PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN"

Transkripsi

1 PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN

2

3 PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN Penyusun: Arnold Parlindungan Sinurat I Wayan Mathius Tresnawati Purwadaria BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

4 Cetakan 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang IAARD Press, 2012 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari IAARD Press. Hak cipta pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012 Katalog dalam terbitan BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit sebagai Bahan Pakan/Penyusun, Arnold Parlindungan Sinurat, I Wayan Mathius, dan Tresnawati Purwadaria; Penyunting, Budi Haryanto dan Bess Tiesnamurti.-- Jakarta: IAARD Press, 2012 xi, 81 hlm.: ill.; 21 cm Pemanfaatan 2. Pengolahan 3. Industri Sawit I. Judul II. Sinurat, Arnold P. ISBN Penanggungjawab: Dr. Bess Tiesnamurti (Kepala Puslitbang Peternakan) Tata letak: Eko Kelonowati Linda Yunia Rancangan sampul: Ahmadi Riyanto IAARD Press Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta Telp: , Faks.: Alamat Redaksi: Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor Telp.: , Faks.: iaardpress@litbang.deptan.go.id

5 KATA PENGANTAR Buku ini disusun sebagai salah satu upaya untuk memperkecil jarak antara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dengan praktek penerapannya di tingkat peternak atau industri peternakan. Banyak penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti di dalam maupun di luar negeri tentang penggunaan hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan, namun penerapan hasil penelitian tersebut di tingkat peternak atau industri peternakan di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, selayaknyalah kita memberi perhatian terhadap produk utama dan hasil sampingnya agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan cara yang benar dan baik. Semua informasi yang diuraikan di dalam buku ini bersumber dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara, terutama Indonesia, Malaysia dan Nigeria yang kita kenal sebagai negara utama penghasil sawit di dunia. Dari uraian yang disampaikan terlihat bahwa hampir semua hasil samping dari industri sawit, mulai dari pelepah, daun, serat perasan buah, lumpur sawit atau solid decanter dan bungkil inti sawit sudah diteliti dan dapat digunakan sebagai bahan pakan. Memang terdapat beberapa hal yang merupakan pembatas dalam penggunaan hasil samping tersebut. Namun, beberapa teknologi sudah dihasilkan untuk mengurangi kendala tersebut, sehingga hasil samping tersebut mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan pakan. Buku ini diharapkan bisa menjadi penuntun bagi pembaca dalam memanfaatkan hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non-ruminansia. Dengan pemanfaatan hasil samping industri sawit yang merupakan produksi dalam negeri, diharapkan peternak dapat menekan biaya pakan yang terus meningkat dan meningkatkan keuntungan berusaha. Bagi peneliti atau perekayasa, buku ini diharapkan v

6

7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman 1. PENDAHULUAN Kebutuhan pakan Indonesia POTENSI PRODUK HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT Perkembangan industri sawit Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia Bungkil inti sawit Lumpur sawit Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia Produk samping tanaman kelapa sawit Produk samping pengolahan buah kelapa sawit Nilai gizi produk samping industri sawit KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT Teknologi pengolahan batang kelapa sawit (oil palm trunk) Teknologi pengolahan daun (oil palm leaf) dan pelepah sawit (oil palm frond) Teknologi pengolahan tandan kosong (empty fruit bunches) dan serat perasan buah sawit (palm press fiber) Teknologi pengolahan lumpur sawit (Palm oil Sludge) Teknologi pengolahan bungkil inti sawit v vii ix xi vii

8 Pengolahan dan Pemanfaatping Industri Sawit 4. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK NON-RUMINANSIA Bungkil inti sawit Bungkil inti sawit sebagai bahan pakan babi Penggunaan produk fermentasi bungkil inti sawit dalam ransum unggas Lumpur sawit Lumpur sawit sebagai bahan pakan babi Lumpur sawit sebagai bahan pakan kelinci PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT UNTUK TERNAK RUMINANSIA PENUTUP DAFTAR PUSTAKA viii

9 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan jumlah impor bahan pakan Indonesia tahun Produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit Indonesia tahun Komposisi zat gizi lumpur sawit dan bungkil inti sawit Produk samping tanaman, olahan kelapa dan inti sawit untuk setiap ha/tahun Komposisi nutrien produk samping tanaman, pengolahan buah kelapa dan inti sawit Evaluasi nilai gizi pelepah daun sawit dengan perlakuan NaOH, amoniasi dan silase Hasil penyaringan BIS pada berbagai ukuran penyaringan terhadap kadar kontaminasi cangkang Perubahan nilai gizi bungkil intisawit setelah di fermentasi dengan berbagai jenis mikroorganisme Kandungan protein dan asam amino konsentrat BIS - protein konsentrat, BIS dan bungkil kedelai Beberapa susunan ransum broiler dengan kandungan bungkil inti sawit (BIS) yang tinggi dan hasilnya dibandingkan dengan ransum tanpa BIS (kontrol) Beberapa susunan ransum ayam petelur yang mengandung bungkil inti sawit dan performannya dibandingkan dengan kontrol Performan babi periode grower dan finisher yang diberi ransum dengan kandungan BIS yang berbeda Beberapa formula pakan babi dengan kandungan bungkil inti sawit yang tinggi dan performannya dibandingkan dengan kontrol Kecernaan asam amino (Standardized ileal digestibility) dan energi bungkil inti sawit asal Indonesia dan Afrika dibandingkan dengan bungkil kelapa dan bungkil kedelai - pada babi ix

10 Pengolahan dan Pemanfaatping Industri Sawit 15. Beberapa formula pakan ayam broiler dengan kandungan lumpur sawit dan performannya dibandingkan dengan kontrol Performan ayam petelur yang diberi ransum dengan lumpur sawit sebagai pengganti jagung Beberapa formula pakan babi dengan kandungan lumpur sawit yang tinggi dan performannya dibandingkan dengan kontrol Performan sapi perah dengan pemberian bungkil inti sawit sebagai penganti konsentrat Persentasi penggunaan produk samping industri sawit untuk ternak ruminansia x

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tandan buah sawit segar (A) dan tandan kosong (B) Bungkil inti sawit yang baru dihasilkan di pabrik pengolahan inti sawit Lumpur sawit atau solid decanter segar Pelepah dan daun sawit dikirimkan ke tempat perajangan Serat perasan buah sawit Pencacahan pelepah daun sawit menggunakan parang Perbandingan hasil cacahan daun sawit lengkap, A Pemotongan dengan mesin chopper, B. Pemotongan dengan mesin modifikasi shredder Campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit setelah difermentasi 42 jam dengan A. niger Cangkang sawit yang disisihkan dan tertinggal di dalam tempat pakan ayam Cangkang yang tinggal di dalam tembolok ayam petelur yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit (BIS) 20% selama 16 minggu xi

12

13 Pendahuluan 1. PENDAHULUAN 1.1. Kebutuhan pakan Indonesia Dewasa ini dunia sedang dihantui oleh krisis pangan, pakan dan energi atau yang disebut dengan krisis 3F (Food, Feed dan Fuel crisis). Hal ini terjadi karena permintaan terhadap ketiga komoditi tersebut terus meningkat, sementara produksi bahan baku stagnan, bahkan cenderung semakin berkurang. Meningkatnya pendapatan masyarakat di negara-negara yang selama ini ekonominya tertinggal, menyebabkan permintaan akan jumlah dan kualitas pangan yang semakin meningkat serta memerlukan energi yang lebih banyak untuk industri yang dapat memenuhi permintaan tersebut. Akibat yang bisa dilihat adalah naiknya harga bahan pangan dan energi yang terjadi diseluruh negara di dunia. Krisis energi (minyak bumi) juga sudah mendorong negara maju untuk menggunakan bahan yang semula dijadikan sebagai bahan pangan dan pakan, seperti jagung dan gandum menjadi bahan sumber energi asal nabati atau bio fuel. Disamping itu, banyaknya aktivitas manusia (terutama industri) yang menyebabkan kerusakan lingkungan sudah dapat kita rasakan dengan adanya perubahan iklim global atau global climate change. Perubahan iklim ini sangat mempengaruhi atau menurunkan produksi pangan di dunia. Krisis ini sudah diramalkan seperti tertuang dalam press release World Bank yang menyatakan bahwa pada tahun 2008 terjadi peningkatan 44 juta orang yang kekurangan pangan, sehingga jumlah yang kekurangan pangan menjadi 987 juta jiwa. Krisis ini juga terjadi di Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Indonesia mendorong pertumbuhan industri peternakan di Indonesia seperti terlihat dari peningkatan konsumsi produk peternakan (daging, susu dan telur). Dengan demikian, jumlah pakan yang di produksi juga terus bertambah. Perkembangan produksi pakan nasional dari tahun 2007 dapat dilihat pada 1

14 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Tabel 1. Selama kurun waktu 5 tahun tersebut terjadi peningkatan produksi pakan nasional dari ton menjadi ton atau meningkat 45,6%. Peningkatan produksi pakan tersebut ternyata lebih banyak berasal dari bahan impor. Dalam kurun waktu yang sama, total impor bahan pakan meningkat dari ton menjadi ton atau meningkat 128,8%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pakan di Indonesia sangat tidak mencukupi. Dari berbagai jenis bahan pakan yang diimpor, jumlah yang paling banyak diimpor adalah jagung dan bungkil kedelai. Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi daging, susu dan telur melalui program-program yang dicanangkan seperti PSDSK (Program swasembada daging sapi dan kerbau) dan intensifikasi ayam buras, perlu diikuti dengan program penyediaan pakan yang cukup. Tabel 1. Perkembangan jumlah impor bahan pakan Indonesia tahun ( 1000 ton) Jenis bahan pakan Tahun Jagung Bungkil kedelai Corn gluten meal Rapeseed meal Meat and bone meal Poultry by-product meal Tepung bulu DDGS (hasil samping bioethanol) Total Produksi pakan Nasional Sumber: Ditjen PKH (2012)

15 Pendahuluan Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencukupi bahan pakan di dalam negeri adalah dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang jumlahnya banyak tersedia, namun belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan. Di Indonesia, industri sawit (mulai dari perkebunan hingga pengolahan hasilnya) cukup berkembang beberapa tahun terakhir. Industri sawit merupakan sumber pakan yang potensil yang belum banyak dimanfaatkan dalam industri peternakan. Selain itu, minyak sawit atau CPO yang bisa digunakan sebagai sumber energi dalam pakan, produk ikutan seperti pelepah dan daun, lumpur sawit atau solid decanter, bungkil inti sawit, janjang kosong dan serabut sisa perasan buah sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak ruminan dan atau non-ruminan. Semua bahan-bahan tersebut mempunyai faktor pembatas bila digunakan secara langsung di dalam ransum ternak. Akan tetapi, beberapa teknologi yang merupakan hasil penelitian di Indonesia maupun di luar negeri dapat mengurangi kendala tersebut sehingga bahan-bahan tersebut dapat digunakan, seperti diuraikan dalam buku ini. 3

16 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit 2. POTENSI PRODUK HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT 2.1. Perkembangan industri sawit Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit memperkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan umat manusia. Minyak sawit menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia setelah minyak nabati yang berasal dari biji kedelai (Fold, 2003). Kalau dulu Indonesia menempati urutan ke dua terbesar penghasil minyak kelapa sawit setelah Malaysia, maka saat ini Indonesia sudah menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Demikian penting arti minyak nabati asal kelapa sawit, menyebabkan luas wilayah pengembangannya, khususnya di Indonesia hingga saat ini sangat pesat. Di Indonesia, tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) telah dikenal sejak tahun 1848 yang pertama kali ditanam di kebun Raya Bogor (Corley, 2003), sementara pengembangannya sebagai penghasil minyak kelapa sawit yang sangat dibutuhkan umat manusia dimulai pada tahun Laju pertumbuhan luas tanam kelapa sawit setiap tahunnya di Indonesia mencapai 12,6% (Liwang, 2003). Diperkirakan luas tanam kelapa sawit, khususnya perkebunan swasta dan perorangan akan terus bertambah dan hingga saat ini (2011) luas tanam telah mencapai 8,1 juta Ha serta menduduki urutan pertama dunia dalam luas tanam. Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (Corley, 2003), khususnya ternak ruminansia sebagai pabrik biologis yang dapat memanfaatkan biomasa produk samping industri tersebut sebagai bahan baku pakan, sekaligus dapat dijadikan media penyedia bahan baku 4

17 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit pupuk organik. Sebagai ternak ruminansia, kebutuhan dasar sapi potong yang paling hakiki adalah pakan hijauan. Sistem pencernaan ternak sapi mulai berfungsi sejak ternak tersebut lahir, meskipun belum sempurna sebagaimana yang terjadi pada ternak dewasa. Setelah melewati fase menyusui, sapi memiliki kemampuan untuk merubah bahan pakan yang tidak dapat dimanfaatkan manusia menjadi produk sumber pangan dan sandang, seperti daging dan kulit. Secara garis besar produk samping yang dihasilkan dari industri sawit dapat dipisahkan atas dasar sumber/asal produk samping ke dalam dua kelompok, yakni yang berasal dari kebun/kawasan tanaman dan pabrik pengolahan buah kelapa sawit (PKS) dan inti sawit (PKO) Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia Bahan pakan biasanya dibedakan untuk ternak ruminansia dan non-ruminansia karena adanya perbedaan dalam sistem pencernaan kedua jenis ternak tersebut. Berbeda halnya dengan ternak ruminansia, ternak non-ruminansia mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam mencerna bahan pakan berserat kasar tinggi. Oleh karena itu, tidak semua produk samping industri sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak non-ruminansia. Hasil samping industri sawit, yang dapat digunakan sebagai pakan untuk ternak non-ruminansia adalah bungkil inti sawit dan lumpur sawit atau solid decanter. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan sisa padatan setelah pemerasan inti sawit untuk menghasilkan minyak inti sawit. BIS sudah umum diperdagangkan dan digunakan sebagai pakan, terutama untuk ternak ruminansia di negara maju. Sampai saat ini, kebanyakan (sekitar 90%) dari BIS yang diproduksi di dalam negeri di ekspor ke luar negeri, sehingga hanya sekitar 10% yang digunakan di dalam negeri. 5

18 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Lumpur sawit merupakan limbah dari proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) yang diperoleh dengan cara mensentrifusi limbah cairan dengan menggunakan alat yang disebut decanter. Pada saat ini tidak semua pabrik penghasil CPO di Indonesia menghasilkan lumpur sawit, tergantung dari peralatan yang digunakan. Saat ini, sebagian besar lumpur sawit yang dihasilkan masih belum digunakan sebagai pakan, tetapi disebarkan di kebun sebagai pupuk. BIS dan lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan unggas maupun babi karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak meskipun sampai saat ini belum lazim dipakai. Perkebunan sawit dan produksi minyak sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut adalah ton, ton dan ton (Anonymous, 2012). Oleh karena itu, potensi produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit juga cukup besar. Menurut Devendra (1978), produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit (setara kering) adalah sekitar 2,5% dari tandan buah segar (TBS) yang diproses (Gambar 1). Dengan demikian, potensi produksi lumpur sawit juga sama besarnya dengan jumlah bungkil inti sawit yang diproduksi. Statistik produksi bungkil inti sawit selama 5 tahun terakhir terus meningkat seperti disajikan dalam Tabel 2 (Purba dan Panjaitan, 2011). Tabel 2. Produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit Indonesia tahun ( 1000 ton) Produk samping Tahun Bungkil inti sawit ** Lumpur sawit* ** * Potensi produksi berdasarkan perkiraan ** Untuk tahun 2011 adalah angka perkiraan Sumber: Purba dan Panjaitan (2011) 6

19 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit A B Gambar 1. Tandan buah sawit segar (A) dan tandan kosong (B) Bungkil inti sawit Bungkil inti sawit di Indonesia umumnya merupakan hasil proses pemerasan dengan menggunakan expeller, sehingga berbentuk granul atau lempengan seperti bungkil kedelai, berwarna kecoklatan (Gambar 2). BIS mempunyai berat jenis (specific gravity) 1,4 1,5 dan kerapatan atau bulk density 0,58 0,63 (Jaelani dan Firahmi, 2007). BIS dihasilkan dalam bentuk 7

20 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit kering dengan kadar air sekitar 10%, oleh karena itu, kandungan aflatoksin BIS umumnya cukup rendah, karena jamur penghasil aflatoksin (Aspergillus flavus) tidak dapat tumbuh bila kadar air bahan pakan <14%. Hasil analisis yang dilakukan pada 20 sampel bungkil inti sawit yang diambil dari Jambi, Lampung, Pontianak dan Surabaya menunjukkan rata-rata cemaran aflatoksin B 1 adalah 49 g/kg dengan kisaran 5,79 93,10 g/kg (Pranowo et al., 2009). Gambar 2. Bungkil inti sawit yang baru dihasilkan di pabrik pengolahan inti sawit Salah satu kendala yang sering dikeluhkan dalam penggunaan BIS sebagai bahan pakan adalah terdapatnya pecahan cangkang yang cukup banyak sekitar 15 20% (Chin, 2002; Sinurat et al., 2008). Pecahan cangkang ini secara otomatis mengurangi nilai gizi BIS dan kurang disukai ternak ( kurang palatabel ) serta mungkin dapat menyebabkan luka pada usus ternak muda. Kandungan gizi BIS sangat bervariasi. BIS yang merupakan hasil pemerasan mekanis, mempuyai kandungan minyak sekitar 7 9%, protein kasar 12 16%, energi metabolis (ME):

21 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit 2654 kcal/kg. BIS juga mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi (12 16%), yang merupakan salah satu faktor pembatas lain dalam penggunaannya sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia. Ketersediaan asam amino essensil (essential amino acid digestibility) BIS tidak terlalu rendah, yaitu berkisar antara 66,7 92,7% (Onwudike, 1986). Kandungan gizi BIS secara detail disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Komposisi zat gizi lumpur sawit dan bungkil inti sawit Kandungan nutrisi Lumpur sawit kering Bungkil inti sawit Bahan kering, % Serat kasar, % 29,76 11,9 15,3 NDF, % 62,77 73,3 76,1 ADF, % 44,29 42,5 46,8 Gross energi (kkal/kg) Energi metabolis (ME), kkal/kg* Energi metabolis (ME), kkal/kg** TDN (%)*** 70, Lemak (%) 10,4 9,60 Protein kasar, % 11,94 14,2 Asam Amino, % - - Threonin 0,33 (22,8)@ 0,31 (85,3)# Arginin 0,21 (21,1) 1,12 (92,7) Alanin 0,56 (29,3) 0,47(83) Methionin 0,14 (22,1) 0,41 (92,1) Sistin 0,13 0,30 (68,4) Valin 0,48 (28,1) 0,55 (66,7) Fenilalanin 0,21 (26,6) 0,39 (91,6) Leusin 0,52 (26,4) 0,71 (90,6) Lisina 0,31 (8,3) 0,49 (88,9) Triptofan - 0,10 Kadar abu, % 10,40 4,24 9

22 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Tabel 3. (Lanjutan) Kandungan nutrisi Lumpur sawit kering Bungkil inti sawit Kalsium (Ca), % 0,74 0,35 Fosfor (P), % 0,46 0,59 Natrium (Na), % 0,12 0,009 Magnesium (Mg), % 0,50 0,27 Besi (Fe), mg/kg 13 4,05 Tembaga (Cu), mg/kg 2,7 28,5 Seng (Zn), mg/k 0,34 77,0 Mangan (Mn), mg/kg Tembaga (Pb), mg/kg 51,13 24,10 Aluminium (Al), mg/kg Cadmium (Cd), mg/kg Tdk terdeteksi Tdk terdeteksi Cobalt (Co), ppm 3,24 0,37 * Untuk ternak unggas; **Untuk ternak babi; ***Untuk ternak ruminansia # Persentase asam amino tercerna pada unggas (Onwudike, Persentase asam amino tercerna pada unggas (Yeong, 1983) Lumpur sawit Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m 3 /ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu BOD sekitar mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter yang menghasilkan solid decanter atau lumpur sawit (Gambar 3). Lumpur sawit atau solid decanter yang dihasilkan industri pengolahan sawit masih belum dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang atau disebar begitu saja di lahan perkebunan. Bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong, 1982). Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, 10

23 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit dan bahan kering mengandung protein kasar 11 14% dan lemak kasar 10 14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Bila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur.yang berwarna kekuningan. Bila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non-ruminansia. Komposisi kimia dan kandungan gizi lumpur sawit yang dikutip dari berbagai sumber pustaka disajikan pada Tabel 3. Besarnya variasi komposisi kimia lumpur sawit sangat tergantung pada banyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia Adanya rumen pada ternak ruminansia yang merupakan tempat hidupnya banyak mikroba yang dapat memecah serat, membuat ternak ini mampu menggunakan bahan pakan berserat tinggi. Oleh karena itu, hampir semua produk samping industri sawit seperti pelepah dan daun, serat perasan buah, lumpur sawit dan bungkil inti sawit dan hijauan yang ada disekitar kawasan kebun kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan untuk ternak ruminansia. Gambar 3. Lumpur sawit atau solid decanter segar 11

24 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Produk samping tanaman kelapa sawit Pelepah, daun dan batang. Pola tanam kelapa sawit dengan jarak tanam antar pohon 9 9 m dapat menampung 143 pokok tanam untuk setiap ha. Namun pada kenyataan di lapang menunjukkan bahwa jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap ha areal perkebunan hanya dapat mencapai 130 pohon. Variasi Gambar 4. Pelepah dan daun sawit dikirimkan ke tempat perajangan jumlah tanaman pokok yang dapat tumbuh tersebut dimungkinkan karena kondisi wilayah yang berbeda-beda. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa untuk setiap pohon sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun (Diwyanto et al., 2004) dengan rataan bobot pelepah per batang mencapai 7 kg (Sitompul, 2004). Jumlah ini setara dengan kg (22 pelepah 130 pohon 7 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap ha dalam setahun. Jumlah ini diperoleh dengan asumsi bahwa semua bagian pelepah dapat dimanfaatkan. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap Ha adalah kg. Perolehan data di lapang menunjukkan pula bahwa untuk setiap pelepah dapat menyediakan daun kelapa sawit sejumlah 0,5 kg. Nilai tersebut 12

25 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit setara dengan bahan kering sejumlah 658 kg/ha/tahun (Tabel 4). Dari uraian di atas, tercatat bahwa untuk setiap ha tanaman kelapa sawit dapat menyediakan bahan baku pakan yang dapat dipergunakan sebagai pakan pengganti hijauan sebanyak kg setiap tahunnya. Jika diasumsikan bahwa biomassa tersebut diberikan pada ternak sapi sejumlah 50% (terbuang dalam bentuk sisa, 10%) dari kebutuhan satu satuan ternak (ST) ruminansia dengan bobot hidup 250 kg (konsumsi bahan kering 3,5% dari bobot hidup), maka jumlah pelepah-daun dapat menyediakan bahan pakan pengganti hijauan sejumlah 3,7 ST/ha/tahun. Tabel 4. Produk samping tanaman, olahan kelapa dan inti sawit untuk setiap ha/tahun Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Bahan Kering (kg) Daun tanpa lidi , Pelepah , Tandan kosong , Serat perasan , Solid decanter , Bungkil inti sawit , Cangkang Total biomassa Asumsi yang digunakan: Daya tampung pohon kelapa sawit: 130 pokok/ha Produksi pelepah: 22 pelepah/pohon/tahun Bobot pelepah: 7 kg/pelepah Bobot daun per pelepah: 0,5 kg Tandan kosong 23% dari TBS Produksi minyak sawit 4 ton per Ha per tahun 1000 kg TBS menghasilkan: 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil inti sawit Produksi cangkang 6% TBS 13

26 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Dengan asumsi bahwa luasan perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi (60% kondisi TM) adalah 4,86 juta ha (tahun 2011), maka pelepah-daun yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan hijauan sumber serat adalah sejumlah 28 juta ton bahan kering. Dengan perkataan lain, jumlah tersebut dapat memenuhi kebutuhan pakan pengganti hijauan untuk sejumlah 17,8 juta ST ruminansia. Selain itu, pelepah dan daun, perkebunan tanaman kelapa sawit juga menyediakan bahan pakan yang dapat dipergunakan sebagai pengganti hijauan dalam bentuk pucuk batang kelapa sawit. Biomassa tersebut dapat diperoleh pada saat tertentu, yakni pada saat peremajaan tanaman dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan asal batang kelapa sawit bersifat sementara dan tidak berkelanjutan Produk samping pengolahan buah kelapa sawit Lumpur sawit, bungkil inti sawit, serat perasan dan tandan buah kosong. Proses ekstrasi buah sawit akan menghasilkan produk utama dalam bentuk minyak sawit (palm oil), sementara hasil ikutan yang diperoleh berbentuk tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil inti sawit. Liwang (2003) Gambar 5. Serat perasan buah sawit 14

27 Potensi Produk Hasil Samping Industri Sawit melaporkan bahwa produksi minyak sawit (palm oil) yang dapat dihasilkan untuk setiap ha adalah empat ton per tahun. Jumlah tersebut dapat dihasilkan dari 16 ton tandan buah segar (Jalaludin et al., 1991a). Selanjutnya dikatakan bahwa dari setiap kg tandan buah segar (TBS) dapat diperoleh produk utama berupa minyak sawit sejumlah 250 kg dan produk samping sejumlah 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan (jumlah bahan kering) dengan kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit dan kg serat perasan dan kg tandan kosong untuk setiap ha/tahun (Tabel 4). Atas dasar nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa produk samping pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang dapat dihasilkan dari pabrik pengolahan kelapa dan inti sawit yang ada di Indonesia (asumsi luas tanam yang telah berproduksi/kondisi TM; 4,86 juta Ha) adalah 5,5 juta ton lumpur sawit, 2,5 juta ton bungkil inti sawit, 13 juta ton serat perasan dan 16,5 juta ton tandan kosong. Dengan perkataan lain, jumlah produk samping dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang tersedia dan berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dalam setahun adalah 37,5 juta ton bahan kering. Selain itu, bungkil inti sawit (BIS), cangkang inti sawit merupakan produk samping pengolahan inti sawit dengan jumlah yang mencapai 960 kg/ha/tahun, namun demikian biomassa cangkang sawit tidak dapat dimanfaatkan sebagai komponen bahan pakan ternak Nilai gizi produk samping industri sawit Kandungan nutrien yang terdapat dalam produk-produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa serta inti sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia (Jalaludin et al., 1991a), Indonesia (Aritonang, 1984; Mathius et al., 2004b) dan Nigeria. Dari Tabel 5, terlihat bahwa kandungan nutrien produk samping tanaman (pelepah dan daun) kelapa sawit cukup rendah. 15

28 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut (soluble sugars) yang cukup banyak, yaitu sekitar 22% (Ishida dan Abu Hassan, 1997). Secara umum, kandungan nutrien yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan produk samping tanaman pangan dan pakan hijauan yang terdapat di daerah tropika. Hasil ikutan pengolahan buah dan inti kelapa sawit seperti lumpur/solid dan bungkil inti sawit mengandung protein kasar yang berpotensi untuk dapat dijadikan bahan ransum berkualitas (Tabel 5). Tabel 5. Komposisi nutrien produk samping tanaman, pengolahan buah kelapa dan inti sawit Bahan/ produk samping Daun tanpa lidi BK% Abu PK SK L Ca P % Bahan kering GE (kal/g) 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 0,84 0, Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 1,07 0,96 0, Solid decanter 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 1,08 0, Bungkil inti sawit 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 0,56 0, Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3,22 0,30 0, Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70 0,24 0, BK: Bahan kering; PK: Protein kasar; SK: Serat kasar; L: Lemak; Ca: Kalsium; P: Fosfor; GE:Gross energi (energi bruto) Sebagaimana pada produk samping industri pertanian lainnya, tingginya kandungan serat kasar produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlakuan dimaksud dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi, baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasi diantaranya. 16

29 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit 3. KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT Upaya meningkatkan pemanfaatan produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan hasil pertanian, merupakan pilihan yang harus ditempuh dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, baik ruminansia maupun non-ruminansia. Berbagai pendekatan telah dan terus dikembangkan dalam upaya penyempurnaan teknologi agar kualitas produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan produk utama dapat ditingkatkan dan dapat dipergunakan secara optimal sebagai bahan penyusun ransum lengkap. Peningkatkan nilai nutrisi dan biologis produk samping pertanian tersebut dapat dicapai dengan pendekatan inovasi teknologi tertentu. Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk meningkatkan nilai nutrisi produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan hasil pertanian agar dapat berdayaguna tinggi pada ternak adalah: (i) Perlakuan fisik (cacah, giling, temperatur dan tekanan); (ii) Perlakuan kimia dengan asam dan basa (NaOH, urea); (iii) Secara enzimatis dan biologis dengan mempergunakan mikroorganisme; dan (iv) Kombinasi ketiga metode diatas. Penerapan proses teknologi tergantung pada jenis dan komposisi senyawa organik yang terdapat pada produk hasil samping. Secara umum pendekatan fisik dilaporkan kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan nilai biologis produk olahan. Sementara itu, pendekatan dengan kimia mulai ditinggalkan karena pada umumnya berdampak negatif baik terhadap ternak yang mengkonsumsinya maupun terhadap lingkungan, meskipun dalam skala terbatas (skala laboratorium) masih dimungkinkan. Pendekatan yang cukup dapat diterima pengguna dan memberikan hasil yang berdayaguna serta cukup memuaskan adalah pendekatan secara biologis (bio proses), dan dalam penerapannya di lapang mudah diterima pihak pengguna. 17

30 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Pendekatan biologis dimaksud antara lain melalui proses fermentasi dan enzimatis (tergantung substrat dan target yang diinginkan) Teknologi pengolahan batang kelapa sawit (oil palm trunk) Batang kelapa sawit merupakan hasil ikutan yang dapat diperoleh pada waktu peremajaan tanaman dilakukan. Biomassa batang kelapa sawit dapat mencapai 84 ton/ha. Jaringan batang kelapa sawit terdiri atas bagian kulit luar dan bagian tengah yang dibangun oleh jaringan parenkim. Bagian kulit luar dan jaringan parenkim berturut turut mengandung kadar abu 2,2 dan 2,9%; kadar pati 2,4 dan 55,5%; dan kadar lignin 15,7 dan 20,0%. Kadar pati yang cukup tinggi pada bagian tengah batang sawit ini menyebabkan jaringan ini dapat digunakan sebagai sumber energi pakan ruminansia. Pengolahan dapat dilakukan dengan memisahkan bagian luar batang dan mencacah bagian lunak pada bagian dalam (Tomimura 1992). Peningkatan kecernaan batang sawit dapat dilakukan dengan larutan NaOH 10%, yang meningkatkan kecernaan bahan organik dari 20 23% menjadi 63% (Oshio et al., 1988). Penggunaan batang sawit menjadi terbatas, karena pengumpulan batang sawit hanya terjadi bila tanaman sudah tidak produktif Teknologi pengolahan daun (oil palm leaf) dan pelepah sawit (oil palm prond) Daun sawit yang merupakan daun majemuk terdiri atas pelepah, lidi dan helai daun berpotensi sebagai bahan pakan hijauan ruminansia. Produksi daun segar tanpa lidi dan pelepah mencapai masing-masing dan kg/ha (Tabel 4). Daun dan pelepah tersebut diambil bersamaan dengan pemanenan buah, sehingga bila tidak digunakan untuk ternak, akan dibiarkan membusuk pada area perkebunan sawit (Wan Zahari et al., 1999). 18

31 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit Pada awalnya penggunaan pelepah lebih disukai daripada daun keseluruhan, karena produk pelepah tersedia lebih banyak (Tabel 5). Selain itu, pada bagian tengah daun sawit terdapat lidi, yang sebaiknya dipisahkan sebelum pemberian ke ternak. Pelepah dipisahkan dari daun, dikuliti dan dicacah berukuran kubus 1 2 cm secara manual (Gambar 6). Pelepah diberikan pada ternak sebagai pengganti hijauan dalam bentuk segar atau kering oven. Pelepah giling hasil rajangan mesin shreder sebanyak 50% dapat pula diolah bersama komponen lainnya membentuk pelet sebagai pakan lengkap (Dahlan et al., 2000). Campuran lain yang digunakan adalah 15% bungkil inti sawit, 6% dedak padi, 6% kulit kedelai, 15% molases, 2% tepung ikan, 4% urea, 0,5% NaCl dan 1,5% campuran mineral. Pembentukan pakan lengkap juga dilakukan di Loka Kambing Potong, namun jumlah pelepah yang diberikan pada pakan lengkap tersebut lebih rendah yaitu 40%. Gambar 6. Pencacahan pelepah daun sawit menggunakan parang Pemotongan daun lengkap dapat dilakukan dengan mesin chopper/pemotong rumput (Gambar 7A). Hasil dari pemotongan mesin ini menunjukkan potongan lidi cukup besar, yang dapat mengganggu sistem pencernaan ternak. Saat ini PPKS Medan, Kebun Percobaan Bukit Sentang memotong daun sawit 19

32 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit keseluruhan tanpa pemisahan lidi dan kulit pelepah (Gambar 4B). Mesin ini dapat menghancurkan pelepah sawit termasuk komponen lidi menjadi seperti tepung, sehingga akan baik digunakan untuk pembuatan pelet. Penghancuran dengan menggunakan mesin shreder atau dengan modifikasinya yang membentuk tepung lebih disarankan karena tingkat palatabalitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan yang di cacah. (A) Gambar 7. Perbandingan hasil cacahan daun sawit lengkap, A Pemotongan dengan mesin chopper, B. Pemotongan dengan mesin modifikasi shreder Selain dengan cara fisik yaitu pengeringan, perajangan, penggilingan dan pembentukan pelet, pengelolaan awal pelepah daun sawit sebagai pengganti hijauan ternak ruminansia diterapkan dengan proses kimia dan biologi yaitu perendaman dengan NaOH, amoniasi dan silase, atau dicampurkan dengan tepung daun singkong atau dengan hasil limbah pertanian seperti BIS, lumpur sawit, dedak padi, atau molases (Tabel 6). Pengolahan dengan peletisasi (membuat dalam bentuk pelet) tidak meningkatkan nilai kecernaan pelepah, meskipun tingkat palatabilitasnya meningkat (Kawamoto et al., 2001). Oleh karena itu, proses pembuatan pelet berbahan pelepah hanya disarankan untuk meningkatkan konsumsi bahan kering. Perlakuan tunggal (B) 20

33

34 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit silase umumnya tidak meningkatkan kecernaan, tetapi meningkatkan palatabilitas. Perlakuan ini dapat dengan mudah dilakukan di pedesaan, hanya dianjurkan dilakukan untuk pengawetan bukan untuk meningkatkan gizi bahan pakan. Waktu inkubasi dapat mengikuti lamanya penyimpanan (30 60 hari), karena selama penyimpanan silase terjaga dalam keadaan anaerob, kualitas silase akan terjaga. Waktu fermentasi yang pendek yaitu 6 hari dilaporkan oleh Hamidah et al. (2011). Pemberian molases dan amonia pada perlakuan silase akan meningkatkan pertumbuhan mikrob selama fermentasi dan akhirnya juga meningkatkan nilai gizi produk silase. Penambahan tepung daun singkong, senyawa belerang (S) dan fosfor (P) dapat meningkatkan kadar protein dan sumber mineral yang berguna untuk mikrob pada fermentasi rumen (Nurhaita et al., 2010). Perlakuan alkali dengan menggunakan NaOH dan amonia, meningkatkan kecernaan serat karena menggembungkan molekul serat sehingga mempermudah enzim selulase dan hemiselulase mencerna serat. Selain meningkatkan kecernaan serat, juga meningkatkan degradasi protein yang berikatan dengan dinding sel. Efektivitas perlakuan alkali terhadap produk samping pertanian berserat tinggi, dipengaruhi oleh tingkat pemberian senyawa alkali, suhu, lama perlakuan dan kadar air, serta tipe dan kualitas substrat/bahan yang diproses. Perlakuan NaOH harus dipertimbangkan terhadap palatabilitas dan penanganan limbah hasil pencucian penggunaan alkali. Perlakuan amonia (1 4%) lebih disukai, karena akan meningkatkan kandungan amino non protein dalam fermentasi rumen, serta meningkatkan kadar protein sel, hasil pertumbuhan mikrob indiginous pada pelepah terutama yang diinkubasi. Bau amoniak yang timbul pada pelepah amoniasi dapat dihindari dengan dibiarkan terbuka sebelum diberikan pada ternak. Perlakuan amoniasi pada pelepah kelapa sawit belum memberikan hasil yang signifikan (Ishida dan AbuHassan, 1997; Wan Zahari et al., 2003), tetapi Ishida dan Abu Hassan (1997) melaporkan penambahan 1 2% urea dapat 22

35 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit mencegah kerusakan yang dapat terjadi pada silase pelepah yang telah dikeluarkan dari silo. Selanjutnya dilaporkan pemberian urea pada pelepah yang telah diberi perlakuan uap panas menurunkan tingkat kecernaan bahan kering pelepah. Dari uraian di atas terlihat bahwa upaya meningkatkan nilai nutrisi dan biologis pelepah belum memberikan hasil yang memuaskan. Pelepah yang berlimpah dan tersedia setiap saat untuk dapat dijadikan bahan baku pengganti pakan hijauan, memungkinkan kita untuk sementara waktu menggunakan produk tersebut dalam keadaan segar. Keterbatasan nilai gizi pada pelepah sawit menyebabkan perlakuan yang efektif didapatkan bila dicampurkan dengan bahan lain baik dalam bentuk segar/kering (Dahlan et al., 2000) atau dicampurkan bersamaan dan setelah silase (Nurhaita et al., 2010; Hamidah et al., 2011). Pemberian pelepah optimum dicapai pada proporsi pelepah daun sawit 50% Teknologi pengolahan tandan kosong (empty fruit bunches) dan serat perasan buah sawit (palm press fiber) Tandan kosong merupakan tandan yang sudah diperotoli buahnya dan biasanya digunakan di kebun sawit sebagai mulsa, sedangkan serat perasan buah sawit merupakan hasil samping pemerasan buah untuk menghasilkan CPO (crude palm oil). Serat perasan buah umumnya digunakan sebagai bahan bakar di pabrik sawit. Kedua bahan ini merupakan bahan yang potensial untuk digunakan sebagai sumber serat untuk ternak ruminansia. Jumlah serat perasan buah sawit yang dihasilkan tandan kosong dan serat perasan buah berturut-turut dalam 1 hektar kebun per tahun mencapai dan 2.681kg (Tabel 4). Total Digestible Nutrient (TDN) tandan kosong belum dilaporkan, karena sangat keras dan berbentuk gumpalan, sedangkan serat perasan buah yang seperti serabut dilaporkan mempunyai TDN 56%. TDN serat perasan menyerupai rumput gajah, namun mempunyai kadar protein 23

36 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit (6,2%) yang lebih rendah daripada rumput gajah (10,2%). Kandungan serat kasar tandan kosong mencapai sekitar 48%, oleh karena itu untuk meningkatkan nilai gizinya perlu dilakukan proses yang dapat meningkatkan kadar protein dan daya cerna serat (Suharto, 2003). Perlakuan secara kimia dengan menggunakan 8% natrium hidroksida (NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58,0% (Jalaludin et al., 1991b). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa penggunaan natrium hidroksida hingga 12% (12 g NaOH/100g bahan) dan dengan perlakuan fisik (tekanan uap), ataupun kombinasi perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit. Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan. Proses fermentasi tandan kosong dengan inokulum Trichoderma harzianum (2%) telah dilaporkan Akbar (2007) dan dicobakan sebagai pakan untuk domba jantan lokal Sumatera Barat. Tandan kosong digiling, dikukus, dicampurkan dengan dedak padi, urea dan larutan mineral, diinokulasi, dan diinkubasi selama 6 hari. Kadar protein tandan kosong hasil fermentasi meningkat menjadi 23,2%, sedangkan kadar serat kasar turun menjadi 23,2% dan nilai TDN menjadi 66,8%. Walaupun nilai gizi tandan kosong fermentasi ini terlihat baik, tetapi penggantian 100% hijauan rumput dilaporkan tidak disukai domba. Penggunaan produk fermentasi ini dapat menghasilkan nilai efisiensi yang lebih baik daripada kontrol rumput lapang bila ditambahkan 4% tepung lerak dan 10% tepung daun kaliandra (Akbar, 2007). Teknologi amofer (amonia fermentasi) pada tandan kosong, pelepah dan serat sudah dilakukan oleh Mayulu et al. (2012). Teknologi ini merupakan teknologi fermentasi anaerob atau yang dikenal sebagai silase, namun ditambahkan urea 3% dan inokulum komersial. Inokulum komersial yang ditambahkan mungkin berupa inokulum pemecah serat sebagai sumber untuk 24

37 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit pembentukan monomer gula (seperti glukosa, xilosa) yang bersama urea sebagai sumber amonia membentuk protein sel mikrob. Mayulu et al. (2012) melakukan fermentasi selama 18 hari, dan hasil fermentasi digabungkan dengan bahan konsentrat yang lain menjadi pelet pakan lengkap untuk domba. Evaluasi pada profil darah dan fungsi hati domba menunjukkan bahwa produk fermentasi limbah sawit tersebut dapat digunakan sebagai bahan pakan pengganti hijauan. Zain (2007) melakukan fermentasi serat perasan sawit yang diamoniasi dengan cairan urea (perbandingan serat : urea : air adalah 100 kg: 6 kg : 100 L) secara anaerob selama 21 hari. Perlakuan serat amoniasi ini tetap kurang disukai dibandingkan dengan kontrol (rumput). Namun, konsumsi pakan meningkat bila ditambahkan daun singkong sebanyak 15%, meskipun belum menyamai kontrol. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian tandan kosong dan serat perasan buah sebagai pengganti hijauan dapat dilakukan bila fermentasi ditambahkan amonia, atau senyawa mineral yang menyokong pertumbuhan mikroba indigenous (mikroba yang terdapat secara alami pada bahan) dan diinokulasi dengan mikroba pemecah serat. Mikroba indigenous pada serat tidak cukup untuk menguraikan serat selama fermentasi, sehingga perlu ditambahkan. Pemilihan jenis inokulum lebih baik disesuaikan dengan kondisi fermentasi pada inokulum yang bersifat aerob seperti Trichoderma harzianum dan T. reseei lebih baik dilakukan secara aerob seperti proses komposting, sedangkan pada inokulum anaerob seperti mikroba isi rumen dilakukan secara anaerob seperti proses silase. Penambahan amonia juga perlu memperhatikan pelepasan senyawa tersebut. Apabila proses amoniasi dilakukan secara tertutup, maka zat kimia tersebut dapat tetap dalam lingkungan, sedangkan bila dilakukan secara terbuka maka ph sebaiknya dipertahankan di sekitar atau lebih kecil dari 7, sehingga tidak terjadi pelepasan amonia ke udara. 25

38 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit 3.4. Teknologi pengolahan lumpur sawit (palm oil sludge) Lumpur sawit merupakan hasil ikutan proses ekstraksi minyak sawit yang mengandung bahan organik yang cukup tinggi. Tingginya kadar bahan organik pada produk samping menimbulkan masalah lingkungan, baik pada emisi metana dan CO 2, maupun polusi pada daerah perairan pada lokasi limbah cair dialirkan. Tingginya kadar bahan organik juga menyebabkan proses pengolahan limbah cair tidak dapat hanya menggunakan pengolahan secara anaerob maupun aerob. Upaya untuk mengatasinya telah dilakukan dengan memisahkan padatan lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan, khususnya untuk ternak ruminansia (Webb et al., 1976). Pemisahan padatan dari cairan sisa pengolahan buah sawit dilakukan dengan alat dekanter dan menghasilkan lumpur sawit. Lumpur sawit dekanter (LSD) ini mengandung 75% kadar air, sehingga bila tidak digunakan dalam keadaan segar harus dikeringkan terlebih dahulu. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari atau dengan oven pada suhu 50 C. Penggunaan oven dengan blower akan mempercepat proses pengeringan, menurunkan suhu pengeringan (40 C) dan mempertahankan nilai gizi LSD. LSD diketahui mengandung protein kasar 11,9 14,6%, serat kasar 29,8 35,9% dan lemak 10,4 14,7% (Tabel 3 dan 5). Kandungan protein lumpur sawit lebih tinggi dari jagung dan dapat dimanfaatkan untuk pakan. Namun, kadar serat kasar, NDF dan ADF yang relatif tinggi menurunkan nilai gizi lumpur sawit untuk pakan ternak non-ruminansia. Usaha untuk meningkatkan kandungan nilai gizi LSD telah pula dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerob. Proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi metabolis menjadi kkal/kg (Yeong et al., 1983). Teknologi fermentasi lumpur sawit dengan menggunakan Aspergillus niger, telah dikembangkan di Balai Penelitian Ternak 26

39 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit (Sinurat et al., 1998; Pasaribu et al., 1998; Purwadaria et al., 1999). Pada proses fermentasi ini dilakukan penambahan campuran mineral dalam lingkungan fermentasi aerob yang diikuti dengan proses anaerob untuk memanfaatkan kinerja enzim (proses enzimatis). Fermentasi aerob dilakukan untuk pembentukan sel kapang dan enzim hidrolisis yang berguna untuk meningkatkan kecernaan LSD, sedangkan proses anaerob dilakukan untuk menekan pertumbuhan kapang, tetapi mempertahankan aktivitas enzim hidrolisis (Sinurat et al., 2007). Proses ini menghasilkan produk fermentasi dengan nilai gizi: protein kasar meningkat dari 12,2 menjadi 24,5%, sementara kandungan energi termetabolis meningkat dari kkal/kg menjadi kkal/kg (Sinurat et al., 2005) dan daya cerna protein meningkat dari 11,0 menjadi 30,3% (Bintang et al., 2000). Walaupun pertumbuhan kapang dalam proses fermentasi dapat meningkatkan kadar protein, karena mengubah molekul karbohidrat dan N-anorganik menjadi protein sel mikroba, fermentasi melebihi masa inkubasi optimum dapat menurunkan bobot kering dan meningkatkan kadar serat produk fermentasi. Hasil produk fermentasi juga menunjukkan aroma yang lebih baik daripada produk fermentasi kering, hal ini mungkin terkait dengan berkurangnya kadar minyak pada proses fermentasi yang berkorelasi dengan berkurangnya potensi pembentukan ketengikan. Hubungan proses fermentasi dengan kadar lemak dan nilai bilangan peroksida (potensi ketengikan) telah dipelajari selama proses fermentasi dan pada penyimpanan hasil fermentasi bungkil kelapa (Hamid et al., 1999). Aktivitas enzim hidrolisis seperti mananase (pemecah hemiselulosa-manan) dan selulase (pemecah serat kasarselulosa) yang terbentuk pada waktu fermentasi aerob, juga terdeteksi pada hasil produk fermentasi meskipun telah dikeringkan. Aktivitas ini sangat bermanfaat bila produk fermentasi digunakan sebagai pakan monogastrik, yang dapat berfungsi pada saluran pencernaan monogastrik (Purwadaria et al., 1998). 27

40 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Aktivitas kedua enzim tidak terlalu bermanfaat pada ternak ruminansia, karena kedua aktivitas enzim ini terjadi secara alami didalam rumen, akibat aktivitas mikroorganisme rumen. Perlakuan fermentasi pada LSD juga telah dilaporkan menggunakan fungi pemecah lignin Phanerochaeta chrysosporium (Noferdiman, 2009). Meskipun proses fermentasi yang dilakukan tidak dijelaskan dengan rinci, dilaporkan proses fermentasi dapat menurunkan kadar serat. Percobaan di dalam laboratorium yang dipublikasi umumnya dilakukan pada LSD yang dikeringkan, sehingga pada waktu proses fermentasi ditambahkan air dan umumnya persiapan substrat melalui proses pengukusan untuk proses gelatinasi dan pengurangan mikroorganisme kontaminan. Aplikasi fermentasi di lapangan tidak memerlukan proses pengukusan, karena LSD dapat langsung ditampung dari dekanter pada lingkungan suhu yang cukup tinggi (70 80 C) sehingga proses gelatinasi sudah terjadi dan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan masih sangat minim. Pengaruh proses gelatinasi pada molekul karbohidrat solid akan berubah bila dikeringkan, pada serat selulosa dapat terbentuk proses rekristalisasi. Proses rekristalisasi selulosa yang molekulnya sulit diuraikan akan menurunkan daya cerna. Telah banyak dilaporkan bahwa proses pengeringan bahan alami akan menyebabkan rekristalisasi molekul. Proses fermentasi di lokasi pabrik sawit (menggunakan LSD segar) perlu di modifikasi. Hal ini disebabkan kandungan air LSD cukup tinggi dan melebihi kadar air optimum (60%) yang dibutuhkan untuk proses fermentasi. Untuk menurunkan kadar air substrat fermentasi LSD dapat dilakukan dengan penambahan bungkil inti sawit (Gambar 8). Proses fermentasi dimulai pada skala laboratorium, kemudian peningkatan skala untuk aplikasi di lapangan dapat dilakukan pada ruang fermentor (Sinurat et al., 1998). Teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk dapat terus meningkatkan nilai gizi produk fermentasi. 28

41 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit Gambar 8. Campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit setelah difermentasi 42 jam dengan A. niger Hasil pemisahan dekanter merupakan solid dan cairan yang masih mengandung bahan padatan, sehingga akan menimbulkan masalah bila langsung dibuang ke lingkungan sungai (nilai BOD dan COD berturut-turut mg/l dan mg/l). Limbah cair sawit ini dapat disaring melalui filter keramik dan akan menghasilkan fraksi solid heavy phase (lumpur sawit membran) (Wenten, 2004). Perlakuan membran filter untuk memisahkan fraksi lumpur sawit juga telah dilakukan di Malaysia. Padatan yang dikumpulkan dapat digunakan sebagai pakan ikan (Ahmed et al., 2008). Evaluasi nilai gizi fraksi LS membran keramik setelah dikeringkan telah dilaporkan Sinurat et al. (2007). Fraksi kering yang dapat disebutkan sebagai solid heavy phase (SHP) mengandung kadar protein 9,05% setara dengan kadar protein jagung (8,9%). Perbandingan kadar asam amino SHP dan jagung menunjukkan variasi. Asam amino histidin dan treonin lebih tinggi pada SHP dibandingkan dengan di dalam jagung. Sedangkan asam amino arginin, leusin dan lisin lebih rendah pada SHP dan asam amino metionin jumlahnya seimbang pada kedua bahan tersebut. SHP dapat menggantikan 25% jagung didalam ransum 29

42 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit ayam petelur. Perlakuan fermentasi SHP dengan inokulum A. niger meningkatkan kadar protein dan kadar asam amino esensial, namun evaluasi pada ayam petelur tidak menunjukkan hasil yang positif. Namun, penambahan enzim mananase komersial, enzim kompleks komersial atau enzim kompleks Balitnak BS-4 dapat meningkatkan substitusi jagung dengan SHP sampai 50% (Sinurat et al., 2008; Pasaribu et al., 2009). Enzim kompleks Balitnak BS4 mengandung aktivitas selulase, mananase dan glikosidase (α-1 6 galaktosidase, β-1 4 manosidase, dan β-1 4 glukosidase), dengan mananase sebagai aktivitas tertinggi. Oleh karena itu, enzim ini cocok untuk enzim pengurai bahan kaya manan seperti bungkil kelapa, bungkil inti sawit, SHP, dan solid decanter. Fraksi serat selulosa dapat diuraikan oleh enzim selulase yang terdapat didalamnya. Aktivitas hidrolisis enzim BS-4 menjadi gula reduksi (gula terlarut yang dapat diserap saluran pencernaan monogastrik) pada LSD maupun bungkil inti sawit telah dilaporkan oleh Purwadaria et al. (2003a). Aplikasi SHP sebagai bahan subtitusi jagung merupakan hal yang menjanjikan, karena dapat mengurangi impor jagung yang harganya berpengaruh pada harga pakan. Proses membran keramik yang dikembangkan untuk menghasilkan SHP memanfaatkan tenaga reverse osmosis aliran limbah cair. Walaupun demikian, proses penyaringan dengan membran keramik harus disempurnakan untuk menghindari penyumbatan. Dalam pembuatan pakan ruminansia, LSD umum dicampurkan dengan BIS (Batubara et al., 2005). Pemberian pakan pada kambing menunjukkan komposisi yang baik antara BIS dan solid adalah 70 : 30%. Selain untuk memanfaatkan kedua bahan hasil samping pabrik kelapa sawit dan minyak sawit, LSD juga dapat digunakan sebagai perekat pembentukan pelet. Kualitas perekat pelet terbaik yang ditunjukkan dengan tidak mudah pecahnya pelet didapatkan pada campuran BIS dan LSD: 2 : 1 lebih baik daripada BIS : LSD : Pati: 2 : 1 : 1 (Krisnan dan Ginting, 2009). 30

43 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit 3.5. Teknologi pengolahan bungkil inti sawit (palm kernel cake) Bungkil inti sawit (BIS) merupakan produk samping yang mengandung nilai gizi dan biologis yang tinggi (Tabel 3). Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak menimbulkan masalah, terutama bila digunakan sebagai komponen konsentrat ruminansia. Namun, BIS terkontaminasi pecahan cangkang (15 22%), yang teksturnya tajam dan keras, dapat mengganggu peralatan/mesin pembuat pelet di pabrik Pakan (feed mill) dan dikhawatirkan dapat melukai dinding saluran pencernaan ternak muda. Selain itu, cangkang tidak mengandung zat gizi (atau hampir seluruhnya serat kasar), sehingga bila tidak dipisahkan akan meningkatkan kadar serat kasar BIS. Ukuran pecahan cangkang bervariasi dan umumnya lebih besar daripada butiran BIS, oleh karena itu proses pemisahan dapat dilakukan dengan penyaringan. Kadar kontaminasi cangkang didalam BIS bervariasi dan pada penyaringan 1 2 mm menurunkan kadar cangkang lebih dari 50%. Penyaringan dengan saringan berdiameter 2mm lebih dianjurkan karena rendemennya cukup tinggi (Tabel 7). Tabel 7. Hasil penyaringan BIS pada berbagai ukuran lubang penyaringan terhadap kadar kontaminasi cangkang Uraian Jumlah rendemen BIS (%) Cemaran cangkang (%) Ukuran saringan Tanpa disaring 4 mm 2 mm 1 mm 100,0 88,0 76,6 70,0 22,8 6,8 21,5 3,6 9,9 2,6 8,6 1,6 Sumber: Sinurat et al. (2009) Walaupun nilai gizi BIS tidak terlalu rendah, beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi BIS. Proses fermentasi dengan penambahan N-anorganik dapat meningkatkan 31

44 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit kadar protein, sehingga produk fermentasi BIS dapat digunakan sebagai subtitusi sebagian sumber protein dalam ransum unggas, seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Supriyati et al. (1998) dan Bintang et al. (1999) melaporkan peningkatan nilai gizi BIS yang difermentasi dengan menggunakan A. niger yaitu, kandungan protein kasar dari 14,2% menjadi 35,6%, protein sejati dari 13,6% menjadi 24,4%, serat kasar dari 21,7% menjadi 19,8%, kecernaan bahan kering dari 40,7% menjadi 51,5% dan kecernaan protein dari 63,9% menjadi 68,8% serta energi metabolis dari 2087 kkal/kg menjadi 2413 kkal/kg (Tabel 8). Kandungan protein sejati merupakan kadar protein kasar produk fermentasi dikurangi protein terlarut (N-terlarut x 6,25) yang merupakan N-anorganik yang tidak ditransformasi menjadi protein. Kenaikan protein saat fermentasi berkaitan dengan kadar N-anorganik yang ditambahkan yang dapat digunakan oleh mikroba. Penambahan nitrogen (N) yang lebih tinggi akan menghasilkan kadar protein kasar yang lebih tinggi. Namun, bila kadar N terlarut di dalam produk fermentasi tinggi dan kadar protein sejati rendah, hal ini menunjukkan penambahan N di dalam substrat sebelum fermentasi terlalu tinggi sehingga menyebabkan transformasi N menjadi protein tidak optimal atau terdapat sisa mineral yang tinggi. Perubahan nilai gizi hasil fermentasi bungkil inti sawit juga berkaitan dengan jenis mikroorganisme yang digunakan (Tabel 8). Fermentasi dengan menggunakan Trichoderma viride selama 14 hari dapat meningkatkan kandungan protein BIS 32%, menurunkan serat kasar 36,5% dan meningkatkan energi metabolis 9% dibandingkan dengan kadar sebelum difermentasi (Iyayi dan Aderolu, 2004). Demikian juga fermentasi BIS dengan kapang pelapuk putih atau Phanerochaete chrysosporium selama 4 hari dapat meningkatkan energi metabolis, daya cerna protein dan menurunkan kadar serat kasar (Sembiring, 2006). Penurunan kadar serat, kenaikan energi metabolis dan kenaikan daya cerna protein terjadi karena enzim hidrolisis yang dihasilkan mikroba 32

45 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit selama proses fermentasi menguraikan serat, protein dan melepaskan molekul protein di antara molekul serat. Pada produk fermentasi dengan P. chrysosporium juga terjadi penguraian lignin. Umumnya evaluasi nilai gizi BIS fermentasi dilakukan terhadap unggas, namun Ramin et al. (2010) mempersiapkan produk fermentasi BIS untuk ternak ruminansia (kambing) dimana proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan A. niger, T. harzianum, dan R. oryzae (Tabel 8). Peningkatan protein terbaik dicapai pada masa inkubasi 10 hari dan diperoleh pada biakan A. niger dan R. oryzae. Namun, hasil evaluasi ME dan daya cerna bahan organik menunjukkan penurunan pada produk fermentasi (Tabel 8). Uji daya cerna in vitro dengan menggunakan cairan rumen yang banyak mengandung enzim selulolitik dan hemiselulolitik, menunjukkan bahwa BIS yang tidak difermentasi dapat dicerna dengan baik, sedangkan proses fermentasi mengakibatkan kapang menggunakan molekul terlarut. Walaupun demikian kenaikan kadar protein dan penurunan kadar serat tetap dapat memberikan nilai positif. Beberapa peneliti lain telah melakukan modifikasi proses fermentasi untuk meningkatkan nilai gizi produk fermentasi BIS (Nurhayati, 2007; Sukaryana et al. 2010; Mirnawati et al., 2010). Nurhayati (2007) melaporkan bahwa penambahan onggok dengan perbandingan BIS: onggok 75 : 25 menghasilkan produk fermentasi A. niger yang paling baik. Kadar protein kasar meningkat dari 12,9% menjadi 28,4%, kadar serat kasar menurun dari 17,5% menjadi 15,1% dan kadar lemak kasar menurun dari 11,5% menjadi 2,3%. Pemberian onggok dalam proses fermentasi bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan karbohidrat yang diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan kapang pada proses fermentasi. Produk fermentasi ini dapat digunakan dalam ransum ayam pedaging sampai 30% untuk menggantikan 50% jagung. Sukaryana et al. (2010) memfermentasi BIS dengan menggunakan T. viride. Produk fermentasi terbaik dicapai pada penambahan dedak padi dengan perbandingan BIS dan dedak 33

46

47 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit 80 : 20%, kadar inokulum 0,3% dan suspensi spora 6 x Fermentasi ini meningkatkan kadar protein kasar, menurunkan kadar serat kasar dan kadar lemak kasar. Produk fermentasi mempunyai kadar protein kasar 17,3%, lemak kasar 5,4%, serat kasar 23,7% dan kadar abu 6,4%. Fermentasi bungkil inti sawit dengan kapang A. niger juga dilakukan dengan penambahan kotoran ayam sebanyak 20% dan asam humat tanpa penambahan Nitrogen- anorganik (Mirnawati et al., 2010). Penambahan asam humat yang paling baik dicapai pada kadar 100 ppm selama 7 hari masa inkubasi dan produk fermentasi yang dihasilkan mengandung kadar protein kasar 23,2% dan serat kasar 10,6%. Aplikasi enzim untuk peningkatan kecernaan BIS dan penurunan kekentalan atau viskositas isi saluran pencernaan telah dilakukan seperti pada lumpur sawit. Teknologi aplikasi enzim dilakukan hanya dengan pengadukan sebelum pembentukan pelet atau mencampurkannya didalam pakan yang berbentuk mash/tepung. Aplikasi enzim produk Balai Penelitian Ternak (enzim BS4) untuk ayam petelur telah dilaporkan oleh Sinurat et al. (2011). Enzim BS4 merupakan enzim komplek dengan aktivitas selulase, mananase dan glikosidase dihasilkan oleh kapang Eupenicillium javanicum yang dibiakkan pada substrat bungkil kelapa (Purwadaria et al., 2003b). Dari uji biologis yang dilakukan, enzim ini mempunyai efektivitas yang setara dengan enzim komersial impor yang banyak digunakan peternak atau pabrik pakan. Beberapa penelitian tentang aplikasi enzim pada pakan yang mengandung BIS umumnya terdiri dari enzim pemecah serat seperti (Iyayi dan Davies, 2005), dan Allzyme (Sundu et al., 2005), mananase komersial dan cairan rumen (Farda, 2012). Kecuali yang dilaporkan oleh Chong et al. (2008), yaitu menambahkan enzim galaktosidase dan protease. Enzim galaktosidase adalah enzim pelepas galaktosa yang ada pada molekul galaktomanan dan merupakan salah satu 35

48 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit molekul hemiselulosa yang terdapat didalam BIS. Enzim protease menguraikan protein pakan menjadi peptida sederhana atau asam amino, sehingga mudah diserap dinding saluran pencernaan terutama pada usus halus (intestin). Efektivitas suatu enzim dalam meningkatkan kecernaan gizi BIS dapat diukur secara sederhana dengan menentukan aktivitas sakarifikasi yaitu pembentukan gula reduksi akibat penguraian karbohidrat oleh enzim yang dicampur dengan bungkil inti sawit (Purwadaria et al., 2003a; Farda, 2012). Hasil sakarifikasi pada enzim BS4 dapat lebih ditingkatkan bila enzim dicampurkan dengan enzim yang diproduksi dengan A. niger NRRL 337 (Purwadaria et al., 2003a). Adanya serat lignoselulosa di dalam BIS merupakan salah satu kendala untuk penggunaannya dalam pakan unggas. Oleh karena itu, beberapa upaya telah dilakukan untuk mengekstrak protein BIS. Ekstrak dilakukan dengan asam atau basa. Setelah endapan BIS dipisahkan, protein pada filtrat diendapkan dengan basa, asam atau solven seperti etanol (Ramli et al., 2008). Variasi ekstraksi dapat dilakukan dengan tambahan metode fisik yaitu dengan penggerusan BIS pada saat ekstraksi dengan menggunakan pecahan kaca dan perlakuan autoklaf (Yatno et al., 2008). Metode yang menghasilkan protein terbanyak (50,4%) adalah metode dengan perendaman asam asetat 0,05N, dihancurkan dengan gelas, diautoclave, disaring dan diendapkan dengan NaOH 1N. Hasil analisis menunjukkan kadar protein kasar konsentrat protein-bis menyamai protein bungkil kedelai, namun kadar asam amino esensial atau non-esensialnya lebih rendah daripada bungkil kedelai. Hal ini terjadi, karena kadar nitrogen non protein (NPN) lebih tinggi pada konsentrat protein-bis daripada bungkil kedelai (Tabel 9). Metoda ini menunjukkan persentasi asam amino esensial konsentrat protein-bis dan BIS terhadap kadar protein kasar hampir sama, atau terdapat kemungkinan perolehan kembali asam amino esensial terhadap kadar protein yang terekstraksi mendekati 100%. 36

49 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit Tabel 9. Kandungan protein dan asam amino konsentrat protein- BIS, bungkil inti sawit (BIS) dan bungkil kedelai* Peubah Konsentrat protein - BIS BIS Bungkil kedelai % Protein kasar 45,6 16,8 46,6 Total asam amino 33,4 (73,3)** 12,6 (75,1) 40,4 (86,8) Asam amino esensial 16,8 (36,8) 6,0 (35,8) 21,2 (45,5) Asam amino nonesensial 16,6 (36,5) 6,6 (39,3) 19,2 (41,2) Non protein nitrogen (NPN)*** 12,2 (26,7) 4,2 (24,9) 6,2 (13,2) * Disitir dari Yatno et al. (2008); ** Angka dalam kurung menyatakan % terhadap kadar protein; *** NPN merupakan selisih kadar protein dan kadar total asam amino Penggunaan larutan asam atau alkali untuk ekstraksi protein dapat mengakibatkan masalah lingkungan sehingga timbul upaya melakukan ekstraksi protein-bis dengan menggunakan garam NaCl dan alkalin. Perolehan protein tertinggi terjadi pada perlakuan ekstraksi dengan menggunakan NaCl 0,2M pada ph 9, dan perbandingan volume cairan terhadap padatan 60 : 40. Dengan perlakuan ini diperoleh konsentrat protein sebanyak 85,0%, sedangkan perlakuan ekstraksi dengan alkalin (NaOH 0,03N, ph 11,6; suhu 35 C, perbandingan cairan dengan padatan 30:70) hanya menghasilkan konsentrat protein sebanyak 74,8% (Arifin et al., 2009). Agar asam amino dari konsentrat dapat dicerna dan diabsorbsi dengan mudah, maka proses pembuatan konsentrat protein dapat digabungkan dengan penambahan protease (Ng dan Khan, 2012). Konsentrat protein-bis diekstraksi dengan NaOH 0,1N; ph 11 dan diendapkan dengan HCl 3,0N; ph 4,3 4,5. Endapan dilarutkan kembali dan dihidrolisis dengan enzim protease. Dari beberapa protease yang diuji, terlihat bahwa 37

50 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit protease terbaik adalah Alkalase dengan tingkat protein yang terhidrolisis 81,35%. Pembuatan konsentrat protein-bis secara tidak langsung juga diikuti dengan isolasi molekul monosakarida (manosa) dan mano-oligosakarida (MOS) yang tergabung didalam konsentrat tersebut. Kedua molekul tersebut dikenal sebagai prebiotik yang dapat meningkatkan sistem kekebalan unggas, mengurangi populasi bakteri patogen, dan meningkatkan populasi bakteri yang tidak bersifat patogen didalam saluran pencernaan unggas (Sundu et al., 2006). Manosa dan MOS terdapat didalam BIS yang merupakan hasil hidrolisis molekul NSP (non starch polysaccharides) yang berupa manan, glukomanan, galaktomanan, atau glukogalaktomanan. Beberapa negara maju telah membatasi penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan, oleh karena itu, BIS dapat dipergunakan untuk menggantikan antibiotika. Senyawa ini telah banyak diperjualbelikan dan terbukti dapat meningkatkan imunitas ternak. Metabolisme peningkatan imunitas mungkin disebabkan MOS dapat meningkatkan populasi bakteri asam laktat yang memproduksi asam laktat dan menurunkan ph lingkungan pencernaan, sehingga menghambat pertumbuhan populasi bakteri patogen seperti Salmonella. Pembentukan MOS lebih ditingkatkan bila ransum dicampurkan dengan enzim pemecah polimer manan komplek. Dibalik peningkatan imunitas, enzim akan meningkatkan kecernaan, dan kadar air feces atau mempercepat laju pergerakan isi usus atau passing rate. Isolasi senyawa kompleks manan dari BIS dan Penicillium sp telah dilakukan oleh Ramli et al. (2005). Perlakuan fisik, mekanik dan kimia dapat menghasilkan masing-masing 669,7 mg oligosakarida dari 100g BIS dan dan 300,7 mg oligosakarida dari miselia Penicillium sp. Analisis kadar gula menunjukkan isolat dari BIS dan Penicilllium sp. mengandung masing-masing glukosa, manosa dan galaktosa dengan perbandingan 8 : 20 : 1, dan 11 : 15 : 1. Kedua bahan tersebut banyak dibangun molekul 38

51 Ketersediaan Teknologi Pengolahan Produk Samping Industri Sawit manan, glukomanan dan sedikit galaktomanan. Pemberian fraksi MOS hasil isolasi dari BIS dengan kadar 4000 ppm didalam ransum dapat menurunkan populasi Salmonella typhimurium di dalam saluran pencernaan ayam (Tafsin et al., 2007). Dari uraian di atas disimpulkan bahwa terdapat beberapa teknologi pengolahan BIS yang bertujuan untuk meningkatkan nilai gizinya agar dapat digunakan sebagai pakan (terutama untuk unggas). Teknologi pengolahan ini dapat dilakukan dengan sederhana yaitu aplikasi enzim dan proses fermentasi, atau dengan yang lebih rumit melalui ekstrak protein dan karbohidrat (manan oligosakarida/mos). 39

52 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit 4. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK NON-RUMINANSIA 4.1. Bungkil inti sawit Penggunaan BIS dalam ransum ternak non-ruminansia dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu pertama dengan metode penggunaan sebagai bahan pakan dalam formulasi, dengan mempertimbangkan nilai gizi dan batasan penggunaan bahan tersebut. Kedua, dengan metode substitusi suatu bahan pakan dengan BIS dalam proporsi yang sama tanpa mempertimbangkan nilai gizi dan batasan penggunaan bahan tersebut secara detail. Dari kedua metode tersebut, metode kedua (metode substitusi) tidak disarankan karena penggantian suatu bahan dengan bahan lain akan mengubah nilai dan keseimbangan gizi ransum secara keseluruhan, sedangkan tidak ada dua bahan pakan yang persis sama nilai gizinya. Misalnya, substitusi jagung dengan bungkil inti sawit akan menyebabkan nilai energi ransum yang lebih rendah dan protein yang lebih tinggi, sedangkan substitusi bungkil kedelai dengan bungkil inti sawit akan menyebabkan ransum yang nilai protein dan asam aminonya lebih rendah. Laporan Ezieshi dan Olomu (2004) yang melakukan penggantian 50% jagung dalam ransum ayam broiler dengan BIS tanpa memperhatikan keseimbangan zat gizinya menyebabkan penurunan performan (peningkatan konsumsi pakan, pertumbuhan yang kurang optimal dan FCR yang lebih jelek) pada ayam broiler (lihat kolom nomor 2 pada Tabel 10). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan unggas maupun babi. Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber energi dan atau protein. Penggunaan BIS untuk pakan unggas terbatas karena tingginya kadar serat kasar yang sebagian besar terdiri dari hemiselulosa (manan dan galaktomanan) dan adanya sisa pecahan cangkang yang keras. Beberapa peneliti telah 40

53

54 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit melaporkan ketersediaan atau kecernaan asam amino bungkil inti sawit pada ayam. Nwokolo et al. (1977) melaporkan bahwa kecernaan asam amino BIS cukup tinggi, yaitu 68 hingga 93%, tergantung jenis asam aminonya. Penelitian penggunaan BIS dalam ransum ayam broiler sudah dilakukan di beberapa negara penghasil sawit seperti Nigeria, Malaysia maupun Indonesia. Rekomendasi batas penggunaan maksimum dalam ransum broiler bervariasi antara 5 hingga 30%. Kisaran yang besar ini menunjukkan besarnya variasi kandungan gizi bungkil inti sawit yang digunakan. Dalam Tabel 10 disajikan beberapa fomula pakan ayam broiler dengan persentase bungkil intisawit yang cukup tinggi dengan hasil performa yang tidak berbeda dengan ransum yang tidak menggunakan bungkil inti sawit atau kontrol. Dari hasil yang disajikan tersebut dapat disimpulkan bahwa bungkil inti sawit dapat digunakan dalam formula ransum ayam broiler antara 20 hingga 30%, asalkan kandungan gizi ransum disusun untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Dalam ransum itik sedang tumbuh umur 1 8 minggu, penggunaan BIS hingga 15% ternyata tidak menyebabkan gangguan dalam pertumbuhan maupun penurunan efisiensi penggunaan pakan. Disamping itu, persentase karkas, bobot hati dan rempela juga tidak berbeda dengan itik yang diberi ransum tanpa BIS (Bintang et al., 1999). Penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum ayam petelur juga sudah banyak dilaporkan. Salah satu kekhawatiran penggunaan bahan ini dalam ransum unggas adalah kemungkinan terjadinya kerusakan dalam saluran pencernaan akibat adanya sisa cangkang sawit yang keras dan tajam yang terikut dalam bahan. Percobaan yang dilakukan pada ayam petelur menunjukkan bahwa ayam menyisihkan sebagian cangkang di tempat pakan terutama yang berukuan besar, seperti terlihat dalam Gambar 9. Pengamatan yang dilakukan setelah 42

55 Pemanfaatan Produk Samping Sawit untuk Pakan Ternak Non Ruminansia memberikan pakan dengan kadar bungkil inti sawit 20% dalam ransum ayam petelur selama 16 minggu menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan dalam organ pencernaannya. Sebagian cangkang memang ditemui didalam rempela ayam. Seperti terlihat dalam Gambar 10, jumlah cangkang yang tinggal didalam tembolok lebih sedikit bila bungkil inti sawit yang digunakan disaring terlebih dahulu (Sinurat, et al., 2009). Oleh karena itu, penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum unggas sebaiknya disaring terlebih dahulu. Sama halnya, seperti pada ayam broiler, rekomendasi batas maksimum penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum ayam petelur sangat bervariasi. Dalam Tabel 11 disajikan beberapa formula ransum ayam petelur yang mengandung bungkil inti sawit. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa pemberian bungkil inti sawit 20 hingga 25% dalam ransum tidak menyebabkan penurunan dalam produktivitas (produksi telur, mortalitas dan efisiensi penggunaan pakan atau FCR) ayam petelur. Gambar 9. Cangkang sawit yang disisihkan dan tertinggal di dalam tempat pakan ayam 43

56 Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit Gambar 10. Cangkang yang tinggal di dalam tembolok ayam petelur yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit (BIS) 20% selama 16 minggu (Gambar sebelah kanan, jumlah cangkang lebih sedikit bila BIS disaring lebih dahulu) Dengan penggunaan bungkil inti sawit, akan terjadi penurunan jumlah bahan pakan lain yang digunakan seperti jagung dalam ransum. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas telur, termasuk penurunan warna kuning telur. Chong et al. (2008) memang melaporkan bahwa terjadi penurunan skor warna kuning telur dari 3,9 menjadi 2,3 dengan penggunaan 25% BIS dalam ransum ayam petelur. Namun, BIS yang digunakan adalah hasil dari ekstraksi pelarut kimia, sehingga besar kemungkinan bahwa zat pewarna yang ada didalam BIS sudah hilang oleh bahan pelarut kimia tersebut. Saat ini, proses untuk menghasilkan minyak inti sawit, umumnya dilakukan dengan proses pemerasan secara mekanis (atau expeller). Sinurat et al. (2009) menunjukkan bahwa dengan penggunaan BIS hasil pemerasan mekanis, hal ini tidak terjadi. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor warna kuning telur dari 6,9 menjadi 7,4 dengan penggunaan bungkil inti sawit 20% dalam ransum. 44

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman Penyusun: Simon P Ginting BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN MASKAMIAN Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Jenderal Sudirman No 7 Banjarbaru ABSTRAK Permintaan pasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi 1 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangbiakan oleh masyarakat. Pemeliharaan domba yang lebih cepat dibandingkan ternak sapi, baik sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al., I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi yang menurun dan meningkatnya impor daging di Indonesia yang dikarenakan alih fungsi lahan yang digunakan untuk pembuatan perumahan dan perkebunan. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternak Indonesia pada umumnya sering mengalami permasalahan kekurangan atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai pakan

Lebih terperinci

PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG

PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG 0999: Amir Purba dkk. PG-57 PAKAN LENGKAP BERBASIS BIOMASSA SAWIT: PENGGEMUKAN SAPI LOKAL DAN KAMBING KACANG Amir Purba 1, I Wayan Mathius 2, Simon Petrus Ginting 3, dan Frisda R. Panjaitan 1, 1 Pusat

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi PENGANTAR Latar Belakang Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi pakan yang berasal dari jagung, masih banyak yang diimpor dari luar negeri. Kontan (2013) melaporkan bahwa

Lebih terperinci

Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang

Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang 1 2 Menurut Ditjen Perkebunan (2011) bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 9,1 juta ha Kawasan secara ekonomis kurang produktif untuk penyediaan sumber pakan & menjadi kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak puyuh mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan baik sebagai penghasil telur maupun penghasil daging. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Firman RL Silalahi 1,2, Abdul Rauf 3, Chairani Hanum 3, dan Donald Siahaan 4 1 Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah pakan. Davendra, (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan berat badan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Menurut Peraturan Pemerintah No. 18/1999 Jo PP 85/1999, limbah didefinisikan sebagai buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Salah satu limbah yang banyak

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam PENGANTAR Latar Belakang Peningkatan produksi peternakan tidak terlepas dari keberhasilan dalam kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam kegiatan produksi ternak sangat

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal

Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal Penyusun: Arnold P Sinurat Sofjan Iskandar Desmayati Zainuddin Heti Resnawati Maijon Purba BADAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada tahun 2012 menjadi

Lebih terperinci

POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, kalimantan Selatan Telpon (0511) 4772346 dan Fax (0511)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu hasil samping agroindustri dari pembuatan minyak inti sawit. Perkebunan sawit berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hijauan merupakan bahan pakan sumber serat yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. (2005) porsi hijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering

Lebih terperinci

PENGERTIAN LIMBAH A C. Gambar 1. Ilustrasi hubungan antara limbah (A), bahan pakan konvensional (B) dan bahan pakan non konvensional (C)

PENGERTIAN LIMBAH A C. Gambar 1. Ilustrasi hubungan antara limbah (A), bahan pakan konvensional (B) dan bahan pakan non konvensional (C) PENDAHULUAN 1 Penyediaan dan pengadaan pakan, baik untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia, pada saat tertentu seringkali menghadapi permasalahan yang berulang. Bagi sebagian besar wilayah di Indonesia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt Sampah merupakan limbah yang mempunyai banyak dampak pada manusia dan lingkungan antara lain kesehatan, lingkungan, dan sosial ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Jagung Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan kepada ternak, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit.

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit. BOKS LAPORAN PENELITIAN: KAJIAN PELUANG INVESTASI PENGOLAHAN LIMBAH KELAPA SAWIT DALAM UPAYA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DI PROVINSI JAMBI I. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan areal perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan, oleh karena itu penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan penyuplai kebutuhan daging terbesar bagi kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan yang sedang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower Jurnal Peternakan Sriwijaya Vol. 4, No. 2, Desember 2015, pp. 41-47 ISSN 2303 1093 Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower F.N.L. Lubis 1*, S. Sandi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasar bebas dipandang sebagai peluang sekaligus ancaman bagi sektor pertanian Indonesia, ditambah dengan lahirnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang diwanti-wanti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali adalah salah satu bangsa sapi murni yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) dan mempunyai bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam broiler mempunyai potensi yang besar dalam memberikan sumbangan terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, karena sifat proses produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian Kandungan Nutrisi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Pakan Penelitian Kandungan nutrisi pakan tergantung pada bahan pakan yang digunakan dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi pakan penelitian dari analisis proksimat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Sagu di Riau Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae. Genus Metroxylonsecara garis besar digolongkan menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi

Lebih terperinci

KONSENTRAT TERNAK RUMINANSIA

KONSENTRAT TERNAK RUMINANSIA KONSENTRAT TERNAK RUMINANSIA Indonesia adalah negara TROPIS Dengan ciri khas kualitas rumput yang rendah Pemberian pakan hanya dengan rumput Pemberian pakan campuran rumput dan konsentrat hijauan hijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan usaha ternak ayam sangat ditentukan oleh penyediaan pakan yang memadai baik kuantitas maupun kualitas, karena pakan merupakan unsur utama dalam pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan jumlah populasi dan produksi unggas perlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang selalu ada di dalam ransum

Lebih terperinci

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam perekonomian Indonesia. Pertama, minyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketersediaan Limbah Pertanian Pakan ternak sangat beragam tergantung varietas tanaman yang ditanam petani sepanjang musim. Varietas tanaman sangat berdampak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tanaman kelapa sawit bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun beberapa sumber menyatakan tanaman ini berasal

Lebih terperinci

Makanan Kasar (Roughage) Pakan Suplemen (Supplement) Pakan Aditive (Additive)

Makanan Kasar (Roughage) Pakan Suplemen (Supplement) Pakan Aditive (Additive) M.K. Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi Pakan Jenis Bahan Pakan Konsentrat (Concentrate) Makanan Kasar (Roughage) Pakan Suplemen (Supplement) Pakan Aditive (Additive) 1 Bahan-bahan Konsentrat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi i PETUNJUK PRAKTIS MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH PERTANIAN UNTUK PAKAN TERNAK SAPI Penyusun: Nurul Agustini Penyunting: Tanda Sahat Panjaitan

Lebih terperinci

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39 Ketersediaan sumber pakan hijauan masih menjadi permasalahan utama di tingkat peternak ruminansia. Pada musim kemarau tiba mereka terpaksa harus menjual dengan harga murah untuk mengatasi terbatasnya hijauan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan

Diharapkan dengan diketahuinya media yang sesuai, pembuatan dan pemanfaatan silase bisa disebarluaskan sehingga dapat menunjang persediaan hijauan yan SILASE TANAMAN JAGUNG SEBAGAI PENGEMBANGAN SUMBER PAKAN TERNAK BAMBANG KUSHARTONO DAN NANI IRIANI Balai Penelitian Ternak Po Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Pengembangan silase tanaman jagung sebagai alternatif

Lebih terperinci

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Agro inovasi Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI BAHAN PAKAN TERNAK

KARYA TULIS ILMIAH PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI BAHAN PAKAN TERNAK KARYA TULIS ILMIAH PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI BAHAN PAKAN TERNAK Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu mata kuliah yaitu Pendidikan Bahasa Indonesia dari Dosen : Rika Widiawati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak dibidang pengolahan bahan baku Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dengan tujuan memproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor pertanian yang memiliki produksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia. Kakao (Theobrema cocoa L.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia. Kakao (Theobrema cocoa L.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia Kakao (Theobrema cocoa L.) merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan penting yang secara historis pertama kali dikenal di Indonesia

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim POTENSI LIMBAH SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN ALTERNATIF PADA AYAM NUNUKAN PERIODE PRODUKSI IMAM SULISTIYONO dan NUR RIZQI BARIROH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur JI. Pangeran M.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2008 di Indonesia terdapat seluas 7.125.331 hektar perkebunan kelapa sawit, lebih dari separuhnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik ( semua makhluk yang hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya ) (Elbassan dan Megard, 2004). Biomassa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan usaha peternakan adalah ketersediaan pakan ternak secara kontinyu. Saat ini sangat dirasakan produksi hijauan makanan ternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pakan Pakan merupakan bahan baku yang telah dicampur menjadi satu dengan nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang penting untuk perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kegiatan pemeliharaan ikan, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian pakan. Pakan merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ikan intensif dan

Lebih terperinci

Pada ternak ruminansia adalah keharusan Faktor yang mempengaruhi kualitas: Sebagai sumber Energi dan Protein Pemilihan Bahan Konsentrat:

Pada ternak ruminansia adalah keharusan Faktor yang mempengaruhi kualitas: Sebagai sumber Energi dan Protein Pemilihan Bahan Konsentrat: Jenis Bahan Pakan Konsentrat (Concentrate) Makanan Kasar (Roughage) Pakan Suplemen (Supplement) Pakan Aditive (Additive) M.K. Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi Pakan Bahan-bahan Konsentrat Sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, dikarenakan kebutuhan akan susu domestik dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan. Penggemukan sapi potong umumnya banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan persediaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan di Indonesia sampai saat ini masih sering dihadapkan dengan berbagai masalah, salah satunya yaitu kurangnya ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan dampak positif bagi perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak negatifnya berupa makin banyaknya limbah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung tersedianya sampah khususnya sampah organik. Sampah organik yang berpeluang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di Indonesia, dihadapkan pada kendala pemberian pakan yang belum memenuhi kebutuhan ternak. Ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa tambahan nutrien

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup PENDAHULUAN Latar Belakang Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup berat bagi peternak. Hal tersebut dikarenakan sulitnya memenuhi kebutuhan pakan hijauan yang berkualitas untuk ternak,

Lebih terperinci

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas) Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas) PENDAHULUAN Sebagaimana kita ketahui, di negara Indonesia banyak ditumbuhi pohon nanas yang tersebar di berbagai

Lebih terperinci