IV. METODE PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. METODE PENELITIAN"

Transkripsi

1 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Pengambilan data lapangan dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Desember 2009 hingga Februari Lokasi penelitian dikonsentrasikan pada sebagian kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) bagian utara, Cagar Alam (CA) Telaga Warna, Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna, TWA Jember, hutan produksi Perum Perhutani dan perkebunan teh sekitarnya yang berbatasan langsung dengan kelompok hutan tersebut yang masih dijumpai elang Jawa. Lokasi kelompok hutan di wilayah Bopunjur tersebut merupakan habitat elang Jawa yang baik dan cukup penting di Jawa Barat (Dephut 2007) yang diindikasikan dengan ditemukannya beberapa sarang aktif serta teramatinya keberhasilan berbiak sejumlah pasangan elang Jawa (Suparman 2005). Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Gambaran lebih lengkap tentang lokasi penelitian disajikan pada Gambar Jenis dan Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara dengan stakeholder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari berbagai sumber yang diperlukan Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang bio-ekologi jenis elang Jawa secara umum dan informasi khusus terkait elang Jawa dan habitatnya pada lokasi penelitian antara lain: data sebaran populasi, posisi sarang dan rata-rata ukuran wilayah jelajah elang Jawa pada lokasi penelitian. Selain itu dikumpulkan pula data tentang penutupan lahan hutan, penggunaan lahan, pemangkuan kawasan, peta batas administrasi wilayah kabupaten dan peta pendukung lainnya yang diperlukan. Dikumpulkan juga peraturan perundangan yang ada yang berhubungan dengan pelestarian jenis elang Jawa, kawasan hutan sebagai habitat elang Jawa dan Rencana Tata Ruang

2 26 Wilayah (RTRW) kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR) dan informasi terkait lainnya. Studi literatur juga dilakukan terkait informasi kelembagaan yang ada atau pernah ada yang berhubungan dengan upaya pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. TN Gunung Gede Pangrango Sumber: CA Telagawarna, TWA Telagawarna, TWA Jember, beberapa kelompok Hutan Produksi Perum Perhutani dan Perkebunan Teh Peta dasar citra Landsat 5 TM 2007 dan pengolahan data dari berbagai sumber Gambar 4. Lokasi Penelitian Observasi Lapangan Observasi (pengamatan) lapangan dilakukan khususnya untuk mengecek penutupan lahan hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat pada lokasi penelitian. Observasi lapangan juga dilakukan untuk mengecek keberadaan pasangan elang Jawa yang diindikasikan berdasarkan keberadaan sarang aktif yang digunakan paling tidak sejak 3 5 tahun terakhir yang informasinya diperoleh dari data awal dari studi literatur dan hasil wawancara dengan

3 27 stakeholder. Dari observasi lapangan juga dikumpulkan informasi tentang permasalahan umum yang ada di lapangan terkait konservasi elang Jawa dan habitatnya. Keberadaan sarang aktif tersebut penting diketahui karena menunjukkan bahwa pada kawasan tersebut disukai elang dan digunakan sebagai habitat, tempat bersarang serta merupakan bagian dari wilayah jelajah pasangan elang Jawa. Berbekal informasi keberadaan sarang aktif, dapat dilakukan penentuan wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa dengan pengamatan langsung atau menggunakan metode radio telemetry di kawasan sekitar sarang. Namun karena waktu penelitian yang terbatas, pengamatan langsung maupun menggunakan radio telemetry tidak memungkinkan dilakukan, maka wilayah jelajah masingmasing pasangan elang diduga dengan membuat buffer (penyangga) berdasarkan informasi tentang luas wilayah jelajah dari jenis yang sama pada lokasi tersebut (berdekatan) dari penelitian terdahulu/ peneliti lain. Pembuatan penyangga tersebut dilakukan dengan metoda analisis data spasial. Selain itu, keberadaan sarang aktif juga menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat sepasang (2 individu) elang Jawa pada kawasan tersebut yang sedang berbiak. Bahkan jumlah individu elang pada kawasan tersebut bisa lebih dari sepasang apabila ternyata pasangan elang yang tengah berbiak masih memiliki anak elang/ elang remaja yang masih berada dalam wilayah jelajah yang sama dengan induknya Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa kelompok responden stakeholder pemangku kawasan (pengelola) yang bagian kawasannya digunakan oleh elang Jawa dalam aktifitas kesehariannya. Responden dipilih untuk masing-masing stakeholder adalah yang dianggap dapat mewakili lembaganya (informan kunci) dalam memberikan informasi yang diperlukan. Identifikasi kelompok pemangku kawasan ini adalah menggunakan hasil analisis spasial terhadap data sarang, wilayah jelajah pasangan elang Jawa dan data kawasan pemangkuan pada lokasi penelitian. Wawancara juga dilakukan pada kelompok stakeholder lainnya (individu maupun lembaga) yang bukan merupakan pemangku kawasan namun melakukan kegiatan yang terkait dalam pelestarian elang Jawa dan/ atau

4 28 habitatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Responden kelompok terakhir ini diperoleh menggunakan metoda snowball dalam wawancara mendalam (indepth interview) terhadap stakeholder pemangku kawasan. Wawancara dilakukan dengan semua kelompok responden stakeholder. Hasil wawancara ini digunakan untuk menjadi bahan dalam identifikasi dan analisis stakeholder. Hasil wawancara dianalisis bersama kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang dikembangkan akan menghasilkan luaran berupa kinerja stakeholder terhadap pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Materi wawancara tersebut antara lain mencakup: 1) Pemahaman terhadap konservasi secara umum, kepentingan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya serta kaitannya terhadap ekosistem yang lebih luas, 2) Informasi tentang kawasaan pemangkuan yang dikelolanya, 3) Perencanaan, progam, kegiatan dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pelestarian elang Jawa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, misalnya: perlindungan jenis, penelitian dan pemantauan populasi di alam; penegakkan hukum dan penanganan satwa elang Jawa di luar habitatnya (pemantauan perdagangan dan pemeliharaan ilegal, penyelamatan, rehabilitasi, pelepasliaran, sanctuary); penyadartahuan masyarakat, 4) Alokasi dana, sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai bagi upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya. 5) Pemahaman terhadap pengamanan (perlindungan) kawasan, khususnya habitat elang Jawa dan upaya yang telah dilakukan, 6) Upaya pengembangan pelibatan pemangku kepentingan yang lain yang lebih luas untuk menciptakan pengelolaan lestari yang berkesinambungan, Aspek penelitian, sumber data, metoda pengumpulan data dan analisis serta luaran disajikan pada Tabel 1. Panduan wawancara untuk pengelola kawasan dan para pihak terkait disajikan pada Lampiran Bahan dan Alat Bahan dan alat yang akan digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah: data digital maupun konvensional informasi geografi wilayah TNGGP, CA, hutan produksi Perum Perhutani dan wilayah perkebunan teh sekitarnya (peta

5 29 skala 1: RBI Digital Indonesia 1209 Edisi: Bakosurtanal, Citra Landsat 5 TM path 122/ row 65 [2007 dan 2008], peta batas wilayah pemangkuan kawasan, peta batas wilayah administrasi kabupaten), Global Positioning System (GPS), kompas, altimeter, kamera digital, handycam, kamera foto, perekam suara, buku panduan pengamatan lapangan burung pemangsa, tally sheet dan alat tulis. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan dan analisis data antara lain adalah Microsoft Excel 2007, ArcView 3.3 dan TNTMips Beberapa jenis peta yang diperlukan antara lain peta rupa bumi (RBI), peta Citra Landsat 5 TM (2007 dan 2008) yang mencakup lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran penutupan lahan hutan pada kawasan penelitian, peta batas kawasan (TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna, TWA Jember, blok hutan produksi Perum Perhutani pada lokasi penelitian dan bila memungkinkan batas kawasan perkebunan teh yang ada di sekitarnya dan berbatasan langsung) peta batas administrasi wilayah kabupaten dan peta pendukung lainnya Metode Analisis Ada tiga analisis pokok yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama adalah analisis spasial. Kedua adalah analisis data yang dilakukan melalui dua sub-analisis yaitu identifikasi dan analisis stakeholder dan content analysis terhadap peraturan perundangan terkait pelestarian jenis dan/atau hutan sebagai habitat elang Jawa serta content analysis terhadap informasi bio-ekologi elang Jawa untuk menentukan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa. Analisis ketiga adalah analisis kesenjangan Analisis Spasial Batasan Analisis Spasial Analisis spasial dalam penelitian ini dilakukan untuk menduga wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa yang teridentifikasi dari keberadaan sarang aktif yang ditemukan pada lokasi pengamatan. Hasil tersebut selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi stakeholder pemangku kawasan dan jenis kawasan pemangkuannya yang wilayahnya dipergunakan sebagai tempat bersarang maupun merupakan bagian dari wilayah jelajah elang Jawa.

6 Tabel 1. Aspek Penelitian, Sumber Data, Metoda Pengumpulan Data dan Analisis serta Luaran Tipe/ Sumber Data & Informasi Primer (tidak diketahui, maka perlu pengumpulan data langsung di lapangan) Aspek Penelitian Fisik- Biologi Sosial- Ekonomi Kelembagaan Isi Data & Informasi Sarang aktif elang Jawa Tutupan lahan Pemanfaatan sumber daya dan gangguan terhadap elang Jawa dan habitatnya Pemangkuan dan status kawasan Stakeholder Partisipasi dalam pelestarian elang Jawa Metoda Pengumpulan Data/ Analisis Observasi lapangan, wawancara dengan stakeholder Observasi lapangan untuk pengecekan hasil interpretasi/ klasifikasi citra Landsat Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder pemangku kawasan Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap pemangku kawasan dengan metoda snowball Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder Luaran Jumlah dan posisi sarang aktif elang Jawa pada lokasi penelitian Kondisi tutupan lahan berdasarkan klasifikasinya pada lokasi penelitian Pemahaman stakeholder terhadap konservasi secara umum, konservasi jenis elang Jawa dan habitatnya serta interaksi terhadap elang Jawa dan habitatnya Status kawasan, dasar hukum, luas kawasan, peta batas kawasan Daftar stakeholder yang terlibat dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Perencanaan, bentuk program, ketersediaan sumberdaya manusia dan dana serta upaya- upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya

7 Tabel 1. Aspek Penelitian, Sumber Data dan Metoda Pengumpulan Data dan Analysis serta Luaran (lanjutan) Tipe/ Sumber Data & Informasi Sekunder (pada umumnya telah diketahui maka data dapat dikumpulkan dari berbagai sumber) Aspek Penelitian Fisik- Biologi Sosial- Ekonomi Kelembagaan Isi Data & Informasi Metoda Pengumpulan Data/ Analisis Luaran Sarang elang Jawa Studi literatur Sarang aktif elang Jawa 2 tahun terakhir yang ada pada lokasi penelitian Wilayah jelajah elang Jawa Studi literatur Rata- rata luas wilayah jelajah elang Jawa pada lokasi penelitian Penutupan lahan Analisis spasial: interpretasi/ klasifikasi citra Landsat dengan supervised classification Kelas tutupan lahan pada lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya Pemangkuan kawasan Masyarakat sekitar kawasan Peraturan perundangan Analisis spasial: overlay data sebaran sarang elang, luas wilayah jelajah, penutupan lahan, batas pemangkuan kawasan, batas kabupaten Studi literatur Studi literatur dan content analysis 31 Daftar Stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan sebagai sarang/ bagian wilayah jelajah elang Jawa Tipologi dan karakteristik masyarakat di dalam dan sekitar kawasan Daftar peraturan perundangan terkait jenis elang Jawa, kawasan hutan habitat elang Jawa dan RTRW Kriteria dan indikator dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Kriteria dan indikator Studi literatur dan content analysis Kinerja Analisis stakeholder Kinerja normatif dan kinerja implementasi stakeholder dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Kesenjangan Analisis kesenjangan (gap analysis) Tiga tingkat kesenjangan dalam konservasi elang Jawa dan habitatnya

8 32 Tahapan Analisis a. Interpretasi dan Klasifikasi Citra Landsat Interpretasi dan klasifikasi Citra Landsat 5 TM path 122/ row 65 [2007 dan 2008] dilakukan menggunakan perangkat lunak TNTMips Interpretasi dan klasifikasi ini dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) (Lillesand dan Kiefer 1987). Tahapan interpretasi dan klasifikasi ini ditampilkan pada Gambar 5. Dalam penelitian ini tutupan lahan dibagi menjadi 13 kelas (modifikasi dari Anderson 1976, yaitu: 1. Hutan rapat (Dense forest), 2. Hutan agak rapat (Disperse forest, 3. Hutan jarang (Sparse Forest), 4. Hutan tanaman campuran (Mix Planted Trees), 5. Badan air (Water Body), 6. Sawah (Paddy Field), 7. Hutan tanaman (Planted Forest), 8. Kelapa sawit (Oil Palm), 9. Semak (Bushes), 10. Kebun teh (Tea), 11. Lahan terbuka (Open Soil), 12. Bangunan beton (Concrete) dan 13. Karet (Rubber). b. Pendugaan Wilayah Jelajah dan Identifikasi Kawasan Pemangkuan Berdasarkan penelitian wilayah jelajah yang pernah dilakukan di kawasan TNGGP dan CA Telaga Warna, diperolah informasi sebagai berikut: perkiraan ukuran wilayah jelajah elang dewasa di TNGGP pada tahun 1998 berdasarkan pengamatan langsung adalah 530 ha, berdasarkan gambaran jarak antara sarang adalah 710 ha (Gjershaug et al 2004); luas wilayah jelajah berdasarkan pengamatan dengan radio telemetry di wilayah CA Telaga Warna adalah sekitar 930 hektar (Kaneda et al. 2007). Dalam penelitian ini dugaan yang dipilih untuk ukuran luas wilayah jelajah dari pasangan elang Jawa yang dijumpai di lokasi penelitian adalah seluas 710 ha (Gjershaug et al. 2004). Asumsi tersebut dipilih karena luas 710 ha merupakan angka luas wilayah jelajah yang berada di antara luas wilayah jelajah terendah (530 ha [Gjershaug et al. 2004]) dan wilayah jelajah terbesar (930 ha [Kaneda et al. 2007]) pada lokasi penelitian.

9 33 Citra Landsat Registrasi/ geometric correction Radiometric correction Clip Memilih Training area Analisis separabilitas Klasifikasi Lay out Gambar 5. Tahapan Interpretasi dan Klasifikasi dengan Metode Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) (Lillesand dan Kiefer 1987) Semua titik lokasi sarang aktif elang Jawa yang ditemukan diplotkan pada peta dasar RBI skala 1: lokasi penelitian (Digital Indonesia 1209 Edisi: Bakosurtanal). Dugaan wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa yang teridentifikasi dengan ditemukannya sarang aktif dibuat dengan membuat buffer (penyangga) seluas luasan wilayah jelajah yang sudah ditentukan asumsinya terlebih dahulu yaitu 710 ha (Gjershaug et al. 2004). Penyangga dibuat berpatokan dari titik lokasi sarang aktif, karena sarang aktif pada umumnya berada di dalam breeding territory dalam wilayah jelajah elang Jawa (PTRCJMH 1998; Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi).

10 34 Peta lokasi sarang dan wilayah jelajah kemudian ditumpangtindihkan (overlay) dengan beberapa peta jenis lainnya yaitu peta batas-batas kawasan pemangkuan (kelola kawasan), peta pentutupan lahan (hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat) dan peta batas administrasi wilayah kabupaten. Pengolahan data spasial ini menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi (SIG) ArcView 3.3. Dari hasil penumpangtidahan peta-peta tersebut dapat diidentifikasi jenis kawasan pemangkuan yang bertumpangtindih (overlap) dengan wilayah jelajah semua pasangan elang Jawa. Dari peta tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan identifikasi stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan oleh elang Jawa untuk membuat sarang dan/ atau termasuk dalam wilayah jelajahnya. Selain itu dapat diidentifikasi pula jenis kelas tutupan lahan yang dipilih untuk tempat bersarang dan jenis kelas tutupan lahan yang digunakan sebagai wilayah jelajahnya. Hal tersebut dapat menggambarkan preferensi elang Jawa dalam pemanfaatan habitat pada masing-masing kelas penutupan lahan. Selain itu, dapat juga dilihat gambaran umum potensi kawasan berdasarkan kelas penutupan lahan yang disukai (cocok) sebagai habitat bagi elang Jawa. Tahapan analisis spasial yang dilakukan untuk menduga wilayah jelajah dan mengidentifikasi pemangkuan kawasan disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Tahapan Analisis Spasial untuk Menduga Wilayah Jelajah dan Mengidentifikasi Kawasan Pemangkuan

11 Analisis Data Identifikasi dan Analisis Stakeholder Definisi Stakeholder Terminologi stakeholder menurut Maryono et al. (2005), diacu dalam Pratiwi (2008) adalah bukan hanya kumpulan para pihak tapi pelaku yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan. Renard (2004) menyebutkan bahwa stakeholder adalah bukan bukan hanya masyarakat lokal, bukan hanya organisasi dan kelompok formal dan bukan hanya pengguna sumber daya alam serta komponen stakeholder dapat berubah setiap saat. Dalam penelitian ini, definisi stakeholder adalah: semua pihak pemangku kepentingan baik masyarakat, lembaga Pemerintah maupun lembaga bukan Pemerintah yang memiliki hak dan kemampuan, kewenangan dan kepentingan untuk berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. Sebagai contoh adalah kawasan CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna, maka kawasan tersebut adalah kawasan pemangkuan yang berstatus CA dan TWA, sedangkan sebagai stakeholder secara legalnya adalah pemangku kawasan, yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan. Maryono et al. (2005), diacu dalam Pratiwi (2008) membagi stakeholder dalam 3 kategori menurut karakteristiknya, yaitu: 1) Stakeholder kunci: adalah stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam pengambilan keputusan terkait pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya, yaitu: lembaga Pemerintah lembaga lain yang menjadi pemangku kawasan lindung (atau karena keputusan tertentu yang secara legal mengikat, sehingga kawasan tersebut diperlakukan untuk dikelola seperti kawasan lindung); lembaga Pemerintah pembuat Peraturan Perundangan, program dan kebijakan yang terkait dengan jenis elang Jawa dan atau kawasan yang menjadi habitatnya.

12 36 2) Stakeholder utama (primer): adalah stakeholder yang terkena dampak langsung oleh suatu rencana dan memiliki kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut namun tidak memiliki kewenangan legal dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder utama adalah semua lembaga pemangku kawasan yang digunakan sebagai habitat (wilayah jelajah maupun tempat bersarang) yang bukan termasuk kawasan lindung, tokoh masyarakat dan kader konservasi. 3) Stakeholder pendukung (sekunder): adalah stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi fasilitator penghubung dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder pendukung adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), peneliti, perguruan tinggi dan pemerhati elang. Batasan Analisis Stakeholder Hasil wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk melakukan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi tokoh, kelompok atau institusi kunci yang berpengaruh terhadap sukses tidaknya suatu program (ODA 1995). Dari analisis data di atas diperoleh luaran berupa daftar stakeholder termasuk pemangku kawasan, dan kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa dan/ atau habitatnya. Tahapan Identifikasi dan Analisis Berikut adalah tahapan dalam identifikasi dan analisis stakeholder: 1) Dilakukan identifikasi semua stakeholder yang terkait dalam pelestarian jenis elang Jawa, pengelolaan kawasan yang menjadi habitat elang Jawa baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut dapat berupa pemangku kawasan 1 yang kawasannya menjadi habitat (wilayah jelajah dan sarang elang Jawa) maupun stakeholder selain pemangku kawasan 2. 1 Stakeholder pemangku kawasan diidentifikasi berdasarkan lokasi keberadaan sarang aktif elang Jawa dan atau wilayahnya digunakan sebagai wilayah jelajah bagi elang Jawa sebagaimana yang disebutkan pada metode di bagian Analisis Spasial dalam bab ini. 2 Stakeholder selain pemangku kawasan diidentifikasi menggunakan metoda snowball pada saat dilakukan depth interview dengan pemangku kawasan.

13 37 Stakeholder selain pemangku kawasan dapat berupa lembaga pembuat program, kebijakan dan peraturan perundangan terkait elang Jawa dan atau habitatnya maupun terkait perencanaan dan pengaturan tata ruang wilayah yang menjadi habitat elang Jawa. 2) Membuat tabel identifikasi yang terdiri dari kolom yang berisi: a. Daftar stakeholder b. Kepentingan c. Pengaruh stakeholder dalam kesuksesan kegiatan pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya, diukur menggunakan parameter berikut (Dick 1997): tinggi (stakeholder mempunyai kemampuan mem-veto keputusan), sedang (pengaruh stakeholder masih bisa diselesaikan melalui negosiasi), dan kecil (stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan) 3) Membuat tabel identifikasi kinerja normatif dan kinerja implementasi masingmasing stakeholder berdasarkan kriteria dan indikator yang dikembangkan. 4) Dibuat pemetaan sebaran proporsi kinerja stakeholder berdasarkan metoda grid yang dimodifikasi dari Start dan Hovland (2004) (Gambar 7) untuk membantu penggambaran tingkat kinerja stakeholder pada masing-masing lokasi wilayah administrasi (di dalam KL dan di kawasan budidaya). Lokasi administrasi yaitu di dalam KL, di dalam KBd atau pada keduanya dilihat berdasarkan tugas pokok dan fungsi utama stakeholder berdasarkan tugas pokok dan fungsinya sesuai peraturan perundangan terkait 3, tujuan utama pendirian lembaga atau peran dalam upaya pelestarian elang Jawa. Tingkat kinerja stakeholder yaitu penting (kinerja ++) dan tidak penting (kinerja +) dilihat berdasarkan proporsi antara kinerja implementasi dengan kinerja normatif dalam satuan persen (%). Semakin tinggi kinerjanya berarti semakin penting peran stakeholder dalam memberikan pengaruh terhadap pelestarian elang Jawa. 5) Hasil identifikasi dan analisis stakeholder dengan menggunakan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa dapat menghasilkan luaran berupa kinerja 3 Peraturan perundangan terkait dalam hal ini antara lain adalah UU 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP 38/ 2007 tentang Pembagian Urusan Perintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

14 38 stakeholder terhadap pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan strategi pelibatan stakeholder dengan menentukan tipe partisipasi yang sesuai. Bentuk partisipasi tersebut dimulai dari keterlibatan sebagai informan, dalam konsultasi, langsung terlibat dalam kegiatan dan pengambilan keputusan, dan atau diposisikan sebagai mitra kerja (Dick 1997). Gambar 7. Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder (modifikasi dari Start dan Hovland (2004) Content Analysis Content analysis merupakan metoda penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara dan bentuk tertulis lainnya (Henderson 1991 dan Krippendorff 1980, diacu dalam Pratiwi 2008). Jenis data yang dikumpulkan berdasarkan metoda analisis ini adalah kata, kalimat, paragraf, sub-bagian, bagian dan buku (Borg et al dan Henderson 1991, diacu dalam Pratiwi 2008). Terdapat dua jenis data dalam content analysis, yaitu: isi tersurat (manifest content) dan isi tersirat (latent content) (Fraenkel et al. 1996, diacu dalam Pratiwi 2008). Analisis manifest content dilakukan dengan melakukan identifikasi sumber data berdasarkan arti yang dapat difahami secara langsung. Analisis

15 latent content dilakukan dengan inferensi (kesimpulan) terhadap sumber data yang dilihat berdasarkan komposisi, maner dan ordernya (Pratiwi 2008). 39 A. Penyusunan Kriteria dan Indikator Pelestarian Elang Jawa Definisi Kelestarian Jenis Alikodra (1990) menyebutkan bahwa pengelolaan satwa liar merupakan kegiatan manusia dalam mengatur populasi satwa liar tersebut dan habitatnya, serta interaksi antara keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Jadi dalam pengelolaan jenis satwa liar tertentu untuk tujuan kelestarian jenisnya berarti harus melestarikan juga habitatnya sesuai daya dukung yang diperlukan bagi populasi jenis satwa liar target. Batasan Variabel yang digunakan sebagai kriteria dasar dalam upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya diambil dari pengertian dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Bab IV Pasal 8. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ), dan kegiatan pendukungnya berupa pengelolaan di luar habitatnya (ex-situ) untuk menambah dan memulihkan populasi. Pengelolaan jenis di dalam habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasi, penyelamatan jenis serta pengkajian, penelitian dan pengembangan. Pengelolaan jenis di luar habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa serta penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Tahapan Penyusunan Penyusunan kriteria dan indikator ini dilakukan dengan metoda content analysis (Pratiwi 2008), untuk mengekstrak informasi terkait bio-ekologi elang Jawa. Dari informasi bio-ekologi tersebut dapat ditentukan faktor-faktor yang berperan dalam pelestarian elang Jawa. Asumsi dari terlaksananya dengan baik

16 40 kegiatan dalam indikator adalah terjaminnya kelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. B. Analisis Peraturan Perundangan Batasan Dalam pelaksanaan pengelolaan satwa liar diperlukan peraturan yang sistematis untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Peraturan perundangan dan kebijakan terkait pelestarian elang Jawa yang ada sangat berpengaruh dalam menentukan pencapaian tujuan kelestarian jenis satwa tersebut, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Peraturan perundangan yang ada akan mengatur, menentukan arah kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan jenis dan habitatnya oleh stakeholder terkait sesuai kapasitasnya dalam upaya mencapai tujuan pelestarian. Peraturan perundangan dalam penelitian ini dibatasi hingga tingkat peraturan pelaksana (Keputusan Menteri/ Peraturan Menteri) yang terkait dengan jenis dan habitatnya. Sedangkan analisis peraturan perundangan yang terkait dengan RTRW dibatasi hingga Keputusan Presiden/ Peraturan Presiden. Analisis peraturan perundangan ini dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana peraturan perundangan yang ada mengatur pengelolaan dan pelestarian jenis elang Jawa dan hutan sebagai habitatnya sesuai kriteria dan indikator pelestarian yang dikembangkan. Semakin banyak kesesuaian antara peraturan perundangan tersebut dengan kriteria dan indikator pelestarian yang dikembangkan maka produk hukum tersebut dianggap sempurna. Tahapan Analisis Peraturan Perundangan Analisis peraturan perundangan ini diawali dengan melakukan identifikasi peraturan perundangan yang ada dan terkait dengan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang dikembangkan. Analisis peraturan perundangan juga dilakukan pada peraturan perundangan terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mempengaruhi pengaturan ruang wilayah dan terkait langsung dengan keberadaan hutan dan jenis tutupan lahan lainnya sebagai habitat

17 41 elang Jawa. Analisis dilakukan dengan teknik content analysis (Pratiwi 2008), untuk mengekstrak informasi yang ada dalam peraturan perundangan tersebut dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang ditentukan pada tahap analisis sebelumnya. Penentuan peraturan perundangan yang akan dianalisis dilakukan dengan metoda snowball, dimulai dari peraturan perundangan tingkat paling tinggi (Undang-undang/ UU) hingga tingkat yang lebih rendah yang ditentukan dalam batasan penelitian ini (Keputusan Presiden/ Keppres untuk yang terkait RTRW; Keputusan Menteri/ Kepmen dan Peraturan Menteri/ Permen untuk yang lainnya) Analisis Kesenjangan Batasan Analisis Analisis kesenjangan dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya pada penelitian ini dibatasi pada kelembagaan yang berada di dalam kawasan lindung (KL) dengan yang berada di luar KL yaitu pada kawasan budidaya (KBd) yang sebagian kawasannya merupakan bagian dari wilayah jelajah elang Jawa. Dalam penelitian ini analisis kesenjangan dilakukan untuk mengetahui: 1) Kesenjangan yang ada antara kinerja stakeholder (implementasi) dengan tugas pokok dan fungsi yang dimandatkan kepada stakeholder tersebut (normatif). Yang dimaksud dengan implementasi dalam penelitian ini adalah segala bentuk upaya yang sudah dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan normatif dalam penelitian ini adalah tugas pokok dan fungsi yang dimandatkan oleh peraturan perundangan yang ada maupun tujuan awal dibentuknya organisasi. 2) Kesenjangan kinerja antara kelembagaan di dalam KL dengan kelembagaan pada KBd. 3) Kesenjangan kinerja antar stakeholder yang secara legal memperoleh mandat sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya, yaitu stakeholder di dalam KL.

18 42 Tahapan Analisis Tahapan analisis kesenjangan dalam pelestarian elang Jawa meliputi: 1) Kinerja masing-masing stakeholder diukur berdasarkan kriteria dan indikator yang dikembangkan. 2) Dilakukan analisis kesenjangan dengan mengukur proporsi (satuan %) antara kinerja implementasi dengan kinerja normatif pada masing-masing stakeholder. 3) Dilakukan analisis kesenjangan dengan membandingkan proporsi kinerja antara kelembagaan di dalam KL dengan kelembagaan di dalam KBd. 4) Dilakukan analisis kesenjangan dengan membandingkan proporsi kinerja antar stakeholder di dalam KL. 5) Mengidentifikasi faktor-fakto yang mempengaruhi kesenjangan. Rangkaian tahapan penelitian secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 8.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Dalam upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya yang berada di dalam kawasan lindung (KL) dan di dalam kawasan budidaya (KBd) akan melibatkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi]

IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi] IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi] (Identification of Stakeholders Performance and Gap in Javan Hawk-Eagle [Spizaetus bartelsi] Conservation)

Lebih terperinci

Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO

Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB IV. METODE PENELITIAN BAB IV. METODE PENELITIAN 4. 1. Ruang Lingkup Penelitian Evaluasi ketersediaan data dan informasi ekologi dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Evaluasi ini dikaitkan dengan kebutuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan VIII. PENUTUP 8.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan informasi tentang fungsi kawasan lindung partikelir dalam memenuhi kesenjangan sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan

METODE PENELITIAN. Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian keberadaan rangkong ini dilaksanakan di Gunung Betung Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachma. Waktu penelitian Mei 2015. Berikut adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu: 1) analisis kinerja pengelolaan 2). analisis terhadap situasi ekologi dan sosial ekonomi, 3) analisis

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Elang jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu dari 3 spesies burung pemangsa yang menjadi perhatian dunia selain burung elang irian (Harpyopsis novaeguineae)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Luas KHDTK Cikampek adalah 51,10 ha. Secara administratif

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh 1 Hairul Basri, 2 Syahrul, 3,4 *Rudi Fadhli 1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013-2016 (Analysis Of Land Cover Changes At The Nature Tourism Park Of Sungai Liku In Sambas Regency

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan BB. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan 2. Pengukuhan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu

III. METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu 25 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III, Seksi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM 3.1 Sejarah Organisasi 3.1.1 Latar Belakang Terbentuknya Kementrian Kehutanan Pembangunan kehutanan sebagai suatu rangkaian usaha diarahkan dan direncanakan untuk

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya; KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung Walet (Collocalia spp) merupakan salah

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian 16 III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian Ruang lingkup dan batasan-batasan kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wilayah kajian adalah wilayah administratif Kabupaten b.

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Industri Cilegon yang meliputi Anyer (perbatasan kota Cilegon-Kabupaten Serang), Merak, dan Cilegon, yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2012. Tempat yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Sekretariat Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Disampaikan pada Acara Monev Gerakan Nasioanal Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan Perkebunan Tanggal 10 Juni 2015 di Gorontalo DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN JENIS

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci