BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN 2.1 Perkawinan pada Masyarakat Jepang Perkawinan di Jepang ada dua, yaitu berdasarkan agama dan pemerintah/hukum. Sekarang ini di Jepang paling banyak pasangan pengantin yang menikah di Gereja yaitu sekitar 60%, sedangkan di Kuil 40% dan di tempattempat lain 10%. Perkawinan dalam Bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon ( 結婚 ) atau kon in. Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu ( 結 ) yang berarti ikatan, dan kon ( 婚 ) yang berarti perkawinan. Sedangkan kon in terdiri dari kon yang berarti perkawinan dan in yang juga berarti perkawinan. Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang di atur oleh sebuah sistem keluarga (Martha, 1995:2). Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari isteri sah dan anak-anaknya. Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia tahun bagi pria dan tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa (1945) biasanya perbedaan umur suami dan isteri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun

2 1945 itu, perbedaan umur suami isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha (1995:4) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran. Cara bagaimana calon suami atau calon isteri di pilih ada dua macam, yaitu berdasarkan Miai ( ( 見合い ) dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan) dan Ren ai ( ( 恋愛 ) cinta). Perkawinan yang terjadi karena Miai disebut Miai kekkon ( 見合い結婚 ), sedangkan karena Ren ai disebut Ren ai kekkon ( 恋愛結婚 ). Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah dewasa, meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo ( 仲人 ) untuk mempertemukan kedua belah pihak. Fungsi Nakoodo menurut Martha (1995:5) adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak-pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Namun lain halnya menurut Wibowo (2005:18), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus-menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara pasangan itu. Ren ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran-pemikiran barat banyak di serap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Dalam kelompok umur tahun, mereka yang memilih pasangannya sendiri adalah

3 63% di desa dan 90% di kota. Angka-angka itu termasuk pasangan yang diperkenalkan oleh pihak ketiga, yaitu perantara, meskipun keputusan terakhir ada pada mereka sendiri (Rahmadayani, 2005:25). Hukum perkawinan Jepang didasari pada monogami dan secara legal melindungi suatu perkawinan yang hanya merupakan penyatuan di antara seorang pria dan seorang wanita yang terbentuk sesuai syarat-syarat hukum yang berlaku. Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara besarbesaran dalam satu Ie, yang dikontrol oleh seorang koshu ( 戸主 ). Jadi, perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya. Sebagai seorang Yome (menantu perempuan) atau Muko (menantu laki-laki) untuk menjadi bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua kepala keluarga sangat diperlukan. Sesuai ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang tahun 1947, yang melindungi martabat individu dan kesamaan di antara pria dan wanita, maka Ie dihapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami-isteri dihapuskan. Menurut Undang-undang perdata Jepang, perkawinan baru dianggap sah jika dapat memenuhi syarat-syarat secara hukum, sebagai berikut: 1. Sesuai dengan Koseki Hoo (Registrasi Keluarga) diperlukan sebagai pemberitahuan secara tertulis, seorang wakil dan dua orang dewasa sebagai saksi dari masing-masing keluarga. 2. Kedua pihak harus menyetujui perkawinan ini. Perkawinan yang dilakukan atas dasar paksaan dapat dibatalkan. 3. Pria sekurang-kurangnya berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun.

4 4. Kalau wanita yang telah bercerai melangsungkan perkawinan lagi, sekurang-kurangya 6 bulan sejak keputusan perceraiannya dari perkawinan yang terdahulu. 5. Perkawinan tidak boleh dengan dua orang isteri (bigami). 6. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan orang yang memiliki hubungan darah dengan pasangannya. 7. Seseorang yang belum dewasa atau dibawah umur yang telah ditentukan, harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Martha, 1995:19-20). Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji (nama keluarga) dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9% isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang A. Bentuk Keluarga Menurut Situmorang (2006:22) Kazoku adalah general konsep tentang keluarga dalam masyarakat Jepang. Dalam konsep umum yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami isteri, hubungan orang tua dan anak, dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya. Dasar dari Kazoku adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal misalnya

5 hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu. Sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan. Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan hubungan horizontal tersebut di atas disebut Shinru, sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja. Lebih lanjut Situmorang (2006:22) mengatakan jenis-jenis Kazoku adalah keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygami family), dan keluarga luas (extende family). Jadi yang dimaksud dengan Kazoku adalah kelompok yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Adapun dasar pembentukannya adalah hubungan suami isteri. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. B. Ie Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Kata Ie ini dimana huruf ( I ) berfungsi sebagai imbuhan dan huruf ( e ) berarti ro, yaitu tungku perapian

6 sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah-tengah rumah dan tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk makan bersama-sama. Menurut Kizaemon dalam Situmorang (2000:46-47), Ie adalah suatu jenis keluarga khas Jepang yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi, meliputi anggota yang masih hidup dan mati. Di dalam keluarga tersebut diusahakan melanjutkan simbol-simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga. Di samping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam Oktarina (2002:7), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di bawah satu atap dan makan dari makanan yang di masak dari dandang yang sama. Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara Kazoku dengan keluarga Ie adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:22). Dari pendapat di atas jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali darah saja tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi. Ie juga tidak mengacu kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka dan sampai masa sekarang. Oleh karena itu, terdapat suatu ikatan yang

7 berkesinambungan antara orang-orang yang masih hidup dengan para leluhur mereka. Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami (Dilla,2004:16). Selanjutnya Dilla (2004:16) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah naungan atap yang sama dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama-sama. Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan kesinambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang-orang yang bekerja (hokonin) di dalam Ie yang telah dipercaya walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan kepala keluarga. Dilla (2004:18) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga (kacho). Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan. Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya. Anggota-anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing-masing di bawah pengawasan kepala keluarga Makna Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dasar dari sebuah keluarga adalah pernikahan, dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan dalam anggota keluarga. Hubungan tersebut dalam

8 masyarakat Jepang adalah hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu, sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara lakilaki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan. Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan horizontal tersebut di atas disebut Shinru. Sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja. Dalam sebuah Ie, pernikahan tidak dengan sendirinya membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain, yaitu keluarga suami. Bentuk ini jelas dalam Fokogu kazoku atau keluarga besar yang kompleks. Pada keluarga ini baik Ji-sannan atau anak laki-laki kedua, ketiga dan seterusnya maupun Kokonin (pembantu) akan tetap berada di bawah naungan atap yang sama. Mereka tetap merupakan bagian dari Ie, hidup dan bekerja bersama-sama dengan Kacho termasuk di dalam perhitungan anggaran belanja Ie yang bersangkutan (Martha,1995:25). Dari ulasan di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan bagi masyarakat Jepang disamping sebagai pengukuhan hak dan kewajiban sebagai suami isteri, perkawinan juga bermakna sebagai sarana dalam pelestarian keluarga tradisional Jepang.

9 2.1.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan, maka rangkaian acara mulai dari pertukaran barang pertunangan, upacara perkawinan dan resepsi perkawinan diselenggarakan. Puncaknya adalah upacara perkawinan. Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang disebut dengan Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang-barang pemberian sebagai tanda pertunangan disebut dengan Yuinoohin. Sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya. Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak pria akan mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah tanda persetujuan dari pihak wanita. Untuk mendengar kabar ini, maka diundanglah sanak saudaranya. Istilah ini disebut dengan Kimecha ( 決め茶 ) yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya. Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan Kugicha ( 釘茶 ), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai (sejenis ikan kakap) kepada undangan yang datang. Setelah Kimecha, maka akan dilakukan penentuan hari perkawinan. Seorang Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini penduduk di daerah tertentu selalu

10 berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasihat tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari-hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan untuk berdandan. Biasanya hari Minggu banyak dipilih sebagai hari yang baik bagi upacara dan resepsi perkawinan karena banyak para tamu yang bekerja pada harihari biasa. Sekitar bulan September-November pada musim gugur (aki) banyak yang melangsungkan resepsi perkawinan. Jika hari perkawinan sudah ditetapkan, maka akan dilakukan Honcha ( 本茶 ) yaitu pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita. Pemberian tersebut bisa berupa Kimono ( 着物 ) dan aksesorisnya atau sejumlah uang. Pemberian lain adalah satu cincin pertunangan. 2.2 Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan Perkawinan di Tapanuli Selatan sampai sekarang yang dipandang ideal ialah perkawinan menurut adat (perkawinan yang dilaksanakan menurut adat) dan norma-norma agama. Tentang tingkat kedewasaan untuk dapat melangsungkan perkawinan yang bersangkutan harus sudah dewasa. Namun demikian pada masa lalu telah ada pertunangan masa kecil sesuai dengan adat. Pertunangan semasa kecil ini pada umumnya terjadi di antara orang yang berfamili (antara pihak Mora dengan pihak Anak Boru). Dan satu hal bahwa, perkawinan secara paksa pada masa sekarang tidak ada lagi (Ritonga, 1997:50).

11 Biasanya setelah pasangan calon pengantin sudah dinikahkan berdasarkan agama Islam dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, maka dilanjutkan lagi perkawinan menurut adat. Koentjaraningrat (1980:90) mengemukakan bahwa dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seks-nya. Karena menurut pengertian masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai isterinya. Ia kemukakan pula bahwa perkawinan mempunyai beberapa fungsi lain. Diantaranya ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, harta, gengsi dalam masyarakat dan untuk memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil dari perkawinan (anak). Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat yang tertentu sering pula menjadi alasan bagi perkawinan. Alasan yang demikian ini cukup penting bagi masyarakat Tapanuli Selatan, sehingga sampai kini perkawinan antara anggota kelompok kerabat Anak Boru dengan anggota kelompok kerabat Mora masih agak sering terjadi dan masih dipandang sebagai perkawinan preferensi (Lubis, 1998:166). Preferensi perkawinan (marriage preference) dalam masyarakat Tapanuli Selatan ialah perkawinan antara seorang pemuda dengan Boru Tulang-nya atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Atau perkawinan antara seorang gadis dengan Anak Namboru-nya atau anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya. Keadaan ini jelas menunjukkan bahwa dalam masyarakat Tapanuli

12 Selatan berlaku perkawinan cross-cousin atau perkawinan antara saudara sepupu. Tetapi karena kaidah adat tidak memperbolehkan seorang pemuda kawin dengan Boru Namboru-nya atau anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya (meskipun keduanya berlainan marga), maka yang berlaku dalam masyarakat Tapanuli Selatan ialah perkawinan cross-cousin yang a-simetris atau perkawinan antara saudara sepupu yang sepihak saja. Pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli Selatan sudah tidak begitu terikat lagi oleh preferensi perkawinan seperti yang dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan mudamudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk membebaskan diri dari preferensi perkawinan yang tradisional itu. Tetapi meskipun demikian, di pihak lain masih cukup banyak orang tua yang cenderung untuk mengawinkan anak mereka yang laki-laki dengan Boru Tulang-nya atau mengawinkan anak perempuan mereka dengan Anak Namborunya, agar hubungan kekerabatan antara pihak-pihak mereka yang bersangkutan (pihak Anak Boru dan pihak Mora) tetap terpelihara ke-eratannya seperti yang dikehendaki oleh adat (Lubis, 1998: ). Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan melarang pula seseorang kawin dengan: 1) Saudaranya yang seibu-sebapak, saudaranya yang se-ibu lain bapak dan saudaranya se-bapak lain ibu,

13 2) Saudara dari ibu kandungnya kalau ibu kandungnya masih hidup, 3) Saudara kandung dari isterinya kalau isterinya masih hidup, 4) Anak dari saudaranya yang perempuan, 5) Anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya. Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan tidak melarang poligami, tetapi sama sekali tidak memperbolehkan poliandri Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Tapanuli Selatan Bentuk keluarga di Tapanuli Selatan erat kaitannya dengan sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan suatu masyarakat akan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan sistem kekerabatan, prinsip-prinsip keturunan, istilahistilah kekerabatan, stratifikasi sosial, aktifitas-aktifitas sosial dan sebagainya. Dalam masyarakat Tapanuli Selatan Marga merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan (kin group) yang para anggotanya adalah keturunan dari seorang kakek bersama; oleh karena itu pada hakekatnya para anggota suatu marga satu sama lain terikat oleh pertalian atau hubungan darah (blood-ties). Masing-masing marga dalam masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai namanya sendiri. Nama-nama marga antara lain ialah Siregar, Pane, Harahap, dan Hutasuhut. Karena nama dari suatu marga merupakan bahagian yang inheren dari marga yang bersangkutan, maka sudah lazim nama marga diidentikkan orang dengan marga. Misalnya Siregar dipandang sebagai suatu marga, bukan sebagai nama dari suatu marga. Orang-orang Tapanuli Selatan mempunyai kebiasaan memakai nama marga masing-masing sebagai pelengkap nama dirinya. Misalnya nama diri seseorang

14 ialah Baringin dan nama marganya ialah Siregar. Karena nama marganya itu dipakainya sebagai nama pelengkap dirinya, maka ia dikenal sebagai orang yang bernama Baringin Siregar. Dengan mengetahui kebiasaan yang demikian itu, dapat pula diketahui bahwa orang-orang Tapanuli Selatan yang memakai nama marga yang sama sebagai pelengkap nama diri masing-masing merupakan anggota dari satu marga. Dengan kata lain mereka semua adalah orang-orang yang semarga atau keturunan dari seorang kakek bersama (Lubis, 1998:133). Marga merupakan klen besar dan Kahanggi merupakan klen kecil atau sub kelompok marga. Dalam hubungan ini Koentjaraningrat (1980:119) mengemukakan bahwa klen kecil merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek moyang, dan satu dengan lain terikat melalui garis-garis keturunan laki-laki saja ialah patrilineal, atau melalui garis keturunan wanita saja disebut matrilineal. Dalam masyarakat Tapanuli Selatan suatu keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek moyang (kakek bersama) dan merupakan bahagian dari suatu klen kecil atau Kahanggi disebut Saparompuan (se-kakek). Selain membentuk kelompok kekerabatan berdasarkan pertalian darah dengan garis keturunan patrilineal, yakni kelompok kekerabatan berupa klen besar yang dinamakan marga, masyarakat Tapanuli Selatan juga membentuk berbagai kelompok kekerabatan affiniti (kelompok kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan). Berdasarkan statusnya dalam hubungan perkawinan, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat empat macam kelompok kekerabatan

15 affiniti. Masing-masing ialah yang disebut Mora, Anak Boru, Mora ni mora dan Pisang Raut. Kelompok kekerabatan affiniti yang disebut Mora merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai pemberi anak gadis (bride giver) dalam hubungan perkawinan. Yang disebut Anak Boru merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai penerima anak gadis (bride receiver) dari Mora. Yang disebut Mora ni mora ialah kelompok kekerabatan affiniti yang berstatus sebagai pemberi anak gadis bagi suatu kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai Mora. Dan yang disebut Pisang Raut ialah kelompok kekerabatan affiniti yang berstatus sebagai penerima anak gadis dari kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai Anak Boru. Pada hakekatnya Mora dan Mora ni mora mempunyai status yang serupa sebagai pemberi anak gadis. Demikian pula Anak Boru dan Pisang Raut sama-sama punya status sebagai penerima anak gadis (Lubis, 1998:134). Bentuk keluarga inti masyarakat Tapanuli Selatan pada umumnya mempunyai kesamaan dari berbagai sub etnis. Adapun bentuk dari keluarga inti terdiri dari seorang suami, isteri dan anak-anak. Disamping keluarga lengkap, terdapat pula keluarga tidak lengkap. Seorang isteri berpisah dengan suaminya karena bercerai atau kematian. Pada keluarga seperti ini, isteri mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Dalam keluarga inti lengkap, suami berkedudukan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah seluruh anggota keluarganya. Disamping itu berperan sebagai pengambil keputusan untuk dijalankan oleh

16 anggota keluarga. Isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Tugas dan tanggung jawabnya adalah mengurus pekerjaan dapur dan menyiapkan makan sehari-hari. Disamping itu seorang ibu juga dituntut mampu mendidik anak-anak dan memberikan kasih sayang Makna Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan Dalam masyarakat Tapanuli Selatan, perkawinan tidak hanya sebagai sarana untuk kebutuhan biologis, tetapi juga tidak terlepas dari keyakinan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan religius dimana perkawinan merupakan perintah Tuhan. Bagi masyarakat Tapanuli Selatan yang beragama Islam, perkawinan adalah suatu ibadah. Dimana dalam agama Islam, perkawinan akan menghalalkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Hasil hubungan tersebut akan melahirkan keturunan yang sah. Sudah jelas bahwa makna perkawinan bagi masyarakat Tapanuli Selatan adalah melaksanakan perintah agama untuk meneruskan keturunan yang sah. Dalam perkawinan akan terbentuklah sebuah keluarga dimana akan terlihat bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap isteri dan anak-anaknya dan sebaliknya. Perkawinan juga dapat membina sifat kasih sayang dan saling menghormati satu sama lain Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan Dalam adat istiadat orang Tapanuli Selatan, menentukan pasangan adalah kegiatan pertama yang dilakukan dalam tahapan upacara perkawinan. Banyak cara

17 yang dilakukan untuk mendapatkan hasil di dalam menentukan pasangan hidup. Yang jelas, apabila lamaran diterima oleh pihak perempuan, maka akan dilakukan acara pertunangan sekaligus antar tanda. Pada acara pertunangan ini juga akan dibicarakan tentang hari yang baik untuk melangsungkan hari resepsi perkawinan. Sehari sebelum upacara perkawinan, kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan adalah pengucapan Ijab Qabul atau aqad nikah. Acara ini biasanya dilakukan pada pagi hari. Tetapi ada juga yang melakukan acara aqad nikah di gabung dengan acara resepsi. Pagi melakukan aqad nikah dan siang acara resepsi perkawinan. Semua itu tergantung dengan keputusan dari kedua belah pihak yang ingin mengadakan upacara perkawinan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAPAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAPAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAPAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH 2.1.Perkawinan pada Masyarakat Jepang Perkawinan dalam Bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon ( 結婚 ) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia

Lebih terperinci

BAB 5 RINGKASAN. Salah satu jenis perkawinan yang menjadi kebudayaan Jepang yaitu perkawinan

BAB 5 RINGKASAN. Salah satu jenis perkawinan yang menjadi kebudayaan Jepang yaitu perkawinan BAB 5 RINGKASAN Salah satu jenis perkawinan yang menjadi kebudayaan Jepang yaitu perkawinan yang berdasarkan pada perjodohan atau yang lebih dikenal dengan Omiai Kekkon. Miai memiliki dua pengertian diantaranya

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pandangan Gennep (Winangun,1990 : 33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu (1) Ritus pemisahan,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ). BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI 2.1. Masyarakat Agraris Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA Adat bagi masyarakat Batak Toba merupakan hukum yang harus dipelihara sepanjang hidupnya. Adat yang diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan.

Lebih terperinci

Keluarga inti merupakan kelompok primer yang dapat dikatakan sebagai institusi dasar berkembangnya institusi sosial yang lain.

Keluarga inti merupakan kelompok primer yang dapat dikatakan sebagai institusi dasar berkembangnya institusi sosial yang lain. Pranata Keluarga Istilah keluarga dapat berarti : 1. Keluarga besar (extended/consanguine family), yang dapat terdiri dari kakeknenek, mertua, bapak-ibu, anak kandung dan menantu, cucu, saudara sepupu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang terjadi didalam hidup bermasyarakat yang menyangkut nama baik keluarga ataupun masyarakat. Hal ini diterangkan dalam buku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE. belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE. belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE 2.1 Konsep Ie Dalam tradisi masyarakat Jepang hubungan sosial tidak hanya di latar belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan diikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. lain. Keluarga adalah lingkungan interaksi manusia yang pertama. Keluarga

Bab 1. Pendahuluan. lain. Keluarga adalah lingkungan interaksi manusia yang pertama. Keluarga Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam menjalani kehidupannya manusia selalu membutuhkan interaksi dengan orang lain. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mengadakan pengolahan dan menganalisis data dari hasil penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan Latar Belakang Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pencarian Jodoh Muli Mekhanai Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata Pemilihan mempunyai arti proses atau cara perbuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawin adalah perilaku mahluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar manusia berkembang biak. Oleh karena itu perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perkawinan adalah Anugrah dari pemberian Allah Tuhan kita yang terwujud/terbentuk dalam suatu ikatan lahir batin dari hubungan antara Suami dan Isteri (kedua

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jepang merupakan suatu negara modern yang masih terikat kuat oleh nilainilai

BAB 1 PENDAHULUAN. Jepang merupakan suatu negara modern yang masih terikat kuat oleh nilainilai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Jepang merupakan suatu negara modern yang masih terikat kuat oleh nilainilai tradisional, terutama dalam hal perkawinan. Perkawinan Jepang berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia yang hidup dalam dunia pada umumnya menginginkan suatu hubungan yang didasari rasa saling mencintai sebelum memasuki sebuah perkawinan dan membentuk sebuah

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10 BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1 LATAR BELAKANG MASALAH Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. bab- bab sebelumnya maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN. bab- bab sebelumnya maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di pembahasan pada bab- bab sebelumnya maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan analisa dan evaluasi

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi di masyarakat yang. bersangkutan. Koentjaranigrat (1984: )

11. TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi di masyarakat yang. bersangkutan. Koentjaranigrat (1984: ) 11. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Upacara Adat Upacara adalah sistem aktifitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang penting yaitu pada waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, dan waktu ia meninggal dunia (Ali Afandi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG 2.1 Struktur Keluarga Masyarakat Agraris Sejak zaman Tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313

SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313 SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FEM3313 INSTITUSI KELUARGA DAN PERKAHWINAN KULIAH MINGGU 7 PENGENALAN Unit terkecil masyarakat ialah individu, dan kelompok asas yang terdekat ialah keluarga. Keluarga penting:

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

BAB 5 RINGKASAN. orang-orang dari negara lain. Perkawinan masyarakat Jepang didasarkan pada konsep ie.

BAB 5 RINGKASAN. orang-orang dari negara lain. Perkawinan masyarakat Jepang didasarkan pada konsep ie. BAB 5 RINGKASAN Sistem perkawinan pada masyarakat Jepang mungkin tampak tidak umum bagi orang-orang dari negara lain. Perkawinan masyarakat Jepang didasarkan pada konsep ie. Di dalam sistem ie ini wanita

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB LIMA PENUTUP. sebelumnya. Dalam bab ini juga, pengkaji akan mengutarakan beberapa langkah

BAB LIMA PENUTUP. sebelumnya. Dalam bab ini juga, pengkaji akan mengutarakan beberapa langkah BAB LIMA PENUTUP 5.0 Pendahuluan Di dalam bab ini, pengkaji akan mengemukakan kesimpulan yang diperoleh daripada perbahasan dan laporan analisis kajian yang telah dijalankan daripada babbab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang dimaksud dengan "ijab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1983:2). Keluarga merupakan suatu satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerja

BAB I PENDAHULUAN. 1983:2). Keluarga merupakan suatu satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah kelompok yang disebut dengan istilah keluarga. Keluarga adalah suatu lembaga sosial yang berkembang dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN. nilai-nilai tradisionalnya. Sebelum Perang Dunia II, sistem keluarga Jepang didasarkan

BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN. nilai-nilai tradisionalnya. Sebelum Perang Dunia II, sistem keluarga Jepang didasarkan BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Masyarakat Jepang di kenal sebagai suatu masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai tradisionalnya. Sebelum Perang Dunia II, sistem keluarga Jepang didasarkan pada

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa anak-anak, remaja, nikah, masa tua, dan mati (Koenthjaraningrat, 1977: 89). Masa pernikahan

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa. Dengan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa. Dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa. Dengan Penduduk yang berdiam dan berasal dari pulau-pulau yang beraneka ragam adat budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang tentunya pulau-pulau tersebut memiliki penduduk asli daerah yang mempunyai tata cara dan aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batak Angkola bermukim di daerah Tapanuli Bagian Selatan yang merupakan. Etnis Angkola bekerja sebagai petani dan beragama Islam.

BAB I PENDAHULUAN. Batak Angkola bermukim di daerah Tapanuli Bagian Selatan yang merupakan. Etnis Angkola bekerja sebagai petani dan beragama Islam. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Nama Batak Merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasi beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap suku biasanya memiliki tradisi yang menjadi keunikan tersendiri yang menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Simalungun terbagi atas beberapa bagian seperti upacara adat Marhajabuan

BAB I PENDAHULUAN. Simalungun terbagi atas beberapa bagian seperti upacara adat Marhajabuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Etnis Simalungun memiliki kebudayaan yang banyak menghasilkan kesenian daerah dan upacara adat, dan hal tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Simalungun sebagai

Lebih terperinci

dan Pertunangan Pernikahan

dan Pertunangan Pernikahan Pertunangan dan Pernikahan Biasanya sebelum orang memulaikan suatu perkongsian di dunia bisnis banyak perencanaan dan persiapan terjadi Sebelum kontrak atau persetujuan terakhir ditandatangani, mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan satu sama lain dan tidak bisa hidup sendiri, begitu juga dalam kehidupan manusia yang berlainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa penting tersebut dikaitkan dengan upacaraupacara yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan 1 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan menjadi identitasnya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki beragam kebudayaan,

Lebih terperinci

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Oleh: 1. Rico Andrian Hartono(135010101111114)/ 17 2. Ramadhanti Safirriani(135010119111001)/ 46 3. Farahdyba R (135010107111189)/ 44 4. Giovanna Calista F (135010101111106)/

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari beragam budaya dan ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori-teori Perkawinan dalam Masyarakat Jepang Sebelum Tahun 1946

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Teori-teori Perkawinan dalam Masyarakat Jepang Sebelum Tahun 1946 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Perkawinan dalam Masyarakat Jepang Sebelum Tahun 1946 Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat perkawinan yang mungkin terlihat tidak umum bagi orang-orang dari negara

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN)

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) X : Selamat siang pak N : Iya, siang X : Saya ingin bertanya-tanya tentang perkawinan semarga pak, kenapa perkawinan semarga itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerahnya. Sistem pewarisan yang dipakai di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci