BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR"

Transkripsi

1 BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE) MIA NURATNI YANTI RACHMAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Mia Nuratni YR NRP

3 ABSTRACT MIA NURATNI YANTI RACHMAN. The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG SANTOSO and PUDJIANTO Predatory mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), is a potensial predator of a polyphagous spider mite, Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Research was conducted to study the biological characteristics of N. longispinosus, including the life table, life cycle, fecundity,functional response, numerical response, prey prefference, and the ability of individual predatory mite in suppressing the prey population. The study revealed that the life cycle of N. longispinosus was short, i. e days. The oviposition period was 8.76 days with maximum daily egg production was 4 eggs/female/day when the predatory mite was 6 days old. When fed with T. kanzawai, the intrinsic rate of increase (r m ) of N. longispinosus was 0.44, mean generation time (T) was 4.05 days, and ner reproduction rate (R 0 ) was individuals. Neoseiulus longispinosus showed a type III functional response. Fecundity of N. longispinosus would increase when the prey population increased; so the numerical response of N. longispinosus was direct response. Neoseiulus longispinosus preffered to consume eggs than the other stages of T. kanzawai.

4 RINGKASAN MIA NURATNI YANTI RACHMAN. Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO dan PUDJIANTO. Tetranychus kanzawai Kishida termasuk dalam famili Tetranychidae dan merupakan spesies tungau hama yang sering menimbulkan kerugian secara ekonomis. Salah satu pengendalian tungau hama Tetranychidae adalah pemanfaatan tungau predator. Neoseiulus longispinosus merupakan agen hayati potensial untuk pengendalian tungau Tetranychidae. Tungau predator tersebut adalah predator lokal Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat biologi dan potensi tungau predator N. longispinosus pada tungau hama T. kanzawai. Neraca hayati merupakan salah satu percobaan yang dilakukan untuk mengetahui biologi tungau predator N. longispinosus. Sedangkan potensi predasi diketahui dengan melakukan percobaan tanggap fungsional, tanggap numerik, preferensi mangsa, kemampuan menekan populasi mangsa oleh individu betina, dan potensi pemangsaan predator selama masa perkembangan pradewasa. Data neraca hayati dianalisis dengan rumus parameter demografi. Tanggap fungsional diuji dengan fungsi polinom yang akan membedakan tanggap fungsional tipe II dan III. Sementara parameter lainnya dianalisis menggunakan excel dan SPSS. Hasil analisis data neraca hayati menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih (R o ) sebesar butir telur per generasi. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik r m adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas λ sebesar 1.55 betina/betina/hari. Distribusi sebaran umur N. longispinosus memperlihatkan bahwa sebagian besar populasi sekitar 83.78% merupakan populasi pradewasa dan siasnya 16.22% adalah populasi dewasa. Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa realtif singkat yaitu 3.23 hari. Waktu tersebut merupakan waktu yang paling singkat karena pada umumnya tungau predator Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan selama 4 hari. Masa oviposisi lebih singkat yaitu 8.76 hari namun keperidian yang diperoleh lebih tinggi. Nilai keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah butir telur. N. longispinosus memiliki kurva sintasan tipe I. Hal ini menandakan bahwa tingkat kematian N. longispinosus yang tinggi dialami saat N. longispinosus berumur tua. Mortalitas mulai terjadi saat imago N. longispinosus berumur 2 hari. Masa oviposisi mulai terjadi saat imago N. longispinosus

5 berumur 3 hari. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir. Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa. Sebagian besar imago N. longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T. kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur. N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki tanggap fungsional tipe III. Tanggap fungsional tipe III ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa. Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama sehingga N. longispinosus berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien. Tanggap numerik N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai menunjukkan model respons langsung. Model respons langsung merupakan model yang menunjukkan dimana populasi predator akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mangsa. Kemampuan individu imago betina tungau predator N. longispinosus menekan populasi tungau hama T. kanzawai selama 3 hari dengan kepadatan awal mangsa yang berbeda (4, 8, 16, 32 ekor imago betina) diuji di laboratorium. Jumlah predator pada hari terakhir pengamatan tidak berbeda nyata antar kepadatan. Jumlah mangsa terbanyak dijumpai pada kepadatan awal 32 ekor mangsa.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE) MIA NURATNI YANTI RACHMAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Judul Tesis : Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) Nama : Mia Nuratni Yanti Rachman NRP : A Program Studi : Entomologi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr. Ketua anggota Dr. Ir. Pudjianto, MSi Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Pudjianto, MSi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi selaku pembimbing. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Wawan, teman-teman Entomologi 2008 (Yani, bang Dedi, kak Kiki, pak Umbu, mbak Nella, mbak Rika, pak Gatot, pak Aser), Nia, Putri, dan teman-teman Wisma Bintang (Nahrin dkk) yang membantu penulisan tesis baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Papa, Mama, suami serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas beasiswa pascasarjana yang diperoleh. Bogor, Juli 2011 Mia Nuratni YR

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 23 September 1982 dari ayah H. Taufik Rachman dan ibu Hj. Fatmah AF. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2006, penulis menamatkan sarjana. Sebelumnya penulis bekerja sebagai guru freelance di sebuah bimbingan belajar dan membantu proyek Departemen Proteksi Tanaman. Kesempatan untuk melanjutkan ke program pascasarjana diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Republik Indonesia.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. PENDAHULUAN... 1 Halaman Latar belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Tungau Merah Tetranychus kanzawai... 3 Karakter Morfologi... 3 Bioekologi... 3 Tungau Predator Famili Phytoseiidae... 4 Tungau Predator Neoseiulus longispinosus... 6 Karakter Morfologi... 6 Bioekologi... 8 Neraca Hayati.. 9 Tanggap Fungsional. 10 Tanggap Fungsional Tipe I Tanggap Fungsional Tipe II Tanggap Fungsional Tipe III Tanggap Numerik 13 Preferensi Mangsa 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Pemeliharaan Tungau Neraca Hayati Tungau Predator N.longispinosus Preferensi Mangsa Tanggap Fungsional 20 Tanggap Numerik 21 Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Hayati Siklus Hidup dan Perkembangan Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian Preferensi Stadia Mangsa Tanggap Fungsional Tanggap Numerik i ii

12 Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Betina Predator N.longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai 36 PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 45

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Statistik demografi N. longispinosus Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa T. kanzawai yang mangsa N. longispinosus Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa yang dimangsa N.longispinosus Rataan predasi, produksi telur predator dan ratio predator:mangsa Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatandi laboratorium Jumlah kumulatif stadia predator yang ditemukan padahariterakhirpengamatan... 39

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tetranychus kanzawai Bagian dorsal Phytoseiidae Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus Tipe pola kawin N.longispinosus 8 5. N. longispinosus Grafik tanggap fungsional tipe I Grafik tanggap fungsional tipe II Grafik tanggap fungsional tipe III Potongan daun ubi kayu Sintasan dan rata-rata jumlah telur harian tungau predator Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam Kurva tanggap fungsional Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus Laju rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa berbeda Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator Populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator. 37

15 PENDAHULUAN Latar belakang Salah satu famili tungau yang menjadi pusat perhatian dalam pertanian adalah Tetranychidae. Sebagian besar spesies famili Tetranychidae merupakan hama yang bersifat polifag (Kalshoven 1981; Walter & Proctor 1999; Zhang 2003). Tetranychus kanzawai Kishida merupakan salah satu spesies famili Tetranychidae yang sangat merusak dan bersifat kosmopolit (Walter & Proctor 1999; Zhang 2003; Kasap 2005). Tungau ini dapat dijumpai di berbagai belahan dunia dan menyerang lebih dari 100 spesies tanaman termasuk tanaman pertanian dan tanaman hias (Zhang 2003). Tanaman yang terinfestasi T. kanzawai akan memiliki gejala seperti berikut: permukaan bawah daun berwarna perak kekuningan sampai kecoklatan, jaring-jaring menutupi daun dan batang serta kering dan mati bila populasi tungau sangat padat (Zhang 2003). Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh T. kanzawai. Pengendalian hayati menggunakan musuh alami T. kanzawai seperti tungau predator dari famili Phytoseiidae, sudah dilakukan di beberapa Negara. Beberapa tungau predator bahkan telah dibiakkan secara komersial (Driesche & Bellows 1996; Zhang 2003). Phytoseiulus persimilis dan Amblyseius californicus merupakan contoh spesies yang telah diproduksi secara komersial (Luz 2003; Cakmak et al. 2004). Di Indonesia, Yulianah (2008) melaporkan adanya tungau predator yang berasosiasi dengan T. kanzawai pada tanaman stroberi di Cisarua dan Lembang. Tungau predator yang ditemukan oleh Yulianah (2008) termasuk famili Phytoseiidae, spesies Amblyseius longispinosus. Neoseiulus (Amblyseius) longispinosus merupakan tungau predator lokal Indonesia. Tungau predator ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1952, dan dilaporkan berasosiasi dengan Tetranychus bimaculatus pada tanaman ubi kayu (Evans 1952). N. longispinosus mudah dijumpai pada tanaman yang terinfestasi tungau Tetranychidae. Hal tersebut berkaitan dengan preferensi mangsa dan tipe predator N. longispinosus yang termasuk dalam tipe predator II, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae (Zhang 2003;

16 Kongchuensin et al. 2006). Kelimpahan N. longispinosus relatif tinggi berkaitan dengan karakter spesies ini yang dapat digunakan sebagai agens hayati tungau Tetranychidae. Oleh karena itu, potensi N. longispinosus sebagai agens hayati tungau Tetranychidae di Indonesia relatif tinggi. Beberapa negara di Asia seperti Thailand, Philipina dan Taiwan telah mempelajari dan memanfaatkan N. longispinosus sebagai agens hayati pengendalian tungau. Sebaliknya, pengetahuan biologi dan ekologi tentang N. longispinosus di Indonesia masih minim, padahal peluang penggunaan N. longispinosus sebagai agens hayati cukup tinggi. Oleh karena itu, faktor-faktor yang berkaitan dengan bioekologi predator ini perlu dipelajari untuk mengetahui potensi tungau predator N. longispinosus dalam pengendalian tungau T. kanzawai di Indonesia. Tujuan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tungau predator N. longispinosus yang meliputi neraca hayati, lama hidup, dan fekunditas; (2) preferensi mangsa; (3) tanggap fungsional; (4) tanggap numerik tungau predator; dan (5) kemampuan individu imago betina N. longispinosus dalam menekan populasi hama T. kanzawai.

17 TINJAUAN PUSTAKA Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar µm dan jantan dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003). a b Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002) Bioekologi T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang (Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini. Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga

18 dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti anggur, stroberi, dan lain-lain. Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering. Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman. Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar hari pada suhu C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai 1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago betina dapat bertelur sebanyak butir pada kisaran suhu C (Zhang 2003). Tungau Predator Famili Phytoseiidae Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae. Selain memakan tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil yang berada di tanaman. Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora cendawan, polen, dan eksudat tanaman. Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening. Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar %, dibutuhkan untuk penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva

19 beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya. Pada umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk perkembangannya. Beberapa spesies Phytoseiulus bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari. Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999). Oleh karena itu, kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah 1:3 (Zhang 2003). Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal. Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau. Beberapa peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar 2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta. Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002; Zhang 2003, Nachappa 2008 ). Gambar 2 Bagian dorsal Phytoseiidae (Zhang 2003)

20 Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Karakter Morfologi N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N. longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur seta lebih halus dan panjang pada seta S5. Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna putih bening. Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam. Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini, predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003). Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan dan betina terletak pada bagian genitalia. Tungau jantan memiliki kaliks spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina.

21 Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang 2003) Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada. Vantornhout (2006) menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar 4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara perlahan di bawah tungau betina.

22 Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006) Bioekologi Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al. (2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia (Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). N. longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al. 2005).

23 Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi) N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii, Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003; Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008). Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 C. Penelitian Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N. longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan siklus hidup tungau Tetranychidae. Neraca Hayati Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997). Lincoln et al. (1982) mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan statistik. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi suatu organisme.

24 Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0 (angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995). Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik waktu (Bellows & Van Driesche 1992). Neraca hayati horizontal meliputi penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal. Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (R o ), waktu generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT) (Rauf dan Hidayat 1987). Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ m x ). Laju reproduktif bersih (R o ) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari (Escudero LA & Ferragut F. 2005; Vasconcelos et al. 2008).

25 Tanggap Fungsional Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi predator-mangsa. Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator. Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984). Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi. Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch 1975 dalam Wang & Ferro 1998). Tanggap fungsional menggambarkan hubungan antara jumlah mangsa/inang yang dikonsumsi/diparasit per predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight 1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III). Tanggap Fungsional Tipe I Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier. Hal ini menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang. Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti labalaba.

26 Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B (Vantornhout 2006) Tanggap Fungsional Tipe II Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik. Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang hiperbolik. Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau parasitoid. Gambar 7 Grafik tanggap fungsional tipe II. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D (Vantornhout 2006)

27 Tanggap Fungsional Tipe III Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada kepadatan mangsa tinggi. Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi. Sebagian besar proses menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya. Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan mangsa yang seimbang. Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984). Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies (Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002). Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan. Gambar 8 Grafik tanggap fungsional tipe III. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar E; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar F (Vantornhout 2006)

28 Tanggap Numerik Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap generasi berikutnya. Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik. Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi predator karena peningkatan reproduksi (Ro). Waktu generasi (Ro) predator umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa. Hal tersebut menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang waktu (lag). Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan reproduksi predator. Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut. Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber daya makanan.

29 Preferensi Mangsa Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup. Keberadaan jumlah makanan akan mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup. Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator. Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa. Berdasarkan preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003), yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2) tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae, terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus (McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen, dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4) predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).

30 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2010 di Laboratorium Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Asal Tungau Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus diperoleh dari tanaman ubi kayu di daerah Dramaga, dan dibiakkan di laboratorium dalam suatu arena. Arena Percobaan Arena percobaan berupa petri dish berdiameter 8 cm. Busa (diameter ± 7 cm) diletakkan dalam arena lalu kapas diletakkan di atas busa dan diberikan air hingga jenuh. Setelah itu, potongan daun ubi kayu yang berukuran 3 cm x 3 cm diletakkan di atas kapas. Air ditambahkan pada arena percobaan apabila kapas atau busa mulai terlihat kering. Potongan daun ubi kayu dalam arena percobaan diganti setiap 3 hari. Gambar 9 Potongan daun ubi kayu Pemeliharaan Tungau Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus dipelihara dalam laboratorium dengan suhu C dan RH 60-70%, menggunakan potongan daun ubi kayu dan arena percobaan.

31 Neraca Hayati Tungau Predator N. longispinosus Percobaan neraca hayati bertujuan untuk mengetahui parameter demografi, siklus hidup, perkembangan, sintasan dan sebaran umur tungau predator N. longispinosus. Seratus telur predator ditempatkan secara individual pada arena percobaan yang baru. Semua telur predator yang digunakan berasal dari umur yang sama. Satu hari sebelum perlakuan, tiga ekor tungau betina T. kanzawai juga ditempatkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan bertelur. Telurtelur yang dihasilkan dijadikan mangsa bagi predator dalam arena percobaan. Metode pengamatan terbagi menjadi dua tahap yaitu stadia pradewasa dan dewasa. Pada stadia pradewasa, pengamatan dilakukan setiap 6 jam untuk melihat lama pergantian stadia dan jumlah predator yang masih hidup. Pengamatan pada stadia dewasa dilakukan setiap 24 jam. Tungau dewasa jantan dan betina dipasangkan. Setelah itu, pengamatan dilakukan dengan melihat parameter seperti fekunditas, lama hidup, masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Selama pengamatan berlangsung, tungau predator diberi mangsa berbagai stadia tungau hama yang berlimpah. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari. Analisis data neraca hayati tipe kohort menggunakan tabel kehidupan dan grafik klasifikasi kurva keberhasilan hidup. Data biologi dianalisis menggunakan excel. Perumusan neraca hayati merupakan langkah pertama dalam menghitung laju pertambahan intrinsik (r). Perhitungan parameter r didasarkan hanya pada populasi betina, dan diasumsikan bahwa jantan cukup tersedia di sekitarnya. Beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah sebagai berikut (Tarumingkeng 1992): 1. x adalah kelas umur kohort (hari); 2. a x adalah jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan; 3. l x adalah proporsi individu yang hidup pada umur x (l : living, l x = a x /a 0 ); 4. d x adalah jumlah individu yang mati di setiap kelas umur (d. : death, d x = l x l x+1 ); 5. q x adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (q x = d x /a x ); 6. L x merupakan jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya, x+1 [L x = (l x + l x+1 )/2)];

32 7. T x adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0 w (x = w adalah kelas umur terakhir) ( );, T 1 = T 0 L 0, T 2 = T 1 L 1, T x = T x-1 L x-1 ; 8. e x adalah harapan hidup individu pada setiap kelas umur x (e x = T x /l x ); 9. m x adalah keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur x atau jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x; 10. l x m x adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x, l x m x merupakan proporsi banyaknya anak (betina) dilahirkan oleh semua individu (betina) sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R 0 ); 11. xl x m x adalah perkalian x, l x, dan m x untuk setiap kelas umur x yang digunakan untuk mengaproksimasi lamanya generasi (T c ); 12. p x (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur x dan mencapai kelas umur x + 1 (p x = L x+1 /L x ). Parameter ini digunakan dalam matriks proyeksi Leslie untuk memprediksi pertumbuhan populasi secara diskrit. Dari data neraca hayati tersebut perhitungan dilanjutkan untuk menentukan parameter-parameter demografi lainnya (Price 1997) seperti: 1. Laju reproduksi kotor (GRR) = m x 2. Laju reproduksi bersih (R o ) = l x m x 3. Waktu generasi (T c ) = x l x m x / l x m x 4. Laju pertambahan intrinsik = Log e R 0 /T c Preferensi Tungau Predator terhadap Mangsa Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui preferensi mangsa tungau predator N. longispinosus pada tingkat stadia (telur, nimfa, dan imago) tungau hama T. kanzawai. Stadia mangsa yang digunakan dalam percobaan adalah telur, nimfa, dan imago T. kanzawai. Jumlah telur, nimfa, dan imago yang digunakan berbeda berturut-turut 25 butir, 10 ekor dan 5 ekor. Perbedaan jumlah tersebut didasarkan pada jumlah maksimum pada uji tanggap fungsional. Perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Tungau predator yang digunakan berumur sama yaitu imago berumur 2 hari. Tungau predator diletakkan secara individu dalam arena percobaan. Arena

33 percobaan dimodifikasi dalam percobaan preferensi mangsa. Tiga potongan daun ubi kayu berukuran 1.5 cm x 1.5 cm diletakkan dalam satu arena percobaan. Setiap helai daun berisi mangsa (telur, nimfa dan imago) yang berbeda dengan jumlah mangsa yang sama. Jarak antar daun berkisar cm. Penghubung antar daun digunakan jembatan parafilm selebar 2 mm dan berbentuk T. Tungau predator diletakkan di tengah jembatan. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit selama 3 jam dengan menghitung jumlah mangsa dan keberadaan tungau predator pada tiap helai daun dalam arena percobaan. Data percobaan preferensi mangsa dianalisis menggunakan excel dengan melihat keberadaaan imago N. longispinosus pada arena percobaan setiap 30 menit selama 3 jam. Tanggap Fungsional Percobaan tanggap fungsional merupakan percobaan yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat predasi tungau predator N. longispinosus dengan tingkat kepadatan tungau hama T. kanzawai. Mangsa yang digunakan dalam percobaan ini adalah stadia telur. Kepadatan telur yang digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir telur. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Percobaan tanggap fungsional menggunakan arena percobaan seperti pada percobaan neraca hayati. Imago T. kanzawai dimasukkan dalam arena percobaan tersebut dan dibiarkan selama 24 jam agar bertelur dan telur-telur tersebut yang digunakan dalam uji tanggap fungsional. Predator yang digunakan berasal dari stadia imago yang berumur 2 hari. Predator-predator tersebut dipuasakan selama 8 jam secara individu. Pemuasaan tersebut bertujuan agar pencernaan setiap predator dalam kondisi yang sama saat dilakukan perlakuan. Setelah 8 jam, predator tersebut dimasukkan dalam arena percobaan yang berisi telur dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, telur-telur yang tersisa dihitung. Tipe tanggap fungsional diketahui dengan menggunakan regresi logistik. Regresi logistik berasal dari proporsi mangsa yang diserang (Ne/No) sebagai suatu fungsi dari kepadatan mangsa yang tersedia (No). Data tanggap fungsional

34 diuji sesuai pada fungsi polinom yang menggambarkan hubungan Ne/No dan No sebagai berikut: = Keterangan: P 0 = titik potong P 1 = koefisien linear P 2 = koefisien kuadratik P 3 = koefisien kubik Pendugaan parameter (P) dilakukan dengan prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1989). Tanggap fungsional tipe II akan digambarkan dengan nilai P 1 yang lebih kecil dari 0 atau negatif (P 1 < 0). Tanggap fungsional tipe III akan ditunjukkan dengan nilai P 1 yang positif (P 1 > 0) namun P 2 bernilai negatif (P 2 < 0). Pada tanggap fungsional tipe II dan III terdapat waktu penanganan mangsa (Th) dan laju pencarian mangsa (a). Pendugaan Th dan a didapatkan dari persamaan cakram Holing untuk tanggap fungsional tipe II dan persamaan Hassel untuk tanggap fungsional tipe III (Hassel 1978). Tanggap Numerik Percobaan tanggap numerik dilakukan hampir sama dengan percobaan tanggap fungsional, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan populasi predator dengan tingkat kepadatan hama. Kepadatan telur yang digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Beberapa imago T. kanzawai dimasukkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan selama 24 jam. Telur-telur yang dihasilkan dihitung untuk digunakan dalam percobaan tanggap numerik dan imago dipindahkan dari arena percobaan. Predator yang digunakan adalah stadia imago yang berumur 2 hari. Setelah 24 jam, pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur predator yang dihasilkan dalam arena percobaan.

35 Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator Percobaan ini bertujuan mengetahui kemampuan individu tungau predator menekan populasi mangsa dengan kepadatan mangsa yang berbeda. Kepadatan imago mangsa yang digunakan sebagai berikut: 4, 8, 16 dan 32 ekor. Imagoimago mangsa dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, seekor N. longispinosus betina berumur 5-6 hari dimasukkan dalam arena percobaan yang telah berisi mangsa. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah semua stadia predator dan mangsa yang ada dalam arena percobaan. Pengamatan berlangsung selama 3 hari. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan kontrol (tanpa predator) hanya diulang sebanyak 3 kali dan pengamatan berlansung selama 96 jam.

36 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Hayati N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih (R o ) sebesar butir telur per generasi pada tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik r m adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas (λ) sebesar 1.55 betina/betina/hari. Nilai laju pertambahan intrinsik r m tungau predator N. longispinosus adalah 0.44 betina/betina/hari. Nilai r m tersebut lebih tinggi dibandingkan r m Tetranychidae. Nilai r m Tetranychidae memiliki kisaran (Wrensch 1979; Razmjou et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa populasi tungau predator N. longispinosus berkembang lebih cepat dibandingkan tungau Tetranychidae. Oleh karena itu, N. longispinosus cenderung memiliki potensi tinggi sebagai musuh alami dalam pengendalian tungau Tetranychidae. Nilai r m diperoleh dari persamaan Σe -rx l x m x = 1 (Carey 1993). GRR dan R o menunjukkan tingkat reproduksi N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai. Nilai GRR adalah individu, yang menunjukkan ratarata jumlah keturunan betina per generasi. Ro bernilai individu, menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Nilai GRR dan Ro N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai lebih tinggi dibandingkan dengan mangsa lain (Puspitarini 2005; Thongtab et al 2002). Jumlah keturunan betina yang relatif tinggi berimplikasi pada jumlah telur yang dihasilkan dalam suatu populasi. Birch (1948) menyatakan bahwa makin besar jumlah telur yang dihasilkan maka makin besar nilai laju pertambahan intrinsik suatu organisme. Krebs (1978) menambahkan bahwa makin cepat tercapainya puncak reproduksi maka makin besar nilai r suatu spesies. Nilai r dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu reproduksi pada umur muda, jumlah telur yang dihasilkan setiap bertelur, dan meningkatnya ulangan peneluran yang berarti terjadi peningkatan panjang umur (Krebs 1978).

37 Perkembangan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari (λ) dapat dilihat pada tabel 1. λ sering juga disebut sebagai laju pertambahan terbatas, yang memiliki arti nilai perkembangan tungau predator pada lingkungan yang terbatas. Nilai λ = 1.55 per satuan hari, yang berarti bahwa perkembangan setiap individu pada setiap generasi menjadi satu individu pada keadaan lingkungan yang terbatas (Tarumingkeng 1992). Bila nilai λ > 1 maka terjadi pertambahan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari. T dan DT merupakan parameter statistik demografi yang berkaitan dengan waktu. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup N. longispinosus per generasi (T) adalah 4.05 hari. Nilai T yang hampir sama juga ditunjukkan pada penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2002). Doubling time (DT) memiliki nilai sebesar hari, yang mengisyaratkan kemampuan N. longispinosus berkembang dalam satu generasi. Tabel 1 Statistik demografi N. longispinosus Parameter demografi Nilai Satuan GRR Individu R o Individu/induk/generasi r m 0.44 Individu/induk/hari T 4.05 Hari λ 1.55 Hari DT 1.59 Hari Pendugaan kelimpahan populasi suatu serangga merupakan implikasi praktis dari sebaran umur stabil terutama serangga yang memiliki stadia pradewasa yang tidak terlihat atau tersembunyi (Birch 1948). Selain itu, sebaran umur stabil suatu populasi juga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah pertambahan populasi. Distribusi sebaran umur N. longispinosus pada percobaan ini menunjukkan bahwa 83.78% populasi pradewasa dan sisanya 16.22% merupakan populasi dewasa (tabel 2). Proporsi telur memiliki nilai paling tinggi di antara populasi pradewasa. Nilai proporsi telur adalah %. Deutonimfa memiliki nilai proporsi paling kecil dalam populasi pradewasa.

38 Asumsi yang dihasilkan dari data distribusi sebaran umur N. longispinosus menunjukkan bahwa sebagian besar populasi N. longispinosus didominasi oleh populasi pradewasa. Implikasinya pada penarikan contoh di lapangan adalah jumlah imago N. longispinosus di lapangan yang relatif rendah tidak menggambarkan jumlah populasi N. longispinosus yang sebenarnya. Populasi pradewasa juga mempengaruhi jumlah populasi yang sebenarnya. Populasi telur N. longispinosus yang terkadang tersembunyi memiliki proporsi yang relatif besar dalam menentukan keadaan populasi N. longispinosus. Percobaan ini dilakukan dalam skala laboratorium maka faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi populasi dalam lingkungan yang alami tidak diperhitungkan. Tabel 2 Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil Pradewasa Telur Fase perkembangan (stadia) Proporsi (%) Larva Protonimfa Deutonimfa 9.37 Dewasa Siklus Hidup dan Perkembangan Siklus hidup N longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan dewasa yang ditunjukkan pada Tabel 3. N. longispinosus meletakkan telur secara acak pada permukaan bawah daun ubi kayu. Telur berbentuk oval dan berwarna putih transparan. Croft et al. (1999) menyatakan bahwa ukuran telur 13 tungau Phytoseiidae yang diteliti, memiliki kisaran panjang bervariasi dari µm dan Phytoseiulus persimilis memiliki ukuran telur yang paling besar. Puspitarini (2005) menunjukkan bahwa telur N. longispinosus yang dibiakkan pada Panonychus citri memiliki panjang berkisar µm dan lebar µm. Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran telur N.

Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)

Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002) TINJAUAN PUSTAKA Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan

Lebih terperinci

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI Oleh: NURFITRI YULIANAH A44103045 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NURFITRI YULIANAH. Tungau pada Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA

PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI Oleh : Mia Nuratni Yanti Rachman A44101051 PROGRAM STUDI HAMA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jalan Enggano No. 17, Jakarta Utara

Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jalan Enggano No. 17, Jakarta Utara Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 November 2016, Vol. 13 No. 3, 165 172 Online version: http://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.13.3.165 Tingkat pemangsaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Insektarium Balai Penelitian Marihat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di atas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis ABSTRAK

KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis ABSTRAK KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis Bambang Heru Budianto Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Email :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Populasi Rhopalosiphum maidis Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kutu daun R. maidis mulai menyerang tanaman jagung dan membentuk koloni sejak tanaman berumur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., April 2011, Vol. 8, No. 1, 8-16 Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) AMANDA MAWAN*

Lebih terperinci

KELIMPAHAN, BIOLOGI, DAN KEMAMPUAN PEMANGSAAN Oligota sp. (COLEOPTERA: STAPHYLINIDAE), KUMBANG PREDATOR TUNGAU PADA TANAMAN UBIKAYU

KELIMPAHAN, BIOLOGI, DAN KEMAMPUAN PEMANGSAAN Oligota sp. (COLEOPTERA: STAPHYLINIDAE), KUMBANG PREDATOR TUNGAU PADA TANAMAN UBIKAYU KELIMPAHAN, BIOLOGI, DAN KEMAMPUAN PEMANGSAAN Oligota sp. (COLEOPTERA: STAPHYLINIDAE), KUMBANG PREDATOR TUNGAU PADA TANAMAN UBIKAYU WIDYANTORO CAHYO SETYAWAN DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

Endang Sulismini A

Endang Sulismini A Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung

Lebih terperinci

RINGKASAN DAN SUMMARY

RINGKASAN DAN SUMMARY A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN DAN SUMMARY Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia diinfansi oleh tiga hama eksotik yang tergolong Genus Liriomyza (Diptera: Agromyzidae).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 5. Bioekologi 5.1. Gerak (movement) Nematoda seringkali disebut sebagai aquatic animal, karena pada dasarnya untuk keperluan gerak sangat tergantung adanya film air. Film air bagi nematoda tidak saja berfungsi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas)

Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas) Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 April 214, Vol. 11, No. 1, 34 42 Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi DOI: 1.5994/jei.11.1.34 Biologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID

BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID Abstrak Perdagangan kumbang lucanid di Gunung Salak merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan kumbang lucanid dan penurunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT

(HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT TANGGAP FUNGSIONAL PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis REUTER (HEMIPTERA: MIRIDAE) TERHADAP HAMA WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens STÅL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE) RITA OKTARINA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Morfologi Predator S. annulicornis Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat 1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 005 Februari 006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens), biasa disebut hama WBC. Hama ini merupakan hama umum tanaman padi di Indonesia, yaitu sudah lebih dari 80 tahun menjadi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting bagi penduduk Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa kedelai merupakan sumber

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA

KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA KEBUGARAN PREDATOR Cyrtorhinus lividipennis (HEMIPTERA: MIRIDAE) PADA BERBAGAI VARIETAS INANG PADI, ASAL POPULASI LABORATORIUM DAN LAPANG FITRINNISYA PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitoid yang ditemukan di Lapang Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System) Sistem Populasi Hama Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Sistem Kehidupan (Life System) Populasi hama berinteraksi dengan ekosistem disekitarnya Konsep sistem kehidupan (Clark et al.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

Bab III. Hasil dan Pembahasan

Bab III. Hasil dan Pembahasan Bab III Hasil dan Pembahasan Bab 3 menguraikan formulasi model siklus hidup nyamuk Aedes aegypti, pengolahan dan analisis data serta model regresi data telur nyamuk hasil pengamatan 3.1 Siklus Hidup Nyamuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

BIOLOGI DAN KELIMPAHAN POPULASI TUNGAU MERAH Tetranychus kanzawai (ACARI : TETRANYCHIDAE) PADA DUA KULTIVAR JARAK PAGAR (Jatropha curcas)

BIOLOGI DAN KELIMPAHAN POPULASI TUNGAU MERAH Tetranychus kanzawai (ACARI : TETRANYCHIDAE) PADA DUA KULTIVAR JARAK PAGAR (Jatropha curcas) BIOLOGI DAN KELIMPAHAN POPULASI TUNGAU MERAH Tetranychus kanzawai (ACARI : TETRANYCHIDAE) PADA DUA KULTIVAR JARAK PAGAR (Jatropha curcas) NELLY MASTINA GULTOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL DINAMIKA POPULASI LOTKA DENGAN LAJU KELAHIRAN DAN KEMATIAN TIDAK KONSTAN UNTUK DATA INDONESIA SUSIATI NASIKIN

APLIKASI MODEL DINAMIKA POPULASI LOTKA DENGAN LAJU KELAHIRAN DAN KEMATIAN TIDAK KONSTAN UNTUK DATA INDONESIA SUSIATI NASIKIN APLIKASI MODEL DINAMIKA POPULASI LOTKA DENGAN LAJU KELAHIRAN DAN KEMATIAN TIDAK KONSTAN UNTUK DATA INDONESIA SUSIATI NASIKIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator

VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas 6 komponen pengendalian yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

DAYA PREDASI Sycanus croceovittatus (Hemiptera: Reduviidae) TERHADAP ULAT API Setothosea asigna PADA TANAMAN KELAPA SAWIT DI INSEKTARIUM OLEH:

DAYA PREDASI Sycanus croceovittatus (Hemiptera: Reduviidae) TERHADAP ULAT API Setothosea asigna PADA TANAMAN KELAPA SAWIT DI INSEKTARIUM OLEH: DAYA PREDASI Sycanus croceovittatus (Hemiptera: Reduviidae) TERHADAP ULAT API Setothosea asigna PADA TANAMAN KELAPA SAWIT DI INSEKTARIUM SKRIPSI OLEH: NENA CHRISTA DAELI 050302006 DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman mangga (Mangifera indica L.) adalah tanaman asli India yang sekarang ini sudah banyak dikembangkan di Negara Indonesia. Pengembangan tanaman mangga yang cukup

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

Aplikasi Metode Reduksi Graf pada Model Pertumbuhan Populasi Kutu Daun (Pea Afid)

Aplikasi Metode Reduksi Graf pada Model Pertumbuhan Populasi Kutu Daun (Pea Afid) Aplikasi Metode Reduksi Graf pada Model Pertumbuhan Populasi Kutu Daun (Pea Afid) Efendi, Ika Nurhayati 2,2) Jurusan Matematika, Universitas Andalas, Padang, Indonesia ) efendi@fmipa.unand.ac.id Abstrak

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BIOLOGI DAN DEMOGRAFI TUNGAU MERAH Tetranychus spp. (Acari: Tetranychidae) PADA TANAMAN KEDELAI

BIOLOGI DAN DEMOGRAFI TUNGAU MERAH Tetranychus spp. (Acari: Tetranychidae) PADA TANAMAN KEDELAI BIOLOGI DAN DEMOGRAFI TUNGAU MERAH Tetranychus spp. (Acari: Tetranychidae) PADA TANAMAN KEDELAI BIOLOGY AND DEMOGRAPHY OF RED SPIDER MITE Tetranychus spp. ( Acari: Tetranychidae) ON SOYBEAN J.M.E. Mamahit

Lebih terperinci

PENGARUH KERAPATAN PREDATOR TERHADAP PEMANGSAAN LARVA Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) Oleh: Triana Aprilizah A

PENGARUH KERAPATAN PREDATOR TERHADAP PEMANGSAAN LARVA Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) Oleh: Triana Aprilizah A PENGARUH KERAPATAN PREDATOR TERHADAP PEMANGSAAN LARVA Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) Oleh: Triana Aprilizah A44101017 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU

SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU Spodoptera pectinicornis (Hampson) (Lepidoptera: Noctuidae) SEBAGAI AGENS HAYATI KAYU APU (Pistia stratiotes L.): KAJIAN HIDUP, KEMAMPUAN MERUSAK DAN KISARAN INANG LYSWIANA APHRODYANTI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DALAM...

DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... ii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv RINGKASAN... v HALAMAN PERSETUJUAN... vii TIM PENGUJI... viii RIWAYAT HIDUP... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR

Lebih terperinci

PRAKATA. Purwokerto, Agustus Penulis. iii

PRAKATA. Purwokerto, Agustus Penulis. iii PRAKATA Skripsi ini ditulis guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana sains pasa Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Penulis mengambil topik tentang karakteristik predasi tungau Amblyseius

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma Hasil analisis varians menunjukkan bahwa umur tanaman kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi peletakan telur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan,

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, predasi, kompetisi, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dll., dan faktor intrinsik meliputi

Lebih terperinci