Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO"

Transkripsi

1 Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2010 Kuswandono NIM E

4

5 ABSTRACT KUSWANDONO. Gap Analysis in Javan Hawk-Eagle [Spizaetus bartelsi] Conservation. Under direction of ARZYANA SUNKAR and LILIK BUDI PRASETYO. This approach is quite different from existing conservation actions, which are site based and fragmented. Research was conducted since December 2009 until February 2010 in GGPNP, Telaga Warna NR and its surrounding forested areas. Aims of this study are: 1) To identify stakeholder related to Javan Hawk-eagle conservation, 2) To identify regulation related to Javan Hawk-eagle conservation, 3) To know the stakeholder performance related to Javan Hawk-eagle conservation, 4) To know the gaps in Javan Hawk-eagle conservation (gap normative performance and implemented performance, gap between group of stakeholder within protected area and outside area, also gap performance among stakeholder within protected area, 5) To identify factors caused gap. Primary data were collected using indepth interview and field observation. Stakeholders were identified through snowball method. Secondary data collected through reference study. Analysis conducted by spatial analysis, stakeholder identification and analysis, content analysis and gap analysis. Research results recognized two conservation management approaches: 1) species level, and 2) habitat level. These approaches will effectively conserve the existing fragmented and less protected forest blocks as well as boost the participation and synergism of many stakeholders. Further, by using this approach, a gap in conservation management among local conservation agencies will also be discussed for the benefit of the hawk-eagle s conservation in particular and for biodiversity in general. Keywords: conservation, gap analysis, Javan Hawk-eagle, management.

6

7 RINGKASAN KUSWANDONO. Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi]. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan LILIK BUDI PRASETYO. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa yang lebih cenderung menggunakan hutan primer sebagai wilayah jelajah dan tempat bersarangnya, namun demikian terkadang wilayah hutan sekunder dan kawasan perkebunan digunakan pula sebagai wilayah mencari pakan (Thiollay dan Meyburg 1998; Kuswandono et al. 2003b; Nijman dan van Balen 2003; Prawiradilaga et al. 2003). Informasi mengenai populasi dan penyebaran elang Jawa sangat sedikit pada masa sebelum tahun 1980 karena penelitian belum dilakukan dengan intensif. Sejak tahun 1990, data dan informasi mulai terkumpul dengang tambahan data yang baru (Dephut 2007). Berdasarkan informasi tersebut, diketahui bahwa resiko kepunahan elang Jawa semakin besar antara lain akibat: berkurangnya luasan habitat akibat perubahan peruntukkan (Dephut 2007), maraknya perburuan dan perdagangan ilegal elang Jawa (Sözer et al. 1998).; Prawiradilaga 1999). Populasi elang Jawa yang paling banyak ada di wilayah Jawa Barat (Dephut 2007). Wilayah TN Gunung Halimun Salak merukapan salah satu kawasan berhutan terluas di pulau Jawa (Whitten et al. 1996), sehingga diduga memiliki populasi terbesar jenis ini. Kelompok hutan TNGGP, CA Telaga Warna dan sekitarnya (Bopunjur) juga merupakan habitat yang penting bagi elang Jawa (Dephut 2007). Kawasan tersebut digunakan sebagai wilayah jelajah dan tempat bersarang sejumlah pasangan elang Jawa (Suparman 2005). Berdasarkan Keppres nomor 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi kawasan Bopunjur dibagi menjadi fungsi Kawasan Lindung (KL) dan fungsi Kawasan Budidaya (KBd). Dengan adanya perbedaan fungsi kawasan dalam dasar penetapan tersebut di atas akan berakibat terjadinya perbedaan pola pengelolaan KL dan KBd. Hal ini kurang menguntungkan bagi upaya pelestarian jenis elang Jawa karena kedua bentuk kawasan tersebut digunakan sebagai habitat. Pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya lebih terjamin pada KL karena adanya peraturan perundangan yang mengaturnya, antara lain Undang-undang (UU) nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang yang melindungi kawasan dan hidupan liar yang ada di dalamnya. Kesenjangan (gap) dalam pengelolaan habitat elang Jawa antara wilayah KL dan KBd perlu diketahui. Kesenjangan tersebut sangat ditentukan oleh kinerja pemangku kawasan. Untuk mengetahui kinerjanya maka perlu dilakukan analisis stakeholder. Dari semua informasi tersebut dapat dilakukan identifikasi penyelesaian masalah agar upaya pelestarian habitat elang Jawa dapat berjalan dengan efektif sehingga pelestarian terhadap jenis pun dapat dicapai.

8 Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pelestarian elang Jawa. 2. Mengidentifikasi peraturan perundangan terkait pelestarian elang Jawa. 3. Mengetahui kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa. 4. Mengetahui kesenjangan: kinerja normatif dan kinerja implementasi semua stakeholder, kinerja kelompok stakeholder di dalam kawasan lindung dengan di luar kawasan lindung (di kawasan budidaya), serta kesenjangan kinerja antar stakeholder dalam kawasan lindung. 5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan. Penelitian dilaksanakan di kawasan TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna, TWA Jember, hutan produksi Perum Perhutani dan perkebunan teh sekitarnya yang berbatasan langsung dengan kelompok hutan tersebut yang masih dijumpai elang Jawa. Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan mulai Desember 2009 hingga Februari Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara dengan stakeholder. Wawancara dilakukan kepada semua stakeholder dengan menggunakan panduan wawancara untuk mengetahui kinerja dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Stakeholder pemangku kawasan diidentifikasi berdasarkan keberadaan sarang aktif elang Jawa dan atau wilayahnya menjadi bagian dari wilayah jelajah elang Jawa. Pendugaan wilayah jelajah setiap pasangan elang yang diidentifikasi dari keberadaan sarang aktif dilakukan dengan analisis spasial dengan membuat buffer di sekeliling lokasi sarang seluas 710 ha, angka tersebut mengacu hasil penelitian luas wilayah jelajah oleh Gjershaug et al. (2004). Stakeholder selain pemangku kawasan diidentifikasi menggunakan metoda snowball melalui wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan terhadap pemangku kawasan. Observasi lapangan dilakukan untuk melakukan pengecekan tutupan lahan dan keberadaan sarang aktif elang Jawa. Analisis peraturan perundangan terkait pelestaarian elang Jawa dan pengembangan kriteria dan indikator pelestarian dapat menghasilkan informasi kinerja stakeholder terhadap pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Peraturan perundangan dikaji menggunakan metode content analysis untuk mengetahui keterkaitannya dengan kriteria dan indikator pelestarian yang dikembangkan. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif. Dari analisis spasial dapat diidentifikasi sebanyak 8 bentuk pemangkuan kawasan (4 kawasan lindung, 3 kawasan budidaya dan 1 kawasan budidaya yang dikelola seperti kawasan lindung yaitu hutan produksi Perum Perhutani berdasarkan Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur) dan sebanyak 6 pemangku kawasan yang wilayahnya menjadi habitat elang Jawa. Lokasi penyebaran ke-13 sarang aktif tersebut adalah: 3 di kawasan TNGGP, 6 di kawasan CA Telaga Warna, 1 di TWA Jember dan 3 di HP Perum Perhutani. Hasil analisis stakeholder berdasarkan kategorinya (Maryono et al. 2005, diacu dalam Pratiwi 2008), menunjukkan bahwa stakeholder kunci memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kesuksesan kegiatan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. Semua stakeholder kunci adalah pemangku kawasan

9 dan stakeholder lain yang memiliki kewenangan legal dalam pengelolaan jenis elang Jawa dan/ atau kawasan yang menjadi habitat elang Jawa tersebut. Namun demikian peran stakeholder utama dan stakeholder pendukung juga memberikan kontribusi dalam kesuksesan kegiatan pelestarian elang Jawa dan/ atau habitatnya. Hasil analisis pengaruh stakeholder dalam kesuksesan kegiatan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya, yang diukur menggunakan parameter ini belum bisa memberikan gambaran tentang kinerja dari masing-masing stakeholder, karena hanya mampu memberikan gambaran pengaruh secara normatif dan belum dapat memberikan gambaran pengaruh implementasinya. Analisis kesenjangan menggunakan kriteria dan indikator terhadap kinerja implementasi dan kinerja normatifnya akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Kriteria umum yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pelestarian elang Jawa dan habitatnya adalah dapat dicapainya kelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya dengan mempertahankan kepentingan sosial kemasyarakatan serta dengan tetap dapat dipertahankannya fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi kriteria kelestarian elang Jawa adalah populasi jenis (spesies) dan habitat. Indikator terhadap pelestarian jenis elang Jawa mencakup: 1) Terlindunginya jenis dan atau adanya status perlindungan jenis; 2) Terhindarkannya dari ancaman jenis di dalam habitatnya; 3) Terhindarkannya dari ancaman jenis di luar habitatnya; 4) Terpantaunya sebaran dan populasi jenis secara berkala; 5) Terpantaunya keberhasilan berbiak; 6) Terpantau dan tertanganinya jenis yang ada di luar habitatnya (pemeliharaan dan perdagangan ilegal); 7) Terlaksananya penegakkan hukum (termasuk penanganan satwa pasca tindakan penegakkan hukum); 8) Terlaksananya penelitian informasi dasar jenis; 9) Terlaksananya pengembangan upaya penangkaran untuk penyelamatan populasi; 10) Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian jenis; 11) Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian jenis. Sedangkan indikator terkait pelestarian habitat elang Jawa antara lain: 1) Terlindungi dan terkelolanya habitat yang merupakan penyebaran elang Jawa dari ancaman: kerusakan, fragmentasi, penurunan kualitas dan kehilangan (misal akibat alih fungsi lahan); 2) Adanya status kawasan sebagai kawasan konservasi (KPA/ KSA) maupun kawasan lindung bagi kawasan yang merupakan penyebaran elang Jawa; 3) Terlindunginya habitat elang Jawa di luar kawasan konservasi dan kawasan lindung; 4) Terpantaunya kondisi habitat secara berkala; 5) Terlaksananya pembinaan habitat; 6) Terlaksananya penelitian informasi dasar habitat; 7) Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian habitat; 8) Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian habitat. Peraturan perundangan yang diidentifikasi sejumlah 50 dokumen, mulai dari Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Menteri (Permen) dan Surat Keputusan (SK) Menteri terkait. Dari 50 peraturan perundangan yang ada terkait dengan jenis dilindungi elang Jawa dan atau hutan/ kawasan sebagai habitat elang Jawa terdapat 8 dokumen yang hanya membahas pengelolaan/ perlindungan jenis. Peraturan perundangan yang hanya terkait dengan pengelolaan/ perlindungan hutan/ habitat terdapat 16 dokumen. Peraturan

10 perundangan yang terkait dengan kedua-duanya (jenis dan habitat) ada 26 dokumen. Sedangkan peraturan perundangan yang secara khusus menyebutkan perlindungan jenis elang Jawa atau famili Accipitridae ada 6 dokumen. Analisis kesenjangan dilakukan untuk mengetahui tiga tingkat kesenjangan yang berpengaruh terhadap pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya, yaitu: a) kesenjangan kinerja normatif dengan kinerja implementasi masing-masing stakeholder; b) kesenjangan kinerja di dalam KL dengan kinerja di dalam KBd; c) kesenjangan kinerja antar stakeholder di dalam KL. Hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja stakeholder dalam pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya di dalam KL lebih tinggi dari pada kinerja di dalam KBd. Kinerja stakeholder dalam pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya pada KL lebih tinggi dari pada KBd, namun kinerja stakeholder yang bekerja di kedua lokasi KL dan KBd kinerjanya lebih tinggi daripada kinerja di KL saja ataupun kinerja di KBd saja. Kinerja (implementasi) masing-masing stakeholder pada umumnya baik (proporsi kinerja lebih dari 50 % pada kedua kriteria pelestarian). Stakeholder yang memiliki kinerja paling tinggi pada kawasan lindung untuk kriteria pelestarian jenis berturut-turut adalah: Dit KK, Dit KKH, Dit PPH, BBTNGGP, BBKSDA Jawa Barat, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait), BAPPEDA Cianjur - BAPPEDA Bogor. Sedangkan urutan kinerja terbaik stakeholder kunci bedasarkan kriteria habitat berturut-turut adalah: BAPPEDA Cianjur - BAPPEDA Bogor, Dit PPH, BBTNGGP, Dit KK - Dit KKH, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait), BBKSDA Jawa Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan antara lain adalah: a. Tidak ada kinerja normatif yang jelas mencakup semua kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang dituangkan dalam peraturan perundangan yang menentukan tugas pokok dan fungsi stakeholder, khususnya lembaga pemerintah. b. Kurangnya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan jenis yang dilindungi (atau secara khusus mengatur jenis tertentu yang dilindungi, misal elang Jawa) yang melibatkan semua stakeholder dan mengatur secara rinci terkait kriteria dan indikator pelestarian. c. Adanya perbedaan tujuan pengelolaan serta perbedaan tugas pokok dan fungsi stakeholder KL dan KBd. Pada KL dilakukan pengelolaan jenis dan habitatnya, sedangkan pada KBd hanya dikelola kawasan (habitat) saja. d. Kurangnya pemahaman terhadap kepentingan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya. e. Kurangnya sumber daya yang mendukung upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya. Sumber daya tersebut antara lain berupa manusia, dana maupun fasilitas. f. Program dan kebijakan yang ada belum terkait dengan elang Jawa, sehingga belum mampu memecahkan permasalahan. Kata Kunci: konservasi, masyarakat, pengelolaan, raptor

11 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

12

13 Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

14 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.

15 Judul Tugas Akhir : Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] Nama NIM : Kuswandono : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Ketua Dr Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Magister Profesi Konservasi Keragaman Hayati Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Yanto Santosa, D.E.A Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 10 Agustus 2010 Tanggal Lulus:

16

17 PRAKATA Puji syukur diucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas Rahmat dan Kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan oleh penulis. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak September 2009 hingga Mei 2010 dengan judul Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi]. Tesis ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul A Habitat Complex Approach to Save Javan Hawk-Eagle (Spizaetus bartelsi) in Western Part of Java: A Case Study, Gap Analysis, Community Participation and Synergism yang diterima sebagai oral presentation paper dalam The 6 th Symposium of Asian Raptor Research and Conservation yang diselenggarakan di Mongolia pada tanggal Juni Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. yang telah dengan sabar membimbing penulis selama rangkaian penyelesaian tugas akhir ini mulai dari persiapan, pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Magister Profesi Konservsi Keanekaragaman Hayati (KKH) IPB Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. dan seluruh dosen pengasuh mata kuliah atas pembelajaran yang sangat berharga selama program pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Jenderal PHKA, Sekretaris Ditjen PHKA, Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan Rumah Tangga Ditjen PHKA serta Kepala Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan dan menyelesaikan program pendidikan ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Usep Suparman dan Adam A. Supriatna yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, Wim Ikbal Nursal dan Bachtiar Santri Aji dalam analisis spasial, juga kepada semua teman seperjuangan" Program Magister Profesi KKH angkatan 2008 atas kerjasama dan inspirasinya. Ungkapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada Bapak-Ibu, yang terkasih Yuni dan Bayu, keluarga dan teman semua atas doa, dukungan dan semangatnya yang tiada batas sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

18 Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi upaya konservasi dan pengelolaan burung elang Jawa dan habitatnya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan sekitarnya pada khususnya, serta di seluruh wilayah penyebarannya pada umumnya. Bogor, Agustus 2010 Kuswandono

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 9 Agustus 1969 dari Bapak Rumidi Tedjosiswojo dan Ibu Sulastri. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kotamadya Yogyakarta dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Tahun 2008 penulis lulus seleksi untuk mendapatkan beasiswa dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis merupakan staf pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sejak tahun 2007 dan sebelumnya merupakan staf pada Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Hingga saat ini penulis masih tergabung dalam kelompok pengamat dan pemerhati burung pemangsa Mata ELANG, kemitraan Suaka Elang, Raptor Indonesia (RAIN), dan Asian Raptor Research and Conservation Network (ARRCN). Penulis juga pernah diperbantukan untuk mengembangkan program pendidikan konservasi berbasiskan satwa primata pada Pusat Primata Schmutzer Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta; Yayasan Gibbon Indonesia dan Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (BOS Foundation).

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... TERMINOLOGI... xxi xxiii xvii xxv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 8 II. LANDASAN TEORI Habitat dan Bio-ekologi Elang Jawa Identifikasi dan Analisis Stakeholder Analisis Kesenjangan III. KONDISI UMUM Sejarah Kawasan Wilayah Administrasi Bio-fisik Kawasan Sosial-Ekonomi-Budaya IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Jenis dan Metode Pengumpulan Data Studi Literatur Observasi Lapangan Wawancara Bahan dan Alat Metode Analisis Analisis Spasial Analisis Data Identifikasi dan Analisis Stakeholder Content Analysis A. Penyusunan Kriteria dan Indikator Pelestarian Elang Jawa B. Analisis Peraturan Perundangan Analisis Kesenjangan xix

22 V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Identifikasi Stakeholder Pemangku Kawasan Pemangku Kawasan dan Wilayah Pemangkuan Stakeholder dalam Pelestarian Elang Jawa Stakeholder Kunci Stakeholder Utama (Primer) Stakeholder Pendukung (Sekunder) VI. KRITERIA DAN INDIKATOR DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pelestarian Elang Jawa Kriteria dalam Pelestarian Elang Jawa Indikator dalam Pelestarian Elang Jawa Peraturan Perundangan VII. KINERJA DAN KESENJANGAN DALAM PELESRARIAN ELANG JAWA Kinerja Normatif dan Implementasi Kinerja di Dalam KL dan di Dalam KBd Kinerja di Dalam KL Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Usulan Bentuk Partisipasi dan Kelembagaan VIII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xx

23 DAFTAR TABEL Halaman 1 Aspek Penelitian, Sumber Data, Metoda Pengumpulan Data dan Analisis serta Luaran Penyebaran Sarang Elang Jawa di Lokasi Penelitian Kawasan dan Pemangku Kawasan yang Merupakan Wilayah Jelajah Elang Jawa pada Lokasi Penelitian Stakeholder Kunci terkait Pelestarian Elang Jawa Stakeholder Utama terkait Pelestarian Elang Jawa Stakeholder Pendukung terkait Pelestarian Elang Jawa Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Dasar Penetapan Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Jenis Elang Jawa Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Habitat Elang Jawa Proporsi antara Kinerja Implementasi dan Kinerja Normatif dengan Kriteria Jenis dan Habitat Hubungan antara Pengaruh (Power) dan Proporsi Kinerja (Interest) serta Usulan Bentuk Partisipasi pada Masing-Masing Stakeholder untuk Kriteria Jenis Hubungan antara Pengaruh (Power) dan Proporsi Kinerja (Interest) serta Usulan Bentuk Partisipasi pada Masing-Masing Stakeholder untuk Kriteria Habitat xxi

24

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] Perbandingan Frekuensi Penggunaan Habitaat untuk Berburu antara Berbagai Tipe Habitat Peta Pembagian Zona pada Cagar Biosfer Cibodas Lokasi Penelitian Tahapan Interpretasi dan Klasifikasi dengan Metode Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) (Lillesand dan Kiefer 1987) Tahapan Analisis Spasial untuk Menduga Wilayah Jelajah dan Mengidentifikasi Kawasan Pemangkuan Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder (modifikasi dari Start dan Hovland 2004) Bagan Alur Penelitian Peta Batas Pemangkuan Kawasan, Penutupan Lahan dan Batas Kabupaten Peta Lokasi 13 Sarang Aktif Elang Jawa dan Wilayah Jelajahnya serta Kondisi Penutupan Lahan dari Habitat Elang Jawa Peta Wilayah Pemangkuan Kawasan yang menjadi Bagian dari Wilayah Jelajah Elang Jawa Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder dengan Kriteria Jenis Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder dengan Kriteria Habitat xxiii

26

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Panduan Wawancara Pengelola Kawasan dan Para Pihak xxv

28 TERMINOLOGI Beberapa batasan terminologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Satwa atau fauna adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan atau di air, dan atau di udara [UU 5/1990]; 2. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia [UU 5/1990]; 3. Tumbuhan atau flora merupakan semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air [UU 5/1990]; 4. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya [UU 5/1990]; 5. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami [UU 5/1990]; 6. Jenis atau spesies adalah kelompok terkecil sebagai pembeda dengan kelompok lainnya dalam tingkatan pengelompokkan (taksa) baik untuk tumbuhan maupun hewan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dan memungkinkan adanya keturunan/ perkembangbiakan dari proses perkawinan yang terjadi; 7. Endemik adalah jenis flora atau fauna yang asli yang dijumpai pada suatu daerah; 8. Ekosistem merupakan sumber daya hayati sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi [UU 5/1990]; 9. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannnya, yanga satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan [UU 41/1999; Kepmenhut 32/Kpts-II/2001]; berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 6 disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu: hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi; 10. Kawasan adalah satuan wilayah atau area pengelolaan yang dikelola baik oleh perorangan maupun lembaga tertentu yang memiliki kewenangan untuk mengelolanya; 11. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan [UU 41/1999; Kepmenhut 32/Kpts-II/2001]; 12. Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah;

29 13. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang [Keppres 114/1999]; berdasarkan Keppres 114/1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur [Bopunjur] Pasal 6 (2) disebutkan bahwa pemanfaatan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya; 14. Kawasan Lindung [KL] adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah [Keppres 114/1999]; berdasarkan Keputusan Presiden [Keppres] 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 3-6, KL meliputi: 1). Kawasan yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya (Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Bergambut dan Kawasan Resapan Air), 2). Kawasan Perlindungan Setempat (Sempadan Pantai. Sempadan Sungai, Kawasan Sekitar Danau/Waduk, Kawasan Sekitar Mata Air), 3). Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya (Kawasan Suaka Alam, Kawasan Suaka Alam laut dan Perairan lainnya, Kawasan pantai Berhutan Bakau, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan), 4). Kawasan Rawan bencana Alam. berdasarkan Keppres 114/1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor- Puncak-Cianjur [Bopunjur] Pasal 6 (2), Kawasan Lindung terdiri atas: 1) kawasan Hutan Lindung; 2) kawasan Cagar Alam; 3) kawasan Taman Nasional; 4) kawasan Taman Wisata Alam; 5) kawasan perlindungan setempat, yang terdiri atas: kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar mata air dan kawasan sekitar waduk/danau/situ. 15. Kawasan Budidaya [KBd] adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan [Keppres 114/1999]; selanjutnya dalam penelitian ini KBd adalah kawasan yang berada di luar KL berdasarkan fungsi utama kawasan; 16. Hutan Lindung [HL] adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah [UU 41/1999; Keppres 32/1990]; 17. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan di sekitarnya, dan kawasan bawahannya [Keppres 32/1990]; 18. Hutan konservasi [HK] adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya [UU 41/1999]; berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 7, hutan konservasi terdiri dari: kawasan hutan suaka alam [KSA], kawasan hutan pelestarian alam [KPA] dan taman buru; xx

30 19. Hutan Produksi [HP] adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan [UU 41/1999]; 20. Kawasan Suaka Alam [KSA] adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan [UU 5/1990; UU 41/1999]; berdasarkan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya [KSDAHE] Pasal 14, KSA terdiri atas Cagar Alam dan Suaka Margasatwa; 21. Cagar Alam [CA] merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami [UU 5/1990]; 22. Suaka Margasatwa [SM] adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ekosistem asli, sikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi [UU 5/1990]; 23. Kawasan Pelestarian Alam [KPA] adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; berdasarkan UU 5/1990 tentang KSDAHE Pasal 29, KPA terdiri atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam [UU 5/1990; UU 41/1999]; 24. Taman Nasional [TN] adalah KPA yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi [UU 5/1990]; 25. Taman Hutan Raya [THR] adalah KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan/ atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi [UU 5/1990]; 26. Taman Wisata Alam [TWA] merupakan KPA yang terutama dimanfaat-kan untuk periwisata dan rekreasi alam [UU 5/1990]; 27. Taman Buru [TB] adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru [UU 41/1999]; 28. Cagar Biosfer [CB] adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan [UU 5/1990]; 29. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas kenekaragaman dan nilainya [UU 5/1990]; xxi

31 30. Stakeholder adalah semua pihak pemangku kepentingan baik masyarakat, lembaga Pemerintah maupun lembaga bukan Pemerintah yang memiliki hak dan kemampuan, kewenangan dan kepentingan untuk berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya; 31. Pemangkuan Kawasan adalah bentuk pengelolaan kawasan sesuai dengan tujuan awal ditetapkannya; 32. Pemangku Kawasan adalah stakeholder yang memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan yang dipangkunya sesuai dengan tujuan awal ditetapkannya; 33. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah: Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor dan Dinas/ Instansi yang ada di bawahnya; 34. Kelembagaan Kolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan lindung adalah pengaturan yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan termasuk mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan kolaborasi yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak 35. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian (wawancara/ observasi) langsung di lapangan; 36. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui hasil pengolahan/ kajian/ analisis data primer atau data sekunder yang telah ada sebelumnya; 37. Analisis spasial adalah ; Analisis spasial dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan akhir untuk mengetahui semua pemangku kawasan yang kawasannya dipergunakan sebagai wilayah jelajah oleh elang Jawa (baik untuk bersarang maupun aktifitas lainnya). 38. Peta adalah gambaran posisi/ letak suatu bentuk/ wilayah pada suatu bidang media; 39. Peta digital adalah suatu bentuk peta yang tersajikan dalam media penyimpan digital; 40. Peta analog adalah suatu bentuk peta yang tersajikan dalam media kertas atau bentuk lainnya selain digital 41. Peta penutupan lahan adalah suatu bentuk peta yang menggambarkan penutupan lahan suatu wilayah atau kawasan oleh vegetasi dan penutupan bentuk lain berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan; 42. Sarang aktif adalah sarang yang digunakan untuk bertelur, mengeram dan atau membesarkan anak oleh elang Jawa sebelum anakan elang mulai terbang dalam satu periode musim berbiak; 43. Wilayah jelajah adalah luasan wilayah yang digunakan oleh elang Jawa (umumnya berupa sepasang induk dan anak) dalam melakukan aktifitas hariannya, antara lain mencakup: tempat bersarang, tidur, istirahat, mencari pakan (berburu) dan aktifitas lainnya; xxii

32 44. Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden (Babbie 1998 diacu dalam Pratiwi 2008); 45. Wawancara mendalam [indepth interview] adalah bentuk pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam terhadap suatu responden atau narasumber; 46. Metoda snowball adalah adalah salah satu metoda dalam menentukan responden berdasarkan penggalian informasi terhadap responden sebelumnya; 47. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan dari sudut pandang responden yang tidak terucapkan (Alwasilah 2002 diacu dalam Pratiwi 2008); 48. Observasi lapangan adalah bentuk pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap peristiwa/ kejadian di lapangan; 49. Studi literatur adalah bentuk pengumpulan data dengan melakukan kegiatan pengkajian sumber informasi berbentuk pustaka atau literatur atau dokumen; 50. Peraturan Perundangan adalah dokumen produk hukum yang mengikat mengatur, menentukan arah kebijakan dan tindakan dalam perencanaan dan pelaksanaan hal tertentu dalam upaya mencapai tujuan; 51. Content analysis adalah teknik pengumpulan data sekunder melalui analisis dokumen (Henderson 1991 diacu dalam Pratiwi 2008); 52. Kriteria adalah kadar (ukuran) untuk mempertimbangkan sesuatu; dalam penelitian ini yang dimaksud kriteria adalah ukuran umum yang dipertimbangkan untuk pelestarian elang Jawa; 53. Indikator adalah komponen penciri yang menjadi penunjuk keberhasilan atau pencapaian suatu tujuan; dalam penelitian ini indikator yang dimaksud adalah ukuran untuk tercapainya kelestarian jenis elang Jawa; 54. Identifikasi stakeholder adalah teknik yang digunakan untuk mengetahui stakeholder yang ada dan terkait dengan kegiatan; 55. Analisis stakeholder adalah teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tokoh, kelompok atau institusi kunci yang berpengaruh terhadap sukses tidaknya suatu program (ODA 1995 diacu dalam Pratiwi 2008); dalam penelitian ini analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui kinerjanya dalam pelestarian elang Jawa berdasarkan kriteria dan indikator yang dikembangkan; 56. Kinerja adalah merupakan hasil adaptasi dan inovasi masyarakat terhadap institusi yang berlaku, baik formal maupun informal (Kartodihardjo et al. 2004); kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kinerja yang dilakukan oleh stakeholder dalam kaitan dengan upaya pelestarian elang Jawa; 57. Kinerja normatif adalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang diatur dalam peraturan perundangan ataupun ketentuan sebelumnya; 58. Kinerja implementasi adalah realisasi atau implementasi dari tugas pokok dan fungsi yang disebutkan dalam kinerja normatif; xxiii

33 59. Kesenjangan [gap] adalah perbedaan antara yang ada/ sudah terjadi dengan apa yang diharapkan (Grayson 2002 diacu dalam Pratiwi 2008); 60. Analisis kesenjangan [gap analysis] adalah teknik eksplorasi dengan mengidentifikasi kondisi aktual yang ada saat ini (implementasi) dengan yang kondisi yang diinginkan (normatif) (Pratiwi 2008); xxiv

34 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem memiliki pengaruh yang besar terhadap ekosistem tersebut. Gangguan terhadap jenis-jenis burung pemangsa ini akan mempengaruhi rantai dan jaring-jaring makanan dalam ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemik di Pulau Jawa, sangat berperan dalam mempengaruhi ekosistem di pulau Jawa. (Prawiradilaga, 1999; Ekawati et al. 2003a; Kuswandono et al, 2003a; PTRCJMH 1998). Pada awalnya, perkiraan penyebaran dan populasi elang Jawa ini sangat rendah, karena penelitian belum dilakukan secara intensif. Pengamatan sebelum tahun 1980 relatif sedikit dilakukan, sehingga sulit untuk menunjukkan bukti tentang penurunan populasi. Sejak tahun 1990, data dan informasi terkait dengan penyebaran dan populasi elang Jawa mulai terkumpul dan terdapat catatan terbaru dari para peneliti baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Dephut 2007). Tercatat penyebaran elang Jawa pada 62 lokasi hingga awal tahun 2000 (Sözer et al. 1998). Berdasarkan catatan tersebut terdapat informasi penyebaran sebelum tahun 1950 dan ada 5 lokasi yang saat ini sudah tidak ditemukan elang Jawa (Collar et al. 2001). Sebaran selebihnya masih dapat dijumpai pada tempat yang sama dan terdapat catatan temuan baru penyebaran elang Jawa dari para peneliti. Penyebaran elang Jawa pada saat ini adalah di bagian utara dan tengah sepanjang pulau Jawa. (Dephut 2007). Elang Jawa merupakan jenis burung pemangsa yang sangat tergantung pada hutan selalu hijau (evergreen forest specialist) (Nijman dan van Balen 2003; Syartinilia 2008). Habitat utama untuk elang Jawa dewasa adalah hutan selalu hijau (hutan primer) dan sebagian kecil wilayah hutan sekunder, sementara elang Jawa anak dan remaja lebih menyukai area hutan terbuka (hutan dengan rumpang dan hutan tanaman muda) dibandingkan elang Jawa dewasa. Prawiradilaga et al. (2003) menyebutkan bahwa elang Jawa mendiami daerah hutan tropis, dari daerah

35 2 pantai hingga sampai ketinggian m dpl dan sangat tergantung dengan hutan primer. Selain itu tercatat pula elang Jawa menggunakan hutan sekunder yang berdekatan dengan hutan primer. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa paling terancam punah yang tersisa (Collar et al. 2001). Jenis ini menghadapi resiko kepunahan akibat berkurangnya luasan habitat karena perubahan peruntukkan. Pengurangan luas kawasan yang merupakan habitat elang Jawa dan populasi manusia yang meningkat dalam 4 5 dekade yang terakhir memberikan dampak kurang baik terhadap upaya pelestarian elang Jawa (Dephut 2007). Faktor lain yang juga menimbulkan resiko kepunahan adalah maraknya perburuan jenis elang Jawa untuk diperdagangkan secara ilegal (Sözer et al. 1998; Prawiradilaga et al. 2003; Gjershaug et al. 2004). Populasi elang Jawa yang paling banyak ada di wilayah Jawa Barat (Dephut 2007). Wilayah TN Gunung Halimun Salak merukapan salah satu kawasan berhutan terluas di pulau Jawa (Whitten et al. 1996), sehingga diduga memiliki populasi terbesar jenis ini. Wilayah penyebaran elang Jawa lainnya yang cukup penting adalah di kawasan TNGGP, CA Telaga Warna dan sekitarnya (Dephut 2007) atau sering disebut sebagai wilayah Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur). Kawasan tersebut digunakan sebagai wilayah jelajah dan tempat bersarang sejumlah pasangan elang Jawa (Suparman 2005). Berdasarkan Keppres nomor 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi kawasan Bopunjur dibagi menjadi fungsi Kawasan Lindung (KL) dan fungsi Kawasan Budidaya (KBd). Kawasan lindung ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Dengan adanya perbedaan fungsi kawasan dalam dasar penetapan tersebut di atas akan berakibat terjadinya perbedaan pola pengelolaan KL dan KBd. Hal ini kurang menguntungkan bagi upaya pelestarian jenis elang Jawa karena pada kenyataannya elang Jawa menggunakan kedua bentuk kawasan tersebut sebagai wilayah jelajahnya,

36 3 meskipun penggunaan KBd tidak sesering penggunaan KL. Pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya akan lebih terjamin pada kawasan yang berstatus sebagai KL karena adanya peraturan perundangan yang mengaturnya, antara lain Undangundang (UU) nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang yang melindungi kawasan dan hidupan liar yang ada di dalamnya. Kesenjangan (gap) dalam pengelolaan habitat elang Jawa antara wilayah KL dan KBd perlu diketahui. Kesenjangan pengelolaan habitat sangat ditentukan oleh kinerja pemangku kepentingan (stakeholder), dalam hal ini adalah pemangku kawasan. Untuk mengetahui kinerja dari stakeholder tersebut maka perlu dilakukan analisis stakeholder. Dari semua informasi tersebut dapat dilakukan identifikasi penyelesaian masalah agar upaya pelestarian habitat elang Jawa dapat berjalan dengan efektif sehingga pelestarian terhadap jenis pun dapat dicapai. Hal tersebut sejalan dengan amanat UU nomor 5/1990 yaitu bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya dengan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri Kerangka Pemikiran Elang Jawa termasuk salah satu burung pemangsa dilindungi. Status perlindungan satwa di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) nomor 421/Kpts/Um/8/1970 pada tanggal 26 Agustus 1970 tentang tentang tambahan ketentuan Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening Elang Jawa mendapat perlindungan tambahan dalam pasal 21 ayat 2 UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan tentang berbagai larangan terkait satwa yang dilindungi. Perlindungan hukum diperkuat lagi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 4 tahun 1993 yang menetapkan elang Jawa sebagai burung nasional dan lambang spesies langka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7/1999 tentang

37 4 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menegaskan bahwa semua famili Accipitridae (termasuk jenis elang Jawa) adalah merupakan satwa yang dilindungi. PP nomor 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyebutkan secara khusus bahwa elang Jawa termasuk jenis yang tidak diperbolehkan ditangkarkan untuk tujuan perdagangan, bahkan keturunan setelah F2 masih termasuk satwa dilindungi. Dalam PP nomor 8/1999 juga disebutkan bahwa elang Jawa termasuk salah satu dari jenis-jenis satwa yang hanya dapat dipertukarkan atas persetujuan Presiden. Pada perlindungan tingkat internasional, elang Jawa termasuk dalam daftar CITES Lampiran II, yang berarti dilarang untuk diperdagangkan di seluruh perdagangan internasional tanpa adanya ijin. Keberadaan jenis harus ditunjang oleh keberadaan habitat dan habitat alami elang Jawa pada umumnya adalah hutan (hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman). Perlindungan terhadap habitat alaminya di pulau Jawa dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan UU nomor 5/1990, UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundangan terkait lainnya dalam bentuk Kawasan Lindung (KL). KL tersebut dapat berupa Kawasan Suaka Alam (KSA) terdiri dari cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) terdiri dari taman nasional (TN), taman hutan raya (THR) dan taman wisata alam (TWA). Bentuk lain dari KL dapat berupa taman buru (TB) atau hutan lindung (HL). TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan kawasan hutan sekitarnya merupakan habitat alami bagi elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dengan kondisi baik. Jumlah pasangan elang Jawa yang diindikasikan dengan ditemukannya sarang aktif elang Jawa di TNGGP dan kawasan hutan di sekitarnya sejak tahun adalah 11 sarang (pasang). Enam (6) sarang berada di dalam kawasan TNGGP, 3 sarang berada di Cagar Alam Telaga Warna dan 2 sarang berada pada hutan Perum Perhutani (Suparman 2005). Dengan adanya kampung di sekitar dan di dalam kawasan TNGGP serta terjadinya degradasi hutan pada hutan lindung, hutan produksi dan kawasan berhutan dalam wilayah perkebunan yang ada di sekitar TNGGP, maka menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap kelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya.

38 5 Aktivitas manusia dapat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan dan terganggunya proses ekologis di hutan yang merupakan habitat satwa liar. Kerusakan habitat berpengaruh terhadap penurunan kualitas habitat dan akan memberikan tekanan terhadap elang Jawa. Tekanan paling dominan akibat hilangnya habitat adalah akibat alih fungsi lahan (perubahan peruntukkan), baik secara legal maupun ilegal. Masih adanya perburuan dan perdagangan ilegal jenis elang Jawa (juga menambah ancaman terhadap kelestarian elang Jawa (Sözer et al. 1998; Prawiradilaga, 1999; Prawiradilaga et al, 2003). Peraturan perundangan terkait pelestarian elang Jawa dan habitatnya yang ada saat ini hanya mengatur perlindungan jenis elang Jawa dan perlindungan hutan yang kebetulan menjadi habitat elang Jawa sebagai kawasan lindung (KL). Perlindungan habitat elang Jawa lainnya di luar KL yaitu hutan produksi (HP), kawasan perkebunan dan kawasan budidaya (KBd) lainnya belum diatur dalam peraturan perundangan. Dalam peraturan perundangan yang ada terkait pengelolaan KBd hanya menyebutkan tentang pelestarian lingkungan secara umum. Dalam kenyataannya KL dan KBd dikelola oleh stakeholder (pemangku kepentingan) yang berbeda dengan tujuan dan pelaksanaan pengelolaan yang berbeda pula. Hal tersebut menyebabkan upaya pelestarian jenis elang Jawa harus melibatkan peran serta dan kerjasama dari stakeholder yang ada. Pemerintah Pusat (atau organisasi yang diberi kewenangan untuk mengelola oleh Pemerintah Pusat) memiliki kewenangan mengelola jenis satwa dilindungi dan kawasan lindung. Stakeholder lainnya seperti Pemerintah Daerah, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan dan segenap lapisan masyarakat diharapkan turut berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya. Peran serta dan kerjasama stakeholder dapat mempercepat upaya pencapaian pelestarian elang Jawa. Sinergi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perencanaan pembangunan daerah (Provinsi dan Kabupaten) menjadi mutlak diperlukan untuk menjamin upaya yang optimal antara pembangunan masyarakat wilayah sekitar hutan dan upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Dalam pembuatan RTRW dan perencanaan pembangunan daerah diduga masih terdapat kesenjangan

39 6 dengan program Nasional. Dalam perencanaan daerah belum memuat perencanaan detail untuk perlindungan jenis tertentu yang dilindungi (termasuk jenis elang Jawa) dan perlidungan kawasan yang menjadi habitat jenis tertentu dilindungi tersebut. Di lain pihak, diduga kesenjangan juga terjadi dalam upaya pelestarian elang Jawa yang berada di dalam kawasan lindung dengan yang berada di luarnya (kawasan budidaya). Dugaan kesenjangan lainnya yang terjadi adalah antara kinerja pelaksanaan tugas (kinerja implementasi) dengan tugas pokok dan fungsi yang dimandatkannya (kinerja normatif) dari stakeholder yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola jenis elang Jawa dan atau mengelola kawasan yang menjadi habitatnya. Dalam rangka pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya, maka kesenjangan yang ada perlu diperkecil atau dihilangkan. Untuk intu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan ada tersebut. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan maka dapat diidentifikasi solusi untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Hasil dari analisis kesenjangan ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ada sehingga dapat dicari solusi untuk mengatasinya. Gambar kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. Keterangan: KL = Kawasan Lindung KBd = Kawasan Budidaya Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi]

40 Perumusan Masalah Sözer and Nijman (1995b) menyebutkan ada empat ancaman utama terhadap elang Jawa, yaitu: kurangnya perhatian terhadap biologinya, hilangnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal. Penyempitan kawasan hutan yang menjadi habitatnya terjadi karena laju pembangunan infrastruktur dan pemukiman yang pesat serta peningkatan kebutuhan lahan untuk budidaya termasuk pertanian. Pembangunan tersebut banyak dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan yang berakibat habitat elang Jawa menjadi hilang, terfragmentasi dan menurun kualitasnya (Prawiradilaga 1999). Faktor lain yang menjadi penyebab kelangkaan jenis elang Jawa adalah sifat biologisnya. Elang Jawa memiliki laju reproduksi yang rendah dan proses dewasa kelamin yang lambat. Elang Jawa hanya bertelur satu butir setiap dua tahun sekali. Hal ini disebabkan masa pengeraman, perawatan anak di sarang dan ketergantungan burung muda terhadap induk cukup lama (Prawiradilaga 1999). Dilihat dari aspek biologisnya, elang Jawa rawan terhadap kepunahan, sehingga perlindungan habitatnya menjadi wajib dilakukan untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Hutan yang merupakan habitat utama elang Jawa dapat berbentuk hutan alam yang pada umumnya berupa kawasan lindung (KL) maupun berbentuk hutan produksi (Prawiradilaga 1999). Habitat non hutan bagi elang Jawa dapat berupa kawasaan budidaya seperti: perkebunan, ladang dan sawah (Thiollay dan Meyburg 1988; Prawiradilaga 1999; Nijman dan van Balen 2003; Kuswandono et al. 2003b). Masing-masing kawasan tersebut dikelola oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga tujuan dan pola pengelolaan kawasan pun juga berbeda. Hal tersebut dapat berakibat terhadap perbedaan penanganan kawasan yang menjadi habitat elang Jawa pada masingmasing bentuk kawasan pemangkuan. Terkait dengan digunakannya KL dan KBd sebagai habitat elang Jawa, maka perlu dilihat lebih lanjut apakah terdapat kesenjangan dalam pengelolaan KL dan KBd yang akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya. Di sisi lain, tidak semua pengelola KL memiliki kinerja yang baik, yang ditunjukkan dengan adanya kesenjangan antara kinerja normatif

41 8 dengan kinerja implementasi. Beberapa kesenjangan tersebut dapat menghambat upaya-upaya dalam pelestarian elang Jawa. Beberapa hal yang perlu dikaji berkaitan dengan upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya, antara lain: 1. Siapa saja stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan oleh elang Jawa sebagai habitat? Siapa saja stakeholder selain pemangku kawasan yang terkait dengan pelestarian elang Jawa? 2. Bagaimana kesenjangan kinerja pemangku kawasan lindung (KL) dengan kinerja pemangku kawasan di luar kawasan lindung (kawasan budidaya/ KBd) terkait dengan pelestarian jenis dan habitat elang Jawa? 3. Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dan atau menghilangkan kesenjangan yang ada dalam upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kesenjangan dalam upaya pelestarian elang Jawa. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pelestarian elang Jawa. 2. Mengidentifikasi peraturan perundangan terkait pelestarian elang Jawa. 3. Mengetahui kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa. 4. Mengetahui kesenjangan: kinerja normatif dan kinerja implementasi semua stakeholder, kinerja kelompok stakeholder di dalam kawasan lindung dengan di luar kawasan lindung (di kawasan budidaya), serta kesenjangan kinerja antar stakeholder dalam kawasan lindung. 5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat program dan aktifitas semua stakeholder yang terkait dengan elang Jawa dan atau habitatnya. Program dan aktifitas yang ada diharapkan dapat memperkecil kesenjangan yang ada dalam upaya pelestariannya.

42 II. LANDASAN TEORI 2.1. Habitat dan Bio-ekologi Elang Jawa Dalam pengelolaan dan pelestarian elang Jawa, informasi terkait habitat dan bio-ekologinya sangat penting diketahui. Informasi terkait habitat bermanfaat untuk mengetahui keamanan habitat dari ancaman pengurangan luas maupun perubahan peruntukkan, karena habitat sangat penting untuk mendukung ketersediaan sumberdaya yang diperlukan bagi kelangsungan hidup elang Jawa. Informasi tentang ukuran wilayah jelajah dan perubahannya dari waktu ke waktu dapat digunakan sebagai indikator kondisi (kualitas) habitat, karena ukuran wilayah jelajah sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat. Informasi terkait perilaku berburu dan perubahan perilakunya dapat bermanfaat untuk mencegah terjadinya konflik antara elang Jawa dengan masyarakat di sekitar habitat. Informasi terkait sarang aktif dapat digunakan sebagai indikator tingkat keberhasilan berbiak dari setiap pasangan elang yang ada, indikator tingkat gangguan habitat dan indikator kualitas habitat. Dari semua informasi tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi stakeholder dalam membuat kebijakan dan program di wilayah pemangkuannya masing-masing yang sinergi dan mendukung upaya pelestarian elang Jawa. Habitat Habitat elang Jawa adalah hutan dataran rendah selalu hijau, hutan hujan tropis dataran rendah dan tinggi, hutan sekunder di ketinggian m dpl (Sözer dan Nijman 1995a; van Balen 1996; Røv et al. 1997; Nijman dan van Balen 2003). Thiollay dan Meyburg (1988) menyebutkan bahwa elang Jawa tergantung pada hutan primer meskipun disebutkan pula bahwa elang Jawa terlihat di hutan sekunder di wilayah Bogor. Di Jawa Barat bagian selatan, penyebaran ditemukan dari permukaan laut hingga m dpl, dengan jumlah penyebaran terbesar pada ketinggian m dpl (Setiadi et al. 2000). Habitat lain yang sering digunakan elang Jawa adalah hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, namun hutan primer selalu dekat dan sangat penting untuk keberhasilan perkembangbiakannya (Røv et al. 1997).

43 10 Dari hasil pengamatan di wilayah TNGHS, Murtani (2007) menyebutkan bahwa hutan primer merupakan habitat ideal bagi elang Jawa sebagai daerah berburu, namun hutan sekunder dan daerah persawahan juga dapat digunakan sebagai habitat alternatif untuk berburu. Di Cikaniki, Koridor Halimun-Salak, Gunung Salak Chevron dijumpai elang Jawa menggunakan kebun teh sebagai daerah berburunya. Di wilayah lain seperti Cisoka dan Gunung Salak Tapos dijumpai elang Jawa juga menggunakan daerah sawah dan kampung sebagai daerah berburunya (Supriyanto et al. 2008). Penelitian lainnya di TNGH menunjukkan bahwa daerah yang paling sering digunakan oleh elang Jawa adalah hutan tetapi daerah yang berbatasan antara hutan dan kebun teh, kebun teh, kebun dan sawah juga termasuk kedalam habitat yang digunakan oleh elang Jawa (Kuswandono et al., 2003b). Perbandingan frekuensi penggunaan habitat untuk berburu antara berbagai tipe habitat ditunjukkan pada Gambar 2. Kondisi dan kualitas habitat yang ada akan sangat menentukan kelestarian jenis Elang Jawa. Kondisi habitat tersebut berpengaruh terhadap beberapa faktor bio-ekologi jenis tersebut, antara lain: luas wilayah jelajah, perilaku berburu, keberhasilan berkembang biak, ukuran populasi dan penyebarannya. Keberadaan luasan dan tingkat isolasi habitat dengan habitat di sekitarnya akan sangat berpengaruh terhadap ukuran populasi yang bisa didukungnya (daya dukung). Daya dukung habitat yang bisa mendukung ukuran populasi minimum elang Jawa (minimum viable population) sangat penting bagi kelestarian jenis tersebut dalam waktu jangka panjang (van Balen et al. 2000). Sumber: Kuswandono et al. (2003b) Gambar 2. Perbandingan Frekuensi Penggunaan Habitat untuk Berburu antara Berbagai Tipe Habitat

44 11 Wilayah Jelajah Wilayah jelajah elang Jawa di beberapa lokasi yang berbeda mencakup berbagai macam tipe habitat termasuk hutan, hutan produksi, kawasan budidaya (sawah, ladang dan perkebunan). Studi yang intensif pada penggunaan habitat yang dilakukan di Gunung Kendeng TNGHS (Kuswandono et al. 2003b; Gjershaug 2004; Widodo 2004) dan TNGGP (Gjershaug 2004; Suparman 2005; Kaneda et al. 2007) menunjukkan bahwa elang Jawa menggunakan hutan (sekunder dan hutan hujan primer) lebih sering dibanding tipe habitat lainnya (kebun teh, ladang dan sawah). Hal ini menunjukkan bahwa Elang jawa di kawasan tersebut sangat tergantung pada hutan (Prawiradilaga 2006). Perkiraan ukuran wilayah jelajah elang dewasa bervariasi. Perkiraan ukuran wilayah jelajah elang dewasa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada tahun 1998 berdasarkan pengamatan langsung adalah 530 ha, berdasarkan gambaran jarak antar sarang adalah 710 ha (Gjershaug et al. 2004). Luas wilayah jelajah berdasarkan pengamatan dengan radio telemetri di wilayah CA Telaga Warna adalah sekitar 930 hektar (Kaneda et al. 2007). Pada lokasi lain di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), luas wilayah jelajah elang Jawa berdasarkan pengamatan di wilayah Cikaniki-Citalahab di adalah antara 160 hingga ha dan terkadang terjadi tumpang tindih antara wilayah jelajah pasangan yang satu dengan lainnya (Kuswandono et al. 2003b; Widodo 2004). Perilaku Berburu Elang Jawa melakukan aktifitas berburu dengan menggunakan dua macam teknik. Teknik yang pertama yaitu dengan cara bertengger (perching) pada dahan, ranting ataupun cabang pohon di dalam hutan pada area perburuan di dalam wilayah jelajahnya (Bartesl 1931, diacu dalam van Balen 1996; Prawiradilaga 1999). Teknik berburu dengan cara bertengger pada pohon di dalam hutan ini paling sering dilakukan oleh elang Jawa (Bartesl 1931, diacu dalam van Balen 1996). Elang Jawa akan menunggu hingga terlihat adanya mangsa atau gerakan yang diduga dilakukan oleh mangsa, kemudian elang akan terbang (flying) dan meluncur (diving) dan menyergap mangsa dengan kedua cakarnya (Prawiradilaga

45 ). Teknik yang kedua adalah dengan terbang rendah (ambush hunting) dan berputar-putar (soaring) sambil mencari gerakan mangsa di atas tajuk pohon (Sözer dan Nijman 1995a). Apabila mangsa sudah terlihat maka segera meluncur dan menyambar mangsa yang berada di dahan pohon atau lantai hutan (Prawiradilaga 1999). Mangsa yang sudah tertangkap akan dibawa ke suatu tempat untuk bertengger untuk dimakan ataupun dibawa ke sarang untuk diberikan kepada anak elang (Kuswandono, pengamatan pribadi 2002). Aktifitas berburu ini lebih sering dilakukan di dalam hutan oleh genus Spizaetus, karena pada umumnya genus tersebut memiliki bentuk ujung sayap yang melingkar dan menjadikannya terbang lincah di antara pepohonan hutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan hutan bagi elang Jawa adalah penting, terutama sebagai wilayah berburu mangsa (Sözer R Juni 2010, komunikasi pribadi; Prawiradilaga Juli 2010, komunikasi pribadi). Apabila hutan sebagai habitat alami untuk berburu sudah semakin terbatas dan tidak mendukung lagi populasi elang Jawa yang ada, maka elang akan mencari mangsa ke wilayah sekitarnya. Terkadang konflik terjadi antara elang Jawa dengan masyarakat sekitar hutan apabila elang memangsa ayam atau binatang piaraan masyarakat lainnya. Pada situasi ini elang Jawa dianggap sebagai hama dan musuh masyarakat sekitar hutan (Suparman U Januari 2010, komunikasi pribadi). Hal tersebut dapat semakin memperburuk keadaan dan tidak menguntungkan bagi elang Jawa, karena setiap saat bisa ditangkap (dijebak) atau bahkan dibunuh oleh masyarakat yang merasa dirugikan. Perkembangbiakan dan Sarang Aktif Jenis elang Jawa mencapai dewasa kelamin pada umur sekitar 4 tahun, sedangkan dewasa tubuh diduga terjadi pada umur enam tahun. Elang Jawa betina diduga mulai kawin sesudah mencapai dewasa tubuh, sedangkan elang Jawa jantan bisa kawin setelah mencapai dewasa kelamin (Prawiradilaga 1999). Di sisi lain, perkembangbiakan elang juga ditentukan oleh ketersediaan pakan yang dipengaruhi oleh iklim (Newton 1979, 1999, diacu dalam Nijman et al. 2000). Elang Jawa bertelur sekali setiap dua tahun (biannual breeding cycle) dengan menghasilkan satu butir telor (Sözer dan Nijman 1995a; Bartels 1924,

46 13 diacu dalam van Balen 1996; Prawiradilaga 1999; Kuswandono, pengamatan pribadi 2002). Hal ini terjadi karena masa pengeraman, perawatan anak di sarang dan ketergantungan burung muda terhadap induk cukup lama (Prawiradilaga 1999). Elang Jawa di Cimungkat TNGGP bertelor setiap 2 3 tahun sekali (Bartels 1924, diacu dalam van Balen 1996). Hal tersebut secara umum sama terjadi pada genus Spizaetus di daerah tropis dan sub tropis untuk jenis elang Gunung Jepang (S. nipalensis) (Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi). Setelah telor menetas, kedua induk bekerjasama merawat anaknya dengan menyuapi dan menjaga anak secara bergiliran. Aktifitas mengerami atau menghangatkan anak hanya dilakukan oleh induk betina sementara induk jantan berburu mangsa. Kedua induk elang secara bergantian melatih anak elang belajar terbang. Pada masa anak elang belajar terbang dan sudah mulai bisa terbang (fledgling), anak elang masih sering kembali ke sarang. Pada masa tersebut anak belum mampu sendiri sehingga induk masih memberi pakan dengan meletakkan mangsa di sarang (Prawiradilaga 1999). Sarang elang Jawa dibangun dan digunakan hanya pada musim perkembangbiakan yaitu untuk bertelor, mengeram dan perawatan anak hingga anak bisa terbang (Prawiradilaga 1999). Sarang yang digunakan tersebut disebut sarang aktif. Setelah anak memiliki kemampuan terbang dan berburu mangsa sendiri, biasanya sarang sudah tidak digunakan lagi oleh pasangan induk dan anak elang hingga masa perkembangbiakan berikutnya. Meskipun demikian biasanya pasangan induk dan anak masih tinggal di sekitar pohon sarang, namun tidak tidur di pohon sarang. Pada masa perkembangbiakan selanjutnya pasangan elang Jawa akan menggunakan sarang yang digunakan pada musim perkembangbiakan sebelumnya dengan melakukan perbaikan dengan meletakkan beberapa material sarang yang baru berupa ranting dan pucuk daun di atas sarang lama. Namun apabila ada gangguan terhadap sarang, pohon sarang maupun habitatnya ada kemungkinan pasangan elang akan pindah dan membuat sarang baru pada pohon sarang lain ataupun lokasi lain yang lebih aman. (Kuswandono, pengamatan pribadi 2002). Hal tersebut juga terjadi pada jenis elang Gunung Jepang (S. nipalensis) di wilayah Suzuka Mountain Jepang, sehingga untuk memonitor tingkat gangguan suatu kawasan hutan dilakukan dengan melakukan pemantauan

47 14 keberhasilan berbiak dari pasangan-pasangan elang Jawa yang sudah diketahui lokasi pohon sarangnya pada setiap musim perkembangbiakannya (Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi). Sarang dibangun pada pohon sarang yang dipilih, yaitu pohon yang tertinggi di tempat tersebut dengan percabangan yang mencuat pada bagian tajuk untuk menempatkan sarangnya (van Balen 1996; Sözer et al. 1999). Jenis pohon sarang yang sudah tercatat meliputi Rasamala, Puspa dan Pinus. Jenis pohon Rasamala adalah yang paling sering dipergunakan sebagai pohon sarang (Prawiradilaga 1999), jenis lainnya adalah Pasang dan Kisireum (Sözer et al. 1999). Pada saat musim perkembangbiakan pasangan elang Jawa akan membentuk wilayah teritori (breeding territory) yang melingkupi lokasi pohon sarang pada wilayah jelajah. Diduga hal tersebut dilakukan elang untuk memudahkan dalam mempertahankan teritori dan mencari pakan dalam wilayah jelajahnya (Kuswandono, pengamatan pribadi 2002). Elang Jawa biasanya cukup agresif menjaga teritori dengan menunjukkan perilaku mempertahankan dari ancaman (kedatangan) individu lain baik dari jenis yang sama ataupun elang jenis lain (Prawiradilaga 1999). Teritori tersebut akan hilang setelah masa perkembangbiakan usai. Anak elang akan memiliki wilayah jelajah sendiri di sekitar pohon sarang yang luasnya biasanya seluas teritori, sedangkan induk elang wilayah jelajahnya lebih luas. Anak elang sudah mulai jarang terlihat terbang bersama induk ataupun elang remaja yang berasal dari induk yang sama. Setelah elang remaja mendekati usia dewasa maka akan memisahkan diri (memencar/ dispersal) dari pasangan induk (keluarga) untuk mencari pasangan serta menentukan wilayah jelajah sendiri. Wilayah jelajah ketika mesahkan diri cakupannya cukup luas sampai pada waktunya individu tersebut menemukan lokasi yang tepat. Penentuan lokasi wilayah jelajah baru untuk menetap ini sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat dan kepadatan populasi elang Jawa yang ada. Terkadang individu elang yang sudah memisahkan diri ini masih berkunjung kembali ke wilayah jelajah induknya (Kuswandono, pengamatan pribadi 2002; Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi).

48 15 Aktifitas perkembangbiakan pada beberapa lokasi yang berbeda menunjukkan bahwa elang tidak selalu memilih lokasi pohon sarang jauh dari aktifitas manusia. Sepasang elang bersarang sekitar 300 m dari Kebun Raya Cibodas yang ramai dikunjungi pengunjung pada akhir pekan dan berhasil menetaskan telor (van Balen et al. 1924). Pasangan lainnya bersarang sekitar 500 m dari pinggir hutan yang berbatasan dengan lahan pertanian intensif (van Balen 1996). Pasangan elang di Gunung Kendeng TNGHS bersarang sekitar 500 m dari pinggir hutan yang berbatasan dengan perkebunan teh dekat dengan jalan setapak yang sering dilewati pengunjung pada akhir pekan (Kuswandono, pengamatan pribadi 2002). Pada umumnya, elang Jawa sangat sensitif terhadap gangguan pada musim perkembangbiakan. Mereka akan meninggalkan sarang dan membangunnya kembali di tempat lain apabila terjadi gangguan di sekitar pohon sarang. Hal lain akibat terganggunya sarang adalah induk tidak mengerami telor sehingga telor membusuk dan tidak menetas (Suparman U 12 Januari 2010, komunikasi pribadi). Pada musim perkembangbiakan juga merupakan waktu paling rawan terhadap perburuan anakan elang Jawa. Setelah anak elang menetas dan belum bisa terbang adalah waktu yang biasanya digunakan oleh pemburu elang untuk menangkap anak elang dengan memanjat pohon sarang (Hapsoro Agustus 2003, komunikasi pribadi) Identifikasi dan Analisis Stakeholder Identifikasi dan analisis stakeholder merupakan langkah awal untuk mengetahui stakeholder mana saja yang terkait dalam suatu program atau kebijakan. Termasuk dalam upaya pelestarian elang Jawa, maka perlu dilakukan identifikasi dan analisis stakeholder untuk mengetahui siapa saja yang terkait dalam upaya pelestarian tersebut. Stakeholder tersebut dapat sebagai pemangku kawasan yang wilayah pemangkuannya menjadi habitat elang Jawa, maupun stakeholder lainnya yang terkait dalam program dan kebijakan pelestarian jenis dan habitat elang Jawa. Identifikasi dan analisis stakeholder ini dapat memberikan pemahaman terkait konteks sosial dan institusional dalam proses pembuatan rencana sebuah program atau kebijakan (Renard 2004).

49 16 Tujuan dilakukannya identifikasi dan analisis stakeholder adalah: 1. Mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya. Keterkaitan dalam program dan kebijakan tersebut dapat berupa: peran-perannya, kepentingannya serta dampak/ efek yang ditimbulkan oleh adanya pihak-pihak tersebut terhadap upaya pelestarian. 2. Memetakan peran, kontribusi dan kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa. Pemetaan stakeholder merupakan kebutuhan untuk dapat melibatkan stakeholder secara aktif sesuai dengan kondisi/ situasi terkini. 3. Untuk memaksimalkan peran, kontribusi dan kinerja setiap stakeholder dalam upaya pelestarian elang Jawa. Dengan luasnya peran, kontribusi dan kinerja setiap stakeholder, maka keberhasilan aktifitas perencanaan program atau kebijakan menjadi lebih baik dan mendapat dukungan banyak fihak. Analisis stakeholder diharapkan mampu memberikan peta peran dan masukan dari stakeholder potensial. Selanjutnya akan diketahui (diidentifikasi) adanya kesenjangan yang menjadi sumber masalah yang menghambat potensi atau kontribusi mereka. Dari pelaksanaan identifikasi dan analisis stakeholder secara umum dihasilkan luaran awal yang cukup penting tentang (Renard 2004): a. Individu, kelompok dan institusi yang akan terpengaruh dan semestinya memperoleh keuntungan dari suatu kebijakan dan pelaksanaan program (kegiatan) pengelolaan elang Jawa dan habitatnya; b. Kapasitas atau kemampuan yang dimiliki individu, kelompok dan intitusi; c. Orang, organisasi dan institusi yang dapat berpengaruh dan berkontribusi dalam proses perencanaan dan pengelolaan; d. Potensi hubungan antara masyarakat dan elang Jawa serta habitatnya pada masa lalu dan saat ini; e. Sumberdaya yang ada dan potensial pada saat ini yang dapat digunakan untuk pengelolaan konflik; f. Kinerja stakeholder terkait upaya pelestarian elang Jawa.

50 Analisis Kesenjangan Sebuah kesenjangan (gap) sering diistilahkan sebagai ruang antara di mana kita berada dan di mana kita ingin berada. Analisis kesenjangan dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan ruang tersebut ( diakses 4 September PM). Untuk menentukan keberhasilan program konservasi, salah satu cara yang yang dilakukan adalah dengan membandingkan antara lokasi-lokasi prioritas keanekaragaman hayati dengan kawasan konservasi, baik yang telah ada maupun yang sedang diusulkan (WWF 2000, diacu dalam Indrawan et al. 2007). Melalui pembandingan tersebut dapat ditentukan kesenjangan dalam pelestarian keanekaragaman hayati, yang selanjutnya perlu ditanggapi melalui pembentukan kawasan yang dilindungi yang baru (Indrawan et al. 2007). Napitupulu (2000) menyebutkan bahwa analisis kesenjangan merupakan suatu pendekatan spasial yang digunakan untuk mengetahui secara dimensi keruangan tingkat keakuratan dari keberadaan suatu spesies dengan komunitas alamnya dalam suatu kawasan yang dikonservasi dengan menggunakan metode penggabungan antara teknik remote sensing, teknik sistem informasi geografis dan metode skala pengharkatan. Analisis kesenjangan yang diterapkan oleh US Gap Analysis Program adalah untuk mengetahui cakupan kawasan lindung yang ada dengan membandingkan peta kelas lahan dan atau distribusi jenis (spesies) dengan peta pemangku kawasan dan status pengelolaannya. Target keterwakilan berdasarkan presentasi digunakan untuk mengetahui cakupan perluasan yang diperlukan pada setiap kelas lahan atau jenis yang berada pada kawasan lindung. Analisis kesenjangan yang dijumpai secara luas dalam literatur perencanaan konservasi sistematis di Eropa, Australia dan Afrika Selatan menyebutkan bahwa analisis kesenjangan digunakan untuk membuat prioritas dalam menetapkan kawasan lindung baru yang melengkapi jaringan kawasan lindung yang sudah ada. Prioritas dikembangkan berdasarkan prinsip tak tergantikan (irreplaceability) dan kelangkaan (vulnerability) (Langhammer et al. 2007). Pada tingkat regional maupun nasional, peta berisikan sebaran biota (baik berupa jenis tutupan vegetasi, komunitas hayati, maupun jenis terancam) dapat diperbandingkan dengan lahan yang dilindungi oleh pemerintah (Wright et al.

51 , diacu dalam Indrawan et al. 2007). Analisis kesenjangan di Indonesia pernah dilakukan antara lain untuk menilai lokasi prioritas pelestarian ikan air tawar di Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya (Indrawan et al. 2007) dan dalam pembuatan zonasi dalam pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan sebaran badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) (Napitupulu 2000). Dalam pelestarian elang Jawa, analisis kesenjangan dapat digunakan untuk membandingkan upaya pengelolaan dan pelestariannya di dalam kawasan lindung (KL) dengan kawasan di luarnya (kawasan budidaya/ KBd). Dalam penelitian ini, analisis kesenjangan dimulai dari tahapan analisis spasial untuk memperoleh informasi terkait pemangku kawasan dan bentuk (status) kawasan pemangkuan yang wilayahnya menjadi habitat elang. Berdasarkan informasi tersebut akan diketahui apakah wilayah yang menjadi habitat elang Jawa termasuk dalam kawasan lindung (KL) atau kawasan budidaya (KBd). Mengingat terdapatnya perbedaan tujuan dan pelaksanaan pengelolaan KL dan KBd, maka analisis lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat kesenjangan yang berpengaruh terhadap upaya pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya. Selain itu, kesenjangan juga dapat terjadi antara kinerja normatif dan kinerja implementasi pada semua stakeholder yang terkait dengan elang Jawa. Beberapa kesenjangan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi KBd yang menjadi habitat elang Jawa yang paling prioritas untuk mendapatkan perhatian pengelolaan. Dari informasi kesenjangan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan stakeholder pemangku KBd yang menjadi habitat elang Jawa untuk membuat program dan kebijakan yang memperhatikan pelestarian elang Jawa dalam pengelolaan kawasan pemangkuannya. Hal tersebut adalah sebagai alternatif dari pembentukan kawasan yang dilindungi yang baru (perubahan status KBd menjadi KL) dalam upaya pelestarian elang Jawa, yaitu dengan lebih mengoptimalkan pengelolaan habitat elang Jawa selain di KL serta meningkatkan kinerja semua stakeholder terkait pelestarian elang Jawa.

52 III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial membuat Taman Botani di wilayah Cibodas yang pada akhirnya menjadi cikal bakal Kebun Raya Cibodas. Pada tahun 1889 pemerintah kolonial menetapkan kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan Cagar Alam Cibodas dengan luas areal 240 hektar, diikuti oleh penetapan Cagar Alam Cimungkad pada tanggal 11 Juni 1919 dengan luas 56 ha. Selanjutnya tanggal 15 Januari 1925 kawasan Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung Pangrango dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam dengan luas ha. Pada tanggal 27 November 1975 atas dasar ketetapan Menteri Pertanian Indonesia Nomor 461/Kpts/Um/31/75, wilayah Situgunung ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam dengan luas 100 hektar, kemudian digabungkan menjadi Cagar Alam Gunung Gede dengan luas ha (Rustiami 2004; Budianto 2006). Tanggal 6 Maret 1980 Cagar Alam Gunung Gede diumumkan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia sebagai Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan luas ha, dan selanjutnya pada Tanggal 10 Juni 2003 kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bertambah luasnya hingga meliputi ha akibat alih fungsi kawasan di sekitarnya yang sebelumnya berstatus hutan produksi, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan perwakilan hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa yang memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang sangat tinggi beserta keunikan ekosistemnya. Tingginya nilai keanekaragaman hayati di kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango tersebut mendorong UNESCO untuk menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional. Pada tahun 1954, kawasan hutan Telaga Warna yang berada di sebelah Utara Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) berdasarkan

53 20 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 131/Um/1954 tanggal 6 Desember 1954 dengan luas kawasan 23,25 ha. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 394/Kpts/Um/6/1979 kawasan CA Telaga Warna bertambah 350 ha, sehingga jumlah luas kawasannya menjadi 373,25 ha. Pada tanggal 9 Juni 1981, kawasan CA Telaga Warna ditetapkan menjadi seluas 368,25 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 481/Kpts/Um/6/1981. Sebagian kawasan seluas 5 ha yang meliputi sebuah telaga, berubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Kawasan seluas 50 ha yang berbatasan CA Telaga Warna ditetapkan sebagai TWA Jember pada tanggal 9 Juni 1979 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 393/ Kpts/Um/6/1979. Di sekeliling TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember terdapat beberapa kelompok hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola olah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Hutan produksi (HP) tersebut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tahun 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± (Delapan Ratus Enam Belas Ribu Enam Ratus Tiga) Hektar. Selain itu terdapat pula beberapa pekebunan teh Wilayah Administrasi TNGGP menempati areal seluas hektar pada posisi BT dan LS, terletak dalam 3 wilayah kabupaten yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi dan terbagi menjadi 22 resort dengan 6 resort utama (Resort Mandalawangi (Cibodas), Gunung Putri, Cisarua, Bodogol, Selabintana dan Situgunung sebagai pintu masuk - TNGGP bisa dengan mudah diakses dari Jakarta dan Bandung. Terdapat 3 pintu masuk utama yaitu Mandalawangi, Gunung Putri dan Selabintana untuk memasuki kawasan ini. Pintu masuk lainnya, yaitu Situgunung dan Cisarua lebih banyak difungsikan sebagai kawasan wisata alam, sedangkan Bodogol lebih banyak difungsikan sebagai Pusat Pendidikan Konservasi dan Pengamatan Hidupan Liar. Cagar Biosfer Cibodas terletak pada tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Cagar biosfer ini memiliki batas terluar adalah jalan raya utama yang menghubungkan kota

54 21 Bogor-Cianjur-Sukabumi. Sebagai zona inti adalah kawasan TNGGP yang dikelilingi oleh zona penyangga dan zona peralihan sebagai zona terluar dan berbatasan langsung dengan batas luar cagar biosfer (Gambar 3). Sumber: TNGGP Gambar 3. Peta Pembagian Zona pada Cagar Biosfer Cibodas CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna secara administrasi terletak dalam wilayah Desa Tugu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, berada di sebelah utara kawasan TNGGP dan dipisahkan oleh jalan raya Ciawi-Cianjur sebagai batas Cagar Biosfer Cibodas. TWA Jember yang berbatasan langsung dengan CA Telaga warna secara administrasi termasuk wilayah Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur. Ada beberapa kelompok hutan produksi yang berbatasan langsung dengan CA Telaga Warna, kelompok hutan yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor dan yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Cianjur dikelola oleh Perum Perhutani KHP Cianjur.

55 Bio-fisik Kawasan Kawasan TNGGP Kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum, yaitu Rawa Gayonggong. Topografinya bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara m dpl dengan titik tertinggi puncak Gunung Pangrango, di kawasan ini banyak terdapat jurang dengan kedalaman hingga 70 m. Temperatur udara berada di antara 5-28 o C dengan curah hujan rata-rata sebesar mm/tahun. TNGGP mempunyai ekosistem yang khas yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana. Tidak kurang dari jenis tumbuhan berbunga, 400 jenis paku-pakuan dan lebih dari 120 jenis lumut dapat dijumpai di TNGGP. Dari keseluruhan jenis tumbuhan yang ada, 300 jenis diantaranya dapat digunakan sebagai bahan obat, serta 10 jenis berstatus dilindungi. Edelweis (Anaphalis javanica) merupakan tumbuhan khas vegetasi sub alpin yang hanya tumbuh pada ketinggian di atas m dpl menjadi simbol pengelola kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tumbuhan yang disebut sebagai bunga abadi ini, terdapat sepanjang waktu. Bunga ini hanya dapat ditemui di puncak Gunung Pangrango (Alun-alun Mandalawangi) serta di puncak dan lereng Gunung Gede (Alun-alun Suryakencana). Dijumpai lebih dari 300 jenis serangga, 75 jenis reptilia, 20 jenis amfibi, 260 jenis burung (53% dari jenis burung di Pulau Jawa) dan lebih dari 110 jenis mamalia di kawasan ini. Beberapa diantaranya merupakan jenis satwa liar yang berstatus endemik, dilindungi dan langka, seperti: 3 jenis burung, yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsi), celepuk gunung (Otus angelinae) dan cerecet (Psaltria exilis); 2 jenis primata, yaitu owa Jawa (Hylobates moloch) dan surili (Presbytis comata); serta berbagai jenis satwa liar yang terancam punah seperti macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), kucing hutan (Felis bengalensis) dan ajag (Cuon alpinus); selain itu juga terdapat 4 jenis amfibi yang dikategorikan sebagai jenis yang langka (rare species), masing-masing adalah kodok bertanduk (Megophrys montana), kodok berbintik merah (Leptophryne cruentata), katak serasah putih (Leptobrachium sp.) dan katak pohon Jawa (Rhacophorus javanus). Dari catatan

56 23 sejarah, pada awal abad ke-19, Junghuhn melaporkan banyaknya populasi badak Jawa, harimau Jawa, banteng dan rusa di kawasan TNGGP. Kawasan CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember Keadaan topografi kawasan CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna bergelombang dengan ketinggian kurang lebih m dpl. Curah hujan rata-rata mm per tahun. Vegetasi di kawasan ini termasuk tipe hutan hujan pegunungan, terdiri dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan, liana dan epifit. Pohon-pohon yang ada antara lain adalah jenis Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis argentea). Jenis satwa liar yang terdapat di kawasan ini antara lain adalah beberapa jenis burung Tekukur (Streptopelia chinensis), Puyuh (Tumix suscitator), Kadanca (Ducula sp.), Walet (Collocalia vulvanorum), elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan beberapa jenis burung lainnya. Keadaan topografi kawasan TWA Jember pada umumnya berlereng dengan ketinggian tempat kl meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson iklim kawasan ini termasuk tipe A dengan curah hujan rata-rata per tahun adalah mm. Flora yang terdapat di kawasan ini adalah Rasamala (Altingia excelsa), Saninten (Castanopsis argentia) serta berbagai jenis anggrek alam. Fauna yang terdapat di taman wisata ini antara lain adalah kancil (Tragulus javanicus), kijang (Munticus muntjak), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) serta beberapa jenis burung 3.4. Sosial-Ekonomi-Budaya Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan zona inti dari Cagar Biosfer Cibodas. Kawasan di sekelilingnya yang berbatasan langsung dengan TN ini merupakan zona penyangga. Sedangkan wilayah di luarnya yang berbatasan langsung dengan batas terluar Cagar Biosfer, yaitu jalan raya yang menghubungkan kota Ciawi (Bogor)-Cianjur-Sukabumi merupakan zona peralihan. Bentuk pengelolaan kawasan di zona penyangga antara lain adalah hutan produksi, hutan lindung, Kebun Raya Cibodas, Taman Safari Indonesia, lahan perkebunan teh, lahan pertanian padi, sayur dan buah-buahan, perkampungan dan desa. Hampir sebagian besar penduduk yang tinggal di dalam

57 24 dan sekitar kawasan Cagar Biosfer ini adalah petani sayuran, buah, padi sawah, perkebunan dan tanaman hias serta pedagang. Sebagian lainnya bermata pencaharian terkait dengan penyediaan jasa pariwisata dan turunannya. Seperti kebanyakan wilayah pegunungan lainnya di pulau Jawa, Gunung Gede Pangrango tidak pernah lepas dari mitologi, legenda dan cerita-cerita rakyat yang mempengaruhi pola kepercayaan dan budaya masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini masih dapat ditemui rombongan masyarakat yang berziarah di lokasilokasi tertentu yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual dan kekuatan supranatural. Beberapa lokasi yang sering dijadikan tempat ziarah oleh masyarakat adalah: a. Alun-alun Suryakencana, dimana di tempat tersebut terdapat Batu Dongdang dan Batu Kursi b. Leuit Salawejajar c. Batu Kukus d. Lawang Saketeng e. Curug Cikundul di komplek Curug Cibeureum f. Kasepuhan Cimande Selain obyek wisata alam di kawasan TNGGP, di wilayah Cagar Biosfer Cibodas terdapat pula obyek dan kegiatan wisata menarik lainnya semisal: Kebun Raya Cibodas, Taman Safari Indonesia, wisata agro (Gunung Mas dan Agropolitan), paralayang Gunung Mas, berkemah, arung jeram dan petualangan sepeda gunung. TWA Telaga Warna dan TWA Jember memiliki pemandangan alam yang indah dengan udara sejuk, di samping itu juga terdapat danau alam di mana permukaan airnya tampak berwarna, hal ini disebabkan oleh pantulan sinar matahari yang datang dari celah-celah dedaunan dan jatuh di permukaan danau yang berfungsi sebagai cermin. Keadaan alam yang relatif masih utuh merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Di TWA Telaga Warna juga terdapat obyek wisata budaya berupa makam keramat yang sering dikunjungi para peziarah.

58 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Pengambilan data lapangan dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Desember 2009 hingga Februari Lokasi penelitian dikonsentrasikan pada sebagian kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) bagian utara, Cagar Alam (CA) Telaga Warna, Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna, TWA Jember, hutan produksi Perum Perhutani dan perkebunan teh sekitarnya yang berbatasan langsung dengan kelompok hutan tersebut yang masih dijumpai elang Jawa. Lokasi kelompok hutan di wilayah Bopunjur tersebut merupakan habitat elang Jawa yang baik dan cukup penting di Jawa Barat (Dephut 2007) yang diindikasikan dengan ditemukannya beberapa sarang aktif serta teramatinya keberhasilan berbiak sejumlah pasangan elang Jawa (Suparman 2005). Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Gambaran lebih lengkap tentang lokasi penelitian disajikan pada Gambar Jenis dan Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara dengan stakeholder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari berbagai sumber yang diperlukan Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang bio-ekologi jenis elang Jawa secara umum dan informasi khusus terkait elang Jawa dan habitatnya pada lokasi penelitian antara lain: data sebaran populasi, posisi sarang dan rata-rata ukuran wilayah jelajah elang Jawa pada lokasi penelitian. Selain itu dikumpulkan pula data tentang penutupan lahan hutan, penggunaan lahan, pemangkuan kawasan, peta batas administrasi wilayah kabupaten dan peta pendukung lainnya yang diperlukan. Dikumpulkan juga peraturan perundangan yang ada yang berhubungan dengan pelestarian jenis elang Jawa, kawasan hutan sebagai habitat elang Jawa dan Rencana Tata Ruang

59 26 Wilayah (RTRW) kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR) dan informasi terkait lainnya. Studi literatur juga dilakukan terkait informasi kelembagaan yang ada atau pernah ada yang berhubungan dengan upaya pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. TN Gunung Gede Pangrango Sumber: CA Telagawarna, TWA Telagawarna, TWA Jember, beberapa kelompok Hutan Produksi Perum Perhutani dan Perkebunan Teh Peta dasar citra Landsat 5 TM 2007 dan pengolahan data dari berbagai sumber Gambar 4. Lokasi Penelitian Observasi Lapangan Observasi (pengamatan) lapangan dilakukan khususnya untuk mengecek penutupan lahan hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat pada lokasi penelitian. Observasi lapangan juga dilakukan untuk mengecek keberadaan pasangan elang Jawa yang diindikasikan berdasarkan keberadaan sarang aktif yang digunakan paling tidak sejak 3 5 tahun terakhir yang informasinya diperoleh dari data awal dari studi literatur dan hasil wawancara dengan

60 27 stakeholder. Dari observasi lapangan juga dikumpulkan informasi tentang permasalahan umum yang ada di lapangan terkait konservasi elang Jawa dan habitatnya. Keberadaan sarang aktif tersebut penting diketahui karena menunjukkan bahwa pada kawasan tersebut disukai elang dan digunakan sebagai habitat, tempat bersarang serta merupakan bagian dari wilayah jelajah pasangan elang Jawa. Berbekal informasi keberadaan sarang aktif, dapat dilakukan penentuan wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa dengan pengamatan langsung atau menggunakan metode radio telemetry di kawasan sekitar sarang. Namun karena waktu penelitian yang terbatas, pengamatan langsung maupun menggunakan radio telemetry tidak memungkinkan dilakukan, maka wilayah jelajah masingmasing pasangan elang diduga dengan membuat buffer (penyangga) berdasarkan informasi tentang luas wilayah jelajah dari jenis yang sama pada lokasi tersebut (berdekatan) dari penelitian terdahulu/ peneliti lain. Pembuatan penyangga tersebut dilakukan dengan metoda analisis data spasial. Selain itu, keberadaan sarang aktif juga menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat sepasang (2 individu) elang Jawa pada kawasan tersebut yang sedang berbiak. Bahkan jumlah individu elang pada kawasan tersebut bisa lebih dari sepasang apabila ternyata pasangan elang yang tengah berbiak masih memiliki anak elang/ elang remaja yang masih berada dalam wilayah jelajah yang sama dengan induknya Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa kelompok responden stakeholder pemangku kawasan (pengelola) yang bagian kawasannya digunakan oleh elang Jawa dalam aktifitas kesehariannya. Responden dipilih untuk masing-masing stakeholder adalah yang dianggap dapat mewakili lembaganya (informan kunci) dalam memberikan informasi yang diperlukan. Identifikasi kelompok pemangku kawasan ini adalah menggunakan hasil analisis spasial terhadap data sarang, wilayah jelajah pasangan elang Jawa dan data kawasan pemangkuan pada lokasi penelitian. Wawancara juga dilakukan pada kelompok stakeholder lainnya (individu maupun lembaga) yang bukan merupakan pemangku kawasan namun melakukan kegiatan yang terkait dalam pelestarian elang Jawa dan/ atau

61 28 habitatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Responden kelompok terakhir ini diperoleh menggunakan metoda snowball dalam wawancara mendalam (indepth interview) terhadap stakeholder pemangku kawasan. Wawancara dilakukan dengan semua kelompok responden stakeholder. Hasil wawancara ini digunakan untuk menjadi bahan dalam identifikasi dan analisis stakeholder. Hasil wawancara dianalisis bersama kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang dikembangkan akan menghasilkan luaran berupa kinerja stakeholder terhadap pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Materi wawancara tersebut antara lain mencakup: 1) Pemahaman terhadap konservasi secara umum, kepentingan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya serta kaitannya terhadap ekosistem yang lebih luas, 2) Informasi tentang kawasaan pemangkuan yang dikelolanya, 3) Perencanaan, progam, kegiatan dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pelestarian elang Jawa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, misalnya: perlindungan jenis, penelitian dan pemantauan populasi di alam; penegakkan hukum dan penanganan satwa elang Jawa di luar habitatnya (pemantauan perdagangan dan pemeliharaan ilegal, penyelamatan, rehabilitasi, pelepasliaran, sanctuary); penyadartahuan masyarakat, 4) Alokasi dana, sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai bagi upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya. 5) Pemahaman terhadap pengamanan (perlindungan) kawasan, khususnya habitat elang Jawa dan upaya yang telah dilakukan, 6) Upaya pengembangan pelibatan pemangku kepentingan yang lain yang lebih luas untuk menciptakan pengelolaan lestari yang berkesinambungan, Aspek penelitian, sumber data, metoda pengumpulan data dan analisis serta luaran disajikan pada Tabel 1. Panduan wawancara untuk pengelola kawasan dan para pihak terkait disajikan pada Lampiran Bahan dan Alat Bahan dan alat yang akan digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah: data digital maupun konvensional informasi geografi wilayah TNGGP, CA, hutan produksi Perum Perhutani dan wilayah perkebunan teh sekitarnya (peta

62 29 skala 1: RBI Digital Indonesia 1209 Edisi: Bakosurtanal, Citra Landsat 5 TM path 122/ row 65 [2007 dan 2008], peta batas wilayah pemangkuan kawasan, peta batas wilayah administrasi kabupaten), Global Positioning System (GPS), kompas, altimeter, kamera digital, handycam, kamera foto, perekam suara, buku panduan pengamatan lapangan burung pemangsa, tally sheet dan alat tulis. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan dan analisis data antara lain adalah Microsoft Excel 2007, ArcView 3.3 dan TNTMips Beberapa jenis peta yang diperlukan antara lain peta rupa bumi (RBI), peta Citra Landsat 5 TM (2007 dan 2008) yang mencakup lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran penutupan lahan hutan pada kawasan penelitian, peta batas kawasan (TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna, TWA Jember, blok hutan produksi Perum Perhutani pada lokasi penelitian dan bila memungkinkan batas kawasan perkebunan teh yang ada di sekitarnya dan berbatasan langsung) peta batas administrasi wilayah kabupaten dan peta pendukung lainnya Metode Analisis Ada tiga analisis pokok yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama adalah analisis spasial. Kedua adalah analisis data yang dilakukan melalui dua sub-analisis yaitu identifikasi dan analisis stakeholder dan content analysis terhadap peraturan perundangan terkait pelestarian jenis dan/atau hutan sebagai habitat elang Jawa serta content analysis terhadap informasi bio-ekologi elang Jawa untuk menentukan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa. Analisis ketiga adalah analisis kesenjangan Analisis Spasial Batasan Analisis Spasial Analisis spasial dalam penelitian ini dilakukan untuk menduga wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa yang teridentifikasi dari keberadaan sarang aktif yang ditemukan pada lokasi pengamatan. Hasil tersebut selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi stakeholder pemangku kawasan dan jenis kawasan pemangkuannya yang wilayahnya dipergunakan sebagai tempat bersarang maupun merupakan bagian dari wilayah jelajah elang Jawa.

63 Tabel 1. Aspek Penelitian, Sumber Data, Metoda Pengumpulan Data dan Analisis serta Luaran Tipe/ Sumber Data & Informasi Primer (tidak diketahui, maka perlu pengumpulan data langsung di lapangan) Aspek Penelitian Fisik- Biologi Sosial- Ekonomi Kelembagaan Isi Data & Informasi Sarang aktif elang Jawa Tutupan lahan Pemanfaatan sumber daya dan gangguan terhadap elang Jawa dan habitatnya Pemangkuan dan status kawasan Stakeholder Partisipasi dalam pelestarian elang Jawa Metoda Pengumpulan Data/ Analisis Observasi lapangan, wawancara dengan stakeholder Observasi lapangan untuk pengecekan hasil interpretasi/ klasifikasi citra Landsat Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder pemangku kawasan Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap pemangku kawasan dengan metoda snowball Wawancara mendalam (indepth interview) stakeholder Luaran Jumlah dan posisi sarang aktif elang Jawa pada lokasi penelitian Kondisi tutupan lahan berdasarkan klasifikasinya pada lokasi penelitian Pemahaman stakeholder terhadap konservasi secara umum, konservasi jenis elang Jawa dan habitatnya serta interaksi terhadap elang Jawa dan habitatnya Status kawasan, dasar hukum, luas kawasan, peta batas kawasan Daftar stakeholder yang terlibat dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Perencanaan, bentuk program, ketersediaan sumberdaya manusia dan dana serta upaya- upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya

64 Tabel 1. Aspek Penelitian, Sumber Data dan Metoda Pengumpulan Data dan Analysis serta Luaran (lanjutan) Tipe/ Sumber Data & Informasi Sekunder (pada umumnya telah diketahui maka data dapat dikumpulkan dari berbagai sumber) Aspek Penelitian Fisik- Biologi Sosial- Ekonomi Kelembagaan Isi Data & Informasi Metoda Pengumpulan Data/ Analisis Luaran Sarang elang Jawa Studi literatur Sarang aktif elang Jawa 2 tahun terakhir yang ada pada lokasi penelitian Wilayah jelajah elang Jawa Studi literatur Rata- rata luas wilayah jelajah elang Jawa pada lokasi penelitian Penutupan lahan Analisis spasial: interpretasi/ klasifikasi citra Landsat dengan supervised classification Kelas tutupan lahan pada lokasi penelitian dan kawasan sekitarnya Pemangkuan kawasan Masyarakat sekitar kawasan Peraturan perundangan Analisis spasial: overlay data sebaran sarang elang, luas wilayah jelajah, penutupan lahan, batas pemangkuan kawasan, batas kabupaten Studi literatur Studi literatur dan content analysis 31 Daftar Stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan sebagai sarang/ bagian wilayah jelajah elang Jawa Tipologi dan karakteristik masyarakat di dalam dan sekitar kawasan Daftar peraturan perundangan terkait jenis elang Jawa, kawasan hutan habitat elang Jawa dan RTRW Kriteria dan indikator dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Kriteria dan indikator Studi literatur dan content analysis Kinerja Analisis stakeholder Kinerja normatif dan kinerja implementasi stakeholder dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya Kesenjangan Analisis kesenjangan (gap analysis) Tiga tingkat kesenjangan dalam konservasi elang Jawa dan habitatnya

65 32 Tahapan Analisis a. Interpretasi dan Klasifikasi Citra Landsat Interpretasi dan klasifikasi Citra Landsat 5 TM path 122/ row 65 [2007 dan 2008] dilakukan menggunakan perangkat lunak TNTMips Interpretasi dan klasifikasi ini dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) (Lillesand dan Kiefer 1987). Tahapan interpretasi dan klasifikasi ini ditampilkan pada Gambar 5. Dalam penelitian ini tutupan lahan dibagi menjadi 13 kelas (modifikasi dari Anderson 1976, yaitu: 1. Hutan rapat (Dense forest), 2. Hutan agak rapat (Disperse forest, 3. Hutan jarang (Sparse Forest), 4. Hutan tanaman campuran (Mix Planted Trees), 5. Badan air (Water Body), 6. Sawah (Paddy Field), 7. Hutan tanaman (Planted Forest), 8. Kelapa sawit (Oil Palm), 9. Semak (Bushes), 10. Kebun teh (Tea), 11. Lahan terbuka (Open Soil), 12. Bangunan beton (Concrete) dan 13. Karet (Rubber). b. Pendugaan Wilayah Jelajah dan Identifikasi Kawasan Pemangkuan Berdasarkan penelitian wilayah jelajah yang pernah dilakukan di kawasan TNGGP dan CA Telaga Warna, diperolah informasi sebagai berikut: perkiraan ukuran wilayah jelajah elang dewasa di TNGGP pada tahun 1998 berdasarkan pengamatan langsung adalah 530 ha, berdasarkan gambaran jarak antara sarang adalah 710 ha (Gjershaug et al 2004); luas wilayah jelajah berdasarkan pengamatan dengan radio telemetry di wilayah CA Telaga Warna adalah sekitar 930 hektar (Kaneda et al. 2007). Dalam penelitian ini dugaan yang dipilih untuk ukuran luas wilayah jelajah dari pasangan elang Jawa yang dijumpai di lokasi penelitian adalah seluas 710 ha (Gjershaug et al. 2004). Asumsi tersebut dipilih karena luas 710 ha merupakan angka luas wilayah jelajah yang berada di antara luas wilayah jelajah terendah (530 ha [Gjershaug et al. 2004]) dan wilayah jelajah terbesar (930 ha [Kaneda et al. 2007]) pada lokasi penelitian.

66 33 Citra Landsat Registrasi/ geometric correction Radiometric correction Clip Memilih Training area Analisis separabilitas Klasifikasi Lay out Gambar 5. Tahapan Interpretasi dan Klasifikasi dengan Metode Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) (Lillesand dan Kiefer 1987) Semua titik lokasi sarang aktif elang Jawa yang ditemukan diplotkan pada peta dasar RBI skala 1: lokasi penelitian (Digital Indonesia 1209 Edisi: Bakosurtanal). Dugaan wilayah jelajah masing-masing pasangan elang Jawa yang teridentifikasi dengan ditemukannya sarang aktif dibuat dengan membuat buffer (penyangga) seluas luasan wilayah jelajah yang sudah ditentukan asumsinya terlebih dahulu yaitu 710 ha (Gjershaug et al. 2004). Penyangga dibuat berpatokan dari titik lokasi sarang aktif, karena sarang aktif pada umumnya berada di dalam breeding territory dalam wilayah jelajah elang Jawa (PTRCJMH 1998; Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi).

67 34 Peta lokasi sarang dan wilayah jelajah kemudian ditumpangtindihkan (overlay) dengan beberapa peta jenis lainnya yaitu peta batas-batas kawasan pemangkuan (kelola kawasan), peta pentutupan lahan (hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat) dan peta batas administrasi wilayah kabupaten. Pengolahan data spasial ini menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi (SIG) ArcView 3.3. Dari hasil penumpangtidahan peta-peta tersebut dapat diidentifikasi jenis kawasan pemangkuan yang bertumpangtindih (overlap) dengan wilayah jelajah semua pasangan elang Jawa. Dari peta tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan identifikasi stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan oleh elang Jawa untuk membuat sarang dan/ atau termasuk dalam wilayah jelajahnya. Selain itu dapat diidentifikasi pula jenis kelas tutupan lahan yang dipilih untuk tempat bersarang dan jenis kelas tutupan lahan yang digunakan sebagai wilayah jelajahnya. Hal tersebut dapat menggambarkan preferensi elang Jawa dalam pemanfaatan habitat pada masing-masing kelas penutupan lahan. Selain itu, dapat juga dilihat gambaran umum potensi kawasan berdasarkan kelas penutupan lahan yang disukai (cocok) sebagai habitat bagi elang Jawa. Tahapan analisis spasial yang dilakukan untuk menduga wilayah jelajah dan mengidentifikasi pemangkuan kawasan disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Tahapan Analisis Spasial untuk Menduga Wilayah Jelajah dan Mengidentifikasi Kawasan Pemangkuan

68 Analisis Data Identifikasi dan Analisis Stakeholder Definisi Stakeholder Terminologi stakeholder menurut Maryono et al. (2005), diacu dalam Pratiwi (2008) adalah bukan hanya kumpulan para pihak tapi pelaku yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan. Renard (2004) menyebutkan bahwa stakeholder adalah bukan bukan hanya masyarakat lokal, bukan hanya organisasi dan kelompok formal dan bukan hanya pengguna sumber daya alam serta komponen stakeholder dapat berubah setiap saat. Dalam penelitian ini, definisi stakeholder adalah: semua pihak pemangku kepentingan baik masyarakat, lembaga Pemerintah maupun lembaga bukan Pemerintah yang memiliki hak dan kemampuan, kewenangan dan kepentingan untuk berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. Sebagai contoh adalah kawasan CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna, maka kawasan tersebut adalah kawasan pemangkuan yang berstatus CA dan TWA, sedangkan sebagai stakeholder secara legalnya adalah pemangku kawasan, yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan. Maryono et al. (2005), diacu dalam Pratiwi (2008) membagi stakeholder dalam 3 kategori menurut karakteristiknya, yaitu: 1) Stakeholder kunci: adalah stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam pengambilan keputusan terkait pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya, yaitu: lembaga Pemerintah lembaga lain yang menjadi pemangku kawasan lindung (atau karena keputusan tertentu yang secara legal mengikat, sehingga kawasan tersebut diperlakukan untuk dikelola seperti kawasan lindung); lembaga Pemerintah pembuat Peraturan Perundangan, program dan kebijakan yang terkait dengan jenis elang Jawa dan atau kawasan yang menjadi habitatnya.

69 36 2) Stakeholder utama (primer): adalah stakeholder yang terkena dampak langsung oleh suatu rencana dan memiliki kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut namun tidak memiliki kewenangan legal dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder utama adalah semua lembaga pemangku kawasan yang digunakan sebagai habitat (wilayah jelajah maupun tempat bersarang) yang bukan termasuk kawasan lindung, tokoh masyarakat dan kader konservasi. 3) Stakeholder pendukung (sekunder): adalah stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi fasilitator penghubung dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder pendukung adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), peneliti, perguruan tinggi dan pemerhati elang. Batasan Analisis Stakeholder Hasil wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk melakukan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi tokoh, kelompok atau institusi kunci yang berpengaruh terhadap sukses tidaknya suatu program (ODA 1995). Dari analisis data di atas diperoleh luaran berupa daftar stakeholder termasuk pemangku kawasan, dan kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa dan/ atau habitatnya. Tahapan Identifikasi dan Analisis Berikut adalah tahapan dalam identifikasi dan analisis stakeholder: 1) Dilakukan identifikasi semua stakeholder yang terkait dalam pelestarian jenis elang Jawa, pengelolaan kawasan yang menjadi habitat elang Jawa baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut dapat berupa pemangku kawasan 1 yang kawasannya menjadi habitat (wilayah jelajah dan sarang elang Jawa) maupun stakeholder selain pemangku kawasan 2. 1 Stakeholder pemangku kawasan diidentifikasi berdasarkan lokasi keberadaan sarang aktif elang Jawa dan atau wilayahnya digunakan sebagai wilayah jelajah bagi elang Jawa sebagaimana yang disebutkan pada metode di bagian Analisis Spasial dalam bab ini. 2 Stakeholder selain pemangku kawasan diidentifikasi menggunakan metoda snowball pada saat dilakukan depth interview dengan pemangku kawasan.

70 37 Stakeholder selain pemangku kawasan dapat berupa lembaga pembuat program, kebijakan dan peraturan perundangan terkait elang Jawa dan atau habitatnya maupun terkait perencanaan dan pengaturan tata ruang wilayah yang menjadi habitat elang Jawa. 2) Membuat tabel identifikasi yang terdiri dari kolom yang berisi: a. Daftar stakeholder b. Kepentingan c. Pengaruh stakeholder dalam kesuksesan kegiatan pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya, diukur menggunakan parameter berikut (Dick 1997): tinggi (stakeholder mempunyai kemampuan mem-veto keputusan), sedang (pengaruh stakeholder masih bisa diselesaikan melalui negosiasi), dan kecil (stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan) 3) Membuat tabel identifikasi kinerja normatif dan kinerja implementasi masingmasing stakeholder berdasarkan kriteria dan indikator yang dikembangkan. 4) Dibuat pemetaan sebaran proporsi kinerja stakeholder berdasarkan metoda grid yang dimodifikasi dari Start dan Hovland (2004) (Gambar 7) untuk membantu penggambaran tingkat kinerja stakeholder pada masing-masing lokasi wilayah administrasi (di dalam KL dan di kawasan budidaya). Lokasi administrasi yaitu di dalam KL, di dalam KBd atau pada keduanya dilihat berdasarkan tugas pokok dan fungsi utama stakeholder berdasarkan tugas pokok dan fungsinya sesuai peraturan perundangan terkait 3, tujuan utama pendirian lembaga atau peran dalam upaya pelestarian elang Jawa. Tingkat kinerja stakeholder yaitu penting (kinerja ++) dan tidak penting (kinerja +) dilihat berdasarkan proporsi antara kinerja implementasi dengan kinerja normatif dalam satuan persen (%). Semakin tinggi kinerjanya berarti semakin penting peran stakeholder dalam memberikan pengaruh terhadap pelestarian elang Jawa. 5) Hasil identifikasi dan analisis stakeholder dengan menggunakan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa dapat menghasilkan luaran berupa kinerja 3 Peraturan perundangan terkait dalam hal ini antara lain adalah UU 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP 38/ 2007 tentang Pembagian Urusan Perintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

71 38 stakeholder terhadap pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan strategi pelibatan stakeholder dengan menentukan tipe partisipasi yang sesuai. Bentuk partisipasi tersebut dimulai dari keterlibatan sebagai informan, dalam konsultasi, langsung terlibat dalam kegiatan dan pengambilan keputusan, dan atau diposisikan sebagai mitra kerja (Dick 1997). Gambar 7. Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder (modifikasi dari Start dan Hovland (2004) Content Analysis Content analysis merupakan metoda penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara dan bentuk tertulis lainnya (Henderson 1991 dan Krippendorff 1980, diacu dalam Pratiwi 2008). Jenis data yang dikumpulkan berdasarkan metoda analisis ini adalah kata, kalimat, paragraf, sub-bagian, bagian dan buku (Borg et al dan Henderson 1991, diacu dalam Pratiwi 2008). Terdapat dua jenis data dalam content analysis, yaitu: isi tersurat (manifest content) dan isi tersirat (latent content) (Fraenkel et al. 1996, diacu dalam Pratiwi 2008). Analisis manifest content dilakukan dengan melakukan identifikasi sumber data berdasarkan arti yang dapat difahami secara langsung. Analisis

72 latent content dilakukan dengan inferensi (kesimpulan) terhadap sumber data yang dilihat berdasarkan komposisi, maner dan ordernya (Pratiwi 2008). 39 A. Penyusunan Kriteria dan Indikator Pelestarian Elang Jawa Definisi Kelestarian Jenis Alikodra (1990) menyebutkan bahwa pengelolaan satwa liar merupakan kegiatan manusia dalam mengatur populasi satwa liar tersebut dan habitatnya, serta interaksi antara keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Jadi dalam pengelolaan jenis satwa liar tertentu untuk tujuan kelestarian jenisnya berarti harus melestarikan juga habitatnya sesuai daya dukung yang diperlukan bagi populasi jenis satwa liar target. Batasan Variabel yang digunakan sebagai kriteria dasar dalam upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya diambil dari pengertian dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Bab IV Pasal 8. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ), dan kegiatan pendukungnya berupa pengelolaan di luar habitatnya (ex-situ) untuk menambah dan memulihkan populasi. Pengelolaan jenis di dalam habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasi, penyelamatan jenis serta pengkajian, penelitian dan pengembangan. Pengelolaan jenis di luar habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa serta penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Tahapan Penyusunan Penyusunan kriteria dan indikator ini dilakukan dengan metoda content analysis (Pratiwi 2008), untuk mengekstrak informasi terkait bio-ekologi elang Jawa. Dari informasi bio-ekologi tersebut dapat ditentukan faktor-faktor yang berperan dalam pelestarian elang Jawa. Asumsi dari terlaksananya dengan baik

73 40 kegiatan dalam indikator adalah terjaminnya kelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. B. Analisis Peraturan Perundangan Batasan Dalam pelaksanaan pengelolaan satwa liar diperlukan peraturan yang sistematis untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Peraturan perundangan dan kebijakan terkait pelestarian elang Jawa yang ada sangat berpengaruh dalam menentukan pencapaian tujuan kelestarian jenis satwa tersebut, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Peraturan perundangan yang ada akan mengatur, menentukan arah kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan jenis dan habitatnya oleh stakeholder terkait sesuai kapasitasnya dalam upaya mencapai tujuan pelestarian. Peraturan perundangan dalam penelitian ini dibatasi hingga tingkat peraturan pelaksana (Keputusan Menteri/ Peraturan Menteri) yang terkait dengan jenis dan habitatnya. Sedangkan analisis peraturan perundangan yang terkait dengan RTRW dibatasi hingga Keputusan Presiden/ Peraturan Presiden. Analisis peraturan perundangan ini dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana peraturan perundangan yang ada mengatur pengelolaan dan pelestarian jenis elang Jawa dan hutan sebagai habitatnya sesuai kriteria dan indikator pelestarian yang dikembangkan. Semakin banyak kesesuaian antara peraturan perundangan tersebut dengan kriteria dan indikator pelestarian yang dikembangkan maka produk hukum tersebut dianggap sempurna. Tahapan Analisis Peraturan Perundangan Analisis peraturan perundangan ini diawali dengan melakukan identifikasi peraturan perundangan yang ada dan terkait dengan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang dikembangkan. Analisis peraturan perundangan juga dilakukan pada peraturan perundangan terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mempengaruhi pengaturan ruang wilayah dan terkait langsung dengan keberadaan hutan dan jenis tutupan lahan lainnya sebagai habitat

74 41 elang Jawa. Analisis dilakukan dengan teknik content analysis (Pratiwi 2008), untuk mengekstrak informasi yang ada dalam peraturan perundangan tersebut dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa yang ditentukan pada tahap analisis sebelumnya. Penentuan peraturan perundangan yang akan dianalisis dilakukan dengan metoda snowball, dimulai dari peraturan perundangan tingkat paling tinggi (Undang-undang/ UU) hingga tingkat yang lebih rendah yang ditentukan dalam batasan penelitian ini (Keputusan Presiden/ Keppres untuk yang terkait RTRW; Keputusan Menteri/ Kepmen dan Peraturan Menteri/ Permen untuk yang lainnya) Analisis Kesenjangan Batasan Analisis Analisis kesenjangan dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya pada penelitian ini dibatasi pada kelembagaan yang berada di dalam kawasan lindung (KL) dengan yang berada di luar KL yaitu pada kawasan budidaya (KBd) yang sebagian kawasannya merupakan bagian dari wilayah jelajah elang Jawa. Dalam penelitian ini analisis kesenjangan dilakukan untuk mengetahui: 1) Kesenjangan yang ada antara kinerja stakeholder (implementasi) dengan tugas pokok dan fungsi yang dimandatkan kepada stakeholder tersebut (normatif). Yang dimaksud dengan implementasi dalam penelitian ini adalah segala bentuk upaya yang sudah dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan normatif dalam penelitian ini adalah tugas pokok dan fungsi yang dimandatkan oleh peraturan perundangan yang ada maupun tujuan awal dibentuknya organisasi. 2) Kesenjangan kinerja antara kelembagaan di dalam KL dengan kelembagaan pada KBd. 3) Kesenjangan kinerja antar stakeholder yang secara legal memperoleh mandat sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam pelestarian elang Jawa dan habitatnya, yaitu stakeholder di dalam KL.

75 42 Tahapan Analisis Tahapan analisis kesenjangan dalam pelestarian elang Jawa meliputi: 1) Kinerja masing-masing stakeholder diukur berdasarkan kriteria dan indikator yang dikembangkan. 2) Dilakukan analisis kesenjangan dengan mengukur proporsi (satuan %) antara kinerja implementasi dengan kinerja normatif pada masing-masing stakeholder. 3) Dilakukan analisis kesenjangan dengan membandingkan proporsi kinerja antara kelembagaan di dalam KL dengan kelembagaan di dalam KBd. 4) Dilakukan analisis kesenjangan dengan membandingkan proporsi kinerja antar stakeholder di dalam KL. 5) Mengidentifikasi faktor-fakto yang mempengaruhi kesenjangan. Rangkaian tahapan penelitian secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 8.

76 Gambar 8. Bagan Alur Penelitian

77 V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Dalam upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya yang berada di dalam kawasan lindung (KL) dan di dalam kawasan budidaya (KBd) akan melibatkan banyak stakeholder. Stakeholder tersebut adalah pemangku kawasan yang wilayahnya menjadi habitat elang Jawa maupun stakeholder selain pemangku kawasan yang terkait dengan jenis elang Jawa dan atau habitatnya. Untuk mengetahui semua stakeholder yang terkait dengan elang Jawa tersebut maka perlu dilakukan identifikasi dan analisis stakeholder. Selain itu, dari analisis stakeholder dapat diperoleh informasi antara lain: peta peran, kontribusi dan kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa. Manfaat penting lainnya dari hasil analisis stakeholder adalah dapat digunakan untuk memaksimalkan peran, kontribusi dan kinerja setiap stakeholder dalam upaya pelestarian elang Jawa Identifikasi Stakeholder Pemangku Kawasan Pengolahan data spasial dengan menumpangtindihkan (overlay) beberapa jenis peta: peta batas-batas kawasan pemangkuan, peta pentutupan lahan (hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat), peta batas administrasi wilayah kabupaten akan dihasilkan peta batas kawasan pemangkuan, penutupan lahan dan batas kabupaten menghasilkan sebuah peta batas kawasan seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Peta tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa lokasi penelitian terletak di wilayah TNGGP bagian utara yang berbatasan langsung dengan beberapa perkebunan teh dan kelompok hutan CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember serta kelompok hutan produksi Perum Perhutani. Antara kawasan TNGGP dengan CA Telaga Warna dipisahkan oleh jalan raya Bogor Cianjur, tepat berada pada batas wilayah kedua kabupaten tersebut. Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh Raptor Conservation Society (RCS) sejak tahun di kawasan TNGGP dan sekitarnya terdapat 11 sarang (pasang) elang Jawa, 6 sarang berada di dalam kawasan TNGGP, 3 sarang berada di dalam kawasan CA Telaga Warna dan 2 sarang pada kawasan hutan lindung (Suparman 2005). Dari 11 sarang tersebut pada saat pengamatan di

78 46 lapangan dijumpai 4 sarang yang tidak lagi dipergunakan oleh pasangan elang Jawa, namun ditemukan 6 sarang aktif baru yang berada pada lokasi yang berbeda (Suparman U 12 Januari 2010, komunikasi pribadi). Data hasil studi literatur, wawancara dan pengamatan di lapangan ditunjukkan pada Tabel 2. Sumber: Peta dasar citra Landsat 5 TM 2007 dan pengolahan data dari berbagai sumber Gambar 9. Peta Batas Kawasan Pemangkuan, Penutupan Lahan dan Batas Kabupaten Sarang aktif elang Jawa biasanya digunakan pada musim berkembang biak yaitu untuk bertelor, mengerami telor dan merawat anak setelah menetas hingga anak elang bisa terbang (fledgling) (Prawiradilaga 1999). Sarang aktif digunakan terkait dengan jarak waktu bertelor, yaitu satu butir telor (Sözer dan Nijman 1995a; Prawiradilaga 1999) sekali tiap 2 3 tahun (Bartels 1924, diacu dalam van Balen 1996). Di luar masa berkembang biak sarang tidak digunakan oleh pasangan elang. Elang Jawa akan meninggalkan sarang dan berpindah untuk membuat sarang baru pada lokasi lain apabila terjadi gangguan pada habitat atau menurunnya ketersediaan mangsa pada habitat tersebut (Yamazaki T 4 Juni 2002, komunikasi pribadi; Suparman U 12 Januari 2010, komunikasi pribadi).

79 Tabel 2. Penyebaran Sarang Elang Jawa di Lokasi Penelitian No ID Lokasi Sarang Kawasan latitude longitude Kondisi Terkini 1 S- 1 Cugenang (CG) HP S E Tidak aktif 1 2 S- 2 Ciloto (CL) CA S E Aktif 1,2 3 S- 3 Gunung Baud (GB) CA S E Aktif 1,2 4 S- 4 Ciseureuh (CS) HP S E Aktif 1,2 5 S- 5 Rawa Gede (RG) HP S E Aktif 1,2 6 S- 6 Goalpara (GP) TNGGP S E Tidak aktif 1 7 S- 7 Selabintana (SB) TNGGP S E Tidak aktif 1 8 S- 8 Tarentong (TR) TNGGP S E Aktif S- 9 Cimande (CM) TNGGP S E Tidak aktif 1 10 S- 10 Mandalawangi (MW) TNGGP S E Aktif S- 11 Pasir Sumbul (PS) TNGGP S E Aktif N- 1 N- JHE C1 Cibulao HP LS BT Aktif 2 13 N- 2 N- JHE C2 Cg. Alam CA LS BT Aktif 2 14 N- 3 N- JHE C3 Cg. Alam CA LS BT Aktif 2 15 N- 4 N- JHE C4 Cg. Alam CA LS BT Aktif 2 16 N- 5 N- JHE C5 Cg. Alam CA LS BT Aktif 2 17 N- 6 N- JHE C6 Jember TWA LS BT Aktif 2 Keterangan: TN: Taman Nasional; CA: Cagar Alam; TWA: Taman Wisata Alam; HP: Hutan Produksi Perum Perhutani; Sumber: 1] Suparman 2005; 2] Informan kunci (Suparman U 12 Januari 2010, komunikasi pribadi) 51

80 48 Tiga belas sarang aktif yang ditunjukkan pada Tabel 3 adalah berada pada ketinggian m dpl. Di Jawa Barat bagian selatan, penyebaran elang Jawa ditemukan dari permukaan laut hingga m dpl, dengan jumlah penyebaran terbesar pada ketinggian m dpl (Setiadi et al. 2000). Habitat elang Jawa adalah hutan dataran rendah selalu hijau, hutan hujan tropis dataran rendah dan tinggi, pada di ketinggian m dpl (van Balen 1996; Sözer and Nijman 1995a; Røv et al. 1997). Buffer dibuat seluas 710 ha pada masing-masing lokasi 13 sarang aktif elang Jawa yang ditemukan. Asumsi luasan 710 ha yang dipilih untuk luas wilayah jelajah dari pasangan tersebut mengacu kepada hasil penelitian wilayah jelajah elang Jawa di kawasan Gunung Gede Pangrango (Gjershaug et al. 2004). Asumsi tersebut dipilih karena merupakan angka luas wilayah jelajah menengah pada lokasi penelitian (terkecil 530 ha dan terbesar 930 ha). Hasil buffering tersebut ditunjukkan pada Gambar 10. Sumber: Penutupan lahan hasil interpretasi citra Landsat 5 TM 2007 dan pengolahan data dari berbagai sumber Gambar 10. Peta Lokasi 13 Sarang Aktif Elang Jawa dan Wilayah Jelajahnya serta Kondisi Penutupan Lahan dari Habitat Elang Jawa

81 49 Gambar 10 menunjukkan lokasi ditemukannya sarang aktif elang Jawa. Dari 13 sarang aktif tersebut, terdapat 3 sarang yang berada di kawasan TNGGP, 6 sarang berada di kawasan CA Telaga Warna, 1 sarang berada di TWA Jember dan 3 sarang berada di HP Perum Perhutani. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat pada Gambar 12, terdapat 5 sarang yang berada pada kelas tutupan hutan rapat, 7 sarang berada pada kelas tutupan hutan agak rapat dan satu sarang pada kelas tutupan hutan tanaman. Kelas tutupan lahan pada masing-masing wilayah pemangkuan pada lokasi ditemukannya sarang adalah sebagai berikut: 1. Dari 3 sarang yang ditemukan di kawasan TNGGP berada pada kelas tutupan hutan agak rapat. 2. Di CA Telaga Warna, dari 6 sarang yang ditemukan, 4 sarang berada pada kelas tutupan hutan rapat dan 2 sarang berada pada kelas tutupan hutan agak rapat. 3. Satu sarang di TWA jember berada pada kelas tutupan hutan agak rapat. 4. Dari 3 sarang yang ditemukan di HP Perum Perhutani, 1 sarang pada kelas tutupan hutan rapat, 1 sarang pada kelas tutupan hutan agak rapat dan 1 sarang berada pada kelas tutupan hutan tanaman. Hasil buffering menunjukkan bahwa elang Jawa paling banyak menggunakan wilayah kelas tutupan hutan (baik itu kelas tutupan hutan rapat, kelas tutupan hutan agak rapat, kelas tutupan hutan jarang maupun kelas tutupan hutan tanaman ) dan sebagian yang lain menggunakan wilayah kelas tutupan hutan buatan campuran, kelas tutupan kebun teh dan sawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa elang Jawa memerlukan wilayah hutan untuk membuat sarang dan melakukan aktifitas lain seperti berburu mangsa. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini. Daerah jelajah elang Jawa di beberapa lokasi yang berbeda mencakup berbagai macam tipe habitat termasuk hutan, hutan produksi, kawasan budidaya dan perkebunan. Studi yang intensif pada penggunaan habitat yang dilakukan di Gunung Kendeng TNGHS (Kuswandono et al. 2003; Widodo 2004) dan TNGGP juga menunjukkan bahwa elang Jawa menggunakan hutan (hutan hujan primer dan sekunder) lebih sering dibanding tipe habitat lainnya (kebun teh,

82 50 ladang dan sawah). Hal ini menunjukkan bahwa Elang jawa di kawasan tersebut sangat tergantung pada hutan (Prawiradilaga, 2006). Habitat lain yang sering digunakan elang Jawa adalah hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, namun hutan primer selalu dekat dan sangat penting untuk keberhasilan perkembangbiakannya. Keberadaan pasangan berbiak di hutan produksi membuktikan bahwa habitat seperti ini juga penting bagi elang Jawa (Røv et al. 1997; Sözer et al. 1999). Prawiradilaga (1999) menyebutkan bahwa hutan produksi yang paling disukai elang Jawa adalah hutan pinus Pemangku Kawasan dan Wilayah Pemangkuan Pemangku kawasan atau pengelola kawasan diidentifikasi berdasar pada wilayah pemangkuan yang kawasannya merupakan bagian dari wilayah jelajah elang Jawa. Wilayah pemangkuan biasanya terkait dengan status atau bentuk pengelolaan kawasan, misalnya TN, CA, TWA, hutan produksi, perkebunan teh dan lainnya. Pemangku kawasan adalah organisasi yang ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam mengelola kawasan atau wilayah pemangkuan dimaksud. Dari hasil analisis penumpangtindihan peta lokasi sarang, hasil buffering wilayah jelajah, batas wilayah pemangkuan kawasan dan batas wilayah administrasi kabupaten menunjukkan wilayah pemangkuan (Gambar 11). Berdasarkan peta pada Gambar 11 dapat diidentifikasi kawasan pemangkuan (wilayah pemangkuan) dan pemangku kawasan yang kawasannya menjadi wilayah jelajah elang Jawa yang digunakan untuk melakukan aktifitas kesehariannya yaitu: 1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dikelola oleh Balai Besar TNGGP, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan, 2) Cagar Alam (CA) Telaga Warna yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan, 3) Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan,

83 51 Perhutani RPH Cipayung Perhutani RPH Puncak Teh Ciliwung Teh Ciseureuh TWA Telagawarna Teh Gunung Mas TNGGP CA Telagawarna TWA Jember Sawah masyarakat Sumber: Peta dasar citra Landsat 5 TM 2007 dan pengolahan data dari berbagai sumber Gambar 11. Peta Wilayah Pemangkuan Kawasan yang menjadi Bagian dari Wilayah Jelajah Elang Jawa 4) TWA Jember yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan, 5) Hutan produksi (HP) Perum Perhutani wilayah RPH Cipayung yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor dan RPH Puncak yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Cianjur, kedua KPH termasuk dalam wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Namun sejak keluarnya Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur dan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 230/Kpts-II/2003 tetang Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) pasal 13 ayat (6), maka HP tersebut dikelola seperti pengelolaan hutan lindung (HL)/ kawasan lindung dengan tidak melakukan tebangan sama sekali. 6) Perkebunan teh Gunung Mas yang dikelola oleh PTPN VIII Gunung Mas,

84 52 7) Perkebunan teh Ciliwung yang dikelola oleh PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung, 8) Perkebunan teh Ciseureuh yang dikelola oleh PT.Maskapai Perkebunan Mulia (MPM). Berdasarakan data tersebut diketahui terdapat 8 kawasan pemangkuan yang dikelola oleh 6 stakeholder pemangku kawasan. Informasi lebih detil terkait status kawasan pemangkuan dan pemangku kawasan yang merupakan wilayah jelajah elang Jawa pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Dari 8 pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan sebagai wilayah jelajah elang Jawa dan merupakan kawasan lindung (KL) adalah TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Jember dan TWA Telaga Warna. Dengan adanya Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), maka HP Perum Perhutani yang semestinya termasuk dalam kelompok kawasan budidaya (KBd) dimasukkan ke dalam kelompok KL. Ketiga kawasan perkebunan teh yang ada termasuk dalam KBd. Dari 13 sarang aktif elang Jawa yang ditemukan, semua sarang berada di dalam KL (TNGGP: 3 sarang; CA Telaga Warna: 6 sarang; TWA Jember: 1 sarang; dan HP Perum Perhutani; 3 sarang). Status (bentuk) wilayah pemangkuan kawasan lindung (KL) berpengaruh terhadap pola pengelolaan kawasannya. Secara fisik dapat dilihat bahwa KL merupakan kawasan hutan dibandingkan dengan kebun teh misalnya dan kawasan budi daya (KBd) lainnya. Pada perkebunan teh terkadang masih tersisa beberapa wilayah yang tidak dibudidayakan dan dibiarkan kondisinya dengan vegetasi yang ada. Wilayah tersebut pada umumnya adalah wilayah yang secara ekonomis tidak menguntungkan untuk dibudidayakan, misalnya wilayah dengan kelerengan yang cukup curam yang biasanya wilayah tersebut berbatasan langsung dengan KL dan berfungsi sebagai wilayah penyangga. Demikian pula status HP yang dikelola seperti HL, maka kondisi hutannya pun tidak akan jauh berbeda dengan KL sebenarnya. Hal tersebut merupakan keuntungan dalam pelestarian elang Jawa, yaitu: tersedianya hutan yang baik sebagai habitatnya, keuntungan dari perlindungan kawasan dan semua isinya dari gangguan (misal kerusakan habitat, hilangnya habitat, fragmentasi habitat dan perburuan satwa).

85 Tabel 3. Kawasan dan Pemangku Kawasan yang Merupakan Wilayah Jelajah Elang Jawa pada Lokasi Penelitian 53 No Nama Kawasan Pemangkuan Kawasan Dasar Hukum Luas (ha) Pemangku Kawasan (Pengelola) 1 TNGGP Taman Nasional SK Menhut 174/Kpts- II/ BB TNGGP, Ditjen PHKA, Tanggal 10 Juni 2003 Kemenhut 2 CA Telaga Cagar Alam SK Mentan 368,25 BB KSDA Jawa Barat, Bidang Warna 481/Kpts/Um/6/1981 Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, 3 TWA Telaga Warna Taman Wisata Alam 4 TWA Jember Taman Wisata Alam 5 Hutan Produksi 6 Perkebunan Teh Gunung Mas 7 Perkebunan Teh Ciliwung 8 Perkebunan Teh Ciseureuh Hutan Produksi Dikelola seperti Hutan Lindung/ Kawasan Lindung Tanggal 9 Juni 1981 SK Mentan 481/Kpts/Um/6/1981 Tanggal 9 Juni 1981 Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393/Kpts/Um/6/1979 Tanggal 9 Juni 1979 SK Menhut 195/Kpts- II/2003 Tahun 2003 Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor- Puncak- Cianjur (Bopunjur) Kemenhut 5 BB KSDA Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, Kemenhut 50 BB KSDA Jawa Barat, Bidang Wilayah Bogor, Ditjen PHKA, Kemenhut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat: KPH Bogor untuk wilayah RPH Cipayung dan KPH Cianjur untuk RPH Puncak Perkebunan Hak Guna Usaha (HGU) 1629 PTPN VIII Gunung Mas Jl. Sindang Sirna 4 Bandung Penggunaan oleh elang Jawa/ Sarang S- 8, S- 10, S- 11 S- 2, S- 3, N- 2, N- 3, N- 4, N- 5 Wilayah jelajah N- 6 S- 4, S- 5, N- 1 Wilayah jelajah Status Kawasan Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Hutan Produksi, dikelola sebagai Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Perkebunan Hak Guna Usaha (HGU) 562 PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung Wilayah jelajah Kawasan Budidaya Perkebunan Hak Guna Usaha (HGU) PT.Maskapai Perkebunan Wilayah jelajah Kawasan Mulia (MPM) Budidaya Sumber: 1. Hasil wawancara; 2. [Maret 2010]; 3. [Maret 2010]; 4. [Maret 2010] 1,2 1,2 1,2 1,2 1 1,4 1,3 1

86 Stakeholder dalam Pelestarian Elang Jawa Tujuan dilakukannya identifikasi dan analisis stakeholder adalah untuk mengidentifikasi individu atau lembaga yang terkait dalam pelestarian jenis elang Jawa, perlindungan habitat elang Jawa baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk juga pemangku kawasan yang menjadi wilayah jelajah elang Jawa, lembaga pembuat peraturan perundangan terkait elang Jawa dan habitatnya maupun terkait perencanaan dan pengaturan tata ruang wilayah yang menjadi habitat elang Jawa. Dengan mengikuti definisi serta tahapan identifikasi dan analisis stakeholder seperti disebutkan pada Bab III, tahap awal adalah identifikasi stakeholder. Berdasarkan data hasil studi literatur dan wawancara di lapangan teridentifikasi sebanyak 33 stakeholder yang berupa organisasi maupun individu yang hasil identifikasi dan analisisnya adalah sebagai berikut: Stakeholder kunci Stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005, diacu dalam Pratiwi 2008). Berdasarkan definisi tersebut, dalam penelitian ini stakeholder kunci yang memiliki kewenangan legal dalam pengambilan keputusan terkait pelestarian elang Jawa dan/ atau habitatnya adalah lembaga Pemerintah pemangku kawasan lindung dan lembaga lain yang menjadi pemangku kawasan lindung (atau karena keputusan tertentu yang secara legal mengikat, sehingga kawasan tersebut diperlakukan untuk dikelola seperti kawasan lindung), lembaga Pemerintah pembuat Peraturan Perundangan yang terkait dalam pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya. Teridentifikasi sebanyak 8 organisasi, yaitu: Balai Besar TNGGP (pengelola TNGGP), Balai Besar KSDA Jawa Barat (pengelola CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember), Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH Bogor: pengelola hutan produksi RPH Cipayung; dan KPH Cianjur: pengelola hutan produksi RPH Puncak), Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit KKH), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, Direktorat Konservasi Kawasan (Dit KK), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (Dit PPH), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, Badan Perencanaan

87 55 Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bogor dan BAPPEDA Kabupaten Cianjur. Hasil identifikasi dan analisis stakeholder utama selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa kewenangan pengurusan TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Jember dan TWA Telaga Warna berada di Pemerintah Pusat, Cq. Kementerian Kehutanan. Balai Besar TNGGP dan Balai Besar KSDA Jawa Barat adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Kementerian Kehutanan untuk pengelolaannya di lapangan. Namun secara administratif wilayah TNGGP, CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna masuk ke dalam wilayah 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat, sedangkan TWA Jember secara administratif masuk wilayah Kabupaten Cianjur. Sehingga dalam pengelolaannya pun harus ada kerjasama dari Pemerintah Pusat, UPT di lapangan dan Pemerintah Daerah Stakeholder Utama (Primer) Stakeholder utama (primer) adalah stakeholder yang terkena dampak langsung oleh suatu rencana dan memiliki kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut namun tidak memiliki kewenangan legal (Maryono et al. 2005, diacu dalam Pratiwi 2008). Berdasarkan definisi tersebut, dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder utama adalah semua lembaga pemangku kawasan yang digunakan sebagai wilayah jelajah elang Jawa yang tidak termasuk kawasan lindung, tokoh masyarakat dan kader konservasi teridentifikasi ada 7 organisasi atau individu, yaitu: PTPN VIII Gunung Mas (dengan kawasan pemangkuan Perkebunan Teh Gunung Mas), PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung (dengan kawasan pemangkuan Perkebunan Teh Ciliwung), PT.Maskapai Perkebunan Mulia (MPM) (dengan kawasan pemangkuan Perkebunan Teh Ciseureuh), dan beberapa tokoh masyarakat dan merangkap sebagai kader konservasi (sebagai responden dalam penelitian ini adalah: Dili, kader konservasi Kampung Cibulao Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor; H. Supandi, kader konservasi Desa Ciloto Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur; Usep Suparman, kader konservasi Kampung Rarahan Desa Cimacan Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur dan Adam Supriatna, kader konservasi Desa Cipanas,

88 56 Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur). Hasil identifikasi dan analisis stakeholder utama selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Perkebunan Teh Gunung Mas, Perkebunan Teh Ciliwung dan Perkebunan Teh Ciseureuh merupakan stakeholder yang wilayah pemangkuannya digunakan oleh elang Jawa sebagai wilayah jelajah. Kawasan perkebunan teh ini berbatasan langsung dan merupakan wilayah penyangga dengan kelompok kawasan CA Telaga Warna TWA Jember TWA Telaga Warna HP Perum Perhutani TNGGP yang digunakan sebagai habitat utama dan tempat bersarang bagi 13 pasang elang Jawa di lokasi penelitian. Kawasan perkebunan teh ini memang didominasi oleh pohon-pohon teh yang berbentuk perdu sebagai komoditas utama pengusahaan dari masing-masing perusahaan tersebut. Namun demikian karena bentuk topografi wilayah perkebunan teh yang berbukit dan terdapat wilayah yang memiliki lembah cukup terjal dengan kemiringan lebih dari 45, khususnya wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan CA dan TN, maka wilayah tersebut oleh pemangku kawasan tidak dibuka dan tidak diusahakan karena alasan tidak ekonomis dalam pengusahaan. Wilayah-wilayah tersebut pada umumnya dipertahankan apa adanya dan ditumbuhi vegetasi alami yang serupa dengan vegetasi kawasan CA dan TN. Diduga karena kondisi vegetasi alami tersebut, maka masih memungkinkan tersebarnya beberapa jenis satwa kecil yang menjadi pakan bagi elang Jawa sehingga wilayah ini digunakan sebagai areal berburu bagi elang Jawa Stakeholder pendukung (sekunder) Stakeholder pendukung adalah stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi fasilitator penghubung dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005, diacu dalam Pratiwi 2008). Berdasarkan definisi tersebut, dalam penelitian ini yang termasuk stakeholder pendukung adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), peneliti, perguruan tinggi dan pemerhati elang teridentifikasi ada 18 organisasi, yaitu: Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Bogor, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor,

89 57 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bogor, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur, Dinas PU Kabupaten Cianjur, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur, PDAM Kabupaten Bogor, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Ciliwung Cisadane, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Raptor Conservation Society (RCS), Kelompok Pengamat Burung Cibodas Birdwatching Association (KPB CIBA), Raptor Indonesia (RAIN), Perkumpulan Suaka Elang, Garuda Warna Scan, Asian Raptor Research and Conservation Network (ARRCN), Konsorsium GEDEPAHALA (Gede Pangrango Halimun Salak) dan Sekretariat Komite Nasional Program MAB Unesco-Indonesia (Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas). Hasil identifikasi dan analisis stakeholder utama selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan UU Nomor 5/1990 Pasal 18 disebutkan bahwa dalam rangka kerjasama konservasi internasional, KSA dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer. Pada tahun 1977 UNESCO menetapkan kawasan TNGGP sebagai zona inti Cagar Biosfer Cibodas dengan batas terluar adalah jalan raya utama yang menghubungkan kota Ciawi (Bogor) Cianjur Sukabumi. Cagar biosfer dikelola menggunakan pembagian zona, yaitu: zona inti (TNGGP), zona penyangga dan zona peralihan. Sebagai zona inti TNGGP dikelola oleh organisasi pengelolanya yang ditunjuk tersendiri, yaitu Balai Besar TNGGP (bernaung pada Kementerian Kehutanan). Zona penyangga dan zona peralihan yang berupa kawasan Kebun Raya Cibodas, kawasan pemukiman, kawasan budidaya (perkebunan, sawah, ladang) dan kawasan lainnya tidak terkoorinasikan pengelolaannya dengan baik sebagai satu kesatuan pengelolaan sebuah cagar biosfer. Pengelolaan cagar biosfer di Indonesia dikoordinasikan oleh Sekretariat Komite Nasional Program MAB Unesco-Indonesia (bernaung di LIPI). Pada kawasan di luar TNGGP tersebut pengelolaan lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat. Melihat peran tersebut di atas, koordinator pengelola Cagar Biosfer Cibodas sepertinya masih belum memiliki kewenangan legal dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan dalam mengelola kawasannya, sehingga cenderung termasuk dalam kategori stakeholder pendukung, bukan stakeholder kunci sebagai pemangku kawasan.

90 58 Tabel 4. Stakeholder Kunci terkait Pelestarian Elang Jawa 68 No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 1 Balai Besar TNGGP (pengelola TNGGP) 2 Balai Besar KSDA Jawa Barat (pengelola CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember) 3 Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH Bogor: pengelola hutan produksi RPH Cipayung; dan KPH Cianjur: pengelola hutan produksi RPH Puncak) Pemangku kawasan konservasi TNGGP, dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai tempat bersarang dan wilayah jelajah elang Jawa; melakukan perlindungan, pengamanan, pengelolaan kawasan dan semua yang ada di dalamnya sesuai statusnya (termasuk jenis elang Jawa dan habitatnya dalam kawasan), penelitian dan pemantauan jenis elang Jawa [secara mandiri maupun bekerjasama dengan masyarakat, peneliti, RCS dan LSM lainnya], pendidikan lingkungan serta pemberdayaan dan penyadartahuan masyarakat sekitar. Tergabung dalam Konsorsium Gedepahala dan Perkumpulan Suaka Elang. Pemangku kawasan konservasi CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember, dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai tempat bersarang dan wilayah jelajah elang Jawa; melakukan perlindungan, pengamanan dan pengelolaan kawasan dan semua yang ada di dalamnya sesuai statusnya masing- masing (termasuk jenis elang Jawa dan habitatnya dalam kawasan), pemantauan jenis elang Jawa bersama masyarakat, peneliti dan RCS, pendidikan lingkungan serta pemberdayaan dan penyadartahuan masyarakat sekitar. Tergabung dalam Perkumpulan Suaka Elang. Pemangku kawasan hutan produksi (HP), sebagian wilayah dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai tempat bersarang dan wilayah jelajah elang Jawa; sejak keluarnya Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor- Puncak- Cianjur (Bopunjur), maka HP dalam wilayah pemangkuannya di kawasan Bopunjur dikelola seperti pengelolaan Hutan Lindung (HL) dengan tidak adanya penebangan (termasuk RPH Cipayung dan RPH Puncak) Tinggi Tinggi Tinggi

91 59 Tabel 4. Stakeholder Kunci terkait Pelestarian Elang Jawa (Lanjutan) No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 4 Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit KKH), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan 5 Direktorat Konservasi Kawasan (Dit KK), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan 6 Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (Dit PPH), Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan 7 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pembuatan (usulan) peraturan perundangan, arahan, pembinaan, pemantauan dan perencanaan terkait pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati secara umum dan khususnya jenis yang dilindungi di Indonesia, termasuk di dalamnya pengelolaan pada kawasan konservasi (seperti Kawasn Pelestarian Alam [KPA]: TN, TWA; dan Kawasan Suaka Alam [KSA]: CA) dan kawasan lindung (hutan lindung) Pembuatan (usulan) peraturan perundangan, arahan, pembinaan, pemantauan dan perencanaan terkait pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, khususnya Kawasn Pelestarian Alam [KPA]: TN, TWA; dan Kawasan Suaka Alam [KSA]: CA) serta kawasan lindung (hutan lindung) Pembuatan (usulan) peraturan perundangan, arahan, pembinaan, pemantauan dan perencanaan terkait pengamanan sumberdaya alam hayati dan kawasan konservasi di Indonesia, khususnya Kawasn Pelestarian Alam [KPA]: TN, TWA; dan Kawasan Suaka Alam [KSA]: CA) serta kawasan lindung (hutan lindung) Perencanaan dan implementasi RTRW Kabupaten Bogor, termasuk di dalamnya penentuan pola ruang yang mencakup kawasan lindung dan (BAPPEDA) Kabupaten Bogor kawasan budidaya di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan 8 BAPPEDA Kabupaten Cianjur Perencanaan dan implementasi RTRW Kabupaten Cianjur, termasuk di dalamnya penentuan pola ruang yang mencakup kawasan lindung dan kawasan budidaya di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan Keterangan: * = parameter (Dick 1997): tinggi: stakeholder mempunyai kemampuan mem-veto keputusan, sedang: pengaruh stakeholder masih bisa diselesaikan melalui negosiasi, kecil: stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

92 60 Tabel 5. Stakeholder Utama terkait Pelestarian Elang Jawa 43 No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 1 PTPN VIII Gunung Mas (Perkebunan Teh Gunung Mas) 2 PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung (Perkebunan Teh Ciliwung) 3 PT.Maskapai Perkebunan Mulia (MPM) Pemangku kawasan perkebunan, sebagian wilayah dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai wilayah jelajah elang Jawa, diduga sebagai areal berburu elang/ mencari pakan Pemangku kawasan perkebunan, sebagian wilayah dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai wilayah jelajah elang Jawa, diduga sebagai areal berburu elang/ mencari pakan Pemangku kawasan perkebunan, sebagian wilayah dalam kawasan pemangkuannya digunakan sebagai wilayah jelajah elang Jawa, diduga sebagai areal berburu elang/ mencari pakan (Perkebunan Teh Ciseureuh) 4 Dili Tokoh masyarakat dan kader konservasi, menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat sekitar untuk perlindungan dan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya di kawasan CA Telaga Warna TWA Telaga Warna dan sekitarnya (misalnya dengan mengajak tidak memburu telor dan elang Jawa, membantu pemantauan perkembangbiakan elang Jawa dengan berkoordinasi dengan LSM Raptor Conservation Society [RCS], penanaman pohon di sekitar tempat tinggal dan pemanduan untuk penelitian maupun wisata alam berbasis elang Jawa) 5 H. Supandi Tokoh masyarakat dan kader konservasi, menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat sekitar untuk perlindungan dan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya di kawasan TWA Jember dan sekitarnya (misalnya dengan penanaman pohon dan penyuluhan/ penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan dan lingkungan) Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang

93 Tabel 5. Stakeholder Utama terkait Pelestarian Elang Jawa (Lanjutan) 61 No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 6 Usep Suparman Tokoh masyarakat dan kader konservasi, menjadi contoh dan panutan bagi Tinggi masyarakat sekitar untuk perlindungan dan pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya di kawasan TNGGP - CA Telaga Warna TWA Telaga Warna TWA Jember HP Perum Perhutani dan sekitarnya (misalnya dengan penelitian dan pemantauan elang Jawa khususnya pada musim perkembangbiakan, mengajak tidak memburu telor dan elang Jawa, inisiasi berbagai kegiatan produktif berbasis elang Jawa seperti: penanaman pohon di sekitar habitat, pendidikan lingkungan untuk masyarakat, pengembangan wisata alam berbasis elang Jawa dan pembentukan kelompok Kelompok Pengamat Burung Cibodas Birdwanching Association [KPB CIBA] dan Raptor Conservation Society [RCS] pada tahun 2002) 7 Adam Supriatna Tokoh masyarakat dan kader konservasi, menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat sekitar untuk perlindungan dan pelestarian elang Jawa dan habitatnya di kawasan TNGGP - CA Telaga Warna TWA Telaga Warna TWA Jember HP Perum Perhutani dan sekitarnya (misalnya dengan penelitian dan pemantauan elang Jawa khusnya pada musim perkembangbiakan, pengembangan wisata alam berbasis elang Jawa dan pembentukan kelompok KPB CIBA dan menjadi dewan penasehat RCS serta koordinator Raptor Indonesia (RAIN) hingga tahun Tinggi Keterangan: * = parameter (Dick 1997): tinggi: stakeholder mempunyai kemampuan mem-veto keputusan, sedang: pengaruh stakeholder masih bisa diselesaikan melalui negosiasi, kecil: stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan. 61

94 Tabel 6. Stakeholder Pendukung terkait Pelestarian Elang Jawa No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 1 Dinas Kehutanan dan Pertanian Pembinaan penghijauan/ rehabilitasi lahan bersama masyarakat di luar Tinggi Kabupaten Bogor kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Bogor 2 Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pembinaan dan pemeliharaan sungai/ badan air di wilayah Kabupaten Bogor Sedang Kabupaten Bogor 3 Dinas Kebudayaan dan Pembinaan wisata dan wisata alam di wilayah Kabupaten Bogor Sedang Pariwisata Kabupaten Bogor 4 Perusahaan Daerah Air Minum Pengelolaan mata air untuk kebutuhan pemenuhan air minum di Kabupaten Sedang (PDAM) Kabupaten Bogor Bogor 5 Dinas Kehutanan dan Pembinaan penghijauan/ rehabilitasi lahan bersama masyarakat di luar Tinggi Perkebunan Kabupaten Cianjur kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Cianjur 6 Dinas PU Kabupaten Cianjur Pembinaan dan pemeliharaan sungai/ badan air di wilayah Kabupaten Cianjur Sedang 7 Dinas Kebudayaan dan Pembinaan wisata dan wisata alam di wilayah Kabupaten Cianjur Sedang Pariwisata Kabupaten Cianjur 8 PDAM Kabupaten Bogor Pengelolaan mata air untuk kebutuhan pemenuhan air minum di Kabupaten Sedang 9 Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Ciliwung Cisadane 10 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cianjur Pengelolaan sumber mata air dan badan air di wilayah cakupan DAS Ciliwung dan Cisadane Penelitian terkait burung pemangsa (termasuk jenis elang Jawa) dan Habitatnya di seluruh wilayah penyebarannya Sedang Tinggi 63

95 Tabel 6. Stakeholder Pendukung terkait Pelestarian Elang Jawa (Lanjutan) No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 11 Raptor Conservation Society (RCS) 12 Kelompok Pengamat Burung Cibodas Birdwatching Association (KPB CIBA) Sejak tahun 2002 melakukan kegiatan antara lain: - Penelitian dan pemantauan terkait jenis elang Jawa khusus di wilayah TNGGP, CA Telaga Warna, TWA Jember, TWA Telaga Warna, HP Perum Perhutani dan kawasan sekitarnya. - Pendidikan lingkungan berbasis burung - Pemantauan terhadap migrasi burung pemangsa - Pengembangan wisata ornitologi dan ecotourism - Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian elang dan habitatnya melalui program antara lain: program nest protection; penghijauan, perbaikan dan perlindungan daerah resapan/ tangkapan/ mata air - Tergabung dalam Perkumpulan Suaka Elang Pengamatan burung pemangsa dan jenis burung lainnya di kawasan TNGGP dan sekitarnya, pengembangan wisata bird watching di kawasan TNGGP 13 Raptor Indonesia (RAIN) Penelitian dan pengkordinasian penelitian burung pemangsa/ raptor (termasuk elang Jawa) dan migrasi burung pemangsa di Indonesia, pendidikan lingkungan dan penyadartahuan masyarakat, penggalangan kerjasama antar peneliti dan pemerhati burung pemangsa di Indonesia, Asia dan Internasional. Tergabung dalam Perkumpulan Suaka Elang. Tinggi Tinggi Tinggi

96 70 Tabel 6. Stakeholder Pendukung terkait Pelestarian Elang Jawa (Lanjutan) No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 14 Perkumpulan Suaka Elang Penanganan burung pemangsa (termasuk jenis elang Jawa) yang berada di luar Sedang habitatnya (penyelamatan, rehabilitasi, pelepasliaran, sanctuary) di sekitar wilayah TNGHS dan TNGGP serta kawasan sekitarnya, pendidikan lingkungan dan penyadartahuan masyarakat berbasis pelestarian burung pemangsa, penggalangan jaringan kerjasama dalam pelestarian burung pemangsa pemangsa di wilayah sekitar TNGHS, TNGGP hingga wilayah Provinsi Jawa Barat 15 Garuda Warna Scan Dukungan terhadap kegiatan pelestarian elang Jawa dan habitatnya oleh masyarakat dan LSM terkait di kawasan CA Telaga Warna dan sekitarnya, pendidikan lingkungan, penanaman pohon dan pengembangan wisata ornitologi bersama masyarakat sekitar Sedang 16 Asian Raptor Research and Conservation Network (ARRCN) 17 Konsorsium GEDEPAHALA (Gede Pangrango Halimun Salak) Dukungan untuk penelitian, pemantauan dan promosi bagi pelestarian elang Jawa dan habitatnya di Indonesia pada umumnya dan wilayah TNGGP CA Telaga Warna TNGHS pada khususnya, kerjasama pemantauan migrasi burung pemangsa Dukungan pengelolaan kawasan TNGGP dan TNGHS dengan baik dengan menggalang kerjasama dengan berbagai pihak seperti LSM (nasional dan internasional), tokoh masyarakat, peneliti, Perguruan Tinggi dan pihak swasta (nasional dan internasional) untuk secara nyata berkontribusi dalam perlindungan dan restorasi kawasan (misal dengan program adopsi pohon ) tersebut sebagai daerah tangkapan air dan habitat berbagai jenis flora dan fauna dilindungi (termasuk jenis elang Jawa) dan sebagai ekosistem komplek yang penting Sedang Sedang 65

97 Tabel 6. Stakeholder Pendukung terkait Pelestarian Elang Jawa (Lanjutan) No Kelompok Stakeholder Kepentingan Tingkat Pengaruh Stakeholder dalam kesuksesan pelestarian jenis elang Jawa dan/ atau habitatnya * 18 Sekretariat Komite Nasional Program MAB Unesco- Indonesia (Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas) Mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal; Mensinergikan konservasi keanekaragaman hayati, embangunan ekonomi dan pemberdayaan budaya nusantara untuk kesejahteraan bangsa Indonesia Keterangan: * = parameter (Dick 1997): tinggi: stakeholder mempunyai kemampuan mem-veto keputusan, sedang: pengaruh stakeholder masih bisa diselesaikan melalui negosiasi, kecil: stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan. Kecil

98 66 Elang Jawa menggunakan kawasan lindung (KL) dan kawasan budidaya (KBd) sebagai habitatnya. Luasan dan kualitas habitat sangat menentukan dalam upaya pelestarian elang Jawa secara jangka panjang. Kualitas habitat yang berada di dalam KL cenderung lebih baik dan lebih disukai bagi elang Jawa dibandingkan dengan KBd. Namun karena semakin menyempitnya KL akibat perubahan peruntukkan maka pengelolaan KBd yang mempertimbangkan kelestarian elang Jawa menjadi penting. Dengan beragamnya stakeholder pemangku KBd dengan tujuan dan pola pengelolaan yang berbeda maka diperlukan adanya suatu aturan yang dapat memberikan arah kebijakan, dan tindakan pengelolaan yang sejalan dengan pelestarian elang Jawa.

99 VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan dan kebijakan yang ada terkait pelestarian elang Jawa. Peraturan perundangan tersebut akan mengatur, menentukan arah kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan jenis dan habitatnya oleh stakeholder sesuai kapasitasnya dalam upaya mencapai tujuan pelestarian. Perlindungan jenis, perlindungan habitat (status kawasan lindung) dan pola-pola pengelolaannya merupakan contoh yang diatur dalam peraturan perundangan Pelestarian Elang Jawa Upaya pelestarian elang Jawa dilakukan untuk menjaga kelangsungan fungsinya terhadap ekosistemnya. Terganggunya populasi elang Jawa akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Ekosistem di mana elang Jawa berada merupakan sebuah sistem jaringan yang komplek dan saling terhubung, di mana antar unsur penyusun ekosistem saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Posisi elang Jawa sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) menjadikannya memiliki peran yang semakin penting dalam jaring-jaring kehidupan dan rantai makanan dalam ekosistem. Dalam ekosistem yang dinamis dan berkembang, menjadikan elang Jawa tidak hanya menggunakan kawasan hutan sebagai habitatnya, namun juga menggunakan kawasan di luar hutan (kawasan budidaya) sebagai habitat mencari pakan. Hal tersebut disebabkan karena berkurangnya luas kawasan hutan. Kawasan yang sebelumnya merupakan hutan banyak dialihfungsikan menjadi peruntukkan lain. Terjadinya degradasi dan fragmentasi hutan merupakan penyebab lain berkurangnya luas kawasan hutan. Kawasan hutan yang menjadi habitat elang Jawa dapat berupa hutan alam (pada umumnya berupa kawasan lindung) dan hutan produksi (Prawiradilaga 1999). Kawasan budidaya yang menjadi habitat elang Jawa dapat berupa: perkebunan, ladang dan sawah (Thiollay dan Meyburg 1988; Prawiradilaga 1999; Nijman dan van Balen 2003;

100 68 Kuswandono et al. 2003b). Masing-masing kawasan tersebut dikelola oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan dan tujuan yang berbeda, sehingga tujuan dan pola pengelolaan kawasan pun juga berbeda. Hal tersebut dapat berakibat terhadap perbedaan pola pengelolaan kawasan yang menjadi habitat elang Jawa pada masing-masing bentuk kawasan pemangkuan. Dalam rangka melakukan pengelolaan dan pelestarian elang Jawa yang memiliki habitat yang beragam dan dikelola oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan dan tujuan berbeda tersebut, maka perlu dikembangkan adanya kriteria dan indikator pelestarian elang Jawa. Kriteria dikembangkan untuk memudahkan perencanaan dan pelaksanaan program serta kebijakan terkait elang Jawa. Indikator pada masing-masing kriteria dikembangkan untuk menjadi ukuran keberhasilan dalam pelestarian elang Jawa yang tersusun oleh beberapa komponen yang wajib ada (prasyarat mutlak) untuk terwujudnya pelestarian elang Jawa Kriteria dalam Pelestarian Elang Jawa Pengelolaan satwa liar merupakan kegiatan manusia dalam mengatur populasi satwa liar tersebut dan habitatnya, serta interaksi antara keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan Alikodra (1990). Kriteria dasar dalam upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya dikembangkan dari pengertian dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Bab IV Pasal 8. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ), dan kegiatan pendukungnya berupa pengelolaan di luar habitatnya (ex-situ) untuk menambah dan memulihkan populasi. Pengelolaan jenis di dalam habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasi, penyelamatan jenis serta pengkajian, penelitian dan pengembangan. Pengelolaan jenis di luar habitatnya dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa serta penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Dalam Permenhut P.57/Menhut-

101 69 II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional disebutkan bahwa secara umum, kelestarian spesies flora dan fauna sangat bergantung pada ketersediaan habitat/ekosistem dengan mutu yang memadai. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kriteria umum yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pelestarian elang Jawa adalah dapat dicapainya kelestarian jenis elang Jawa dan kelestarian kawasan yang menjadi habitatnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk tujuan pengelolaan jenis satwa liar tertentu secara lestari, maka berarti harus melestarikan juga habitatnya sesuai daya dukung yang diperlukan bagi populasi jenis satwa liar yang menjadi target pengelolaan. Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi kriteria kelestarian elang Jawa adalah jenis (spesies) dan habitat Indikator dalam Pelestarian Elang Jawa Berdasarkan content analysis dari peraturan perundangan dan pustaka terkait bio-ekologi, diperoleh indikator pelestarian jenis elang Jawa mencakup: 1. Terlindunginya jenis dan atau adanya status perlindungan jenis; 2. Terhindarkannya dari ancaman jenis di dalam habitatnya; 3. Terhindarkannya dari ancaman jenis di luar habitatnya; 4. Terpantaunya sebaran dan populasi jenis secara berkala; 5. Terpantaunya keberhasilan berbiak; 6. Terpantau dan tertanganinya jenis yang ada di luar habitatnya (pemeliharaan dan perdagangan ilegal); 7. Terlaksananya penegakkan hukum (termasuk penanganan satwa pasca tindakan penegakkan hukum); 8. Terlaksananya penelitian informasi dasar jenis; 9. Terlaksananya pengembangan upaya penangkaran (dengan tujuan untuk pengawetan jenis dan pemulihan jenis bila diperlukan) 4 ; 4 Jenis elang Jawa termasuk jenis yang dilarang untuk ditangkarkan dengan tujuan umum/ perdagangan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut- II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permenhut P.19/Menhut-II/2005 secara tegas menyebutkan jenis elang Jawa termasuk jenis dilindungi yang tidak ditangkarkan seperti maksud peraturan tersebut.

102 Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian jenis; 11. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian jenis. Hasil dari content analysis menghasilkan indikator terkait pelestarian habitat elang Jawa antara lain: 1. Terlindungi dan terkelolanya habitat yang merupakan penyebaran elang Jawa dari ancaman: kerusakan, fragmentasi, penurunan kualitas dan kehilangan (misal akibat alih fungsi lahan); 2. Adanya status kawasan sebagai kawasan konservasi (KPA/ KSA) maupun hutan lindung bagi kawasan yang merupakan penyebaran elang Jawa; 3. Terlindunginya habitat elang Jawa di luar kawasan lindung; 4. Terpantaunya kondisi habitat secara berkala; 5. Terlaksananya pembinaan habitat; 6. Terlaksananya penelitian informasi dasar habitat; 7. Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian habitat; 8. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian habitat. Terlaksananya kegiatan-kegiatan di atas dengan baik akan menjamin populasi dalam kondisi yang aman dan bahkan cenderung meningkat dengan terpenuhinya kebutuhan daya dukung habitatnya sehingga akan menjamin kelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya. Namun demikian terdapat prasyarat utama (enabling factors) yang harus terpenuhi untuk terlaksananya upaya-upaya di atas salah satunya berupa peraturan perundangan yang mendukung Content Analysis Peraturan Perundangan Peraturan perundangan yang diidentifikasi dalam penelitian ini ada sejumlah 50 peraturan perundangan, mulai dari Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Menteri (Permen) dan Surat Keputusan (SK) Menteri terkait. Supriatna (2008) menyebutkan bahwa ada sekitar 157 kebijakan yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan Manajemen Kawasan Lindung.

103 71 Konsep Pengelolaan Lestari dan Landasan Hukum Dalam pelaksanaan pengelolaan jenis dan habitat diperlukan peraturan yang sistematis untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Peraturan perundangan dan kebijakan terkait pelestarian elang Jawa yang ada sangat berpengaruh dalam menentukan pencapaian tujuan kelestarian jenis satwa tersebut, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya untuk mencapai keadaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Peraturan perundangan yang ada akan mengatur, menentukan arah kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan jenis dan habitatnya oleh stakeholder terkait sesuai kapasitasnya dalam upaya mencapai tujuan pelestarian. Peraturan perundangan terkait jenis elang Jawa, pengelolaan hutan yang menjadi habitatnya serta terkait RTRW ditampilkan pada Tabel 7. Dari 50 peraturan perundangan yang ada terkait dengan jenis dilindungi elang Jawa dan atau hutan/ kawasan sebagai habitat elang Jawa terdapat 8 dokumen yang hanya membahas pengelolaan/ perlindungan jenis. Peraturan perundangan yang hanya terkait dengan pengelolaan/ perlindungan hutan/ habitat terdapat 16 dokumen. Peraturan perundangan yang terkait dengan kedua-duanya (jenis dan habitat) ada 26 dokumen. Sedangkan peraturan perundangan yang secara khusus menyebutkan perlindungan jenis elang Jawa atau famili Accipitridae ada 6 dokumen. Perlindungan terhadap jenis elang Jawa secara khusus di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 pada tanggal 26 Agustus 1970 (Prawiradilaga, 1999). Karena langka dan terancam punah maka elang Jawa mendapat perlindungan tambahan dalam pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun Perlindungan hukum diperkuat lagi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1993 tanggal 10 Januari 1993 yang menetapkan elang Jawa sebagai burung nasional dan lambang spesies (jenis) langka. Dari semua peraturan perundangan tersebut yang paling penting adalah UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, karena merupakan peraturan perundangan tingkat tertinggi yang dianalisis dan cukup mendetail dalam mengatur kebijakan pengelolaannya (hampir mencakup semua indikator pada kedua kriteria pelestarian elang Jawa).

104 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya 72 Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Undang- Undang (UU) 1 UU 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2 UU 5/1994 tentang Ratifikasi Convention on Biodiversity (CBD) 3 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 4 UU 41/1999 tentang Kehutanan; PP Pengganti UU 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/1999 tentang Kehutanan 5 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah 6 UU 6/2007 tentang Penataan Ruang Satwa liar dilindungi akan diatur dalam PP Satwa liar dilindungi akan diatur dalam peraturan, SK terkait sebelumnya tetap berlaku 75

105 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Peraturan Pemerintah (PP) 7 PP 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam 8 PP 62/1998 tentang Pelimpahan Wewenang Bidang Kehutanan ke Pemerintah Daerah 9 PP 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 10 PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa 11 PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar 12 PP 27/1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan 13 PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Otonom Terkait TN, THR, TWA Terkait THR Terkait KPA Semua jenis Accipitridae dilindungi Elang Jawa dilindungi

106 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan PP 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan 15 PP 30/2003 tentang Perum Perhutani 16 PP 44/2004 tentang Perencanaan Hutan 17 PP 45/2004 tentang Perlindungan Hutan 18 PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan 74 Terkait HL dan HP 77

107 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota 20 PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pengawetan jenis secara umum Terkait KL, pada KBd tetap jaga fungsi lindung Keputusan Presiden (Keppres) 21 Keppres 43/1978 tentang pengesahan CITES 22 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Elang Jawa masuk dalam Appendix II

108 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Keppres 4/1993 tentang Flora dan Fauna Nasional yang ditetapkan sebagai Spesies Kebanggaan Nasional 24 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional 25 Keppres 114/1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor- Puncak- Cianjur (Bopunjur) Peraturan Presiden (Perpres) 26 Perpres 54/2008 tentang Tata Ruang Jabodetabek Puncak Cianjur 76 Elang Jawa sebagai Satwa Langka Di Bopunjur fungsi utama adalah KL Terkait KL dan KBd 79

109 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Keputusan Menteri (Kepmen) 27 Kepmentan 421/Kpts/Um/8/1970 tentang tambahan ketentuan Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening Kepmentan 393/Kpts/Um/6/1979 tentang Penunjukkan Kawasan TWA Jember 29 Kepmentan 481/Kpts/Um/6/1981 tentang Penunjukkan Kawasan CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna Semua jenis Accipitridae, Falconidae dilindungi TWA Jember CA Telaga Warna dan TWA Telaga Warna 5 Peraturan perundangan berikutnya tentang Tambahan Jenis-jenis Binatang Liar yang Dilindungi berdasarkan Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening 1931dan Kepmentan 421/Kpts/Um/8/1970 adalah: Kepmentan 327/Kpts/Um/7/1972, Kepmentan 66/Kpts/Um/2/1973, Kepmentan 35/Kpts/Um/1/1975, Kepmentan 90/Kpts/Um/2/1977, Kepmentan 537/Kpts/Um/12/1977, Kepmentan 327/Kpts/Um/5/1978, Kepmentan 742/Kpts/Um/12/1978, Kepmentan 247/Kpts/Um/4/1979, Kepmentan 757/Kpts/Um/4/1979, Kepmentan 716/Kpts/Um/10/1980. Dari semua peraturan perundangan tersebut tidak ada penambahan informasi/ perlindungan terkait jenis elang Jawa.

110 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Kepmenhut 353/Kpts- II/1986 tentang Penetapan Radius/ Jarak Larangan Penebangan Pohon dari Mata Air, Tepi Jurang, Waduk/ Danau, Sungai, dan Anak Sungai dalam Kawasan Hutan, Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya 31 Kepmenhut 32/Kpts- II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan 32 Kepmenhut 52/Kpts- II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai [DAS] 33 Kepmenhut 70/Kpts- II/ 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan 78 Pada jurang tidak ada penebangan 81

111 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Kepmenhut 104/Kpts- II/2003 tentang Penunjukkan Dirjen PHKA sbg Otorita Pengelola CITES 35 Kepmenhut 174/Kpts- II/2003 tentang penunjukkan Kawasan TNGGP 36 Kepmenhut 195/Kpts- II/2003 Tahun 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± (Delapan Ratus Enam Belas Ribu Enam Ratus Tiga) Hektar 37 Kepmenhut 230/Kpts- II/2003 tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi

112 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Kepmenhut 390/Kpts- II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 39 Kepmenhut 447/Kpts- II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan/Penangkapan & Peredaran Tumbuhan dan SL 80 Peraturan Menteri (Permen) 40 Permenhut P.19/Menhut- II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 41 Permenhut P.13/Menhut- II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan Dit KKH tidak pantau habitat terkait SL tertentu 83

113 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Permenhut P.19/Menhut- II/2005 tentang Penangkaran TSL 43 Permenhut P.28/Menhut- II/2006 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan 44 Permenhut P.52/Menhut- II/2006 tentang Peragaan Jenis TSL Dilindungi 45 Permenhut P.53/Menhut- II/2006 tentang Lembaga Konservasi; Permenhut P.01/Menhut- II/2007 tentang Perubahan Permenhut P.53/Menhut- II/2006 tentang Lembaga Konservasi 46 Permenhut P.56/Menhut- II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Elang Jawa satwa dilindungi yang tidak ditangkarkan dalam pengertian peraturan ini Tak termasuk HP & HL Perhutani

114 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Permenhut P.02/Menhut- II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam 48 Permenhut P.03/Menhut- II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional 49 Permenhut P.14/Menhut- II/2007 tentang Tata Cara Evaluasi Fungsi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru 82 85

115 Tabel 7. Peraturan Perundangan terkait Pelestarian Elang Jawa dan Habitatnya (Lanjutan) Indikator* No Peraturan Perundangan Jenis Habitat Keterangan Permenhut P.57/Menhut- II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional Jumlah Total 50 Elang Jawa jenis dilindungi dan masuk prioritas sangat tinggi Keterangan: = Indikator pada kriteria jenis tersirat dan atau tersurat dalam peraturan perundangan dimaksud. = Indikator pada kriteria habitat tersirat dan atau tersurat dalam peraturan perundangan dimaksud. * = Indikator untuk kriteria jenis Elang Jawa: 1. Terlindunginya jenis dan atau adanya status perlindungan jenis; 2. Terhindarkannya dari ancaman jenis di dalam habitatnya; 3. Terhindarkannya dari ancaman jenis di luar habitatnya; 4. Terpantaunya sebaran dan populasi jenis secara berkala; 5. Terpantaunya keberhasilan berbiak; 6. Terpantau dan tertanganinya jenis yang ada di luar habitatnya (pemeliharaan dan perdagangan ilegal); 7. Terlaksananya penegakkan hukum (termasuk penanganan satwa pasca tindakan penegakkan hukum); 8. Terlaksananya penelitian informasi dasar jenis; 9. Terlaksananya pengembangan upaya penangkaran; 10. Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian jenis; 11. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian jenis. * = Indikator untuk kriteria habitat elang Jawa: 1. Terlindungi dan terkelolanya habitat yang merupakan penyebaran elang Jawa dari ancaman: kerusakan, fragmentasi, penurunan kualitas dan kehilangan (misal akibat alih fungsi lahan); 2. Adanya status kawasan sebagai kawasan konservasi (KPA/ KSA) maupun hutan lindung bagi kawasan yang merupakan penyebaran elang Jawa; 3. Terlindunginya habitat elang Jawa di luar kawasan lindung; 4. Terpantaunya kondisi habitat secara berkala; 5. Terlaksananya pembinaan habitat; 6. Terlaksananya penelitian informasi dasar habitat; 7. Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian habitat; 8. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian habitat.

116 84 Di luar peraturan perundangan tersebut terdapat dua dokumen internasional yang terkait terhadap pelestarian/ perlindungan jenis elang Jawa, yaitu: Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) yang mengatur perdagangan jenis-jenis satwa liar berserta bagian-bagiannya yang sudah diratifikasi berdasarkan Keppres 43/1978. Dalam dokumen CITES tersebut jenis elang Jawa dimasukkan dalam Lampiran II, yang berarti dilarang untuk diperdagangkan di seluruh perdagangan internasional tanpa adanya ijin (Prawiradilaga 1999). Dokumen internasional lainnya adalah Red Data Book yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang menyebutkan status jenis elang Jawa sebagai jenis terancam punah (endangered) yang tercantum dalam Appendix I. Peraturan perundangan yang menyebutkan perlindungan terhadap jenis dan habitatnya sekaligus adalah SK penunjukkan kawasan konservasi tersebut, baik itu sebagai TN, CA maupun TWA dan SK penunjukkan hutan lindung atau pengelolaan setara dengan hutan lindung. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keberadaan elang Jawa di luar kawasan konservasi dan kawasan lindung tidak terjamin kelestariannya, meskipun kenyataan di lapangan elang Jawa masih menggunakan wilayah berhutan atau bervegetasi di luar kawasan konservasi dan kawasan lindung tersebut sebagai wilayah jelajahnya. Perlindungan terhadap hutan yang menjadi habitat alami elang Jawa dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dalam bentuk Kawasan Lindung (Kawasan Konservasi) berupa Kawasan Suaka Alam (cagar alam dan suaka margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam) dan taman buru serta hutan lindung. Supriatna (2008). menyebutkan bahwa kawasan lindung yang ada di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Beberapa kawasan lindung tersebut belum memiliki batas-batas yang jelas dan terkadang batasnya bertumpang-tindih dengan lahan lain dan menimbulkan konflik. Lahan sengketa tersebut dengan mudahnya terlepas dan akhirnya berubah menjadi lahan perkebunan. Dana yang terbatas juga turut menghambat pengelolaan KL di Indonesia. Pendanaan sangat tergantung dari bantuan-bantuan donor yang hanya berjangka waktu pendek. Berdasarkan UU

117 85 5/1990, Dirjen PHKA di bawah Kementerian Kehutanan adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan peraturan dan melaksanakannya. Kewajiban itu tetap diembannya pada era desentralisasi saat ini. Sedangkan pengelolaan beberapa kawasan hutan, termasuk daerah tangkapan air, hutan produksi dan hutan bernilai konservasi rendah ada di bawah Pemerintah Daerah dimana terdapat kecenderungan menaikkan pendapatan daerahnya atau kabupatennya. Hal tersebut seringkali menciptakan ketegangan antara Pemerintah Daerah dan kepentingan konservasi di mana kawasan konservasi mencakup daerah yang menjadi sumber pemasukan Pemerintah Daerah. Lokasi penelitian merupakan bagian dari kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), maka termasuk kawasan yang diatur oleh Keppres 114 tahun 1999 yang mengatur pokok-pokok kebijakan penataan ruang kawasan Bopunjur yang meliputi arahan untuk: perencanaan tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang kawasan Bopunjur merupakan penetapan lokasi dominasi pemanfaatan ruang berdasarkan: fungsi utama kawasan; dan fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Dari wilayah yang termasuk dalam lingkup kawasan Bopunjur diatas, diatur pola pemanfaatan ruang yang pendeliniasiannya didasarkan pada fungsi kawasan yang terdiri dari: 1) Kawasan Lindung (Hutan Lindung, CA, TN, TWA, Kawasan Perlindungan Setempat yang terdiri atas Kawasan Sempadan Sungai, Kawasan Sekitar Mata air, dan Kawasan sekitar Waduk/ Danau/ Situ) dan 2) Kawasan Budidaya (Kawasan pertanian lahan basah) (Rusdiana et al. 2003). Lebih lanjut disebutkan keterkaitan antara fungsi kawasan dan dasar dari penetapan fungsi kawasan tersebut pada Tabel 8. Untuk kepentingan kelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya pada masa mendatang maka perlu adanya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan jenis elang Jawa dan kawasan yang menjadi habitatnya di luar kawasan konservasi dan kawasan lindung.

118 86 Tabel 8. Keterkaitan antara Fungsi Kawasan dan Dasar Penetapan FUNGSI KAWASAN DASAR PENETAPAN 1. Kawasan Hutan Lindung Memelihara dan mempertahankan kawasan hutan lindung sebagai hutan dengan tutupan vegetasi tetap untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin. 2. Cagar Alam Memelihara dan mempertahankan serta melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam untuk kepentingan perlindungan plasma nutfah, penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan. 3. Taman Nasional Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata ekologi, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran untuk menjamin berlangsungnya fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 4. Taman Wisata Alam Memelihara dan mempertahankan serta melestarikan fungsi lidung dan tatanan lingkungan untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, serta pendidikan dan penelitian yang menunjang pengelolaan dan budidaya sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 5. Kawasan Perlindungan a. Menjaga sempadan sungai dari kegiatan manusia Setempat yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mngamankan aliran sungai; b. Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari berbagai usaha dan atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air 6. Kawasan Pertanian Lahan Basah dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. Memanfaatkan potensi lahan yang sesuai untuk kegiatan usaha peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura lahan basah serta perikanan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sumber: Anonimous (2002, diacu dalam Rusdiana et al. 2003) Peraturan perundangan secara umum mengatur pengelolaan jenis dan habitat elang Jawa. Dalam pengaturan pengelolaan disebutkan bahwa

119 87 pelaksanaan pengelolaan jenis dan atau kawasan yang menjadi habitat elang Jawa disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing stakeholder, baik itu lembaga Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, pihak swasta, masyarakat maupun stakeholder lainnya. Peraturan perundangan juga mengatur pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Pelaksanaan dari tugas pokok dan fungsi masingmasing stakeholder akan terlihat sebagai kinerja implementasi. Dengan membandingkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (kinerja normatif) dengan kinerja implementasi akan diketahui kesenjangannya dalam pelestarian elang Jawa.

120 VII. KINERJA DAN KESENJANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA 7.1. Kinerja Normatif dan Implementasi Definisi Kinerja merupakan hasil adaptasi dan inovasi masyarakat terhadap institusi yang berlaku, baik formal maupun informal (Kartodihardjo et al. 2004). Dalam penelitian ini kinerja diukur pada semua stakeholder (33) berdasarkan 2 kriteria yang dikembangkan ( jenis dan habitat ) serta semua indikator pelestarian elang Jawa pada masing-masing kriteria tersebut seperti yang sudah dijelaskan pada Bab VI. Kinerja normatif adalah kinerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang diatur dalam peraturan perundangan ataupun ketentuan sebelumnya. Kinerja implementasi adalah realisasi atau implementasi dari tugas pokok dan fungsi yang disebutkan dalam kinerja normatif. Kinerja stakeholder dalam kriteria pelestarian jenis elang Jawa ditunjukkan pada Tabel 9. Kinerja stakeholder dalam kriteria pelestarian habitat elang Jawa ditunjukkan pada Tabel 10. Proporsi antara kinerja implementasi dan kinerja normatif dengan kriteria jenis dan habitat ditunjukkan pada Tabel 11. Sebaran proporsi kinerja stakeholder dengan kriteria jenis ditunjukkan pada Gambar 12. Sebaran proporsi kinerja stakeholder dengan kriteria habitat ditunjukkan pada Gambar 13. Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa stakeholder yang memiliki proporsi kinerja sama dengan atau lebih dari 50% untuk kriteria jenis terdapat 23 stakeholder (70%) dan untuk kriteria habitat terdapat 31 stakeholder (94%). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kinerja semua stakeholder (33) pada umumnya adalah baik (sama dengan atau lebih dari 50%), kesenjangan antara kinerja normatif dan implementasi relatif kecil pada kedua kriteria pelestarian elang Jawa. Bila dibandingkan proporsi kinerja dengan nilai sama dengan atau lebih dari 50% pada kriteria habitat nilainya lebih besar dari nilai pada kriteria jenis.

121 Tabel 9. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Jenis Elang Jawa No Stakeholder Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi Keterangan 1. BBTNGGP KL 2. BBKSDA Jawa Barat KL & KBd 3. Dit KKH, Ditjen PHKA KL & KBd Kementerian Kehutanan 4. Dit KK, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan KL & KBd 5. Dit PPH, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan KL & KBd 6. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait) KL & KBd 7. Dili KL & KBd 8. H. Supandi KL & KBd 9. Usep Suparman KL & KBd 10. Adam Supriatna KL & KBd 11. LIPI KL & KBd 12. RCS KL & KBd 13. KPB CIBA KL & KBd 14. Raptor Indonesia (RAIN) KL & KBd 15. Perkumpulan Suaka KL & KBd Elang 16. Garuda Warna Scan KL & KBd 17. ARRCN KL & KBd 18. Konsorsium GEDEPAHALA KL

122 95 Tabel 9. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Jenis Elang Jawa (Lanjutan) No Stakeholder Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi Keterangan 19. PTPN VIII Gunung Mas KBd 20. PT Sumber Sari Bumi KBd Pakuan (SSBP) Ciliwung 21. PT.Maskapai Perkebunan Mulia (MPM) KBd 22. Dinas Kehutanan dan KBd Pertanian Kabupaten Bogor 23. Dinas Pekerjaan Umum KBd (PU) Kabupaten Bogor 24. Dinas Kebudayaan dan KBd Pariwisata Kabupaten Bogor 25. Perusahaan Daerah Air KL & KBd Minum (PDAM) Kabupaten Bogor 26. Dinas Kehutanan dan KBd Perkebunan Kabupaten Cianjur 27. Dinas PU Kabupaten KBd Cianjur 28. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur KBd 95

123 96 96 Tabel 9. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Jenis Elang Jawa (Lanjutan) No Stakeholder Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi Keterangan 29. PDAM Kabupaten Bogor KL & KBd 30. BP Das Ciliwung KL Cisadane 31. BAPPEDA Kabupaten KL & KBd Bogor 32. BAPPEDA Kabupaten KL & KBd Cianjur 33. Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas KL & KBd Keterangan: = Indikator pada kriteria jenis. = Indikator pada kriteria habitat. Kode kawasan pemangkuan: KL = kawasan lindung; KBd = kawasan budidaya Indikator untuk kriteria jenis Elang Jawa: 1. Terlindunginya jenis dan atau adanya status perlindungan jenis; 2. Terhindarkannya dari ancaman jenis di dalam habitatnya; 3. Terhindarkannya dari ancaman jenis di luar habitatnya; 4. Terpantaunya sebaran dan populasi jenis secara berkala; 5. Terpantaunya keberhasilan berbiak; 6. Terpantau dan tertanganinya jenis yang ada di luar habitatnya (pemeliharaan dan perdagangan ilegal); 7. Terlaksananya penegakkan hukum (termasuk penanganan satwa pasca tindakan penegakkan hukum); 8. Terlaksananya penelitian informasi dasar jenis; 9. Terlaksananya pengembangan upaya penangkaran; 10. Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian jenis; 11. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian jenis.

124 97 Tabel 10. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Habitat Elang Jawa No Stakeholder Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi Keterangan 1. BBTNGGP KL 2. BBKSDA Jawa Barat KL 3. Dit KKH, Ditjen PHKA KL & KBd Kementerian Kehutanan 4. Dit KK, Ditjen PHKA KL & KBd Kementerian Kehutanan 5. Dit PPH, Ditjen PHKA KL & KBd Kementerian Kehutanan 6. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait) KL & KBd 7. Dili KL & KBd 8. H. Supandi KL & KBd 9. Usep Suparman KL & KBd 10. Adam Supriatna KL & KBd 11. LIPI KL & KBd 12. RCS KL & KBd 13. KPB CIBA KL & KBd 14. RAIN KL & KBd 15. Perkumpulan Suaka KL & KBd Elang 16. Garuda Warna Scan KL & KBd 17. ARRCN KL & KBd 18. Konsorsium GEDEPAHALA KL 97

125 98 98 Tabel 10. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Habitat Elang Jawa (Lanjutan) No Stakeholder Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi Keterangan 19. PTPN VIII Gunung Mas KBd 20. PT Sumber Sari Bumi KBd Pakuan (SSBP) Ciliwung 21. PT.Maskapai KBd Perkebunan Mulia (MPM) 22. Dinas Kehutanan dan KBd Pertanian Kabupaten Bogor 23. Dinas Pekerjaan Umum KBd (PU) Kabupaten Bogor 24. Dinas Kebudayaan dan KBd Pariwisata Kabupaten Bogor 25. Perusahaan Daerah Air KL & KBd Minum (PDAM) Kabupaten Bogor 26. Dinas Kehutanan dan KBd Perkebunan Kabupaten Cianjur 27. Dinas PU Kabupaten KBd Cianjur 28. Dinas Kebudayaan dan KBd Pariwisata Kabupaten Cianjur 29. PDAM Kabupaten Bogor KL & KBd

126 99 Tabel 10. Kinerja Stakeholder dalam Kriteria Pelestarian Habitat Elang Jawa (Lanjutan) No Stakeholder 30. BP Das Ciliwung Cisadane 31. BAPPEDA Kabupaten Bogor 32. BAPPEDA Kabupaten Cianjur 33. Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas Keterangan: = Indikator pada kriteria jenis. = Indikator pada kriteria habitat. Kinerja Normatif Indikator Kinerja Implementasi KL Keterangan KL & KBd KL & KBd KL & KBd Kode kawasan pemangkuan: KL = kawasan lindung; KBd = kawasan budidaya Indikator untuk kriteria habitat elang Jawa: 1. Terlindungi dan terkelolanya habitat yang merupakan penyebaran elang Jawa dari ancaman: kerusakan, fragmentasi, penurunan kualitas dan kehilangan (misal akibat alih fungsi lahan); 2. Adanya status kawasan sebagai kawasan konservasi (KPA/ KSA) maupun hutan lindung bagi kawasan yang merupakan penyebaran elang Jawa; 3. Terlindunginya habitat elang Jawa di luar kawasan lindung; 4. Terpantaunya kondisi habitat secara berkala; 5. Terlaksananya pembinaan habitat; 6. Terlaksananya penelitian informasi dasar habitat; 7. Terlaksananya penyadartahuan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian habitat; 8. Terlaksananya pelibatan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian habitat. 99

127 100 Tabel 11. Proporsi antara Kinerja Implementasi dan Kinerja Normatif dengan Kriteria Jenis dan Habitat 100 Kriteria Jenis Habitat No Kode Kategori Stakeholder Proporsi Proporsi Kawasan Kawasan (%) (%) 1. a kunci BBTNGGP KL KL b kunci BBKSDA Jawa Barat KL & KBd KL & KBd c kunci Dit KKH, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan KL & KBd KL & KBd d kunci Dit KK, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan KL & KBd KL & KBd e kunci Dit PPH, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan KL & KBd KL & KBd f kunci Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait) KL & KBd KL & KBd ee kunci BAPPEDA Kabupaten Bogor KL & KBd 0.00 KL & KBd ff kunci BAPPEDA Kabupaten Cianjur KL & KBd 0.00 KL & KBd g utama Dili KL & KBd KL & KBd h utama H. Supandi KL & KBd KL & KBd i utama Usep Suparman KL & KBd KL & KBd j utama Adam Supriatna KL & KBd KL & KBd s utama PTPN VIII Gunung Mas KBd KBd t utama PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung KBd KBd u utama PT.Maskapai Perkebunan Mulia KBd KBd k sekunder LIPI KL & KBd KL & KBd l sekunder RCS KL & KBd KL & KBd m sekunder KPB CIBA KL & KBd KL & KBd n sekunder RAIN KL & KBd KL & KBd o sekunder Perkumpulan Suaka Elang KL & KBd KL & KBd p sekunder Garuda Warna Scan KL & KBd KL & KBd q sekunder ARRCN KL & KBd KL & KBd

128 Tabel 11. Proporsi antara Kinerja Implementasi dan Kinerja Normatif dengan Kriteria Jenis dan Habitat (Lanjutan) 101 Kriteria Jenis Habitat No Kode Kategori Stakeholder Proporsi Proporsi Kawasan Kawasan (%) (%) 23. r sekunder Konsorsium GEDEPAHALA KL KL v sekunder Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor KBd KBd w sekunder Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Bogor KBd 0.00 KBd x sekunder Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor KBd 0.00 KBd y sekunder Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bogor KL & KBd 0.00 KL & KBd z sekunder Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur KBd KBd aa sekunder Dinas PU Kabupaten Cianjur KBd 0.00 KBd bb sekunder Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur KBd 0.00 KBd cc sekunder PDAM Kabupaten Bogor KL & KBd 0.00 KL & KBd dd sekunder BP Das Ciliwung Cisadane KL 0.00 KL gg sekunder Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas KL & KBd KL & KBd Keterangan: Kode Stakeholder: a. BBTNGGP; b. BBKSDA Jawa Barat; c. Dit KKH, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan; d. Dit KK, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan; e. Dit PPH, Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan; f. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (KPH terkait); g. Dili; h. H. Supandi; i. Usep Suparman; j. Adam Supriatna; k. LIPI; l. Raptor Conservation Society (RCS); m. KPB CIBA; n. Raptor Indonesia (RAIN); o.perkumpulan Suaka Elang; p. Garuda Warna Scan; q. Asian Raptor Research and Conservation Network (ARRCN); r Konsorsium GEDEPAHALA; s. PTPN VIII Gunung Mas (Perkebunan Teh Gunung Mas); t. PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) Ciliwung (Perkebunan Teh Ciliwung); u. PT.Maskapai Perkebunan Mulia (MPM)(Perkebunan Teh Ciseureuh); v. Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor; w. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Bogor; x. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor; y. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bogor; z. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur; aa. Dinas PU Kabupaten Cianjur; bb. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur; cc. PDAM Kabupaten Cianjur; dd. BP Das Ciliwung Cisadane; ee. BAPPEDA Kabupaten Bogor; ff. BAPPEDA Kabupaten Cianjur; gg. Koordinator pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas. Kode kawasan pemangkuan: KL = kawasan lindung; KBd = kawasan budidaya 101

129 98 Gambar 12. Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder dengan Kriteria Jenis Gambar 13. Sebaran Proporsi Kinerja Stakeholder dengan Kriteria Habitat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi]

IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi] IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi] (Identification of Stakeholders Performance and Gap in Javan Hawk-Eagle [Spizaetus bartelsi] Conservation)

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Pengambilan data lapangan dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Lokasi penelitian dikonsentrasikan pada sebagian kawasan Taman

Lebih terperinci

V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Dalam upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya yang berada di dalam kawasan lindung (KL) dan di dalam kawasan budidaya (KBd) akan melibatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SUAKA ELANG: PUSAT PENDIDIKAN BERBASIS KONSERVASI BURUNG PEMANGSA

SUAKA ELANG: PUSAT PENDIDIKAN BERBASIS KONSERVASI BURUNG PEMANGSA SUAKA ELANG: PUSAT PENDIDIKAN BERBASIS KONSERVASI BURUNG PEMANGSA Latar Belakang Di Indonesia terdapat sekitar 75 spesies burung pemangsa (raptor) diurnal (Ed Colijn, 2000). Semua jenis burung pemangsa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.754, 2014 KEMENHUT. Tarif. Kegiatan Tertentu. Tata Cara. Persyaratan. Pembangunan PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.38/Menhut-II/2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Elang jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu dari 3 spesies burung pemangsa yang menjadi perhatian dunia selain burung elang irian (Harpyopsis novaeguineae)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN KEGIATAN TERTENTU PENGENAAN TARIF Rp.0,00 (NOL RUPIAH) DI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) PENGANTAR Saat ini terdapat 2 (dua) versi RUU Perubahan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2011 pasal 1 nomer 1 tentang pengolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestaian alam yang berbunyi Kawsasan Suaka Alam

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA MENUJU PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MANDIRI: PENGELOLAAN BERBASIS RESORT, DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR Bidang Kegiatan : PKM Artikel Ilmiah

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 264/Dik-1/2010 T e n t a n g KURIKULUM

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UDANG-UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci