TUGAS AKHIR. Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS AKHIR. Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung"

Transkripsi

1 PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO PT. BC TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung Oleh: PASCALIA VINCA ALVANDO 1109 JURUSAN EKSPLORASI TAMBANG FAKULTAS TEKNIK DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS BANDUNG 017

2 LEMBAR PENGESAHAN PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO PT. BC TUGAS AKHIR (Foto) Disetujui untuk Jurusan Eksplorasi Tambang ITSB oleh: Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T. Pembimbing I Pascalia Vinca Alvando Achmad Darul Rochman, S.Pd., M.T. Pembimbing II

3 PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP SIMULASI NUMERIK PENURUNAN MUKA AIRTANAH DENGAN METODE BEDA HINGGA AKIBAT PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA LOW WALL PIT E BMO PT. BC RINGKASAN Airtanah merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan lereng, air akan mengisi pori tanah sehingga tekanan air pori meningkat. Pada tahun 009 di Pit E, PT. BC khususnya low wall pernah terjadi longsor, tujuan penelitian ini untuk mengetahui besar penurunan muka airtanah (drawdown) serta melakukan simulasi dalam waktu 8 tahun kedepan setelah upaya dewatering pada tahun 016 dengan menggunakan sistem drain hole yang dipasang secara inclined. Model konseptual daerah penelitian dibangun dengan data pengamatan muka airtanah mula-mula, curah hujan, topografi dan properti hidrogeologi yang ditentukan berdasarkan asumsi teoriritis. Simulasi numerik menggunakan metode beda hingga dilakukan dalam dua skenario yaitu pada tiga IDH aktif dan penambahan tiga IDH di luar model pada akuifer terkekang dengan variasi kedalaman 50 m dan 80 m. Drawdown hasil simulasi kemudian dikalibrasi dengan perhitungan metode Theis. Hasil studi menunjukan nilai drawdown dari perhitungan Theis lebih kecil dari hasil simulasi numerik. Outflow pada pemodelan juga menghasilkan nilai yang lebih besar dari pengamatan di lapangan. Parameter adjustment berupa nilai konduktivitas hidraulik kemudian dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap besar drawdown. Hasilnya menunjukan bahwa nilai konduktivitas hidraulik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan besar drawdown. Kata kunci: drawdown, confined aquifer, inclined drain hole, dewatering

4 PRELIMINARY STUDY OF AQUIFER PROPERTY IN A NUMERICAL SIMULATION OF DRAWDOWN WITH FINITE DIFFERENCE METHOD DUE TO THE INSTALLATION OF INCLINED DRAIN HOLE AT LOW WALL PIT E BMO PT. BC ABSTRACT One of many factors contributing to slope failure is groundwater. Water increases the pore water pressure and decreases the shear strength. In 009, slope failure occurred at Pit E low wall PT.BC. The aim of this study is to define the drawdown in 8 years of simulation after the installation of inclined drain hole in 016 as the solution to stabilize the slope. Conceptual model is built by initial heads, precipitation, topography and theoretical aquifer property. The simulation was conducted within two scenarios, first was done to drain holes out of 6 drain holes in total and second was done to all of the six drain holes with 50 meters and 80 meters variation in length. The aquifer system of study area is confined aquifer. Model calibration showed smaller drawdown in calculation of Theis and bigger outflow in numerical simulation. Parameter adjustment was then being carried out to see the effect of changes in hydraulic conductivity on drawdown. Apparently, it showed significance difference in results. Keywords: drawdown, confined aquifer, inclined drain hole, dewatering

5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas anugrah-nya, Tugas Akhir ini dapat diselesaikan tepat waktu. Tugas Akhir ini berjudul Preliminary Study Properti Akuifer Terhadap Simulasi Numerik Penurunan Muka Airtanah dengan Metode Beda Hingga Akibat Pemasangan Inclined Drain Hole pada Low Wall Pit E BMO PT. BC. Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Eksplorasi Tambang di Institut Teknologi dan Sains Bandung. Pengerjaan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari beberapa pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Orang tua penulis, mama dan papa berkat kerja keras selama ini, serta doa dan dukungan dalam bentuk apapun, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sarjananya di Institut Teknologi dan Sains Bandung. Adik penulis, Carolus Vito Alvando atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis.. Program Studi Eksplorasi Tambang Institut Teknologi dan Sains Bandung sebagai tempat penulis menempuh studi sarjana.. Bapak Dr. Dasapta Erwin Irawan selaku dosen pembimbing pertama, serta Bapak Achmad Darul Rochman, M.T selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan, semangat, motivasi dan kritik yang membangun bagi penulis. 4. Seluruh Staf Pengajar Prodi Ekplorasi Tambang, Bapak Ir. Mulyono, M.Sc, Bapak Andyono Broto Santoso, M.T, Bapak Rian Andriansyah, M.T serta staf pengajar lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu per satu atas pengajaran dan bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh studi sarjana. 5. Bapak Yombi Wikso Gautama selaku Manajer Departemen Geoteknik dan Hidrologi PT. Berau Coal atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan Kerja Praktik disana.

6 6. Bapak Ichsan Sebastian, Bapak Ahmad Baiquni, Bapak Hanafi dan Kak Pandu Zea atas bimbingan, semangat dan bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan Kerja Praktik. Serta GNH Team yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 7. Bapak Nanang N.C selaku WKTT site BMO atas kesempatan serta bimbingan yang diberikan kepada penulis selama penulis melaksanakan Kerja Praktik. 8. Seluruh teman-teman Ekplorasi Tambang 01 atas canda, tawa, semangat, suka dan duka yang selama ini diberikan, terima kasih atas kenangannya. 9. Sahabat penulis, Elya Hizkia, Nikolaus Sigit Gusti, Titits Gayuh, Cindy Clara Afrisca, Cecilia Maria Erista, A la-carte family, Alberta Noven, Jessica Nathania dan Victoria Eleny atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 10. Kepada seseorang yang sudah datang di kehidupan penulis, walau sebentar tapi kenangan serta luka yang ditinggalkan begitu mendalam. Terima kasih atas semangat, dukungan, kepercayaan dan hal lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Sehingga penulis memohon kritik serta saran sebagai bentuk dari pengembangan studi ini, agar kiranya Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Bandung, 4 Agustus 017 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN...

7 RINGKASAN... ABSTRACT...4 KATA PENGANTAR...5 DAFTAR ISI...6 DAFTAR GAMBAR...9 DAFTAR TABEL...10 BAB 1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN... 1.BATASAN MASALAH METODE PENELITIAN Metode pengumpulan data Metode pengolahan data HIPOTESIS SISTEMATIKA PENULISAN...4 BAB TINJAUAN PUSTAKA...6.1SIKLUS HIDROLOGI...6.AKUIFER Jenis-jenis akuifer...7..properti akuifer...9.prinsip ALIRAN AIRTANAH Hukum Darcy Drawdown pada akuifer terkekang pemodelan DAN SIMULASI AIRTANAH MODFLOW Finite difference method...0

8 .4.Model kalibrasi...4 BAB KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN...6.1LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH...6.GEOLOGI REGIONAL.....1Fisiografi regional.....stratigrafi regional...8.geologi DAERAH PENELITIAN Morfologi...1..Stratigrafi.....Model Konseptual....4CURAH HUJAN...5.5EVAPOTRANSPIRASI...6 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan Penurunan Muka Airtanah Simulasi Penurunan Muka Airtanah Kalibrasi Hasil Penurunan Muka Airtanah berdasarkan Metode Perhitungan menurut Theis (195) dan Hasil Simulasi Numerik Parameter Adjustment...46 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SARAN...5 DAFTAR PUSTAKA...54 LAMPIRAN...56

9 DAFTAR GAMBAR Gambar Diagram Alir Penelitian...4 Gambar.0. Siklus hidrologi (Modifikasi dari Fetter 001)...7 Gambar.0. Akuifer Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994)...8 Gambar.0.4 Akuifer Tidak Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994)...8 Gambar.0.5 Akuifer Semi Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994)...9 Gambar.0.6 Hydraulic conductivity dan transmissivity (Modifikasi J. Patrick Powers 007)...1 Gambar.0.7 Percobaan Darcy (Darcy s Law)...15 Gambar.0.8 Drawdown pada Akuifer Terkekang (Fetter 001)...16 Gambar.0.9 Model Grid (diunduh dari pada Agustus 017)....1 Gambar.0.10 Block-centered finite-difference grid (Fetter 001)... Gambar.0.11 Mesh-centered finite-difference grid (Fetter 001)... Gambar.0.1 Finite-difference Grid (Fetter 001)... Gambar.0.1 Notasi Komputer pada finite-difference Grid (Fetter 001)...

10 Gambar.0.14 Peta Daerah Penelitian (dimodifikasi dari Bakosurtanal, diunduh dari pada Juli 017)... Gambar.0.15 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur (diunduh dari pada Januari 016)...8 Gambar.0.16 Korelasi satuan peta geologi regional Tanjung Redeb (Situmorang & Burhan 1995)...1 Gambar.0.17 Peta Morfologi Daerah Penelitian... Gambar.0.18 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian... Gambar.0.19 Peta Cekungan Air Tanah Daerah Penelitian...4 Gambar.0.0 Peta Arah Aliran Airtanah pada Daerah Penelitian...5 Gambar.0.1 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan ( )...6 Gambar.0. Evapotranspirasi Rata-Rata 10 tahun ( )...6 Gambar 4. Radius Pengaruh spasi IDH terhadap Drawdown...40 Gambar 4.4 Model Konseptual Daerah Penelitian...4 Tabel.1 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang tidak terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990)...10

11 Tabel.. Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990)...10 Tabel. Nilai Hydarulic conductivity pada batuan kristalin (Domenico dan Schwartz 1990)...11 Tabel.4 Nilai porositas, specific yield dan specific retention (Health 198)....1 Tabel.5 Nilai specific yield (Morris dan Johnson 1967)...14

12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Airtanah merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan lereng. Air akan mengisi pori lapisan tanah sehingga tekanan air pori meningkat. Hal ini mengurangi kekuatan tanah dan mengakibatkan nilai kuat geser menurun. Untuk meningkatkan nilai kuat geser, gaya penahan harus diperbesar. Salah satu cara nya adalah dengan melakukan dewatering atau penirisan tambang. PT. Berau Coal merupakan salah satu dari 5 perusahaan batubara terbesar di Indonesia. PT. Berau Coal saat ini memiliki tiga wilayah penambangan yang aktif, salah satunya adalah wilayah penambangan Binungan (Binungan Mine Operation). Pada tahun 009, di Pit E khususnya low wall pernah terjadi longsor. Berdasarkan kajian, longsor terjadi akibat adanya akuifer terkekang. Sistem akuifer ini memberikan tekanan yang cukup besar terhadap lereng, sehingga mengakibatkan lereng runtuh. Oleh sebab itu, untuk mengurangi tekanan hidrostatis airtanah, proses dewatering dilakukan. Kegiatan dewatering dilakukan dengan menggunakan sistem drainhole yang dipasang secara inclined. Studi tugas akhir ini ditujukan untuk mengetahui besar penurunan muka airtanah setelah dewatering dilakukan. Simulasi terhadap penurunan muka airtanah dilakukan selama 8 tahun disesuaikan dengan umur tambang pada daerah penelitian dengan dua skenario, yaitu pada skenario pertama, simulasi dilakukan terhadap tiga drainhole aktif, sedangkan skenario kedua dilakukan dengan penambahan drainhole di luar model. Besar penurunan muka airtanah didapatkan dengan melakukan perhitungan penurunan muka airtanah berdasarkan metode perhitungan Theis (195) kemudian menyimulasikannya ke dalam sistem numerik beda hingga. Output yang

13 diharapkan berupa perbandingan besar penurunan muka airtanah terhadap sumur pantau dari simulasi yang telah dilakukan dengan dua skenario. 1. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar perubahan penurunan muka airtanah setelah dilakukannya dewatering terhadap instalasi drainhole. 1. BATASAN MASALAH Adapun batasan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Simulasi penurunan muka airtanah berfokus pada low wall Pit E BMO terhadap dewatering yang dilakukan melalui pemasangan drainhole. b. Kondisi recharge diambil 15% dari curah hujan dan evapotranspirasi diambil 5% dari curah hujan. (Cahyadi, 016) c. Nilai properti akuifer dilakukan berdasarkan pendekatan teoritis menurut Morris and Johnson (1967), Domenico and Shwartz (1990) dan Health (198). d. Simulasi penurunan muka airtanah pada sistem akuifer terkekang, isotropi dan homogen. 1.4 METODE PENELITIAN Metode pengumpulan data Pada penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder dengan penjelasan sebagai berikut: a. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Data primer pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Data tinggi Muka Airtanah (MAT) yang diperoleh dari pengukuran langsung dengan Water Level Measurement dan diukur melalui Inclined drain hole (IDH) dan Vertical Drain Hole (VDH). Data pengukuran debit aliran dari IDH. b. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia pada instansi

14 terkait. Data sekunder pada penelitian adalah: Topografi permukaan dengan kondisi actual tahun 016 yang berfungsi sebagai basin hidrologi. Data penampang geologi pada mengetahui litologi guna menentukan hidrostratigrafi. Data curah hujan rata-rata periode tahun dengan low wall berfungsi untuk stasiun BMO (Binungan Mine Operation ), sebagai data recharge. Data rata-rata evapotransipirasi BMO tahun Data properti hidrogeologi berupa nilai konduktivitas hidraulik dan storage coefficient melalui pendekatan teoritis menurut Domenico dan Schwartz (1990), Morris and Johnson (1967) dan Health (198) 1.4. Metode pengolahan data Pada penelitian ini, analisis mengenai penurunan muka airtanah dilakukan dengan dua metode yaitu berdasarkan metode perhitungan Theis (195) dan simulasi numerik dengan metode beda hingga (finite difference method) pada perangkat lunak Visual Modflow (Trial Version). a. Hidrostratigrafi daerah penelitian mengacu pada data cross section perusahaan yang dilakukan dengan interpolasi polynomial berbasis kriging pada perangkat lunak Minescape. b. Dat a c. muka Simulasi penurunan muka airtanah Pengolahan Data airtanah dilakukan selama 8 tahun. Melakukan kalibrasi hasil penurunan terhadap kedua metode penelitian. Metode Perhitungan Theis (195) Simulasi Numerik Kali brasi Diagram Parameter Adjustment alir Unacce ptable Er ro r Accepta ble Calibrated penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1

15 Gambar Diagram Alir Penelitian 1.5 HIPOTESIS Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah besar penurunan muka airtanah berdasarkan metode perhitungan Theis (195) akan mengalami penurunan sebesar 8 meter pada akhir tahun simulasi. 1.6 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian diawali dengan adanya latar belakang penelitian. Kemudian maksud dan tujuan penelitian ditentukan. Untuk mencapai maksud dan tujuan, penelitian dibatasi oleh beberapa hal, lalu diikuti dengan pembuatan hipotesis awal. Penentuan metodologi dibuat sebagai bahan acuan dalam proses pengambilan dan pengolahan data penelitian.

16 Selanjutnya penulisan dilanjutkan dengan tinjauan pustaka yang terdiri dari 4 (empat) buku, 4 (empat) publikasi, 1 (satu) tesis yang berisikan review pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Kondisi geologi dan hidrogeologi daerah penelitian didapatkan dari studi literature dan data sekunder. Analisis dilakukan terkait masing-masing data yang telah dituliskan pada bab sebelumnya. Kesimpulan berisikan intisari dari hasil penelitian dan pernyataan mengenai hubungan hasil penelitian dengan hipotesis, termasuk juga alasan-alasan yang menyebabkan hasil penelitian berbeda atau sama dengan hipotesis. Selain itu dalam bab ini juga dipaparkan saran untuk penelitian selanjutnya yang mungkin dapat dikembangkan terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan.

17 BAB TINJAUAN PUSTAKA.1 SIKLUS HIDROLOGI Air mengalami evaporasi dari permukaan laut dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah tersebut berbanding lurus dengan energi yang bekerja sebagai media evaporasi. Saat kondisi atmosfer stabil, uap air terkondensasi dan membentuk butiran air. Air tersebut kemudian turun ke laut atau daratan yang disebut sebagai presipitasi (air hujan). Air dapat tersimpan pada danau, sungai atau laut yang disebut surface water atau dapat terinfiltrasi hingga bawah permukaan (infilltration). Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan tersaturasi dengan air. Bagian atas dari zona saturasi disebut water table. Air yang tersimpan pada zona saturasi disebut groundwater, yang kemudian mengalir melalui tanah atau batuan sampai menjadi discharge dalam bentuk mata air atau seepage seperti kolam, danau, sungai atau laut. Presipitasi diterima oleh vegetasi yang dapat berevaporasi. Evaporasi langsung dari groundwater dapat terjadi jika zona saturasi dekat dengan permukaan. Transpirasi dari vegetasi serta evaporasi dari daratan disebut sebagai evapotranspirasi. Siklus hidrologi ditunjukan pada Gambar.1.

18 Gambar.0. Siklus hidrologi (Modifikasi dari Fetter 001). AKUIFER Airtanah dapat digambarkan sebagai formasi yang mengandung material tersaturasi bersifat permeable dengan jumlah yang cukup untuk dapat menghasilkan air dari sumur atau mata air. Hal ini mengimplikasikan suatu kemampuan dalam menyimpan dan mengalirkan air, contohnya pasir dan kerikil. Sebuah akuifer memiliki lapisan dasar yaitu material yang relatif bersifat impermeable, secara stratigrafi berbatasan langsung dengan satu atau lebih akuifer disebut confining beds. Beberapa tipe confining beds adalah akuiklud, akuifug dan akuitar. Berikut pengertian dari masing-masing confining beds: a. Akuiklud merupakan material tersaturasi bersifat impermeable yang tidak menghasilkan jumlah air yang cukup besar, contohnya clay. b. Akuifug adalah formasi yang impermeabel, tidak dapat mengalirkan bahkan menyimpan air, contohnya solid granite. c. Akuitar adalah lapisan tersaturasi, memiliki sifat permeabel yang kecil dan menghambat pergerakan airtanah serta tidak menghasilkan air dalam jumlah besar namun dapat mengalirkan air; ke atau dari akuifer yang berbatasan langsung, dengan ketebalan yang dapat membentuk suatu zona penyimpanan air tanah, contohnya sandy clay...1 Jenis-jenis akuifer Berdasarkan kemampuan suatu akuifer dalam meloloskan air, sistem akuifer dibagi menjadi akuifer terkekang, akuifer tidak terkekang dan akuifer semi terkekang. a. Akuifer terkekang atau yang biasa disebut artesian atau pressure aquifer adalah lapisan akuifer yang dibatasi akuiklud pada bagian atas dan bawahnya, jika dilihat kondisi head lebih tinggi dari atap akuifer (Gambar.).

19 Gambar.0. Akuifer Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994). b. Akuifer tidak terkekang adalah akuifer yang dibatasi oleh akuiklud di bagian bawahnya tetapi di bagian atasnya tidak ada lapisan penutup. Berdasarkan tekanan (head) nya, posisi head sama dengan atap akuifer (Gambar.). Gambar.0.4 Akuifer Tidak Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994). c. Akuifer semi terkekang, yaitu akuifer yang dibatasi oleh akuitard di bagian atas dan di bagian bawahnya oleh akuiklud atau akuitard dan head terletak diantara akuifer terkekang dan tak terkekan (Gambar.4).

20 Gambar.0.5 Akuifer Semi Terkekang (Kruseman dan de Ridder 1994)... Properti akuifer...1 Hydarulic conductivity (K) dan Transmissivity (T) Hydarulic conductivity adalah kemampuan suatu material dalam mentransmisikan air. Hydarulic conductivity (K) memiliki satuan cm/s atau m/s. Nilai K tidak konstan, tergantung pada media dan fluida (viskositas dan densitas fluida yang tergantung pada tekanan dan temperatur). Menurut hukum Darcy, Hydarulic conductivity dinyatakan sebagai: L Liter(volume) L L ( )( )=( )= L T Waktu L ( ) Q T K= = dh A( ) dl Keterangan: Q adalah debit air (m/hari) A adalah luas akuifer (m) Menurut Domenico dan Schwartz 1990 (Tabel.1,., dan.), nilai

21 representatif hydarulic conductivity pada masing-masing material seperti material sedimen yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi, serta batuan kristalin dapat dijelaskan pada tabel sebagai berikut: Tabel.1 Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang tidak terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen Nilai Hydarulic conductivity (m/s) Gravel x 10-4 sampai x 10- Coarse sand 9 x 10-7 sampai 6 x 10- Medium sand 9 x 10-7 ssampai 5 x 10-4 Fine sand x 10-7 sampai x 10-4 Silt, loess 1 x 10-9 sampai x 10-5 Till 1 x 10-1 smpai x 10-6 Clay 1 x sampai 4,7 x 10-9 Unweathered marine clay 8 x 10-1 sampai x 10-9 Tabel.. Nilai hydarulic conductivity pada material sedimen yang terkonsolidasi (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen Nilai Hydarulic conductivity (m/s) Karst and reef limestone 1 x 10-6 sampai x 10- Limestone, dolomite 1 x 10-9 sampai 6 x 10-6 Sandstone x sampai 6 x 10-6 Siltstone 1 x sampai 1,4 x 10-8 Salt 1 x 10-1 sampai 1 x 10-10

22 Anhydrite 4 x 10-1 smpai x 10-8 Shale 1 x 10-1 sampai x 10-9 Tabel. Nilai Hydarulic conductivity pada batuan kristalin (Domenico dan Schwartz 1990) Jenis Material Sedimen Nilai Hydarulic conductivity (m/s) Permeable basalt 4 x 10-7 sampai x 10- Fractured igneous and metamorphic 8 x 10-9 sampai x 10-4 rock Weathered granite, x 10-6 sampai 5, x 10-5 Weathered gabbro 5,5 x 10-7 sampai,8 x 10-6 Basalt x sampai 4, x 10-7 Unfractured igneous and x sampai x metamorphic rock Transmissivity berhubungan dengan ketebalan Transmissivity memiliki rumus: T = K.b Keterangan: K merupakan hydraulic conductivity (m/s) b merupakan ketebalan akuifer (m) dari sebuah akuifer.

23 Transmissivity merupakan salah satu faktor utama dalam kegiatan dewatering, karena nilai transmissivity menunjukkan banyaknya air yang harus dipompa dalam kegiatan dewatering (Gambar.5). Gambar.0.6 Hydraulic conductivity dan transmissivity (Modifikasi J. Patrick Powers 007).... Storativitas (S) Storativitas atau storage coefficient dari sistem akuifer terkekang merupakan fungsi dari kedalaman dan ketebalan akuifer. Sehingga, storativitas didefinisikan sebagai berikut: S=S s b Keterangan, S adalah storativitas (tidak berdimensi), Ss adalah specific storage yaitu properti hidrogeologi yang berkaitan dengan kompresibilitas akuifer atau akuitar dan air: SS = g ( + e ) Keterangan: adalah densitas air (M/L), g adalah nilai gravitasi (g = 9,8 m/sec) (L/T), α adalah kompresibilitas akuifer atau akuitar (TL/M) e adalah efektif porositas (tidak berdimensi), β adalah kompresibilitas air (β = 4,4 x m.sec/kg atau Pa-1) (TL/M) Nilai storativitas dari akuifer terkekang biasanya memiliki nilai dari 5 x 10-5 sampai 5 x 10- (Todd 1980), sedangkan untuk akuifer tidak terkekang memiliki nilai 0.1 sampai 0. (Lohman 197).

24 ... Specific yield (Sy) Specific Yield atau efektif porositas adalah volume air yang dibebaskan dari sebuah sistem akuifer tidak terkekang untuk setiap luasan area dan satuan penurunan muka airtanah. Bear 1979 merelasikan specific yield dengan total porositas sebagai berikut: S y +S r Keterangan: adalah porositas total (tidak berdimensi) Sy adalah specific yield (tidak berdimensi) Sr adalah specific retention (tidak berdimensi) Sejumlah air ditahan oleh gaya kapiler selama proses drainase, sehingga specific yield memiliki nilai yang lebih kecil dari porositas total dari akuifer tidak terkekang (Bear 1979). Berikut nilai porositas, specific yield dan specific retention menurut Health 198 yang akan dijelaskan melalui (table 4 dan tabel 5) sebagai berikut: Tabel.4 Nilai porositas, specific yield dan specific retention (Health 198). Material Porosity (%) Specific yield (%) Specific retention (%) Soil Clay Sand 5 Gravel Limestone 0 18

25 Sandstone (unconsolidated) Granite Basalt (young) 11 8 Sedangkan menurut Morris dan Johnson 1967, nilai representatif dari specific yield untuk berbagai jenis material geologi adalah sebagai berikut: Tabel.5 Nilai specific yield (Morris dan Johnson 1967). Material Specific Yield (%) Gravel, fine 8 Gravel, medium 4 Sand, coarse 0 Sand, medium Sand, fine Sandstone, fine grained 1 Sandstone, medium grained Till, predominantly silt 16 Till, predominantly sand 16

26 . PRINSIP ALIRAN AIRTANAH..1 Hukum Darcy Laju aliran melalui media berpori berbanding lurus dengan head loss dan luas penampang, tetapi berbanding terbalik dengan panjang aliran. Hal ini dibuktikan dengan mengalirkan air pada debit tertentu Q (L T1) melalui suatu tabung dengan luas penampang A (L) yang diisi oleh air dan pasir. Selisih tinggi yang terbaca pada manometer sebesar L(L), jika h1 dan h merupakan tinggi di atas bidang datum (Gambar.6). Gambar.0.7 Percobaan Darcy (Darcy s Law)... Drawdown pada akuifer terkekang Analisis matematis dari transient drawdown (Gambar.7) pertama kali dikemukakan oleh C. V. Theis (195) dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sistem akuifer merupakan akuifer terkekang.. Tidak ada recharge pada akuifer.. Akuifer bersifat compressible dan air dilepaskan langsung dari akuifer saat head mengalami penurunan. 4. Well dipompa pada constant rate. Dengan persamaan:

27 Q=( πrb) K dh dr Keterangan: Q merupakan pumping rate (L/ T) r merupakan jarak radial dari circular section ke well (L) b merupakan tebal akuifer (L) K merupakan hydraulic conductivity (L/T) dh/dr merupakan hydraulic gradient (tidak berdimensi) Gambar.0.8 Drawdown pada Akuifer Terkekang (Fetter 001). Transmissivity (T) merupakan hasil dari tebal akuifer dan hydraulic conductivity, persamaannya adalah sebagai berikut: Q = πrt ( h r =r h r = Q πt Secara matematis, initial conditions pada horizontal potentiometric surface, dinyatakan dalam: h(r,0) = h0 untuk semua r Boundary condition menandakan infinite horizontal extent tanpa drawdown di setiap waktu, yaitu:

28 h(,t) = h0 untuk semua t Sehingga dari persamaan-persamaan di atas, didapatkan persamaan: a Q e h0 h= 4 πt u a da Keterangan u adalah: r S u= 4 Tt Keterangan: Q merupakan constant pumping rate (L/T; m/hari atau ft/d) h merupakan hydraulic head (L; m atau ft) h0 meripakan initial hydraulic head (L; m atau ft) ho-h merupakan drawdown (L; m atau ft) T merupakan aquifer transmissivity (L/T; m/hari atau ft/d) t merupakan waktu setelah pumping dimulai (T; d) r merupakan jarak radial dari pumping well (L; m atau ft) S merupakan aquifer storativity (tidak berdimensi)..4 PEMODELAN DAN SIMULASI AIRTANAH.4.1 MODFLOW MODFLOW merupakan pemodelan modular finite difference flow milik U.S. Geological Survey, yang merupakan kode komputer untuk memecahkan persamaan aliran airtanah. Program ini dianggap sebagai standar internasional untuk menyimulasikan dan memprediksi kondisi airtanah dan interaksi air tanah / permukaan air melalui akuifer. Kode program ini adalah perangkat lunak domain publik gratis yang ditulis terutama dalam Fortran, dan dapat dioperasikan pada sistem operasi Microsoft Windows atau Unix Persamaan aliran airtanah Persamaan diferensial parsial pada confined aquifer yang digunakan dalam MODFLOW adalah:

29 Keterangan: Kxx, Kyy Kzz adalah nilai hydraulic conductivity dengan sumbu koordinat x, y, dan z h adalah nilai potensiometrik head W adalah volumetric flux per satuan volume yang mewakili sumber dimana nilai negatifnya adalah ekstraksi dan nilai positif adalah injeksi. SS adalah specific storage dari bahan berpori. t adalah waktu Finite difference pada bentuk diferensial parsial dalam domain akuifer (yang ditunjukkan dengan menggunakan baris, kolom dan layer) adalah: Keterangan: hmijk adalah head di sel i, j, k pada langkah waktu m CV, CR dan CC adalah konduktivitas hidraulik atau branch antara node i, j, k dan neighbor node Pi,j,k adalah jumlah koefisien head dari istilah source and sink Qi,j,k adalah jumlah konstanta dari istilah sumber dan sink, Q i,j,k < 0,0, merupakan outflow (pumping) dan Qi,j,k > 0.0, merupakan inflow (sumur injeksi) SSi,j,k adalah specific storage Δrj, Δci, Δvk adalah dimensi sel i, j, k, yang bila dikalikan mewakili volume sel Tm waktu pada saat m

30 Persamaan ini diformulasikan ke dalam sistem persamaan yang harus dipecahkan sebagai: dimana: Atau dalam bentuk matriks sebagai Keterangan: A adalah matriks koefisien head untuk semua simpul aktif di grid h adalah vektor nilai head pada akhir langkah waktu m untuk semua node dalam grid q adalah vektor dari istilah konstan, RHS, untuk semua node grid.4.1. Versi pada MODFLOW USGS telah banyak menerbitkan beberapa versi dari MODFLOW. Hingga saat ini terdapat 6 versi utama MODLFOW yaitu MODFLOW-84, MODFLOW-88, MODFLOW-96, MODFLOW-000, MODFLOW-005, dan MODFLOW 6. Tiga kode pertama dari kode, MODFLOW-84, MODFLOW-88 dan MODFLOW-96, didasarkan pada konseptualisasi awal dari program sebagai model aliran airtanah saja. Aspek spesifik dari sistem aliran air tanah disimulasikan oleh kode ini dengan menggunakan komponen pemrograman

31 modular independen yang disebut "Packages", seperti Well Package and River Package. Desain modular MODFLOW dikembangkan lebih jauh dengan merilis MODFLOW-000 dengan penambahan "Processes," yang didefinisikan sebagai bagian dari kode yang memecahkan persamaan utama atau rangkaian persamaan terkait dan terdiri dari rangkaian paket yang mendasarinya. Bagian dari kode yang memecahkan persamaan aliran airtanah menjadi the Groundwater Flow (GWF) Process. Meskipun proses tambahan telah dikembangkan untuk MODFLOW, Proses GWF tetap merupakan proses inti dimana kemampuan simulasi MODFLOW lainnya dibangun. Perubahan utama dalam MODFLOW-005 dari MODFLOW-000 adalah pendekatan yang digunakan oleh MODFLOW-005 untuk mengelola data internal..4. Finite difference method Model merupakan representasi dari kondisi aktual dalam bentuk yang lebih sederhana. Model dapat dijelaskan melalui sebuah deskripsi, gambar atau persamaan matematis. Persamaan matematis seperti pada pemodelan airtanah, salah satunya diselesaikan dengan metode finite difference method, dimana model direpresentasikan dengan sebuah grid yang tersusun atas cells dan layers (Gambar.8). Untuk mendefinisikan kondisi hidrogeologi pada model, beberapa data seperti nilai properti akuifer, recharge, atau litologi dimasukan pada setiap cells. Secara alamiah, air akan masuk ke dalam tanah (recharge) dan keluar sebagai discharge. Inilah yang disebut boundary condition pada model (Welch, 006).

32 Gambar.0.9 Model Grid (diunduh dari pada Agustus 017). Metode finite difference digunakan untuk mengetahui nilai property dari sebuah akuifer melalui setiap poin yang ada di dalam boundary. Untuk mengetahui nilai tersebut, poin-poin diselesaikan dalam grid pattern. Ada macam finite-difference grid yang ditunjukkan pada (Gambar.9 dan.10), masing-masing merupakan block-centered grid dan mesh-centered grid. Yang berasosiasi dengan grid disebut node points, dimana suatu persamaan diselesaikan untuk mengetahui nilai dalam boundary. Serta yang berasosiasi dengan node points merupakan nilai yang diketahui dari suatu parameter, contohnya adalah transmissivity dan storativity. Block-centered grid merupakan node points yang terletak di bagian tengah grid, sedangkan mesh-centered grid merupakan node points yang terletak di setiap perpotongan dari grid lines. Kedua jenis finite difference digunakan berdasarkan kondisi boundary. Ada jenis kondisi boundary, yaitu Dirichlet Condition, Neumann Condition dan Mixed Boundary. Dirichlet condition merupakan kondisi dimana head diketahui pada boundary. Sedangkan

33 Neumann condition merupakan kondisi dimana nilai flux atau specific discharge diketahui. Mixed boundary merupakan nilai flux yang diekspresikan dengan nilai head pada boundary atau constant head. Gambar.0.10 Block-centered finite-difference grid (Fetter 001) Gambar.0.11 Mesh-centered finite-difference grid (Fetter 001) Notasi (x, y) dalam finite-difference digunakan untuk mendeskripsikan posisi dari nodes, yaitu x pada jarak ke kiri atau ke kanan dan y pada jarak ke atas atau ke bawah. X memiliki nilai positif ke arah kanan, dan Y positif ke arah bawah. Pada notasi komputer, nodes bernilai i dan j, jika i merepresentasikan kolom dan j merepresentasikan baris. Notasi i bernilai positif ke kanan dan j bernilai

34 positif ke arah bawah (Gambar.11). Sehingga nilai di atas baris j adalah j 1 dan nilai di bawah baris j adalah j + 1. Begitu juga dengan nilai i, bernilai i 1 ke arah kiri dan bernilai i + 1 ke arah kanan (Gambar.1). Gambar.0.1 Finite-difference Grid (Fetter 001) Gambar.0.1 Notasi Komputer pada finite-difference Grid (Fetter 001). Transient flow merupakan perubahan head dengan fungsi waktu, diaplikasikan dalam penentuan perubahan head pada pumping well. Pada kondisi ini, persamaan yang digunakan adalah (Anderson & Woessner 199):

35 ( 1 )(hn +1 hni, j) t i, j 1 n+1 n +1 n+1 n+1 hni++11, j +hi 1, )( S a )] j +hi, j+1 +hi, j 1 4 hi, j =[( T Keterangan: S adalah storativity T adalah transmissivity t adalah time step a = x = y = dimensi dari finite-difference grid n merupakan jumlah ke-n dari time step.4. Model kalibrasi Model kalibrasi merupakan cara untuk memvalidasi hasil dari model yang sudah dibuat. Kalibrasi dikatakan berhasil jika model mampu menghasilkan nilai head atau flow (calibration values) yang hampir sama dengan nilai head atau flow dalam perhitungan (field-measured) dengan error yang kecil, (Anderson, 199). Ada dua cara mendasar untuk mencapai kalibrasi yaitu manual trial-and-error adjustment dan automated estimation Trial-and-error Calibration Pada metode ini, parameter kalibrasi (head atau flow) diberikan pada setiap node dalam grid. Selama proses kalibrasi, parameter tersebut disesuaikan secara regular dalam kurun waktu dimana model disimulasikan, hingga mencapai nilai head atau flow yang menjadi target kalibrasi. Untuk mencapai kalibrasi, dibutuhkan puluhan hingga ratusan trial-and-error. Sebagai contoh, Maclay and Land (1988), harus melakukan hingga 00 simulasi untuk mencapai target kalibrasi. Namun pada beberapa model yang menghasilkan nilai akurasi yang tinggi, mungkin hanya butuh sedikit adjustment atau bahkan tidak sama sekali. Metode ini diperlukan keahlian serta good judgement dari modeler..4.. Automated Calibration Automated inverse modeling merupakan penyelesaian kalibrasi (codes) yang menggunakan pendekatan secara langsung atau tidak langsung. Pada

36 pendekatan secara langsung, parameter yang tidak diketahui (unknown parameter) berlaku sebagai variabel tidak bebas pada persamaan, sedangkan heads sebagai variabel bebas. Ini artinya bahwa heads harus diinput pada setiap nodes. Namun, metode ini cenderung tidak stabil, karena perhitungan error tidak dikenali pada metode ini. Sedangkan metode dengan pendekatan tidak langsung, penyelesaian (codes) hampir mirip dengan trialand-error calibration, sehingga forward problem diselesaikan secara berkala. Inverse code secara otomatis memeriksa head solution dan menyesuaikan parameter dengan cara yang sistematis untuk meminimalkan perbedaan antara simulated dan observed heads. Metode tidak langsung diformulasikan secara statistik bila error pada heads dan parameter lainnya diperhitungkan. Kesimpulannya adalah bahwa kedua metode dasar dalam kalibrasi model, yaitu trial-and-error calibration dan automated calibration, tidak ada yang lebih baik dalam penggunaannya. Namun memang pada automated calibration, proses kalibrasi mengefisienkan waktu. menjadi lebih singkat sehingga dapat

37 BAB KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN.1 LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH Daerah penelitian merupakan daerah konsesi PKPB PT. Berau Coal site Binungan. Daerah Binungan secara admisnistratif terletak di wilayah Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Secara administratf area Binungan terletak pada koordinat 1 59'9."N 117 '8."E, ± 6 km dari kota Tanjung Redeb. Kesampaian lokasi site Binungan dapat ditempuh dengan rute sebagai berikut: a. Dari Jakarta ke Balikpapan dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat selama ± jam. Kemudian dari Balikpapan ke Berau ditempuh kembali dengan menggunakan pesawat selama ± 1,5 jam. Setelah sampai di Berau, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan taksi sampai Head Office PT. Berau Coal Tanjung Redeb selama ± 17 menit. b. Dari Head Office PT. Berau Coal Tanjung Redeb menuju site Binungan, pertama ditempuh menggunakan mobil atau motor selama ± 0 menit sampai Prapatan, kemudian dilanjutkan dengan menyebrang sungai menggunakan boat selama kurang dari satu menit. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menggunakan LV menuju office Binungan selama ± 0 menit.

38 Daerah Penelitian Gambar.0.14 Peta Daerah Penelitian (dimodifikasi dari Bakosurtanal, diunduh dari pada Juli 017).. GEOLOGI REGIONAL..1 Fisiografi regional Daerah Binungan terletak pada Sub-basin Berau dari Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan (Gambar.) merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier, terletak di Kalimantan. Cekungan Tarakan terbagi menjadi empat sub cekungan (sub-basin), yaitu Tarakan Sub-basin, Tidung Sub-basin, Muara Sub-basin dan Berau Sub-basin (Tossin dan Kadir, 1996; Achmad and Samuel, 1984). a. Tarakan Sub-basin terletak pada bagian tengah dan merupakan subbasin paling muda. Perkembangan paling utara kearah lepas pantai dan terisi dengan formasi Tarakan-Bunyu yang berumur Miosen Akhir. b. Berau Sub-basin terletak pada bagian selatan dan sebagian besar berkembang di daratan. Terisi oleh sedimen berumur Eosen Akhir sampai Miosen Akhir.

39 c. Muara Sub-basin merupakan deposenter paling selatan dan perkembangan sedimennya kearah lepas pantai di utara Tinggian Mangkalihat. Dipisahkan dengan Berau Sub-basin, di utaranya oleh Suikerbrood Ridge, yaitu siatu tinggian yang berarah Barat-Timur. d. Tidung Sub-basin terletak paling utara dan untuk sebagian besar berkembang di daratan, terisi sedimen berumur Oligosen sampai Miosen Akhir. Dipisahkan dengan Berau Sub-basin di bagian selatan oleh Sekatak Ridge. Gambar.0.15 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur (diunduh dari pada Januari 016)... Stratigrafi regional Berdasarkan Peta Geologi keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung pada Lembar Tanjung Redeb (1995), secara regional daerah anak cekungan terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api dan batuan beku dengan kisaran umur dari PraTersier (Kapur) hingga Kuarter. Anak Cekungan Berau dari yang tua ke muda terdiri dari Formasi Banggara (Kbs), Formasi Sambakung (Tes), Formasi Tabalar (Teot), Formasi Birang (Tomb), Formasi Latih (Tml), Formasi Tabul (Tmt), Formasi Labanan (Tmpl), Formasi Domaring (Tmpd), Formasi Sinjin (Tps), Formasi Sajau (TQps), dan Endapan aluvial (Qa) seperti yang ditunjukkan pada Gambar..

40 a. Formasi Bangara (Kbs): Formasi ini merupakan perselingan batulempung malih, batulempung terkersikkan, batulempung hitam bersisipan serpih, dan laminasi tufa, mengandung radiolaria, satuan batuan merupakan endapan flysch dan diperkirakan berumur kapur. b. Formasi Sembakung (Tes): Formasi Sembakung tersusun dari batulempung, batulanau, dan batupasir di bagian bawah; Batupasir kuarsa, batugamping pasiran, rijang dan tufa di bagian atas; mengandung fosil Nummulites sp, Discocylclina sp, Operculina sp, Globigerina sp, Reusela sp, Nodosaria sp, Planulina sp, Amphistegina sp, dan Borelis sp. Tebal satuan batuan lebih dari 1000 m dan diendapkan dalam lingkungan laut, berumur Eosen. c. Formasi Tabalar (Toet): Formasi ini terdiri dari napal abu abu, batupasir, serpih, sisipan batugamping dan konglomerat alas di bagian bawah, batugamping dolomit, kalkarenit, dan sisipan napal di bagian atas. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan fluviatil-laut dangkal, tebal satuan mencapai 1000 m, berumur Eosen Oligosen. d. Formasi Birang (Tomb): Formasi ini merupakan perselingan napal, batugamping dan tufa dibagian atas, dan perselingan rijang, napal, konglomerat, batupasir kuarsa dan batugamping di bagian bawah. Tebal satuan batuan lebih dari 110 m dan kisaran umur formasi ini adalah Oligosen Miosen. Mengandung fosil antara lain: Lepidocylina ephicides, Spiroclypeus sp, Miogypsina sp, Margionopora vertebralis, Operculina sp, Globigerina tripartita, Globoquadrina altispira, Globorotalia mayeri, Globorotalia peripheronda, Globigerinoides immaturus, Globigerinoides sacculifer, Pra Orbulina transitoria, Uvigerina sp, Cassidulina sp. e. Formasi Latih (Tml): Formasi Lati tersusun oleh batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, dan batubara di bagian atas; bersisipan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah Lapisan batubara (0,-5,5 m), berwarna hitam, coklat, tebal satuan batuan kurang lebih 600 m, diendapkan

41 dalam lingkungan delta, estuarin, dan laut dangkal; mengandung fosil antara lain: Pra Orbulina glomerosa, Pra Orbulina transitioria, berumur f. Miosen Awal-Miosen Tengah. Formasi Tabul (Tmt): Formasi ini terdiri dari batupasir, batulempung konglomerat, dan sisipan batubara; mengandung fosil Operculina sp, tebal satuan kurang lebih 1050 m. Berdasarkan kedudukannya dan adanya pecahan fosil tersebut, formasi ini diperkirakan terbentuk pada Miosen Akhir dengan lingkungan pengendapan delta sampai laut dangkal. g. Formasi Labanan (Tmpl): Formasi ini merupakan perselingan konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung disisipi batugamping dan batubara. Terdapat lapisan batubara dengan tebal 0,-1,5 m berwarna hitam, coklat. Tebal satuan lebih kurang 450 m, diendapkan pada lingkungan fluviatil. Berumur Miosen Akhir-Pliosen. h. Formasi Domaring (Tmpd): Formasi Domaring tersusun dari batugamping terumbu, batugamping kapuran, napal, dan sisipan batubara muda. Umur formasi ini Miosen Akhir-Pliosen i. dan diendapkan dalam lingkungan rawa litoral. Ketebalan formasi mencapai 1000 m. Formasi Sinjin (Tps): Formasi ini merupakan perselingan tufa, aglomerat, lapili, lava andesit piroksen, tufa terkersikan, batulempung tufaan dan kaolin, mengandung lignit, kuarsa, feldspar, dan mineral hitam. Ketebalan j. formasi ini lebih dari 500 m. Formasi Sajau (TQps): Formasi ini merupakan perselingan batulempung, batulanau, batupasir, konglomerat, disisipi batubara, mengandung moluska, kuarsit dan mika, menunjukan struktur silang siur dan laminasi. Terdapat lapisan batubara 0, 1 m berwarna hitam, coklat. Tebal satuan batuan lebih kurang 775 m, diendapkan dalam lingkungan fluviatil dan delta k. Endapan Aluvial (Qa): Endapan Aluvial tersusun oleh lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan gambut berwarna kelabu sampai kehitaman, tebalnya lebih dari 40 m.

42 Gambar.0.16 Korelasi satuan peta geologi regional Tanjung Redeb (Situmorang & Burhan 1995).. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN..1 Morfologi Low wall Pit E merupakan daerah bukaan tambang dengan elevasi -1 mdpl yang memiliki luas x1 km. Daerah penelitian dikelilingi oleh bukaan tambang lainnya pada sebelah timur, barat, dan barat daya. Pada sebelah timur merupakan Pit H yang telah dibuka sampai elevasi -50 mdpl, sedangkan pada sebelah barat merupakan Pit C west yang telah dibuka sampai kedalaman 0 mdpl dan sebelah barat daya merupakan Pit C. Pit C telah dibuka sampai pada kedalaman -75 mdpl. Bukaan tambang ini juga dibatasi oleh sungai Meraang pada sebelah utara Pit E. Sungai Meraang berada pada elevasi,5 mdpl. Sedangkan pada bagian timur dibatasi oleh sungai Inaran yang berada pada elevasi 7,5 mdpl dan pada bagian barat dibatasi oleh sungai Kelay yang berada pada elevasi,8 mdpl.

43 Gambar.0.17 Peta Morfologi Daerah Penelitian... Stratigrafi Daerah penelitian termasuk dalam Formasi Latih yang terdiri dari batupasir kuarsa, betulempung, batulanau dan batubara di bagian atas; bersisipan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah. Formasi Latih memiliki umur Miosen Awal sampai Miosen Tengah yang terdeposisikan pada lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal (Gambar.5). Low wall Pit E BMO sendiri tersusun atas batupasir kuarsa dan batulempung. Sesuai dengan penampang sayatan, litologi tersebut masing-masing memiliki ketebalan ± 5 m, ± 7 m dan ± m, yang berdasarkan jenis-jenis akuifer, litologi ini termasuk dalam jenis akuifer terkekang (confined aquifer).

44 Gambar.0.18 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian... Model Konseptual Daerah penelitian tidak termasuk dalam CAT (Cekungan Air Tanah). Hal ini menandakan tidak adanya daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah. Kondisi hidrogeologi daerah penelitian merupakan akuifer tersusun dari litologi batupasir. Batupasir memiliki nilai konduktivitas hidraulik sebesar 7x10- m/hari yang ditentukan berdasarkan pendekatan teoritits menurut Morris and Johnson, Batulempung serta perselingan batubara hadir sebagai lapisan akuiklud. Konduktivitas hidraulik yang didapatkan melalui pendekatan teoritis Domenico dan Schwartz, 1990 pada batulempung nilai sebesar x 10-7 m/hari.

45 Gambar.0.19 Peta Cekungan Air Tanah Daerah Penelitian. Arah aliran airtanah dihasilkan dari perbedaan elevasi yang ada pada low wall. Elevasi tertinggi low wall yang terlihat pada peta yaitu -40 mdpl, sehingga air mengalir menuju elevasi terendah pada pusat pit yang memiliki elevasi sebesar -150 mdpl. Gambar.7 menunjukan arah aliran airtanah pada daerah penelitian. Pada penelitian ini, aliran airtanah diasumsikan bersifat isotropi.

46 Gambar.0.0 Peta Arah Aliran Airtanah pada Daerah Penelitian..4 CURAH HUJAN Daerah penelitian memiliki curah hujan rata-rata 04 mm/tahun. Data curah hujan diperoleh dari stasiun Binungan Mine Operation (BMO). Berdasarkan pola curah hujan selama 11 tahun pada Gambar.8, pola curah hujan daerah studi masuk ke dalam tipe Monsun. Pola curah hujan Monsun dicirikan dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, yang dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM). Ciri lain dari pola Monsun adalah puncak hujan bersifat unimodial, atau satu puncak musim hujan setiap tahunnya.

47 Curah hujan (mm) Curah Hujan Rata-Rata Bulanan 11 tahun ( ), BMO, PT.BC bulan Gambar.0.1 Curah Hujan Rata-Rata Bulanan ( )..5 EVAPOTRANSPIRASI Daerah Binungan Mine Operation 7 memiliki rata-rata evapotranspirasi sebesar 1410 mm/tahun. Evapotranspirasi paling tinggi terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 14 mm/bulan. Sedangkan evapotranspirasi terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 11 mm/bulan. Data evapotranspirasi didapatkan dari data tahun Evapotranspirasi (mm) Evapotranspirasi Rata-Rata 1 tahun ( ), Kalimarau Bulan Gambar.0. Evapotranspirasi Rata-Rata 10 tahun ( ).

48 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perhitungan Penurunan Muka Airtanah Pada hipotesis awal telah dikemukakan bahwa dengan adanya penirisan tambang atau dewatering, maka muka airtanah diprediksikan akan mengalami penurunan. Percobaan pemodelan pada studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah dewatering yang dilakukan dapat menurunkan muka airtanah. Menurut Theis (195), drawdown memiliki persamaan sebagai berikut: r S u= 4Tt Keterangan: u = konstanta Theis r = jarak pengamatan penurunan muka airtanah (m) S = storativity, dengan nilai untuk akuifer terkekang (tidak berdimensi) T = transmissivity, dengan rumus K x b, K adalah hydraulic conductivity dan b adalah tebal akuifer t = waktu pengamatan penurunan muka airtanah (hari) h ₀ -h= Q W(u) 4πT Keterangan: h0-h = besarnya penurunan muka airtanah (m) Q = debit (m/day) W = well function Penurunan muka airtanah diamati dari sumur pantau OBS 1 dan OBS. Pada skenario pertama, pengamatan dilakukan terhadap IDH, IDH 4 dan IDH 6. Perhitungan penurunan muka airtanah menurut Theis (195) dibatasi dengan asumsi salah satunya adalah apabila discharge memiliki nilai yang konstan (pada model ini debit yang keluar akibat dewatering berperan

49 sebagai discharge). Berdasarkan pengamatan di lapangan, ketiga drainhole yaitu IDH, IDH 4 dan IDH 6 masing-masing memiliki discharge rate sebesar 7.9 m/hari, 8.1 m/hari dan 9.6 m/hari. Pada Tabel 4.1 dikemukakan hasil perhitungan penurunan muka airtanah terhadap sumur pantau OBS 1 dan OBS. Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS Skenario 1. Time (days) IDH OBS 1 OBS IDH 4 OBS 1 OBS IDH 6 OBS 1 OBS Berdasarkan hasil perhitungan diatas, diperkirakan penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 8 meter. Sedangkan penurunan muka airtanah terhadap OBS adalah 9 meter. Pada skenario kedua, perhitungan penurunan muka airtanah dilakukan terhadap enam drainhole (tiga drainhole merupakan drainhole di luar model) dengan discharge pada masing-masing IDH imajiner yaitu IDH 1, IDH dan IDH 5 yaitu sebesar 9.6 m/hari, 7.5 m/hari dan 7.9 m/hari. Hasil perhitungan penurunan muka airtanah dipaparkan pada Tabel 4.. Tabel 4. Hasil Perhitungan Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS pada Skenario. Tim IDH 1 IDH IDH IDH 4 IDH 5 IDH 6

50 e (da ys) OB S1 OB S OB S1 OB S OB S1 OB S OB S1 OB S OB S1 OB S OB S1 OB S Dari perhitungan diatas, diperkiraan penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 11 meter. Sedangkan penurunan muka airtanah terhadap OBS adalah 10 meter.

51 Gambar 4. Radius Pengaruh spasi IDH terhadap Drawdown 4. Simulasi Penurunan Muka Airtanah Simulasi penurunan muka airtanah dilakukan dengan perangkat lunak Visual Modflow Pemodelan ini menggunakan metode FDM yaitu Finite Difference Method dalam menyelesaikan masalah pemodelan airtanah. Parameter yang dibutuhkan antara lain adalah data topografi, data geologi bawah permukaan (litologi daerah penelitian) dan nilai-nilai properti hidrogeologi seperti hydraulic conductivity dan storage. Selain itu data berupa curah hujan dan evapotranspirasi sebagai salah satu sumber recharge pada model. Pengamatan muka airtanah mula-mula juga perlu dilakukan sebagai distribusi muka air awal sebelum dikenakan stress (prestress head). Setelah stress diberikan pada model melalui discharge, maka perubahan pada head akan terjadi. Perubahan head inilah yang disebut sebagai penurunan muka airtanah. Atau dengan kata lain, penurunan muka

52 airtanah (drawdown) merupakan respon dari stress yang diberikan pada model (Reilly, 1984). Simulasi dilakukan dalam waktu 8 tahun dengan periode waktu setiap tahunnya. Pemodelan ini memiliki beberapa batasan dan asumsi, yaitu: 1. Model diasumsikan homogen dan isotropi.. Boundary dinyatakan sebagai inactive cells (no-flow boundary) pada sebelah barat dan timur model (Gambar 4.).. Dimensi grid pada perangkat lunak Visual Modflow berukuran 10 m x 10 m, yang merepresentasikan luas daerah penelitian pada setiap grid (Gambar 4.1). 4. Nilai konduktivitas hidraulik dan storage diasumsikan mengikuti Morris and Johnson 1967, Domenico and Schwartz 1990 dan Health 198. Pada Tabel 4. dipaparkan nilai hydraulic conductivity dan storage pada masing-masing layer. Tabel 4. Nilai storage pada masing-masing litologi daerah penelitian Litologi Mudstone K (m/day) Ss Sy Eff.Por Tot.Por,59 x ,0009 0,0 0,06 0,4 0,007 0,0001 0,1 0, 0,7,59 x ,0009 0,0 0,06 0,4 Sandstone Mudstone Pada pemodelan Visual Modflow, boundary condition yang digunakan untuk simulasi penurunan muka airtanah adalah Drain (DRN). Drainhole diasumsikan sebagai bidang dengan nilai conductance tertentu dalam satuan m/hari. Nilai conductance dari drain hole didapatkan dari perhitungan: Hydraulic conductivity panjang drainhole (m) m m x luas selubung drainhole ( ) hari hari ( )

53 Gambar 4.4 Model Konseptual Daerah Penelitian Drainhole dipasang dengan spasi 100 m pada skenario 1 dan 00 m pada skenario yang memiliki variasi panjang 80 m dan 50 m. Drainhole dipasang hingga menembus lapisan akuifer. Diameter drain hole 0,05 m. Sedangkan untuk nilai conductance dipaparkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Nilai konduktivitas drainhole No. ID drain hole Nilai konduktivitas (m/hari) IDH 1 IDH IDH IDH 4 IDH 5 IDH

54 A B No-flow boundary A B Gambar 4. Planar View Daerah Penelitian Pada skenario pertama, pengamatan penurunan muka airtanah dilakukan pada tiga drainhole yaitu IDH, IDH 4 dan IDH 6. Sedangkan pada skenario, pengamatan penurunan muka airtanah dilakukan terhadap semua drainhole. Besar penurunan muka airtanah skenario 1 dan skenario terhadap OBS 1 dan OBS dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Simulasi Penurunan MAT terhadap OBS 1 dan OBS pada Skenario 1&. Time (days) SKENARIO 1 OBS 1 OBS SKENARIO OBS 1 OBS

55 Dari hasil diatas, pada skenario 1, penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 terjadi sebesar 1 m dan terhadap OBS sebesar 17 m. Sedangkan pada skenario, penurunan muka airtanah terhadap OBS 1 adalah 14 m dan terhadap OBS adalah 16 m. Pada skenario, penurunan muka airtanah lebih besar dibandingkan dengan skenario 1, hal ini terjadi karena pada skenario simulasi dilakukan terhadap seluruh drainhole, sedangkan pada skenario 1 simulasi dilakukan terhadap drainhole yang aktif. 4. Kalibrasi Hasil Penurunan Muka Airtanah berdasarkan Metode Perhitungan menurut Theis (195) dan Hasil Simulasi Numerik Hasil perhitungan penurunan muka airtanah menurut metode Theis (195) dengan hasil simulasi menggunakan Visual Modlfow 011, nilai penurunan muka airtanah jauh lebih kecil ketika dihitung menggunakan rumus Theis (195). Pada (Gambar 4.) menunjukan perbedaan besar penurunan muka airtanah terhadap perhitungan Theis (195) dengan hasil simulasi.

56 Perhitungan Theis (195) menunjukan penurunan muka airtanah rata-rata sebesar 8 m, sedangkan dari hasil simulasi penurunan muka airtanah ratarata terjadi sebesar 15 m. Rata-rata perbedaan penurunan muka airtanah diantara kedua hasil perhitungan adalah 7 m. d rawd ow n h a si l si mu l a si d an meto d e p er h i t u n ga n t h ei s ( 195) drawdown in meter simulasi theis time (days) Gambar 4. Grafik Penurunan MAT Skenario 1 dari Perhitungan dan Simulasi. Sedangkan berdasarkan hasil simulasi menggunakan Visual Modflow 011, besar outflow rata-rata dari setiap drainhole adalah 14 m /hari. Nilai ini menunjukan perbedaan yang cukup besar terhadap outflow pada pengamatan di lapangan yaitu 8 m /hari. Gambar 4.4 menunjukan outflow yang keluar dari drainhole.

57 Gambar 4.4 Outflow pada Drainhole dari Hasil Simulasi Numerik 4..1 Parameter Adjustment Pada persamaan Theis (195) mengenai drawdown, parameter penting yang berpengaruh terhadap hasil perhitungan adalah transmisivitas, storage, jarak well terhadap sumur pantau dan discharge. Pada (Gambar 4.5) menunjukan tiga kurva hasil perhitungan drawdown, dengan nilai transmisivitas 0.7 m/hari, storage dan jarak dari drainhole ke OBS m. Kurva pertama memiliki besar discharge 8.5 m /hari, kurva kedua 6 m/hari dan kurva ketiga 4 m/hari.

Pascalia Vinca Alvando 1* Achmad Darul 2 Dasapta Erwin Irawan 3 1. Mahasiswi Sarjana Institut Teknologi dan Sains Bandung 2

Pascalia Vinca Alvando 1* Achmad Darul 2 Dasapta Erwin Irawan 3 1. Mahasiswi Sarjana Institut Teknologi dan Sains Bandung 2 PEMODELAN DAMPAK PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA WALL PIT PT XXX TERHADAP PENURUNAN MUKA AIRTANAH Pascalia Vinca Alvando 1* Achmad Darul 2 Dasapta Erwin Irawan 3 1 Mahasiswi Sarjana Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian berada di lokasi tambang batubara PT. Berau Coal, wilayah Lati, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

Bab II Geologi. Tesis

Bab II Geologi. Tesis Bab II Geologi II.1 Kesampaian Daerah Daerah penelitian merupakan daerah konsesi PKP2B PT. Berau Coal site Lati. Daerah Lati secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau,

Lebih terperinci

Keywords: dewatering, drain hole, akuifer terkekang, drawdown

Keywords: dewatering, drain hole, akuifer terkekang, drawdown PRELIMINARY STUDY PROPERTI AKUIFER TERHADAP PEMODELAN DAMPAK PEMASANGAN INCLINED DRAIN HOLE PADA WALL PIT PT. XXX TERHADAP PENURUNAN MUKA AIRTANAH Pascalia Vinca Alvando 1* Achmad Darul 2 Dasapta Erwin

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang

BAB III TEORI DASAR. Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang BAB III TEORI DASAR 3.1 Hidrogeologi Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang mempelajari distribusi dan gerakan aliran air di dalam tanah/batuan pada bagian kerak bumi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Daerah Penyelidikan Daerah penyelidikan secara administratif termasuk dalam Kampung Pandan Sari, Kecamatan Segah, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Umum Sekitar Daerah Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung selatan Sumatra, yang mana bagian selatan di batasi oleh Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah

BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah Keberadaan sumberdaya airtanah di alam menurut sistem tatanan air secara alami dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: Cekungan hidrologi atau Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk tugas akhir ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. 4.1.1 Data Primer Data primer adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 5 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Singkat PT Dahana (Persero) Dahana di dirikan pada tahun 1966 oleh TNI-AU di Pangkalan Udara Tasikmalaya. Pada awalnya memproduksi dan memasarkan NG-Based explosive yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif PT BJA berlokasi di Desa Sungai Payang, Dusun Beruak, Kecamatan Loakulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Menurut Arikunto (2006:26) Metode Penelitian adalah cara yang

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Menurut Arikunto (2006:26) Metode Penelitian adalah cara yang 32 BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (2006:26) Metode Penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam menggunakan data penelitiannya. Selanjutnya Surakhmad (1994:139)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Geomorfologi Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Sukisno (1999) bentang alam daerah Salatiga dan sekitarnya dapat dibedakan menjadi 5 (lima)

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

LOW RANK COAL FORMASI SAJAU DAERAH TELUK SEMANTING DAN TANJUNG BATU KECAMATAN PULAU DERAWAN, KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR

LOW RANK COAL FORMASI SAJAU DAERAH TELUK SEMANTING DAN TANJUNG BATU KECAMATAN PULAU DERAWAN, KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR LOW RANK COAL FORMASI SAJAU DAERAH TELUK SEMANTING DAN TANJUNG BATU KECAMATAN PULAU DERAWAN, KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR Geni Dipatunggoro ABSTRACT The studied area belong to Teluk Semanting vilage

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang

Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH - 2017 Rabu - Kamis, 17-18 Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang ANALISIS PARAMETER HIDROGEOLOGI DENGAN BEBERAPA METODE KONVENSIONAL

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN SARI... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR GRAFIK... xi DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 8 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Singkat CV Jasa Andhika Raya CV Jasa Andhika Raya (CV JAR) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha pertambangan batubara dan berkedudukan di Desa Loa Ulung,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1. Geologi Regional. Pulau Tarakan, secara geografis terletak sekitar 240 km arah Utara Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat

Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat 1 Ahmad Komarudin, 2 Yunus Ashari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 4 BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Deskripsi ABT (Air Bawah Tanah) Keberadaan ABT (Air Bawah Tanah) sangat tergantung besarnya curah hujan dan besarnya air yang dapat meresap kedalam tanah.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional Pulau Kalimantan berada di bagian tenggara dari lempeng Eurasia. Pulau Kalimantan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di bagian

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 2 1.2 Maksud Dan Tujuan... 2 1.2.1 Maksud...

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 LOKASI DAERAH PENELITIAN Daerah penelitian berada dalam kawasan pertambangan milik PT. Tanjung Alam Jaya (TAJ) yang beroperasi dengan metode tambang terbuka

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERSEMBAHAN...iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv KATA PENGANTAR...vi SARI...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR TABEL...xv BAB

Lebih terperinci

STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR

STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertambangan di Institut Teknologi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR Rudy Gunradi 1 1 Kelompok Program Penelitian Konservasi SARI Sudah sejak

Lebih terperinci

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR Mogam Nola Chaniago Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Abstrak Lapangan RR terletak di bagian timur laut

Lebih terperinci

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi 1. Alur Siklus Geohidrologi Hidrogeologi dalam bahasa Inggris tertulis hydrogeology. Bila merujuk dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi (Toth, 1990) : Hydro à merupakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SUNGAI BERAU SEBAGAI ALUR TRANSPORTASI BATUBARA DI KALIMANTAN TIMUR A B S T R A C T S A R I

KARAKTERISTIK SUNGAI BERAU SEBAGAI ALUR TRANSPORTASI BATUBARA DI KALIMANTAN TIMUR A B S T R A C T S A R I KARAKTERISTIK SUNGAI BERAU SEBAGAI ALUR TRANSPORTASI BATUBARA Oleh : A. Setyanto, I K.G. Aryawan dan C. Purwanto Marine Geological Institute (PPPGL) Jl. Dr. Junjunan No. 236, Bandung-40174, Email: setyanto_mgi@yahoo.com,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN UMUM. PT Berau Coal merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan resmi

BAB 2 TINJAUAN UMUM. PT Berau Coal merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan resmi BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah PT. Berau Coal PT Berau Coal merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan resmi berdiri pada tanggal 5 April 1983 memperoleh kontrak karya penambangan batubara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB III HIDROGEOLOGI

BAB III HIDROGEOLOGI BAB III HIDROGEOLOGI 3.1 HIDROGEOLOGI REGIONAL Hidrogeologi Jayapura telah diteliti oleh Purwanto dan Budiana, 1982 (Gambar 3.1) dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan Sub Direktorat Hidrogeologi dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM CEKUNGAN TARAKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM CEKUNGAN TARAKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM CEKUNGAN TARAKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR F a t i m a h Kelompok Program Penelitian Energi Fosil S A R I Kajian zonasi daerah potensi batubara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II. 1 KERANGKA GEOLOGI REGIONAL Sebelum membahas geologi daerah Tanjung Mangkalihat, maka terlebih dahulu akan diuraikan kerangka geologi regional yang meliputi pembahasan fisiografi

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Umum Lembar Kotaagung Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di sebelah barat dan selatan, dibatasi oleh Samudra Hindia, di bagian utara oleh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG TANAH UNTUK DISPOSAL DI TAMBANG BATUABARA DAERAH PURWAJAYA, KECAMATAN LOA JANAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA ABSTRAK

DAYA DUKUNG TANAH UNTUK DISPOSAL DI TAMBANG BATUABARA DAERAH PURWAJAYA, KECAMATAN LOA JANAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA ABSTRAK DAYA DUKUNG TANAH UNTUK DISPOSAL DI TAMBANG BATUABARA DAERAH PURWAJAYA, KECAMATAN LOA JANAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Tati Andriani 1, Zufialdi Zakaria 1, Dicky Muslim 1, Agus Wiramsya Oscar 1 1 Fakultas

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Kajian Pengaruh Permeabillitas Batuan terhadap Tingkat Intrusi Airtanah pada Reaktor Underground Coal Gasification (UCG) di Spot 2 Study Effect of Rock Permeability

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deep water channel merupakan salah satu fasies di lingkungan laut dalam dengan karakteristik dari endapannya yang cenderung didominasi oleh sedimen berukuran kasar

Lebih terperinci

Cyclus hydrogeology

Cyclus hydrogeology Hydrogeology Cyclus hydrogeology Siklus hidrogeologi Geohidrologi Secara definitif dapat dikatakan merupakan suatu studi dari interaksi antara kerja kerangka batuan dan air tanah. Dalam prosesnya, studi

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,

Lebih terperinci

GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Febriwan Mohamad, Undang Mardiana, Yuyun Yuniardi, M. Kurniawan Alfadli

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RINGKASAN... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. RINGKASAN... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI RINGKASAN...... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR...... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I. PENDAHULUAN...... 1 1.1. Latar Belakang... 1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH Oleh : Budi Islam, Nendaryono, Fauzan, Hendro Supangkat,EkoPujianto, Suhendar, Iis Hayati, Rakhmanudin, Welly Gatsmir, Jajat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif wilayah IUP Eksplorasi CV Parahyangan Putra Mandiri, termasuk di dalam daerah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Pendahuluan Pulau Kalimantan berada di tenggara dari lempeng Eurasia besar. Di sebelah utara berbatasan dengan lempeng semudra Laut Cina Selatan, di timur dibatasi oleh sabuk

Lebih terperinci

PENDUGAAN IMBUHAN AIRTANAH BEBAS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG, BANDUNG UTARA DENGAN MENGGUNAKAN METODA DRASTIC TUGAS AKHIR

PENDUGAAN IMBUHAN AIRTANAH BEBAS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG, BANDUNG UTARA DENGAN MENGGUNAKAN METODA DRASTIC TUGAS AKHIR PENDUGAAN IMBUHAN AIRTANAH BEBAS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG, BANDUNG UTARA DENGAN MENGGUNAKAN METODA DRASTIC TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Siklus Hidrologi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Siklus Hidrologi BAB II DASAR TEORI 2.1 Siklus Hidrologi Daur hidrologi secara umum dapat diterangkan sebagai berikut. Air yang diuapkan oleh panas sinar matahari dan angin dari permukaan laut dan daratan akan terbawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH

STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH T 553.79 BAS Daerah penelitian terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah, termasuk dalam rangkaian Pegunungan Serayu Selatan dan daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS

PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci