IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 78 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan proses pada penelitian ini mengacu pada Seider et al. (1999) yang terdiri atas tiga tahap yaitu 1) analisis peluang dan permasalahan, 2) kreasi proses dan 3) pengembangan proses Analisis Peluang dan Permasalahan Analisis peluang Peluang usaha produksi biodiesel cukup baik karena adanya Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati oleh Pemerintah Rebublik Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) dan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2009, 2010, 2015 dan 2025 masing-masing adalah 0,568, 0,720, 1,500 dan 4,700 milyar liter. Peluang usaha produksi biodiesel juga dapat dilihat dari harga biodiesel. Harga biodiesel berdasarkan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian mencapai 1035 US $/mt ( 25 April 2008). Salah satu bahan baku biodiesel potensial adalah biji nyamplung dengan kandungan minyak mencapai 75% (Dweek dan Meadows 2002) dan taksiran produksi minyak per hektar per tahun mencapai 2,45 ton melebihi tanaman jarak pagar Analisis Permasalahan Tanaman nyamplung hanya berproduksi setahun dua kali (Joker 2004; Friday dan Okano 2005; Sutarno 2008, komunikasi pribadi). Karena kondisi demikian, maka untuk memenuhi kebutuhan industri harus dilakukan penyimpanan akibatnya terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) yang cukup tinggi. Kondisi ALB yang tinggi disebabkan pula oleh karakteristik biji nyamplung itu sendiri. Untuk dapat diambil minyaknya dengan pengepresan, inti

2 79 nyamplung harus dikeringkan terlebih dahulu (Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005). Pada saat pengeringan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang cukup besar. Minyak biji nyamplung secara sederhana diproduksi oleh petani dari Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang mempunyai kenampakan hijau gelap kotor serta kadar asam lemak bebas (ALB) sangat tinggi mencapai 30%. Minyak nabati dengan kadar ALB tinggi tidak dapat diproses menjadi biodiesel dengan transesterifikasi karena akan terbentuk emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester (Canakci dan Van Gerpen, 2001; Lele 2005, Tyson 2005). Persyaratan minyak nabati pada transesterifikasi dengan katalis basa adalah 5% (Canakci dan Van Gerpen, 1999). Dengan kondisi demikian maka rumusan masalahanya adalah bagaimana rancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung yang mempunyai kenampakan kotor dan kadar ALB sangat tinggi? Pengepresan dan Degumming 4.2 Kreasi Proses Analisis Biji Nyamplung. Hasil analisis komposisi biji nyamplung tanpa kulit (inti atau kernel) dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Komposisi inti nyamplung No. Komponen Hasil analisis (%) 1. Minyak 49,43 2. Protein 7,49 3. Karbohidrat 5,38 4. Air 23,04 5. Serat kasar 13,26 6. Abu 1,4 Inti nyamplung apabila dikonversi pada kondisi kering dengan kadar air 3,3 % maka kandungan minyak mencapai 61,20%. Kandungan minyak tersebut jauh lebih kecil dari informasi pustaka yang menyebutkan bawa biji nyamplung yang kering dengan kadar air 3,3% mempunyai kandungan minyak 71,4% Heyne (1987),

3 80 namun sesuai dengan Soerawidjaja et al. (2005) yang menyatakan bahwa kadar minyak inti (kernel) biji nyamplung antara 40-73%. Perbedaan kandungan minyak pada inti kemungkinan disebabkan oleh perbedaan cara budidaya, perbedaan varietas, iklim, curah hujan dan sebab-sebab lainnya. Berdasarkan pengujian laboratorium, pemilihan biji nyamplung sebagai bahan baku biodiesel adalah tepat mengingat kadar minyak inti nyamplung mencapai 49,43% pada kadar air 23,4% atau 61,20% pada kadar air 3,3 %. Pengepresan. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan alat pres hidrolik berkekuatan 20 ton. Rendemen minyak nyamplung dari proses pengepresan tersebut adalah 17,5 % dari bobot biji atau 48,6% dari bobot inti kering. Rendemen tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu mencapai 61,20% (analisis dengan pelarut hexan metode soxhlet). Rendahnya rendemen minyak nyamplung kemungkinan disebabkan oleh sifat fisis dari minyak dalam biji nyamplung itu sendiri. Minyak dalam biji nyamplung tergolong kental dan mempunyai sifat lengket (melekat cukup kuat pada inti) sehingga saat dilakukan pengepresan masih banyak minyak yang tertingggal pada bungkil hal itu terbukti pada analisis kadar minyak dalam bungkil menunjukkan bahwa kadar minyak masih relatif tinggi mencapai 19,6%. Rendahnya hasil ekstrak minyak dari inti nyamplung secara mekanis juga dilaporkan oleh Dweek dan Meadows (2002) yang menyatakan bahwa dari 100 kg biji diperoleh 18 kg minyak, dengan kata lain rendemen minyak tersebut adalah 18% dari biji atau sekitar 40 % dari inti. Untuk meningkatkan rendemen minyak nyamplung perlu dilakukan penelitian lanjutan diantaranya adalah dengan cara kombinasi pengepresan dengan ekstraksi dengan menggunakan pelarut. Degumming. Perlakuan pendahuluan yang diberikan terhadap minyak nyamplung adalah proses degumming dengan menggunakan asam fosfat. Proses degumming

4 81 pada penelitian ini dilakukan pada suhu 80 o C selama 15 menit dilanjutkan dengan pencucian dengan air hangat pada suhu 60 o C sampai jernih. Diperlukan air sebanyak 1000 gram dan asam fosfat konsentrasi 20% sebanyak 0,3%. Pengeringan minyak setelah proses degumming dilakukan dengan pengering vakum pada suhu 80 o C untuk menguapkan air sebanyak 20 gram. Warna minyak nyamplung sebelum dan setelah proses degumming sangat berbeda. Perbedaan warna minyak nyamplung hasil proses degumming terhadap minyak awal disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Foto minyak biji nyamplung. Minyak nyamplung yang tadinya berwarna hijau gelap berubah menjadi kuning kemerahan hal itu diduga disebabkan karena hilangnya zat warna alami (pigmen) yang dominan pada minyak nyamplung tersebut. Disamping klorofil, minyak nyamplung diduga mengandung pigmen karotenoid sehingga pada waktu pigmen klorofil mengalami kerusakan saat proses degumming pigmen karotenoid menjadi dominan sehingga minyak nyamplung hasil degumming berwarna kuning kemerahan. Menurut Hui (1996) klorofil merupakan pigmen warna hijau yang terdapat pada kloroplas bersama-sama dengan karoten dan xantofil merupakan senyawa yang tidak stabil. Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa proses degumming efektif untuk menghilangkan kotoran yang ada pada minyak nyamplung sehingga ditetapkan pada perancangan proses.

5 Karakterisasi Minyak Nyamplung Pengujian Sifat Fisiko Kimia Minyak Biji Nyamplung. Minyak nyamplung yang digunakan dalam percobaan diperoleh dari pengrajin minyak nyamplung dari Kecamatan Ambal Kebumen Jawa Tengah. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung tersebut disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sifat fisiko-kimia minyak biji nyamplung dari Kebumen Karakteristik fisiko-kimia Hasil nalisis Pustaka Kadar air 0,25 % - Densitas pada suhu 20 0 C 0,944 g/ml 0,920-0,940 g/ml (Debaut et al. 2002) Viskositas suhu 40 0 C 60,96 cst Kental (Debaut et al. 2002) Bilangan asam 59,94 mg KOH/g 14,65 mg KOH/g ( Kilham 2004) Kadar asam lemak bebas 29,53 % 7,4% (Debaut et al Bilangan penyabunan 198,1 mg KOH/g - Bilangan Iod 86,42 mg/g mg/g (Debaut et al Indek refraksi 1,477 1,4750-1,4820 Debaut et al Penampakan Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat Hijau dan kental bau seperti olive oil (Debaut et al. 2002) Minyak biji nyamplung yang dihasilkan dengan pengepresan menggunakan alat kempa hidrolik di Puslitbang Kehutanan Bogor mempunyai karakteristik fisikokimia yang hampir sama dengan minyak nyamplung dari Kebumen. Ada perbedaan karakteristik minyak nyamplung hasil percobaan dengan kajian pustaka khususnya mengenai kadar ALB, hal ini disebabkan karena perbedaan perlakuan penanganan pasca panen. Minyak nyamplung hasil pengepresan mempunyai kategori bermutu rendah dan tidak bisa diproses menjadi biodiesel dengan proses satu tahap (transesterifikasi). Pengujian Fisiko-Kimia Minyak Biji Nyamplung setelah Degumming. Walaupun penampakan minyak nyamplung sebelum dan setelah degumming sangat berbeda sekali akan tetapi karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan sebelum degumming. Karaktekteristik minyak nyamplung hasil degumming dapat dilihat pada Tabel 24.

6 83 Tabel 24 Karakteristik minyak nyamplung hasil degumming Karakteristik Hasil Analisis Air 0,58 % Densitas pada suhu 20 0 C 0,940 gr/ml Bilangan asam 54,1792 mg KOH/g Kadar asam lemak bebas 27,21% Indek refraksi 1,478 Viskositas suhu 40 0 C 57,42 cst Proses degumming hanya menghilangkan kotoran yang berupa koloid seperti gum, fosofolipid dan lipoprotein pada minyak sehingga tidak berdampak banyak pada bilangan asam, viskositas dan karakteristik yang lain. Adanya sedikit penurunan viskositas kemungkinan disebabkan oleh hilangnya gum dan kotoran lain karena proses degumming. Sejumlah kecil asam lemak bebas rantai pendek kemungkinan ikut tercuci sehingga terjadi penurunan bilangan asam dalam jumlah yang kecil. Peningkatan kecil terhadap kadar air diduga disebabkan karena pengaruh adanya proses pencucian. Pengujian Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Nyamplung. Minyak nyamplung mengandung asam lemak yang terdiri asam lemak jenuh (tidak mempunyai ikatan rangkap) dan asam lemak tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Komposisi asam lemak penyusun minyak nyamplung dibandingkan asam lemak bahan baku biodiesel lain dapat dilihat pada Tabel 25 sedangkan kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 12. Minyak nyamplung tersusun oleh empat jenis asam lemak utama yaitu asam palmitat (14,26%), asam stearat (19,96%), asam oleat (37,57%) dan asam linoleat (26,33%). Total keseluruhan dari empat jenis asam lemak utama tersebut mencapai 98,12%. Jumlah empat jenis asam lemak utama yaitu asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat pada minyak jarak pagar 93,1%, minyak kelapa sawit 97,7% dan minyak kedele 90,4%, dengan demikian minyak nyamplung mempunyai kemiripan dengan minyak-minyak tersebut.

7 84 Tabel 25 Komposisi asam lemak minyak nyamplung dibandingkan minyak lain Komponen Minyak Nyamplung (%) a Minyak Jarak Pagar (%) b CPO Minyak (%) c Kedele (%) d Asam Palmitat (C16:0) 14,26 11,9 43,79 10,3 Asam stearat (C18:0) 19,96 5,2 4,42 3,9 Asam Oleat (C 18:1) 37,57 29,9 39,9 22,1 Asam Linoleat (C 18:2) 26,33 46,1 9,59 54,1 Asam Linolenat (C 18:3) 0,27 4,7 0,17 8,3 Asam Arachidat (C20:0) 0,94 0,15 0,38 0,3 Asam Erukat (C20:1) 0, ,4 Asam Behenat (C22:0) 0,53 a: hasil analisis b: Haas & Mittelbach 2000, c: Darnoko et al. (2001), d: Hui (1996) Minyak jarak pagar, CPO dan minyak kedele sudah terbukti dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan karena minyak nyamplung mempunyai kemiripan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Gambar 12 Kromatogram metil ester dari analisis GC minyak biji nyamplung Pemilihan Proses Minyak nyamplung dari pengrajin di Kabupaten Kebumen maupun hasil pengepresan di Badan Litbang Hasil Hutan Bogor mempunyai kualitas rendah dilihat dari kadar ALB dan penampakannya. Kadar ALB minyak tersebut sangat tinggi dan mempunyai kenampakan tidak menarik karena adanya kotoran di dalamnya. Oleh karena itu salah satu tahapan proses yang dipilih adalah degumming yang bertujuan menghilangkan kotoran (gum) pada minyak

8 85 nyamplung tersebut. Proses bleaching tidak relevan diberikan karena berdasarkan SNI biodiesel, tidak ada persyaratan warna biodesel. Netralisasi dengan basa juga tidak dilakukan karena asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak nyamplung justru akan dikonversi menjadi metil ester pada proses esterifikasi dan jika dilakukan netralisasi dengan basa akan merendahkan rendemen karena asam lemak bebas akan dikonversi menjadi sabun. Proses produksi biodiesel dilakukan melalui proses dua tahap yaitu esterifikasi yang bertujuan untuk menurunkan ALB dan sekaligus mengonversi ALB tersebut menjadi metil ester dan transesterifikasi untuk mengubah trigliserida, digliserida dan monogliserida menjadi metil ester Optimasi Proses Esterifikasi Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium untuk menentukan kondisi proses operasi terbaik. Optimasi kondisi proses dilakukan agar diperoleh hasil konversi (yield) yang optimum. Kondisi proses yang paling optimum (respon permukaan optimum) digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (RSM) oleh karena itu sebelum percobaan optimasi dilakukan maka perlu ditetapkan variabel proses yang berpengaruh nyata dan rentang titik-titik optimum pada setiap variabel berpengaruh nyata tersebut Penentuan Kondisi Operasi Karena proses esterifikasi dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu esterifikasi, nisbah molar metanol terhadap ALB, kecepatan pengadukan, waktu esterifikasi dan konsentrasi katalis, maka untuk keperluan optimasi proses esterifikasi kisaran titik optimum proses tersebut harus ditetapkan. Penentuan kondisi operasi esterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium.

9 86 Penentuan Suhu Esterifikasi. Proses esterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat kontras sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah metanol sedangkan lapisan bagian bawah adalah minyak yang merupakan campuran antara trigliserida, metil ester dan sisa asam lemak bebas. Produk hasil proses esterifikasi minyak nyamplung dapat dilihat pada Gambar 13. Keberhasilan proses esterifikasi ditentukan oleh penurunan ALB, oleh karena itu dilakukan pengukuran kadar ALB hasil esterifikasi pada bagian bawah setelah proses esterifikasi selesai. Agar terjadi proses pemisahan secara sempurna diperlukan pengendapan selama 2 jam. Gambar 13 Hasil proses esterifikasi minyak nyamplung dengan metanol dan katalis asam klorida. Hasil esterifikasi biji nyamplung dengan kadar ALB awal 28,7% yang dilakukan pada nisbah molar metanol terhadap ALB 30:1, katalis HCl terhadap ALB 6%, waktu 60 menit, kecepatan pengadukan 400 rpm pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 14 dan hasil analisis Analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2.

10 87 Kadar ALB (%) suhu esterifikasi ( o C) Gambar 14 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai suhu. Ada kecenderungan semakin tinggi suhu estrifikasi kadar ALB akhir esterifikasi semakin kecil, tetapi perbedaan antara suhu esterifikasi 60, 70 dan 80 o C relatif kecil sehingga tidak berbeda nyata perbedaannya. Suhu esterifikasi 60 o C lebih efektif dibandingkan dengan 50 o C namun tidak ada perbedaan yang nyata dengan suhu 70 dan 80 o C, dengan demikian suhu esterifikasi 60 o C dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Suhu esterifikasi 60 o C digunakan untuk esterifikasi minyak kedele oleh Canakci dan Van Gerpen (2001), minyak jarak oleh Sudradjat et al. (2005) dan suhu esterifikasi o C digunakan untuk esterifikasi minyak kedele dan lemak oleh Canakci dan Van Gerpen (2003). Penentuan Kecepatan Pengadukan. Kadar ALB akhir esterifikasi yang dilakukan pada nisbah molar metanol 30:1, katalis HCl terhadap ALB 6 %, waktu 60 menit, suhu 60 o C pada berbagai kecepatan pengadukan dapat dilihat pada Gambar 15 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3. ALB (%) Kecepatan pengaduan (rpm) Gambar 15 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai kecepatan pengadukan.

11 88 Ada kecenderungan semakin tinggi kecepatan pengaduaan sampai dengan 300 rpm kadar ALB akhir esterifikasi semakin kecil akan tetapi perbedaan antara kecepatan pengadukan 300, 400 dan 500 rpm tidak berbeda nyata (lihat Lampiran 3). Dengan demikian kecepatan pengadukan 300 rpm dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan terhadap hasil proses transesterifikasi menggunakan kecepatan pengadukan 150 dan 300 rpm akan tetapi antara 300 rpm dengan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit bahkan antara 600 dan 900 rpm tidak ada perbedaan sama sekali. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan pengadukan sampai dengan kecepatan tertentu akan meningkatkan hasil reaksi akan tetapi seteleh itu tidak berpengaruh. Penentuan Nisbah Molar Metanol. Kadar ALB pada akhir esterifikasi yang dilakukan pada suhu 60 o C, katalis HCl terhadap ALB 6%, waktu 60 menit, kecepatan pengadukan 300 rpm pada berbagai nisbah molar metanol terhadap ALB dapat dilihat pada Tabel 26 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4. Perlakuan nisbah molar metanol pada proses esterifikasi yang menghasilkan kadar ALB pada level yang paling rendah menurut uji statistik adalah yang dipilih. Ada kecenderungan semakin tinggi nisbah molar metanol terhadap ALB semakin rendah kadar ALB akhir esterifikasi yang dihasilkan, tetapi apabila diamati secara seksama penurunan kadar ALB setelah nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1 tidak berbeda nyata dengan nisbah molar yang lebih besar sehingga digunakan untuk proses optimasi. Kadar ALB akhir esterifikasi pada nisbah molar metanol terhadap ALB 45:1 dan 50:1 tidak nyata dibandingkan dengan nisbah molar yang lebih kecil sehingga kondisi tersebut tidak dipilih. Nisbah molar metanol terhadap ALB 15:1 tidak dipilih karena masih mengahasilkan kadar ALB akhir esterifikasi pada level yang relatif tinggi sehingga belum memenuhi syarat untuk proses transesterifikasi berikutnya.

12 89 Penelitian pengaruh nisbah molar metanol terhadap ALB terhadap penurunan kadar ALB akhir esterifikasi dilakukan oleh Oluwaniyi et al. (2003) pada minyak biji Thevetia peruviana dengan menggunakan nisbah molar metanol terhadap ALB terhadap ALB 1:1, 3:1 dan 10:1 yang menunjukkan bahwa semakin besar nisbah molar yang digunakan, penurunan kadar ALB semakin besar. Tabel. 26 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai nisbah molar metanol terhadap ALB No Nisbah molar metanol Kadar ALB akhir esterifikasi (%) , , , , , , , , , , ,3247 Pengaruh nisbah molar metanol terhadap ALB antara 20:1 sampai dengan 40:1 terhadap proses esterifikasi dipelajari oleh Canakci dan Van Gerpen (2001) menunjukkan bahwa semakin besar nisbah molar metanol terhadap ALB yang digunakan penurunan bilangan asam semakin besar. Berdasarkan kajian pustaka biasanya cukup tinggi, seperti esterifikasi yang dilakukan oleh Canakci dan Van Gerpen (2003) terhadap lemak dengan ALB 39,6% adalah dengan nisbah molar metanol 20:1 kemudian dilanjutkan dengan dengan esterifikasi tahap kedua dengan nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, Zhang et al. (2003) menggunakan nisbah molar metanol terhadap ALB 50:1. Berdasarkan hasil penelitian ini maka nisbah molar metanol terhadap ALB yang dipilih adalah 20:1. Penentuan Konsentrasi Katalis. Kadar ALB pada akhir esterifikasi yang dilakukan pada suhu 60 o C, nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, waktu 60

13 90 menit, dan kecepatan pengadukan 300 rpm pada berbagai konsentrasi katalis dapat dilihat pada Gambar 16 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5. Kadar ALB (%) Katalis HCl (% dari ALB) Gambar 16 Kadar ALB akhir esterifikasi rata-rata pada berbagai konsentrasi katalis HCl. Katalis sangat diperlukan dalam proses esterifikasi dibuktikan dengan perbedaan yang signifikan antara penggunaan katalis 3 % dengan tanpa katalis. Keperluan katalis untuk proses esterifikasi sangat kecil hal itu dibuktikan tidak ada perbedaan yang nyata penggunaan katalis 6-15 % (lihat Lampiran 5), akan tetapi penggunaan katalis 6 % dari ALB lebih baik dari penggunaan katalis 3 % dan penggunaan katalis 18 % justru menunjukkan kadar ALB akhir esterifikasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu penggunaan katalis 6 % dari bobot ALB dipilih untuk optimasi proses esterifikasi. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Canakci dan Van Gerpen (2001) yang menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi katalis yang digunakan pada proses esterifikasi sampai dengan konsentrasi 15% dari ALB penurunan kadar ALB semakin besar akan tetapi penggunaan konsentrasi katalis 18 % dari ALB untuk esterifikasi minyak dengan kadar ALB 40% selama 30 menit dan 60 menit justru menunjukkan penurunan kadar ALB yang lebih kecil. Esterifikasi terhadap minyak kedele yang

14 91 mengandung ALB 20 % dengan menggunakan nisbah molar metanol: ALB = 9:1 yang dilakukan pada suhu 60 o C selama 1 jam dan menggunakan katalis asam sulfat 5 % dari ALB dapat menurunkan bilangan asam 41,33 menjadi 1,77 sedangkan apabila kadar ALB awal 40 % bilangan asam menjadi 18,82 (Canakci dan Van Gerpen 2001). Toleransi Variasi Kadar ALB Bahan Baku. Nisbah molar metanol yang ditetapkan pada proses esterifikasi untuk menurunkan kadar ALB minyak nyamplung setelah proses degumming adalah 20:1 dan dengan menggunakan BM asam lemak bebas yang paling dominan dalam minyak biji nyamplung yaitu asam oleat (BM = 282) maka gram metanol yang dibutuhkan adalah nisbah molar metanol terhadap ALB dikalikan berat molekul metanol dibagi berat molekul asam lemak sebagai asam oleat dikalikan berat ALB (2,2695 x gram ALB). Katalis asam klorida pekat yang diperlukan adalah 6% dari gram ALB. Proses esterifikasi ditetapkan menggunakan suhu 60 o C, kecepatan pengadukan 300 rpm, dan waktu 30 menit. Esterifikasi dengan dengan kondisi tersebut dapat menurunkan kadar ALB dari % menjadi sekitar 4,5%. Proses esterifikasi yang dilakukan dengan perhitungan nisbah molar metanol terhadap ALB mempunyai keuntungan yaitu perbedaan kadar ALB bahan baku sampai kadar tertentu (7 %) tidak mempengaruhi hasil esterifikasi secara nyata seperti yang diperlihatkan pada Gambar 17. Sisa (ecsess) reaktan dengan menggunakan perhitungan ini adalah nisbah molar metanol terhadap ALB yang digunakan dikurangi dengan nisbah molar untuk reaksi secara stokiometri (2,156 x gram ALB).

15 92 Kadar ALB Produk (%) 5,50 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 26,8 27,2 28,6 29,9 31,6 33,1 Kadar ALB bahan baku (%) Gambar 17 Hubungan antara kadar ALB bahan baku dengan kadar ALB produk esterifikasi pada suhu 60 o C, nisbah molar metanol 20:1, kecepatan pengadukan 300 rpm dan katalis 6 % dari ALB. Penelitian ini ada kesesuaian dengan hasil penelitian Canacki dan Van Gerpen (2003) yang menunjukkan bahwa bilangan asam awal lemak sebagai bahan baku sebesar 18,03 KOH/g setelah esterifikasi menjadi 4,26 mg dan pada saat bilangan asam dinaikkan sekitar empat kalinya menjadi 79,2 mgkoh/g setelah esterifikasi dengan waktu, nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis yang sama bilangan asamnya menjadi 6,96 mg KOH/g. Hal ini menunjukkan bahwa hasil esterifikasi dengan pendekatan perhitungan nisbah molar metanol terhadap ALB dan konsentrasi katalis terhadap kadar ALB tidak banyak dipengaruhi oleh mutu bahan baku sampai batas tertentu (7%), sehingga cara perhitungan ini dapat digunakan Optimasi Proses Esterifikasi Menggunakan Respon Surface Method Optimasi proses esterifikasi diperlukan untuk menentukan kondisi proses yang paling sesuai sehingga diperoleh hasil yang optimum. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari sintesis proses khususnya mengenai kondisi proses esterifikasi yang telah dibahas sebelumnya. Optimasi proses esterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon (Respon Surface Method). Dalam optimasi permukaan respon ini digunakan perancangan faktorial (2 3 =8) ditambah titik pusat (6) dan titik observasi (6). Dipilih tiga faktor untuk dioptimasi didasarkan pada tingkat

16 93 pengaruh faktor dan pertimbangan ekonomi. Faktor proses optimum digunakan untuk pengukuran kinetika reaksi pada tahap berikutnya. Titik tengah dari masingmasing faktor adalah suhu esterifikasi 60 o C, konsentrasi katalis terhadap ALB 6%, nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, sedangkan faktor lain tetap yaitu kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu esterifikasi 30 menit. Hasil estimasi koefisien regresi dan analisis varian dari optimasi respon pengukuran kadar ALB akhir esterifikasi oleh tiga input variabel masing-masing yaitu nisbah molar metanol, katalis HCl dan suhu yang dilakukan pada kecepatan pengadukan 300 rpm dan waktu esterifikasi 30 menit disajikan pada Tabel 27, sedangkan respon regresi permukaan ALB versus nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan analisis Analisis ragam menunjukkan bahwa nilai F model kuadratik adalah 28,57 (P-value = 0,000) sehingga signifikan (P-value < α = 0,05), dengan demikian model kuadratik adalah tepat. Adapun persamaan model kuadratik pengaruh nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi terhadap kadar ALB akhir esterifikasi sebagai berikut: Y = 4, ,850067M + 0,187544K + 0,456206S + 0,721867M 2 + 0,202320K 2 + 0, S 2-0, MK - 0, MS + 0, KS. dengan : M = nisbah molar metanol terhadap ALB, K = persentase katalis HCl terhadap ALB dan S = suhu esterifikasi Hasil uji kesahihan model menunjukkan bahwa model kuadratik mempunyai nilai koefisien determinasi (R 2 ) relatif tinggi yaitu 95,6%. Hal itu menunjukkan bahwa 95,6% dari keragaman pada parameter optimasi dapat dijelaskan dengan model.

17 94 Uji lack of fit yang digunakan untuk menguji kecukupan model berdasarkan tabel Analisis ragam menunjukkan bahwa P-value lack of fit = 0,202 > α = 0,05 maka tidak signifikan atau tidak ada lack of fit artinya model yang dibuat telah sesuai dengan data. Hasil uji residual menunjukkan bahwa plot residual menyebar acak sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi cukup tepat dengan data. Disamping itu plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi normal. Uji kecukupan model juga dilakukan dengan cara menganalisis residual yaitu menguji kenormalan residual dengan menggunakan statistik Kolmogorov-Smirnov. Nilai Statistik Kolmogorov-Smirnov adalah 0,159 < nilai statistik (Tabel Kolmogorov-Smirnov) dengan 20 pengamatan yaitu 0,294. Kesimpulan dari uji kenormalan residual adalah model regresi linier yang dibuat telah mengikuti distribusi normal sehingga kenormalan residual pada suatu model regresi telah dipenuhi sehingga model bisa digunakan. Uji parameter model menunjukkan bahwa variabel nisbah metanol, konsentrasi katalis, suhu, kuadrat nisbah metanol, kuadrat konsentrasi katalis dan kuadrat suhu memiliki pengaruh penting terhadap penurunan kadar ALB dikarenakan p-value variabel-variabel tersebut cukup kecil. P-value nisbah Metanol =0,000, p- value Katalis = 0,058, p- value Suhu = 0,000, p- value Metanol*Metanol = 0,000, p- value Katalis*Katalis = 0,039 dan p- value Suhu*Suhu =0,002. Kontur respon kadar ALB yang merupakan fungsi dari nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18 dan 19. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi optimum proses esterifikasi dapat diperoleh dengan mengatur suhu, konsentrasi katalis dan nisbah molar metanol.

18 95 Tabel 27 Hasil optimasi respon permukaan terhadap kadar ALB akhir esterifikasi Nisbah molar Katalis Suhu Kadar ALB (%) No metanol Hasil Percobaan Perhitungan Model * 1-1,000-1,000-1,000 6,15 6,05 2 1,000-1,000-1,000 4,64 4,93 3-1,000 1,000-1,000 6,22 6,64 4 1,000 1,000-1,000 4,95 4,73 5-1,000-1,000 1,000 6,70 6,97 6 1,000-1,000 1,000 5,85 5,48 7-1,000 1,000 1,000 8,16 7,92 8 1,000 1,000 1,000 5,49 5,64 9-1,682 0,000 0,000 8,41 8, ,682 0,000 0,000 5,25 5, ,000-1,682 0,000 5,04 5, ,000 1,682 0,000 5,68 5, ,000 0,000-1,682 5,23 5, ,000 0,000 1,682 6,42 6, ,000 0,000 0,000 4,74 4, ,000 0,000 0,000 4,84 4, ,000 0,000 0,000 4,94 4, ,000 0,000 0,000 4,25 4, ,000 0,000 0,000 4,84 4, ,000 0,000 0,000 4,90 4,75 *Y = 4, ,850067M+0,187544K+0,456206S+0,721867M 2 + 0,202320K 2 + 0,367783S 2-0,197375MK-0, MS+0, KS. M = nisbah molar metanol K = katalis dan S = Suhu esterifikasi Gambar 18 Plot permukaan optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi.

19 96 Hasil analisis kanonik yang digunakan untuk menentukan titik optimum adalah penentuan titik stasioner yang terjadi nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi. Hasil analisis kanonik titik optimum diperoleh pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1, konsentrasi katalis HCl terhadap ALB 5,9% dan suhu esterifikasi 58,1 o C. Gambar 19 Plot kontur optimasi respon kadar ALB akhir esterifikasi antara nisbah molar metanol, katalis dan suhu esterifikasi. Model kadar ALB akhir esterifikasi dilakukan validasi laboratorium sebanyak 5 kali ulangan. pada kondisi nisbah molar metanol, konsentrasi katalis dan suhu esterifikasi optimum. Kadar ALB yang diperoleh dari 5 kali ulangan tersebut adalah 4,74, 4,50, 4,9721, 4,51, dan 4,58% dengan rata-rata 4,67 % berdekatan dengan hasil perhitungan model yaitu 4,75 %. Dengan demikian suhu esterifikasi 58,1 o C, nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1, konsentrasi katalis HCl terhadap berat ALB 5,9% yang dilakukan pada pengadukan 300 rpm adalah kondisi yang sesuai untuk esterifikasi minyak biji nyamplung.

20 Analisis Model Kinetika Reaksi Esterifikasi Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi dari suatu proses kimia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang reaktor (Petrucci, 1992). Pengukuran kinetika reaksi esterifikasi digunakan untuk perancangan reaktor batch khususnya waktu tinggal sesuai dengan Hill (1977); Perry (1988), Richardson and Peacock (1994) yang menyatakan bahwa dalam perancangan reaktor batch harus diketahui waktu yang diperlukan untuk mengkonversi sejumlah bahan pada kondisi reaksi spesifik. Pengukuran kinetika reaksi esterifikasi dilakukan pada kondisi optimum yang diperoleh pada optimasi proses pada tahap sebelumnya yaitu pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2:1 dan konsentrasi katalis HCl terhadap ALB 5,9% Tetapan Laju Reaksi Esterifikasi Penentuan tetapan laju reaksi esterifikasi menggunakan metode isolasi (Atkins 1999) yang dikombinasikan dengan metode integral (Laidler 1979) dengan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel (lihat pada Lampiran 7). RCOOH + CH 3 OH k 1 RCOO CH 3 + H 2 O Hubungan konsentrasi asam lemak bebas dengan waktu esterifikasi ditampilkan pada Gambar 20 dan data konversi (perubahan kadar ALB sebelum dan setelah esterifikasi dibagi kadar ALB awal dinyatakan dalam persen) dapat dilihat pada Tabel 28.

21 98 Kadar ALB (%) 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Waktu (menit) 28 oc 45 oc 60 oc 70 oc Gambar 20 Hubungan antara kadar ALB dengan waktu reaksi pada berbagai suhu esterifikasi. Tabel 28 Data konversi (bagian) asam lemak bebas menjadi metil ester Waktu Konversi (bagian) (menit) 28 o C 45 o C 60 o C 70 o C 0 0,00 0,00 0,00 0,00 5 0,38 0,35 0,50 0, ,46 0,61 0,73 0, ,58 0,67 0,76 0, ,59 0,73 0,78 0, ,65 0,78 0,81 0, ,69 0,79 0,83 0, ,71 0,80 0,83 0, ,72 0,81 0,83 0, ,71 0,81 0,84 0, ,74 0,81 0,83 0, ,77 0,81 0,83 0, ,79 0,82 0,83 0,86 Pola hubungan antara kadar ALB dengan waktu reaksi menyerupai hasil penelitian Guner et al. (1996); Oluwaniyi dan Ibiyemi (2003) dan Sendzikiene et al. (2004). Kadar ALB turun secara bertahap sampai dengan 15 menit pertama kemudian sangat lambat dan setelah 30 menit mendekati konstan. Hubungan antara 1/([ALB] t 1/ ([ALB] 0 dengan waktu pada esterifikasi dengan nisbah molar metanol 22,2:1, katalis HCl 5,9 % keduanya dihitung berdasarkan jumlah ALB,

22 99 kecepatan pengadukan 300 rpm, suhu 28 o C, 45 o C, 60 o C dan 70 o C ditampilkan pada Gambar 21. 1/[ALBt- 1/[ALB]o 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Waktu esterifikasi (menit) 28 oc 45 oc 60 oc 70 oc Gambar 21 Hubungan antara waktu reaksi esterifikasi dengan 1/([ALB] t -1/([ALB] o. Melihat fenomena hubungan antara t dengan nilai 1/([ALB]t -1/([ALB]o yang tidak linier maka nilai k dihitung berdasarkan slope (kemiringan) garis awal sesui dengan Goud et al. (2006). Nilai k ditentukan dengan metode integral sampai didapat nilai k yang konsisten atau linearitas paling tinggi yaitu pada pseudo orde dua (lihat lampiran 7). Menurut Sanchez et al. (1997) kinetika reaksi esterifikasi mengikuti orde dua semu (pseudo second order). Grafik hubungan antara 1/([ALB] t -1/([ALB] o dengan waktu pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 22. 1/[ALB]t- 1/[ALB]o 7,0000 6,0000 5,0000 4,0000 3, o C y = 0,2515x R 2 = 0, o C y = 0,2093x R 2 = 0, o C y = 0,1515x R 2 = 0,985 2,0000 1, o C y = 0,0866x R 2 = 0,9674 0, Waktu (menit) Gambar 22 Grafik hubungan antara 1/([ALB] t -1/([ALB] o dengan waktu reaksi untuk penentuan nilai k reaksi esterifikasi.

23 100 Berdasarkan Gambar 22 maka tetapan laju reaksi esterifikasi pseudo orde dua (k 1 ) pada suhu 343 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,252 liter/ mol menit, 0,209 liter/ mol menit, 0,152 liter/ mol menit dan 0,087 liter/ mol menit. Guner et al. (1996) mengukur tetapan laju esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol dengan katalis asam sulfat pada suhu 180 o C dengan orde 2 yaitu x 10-4 wt% -1 menit -1., Model Kinetika Reaksi Esterifikasi Orde Dua Semu (pseudo- second - order) Berdasarkan Persamaan Arhenius Hubungan antara tetapan laju reaksi dengan energi aktivasi berdasarkan persamaan Arhenius adalah sebagai berikut: k 1 = A exp (Ea/RT) -ln k = (Ea/R) 1/T - ln A Y = a x + b Grafik hubungan antara -ln k 1 dengan 1/T proses esterifikasi pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K dapat dilihat pada Gambar 23 sedangkan penentuan energi aktivasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. -ln k 1 3,0000 2,5000 2,0000 1,5000 1,0000 0,5000 y = 2618x - 6,2868 R 2 = 0,9908 0,0000 0,0028 0,0029 0,0030 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 1/T Gambar 23 Plot -ln k dengan 1/T pada proses esterifikasi minyak biji nyamplung pada suhu 301 K, 318 K, 333 K dan 343 K.

24 101 Dari persamaan -ln k = (Ea/R) 1/T - ln A diperoleh persamaan y = 2618x -6,2868 dengan R 2 = 0,9908 dengan demikian : ln A = 6,2868, A = 537,4 liter / mol menit. Ea/R = 2618, Ea = 5201,97 cal/ mol K= 5,202 kcal/mol (21,7 kj/mol). Hangx et al.(2001) memperoleh energi aktivasi pada reaksi esterifikasi etanol dan asam asetat sebesar 48,3 kj/mol. Sendzikiene et al. (2004) melakukan esterifikasi asam lemak bebas dengan metanol pada suhu o C memperoleh energi aktivasi sebesar 13,3 kj/mol. Guner et al melakukan esterifikasi asam oleat dengan gliserol pada suhu o C memperoleh energi aktivasi k cal/mol (89,1 kj/mol). Nilai k 1 pada berbagai suhu esterifikasi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan Arrhenius k 1 = A exp (-Ea/RT ) k 1 = 537,4 exp k 1 = 537,4 exp / T /1,987T sehingga model laju reaksi esterifikasi (r Es ) adalah : d[alb] r Es = = k 1 [ALB] 2 dt r Es = 537,4 exp / T 2 [ALB] t 537,4 exp / T ([ALB] 0 -x) 2 Dengan model tersebut dapat ditentukan nilai k 1 pada berbagai suhu dalam kisaran suhu percobaan ( K) misalnya apabila digunakan suhu 340 K maka diperoleh nilai k sebesar 0,243 liter/ mol menit.

25 Perancangan Waktu Reaksi Ideal Waktu reaksi batch ideal proses esterifikasi dihitung berdasarkan neraca massa dalam reaktor batch isotermal (endotermis) mengacu pada Perry (1988); Richardson and Peacock (1994) sebagai berikut: Laju alir reaktan masuk laju alir reaktan keluar laju alir penghilangan reaktan = laju akumulasi Karena reaktor batch, maka laju alir reaktan masuk dan laju alir reaktan keluar = V.r [ALB] = d [ALB] / dt d [ALB] dt = ( r [ALB] ) V Pada volume (V) konstan: [ALB]t d [ALB] dt d [ALB] ( r [ALB] ) [ALB]o = ( r [ALB] ) = dt Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi asam lemak bebas sebesar [ALB] t pada kondisi isotermal adalah: [ALB]t d [ALB] t t = ( r [ALB] ) [ALB]o r [ALB] = k [ALB] 2 [ALB]t d [ALB]t t = k [ALB] 2 [ALB]o

26 103 t = [ALB]t [ALB]o d [ALB] k [ALB] t = k [ALB] t [ALB] o t = 25,62 menit Pada kondisi isotermal suhu 60 C dan harga k = 0,209 liter/ mol menit, untuk mendapatkan kadar ALB minyak nyamplung hasil esterifikasi sebesar 0,154 mol/liter (4,65%) dari bahan baku minyak nyamplung yang mengandung ALB 0,890 mol/liter (26,76%) diperlukan waktu 25,62 menit. Jika menggunakan waktu esterifikasi 25 menit maka diprediksi akan diperoleh minyak nyamplung dengan konsentrasi ALB sebesar 0,157 mol/liter (4,73%). Konsentrasi ALB akhir esterifikasi hasil perhitungan dari model kinetika mendekati hasil validasi melalui percobaan laboratorium seperti ditampilkan pada Tabel 29. Tabel 29 Kadar ALB minyak biji nyamplung akhir esterifikasi hasil percobaan selama 25 menit dibandingkan prediksi Ulangan Kadar ALB minyak nyamplung akhir esterifikasi Hasil Percobaan (% berat) Perhitungan kinetika (% berat) 1 4,86 2 5,84 3 4,75 4 4,91 4,73 5 4,84 6 4,75 Rata-rata 4,99

27 Optimasi Proses Transesterifikasi Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium untuk menentukan kondisi proses operasi terbaik. Optimasi kondisi proses dilakukan agar diperoleh hasil konversi (yield) yang optimum. Kondisi proses yang paling optimum (respon permukaan optimum) digunakan untuk menentukan kinetika reaksi pada tahapan berikutnya. Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon, oleh karena itu faktor eksternal yang meliputi suhu transesterifikasi, nisbah molar metanol, kecepatan pengadukan, waktu transesterifikasi dan konsentrasi katalis, harus ditentukan. Proses transesterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat kontras sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah metil ester sedangkan lapisan bawah adalah gliserol dan sisa metanol. Produk hasil proses transesterifikasi ditampilkan pada Gambar 24. Gambar 24 Biodiesel hasil proses transesterifikasi minyak nyamplung (a: minyak hasil esterifikasi dan b: biodiesel setelah pemisahan gliserol, pencucian dan pengeringan).

28 105 Diperlukan waktu dua jam agar terjadi pengendapan gliserol secara sempurna hal ini merujuk pada Canakci dan Van Gerpen (2003) yang menyatakan bahwa setelah pengendapan selama 1,2 dan 3 jam total gliserin dalam biodiesel berturut-turut menjadi 1,09%, 0,79% dan 0,69% dari kadar gliserin awal 11.07%. Keberhasilan proses transesterifikasi ditentukan oleh beberapa parameter diantaranya adalah penurunan viskositas, penurunan densitas dan peningkatan kandungan metil ester. Penurunan kadar gliserida berkorelasi positif dengan peningkatan kadar metil ester dan peningkatan kadar metil ester tersebut berkorelasi dengan penurunan viskositas dan densitas (De Filippis et al. 1995). Al- Widyan dan Al-Shyoukh (2002) mengukur keberhasilan proses transesterifikasi berdasarkan penurunan spesific grafity (massa jenis). Beberapa peneliti menggunakan parameter penurunan kadar gliserida dan peningkatan kadar metil ester untuk mengukur keberbasilan proses transesterifikasi (Freedman et al. (1986): Noureddini dan Zhu (1997); Cheng et al. (2004). Pengukuran parameter proses transesterifikasi dilakukan terhadap biodiesel setelah dilakukan pengendapan, pemisahan, pencucian dan pengeringan. Penelitian pengaruh kondisi proses terhadap hasil transesterifikasi telah banyak dilakukan misalnya Freedman et al. (1986) dan Noureddini dan Zhu (1997) terhadap minyak kedele, Darnoko dan Cheryan (2000) dan Cheng et al. (2004) terhadap minyak kelapa sawit, Sudradjat et al. (2005) terhadap minyak jarak dan Van Garpen et al. (2005) terhadap minyak kedele dan lemak. Penelitian pengaruh kondisi proses transesterifikasi bertujuan untuk memastikan kondisi proses transesterifikasi yang sesuai untuk minyak biji nyamplung, dengan mempertimbangkan kondisi proses transesterifikasi minyak nabati lain hasil kajian pustaka.

29 Penentuan Jenis Kondisi Operasi Karena proses transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu, nisbah molar metanol terhadap ALB, kecepatan pengadukan, waktu dan konsentrasi katalis, maka untuk keperluan optimasi, kisaran titik optimum kondisi proses tersebut harus diketahui. Penentuan kondisi proses transesterifikasi didasarkan pada viskositas biodiesel sesuai De Filippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan kadar metil ester selama transesterifikasi berkorelasi positif dengan penurunan viskositas. Penentuan kondisi operasi transesterifikasi dilakukan dengan percobaan laboratorium. Penetapan Nisbah Molar Metanol. Nisbah molar metanol terhadap minyak pada proses transesterifikasi yang dicobakan mengacu pada penelitian Freedman et al. (1984); Filippis et al. (1995); Karmee dan Chandha (2005) yaitu 2:1, 3:1, 6:1 dan 9:1 dengan waktu transesterifikasi 30 menit, kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu 60 o C, dan katalis NaOH 1 % terhadap jumlah minyak. Hasil pengukuran viskositas akhir proses transesterifikasi disajikan pada Gambar 25 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 9. Ada perbedaan yang nyata pengaruh penggunaan nisbah molar metanol dalam proses transesterifikasi terhadap kadar ALB dan viskositas produk. 14,00 Viskositas (cst) 12,00 10,00 8,00 6, Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein

30 107 Gambar 25 Rata-rata viskositas biodiesel hasil proses transesterifikasi pada berbagai nisbah molar metanol. Nisbah molar metanol 2:1 dan 3:1 menghasilkan viskositas produk yang tinggi dibandingkan dengan nisbah molar metanol 6:1 dan 9:1 dengan demikian nisbah molar metanol 6:1 yang dipilih. Hasil penelitian Cheng et al. (2004) menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan penggunaan nisbah molar metanol 6:1-10:1 tidak berbeda nyata hal ini sesuai dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian De Fillippis et al. (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan nisbah molar metanol sampai dengan 6:1 menyebabkan peningkatan konversi metil ester secara nyata akan tetapi peningkatan nisbah molar 6:1-12:1 tidak mempengaruhi hasil konversi metil ester. Nisbah molar metanol 6:1 digunakan untuk proses transesterifikasi oleh Freedman et al. (1986) dan Noureddini dan Zhu (1997), Darnoko dan Cheryan (2000) dan Cheng et al. (2004). Penetapan Kecepatan Pengadukan. Kecepatan pengadukan berkaitan dengan kebutuhan energi untuk proses tumbukan agar reaksi dapat berlangsung dengan sempurna. Kecepatan pengadukan yang dicobakan adalah 100 rpm, 200 rpm, 300 rpm, 400 rpm dan 500 rpm pada suhu, waktu reaksi, nisbah molar metanol, dan konsentrasi katalis yang sama masing-masing adalah 60 o C, 30 menit, 6:1 dan 1% seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26 sedangkan hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 10. Viskositas (cst) Kecepatan pengadukan (rpm)

31 108 Gambar 26 Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai kecepatan pengadukan. Pengadukan sampai dengan 400 rpm menghasilkan viskositas biodiesel semakin kecil akan tetapi antara 400 rpm dan 500 rpm tidak ada perbedaan yang nyata. Dengan demikian kecepatan pengadukan 400 rpm dipilih untuk optimasi proses transesterifikasi. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan terhadap hasil proses transesterifikasi menggunakan kecepatan pengadukan 150 dan 300 rpm akan tetapi antara 300 rpm dengan 600 rpm perbedaannya kecil, bahkan antara 600 dan 900 rpm tidak ada perbedaan sama sekali. Kecepatan pengadukan yang digunakan untuk proses transesterifikasi Cheng et al.(2004) adalah 350 rpm. Penetapan Konsentrasi Katalis. Konsentrasi katalis yang dicobakan adalah 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% pada suhu, waktu, nisbah molar metanol, kecepatan pengadukan yang sama masing-masing adalah 60 o C, 30 menit, 6:1 dan 400 rpm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27, hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 11. Viskositas (cst) 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 0,5 0,75 1 1,25 1,5 1,75 2 Konsentrasi katalis (%) Gambar 27 Rata-rata viskositas biodiesel setelah proses transesterifikasi pada berbagai konsentrasi katalis. Ada perbedaan nyata pemakaian katalis NaOH 0,5% dengan pemakaian katalis 1%, 1,5% dan 2% namun pemakaian katalis 1%, 1,5% dan 2 % tidak berbeda. Dengan demikian pemakaian katalis 1% adalah paling sesuai. Hasil

32 109 penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Cheng et al yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hasil konversi metil ester terhadap perbedaan penggunaan katalis 0,5%-1% begitu pula Canakci dan Van Garpen (2001) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan katalis KOH 1 % dan 0,5%. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena kadar asam lemak bebas bahan baku pada penelitian ini jauh lebih besar. Konsentrasi katalis NaOH 1% disarankan untuk proses transesterifikasi oleh Freedman et al. (1984), Noureddini dan Zhu (1997), Sudradjat et al. (2005), Gerpen et al. (2004) dan Lele (2005). Penetapan Suhu. Suhu transesterifikasi yang dicobakan mengacu pada Cheng et al. (2004); Noureddini dan Zhu (1997) yaitu 45 o C, 60 o C dan 75 o C. Konsentrasi katalis, waktu reaksi, nisbah molar metanol, dan kecepatan pengadukan sama masing-masing berturut-turut adalah 1%, 30 menit, 6:1 dan 400 rpm. Rata-rata hasil pengamatan viskositas, ALB dan rendemen yang ditunjukkan pada Tabel 30 dan hasil analisis Analisis ragam dilanjutkan dengan Uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 30 Rata-rata kadar ALB, viskositas, bobot jenis dan rendemen biodiesel dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu transesterifikasi Parameter Suhu 45 o C 60 o C 75 o C Viskositas (cst) 8,9 8,4 10,3 ALB (%) 0,661 0,643 0,615 Massa jenis (g/cm 3 ) 0,889 0,886 0,880 Rendemen (%) 66,4 69,8 68,0 Berdasarkan pengolahan data secara statistik, pengaruh perbedaan suhu transesterifikasi terhadap kadar ALB, bobot jenis dan rendemen tidak nyata. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Cheng et al yang menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan suhu transesterifikasi yaitu o C tidak berpengaruh terhadap hasil setelah transesterifikasi selama 20 menit begitu

33 110 pula hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang nyata pengaruh suhu terhadap hasil metil ester antara o C akan tetapi antara o C tidak ada perbedaan nyata. Sedangkan untuk viskositas ada perbedaan yaitu transesterifikasi suhu 45 o C dan 60 o C menunjukkan perlakuan yang lebih baik dari pada suhu 75 o C. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian pustaka maka suhu 60 o C dipilih sebagai suhu transesterifikasi. Suhu 60 o C digunakan untuk transesterifikasi oleh Darnoko dan Cheryan (2000), Cheng et al. (2004), Sudradjat et al. (2005) dan Van Garpen et al. (2005) Optimasi Proses Transesterifikasi Optimasi proses transesterifikasi diperlukan untuk menentukan kondisi proses yang paling sesuai sehingga diperoleh hasil yang optimum. Tahapan ini merupakan lanjutan sintesis hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap proses transesterifikasi yang telah dibahas sebelumnya. Optimasi proses transesterifikasi dilakukan dengan metode permukaan respon. Pada optimasi respon ini digunakan perancangan faktorial (2 2 =4) ditambah titik pusat (5) dan titik observasi (4). Titik tengah dari konsentrasi katalis terhadap minyak 1%, nisbah molar metanol terhadap minyak ( sebagai triolein) 6:1, sedangkan faktor lain dibuat tetap yaitu kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu transesterifikasi 60 o C dan waktu transesterifikasi 30 menit. Dipilih dua faktor yang dioptimasi yaitu nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut dan pertimbangan ekonomi. Nisbah molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi akan menjadi variabel tetap pada penentuan kinetika reaksi pada tahap berikutnya. Hasil estimasi koefisien regresi dan analisis varian dari optimasi respon produk oleh dua input variabel yaitu nisbah molar metanol terhadap minyak dan

34 111 katalis NaOH terhadap minyak yang dilakukan pada kecepatan pengadukan 400 rpm, suhu 60 o C dan waktu 30 menit terhadap parameter kadar ALB, rendemen, viskositas dan kadar metil ester disajikan pada Gambar 28 dan Tabel 31, sedangkan hasil analisis regresi respon permukaan, Analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 31 Rata-rata kadar ALB, viskositas, rendemen, dan kadar metil ester hasil percobaan dan perhitungan model pada optimasi proses transesterifikasi Met Kat Kadar ALB (%) Viskositas (cst) Rendemen biodiesel (%) Kadar metil ester (%) Hasil Model* 1 Hasil Model* 2 Hasil Model* 3 Hasil Model* ,243 1,292 16,950 16,712 68,40 66,83 71,55 74, ,332 1,378 20,040 19,151 58,60 60,74 51,43 54, ,479 1,434 20,600 19,466 66,70 66,03 76,32 73, ,043 0,996 14,600 12,815 60,50 63,55 90,08 88,16-1, ,276 1,273 17,900 18,451 64,50 66,39 69,18 69,23 1, ,023 1,024 14,000 15,472 63,70 60,33 66,03 65,41 0-1,414 1,552 1,485 18,000 18,378 64,60 64,50 69,77 66,03 0 1,414 1,251 1,316 14,200 15,845 67,30 65,92 86,66 89, ,725 0,831 9,410 11,140 70,40 70,50 93,24 93, ,841 0,831 10,250 11,140 70,00 70,50 95,42 93, ,880 0,831 11,040 11,140 69,10 70,50 91,82 93, ,819 0,831 11,850 11,140 70,10 70,50 90,80 93, ,891 0,831 13,150 11,140 72,90 70,50 94,31 93,12 * 1 : Y = 0,831-0,088M-0,059K +0,159M 2 +0,285K ,131MK * 2 : Y = 11,140-1,053M -0,896K+2,911M 2 +2,986K 2-2,273MK * 3 : Y = 70,500-2,141M +0,502K-3,569M 2-2,643K 2-0,900MK * 4 : Y = 93,118-1,352M +8,413K-12,898M 2-7,593K 2-8,470MK Berdasarkan analisis of varians (Analisis ragam) kadar ALB, viskositas, rendemen, dan metil ester khususnya dilihat dari nilai p ternyata model regresi kuadratik menunjukan nilai peluang (p) < 0,05. Nilai p model regresi kuadratik kadar ALB, viskositas, rendemen, dan metil ester masing-masing berturut-turut adalah 0,000, 0,0018, 0,008 dan 0,000, hal tersebut menunjukkan bahwa model regresi kuadratik adalah tepat.

35 112 Kadar ALB Viskositas Rendemen Metil ester

36 113 Gambar 28 Optimasi proses transesterifikasi berdasarkan respon permukaan dan kontur terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester. Adapun persamaan model kuadratik pengaruh nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester adalah sebagai berikut: Y 1 = 0,831-0,088M-0,059K +0,159M 2 +0,285K ,131MK Y 2 = 11,140-1,053M -0,896K+2,911M 2 +2,986K 2-2,273MK Y 3 = 70,500-2,141M +0,502K-3,569M 2-2,643K 2-0,900MK Y 4 = 93,118-1,352M +8,413K-12,898M 2-7,593K 2-8,470MK Dengan : Y 1 = kadar ALB, Y 2 = viskositas, Y 3 = rendemen, Y 4 = kadar metil ester M = nisbah molar metanol terhadap minyak, K = konsentrasi katalis NaOH terhadap berat minyak Hasil uji kesahihan model menunjukkan bahwa model kuadratik kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester mempunyai nilai koefisien determinasi (R 2 ) relatif tinggi masing-masing yaitu 96,0%, 88,3%, 89,7%, dan 97,3%. Hal itu menunjukkan bahwa 96,0%, 88,3%, 89,7%, dan 97,3%.dari keragaman pada parameter optimasi dapat dijelaskan dengan model. Uji lack of fit yang digunakan untuk menguji kecukupan model berdasarkan tabel Analisis ragam menunjukkan bahwa P-value lack of fit kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester masing masing berturut-turut adalah = 0,383, 0,304, 0,066 dan 0,084 > α = 0,05 maka tidak ada lack of fit artinya model yang dibuat telah sesuai dengan data. Hasil uji residual menunjukkan bahwa plot residual menyebar acak sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi cukup tepat dengan data. Disamping itu plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi normal. Uji kecukupan model juga dilakukan dengan cara menganalisis residual yaitu menguji kenormalan residual dengan menggunakan

37 114 statistik Kolmogorov-Smirnov. Nilai Statistik Kolmogorov-Smirnov untuk kadar ALB, rendemen dan viskositas masing-masing berturut-turut adalah 0,202, 0,110, 0,094 dan 0,0110 < nilai statistik tabel Kolmogorov-Smirnov dengan 13 pengamatan yaitu 0,361. Kesimpulan dari uji kenormalan residual adalah model regresi linier yang dibuat telah mengikuti distribusi normal sehingga kenormalan residual pada suatu model regresi telah dipenuhi sehingga model bisa digunakan. Uji parameter model menunjukkan bahwa kuadrat nisbah molar metanol dan kuadrat konsentrasi katalis memiliki pengaruh penting terhadap model kadar ALB, viskositas, rendemen dan kadar metil ester dibandingkan dengan variabel nisbah molar metanol dan konsentrasi katalis. Nilai p dari pengaruh variabel kuadrat nisbah molar metanol terhadap kadar ALB, viskositas, rendemen dan metil ester masing-masing berturut-turut adalah 0,001, 0,002, dan 0,006 dan 0,000 sedangkan untuk pengaruh variabel kuadrat katalis masing-masing berturut-turut adalah 0,000, 0,002, 0,025 dan 0,000. Dengan demikian kuadrat varibel mempunyai pengaruh nyata terhadap model persamaan regresi. Hasil analisis kanonik yang digunakan untuk menentukan titik optimum adalah penentuan titik stasioner terhadap nisbah molar metanol terhadap minyak dan persentase katalis NaOH terhadap minyak. Hasil analisis kanonik titik optimum diperoleh pada nilai kode peubah nisbah molar metanol terhadap minyak 0,1121 atau nilai aktual 6,3 :1 dan kode persentase katalis NaOH terhadap berat minyak 0,1785 atau nilai aktual persentase katalis NaOH terhadap berat minyak sebesar 1,1% dari berat minyak.

38 115 Model hasil percoban dilakukan validasi laboratorium dengan cara melakukan proses transesterifikasi sebanyak 5 kali pada kondisi optimum. Hasil pengukuran parameter proses transesterifikasi rata-rata adalah kadar ALB 0,623 % (model 0,831 %), rendemen 70,64% (model 70,50 %), kadar metil ester 95,7% (model 93,12%) dan viskositas 12,3 cst (model 11,14 cst). Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil validasi model melalui percobaan mendekati hasil perhitungan model Peningkatan Rendemen Biodiesel Kadar ALB minyak nyamplung hasil esterifikasi ternyata masih tergolong besar (4,3 % - 4,7%), syarat minyak nabati dapat diproses menjadi biodiesel harus mempunyai kadar ALB yang rendah yaitu 5 % (Canakci dan Van Gerpen 1999), 2 % (Lele 2005) bahkan 1 % Tyson (2005). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun minyak nyamplung hasil esterifikasi masih sekitar 4,3% - 4,7%, ternyata dapat diproses menjadi biodiesel dengan proses transesterifikasi pada nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis NaOH 1%, kecepatan pengadukan 400 rpm, dan waktu 30 menit akan tetapi menghasilkan rendemen yang masih relatif rendah seperti ditunjukkan pada Gambar 29. Rendemen (%) 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 4,22 4,37 4,47 4,56 4,64 KadarALB (%)

39 116 Gambar 29 Pengaruh kadar ALB awal terhadap rendemen biodiesel pada proses transesterifikasi. Rendemen biodiesel sangat dipengaruhi oleh kadar ALB sebelum proses transesterifikasi, hal tersebut sesuai dengan Tyson (2005) yang menyatakan bahwa minyak yang mengandung asam lemak bebas 10 % apabila diproses menjadi biodiesel dengan transesterifikasi akan kehilangan rendemen sebesar 30 %. Lee et al. (2002) menyatakan bahwa rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masingmasing berturut-turut 10 % menjadi 0,23 % dan 0,2 % menjadi 0,02 %. Usaha meningkatkan rendemen biodiesel dilakukan dengan memperbaiki bahan baku proses transesterifikasi dengan cara melakukan esterifikasi ulang, netralisasi atau dengan transesterifikasi ulang. Esterifikasi ganda dilakukan oleh Canacki dan Van Garven (2003) pada proses pembuatan biodiesel dari lemak. Dengan melakukan esterifikasi ulang ternyata dapat meningkatkan rendemen biodiesel secara signifikan seperti ditampilkan pada Tabel 32. Rendahnya rendemen biodiesel disebabkan oleh terbentuknya sabun selama proses transesterifikasi. Sabun dalam biodiesel akan menarik metil ester selama proses pencucian. Dengan demikian semakin banyak sabun yang terbentuk, semakin besar penurunan rendemen. Usaha lain untuk meningkatkan rendemen dapat dilakukan dengan dua kali proses transesterifikasi atau dengan proses netralisasi. Transesterifikasi pertama bertujuan untuk mengurangi kadar ALB sekaligus menkonversi sebagian trigliserida menjadi metil ester sedangkan transesterifikasi kedua lebih difokuskan untuk menkonversi sisa trigliserida menjadi metil ester. Proses netralisasi secara laboratorium belum bisa menghasilkan ALB yang rendah kurang dari 1% dan kehilangan selama proses netralisasi cukup besar karena sebagian metil ester yang terbentuk terikut oleh sabun pada saat dilakukan

40 117 pencucian. Proses netralisasi untuk meningkatkan rendemen biodiesel kurang efektif dibanding dengan esterifikasi ulang. Esterifikasi ulang dengan nisbah molar metanol terhadap minyak 40:1 dan katalis HCl terhadap minyak 10% dapat meningkatkan rendemen biodiesel dari 71,6% menjadi sekitar 83,4%. Usaha untuk menurunkan kadar ALB dengan melakukan esterifikasi berikutnya dilakukan namun tidak signifkan menurunkan kadar ALB. Tabel 32 Rendemen dan kadar ALB biodiesel rata-rata dari proses esterifikasi dan transesterifikasi yang dihitung berdasarkan minyak nyamplung kasar No. Variasi Kondisi Proses Biodiesel Kadar ALB (%) ratarata 1. E T E : nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, persentase katalis HCL terhadap berat ALB 6 %, suhu 60 o C, pengadukan 300 rpm dan waktu 30 menit. T: nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis NaOH terhadap berat minyak 1%, suhu 60 o C, pengadukan 400 rpm dan waktu 30 menit. 2. E 1 E 2 T E 1 : nisbah molar metanol terhadap ALB 20:1, persentase katalis HCL terhadap ALB 6 %, suhu 60 o C, pengadukan 300 rpm dan lama 30 menit. E 2: nisbah molar metanol terhadap ALB 40:1, persentase katalis HCL dari berat ALB 10%, suhu 60 o C, pengadukan 300 rpm dan lama 30 menit. T 1 : nisbah molar metanol 6:1, persentase katalis NaOH terhadap minyak 1%, suhu 60 o C, pengadukan 400 rpm dan lama 30 menit. E: Esterifikasi, T: Transesterifikasi *: Rendemen dihitung berdasarkan bobot minyak kasar E: 4,45 T: 0,44 E 1 = 4,65 E 2 = 2,32 T = 0,36 Rendemen* (%) 71,6 83,4 Rendemen tersebut mendekati hasil penelitian Canacki dan Van Garven (2003) yang menyatakan bahwa proses produksi biodiesel dari yellow grease dengan kadar ALB 9% melalui proses esterifikasi pertama dengan katalis asam sulfat 5% dan

41 118 nisbah molar metanol 20:1, esterifikasi dua dengan katalis asam sulfat 5 % dan nisbah molar metanol 40:1 berdasarkan jumlah ALB kemudian transesterifikasi dengan katalis NaOCH 3 0,82% dan nisbah molar metanol 6:1 berdasarkan jumlah trigliserida menghasilkan biodiesel dengan rendemen 90,2% akan tetapi untuk bahan baku brown grease dengan kadar ALB awal 39,6 % rendemen turun menjadi 73,9% Analisis Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Kinetika reaksi berguna untuk menetapkan kondisi operasi, metode pengendalian, kebutuhan peralatan dan teknologi dari suatu proses kimia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merancang reaktor (Petrucci, 1992). Pengukuran kinetika reaksi transesterifikasi digunakan untuk perancangan reaktor batch khususnya waktu tinggal Hill (1977); Perry (1988), Richardson and Peacock (1994). Pengukuran kinetika reaksi transesterifikasi dilakukan pada kondisi optimum yang diperoleh pada optimasi proses pada tahap sebelumnya yaitu pada nilai peubah nisbah molar metanol terhadap minyak 6,3:1 dan konsentrasi katalis NaOH terhadap minyak 1,1% Penetapan Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Penentuan tetapan laju reaksi transesterifikasi menggunakan metode isolasi (Atkins 1999 yang dikombinasikan dengan metode integral (Laidler 1979) dengan asumsi reaksi berlangsung secara irreversibel (lihat lampiran 14). Hubungan konsentrasi metil ester hasil transesterifikasi dengan waktu transesterifikasi disajikan pada Gambar 30 sedangkan konversi gliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada Tabel 33.

42 119 Kadar Metil ester (mol/l 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Waktu (menit) 28 oc 45 oc 60 oc 70oC Gambar 30 Kadar metil ester dari proses transesterifikasi pada berbagai suhu dan waktu. Tabel 33 Konversi trigliserida menjadi metil ester selama proses transesterifikasi Waktu (menit) Konversi (mol/liter) 28 o C 45 o C 60 o C 70 o C 0 0,000 0,000 0,000 0, ,089 0,127 0,259 0, ,236 0,314 0,467 0, ,359 0,450 0,653 0, ,494 0,580 0,666 0, ,588 0,636 0,690 0, ,622 0,679 0,700 0,696 Pola hubungan peningkatan kadar metil ester selama transesterifikasi menyerupai hasil penelitian Freedman et al. 1986; Sofiah, (1999); Darnoko dan Cheryan, (2000) ; Cheng et al. (2004). Penentuan orde reaksi dilakukan dengan metode integral, merupakan metode trial and error (empiris) yakni perubahan konsentrasi diukur secara periodik selang waktu tertentu dan harga k dihitung dengan menggunakan persamaan terintegrasi berbeda untuk orde reaksi yang berbeda yang memberikan nilai k yang konsisten. Nilai k yang paling konsisten diperoleh pada orde total dua. Grafik hubungan antara 1/(3[T]o-[Mo]) ln ([M]o[T]/[[M][To]) dengan waktu pada berbagai suhu esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 31. Hubungan antara Nilai ln([me] o /[ME] t ) dengan waktu reaksi menunjukkan tidak linier, maka

43 120 nilai k diambil pada kemiringan garis awal yang mendekati linier sesuai dengan Goud et al. (2006). 1/(3[T]o-[Mo]) ln ([M]o[T]/[[M][To]) 0, , o C -0,2000 y = -0,0136x R 2 = 0,9395-0, o C -0,4000 y = -0,0182x R 2 = 0,9598-0,5000-0,6000-0,7000-0, o C y = -0,0287x R 2 = 0, o C y = -0,0251x R 2 = 0,9313 Waktu (menit) Gambar 31 Grafik hubungan 1/((3[T]o-[Mo]) ln([m]o[t]/[[m][to] dengan waktu. Tetapan laju reaksi transesterifikasi pada suhu 341 K, 333 K, 318 K dan 301 K masing-masing berturut-turut adalah 0,014 liter /mol menit, 0,018 liter / mol menit, 0,025 liter /mol menit dan 0,029 liter / mol menit. Cheng et al. (2004) mengukur tetapan laju reaksi transesterifikasi pada minyak sawit dengan nisbah molar metanol terhadap minyak 6:1. suhu 60 o C, kecepatan pengadukan 350 rpm dan katalis NaOH mol/kg dengan menggunakan orde dua diperoleh nilai k sebesar liter /mol menit Model Kinetika Reaksi Transesterifikasi Orde Dua Berdasarkan Persamaan Arhenius k 1 = A exp (-Ea/RT). Ea ln k 1 = ln A RT EA /R -ln k 1 = - C T Y = a x - C dengan gradien (a) = -Ea/R dan x = 1/T. k 1 = tetapan laju reaksi Ea = energi aktivasi R = tetapan gas= 1,987 cal/ g mol K T = suhu mutlak

44 121 A = tetapan proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan Berdasarkan persamaan di atas maka energi aktivasi suatu reaksi kimia adalah slope (kemiringan) dari grafik linier antara ln k dengan 1/T. Penentuan energi aktivasi proses transesterifikasi antara minyak sawit dan metanol dengan katalis NaOH menggunakan grafik linier hubungan antara ln k dengan 1/T dilakukan oleh Noureddini dan Zhu (1997), Darnoko dan Cheryan, (2000) dan Cheng et al. (2004). Grafik hubungan antara -ln k dengan 1/T proses transesterifikasi pada suhu 303 K, 318 K dan 333 K sebagai berikut: -ln k 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 y = 1879,8x - 1,9355 R 2 = 0,9949 0,0028 0,0029 0,0030 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 Waktu (menit) Gambar 32 Hubungan antara ln k dengan 1/T pada proses transesterifikasi minyak biji nyamplung. Berdasarkan gambar tersebut diperoleh persamaan y =1879,8x 1,9355 dengan R 2 = 0,9949 dengan demikian diperoleh ln A = 3,473 dan nilai Ea/R adalah 1879,8 maka: Ea = 3735,2 cal/ mol K = 3,752 k cal / mol K A = 6,9 liter / mol menit Sehingga persamaan tetapan laju reaksi (k) dan laju reaksi (r) transesterifikasi minyak nyamplung adalah : -ln k 1 k 1 = (Ea/R) 1/T - ln A = A exp (Ea/RT)

45 122 k 1 k 1 = 6,9 exp (-Ea/RT) = 6,9 exp (-1879,8 /T) karena r T = k 1 [TG] [M] (-1879,8 /T) r T = 6,9 exp [TG] [M] = 6,9 exp (-1879,8 /T) ([TG]o x) ([M]o-3x) Dengan model tersebut dapat ditentukan nilai k pada berbagai suhu dalam kisaran suhu percobaan (301 K- 343 K) misalnya apabila digunakan suhu 325 K maka diperoleh nilai k sebesar 0,0213 liter /mol menit Perancangan Waktu Reaksi Ideal dalam Reaktor Batch Massa dalam reaktor batch isotermal (endotermis/ eksotermis) digunakan untuk menentukan waktu reaksi batch ideal : Rate of input rate out put rate of reaction = rate of accumulation V r T = d [ME]/ dt Volume (V) konstan, sehingga : d[e] = r T, karena d[me]/dt = dx/dt dt d[x] r = = k 1 ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) dt Waktu reaksi yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi metil ester [ME] pada kondisi isothermal adalah : t = 1/k 1 x d[x] ( [TG]o - x ) ( [M]o-3x ) t = 1/k 1 ln ln 3 [TG]o -1 [M]o ( [TG]o - x ) ( [M]o - 3x )

46 123 Karena [TG = [TG]o x dan [M] = [M]o 3 x maka persamaan menjadi: -1 [TG] [M]o t = 1/k 1 ln 3 [TG]o -1[M]o ( [TG]o [M] t = 21,01 menit. Pada kondisi isotermal suhu 60 C, untuk mendapatkan konsentrasi ME sebesar 2,659 mol /liter (95,25 %) dari minyak hasil esterifikasi yang mengandung 0,751 mol/liter (25,339%) metil ester atau untuk menurunkan trigliserida dari 0,791 mol/liter menjadi 0,10 mol/liter diperlukan waktu reaksi sebesar 21,01 menit. Perhitungan waktu ideal reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 15. Jika menggunakan waktu esterifikasi 20 menit maka diprediksi konsentrasi trigliserida menjadi 0,105 mol/liter dan konsentrasi metil ester yang diperoleh menjadi 2,53 mol/liter atau 90,7 %. Konsentrasi metil ester akhir transesterifikasi hasil perhitungan menggunakan kinetika reaksi (prediksi) dengan validasi percobaan laboratorium ditampilkan pada Tabel 34 yang menunjukkan bahwa kadar metil ester hasil percobaan mendekati hasil perhitungan. Tabel 34 Prediksi kadar metil ester minyak biji nyamplung setelah transesterifikasi dibandingkan hasil percobaan Ulangan Hasil Percobaan Perhitungan kinetika (%) (%) ,7 3 91, Rata-rata ,7

47 Analisis Kualitas Produk Pengujian Komposisi Asam Lemak dengan GC MS Komposisi kimia biodiesel dari minyak biji nyamplung dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas serapan massa atau Gas Chromatography Mass Spectrofotometer (GCMS). Hasil pengujian komposisi kimia biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan GCMS ditampilkan Tabel 35 sedangkan kromatogramnya ditampilkan pada Gambar 33. Biodiesel dari minyak biji nyamplung terdiri atas metil ester yang berasal dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh (C:8-C:22) dengan metil ester yang dominan adalah metil palmitat, metil stearat, metil oleat dan metil linoleat. Sejumlah kecil metil ester yang berasal dari asam lemak rantai pendek diantaranya adalah metil kaprilat dan metil pelargonat. Metil ester yang berasal dari lemak jenuh rantai panjang diantaranya adalah metil arakhidat, metil erukat, dan metil behenat Pengujian Sifat Fisiko-Kimia Uji karakterisitik biodiesel dari minyak biji nyamplung mengacu pada ASTM D dan SNI Pengujian karakteristik biodiesel dari minyak biji nyamplung dilakukan di Pusat Pengembangan dan Penelitian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Jakarta dan Laboratorium Pengujian Mutu VEDCA (Lampiran 16). Hasil pengujian biodiesel dari minyak biji nyamplung dibandingkan dengan standar ASTM D dan SNI disajikan pada Tabel 36 dan Tabel 37.

48 125 Gambar 33 Kromatogram metil ester dari biodiesel minyak biji nyamplung hasil analisis GCMS. No Tabel 35 Komposisi metil ester dari biodiesel minyak biji nyamplung hasil analisis GCMS RT (menit) Area (%) Nama Sistematik 1. 3,90 0,06 Metil ester asam Oktanoat 2. 5,99 0,04 Metil ester asam Tetradekanoat 3. 7,03 0,09 Metil ester asam Nonanoat 4. 7,91 14,67 Metil ester asam Hexadekanoat 5. 8,03 0,43 Metil ester asam 9- Hexadesenoat 6. 8,53 0,24 Metil ester asam Heptadekanoat 7. 9,55 24,34 Metil ester asam Octadekanoat 8. 9,73 33,59 Metil ester asam 8- Octadesenoat 9. 10,15 23,94 Metil ester asam 10,13 Octadekadienoat ,65 0,23 Metil ester asam 9,12,15, Octadekatrinoat ,34 1,27 Metil ester asam Eikosanoat ,54 0,29 Metil ester asam 11- Eikosanoat ,33 0,44 Metil ester asam Dokosanoat ,48 0,02 Metil ester asam 9- Oktadecanoat Nama Karbon Titik leleh ( o C) dagang Asam lemak Metil ester Metil C8:0 16,7-29 kaprilat Metil C14:0 54,4 18,4 miristat Metil C9:0 12,5-34,5 pelargonat Metil C16:0 62,9 30,5 palmitat Metil C16: palmitoleat Metil C17:0 61,3 29,7 margarat Metil C18:0 69,6 39 stearat Metil oleat C18: ,9 Metil linoleat Metil linolenat C18: C18: Metil C20:0 75,4 45,8 arakhidat Metil erukat C20:1 - - Metil behenat Metil vaccenat C22:0 80,0 53,2- C18:1 44 -

49 126 Tabel 36 Karakterisitik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar ASTM D No. Kreteria mutu bahan bakar biodiesel Satuan Cara Uji Standar ASTM D Biodiesel dari minyak nyamplung 1 Titik nyala (Flash point) ( o C) D93 min Air dan sedimen (Water (% vol) D2709 max. 0,05 0 & sediment) 3 Viskositas kinematik mm 2 /s D445 1,9-6,0 7,724 (kinematic viscosity), 40 o C (cst) 4 Abu sulfat (Sulfated ash) (% massa) D874 max 0,02 0,026 5 Belerang (Sulfur) ( % massa) D5453 max 0,05 0, Korosi kepingan tembaga D130 Max No. 3 Ib (No 2) (Copper Strip corrosion) 7 Bilangan setana (Cetane D 613 min 47 51,9 *1 number) 8 Titik kabut (Cloud point) ( o C) D2500 Report to 38 cosumer 9 Residu karbon (Carbon residue ) (% massa) D 4530 max 0,05 0,434 *2 10 Bilangan asam (Acid number) 11 Gliserol total (Total glycerin) 12 Kandungan fosfor (Phosphorus content ) 13 Suhu distilasi (Distilation temperature, 90 % recovered) (T 90) (mg D664 max 0,8 0,96 KOH/g) (% massa) D6584 max 0,240 0,2 ( % massa) D4951 max 0,001 0, ( o C) D1160 max Keterangan : *1 : Diukur pada pencampuran 30 % biodiesel dan 70 % solar, pengukuran pada 100 % dan 50 % biodiesel tidak dapat dilakukan *2 : Diukur dengan metode ASTM D 189 sebagai Conradson Carbon Residue

50 127 Tabel 37 Karakterisitik biodiesel dari minyak nyamplung dibandingkan dengan standar SNI No. Parameter Satuan MetodeUji Nilai Biodiesel nyamplung 1. Massa jenis pada 40 o C kg/m 3 ASTM D ,6 2. Viskositas kinematik mm 2 /s ASTM D445 2,3-6,0 7,724 pada 40 o C (cst) 3. Bilangan setana - ASTM D 613 min, 51 51,9 *1 4. Titik nyala (mangkok o C ASTM D 93 Min tertutup) 5. Titik kabut o C ASTM D 2500 maks Korosi kepingan tembaga ASTM D 130 maks. no. I b ( 3 jam pada 50 o C) 7. Residu karbon dalam contoh asli atau dalam 10 % ampas distilasi %-massa ASTM D maks. 0,05 maks. 0,30 0,434 *2 8. Air dan sedimen % -vol ASTM D-1796 maks. 0 0,05 9. Suhu distilasi 90 % o C ASTM D 1160 maks * Abu tersulfatkan % massa ASTM D 874 maks. 0,026 0, Belerang ppm-m ASTM D-1266 Maks (mg/kg) 12. Fosfor Ppm m ASTM D 1091 maks. 10 0,223* 4 (mg/kg) 13. Bilangan asam mg-koh /g AOCS Cd 3d-63 Maks 0,8 0,96* Gliserol total %- massa AOCS Ca maks. 0,232 0, Kadar ester alkil %- massa SNI min. 96,5 96, Bilangan Iodium %- massa (g- AOCS Cd 1-25 maks * /100 g) Keterangan : * 1 : Diukur pada pencampuran 30 % biodiesel dan 70 % solar *2 : Diukur dengan metode ASTM D 189 *3 : Diukur dengan metode ASTM D 86 *4 : Diukur dengan metode ASTM D 1091 *5 : Diukur dengan metode SNI Massa Jenis. Massa jenis biodiesel dari minyak biji nyamplung hasil pengujian pada suhu 60 o F (15 o C) adalah 888,6 kg/m 3 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu kg/m 3. Massa jenis biodiesel dari biji nyamplung tersebut sedikit lebih tinggi dari massa jenis biodiesel sawit yaitu 880 kg/m 2 (Legowo et al. 2001) dan biodiesel jarak pagar 879 kg/m 2 (Francis dan Becker 1999). Perbedaan massa jenis biodiesel berkaitan dengan komposisi asam

51 128 lemak dan tingkat kemurnian dari biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Dijelaskan pula bahwa massa jenis naik dengan penurunan panjang rantai karbon dan peningkatan ikatan rangkap. Massa jenis metil ester dari asam lemak C6:0 (889 kg/m 2 ), C12:0 (873 kg/m 2 ), C18:1(874 kg/m 2 ) C18:2 (894 kg/m 2 ) dan C18:3 (904 kg/m 2 ) (Mittelbach dan Remschmidt 2004) dan karena komposisi asam lemak C18:2, C18:3 dan C20:1 dari minyak biji nyamplung lebih tinggi dari CPO (lihat Tabel 25) maka massa jenis biodiesel yang dihasilkan lebih besar pula. Viskositas. Viskositas kinematik biodiesel dari minyak biji nyamplung pada suhu 40 o C adalah 7,724 cst sehingga tidak memenuhi persyaratan SNI yaitu 2,3-6,0 cst. Viskositas biodiesel dari minyak biji nyamplung lebih tinggi dari viskositas dari minyak sawit (3,5-5,0 mm 2 /s) (Legowo et al. 2001) sedangkan biodiesel jarak (4,84 mm 2 /s). Viskositas merupakan faktor yang penting dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar dalam ruang bahan bakar (Soerawidjaja et al. 2005). Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Disebutkan pula bahwa viskositas akan naik dengan kenaikan panjang rantai karbon asam lemak jenuh, kenaikan panjang rantai karbon alkohol, penurunan panjang rantai karbon asam lemak tidak jenuh dan adanya kenaikan sisa monogliserida, digliserida dan trigliserida dalam biodiesel. Viskositas metil ester yang dibuat dari asam lemak C14:0 (3,24 mm 2 /s), C16:0 (4,32 mm 2 /s), C18:0 (5,56 mm 2 /s), C18:1 (4,45 mm 2 /s), C18:2 (3,64 mm 2 /s) dan C18:3 (3,27 mm 2 /s) (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Viskositas biodiesel minyak biji nyamplung relatif tinggi kemungkinan disebabkan karena kandungan asam lemak jenuh yang mempunyai rantai karbon panjang lebih tinggi yaitu asam stearat, asam palmitat dan asam arakhidat dan

52 129 mempunyai asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap 2 dan 3 yaitu asam linoleat dan linolenat yang rendah (lihat Tabel 25). Karena viskositas biodiesel dari minyak nyamplung tidak memenuhi kualifikasi SNI biodiesel maka penggunaan biodiesel dari minyak nyamplung 100% (B100) tidak mungkin sehingga dilakukan pencampuran dengan solar sampai memenuhi persyaratan yang dikehendaki. Pembuatan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan viskositas 5,997 cst dilakukan dengan mencampur solar dengan viskositas kinematik 4,27 cst sebanyak 50%. Beberapa mesin diesel menghendaki persyaratan minimal viskositas, karena viskositas biodiesel yang tinggi akan menyebabkan atomisasi yang jelek dan diasosiasikan dengan kenaikan deposit pada mesin (Kinast dan Tyson 2003). Titik Nyala. Titik nyala mangkok tertutup biodiesel dari minyak nyamplung adalah 151 o C lebih besar dari persyaratan minimal SNI biodiesel yaitu 100 o C. Titik nyala yang tinggi diperlukan untuk keamanan dari kebakaran selama proses penyimpanan, transportasi (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Titik nyala berkaitan dengan residu metanol dalam biodiesel karena metanol mempunyai titik nyala yang rendah yaitu 11,11 o C. Residu metanol dalam jumlah kecil menurunkan flash point yang berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers serta dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004). Titik Kabut. Titik kabut biodiesel dari minyak nyamplung adalah 38 o C sedangkan persyaratan SNI biodiesel maks.18 o C dengan demikian tidak memenuhi persyaratan. Titik kabut yang tinggi berkaitan dengan jumlah atom karbon asam lemak jenuh yang besar pada biodiesel yang menyebabkan kristalisasi (Soerawidjaja et al. 2005) terutama metil ester dari asam stearat dan pamitat (Kinast dan Tyson, 2003). Biodiesel dari biji nyamplung mempunyai titik kabut

53 130 yang tinggi karena mengandung metil ester yang mempunyai titik kabut tinggi seperti metil palmitat (30,5 o C), metil stearat (39 o C), metil arakhidat (45,8 o C) dan metil behenat (53,2 o C). Penggunaan biodiesel dengan titik kabut yang tinggi dapat mengurangi sifat-sifat keenceran (lubrisitas) dan menyebabkan penyumbatan filter oleh karena itu biodiesel yang demikian perlu dilakukan pengendapan sehingga masalah keenceran biodiesel dapat teratasi (Kinast dan Tyson 2003). Selain dengan cara pemisahan metil stearat dan metil palmitat, permasalahan tingkat keenceran biodiesel dari minyak nyamplung diatasi dengan mencampur minyak diesel atau solar atau memerlukan pemanas (Converter) sebelum dikabutkan. Titik kabut penting untuk memastikan kinerja biodiesel pada suhu yang dingin. Korosi Kepingan Tembaga. Korosi kepingan tembaga (Cooper Strip corrosion=ccr) biodiesel dari minyak nyamplung 3 jam pada 50 o C adalah no 2 atau I B sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maks. no 3 atau 1 C. Tes ini dilakukan untuk mengukur pengaruh bahan bakar terhadap tingkat korosi tembaga yang berkaitan dengan kadar asam lemak bebas biodiesel. (Kinast dan Tyson, 2003). Tingkatan korosi kepingan tembaga tergantung dari kadar asam lemak bebas, gliserida, logam alkali sebagai katalis yang sudah dalam bentuk sabun (Soerawidjaja et al. 2005) dan dari ketiga penyebab tersebut pengotor dari sisa katalis lebih banyak berpengaruh terhadap nilai CCR. Disamping komponen tersebut menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) nilai CCR ditentukan pula oleh metil ester dari asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap lebih dari satu (polyunsaturated fatty acid methyl esters) dan polimer. Kandungan Air dan Sedimen. Air dan sidemen biodiesel dari minyak biji nyamplung menunjukkan 0 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,05%. Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) metil ester asam

54 131 lemak bersifat higroskopis dan dapat mengandung air sampai dengan 1000 ppm selama penyimpanan. Air dalam biodiesel ada sebagai akibat teknik pengeringan yang kurang (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Air akan mengkibatkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisma sehingga akan mendorong terjadinya oksidasi yang dapat menaikan sedimen dan bilangan asam selama penyimpanan (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Kandungan Abu Tersulfatkan. Abu tersulfatkan biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,026% sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI biodiesel yaitu 0,02%. Kandungan abu tersulfatkan menunjukkan kontaminan materi anorganik seperti residu katalis dan sabun yang teroksidasi dalam proses pembakaran sehingga membentuk deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Dengan demikian abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan pencucian biodiesel yang kurang sempurna. Abu tersulfatkan mempunyai kontribusi dalam injector atau terjadinya penyumbatan (fouling) pada sistem bahan bakar (Tyson 2004). Kandungan Belerang. Belerang yang terkandung dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,0016 % atau 16 ppm memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,05% atau 500 ppm. Korosi yang disebabkan oksida belerang dapat menyebabkan keausan mesin karena setelah mesin berhenti terjadi kondensasi oksida dan dengan adanya air akan terbentuk asam sulfat yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang kendaraan bermotor (Surono dan Batti. 1980). Sulfur dalam bahan bakar akan dikonversi menjadi sulfur oksida, asam sulfat yang berpengaruh pada emisi mesin (Kinast dan Tyson 2003). Biodiesel dengan sulfur tinggi akan berpengaruh pada kesehatan manusia dan lingkungan karena akan dikonversi menjadi sulfur oksida yang berpotensi

55 132 menyebabkan proses mutagenik, disamping akan mengurangi masa kerja dari converters, mengurangi keenceran dan dapat menyebabkan gagalnya proses injeksi (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) biodiesel tradisional yang diproses tanpa menggunakan asam sulfat bebas dari sulfur, jika ada dalam jumlah yang sangat kecil disebabkan oleh adanya bahan mengandung sulfur dalam bahan baku yang terikut. Kandungan Fosfor. Kandungan fosfor dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,223 ppm sehingga memenuhi persyaratan SNI biodesel yaitu 10 ppm. Fosfor dalam biodiesel berasal dari fosfolipid yang terkandung dalam bahan baku atau asam fosfat yang digunakan untuk proses degumming (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Fosfor dalam biodiesel dibatasi maksimal 10 ppm, karena kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak catalytic converters (Tyson 2004). Kandungan fosfor biasanya muncul dalam bentuk yang bersifat seperti perekat (muncilaginous substances) yang dapat merusak katalis pada mesin diesel sehingga akan meningkatkan jumlah emisi partikulat (Soerawidjaja et al. 2005). Kandungan fosfor selain dipengaruhi oleh fosfor dari bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila menggunakan katalis asam fosfat. Bilangan Asam. Bilangan asam biodiesel dari minyak biji nyamplung menunjukkan 0,96 mg KOH/gram sedikit lebih tinggi dari persyaratan biodiesel yaitu 0,8 mg KOH/gram. Bilangan asam biodiesel menunjukkan asam lemak bebas (degradasi minyak atau lemak secara natural). Bilangan asam dari biodiesael tergantung dari berbagai faktor diantaranya adalah tipe bahan baku yang digunakan, tingkat rafinasi, katalis asam yang digunakan dan asam lemak bebas yang dihasilkan selama proses produksi (Mittelbach dan Remschmidt 2004).

56 133 Bilangan asam yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan standar SNI kemungkinan disebabkan oleh kadar asam lemak bahan baku yang masih relatif tinggi (sekitar 4%) dan adanya degradasi dari lemak atau minyak akibat proses produksi maupun penyimpanan. Bilangan asam yang tinggi diasosiasikan terjadi korosi dan deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004) disamping itu juga dapat mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson 2004). Bilangan Setana. Bilangan setana biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan campuran 30 % biodiesel dan 70% solar adalah 51,9 jika minyak diesel yang dicampurkan mempunyai bilangan setana 51,5 Reksowardojo (2006) maka bilangan setana biodeisel dari minyak biji nyamplung adalah 52,8 lebih besar persyaratan SNI Biodiesel 100% yaitu minimal 51. Biodiesel dari berbagai minyak nabati 51 seperti biodiesel dari minyak sawit (62), biodiesel dari minyak jarak (51) dan biodiesel dari minyak kelapa (62,7) (Soerawidjaja et al. 2005). Bilangan setana berkaitan dengan kandungan kalor dalam bahan yang diperlukan untuk menggerakkan mesin diesel agar dapat bekerja dengan baik. Bilangan setana yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap waktu singkat yang diperlukan antara bahan bakar diinjeksikan dengan inisiasi sehingga menyebabkan start yang baik dan suara yang halus pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Bilangan setana yang lebih tinggi akan menolong memastikan start yang baik dan meminimalkan pembentukan asap putih (Tyson 2004). Bilangan setana biodiesel berkaitan dengan komposisi asam lemak yang terkandung dalam biodiesel tersebut. Biodiesel yang mengandung metil ester asam lemak jenuh dengan rantai karbon panjang yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi (metil laurat (60,5), metil miristat (73,5), metil palmitat (74,3), metil stearat (75,6) dan lain-lain) sedangkan yang mengandung metil asam lemak dengan ikatan rangkap satu yang tinggi

57 134 mempunyai bilangan setana sedang (metil oleat (55)) serta yang mengandung metil asam lemak dengan ikatan rangkap dua atau lebih yang tinggi mempunyai bilangan setana yang rendah (metil linoleat (33) dan metil linolenat (13)) (Tyson 2004). Bilangan setana biodiesel dari minyak biji nyamplung termasuk tinggi 51 dibandingkan dengan biodiesel dari jarak pagar karena mengandung asam lemak jenuh yang tinggi khususnya asam palmitat dan stearat dan mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap satu yaitu asam oleat yang tinggi pula (lihat Tabel 25). Residu Karbon. Residu karbon biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,434 % lebih tinggi dari persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 0,30%. Pengujian ini mencakup penentuan jumlah residu karbon yang tersisa setelah evaporasi dan pirolisis minyak (Soerawidjaja et al. 2005, Mittelbach dan Remschmidt 2004). Residu karbon terjadi karena terbentuknya deposit karbon dalam mesin (Tyson 2004). Residu karbon biodiesel yang tinggi berkaitan dengan sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, mestil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Biodiesel dari minyak biji nyamplung mengandung asam lemak yang mempunyai banyak ikatan rangkap seperti linoleat dan linolenat sehingga menyebabkan residu karbon relatif tinggi dibandingkan dengan standar SNI biodiesel. Bilangan Gliserol Total. Gliserol total pada biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 0,232 % lebih rendah dari persyaratan SNI yaitu 0,24%. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi disinyalir membahayakan mesin terutama karena adanya gugus OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom selain itu juga

58 135 menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al. 2005). Jika gliserol total dalam biodiesel tinggi maka dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tanki penyimpanan sistem bahan bakar dan mesin. Menurut Tyson (2004) bahan bakar biodiesel yang mempunyai kadar gliserol yang melebihi batas minimal menyebabkan terjadinya penyumbatan (plug) pada filter bahan bakar dan masalah lainya. Kandungan Alkil Ester. Kandungan alkil ester biodiesel dari minyak nyamplung adalah 96,99% sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yang ditetapkan yaitu minimal 96,5 %. Kandungan ester alkil biodiesel merefleksikan konversi bahan mentah menjadi biodiesel (Soerawidjaja et al. 2005), khususnya tingkat metilasi atau pemisahan gliserol dari gliserida pada proses transesterifikasi. Kadar metil ester yang rendah disebabkan oleh proses yang tidak sempurna atau disebabkan oleh tingginya konsentrasi komponen tidak tersabunkan seperti sterol, residu alkohol dan gliserida yang tidak terpisahkan (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Menurut Debaut (2005) minyak nyamplung mengandung komponen tidak tersabunkan 0,5-2% sehingga hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kandungan metil ester yang dihasilkan hanya mencapai 97%. Bilangan Iod. Bilangan Iod biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 85 sehingga memenuhi persyaratan SNI biodiesel yaitu maksimal 115. Biodiesel dengan bilangan iod lebih dari 115 jika digunakan untuk bahan bakar mulai terbentuk deposit pada lubang saluran injeksi, piston ring, dan kanal piston ring hal ini diperkirakan terjadi karena ikatan rangkap terjadi ketidakstabilan karena suhu panas (Soerawidjaja et al. 2005). Bilangan Iodium berkaitan dengan stabilitas biodiesel terutama berkaitan dengan potensi terjadinya oksidasi asam lemak sehinga akan meningkatkan bilangan asam. Oksidasi asam lemak pada biodiesel

59 136 yang mempunyai bilangan iodium tinggi dimungkinkan terjadi selama proses penyimpanan dan transportasi Pengujian Kinerja Biodiesel Pengujian kinerja biodiesel dari minyak nyamplung menggunakan mesin diesel (generator) stasioner merek kobota dengan data teknik: jenis motor diesel 4 langkah, jumlah silinder 1, displacement 443 cm 3, perbandingan kompresi 20:1, daya nominal 7,5 pk, tekanan injeksi 230 kg/ cm 2, output maksimal daya/speed = 5,5 KW /36,7 PS / 2200 rpm, out put kontinyu daya/speed: 4,8KW/36,7PS/2200 rpm, yang biasa diaplikasikan pada gilingan padi, pompa air dan untuk penerangan. Uji coba biodiesel dari minyak biji nyamplung dilakukan kondisi tanpa beban dengan putaran tetap 700 rpm menggunakan bahan bakar campuran biodiesel dan solar 0% sampai dengan 60 % masing-masing sebesar 0,1 liter diulang sebanyak 5 kali. Pengendalian kecepatan putaran dilakukan dengan menggunakan tatsometer. Hasil pengukuran konsumsi bahan bakar biodiesel dari minyak biji nyamplung disajikan pada Gambar 34. Konsumsi bahan bakar atau konsumsi energi biasanya diekspresikan dari efisiensi pemanasan yang ditentukan oleh konversi energi kimia dalam mesin, efisiensi termal yang tinggi berkaitan dengan adanya unsur oksigen yang terkandung dalam bahan bakar sehingga meningkatkan pembakaran (Mittelbach dan Remschmidt 2004).

60 137 Konsumsi bahan bakar (L /jam) 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0, Campuran biodiesel dari bintangur (%) Gambar 34 Hasil pengukuran konsumsi biodiesel dari biji nyamplung dengan menggunakan generator 7,5 pk dan kecepatan putaran 700 rpm pada kondisi stasioner. Karena kondisi demikian maka biodiesel mempunyai bilangan setana yang tinggi dari pada minyak diesel). Berdasarkan pengukuran konsumsi biodiesel, menunjukkan bahwa konsumi bahan bakar campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung dan solar tidak berbeda nyata sampai dengan campuran 30 % dan mulai pada campuran 40% konsumsi biodiesel sedikit lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa pencampuran sampai dengan 30 % tidak berpengaruh terhadap kinerja mesin. Konsumsi bahan bakar pada campuran biodiesel dari biji nyamplung 30% sedikit lebih rendah dari pada solar juga ditemukan oleh Legowo et al. (2006) pada penggunaan campuran bahan bakar minyak kelapa 30%. Menurut Reksowardojo (2006) pada umumnya hasil pengujian bed test dan road test menunjukkan bahwa bahan bakar biodiesel yang diproduksi memenuhi standar FBI-S01-03 (SNI ) tidak signifikan merubah performance, gas emisi, dari mesin baik kondisi mesin diesel stasioner maupun mesin diesel kendaraan bermotor. Konsumsi bahan bakar biodiesel dari minyak biji nyamplung yang lebih tinggi dari pada solar sesuai dengan Legowo et al. (2006) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan bakar selama uji jalan 250 jam terhadap biodiesel sawit B30

61 138 dibandingkan dengan bahan bakar solar (B00) menunjukkan peningkatan konsumsi bahan bakar sebesar 5,94%. Menurut Mittelbach (1989) dalam Mittelbach dan Remschmidt (2004) menyatakan bahwa konsumsi bahan bakar RME naik 5,6% dibandingkan dengan bahan bakar diesel. Hasil pengujian dengan mesin stasioner pada 35,2-38,3 KW terhadap biodiesel sawit 100% terjadi penurunan tenaga 8% dan konsumsi bahan bakar naik 24% sedangkan pada penggunaan biodiesel 30% terjadi penurunan tenaga 2% dan konsumsi bahan bakar naik 11% (Legowo et al. 2006). Pencampuran biodiesel minyak biji nyamplung mulai dari 50% diduga berpengaruh negatif terhadap kinerja mesin karena viskositas bahan bakar tersebut terlalu tinggi sehingga menyebabkan konsumsi bahan bakar menjadi lebih besar. Viskositas biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah 7,724 cst jauh lebih besar dari viskositas solar yaitu 4,27 cst, kondisi demikian meyebabkan pengabutan (atomisasi) semakin berat dan terjadi pembakaran yang tidak sempurna dibuktikan adanya deposit karbon yang sangat tebal dalam ruang pembakaran dan adanya sisa bahan bakar pada knalpot Pengujian Pengaruh terhadap Mesin. Pengujian kinerja mesin menggunakan spesifikasi generator dan kondisi operasi yang sama seperti yang digunakan pada pengujian konsumsi bahan bakar. Percobaan dilakukan dengan menggunakan campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung 0%, 10 %, 30% dan 50 % sebanyak 4 liter. Waktu yang diperlukan untuk menghabiskan bahan bakar tersebut masing-masing berturut-turut adalah 16,9 jam 18,5 jam, 16,7 jam dan 15,9 jam atau setara dengan konsumsi bahan bakar 237,3 ml/jam, 216,1 ml/jam 239,2 ml/jam dan 251,9 ml/jam. Kenampakan

62 139 mesin biodiesel setelah menggunakan tiga jenis bahan bakar yang berbeda disajikan pada Gambar 35. Deposit karbon pada cylinder head dan piston pada penggunaan bahan bakar campuran biodiesel dari minyak biji nyamplung sebesar 50% jauh lebih besar dibandingkan dengan penggunaan campuran biodiesel 0%, 10% dan 30% sedangkan antara 0%, 10% dan 30% sedikit perbedaannya. Pencampuran biodiesel minyak biji nyamplung sebesar 50% terlalu pekat sehingga terjadi proses pembakaran tidak sempurna dibuktikan adanya residu biodiesel nyamplung pada knalpot. Deposit pada permukaan piston akan berpengaruh pada dinding silinder (tabung silinder) dan ring karena dapat membentuk kerak sehingga menyebabkan keausan ring dan piston tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Legowo et al. (2006) yang menyatakan bahwa setelah uji jalan 250 jam penggunaan biodiesel 30% menyebabkan deposit nosel injektor lebih tinggi 3,2%, deposit piston lebih tinggi 4,20%, deposit klep lebih tinggi 0,85%, deposit kepala silender lebih tinggi 30,84% dan deposit pada saringan bahan bakar lebih tinggi 57,6% dan tidak ada pengaruh negatif terhadap minyak pelumas. Deposit pada mesin diesel berkaitan dengan komponen kimia dari biodiesel itu sendiri diantaranya adalah residu gliserol dan gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, abu sulfat yang tinggi, metil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Karena biodiesel dari minyak biji nyamplung mengandung metil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap linoleat dan linolenat dan abu sulfat relatif tinggi maka deposit pada mesin pada penggunaan campuran biodiesel 50% tinggi.

63 140 a b c d e Gambar 35 Pengaruh penggunaan beberapa campuran biodiesel nyamplung terhadap piston dan kepala silinder (a: awal, b: solar, c: 10% biodiesel, d: 30% biodiesel dan e: 50% biodiesel).

64 141 Analisis pengembangan proses untuk mencapai persyaratan SNI Berdasarkan pengujian laboratorium ternyata dari tujuh belas parameter, lima diantaranya belum mencapai persyaratan SNI biodiesel yaitu viskositas kinematik, bilangan asam, residu karbon, titik kabut dan abu tersulfatkan. Viskositas kinematik yang terlalu tinggi disebabkan oleh metil ester dari asam lemak jenuh berantai panjang misalnya metil stearat, metil arakidat dan metil behenat. Oleh karena itu untuk mencapai persyaratan viskositas biodiesel, perlu dilakukan pemisahan asam lemak jenuh tersebut. Pemisahan asam lemak jenuh juga akan dapat menurunkan titik kabut. Titik leleh metil palmitat (30,5 o C), metil stearat (39 o C), metil arakhidat (45,8 o C) dan metil behenat (53,2 o C) sedangkan titik leleh metil oleat (-19,9 o C), metil linoleat (-35 o C) dan metil linolenat (-52 o C). Viskositas yang terlalu tinggi kemungkinan disebabkan oleh komponen dasar dari minyak nyamplung itu sendiri. Menurut Kilham (2004) selain lemak netral sebesar 92%, minyak nyamplung kasar juga mengandung fosfolipid 1,6% dan glikolipid 6,4% sedangkan menurut Debaut et al. (2005) minyak nyamplung mengandung fraksi lemak antara 98-99,5% dan minyak tidak tersabunkan seperti sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan lain-lain sebesar 0,5-2% yang dapat dihilangkan pada saat degumming. Akan tetapi dalam penelitian tidak melakukan optimasi proses degumming sehingga diduga masih ada komponen fosolipid, glikolipid dan bahan tidak tersabunkan yang terikut pada biodiesel. Oleh karena itu perbaikan proses dapat dilakukan dengan cara optimasi degumming. Proses penggukusan sebelum pengepresan ternyata dapat memperbaiki kenampakan dan sifat fisiko-kimia dari minyak nyamplung. Komponen-komponen minyak yang larut dalam pelarut polar seperti fosfolipid, glikolipid dan komponen lainnya diduga akan terpisahkan pada saat pengukusan. Bilangan asam sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI disebabkan karena kadar asam lemak bebas hasil esterifikasi masih relatif tinggi yaitu 2,32% dan adanya

65 142 komponen fosfolipid, glikolipid maupun minyak senyawa tak tersabunkan yang masih tersisa sehingga menggangu proses transesterifikasi. Untuk mengatasi hal tersebu dapat dilakukan dengan optimasi proses degumming ataupun netralisasi. Abu tersulfatkan sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI. Kandungan abu tersulfatkan menunjukkan kontaminan materi anorganik seperti residu katalis dan sabun yang teroksidasi dalam proses pembakaran sehingga membentuk deposit pada mesin (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Sabun terbentuk selama proses transesterifikasi karena kadar asam lemak bebas dari minyak nyamplung hasil esterifikasi masih relatif tinggi yaitu 2,32%. Penurunan kadar abu tersulfatkan dapat dilakukan dengan melakukan optimasi proses degumming. Degumming yang optimum akan menghasilkan kadar ALB yang lebih rendah pada proses esterifikasi sehingga sabun yang terbentuk lebih rendah pula. Residu karbon terjadi karena terbentuknya deposit karbon dalam mesin (Tyson 2004). Residu karbon biodiesel yang tinggi berkaitan dengan sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, mestil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Untuk menurunkan residu karbon dalam mesin dapat dilakukan dengan optimasi proses degumming dan meningkatkan intensitas proses pencucian. Perbaikan proses melalui pengukusan inti sebelum dipres, pemisahan asam lemak jenuh, optimasi proses degumming dan peningkatan proses pencucian diduga dapat memperbaiki viskositas, titik kabut, bilangan asam, residu karbon dan abu tersulfatkan. Produksi biodiesel dengan penambahan proses pengukusan terhadap inti sebelum dipres, pemisahan minyak dari asam lemak jenuh dan peningkatan konsentrasi fosfat pada proses degumming dapat menghasilkan biodiesel yang lebih baik. Uji jalan (road tes) penggunaan 100% biodiesel dari biji nyamplung yang telah dilakukan perbaikan proses antara Bogor dan Cibinong pulang pergi dengan mobil diesel daihatsu taft menunjukan bahwa mobil berkinerja baik.

66 Analisis Keuntungan Kasar Analisis keuntungan kasar dilakukan dengan asumsi tanaman nyamplung sudah ada atau telah diadakan oleh Departemen Kehutanan sehingga biaya biji nyamplung merupakan biaya pemanenan/pengumpulan yaitu Rp 600/kg setara dengan harga minyak nyamplung Rp 3500/kg. Asumsi lain adalah biaya bahan baku dari feed stock 72,1% dari biaya produksi total (Pruszko, 2005). Dengan rendemen biodiesel 14,6% dari biji atau 83,4% dari minyak kasar maka untuk memproduksi 1 kg biodiesel diperlukan biji nyamplung 6,8 kg dengan biaya Rp 4100 atau minyak kasar 1,2 kg dengan biaya yang sama. Jika biaya proses adalah Rp 1654/kg (29,1% dari biaya produksi) maka biaya produksi total adalah Rp5754/kg. Dengan harga jual ke Pertamina Rp 6000 /liter atau Rp 6830/kg maka keuntugan kasar adalah Rp 1076,7/kg biodiesel Pengembangan Proses Integrasi Proses Tahapan integrasi proses dalam sintesis disampaikan oleh Rudd dan Watson (1973) dan Seider et al. (1999). Integrasi proses adalah mengkombinasikan proses menjadi satu kesatuan sehingga hasil dari integrasi proses adalah diagram alir yang rinci dilengkapi dengan neraca massa dan energi (Seider et al. 1999). Integrasi proses disusun berdasarkan data dasar yang diperoleh dari percobaan laboratorium. Data dasar yang dimaksud terdiri atas tahapan proses produksi, kondisi proses, komposisi reaktan, waktu proses, data konversi, neraca massa, dan kebutuhan energi. Data tersebut diperoleh dari tahapan penelitian optimasi proses dan kinetika reaksi sebelumnya yang dapat dilihat pada Lampiran 17. Diagram Alir Proses Kualitatif. Diagram alir proses kualitatif berisikan seluruh tahapan proses yang diperlukan dalam produksi biodiesel dari minyak nyamplung dari proses awal sampai dengan proses akhir seperti yang ditampilkan pada Gambar 36.

67 144 Biji nyamplung Pengupasan kulit Kulit Inti biji (kernel) basah Pengeringan dengan oven air Inti biji kering Pengepresan Ampas (bungkil) Minyak kasar (trigliserida, asam lemak bebas, dan gum) Asam fosfat Degumming Minyak degumming kotor (trigliserida dan asam lemak bebas, gum, asam fosfat sisa dan air) Air hangat Pencucian Gum, air dan fosfat Minyak degumming bersih (trigliserida, asam lemak bebas dan air) Pengeringan Uap air Minyak degumming kering (trigliserida dan asam lemak bebas) Metanol dan HCl Esterifikasi 1 Metanol, HCl dan air Minyak esterifikasi 1 (metil ester, trigliserida asam lemak bebas)

68 145 Metanol dan HCl Esterifikasi 2 Metanol, HCl dan air. Metanol dan NaOH Air hangat dan asam asetat Transesterifikasi Pencucian Pengeringan Minyak esterifikasi 2 (metil ester, trigliserida asam Biodiesel kotor (metil ester, trigliserida, sabun dan asam lemak bebas sisa). Gliserol dan metanol Air kotor (sabun, sisa katalis, air, asam asetat) Uap Air Biodiesel (metil ester dan asam lemak bebas sisa). Gambar 36 Diagram alir kualitatif produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung. Secara garis besar diagram alir kualitatif terdiri dari tiga tahapan penting yaitu proses pendahuluan yang terdiri dari pengupasan kulit, pemanasan, ekstraksi minyak, dan degumming dilanjutkan dengan esterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak kemudian tranesterifikasi untuk menghasilkan metil ester (biodiesel). Diagram alir proses produksi biodiesel melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi juga dilakukan oleh Canacki dan Van Gerpen (2001) ; Zhang et al. (2003) dalam memproduksi biodiesel dari minyak dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Menurut Seider et al. (1999) dalam sintesis salah satu tahapan penting yang dilakukan adalah mengeliminasi perbedaan suhu, tekanan dan fase oleh karena itu diagram alir alir kualitatif proses produksi biodiesel yang telah dibuat perlu dilengkapi dengan suhu dan tekanan pada semua tahapan proses seperti yang ditampilkan pada Gambar 37.

69 146 Biji nyamplung Pengupasan kulit Kulit E 1 Inti biji (kernel) basah ` E 2 Pengeringan ( 60 o C, 1 atm ) air Inti biji kering E 3 Asam fosfat (larutan asam fosfat sebanyak 0,3% (v/w) Pengepresan ( 60 o C, 20 ton) Minyak kasar Degumming (80 o C, 15 menit, 1 atm) Ampas (bungkil) E 4 Minyak degumming kotor Air E 5 Pencucian (60 o C, 1 atm) Gum, air dan fosfat i Pengeringan ( 80 o C, 16 cm Hg) Uap air E 6 Minyak hasil degumming Nisbah molar metanol terhadap ALB 22,2: 1 Konsentrasi HCl 5,9% dari berat ALB Esterifikasi 1 (60 o C, 300 rpm, 1 atm dan 25,2 menit Minyak esterifikasi 1 Metanol, HCl dan air

70 147 E 7 Nisbah molar metanol terhadap ALB 40: 1 Konsentrasi HCl 10 % dari berat ALB Esterifikasi 2 (60 o C, 1 atm, 300 rpm dan 25,2 menit Metanol, HCl dan air. E 8 Nisbah molar metanol terhadap minyak sebagai triolein 6: 1 dan konsentrsi NaOH 1,1 % Transesterifikasi (60 o C, 1 atm, 22 menit, 400 rpm) Minyak esterifikasi 2 Gliserol dan metanol E 9 Air dan asam asetat 0,03% E 10 Pencucian (60 o C, 1 atm) Biodiesel kotor Air kotor Pengeringan ( 80 o C, 16 cm Hg) Uap Air Biodiesel Gambar 37 Diagram alir kualitatif yang dilengkapi pengaturan kondisi operasi. Waktu yang dibutuhkan untuk proses diperlukan untuk penjadwalan kerja. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan biodiesel dari minyak nyamplung kasar adalah sekitar 3,5 jam (210 menit) yang terdiri atas degumming 15 menit, pencucian dan pengeringan minyak setelah degumming 30 menit, esterifikasi pertama 26 menit, esterifikasi kedua 26 menit, transesterifikasi 20 menit, dekantasi 90 menit, pencucian 15 menit dan pengeringan produk 15 menit. Diagram Alir Kuantitatif. Menurut Rudd dan Watson (1973) dan Seider et al. (1999) bahwa hasil integrasi proses adalah flowsheet yang rinci. Pembuatan diagram alir kuantitatif (neraca massa) proses pembuatan biodiesel dengan basis

71 148 perhitungan 1000 gram bahan baku didasarkan pada uji coba produksi biodiesel skala laboratorium (5 kg bahan baku). Tahapan proses yang digunakan meliputi pemecahan kulit, pengeringan, pengepresan, degumming, esterifikasi, transesterifikasi, pencucian dan pengeringan. Proses pengepresan dilakukan dengan alat kempa hidrolik 20 ton, degumming dilakukan dengan asam fosfat, esterifikasi dilakukan dengan metanol dan katalis HCl dan transesterifikasi dilakukan dengan metanol dan katalis NaOH. Yield dari masing-masing proses tersebut dapat dilihat pada Lampiran 18. Diagram alir kuantitatif produksi minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g biji nyamplung ditampilkan pada Gambar 38 dan diagram alir kuantitatif produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g ditampilkan pada Gambar 39 sedangkan dalam bentuk tabel input dan output dapat dilihat pada Lampiran 18. Biji Nyamplung 1.000,0 g PENGUPASAN Kernel basah (Biji lepas Kulit) 475,0 g 47,5 % biji Kulit 525,0 g 52,5 % biji PENGERINGAN Air 114,713 g Kernel kering PENGEPRESAN Minyak Kasar (crude Oil) 360,3 g 36 % biji 76 % kernel basah Ampas Endapan (palmitin 175,2 g 17,52 % biji 48,6 % inti biji kering 173,80 g 11,21 g Gambar 38 Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g biji nyamplung. Perhitungan kebutuhan metanol dilakukan dengan memanfaatkan metanol hasil distilasi baik dari sisa esterifikasi maupun transesterifikasi. Metanol hasil distilasi digunakan kembali untuk proses esterifikasi (methanol recovery), selisih antara kebutuhan metanol untuk proses esterifikasi dengan metanol hasil distilasi

72 149 ditambahkan sebagai metanol baru. Kondisi tersebut dilakukan pula pada proses transesterifikasi. Minyak nyamlung kasar 1.000,0 g Asam fostat 7,06 g DEGUMMING Air kotor 2.025,3 g ir Hangat 60 oc m liter PENGERINGA 981,7 g Metanol baru 33,910 g N Air 21,7 g Degumming Oil 960,0 g ALB =26,75% 256,9 g Tg=73,28% 703,1 g Metanol 583,0 g ESTERIFIKASI 1 Metanol kotor 628 g HCl 15,4 g DISTILASI Metanol baru 4,40 g Minyak esterifikasi 1 945,6 g Metanol 549 g ALB =4,46% 42,2 g 90 % metanol awal ME=22,3% 210,9 g 95 % metanol sisa Tg=72,21% 692,6 g Kotoran 101 g Metanol HCl 191,4 g 4,22 g ESTERIFIKASI 2 Metanol kotor DISTILASI Minyak esterifikasi 2 945,6 g ALB =2,32% 23 g Metanol 188,5 g ME =24,4% 238,9 t 94 % metanol awal Metanol baru 79,461 g Tg = 71,9% 715 g 97 % metanol sisa Kotoran 18 g 204,7 g Metanol 150,19 g TRANSESTERIFIKA Gliserol kotor 184,20 g NaOH 9,456 g SI DISTILASI Gliserol 115,1 g Biodiesel kotor 896,4 g Metanol 70,7 g 47 % metanol awal 94 % metanol sisa Air 1.792,9 g Asam asetat 0,033 g PENCUCIAN Air Kotor g 850,5 g PENGERINGAN Air 16,0 g Biodiesel 834,5 g ME =96,1%* Tg: Triglserida 88,2 % minyak esterifikasi 1 ME: Metil ester 83,4 % minyak kasar ALB: Asam Lemak Bebas 14,6 % biji *: Diukur dengan GC, jika dengan titrasi (SNI ) diperoleh 96,99% Gambar 39 Diagram alir kuantitatif (neraca massa) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan basis perhitungan 1000 g minyak nyamplung. Berdasarkan penelitian laboratorium menunjukkan bahwa metanol sisa esterifikasi dapat didistilasi menghasilkan 90,4% dari metanol awal atau 95,2% dari sisa metanol yang bereaksi secara kimia (stokiometri). Hasil distilasi metanol yang tinggi disebabkan karena nisbah molar metanol terhadap kadar ALB yang digunakan pada proses esterifikasi sangat besar yaitu 20:1 pada hal yang diperlukan untuk reaksi kimia hanya 1 molar untuk setiap 1 molar asam lemak

73 150 bebas yang dihitung sebagai asam oleat sehingga sisa metanol yang tidak bereaksi adalah 19 molar atau 95 % dari metanol awal. Dari sisa metanol yang tidak bereaksi tersebut dapat diambil kembali 95% sedikit lebih tinggi dari Zhang et al. (2003) yaitu 94%. Berdasarkan penelitian laboratorium menunjukkan bahwa campuran glycerol dan metanol dari proses transesterifikasi dapat didistilasi menghasilkan metanol sebesar 40,4%. Hasil perhitungan tersebut setara dengan 47,9% dari metanol awal atau 94,% dari sisa metanol yang bereaksi secara kimia (stokiometri). Hasil distilasi metanol relatif tinggi disebabkan karena nisbah molar metanol terhadap minyak yang dihitung sebagai triolein pada proses transesterifikasi mencapai 6:1 pada hal yang diperlukan untuk reaksi kimia hanya 3 molar sehingga sisanya 3 molar atau 50%. Dari sisa metanol yang tidak bereaksi tersebut dapat diambil kembali 94 % sama dengan Zhang et al. (2003). Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa metanol yang disirkulasikan pada proses esterifikasi dan transesterifikasi menunjukkan kinerja yang sama dengan metanol baru. Penggunaan metanol hasil distilasi dilakukan untuk menghemat biaya karena keperluan metanol pada proses esterifikasi dan transesterifikasi sangat besar. Mengingat kadar ALB hasil esterifikasi masih terlalu tinggi yaitu 4,46% yang berdampak pada rendemen biodiesel yang masih rendah yaitu 76% dari minyak kasar atau 13 % dari biji nyamplung maka dilakukan proses esterifikasi ganda. Esterifikasi kedua dilakukan dengan menggunakan metanol dengan nisbah molar 40:1 dari kadar ALB dan katalis HCl 10 % dari kadar ALB. Pada kasus ini diperlukan metanol 20 gram pada setiap 100 gram minyak dan HCl yang dibutuhkan adalah 0,046 gram. Setelah dilakukan esterifikasi ganda maka diperoleh kadar ALB 2,31 % yang berdampak pada kenaikan rendemen biodiesel menjadi 14,6% dari biji atau 83,4% dari minyak kasar.

74 151 Perhitungan neraca energi pada pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung terbagi menjadi enam tahap yaitu proses pengeringan dan pengepresan biji (E 1 dan E 2 ), degumming (pemanasan dan pengadukan (E 3 ), pencucian (E 4 ) dan pengeringan (E 5 )), esterifikasi (Esterifikasi satu (E 6 ) dan Esterifikasi dua (E 7 ), transesterifikasi (pemanasan dan pengadukan (E 8 ), pencucian (E 9 ) dan pengeringan ( E 10 )). Energi pada tahap degumming digunakan untuk menaikkan suhu minyak dan mempertahankan suhu minyak selama proses degumming dan energi pada proses pencucian dan pengeringan minyak setelah degumming digunakan untuk menaikan suhu air pencuci dan menguapkan sisa air yang ada pada minyak. Energi pada proses esterifikasi dan transesterifikasi digunakan untuk menaikan suhu reaktan dan untuk reaksi pembentukan metil ester. Energi pada proses pencucian dan pengeringan biodiesel digunakan untuk menaikkan suhu air pencuci dan menguapkan sisa air pada biodiesel. Perhitungan energi yang diperlukan untuk proses pembuatan biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 19. Proses pembuatan biodiesel dengan basis 1000 g minyak nyamplung sehingga dihasilkan biodiesel 834 g diperlukan energi ,2 J terdiri dari atas kebutuhan energi untuk proses pengeringan inti J, proses degumming ,0 J, proses esterifikasi satu ,3 J dan proses esterifikasi dua ,6 J Simulasi Model Proses Menurut Seider et al. (1999) simulasi model dilakukan dalam perancangan setelah melakukan integrasi proses dan sebelum melakukan analisis kelayakan rancangan yang dihasilkan. Dijelaskan pula bahwa terdapat tiga alternatif kegiatan setelah perancang melakukan integrasi proses yaitu kreasi data dasar yang rinci (create a detailed database), simulasi model dan pengetesan skala pilot plant. Pada penelitian ini dipilih simulasi model karena verifikasi data laboratorium

75 152 masih menggunakan skala peralatan 10 liter jauh lebih kecil dibandingkan dengan skala pilot plant (± 100 liter). Simulasi model dilakukan karena penting untuk menguji perubahan-perubahan parametrik proses (Seider et al. 1999). Disamping itu simulasi model dilakukan karena pengetesan pilot plant memerlukan biaya yang mahal. Simulasi proses dapat memperlihatkan flowsheet proses detail (rinci) disertai dengan neraca massa dan energi dan daftar peralatan. Neraca massa ditunjukkan pada setiap aliran, dilengkapi dengan suhu, tekanan dan komposisi aliran dan properties lain yang cocok. Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung pada penelitian ini disusun menggunakan program HYSYS. Simulasi proses disusun dengan menggunakan basis perhitungan minyak nyamplung hasil degumming sebesar 1000 kg/jam. Kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan basis perhitungan neraca massa minyak hasil degumming antara 876 gram dengan 1000 kg diasumsikan tidak ada karena dalam perhitungan neraca massa telah menggunakan data kinetika reaksi dan telah divalidasi. Simulasi model proses hanya dilakukan pada tahapan esterifikasi dan transesterifikasi yang menjadi fokus pada penelitian ini. Data yang diperlukan untuk membuat simulasi program HYSYS ini adalah data hasil percobaan laboratorium meliputi: data kondisi proses khususnya tekanan dan suhu, kondisi spesifik dari reaktan berat molekul, titik didih, densitas dan kapasitas panas (Cp), data konversi tiap-tiap proses, dan data kinetika reaksi khususnya tetapan laju reaksi. Hasil simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui tahap esterifikasi dan transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 40.

76 153 Simulasi produksi biodiesel dengan HYSYS melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi dilakukan juga oleh Zhang et al. (2003) dengan menggunakan bahan baku minyak bekas dengan kadar asam lemak bebas 6%. Simulasi pada produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung penelitian ini dilakukan dengan esterifikasi dua kali kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi dan akhirnya dilakukan pencucian dan pengeringan. Esterifikasi pertama dengan ester reactor A dengan aliran masuk dua yaitu aliran asam oleat dan metanol. Aliran asam oleat merupakan minyak yang akan diesterifikasi dan aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi. Esterifikasi kedua dengan ester reactor B dengan aliran masuk dua yaitu under fraction E 1 dan aliran metanol. Aliran under fraction E 1 merupakan minyak yang telah diesterifikasi pertama dan akan diesterifikasi kedua dan aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi. Hasil esterifikasi dua adalah est liq fraction 2 yang akan ditransesterifikasi. Terdapat dua aliran yang masuk dalam trans ester reactor yaitu aliran metanol dan Under fraction E 2. Aliran metanol merupakan perpaduan antara metanol baru dan metanol resirkulasi dan aliran Under fraction E 2 merupakan minyak yang telah diesterifikasi ke dua. Aliran keluar dari trans ester reactor adalah trans liq fraction yang terdiri atas fraksi berat yaitu gliserol kotor dan fraksi ringan yaitu biodiesel kotor. Gliserol kotor mengandung metanol yang akan didistilasi. Metil ester selanjutnya dicuci dan dikeringkan masing-masing menggunakan washing colum dan dying vacum. Simulasi produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan program HYSYS dilengkapi dengan neraca massa dan neraca energi yang ditampilkan dibawah plug flow diagram (PFD). Neraca massa yang ditampilkan pada simulasi proses ini sama dengan sama dengan data pada diagram alir kuantitatif pada bagian

77 154 integrasi proses. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa dari 1000 kg/jam minyak nyamplung yang telah dilakukan degumming dengan komposisi asam lemak bebas sebagai asam oleat 267,6 kg/jam dan trigliserida sebagai triolein 735kg/jam akan dihasilkan biodiesel 885,6 kg/jam. Biodiesel yang dihasilkan dari simulasi HYSYS sedikit lebih tinggi dari pada diagram alir kuantitatif yaitu 869,2 kg/jam karena dalam simulasi ini diasumsikan tidak ada triolein yang hilang selama proses esterifikasi satu dan dua. Keuntungan dari simulasidengan program HYSYS adalah didapatkan kondisi operasi masing-masing reactor dan energi yang dibutuhkannya. Simulasi proses di atas masih terbatas pada proses esterifikasi dan transesterifikasi, oleh karena itu sesuai dengan Seider et al. (1999) bahwa simulasi proses merupakan proses rinci sampai dengan spesifikasi peralatan maka disusun Process Enginering Flow Diagram (PEFD) seperti ditunjukkan pada Gambar 41. Pembuatan PFFD didasarkan pada simulasi HYSYS yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Penyusunan PFFD merupakan tahap awal dari analisis ekonomi sehingga disusun menyeluruh dimulai dari proses penggudangan bahan baku sampai dengan proses penampungan biodiesel dan gliserol. Berdasarkan diagram alir kualitatif dan kuantitatif disusun dari percobaan laboratorium selanjutnya disusun Process Enginering Flow Diagram (PEFD) dilengkapi dengan daftar peralatan yang diperlukan dalam produksi biodiesel.

78 T e m perature P ressu re C a m p Mass Flo w ( O le icacid ) C a m p Mass Flo w ( Metha n o l) Cam p Mass Flo w ( Methy l O le ic ") Cam p Mass Flo w ( H 20) Cam p Mass Flo w ( G lycer o l) Cam p Mass Flo w ( T role in ") Cam p Mass Flo w ( H C I) Cam p Mass Flo w ( N aoh ) C a m p Mass Flo w (Sabun") c k P a kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh S treams O l e ic acid 1 Metha n o l E s t 1 Meth Rcy M ix Meth E s t 1 E s t 1 Liq Fraction U nder Frac E 1 Metha n o l E st. 2 Meth R ec 2 M ix Meth. E s t 2 E st 2 Liq Fractio n T e m perature P ressu re C a m p Mass Flo w ( O le icacid ) C a m p Mass Flo w ( Metha n o l) C a m p Mass Flo w ( Methy l O le ic ") C a m p Mass Flo w ( H 20) C a m p Mass Flo w ( G ly cer o l) C a m p Mass Flo w ( T role in") C a m p Mass Flo w ( H C I) C a m p Mass Flo w ( NaO H ) C a m p Mass Flo w (Sabun") c k P a kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh kglh U pper F rac E 2 Under Frac E 2 Methano l T ran s 1 Meth R ec1 M ix Meth.T r a Tra n s Liq F ractio n Pure Methy l O le ic G lycerol Meth a n o l Gambar 40 Simulasi proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi 155

79 Biodiesel kotor Gliserol, sisa NaOH metanol 156 Gambar 41 Process Engineering Flow Diagram (PEFD) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung. 1. Gudang bahan baku 2. Mesin pengupas kulit 3. Mesin pengering 4. Pengepres dan penyaring 5. Tangki timbun minyak 6. Reaktor degumming 7. Tangki pencampur metanol dan HCl 8. Reaktor esterifikasi 9. Tangki penampung minyak hasil esterifikasi 10. Tangki pencampur metanol dan NaOH 11. Reaktor transesterifikasi 12. Tangki pemisah gliserol dan biodiesel 13. Distilator metanol esterifikasi 14. Distilator metanol transesterifikasi 15. Tangki pencuci dan pengering biodiesel 16. Tangki timbun biodiesel 17. Tangki timbun gliserol 18. Generator 19. Boiler

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 menyatakan bahwa pada tahun 2025 ditargetkan tercapai komposisi sumber energi yang optimal dengan bahan bakar nabati lebih dari 5 %.

Lebih terperinci

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran. rancangan proses rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran. rancangan proses rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji 53 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Perancangan proses dalam penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rancangan proses rinci (detailed design) produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung mengacu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain ketersediaan bahan bakar minyak bumi dalam negeri semakin hari semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml) LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU LA.1 Komposisi Asam Lemak Bahan Baku CPO Hasil Analisis GCMS Dari perhitungan hasil analisis komposisi asam lemak CPO yang ditunjukkan pada Tabel LA.1 diperoleh berat molekul

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN TABEL DATA HASIL PENELITIAN Tabel 1. Perbandingan Persentase Perolehan Rendemen Lipid dari Proses Ekstraksi Metode Soxhlet dan Maserasi Metode Ekstraksi Rendemen Minyak (%) Soxhletasi

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku, Pengepressan Biji Karet dan Biji Jarak Pagar, dan Pemurnian Minyak Biji karet dan biji jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku dikeringanginkan selama 7

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISIS GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Asam Lemak Komposisi Berat (%) Molekul Mol %Mol %Mol x BM Asam Laurat (C 12:0

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI TRIGLISERIDA BAHAN BAKU MINYAK SAWIT MENTAH CPO HASIL ANALISA GC-MS Tabel L1.1 Komposisi Trigliserida CPO Komponen Penyusun Komposisi Berat Mol %Mol %Mol x (%)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISIS GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Dari perhitungan, maka diperoleh berat molekul rata-rata FFA CPO sebesar 272,30

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.8. Latar Belakang Indonesia mulai tahun 2007 dicatat sebagai produsen minyak nabati terbesar di dunia, mengungguli Malaysia, dengan proyeksi produksi minimal 17 juta ton/tahun di areal

Lebih terperinci

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No. 2, Mei 2011 79 Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Wara Dyah Pita Rengga & Wenny Istiani Program Studi Teknik

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Dosen Pembimbing : Dr. Lailatul Qadariyah, ST. MT. Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA. Safetyllah Jatranti 2310100001 Fatih Ridho

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Bahan Baku Sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan cocodiesel, minyak kelapa terlebih dahulu dianalisa. Adapun hasil analisa beberapa karakteristik minyak

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel Institut Pertanian Bogor (IPB) Rekayasa Proses Produksi Biodiesel Berbasis Jarak (Jatropha curcas) Melalui Transesterifikasi In Situ Dr.Ir. Ika Amalia Kartika, MT Dr.Ir. Sri Yuliani, MT Dr.Ir. Danu Ariono

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISA GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Asam Lemak Komposisi Berat (%) Molekul Mol %Mol %Mol x BM Asam Laurat (C 12:0

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah cadangan minyak bumi dunia semakin menipis. Sampai akhir tahun 2013, cadangan minyak bumi dunia tercatat pada nilai 1687,9 miliar barel. Jika tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. JARAK PAGAR Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas L. (Linnaeus). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke daerah tropis. Tanaman ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebutuhan Daya Static Mixing Reactor Alat penelitian dirancang dan dibangun tanpa perhitungan rancangan struktural yang rinci. Meskipun demikian, perhitungan lebih rinci untuk

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISA GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Asam Lemak Asam Laurat (C 12:0 ) Asam Miristat (C 14:0 ) Komposis i (%) 0,05 0,51

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dapat dilaporkan dalam dua analisa, yakni secara kuantitatif dan kualitatif. Data analisa kuantitatif diperoleh dari analisa kandungan gliserol total, gliserol

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Disusun oleh : Dyah Ayu Resti N. Ali Zibbeni 2305 100 023

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU RBDPO HASIL ANALISA GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak RBDPO Asam Lemak Komposisi Berat (%) Molekul Mol %Mol %Mol x BM Asam Laurat (C12:0)

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga, 24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil & Pembahasan 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Biodiesel dari Mikroalga Chlorella sp Pada penelitian ini, digunakan mikroalga Chlorella Sp sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Penelitian ini

Lebih terperinci

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari,Nani Wahyuni Dosen Tetap Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Malang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU LEMAK AYAM HASIL ANALISA GCMS Komposisi asam lemak dari lemak ayam diperlihatkan pada tabel LA.1. Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak Bahan Baku

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROSES TRANSESTERIFIKASI OLEIN MENJADI BIODIESEL Pemilihan proses yang tepat dalam produksi metil ester berbahan baku olein sawit adalah proses transesterifikasi. Proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melihat cadangan sumber minyak bumi nasional semakin menipis, sementara konsumsi energi untuk bahan bakar semakin meningkat. Maka kami melakukan penelitian-penelitian

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP. Laporan Tesis PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED Oleh : Yanatra NRP. 2309201015 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. HM. Rachimoellah, Dipl. EST

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Bahan Baku (Tanah Pemucat Bekas) Sebelum dilakukan proses proses produksi, tanah pemucat bekas atau spent bleaching earth yang digunakan dilakukan analisis

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Merujuk pada hal yang telah dibahas dalam bab I, penelitian ini berbasis pada pembuatan metil ester, yakni reaksi transesterifikasi metanol. Dalam skala laboratorium,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin berkurang. Keadaan ini bisa

Lebih terperinci

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang)

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) atau kaliki (Banten), merupakan salah satu jenis tanaman yang berpotensi

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari tumbuhan. Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati yang biasa digunakan ialah minyak

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK MINYAK JELANTAH Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Jelantah Asam Lemak Komposisi Berat Molekul % x BM (%) (gr/mol) (gr/mol) Asam Laurat (C12:0)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian peralatan proses pembuatan faktis yang terdiri dari kompor listrik,panci, termometer, gelas

Lebih terperinci

Ekstraksi Biji Karet

Ekstraksi Biji Karet Ekstraksi Biji Karet Firdaus Susanto 13096501 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2001 TK-480 PENELITIAN 1 dari 9 BAB I PENDAHULUAN Biji karet berpotensi menjadi

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI BAB 2 DASAR TEORI Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari sumber nabati yang dapat diperbaharui untuk digunakan di mesin diesel. Biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

Lebih terperinci

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET Dwi Ardiana Setyawardhani*), Sperisa Distantina, Hayyu Henfiana, Anita Saktika Dewi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN y BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini, adalah : heksana (Ceih), aquades, Katalis Abu Tandan Sawit (K2CO3) pijar, CH3OH, Na2S203, KMn04/H20,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010 PEMBUATAN BIODIESEL Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu 109096000004 Kelompok : 7 (tujuh) Anggota kelompok : Dita Apriliana Fathonah Nur Anggraini M. Rafi Hudzaifah Tita Lia Purnamasari Tanggal : 27

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

OPTIMASI KOMPOSISI CAMPURAN MINYAK NON-PANGAN UNTUK SINTESIS BIODIESEL DENGAN REACTIVE DISTILLATION MENGGUNAKAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN.

OPTIMASI KOMPOSISI CAMPURAN MINYAK NON-PANGAN UNTUK SINTESIS BIODIESEL DENGAN REACTIVE DISTILLATION MENGGUNAKAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN. OPTIMASI KOMPOSISI CAMPURAN MINYAK NON-PANGAN UNTUK SINTESIS BIODIESEL DENGAN REACTIVE DISTILLATION MENGGUNAKAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN Skripsi Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di Laboratorium Kimia dan Biokimia, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak

Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak Tania Surya Utami, Rita Arbianti, Doddy Nurhasman Departemen Teknik Kimia,Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

Indonesia telah menjadi pengimpor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)

Indonesia telah menjadi pengimpor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biofuel saat ini telah berkembang menjadi salah satu energi alternatif dari bahan bakar fosil. Sebagai salah satu sumber energi terbarukan, biofuel adalah alternatif yang

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.1 ; Juni 2015 PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG Yuli Ristianingsih, Nurul Hidayah

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN PEGUJIAN BIODIESEL MINYAK NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum. L) DENGAN VARIASI JENIS KATALIS MENGGUNAKAN GC-MS

PEMBUATAN DAN PEGUJIAN BIODIESEL MINYAK NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum. L) DENGAN VARIASI JENIS KATALIS MENGGUNAKAN GC-MS PEMBUATAN DAN PEGUJIAN BIODIESEL MINYAK NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum. L) DENGAN VARIASI JENIS KATALIS MENGGUNAKAN GC-MS Diana 1, Prof. Dr. Syamsir Dewang. M.Eng, Sc 2, Bannu, S.Si, M.Si 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF) Oleh : Irma Ayu Ikayulita 2308 030 034 Yudit Ismalasari 2308 030 058 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Soeprijanto,

Lebih terperinci

III. METODA PENELITIAN

III. METODA PENELITIAN III. METODA PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro (BBIA), Jalan Ir. H. Juanda No 11 Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Minyak Goreng Bekas. Minyak goreng bekas yang digunakan dalam penelitian adalah yang berasal dari minyak goreng bekas rumah tangga (MGB 1), minyak goreng

Lebih terperinci