1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN
|
|
- Glenna Jayadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengelolaan sungai di Indonesia pada umumnya masih menggunakan pendekatan parsial dan multi-disipliner dan belum menerapkan konsep ekohidraulik yang pendekatannya komprehensif/integratif dan inter-disipliner. Konsep pengelolaan sungai ekohidraulik menekankan pentingnya mengelola aliran sungai secara terintegrasi sehingga bisa memelihara sumber daya abiotik dan biotik atau kehidupan biota air (Bovee dkk., 1998; Petts dan Maddock, 1996). Konsep tersebut diadopsi dari integrated river basin management yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1980an (Statzner dkk., 1988; Petts dan Maddock, 1996), di Eropa sejak tahun 1970 (Larsen,1996 dalam Petts dan Callow, 1996; Jalon dan Gortazar, 2006), serta di Asia (Nakamura, 1995; Nakamura, 1998). Di Indonesia lebih dikenal konsep one river, one plan, one integrated management. Lemahnya integrasi pengelolaan sungai serta fragmentasi koordinasi antar lembaga (Khudori, 2009) dapat mengancam kelestarian ekosistem sungai. Ancaman kepunahan ikan sidat yang terjadi di Kali Progo Provinsi DIY (Budihardjo, 2010), kematian ribuan ikan secara mendadak di Kali Surabaya (Ecoton, 15 November 2013), di Krueng Teunom (National Geographic Indonesia, 5 Agustus 2014), dan di Sungai Pangkajene (Kompas, 9 November 2014) merupakan contoh dampak pengelolaan sungai yang masih parsial. Ketidak komprehensifan pengelolaan sungai tercermin juga pada regulasi pengelolaan sungai. Peraturan perundangan pada tingkat kebijakan dan peraturan teknis kadang tidak gayut dengan upaya konservasi sungai. Meskipun Undang Undang (UU) No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menekankan pentingnya mempertahankan multifungsi air termasuk fungsi ekologis, namun Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2011 tentang Sungai sebagai peraturan pelaksananya belum menempatkan fungsi ekologis sungai sejajar dengan fungsi-fungsi sungai yang lain. Penggunaan tolok ukur parameter kualitas air untuk peruntukan air baku air minum, pertanian dan lainnya (PP No. 8/2001 tentang Pengelolaan I-1
2 Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air) patut dipertanyakan jika target pengelolaan sungai adalah konservasi sungai. Pendekatan parsial dalam pengelolaan sungai juga tampak dari para insinyur dan praktisi pengelola sungai yang ditengarai belum memahami hakikat sungai berdasar konsep integritas suatu badan air (Karl, 1991). Aspek keanekaragaman hayati dan kajian dampak lingkungan hanya menjadi obyek perhatian akademis. Perumus kebijakan, pengelola, pemantau sungai dan ahli sungai (limnologist) menggunakan bahasa dan pendekatan yang berbeda dan jarang saling bertemu. Hal ini menyebabkan terabaikannya realita kebutuhan kriteria konservasi kualitas air dalam pengelolaan sungai yang ekologis dan berkelanjutan (Parpaprove dkk., 2006). Sebagai contoh, penetapan kelas status mutu air berbasis multi parameter (fisik, kimia, bakteriologis) pada pengendalian pencemaran air sungai (off stream control) dalam ilmu sanitary engineering (Salvato, 1992; Thomann dkk., 1987; Peavy dkk., 1986; Metcalf dan Eddy, 1979; Mara, 1976) tidak sejalan dengan penetapan mutu air berdasar respon biologi atau biotilik (biomonitoring) yang banyak digunakan pada pengelolaan kualitas air di sungai (in-stream control). Indeks kualitas air (IKA) pada sanitary engineering menggunakan target best use atau specific usage air sungai, sementara target kualitas air pada pengelolaan sungai ekohidraulik mempunyai target konservasi air sungai untuk menjamin kelestarian dan keanekaragaman hayati yang umumnya dipelajari dalam bidang Limnologi. Pengelolaan sungai secara ekohidraulik membutuhkan pendekatan yang komprehensif termasuk di dalam menetapkan variabel lingkungan yang dipantau dan menetapkan IKA komprehensif sehingga kondisi kesehatan perairan sungai dapat dimonitor secara baku. Oleh karena itu, penetapan status mutu air sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 37/2003 seharusnya tidak berhenti pada memperoleh variabel lingkungan multi parameter kualitas air. Menurut Johnson dkk. (1993), Cairns dan Pratt (1993), Metcalf dan Smith (1996), Ellenberg dkk. (1991), gagasan IKA berbasis multi parameter kualitas air yang dianalisa secara ex-situ di laboratorium sebenarnya mengadopsi indeks kualitas air dalam biotilik in-situ untuk mengevaluasi perubahan lingkungan. I-2
3 Penggunaan respon biologi juga dilakukan dalam toksikologi dengan menggunakan uji hayati (bioassay) secara ex-situ terhadap suatu bahan kimia spesifik maupun buangan limbah dengan berbagai bahan kimia sejak tahun an (Henderson, 1957; Doudorroff dkk., 1951; Henderson, 1957; Sprague, 1973). Salah satu bentuk uji toksisitas air adalah metode AOD (Aquatic Organisms Environmental Diagnostic) yang diteliti oleh Teiji Kariya dkk. (1987) di Jepang dengan melakukan bioassay terhadap air sungai yang mengandung cemaran berbagai bahan kimia. Praktisi pengelola sungai mengalami kesulitan menggabungkan hasil biotilik dan pemantauan multi parameter kualitas air untuk penetapan kebijakan pengelolaan sungai dengan target yang realistik (Roosenberg dan Resh, 1989). Hasil biotilik tidak mudah diinterpretasikan terutama dalam menentukan penyebab perubahan lingkungan yang beragam. Selain itu, para ahli biologi masih sulit menyatukan pendapat tentang metode biotilik representatif untuk mengevaluasi kualitas lingkungan. Sebagai contoh biotilik metode ex-situ dianggap tidak mencerminkan kondisi nyata in-situ di sungai (Metcalf dan Smith, 1996). Banyak metode IKA berbasis multi parameter kualitas air dengan target pemanfaatan umum atau multifungsi air sungai, yang dikembangkan para ahli di Amerika, Eropa, maupun Asia (Brown dkk., 1970; Nemerov dan Sumitomo, 1970; USEPA, 2011; Kannel dkk., 2007; Sisodia dan Moundiotya, 2006). Para peneliti dan praktisi sungai di Indonesia pada umumnya hanya sebagai pengguna metode-metode tersebut, seperti antara lain yang dilakukan oleh Hendrawan (2005), Soesilo dan Febriana (2011) dan Matahelemual (2007). Setiap metode IKA dikembangkan dengan pendekatan yang berbeda karena tujuannya berbeda sehingga memberikan kesimpulan status mutu air yang berbeda pula. Berdasarkan kajian pustaka, metode yang dianggap paling sesuai untuk diaplikasikan di sungai tropis di Indonesia masih belum teridentifikasi. Metode IKA banyak yang dikembangkan berdasar pertimbangan pakar (expert judgment) sehingga sulit diadaptasi untuk tempat dan kondisi yang berbeda. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ada keinginan untuk meminimalkan subyektifitas (Liu dkk., 2003; Zhou dkk., 2006; Iscen dkk., 2008; Zhang dkk., 2009; Saraswati dkk., I-3
4 2010) dalam penetapan parameter kualitas air yang dianggap penting dalam metode IKA. Pengembangan metode penetapan kesehatan perairan sungai dalam disertasi ini dimaksudkan untuk menjembatani dikotomi antara metode-metode indeks kualitas air tersebut di atas sehingga diperoleh indeks kualitas air sungai yang komprehensif bagi pengelolaan sungai ekohidraulik. Melalui IKA yang komprehensif diharapkan pengendalian pencemaran air di sumber polusi (offstream control) maupun pengelolaan kualitas air di sungai bagi kesehatan biota air (in-stream control) dapat dilakukan secara lebih baik. IKA komprehensif yang dikembangkan diharapkan merupakan metode penetapan mutu air secara ex-situ yang dapat mencerminkan kondisi in-situ. Metode IKA yang baik harus mudah dikuantifikasi untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sungai yang ekologis dan berkesinambungan (Parparove dkk., 2006). IKA komprehensif hendaknya dapat dihubungkan dengan strategi pengelolaan sungai ekohidraulik, sebagaimana yang dibutuhkan dalam simulasi pengelolaan sungai seperti dalam modul PHABSIM (Physical Habitat Simulation) (Bovee dkk., 1998) dan model PHABSIM yang diaplikasikan di sungai Gadjah Wong (Saraswati dkk., 2008; Saraswati dan Nizam, 2009). Selain itu, diperlukan IKA yang mudah dipahami oleh masyarakat (Kep. Men. LH. No. 114/2003 tentang Program Pengelolaan Air atau Program Pemulihan Pencemaran Air serta Kep. Men. LH. No. 115/2003 tentang Pedoman Status Mutu Air di Indonesia). Oleh karena IKA komprehensif menggambarkan kesehatan perairan sungai yang komprehensif pula, maka parameter yang digunakan cenderung banyak dan sulit diperoleh. Metode IKA komprehensif yang didasarkan pada parameter yang mudah diperoleh sangat diharapkan (Roosenberg dan Resh, 1993) sehingga dapat diaplikasikan pada pemantauan dan kajian lingkungan dalam wilayah spasial yang luas dan jangka panjang (Cao dkk., 1999). Penelitian disertasi ini merupakan bagian dari usaha menegakkan kembali konsep integritas dalam pengelolaan sungai dan mempromosikan pengelolaan sungai berwawasan lingkungan (environmentally oriented river management) yang mema-dukan aspek ekohidraulika dalam pembangunan yang beretika vitalisme (Nugroho, 1986 dalam Sunjoto, 2009; Keraaf, 2010). Secara garis besar, I-4
5 alur kerangka pemikiran dan maksud penelitian ini disarikan dalam skema Gambar 1.1. berikut. Keterangan : IKA = Indeks Kualitas Air, PHABSIM = Physical Habitat Simulation, KA = Kualitas Air, OIP = Overall Index Pollution, TMDL = Total Maximum Daily Load, WQ = Water Quality Gambar 1.1. Alur kerangka pemikiran penelitian dan maksud penelitian disertasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan indeks kualitas air ex-situ berbasis multi parameter kualitas air dan indeks kualitas air ex-situ berbasis respons biologis dengan uji toksisitas AOD (Aquatic Organisms Environmental Diagnostic). Kedua metode penetapan kesehatan perairan dinamakan IKAs (Indeks Kualitas Air sungai) dan AODs (Aquatic Organisms Environmental Diagnostic sungai). Metode penetapan kesehatan perairan sungai tersebut dikembangkan berdasarkan referensi karakteristik sungai-sungai tropis di Indonesia yang mempunyai iklim dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi, dengan keragaman intensitas curah hujan di musim hujan dan kemarau yang berbeda, dan siklus hidrologi serta keanekaragaman kondisi hidrogeografi, hidrogeologi, hidrogeokemikal, dan ekoregional yang khas. I-5
6 1.2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah mengembangkan metode indeks tunggal penetapan kesehatan perairan sungai di Indonesia, yang umumnya tercemar limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Tujuan penelitian secara rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Mengembangkan dan memformulasikan metode IKAs berbasis multi parameter kualitas air di sungai Gadjah Wong. 2. Mengembangkan teknik standarisasi data kualitas air untuk metode IKAs. 3. Meneliti dan mengembangkan penggunaan indeks tunggal toksisitas air AODs yang aplikatif di Indonesia dengan memodifikasi dan mengadaptasi uji toksisitas AOD yang telah dikembangkan di negara lain. Mensintesa dan memformulasikan indeks tunggal kualitas air AODs serta menyusun protokol prosedur uji toksisitas AODs. 4. Mengkaji hubungan variabel toksisitas AODs dengan multiparameter kualitas air. 5. Membandingkan dan mencari hubungan kesesuaian pengukuran kesehatan perairan sungai dengan metode ex-situ (IKAs dan AODs) dengan metode in-situ biotilik makrobenthos. 6. Membandingkan metode IKAs dan AODs dengan metode indeks kualitas air yang sudah ada. Tujuan-tujuan tersebut dicapai melalui kajian data sekunder dari Program Kali Bersih (PROKASIH) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama 16 tahun (April 1997 Desember 2011) dan data primer di sungai Gadjah Wong DIY MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini antara lain adalah: Segi ilmiah: 1. Mempertajam kajian status kualitas air menjadi status kesehatan perairan sungai dan menemukan metode untuk menetapkannya. 2. Dengan adanya metode penetapan status kesehatan perairan sungai yang tepat, maka pemantauan program pengelolaan sungai terintegrasi dapat I-6
7 dilakukan dengan lebih baik dan dapat dikuantifikasikan dampaknya terhadap biota perairan. Segi kepentingan masyarakat dan negara: 1. Memberikan pilihan kepada pengelola sungai dan pemangku kepentingan terkait tentang cara pemantauan kualitas air, penetapan status mutu air dan status kesehatan perairan sungai khas kondisi Indonesia. 2. Adanya indikator status kualitas air yang komprehensif yang dapat dipantau dengan baik dan praktis sehingga perencanaan, alokasi sumber daya, penegakan baku mutu konservasi air untuk pengelolaan kualitas air sungai, pengendalian pencemaran sungai, pengendalian kualitas habitat sungai, perbaikan lingkungan sungai dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif dan efisien untuk kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan. 3. Diharapkan metode penetapan status kesehatan perairan sungai yang dikembangkan ini dapat diketahui, dimanfaatkan dan disosialisasikan lebih lanjut bagi pengelola sungai, atau pemangku kepentingan terkait di Indonesia KEASLIAN dan KEDALAMAN Banyak metode penetapan status mutu air menggunakan indeks kualitas air (IKA) berbasis multi parameter yang telah dikembangkan seperti indeks Horton (Abbasi, 2001), indeks NSFI (Wills dan Irvine, 1996), indeks Brown (Brown dan McClelland, 1970), indeks Dinius (Ott, 1978), WQImin, WQIm, WQIDO (Kannel dkk., 2007), WQIA (Dwivedi dkk., 2007), OIP India (Sargaonkar dan Deshpande, 2003), INWQS-DOE (Al Mamun dan Idris, 2010), Pollution Index (Nemerow dan Sumitomo, 1970), dan Storet (USEPA, 2011). Metode-metode tersebut umumnya dikembangkan di negara dengan 4 musim. Indonesia yang beriklim tropis dan memiliki kondisi lingkungan (biotik dan abiotik) yang berbeda belum memiliki metode penetapan status kesehatan perairan sungai. Metode IKAs yang dikembangkan dalam disertasi ini bersifat I-7
8 spesifik, untuk sungai di daerah tropis di Indonesia yang berbeda dengan metode yang telah berkembang tersebut. Metode uji toksisitas AODs yang dikembangkan dalam penelitian ini mengadopsi dan mengadaptasi metode AOD yang pertama kali dikembangkan oleh Kariya dkk. (1987) di Jepang. Metode AOD tersebut harus diadaptasi dengan kondisi iklim di Indonesia, jenis biota untuk bioassay, serta karakter dan tingkat pencemaran perairan yang ada. Dalam penelitian ini AODs dikembangkan dengan mengubah prosedur pembuatan sampel air uji, suhu pemaparan bioassay, serta jenis hewan uji lokal sungai tropis di Indonesia yang sesuai. AODs dikembangkan secara obyektif dan diuji dengan meotode in-situ biotilik dan metode ex-situ IKAs yang dikembangkan. I-8
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan
I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah
Lebih terperinciPenentuan Indeks Kualitas Lingkungan
Penentuan Indeks Kualitas Lingkungan Landasan Teori Studi indeks lingkungan yang telah dipublikasikan antara lain Environmental Sustainability Index (ESI), Environmental Performance Index (EPI), dan Virginia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi
Lebih terperinciPERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II
Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana
Lebih terperinciBAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN
BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Secara alamiah, hubungan timbal balik tersebut terdapat antara manusia sebagai individu dan manusia sebagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. segi kuantitas maupun dari segi kualitas airnya. meningkatnya kuantitas dan kualitas air. Kebutuhan air semakin hari akan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup. Tanpa air, manusia dan makhluk hidup lain, tidak akan dapat hidup dan berkembang biak. Begitu vitalnya fungsi
Lebih terperinciINDEKS KUALITAS AIR (IKA)
INDEKS KUALITAS AIR (IKA) Metode IKA di Indonesia Metode Storet PI (Pollution Index) Dirujuk oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. 1 Penentuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia. Dalam sistem tata lingkungan, air merupakan unsur utama. Negara Indonesia merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai memiliki berbagai komponen abiotik dan biotik yang saling berinteraksi membentuk sebuah jaringan kehidupan yang saling mempengaruhi. Sungai merupakan ekosistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar
Lebih terperinciPENENTUAN STATUS MUTU AIR
PENENTUAN STATUS MUTU AIR Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alami, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Sungai berfungsi menampung
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan
25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5
Lebih terperinciBAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Misi SKPD Lingkungan yang baik sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk
Lebih terperinciPEDOMAN PENERAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN PADA SUMBER AIR
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 01 Tahun 2010 Tanggal : 14 Januari 2010 PEDOMAN PENERAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN PADA SUMBER AIR I. LATAR BELAKANG Daya tampung beban
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sungai adalah tempat berkumpulnya air yang berasal dari hujan yang jatuh di daerah tangkapannya dan mengalir dengan takarannya. Sungai tersebut merupakan drainase
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan usaha dibidang sumber daya perairan. Menurut Sarnita dkk. (1998), luas perairan umum
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Tarakan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa Sungai Kampung Bugis/Karang Anyar dimanfaatkan sebagai air baku
Lebih terperinciDAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA
DAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA Oleh : BOBY REYNOLD HUTAGALUNG L2D 098 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciPEMANTAUAN KUALITAS AIR LAUT
PEMANTAUAN KUALITAS AIR LAUT HENI AGUSTINA DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN LATAR BELAKANG RPJMN ketiga tahun 2015 2019: Isu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sudah lebih dari dua dekade terakhir banyak publikasi penelitian yang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sudah lebih dari dua dekade terakhir banyak publikasi penelitian yang terkait dengan hubungan antara luas hutan dengan hasil air dan respon hidrologi (Bosch dan Hewlett,
Lebih terperinciPROGRAM KALI BERSIH DAN PROGRAM LANGIT BIRU
Materi yang terdapat dalam halaman ini adalah materi yang disampaikan dalam Pelatihan Audit Lingkungan yang diadakan atas kerja sama antara Departemen Biologi FMIPA IPB bekerja sama dengan Bagian PKSDM
Lebih terperinci2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis
Lebih terperinciPERENCANAAN PERLINDUNGAN
PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU No 32 tahun 2009 TUJUAN melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjamin keselamatan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,
Lebih terperinciBAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Misi SKPD BLHD a. Visi Dalam rangka mewujudkan perlindungan di Sulawesi Selatan sebagaimana amanah Pasal 3 Ung-Ung RI Nomor 32 Tahun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ekosistem asli (alami) maupun perpaduan hasil buatan manusia yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Wisata adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli (alami) maupun perpaduan hasil buatan manusia yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. budidaya (Ditjenkan,1985). Pada tahun 2001, menurut Direktorat Jendral
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki sekitar 18.316.265 hektar perairan tawar, yang terdiri atas 17.955.154 hektar perairan umum dan 361.099 hektar berupa perairan budidaya
Lebih terperinciStrategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai
Seminar Pengendalian Pencemaran Air di Kab. Sidoarjo Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Oktober 2008 Contoh Sumber Pencemar Air Sungai Langkah Srategis 1. Pengendalian Pencemaran Air Sungai dengan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN
BAB I. PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN Topik kuliah pendahuluan ini membahas tentang lingkungan hidup di Indonesia dengan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Poko bahasan kuliah ini
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Daya dukung merupakan salah satu konsep yang serbaguna dan populer didalam konteks politik lingkungan saat ini. Seperti halnya dengan konsep keberlanjutan, daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa
Lebih terperinciANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Umar Ode Hasani Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO Email : umarodehasani@gmail.com Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober
Lebih terperinciBAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas
Lebih terperinciDAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR ABSTRACT... i INTISARI... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR ABSTRACT... i INTISARI... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah...
Lebih terperinci- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR
- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan sangat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan sangat pesat. Perkembangan pariwisata di suatu lingkungan tertentu dapat berpotensi menurunkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan
Lebih terperinciBAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang
Lebih terperincidisinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara
Lebih terperinciSUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT
Lebih terperinciModul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air
vii B Tinjauan Mata Kuliah uku ajar pengelolaan sumber daya air ini ditujukan untuk menjadi bahan ajar kuliah di tingkat sarjana (S1). Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa pokok materi yang berhubungan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disempurnakan dan diganti dengan Undang Undang
Lebih terperinciSMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2
SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya
Lebih terperinci- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA
Lebih terperinciBAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN
BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.1. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinciGUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU
1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto
Lebih terperinciBAB III LANDASAN TEORI
BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pengelolaan hidup adalah upaya
Lebih terperinciPerencanaan Perjanjian Kinerja
Bab II Perencanaan Perjanjian Kinerja Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. digunakan untuk seluruh mahluk hidup di muka bumi ini dengan. ketersediaannya di alam semesta dalam jumlah yang tetap.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan keberadaannya digunakan untuk seluruh mahluk hidup di muka bumi ini dengan ketersediaannya di alam semesta dalam jumlah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari
Lebih terperinciNILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR
NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan
Lebih terperinciKonsep Penelitian Kualitas Lingkungan (Udara) dalam Membangun IKLH
Konsep Penelitian Kualitas Lingkungan (Udara) dalam Membangun IKLH Oleh : RITA, S.Si., M.Si disampaikan pada acara: RAKERNIS KUALITAS UDARA PM 10, PM 2.5 DI 17 KOTA DI INDONESIA Serpong, 25 Agustus 2016
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas perairan sungai sangat tergantung dari aktivitas yang ada pada daerah alirannya. Berbagai aktivitas baik domestik maupun kegiatan Industri akan berpengaruh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological
Lebih terperinciBUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%
Lebih terperinci1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat.
37 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang menjabarkan pembangunan sesuai dengan kondisi, potensi dan kemampuan suatu daerah tersebut.
Lebih terperinciPROFIL BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (BPLH)
PROFIL BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (BPLH) STRUKTUR ORGANISASI Unsur organisasi Ba terdiri dari 3 (tiga) bagian utama, yaitu unsur Pimpinan (Kepala Ba), Pembantu Pimpinan (Sekretaris Sub Bagian)
Lebih terperinciBIOMONITORING Introduksi
BIOMONITORING Introduksi 1 Isu Air Kuantitas: Sumber air ada di mana-mana, tapi semua sumber tercemar Kualitas air keperluan rumah tangga: PDAM: kemampuan terbatas Dari 353 PDAM, 90% bangkrut (PU 2010)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN
Lebih terperinci1. Apa kepanjangan dari AMDAL..? a. Analisis Masalah Dalam Alam Liar b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan c. Analisis Mengenai Dampak Alam dan
1. Apa kepanjangan dari AMDAL..? a. Analisis Masalah Dalam Alam Liar b. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan c. Analisis Mengenai Dampak Alam dan Lingkungan d. Analisis Masalah Dampak Lingkungan e. Analisa
Lebih terperinciWALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU
SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pantai yang indah salah satunya pariwisata pantai yang ada di daerah
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pariwisata pantai yang indah salah satunya pariwisata pantai yang ada di daerah Gunungkidul seperti; Pantai Baron,
Lebih terperinciDepartemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
KMA 43026 Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. UU RI No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MOR 32 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PROGRAM KALI BERSIH TAHUN 2012 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KERJA (KAK)
KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PENYUSUNAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTUAN LINGKUNGAN HIDUP (UKL-UPL) PENGEMBANGAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) MOJOSARI DINAS PEKERJAAN UMUM CIPTA KARYA
Lebih terperinciPERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP Yang pertama muncul di Indonesia: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 4 TAHUN 1982 (UULH) Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Sekarang disempurnakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Penulisan Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development UNCED) di Rio
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, mengalir dari hulu di Kabupaten Simalungun dan terus mengalir ke
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG
Lebih terperinciSESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.
SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu
Lebih terperinciWawasan Lingkungan Hidup Dan Sustainable Agroecosystem FAKULTAS PETERNAKAN
Wawasan Lingkungan Hidup Dan Sustainable Agroecosystem FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Terminologi Berkaitan dengan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah
Lebih terperinciPERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program
Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)
Lebih terperinci