BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE"

Transkripsi

1 BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014) A. Kewenangan Badan Peradilan Umum Dalam Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Yang Para Pihaknya Terikat Dengan Perjanjian Berklausul Arbitrase 1. Pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014 Tergugat I mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas Putusan Kasasi Nomor 862 K/Pdt/2013. Alasan yang diajukan oleh Tergugat I selaku Pemohon Peninjauan Kembali dalam memori peninjauan kembali pada pokoknya adalah tentang ruang lingkup kompetensi absolut. Tergugat I menyebutkan bahwa dalam putusan kasasi tersebut, Majelis Kasasi melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dengan menyatakan sengketa ini merupakan kewenangan peradilan umum dan bukan kewenangan arbitrase. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 13.2 sampai dengan 13.4 Investment Agreement dan oleh karena pokok sengketa dalam perkara ini adalah tentang pelaksanaan Investment 99

2 100 Agreement, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah lembaga arbitrase di Jakarta, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya disebut BANI ). Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 memutus menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I). Menurut Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan. 1 Dalam hal Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung memperingatkan agar penolakan permohonan peninjauan kembali itu disertai dengan pertimbanganpertimbangan yang matang, argumentatif, dan objektif. 2 Dalam hal menolak permohonan peninjauan kembali dari Tergugat I, Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi 1 Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamag Agung jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 2 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 489.

3 101 dan putusan Judex Facti, dalam perkara a quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan Hakim dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement karena terdapat pihak yang tidak terikat dengan Invesment Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2002; Perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penguggat dengan Tergugat I dan Turut Tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara a quo; Bahwa terbukti Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat; Bahwa surat-surat bukti Pemohon PK I s/d. PK IV semuanya dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013 yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013) sehingga tidak bernilai sebagai novum yang menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009; Bahwa alasan Pemohon Peninjauan Kembali lainnya merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Judex Facti (Pengadilan Negeri) dan Juris Juris. Selanjutnya Majelis Hakim menyebutkan bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali tersebut, maka putusan yang dimohonkan peninjauan kembali, yaitu Putusan Kasasi Nomor 862

4 102 K/Pdt/2013, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada Para Pihak yang bersangkutan. Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali tersebut pada pokoknya adalah menguatkan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi dan Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) yang menyebutkan bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement yang berklausul arbitrase. Menurut Ridwan Khairandy bahwa berkaitan dengan kemungkinan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase diselesaikan juga di pengadilan umum, sangat bergantung pada kualifikasi fakta dari kasus yang ada. Jika kasus yang bersangkutan berkaitan dengan sengketa kontraktual, maka kasus yang bersangkutan diselesaikan oleh forum yang telah dipilih para pihak dalam klausul arbitrase dimaksud. Namun, apabila kasus yang ada walaupun ada kaitannya, tetapi bukan perselisihan kontraktual, misalnya sengketa badan hukumnya atau perbuatan melawan hukum yang tidak tercakup dalam klausul arbitrase tersebut, dapat saja diselesaikan oleh pengadilan umum. 3 Berikut adalah pembahasan tentang perbuatan melawan hukum sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim: 3 Ridwan Khairandy, Pendapat Hukum Atas Kasus PT. Berkah Karya Bersama v Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesia, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Ny. Niken Wijayanti, dan Mohammad Jarman, Yogyakarta, 24 September 2014, hlm.11.

5 103 a. Perbuatan Melawan Hukum Tergugat I dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Turut Tergugat I pada tanggal 18 Maret 2005 Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk kepada Pasal 1365 KUHPerdata. 4 Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau makna perbuatan melawan hukum, tetapi mengatur persyaratan bagi seseorang yang mengajukan gugatan ganti karena perbuatan hukum berdasar ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pengertian perbuatan melawan hukum ditemukan dalam doktrin. Pengertian perbuatan melawan hukum secara luas menurut M.A. Moegni Djojodirjo adalah perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan, maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Sedangkan, pengertian perbuatan melawan hukum menurut Rosa Agustina adalah perbuatan melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak 4 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Prespektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 300.

6 104 tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan semua warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar. Jika seseorang ingin menguggat orang lain karena perbuatan melawan hukum, maka dia (Penguggat) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat ditarik beberapa unsur yang sekaligus persyaratan gugatan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Muatan dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan syarat dipenuhi dalam hak perbuatan melawan hukum yaitu adanya tindakan/perbuatan, perbuatan tersebut harus melawan hukum, pelakunya memiliki unsur kesalahan, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, dan hubungan sebabakibat antara perbuatan dan kerugian. Berikut adalah unsur-unsur perbuatan melawan hukum Para Tergugat: 1) Perbuatan Berdasarkan pernyataan keputusan rapat Turut Tergugat I Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 diketahui bahwa pada tanggal 18 Maret 2005, telah dilaksanakan RUPSLB para pemegang saham Turut Tergugat I. Sebelumnya, telah diadakan panggilan terlebih dahulu untuk rapat tertanggal 18 Maret 2005 yang telah dikirim pada tanggal 10 Maret Rapat tersebut dihadiri oleh para pemegang saham dan/atau kuasa pemegang saham perseroan yang mewakili sebanyak (empat ratus delapan juta lima

7 105 ratus lima puluh ribu) lembar saham atau sebesar 99,23% dari (empat ratus sebelas juta tujuh ratus ribu) saham yang merupakan seluruh saham yang telah dikeluarkan dan disetor penuh dalam perseroan serta memiliki hak suara sah, sehingga korum kehadiran sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) a Anggaran Dasar perseroan telah terpenuhi. Adapun keputusan yang diambil dalam RUPSLB tersebut antara lain: Menyetujui bahwa penyelesaian transaksi antara Siti Hardiyanti Rukmana (Penguggat I) dan Perseroan Terbatas PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I) akan dilaksanakan dengan mengikuti tujuan atau rencana dari Investment Agreement, yaitu Perseroan Terbatas PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I) akan menjadi pemegang atau pemilik saham dalam perseroan yang memiliki sebanyak 75% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan. 2) Perbuatan Tersebut Harus Melawan Hukum Oleh karena RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dilaksanakan pada tahun 2005, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berkesimpulan bahwa pelaksanaan RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat I tidak memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2995 dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I dengan pertimbangan sebagai berikut: a) Bahwa prosedur pemanggilan terhadap pemegang saham in casu Para Penguggat tidak memenuhi ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1

8 106 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasal 20 Anggaran Dasar Turut Tergugat I Nomor 94 Tahun 1997; b) Bahwa panggilan rapat yang hanya ditujukan kepada Tergugat I sebagai kuasa dari Para Penguggat adalah tidak sah karena surat kuasa yang dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 telah dicabut dan pencabutan surat kuasa multak tersebut adalah sah menurut hukum. Dengan demikian, pelaksanaan RUPSLB Turut Tergugat I yang dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2005 menurut Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) adalah tidak sah secara hukum. Pertimbangan Judex Facti tersebut dikuatkan oleh Judex Juris dalam tingkat kasasi. Pertama, tentang pemanggilan RUPSLB 18 Maret 2005 telah menyalahi ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Berdasarkan pernyataan keputusan rapat Turut Tergugat I Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 diketahui bahwa telah diadakan panggilan terlebih dahulu untuk RUPSLB tertanggal 18 Maret 2005 tersebut melalui surat tertanggal 10 Maret 2005 yang telah dikirim pada tanggal 10 Maret Dalam surat undangan tertanggal 10 Maret 2005 tersebut diketahui bahwa undangan tersebut hanya dialamatkan dan dikirim kepada Tergugat I yang dalam undangan tersebut disebut sebagai penerima kuasa.

9 107 Menurut Pasal 69 Undang-Undang Perseroan Terbatas disebutkan: 5 1. Pemanggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan; 2. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan surat tercatat; 3. Pemanggilan RUPS untuk Perseroan Terbuka dilakukan dalam 2 (dua) surat kabar harian; 4. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perseroan mulai hari dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan hari RUPS diadakan; 5. Perseroan wajib memberikan salinan bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) kepada pemegang saham secara cuma-cuma. 6. Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), keputusan tetap sah apabila RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara yang sah dan disetujui dengan suara bulat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Anggaran Dasar Turut Tergugat I disebutkan bahwa pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan surat tercatat yang harus dikirim paling lambat 14 hari sebelum tanggal rapat, dalam 5 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

10 108 hal mendesak jangka waktu tersebut dapat dipersingkat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat dengan tidak memperhitungkan tanggal panggilan dan tanggal rapat. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berpendapat bahwa apabila dikaitkan dengan undangan rapat yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2005 sedangkan pelaksanaan RUPS dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2005, maka dengan demikian jangka waktu pemanggilan sebagaimana diatur oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sebagaimana dalam Akta Berita Acara Rapat Nomor 94 Tahun 1997, tidak terpenuhi. Dalam pertimbangannya tersebut, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan tentang Pasal 69 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang menyebutkan bahwa dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), keputusan tetap sah apabila RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara sah dan disetujui dengan suara bulat. Jadi, apabila ada pemanggilan RUPS lebih cepat dari 14 (empat belas) hari tidak mempengaruhi hasil putusan RUPS sepanjang semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Apalagi jika dikaitkan dengan Anggaran Dasar Turut Tergugat I yang menyatakan bahwa pemanggilan RUPS kurang dari 14 (empat belas) hari karena di

11 109 Anggaran Dasar Turut Tergugat I hal tersebut dimungkinkan apabila terdapat kedaan mendesak. Menurut Ridwan Khairandy, makna mendesak di sini adalah mendesak bagi Perseroan. 6 Dalam pertimbangannya, Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) juga tidak mempertimbangkan tentang keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Untuk mengetahui apakah RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara sah maka terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai keabsahan pencabutan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 yang dipergunakan oleh Tergugat I untuk hadir dalam RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 tersebut. Selanjutnya, tentang apakah keputusan dalam RUPSLB pada tanggal 18 Maret 2005 disetujui dengan suara bulat. Keputusan dalam RUPSLB pada tanggal 18 Maret 2005 tidak disetujui dengan suara bulat, karena RUPSLB tersebut dihadiri oleh para pemegang saham dan/atau kuasa pemegang saham Perseroan yang hanya mewakili (empat ratus delapan juta lima ratus lima puluh ribu) lembar saham atau sebesar 99,23% dari (empat ratus sebelas juta tujuh ratus ribu) saham. Selanjutnya, tentang keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) tidak mempertimbangkan secara jelas mengenai terpenuhi atau tidak keadaan mendesak 6 Ridwan Khairandy, Pendapat Hukum Atas Kasus PT. Berkah Karya Bersama, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesia, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Ny. Niken Wijayanti, dan M. Jarman, hlm. 6.

12 110 sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Dalam Jawaban Pokok Perkara Tergugat I, Tergugat I menyebutkan: Pemanggilan 7 hari sebelum RUPS dapat dilakukan dalam keadaan mendesak sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dari Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Pada watu itu RUPSLB 18 Maret 2005 dilakukan dalam keadaan mendesak karena Tergugat I mencurigai adanya gelagat itikad tidak baik dari Para Penguggat untuk menguasai kembali Turut Tergugat I dengan cara yang tidak mematuhi dan bertentangan dengan Investment Agreement. Gelagat itikad tidak baik ini terlihat dari surat-surat sebelumnya dari Para Penguggat, diantaranya adalah surat tanggal 20 Desember 2004 yang menunjukkan Para Penguggat mulai ingin menguasai kembali Turut Tergugat I dan tidak mau memberikan hak Tergugat I atas 75% saham Turut Tergugat I dan dilanjutkan dengan surat tertanggal 19 Januari Dengan demikian pemanggilan yang dilakukan atas dasar alasan yang mendesak tersebut telah sesuai dengan prosedur yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada pokoknya mempertimbangkan bahwa pada pokoknya dalam surat Penguggat tersebut, tidak pernah menyebutkan adakan membeli kembali 75% saham pada Turut Tergugat I yang telah dikuasai oleh Tergugat I, akan tetapi adalah untuk memperhitungkan dan membayar kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Tergugat I terkait dengan pengambilalihan utang-utang Turut Tergugat I oleh Tergugat I. Dengan demikian, menurut Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) keadaan mendesak sebagaimana yang diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I tidak terpenuhi. Kedua, tentang keabsahan pencabutan surat kuasa mutlak (Power of Attorney) tertanggal 3 Juni 2003 yang dilakukan oleh Para Penguggat.

13 111 Surat kuasa sebagaimana yang diberikan Penguggat I kepada Tergugat I pada tanggal 3 Juni 2003 adalah untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama prinsipal dalam kapasitasnya berikut ini (sebagaimana berlaku) sebagai: 1) Pemegang saham saham dalam PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia; 2) Dirut PT. Tridan Satriaputra Indonesia; 3) Dirut PT. Citra Lamtorogung Persada; 4) Wakil ketua yayasan Purna Bhakti Pertiwi dan kerenanya mewakili prinsipal dalam setiap RUPSLB PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Dalam surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 tersebut diatur ketentuan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat diakhiri karena alasan apapun dan oleh karenanya prinsipal mengesampingkan Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata yang berlaku di Indonesia. Penguggat I untuk selanjutnya disebut para pemegang saham pada tanggal 16 Maret 2005 mencabut surat kuasa yang pernah dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 dengan dasar pada pokoknya adalah para pemegang saham tidak memberikan kewenangan kepada Tergugat I untuk mengatur/memutuskan tentang pelaksanaan transaksi antara Penguggat I selaku pribadi dengan Tergugat I apalagi untuk

14 112 mengatur/memutuskan tentang 3 (tiga) alternatif penyelesaian yang disebutkan dalam undangan RUPSLB pada tanggal 18 Maret Berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Turut Tergugat I tertanggal 21 Juli 2003, diketahui bahwa surat kuasa pada tanggal 3 Juni 2003 telah dipergunakan oleh Tergugat I dalam RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 21 Juni 2003 dalam rangka penggantian pengurus Turut Tergugat I. Terhadap pencabutan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 tersebut, kuasa Tergugat I mengirimkan surat kepada kuasa Para Penguggat yang isinya pada pokoknya menjawab surat dan menolak dengan tegas pencabutan surat kuasa yang dibuat pada tanggal 3 Juni Pemberian surat kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, dalam Buku III KUHPerdata. Namun, dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak (Power of Attorney). Secara khusus, larangan kuasa mutlak adalah untuk bidang pertanahan yang dapat ditemui dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah. Dalam Instruksi Mendagri disebutkan bahwa melarang Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.

15 113 Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sifat pengaturan Buku III KUHPerdata adalah bersifat pelengkap. Sifat yang demikian itu memiliki konsekuensi bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian memiliki kebebasan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Apabila ada kesepakatan yang isinya menyimpangi ketentuan KUHPerdata, berarti para pihak di dalam perjanjian sepakat untuk mengesampingkan ketentuan KUHPerdata yang dimaksud. Para Pihak dalam surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003, sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata. Pertama, Pasal 1813 KUHPerdata mengatur tata cara berakhirnya pemberian kuasa. Di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu cara berakhirnya pemberian kuasa adalah dengan cara penarikan kembali kuasa dimaksud oleh pemberi oleh pemberi kuasa. Kedua, Pasal 1814 KUHPerdata yang mentukan bahwa pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya. Ketiga, Pasal 1816 KUHPerdata yang menentukan bahwa pengangkatan kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama. Jika dalam surat kuasa menyebutkan bahwa kuasa yang diberikan sebagai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, maka ini bermakna bahwa Para Pihak bersepakat mengesamapingkan ketentuan KUHPerdata di atas. Sebagai

16 114 konsekuensinya Pemberi Kuasa tidak dapat mengakhiri pemberian kuasa melalui penarikan kembali kuasa dimaksud. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama menyebutkan bahwa pada pokoknya surat kuasa yang telah dibuat setiap saat dapat dicabut oleh Pemberi Kuasa, akan tetapi dalam praktek dimungkin adanya surat kuasa mutlak yang dibuat Pemberi Kuasa. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1060/K/1972, tanggal 14 Oktober 1975 disebutkan: Suatu surat kuasa di dalamnya tercantum kalimat bahwa surat kuasa ini tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (surat kuasa mutlak), meskipun tercantum kalimat tersebut di atas menurut hukum dapat dibenarkan pemberi kuasa untuk membatalkan surat kuasa tersebut karena merupakan hak dari pemberi kuasa, terlebih lagi ternyata pihak penerima kuasa telah melakukan pelanggaran atas isi dari surat kuasa tersebut. Selanjutnya, menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 3332/K/Pdt tanggal 18 Desember 1997 disebutkan: Akta kuasa mutlak yang dibuat oleh Notaris sebagai sarana untuk melaksanakan jual beli tanah tidak dapat diajukan sebagai bukti dipersidangan pengadilan, tentang adanya peliharaan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli dengan dasar alasan bahwa kuasa mutlak mengandung perkosaan hak penjual yang lemah dan tidak adanya kebebasan berkontrak. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa: Pemberian kuasa adalah untuk kepentingan terbaik Pemberi Kuasa, sehingga Pemberi Kuasa dapat mencabut kuasa yang telah diberikan dalam hal Penerima Kuasa melakukan tindakan tertentu di luar kewenangan yang diberikan Pemberi Kuasa. Selanjutnya, ditegaskan bahwa Pemberian Kuasa itu tidak berarti

17 115 mengalihkan hak suara Pemberi Kuasa/Hak Kuasa pemegang saham. Sebagai contoh saya memberi kuasa untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham dengan acara a, b, c, tetapi tidak berarti sudah menyerahkan hak suara saya. Di dalam KUHPerdata ada tentang pemberian kuasa umum, sifatnya kepengurusan, tetapi kalau ada yang mengalihkan hak milik atau mengalihkan hak pemberian kuasa, harus nyata-nyata secara tegas dinyatakan, jadi kalau tidak ada secara tegas dinyatakan dalam pemberian kuasa, maka tidak sah Rapat Umum Pemegang Saham. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berpendapat bahwa jika dikaitkan dengan pemberian kuasa oleh Penguggat I kepada Tergugat I sebagaimana surat kuasa tanggal 3 Juni 2003, meskipun terdapat klausul pemberian kuasa tidak dapat ditarik kembali (kuasa mutlak), maka pemberi kuasa, Penguggat I masih mempunyai hak untuk mencabut kuasa yang telah diberikan kepada Tergugat I. Dengan demikian pencabutan surat kuasa yang dilakukan oleh Penguggat I adalah sah menurut hukum. Meskipun dalam surat kuasa terdapat klausul pemberian kuasa tidak dapat ditarik kembali (kuasa mutlak), Pemberi Kuasa masih mempunyai hak untuk mencabut kuasa yang telah diberikan kepada Penerima Kuasa, terlebih lagi jika Penerima Kuasa telah melakukan pelanggaran atas isi dari surat kuasa tersebut, misalnya Penerima Kuasa melakukan tindakan melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan Pemberi Kuasa kepadanya. 3) Kesalahan Pada RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005, Tergugat I hadir dalam RUPSLB tersebut serta membuat keputusan mengenai masalah penyelesaian

18 116 transaksi antara Penguggat I pribadi dengan Tergugat I dalam RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret Tergugat I hadir dalam RUPSLB tersebut dengan surat kuasa yang telah dicabut oleh Para Penguggat. 4) Kerugian Kerugian timbul dan dihitung dari perubahan presentase kepemilikan saham Para Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. 5) Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian Pada tanggal 18 Maret 2005 telah dilaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Turut Tergugat I. Salah satu keputusan yang diambil dalam RUPSLB Turut Tergugat I pada tanggal 18 Maret 2005 tersebut adalah: Menyetujui bahwa penyelesaian transaksi antara Penguggat I dan Perseroan Terbatas Tergugat I akan dilaksanakan dengan mengikuti tujuan atau rencana dari Investment Agreement yaitu Perseroan Terbatas Tergugat I akan menjadi pemegang atau pemilik saham dalam Perseroan yang memiliki sebanyak 75% (tujuh puluh lima persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan. Pelaksanaan RUPSLB 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat I tersebut tidak memenuhi prosedur sebagaimana dimanatkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I dan RUPSLB 18 Maret 2005 tersebut dilaksanakan oleh tergugat I dengan surat kuasa yang telah dicabut.

19 117 Berdasarkan keputusan yang diambil dalam RUPSLB 18 Maret 2005, maka kepemilikan saham Para Penguggat di Turut Tergugat I terdilusi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. b. Perbuatan Melawan Hukum Tergugat I dan Tergugat II dalam Pelaporan Hasil RUPSLB tertanggal 17 Maret 2005 melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada Turut Tergugat VI Dalam dalil gugatan, Para Penguggat menyebutkan bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat II menyebabkan keputusan RUPSLB Turut Tergugat I yang dilaksanakan Para Penguggat tanggal 17 Maret 2005 yang tertuang dalam Akta Notaris Buntario Tigiris Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 tidak dapat dilakukan pencatatan pemberitahuannya secara online melalui Sisminbakum adalah merupakan perbuatan melawan hukum. 1) Perbuatan Pada saat saksi Buntario Tigiris Darmawa Ng hendak melaporkan pencatatan pemberitahuan perubahan pengurus Turut Tergugat I yang diputuskan dalam RUPSLB 17 Maret 2005 pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Sisminbakum, ternyata pelaporan tersebut tidak berjalan dan selalu menolak input data untuk memproses pemberitahuan perubahan data Anggaran Dasar Turut Tergugat I.

20 118 2) Perbuatan Tersebut Harus Melawan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan mengesahkan status badan hukum suatu Perseroan Terbatas, memberikan persetujuan atas perubahan tertentu anggaran dasar Perseroan Terbatas dan menerima laporan/pemberitahuan perubahan anggaran dasar/data Perseroan Terbatas. Berdasarkan tanggapan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Aministrasi Hukum Umum tentang pencabutan gugatan dalam perkara Nomor 96/G/2010/PTUN-JKT tanggal 19 Agustus 2010 diketahui bahwa: a) Bahwa telah ditemukan kesalahan prosedural pengesahan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH yang telah mendapat surat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM Nomor C07564.HT Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005; b) Bahwa telah ditemukan proses pengesahan Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH yang terhalang/terblokir oleh sistem pada sistem Sisminbakum; c) Bahwa seharusnya yang diproses terlebih dahulu adalah Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng karena telah melakukan akses lebih dahulu tapi aksesnya diblokir. Kemudian

21 119 akses tersebut dibuka kembali oleh Tergugat II untuk pemprosesan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH; d) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses yang dilakukan tidak atas perintah tertulis Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum atau Pejabat yang berwenang yang ditunjuk; e) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses yang dilakukan oleh Tergugat II sebagai pengelola sistem tanpa adanya perintah dari pejabat yang berwenang di Direktorat Jendral Administrasi Hukum; f) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses dilakukan dengan tanpa hak oleh Tergugat II sehingga Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH menjadi terhalang/terblokir; g) Bahwa wewenang pemblokiran dan pembukaan akses hanya terdapat pada pejabat yang berwenang di Direkotar Jendral Administrasi Hukum Umum; h) Bahwa karena adanya pelampauan wewenang yang seharusnya menjadi tugas pokok dan fungsi Direktorat Jendral Adminitrasi Hukum Umum maka seluruh proses dan fungsi dan hukum dalam rangka persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas menjadi batal; i) Bahwa dalam hukum adminitrasi umum, setiap proses adminitrasi yang dilakukan harus memenuhi proses persyaratan materiil dan formil. Persyaratan materiil yang

22 120 harus dipenuhi adalah bahwa alat pemerintah yang membuat keputusan tersebut harus berwenang, sedangkan Tergugat II tidak memiliki kewenangan untuk menentukan pemblokiran; j) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Proses Pengesahan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Bambang Wiweko, SH menjadi tidak sah karena memiliki cacat hukum prosedural pengesahan dan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C07564.HT Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005 tersebut menjadi batal demi hukum dan dianggap tidak pernah dibuat atau tidak pernah ada sehingga tidak memiliki akibat hukum. Akibat batalnya Surat Keputusan tersebut maka surat-surat keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM sesudah itu menjadi batal seluruhnya karena alas hak awalnya sudah cacat hukum dan batal demi hukum. Berdasarkan surat dari Dirjen Administrasi Hukum Umum Direktur Perdata diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan dan laporan tim independen menemukan pihak Para Penguggat pernah mengajukan permohonan perihal Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 tentang Perubahan Pengurus Perseroan Turut Tergugat I, akan tetapi permohonan tersebut tidak diproses atau diblokir disisi lain, Pihak Harry Tanoesodibjo melalui Notaris Bambang Wiweko, SH memberikan kuasa Yohannes Waworuntu, Direktur Tergugat II yang mengendalikan secara teknis sistem pendaftaran badan hukum pada saat itu, untuk memproses permohonan perubahan

23 121 pemegang saham dan pengurus perseroan melalui Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang akhirnya menerbitkan Surat Keputsan Menteri Hukum dan HAM Nomor HT tahun 2005 tanggal 21 Maret Jadi SK tersebut tidak melalui proses pejabat yang memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Perseroan. Penegasan ini disampaikan kepada kepada tim independen oleh Zulkarnaen Yunus (Direktur Jendral Adminitrasi Hukum Umum), Syamsudin Manan Sinaga (Direktur Perdata), Budihardjo (Kasub Dit Badan Hukum dan menurut pengakuan Yohanes Waworuntu (Direktur Tergugat II) dirinya melakukan hal tersebut atas perintah Harry Tanoesoedibjo. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) menyimpulkan bahwa perbuatan penutupan akses atau pemblokiran hasil RUPSLB Turut Tergugat I yang dilakukan Para Tergugat adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undangundang dan kewajiban Para Tergugat karena tidak berdasarkan perintah yang berwenang yaitu Direjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3) Kesalahan Akses penegsahan Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH terhalang/terblokir oleh sistem pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), sehingga pencatatan hasil RUPSLB tersebut tidak bisa dilasanakan. Kemudian akses tersebut dibuka kembali

24 122 oleh Tergugat II untuk memproses Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH, sehingga perubahannya dicatatkan oleh Turut Tergugat VI. Pemblokiran dan pembukaan akses dilakukan oleh Tergugat II sebagai pengelola sistem tanpa adanya perintah dari perjabat yang berwenang di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Wewenang pemblokiran dan pembukaan akses hanya terdapat pada pejabat yang berwenang di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. 4) Kerugian Tidak terdaftarnys RUPSLB 17 Maret 2005 yang semakin mengukuhkan RUPSLB 18 Maret 2005 sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I Perubahan prosentase kepemilikan saham Para Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. 5) Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian Tergugat II menutup akses atau memblokir hasil RUPSLB Turut Tergugat I sehingga Tidak terdaftarkannya RUPSLB 17 Maret 2005 yang semakin mengukuhkan RUPSLB 18 Maret 2005 sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat. Perubahan prosentase kepemilikan saham Para

25 123 Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% sehingga Para Pneguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. 2. Ruang Lingkup Klausul Arbitrase a. Ruang lingkup klausul arbitrase yang terdapat dalam Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003 Pada tanggal 23 Agustus 2002 telah ditandatangani Investment Agreement antara seluruh pemegang saham Turut Tergugat I yang pada waktu itu adalah Para Penguggat beserta M. Jarman dan Niken Wijayanti, dengan Tergugat I sebagai Investor, dan dengan Turut Tergugat I serta suatu Supplemental Agreement yang merupakan perjanjian tambahan atas Investment Agreement, yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 2003 dan ditandatangani oleh pihak yang sama. Dalam Investment Agreement disepakati bahwa Tergugat I setuju untuk menyediakan dana bagi Turut Tergugat I hingga sejumlah USD 55,000,000 dengan alokasi: 1) Hingga sejumlah USD 25,000, untuk mengambil bagian saham mayoritas di Turut Tergugat I (hingga maksimum sebesar 75% dari seluruh modal saham yang ditempatkan dan disetor di Turut Tergugat I) sesuai syarat-

26 124 syarat dan ketentuan-ketentuan share subscription agreement yang akan ditandatangani oleh dan antara Turut Tergugat I, Para pemegang saham eksisting Turut Tergugat I dan Tergugat I; 2) Hingga USD 30,000, untuk pembiayaan kembali/pengambilalihan dan restrukturisasi hutang-hutang TPI. Selanjutnya dalam Pasal 3.1 Investment Agreement mengatur point tentang pengeluaran/penerbitan saham yang menyebutkan: Dengan tunduk kepada share subscription agreement, Investor (Tergugat I) akan mendapatkan saham yang akan diterbitkan oleh Turut Tergugat I sebesar 75% (bagian awal saham yang akan dimiliki oleh Investor/Tergugat I) dari total seluruh saham yang diterbitkan oleh Turut Tergugat I yang akan diterbitkan kemudian dengan dasar dilusi penuh saham-saham (saham yang dikeluarkan). Dan berdasarkan Supplmental Agreement apabila pembiayaan dan restrukturisasi yang dilakukan melebihi nilai maksimal tersebut dan membutuhkan dana lebih dari USD 55,000,000 maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pemegang saham Turut Tergugat I pada waktu itu temasuk Para Penguggat, melalui penjualan aset miliknya. Berdasarkan Investment Agreement, Tergugat I diberikan hak atas 75% saham Turut Tergugat I dengan cara penerbitan saham baru/dilusi atas penyelesaian-penyelesaian utang Turut Tergugat I. Para pihak dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement menyepakati ketentuan mengenai pilihan forum 7 pada Pasal 13 Investment Agreement 7 Pilihan forum yaitu para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut.

27 125 dan Pasal 6 Supplmental Agreement. Dalam Pasal 6 Supplmental Agreement dinyatakan secara tegas mengikuti ketentuan Pasal 13 Investment Agreement. Dalam Pasal 13 Investment Agreement disebutkan: 13.2 Segala sengketa yang timbul antara para pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun, akan diselesaikan melalui musyawarah Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Pasal 13 ini merupakan suatu klasula arbitrase yang tercakup dalam perngertian pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat para pihak untuk menyampaikan sengketa kepada arbitrase yang final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan yang diatur di perjanjian ini. Berdasarkan Pasal 13 Investment Agreement tersebut, maka segala sengketa yang timbul antara Para Pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun, akan diselesaikan melalui musyawarah dan apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

28 126 Isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase. 8 Pada prinsipnya, klausul arbitrase tidak boleh melampaui isi perjanjian pokok. Maksudnya, isi klausul arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang relevan dengan pokok perjanjian. Klausul arbitrase tidak boleh menyimpang dari perjanjian pokok. Klausul arbitrase tidak boleh memuat masalah penyelesaian perselisihan yang tidak ada sangkut pautnya dengan isi perjanjian pokok. Jika isi perjanjian berkenaan dengan transaksi jual beli, klausul arbitrase hanya boleh berisi hal-hal yang berkenaan dengan penyelesaian perjanjian tekstil. Yang diperkenankan tercantum dalam persetujuan arbitarse hanya sepanjang kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul atau yang telah timbul dari perjanjian pokok. Para pihak dapat merumuskan isi klausul arbitrase secara umum. Isi klausul arbitrase yang bersifat umum dapat dirumuskan secara ringkas, cukup mencantumkan kalimat segala perselisihan yang timbul antara para pihak, sepakat diselesaikan dan diputus oleh arbitrase. Klausul ini meliputi segala jenis perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Para pihak juga dapat merumuskan isi klausul arbitrase secara terperinci. Klausul arbitrase yang dirumuskan secara terperinci bisa dalam bentuk terinci sekali secara menyeluruh ataupun terinci mengenai pokok-pokoknya saja (terperinci seperlunya). Suatu perjanjian arbitrase disebut memuat klausul yang terinci sekali 8 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Cetakan Pertama, Pustaka Kartini, 1991, hlm 105.

29 127 atau mendetail, apabila rumusannya mencantumkan semua aspek perjanjian. Rumusan yang mengandung semua asepek perjanjian pokok, apabila klausul merinci mulai dari masalah perselisihan yang akan timbul tentang keabsahan perjanjian, arti perjanjian, hak-hak dan kewajiban (liability) para pihak dalam pemenuhan perjanjian. Menurut M. Yahya Harahap, klausul arbitrase yang paling berdaya guna ialah klausul yang rincian rumusannya bersifat moderasi. Klausul yang seperti ini, hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja. Rincian hanya seperlunya didasarkan kaitannya dengan ruang lingkup perjanjian pokok. Hal-hal pokok yang menjadi perselisihan dalam suatu perjanjian saja yang dirinci dalam klausul. M. Yahya Harahap merinci pokok-pokok utama yang sering menjadi perselisihan dalam setiap perjanjian (agreement) antara lain: 9 a) Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian. Didalamnya bisa termasuk kontraversi pendapat (contraversy), kesalahan pengertian (misunderstanding), dan ketidak sepakatan (disagreement); b) Pelanggaran perjanjian (break of contract), kedalamnya termasuk sah atau tidaknya perjanjian, dan berlaku atau tidaknya perjanjian; c) Pengakhiran perjanjian (termination of contract); d) Klaim (claim) mengenai tuntutan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 9 Ibid., hlm. 108.

30 128 Arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sepanjang perselisihan yang ditentukan dalam klausul. Bila klausul menjelaskan kesepakatan semua jenis perselisihan diperiksa dan diputus arbitrase, berarti arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan apa saja yang timbul dari perjanjian. Sebaliknya, jika klausul hanya menentukan jenis perselisihan tertentu, sepanjang itu juga kewenangan arbitrase unutuk memeriksa dan memutus. Berdasarkan isi klausul arbitrase yang terdapat dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement, maka arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili segala sengketa yang timbul antara Para Pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun. b. Kewenangan arbitrase mengadili perkara perbuatan melawan hukum 1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Arbitrase dan APS adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 10 Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa sengketa yang dapat 10 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

31 129 diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa keperdataan yang telah didasarkan pada perjanjian arbitrase. Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berupa wanprestasi, perbuatan melawan hukum, atau perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain tapi tidak termasuk perbuatan melawan hukum yaitu berupa penyalahgunaan keadaan. 11 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut Undang-Undang Arbitrase dan APS ), tidak mengatur secara khusus tentang apakah arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum, atau hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa wanprestasi. Namun, Undang-Undang Arbitrase dan APS memberikan batasan-batasan tentang sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa keperdataan, tetapi, tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 12 Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

32 130 Undang-Undang Arbitrase dan APS tidak memberikan penjelasan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Namun, jika dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase dan APS, yang termasuk dalam ruang lingkup bidang perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain dibidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekyaan intelektual. 13 Dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS juga tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Konsep mengenai hak sendiri menurut hukum digambarkan sebagai berikut: Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut hak, melainkan kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan hukum kepada sesorang. 14 Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 13 Penjelasan Pasal 66 Huruf B: Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang : - perniagaan; - perbankan; - keuangan; - penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual. 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm

33 131 Izin atau kekuasaan yang diberikan hukum itu disebut hak atau wewenang. 15 Dalam buku yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht, L.J. van Apeldoorn mengatakan bahwa hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan dari suatu hak apabila hukum mulai bergerak. 16 Misalnya menurut hukum si A berhak atas suatu ganti-rugi. 17 Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Hukum harus memutuskan apakah seseorang akan diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap pengusaan atas suatu barang, perlindungan tersebut berupa melindungi dari ganguan orang-orang lain. Hukum mempunyai kekuasaan untuk memberikan penliaian tersebut, dengan demikian maka hukum dapat mengajukan persyaratan sendiri, yaitu pertimbangan yang didasarkan pada tujuan dan kepentingan hukum. Dinilai dari sudut pertimbangan yang demikian itu, penguasaan penuh atas suatu barang bisa saja tidak diterima dan oleh karena itu tidak memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya, karena pertimbangan-pertimbangan yang demikian itu pula, penguasaan yang dari pendapat dan penalaran umum dipandang tidak sempurna, oleh hukum bisa diakui dan dilindungi. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan APS mensyaratkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang 15 C.S.T. Kansil, Lo.Cit., hlm Ibid. 17 Ibid.

34 132 perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Selanjutnya, menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase dan APS ditentukan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ketentuan mengenai perdamaian diatur dalam Buku III Bab Kedelapan Belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata ). Perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah: Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang begantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis, apabila tidak dibuat secara tertulis, maka perjanjian tersebut tidak sah. Dalam Pasal 1852 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seseorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam perdamaian itu. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario 18, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sepanjang 18 Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) adalah: Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (pengingkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut.

35 133 penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diadakan perdamaian, maka penyelesaiannya oleh para pihak dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase. 19 Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase tersebut. Adanya suatu perjanjian arbitrase tersebut juga meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri 20 karena para pihak telah terikat untuk menyelesaikan sengketa tersebut di arbitrase. Pengadilan Negeri juga wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2008, hlm Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan: Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. 21 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7

BAB I PENDAHULUAN. dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7 1 BAB I PENDAHULUAN A. Kasus Posisi PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia atau yang kita kenal dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7 Triliun, karena hutang tersebut hampir

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perekonomian nasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional yang harus diwujudkan oleh negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesepakatan-kesepakatan di bidang ekonomi. Kesepakatan-kesepakatan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kesepakatan-kesepakatan di bidang ekonomi. Kesepakatan-kesepakatan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Transaksi bisnis, dewasa ini sangat berkembang di Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi untuk melakukan suatu transaksi yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang

Lebih terperinci

MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1

MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. Ayat 1 Tidak Ada Perubahan Perubahan Pada Ayat 2 menjadi berbunyi Sbb: NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 Perseroan dapat membuka kantor

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia P U T U S A N Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus Arbitrase memutuskan sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06 P U T U S A N No. 62 K/TUN/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS I. PEMOHON Nofrialdi, Amd.EK. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 86 ayat (7) dan ayat (9) Undang -Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM PASAL 10 PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Lebih terperinci

2017, No Cara Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nom

2017, No Cara Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1539, 2017 KEMENKUMHAM. Akses SABH Perseroan Terbatas. Pemblokiran dan Pembukaan Pemblokiran. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS

PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS PT Nomor : Pada hari ini, - - Pukul -Hadir dihadapan saya, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, Notaris kenal dan akan disebutkan pada bagian akhir akta ini :- 1. Nama

Lebih terperinci

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK I. KETENTUAN UMUM II. 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

Lebih terperinci

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK. RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.04/2014 Sebelum/ Before Pasal 11 Ayat 5 Pasal 11 Ayat 5 5. (a) Seorang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR. PT LOTTE CHEMICAL TITAN Tbk Pasal

ANGGARAN DASAR. PT LOTTE CHEMICAL TITAN Tbk Pasal ANGGARAN DASAR PT LOTTE CHEMICAL TITAN Tbk ----------------------------------------------- Pasal 1 ---------------------------------------------- 1. Perseroan Terbatas ini bernama PT LOTTE CHEMICAL TITAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 179/BL/2008 TENTANG POKOK-POKOK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

Mercatoria Vol. 9 No. 1/Juli 2016 ISSN No:

Mercatoria Vol. 9 No. 1/Juli 2016 ISSN No: KEWENANGAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN PT. TELEVISI PENDIDIKAN INDONESIA (PT. TPI) YANG MEMUAT KLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014) Citra Bakti Pangaribuan

Lebih terperinci

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan ANGGARAN DASAR SAAT INI ANGGARAN DASAR PERUBAHAN PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan PASAL 3 MAKSUD DAN

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 23 BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 A. Organ Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: KEP 08/BAPMI/ TENTANG

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: KEP 08/BAPMI/ TENTANG KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: KEP 08/BAPMI/11.2011 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama I. PEMOHON Haji Agus Ali, sebagai Direktur Utama PT. Igata Jaya Perdania.

Lebih terperinci

USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR (PENYESUAIAN DENGAN POJK) ANGGARAN DASAR SEKARANG. Rapat Umum Pemegang Saham Pasal 10

USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR (PENYESUAIAN DENGAN POJK) ANGGARAN DASAR SEKARANG. Rapat Umum Pemegang Saham Pasal 10 ANGGARAN DASAR SEKARANG Rapat Umum Pemegang Saham Pasal 10 6. Apabila Direksi atau Dewan Komisaris lalai untuk menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang telah ditentukan, maka 1 (satu) pemegang saham

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R No.374, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. RUPS. Perusahaan Terbuka. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci