Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Transkripsi

1 IDEALISME KEDUDUKAN PANCASILA DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: ANTARA KELSEN DAN NAWIASKY PADA ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Ricca Anggraeni 1 cha2_khan@yahoo.com Abstrak: Pancasila have placing as a source from all of sources in legal former. The consequences from the placing is all of legal forming in all legal norm shall refer to Pancasila. Just only in the place of Pancasila, often stumbles with the norm that s always abstract, thus legal former feel free to interpreting. In the interpretation, place of Pancasila as a source of all legal norm former which making legal norm that have a forming contain interests from the legal former, even the legal form tester-remebering Aptrialis Akbar case-. This is one of them is happen, because the Pancasila have a place as Staatsfundamentalnorm which close, its meaning id with unifying tool of the nation as a hegemoni, not as a grundnorm. As a Grundnorm, Pancasila will be placing as ideal norm which everyone agreed, regardless of important and other elements. Kata Kunci: Pancasila, Perundang-undangan, Grundnorm, Staatsfundamentalnorm. PENDAHULUAN Berdasarkan data dari rekapitulasi perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, sampai pada tahun 2016, jumlah perkara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review ialah sebanyak 861 (delapan enam puluh satu). 2 Dari jumlah 861 (delapan ratus enam puluh satu) perkara, jenis Undang-Undang yang paling banyak diajukan permohonan pengujiannya ialah Undang-Undang di bidang politik, yaitu sebanyak 10 (sepuluh) permohonan. Jumlah terbanyak kedua ialah Undang-Undang di bidang anggaran, yaitu sebanyak 6 (enam) permohonan. Selanjutnya ialah Undang-Undang di bidang pendidikan berjumlah 2 (dua) permohonan. Kemudian, ada 1 (satu) permohonan terkait Undang-Undang di bidang ekonomi dan peradilan. 3 Belum lagi jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam 1 Penulis ialah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan saat ini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 2 Laporan Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, diakses pada tanggal 26 Februari Rachmad Firman Maulana, dkk., Ed. Amalia Puri Handayani, (2013), Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Hlm

2 Negeri. Berdasarkan daftar perda yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri 4 pada tahun 2016, jumlah yang dibatalkan menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia. Jumlah judicial review atas Undang-Undang dan Perda yang semakin meningkat menimbulkan kekhawatiran dalam ranah Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara. Kekhawatiran itu dikarenakan Undang-Undang dan Perda merupakan aturan operasional untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa. Di dalam sistem hukum civil law, Undang-undang menjadi penentu dalam kehidupan bangsa Indonesia, sedangkan Perda dengan dianutnya asas otonomi daerah, pun menjadi penggerak roda kehidupan masyarakat di daerah. Dengan adanya judicial review, maka Undang-Undang dan Perda yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku akan berakibat secara hukum terhadap seluruh kehidupan berbangsa. Artinya, kemapanan untuk berkeadilan dan berkesejahteraan akan sulit dicapai, karena aturannya terlalu dinamis. Belum lagi jika menilik pada jumlah anggaran yang telah dikeluarkan untuk membentuk Undang- Undang dan Perda. Jumlah uang negara yang digelontorkan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan sangat besar, namun, hasil dari peraturan perundangundangan yang dicapai tidak maksimal, karena belum lama berlaku sudah diajukan judicial review. Peraturan perundang-undangan yang semakin menurun kualitasnya sangat dipertanyakan sebab musababnya. Salah satu diantara penyebab itu ialah sumber daya manusia yang menempati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki kualitas untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Meskipun pada perjalanannya, politik hukum peraturan perundang-undangan dan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur melalui Undang-Undang. Saat ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Namun, itu tidak banyak mengubah kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. 4 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut Peraturan Daerah yang diberikan oleh Pasal 243. Putusan ini dikeluarkan setelah ada permohonan uji materi ke MK tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan MK itu bernomor perkara 137/PUU-XIII/2015. Imanuel Nicolas Manafe, Presiden Hormati Putusan MK Terkait Wewenang Mendagri Mencabut Perda, diakses pada tanggal 26 April

3 Apabila merujuk secara ideal dan linier, yang memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah lembaga pendidikan tinggi hukum. Di dalam pendidikan tinggi hukum, bahkan sejak tahun 1990-an telah mulai diperkenalkan mata kuliah ilmu pengetahuan perundang-undangan yang terdiri dari ilmu perundang-undangan dan teori perundang-undangan. Pada mata kuliah ini diajarkan proses, metode dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. bahkan di teori perundang-undangan, diajarkan mengenai prinsip, asas atau doktrin dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Namun sepertinya, mata kuliah tersebut belum berdaya dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kekurangberdayaan itu mungkin dikarenakan adanya misleading dalam memahami teori norma hukum dalam konsep Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di konteks Indonesia. Misleading pemahaman itu membawa konsekuensi pada pembentukan norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus berdasar dan bersumber pada Pancasila. Ketika membentuk norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, pembentuknya hanya sekedar memahami bahwa harus bersumber pada Pancasila, tanpa memilah kedudukan Pancasila sebagai Grundnorm ataukah Staatsfundamentalnorm, ataukah berkedudukan sebagai keduanya. Padahal secara konsep antara Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm berbeda. Dikarenakan demikian, maka secara fungsi dan peran pun akan berbeda. Berdasarkan uraian tersebut, menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah apakah di dalam pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-undangan, Grundnorm yang dikemukakan oleh Hans Kelsen memiliki konsep yang sama dengan Staatsfundamentalnorm yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky? Jika tidak, apakah kekeliruan dalam mendudukkan Pancasila antara konsep Hans Kelsen dengan Hans Nawiasky di dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia akan berpengaruh secara normatif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan? 225

4 PEMBAHASAN A. Antara Konsep Grundnorm yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Staatsfundamentalnorm yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky dalam pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-undangan Ilmu Perundang-undangan ialah mata kuliah wajib pada program studi ilmu hukum sejak diperkenalkan pertama kali oleh Hamid S. Attamimi pada tahun 1975 dengan nama Keterampilan Perundang-undangan. Pada tahun 1982, mata kuliah itu mulai tumbuh dan dikembangkan dengan nama baru yaitu Ilmu Perundang-undangan. Dalam menumbuhkembangkan Ilmu Perundang-undangan, Hamid S. Attamimi lebih condong untuk menggunakan wawasan dari Burkhard Krems yang membagi ilmu pengetahuan perundang-undangan (gesetzgebungswissenschaft) menjadi 2 (dua) yaitu ilmu perundang-undangan (gesetzgebungslehre) dan teori perundang-undangan (gesetzgebungstheorie). Ilmu perundang-undangan merupakan suatu ilmu yang bersifat normatif dengan berorientasikan kepada melakukan perbuatan untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya proses perancangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan kemudian dibagi lagi menjadi 3 (tiga) disiplin yaitu proses, metode dan teknik. Sedangkan teori perundangundangan ialah mata kuliah yang bersifat kognitif dengan berorientasi pada pemahaman untuk mencari kejelasan dan kejernihan makna. 5 Secara sederhana, ilmu perundang-undangan sesungguhnya merupakan suatu ilmu yang ditujukan untuk memahami proses pembentukan peraturan perundang-undangan sekaligus hasil dari proses pembentukan peraturan itu. Artinya, ilmu perundangundangan merupakan suatu mata kuliah yang komprehensif dalam memahami peraturan perundang-undangan, karena tidak hanya pada hasilnya tetapi dimulai dari proses pembentukannya. Pada akhirnya di kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Ilmu perundang-undangan menjadi mata kuliah wajib sedangkan teori perundang-undangan merupakan mata kuliah pilihan. Itupun tidak semua Pendidikan Tinggi Hukum memiliki mata kuliah Ilmu Perundang-undangan dan Teori Perundang-undangan sebagai mata 5 Maria Farida Indrati S, (2007), Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, Hlm. xxi. 226

5 kuliah pilihan, seperti di Universitas Ngurah Rai 6. Ada juga yang menempatkan Ilmu Perundang-undangan menjadi dua bagian, seperti di Universitas Indonesia. 7 Berdasarkan itu, maka Ilmu perundang-undangan menjadi mata kuliah wajib fakultas dan diajarkan lebih dahulu dibandingkan dengan teori perundang-undangan, karena memang ilmu perundang-undangan merupakan ilmu yang berfokus pada pembentukan norma. Berbeda dengan teori perundang-undangan yang mempelajari asas, doktrin atau pandangan ahli hukum atau dapat juga disebut sebagai ajaran hukum umum yang digunakan dalam pembentukan norma. Namun, apapun itu, mata kuliah dalam cabang ilmu pengetahuan perundang-undangan ini harus dipahami secara komprehensif, mengingat Indonesia merupakan negara yang sangat dipengaruhi oleh aliran positivism hukum atau legisme yaitu suatu aliran yang memandang hukum hanya sebagai peraturan perundang-undangan atau yang hanya bertumpu pada hukum tertulis. 8 Oleh karena itu, mata kuliah ilmu perundang-undangan sesungguhnya dapat menjadikan mahasiswa memiliki kemampuan untuk memahami norma hukum. Dengan kemampuan itu, mahasiswa dapat memahami pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan berkualitas sehingga pada ujungnya dapat menghasilkan peraturan yang baik dan berkualitas pula. Sebagai mata kuliah yang berorientasi pada kemampuan mahasiswa untuk memahami norma hukum, di dalam Ilmu Perundang-undangan diajarkan mengenai teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu The Pure Theory of Law berusaha untuk mencapai hasilnya melalui analisis hukum positif, dan untuk itu didasarkan pada tatanan hukum positif atau pada perbandingan isi dari sejumlah tatanan hukum. Dalam hal ini, ilmu hukum memiliki kemampuan untuk merekonstruksi berbagai norma hukum umum dan individual menjadi sebuah tatanan hukum, sehingga hukum yang ada tersebut dapat dipahami sebagai keseluruhan. 9 Sebagai sebuah keseluruhan, terdapat sistem di dalamnya, dan sebuah norma menjadi bagian sistem tertentu hanya berasal 6 Universitas Ngurah Rai, Jadwal Mata Kuliah di Semester Genap dan Ganjil di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai, GANJILTAHUN-AKADEMIK , diakses pada tanggal 23 Januari Bahan Kuliah, FHUI Guide, diakses pada tanggal 23 Januari Adjie Samekto, (2013), Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing, Hlm Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, (2014), Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta: Genta Publishing, Hlm

6 dari fakta bahwa keabsahan norma bisa dirunut kembali sampai ke norma dasar yang menyusun sistem tersebut. Norma dasar itulah yang diistilahkan dengan Grundnorm oleh Hans Kelsen. Membangun konsepnya tersebut, bahwa hukum merupakan suatu tatanan hukum, Kelsen kemudian menunjuk Stufentbaulehre milik Merkl. Berdasarkan itu, Kelsen menjelaskan bahwa berbagai norma yang ada direkonstruksi menjadi satu kesatuan sistem. Kesatuan sistem hukum itu terdiri dari beragam norma yang tersusun secara hierarki dari tingkatan yang tertinggi hingga terendah. Keabsahan norma yang tingkatannya lebih rendah didasarkan pada norma lain yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga berakhir pada norma yang tertinggi, yaitu norma dasar, Grundnorm. Grundnorm inilah yang memberikan kesadaran, mengarahkan serta mengklarifikasi dan dimaksudkan sebagai sebuah keharusan konseptual dalam bentuk norma tertinggi yang diandaikan sebagai sah. Grundnorm lah yang dianggap sebagai pemberi otoritas yang mendasari keabsahan hukum positif. Di dalam Grundnorm pula tertambat makna ought, yang disalurkan melalui beragam norma hukum yang ada di dalam sistem tertentu, sehingga menjadi satu kesatuan sistem. 10 Grundnorm merupakan realitas ideal yang diidentikkan dengan keadilan, dan untuk memenuhi keadilan itu, di dalam pembentukan norma hukum harus bias ideologi dengan efek yang sangat jelas dari segi politik. Oleh karena itu, Grundnorm tidak melayani kepentingan politik siapapun dengan memberikan alat-alat ideologis baik untuk melegitimasi maupun membatalkan kelompok sosial yang ada, karena semua ideologi pada dasarnya berdasarkan kehendak bukan kognisi. Meskipun digadang-gadang bahwa teori yang disampaikan oleh Hans Kelsen ini dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky dengan theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung nya, namun ada hal essensial yang membedakan antara teori yang disampaikan oleh Kelsen dengan Nawiasky. Di dalam theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung yang disampaikan oleh Hans Nawiasky, norma hukum yang dibentuk, diposisikan sebagai tata susunan yang berhierarki di dalam suatu negara. Norma hukum yang dibentuk itu berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm). Norma fundamental negara 10 Ibid., hlm

7 (Staatsfundamentalnorm) ini tidak dapat dianggap sama begitu saja dengan Grundnorm yang dimaksud oleh Hans Kelsen dalam teorinya. Hal itu dikarenakan, Kelsen sama sekali tidak mengkaitkan teorinya dengan negara, melainkan berbicara tentang norma secara umum. Staatsfundamentalnorm tidak dapat dipandang sebagai standar nilai bagi keabsahan norma secara obyektif, karena lebih berfungsi sebagai pemberi arah dan tujuan bagi tatanan norma hukum di bawahnya. Dengan demikian, Staatsfundaentalnorm lebih bermakna sebagai ideologi yang memberikan kekuatan kepada norma-norma di bawahnya agar ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pasalnya demikian, karena Staatsfundamentalnorm merupakan kesepakatan yang membangun kepercayaan politik untuk menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, ditegaskan melalui bukunya Maria Farida Indrati bahwa Staatsfundamentalnorm bisa berubah dan tidak permanen yang disebabkan oleh kudeta, perang atau revolusi. 11 Dengan demikian, Staatsfundamentalnorm lebih identik dengan ideologi suatu negara di bandingkan dengan realitas ideal yang diidentikkan dengan keadilan. Sebagai sebuah ideologi, maka dasarnya ialah kehendak bukan kognisi. Sedangkan, Grundnorm dalam teorinya Kelsen, ialah bangunan sebagai basis untuk menjadikan hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah, sehingga diupayakan untuk tidak terkontaminasi oleh segala sesuatu yang bukan menjadi obyek kognisi ilmu hukum. 12 B. Pengaruh Secara Normatif Kekeliruan Mendudukkan Pancasila Sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm Di Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Konsep yang tidak sama antara Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm terkadang tidak dipahami secara serius oleh peminat di Ilmu Perundang-undangan, sehingga kerap sekali menganggap Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm itu sama, yaitu istilah untuk norma dasar. Anggapan yang keliru ini, kelihatannya secara sepintas tidak memiliki dampak atau konsekuensi apapun di dalam sistem norma hukum atau tatanan norma hukum, tetapi ketika itu diletakkan dalam konteks negara, akan terlihat itu berdampak. Di Indonesia, secara sembarangan selalu saja mendudukkan Pancasila sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm. Dua embanan itu seperti tidak bermasalah, tetapi apabila dianalisis secara doktrinal ditambah dengan data hasil realitas, akan 11 Maria Farida Indrati, Op.Cit., Hlm Ibid., hlm

8 terlihat bahwa tatanan norma hukum di dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang sangat mengkhawatirkan sangat dimungkinkan karena mendudukkan Pancasila secara sembarangan sebagai dua embanan itu. Pancasila sejak ditetapkan sebagai dasar dari Negara Republik Indonesia pada tanggal 01 Juni 1945 telah mengalami pasang surut penerapannya. Pada tahun 1966 melalui Lampiran I Penjelasan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundangan RI dan Skema Kekuasaan DiDalam Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Upaya itu dilanjutkan melalui Pasal 1 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang juga menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, lalu diteruskan oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang mencabut keberlakuan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, dan saat ini terus dipancangkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun Dengan demikian, Pancasila telah sedemikian rupa didudukkan dalam fungsinya yang multitafsir, entah sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm, atau keduanya. Kedudukan Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan norma hukum di Indonesia, sekaligus mempengaruhi konsep tatanannya. Sebabnya ialah, ketika didudukkan sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm, maka akan ditemukan suatu legalisasi ketika memasukkan kepentingan secara politis atau anasir-anasir lain di dalam pembentukan hukum, sehingga tentang keadilan akan terkontaminasi begitu saja dengan soal-soal kepentingan yang bersumber pada ideologi. 13 sumber hukum, Pancasila akan dianggap sebagai norma tertinggi atau dasar yang menjadi sumber keabsahan bagi norma-norma di bawahnya. 13 Ideologi sendiri secara konsep diartikan sebagai ide, gagasan yang diakui kebenarannya oleh suatu bangsa karena dianggap sebagai kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kesepakatan bersama sebagai landasan dan arah dalam menentukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Soeprapto, (2013), Pancasila, Jakarta: Konstitusi Press, Hlm

9 Pemosisian Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan menimbulkan misleading seperti yang telah dikemukakan di awal dalam pembentukan norma hukum di Indonesia. Ketika Pancasila sebagai Grundnorm, Pancasila menjadi realitas ideal yang digunakan untuk mengungkap nilai yang sesuai dalam sebuah norma. Dengan kata lain, Pancasila merupakan hulu dari suatu norma sekaligus menjadi alat pertimbangan untuk menilai dalam menentukan sah atau tidaknya suatu norma. Sahnya suatu norma itulah yang disebut dengan adil. Oleh karenanya Pancasila sebagai Grundnorm menjadi penentu dalam menentukan adil atau tidaknya suatu norma. Berbeda dengan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm. Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm ditempatkan sebagai norma tertinggi yang menjadi batu uji bagi seluruh tatanan norma hukum di Indonesia. Batu uji itulah yang dipercayai sebagai landasan dan arah dalam menentukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara oleh kesepakatan bersama. Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm menjadi pengikat hegemoni dari suatu bangsa untuk mematuhi penguasa dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang dibuat oleh penguasa. Jadi, ketika Pancasila diposisikan sebagai Grundnorm, seharusnya secara ideal norma hukum yang ada di bawahnya merupakan norma hukum yang adil-bila itu sah, sehingga norma hukum menjadi sesuatu yang seharusnya yang diandaikan oleh seluruh bangsa Indonesia untuk mengatur suatu perilaku. Sedangkan, ketika Pancasila diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm, norma hukum yang dihasilkannya-karena bersumber padanya- berwarna kepentingan dari pemerintah atau rezim penguasa pada suatu negara, karena itu bisa menjadi alat bagi pemerintah atau penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Melalui itu pula, norma hukum dapat diciptakan untuk menghilangkan sebagian kelompok yang tidak inginkan oleh pemerintah atau penguasa. Jadi, pemosisian Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm akan membentuk pola persaingan antara hukum dengan politik. Itu membawa hasil bahwa undang-undang yang terbentuk mengindikasikan diboncengnya kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terutama ialah pemilik modal atau kapitalis. Contohnya dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air dan Koperasi yang akhirnya dibatalkan melalui proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Serta, undang-undang yang tidak efektif dan berkualitas, sehingga harus berakhir di meja judicial review seperti yang 231

10 terjadi pada 861 (delapan ratus enam puluh satu) undang-undang, baik itu Undang- Undang di bidang politik, Undang-Undang di bidang anggaran, Undang-Undang di bidang pendidikan, dan Undang-Undang di bidang ekonomi serta peradilan. 14 Ditambah dengan jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang pada tahun 2016, menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia. Realitas tersebut menarik untuk mendeskripsikan bahwa misleading inilah yang membawa pengaruh dalam penderivasian nilai-nilainya di dalam norma hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketika Pancasila diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila memberikan kepercayaan bagi seluruh bangsa, bahwa nilainya merupakan petunjuk arah dan tujuan bagi bangsa Indonesia. Namun, pengimplementasian ideologi itu sangat bergantung pada jiwa legislator yang mengalirkan melalui norma hukum undang-undang. Hal ini dikarenakan, ideologi dapat menjadi alat untuk melayani kepentingan yang dikehendaki atau bahkan yang tidak dikehendaki. Artinya, legislator dapat saja menggunakan Pancasila untuk melayani kepentingan-kepentingan segelintir pihak melalui norma hukum. Terlebih pada saat ini, Pancasila nilai-nilainya telah terdegradasi dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga sulit diterjemahkan dalam lingkungan strategis dan menghadapi masalah yang lebih konkrit. Pancasila dirasakan luntur sebagai identitas bangsa, bahkan tergerus oleh ideologi lain, seperti liberalism. Apabila berkaca secara ideal pada pembentukan peraturan perundang-undangan, ketika Pancasila ditempatkan atau diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm konsekuensinya ialah bahwa produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan berisi kehendak, kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa atau bahkan menegasikan kepentingan yang tidak dikehendaki oleh penguasa. Oleh karena itu, dapatlah ditunjuk bahwa undang-undang yang pada akhirnya berujung pada meja judicial review, karena kehendak dan kepentingan-kepentingan yang dibonceng begitu memihak, bahkan pada ideologi atau kepentingan kapitalis atau pemilik modal yang isi norma hukumnya bahkan menghilangkan atau melanggar kepentingan-kepentingan orang banyak seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi. 14 Rachmad Firman Maulana, dkk., Ed. Amalia Puri Handayani, (2013), Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Hlm

11 Secara kontras ingin dinyatakan bahwa ketika Pancasila diposisikan sebagai Grundnorm, maka Pancasila akan menjadi suatu realitas ideal yang berisi keadilan tanpa ada kesudian untuk melayani kepentingan siappun. Pancasila sebagai Grundnorm, artinya hanya berfungsi sebagai pemberi keabsahan an sich- kepada norma-norma hukum yang berada di bawahnya. Isinya hanya sebagai pengandaian sesuatu itu ada dan sesuatu yang seharusnya. Oleh karena itu, undang-undang yang dihasilkan pun akan lebih mendistribusikan keadilan, sehingga lah tidak perlu membaca norma hukum atau memahami norma hukum itu menggunakan anasir-anasir lain yang dikhawatirkan akan menghilangkan keidealannya itu. Grundnorm sekilas memang dipandang kaku, karena Grundnorm memang menginginkan penjabaran norma-norma hukum di bawahnya itu sah. Keabsahan suatu norma hukum itu ialah keadilan. Jadi, norma hukum tidak akan sah apabila materi muatannya tidak mengandung suatu keadilan, dan bila itu tidak sah, itu bukanlah hukum. Jadi, sangat tidak dimungkinkan untuk me-nir-kan persaingan antara politik dengan hukum apabila Pancasila tetap ditempatkan sebagai Grundnorm sekaligus Staatsfundamentalnorm. Kesimpulan Sebagai mata kuliah yang berorientasi pada kemampuan mahasiswa untuk memahami norma hukum, di dalam Ilmu Perundang-undangan diajarkan mengenai teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu The Pure Theory of Law yang dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky dengan theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung nya, memiliki hal essensial yang membedakan satu sama lain. Di dalam theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung yang disampaikan oleh Hans Nawiasky, norma hukum yang dibentuk, diposisikan sebagai tata susunan yang berhierarki di dalam suatu negara yang berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm). Staatsfundamentalnorm ini tidak dapat dianggap sama begitu saja dengan Grundnorm yang dimaksud oleh Hans Kelsen dalam teorinya. Hal itu dikarenakan, Kelsen sama sekali tidak mengkaitkan teorinya dengan negara, melainkan berbicara tentang norma secara umum. Staatsfundaentalnorm lebih bermakna sebagai ideologi yang memberikan 233

12 kekuatan kepada norma-norma di bawahnya agar ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pasalnya demikian, karena Staatsfundamentalnorm merupakan kesepakatan yang membangun kepercayaan politik untuk menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaruh Secara Normatif Kekeliruan Mendudukkan Pancasila Sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm Di Dalam Sistem Peraturan Perundangundangan Di Indonesia Itu membawa hasil bahwa undang-undang yang terbentuk mengindikasikan diboncengnya kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terutama ialah pemilik modal atau kapitalis. Contohnya dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air dan Koperasi yang akhirnya dibatalkan melalui proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Serta, undang-undang yang tidak efektif dan berkualitas, sehingga harus berakhir di meja judicial review seperti yang terjadi pada 861 (delapan ratus enam puluh satu) undang-undang, baik itu Undang-Undang di bidang politik, Undang-Undang di bidang anggaran, Undang-Undang di bidang pendidikan, dan Undang-Undang di bidang ekonomi serta peradilan. Ditambah dengan jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang pada tahun 2016, menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia. Sebabnya ialah, ketika didudukkan sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm, maka akan ditemukan suatu legalisasi ketika memasukkan kepentingan secara politis atau anasir-anasir lain di dalam pembentukan hukum, sehingga tentang keadilan akan terkontaminasi begitu saja dengan soal-soal kepentingan yang bersumber pada ideologi. Pemosisian Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan menimbulkan misleading. Ketika Pancasila sebagai Grundnorm, Pancasila menjadi realitas ideal yang digunakan untuk mengungkap nilai yang sesuai dalam sebuah norma. Berbeda dengan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm yang dapat berwarna kepentingan dari pemerintah atau rezim penguasa pada suatu negara, karena itu bisa menjadi alat bagi pemerintah atau penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. 234

13 Daftar Pustaka Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. (2014). Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen Yogyakarta: Genta Publishing. Indrati S, Maria Farida. (2007). Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. Maulana, Rachmad Firman. dkk. Ed. Amalia Puri Handayani. (2013). Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Soeprapto. (2013). Pancasila. Jakarta: Konstitusi Press. Samekto, Adjie. (2013). Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing. Maulana, Firman Rachmad dkk., Ed. Amalia Puri Handayani. (2013). Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Website Manafe, Imanuel Nicolas. Presiden Hormati Putusan MK Terkait Wewenang Mendagri Mencabut Perda. diakses pada tanggal 26 April Laporan Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang. diakses pada tanggal 26 Februari Universitas Ngurah Rai. Jadwal Mata Kuliah di Semester Genap dan Ganjil di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai. KULIAH-SEMESTER-GANJILTAHUN-AKADEMIK diakses pada tanggal 23 Januari FHUI. Bahan Kuliah. FHUI Guide. diakses pada tanggal 23 Januari

Pandecta. Pola Persaingan Antara Hukum dengan Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pandecta. Pola Persaingan Antara Hukum dengan Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Volume 11. Nomor 2. December 2016 Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta Pola Persaingan Antara Hukum dengan Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ricca Anggraeni Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati 118 IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Abstract The direction of the state is a guideline for state officials to

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, bahkan

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pengujian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung belum

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA PEMERINTAH

HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA PEMERINTAH HAN Sektoral Pertemuan Kedua HAN Sektoral dan Peraturan Perundang-Undangan SKEMA HAN HETERONOM Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan landasan/dasar hukum kewenangan UUD/UU PEMERINTAH HAN OTONOM

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

Filsafat. Filsafat Hukum. Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto)

Filsafat. Filsafat Hukum. Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto) Filsafat Filsafat Hukum Teori Hukum Politik Hukum Asas-asas Hukum General Norm Individual Norm Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto) Praktek Hukum Teori Hukum Pendapat yang

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 31 BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG A. Hak Inisiatif DPD dalam Membuat Rancangan Undang-Undang Di dalam UUD 1945 Pasal 22D ayat (1); dijelaskan bahwasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS. Kenaikan. HargaBBM. Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan. buka dari sini

DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS. Kenaikan. HargaBBM. Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan. buka dari sini DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS Kenaikan HargaBBM Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan buka dari sini Pembahasan wacana kenaikan harga BBM kembali menguak dan menjadi sorotan utama

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara 187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal

Lebih terperinci

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag 3.2 Uraian Materi 3.2.1 Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hukum Perundang-Undangan (HPU) Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rabu, 16 April 2008

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 5 disebutkan

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Pengujian Peraturan. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Pengujian Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Pokok Bahasan Dasar Hukum Pengujian Peraturan Memahami pengujian peraturan di Mahkamah

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Daerah

Pengujian Peraturan Daerah Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGGUNAAN PASAL 33 UUD NRI TAHUN 1945 SEBAGAI DASAR HUKUM MENGINGAT DALAM UNDANG-UNDANG (Analisis terhadap: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Informasi Geospasial; Undang-Undang Nomor 31 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses pembalikan paradigma politik, di mana proses demokratisasi yang selama Orde

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sistem Konstitusi sebagai perwujudan negara hukum di Indonesia tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk membatasi kekuasaan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

Kantor Hukum Darmi Marasabessy, S.H., & Rekaan Jl. Margonda Raya No.18 Beji Kota Depok, Jawa Barat

Kantor Hukum Darmi Marasabessy, S.H., & Rekaan Jl. Margonda Raya No.18 Beji Kota Depok, Jawa Barat Faktor-Faktor yang Menyebabkan Materi Muatan Undang-Undang Bertentangan Dengan UUD 1945 The Factors That Make the Content of Laws In Contradiction The 1945 Constitution Daniel Samosir Kantor Hukum Darmi

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua [Pasal

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * Oleh: Dra. Hj. IDA FAUZIAH (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR) A. Pendahuluan Dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara

Lebih terperinci

RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL

RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL Melalui perjalanan panjang negara Indonesia sejak merdeka hingga saat ini, Pancasila ikut berproses pada kehidupan bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 149/PUU-VII/2009 Tentang UU Ketenagalistrikan Perusahaan listrik tidak boleh memiliki usaha yang sama dalam satu wilayah I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com Abstract: Based

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Malik Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai perwujudan dari negara hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah sistem, karena di

I. PENDAHULUAN. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah sistem, karena di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah sistem, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa/tahapan yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis BAB III METODE PENELITIAN berikut: Metode penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong

Lebih terperinci

NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Hari/ Tanggal : Jum at, 3 Desember 2010 Waktu : Pukul 09.30 WIB s.d. selesai Tempat : Ruang Rapat B Lt 4 Gedung Ditjen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA IKHTISAR PUTUSAN PERKARA NOMOR 100/PUU-XI/2013 TENTANG KEDUDUKAN PANCASILA SEBAGAI PILAR BERBANGSA DAN BERNEGARA Pemohon Jenis Perkara Pokok Perkara Amar Putusan

Lebih terperinci

Bahan Analisis. RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Supporting System A-194

Bahan Analisis. RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Supporting System A-194 Bahan Analisis RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Supporting System A-194 Masukan Supporting System A-194 atas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditegaskan di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditegaskan di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditegaskan di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah TEORI DAN METODE PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012 SILABI A. IDENTITAS

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1985 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARTAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016 INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016 Mahkamah Konstitusi (yang selanjunya disebut MK) sebagai lembaga peradilan

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci