipasi tiap anggota kemudian dibicarakan dan disepakati dan akhirnya dipilih mitra atau wasit untuk memfasilitasi pembicaraan dan kesepakatan. Fase 2: Persiapan Setelah para mitra menyepakati masalah, tujuan, sasaran untuk dibicarakan dan disepakati maka diklarifikasikan tujuan dan sumberdaya yang diperlukan untuk pelaksanaan dialognya. Kemudian juga ditentukan aturan dialog dan harapan terhadap semua peserta perihal apa yang ingin dicapai dengan dialog tersebut. Fase3: Pelaksanaan dialog Ini adalah fasa pelaksanaan dialog sesuai dan mengikuti ketentuan dan kesepakatan yang dicspai pada fase 2.

81 54 Fase4: Langkah selanjutnya Pada fase 4 ini: Tindak lanjut, apabila hasil dialog pada langkah ini belum memuaskan para pelaku maka dapat dilakukan langkah siklus ulang. Demikan berulang-ulang dilakukan fasa 1 sampai 4 sampai semua pelaku merasa puas. Pada saat mana proses dapat berhenti tergantung kepada kesepakatan yang ditetapkan pada awal kegiatan ini. Cuppen et al., (2010) menerapkan metodologi Stakeholder dialogue untuk mengidentifikasi perspektif para stakeholder terhadap pilihan energy dari biomass di negeri Belanda. Stakeholder dialogue ditujukan untuk menemukan struktur pemasalahan bersama dengan memperhatikan tingkat pengetahuan dan sudut pandang yang beragam. Suharjito (2011) mengkaji mekanisme penentuan harga komoditas pertanian menggunakan pendekatan stakeholder dialogue ini untuk mencapai resolusi konflik kepentingan berdasarkan menyeimbangkan risiko rantai pasok komoditas jagung menggunakan optimasi fungsi utilitas risiko fuzzy. Pada penelitian ini digunakan utilitas nilai tambah yang merupakan fungsi dari risiko dan investasi. Masukan dari sub model FAHP memberikan bobot risiko pada setiap tingkatan rantai pasok produk/komoditas produk sawit. Masukan dari metode Hayami memberikan tingkat nilai investasi. Output dari model adalah harga produk sawit di tingkat petani, pengepul atau tingkat pabrik minyak sawit yang memberikan utilitas nilai tambah optimum. Penerapan stakeholder dialogue dituangkan kedalam pemodelan berbasis-agen menggunakan software Netlogo.

82 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Rantai pasok minyak sawit (RPMS) merupakan suatu proses yang kompleks, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.1. Rantai nilai yang menyertai rantai pasok minyak sawit adalah juga kompleks dengan adanya pasar lokal dan pasar dunia dengan banyak pelaku dan peraturan. Hal tersebut membatasi tingkat keuntungan yang dapat dicapai oleh tiap pelaku. Selain itu risiko yang dihadapi tiap pelaku juga bertambah dengan semakin panjangnya jalur usaha yang harus ditempuh sebelum sampai ke pengguna akhir produk-produk sawit. Pasar Makanan Oleokimia Pasar Kosmetik Biodiesel Minyak Goreng Industri manufaktur Pengolahan Pengolah Regional Multinational Manufacturers Pengolah Asing Multinational Processors and Manufacturers Perdagangan Impor Pedagang Asing Ekspor Pabrik Kelapa Sawit Pengekspor Lokal Agen Perusahaan Asing PKS PBS PTPN Perdagangan Kamba Pedagang Pengumpul Petani Pengumpul Produsen Tandan Buah Sawit Segar (TBS) Petani Mandiri atau Petani Plasma PTPN atau Perkebunan Swasta Besar Keterangan Produk Minyak Sawit Produk Turunan Minyak Sawit Gambar 3.1 Rantai nilai global komoditas kelapa sawit Indonesia (Gumbira-Sa id, 2009) Komoditas kelapa sawit tidak terbantahkan merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia. Ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 jumlah ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya mencapai 10,5 juta ton. Tahun 2006 jumlah ekspor minyak sawit dan produk turunannya 55

83 56 meningkat menjadi 12,1 juta ton dengan nilai sekitar USD 5,4 miliar (Gumbira-Sa id, 2009). Kelapa sawit juga menjadi sumber penerimaan pajak yang besar. Pajak bumi dan bangunan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp miliar dengan asumsi luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar hektar dan dengan tarif pajak Rp per hektar per tahun (Gumbira- Sa id, 2009). Sejak bulan Oktober 2007, Indonesia telah berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, bahkan pada bulan Mei 2009, Indonesia telah mampu memproduksi 19 juta ton minyak sawit dari luasan areal 7,52 juta ha. Pada tahun 2007, ekspor minyak sawit dan berbagai produk turunannya mencapai 11,9 juta ton, setara dengan penerimaan USD 7,9 milyar, dan memberikan pekerjaan kepada lebih dari 3,3 juta pekerja, baik di lahan maupun di pabrik dan berbagai sektor jasa yang terkait. Gambar 3.2 Kerangka pemikiran penelitian Dari kesemua hal tersebut penulis menetapkan 3 aspek yang ingin ditempuh pada penelitian ini. Penelitian untuk disertasi ini dirancang dan dilakukan mengikuti kerangka pemikiran yang diuraikan pada Gambar 3.2. Aspek pertama adalah mempelajari bagaimana konsep nilai tambah diterapkan pada rantai pasok minyak sawit. Aspek kedua adalah risikorisiko apa yang dihadapi para pelaku usaha dan bagaimana risiko tersebut dapat dikendalikan agar terjadi keseimbangan antara risiko dan nilai tambah. Aspek ketiga adalah bagaimana model RPMS ini sebaiknya disusun untuk dapat mewakili perilaku dan interaksi para pelaku sesuai karakteristiknya. Pendekatan model berbasis-agen digunakan disini karena kemampuannya mengidentifikasi pola perilaku para pelaku untuk mengupayakan nilai tambah yang maksimal.

84 57 Setelah kesemua aspek tersebut diketahui dan model-model yang diinginkan selesai dibuat maka dapat diambil simpulannya. Dengan pemodelan berbasis-agen ini dapat dilakukan simulasi yang mendukung hasil modifikasi metode Hayami dan identifikasi serta evaluasi risiko tiap pelaku RPMS. Gambar 3.3 Diagram alir global penelitian Keseluruhan tahapan langkah penelitian yang dilakukan untuk disertasi ini diuraikan pada Gambar 3.3. Pada tahap pertama, persiapan penelitian diawali dengan pengenalan latar belakang

85 58 dan perumusan permasalahan yang akan diteliti, diikuti dengan penetapan fokus dan tujuan penelitian. Untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai latar belakang permasalahan dilakukan telaah kepustakaan mendalam tentang setiap aspek yang terkait dengan perumusan tujuan penelitian. Oleh karena keterbatasan waktu studi yang diizinkan maka ditentukanlah pembatasan permasalahan yang akan diteliti. Pada tahap kedua dilakukan analisa kondisi objektif tentang rantai pasok industri kelapa sawit. Struktur rantai pasok dirumuskan berdasarkan hasil wawancara awal dengan pakar dan pelaku industri kelapa sawit. Kemudian disusun draft kuisioner awal untuk pengumpulan data yang diperlukan. Pada tahap ketiga penelitian dibagi menjadi tiga fokus yaitu kepada modifikasi metode perhitungan nilai tambah Hayami, analisa risiko dan bobot risiko serta strategi peningkatan nilai tambah, dan pengembangan model rantai pasok berbasis-agen. Pada tahap terakhir dilakukan simpulan dari ketiga fokus penelitian, implikasi manajerial serta saran untuk penelitian selanjutnya. 3.2 Teknik-Teknik yang Digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Fuzzy AHP merupakan suatu metode AHP dengan menggunakan pendekatan konsep fuzzy pada beberapa bagian yang dinilai seperti dalam hal penilaian sekumpulan alternatif dan kriteria. Fuzzy AHP merupakan integrasi AHP dengan metode logika fuzzy. Fuzzy AHP digunakan untuk menangani kekaburan (vagueness), ambiguitas atau ketidak-pastian atribut kepentingan yang diberikan oleh penilai (pakar). Pada AHP konvensional yang dikembangkan oleh Saaty, perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan skala numerik (1-9) yang bersifat crisp. Fuzzy AHP dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengetahui sumber risiko yang akan dihadapi pada setiap tahapan rantai pasok produk pertanian Fuzzy Inference System Sistem fuzzy merupakan sarana penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sistem intelejen dalam situasi yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy yang pada dasarnya merupakan bagian dari logika Boolean yang digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran, yaitu nilai kebenaran antara benar dan salah. Dalam implementasinya, logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal (Marimin, 2007). Dalam penelitian ini

86 59 Sistem inferensi fuzzy akan digunakan untuk menduga tingkat risiko dan dampaknya suatu rencana tindakan managemen rantai pasok produk pertanian sehingga dapat memberikan arahan untuk menghindari atau menghilangkan terjadinya risiko tersebut Stakeholder Dialogue Stakeholder dialogue digunakan untuk pemodelan proses penyeimbangan nilai tambah rantai pasok dengan tujuan mencari kesepakatan harga produk kelapa sawit (TBS) di tingkat petani atau minyak sawit pada tingkat pabrik (minyak sawit dan minyak goreng), dengan pendekatan fungsi utilitas nilai tambah untuk setiap tingkatan rantai pasok. Pada penelitian ini digunakan tingkat bobot risiko dan investasi sebagai acuan untuk peringkat nilai tambah untuk tiap pelaku. Teknik stakeholder dialogue akan diterapkan pada pemodelan berbasis-agen dengan software Netlogo Pemodelan dengan Sistem Multi Agen (SMA) SMA merupakan suatu metode pemodelan untuk mempelajari suatu sistem yang terdiri dari agen-agen yang saling berinteraksi dan masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda. Interaksi antara dua agen akan mengikuti aturan-aturan (if-then-else rules) langkah kegiatan dan keputusan yang disepakati. Setiap agen bersifat mandiri dan memiliki kemampuan membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi lingkungan yang dihadapinya. Metode SMA dimulai dengan menentukan entitas atau agen yang membangun suatu sistem. Observasi dilakukan terhadap sistem nyata untuk menentukan sifat dari masing-masing agen (atribut agen) dan interaksi yang mungkin terjadi antra agen-agen (agent methods). Kemudian dengan menggunakan simulasi komputer, dibuat sejarah data yang dapat mengungkapkan konsekuensi dinamis dari setiap asumsi yang digunakan pada awal simulasi tadi. Agen yang digunakan tadi dapat mewakili manusia seperti konsumen, penjual, dan pembeli. Agen tersebut juga mewakili keluarga, perusahaan, komunitas, bahkan lembaga pemerintahan dan negara Unified Modeling Language (UML) Unified Modelling Language (UML) adalah sistem notasi yang sudah dibakukan di dunia pengembangan sistem, hasil kerjasama dari Grady Booch, James Rumbaugh dan Ivar Jacobson (Wahono, 2003). UML yang terdiri dari serangkaian diagram memungkinkan bagi sistem analis untuk membuat cetak biru sistem yang komperhensif kepada klien, programmer dan tiap orang yang terlibat dalam proses pengembangan. Dengan menggunakan UML kita dapat membuat

87 60 model untuk semua jenis aplikasi piranti lunak, dan aplikasi tersebut dapat berjalan pada piranti keras, sistem operasi dan jaringan apapun, serta ditulis dalam beragam bahasa pemrograman. Untuk disertasi ini UML hanya akan dipakai sebagai langkah awal desain model menggunakan Netlogo sehingga hanya akan digunakan tiga bentuk diagramnya yaitu Use Case, Class Diagram dan Sequence Diagram. Use case diagram digunakan untuk menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sistem model yang akan dibuat. Disini digambarkan aktor-aktor yang berinteraksi dengan sistem. untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Use case diagram dibuat untuk membantu langkah analisa kebutuhan sistem. dan mengkomunikasikan rancangan dengan klien. Class diagram digunakan untukmenggambarkan struktur dan deskripsi class, package dan objek beserta hubungan satu sama lain. Pada penelitian ini class adalah para aktor atau agen pelaku rantai pasok yaitu petani, pedagang, dan seterusnya. Sequence diagram digunakan untuk menggambarkan interaksi antar objek di dalam dan di sekitar sistem, serta skenario atau rangkaian langkah-langkah yang dilakukan sebagai respons dari sebuah kegiatan untuk menghasilkan outputtertentu Verifikasi dan Validasi Model Suatu model hanya akan diterima dan dimanfaatkan oleh penggunanya setelah diuji melalui proses verifikasi dan validasi. Proses-proses ini akan membuktikan kebenaran model dan penerimaan pengguna terhadap model tersebut. Segenap langkah kerja dalam menghasilkan model mulai dari pembangunan logika dan penulisan program komputer akan diperiksa konsistensinya terhadap konsep dan teori yang digunakan. Verifikasi dan validasi model adalah bagian esensial dari proses pengembangan model agar model diterima dan digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan. Verifikasi adalah proses untuk menjamin bahwa model sudah bekerja dengan benar, sedangkan validasi adalah proses menjamin bahwa model memenuhi kebutuhan yang diharapkan dari segi metode yang digunakan dan hasil yang diperoleh. Verifikasi dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran kerja model, selanjutnya divalidasi untuk mengetahui kesesuaian model terhadap tujuan penggunaannya. Verifikasi dilakukan dengan cara memberikan data input dengan skenario tertentu kepada setiap modul program, kemudian memeriksa output-nya dengan membandingkannya dengan hasil perhitungan manual. Jika hasilnya sudah sama dengan perhitungan secara manual maka model sudah dikatakan bekerja dengan benar.

88 61 Pada tahap validasi, model diuji apakah sudah dapat digunakan dalam situasi operasional yang nyata. Validasi adalah proses penentuan apakah model yang dibangun merupakan perwakilan yang akurat dari sistem nyata yang diwakilinya. Model dikatakan valid jika tidak memiliki karakteristik dan perilaku yang berbeda secara signifikan dari sistem nyata yang diamati. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Delphi (face validation) yaitu dengan meminta pendapat para pakar untuk memberikan penilaian terhadap model yang dibuat dengan mengisi kuisioner dan melakukan diskusi untuk memperbaiki dan menentukan tingkat efektifitas dari sistem dengan mencoba sistem penunjang keputusan dengan input skenario tertentu. 3.3 Model Modifikasi Metode Hayami Model pertama yang dikembangkan adalah model perhitungan nilai tambah Hayami yang dimodifikasi. Untuk proses perhitungan ini penulis menetapkan asumsi-asumsi sebagai berikut. 1. Kapasitas pabrik minyak sawit dapat mengolah masukan 30 ton TBS/jam. Pabrik minyak sawit menghasilkan minyak sawit dengan randemen 24% dan PKO dengan randemen 6%. 2. Semua kebutuhan TBS dianggap dipasok oleh kelompok petani sawit swadaya dengan pemilikan 2 hektar per petani. Setiap hektar kebun sawit dapat menghasilkan 28 ton TBS/hektar/tahun. Tingkat produktivitas ini adalah tingkat maksimal untuk kebun kelas sedang yang berumur 9 13 tahun. 3. Pedagang pengepul menerima pendapatan sekitar Rp 100 untuk setiap kg TBS yang dijual ke pabrik minyak sawit. Pedagang ini dianggap mewakili agen yang berhubungan dengan petani dan pemasok yang berhubungan dengan pabrik minyak sawit. 4. Pabrik minyak goreng menghasilkan minyak goreng kemasan, minyak stearin, dan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dengan randemen masing-masing 76%, 19% dan 4,6%. 5. Distributor/pengecer minyak goreng menerima pendapatan sekitar Rp 250 untuk setiap kg minyak goreng yang disalurkan dari pabrik Proses Modifikasi Proses modifikasi terhadap model perhitungan nilai tambah metode Hayami diperlihatkan pada Gambar 3.4.

89 62 Gambar 3.4 Diagram alir proses modifikasi formula Hayami 1. Untuk menjaga konsistensi volume produk sepanjang rantai pasok maka skala kegiatan usaha mengacu pada patokan kapasitas pabrik minyak sawit mengolah masukan 30 ton TBS/jam. Keseimbangan material pada semua proses disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan bahan untuk memproses sebesar 30 ton TBS/jam atau hasil minyak goreng yang diperoleh dari jumlah minyak sawit yang dihasilkan. Kemudian dihitung besarnya volume-volume bahan dan produksi serta biaya-biaya bahan, tenaga kerja manusia, enerji, modal dan transportasi untuk satu tahun. 2. Untuk 30 ton TBS/jam dibutuhkan TBS setahun sebanyak ton. Jumlah ini dipasok dari kebun sendiri dan oleh para pengepul, yang mengumpulkan TBS dari para petani. Masing-masing 50% yaitu sebesar ton.

90 63 3. Harga beli bibit pohon sawit oleh petani dihitung menggunakan pendekatan Life Cycle Assesment (LCA) oleh karena pohon sawit baru menghasilkan TBS sejak umur 3 tahun dan berhenti berproduksi ekonomis pada umur 25 tahun. 4. Kebutuhan bibit pohon sawit dihitung untuk memenuhi keperluan TBS setahun bagi pabrik minyak sawit. 5. Pabrik minyak goreng mengambil nilai volume minyak sawit ( kg) tersebut dan mengolahnya menjadi ton minyak goreng, 6. Dihitung kebutuhan biaya-biaya investasi dan operasional untuk semua stakeholder. 7. Dengan membuat formulasi perhitungan menggunakan tabel worksheet Microsoft Excel akan didapat nilai-nilai tambah para stakeholder, nilai tambah total rantai pasok, dan dapat dihitung perbandingan antara nilai-nilai tambah tersebut. 8. Tabel 3.1 merupakan bentuk template perhitungan Hayami yang dimodifikasikan. Tabel 3.1 Template perhitungan nilai tambah Metode Hayami yang dimodifikasikan No Variabel Satuan Nilai Interaksi Rantai Pasok Sawit 1 Harga beli Bahan Rp/kg (1) 2 Harga jual Produk Rp/kg (2) 3 Total Nilai Tambah per kg output Rp/kg (3) = (2 terakhir) -(1) I. Output, Input, dan Harga 4 a. Output (volume penjualan) kg (4a) b. Output (nilai penjualan) Rp (4b) 5 Bahan Baku Pokok Rp (5) 6 Tenaga Kerja Langsung HOK (6) 7 Faktor Konversi (7) = (4b)/(5) 8 Koefisien T. Kerja Langsung Rp/HOK (8) = (4b)/(6) 9 Upah Tenaga Kerja Langsung Rp (9) II. Penerimaan dan Nilai Tambah 10 a. Biaya Input lain (Produksi) Rp (10a) b. Biaya Input lain (Operasional) Rp (10b) 11 a. Nilai Tambah Rp (11a) = (4b)-(5+10a+10b) b. Rasio Nilai Tambah % (11b) = (11a)/(4b) III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 12 Marjin Rp (12) = (4b)- 5 a. Sumbangan biaya input lain % (12a) = (10a+10b)/(12)* 100% b. Keuntungan perusahaan % (12b) = (11a)/(12)* 100% IV. Porsi nilai tambah per kg produk 13 a. Dalam nilai uang Rp (13a) = (11a)/( Σ 11a) *(3) b. Dalam persentasi % (13b) = (13a)/(3)* 100% c. Nilai tambah per petani Rp/bln

91 Model Identifikasi dan Perhitungan Bobot Model kedua adalah model identifikasi dan perhitungan bobot risiko tiap pelaku pada rantai pasok minyak sawit, dan identifikasi strategi peningkatan nilai tambah tiap pelaku. Model ini juga menghitung tingkat nilai tambah tiap pelaku yang ditentukan oleh bobot risiko masingmasing. Langkah pengembangan model ini diperlihatkan pada Gambar Penentuan responden untuk kuisioner. Dari hasil wawancara dengan narasumber pada langkah pertama, secara purposive sampling dipilih calon responden yang cukup banyak dan mewakili ke-enam usaha dari hulu sampai hilir. Kuisioner dikirimkan kepada para responden utuk diisi. 2. Penyusunan tiga kelompok pakar. Data masukan dari para responden disusun menjadi tiga kelompok pakar sebagai masukan untuk proses fuzzy AHP. 3. Proses fuzzifikasi terhadap masukan para pakar. Penentuan nilai fuzzy untuk setiap alternatif dilakukan dalam bentuk Triangular Fuzzy Number (TFN) untuk memperoleh tiga fungsi keanggotaan yaitu Batas bawah (BB), Batas tengah (BT) dan Batas atas (BA) dari tiap data masukan. TFN merupakan metode yang paling mudah dan paling banyak dipakai oleh para peneliti yang menggunakan fuzzifikasi (Wang et al., 2011). Gambar 3.5 Diagram alur identifikasi dan evaluasi risiko

92 65 4. Agregasi masukan pakar. Agregasi secara fuzzy dilakukan dengan pembobotan ratarata untuk batas bawah, batas tengah dan batas atas dari semua masukan. 5. Defuzzifikasi. Defuzzifikasi dilakukan untuk menentukan satu nilai crisp dari skor fuzzy. Disini dipergunakan metode centroid, yaitu nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Hitung skor akhir dari tingkat dan bobot risiko. 6. Skor akhir didapat dari hasil perkalian matrix nilai eigen alternatif dengan bobot tiap kriteria. Setelah itu diurutkan menurut nilai tertinggi sampai terendah. 3.5 Formulasi Nilai Tambah Berdasarkan Tingkat dan investasi Sebagai hasil studi pustaka dan wawancara dengan pakar dalam bidang rantai pasok minyak sawit diketahui bahwa harga bahan dan produk dalam agroindustri kelapa sawit selalu berubah dan perubahan tersebut tidak bersifat linier. Diasumsikan bahwa bentuk fungsi perubahan tersebut adalah eksponensial. Harga bahan dan produk merupakan komponen pokok dalam perhitungan nilai tambah (NT). Justifikasi non-linieritas eksponensial Dari masukan para pakar, narasumber, serta literatur diketahui bahwa dalam industri kelapa sawit pada saat ini harga CPO dunia adalah dominan dalam penentuan harga CPO setempat, harga TBS maupun harga minyak goreng. Menggunakan data harga jual CPO bulanan dari tahun (dari PT Amal Tani) dengan menggunakan software penguji satistik Easy- Fit didapatkan bahwa sebaran data adalah cukup (= 36 data). Kemudian dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Chi-Square didapat nilai goodness of fit ranking 1 untuk fungsi eksponensial 2P. Ini berarti bahwa harga jual CPO ini dapat dianggap bersifat non-linier eksponensial. Oleh karena itu maka harga TBS dan harga minyak-goreng yang mengikuti harga CPO tersebut dapat diasumsikan sebagai non-linier eksponensial juga. yang dihadapi oleh tiap pelaku rantai pasok selalu ada, tidak pernah nol, sehingga dampak dari risiko pada perhitungan nilai tambah dapat dianggap berbentuk fungsi eksponensial, Dari wawancara dengan para pakar dan hasil pengolahan data dari para responden diketahui bahwa besarnya nilai tambah (NT) ini dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu

93 66 besarnya risiko dan investasi yang dihadapi oleh tiap pelaku. Dalam hal ini diasumsikan bahwa secara nalar bila risiko yang dihadapi semakin besar maka nilai tambah yang didapat juga harus semakin besar. Demikian juga untuk investasi, bila nilai investasi semakin besar maka nilai tambah yang didapat juga harus semakin besar. Untuk menyatakan dua asumsi ini pada formula nilai tambah didefinisikan bentuk utilitas nilai tambah sebagai fungsi berikut: Besarnya NT = f (investasi, risiko) = α e (w 1i x 1i + w 2i x 2i ) α.. (1) dimana ΝΤ = Νilai Tambah α = koefisien variabel w 1i = bobot untuk risiko pelaku ke-i x 1i = skor untuk risiko untuk pelaku ke-i w 2i = bobot untuk investasi pelaku ke-i x 2i = skor untuk investasi untuk pelaku ke-i i = 1, 2, 3, 4, 5, 6 yaitu para pelaku RPMS dengan kendala: 0 < x 1i, x 2i < 1 0 < w 1i, w 2i < 1 w 1i + w 2i = 1 w1 dan w2 ditentukan dengan simulasi. Nilai α adalah konstanta yang ditentukan berdasarkan perilaku kurva fungsi NT untuk masing-masing pelaku. Besarnya x 1 juga didapat dari metode Hayami modifikasi, sedangkan x 2 didapat dari metode Fuzzy AHP. Secara lengkap, proses menyeimbangkan NT dan menghitung harga jual produk secara algoritmik menggunakan program Netlogo dapat diuraikan dengan urutan langkah-langkah berikut. 1) Nilai skor tingkat risiko antara para pelaku rantai pasok didapat sebagai keluaran dari metode fuzzy AHP. Langkah ini diuraikan pada sub-bab ) Nilai skor untuk besarnya investasi diambil dari metode perhitungan Hayami termodifikasi. Dari data investasi tiap pelaku dalam bentuk Rp dapat dihitung proporsi tiap pelaku dalam % terhadap nilai investasi total rantai pasok 3) Pendefinisian formula utilitas nilai tambah sebagai fungsi dari risiko dan investasi adalah NT = f (risiko, investasi) = α e (w 1i x 1i + w 2i x 2i ) α

94 67 4) Penentuan nilai α adalah berdasarkan dampaknya terhadap perilaku grafik NT untuk masing-masing pelaku. Untuk kondisi pada saat penelitian dilakukan, maka nilai α = 2 memberikan kurva eksponensial yang mudah dilihat. 5) Perhitungan nilai w1 dan w2 untuk masing-masing pelaku dan optimasi utilitas nilai tambah menggunakan simulasi dengan program Netlogo Utilitas. Jumlah nilai bobot w1 dan w2 adalah = 1 dan dihitung nilainya untuk tiap pelaku. 6) Nilai-nilai tersebut dalam bentuk rasio terhadap nilai totalnya dimasukkan kedalam model Netlogo Negosiasi untuk menghitung harga jual produk masing-masing pelaku. 3.6 Model Penyeimbangan Nilai Tambah dengan Sistem Multi-Agen Langkah-langkah pemodelan berbasis agen untuk simulasi penyeimbangan nilai tambah rantai pasok minyak sawit ditunjukkan dengan Gambar 3.6. Langkah pemodelan diawali dengan melakukan analisis kebutuhan sistem. Gambar 3.6 Diagram alir model penyeimbangan nilai tambah

95 68 Analisis ini dilakukan dengan studi literatur untuk mengenali para pelaku rantai pasok minyak sawit dan interaksi antar para pelaku. Analisis dilanjutkan dengan wawancara kepada para pakar dan narasumber untuk meminta masukan pendapat mereka perihal faktor-faktor risiko yang dihadapi para pelaku dan perimbangan beban risiko mereka. Kemudian diminta masukan mereka perihal strategi apa saja yang seharusnya diambil untuk dapat meningkatkan nilai tambah rantai pasok industri sawit ini. Sarana kerja untuk analisis kebutuhan sistem menggunakan UML. Langkah pemodelan dilanjutkan dengan desain dan formulasi model yang terdiri dari penyusunan formulasi perhitungan nilai tambah dan pembuatan model dengan software Netlogo. Bagian pertama untuk langkah ini diuraikan secara terperinci pada sub-bab 3.5.1, dan dilanjutkan pada sub-bab 5.3. Langkah verifikasi dan validasi diuraikan pada sub-bab Langkah integrasi model dilakukan dengan memasukkan hasil perhitungan nilai tambah dengan metode Hayami modifikasi (sub-bab 5.1) dan hasil evaluasi risiko menggunakan fuzzy AHP (diuraikan pada sub-bab 5.2). Hasil evaluasi risiko dijadikan constraint terhadap perhitungan nilai tambah. Hasil simulasi diuraikan pada sub-bab Penggunaan UML Untuk pelaksanaan simulasi model rantai pasok minyak sawit ini digunakan perangkat lunak open-source Netlogo yang berbasis Java. Pemrograman Netlogo tesebut untuk saaat ini dapat diunduh secara gratis karena masih merupakan kegiatan yang berkembang pesat sehingga para pemakainya merupakan komunitas pemakai yang saling berbagi pengalaman dalam menyusun desain dan programnya. Gambar 3.7 menunjukkan interaksi antara para pelaku rantai pasok minyak sawit (RPMS) dalam bentuk diagram use case. Pada gambar ini terlihat keterkaitan para pelaku RPMS dengan data, informasi dan proses-proses bisnis yang terjadi dalam RPMS. Petani sebagai pelaku pada sisi paling hulu merupakan awal kegiatan yang ditampilkan pada diagram use case tersebut dengan kegiatan budidaya sawit dan menjual TBS. Kegiatan menjual TBS disambut oleh pengepul yang membelinya, dan kemudian menjualnya lagi kepada pabrik kelapa sawit (PKS) yang menghasilkan CPO. Demikian proses berlanjut sampai kegiatan terakhir pada rantai pasok yaitu menjual minyak goreng. Gambar 3.8 menunjukkan sequence-diagram yang menguraikan interaksi urutan peristiwa proses bisnis yang terjadi dari mulai kegiatan petani, pengepul, pabrik minyak sawit, pabrik MGS dan distributor. Uraian ini merupakan acuan pada saat menyusun model simulasi

96 69 berbasis-agen pada Bab 5. Pada penerapannya model yang dirancang akan menggunakan software Netlogo. Model simulasi dengan software Netlogo ini menerapkan teknik stakeholder dialogue yang berupaya untuk mencari titik temu harga jual produk diantara dua pelaku RPMS yang bersebelahan. Gambar 3.7 Diagram use-case rantai pasok minyak sawit Class-diagram Gambar 3.9 memperlihatkan keterkaitan data yang terjadi diantara pada pelaku RPMS tersebut. Pada gambar ini tidak diuraikan secara terperinci keseluruhan unsur data dan proses operasional pengolahan data dan keputusan yang diambil tiap pelaku. Hal ini diuraikan pada Bab 5 pada pembahasan pemodelan simulasi berbasis-agen.

97 70 Gambar 3.8 Sequence Diagram RPMS

98 71 Gambar 3.9 Class Diagram RPMS Formulasi Proses Bisnis dan Prosedur Pengambilan Keputusan. Untuk dapat menyusun formula obyektif yang ingin dicapai dengan pemodelan multiagen ini diperlukan adanya aturan interaksi antar para agen tersebut. Aturan interaksi ini harus menyatakan secara jelas langkah transaksi atau interaksi secara matematis. Diagram generik proses bisnis pelaku RPMS diuraikan pada Gambar 3.10.

99 72 Gambar 3.10 Proses bisnis generik pelaku usaha RPMS Terdapat dua tahap aktivitas untuk setiap pelaku yaitu tahap fungsional dan tahap pengambilan keputusan. Tahap fungsional mewakili kegiatan-kegiatan usaha tiap pelaku yang terdiri dari aktivitas yang diuraikan pada kotak tesebut. Kegiatan pada tahap fungsional ini memerlukan masukan informasi atau status dari Key Performance Indicator (KPI) pelaku tersebut. Keputusan terakhir tiap pelaku adalah menjual produk akhir kepada pembeli atau konsumen produk akhir tersebut. Keputusan tersebut dipicu oleh kondisi-kondisi dan statusstatus yang diamati pada KPI maupun variabel dan parameter tertentu. Pada tahap pengambilan keputusan diperlukan data dan informasi dari Informasi Usaha dan kondisi variabel-variabel dan parameter seperti nilai stok dan harga bahan baku dan biaya-biaya kegiatan operasional. Proses pertimbangan pengambilan keputusan pelaku diuraikan pada diagram alir Gambar Kinerja pokok yang diukur untuk tiap pelaku pada disertasi ini adalah nilai tambah tiap pelaku yang dihitung berdasarkan selisih dari nilai penjualan dikurangi semua biaya bahan dan proses pengolahan.

100 73 Gambar 3.11 Diagram alir generik pengambilan keputusan pelaku RPMS Untuk pelaksanaan simulasi model rantai pasok minyak sawit ini digunakan perangkat lunak open-source Netlogo yang berbasis Java. Pemrograman Netlogo tesebut untuk saaat ini dapat diunduh secara gratis karena masih merupakan kegiatan yang berkembang pesat sehingga para pemakainya merupakan komunitas pemakai yang saling berbagi pengalaman dalam menyusun desain dan programnya. Diagram diagram alir tersebut merupakan pemetaan dari proses pengambilan keputusan if-then-else seperti berikut:

101 74 If Stok-bahan di gudang tidak cukup, Then Beli bahan baku [dengan kualitas dan harga bahan yang sesuai] Else, [bila stok-bahan di gudang cukup] Then Lakukan proses produksi membuat produk akhir, Simpan produk akhir di gudang produk akhir, Jual produk akhir [dengan harga sesuai harga dunia, dan permintaan pasar] If Harga ekspor lebih tinggi dari harga lokal, Then Lakukan ekspor ke pembeli di luar negeri Else, [Harga ekspor tidak lebih tinggi dari harga lokal], Then Lakukan penjualan didalam negeri Hitung nilai tambah yang didapat, Simpan nilai tambah dan data lain di KPI. 3.7 Tata Laksana Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada kurun waktu dari tahun 2009 sampai Pengamatan lapang pertama dilaksanakan di perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyak sawit milik Bakrie Sumatera Plantation di Jambi (BSPJ) pada bulan Januari-Februari Pada tahap pertama ini sudah didapatkan juga data primer dan informasi awal dari petani, pengepul dan koperasi tani. Pengamatan lapang ke-dua dilaksanakan di Kawasan Klaster Industri Kelapa Sawit dan kantor Dinas Perdagangan/Perindustrian dan Dinas Perkebunan kota Dumai, serta Kantor Dinas Perkebunan Propinsi Riau pada bulan Juni Pengamatan lapang ke-tiga dilaksanakan di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik minyak sawit milik PT Amal Tani di Medan pada bulan November Pengamatan lapang keempat dilaksanakan di daerah perkebunan kelapa sawit rakyat di Aceh Singkil pada bulan Februari Pengamatan ke-lima dilakukan di daerah Lampung pada bulan Februari Pada pengamatan terakhir ini didapatkan tambahan data primer dari sisi petani dan pengepul Pengumpulan/Pengolahan Data, Informasi dan Pengetahuan Penelitian menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan kajian terdahulu yang relevan dan jurnal ilmiah serta dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Asosiasi, Data perusahaan yang menjadi obyek kajian, dan pihak-pihak yang relevan.

102 75 Pengumpulan data primer dan informasi dilakukan melalui beberapa cara yaitu: 1. Observasi lapangan, yakni melihat secara langsung kegiatan-kegiatan operasional para pelaku rantai pasok minyak sawit mulai dari petani, pedagang pengumpul, prosesor (pengolah), distributor, hingga konsumen. 2. Wawancara, dilakukan untuk memperoleh informasi kendala dan risiko, jumlah produksi dan penjualan, biaya-biaya, sistem transportasi, distribusi dan pasokan serta hubungan kemitraan antara pemasok dan distributor, dari para stakeholder rantai pasok minyak sawit yang dikaji. 3. Pendapat pakar (expert judgement), dilakukan untuk memperoleh basis pengetahuan melalui wawancara secara mendalam (in depth interview) untuk mendapatkan pengetahuan dari pakar yang terkait dalam menentukan jenis dan sumber risiko dan pengukuran bobot risiko dan dampaknya. 4. Pengumpulan informasi dan pengetahuan dari pakar menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan responden yang akan dilibatkan dalam penelitian. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menentukan pakar adalah kesesuaian pendidikan dan pengalamannya. Demikian juga dalam penentuan responden lain yang dilibatkan dalam penelitian ini seperti petani, prosesor, distributor dan konsumen. Daftar pakar dan narasumber dapat dilihat pada Lampiran 1. Masukan para responden lapang berdasarkan kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 2 untuk identifikasi dan evaluasi risiko, dan Lampiran 3 untuk identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah. Pengolahan data dilaksanakan menggunakan komputer dengan bagian-bagian dari perangkat lunak Microsoft Office. IPB mendapatkan lisensi penggunaan perangkat lunak Microsoft Office dengan Campus Agreement. Untuk pengolahan data masukan dari kuisioner responden dipergunakan metode Fuzzy AHP. Untuk pemodelan berbasis-agen digunakan perangkat lunak open-source Netlogo yang berbasis Java. 3.8 Posisi Penelitian Ini Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan metode perhitungan nilai tambah, risiko dan pemodelan rantai pasok agroindustri. Posisi penelitian ini terhadap penelitian-penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Metode perhitungan nilai tambah Hayami banyak digunakan oleh penelitian dalam agroindustri seperti yang dilakukan oleh Suprapto (2005), Sari (2011) dan Yulida dan Kusumawaty (2011). Metode Hayami dipergunakan sesuai dengan konsep dan menggunakan

103 76 template yang asli dikembangkan oleh Hayami sendiri (Hayami, 1987), yaitu untuk kasus produk tunggal dan pelaku tunggal. Penelitian ini memodifikasi metode Hayami tersebut agar dapat digunakan untuk rantai pasok dengan beberapa pelaku, beberapa produk, dan kurun waktu panjang. Metode pemodelan berbasis-agen telah sangat banyak digunakan oleh para peneliti baik untuk situasi rantai pasok maupun bukan. Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa pemodelan berbasis agen digunakan oleh Janssen (2005), Arsenault (2007), Datta (2007), Pomar et al., (2011), Hanafizadeh (2009), Vidal (2010) dan Chiu dan Linn (2011) pada beragam tujuan dan kondisi. Tiga diantaranya menggunakan Netlogo sebagai program pemodelan. Penelitian ini juga menggunakan Netlogo untuk program pemodelan. Hanafizadeh (2009) menggunakan pendekatan Fuzzy Inference untuk pengambilan keputusan. Wu et al., (2006), Liu dan Wang (2008), Ravasizadeh et al., (2011) dan Wang et al., (2011) melakukan penelitian untuk identifikasi dan analisa risiko rantai pasok untuk beragam komoditas. Havizadeh menggunakan sarana FAHP untuk proses pengambilan keputusan. Tabel 3.2 Posisi penelitian ini terhadap penelitian terdahulu dalam rantai pasok Tema Pokok Produk Pendekatan (*) Metode / Metoda (***) Program (**) Keputusan Suprapto (2005) Perhitungan nilai tambah Ikan Hayami Sari (2011 Perhitungan nilai tambah Ubikayu Hayami Yulida & Kusumawaty (2011) Perhitungan nilai tambah Kedelai Hayami Janssen (2005) Responsivitas Rantai Pasok Agent-based Arsenault (2007) Lelang lahan pertanian Agro Agent-based Netlogo Pomar et al, (2011) Ransum Ternak Agro Agent-based Chiu and Linn (2011) Pelatihan Keilmuan Agent-based Netlogo Vidal (2010) Beragam Penggunaan ABM Umum Agent-based Netlogo Priya-Datta (2007) Optimasi produksi Mesin Agent-based Hanafizadeh (2009) Desain arsitektur SCM Umum Agent-based FI Wu et al (2006) rantai pasok Agro Liu and Wang (2008) rantai pasok Agro Ravasizadeh et al (2011) rantai pasok e-biz FAHP Cao and Zhang (2011) Kolaborasi Rantai Pasok Mfg Aramyan (2007) Indikator Kinerja RP Agro AHP Roekel et al (2012) Integrasi Rantai Pasok Agro Sulistiadi (2005) SPK Cerdas Pulp STD OWA AHP Li and Yuanyuan (2008) Alokasi profit rantai pasok Umum Game Theory Ding et al (2011) Alokasi profit rantai pasok Umum Game Theory Wang et al (2012) Analisa Fashion Pahan (2011) Klaster industri Sawit ANP Sugiarto (2011) Klaster industri Karet FAHP Hadiguna (2010) SPK Optimasi Transport Sawit GA, OWA Suharjito (2011) SPK Cerdas Jagung STD, Utilitas risiko FAHP Penelitian ini (2012) Keseimbangan Nilai Tambah Sawit (*) STD = Stakeholder dialogue (**) OWA = Ordered Weighted average (***) FI = Fuzzy Inference Agent-based, STD, Utilitas basis risiko dan investasi Hayami modifikasi FAHP

104 77 Dalam hal pengukuran kinerja dan integrasi serta alokasi nilai tambah pada rantai pasok telah dilakukan penelitian oleh Aramyan (2006), Li dan Yuanyuan (2008), Ding et al., (2011), Cao dan Zhang (2011), dan Roekel et al., (2012) untuk rantai pasok agroindustri, manufaktur, maupun kasus umum. Aramyan (2006) menggunakan sarana AHP untuk proses pengambilan keputusan. Li dan Yuanyuan (2008) serta Ding et al., (2011) menggunakan pendekatan Game Theory untuk formulasi perhitungan alokasi nilai tambah. Penelitian ini menggunakan pendekatan stakeholder dialogue seperti halnya Sulistiadi (2005) dan Suharjito (2011). Hadiguna (2010) dan Pahan (2011) memilih komoditas kelapa sawit sebagai obyek penelitiannya tetapi dengan tujuan dan metode pendekatan yang beragam. Penggunaan sarana AHP, ANP atau FAHP dalam proses pengambilan keputusan dilakukan oleh Sulistiadi (2005), Pahan (2011), Sugiarto (2011), Suharjito (2011) dan Wang et al., (2011), dengan tema pokok yang beragam. Penelitian ini mengikuti penggunaan FAHP dengan pertimbangan bahwa para pelaku rantai pasok lebih cenderung menggunakan penilaian linguistik dalam mengukur tingkat bobot risiko yang dihadapi mereka, dan tidak bisa secara pasti menyatakan bobot penilaiannya dengan angka.

105 (Halaman ini sengaja dibiarkan kosong) 78

106 4 ANALISIS SITUASIONAL 4.1 Gambaran Pelaku Rantai Pasok Minyak Sawit Industri kelapa sawit dapat dibagi menjadi 5 jenis menurut kegiatannya yaitu: 1) Pembibitan, yaitu menyiapkan bibit pohon sawit dari mulai kecambah, pohon umur 8 bulan, dan 16 bulan dalam polybag. 2) Perkebunan, yatu menanam pohon-pohon dan memanen tandan buah segar (TBS). 3) Kilang minyak kelapa sawit, memproses TBS menjadi minyak sawit (Crude Palm Oil, minyak sawit) dan inti sawit (Palm Kernel, PK). 4) Kilang minyak inti sawit, mengekstraksi minyak (Palm Kernel Oil, PKO) dari inti buah sawit. 5) Proses refinasi dan fraksionasi, menghasilkan minyak goreng, stearin, PFAD serta beragam produk hilir lainnya. Dalam disertasi ini yang akan dibahas adalah kegiatan usaha dari mulai petani kebun sawit swadaya sampai dengan kegiatan refinasi yaitu pembuatan minyak goreng dan distribusinya kepada para konsumen Kegiatan Petani Kegiatan petani diawali dengan membeli bibit kelapa sawit dengan memperhitungkan luas lahan perkebunan yang akan ditanami kelapa sawit, kualitas, harga dan sumber bibit kelapa sawit. Memilih bibit kelapa sawit untuk ditanam sangat beresiko sehingga harus benar-benar cermat dalam memilih kualits bibit yang baik. Hal ini dikarenakan pohon sawit baru akan dapat dipanen pada saat umur tanam sekita 3 tahun. Kualitas bibit yang baik akan memberikan TBS yang banyak dan berkualitas. Namun, bibit kelapa sawit yang kurang baik mungkin tidak akan berbuah pada masa yang seharusnya, atau TBS yang dihasilkan lebih sedikit, dan kualitas TBS yang dihasilkan tidak baik. Setelah proses penanaman, petani harus melakukan pemeliharaan kebunnya. Kegiatan pemeliharan kebun adalah antara lain penyulaman (penggantian tanaman yang mati atau yang tumbuh kurang baik), pemupukan dan pemangkasan daun. Waktu panen buah kelapa sawit sangat mempengaruhi jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan. Waktu panen yang tepat akan memberikan kandungan minyak maksimal, tetapi panen buah kelewat matang akan meningkatkan kadar asam lemak bebas (ALB), sehingga menurunkan kualitas minyak. Sebaliknya panen buah yang masih mentah akan menurunkan kandungan minyak, walaupun ALB-nya rendah. Setelah panen TBS harus segera dikirimkan ke pabrik minyak sawit karena semakin lama tersimpan akan semakin tinggi kandungan ALB-nya. 79

107 80 Pada saat ini petani sawit relatif memiliki kesejahteraan lebih baik bila dibandingkan dengan petani swadaya komoditas lain seperti beras, teh dan jagung. Luas lahan petani sawit swadaya umumnya minimal dua hektar, walaupun banyak juga yang luas lahannya tidak sampai dua hektar. Petani sawit tidak jarang terdorong konsumtif untuk membeli barangbarang yang tidak merupakan kebutuhan esensial. Petani tidak jarang pula memanen pohonnya sebelum waktu yang seharusnya. Faktor-faktor yang sering mendorong petani untuk menjual cepat hasil kelapa sawitnya antara lain adalah: (1) mereka memerlukan uang tunai untuk membayar bunga dan angsuran pokok kredit, (2) memenuhi kebutuhan keluarga, dan (3) keharusan membayar PBB. Terdapat dua katagori petani sawit, yaitu petani rakyat swadaya dan petani plasma. Petani swadaya rakyat membuka dan mengelola kebun sepenuhnya dengan upaya dan dana sendiri ataupun pinjaman. Petani plasma lebih beruntung karena mendapatkan bantuan dana dan kemudahan sarana produksi, serta kepastian pemasaran TBS-nya Kegiatan Pengepul Pada dasarnya pengepul adalah perantara yang, mencari, mengambil dan mengumpulkan TBS dari petani dan mengirimkannya ke pabrik minyak sawit. Dengan demikian pendapatannya adalah berbentuk komisi untuk setiap kg TBS yang berhasil dikumpulkannya dan dikirimkan ke pabrik minyak sawit. Informasi mengenai permintaan TBS dari pabrik minyak sawit, harga dan mutu TBS dari petani menjadi tolok ukur pengepul dalam kinerja keputusan baik dalam membeli TBS ataupun menjual TBS kepada pabrik minyak sawit, dengan variabel dan parameter yang ditinjau yaitu kualitas TBS dan harga TBS yang beredar di pasar lokal. Kesuksesan kinerja pengepul dapat ditinjau berdasarkan laba atau keuntungan yang mereka peroleh dari penjualan TBS kepada pabrik minyak sawit. Oleh karena itu, dalam mencari petani kelapa sawit, pengepul harus pandai dan cermat dalam mencari TBS dan mengalokasikannya ke pabrik minyak sawit yang bisa memberikan keuntungan lebih dari beberapa pabrik minyak sawit yang membutuhkan. Terdapat dua tingkat pedagang perantara yaitu agen dan supplier. Agen adalah perantara yang langsung berhubungan dengan petani sedangkan supplier adalah perantara yang berhubungan dengan pabrik minyak sawit. Karena petani swadaya umumnya tidak memiliki dana yang banyak maka untuk menutupi kebutuhan biaya besar yang mendadak mereka perlu pinjaman dari agen. Seterusnya agen mendapat pinjaman dari supplier dan supplier mendapat pinjaman dana dari pabrik minyak sawit.

108 Kegiatan Pabrik Minyak Sawit Pabrik minyak sawit memproses TBS menjadi minyak sawit dan palm kernel (PK). Umumnya pabrik minyak sawit tidak memproses PK menjadi minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO). Proses tersebut dikerjakan oleh pabrik khusus mengolah PK menjadi PKO. Pada saat ini pabrik minyak sawit yang baru sudah dapat memproses TBS menjadi minyak sawit dengan randemen mendekati 21% minyak sawit dan 6% PK, dan masa kembali modal (break even period, BEP) 3 tahun. Sesuai dengan ketentuan Pemerintah pada umumnya pabrik minyak sawit memiliki kebun kelapa sawit sendiri atau kebun petani plasma sebagai sumber bahan baku TBS untuk diolah menjadi minyak sawit. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua memiliki kebun. Dana yang diperlukan untuk membuka perkebunan sawit seluas 10,000 hektar saat ini (2012) dapat mencapai Rp 600 milyard dengan masa tidak produktif karena kebun belum menghasilkan selama 3 tahun. Dana untuk investasi pabrik minyak sawit dengan kapasitas 45 ton TBS/jam adalah sekitar Rp 200 milyard dengan biaya operasional Rp 300 milyard (Hambali, 2009) dan sudah dapat menghasilkan pendapatan pada tahun pertama. Dengan demikian lebih menarik untuk berinvestasi pada pabrik minyak sawit daripada hanya kebun sawit saja. Hampir semua pabrik membutuhkan tambahan pasokan TBS dari kebun rakyat sehingga harus mempunyai ikatan kerjasama kemitraan dengan sumber pasokan TBS untuk menjamin kontinyuitas bahan baku Kegiatan Pabrik Minyak Goreng Pabrik minyak goreng memproses minyak sawit menjadi minyak goreng sawit Kelebihan pabrik minyak goreng adalah dapat menyimpan bahan baku minyak sawit lebih lama dibandingkan dengan pabrik minyak sawit yang tidak mungkin menyimpannya di gudang bahan baku. Pabrik minyak goreng mendapatkan produk akhir berupa minyak goreng olein, minyak stearin dan palm oil fatty acid distillate (PFAD). Ekspor minyak sawit dan produk olahannya termasuk minyak goreng terus mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun Pada tahun ini dan perkiraan ke depan trend kenaikan tersebut akan terus berlanjut. Pertumbuhan ekspor kedua jenis produk tersebut dalam periode diperkirakan masing-masing mencapai 17,81% dan 15,26% per tahun. Kecenderungan meningkatnya ekspor minyak goreng apabila tidak dibarengi dengan kenaikan produksi dapat mengakibatkan kekurangan pasokan kedua jenis produk di pasar domestik dan akan berdampak terhadap harga, khususnya minyak goreng Kegiatan Distributor Distributor adalah sisi pelaku usaha terakhir pada RPMS yang memasok produk yaitu minyak goreng kepada konsumen. Seperti halnya pedagang TBS, distributor juga berperan

109 82 sebagai penghubung antara pabrik minyak goreng dengan konsumen. Seperti halnya pedagang TBS maka distributor minyak goreng pada prinsipnya juga menerima pendapatan komisi untuk setiap kg minyak goreng yang dikelolanya. 4.2 Analisa Permasalahan Rantai Pasok Sawit Tata Niaga TBS Produk utama yang diperdagangkan dalam tata niaga kelapasawit adalah TBS, minyak sawit dan minyak goreng sawit (MGS). Selain itu terdapat juga produk minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO), stearin, dan PFAD. Para pelaku RPMS harus mengikuti arus tata niaga yang sudah berkembang sejak awal tumbuhnya industri ini. Pelaku utama tata niaga ini terdiri dari petani, produsen dan pedagang. Petani sawit sebagai sisi paling hulu merupakan penghasil bahan baku pokok berupa TBS. Pada saat ini terdapat dua jenis petani yaitu petani swadaya dan petani plasma. Petani swadaya harus mencari sendiri pembeli TBS-nya sedangkan petani plasma sudah terikat dalam perjanjian untuk menjual TBS-nya kepada pabrik minyak sawit tertentu dengan harga yang ditentukan bersama. Petani swadaya tidak dapat menentukan harga sendiri tetapi terikat kepada harga TBS yang ditetapkan oleh pertemuan berkala setiap dua minggu di kantor Dinas Perkebunan Propinsi. Berdasarkan masukan dari para responden di lapang tentang pergerakan harga TBS setiap tahun, periode bulan September-Desember merupakan puncak harga jual tertinggi. Pada bulan September-Desember, kebutuhan (konsumsi) lebih besar dibanding produksi, yang menyebabkan harga TBS naik. Periode tersebut merupakan puncak paceklik, sehingga harga kelapa sawit tinggi. Dalam periode Januari-April, produksi lebih tinggi dari kebutuhan sehingga terjadi kelebihan produksi, yang menyebabkan harga kelapa sawit cenderung rendah. Rantai Petani Pengepul Pabrik Minyak Sawit Petani merupakan aktor yang memiliki peranan sangat penting dalam rantai pasok minyak sawit. Petani merupakan produsen penghasil TBS yang menjadi bahan baku utama dalam rantai pasok tersebut. Alur tata niaga TBS dari mulai petani sawit, pengepul sampai ke pabrik minyak sawit diuraikan pada Gambar 4.1. Petani menjual kelapa sawit (TBS) kepada agen. Agen merupakan pihak yang mengumpulkan TBS dari para petani, diteruskan ke pabrik minyak sawit melalui pemasok. Agen dapat berupa tengkulak (toke), kelompok tani (KT), atau Koperasi Unit Desa (KUD). Supplier bertugas melakukan kerjasama dengan para pabrik minyak sawit sebagai tempat menampung TBS dari para agen. Supplier inilah yang berperan dalam melaksanakan Surat Pesanan (Demand Order, DO) dengan pabrik minyak sawit.

110 83 Gambar 4.1 Alur pergerakan TBS yang dijual oleh petani (KPPU, 2009) Dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, baik petani, agen, dan supplier memiliki keterikatan satu sama lain, khususnya dalam pemberian modal guna melancarkan proses bisnis masing-masing agen tersebut. Petani mendapatkan bantuan modal dari agen, agen mendapatkan bantuan modal dari supplier, begitu juga supplier mendapatkan bantuan modal dari Pabrik minyak sawit Tata Niaga Minyak Sawit Ekspor minyak sawit dan produk olahannya termasuk minyak goreng terus mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun Para pelaku pasar ekspor minyak sawit pada umumnya adalah perusahaan swasta (BI, 2007). Beberapa perusahaan swasta yang dominan adalah PT. Lonsum Tbk, PT. Sinar Mas, Salim Group, PT. Bakrie Sumatera Plantations, PT. Astra Agro Lestari Group, Asian Agri Group, Wilmar International Group, PT. Karya Prajona Nelayan, PT. Musim Mas, dan PT. Permata Hijau Sawit. Perusahaan Negara yang melakukan ekspor adalah antara lain PTPN III dan IV. Pabrik Minyak Sawit Pabrik Minyak Goreng/Industri Lanjutan Gambar 4.2 Alur tata niaga minyak sawit minyak goreng distributor (KPPU, 2009) Gambar 4.2 menggambarkan alur tata niaga minyak sawit dan minyak goreng. Pabrik minyak sawit merupakan agen yang sangat penting, karena merupakan inti dari rantai pasok minyak sawit. Proses bisnis pabrik minyak sawit, diawali dengan membeli TBS dari

111 84 pengepul/ supplier. TBS yang terkumpul disortir berdasarkan kualitas TBS tersebut. Kemudian, TBS diolah menjadi minyak sawit. TBS yang diolah menjadi minyak sawit memiliki rendemen 24%. Jadi, 1000 ton TBS akan menghasilkan 240 ton minyak sawit. minyak sawit yang dihasilkan dapat dijual kepada pasar dalam negeri atau pasar luar negeri (ekspor). Minyak sawit dapat dijual kepada pabrik minyak goreng, pabrik kosmetik, dan lainlain. Harga minyak sawit dapat berubah setiap waktu (fluktuatif). Perubahan harga minyak sawit ini mengacu pada harga minyak sawit dunia. PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) adalah badan pemerintah yang mengelola pelelangan minyak sawit yang dihasilkan oleh perusahaan-perusa\haan perkebunan sawit milik negara (PTPN). Para pembelinya adalah eksportir atau industri lanjutan seperti pabrik minyak goreng sawit (MGS) Tata Niaga Minyak Goreng Refinery atau pabrik minyak goreng membeli minyak sawit untuk diolah menjadi minyak goreng. Minyak sawit yang diolah menjadi minyak goreng memiliki rendemen sebesar 76%. Jadi, 1000 ton minyak sawit akan menghasilkan 760 ton minyak goreng. Minyak goreng sawit (MGS) merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan MGS di dalam dan di luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan MGS terus meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan meningkatnya konsumsi masyarakat akan minyak goreng untuk memasak. Pabrik Minyak Goreng Distributor Konsumen Gambar 4.3 menjelaskan alur distribusi minyak goreng dari pabrik minyak goreng hingga ke tangan konsumen. Gambar 4.3 Alur tata niaga refinery - distributor-konsumen (KPPU, 2009)

112 85 Angka-angka menunjukkan perkiraan besarnya pendapatan para penyalur dalam satuan Rp/kg. Pada tahap ini, proses tata niaga pada tingkat distributor minyak goreng dibagi menjadi dua yaitu toko-toko swalayan dan distributor besaratau biasa disebut sebagai wholesaler. Distributor atau pengepul mempunyai gudang besar untuk menyimpan stok minyak goreng yang dibeli dari pabrik. Dalam melakukan penjualan distributor atau pengepul menjual minyak goreng dengan menentukan margin tertentu secara konstan. Pengepul mendapatkan keuntungan yang berfluktuatif. Distributor atau pengepul akan mendapatkan keuntungan apabila harga minyak goreng naik sedangkan mereka memiliki banyak stok minyak goreng dengan harga lama yang lebih murah. Sebaliknya distributor atau pengepul akan mendapatkan kerugian apabila harga minyak goreng turun sedangkan mereka masih banyak memiliki stok minyak goreng dengan harga lama yang lebih mahal. Perusahaan swasta mendominasi pasar minyak goreng (BI, 2007), baik pasar ekspor maupun domestik. Perusahaan produsen minyak goreng dengan skala besar berjumlah 11 perusahaan. Tiga perusahaan, yaitu Permata Hijau Sawit, Musim Mas, Wilmar tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Sedangkan Sinar Mas, Salim, Best Agro Group, Panca Nabati, Astra Agro, Bina Kanya Prima, Asian Agri, dan Darmex tergabung dalam Asosiasi Industri Minyak Nabati Indonesia (AIMNI). Dengan informasi ini dapat dipahami kebijakan stabilisasi harga minyak goreng tidak mudah untuk dijalankan jika pelaku pasar minyak sawit dan minyak goreng yang terintegrasi tersebut tidak mengikuti kebijakan pemerintah. Pada umumnya, pelaku pasar tersebut resisten terhadap kenaikan tarif pungutan ekspor minyak sawit dan minyak goreng. Dari data ekspor minyak goreng pada bulan Oktober - Desember 2006 dan Januari - Mei 2007 terdapat tiga perusahaan besar yang mengekspor minyak sawit dan minyak goreng dan menguasai pangsa ekspor kedua produk dari Indonesia. Pangsa ekspor minyak sawit dalam periode di atas naik dari 39,18% menjadi 42,15% dan mengurangi ekspor minyak gorengnya dari 81,26% menjadi 65,84%. Bagi ketiga perusahaan tersebut, seiring dengan kenaikan harga minyak sawit pada periode tersebut, ekspor minyak sawit lebih menguntungkan dari pada ekspor minyak goreng. Proses distribusi dilanjutkan oleh pengecer seperti warung-warung kecil kemudian sampai ke konsumen yang merupakan pengguna akhir seperti ibu-ibu rumah tangga maupun industri lain seperti industri makanan yang membutuhkan minyak goreng. Selain itu, proses distribusinya juga dapat langsung kepada pengguna akhir.

113 Pengaruh Harga Minyak Sawit Dunia Hasil pengamatan terhadap perkembangan harga minyak sawit, minyak goreng dan TBS dan Januari 2005 hingga Juni 2007 oleh Departemen Perdagangan menunjukkan perkembangan harga minyak sawit dan minyak goreng cenderung naik secara konsisten dan bergerak searah satu sama lain (BI, 2007). Hasil analisis yang dilakukan mengindikasikan bahwa harga minyak sawit Rotterdam (HCPOR) berpengaruh nyata terhadap harga minyak sawit di Medan (HCPO1) dengan elastisitas transmisi harga bernilai 0,84, yang berarti perubahan harga minyak sawit di Rotterdam sebesar 10% akan ditransmisikan ke harga minyak sawit di Medan 8,4%. Diketahui juga bahwa kenaikan harga minyak goreng juga tergantung dan harga minyak sawit di Medan (HCPO2). Elastisitas transmisi harga bernilai 0,65 yang berarti perubahan harga minyak sawit di Medan sebesar 10% akan ditransmisikan ke harga minyak goreng di Medan (HMG) sebesar 4,3%. Secara praktis uraian pengaruh harga minyak sawit di Rotterdam kepada harga MGS ditunjukan pada tabel 4.1. Perhitungan harga minyak sawit lokal dipengaruhi oleh harga yang ditetapkan oleh CIF Rotterdam (Cost, Insurance and Freight Rotterdam) yaitu biaya minimum yang harus dikeluarkan untuk mengirimkan barang dari Indonesia ke Rotterdam, Belanda yang merupakan penggabungan antara biaya barang, assuransi dan biaya pengiriman (carrying cost) minyak sawit. Harga CIF tersebut kemudian dikurangi biaya pengiriman sehingga menjadi biaya FOB (Free on Board) untuk daerah/ provinsi yang ada di Indonesia dan kemudian ditetapkan harga patokan ekspor. Berdasarkan harga patokan ekspor dihitung biaya pungutan ekspor sebesar 6,5% -nya, selain itu juga perlu dihitung biaya lain-lain misalnya biaya pungutan bank. Harga minyak sawit lokal adalah harga FOB daerah dikurangi pungutan biaya lain-lain. Semua biaya-biaya tersebut dihitung dalam satuan dolar per ton (USD/ton), oleh karena itu perlu dilakukan konversi dari dolar ke rupiah untuk menghitung harga minyak sawit lokal serta dibagi seribu dan satuannya menjadi rupiah per kilogram (Rp/kg). Harga minyak sawit lokal kemudian ditambah dengan pajak PPN sebesar 10% dari harga minyak sawit lokal tersebut. Hasil penambahan harga minyak sawit ini kemudian dilakukan pembulatan dan hasil pembulatan tersebut merupakan harga minyak sawit lokal yang digunakan dalam perdagangan dipasar dalam negeri.

114 87 Tabel 4.1 Penentuan harga minyak goreng berdasarkan harga minyak sawit luar negeri Besaran Rumus Satuan Nilai Asumsi harga, CIF Rotterdam a USD/ton 760 Dikurangi Freight b USD/ton 70 Harga FOB Belawan/Dumai c = a - b USD/ton 690 Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO d USD/ton 676 Pungutan Ekspor (PE) e=6.5%*d USD/ton 43,94 Bank charges, dll f USD/ton 11 Total g=c-e-f USD/ton 635,06 Harga CPO h USD/ton 635,06 Harga CPO lokal per ton i=h*9.000 Rp/ton ,00 Harga CPO lokal per kg j=i/1000 Rp/kg 5.715,54 PPN 10% k Rp/kg 571,55 Harga CPO l=j+k Rp/kg 6.287,09 Harga CPO (dibulatkan) m Rp/kg 6.300,00 Ditambah: Biaya proses /olah n Rp/kg 500 Biaya distribusi o Rp/kg 400 Total Biaya p=n+o Rp/kg 900 Harga pokok prod minyak goreng q=m+p 7.200,00 Keuntungan pengolah r Rp/kg 200 Keuntungan distributor s Rp/kg 300 Keuntungan pengecer t Rp/kg 200 Harga minyak goreng di pasar u=q+r+s+t Rp/kg 7.900,00 (Sumber: BI, 2007) Selain mempengaruhi harga minyak sawit lokal, harga minyak sawit luar negri yang ditetapkan oleh CIF Rotterdam ini juga mempengaruhi harga minyak goreng yang ada dipasar karena harga minyak goreng yang berlaku ditetapkan berdasarkan harga minyak sawit lokal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Harga pokok produksi minyak goreng merupakan penambahan dari harga minyak sawit lokal dengan biaya pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng dan biaya distribusi yang dilakukan oleh perusahaan pengolah minyak goreng. Kepada harga pokok produksi minyak goreng kemudian ditambahkan keuntungan yang diperoleh perusahaan pengolah minyak goreng serta pelaku tata niaga minyak goreng yang terdiri dari distributor dan pengecer, sehingga terbentuklah harga minyak goreng yang ada dipasaran. Dengan demikian terlihat bahwa pergerakan harga komoditas minyak goreng merupakan cerminan dari harga minyak sawit luar negeri. Pengendalian harga minyak sawit domestik dapat dilakukan melalul peningkatan penawaran minyak sawit di pasar domestik dengan menghambat ekspor minyak sawit. Dalam kaitan upaya tersebut, kebijakan menghambat ekspor oleh pemerintah melalui penerapan Bea Keluar (BK) sudah berada dalam jalur yang benar. Namun, mengingat produksi minyak sawit

115 88 masih dapat ditingkatkan, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan prioritas peningkatan produksi minyak sawit diantaranya menyediakan skim kredit investasi dengan bunga yang kompetitif. Pengendalian harga minyak goreng dapat dilakukan dengan meningkatkan hasil produksi minyak goreng, pengawasan harga dan distribusi minyak goreng Proses Pelelangan Minyak Sawit oleh KPBN Proses pelelangan kelapa sawit yang diselenggarakan oleh PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sebagai agen pelelang. KPBN menjual minyak sawit yang diproduksi oleh pabrik minyak sawit yang terdiri dari beberapa PTPN (PT Perkebunan Nusantara) kepada agen pembeli, yaitu industri lanjutan pengolahan minyak sawit dan eksportir. Gambar 4.4 menggambarkan aliran barang dan dana dalam proses pelelangan minyak sawit. Gambar 4.4 Proses penjualan pada pelelangan minyak sawit (Wawancara langsung dengan KPBN, 2011) Proses lelang dilakukan pada hari Senin sampai Jumat yang disesuaikan dengan ketersediaan stok minyak sawit pada pukul WIB. Pelaksanaan lelang dibagi menjadi dua yaitu lelang minyak sawit ekspor dan minyak sawit lokal, dalam setiap proses pelelangan akan ditentukan jenisnya terlebih dahulu yang disesuaikan dengan harga minyak sawit dunia. PT. KPBN akan melakukan pengumpulan data persediaan minyak sawit dari semua pengajuan yang dilakukan oleh produsen, yaitu semua pabrik PTPN. PT. KPBN juga mendaftar semua calon pembeli yang akan mengikuti pelelangan dan telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. Pembeli dapat mengikuti lelang dengan langsung mendatangi kantor PT. KPBN ataupun dengan mengajukan penawaran dengan fax. Proses pelelangan dilakukan secara terbuka, diawali dengan pengiriman/ pemberian daftar minyak sawit ke pembeli yang sudah terdaftar. Isi daftar minyak sawit tersebut berupa tanggal, waktu, produsen (PTPN), tempat penyerahan, kondisi penyerahan, dan volume yang dilelang. Dari daftar tersebut pembeli melakukan penawaran terhadap minyak sawit pada PT. PTPN tertentu dengan mengajukan harga penawaran yang sesuai dengan volume yang

116 89 tercantum. Penawaran dikirimkan dengan fax atau dapat dimasukan ke kotak yang telah disediakan oleh PT.KPBN. Harga penawaran lokal diajukan dalam Rp/Kg termasuk dengan PPN 10% (dalam Rp, dibulatkan), sedangkan untuk penawaran ekspor diajukan dalam US$Cent/Kg. Daftar penawaran yang terkumpul akan dicek oleh penyelenggara. Penawaran dengan harga tertinggi dan telah melewati price idea (PI) dinyatakan sebagai pemenang tender. Price idea merupakan harga minimum penjualan yang telah ditentukan sebelumnya oleh penyelenggara Perhitungan Index Proporsi k oleh Dinas Perkebunan Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 395/Kpts /OT.140/11/2005. Tujuan dari pengaturan harga TBS tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa sawit produksi petani dan menghindari persaingan tidak sehat diantara pabrik kelapa sawit. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Harga pembelian TBS ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga TBS yang dibentuk oleh Gubernur yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota; Dinas yang menangani Perkebunan Propinsi, Kabupaten/Kota; Perusahaan Inti; Wakil Pekebun PIR Kelapa Sawit (kelembagaan Pekebun); dan instansi terkait. Biasanya masing-masing provinsi melakukan penetapan harga TBS setiap 1 atau 2 minggu. Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi k yang merupakan persentase besarnya hak petani terhadap harga TBS. Penetapan indeks k dilakukan berdasarkan harga penjualan, biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit, inti sawit serta biaya penyusutan pabrik. Indeks k dihitung dengan rumus sebagai berikut: Dengan pengertian: H tbs H minyak sawit sawit (Harga FOB bersih) H i sawit R minyak sawit R i 100%... (1) = nilai TBS di pabrik = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal inti = rendemen minyak sawit = rendemen inti sawit Harga TBS ditetapkan berdasarkan formula sebagai berikut: H TBS = k * (H minyak sawit * R minyak sawit + H i * R i )... (2)

117 90 Dengan pengertian : H TBS = Harga TBS yang diterima oleh pekebun ditingkat pabrik, dinyatakan dalam Rp/Kg; k = Indeks proporsi yang menunjukan bagian yang diterima oleh pekebun, dinyatakan dalam persentase (%); Berdasarkan rumus tersebut, harga TBS untuk petani dipengaruhi oleh harga minyak sawit dan inti sawit. Selain harga patokan minyak sawit dan inti yang ditentukan pemerintah, masih ada nilai rendemen minyak sawit dan inti yang turut menentukan harga TBS. Mutu dan rendemennya ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen (PERHEPI, dalam Bangun, 1989). Sehingga harga TBS merupakan hasil perkalian dari indeks k dengan harga minyak sawit ditambah hasil perkalian harga inti sawit dengan rendemen kelapa sawit.

118 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari wawancara langsung dengan pimpinan dan staf perkebunan dan PKS di Jambi dan Medan didapatkan gambaran umum kegiatan usaha rantai pasok minyak sawit seperti pada Gambar 5.1. Terlihat adanya lima macam bentuk pemilikan kebun pada sisi hulu, pabrik minyak sawit dan minyak goreng, serta distributor/retailer yang mengirimkan produk akhir kepada para pemakainya. Terlihat arus tiga macam komoditas utama yaitu tandan buah segar (TBS), crude palm oil (minyak sawit), dan minyak goreng. Penelitian ini dibatasi hanya sampai produk minyak goreng saja. Pada disertasi ini diambil sudut pandang proses, artinya rantai pasok dilihat sebagai suatu urutan dari proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dan arus produk, informasi dan dana, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dan hal-hal tersebut berlangsung di dalam dan diantara tahap-tahap rantai pasok yang berbeda. Rantai pasok yang sesungguhnya akan meliputi pengembangan produk, pemasaran, kegiatan operasional, distribusi, keuangan, dan pelayanan kepada pelanggan (Chopra dan Meindl, 2007). Gambar 5.1 Rantai pasok minyak sawit (BSPJ, 2009) 91

119 Modifikasi Terhadap Model Hayami Proses Modifikasi Terhadap Model Hayami Dari uraian kekuatan dan kelemahan metode Hayami maka penulis mengambil asumsi-asumsi dasar berikut: 1) Stakeholder pada rantai pasok minyak sawit (RPMS) terdiri dari petani sawit swadaya, pengepul, PKS, pabrik minyak goreng (refinery), distributor, dan konsumen. 2) Pabrik minyak sawit menggunakan mesin berkapasitas 30 ton TBS/jam 3) Dalam satu hari, jam kerja pabrik adalah 20 jam 4) Dalam satu tahun, jumlah hari kerja adalah 300 hari 5) Randemen TBS minyak sawit adalah 24% 6) Randemen minyak sawit-minyak goreng adalah 76% 7) Data produksi, penjualan, investasi, biaya-biaya PKS dan pabrik minyak goreng (refinery) diambil dari laporan Hambali (2009). 8) Data produktivitas pohon dan kebun sawit, kebutuhan budidaya, dll, diambil dari laporan PPKS, ) Dianggap bahwa pabrik minyak sawit memiliki kebun sendiri dan mencukupi separuh kebutuhan TBSnya. Separuh lagi mengambil TBS yang dibutuhkan dari petani. 10) Semua kebutuhan bahan dan hasil produksi dihitung untuk satu tahun. 11) Masa hidup produktif kebun sawit 25 tahun, dan produksi dimulai pada tahun ke-3. Proses modifikasi perhitungan nilai tambah metode Hayami diperlihatkan pada Gambar ) Untuk menjaga konsistensi volume produk sepanjang rantai pasok maka skala kegiatan usaha mengacu pada patokan kapasitas pabrik minyak sawit mengolah masukan 30 ton TBS/jam. Keseimbangan material pada semua proses disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan bahan untuk memproses sebesar 30 ton TBS/jam atau hasil minyak goreng yang diperoleh dari jumlah minyak sawit yang dihasilkan. Kemudian dihitung besarnya volume-volume bahan dan produksi serta biaya-biaya bahan, tenaga kerja manusia, energi, modal dan transportasi untuk satu tahun. 2) Untuk 30 ton TBS/jam dibutuhkan TBS setahun sebanyak ton. Jumlah ini dipasok dari kebun sendiri dan oleh para pengepul, yang mengumpulkan TBS dari para petani, masing-masing 50% yaitu sebesar ton. 3) Pabrik minyak goreng mengambil nilai volume minyak sawit ( kg) tersebut dan mengolahnya menjadi ton minyak goreng, stearin dan PFAD. 4) Dihitung kebutuhan biaya-biaya investasi dan operasional untuk semua stakeholder.

120 93 5) Kebutuhan bibit pohon sawit dihitung untuk memenuhi keperluan TBS setahun bagi pabrik minyak sawit. Harga bibit pohon sawit dihitung dengan pendekatan Life Cycle Analysis (LCA) dan Net Present Value dari semua pendapatan dan pengeluaran kebun sawit petani swadaya selama masa produktif 25 tahun. Gambar 5.2 Diagram alir prosedur modifikasi formula Hayami 6) Dengan formulasi perhitungan Microsoft Excel akan didapat nilai-nilai tambah para stakeholder, nilai tambah total rantai pasok, serta perbandingannya. 7) Tabel 5.1 merupakan bentuk formula perhitungan Hayami yang dimodifikasi, menunjukkan hasil perhitungan untuk setahun, dari suatu rantai pasok yang terdiri dari 6 pelaku dan dengan 6 jenis komoditas yang berbeda yaitu TBS, PK, minyak sawit, minyak goreng, stearin dan PFAD.

121 94 Tabel 5.1Template Metode Hayami yang dimodifikasi (dihitung untuk setahun) No Variabel Satuan Nilai Interaksi Rantai Pasok Sawit 1 Harga beli Bahan Rp/kg (1) 2 Harga jual Produk Rp/kg (2) 3 Total Nilai Tambah per kg output Rp/kg (3) = (2 terakhir) -(1) I. Output, Input, dan Harga 4 a. Output (volume penjualan) kg (4a) b. Output (nilai penjualan) Rp (4b) 5 Bahan Baku Pokok Rp (5) 6 Tenaga Kerja Langsung HOK (6) 7 Faktor Konversi (7) = (4b)/(5) 8 Koefisien T. Kerja Langsung Rp/HOK (8) = (4b)/(6) 9 Upah Tenaga Kerja Langsung Rp (9) II. Penerimaan dan Nilai Tambah 10 a. Biaya Input lain (Produksi) Rp (10a) b. Biaya Input lain (Operasional) Rp (10b) 11 a. Nilai Tambah Rp (11a) = (4b)-(5+10a+10b) b. Rasio Nilai Tambah % (11b) = (11a)/(4b) III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 12 Marjin Rp (12) = (4b)- 5 a. Sumbangan biaya input lain % (12a) = (10a+10b)/(12)* 100% b. Keuntungan perusahaan % (12b) = (11a)/(12)* 100% IV. Porsi nilai tambah per kg produk 13 a. Dalam nilai uang Rp (13a) = (11a)/( Σ 11a) *(3) b. Dalam persentasi % (13b) = (13a)/(3)* 100% c. Nilai tambah per petani Rp/bln Penerapan modifikasi Metode Hayami Perhitungan Nilai Tambah untuk Petani Swadaya Proses Operasional Perhitungan Nilai Tambah Produksi TBS (petani) didahului dengan suatu bagian yang memperlihatkan interaksi bisnis antara para pelaku rantai pasok. Produk yang dihasilkan oleh pelaku pertama merupakan pasokan bahan baku untuk pelaku kedua. Harga jual produk pertama merupakan harga beli bahan bagi pelaku kedua. Demikian seterusnya sampai pelaku rantai pasok terakhir. Untuk bagian I, Output, Input dan Harga, informasi tentang output dibuat menjadi dua baris yaitu besaran output berupa volume dalam satuan berat, dan dalam satuan harga rupiah. Hal ini dilakukan karena tidak selalu bentuk bahan atau produknya dapat diproses dalam bentuk fisik aslinya. Sebagai contoh, bibit pohon sawit tidak diproses dalam rantai pasok ini menjadi TBS, tetapi harus ditanam untuk menghasilkan TBS. Semua besaran output dan input dihitung untuk kurun waktu satu tahun dalam satuan rupiah, yaitu untuk nilai bahan (bibit, pupuk, pestisida), penjualan TBS, tenaga

122 95 kerja. Faktor konversi adalah banyaknya output (TBS) yang dapat dihasilkan dari satu satuan input (berupa bibit dan kegiatan budidaya). Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input. Harga output adalah harga jual produk (TBS) dalam Rp. Upah tenaga kerja adalah upah rata-rata yang diterima tenaga kerja langsung untuk mengolah satu satuan produk/tbs (Rp/HOK). Bagian II judulnya diganti dengan Penerimaan dan nilai tambah. Disini Harga Bahan Baku dihilangkan karena sudah disajikan pada bagian Interaksi Rantai Pasok Sawit. Harga Input Lain dirubah menjadi kebutuhan Biaya Input Lain yaitu bahan tambahan (dalam satuan rupiah) yang langsung dan yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan produksi dan operasional. Nilai Output dihilangkan karena sudah ada pada bagian I yaitu nilai penjualan (output) produk. Nilai tambah merupakan selisih nilai produk TBS yang dijual dengan nilai bahan baku utama dan sumbangan input bahan lain. Rasio nilai tambah menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk/tbs. Keuntungan dipindahkan ke bagian III. Pada bagian III, Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi, marjin adalah selisih antara nilai output/tbs dengan bahan baku atau besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain bahan baku/bibit yang digunakan dalam proses produksi. Pendapatan tenaga kerja langsung sudah dimasukkan ke bagian I sebagai Upah Tenaga Kerja Langsung. Sumbangan biaya input lain adalah prosentase sumbangan input lain terhadap marjin (%). Keuntungan perusahaan adalah prosentase keuntungan pemilik pengolahan terhadap marjin (%). Pada bagian IV, Porsi Nilai Tambah per kg Produk, dihitung nilai tambah dalam rupiah dan dalam persentase. Khusus untuk petani ditampilkan nilai tambah per petani yang dihitung dari besar nilai tambah kelompok petani dibagi jumlah petani. Perhitungan Nilai Tambah untuk PKS dan Refinery Perhitungan dengan metode Hayami untuk PKS dan refinery untuk bagian I dilakukan sebagai berikut. Output adalah jumlah nilai penjualan minyak sawit atau minyak goreng dalam satu tahun dalam satuan Rp. Input adalah nilai TBS yang diolah untuk produksi satu tahun (Rp). Tenaga kerja adalah banyaknya HOK yang terlibat langsung dalam satu tahun proses produksi. Harga output adalah harga jual minyak sawit per satu kilogram (Rp). Upah tenaga kerja adalah upah rata-rata yang diterima tenaga kerja langsung untuk mengolah minyak sawit (Rp/HOK). Untuk bagian II, harga bahan baku adalah harga beli TBS per kilogram (Rp). Sumbangan input adalah biaya pemakaian input selain TBS per kg minyak sawit (Rp). Nilai output menunjukkan nilai minyak sawit yang dihasilkan dari satu kg TBS (Rp). Nilai tambah

123 96 merupakan selisih nilai minyak sawit yang dijual dengan nilai TBS dan sumbangan input selain TBS (Rp). Rasio nilai tambah menunjukkan persentase nilai tambah dari minyak sawit. Untuk bagian III, marjin dihitung sebagai selisih antara nilai minyak sawit dengan TBS atau besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain TBS yang digunakan dalam proses produksi minyak sawit. Keuntungan pemilik pengolahan adalah persentase keuntungan pemilik pabrik minyak sawit terhadap marjin. Perhitungan Nilai Tambah untuk Pedagang TBS dan Distributor Definisi Operasional untuk pedagang TBS serta distribusi Minyak goreng akan berbeda dari perusahaan/pabrik karena proses produksinya bukan membuat mentransformasi bahan baku menjadi produk atau barang baru tetapi hanya memindahkan produk dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Pada prinsipnya nilai tambah yang terjadi adalah merupakan komisi penjualan atau selisih harga antara harga yang dibayar kepada pemasok dengan harga jual produk yang sama yang dibayar oleh pembeli produk tesebut ditempat yang berbeda. Mungkin juga dengan perubahan pada kemasan (ukuran besar menjadi lebih kecil) sehingga terdapat keuntungan atau nilai tambah karena pembeli menikmati kemudahan untuk mendapatkan produk yang diinginkannya tanpa harus pergi jauh ketempat produk itu dibuat, atau karena pembeli tidak harus membeli dengan satuan yang terlalu besar untuk kebutuhannya. Biaya-biaya yang terjadi untuk pedagang adalah biaya-biaya sarana dan prasarana penyimpanan dan pengangkutan. Tidak terdapat biaya yang berhubungan dengan proses transformasi bahan menjadi produk jadi. Hasil perhitungan menggunakan Template Hayami yang dimodifikasi disajikan pada Tabel 5.2. Disini terlihat bahwa perbandingan nilai tambah tidak merata sepanjang rantai pasok minyak sawit. Pabrik CPO diikuti refinery (pabrik minyak goreng) menghasilkan nilai tambah tertinggi, diikuti oleh petani, distributor dan pedagang TBS (pengepul). Penyebab-penyebab utama dari hal ini adalah mekanisme pasar dan biaya-biaya. Mekanisme pasar adalah penentuan tingkat harga jual produk, besarnya volume pasar, interaksi antara pasokan dan permintaan, struktur pasar (oligopoly atau monopsoni atau lainnya). Untuk biaya-biaya, para pelaku rantai pasok akan perlu meng-identifikasi biaya yang mana saja yang berlebihan dan perlu dikendalikan untuk dapat meningkatkan nilai tambahnya.

124 Verifikasi dan Validasi Model 1) Verifikasi Model Verifikasi model menggunakan data rujukan dari industri PKS di Medan dan model model bisnis pada laporan Studi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Propinsi Riau (Hambali, 2009). Selain itu digunakan juga hasil wawancara dengan petani, pengepul, distributor, pakar bisnis sawit, serta data sekunder dari laporan-laporan PKPU dan Departemen Perdagangan. Dilakukan perhitungan nilai tambah dengan beberapa nilai variabel harga komoditas, yaitu harga-harga TBS, minyak sawit dan minyak goreng. Kemudian dilakukan juga perhitungan nilai tambah dengan perubahan pada variabel investasi dan biaya para pelaku rantai pasok minyak sawit ini. Pada Tabel 5.2 dapat dilihat hasil-hasil sebagai berikut: a) Pelaku usaha yang terlibat dalam rantai pasok ini terdiri dari 5 pelaku yaitu petani, pengepul, pabrik minyak sawit, pabrik minyak goreng, dan distributor. Pada metode Hayami yang asli hanya ada 1 pelaku saja. b) Pada skala industri kapasitas pabrik minyak sawit 30 ton TBS/jam dibutuhkan sebanyak kg TBS per tahun, yang dihasilkan dari kebun sendiri dan kebun sawit rakyat seluas masing-masing ha. Dengan asumsi setiap petani memiliki 2 hektar kebun maka diperlukan sebanyak orang petani. c) Nilai tambah (NT) rantai pasok pada baris 13.a memperhatikan faktor konversi bahan menjadi produk akhir. Hal ini adalah untuk menjaga kesetaraan nilai. Untuk tiap pelaku NT dihitung dengan mengalikan selisih (harga produk harga bahan) * volume bahan * faktor konversi. Dengan formula ini didapat nilai total Rp 2,507 (pada kolom konsumen). Baris 13b menunjukkan persentase NT. d) Pada tingkat harga jual TBS Rp 1.423/kg, harga minyak sawit Rp 6.500/kg, minyak goreng Rp /kg, stearin Rp 5.000/kg dan PFAD Rp 2.500/kg didapat hasil perbandingan nilai tambah Petani : Pengepul : PKS : Refinery : Distributor = 4,27 %:1,54% : 51,11% : 40,02% : 3,06%. Nilai tambah dari rantai pasok tertinggi adalah Kelompok Pabrik Minyak Goreng dengan nilai sebesar Rp Sedangkan untuk Kelompok Petani memiliki nilai tambah sebesar Rp untuk satu tahun. Dari nilai tersebut dapat dihitung nilai tambah untuk setiap petani sebesar Rp per bulan. e) Produk yang diproses pada makalah modifikasi Hayami ini terdiri dari 6 macam yaitu TBS, minyak sawit, PK, minyak goreng, stearin dan PFAD, sedangkan pada metode Hayami yang asli hanya diproses satu macam produk saja.

125 98 Tabel 5.2 Formulasi perhitungan nilai tambah dengan Metode Hayami Termodifikasi PETANI PEDAGANG TBS PABRIK CPO (PKS) PABRIK MGS (REFINERY) DISTRIBUTOR KONSUMEN Interaksi Rantai Pasok Sawit 1 Harga beli Bahan Rp/kg Harga jual Produk Rp/kg Produk Produk Produk Total Nilai Tambah per kg output Rp/kg I. Output, Input, dan Harga 4 a. Output (volume penjualan) kg b. Output (nilai penjualan) Rp Bahan Baku Pokok Rp Tenaga Kerja Langsung HOK Faktor Konversi 29,59 1,05 1,42 1,40 1,04 8 Koefisien T. Kerja Langsung Rp/HOK Upah Tenaga Kerja Langsung Rp II. Penerimaan dan Nilai Tambah 10 a. Biaya Input lain - Produksi Rp b. Biaya Input lain - Non Produksi Rp a. Nilai Tambah Rp ########## b. Rasio Nilai Tambah % 34,38 3,31 15,47 13,65 2,35 III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 12 Marjin (Rp/Kg) Rp a. Sumbangan biaya input lain % 129,92 40,57 63,95 75,81 32,02 b. Keuntungan perusahaan % 71,76 73,81 70,51 68,63 72,48 IV. Porsi nilai tambah per kg produk 13 a. Nilai Tambah (NT) Rantai Pasok Rp 107,00 38, , ,20 76, b. Dalam Persentase % 4,27 1,54 51,11 40,02 3,06 (NT RPMS) c. Nilai Tambah Per Petani Rp/bln

126 99 f) Kurun waktu usaha yang dilibatkan di sini lebih dari satu tahun karena kebun sawit masa hidupnya sekitar 25 tahun, dan pabrik minyak sawit maupun minyak goreng lebih dari 15 tahun. Perhitungan pendapatan dan biaya-biaya dihitung untuk setahun. Pada metode Hayami yang asli, kurun waktunya hanya sekitar beberapa bulan saja. g) Dari total nilai tambah yang dihasilkan sebesar Rp terlihat perbandingan nilai tambah diantara para pelaku rantai pasok minyak sawit yaitu petani, pengepul, pabrik minyak sawit, pabrik minyak goreng, distributor adalah 107: 38 : : : 77. Ini berarti bahwa petani sawit menerima bagian pendapatan yang lebih baik dari pengepul. Dalam hal ini, petani bukan perseorangan, tetapi kelompok petani yang memberikan output TBS setara dengan kebutuhan bagi pabrik minyak sawit dengan kapasitas 30 Ton TBS/jam. 2) Validasi model Oleh karena Prof Yujiro Hayami pencipta model perhitungan nilai tambah Hayami ini tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan melalui perihal modifikasi ini maka validasi langsung tidak dapat dilakukan. Face validation dengan pakar agroekonomi. Yang pertama dilakukan dengan komunikasi melalui dengan Prof Almasdi Syahza (Syahza, 2011), gurubesar Ilmu Ekonomi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Riau. Yang kedua dengan Dr Iyung Pahan, konsultan dalam bidang industri kelapa sawit, alumni dari MB-IPB dan penulis buku Panduan Lengkap Kelapa Sawit yang diterbitkan oleh Penebar Swadaya, Depok (Pahan, 2007; Pahan, 2011). 5.2 Analisa Fuzzy untuk dan Keuntungan Rantai Pasok Sawit Identifikasi dan Evaluasi Rantai Pasok Berdasarkan hasil studi literatur dan wawancara dengan para pakar dan pelaku industri kelapa sawit di lapang telah disusun suatustruktur hierarki dari FAHP untuk mengidentifikasi risiko-risiko rantai pasok komoditas kelapa sawit. Struktur hierarki yang diperoleh terdiri atas empat level yaitu: 1) Level 1. Fokus/Goal: Identifikasi faktor risiko setiap tingkatan rantai pasok produk sawit. 2) Level 2. Tujuan: manajemen risiko rantai pasok komoditas sawit yang menjadi perhatian dalam kajian ini yaitu untuk meningkatkan kualitas pasokan (T1), menjamin kontinyuitas pasokan yang stabil (T2), dan menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah (T3).

127 100 3) Level 3. Aktor yang merupakan tingkatan rantai pasok komoditas sawit terdiri dari: Metode perhitungan Hayami dapat digeneralisasikan dengan langkah-langkah berikut. (1) Identifikasi proses bisnis komoditas ybs, meliputi jenis, jumlah dan harga produk yang diperlukan dan dihasilkan, serta rendemen atau tingkat konversi bahan menjadi produk jadinya. (2) Identifikasi kebutuhan-kebutuhan investasi dan biaya-biaya yan diperlukan untuk pendirian dan pengoperasian usaha tiap komoditas. (3) Sesuaikan formulasi perhitungan perhitungan sesuai keperluan. (4) Verifikasi dan validasi model. Petani, Pengepul, Pabrik minyak sawit, Pabrik Minyak Goreng, Distributor, Konsumen. 4) Level 4. Alternatif faktor risiko yang teridentifikasi sebagai berikut: a) harga, yang diakibatkan oleh adanya inflasi, nilai tukar dan bunga bank, mutu produk dan jumlah pasokan. b) Pasokan, yang bersumber dari keberagaman mutu pasokan, loyalitas pemasok, dan ketersediaan pasokan. c) Transportasi, yang diakibatkan oleh pemilihan moda transportasi, ketidakpastian waktu transportasi, keamanan di jalan, dan kerusakan/penurunan mutu produk di jalan. d) Informasi yang bersumber dari penggunaan metode peramalan, ketersediaan informasi, distorsi informasi dan metode transfer informasi. e) Pasar yang bersumber dari penolakan konsumen, fluktuasi harga dan risiko sertifikasi mutu. f) Kebijakan, yang bersumber dari perubahan perundangan pusat, perubahan perundangan daerah, perubahan ketentuan internasional dan ketentuan harga TBS berkala. g) Penyimpanan yang diakibatkan oleh ketidakpastian pasokan, ketidakpastian permintaan, penyusutan dan penurunan mutu serta lokasi geografis. h) Lingkungan, yang diakibatkan oleh bencana alam, hama dan penyakit, kebijakan pemerintah, keamanan, kondisi sosial budaya dan politik, serta pesaing. i) Produksi yang diakibatkan oleh kapasitas produksi, proses produksi, penggunaan teknologi produksi dan mutu bahan baku. j) Kualitas yang diakibatkan oleh musim dan cuaca, metode penyimpanan, metode transportasi, variasi mutu pasokan, dan proses produksi.

128 101 k) Kemitraan yang bersumber dari pemilihan mitra, putusnya jaringan komunikasi, putusnya jaringan transportasi dan komitmen mitra. l) Teknologi, yang bersumber dari rendahnya penguasaan teknologi, perkembangan teknologi baru, penggunaan teknologi dan ketersediaan teknologi. Struktur hirarki untuk identifikasi faktor risiko setiap tingkatan rantai pasok sawit dapat diperlihatkan pada Gambar 5.3. Struktur hirarki untuk identifikasi dan bobot strategi peningkatan nilai tambah para pelaku RPMS diperlihatkan pada Gambar 5.4. Masukan dari para responden dengan pengisian kuesioner serta wawancara para pakar telah disusun menjadi tiga kelompok pakar yaitu Pakar-I, Pakar-II dan Pakar-III. Proses ini dilakukan karena tidak didapat masukan yang cukup mewakili keseluruhan rantai pasok yang lengkap Identifikasi dan Bobot Tiap Pelaku RPMS Kuisioner yang disusun berdasarkan struktur hirarki AHP Gambar 5.3 dan Gambar 5.4 menghasilkan masukan para responden yang disusun menjadi tiga kelompok pakar. Hasil identifikasi dan evaluasi risiko rantai pasok dengan menggunakan FAHP dapat dijelaskan pada Tabel 5.3 dan Gambar 5.5 sampai dengan Gambar Pelaku Tabel 5.3 Bobot tujuan FAHP dan risiko pelaku Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa peningkatan kontinyuitas pasokan mempunyai bobot tertinggi dengan nilai 0,437 disusul dengan menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah yang mempunyai bobot 0,412. Sedangkan peningkatan kualitas pasokan berada pada peringkat ketiga dengan bobot 0,151. Terlihat juga bahwa petani (0,338) memiliki bobot tertinggi disusul oleh pabrik minyak sawit (0,214), pabrik minyak goreng (0,184), pengepul (0,119), distributor (0,098) dan konsumen (0,046). Peningkatan Kualitas Pasokan Peningkatan Kontinuitas Pasokan Distribusi Nilai Tambah Bobot Aktor Petani 0,366 0,240 0,433 0,338 Pengepul 0,071 0,174 0,077 0,119 Pabrik CPO 0,246 0,189 0,229 0,214 Pabrik Minyak Goreng 0,196 0,227 0,135 0,184 Distributor 0,075 0,131 0,072 0,098 Konsumen 0,046 0,039 0,054 0,046 Bobot 0,151 0,437 0,412 1,000

129 102 Gambar 5.3 Struktur hirarki identifikasi faktor risiko tiap tingkatan RPMS Gambar 5.4 Struktur hirarki identifikasi strategi peningkatan nilai tambah RPMS

130 103 Berdasarkan hasil evaluasi dengan FAHP tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko rantai pasok sawit mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kontinyuitas pasokan. Gambar 5.5 memperlihatkan bobot risiko untuk masing-masing pelaku RPMS. 0,35 0,30 0,25 Bobot 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Petani Pengepul PKS Refinery Distributor Konsumen Pelaku RPMS Gambar 5.5 Histogram perbandingan bobot risiko pelaku RPMS 1) Identifikasi risiko tingkat petani Analisis risiko pada tingkat petani dilakukan untuk dapat mengetahui faktor dan variabel risiko yang perlu ditangani oleh petani dalam manajemen rantai pasok. Hasil pembobotan faktor risiko dengan menggunakan FAHP diperoleh bahwa bobot faktor risiko tertinggi di tingkat petani adalah risiko kualitas, disusul oleh risiko pasar, risiko harga, risiko produksi, dan kemitraan. Distribusi hasil pembobotan faktor risiko pada tingkat petani tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar ,16 Tingkat 0,12 0,08 0,04 0,00 Jenis Gambar 5.6 Histogram perbandingan bobot faktor risiko petani

131 104 2) Identifikasi risiko tingkat pengepul Berdasarkan hasil identifikasi risiko pada tingkat pengepul/pedagang TBS dengan menggunakan fuzzy AHP diperoleh empat faktor risiko dominan yang dihadapi oleh pengepul dalam rantai pasok komoditas sawit yaitu risiko pasokan, risiko pasar, risiko harga dan risiko kemitraan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.7. Hal ini sangat rasional karena pengepul berperan sebagai penghubung antara petani sebagai sumber pokok TBS dan memasokkan TBS kepada pabrik minyak sawit. Risko kedua adalah risiko pasar karena pihak pabrik minyak sawit dapat saja menolak menerima pasokan TBS dari pengepul apabila kualitas atau harga TBS yang dipasok tidak sesuai dengan permintaannya. Tingkat 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Jenis Gambar 5.7 Histogram perbandingan bobot faktor risiko pengepul 3) Identifikasi risiko tingkat PKS Berdasarkan hasil identifikasi risiko pada tingkat pabrik minyak sawit dengan menggunakan fuzzy AHP diperoleh empat faktor risiko dominan yang dihadapi oleh pabrik minyak sawit dalam rantai pasok komoditas sawit yaitu risiko pasokan, risiko produksi, risiko kualitas dan risiko teknologi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.8. Seperti pengepul, pabrik minyak sawit sangat tergantung kepada tersedianya bahan baku berupa TBS. Apabila TBS dari kebun sendiri dan kebun plasma tidak cukup maka pabrik minyak sawit harus membelinya dari petani sawit melalui para pengepul.

132 105 0,25 Tingkat 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Jenis Gambar 5.8 Histogram perbandingan bobot faktor risiko PKS Peran pengepul sangat penting bagi pabrik minyak sawit sebagai agen pencari dan pengumpul TBS dari para petani. Hasil pengamatan perihal risiko yang dihadapi oleh pabrik minyak goreng diperlihatkan pada Gambar 5.9. pasokan masih merupakan risiko terbesar yaitu untuk bahan minyak sawit yang dipasok oleh pabrik minyak sawit. Untuk pengusaha pabrik maka risio produksi dan kualitas merupakan unsur risiko terbesar setelah risiko pasokan karena bila mesin pabrik terhenti karena penyebab apapun maka pabrik mengalami kerugian besar. 4) Identifikasi risiko tingkat pabrik minyak goreng (refinery) Pada tingkat pabrik minyak goreng, empat faktor risiko dominan yang dihadapi dalam rantai pasok sawit adalah risiko pasokan, risiko produksi, risiko kulaitas dan risiko pasar. 0,25 Tingkat 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Jenis Gambar 5.9 Histogram perbandingan bobot faktor risiko refinery

133 106 5) Identifikasi risiko tingkat distributor Empat faktor risiko dominan yang dihadapi oleh distributor dalam rantai pasok komoditas sawit adalah risiko pasar, risiko pasokan, risiko harga dan risiko transportasi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar Apabila pasar tidak menyukai produk yang disiapkan oleh distributor maka posisinya terancam berhenti dari usaha rantai pasok minyak sawit ini, sehingga merupakan aspek risiko terbesar. Tingkat 0,20 0,16 0,12 0,08 0,04 0,00 Jenis Gambar 5.10 Histogram perbandingan bobot faktor risiko distributor 6) Identifikasi risiko tingkat konsumen Empat faktor risiko dominan yang dihadapi oleh konsumen adalah risiko harga, risiko kualitas, risiko pasokan dan risiko transportasi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar Tingkat 0,20 0,16 0,12 0,08 0,04 0,00 Jenis Gambar 5.11 Histogram perbandingan bobot faktor risiko konsumen

134 107 7) Perbandingan bobot faktor risiko total rantai pasok komoditas sawit Gambar 5.12 menunjukkan bobot jenis risiko untuk keseluruhan RPMS. Disini terlihat bahwa secara global urutan tingkat risiko yang dihadapi oleh para pelaku dari yang paling tinggi adalah risiko pasokan, risiko kualitas, risiko pasar, risiko harga, risiko produksi, dan selanjutnya sampai yang terkecil adalah risiko kebijakan dan risiko penyimpanan. 0,15 0,12 0,09 0,06 0,03 0,00 Gambar 5.12 Histogram perbandingan bobot faktor risiko total RPMS Identifikasi dan Evaluasi Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS Hasil evaluasi strategi masing-masing srategi peningkatan nilai tambah rantai pasok minyak sawit ditunjukan pada Tabel 5.4 dan Gambar Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Tabel 5.4 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah Petani Pengepul Pabrik CPO Refinery Distributor Konsumen Alternatif 0,405 0,182 0,564 0,214 0,071 0,106 0,331 0,148 0,156 0,081 0,091 0,151 0,214 0,127 0,100 0,149 0,132 0,186 0,151 0,146 0,135 0,348 0,513 0,222 0,509 0,627 0,534 0,406 Bobot 0,338 0,119 0,214 0,184 0,098 0,046 1,000 Untuk pengolahan masukan responden perihal identifikasi dan evaluasi alternatif strategi peningkatan nilai tambah maka petani tetap merupakan faktor terpenting diikuti oleh pabrik minyak sawit (CPO) karena petani merupakan sumber utama bahan baku TBS. Pengembangan klaster dan peningkatan infrastruktur areal perkebunan mutlak perlu, karena merupakan sisi

135 108 paling lemah untuk Indonesia dibandingkan dengan perkebunan sawit di Malaysia. Hal ini merupakan faktor yang sangat dominan dalam kemudahan pengumpulan hasil panen dari kebun untuk diangkut ke pabrik pengolah TBS. Infrastruktur kebun yang bagus akan sangat menurunkan biaya dan waktu pengumpulan. Semakin cepat TBS tiba di pabrik maka akan masih tinggi kualitasnya karena segera diproses. Perbaikan produktivitas dengan bibit dan budidaya unggul merupakan faktor kedua terpenting untuk peningkatan nilai tambah RPMS. 0,50 0,40 Nilai Bobot 0,30 0,20 0,10 0,00 Produktivitas Bibit / Budidaya Kepastian Hukum / Peraturan Penguatan Kelembagaan / Kemitraan Pengembangan Klaster / Infrastruktur Pilihan Strategi Gambar 5.13 Hasil identifikasi dan evaluasi strategi peningkatan nilai tambah Pengembangan infrastruktur dan klaster industri sawit memang merupakan program pemerintah yang sudah dimulai di daerah Riau dan Sumatera Utara yang memiliki areal perkebunan sawit terbesar di Indonesia saat ini. Pihak swasta telah turut bersama pemerintah melaksanakannya. 5.3 Model Simulasi Berbasis-Agen Pendahuluan Pada tahap terakhir penelitian disertasi ini masukan dari dua tahap sebelumnya merupakan data nyata dan kendala (constraint) untuk model simulasi yang dikembangkan. Gambar 5.14 menunjukkan langkah pemodelan berbasis agen untuk nilai tambah rantai pasok minyak sawit, dan simulasi dengan model Netlogo. Penelitian dimulai dengan studi literatur untuk mengenali para pelaku rantai pasok minyak sawit dan interaksi antar para pelaku atau stakeholder tersebut. Dengan wawancara kepada para narasumber dan pakar secara purposive sampling dimintakan masukan pendapat mereka perihal faktor-faktor risiko yang dihadapi para pelaku bisnis sawit dan bagaimana tingkat beban serta perimbangan beban risiko mereka. Kemudian dengan menggunakan kuesioner juga dimintakan masukan mereka perihal strategi apa

136 109 saja yang seharusnya ditentukan untuk dapat meningkatkan nilai tambah rantai pasok industri sawit ini. Gambar 5.14 Diagram alir pemodelan berbasis agen Formulasi Model Perhitungan Nilai Tambah RPMS berbasis-agen 1) Petani rakyat swadaya Gambar 5.15 Proses bisnis petani dalam rantai pasok minyak sawit

137 110 Gambar 5.15 menggambarkan proses bisnis petani swadaya sebagai agen dalam rantai pasok minyak sawit. Proses bisnis petani menjadi faktor yang sangat penting, karena merupakan pangkal dari rantai pasok minyak sawit. Kegiatan ini diawali oleh petani dengan menseleksi bibit kelapa sawit yang akan di tanam. Variabel dan parameter yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan fungsional yakni kualitas bibit kelapa sawit, harga TBS lokal, dan biaya-biaya yang termasuk dalam budidaya kelapa sawit. Selain itu beberapa informasi yang dijadikan bahan untuk mengambil keputusan diantaranya, harga bibit, harga jual TBS, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Jumlah TBS yang dihasilkan, dan keuntungan yang diperoleh menjadi Key Performance Indicator dari keberhasilan menanam kelapa sawit bagi para petani. Gambar 5.16 Diagram alir pengambilan keputusan oleh petani Berdasarkan proses bisnis yang dilakukan petani dalam rantai pasok minyak sawit, telah dibuat rancangan proses bisnis dalam suatu diagram alir Gambar Proses bisnis (fungsional) petani diawali dengan membeli bibit kelapa sawit dengan memperhitungkan luas lahan perkebunan yang akan ditanami kelapa sawit, kualitas, harga, dan sumber bibit kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit biasanya mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah

138 111 penyerbukan. Waktu panen buah kelapa sawit sangat mempengaruhi jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan. Waktu panen yang tepat akan diperoleh kandungan minyak maksimal, tetapi pemanenan buah yang kelewat matang akan meningkatkan asam lemak bebas (ALB), sehingga dapat merugikan karena sebagian kandungan minyaknya akan berubah menjadi ALB dan menurunkan kualitas minyak. Sebaliknya pemanenan buah yang masih mentah akan menurunkan kandungan minyak, walaupun ALB-nya rendah. Setelah panen, petani dapat menjual kepada pengepul yang memberikan penawaran harga lebih tinggi disbanding pengepul lainnya. Namun, apabila TBS sudah terlalu lama disimpan, petani tidak bisa melakukan negosisai harga, sehinggia terpaksa petani harus menjual TBS tersebut meskipun dengan penawaran harga yang rendah. Dari hasil penjualan ini dapat menghitung nilai tambah yang dihasilkan petani. Formulasi keputusan : 1. Membeli dan menanam bibit kelapa sawit sebanyak n pohon kelapa sawit. 2. Merawat kebun kelapa sawit 3. Memanen/ transportasi TBS 4. Menjual TBS sebanyak V-TBS-p-jual dengan harga satuan H-TBS-p-jual 5. Menghitung nilai tambah 6. V add = (V-TBS-p-jual*H-TBS-p-jual) TC TC = FC + VC VC (Variable Cost) = (Harga bibit x n) + (Biaya pemupukan (perawatan) x Jumlah Kelapa Sawit) + (Biaya panen x Jumlah kelapa sawit) + (Biaya angkut x Volume TBS) 7. Menghitung porsi nilai tambah terhadap Total Nilai Tambah RPMS. Keterangan variabel: V-TBS-p-jual = Volume penjualan TBS oleh petani H-TBS-p-jual = Harga jual TBS oleh petani V add = Nilai tambah yang diperoleh TC = Total costs petani FC = Total biaya tetap VC = Total biaya variabel

139 112 2) Agen Pengepul Gambar 5.17 Proses bisnis pengepul dalam RPMS Proses bisnis Pengepul ditunjukkan pada gambar Informasi mengenai permintaan TBS dari pabrik minyak sawit, harga dan mutu TBS dari petani menjadi tolak ukur pengepul dalam mengambil keputusan baik dalam membeli TBS ataupun menjual TBS kepada pabrik minyak sawit, dengan variabel dan parameter yang ditinjau yaitu kualitas TBS dan harga TBS yang beredar di pasar lokal. Kesuksesan kinerja pengepul dapat ditinjau berdasarkan laba atau keuntungan yang mereka peroleh dari penjualan TBS kepada pabrik minyak sawit. Oleh karena itu, dalam mencari petani kelapa sawit, pengepul harus pandai dan cermat dalam mencari TBS dan mengalokasikannya ke pabrik minyak sawit yang bisa memberikan keuntungan lebih dari beberapa pabrik minyak sawit yang membutuhkan. Gambar 5.18 menggambarkan diagram alir rangkaian kerja pengepul. Kegiatan bisnis pengepul diawali dengan membeli TBS dari petani. Pengepul mencari informasi mengenai sumber TBS, permintaan pabrik minyak sawit, mutu, stok TBS dan harga TBS baik yang dijual oleh petani ataupun yang mampu dibeli oleh pabrik minyak sawit, sebagai dasar pemikiran untik membeli TBS. Kemudian, pengepul menjual TBS kepada pabrik minyak sawit yang membutuhkan dengan harga jual tertinggi. Dari hasil penjualan tersebut, dapat menghitung nilai tambah yang diperoleh pengepul.

140 113 Gambar 5.18 Diagram alir keputusan pengepul Formulasi keputusan pengepul : Membeli TBS sebanyak V-TBS-pu-beli dengan harga satuan H-TBS-p jika ada permintaan dari pabrik minyak sawit, Menjual TBS sebanyak V-TBS-pu-jual dengan harga satuan H-TBS-pu-jual, Nilai tambah dihitung dengan formula: Penjualan semua biaya, V add = (Volume TBS pu * P sold ) TC TC = FC + VC VC (Variable Cost) = (Harga beli TBS * Volume) + (Biaya angkut * Volume TBS) Keterangan singkatan sama dengan untuk petani, kecuali bahwa index p diganti dengan pu (pengepul). 3) Agen Pabrik Minyak Sawit (PKS) Gambar 5.19 menggambarkan proses bisnis pabrik minyak sawit sebagai agen dalam rantai pasok minyak sawit. Proses bisnis pabrik minyak sawit menjadi faktor yang sangat

141 114 penting, karena merupakan inti dari rantai pasok minyak sawit. Kegiatan ini diawali oleh pabrik minyak sawit dengan pembelian TBS dari pengepul kemudian memproduksi minyak sawit, menyimpan hasil minyak sawit sebelum dilakukan penjualan kepada pabrik minyak goreng, melakukan lelang minyak sawit kepada konsumen yaitu pabrik minyak goreng dan yang terakhir adalah melakukan penjualan kepada pemenang lelang Gambar 5.19 Proses bisnis pabrik minyak sawit Variabel dan parameter yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan fungsional yakni jumlah stock minyak sawit yang dimiliki perusahaan, harga minyak sawit lokal atau dalam negeri, harga minyak sawit dunia, biaya-biaya rinci dan total biaya yang digunakan untuk memproduksi minyak sawit. Selain itu beberapa informasi yang dijadikan bahan untuk mengambil keputusan diantaranya adalah harga minyak sawit lokal, harga minyak sawit dunia, jumlah permintaan pabrik minyak goreng dan jumlah permintaan dari eksportir. Tingkat keberhasilan pabrik minyak sawit sebagai agen dalam rantai pasok minyak sawit dapat dilihat dari nilai Key Performance Indicator (KPI). Dimana KPI dinilai berdasarkan jumlah minyak sawit yang dihasilkan dan laba yang diperoleh pabrik minyak sawit. Kegiatan yang dilakukan oleh pabrik minyak sawit, secara rinci dijelaskan pada Gambar Pabrik minyak sawit memproduksi minyak sawit apabila terdapat permintaan minyak sawit dari minyak goreng. Jika, stok TBS tidak mencukupi maka Pabrik minyak sawit membeli TBS

142 115 dari Pengepul baik yang telah menjadi supplier tetap mereka ataupun supplier lain apabila TBS yang tersedia tetap belum mencukupi. Pabrik minyak sawit terlebih dahulu memilih TBS yang baik untuk diproduksi menjadi minyak sawit. Apabila produksi minyak sawit yang dihasilkan kurang baik maka dilakukan recycle atau pemrosesan ulang sehingga dihasilkan minyak sawit yang lebih baik. Gambar 5.20 Diagram alir keputusan pabrik minyak sawit Pabrik menjual minyak sawit yang telah diproduksi sesuai dengan permintaan pabrik minyak goreng, ataupun pabrik lainnya seperti margarin, kosmetik, dan lain-lain. Pabrik minyak sawit dapat memilih menjual ke pasar lokal ataupun ekspor dengan memperbandingkan harga minyak sawit lokal dan dunia. Apabila harga jual minyak sawit lokal lebih rendah dari harga jual minyak sawit ekspor, pabrik dapat memilih untuk mengekspor minyak sawit, dan sebaliknya. Setelah sepakat untuk melakukan transaksi penjualan kepada agen yang membutuhkan, pabrik melakukan pengiriman minyak sawit kepada pembeli tersebut. Kemudian, pabrik dapat menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari penjualan minyak sawit, dan meng-update KPI.

143 116 Formula keputusan Pabrik minyak sawit: 1. Membeli TBS sebanyak V-TBS-pu dengan satuan Harga-TBS-pu 2. Memproduksi minyak sawit sebanyak V-TBS/ satuan waktu. 3. Menjual minyak sawit sebanyak V-minyak sawit dengan satuan Harga-minyak sawit kepada pabrik minyak goreng. 4. V add = (Volume TBS pu * P sold ) TC TC = FC + VC VC (Variable Cost) = (Harga beli TBS * Volume) + (Biaya produksi * Volume TBS) 4) Agen Refinery (Pabrik Minyak Goreng) Gambar 5.21 Proses bisnis refinery Gambar 5.21 menggambarkan proses bisnis pabrik minyak goreng (refinery) sebagai agen dalam rantai pasok minyak sawit. Gambar 5.22 menunjukkan proses pengambilan keputusannya. Proses bisnis refinery menjadi faktor yang sangat penting, karena merupakan inti dari rantai pasok minyak sawit. Kegiatan ini diawali oleh pabrik minyak goreng dengan pembelian minyak sawit dari pabrik minyak sawit kemudian memproduksi minyak goreng, melakukan penyimpanan hasil produksi minyak goreng dan yang terakhir adalah melakukan penjualan kepada distributor. Variabel dan parameter yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan fungsional yakni jumlah stock minyak goreng yang dimiliki

144 117 perusahaan, harga minyak goreng, biaya produksi minyak goreng dan biaya-biaya lainnya. Selain itu beberapa informasi yang dijadikan bahan untuk mengambil keputusan diantaranya adalah harga minyak sawit, harga minyak goreng pesaing, permintaan minyak goreng dan permintaan minyak goreng yang diekspor. Tingkat keberhasilan pabrik minyak goreng sebagai agen dalam rantai pasok minyak sawit dapat dilihat dari nilai Key Performance Indicator (KPI). KPI dinilai berdasarkan jumlah minyak goreng yang dihasilkan dan keuntungan yang diperoleh. Gambar 5.22 Diagram alir keputusan refinery Kegiatan fungsional pabrik minyak goreng diawali dengan membeli minyak sawit kepada pabrik minyak sawit dengan mempertimbangkan kualitas dan harga minyak sawit yang dijual pabrik minyak sawit. Kemudian pabrik mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng, sesuai dengan permintaan pasar baik dari data historis penjualan sebelumnya ataupun data permintaan sekarang. Pabrik minyak goreng dapat menyimpan minyak goreng lebih lama daripada petani, pengepul, ataupun pabrik minyak sawit. Kegiatan selanjutnya, pabrik minyak goreng dapat menjual minyak goreng yang telah diproduksi kepada distributor yang meminta kepada mereka.

145 118 Berdasarkan hasil penjualan minyak goreng tersebut pabrik dapat menghitung nilai tambah yang mereka peroleh. Formula keputusan Pabrik Minyak Goreng : 1. Membeli minyak sawit sebanyak V-Minyak Sawit dengan satuan Harga-Minyak Sawit 2. Memproduksi minyak goreng sebanyak V-Minyak Goreng/ satuan waktu. 3. Menjual minyak goreng dengan satuan Harga-Minyak Goreng kepada distributor 4. V add = (Volume Minyak Goreng x P sold ) TC TC = FC + VC VC (Variable Cost) = (Harga beli Minyak Sawit x Volume) + (Biaya produksi minyak goreng x Volume Minyak Sawit) + (Biaya inventory x Volume Minyak Goreng) 5. Agen Distributor Proses bisnis distributor dan proses pengambilan keputusannya digambarkan pada pada Gambar 5.23 dan Gambar Informasi harga minyak goreng dan permintaan minyak goreng menjadi dasar informasi dalam pengambilan keputusan untuk membeli dan menjual atau mendistribusikan minyak goreng. Hal ini dipengaruhi oleh harga minyak goreng yang beredar di pasaran, terutama dari pesaingnya sehingga dapat dijadikan perbandingan dalam menentukan harga jual minyak goreng. Biaya-biaya lain, sepeti biaya inventori juga perlu diperhitungkan, sehingga bisa menjadi parameter apakah distributor akan menjual atau menyimpan minyak goreng pada saat terjadi perubahan harga yang fluktuatif. Gambar 5.23 Proses bisnis distributor MGS

146 119 Kegiatan bisnis distributor lebih sederhana. Distributor membeli minyak goreng kepada pabrik minyak goreng untuk kemudian disalurkan kepada pembeli. Minyak goreng yang berada didistributor bisa memiliki masa simpan yang lebih lama. Keaktifan distributor dalam memesan minyak goreng bergantung pada keluar masuk arus minyak goreng. Semakin banyak penjualan, semakin banyak pemesanan yang dilakukan. Distributor dapat menghitung nilai tambah yang mereka peroleh berdasarkan penjualan yang mereka hasilkan. Formula Keputusan Distributor 1. Membeli Minyak Goreng sebanyak V mg dengan satuan Harga mg 2. Menjual minyak goreng dengan satuan Harga mg kepada konsumen 3. V add = (Volume Minyak Goreng * P sold ) TC VC (Variable Cost) = (Harga beli Minyak Goreng * Volume) + (Biaya inventory * Volume Minyak Goreng). Gambar 5.24 Diagram alir keputusan distributor MGS

147 Formulasi Model Netlogo Dengan uraian formulasi perhitungan nilai tambah pada sub-bab di atas dapat digambarkan diagram alir program simulasi komputer menggunakan Netlogo yang tampak pada Gambar 5.25, 5.26, 5.27 dan Gambar 5.25 menunjukkan proses iterasi penentuan nilai α dan w 1i dan w 2i dengan simulasi pada model Netlogo Utilitas serta penentuan harga jual produk pada simulasi Netlogo Negosiasi. Keluaran kuantitatif dari simulasi adalah berupa data dengan format comma separated values (CSV) pada folder program Netlogo ybs. Data ini dapat diolah dengan MS Excel untuk mendapatkan nilai-nilai yang dicari. Gambar 5.25 Diagram alir simulasi Netlogo Utilitas dan Netlogo Negosiasi Gambar 5.26 menunjukkan proses global iterasi perhitungan nilai tambah pada Netlogo Negosiasi. Diagram ini menguraikan proses kegiatan simulasi Netlogo Negosiasi dengan masukan data harga-harga bahan dan biaya-biaya operasional, parameter konversi produksi serta constraint berupa rasio tingkat utilitas optimum yang didapat dari simulasi Netlogo Utilitas. Gambar 5.26 Diagram alir global program Netlogo Negosiasi RPMS

148 121 Pada pemodelan menggunakan software Netlogo ini diterapkan konsep stakeholder dialogue yaitu dengan penerapan pemeriksaan apakah profit pelaku sudah cukup memuaskan. Pada Gambar 5.27 hal ini terlihat pada bagian pertanyaan Cek Profit Petani dan Cek Profit Pedagang. Gambar 5.27 Diagram alir program simulasi Netlogo

149 122 Dari Gambar 5.27 proses iterasi penerapan stakeholder dialogue dilanjutkan ke Gambar 5.28 dengan pelaku RPMS berikutnya. Pada model Netlogo Negosiasi dimasukkan suatu kondisi yang harus dipenuhi yaitu rasio tingkat utilitas optimum para pelaku RPMS yang dihasilkan dari proses simulasi Netlogo Utilitas. Nilai tingkat ini diatur dengan slider pada bagian atas model. Gambar 5.28 Diagram alir program Netlogo untuk pelaku selanjutnya

150 123 Nilai-nilai harga awal, investasi, dan biaya-biaya pengolahan baik yang operasional sudah dimasukkan kedalam program Netlogo. Setelah program menghitung nilai tambah yang dapat diterima oleh petani dan pedagang, maka proses negosiasi dilanjutkan untuk dua pelaku berikutnya. Hanya setelah tingkat nilai tambah kesemua pelaku dapat diterima maka proses menghasilkan harga jual produk masing-masing pelaku. Hal ini terlihat pada grafik Gambar 5.34 (untuk nilai profit) dan Gambar 5.35 (untuk harga jual produk). Panduan penggunaan model simulasi Netlogo yang dibuat dapat dilihat pada Lampiran Verifikasi dan Validasi Model 1) Verifikasi Model Verifikasi model dilakukan dengan memeriksa kebenaran perhitungan formula yang digunakan. Dihitung nilai tambah dengan beberapa harga komoditas, yaitu TBS, minyak sawit dan minyak goreng. Kemudian dilakukan perhitungan nilai tambah dengan perubahan pada variabel investasi dan biaya. Analisa sensitivitas dilakukan dengan menaik-turunkan harga komoditas dan volume penjualan, dan dilihat perilaku fluktuasi nilai tambah yang dihasilkan. 2) Validasi model Oleh karena Prof Yujiro Hayami pencipta model perhitungan nilai tambah Hayami ini tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan melalui perihal modifikasi ini maka validasi langsung tidak dapat dilakukan. Face validation dengan pakar agroekonomi. Yang pertama dilakukan dengan komunikasi langsung dan melalui dengan Prof Almasdi Syahza, guru besar Ilmu Ekonomi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Riau. Pakar yang kedua adalah Dr. Iyung Pahan, konsultan dalam bidang industri kelapa sawit, alumni dari MB-IPB dan penulis buku Panduan Lengkap Kelapa Sawit (Pahan, 2007) Hasil simulasi dengan Model Netlogo Hasil simulasi dengan model Netlogo Utilitas diperlihatkan pada Gambar 5.29 sampai Gambar 5.33 yang menunjukkan perpotongan dua grafik utilitas untuk mendapatkan nilai optimumnya. Hasil simulasi model Netlogo Negosiasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Data yang ditampilkan adalah sebanyak 31 iterasi dari sekitar 2000 iterasi yang dilakukan. Tabel ini

151 124 menunjukkan 2 macam data. Data pada 5 kolom pertama adalah nilai tambah dalam satuan Rp/kg untuk para pelaku. Data pada 5 kolom berikutnya adalah harga jual produk per kg. Gambar 5.29 menunjukkan grafik-grafik utilitas nilai tambah untuk petani. Kedua grafik tersebut bersifat eksponensial sesuai formula NT = f(risiko, investasi) = α e (w 1i x 1i + w 2i x 2i ) α yang diuraikan pada sub-bab 3.5. Grafik berwarna merah adalah grafik utilitas nilai tambah untuk risiko (Util-risk). Bobot risiko w1 dinaikkan secara bertahap dari 0,001 dengan tambahan tiap iterasi sebesar 0,001. Grafik berwarna hijau adalah grafik utilitas nilai tambah untuk investasi w2 (Util-inv). Bobot investasi dinaikkan secara bertahap dari 0,001 dengan tambahan tiap iterasi sebesar 0,001. Titik perpotongan kedua grafik menunjukkan tingkat utilitas nilai tambah optimum bagi petani yaitu nilai keseimbangan antara tingkat risiko dan investasi yang dihadapi. Gambar 5.29 Simulasi utilitas nilai tambah Petani Uraian ini berlaku untuk Gambar 5.30 sampai dengan Gambar 5.33 dengan pelaku secara berurut dari Pengepul, PKS, Refinery, dan Distributor. Hasil simulasi berupa tingkat utilitas nilai tambah optimum untuk setiap pelaku RPMS beserta rasionya ditunjukkan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Daftar tingkat utilitas optimum Petani Pengepul PKS Refinery Distributor Tingkat 0,355 0,124 0,224 0,193 0,103 Tingkat Investasi Nilai Utilitas Optimum 2,984 2,301 3,608 4,192 2,233 Rasio utilitas 0,195 0,150 0,236 0,274 0,146

152 125 Gambar 5.30 Simulasi utilitas nilai tambah Pengepul Gambar 5.31 Simulasi utilitas nilai tambah PKS Gambar 5.32 Simulasi utilitas nilai tambah Pabrik minyak goreng (refinery]

153 126 Gambar 5.33 Simulasi utilitas nilai tambah Distributor Angka-angka tingkat utilitas nilai tambah optimum dimasukkan sebagai constraint pada model Netlogo Negosiasi untuk mendapatkan harga-harga jual produk tiap pelaku yang sesuai. Gambar 5.34 Nilai tambah tiap pelaku RPMS Gambar 5.34 menunjukkan grafik pergerakan nilai tambah tiap pelaku sepanjang proses negosiasi sampai didapat nilai yang stabil sesuai tingkat utilitas optimum masing-masing. Sumbu vertikal menunjukkan tingkat profit dalam persen. Gambar 5.35 menunjukkan pergerakan harga jual produk per pelaku dalam Rp/kg. Terlihat bahwa harga jual untuk refinery dan distributor turun dari harga awal, sedangkan untuk PKS, pengepul dan petani terdapat kenaikan mengikuti tingkat utilitas nilai tambahnya. Pola grafik ini berbeda dari grafik nilai tambah Gambar 5.34.

154 127 Gambar 5.35 Harga jual produk tiap pelaku RPMS Gambar 5.36 dan Gambar 5.37 menunjukkan output dunia model Netlogo yang menampilkan simulasi besarnya nilai tambah setiap pelaku untuk setiap iterasi. Besarnya lingkaran menunjukkan perbandingan tingkat nilai tambah per kelompok pelaku. Gambar 5.36 Rasio nilai tambah tiap pelaku saat awal negosiasi Gambar 5.37 Rasio nilai tambah tiap pelaku setelah negosiasi selesai

155 128 Dengan membandingkan Gambar 5.36 dan 5.37 dapat dilihat bahwa besarnya nilai tambah (dalam perbandingan terhadap nilai maksimum masing-masing) berubah sesuai dengan proses negosiasi stakeholder dialogue. Untuk petani dan pengepul nilai tambah tersebut naik. Perubahan tersebut dibatasi oleh constraint yaitu tingkat utilitas optimum nilai tambah. Gambar 5.36 menunjukkan kondisi awal sebelum proses stakeholder dialogue sedangkan Gambar 5.37 menunjukkan kondisi akhir pada saat harga jual tiap produk sudah stabil pada nilai yang memberikan profit atau nilai tambah optimum. Nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.6. Nilai tambah petani dan pengepul meningkat pada akhir negosiasi. Tabel 5.6 Kesimpulan hasil simulasi penyeimbangan nilai tambah Petani Pengepul PKS Refinery Distributor Produk yang dijual Satuan TBS TBS CPO MGS MGS 1 Harga Beli Bahan Rp/kg Harga Jual Produk Rp/kg Tingkat 0,355 0,124 0,224 0,193 0,103 4 Tingkat Investasi Nilai Utilitas Optimum 2,984 2,301 3,608 4,192 2,233 6 Rasio Utilitas 0,195 0,150 0,236 0,274 0,146 7 Harga Jual Seharusnya Rp/kg Keuntungan Rp/kg Keuntungan % Kesimpulan umum dari hasil simulasi dengan model Netlogo Utilitas dan Netlogo Negosiasi ditunjukkan pada Tabel 5.6 dan Tabel 5.7. Dengan membandingkan nilai harga jual produk pada baris 2 (Harga jual produk) dengan baris 7 (Harga jual seharusnya) terlihat bahwa harga jual untuk petani, pengepul dan PKS menjadi lebih besar, sedangkan untuk refinery dan distributor MGS menurun. Tingkat risiko dan tingkat investasi menjadi masukan kepada simulasi Netlogo Utilitas untuk menghasilkan tingkat utilitas optimum. Perbandingan tingkat utilitas nilai tambah optimum yang merupakan constraint pada model Netlogo Negosiasi menjadi penggerak merubah harga jual mengikuti perbandingan tingkat utilitas tersebut. Hasil simulasi ini akan berbeda apabila masukan dari para responden terhadap kuisioner berbeda, dan apabila nilai-nilai harga bahan dan operasional serta investasi berbeda pula. Dengan membandingkan Tabel 5.6 terhadap Tabel 5.7 untuk nilai-nilai dan urutan risiko, investasi dan utilitas optimum dapat dilihat bahwa urutan tingkat keuntungan tertinggi berada

156 129 pada refinery dan PKS. Ini disebabkan karena perbandingan nilai investasi yang jauh lebih tinggi pada kedua pelaku tersebut. Walaupun demikian tingkat risiko petani yang paling tinggi telah cukup banyak menaikkan harga jual yang dikehendakinya. Tabel 5.7 Kesimpulan hasil simulasi software Netlogo (urutan nilai tingkat) Satuan Petani Pengepul PKS Refinery Distributor Produk yang dijual TBS TBS CPO MGS MGS 1 Harga Beli Bahan Rp/kg Harga Jual Produk Rp/kg Urutan Tingkat Urutan Tingkat Investasi Nilai Utilitas Optimum 2,984 2,301 3,608 4,192 2,233 6 Urutan Rasio Utilitas Harga Jual Seharusnya Rp/kg Urutan Tingkat Keuntungan Implikasi Manajerial Pengendalian harga minyak goreng dalam rangka pengendalian inflasi perlu dilakukan dengan meningkatkan hasil produksi minyak goreng, pengawasan harga dan distribusi minyak goreng. Dalam kaitan upaya tersebut, pemerintah perlu menerapkan kebijakan prioritas peningkatan produksi minyak goreng melalui instrumen fiskal dan moneter, seperti subsidi dan skim kredit, menerapkan kebijakan pengendalian harga eceran tertinggi/het dan mempertimbangkan masuknya lembaga distribusi minyak goreng milik pemerintah. Untuk biaya-biaya, para pelaku rantai pasok, baik petani, pedagang dan perusahaan atau distributor mungkin dapat mengendalikannya dengan menekan sisi biaya yang terlalu tinggi sehingga dapat menaikkan nilai tambah. Untuk mekanisme pasar, yaitu penentuan tingkat harga jual produk, besarnya volume pasar, interaksi antara pasokan dan permintaan, struktur pasar (oligopoly, monopsoni atau yang lain) tidak dapat dilakukan pengendalianyang sempurna untuk menggeser perbandingan tingkat nilai tambah pada para pelaku dalam rantai pasok ini. Oleh karena posisi dan kekuasaan para pelaku rantai pasok sangat menentukan struktur pasar dan tataniaga komoditasnya maka upaya perbaikanpun harus melalui pergeseran kekuasaan masing-

157 130 masing pelaku rantai pasar yang bersangkutan (Preckel et al., 2004). Upaya-upaya tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Penentuan harga TBS petani Untuk penentuan harga TBS bagi petani, Dinas Perkebunan dalam rapat berkala penentuan nilai Index Proporsi k dan penentuan harga TBS dapat memasukkan nilai volume dan harga jual limbah industri sawit yang sekarang sudah merupakan komoditas dagang yang menguntungkan. Pada saat ini penentuan Index Proporsi tersebut hanya berdasarkan volume dan harga jual serta randemen minyak sawit dan PK saja. Pada formula berikut ini terlihat bahwa bila faktor k naik dan dimasukkan volume dan harga jual limbah minyak (LIM) dan cangkang sawit (CKG) maka harga TBS bagi petani akan naik juga (2), dari formula semula (1). Harga TBS = k * ( (η Minyak Sawit * H Minyak Sawit ) + (η PK * H PK ) ) / 100 (1) Harga TBS = k*((η Minyak Sawit *H Minyak Sawit ) + (η PK *H PK ) + (η LIM *H LIM ) + (η CKG *H CKG ))/ (2) Dimana η adalah randemen, sedangkan H adalah Harga jual dari tiap produk. Integrasi vertikal kebun dengan PKS mini Pengolahan TBS menjadi minyak sawit mentah skala mini melalui koperasi-koperasi petani menjadi suatu pilihan yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit di Indonesia. Dengan mesin pengolah berkapasitas 1-3 ton TBS per jam (dipasok oleh kebun sawit seluas 2000 Ha), kelompok-kelompok petani kelapa sawit dapat meningkatkan pendapatan mereka cukup tinggi dari lahan yang terbatas, dan mereka pun lebih memiliki kepastian harga yang jelas dibandingkan dengan hanya menjual TBS. Revitalisasi kelembagaan Kelompok Tani dan Koperasi Berdasarkan kenyataan bahwa pasar TBS, minyak sawit dan minyak goreng adalah bersifat oligopolistik maka pada sisi hulu yaitu para petani harus melakukan pengikatan kerjasama yang lebih kuat dalam bentuk Kelompok Tani (KT) dan Koperasi. Dengan bentuk kelembagaan KT dan Koperasi maka akan didapat kekuatan tawar-menawar harga dengan pedagang dan pabrik minyak sawit. Dalam pertemuan berkala di kantor Dinas Perkebunan untuk menentukan nilai index proporsi k dan harga TBS maka KT dan Koperasi seharusnya dapat lebih ikut menentukan keputusan yang diambil untuk lebih menguntungkan petani.

158 131 Kebijakan Pemerintah yang lebih memperhatikan petani Silva et al., (2009) menyatakan bahwa peran pemerintah dalam pengembangan agroindustri sangat diperlukan sebagai pengatur dan pengendali kebijakan dalam interaksi antara para pelaku rantai pasok. Pemerintah tidak bisa hanya menjadi pengamat pasif. Pemeritah harus menjaga dan mengupayakan terjadinya keseimbangan kekuasaan dalam interaksi tersebut agar rantai pasok tersebut dapat berlanjut.

159 132 (Halaman ini sengaja dibiarkan kosong)

160 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan RPMS terdiri dari enam pelaku yang aktif dan dominan yaitu petani swadaya, pedagang/pengepul, pabrik kelapa sawit (PKS), refinery (pabrik minyak goreng sawit), distributor minyak goreng sawit, dan konsumen. Pada penelitian ini sisi hilir hanya diwakili oleh refinery dan distributor minyak goreng sawit. Metode perhitungan nilai tambah yang dimodifikasi telah diterapkan untuk RPMS dengan komoditas utama yaitu TBS, minyak sawit dan MGS. PKS menerima pendapatan juga dari penjualan palm kernel (PK). Refinery menghasilkan pendapatan tambahan dari penjualan stearin dan PFAD. Metode perhitungan nilai tambah ini dapat dipergunakan secara berkelanjutan karena memproses transaksi kegiatan budidaya kebun, pengolahan hasil panen, sedangkan transaksi bisnisnya berlangsung setiap hari. Metode modifikasi yang diuraikan telah memperlihatkan adanya arus bahan dan produk yang mengalir sepanjang para pelaku RPMS sehingga bisa ditelusuri perubahan bahan dan produk yang terjadi beserta harga, biaya dan nilai tambah yang dihasilkan. Dengan demikian maka model ini dapat dipergunakan untuk melakukan analisis what-if maupun analisis sensitivitas untuk keperluan pengambilan keputusan. Model identifikasi dan evaluasi bobot risiko para pelaku RPMS memperlihatkan bahwa tingkatan petani (0,338) memiliki bobot tertinggi disusul oleh pabrik minyak sawit (0,214), pabrik minyak goreng (0,184), pengepul (0,119), distributor (0,098) dan konsumen (0,046). Unsur-unsur ketidakpastian responden yang beragam telah dapat dipadukan secara harmonis dengan menggunakan pendekatan fuzzy AHP. Masukan dari responden memperlihatkan bahwa mereka secara konvergen memprioritaskan mengatasi risiko pasokan yang tidak stabil serta memastikan untuk mendapatkan bahan dan menghasilkan produk berkualitas. Hal ini sejalan dengan hasil yang didapatkan pada analisis bobot risiko yaitu perlunya mengatasi risiko kualitas. Berdasarkan hasil evaluasi dengan FAHP tersebut, telah disimpulkan bahwa manajemen risiko rantai pasok minyak sawit mempunyai tujuan utama meningkatkan kontinyuitas pasokan. Ini berarti bahwa semua responden dan pakar sepakat menyatakan bahwa kelancaran arus bahan baku dan produk secara beranting merupakan hal yang mutlak harus dijamin dalam RPMS agar terjadi kelangsungan usaha. Setelah itu keseimbangan pendapatan nilai tambah yang adil merupakan syarat kedua kelanjutan RPMS. Keseimbangan ini dinyatakan merupakan fungsi dari bobot risiko dan investasi yang dihadapi oleh masing-masing pelaku RPMS. Perihal strategi 133

161 134 mana yang terbaik untuk meningkatkan nilai tambah RPMS, hasil identifikasi dan evaluasi yang diolah dengan FAHP menyatakan bahwa strategi terpenting adalah Pengembangan klaster/ peningkatan infrastruktur (0,406) diikuti oleh Perbaikan produktivitas dengan memilih bibit dan proses budidaya unggulan (0,331). Studi kepustakaan dan wawancara yang dilakukan dengan para responden telah memberikan gambaran karakteristik interaksi antara para pemangku kepentingan. Penelitian ini telah menghasilkan penyeimbangan nilai tambah yang adil bagi para pelaku rantai pasok. Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan yang didasari oleh tingkat risiko dan investasi yang dihadapi oleh masing-masing pelaku. Penyeimbangan tersebut diawali dengan simulasi yang mengupayakan optimasi utilitas nilai tambah yang dicapai dengan metode stakeholder dialogue. Perbandingan bobot risiko yang dihasilkan pada model FAHP dan tingkat investasi dari metode Hayami modifikasi merupakan masukan yang diolah pada simulasi Netlogo Utilitas untuk menghasilkan tingkat utilitas optimum untuk tiap pelaku. Dengan menggunakan tingkat utilitas optimum ini proses simulasi dilanjutkan pada model Netlogo Negosiasi antara para pelaku rantai pasok untuk menghitung harga jual produk-produk. Hasil simulasi akan berbeda apabila masukan dari para responden terhadap kuisioner berbeda, dan nilai-nilai harga bahan dan operasional serta investasi berbeda pula. Pendapatan petani sawit dapat diupayakan untuk meningkat dengan perbaikan pada formula perhitungan faktor Index Proporsi. Perbaikan itu didapat dengan memasukkan unsur penjualan limbah dan cangkang pada PKS. Perbaikan pada faktor Index Proporsi dengan sendirinya memberikan peningkatan harga TBS bagi petani. Di dalam pasar yang oligopolistik diperlukan campur-tangan pemerintah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan perihal harga, bea keluar dan ketentuan perpajakan untuk melindungi kepentingan rakyat yang daya tawarnya rendah. 6.2 Saran Model penelitian RPMS ini perlu diperbaiki dengan memasukkan rasio sumber-sumber TBS yang sesungguhnya. Untuk lebih mendekati kondisi usaha yang sering berubah maka perlu ada perbaikan pada model agar dapat menerima perubahan volume transaksi dan harga. Proses lain yang juga perlu disempurnakan adalah identifikasi lebih lanjut perihal faktor-faktor penentu utilitas nilai tambah beserta dinamika pengaruhnya. Hal ini diperlukan karena terlihat bahwa faktor tingkat investasi sangat jauh berbeda diantara para pelaku, sedangkan tingkat risiko cukup

162 135 dekat sehingga pengaruh tingkat investasi sangat dominan terhadap hasil akhir. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan teknologi baru yang dapat berbeda untuk tiap pelaku, dan berbeda pula dampaknya tehadap produktivitas pelaku tersebut. Perbaikan ini akan memberikan keseimbangan nilai tambah yang lebih adil. Simulasi perhitungan nilai tambah para pelaku RPMS menggunakan software Netlogo perlu diverifikasi dalam hal interaksi dengan evaluasi bobot risiko para pelaku agar secara periodik kedua model yang saling terkait ini dapat disempurnakan. Demikian pula modifikasi model perhitungan nilai tambah perlu diverifikasi secara periodik untuk menyempurnakan modelnya. Asumsi-asumsi yang digunakan pada disertasi ini masih perlu dikaji lebih jauh lagi agar dapat disesuaikan dengan kenyataan di lapang. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar modelmodel yang dikembangkan pada disertasi ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan nyata. Pemodelan ini dapat dilanjutkan ke sisi lebih hulu lagi yaitu ke industri penyediaan bibit kelapa sawit. Pemodelan ini dapat juga dilanjutkan dengan industri pengolahan produk-produk oleokimia pangan maupun non-pangan. Dengan demikian maka model akan lengkap menyeluruh dari sisi hulu ke sisi hilir. Metode perhitungan Hayami dapat digeneralisasikan untuk komoditas lain dengan langkah-langkah berikut. 1. Identifikasi proses bisnis komoditas ybs, meliputi jenis, jumlah, harga bahan yang diperlukan dan produk yang dihasilkan, dan tingkat konversi bahan menjadi produk jadi. 2. Identifikasi kebutuhan investasi dan biaya-biaya yang diperlukan untuk pendirian dan pengoperasian usaha tiap komoditas. 3. Sesuaikan formulasi perhitungan dengan keperluan. 4. Verifikasi dan validasi model.

163 (Halaman ini sengaja dibiarkan kosong) 136

164 DAFTAR PUSTAKA Akyol DE, Tuncel G, Bayhan GM A comparative analysis of activity-based costing and traditional costing. World Academy of Science, Engineering and Technology. Izmir. Aramyan L, Ondersteijn C, Van Kooten O, Lansink AO Performance Indicators in Agri- Food Production Chains. Quantifying the Agri-Food Production Chains. Wageningen. Arsenault AM A Multi-Agent Simulation Approach to Farmland Auction Markets: Repeated Games with Agents that Learn. Master of Science Thesis. Department of Agricultural Economics University of Saskatchewan, Regina. Austin JE Agroindustrial Project Analysis.The John Hopkins University Press. Maryland. Awal S Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu[disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Axelrod R, TesfatsionL A Guide For Newcomers To Agent-Based Modeling In The Social Sciences. Handbook of Computational Economics. Amsterdam. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Naskah Kebijakan (Policy Paper)Kebijakan dan Strategi dalammeningkatkan Nilai Tambah dan Daya SaingKelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta. [BI] Bank Indonesia Analisis Tata Niaga Dan Struktur Pasar Minyak Sawitdan Minyak Goreng. Penelitian Indepth Study Subsektor Perdagangan. Direktorat Statistik Ekonomi Dan Moneter Bank Indonesia, Jakarta. [BPPMD] Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Laporan Akhir Studi Penyusunan Profil Proyek Komoditi Minyak Goreng Kelapa Sawit. Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. [BSPJ] Bakrie Sumatera Plantations Jambi Flowchart Proses Produksi. PT Agro Mitra Madani. BSPJ. Jambi. Bakir LH Kinerja Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit di Sumatea Selatan: Analisis Kemitraan dan Ekonomi Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bangun D Pemasaran Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Indonesia. Seminar Sehari 6 Nopember Perhepi. Editorial : Hutabarat, M.S., dkk. Penerbit USU. Medan. Basiron Y, Balu N, Chandramohan D, Palm oil: the driving force of world oils and fats economy. Oil Palm Industry Economic J. 4 (1):

165 138 Berger T Agent-based Spatial Models Applied to Agriculture: A Simulation Tool for Technology Diffusion, Resource Use Changes and Policy Analysis. University of Bonn, Center for Development Research. Bonn. Bhatt D Agent Based Simulation And Modelling Of Wireless SensorNetworks. International J of Engineering & Science Research; 2(4): Bernard AB, Jones CI Comparing apples to oranges: Productivity Convergence and Measurement across industries and Countries. The American Economic Review; 86 (5): Nashville. Bertalanffy LV An Outline of General System Theory. The British J for the Philosophy of Science; 1(2): Boland M What is Value-added Agriculture? Department of Agricultural Economics. Kansas State University. Kansas City. Brown JG Agroindustrial Investment and Operations. TheWorld Bank. Washington City. Buffett WE Fundamentals of Managerial Economics. Mc GrawHill.London. Bunte F Pricing And Performance In Agri-Food Supply Chains First Edition; LEI, Wageningen University and Research Centre. Wageningen. Cao M, Zhang Q Supply chain collaboration: Impact on collaborative advantage and firmperformance. J of Operations Management.;29(1): Chalil D Market power and subsidies in the Indonesian palm oil industry. Agricultural Social and Economics Faculty of Agriculture. The University of Sumatera Utara Indonesia. (AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT). Medan. Chapman P, Christopher M, Juttner U, Peck H, Wilding R Identifying andmanaging supply-chain vulnerability. Logistics & transport focus: J Institute of Logistics and Transport 4: Chan FTS, Kumar N Global supplier development considering risk factors using fuzzy extended AHP-based approach. J Omega; 35(4): Chen YJ, Deng MC, Huang KW Hierarchical screening for capacity allocation in distribution systems. Stern School of Business, New York University. New York. Chiu JL, Linn MC Knowledge Integration and Wise Engineering. J of Pre-College Engineering Education Research; 1(1):1 14 ChopraS, Meindl P Supply Chain Management, Strategy and Planning and Operations. Pearson International Edition. Prentice Hall. New Jersey.

166 139 Christopher M Logistics and Supply Chain Management, Creating Value-Adding Networks. Prentice Hall. Harlow. Coltrain D, Barton D, Boland M Value Added: Opportunities And Strategies. Arthur Capper Cooperative Center, Department of Agricultural Economics. Kansas State University. Kansas City. Corley RHV, Tinker PB The Oil Palm. Fourth edition. Blackwell Publishing Company. Oxford OX4 2DQ. Oxford. Cruz EA Productivity assessment survey featuring value-added productivity measurement. APO training course on the Development of Productivity Practitioners. Manila. Cuppen E, Breukers S, Hisschemöller M, Bergsma E Q methodology to select participants for a stakeholder dialogue on energy options from biomass in the Netherlands. Ecological Economics J 2010;69 : Datta PP A complex system, agent based model for studying and improving the resilience of production and distribution networks. PhD dissertation. Cranfield School of Management. Cranfield. [DTT] Deloitte Touche Tohmatsu The challenge of complexity inglobal manufacturing. Critical trends in supply chain management. Deloitte Touche Tohmatsu. London. Ding H, Guo B, Liu Z Information sharing and profit allotment based on supply chain cooperation. Int. J. Production Economics, 133: Ellram LM Supply chain management: the industrial organizationperspective. International J of Physical Distribution and Logistics Management; 21 (1): Erginel N, Şentürk S Ranking of the GSM Operators with Fuzzy ANP. Proceedings of the World Congress on Engineering 2011 Vol II. WCE 2011, July 6-8, 2011, London. Eriyatno Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.IPB Press. Bogor. Gao S, Zhang Z Multiplication Operation on Fuzzy Numbers. J of Software; 4(4): Gumbira-Sa id E Review Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional: Kelapa Sawit, Kakao Dan Gambir. J Teknik Industri Pertanian IPB; 19(1):

167 140 Hadiguna RA Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Rantai Pasok dan Penilaian Mutu pada Agroindustri Minyak SawitKasar. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hambali E Laporan Akhir, Studi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Propinsi Riau. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanafizadeh P, Sherkat MH Designing fuzzy-genetic learner model based on multi-agent systemsin supply chain management. Expert Systems with Applications.36(1): Hariyadi P From CPO to Cooking Oil. Introduction to Palm Oil Processing. Seafast. Bogor Agricultural University. Bogor. Hasibuan HA, Harjanto S Kajian Lanjutan Kandungan Karoten pada Crude Palm Oil Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Harjanto E Manajemen Produksi dan Operasi Edisi 2. BPFE. Yogyakarta. Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Perspective from a Sunda Village. The CPGRT Centre. Bogor. Hidayat S, Marimin, Suryani A, Sukardi,Yani M Modifikasi Metode Hayami Untuk Perhitungan Nilai Tambah Pada Rantai Pasok Agroindustri Kelapa Sawit. J Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. 22(1): Hines T Supply Chain Strategies: Customer-driven and Customer-Focused. Great Britain. Elsevier Butterworth. Heinemann. Holton GA Perspective Defining risks. Financial Analysts J, CFA Institute; 60(6): [IRM] The Institute of Risk Management A Risk Management Standard. The Association of Insurance and Risk Managers(AIRMIC). London. Janssen M. The architecture and business value of a semi-cooperative, agent-based supply chain management system J Electronic Commerce Research and Applications. 4(1): [KPBN] PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara Prosedur Tender Sawit. KPBN. Jakarta. [KPPU] Komisi Pengawas Persaingan Usaha Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit. KPPU. Jakarta.

168 141 [KPPU]. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Positioning Paper Minyak Goreng Indonesia.KPPU.Jakarta. Kaplan S, Garrick BJ On The Quantitative Definition of Risk. Risk Analysis J; 1(1): Kasai J Life cycle assessment, evaluation method for sustainable development. J Society of Automotive Engineers of Japan. (JSAE). 51(7): Kementerian Pertanian RancanganRencana StrategisKementerian PertanianTahun Jakarta. Li W, Yuanyuan Z A Game Analysis on Profit Distribution of Two-echelon Supply Chain with Principal and Subordinate. School of Economics and Management, Jiangsu University of Science & Technology. Jiangsu. Lin TY Granular Fuzzy Sets:A View from Rough Set and Probability Theories.International Journal of Fuzzy Systems, Vol. 3, No. 2, pp Liu P, Wang T Research on Risk Evaluation in Supply ChainBased on Grey Relational Method. J of Computers, 3(10) : Mahfot H Anatomi Biji Benih Kelapa Sawit. Diunduh 25 Juli Marimin Teori dan Aplikas Sistim Pakar. IPB Press. Bogor. Marimin Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok. PT Penerbit IPB Press. Bogor. Marimin, Magfiroh N Teknik dan Aplikasi Pengambilan KeputusanKriteria Majemuk. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Meydanoğlu ASB The Role of Supply Chain Event Management Systems for Supply Chain Risk Management. European and Mediterranean Conference on Information Systems2009 (EMCIS2009); 1-7. Izmiri. Moyaux T, Chaib-draa B, D Amours S Supply Chain Management and Multiagent Systems: An Overview. Studies in Computational Intelligence; 28. Springer-Verlag Berlin, Heidelberg. Mulyana A Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral.Jurusan Sosial Ekonomi PertanianFakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Palembang.

169 142 Ngai EWT, Wat FKT Fuzzy Decision Support System For Risk Analysis Ine-Commerce Development. J Decision Support SystemsVol. 40 (2005): [PKPN] Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Kebijakan Restrukturisasi Tarif Bea Keluar Atas Kelapa Sawit, Minyak Sawitdan Produk Turunannya. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Jakarta. [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Potensi Dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit di Indonesia. PPKS. Medan, Pahan I Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Depok Pahan I Pengembangan Klaster Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Palazzo B An Introduction to Stakeholder Dialogue, Responsible Business: How to manage a CSR strategy successfully. John Wiley and Son; Oxford. Parham D Definition, Importance And Determinants Of Productivity. Workshop for the Public Sector Linkages program. University of Adelaide. Adelaide. Parunak HVD. 1998, Industrial and practical applications of distributed artificial intelligence, in, G., Weiss, ed.,multi-agent systems. The MIT Press.Cambridge. Pinto R A general note about Supply Chain RiskManagement. White paper featured on RiskCentral.org - August 2007). Politecnico Milano. Pomar J, López V, Pomar C Agent-based simulation framework for virtual prototyping of advancedlivestock precision feeding systems. J Computers and Electronics in Agriculture,78 : Porter M Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance, The Free Press. New York. Pujawan IN, Mahendrawathi ER Supply Chain Management. Penerbit Guna Widya. Surabaya. Preckel PV, Grey A, Boehlje M, Kim S Risk and value chains: participants sharing risks and rewards.j on Chains and Network Science; 4(1): Purwantoro RN Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Ramalingam B, Jones H Exploring the science ofcomplexity: Ideas andimplications for developmentand humanitarian efforts. Overseas Development Institute, Westminster. London.

170 143 Ravasizadeh E, Ghadim MRK, Monfared JH Identifying and Evaluate E-Supply ChainRisks using Fuzzy MADM. American J of Scientific Research, (40): Roekel JV, Kopicki R, Broekmans CJE, Boselie DM Building Agri Supply Chains: Issues and Guidelines. Agricultural Economics Research Institute (LEI).Wageningen. Russell S, Norvig P. 2003, Artificial intelligence - A modern approach, Englewood Cliffs, NJ, Prentice-Hall. New Jersey. Saaty T Fundamentals of Decision Making and Priority Theory. RWS Publications. Pittsburgh. Salvatore D Managerial Economics in a Global Economy with EconomicApplications Card, 5 th edition.south-western. ISBN/ISSN : Copenhagen. Sari RP Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Agroindustri Chip Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Pembuatan Mocaf (Modified Cassava Flour) di Kabupaten Trenggalek.Program Studi Agribisnis. Universitas Brawijaya. Malang Schmucker KJ Fuzzy Sets, Natural Language Computations and Risk Analysis, Rockville: Computer Science Press, MD. Woodland Hills. Setiadi T Palm Oil And Palm Waste Potential In Indonesia. in Water and Wastewater Treatment Technologies, [Ed. Saravanamuthu (Vigi) Vigneswaran], in Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS). Developed under the Auspices of the UNESCO. Eolss Publishers. Oxford. Silva CA, Baker D, Shepherd AW, Jenane C, da-cruz SM Agro-industries for Development.The Food and Agriculture Organization ofthe United Nations. Rome. Simchi-Levi D, Kaminsky P,Simchi-Levi E Managing The Supply Chain, The Definitive Guide For The Business Professional. McGraw-Hill. New York. Soekartawi Pengantar Agroindustri. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sucipto Jalan Terjal Menuju Industri Hilir Sawit. Teknologi Industri Pertanian FTP- Universitas Brawijaya. Malang. Sugiarto D Pemilihan Strategi Pengembangan Klaster Industri dan Strategi Manajemen Pengetahuan pada Klaster Industri Barang Celup Lateks. Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

171 144 Suharjito Pemodelan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan Cerdas Manajemen Rantai Pasok Produksi/Komoditi Jagung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sulistiadi K Sistem Perencanaan Pembangunan Unit Industri Pulp. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suprapto Proses Pengolahan dan Nilai Tambah Bakso Ikan Tenggiri. Universitas Mercu Buana. Jakarta. Syahza A Model Kelembagaan EkonomiPada Perkebunan Kelapa Sawit Di Propinsi Riau. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru. J Manajemen Usahawan IndonesiaMaret-April 2011;40 No. 2. Teoh CH Permasalahan-permasalahan Inti didalam Kelanjutan Sektor Minyak Kelapa Sawit. International Finance Corporation, Washington DC. Teoh CH Key Sustainability Issues in thepalm Oil Sector. A Discussion Paper for Multi- Stakeholders Consultations. World Bank Group. Washington DC. Tisue S, Wilensky U NetLogo: Design and Implementation of a Multi-Agent Modeling Environment. Center for Connected Learning and Computer-Based Modeling. Northwestern University. Evanston. [USDA] United States Department of Agriculture. Alternative Enterprises Value- Added Agriculture. USDA USA. Washington DC. Vaidya OS, Kumar S Analytic hierarchy process: An overview of applications. European J of Operational Research; 169: Van Staden CJ The Value Added Statement : Bastion of social reporting or dinosaur of financial reporting? College of Business, Massey University. Palmerston North. Vidal JM Fundamentals of Multiagent Systems. With NetLogo Examples. E-Lecture Notes. Columbia. University of South Carolina. Vitasek K Logistics Terms And Glossary. Supply Chain Visions. Bellevue, Washington. Vorst JGAJ van der Supply Chain Management: theory and practices. The Emerging World of Chains & Networks, Elsevier, Hoofdstuk 2.1. Vorst JGAJ van der Performance Measurement In Agri-Food Supply-Chain Networks. An Overview. Wageningen University, Wageningen. Vorst JGAJ van der Agro-industrial supply chain management: concepts and applications. Food and Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.

172 145 [WG] World Growth Manfaat Minyak sawit bagi Perekonomian Indonesia. Laporan World Growth. Jakarta. Wahono RS Pengantar Multi Agent Sistem (MAS). Kuliah Umum Ilmu Komputer.Com. Jakarta. Introduction computer.com.diunduh 10 Agustus Walker D, Rowlinson S Procurement Systems; A project management perspective. Taylor & Francis, 2 Park Square, Milton Park. Abingdon. Wang XJ, Chan HK, Yee RWY, Diaz-Rainey I A two-stage fuzzy-ahp model for risk assessment of implementing green initiatives in the fashion supply chain. International J of Production Economics; 135: Wong A Sustaining company performance through partnering with suppliers. International J of Quality & Reliability Management, 19(5): Wooldridge M, JenningsNR Intelligent agents: theory and practice. Knowledge Engineering Review 10. London. Wouda FHE, Beek P van-, Vorst JAGJ van der, and Tacke H An Application of Mixed Integer Linear Programming Models on Redesign of the Supply Network of Nutricia Dairy & Drink Group in Hungary. OR Spectrum 24. hlm Amsterdam. WorthingtonAC, Tracey W Economic Value-Added: A Review of the Theoretical and Empirical Literature.J Asian Review of Accounting; 9 (1): Wu T, Blackhurst J, Chidambaram V A model for inbound supply risk analysis. J Computers in Industry; 57(4): Yulida R, Kusumawaty Y Analisis efisiensi agroindustri kacang kedelai di desa DayunKecamatan Dayun Kabupaten Siak. J Pekbis, 3(1): Zimmerman C Partnership are vital to Sears _Webstrategy. Internet Week. Volume 30 (12 June),

173 (Halaman ini sengaja dibiarkan kosong) 146

174 LAMPIRAN 147

175 148

176 Lampiran 1 Daftar Pakar dan Narasumber Nama Jabatan Instansi/Industri Data/Informasi Periode 1 Hepi Sapirman Direktur PT Bakrie Sumatera Bakrie Sumatera Plantations Plantation - Jambi Proses - bisnis TBS/CPO Fauzi Orbanta/staff Manager PT Bakrie Sumatera Bakrie Sumatera Plantations Plantation-Jambi Proses - bisnis TBS/CPO Dr. H. Iyung Pahan Konsultan Industri Kelapa Konsultan Industri Kelapa Tata niaga - risiko industri Sawit Sawit sawit/cpo/minyak goreng Ir Soeseno Suparman Pimpinan Proyek Bakrie Sumatera Plantations Gambaran umum industri sawit Beberapa Petani Sawit Petani sawit Daerah kebun sawit Jambi Narasumber data petani swt Beberapa Petani Sawit Petani sawit Daerah kebun sawit Dumai Narasumber data petani swt Beberapa Petani Sawit Petani sawit Daerah kebun sawit Aceh Narasumber data petani swt Beberapa Koperasi Tani Koperasi Tani Daerah kebun sawit Jambi Narasumber koperasi sawit Beberapa Pedagang Pedagang sawit Daerah kebun sawit Dumai Narasumber pasar TBS Beberapa Pedagang Pedagang sawit Daerah kebun sawit Aceh Narasumber pasar TBS Satryana Sinulingga MM. Kepala Bagian Pemasaran PT Amal Tani Medan - Proses/risiko - bisnis Kebun/Pabrik CPO TBS/CPO Drs Munansyah Sitepu Kepala Bag Akuntansi PT Amal Tani Medan - Pelaporan Keuangan / Biaya Kebun/Pabrik CPO industri CPO Ir Ferry HC Putra MM Kasubdin Evaluasi/ Penetapan Hasil Dinas Perkebunan Riau Dinas Perkebunan - Riau 14 Ir Rusdi Azis KaSi Pemasaran Dinas Perkebunan - Riau 15 Ir Rizki Ka Bagian Pemasaran 16 Tri Hardoyo/ Sobandi Ka Bagian Pemasaran 17 H. Soehardjo 18 Ir. Herriadie Mochtar Mantan Dirut PTPNB IV Bah Jambi GM Project Development PT SMART Tbk 19 Drs. R. Simatupang, MBA Mantan Dirut PTP Agrintara Kebun Sawit-Pabrik CPO - Kalbar Medco Palma Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Jakarta Pabrik CPO - Bah Jambi - SUMUT Sinar Mas Agroindustri (PT SMART Tbk) Pabrik Minyak Goreng - PTP Agrintara - P.Batam Ketentuan nilai "k" dan industri kebun sawit/cpo Ketentuan nilai "k" dan industri kebun sawit/cpo Proses penjualan TBS/CPO 2011 Proses Pemasaran/Lelang CPO industri/pabrik minyak goreng Keseluruhan rantai pasok sawit industri/pabrik minyak goreng 20 Ir. Hardo Wisudo Direktur Operasional Pabrik CPO PT Andira Agro - industri/pabrik minyak Palembang goreng 2012 Dr Ir Didiek Hadjar Research Perkebunan /profit bisnis industri 21 Presiden Direktur Goenadi Nasional (RPN) - Bogor sawit Ign Ery Kurniawan/Atep Pimpinan Umum / Redaksi Majalah Infosawit - /profit bisnis industri Cilangkap Depok sawit Prof. Teddy Pawitra Komisaris PT SMART Tbk Sinar Mas Agroindustri (PT /profit bisnis industri SMART Tbk) sawit Dr. Angga Jatmika Peneliti PPKS/RPN Research-PPKS/RPN /profit petani TBS industri sawit Dr. Kiki Yuliati Dosen UNSRI Universitas Sriwijaya /profit petani TBS (UNSRI) - Palembang industri sawit Ir. Sunarko Penulis Buku Kebun Sawit Kebun Sawit-Pabrik CPO /profit petani TBS industri sawit Prof. Almasdi Syahza Gurubesar Agroindustri Universitas Riau (UNRI) - /profit petani TBS Pakanbaru industri sawit Poetro Wisono Mantan Sales Manajer Produsen/Distributor Minyak Unilever Goreng Sum-Sel Tataniaga minyak goreng Raden Satria Nugraha Kepala Pemasaran Distributor Minyak Goreng - Depok CV Palem Jabar Tataniaga minyak goreng

177 150 Lampiran 1 Daftar Pakar dan Narasumber (lanjutan) Nama Jabatan Instansi/Industri Data/Informasi Periode Ka Dinas Perdag/Industri Dinas Perindustrian/ 30 Drs Djamalus/staf Tataniaga TBS/Sawit Dumai 2010 Kota Dumai Perdagangan - Dumai 31 Ir Aziza/Sartono Staf Pemasaran Dinas Perkebunan Dumai Data petani/pedagang Dumai Ir Fadly Ricardi CV Mandiri Jaya Sentosa - Tataniaga TBS/Sawit Supplier TBS ke pabrik CPO Bandar Lampung Lampung Sumartati Puspo Pemilik Catering Puspo Catering Konsumen Minyak Goreng Ir Yuzarwin Yusuf Ka UPT Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih Dinas Perkebunan SumBar Penyiapan bibit sawit 2012

178 151 Lampiran 2 Masukan Pakar untuk Identifikasi/Evaluasi RPMS Kelompok Pakar I (SMART) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan kualitas pasokan 1 1/3 1/3 Menjaga kontinuitas pasokan 1 1 yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah 2. Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Pabrik Minyak Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Distributor Konsumen Goreng Petani Pengepul 1 1/5 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Aktor Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak CPO Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/5 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1

179 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari petani Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga Pasokan /3 1 1/5 1/3 1/3 1/3 1 Transportasi /3 1 1/5 1/3 1/5 1/3 1 Informasi Kebijakan 1 1/3 1/3 1/3 1/5 1 1 Pasar Penyimpanan 1/3 1/3 1/5 1 1 Produksi Lingkungan 1 1/3 3 3 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

180 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pengepul Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga Pasokan Teknologi Transportasi /3 1/3 1/3 1 1/3 1 1 Informasi 1 1 1/3 Kebijakan 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1 1 Pasar Penyimpanan 1 3 1/3 3 3 Produksi Lingkungan 1 1/3 1 3 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

181 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga 1 1/ /3 1/3 1/3 3 1/3 Pasokan Teknologi /3 3 1/5 1/3 1/3 3 1/3 Transportasi /3 1 1/3 1/5 1/3 1 1/3 Informasi Kebijakan 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1 1/3 Pasar 1 3 1/3 1 1/ Penyimpanan 1/3 1/3 1/3 1 1/3 Produksi Lingkungan 1 1/3 3 3 Kualitas Kemitraan 1 1/3 Teknologi 1

182 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga / Pasokan /3 3 3 Transportasi /3 1 1/3 1/3 1/5 1 1/3 Informasi Kebijakan 1 1/3 1/3 1/3 1/5 1 1/3 Pasar /3 1/ Penyimpanan 1/3 1/3 1/5 1 1 Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan 1 1/3 Teknologi 1 Teknologi

183 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik distributor Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga Pasokan Transportasi /3 1 1/3 1 1/3 1/3 1 Informasi Kebijakan 1 1/5 1/3 1 1/3 1/3 1 Pasar Penyimpanan 1/3 1 1/3 1/3 1 Produksi 1 3 1/3 1/3 3 Lingkungan 1 1/3 1 1 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1 Teknologi

184 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik konsumen Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga 1 1/ Pasokan Teknologi Transportasi /3 1 1/3 1 1/3 1 1 Informasi Kebijakan 1 1/3 1/3 1 1/3 1 1 Pasar Penyimpanan 1/3 1 1/3 1 1 Produksi Lingkungan 1 1/3 3 1 Kualitas Kemitraan 1 1

185 158 Kelompok Pakar II (AT) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan kualitas pasokan 1 1/3 1 Menjaga kontinuitas pasokan 1 3 yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah 1 2. Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 1 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1 3. Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor Goreng Petani Pengepul Pabrik CPO 1 1 1/3 5 Pabrik Minyak 1 1/3 5 Goreng Distributor 1 7 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Pabrik Minyak Petani Pengepul Pabrik CPO Aktor Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/ Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1

186 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari petani Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/5 5 1/3 3 1/ /5 1/ Pasokan /7 1/3 1/5 1/5 1/7 1/7 1/5 Transportasi 1 1/7 1/3 1/ /3 1/3 1/3 Informasi Kebijakan 1 1/7 1/3 1/3 1/7 1/7 1/5 Pasar Penyimpanan 1/3 1/3 1/7 1/7 1/5 Produksi 1 1 1/5 1/5 1 Lingkungan 1 1/5 1/5 1 Kualitas Kemitraan 1 5 Teknologi 1

187 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pengepul Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/ / / Pasokan / /5 1 Transportasi 1 1/3 1 1/ /3 3 Informasi Kebijakan 1 1/ /5 1 Pasar Penyimpanan /5 1 Produksi 1 1 1/3 1/7 1/3 Lingkungan 1 1/3 1/7 1/3 Kualitas 1 1/5 1 Kemitraan 1 5 Teknologi 1

188 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/ /3 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1/ Pasokan /3 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 Transportasi /3 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 Informasi 1 3 1/3 Kebijakan 1 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 1/5 Pasar Penyimpanan 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

189 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/ /3 3 1/3 1 1/ Pasokan / /3 1/5 1 1 Transportasi /5 1 1/5 1/3 1/5 1 1 Informasi Kebijakan 1 1/5 1/5 1/3 1/5 1 1 Pasar Penyimpanan 1/5 1/3 1/5 1 1 Produksi Lingkungan 1 1/3 3 3 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

190 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik distributor Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga 1 1 1/ / /3 5 1/ /3 5 Pasokan 1 1/ Transportasi /5 1/ /5 3 Informasi 1 1 1/3 Kebijakan 1 1/ /5 3 Pasar 1 1/ Penyimpanan /3 5 Produksi /5 3 Lingkungan 1 1/3 1/7 1 Kualitas 1 1/5 3 Kemitraan 1 7 Teknologi 1 Teknologi

191 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik konsumen Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga Pasokan Transportasi /3 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 1 Informasi 1 1/3 1 Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan 1 1/3 3 1 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

192 165 Kelompok Pakar III (P-R-F) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah 1 1/5 1/7 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor Goreng Petani Pengepul 1/5 1/5 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 3. Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor CPO Goreng Petani 1 1/3 1/3 1/5 1 7 Pengepul 1 1 1/3 3 5 Pabrik CPO 1 1/3 3 5 Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor Goreng Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 1 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1

193 166 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari petani Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga /5 1/3 1/5 3 1/5 1/3 1/3 Pasokan 1 1/3 1 1/3 1/3 1 1/3 1/5 1/3 1 1 Transportasi /5 1/3 1/5 3 1/5 1/3 1/3 Informasi 1 1/3 1 Kebijakan 1 1/3 1/3 1/3 1/3 1 1 Pasar Penyimpanan 1/3 1/3 1/3 1 1 Produksi Lingkungan 1 1/3 1 1 Kualitas Kemitraan 1 1 Teknologi 1

194 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pengepul Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga / /3 7 Pasokan / /5 5 Transportasi / /5 5 Informasi Kebijakan 1 1/ /3 1/5 3 Pasar /3 7 1 Penyimpanan /5 5 Produksi 1 3 1/3 1/7 3 Lingkungan 1 1/5 1/9 1 Kualitas 1 1/5 5 Kemitraan 1 9 Teknologi 1

195 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/7 3 1/3 1/3 1/3 3 1/7 3 1/7 1/3 1/ Pasokan /5 1 1/9 1 1/9 1/3 1/9 Transportasi 1 1/5 1/ /5 5 1/5 1/3 1/5 Informasi Kebijakan 1 1 1/5 5 1/5 1/5 1/5 Pasar 1 5 1/5 5 1/5 1 1/5 1 Penyimpanan 1/9 1 1/9 1/3 1/9 Produksi Lingkungan 1 1/9 1 1/7 Kualitas Kemitraan 1 1/5 Teknologi 1

196 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga 1 1/7 3 1/ /7 3 1/5 1/3 1/ Pasokan /3 1 1/9 1 1/7 1/5 1/9 Transportasi 1 1/ /5 5 1/3 1 1/5 Informasi Kebijakan 1 1/3 1/9 3 1/5 1/5 1/9 Pasar 1 3 1/7 3 1/5 1/3 1/7 1 Penyimpanan 1/9 1 1/7 1/5 1/9 Produksi Lingkungan 1 1/5 1/5 1/9 Kualitas 1 3 1/3 Kemitraan 1 1/5 Teknologi 1

197 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik distributor Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Teknologi Harga Pasokan / Transportasi / Informasi Kebijakan 1 1/ Pasar Penyimpanan Produksi 1 1/3 1/5 1/5 1 Lingkungan 1 1/3 1 3 Kualitas Kemitraan 1 5 Teknologi 1

198 Matrik tingkat kepentingan antar alternatif faktor risiko rantai pasok produk/komoditas kelapa sawit ditinjau dari pabrik konsumen Alternatif Harga Pasokan Transportasi Informasi Kebijakan Pasar Penyimpanan Produksi Lingkungan Kualitas Kemitraan Harga /3 1/5 1 1/3 1/7 1/3 1 Pasokan 1 1/3 1/5 1/3 1 1/ /5 1 3 Transportasi 1 1/ /3 3 5 Informasi 1 3 1/3 Kebijakan /5 1 3 Pasar 1 1/ / Penyimpanan 5 3 1/3 3 5 Produksi 1 1/3 1/7 1/3 1 Lingkungan 1 1/5 1 3 Kualitas Kemitraan 1 3 Teknologi 1 Teknologi

199 172 Lampiran 3 Masukan Pakar untuk Strategi Peningkatan Nilai Tambah RPMS Kelompok Pakar I (SMART) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan kualitas pasokan 1 1/3 1/3 Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Pabrik Minyak Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Distributor Konsumen Goreng Petani Pengepul 1 1/5 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Aktor Petani Pengepul Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/5 1/3 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1

200 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari petani Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul 1 Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pengepul Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul 1 Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 3 1 1/5 1 1/3 1/5 7. Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan 1 Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan 1/5 1 Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /3 1 1/3 1

201 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur / /3 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari distributor Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1/3 1/ /5 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari konsumen Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1 1/ /5 1 1/5 1

202 175 Kelompok Pakar II (AT) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan kualitas pasokan 1 1/3 1 Menjaga kontinuitas pasokan 1 3 yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah 1 2. Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Aktor Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak CPO Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 1 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1 3. Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Pabrik Pabrik Minyak Petani Pengepul Aktor CPO Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul Pabrik CPO 1 1 1/3 5 Pabrik Minyak Goreng 1 1/3 5 Distributor 1 7 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Pabrik Pabrik Minyak Petani Pengepul Aktor CPO Goreng Distributor Konsumen Petani Pengepul 1 1/ Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1

203 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari petani Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /3 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pengepul Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /5 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /3 1/

204 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1 1/5 1/5 1 1/5 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari distributor Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1/3 1/ /5 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari konsumen Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1/3 1/ /5 1 1/5 1

205 178 Kelompok Pakar III (P-R-F) 1. Matrik tujuan pemilihan strategi penyeimbangan risiko rantai pasok Tujuan Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah Peningkatan Kualitas pasokan Menjaga kontinuitas pasokan yang stabil Menjaga keseimbangan distribusi nilai tambah 1 1/5 1/7 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan peningkatan kualitas pasokan (pairwise comparison) Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor CPO Goreng Petani Pengepul 1/5 1/5 1 3 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 3. Matrik kriteria dengan tujuan jaminan kontinuitas pasokan stabil Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor CPO Goreng Petani 1 1/3 1/3 1/5 1 7 Pengepul 1 1 1/3 3 5 Pabrik CPO 1 1/3 3 5 Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 3 Konsumen 1 4. Matrik kriteria dengan tujuan menjaga keseimbangan nilai tambah Petani Pengepul Pabrik Pabrik Minyak Distributor Konsumen Aktor CPO Goreng Petani Pengepul 1 1/3 1/3 1 1 Pabrik CPO Pabrik Minyak Goreng Distributor 1 1 Konsumen 1

206 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari petani Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur / /7 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pengepul Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/5 1/3 1/ / Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik CPO Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /3 1/5 1 1/3 1

207 Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari pabrik minyak goreng Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur /3 1 1/3 1/9 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari distributor Alternatif Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1/3 1/ /5 1 1/ Matrik kriteria dengan tujuan menentukan strategi penyeimbangan risiko ditinjau dari konsumen Penguatan Perbaikan Produktivitas Kepastian Kelembagaaan/ Alternatif dgn Bibit dan Budidaya Hukum/Kebijakan Revitalisasi Unggul Peraturan Kemitraan Perbaikan Produktivitas dgn Bibit dan Budidaya Unggul Kepastian Hukum/Kebijakan Peraturan Penguatan Kelembagaaan/ Revitalisasi Kemitraan Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur Pengembangan Klaster Industri/Peningkatan Infrastruktur 1 1/3 1 1/ /3 1

208 181 Lampiran 4 Hasil Simulasi Model Netlogo (Nilai dalam Satuan Rp/kg Produk) Iterasi Profit Petani Profit Pengepul Profit Pabr CPO Profit Pabrik MGS Profit Harga Jual Distributor TBS Petani MGS Harga Jual TBS Pedagang Harga CPO Pabr CPO Harga MGS Pabr MGS Harga MGS distributor per 100 kg per 100 kg per 24 kg per 18,2 kg per 18,2 kg per kg per kg per kg per kg per kg

209 182 Lampiran 5 Panduan Penggunaan Model Simulasi Netlogo Pada disertasi ini telah digunakan sarana pemodelan berbasis-agen Netlogo versi yang bersifat open-source (gratis). Software ini dapat diunduh dari website Model yang dibuat diberi nama Model Negosiasi RPMS.nlogo. Setelah diunduh software disimpan pada folder program-program. Untuk mengoperasikan Model Negosiasi RPMS dapat diikuti langkah-langkah berikut: A. Membuka software Netlogo. Dari folder program-program jalankan program Netlogo Akan terlihat tampilan awal seperti pada Gambar P1. Gambar P1. Halaman awal software pemodelan Netlogo B. Membuka file Model Negosiasi RPMS. Pengguna menekan tombol File pada pojok kiri atas, kemudian memasukkan nama file : Model Negosiasi RPMS pada folder ybs, dan menekan tombol Open seperti tampak pada Gambar P2.

210 183 Gambar P2. Pemilihan file: Model Negosiasi RPMS C. Memasukkan data bobot risiko pelaku. Pada tampilan model pengguna memasukkan bobot risiko para pelaku yang merupakan hasil proses Fuzzy AHP yaitu 0,354; 0,124; 0,223; dan 0,191. Bobot risiko distributor MGS sebesar 0,108 akan dihitung oleh model sebagai sisa bobot pelaku yang lain, karena jumlah bobot seluruhnya adalah 1. D.Menjalankan model Setelah memasukkan bobot risiko kemudian pengguna menekan tombol Setup untuk menyiapkan model dengan parameter danbobot risiko yang sudah dimasukkan tadi. Kemudian pengguna menekan tombol Go untuk memulai simulasi model.

211 184 Gambar P3. Pemilihan file: Model Negosiasi RPMS E. Melakukan simulasi Model akan memperlihatkan perubahan nilai profit atau nilai tambah untuk setiap pelaku, harga jual setiap produk pelaku, dan tampilan dunia yaitu kotak dengan bulatan berwarna pada sisi kanan dari tampilan model. Warna lingkaran telah ditetapkan merah untuk petani, hitam untuk pengepul, ungu untuk pabrik CPO, biru untuk pabrik MGS, dan kuning untuk distributor MGS. Besar lingkaran untuk tiap pelaku sesuai dengan rasio nilai tambah tiap pelaku terhadap nilai tambah total RPMS. Dengan berjalannya negosiasi antarasemua pelaku maka akan terjadi pergerakan pada semua grafik nilai tambah, harga jual produk, grafik bobot risiko tiap pelaku pada 6 tampilan grafik ybs. Pada negosiasi akan terlihat perubahan besar lingkaran, sampai terjadi keadaan stabil yaitu pada saat semua pelaku sudah mencapai tingkat kepuasan optimal pada tingkat nilai tambahnya.

212 185 Gambar P4. Hasil simulasi dengan Model Negosiasi RPMS Perubahan pada bobot risiko dapat dilakukan dengan merubah nilai pada slider gbobotpetani dengan cara menggeser tuas ybs. Untuk model yang telah dibuat saat ini, parameter besaran biaya, randemen serta perubahan harga negosiasi ditetapkan pada program Netlogo. Program ini dapat dilihat pada bagian Procedures pada tampilan model, dan dapat langsung dilakukan simulasi dengan menekan pada tombol Interface. F. Menarik kesimpulan Hasil simulasi dapat diambil berupa nilai-nilai tambah dan harga jual produk dengan format MS-Excel pada folder tempat model tersimpan. Hasil perhitungan oleh model Netlogo disimpan dalam format Comma Separated Values (CSV). File CSV ini kemudian dapat diolah menjadi file Excel biasa untuk ditampilkan sesuai kebutuhan. Contoh file adalah seperti pada Tabel T1.

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. KONSEP SI LANJUT WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. PERTEMUAN 3 KSI LANJUT Supply Chain Management (SCM) Pemahaman dan Fungsi Dasar SCM. Karakter Sistem. Arsitektur Pengembangan dan Tantangan SCM. Peran Internet

Lebih terperinci

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. KONSEP SI LANJUT WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. PERTEMUAN 3 KSI LANJUT Supply Chain Management (SCM) Pemahaman dan Fungsi Dasar SCM. Karakter Sistem SCM. Arsitektur Pengembangan dan Tantangan SCM. Peran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini dicerminkan dari penggunaan aplikasi logistik dalam perusahaan, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah penelitian, dan sistematika penulisan laporan dari penelitian yang dilakukan. 1. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal mengenai penelitian yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. pemasaran (yang sering disebut dengan istilah saluran distribusi). Saluran

BAB II KERANGKA TEORETIS. pemasaran (yang sering disebut dengan istilah saluran distribusi). Saluran BAB II KERANGKA TEORETIS 2.1. Teori Tentang Distribusi 2.1.1. Pengertian Distribusi Kebanyakan produsen bekerja sama dengan perantara pemasaran untuk menyalurkan produk-produk mereka ke pasar. Mereka membantu

Lebih terperinci

X. KESIMPULAN DAN SARAN

X. KESIMPULAN DAN SARAN X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan Penelitian ini telah berhasil merancang model sistem penunjang pengambilan keputusan cerdas manajemen risiko rantai pasok produk/komoditi jagung yang diberi nama

Lebih terperinci

5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR

5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR 5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR 5.1 Kinerja Rantai Pasok Kinerja rantai pasok merupakan ukuran kinerja secara keseluruhan rantai pasok tersebut (Chopra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat di Indonesia. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat di Indonesia. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling berkembang pesat di Indonesia. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi produsen crude palm oil (CPO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tahun BAB I PENDAHULUAN Penelitian menjelaskan bagaimana sistem informasi manajemen rantai pasok minyak sawit mentah berbasis GIS dirancang. Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, perumusan

Lebih terperinci

PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA

PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA PEMODELAN DINAMIKA SISTEM RANCANGBANGUN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN INDUSTRI TEH HIJAU TOMY PERDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 7 1.3 Tujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri minyak kelapa sawit (crude palm oil CPO) di Indonesia dan Malaysia telah mampu merubah peta perminyakan nabati dunia dalam waktu singkat. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan oleh perusahaan. Bahan baku suatu perusahaan industri dapat

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan oleh perusahaan. Bahan baku suatu perusahaan industri dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan baku yang berkualitas akan meningkatkan kualitas dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Bahan baku suatu perusahaan industri dapat bervariasi dari satu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Perencanaan produksi sebagai suatu keputusan awal yang mempengaruhi aktifitas pada kegiatan lainnya memiliki peran penting untuk mengantisipasi terjadinya inefisiensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Penetapan Harga Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada pembentukan

Lebih terperinci

ABSTRACT ANALYSIS OF THE POTENTIAL OF PALM SHELL WASTE WHEN USED AS ACTIVED CHARCOAL IN RIAU PROVINCE BY : EDWARD SITINDAON

ABSTRACT ANALYSIS OF THE POTENTIAL OF PALM SHELL WASTE WHEN USED AS ACTIVED CHARCOAL IN RIAU PROVINCE BY : EDWARD SITINDAON ABSTRACT ANALYSIS OF THE POTENTIAL OF PALM SHELL WASTE WHEN USED AS ACTIVED CHARCOAL IN RIAU PROVINCE BY : EDWARD SITINDAON Under Guidance : Drs. Hainim Kadir, M.Si and Dra. Hj. Ritayani Iyan, MS This

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Seperti yang terdapat pada Gambar 1.1, dari 110.804.042

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH PELAKU RANTAI PASOK GAMBIR DENGAN METODE HAYAMI TERMODIFIKASI ABSTRAK

ANALISIS NILAI TAMBAH PELAKU RANTAI PASOK GAMBIR DENGAN METODE HAYAMI TERMODIFIKASI ABSTRAK ANALISIS NILAI TAMBAH PELAKU RANTAI PASOK GAMBIR DENGAN METODE HAYAMI TERMODIFIKASI Hendra Saputra 1, Novizar Nazir 2, dan Rina Yenrina 2 1 Institut Teknologi Sumatera, Jalan Terusan Ryacudu, Way Hui,

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendekatan manajemen rantai pasok telah banyak digunakan sebagai salah satu model untuk meningkatkan keunggulan bersaing dalam industri. Manajemen rantai pasok merupakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Lampiran 3 Klasifikasi ABC Lp3. Lampiran 4 Perhitungan Interval Waktu Lp4. Lampiran 5 Hasil Perhitungan Interval Waktu Lp5

Lampiran 3 Klasifikasi ABC Lp3. Lampiran 4 Perhitungan Interval Waktu Lp4. Lampiran 5 Hasil Perhitungan Interval Waktu Lp5 Lampiran 2 Data Harga Komponen.Lp2 Lampiran 3 Klasifikasi ABC Lp3 Lampiran 4 Perhitungan Interval Waktu Lp4 Lampiran 5 Hasil Perhitungan Interval Waktu Lp5 Lampiran 6 Menghitung MTTF Menggunakan Minitab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan. Dampak

BAB I PENDAHULUAN. bisnis telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan. Dampak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan industri yang melibatkan berbagai aktivitas dan operasi bisnis telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai salah satu sub sistem pembangunan nasional harus selalu memperhatikan dan senantiasa diupayakan untuk menunjang pembangunan wilayah setempat.

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 6 TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penetapan Harga TBS Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan dunia bisnis dan industri saat sekarang ini semakin ketat dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat serta sangat cerdas dalam memilih produk

Lebih terperinci

dan 3) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian USU

dan 3) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian USU ANALISIS HARGA POKOK TANDAN BUAH SEGAR(TBS), CPO DAN INTI SAWIT DI KEBUN GUNUNG BAYU PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV KABUPATEN SIMALUNGUN M. Zainul Arifin SPY 1), Salmiah 2) dan Emalisa 3) 1) Alumni Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawang merah belum terasa nikmat (Rahayu, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. bawang merah belum terasa nikmat (Rahayu, 1998). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah merupakan komoditi hortikultura yang tergolong sayuran rempah. Sayuran rempah ini banyak dibutuhkan terutama sebagai pelengkap bumbu masakan guna menambahkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI PENELITIAN Produksi bunga krisan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun memberikan kontribusi yang positif kepada petani dalam peningkatan kesejahteraan mereka.

Lebih terperinci

Dwi Hartanto, S,.Kom 03/04/2012. E Commerce Pertemuan 4 1

Dwi Hartanto, S,.Kom 03/04/2012. E Commerce Pertemuan 4 1 1.Pengertian E Market Place 2.Pertimbangan Bergabung g ke dalam E Market Place Suatu lokasi diinternet, di mana suatu perusahaan dapat memperoleh atau memberikan informasi, mulai transaksi pekerjaan, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr. wb.,

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr. wb., KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb., Pemikiran sistem dapat dipandang sebagai dorongan terhadap kepiawaian ilmu pengetahuan dalam menghadapi permasalahan yang kompleks dan dinamis yang terjadi pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Gambar 2 Perkembangan Produksi CPO Indonesia

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Gambar 2 Perkembangan Produksi CPO Indonesia 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar di berbagai wilayah dan kondisi tanahnya yang subur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu produk pertanian Indonesia adalah produk holtikultura. Salah satu produk holtikultura adalah sayur-sayuran. Sayuran merupakan sebutan umum bagi hasil pertanian

Lebih terperinci

Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ.

Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ http://adamjulian.web.unej.ac.id/ A. Supply Chain Proses distribusi produk Tujuan untuk menciptakan produk yang tepat harga, tepat kuantitas, tepat kualitas, tepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Business Assignment Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. Pengembangan bisnis ini diharapkan dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain bersaing dalam dunia pasar yang semakin memunculkan teknologi informasi yang canggih, perusahaan juga

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAITESISDANSUMBER INFORMASI Dengan inimenyatkan

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau

POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau A. Kemampuan Daya Dukung Wilayah (DDW) Terhadap Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, posisi penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan-batasan serta sistematika penulisan laporan yang digunakan dalam penelitian.

Lebih terperinci

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK Terdapat dua konsep nilai tambah yang digunakan dalam menganalisis beberapa kasus, yaitu nilai tambah produk akibat pengolahan dan nilai tambah perolehan pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, karena selain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, sektor ini juga menyumbang devisa, menyediakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENANGGULANGAN DAMPAK KEBERADAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KAMPAR

STRATEGI PENANGGULANGAN DAMPAK KEBERADAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KAMPAR STRATEGI PENANGGULANGAN DAMPAK KEBERADAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KAMPAR OLEH : IRWAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK IRWAN EFENDI. Strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT SUPPLY CHAIN MANAGEMENT Disusun Oleh: Puput Resno Aji Nugroho (09.11.2819) 09-S1TI-04 PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER (STMIK) AMIKOM YOGYAKARTA Jalan

Lebih terperinci

Optimalisasi Pengadaan Tandan Buah Segar (TBS) Sebagai Bahan Baku Produksi Crude Palm Oil dan Palm Kernel PT. Ukindo-Palm Oil Mill

Optimalisasi Pengadaan Tandan Buah Segar (TBS) Sebagai Bahan Baku Produksi Crude Palm Oil dan Palm Kernel PT. Ukindo-Palm Oil Mill Petunjuk Sitasi: Pasaribu, M. F., & Puspita, R. (2017). Optimalisasi Pengadaan Tandan Buah Segar (TBS) Sebagai Bahan Baku Produksi Crude Palm Oil dan Palm Kernel PT. Ukindo-Palm Oil Mill. Prosiding SNTI

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP

ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP Universitas Dharma Andalas Email: dewi.a@unidha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Organisasi minyak kelapa sawit di tingkat global atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyoroti peran Indonesia yang dinilai penting

Lebih terperinci

BAB I PROFIL PERUSAHAAN

BAB I PROFIL PERUSAHAAN BAB I PROFIL PERUSAHAAN 1.1 Sejarah Singkat PT. Paya Pinang Pada bulan Maret tahun 1962 para pendiri perusahaan (pribumi) yang tergabung dalam PT. Sumber Deli dan PT. Tjipta Makmur (sebagai owner) yang

Lebih terperinci

Seminar Nasional : Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, 6-7 Mei 2015, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang

Seminar Nasional : Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, 6-7 Mei 2015, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang Seminar Nasional : Sains, Rekayasa & Teknologi UPH - 2015 Rabu - Kamis, 6-7 Mei 2015, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang INDIKATOR DAN METRIK LEAN DAN AGILE PADA RANTAI PASOK MINYAK GORENG Rika Ampuh

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi

PENDAHULUAN. semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini semakin berkembangnya jumlah permintaan produk pangan, semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi perusahaan untuk memproduksi pangan

Lebih terperinci

V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA

V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 57 V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 5.1. Parameter Pengukuran Kinerja Pelaku Rantai Pasok Pengukuran kinerja dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA)

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

Oleh : EBRINEDY HALOHO A

Oleh : EBRINEDY HALOHO A ANALISIS OPTIMALISASI PENGADAAN TANDAN BUAH SEGAR (TBS) SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN CRUDE PALM OIL (CPO) DAN PALM KERNEL (PK) (Studi Kasus Kegiatan Replanting PT. Perkebunan Nusantara VIII,

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010.

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebagai Negara penghasil minyak bumi yang cukup besar, masa keemasan ekspor minyak Indonesia telah lewat. Dilihat dari kebutuhan bahan bakar minyak (BBM)

Lebih terperinci

RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP

RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP AGRITECH : Vol. XIX No. 2 Desember 2017 : 121-129 ISSN : 1411-1063 RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP Mahfud Hidayat, Pujiharto, Sulistyani Budiningsih Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus di Frida Agro yang terletak di Lembang, Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rantai Pasokan Menurut Indrajit dan Pranoto (2002), rantai pasokan adalah suatu tempat sistem organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai

Lebih terperinci

PENENTUAN KAPASITAS OPTIMAL PRODUKSI CPO DENGAN MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING PADA PABRIK KELAPA SAWIT (PTPN III) SEI RAMBUTAN TUGAS SARJANA

PENENTUAN KAPASITAS OPTIMAL PRODUKSI CPO DENGAN MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING PADA PABRIK KELAPA SAWIT (PTPN III) SEI RAMBUTAN TUGAS SARJANA PENENTUAN KAPASITAS OPTIMAL PRODUKSI CPO DENGAN MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING PADA PABRIK KELAPA SAWIT (PTPN III) SEI RAMBUTAN TUGAS SARJANA Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber :  [18 Februari 2009] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa termasuk Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar (228.523.300

Lebih terperinci

KONSEP SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) PADA PROSES PRODUKSI DALAM PENGELOLAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU ABSTRAK

KONSEP SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) PADA PROSES PRODUKSI DALAM PENGELOLAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU ABSTRAK KONSEP SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) PADA PROSES PRODUKSI DALAM PENGELOLAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU Francka Sakti francka_sakti@yahoo.com Sistem Informatika Universitas Bunda Mulia ABSTRAK Persaingan dunia

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

MANAJEMEN RANTAI PASOKAN. Suhada, ST, MBA

MANAJEMEN RANTAI PASOKAN. Suhada, ST, MBA MANAJEMEN RANTAI PASOKAN Suhada, ST, MBA MATERI Supply Chain Supply Chain Management ERP MODULES (POSISI SCM, CRM) ERP Modules (Posisi SCM, CRM) SUPPLY CHAIN Sebuah rangkaian atau jaringan perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

FORMULASI NILAI TAMBAH PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT

FORMULASI NILAI TAMBAH PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT FORMULASI NILAI TAMBAH PADA RANTAI PASOK MINYAK SAWIT Syarif Hidayat, Nunung Nurhasanah, Rizki Ayuning Prasongko Program Studi Teknik Industri Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2015 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Pendahuluan Sektor perkebunan terutama kelapa sawit memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

BAB 2 PEMASOK SUSTAINABEL

BAB 2 PEMASOK SUSTAINABEL BAB 2 PEMASOK SUSTAINABEL Pemilihan pemasok merupakan proses penting dan diperhatikan karena hasilnya mempengaruhi kualitas produk, performa perusahaan dan rantai pasok. Karena pasar yang kompetitif pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meskipun perekonomian dan perindustrian nasional kini dihadapkan kepada dampak krisis ekonomi global, namun bisnis ritel di Indonesia tidak terkendala bahkan masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, distribusi dan logistik telah memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perdagangan dunia. Terlebih lagi persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL ABSTRAK KATA PENGANTAR

HALAMAN JUDUL ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3

Lebih terperinci

KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA

KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA BAYU TRISNO ARIEF SETIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan

Lebih terperinci