Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar µm dan jantan dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003). a b Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002) Bioekologi T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang (Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini. Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga

2 dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti anggur, stroberi, dan lain-lain. Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering. Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman. Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar hari pada suhu C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai 1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago betina dapat bertelur sebanyak butir pada kisaran suhu C (Zhang 2003). Tungau Predator Famili Phytoseiidae Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae. Selain memakan tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil yang berada di tanaman. Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora cendawan, polen, dan eksudat tanaman. Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening. Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar %, dibutuhkan untuk penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva

3 beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya. Pada umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk perkembangannya. Beberapa spesies Phytoseiulus bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari. Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999). Oleh karena itu, kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah 1:3 (Zhang 2003). Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal. Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau. Beberapa peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar 2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta. Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002; Zhang 2003, Nachappa 2008 ). Gambar 2 Bagian dorsal Phytoseiidae (Zhang 2003)

4 Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Karakter Morfologi N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N. longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur seta lebih halus dan panjang pada seta S5. Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna putih bening. Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam. Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini, predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003). Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan dan betina terletak pada bagian genitalia. Tungau jantan memiliki kaliks spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina.

5 Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang 2003) Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada. Vantornhout (2006) menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar 4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara perlahan di bawah tungau betina.

6 Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006) Bioekologi Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al. (2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia (Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). N. longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al. 2005).

7 Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi) N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii, Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003; Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008). Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 C. Penelitian Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N. longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan siklus hidup tungau Tetranychidae. Neraca Hayati Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997). Lincoln et al. (1982) mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan statistik. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi suatu organisme.

8 Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0 (angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995). Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik waktu (Bellows & Van Driesche 1992). Neraca hayati horizontal meliputi penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal. Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (R o ), waktu generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT) (Rauf dan Hidayat 1987). Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ m x ). Laju reproduktif bersih (R o ) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari (Escudero LA & Ferragut F. 2005; Vasconcelos et al. 2008).

9 Tanggap Fungsional Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi predator-mangsa. Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator. Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984). Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi. Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch 1975 dalam Wang & Ferro 1998). Tanggap fungsional menggambarkan hubungan antara jumlah mangsa/inang yang dikonsumsi/diparasit per predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight 1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III). Tanggap Fungsional Tipe I Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier. Hal ini menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang. Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti labalaba.

10 Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B (Vantornhout 2006) Tanggap Fungsional Tipe II Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik. Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang hiperbolik. Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau parasitoid. Gambar 7 Grafik tanggap fungsional tipe II. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D (Vantornhout 2006)

11 Tanggap Fungsional Tipe III Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada kepadatan mangsa tinggi. Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi. Sebagian besar proses menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya. Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan mangsa yang seimbang. Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984). Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies (Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002). Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan. Gambar 8 Grafik tanggap fungsional tipe III. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar E; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar F (Vantornhout 2006)

12 Tanggap Numerik Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap generasi berikutnya. Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik. Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi predator karena peningkatan reproduksi (Ro). Waktu generasi (Ro) predator umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa. Hal tersebut menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang waktu (lag). Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan reproduksi predator. Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut. Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber daya makanan.

13 Preferensi Mangsa Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup. Keberadaan jumlah makanan akan mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup. Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator. Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa. Berdasarkan preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003), yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2) tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae, terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus (McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen, dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4) predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE) MIA NURATNI YANTI RACHMAN A351080051

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci

Lebih terperinci

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A

TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI. Oleh: NURFITRI YULIANAH A TUNGAU PADA TANAMAN STROBERI Oleh: NURFITRI YULIANAH A44103045 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NURFITRI YULIANAH. Tungau pada Tanaman

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA

PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI EDWIN ISWELLA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Insektarium Balai Penelitian Marihat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Populasi Rhopalosiphum maidis Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kutu daun R. maidis mulai menyerang tanaman jagung dan membentuk koloni sejak tanaman berumur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 5. Bioekologi 5.1. Gerak (movement) Nematoda seringkali disebut sebagai aquatic animal, karena pada dasarnya untuk keperluan gerak sangat tergantung adanya film air. Film air bagi nematoda tidak saja berfungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

RINGKASAN DAN SUMMARY

RINGKASAN DAN SUMMARY A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN DAN SUMMARY Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia diinfansi oleh tiga hama eksotik yang tergolong Genus Liriomyza (Diptera: Agromyzidae).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Morfologi Predator S. annulicornis Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitoid yang ditemukan di Lapang Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan,

BAB I PENDAHULUAN. Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fluktuasi populasi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik meliputi makanan, predasi, kompetisi, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dll., dan faktor intrinsik meliputi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

Hama penghisap daun Aphis craccivora

Hama penghisap daun Aphis craccivora Hama Kacang tanah Hama penghisap daun Aphis craccivora Bioekologi Kecil, lunak, hitam. Sebagian besar tdk bersayap, bila populasi meningkat, sebagian bersayap bening. Imago yg bersayap pindah ke tanaman

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jalan Enggano No. 17, Jakarta Utara

Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jalan Enggano No. 17, Jakarta Utara Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 November 2016, Vol. 13 No. 3, 165 172 Online version: http://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.13.3.165 Tingkat pemangsaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap

I. PENDAHULUAN. dan keanekaragaman agroklimat. Keadaan tersebut menyebabkan hampir setiap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman mangga (Mangifera indica L.) adalah tanaman asli India yang sekarang ini sudah banyak dikembangkan di Negara Indonesia. Pengembangan tanaman mangga yang cukup

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

Permasalahan OPT di Agroekosistem

Permasalahan OPT di Agroekosistem Permasalahan OPT di Agroekosistem Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Konsekuensi Penyederhaan Lingkungan Proses penyederhanaan lingkungan menjadi monokultur pertanian memberi dampak

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator

VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas 6 komponen pengendalian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman perkebunan. Akan tetapi banyak juga diantara serangga-serangga

BAB I PENDAHULUAN. tanaman perkebunan. Akan tetapi banyak juga diantara serangga-serangga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekian banyak hewan ciptaan Allah SWT baru sedikit sekali yang sudah diketahui dan dimanfaatkan dengan baik oleh manusia. Masih banyak lagi hewanhewan yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens), biasa disebut hama WBC. Hama ini merupakan hama umum tanaman padi di Indonesia, yaitu sudah lebih dari 80 tahun menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resistensi Tanaman Terhadap Serangan Hama Ketahanan/resistensi tanaman terhadap hama/penyakit adalah sekelompok faktor yang pada hakekatnya telah terkandung dalam tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh,

PENDAHULUAN. manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh, xi PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan salah satu padian paling penting di dunia untuk dikonsumsi manusia. Di negara-negara Asia yang penduduknya padat, khususnya Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Cina,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas

Lebih terperinci

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat 1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat Wereng coklat, (Nilaparvata lugens Stal) ordo Homoptera famili Delphacidae. Tubuh berwarna coklat kekuningan - coklat tua, berbintik coklat gelap pd

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting bagi penduduk Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa kedelai merupakan sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) Serangga betina yang telah berkopulasi biasanya meletakkan telurnya setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E

KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E KAJIAN NERACA KEHIDUPAN KUMBANG LEMBING (Epilachna dodecastigma Wied) RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System)

Sistem Populasi Hama. Sistem Kehidupan (Life System) Sistem Populasi Hama Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Sistem Kehidupan (Life System) Populasi hama berinteraksi dengan ekosistem disekitarnya Konsep sistem kehidupan (Clark et al.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Kutu Putih Pepaya

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Kutu Putih Pepaya TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Kutu Putih Pepaya Kutu putih papaya (KPP), Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae), merupakan hama yang berasal dari Meksiko.. Daerah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID

BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID BAB V BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI KUMBANG LUCANID Abstrak Perdagangan kumbang lucanid di Gunung Salak merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan kumbang lucanid dan penurunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., April 2011, Vol. 8, No. 1, 8-16 Statistika Demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) AMANDA MAWAN*

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir.

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Subramanyam dan Hagstrum (1996), Hama kumbang bubuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis ABSTRAK

KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis ABSTRAK KARAKTERISTIK PREDASI Amblyseius deleoni DAN Phytoseius sp. RESISTEN SUPRASIDA TERHADAP Brevipalpus phoenicis Bambang Heru Budianto Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Email :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar

Lebih terperinci

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2) CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2) Lektor Kepala/Pembina TK.I. Dosen STPP Yogyakarta. I. PENDAHULUAN Penurunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat

TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat TINJAUAN PUSTAKA Wereng Batang Cokelat Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål adalah serangga yang termasuk dalam Ordo Hemiptera, Subordo Auchenorrhyncha, Superfamili Fulgoroidea, Famili Delphacidae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan Masalah Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat berpotensi dalam perdagangan buah tropik yang menempati urutan kedua terbesar setelah

Lebih terperinci

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Ada empat pendekatan dalam kegiatan pengendalian hayati yaitu introduksi, augmentasi, manipulasi lingkungan dan konservasi (Parella

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan 12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DALAM...

DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... ii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv RINGKASAN... v HALAMAN PERSETUJUAN... vii TIM PENGUJI... viii RIWAYAT HIDUP... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan Indonesia telah disusun sedemikian ketat. Ketatnya aturan karantina tersebut melarang buah-buahan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci