ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN"

Transkripsi

1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISII PENAWARAN TAHUN OLEH DWI WAHYUNI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR 20111

2 RINGKASAN DWI WAHYUNI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun (dibimbing oleh Lukytawati Anggraeni) Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagian penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun dan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat. Pada penelitian ini untuk melihat perkembangan inflasi di Indonesia akan digunakan analisis deskriptif sedangkan analisis ekonometrika digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Analisisi ekonometrika dengan menggunakan data time series akan dianalisis dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena data yang digunakan bersifat stasioner di first differencing dan terkointegrasi. Pemanfaatan VAR/VECM menggunakan uji kausalitas Granger Causality, analisis Impulse Response Functions (IRF) dan analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVDs). Berdasarkan hasil uji kausalitas dapat dilihat bahwa yang menyebabkan inflasi adalah variabel nilai tukar rupiah. Berdasarkan analisis IRF dapat dilihat bahwa ada tiga variabel yang jika terjadi guncangan atau shock maka respon inflasi bersifat positif yaitu variabel inflasi itu sendiri, kurs dan indeks harga komoditi pangan dunia. Respon inflasi bersifat negatif yaitu saat terjadi guncangan pada variabel harga minyak dunia, expected inflation dan upah riil. Berdasarkan hasil dekomposisi varian, dapat disimpulkan bahwa pada bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Namun, mulai bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan. Dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa variabilitas inflasi paling dominan dijelaskan oleh variabel expected inflation, kemudian inflasi itu sendiri, kurs, indeks harga komoditi pangan, harga minyak dunia dan upah riil.

3 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN Oleh DWI WAHYUNI H Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

4 Judul skripsi Nama NRP : ANALISIS FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN : Dwi Wahyuni : H dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Lukytawati Anggraeni, Ph.D NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP Tanggal lulus:

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, November 2011 Dwi Wahyuni H

6 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dwi Wahyuni lahir pada tanggal 20 Desember 1980 di Semarang. Penulis anak kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Djoko Soewardjo dan Sri Tinah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Petompon 3-4 Semarang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 3 Semarang dan lulus pada tahun Setelah tamat SMA, pada tahun 1999, penulis melanjutkan pndidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.St). Setelah menamatkan pendidikan di STIS, penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Bidang Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Data (IPDS) selama 4 tahun. Pada tahun 2007, penulis dipindah tugaskan ke BPS Provinsi DKI Jakarta di bidang IPDS. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerja sama antara BPS dengan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus mengikuti proses alih jenis dan menyusun skripsi pada akhir proses tersebut sebagai syarat memasuki jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun skripsi ini.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spiritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Lukytawati Anggraeni, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Tanti Novianti, M.Si dan Ranti Wiliasih, M.Si, selaku penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun. 3. Rekan-rekan BPS Batch 4 yang telah memberikan banyak saran dan masukan untuk perbaikan skripsi. 4. Keluarga besar di Semarang, Solo dan Blitar serta Suami dan kedua anakku, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. 5. Semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena terbatasnya kemampuan dan waktu penyelesaian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, November 2011 Dwi Wahyuni H

8 viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teori Inflasi Teori Inflasi Sumber Inflasi Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi Hubungan antara Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) dan Inflasi Penghitungan Inflasi di Indonesia Tinjauan Studi Terdahulu Kerangka Pemikiran Operasional III. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Ekonometrika... 30

9 ix Uji Stasionaritas Pemeriksaan Lag Optimal Uji Kointegrasi Metode Vector Auto Regressive (VAR) Metode Vector Error Correction Model (VECM) Pemanfaatan Sistem VAR dan VECM IV. GAMBARAN PEREKONOMIAN INDONESIA Perkembangan Laju Inflasi Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) di Indonesia Perkembangan Upah Buruh di Indonesia Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Hubungannya dengan Komoditi Pangan Indonesia Perkembangan Harga Minyak Dunia V. HASIL DAN PEMBAHASAN MODEL Uji Stasioneritas Uji Lag Optimal Pengujian Stabilitas VAR Analisis Kointegrasi Analisis Kausalitas dengan Granger Causality Analisis Impulse Response Functions (IRF) Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs)... 74

10 x VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 84

11 xi DAFTAR TABEL Nomor Halaman 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya Hasil Uji Root Test Tingkat Level Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing Hasil Uji Stabilitas VAR Hasil Uji Kointegrasi Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test... 66

12 xii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu Demand Pull Inflation Cost Push Inflation Skema Kerangka Pemikiran Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai Tukar yang Diterapkan Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun Upah Buruh Riil Indonesia Tahun Perbandingan IHK dan Indeks Upah Riil Buruh Indeks Harga Komoditi PanganDunia Tahun Perbandingan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bahan Makanan di Indonesia Tahun Perbandingan Inflasi Bahan Makanan dan Inflasi Umum Tahun Harga Minyak Dunia Bulanan Tahun Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh Hasil Forecast Error Variance Decompositions (FEVDs)... 76

13 xiii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Uji Root Test Level Uji Root Test First Differencing Uji Stabilitas VAR Uji Cointegration Test Summary Uji Kointegrasi Run VECM Model 2 Lag 2 Cointegration Impulse Response Functions Uji Granger Causality Uji FEVDs

14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengendalian inflasi penting untuk dilakukan karena didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat 1. Dampak negatif tersebut: Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang terutama orang miskin akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Studi empiris Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan 1 Bank Indonesia Official Website. Pentingnya kestabilan Inflasi.

15 2 tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Inflasi di Indonesia pernah mencapai titik yang tertinggi yaitu pada pertengahan dasawarsa 1960-an dimana terjadi hyper inflasi yang melanda perekonomian nasional dengan laju inflasi mencapai 650 persen. Hal tersebut terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Laju inflasi Indonesia selama tahun menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada periode awal 1998, tingkat inflasi tinggi sebesar 77,63 persen, tingkat inflasi yang tinggi ini karena dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun Selama tahun , tingkat inflasi Indonesia mengalami penurunan dan penurunan yang tertinggi terjadi pada bulan Januari 2000 yaitu sebesar -9,30 persen (BPS, 2000). PERSEN TAHUN Inflasi Sumber : BPS, diolah Gambar 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia menjadi sebuah krisis energi untuk Indonesia. Dimulai tahun 2005 dimana akibat

16 3 kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga secara umum. Laju inflasi selama periode dapat dilihat pada Gambar 1.2. Tingkat inflasi tertinggi terjadi saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yaitu tahun 2005 dan tahun Pada tahun 2005 kenaikan harga BBM mencapai 126 persen dengan menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp per liter. Harga bensin premium naik menjadi Rp per liter dan minyak solar sebesar Rp per liter. Pada tahun 2008 harga BBM jenis premium menjadi Rp per liter, solar menjadi Rp per liter dan minyak tanah menjadi Rp per liter. Laju inflasi pada saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 mencapai 17,11 persen sedangkan untuk tahun 2008 laju inflasi mencapai 11,06% (BPS, Pertamina, ) PERSEN TAHUN Inflasi Sumber : BPS, diolah Gambar 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu World Bank dalam publikasinya menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan dunia telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang semakin

17 4 mengkhawatirkan 2. Krisis pangan yang melanda dunia dimulai tahun di mana berawal dari gagalnya panen yang terjadi di Cina dan Rusia akibat terjadinya bencana banjir dan gelombang panas. Gagalnya panen gandum di Rusia mengakibatkan harga komoditi tersebut naik dan dampaknya secara global akan menaikkan harga pangan dunia. Pada tahun 2008, di beberapa negara seperti Afghanistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Nepal telah terbukti bahwa kenaikan harga pangan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi. Kenaikan harga pangan dunia ini akan berdampak langsung bagi kondisi pangan Indonesia karena tingkat ketergantungan masyarakat masih tinggi khususnya impor bahan pangan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan pangan akan menjadi beban berat bagi rakyat khususnya warga miskin. Hal ini disebabkan pengeluaran maupun kemampuan daya beli keluarga miskin terhadap pangan menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga. Identifikasi penyebab inflasi dari sisi supply (penawaran) atau cost push inflation belum banyak dilakukan. Sebagian penelitian yang menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Di kedua penelitian tersebut ada hasil yang pro kontra dimana menurut Permana, harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sedangkan menurut Babussalam kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Studi 2 Website World Bank.

18 5 Permana menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan ekspektasi adaptif yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam kurun waktu Perumusan Masalah Dari sisi penawaran, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi adalah guncangan penawaran yang bersifat negatif dan kenaikan biaya produksi. Guncangan penawaran yang bersifat negatif ini terjadi akibat bencana alam dan terganggunya distribusi dalam komoditi pangan domestik. Akibat terjadinya gagal panen dan adanya distribusi komoditi pangan yang tidak merata menyebabkan kenaikan harga komoditi pangan domestik. Kenaikan biaya produksi diwakili oleh adanya harga BBM, upah gaji dan exchange rate karena berhubungan dengan harga dari bahan baku produksi yang diimpor dari luar negeri. Krisis energi yang terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis energi dunia membuat harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan. BBM yang merupakan salah satu input dalam proses produksi dan kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan dampaknya akan menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya di pasaran. Kenaikan harga produk di masyarakat cenderung akan mendorong terjadinya inflasi. Nilai tukar rupiah atau exchange rate yang selalu berfluktuatif berpengaruh terhadap biaya produksi karena dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat bahan baku yang diimpor dari negara lain menjadi lebih mahal dan membuat biaya produksi menjadi mahal dan akhirnya mendorong produsen untuk menaikkan harga jual di masyarakat. Keberadaan serikat pekerja yang selalu

19 6 mendorong adanya kenaikan upah yang lebih tinggi sebagai tuntutan dari biaya hidup yang semakin mahal disatu sisi akan membuat biaya produksi naik dan sekali lagi akan membuat kenaikan harga jual produk di masyarakat. Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas maka dalam penelitian ini akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inflasi di Indonesia dari sisi supply atau cost push inflation. Data yang digunakan merupakan data inflasi secara bulanan dari tahun Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain: 1. Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dari sisi penawaran sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian laju inflasi. 2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.

20 7 3. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang inflasi yang terjadi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terutama dari sisi penawaran agregat.

21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kerangka Teori Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar. Khalwaty (2000) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Bank Indonesia, inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang dan jasa masyarakat yang bersifat umum dan terus menerus. Secara teori, pada dasarnya inflasi berkaitan dengan fenomena interaksi antara permintaan dan penawaran. Namun, pada kenyataannya inflasi tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lainnya seperti tata niaga dan kelancaran dalam lalu lintas barang dan jasa serta peranan kebijakan pemerintah.

22 Teori Inflasi Cavanese dalam Atmadja (1999) menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural. Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut : 1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral. 2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. Teori Keynesian Model, dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk

23 10 mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar. Teori Struktural, merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu : 1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode

24 11 dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Adanya structural bottlenecks ini, dapat memperburuk inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negaranegara yang sedang berkembang sering menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor

25 12 keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Berdasarkan pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) menjadi murah, maka volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor Sumber Inflasi Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu teori demand pull inflation dan cost push inflation. Selain menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty (2000) di bawah ini:

26 13 a. Demand pull inflation Demand pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment). Kenaikan permintaan total (agregate demand) selain dapat menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan produksi (output) tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni (pure inflation). Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini: Sumber : Mishkin, Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b. Cost push inflation Cost push inflation terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya

27 14 kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (supply agregat) terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir oleh organisasi serikat buruh. 2. Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi. 3. Kenaikan bahan baku industri. 4. Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta. 5. Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru (money creation). 6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.

28 15 7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas. Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh: 1. Wage Cost Push Inflation Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. 2. Price Push Inflation Teori inflasi yang menekankan price push atau juga dikenal dengan istilah administered price theory of inflation, memiliki persamaan dengan teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tapi karena mereka takut terjadnya antitrust dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga. 3. Import Cost Push Inflation Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga barang impor penting. 4. Structural Rigidity Inflation Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain

29 16 dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektorsektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi. Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini: Sumber : Mishkin, Gambar 2.2 Cost Push Inflation Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,

30 17 sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas unemployment. Braun (2008), menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis pangan dengan krisis finansial, walaupun secara underlying causes (penyebab dasarnya) berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan, keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi. Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun (2008) menunjukkan bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan. Rahardja (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi di Indonesia 4. 4 Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp://go.worldbank.org/AAG7PZGKR0

31 Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi Purwanti (2011) menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.

32 Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan bahwa kurva Philips (Philips Curve) dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan (expected inflation) tersebut ada beberapa bentuk yaitu: a. Inflasi ekspektasional, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang (forward looking expextation). Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang. b. Ekspektasi adaptif, tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat pengalaman di masa yang lampau (backward looking expectation). Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu. Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel ekspektasi yang lain (Bank Indonesia, 2000).

33 Hubungan antara Nilai Tukar (Exchange Rate) dan Inflasi Studi Permana (2004) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan salah satu variabel mekanisme transmisi kebijakan moneter. Nilai tukar berpengaruh terhadap inflasi karena adanya direct passthrough effect melalui harga bahan baku impor. Barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi melalu impor barang konsumsi tergolong ke dalam first direct passthrough, karena harga impornya dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri. Sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke second direct passthrough, karena pembentukan harganya melalui proses produksi terlebih dahulu. Dengan adanya depresiasi nilai tukar maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi akan naik, penawaran akan turun dan terjadilah inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation). Nilai tukar mempunyai elastisitas yang besar terhadap inflasi karena masih besarnya ketergantungan industri terhadap bahan baku impor Penghitungan Inflasi di Indonesia Menurut BPS (2009), inflasi di Indonesia merupakan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada suatu periode terhadap periode sebelumnya. Penghitungan IHK tersebut menggunakan metode Laspeyers yang dikembangkan (modified Laspeyers) karena dalam rumusan indeksnya menggunakan kuantum

34 21 yang tetap sesuai tahun dasar. Rumusan Indeks Laspeyers dituliskan sebagai berikut: 100% (2.1) dimana : In = Indeks bulan ke-n Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar dengan pertimbangan teknis pengolahan dari penghitungan IHK, maka rumusan Indeks Laspeyers diatas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan rumusan indeks sebagai berikut: 100% (2.2) dimana : In = Indeks bulan ke-n Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar P (n-1) = Harga jenis komoditi bulan ke- (n-1) Tahapan untuk menghitung inflasi dimulai dengan menghitung relatif harga (RH), kemudian menghitung nilai konsumsi (NK), menghitung IHK, dan terakhir menghitung angka inflasi untuk masing-masing kota. Dari masing-masing kota ditimbang untuk mendapatkan angka inflasi nasional.

35 22 Menurut BPS, penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokan menjadi 7 kelompok utama yaitu: 1. Bahan Makanan 2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau 3. Perumahan 4. Sandang 5. Kesehatan 7. Transportasi dan Komunikasi Komponen penghitungan IHK adalah: 1. Tahun Dasar Periode dasar atau tahun dasar adalah periode waktu tertentu yang dipakai sebagai dasar perbandingan. Pengukuran IHK sampai dengan bulan maret 1998 menggunakan periode sebagai tahun dasar. Sedangkan sejak April tahun 1998 menggunakan periode tahun 1996 sebagai periode dasar dan sejak Januari 2004 sudah menggunakan tahun 2002 sebagai periode dasar. Sejak Juni 2008 tahun dasar yang dipakai untuk penghitungan inflasi adalah Data Harga Harga yang dipilih dalam pengumpulan data harga konsumen adalah harga eceran, yaitu harga transaksi secara tunai yang terjadi antara penjual (pedagang eceran) dan pembeli (konsumen langsung).

36 23 3. Paket komoditas Adalah sejumlah komoditi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di suatu kota yang digunakan sebagai acuan dalam penghitungan indeks. Paket komoditas diperoleh dari suatu survei pengeluaran rumahtangga yang mencakup seluruh pengeluaran konsumsi untuk komoditi. Survei tersebut adalah Survei Biaya Hidup (SBH). 4. Diagram Timbangan Bobot/peran dari setiap jenis barang/jasa, dimana sumber datanya adalah Survei Biaya Hidup (SBH) yaitu nilai konsumsi makanan dan bukan makanan. Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui. Penghitungan inflasi menggunakan persamaan sebagai berikut: 100 (2.3) Dimana merupakan inflasi yang terjadi pada periode t, merupakan IHK pada periode t sedangkan merupakan IHK pada periode sebelumnya. Inflasi terjadi apabila perubahan IHK bernilai positif, apabila perubahannya bernilai negatif maka disebut terjadi deflasi. 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi telah banyak dilakukan. Pada Tabel 2.1 akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.

37 24 Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi. NAMA NO PENELITI 1 Permana, Trihadmini, 2004 JUDUL PENELITIAN Analisis Faktorfaktor Penentu Laju Inflasi dilihat dari Sisi Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode DATA DAN METODE - Indonesia, data tahun Model regresi berganda OLS - Indonesia, data tahun Model Persamaan Simultan HASIL PENELITIAN Harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, sedangkan nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Ekspektasi inflasi dan inflasi impor berpengaruh terhadap inflasi. 3 Krisnawati, Mardianti, 2006 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia. Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang 5 Devi, 2006 Analisis Inflasi di Indonesia - Indonesia ( dan ) - Multicointegration - Data Indonesia periode 1990: kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3 - Error Correction Model (ECM) - Indonesia, data tahun Model OLS Output gap sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode sedangkan periode yang berpengaruh terhadap inflasi adalah disequilibrium pasar uang. Inflasi Indonesia periode t-1, perubahan broad money, perubahan nilai tukar periode t-1 dan t-2, berhubungan positif dengan inflasi di Indonesia. PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar secara serentak mempunyai hubungan secara signifikan terhadap inflasi, secara parsial nilai tukar dan jumlah uang beredar

38 25 6 Apriani, 2007 Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode Indonesia, data tahun Model VAR dilanjutkan dengan VECM mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Guncangan harga minyak dunia berhubungan positif dengan inflasi, output, jumlah uang beredar dan nilai tukar riil. 7 Budiarti, 2008 Pengaruh Kenaikan Harga Bbm Terhadap Indeks Harga Konsumen (Ihk) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Kota Banda Aceh Tahun Sultan, 2011 Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis 9 Dwiantoro, Monfort and Pena, 2008 Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle- Granger Error Correction Model Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors - Kota Banda Aceh, data tahun Model VAR - Arab Saudi - Model Cointegration dengan VECM - Indonesia - Model Eagle- Granger Error Correction Model (EG-ECM) - Paraguay - Model Cointegration dengan pendekatan VAR Kenaikan harga BBM berhubungan positif dengan inflasi umum dan inflasi untuk masing-masing komoditi barang dan jasa. Inflasi di dunia ekonomi, tingkat nilai tukar dan money supply adalah faktor utama yang mempengaruhi inflasi di Saudi Arabia. GDP riil berpengaruh negatif terhadap inflasi dan inflasi harapan berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. Jumlah uang beredar berpengaruh dalam inflasi jangka panjang sedangkan harga luar negeri/ harga beberapa produk makanan dan indeks upah punya pengaruh dalam jangka pendek

39 26 Penelitian ini berdasarkan penelitian Permana (2004). Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan tahun, variabel yang digunakan dan metode analisis yang digunakan. Periode tahun dalam penelitian Permana adalah data kuartalan dari tahun sedangkan dalam penelitian ini periode yang digunakan adalah data bulanan dari tahun Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah harga BBM dan harga beras sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini menggunakan analisis Vector Error Correction Model (VECM). 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional Guncangan penawaran yang negatif berupa bencana alam telah menyebabkan kegagalan panen dan terjadinya kelangkaan komoditi pangan. Kelangkaan pangan akan berimbas pada naiknya harga komoditi pangan. Disamping itu adanya krisis energi yang mulai melanda di tahun 2005 yang dimulai dengan berkurangnya pasokan minyak dunia berimbas pada kenaikan harga minyak dunia. Di Indonesia, kenaikan harga minyak dunia diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah. BBM yang merupakan input produksi sehingga kenaikan harganya akan meningkatkan biaya produksi. Supaya

40 27 tidak mengalami kerugian, maka produsen akan menaikkan harga jual produknya ke konsumen sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di masyarakat. Semakin mahalnya harga-harga membuat buruh berusaha menuntut kenaikan upah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah ini akan meningkatkan biaya produksi dan sekali lagi akan membuat produsen menaikkan harga jual produknya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan membuat harga bahan baku impor menjadi mahal sehingga akan membebani biaya produksi. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam Gambar 2.3. Krisis Pangan Dunia dan Domestik Krisis energi Dunia Harga minyak dunia ik UMR Exchange rate -harga bahan baku impor naik. Harga Pangan Naik Harga BBM naik Biaya Produksi Naik Cost Push Inflation Inflasi Implikasi Kebijakan Pemerintah Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran

41 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data bulanan periode Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya Data (Variabel) Data yang digunakan Satuan Sumber Data Inflasi (INF) Angka inflasi bulanan Indeks Badan Pusat Statistik (BPS) Harga minyak Data harga minyak dunia $US/barel International dunia (P_OIL) per bulan Monetary Fund (IMF) Indeks harga Data indeks harga dari 55 Indeks Food komoditi pangan komoditi pangan dunia. Agricultural dunia (IHP) Organization (FAO) Exchange Rate Data nilai tukar rupiah $US/Rupiah Bank Indonesia (KURS) terhadap dolar Amerika Serikat per bulan Expected inflation Data inflasi bulan Indeks BPS (EXP_INF) sebelumnya (I t-1 ) Tingkat upah (W) Rata-rata upah riil per Rupiah/bulan BPS bulan per pekerja di bawah mandor/supervisor sektor manufaktur

42 29 Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Penggunaan data harga minyak dunia berdasarkan beberapa penelitian yang menganalisis dampak harga minyak dunia terhadap inflasi yaitu penelitian Purwanti (2011) dan penelitian Apriani (2007), sedangkan penggunaan variabel indeks harga komoditi pangan dunia disebabkan indeks harga komoditi pangan Indonesia tidak tersedia dalam bulanan dan menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Rahardja (2011) menyatakan bahwa kenaikan satu persen harga komoditi pangan dunia akan meningkatkan sebesar satu persen harga komoditi pangan di Indonesia. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 per bulan, sehingga terdapat sebanyak 156 unit observasi. Dengan periode waktu tersebut, maka dapat digunakan analisis time series, agar dapat menggambarkan hubungan jangka panjang antar variabel Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum

43 30 mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu dan juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan variabel harga minyak dunia, tingkat upah buruh, exchange rate dan indeks harga pangan dunia Analisis Ekonometrika Analisis ekonometrika yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan model pada penelitian yang dilakukan oleh Dwiantoro (2004) dan Permana (2004). Studi Dwiantoro menggunakan analisis Engle-Granger Error Correction Model dan studi Permana menggunakan analisis regresi berganda Ordinay Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan analisis Vector Error Correction Model karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level dan terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel tersebut Uji Stasionaritas Dalam menerapkan uji deret waktu (time series) disyaratkan stasionaritas dari series yang digunakan. Untuk itu, sebelum melakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan uji stasionaritas terlebih dahulu terhadap data yang digunakan. Tujuan dari uji ini adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil dan random error sama dengan nol, sehingga model regresi yang diperoleh memiliki kemampuan prediksi yang handal dan menghindari timbulnya regresi lancung (spurious regression). Secara operasional suatu data series dikatakan stasioner apabila data tersebut tidak mengandung unsur trend. Disamping itu, syarat yang

44 31 harus dipenuhi suatu data series sehingga dapat dikatakan stasioner apabila mempunyai kondisi sebagai berikut: 1. Rata-rata tetap (constant) tidak terpengaruh oleh jalannya waktu (invariant with respect to time). 2. Variasi data tetap (variance to be constant) untuk seluruh series data. 3. Covariance antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai (time lag) bukan pada posisi waktu dimana covariance tersebut dihitung. Secara statistik, ketiga kondisi series yang stasioner di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: Rata-rata : (3.1) Variance : (3.2) Covariance: (3.3) dimana Y adalah data observasi, adalah rata-rata konstan dari variabel Y, merupakan varians konstan dari variabel Y, t menunjukkan waktu, p menunjukkan jarak nilai (time lag) dan, kovarians (atau otokovarians) pada keterlambatan k adalah kovarians antara nilai dan yaitu antara dua nilai, terpisah sebanyak periode. Untuk mendeteksi apakah suatu series data stasioner atau tidak secara visual dapat dilihat plot/grafik data observasi terhadap waktu. Apabila kecenderungan fluktuasinya di sekitar nilai rata-rata dengan amplitudo yang relatif tetap atau tidak terlihat adanya kecenderungan (trend) naik atau turun maka dapat dikatakan stasioner. Penggunaan grafik sangat tergantung pada kejelian dan pengalaman peneliti, untuk itu secara formal dilakukan uji statistik guna lebih meyakinkan

45 32 peneliti. Uji stasionaritas yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah uji akarakar unit (unit roots test). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan metode Augmenterd Dickey Fuller Test (ADF test) dengan alasan bahwa ADF Test telah mempertimbangkan kemungkinan adanya autokorelasi pada error term jika series yang digunakan non stasioner. Uji Akar-akar Unit Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF dan PP sesuai dengan bentuk trend deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR yaitu VAR dalam bentuk differens atau VECM. Pengujian stasionaritas secara teori dan prakteknya menggunakan tiga asumsi dasar yaitu tidak adanya trend dan konstanta, adanya konstanta, adanya trend dan konstanta. Dalam menentukan uji statistik dan hipotesis alternatif yang sesuai diperlukan pengujian adanya trend pada data deret waktu. Pengujian trend ini dilakukan untuk menghasilkan uji unit root yang lebih powerfull. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melihat adanya trend pada data dengan menggunakan grafik. Pengujian yang lebih formal dapat dilakukan dengan memeriksa signifikansi adanya trend pada data deret waktu. Selanjutnya, dalam memilih uji statistik yang sesuai dalam mendeteksi adanya unit root, hal pertama yang dilakukan adalah meneliti adanya perubahan struktural (structural change) agar tidak terjadi pengambilan keputusan yang bias.

46 33 Adanya perubahan struktural ini berarti nilai parameter estimasi tidak sama dalam periode penelitian, dengan kata lain perubahan struktural ini akan menyebabkan adanya perbedaan intercept (konstanta) atau slope, ataupun kemungkinan adanya perbedaan pada intercept maupun slope dalam garis regresi. Untuk mendeteksi adanya perubahan struktural ini dapat dilakukan dengan melihat fluktuasi data dengan grafik. Adanya perubahan struktural dapat menyebabkan data terlihat seperti tidak stasioner, sehingga dalam perhitungan akan mengarah pada penerimaan hipotesis nol yang salah. Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey-Fuller (DF), dasar uji stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan:, dimana 1 1 (3.4) Dimana adalah koefisien otoregresif dan adalah residual yang bersifat random atau stokastik dengan rata-rata nol, varian konstan dan nonautokorelasi. Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan (3.4), 1, maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai unit root. Jika data mempunyai unit root maka data tersebut bergerak secara random walk sedangkan yang random walk bersifat tidak stasioner. Dalam bentuk hepotesis dapat ditulis: : 1, (series mengandung unit root) : 1, (series tidak mengandung unit root) Dari persamaan 3.4, dapat ditulis juga dalam bentuk: 1

47 34 Dimana dan 1, sehingga bentuk hipotesis menjadi : : 0, (series mengandung unit root) 0, (series tidak mengandung unit root) Langkah-langkah uji akar-akar unit dengan menggunakan metode ADF Test adalah sebagai berikut: 1. Misalkan terdapat persamaan sebagai berikut: di mana adalah koefisien otoregesif, adalah white noise error term yang mempunyai rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel mempunyai akar unit. Dalam istilah ekonometrika, series yang memiliki akar unit disebut random walk. Dalam bentuk hipotesis menjadi: : 1, (series mengandung unit root) : 1, (series tidak mengandung unit root) 2. Persamaan di atas dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama), 1 Dimana dan 1, sehingga bentuk hipotesis menjadi : : 0, (series mengandung unit root) 0, (series tidak mengandung unit root)

48 35 Jika 0, maka persamaan di atas dapat ditulis: Persamaan ini menunjukan bahwa turunan pertama dari series yang random walk ( ) adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa adalah benar-benar random. 3. Setelah didapat persamaannya, prosedur pengujian adalah dengan menghitung terlebih dahulu nilai statistik ADF. Statistik uji: Dengan melihat nilai dari statistik ADF yang merupakan koefisien otoregresifnya, dapat diketahui apakah series mengandung unit roots atau tidak. Jika nilai ADF ( ) lebih kecil dari nilai kritis Tabel Mackinnon dengan derajat bebas maka ditolak atau dapat dikatakan bahwa series telah stasioner. Jika data asli dari suatu series saling berintegrasi atau data sudah stasioner, maka data tersebut berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data baru stasioner dan saling berintegrasi pata turunan pertama, maka data terebut berintegrasi pada order 1 atau I(1). Begitu seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d) Pemeriksaan Lag Optimal Uji lag merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam pembentukan model karena uji kointegrasi, VAR dan VECM sebagai uji lanjutan sangat peka terhadap panjang lag. Pemilihan lag seringkali dilakukan

49 36 secara arbiter (trial and error) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Namun dalam pemilihan lag, selain mempertimbangkan optimalitas seharusnya juga memperhatikan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders, 2004). Untuk memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan 3 bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pada tahap terakhir, nilai adjusted R 2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel terpenting dari sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipih dari sistem VAR

50 37 dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai adjusted R 2 terbesar pada variabel-variabel penting di dalam sistem Uji Kointegrasi Jika series dari variabel-variabel yang diteliti diketahui memiliki unit roots dan terkointegrasi pada order tertentu, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Dengan kata lain, uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara dua variabel atau lebih. Jika di antara variabel-variabel terkait terdapat kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka hasil regresi antar variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang stasioner. Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka panjang yang stabil. Gujarati dalam Zahira (2004) menyatakan bahwa pengujian kointegrasi hanya valid jika dilakukan pada data asli yang stasioner. Enders (2004) memberikan catatan penting tentang definisi kointegrasi sebagai berikut: 1. Kointegrasi merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang seriesnya nonstasioner. 2. Semua variabel yang diuji harus terintegrasi (stasioner) pada order yang sama. 3. Jika X t mempunyai n komponen, maka dimungkinkan terdapat sebanyak n-1 linearly independent cointegrating vectors, sedangkan jika X t hanya terdiri atas dua variabel, dimungkinkan hanya terdapat satu independent cointegrating

51 38 Penelitian ini lebih lanjut menggunakan metode Johansen Contegration test untuk melakukan uji kointegrasi dengan prosedur sebagai berikut: Misalkan terdapat persamaan Vector Autoregression (VAR) dengan order p sebagai berikut: (3.5) Maka, tahapan-tahapan penerapan pendekatan Johansen untuk kointegrasi adalah: 1. Lakukan autoregressive order p dalam model 2. Lakukan regresi dari terhadap,,., dan hasil residual untuk masing-masing t, dan mempunyai m elemen. 3. Lakukan regresi dari terhadap,,., dan hasil residual untuk masing-masing t, dan mempunyai m elemen. 4. Hitung kuadrat dari korelasi canonical antara dan yang dalam hal ini disebut. 5. Lakukan trace test untuk mengetahui nilai trace statictics atau likelihood ratio dengan rumus: ln 1 (3.6) Dimana k = 0,1,., m-1 dan adalah nilai eigenvalue ke-i. Lambang T menunjukkan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data. Zahira (2004) menyatakan bahwa nilai trace stat selanjutnya dibandingkan dengan nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenun. Jika nilai trace stat lebih besar dari nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenum, maka H 0 ditolak.

52 39 6. Alternatif uji lainnya dengan menggunakan maximum eigenvalue test yaitu mencari nilai maximum eigenvalue statistic sebagai berikut: max 1 (3.7) Nilai max eigenvalue stat selanjutnya juga dibandingkan dengan nilai kritis dari tabel Osterwald-Lenum. Trace test dan maximum eigenvalue test dilakukan untuk berbagai hipotesis nol, seperti : 0 atau tidak terdapat hubungan kointegrasi, : 1 atau terdapat satu persamaan kointegrasi sampai : 1 atau terdapat sebanyak (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan kointegrasi ini menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang stasioner Metode Vector Autoregressive (VAR) VAR merupakan salah satu model linear dinamis (MLD) yang sedang marak digunakan untuk aplikasi peramalan variabel-variabel (terutama) ekonomi dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah-panjang. Sebagai bagian dari ekonometrika, VAR merupakan salah satu pembahasan dalam multivariate time series. VAR model pertama kali diperkenalkan oleh C.A. Sims (1972) sebagai pengembangan dari pemikiran Granger (1969). Granger menyatakan bahwa apabila dua variabel misalkan x dan y memiliki hubungan kausal di mana x mempengaruhi y maka informasi masa lalu x dapat membantu memprediksi y. VAR model dapat dikatakan sebagai model persamaan simultan karena didalamnya dipertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersamaan.

53 40 Keunikan VAR yaitu modeling dilakukan dengan memodelkan setiap variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi linear dari nilai lag/ selisih waktu (lagged value) untuk semua variabel endogen dalam sistem. Penggunaan VAR model umumnya untuk peramalan sistem peubah yang saling terkait satu sama lain, disamping itu model ini dapat menganalisa dampak dinamis dari perubahan (random disturbance) dalam sistem peubah tersebut. Fokus penggunaan VAR terletak pada kemampuan model ini untuk melakukan peramalan (forecasting). Peramalan yang dilakukan pun tanpa membutuhkan asumsi-asumsi untuk nilai masing-masing variabel endogen di masa datang. Firdaus (2011) menyebutkan beberapa keunggulan metode ini yaitu: 1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu. 2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai variabel endogen. 4. Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan sehingga menghindari penafsiran yang salah.

54 41 Adapun kelemahan dari analisis VAR adalah sebagai berikut: 1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu. 2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan. 3. Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan Metode Vector Error Correction Model (VECM) VECM adalah Vector Autoregressive (VAR) yang terbatas dan dirancang untuk digunakan pada data nonstasioner yang diketahui memiliki hubungan kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR, atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel yang terkointegrasi pada orde pertama [I(1)]. Hubungan dinamis jangka pendek dari suatu variabel di dalam sistem dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang yang dikenal sebagai cointegration term atau error correction term. Penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan penyesuaian parsial jangka pendek. Hal yang perlu diperhatikan pada variabel yang berkointegrasi adalah apabila suatu model menghendaki adanya persamaan jangka panjang, pergerakan dari beberapa variabel mengadakan reaksi adanya kecenderungan

55 42 ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam jangka pendek yang sering kita temui dalam peristiwa ekonomi. Hal ini berarti apa yang diinginkan perilaku ekonomi belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu suatu model yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan atau model yang disebut model koreksi kesalahan (Vector Error Correction Model). Model Vector Error Correction Model (VECM) dapat ditulis sebagai berikut: (3.8) Dimana: konstanta Dalam hal ini koefisien adalah koefisien jangka pendek sedangkan adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan dalam bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan PEMANFAATAN SISTEM VAR DAN VECM Berikut adalah beberapa penggunaan sistem VAR dan VECM setelah sistem terbentuk:

56 43 Impulse response Function (IRF) Impulse respon adalah salah satu metode estimasi pada VAR yang digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh inovasi (shock) variabel endogen yang lain (Pindycks dan Rubinfeld, 1991). Inovasi diinterpretasikan sebagai goncangan kebijakan (policy shock) atau sering juga disebut aksi. Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) FEVDs adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya. Granger Causality Test Pengujian kausalitas dikembangkan oleh Granger (1969). Untuk penyederhanaan uji, berikut diberikan contoh hubungan kausalitas antara variabel X dan Y sebagai berikut:

57 44 (3.9) (3.10) Gujarati (2003) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang bisa terjadi dari persamaan kausalitas, yaitu: 1. Undirectional causality from Y to X, dapat diidentifikasikan jika koefisien lag variabel Y pada persamaan pertama signifikan secara statistik 0 dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua tidak signifikan secara statistik Undirectional causality from X to Y, dikatakan terjadi jika koefisien lag variabel Y pada persamaan pertama tidak signifikan secara statistik 0 dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua signifikan secara statistik Feedback atau bilateral causality, jika koefisien dari kedua variabel signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas. 4. Independen jika koefisien dari kedua variabel tidak signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas. Dari uji kausalitas, dapat diketahui variabel-variabel mana yang memiliki hubungan kausalitas dan variabel mana yang terjadi sebelum variabel lainnya atau variabel mana yang bertindak sebagai indikator awal bagi variabel lainnya.

58 BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Laju inflasi Indonesia selama kurun waktu tahun menunjukkan fluktuasi seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63 persen dan nilai terendah dicapai pada tahun 1999 dengan laju inflasi sebesar 2,01 persen. Nilai tertinggi pada tahun 1998 merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan faktor sosial politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga barang dan jasa terus meningkat tajam sampai akhir tahun LAJU INFLASI (PERSEN) TAHUN Laju Inflasi Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun

59 46 Laju inflasi bulanan di tahun 1998 yang tertinggi terjadi pada bulan Juni yang mencapai 12,45 persen. Pada tahun 1999, inflasi tahunan turun menjadi 2,01 persen. Penurunan laju inflasi yang sangat tajam ini tidak terlepas dari pengaruh terbentuknya pemerintah baru yang legitimate dan diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik (Gambar 4.2). LAJU INFLASI (%) :01 98:10 99:07 00:04 01:01 01:10 02:07 03:04 04:01 04:10 05:07 06:04 07:01 07:10 08:07 09:04 10:01 10:10 TAHUN/PERIODE INFLASI Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.2 Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun Laju inflasi tahunan dari tahun sudah mulai stabil dimana angkanya yang berada dibawah dua digit. Inflasi tahun 2000 jika dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 meningkat secara tajam yaitu dari 2,01 persen menjadi 9,35 persen. Peningkatan laju inflasi ini diantaranya disebabkan adanya kenaikan tarif angkutan per 1 September 2000, kenaikan BBM per Oktober 2000, Bulan Puasa/Ramadhan (November 2000), Natal dan Lebaran (Desember 2000). Secara umum pada tahun , inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10 persen. Pada tahun 2005 laju inflasi kembali naik mencapai 17,11 persen. Ini adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia (1997/1998). Penyesuaian terhadap

60 47 kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun Tingginya harga minyak di pasar internasional menyebabkan pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Jika melihat inflasi bulanan pada tahun 2005 yang tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 8,70 persen (Gambar 4.2). Laju inflasi selama tahun menunjukkan perkembangan yang relatif stabil yaitu berkisar pada 6 persen. Laju inflasi tahun 2006 sebesar 6,60 persen sedangkan pada tahun 2007 sebesar 6,59 persen. Laju inflasi bulanan tahun 2006 dan 2007 menunjukkan dalam kondisi yang stabil yaitu dibawah 5 persen. Tekanan inflasi yang cukup tinggi terjadi di bulan Januari tahun 2006 dan turun secara perlahan sampai nilainya dibawah 1 persen. Penurunan laju inflasi dikarenakan adanya penundaan kenaikan tarif dasar listrik oleh pemerintah. Laju inflasi bulanan di tahun 2007 juga menunjukkan kondisi yang sama dengan tahun 2006 dimana nilainya masih di bawah 1,00 persen. Menjelang akhir tahun 2007, inflasi mengalami kenaikan yaitu dari 0,18 persen menjadi 1,10 persen. Kenaikan inflasi ini lebih disebabkan karena adanya kenaikan harga komoditas di dunia seperti minyak mentah, CPO, emas, dan gandum. Inflasi tahun 2008 mencapai 11,06 persen naik sebesar 4,47 persen bila dibandingkan dengan tahun Pada Januari tahun 2008 laju inflasi sebesar 1,77 persen. Inflasi bulanan tertinggi dicapai pada bulan Juni yaitu sebesar 2,46 persen. Inflasi pada tahun 2008 selain dipengaruhi oleh krisis keuangan global,

61 48 juga dipengaruhi oleh inflasi harga yang diatur pemerintah dan bahan makanan yang bergejolak. Laju inflasi tahun menunjukkan kondisi yang relatif stabil dimana pada tahun 2009 inflasi sebesar 2,78 persen dan tahun 2010 sebesar 6,96 persen. Untuk laju inflasi bulanan selama tahun 2009, nilainya masih dibawah 1 persen dan yang tertinggi dicapai pada bulan September sebesar 1,05 persen. Selama tahun 2009, sempat terjadi deflasi yaitu pada bulan Januari, April dan November dengan deflasi terbesar terjadi di bulan April sebesar 0,31 persen. Laju inflasi bulanan di tahun 2010 masih dibawah 1 persen dan sempat mengalami inflasi tinggi yaitu sebesar 1,57 persen pada bulan Juli. Pada bulan Maret juga sempat terjadi deflasi sebesar 0.14 persen. Inflasi tahun 2010 tersebut melampaui target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di awal tahun yaitu 5±1 persen dan juga melampau target inflasi pemerintah sebesar 5,3 persen. 4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) di Indonesia Sejak tahun 1970 sampai sekarang Indonesia telah melakukan 3 kali perubahan sistem nilai tukar, yaitu mulai tahun 1970 sampai 15 November 1978 sistem yang dipakai adalah sistem nilai tukar tetap, kemudian mulai 15 November 1978 sampai 14 Agustus 1997 menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating), dan mulai 14 Agustus 1997 sampai sekarang menggunakan sistem kurs bebas (flexible exchange rate). Perkembangan nilai tukar rupiah seiring dengan perkembangan sistem nilai tukar rupiah dapat dilihat pada Gambar 4.1. Saat Bank Indonesia menggunakan sistem nilai tukar

62 49 mengambang terkendali dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat relatif stabil yaitu berkisar pada Rp. 2000,- per dolar. Tetapi pada saat menggunakan sistem nilai tukar bebas sejak Agustus 1997 terlihat bahwa nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif. RUPIAH TAHUN Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Sumber : BI (diolah) Gambar 4.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai Tukar yang Diterapkan Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada lima bulan pertama tahun 1998 cenderung berfluktuasi. Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp 9.200,- dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp 8.000,- dalam bulan April hingga pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp ,- sejak minggu ketiga bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait dengan kondisi sosial politik yang tidak menentu. Nilai tukar tersebut mencapai titik tertingginya yaitu Rp ,- per dolar Amerika pada bulan Juni Akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah tersebut menyebabkan sistem perbankan dan industri mengalami kerugian karena beban pinjaman dalam dolar Amerika meningkat, sementara di sisi lain para importir mengalami kesulitan karena harga

63 50 barang impor meningkat drastis. Keadaan semakin memburuk karena banyak masyarakat yang membeli dolar untuk menjaga nilai kekayaan mereka, yang mendorong rupiah lebih melemah lagi (Gambar 4.4) Rp /$US Rp /$US Rp. 12,151/$US 98:01 98:09 99:05 00:01 00:09 01:05 02:01 02:09 03:05 04:01 04:09 05:05 06:01 06:09 07:05 08:01 08:09 09:05 10:01 10:09 KURS (RP/$US) TAHUN/PERIODE Sumber : BI (diolah) Gambar 4.4 Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun Pada bulan Januari tahun 1999, nilai tukar rupiah mulai mengalami penguatan dimana nilai tukar rupah mencapai Rp 8.950,- per dolar. Nilai ini semakin menguat dan mencapai titik tertinggi pada bulan Juni yaitu sebesar Rp ,- per dolar. Penguatan nilai tukar ini disebabkan karena Indonesia yang mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) dan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi, politik dan sosial yang membaik dalam negeri. Sampai akhir tahun 1999, nilai tukar rupiah masih stabil dengan kisaran dibawah Rp ,-. Di awal tahun 2000 yaitu bulan Januari, rupiah kembali melemah dimana nilainya sebesar Rp ,- yang naik sebesar 320 poin dari bulan sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus meningkat sejak bulan April hingga Desember 2000, sebagai akibat dari perkembangan politik dan keamanan

64 51 menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus Nilai tukar tertinggi di tahun 2000 pada bulan Desember sebesar Rp ,-. Melemahnya rupiah ini terus berlanjut hingga tahun 2001 dimana nilai tertinggi dicapai pada bulan Juni 2001 sebesar Rp ,-. Pada pertengahan tahun 2001 atau bulan Juli 2001 nilai tukar rupiah menguat sebesar poin atau berada pada level Rp ,- per dolar Amerika. Perkembangan rupiah selama tahun menunjukkan terjadinya penguatan. Di awal tahun 2002 nilai rupiah sebesar Rp ,- per dolar Amerika dan di akhir tahun nilai rupiah menjadi Rp ,-. Perkembangan tersebut menunjukkan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Hal ini disebabkan adanya pemerintahan yang baru pada pertengahan tahun Perkembangan nilai rupiah di awal tahun 2004 cenderung masih stabil tetapi menjelang bulan Mei, rupiah mulai melemah sebesar 549 poin atau berada pada Rp ,-. Melemahnya nilai rupiah ini terus berlangsung sampai akhir tahun 2004 dan hal ini lebih disebabkan karena situasi politik menjelang Pemilu Nilai rupiah pada awal-awal tahun 2005 cenderung stabil yang dibuka pada bulan Januari sebesar Rp ,-. Pada bulan Agustus, nilai rupiah melemah hingga menembus level Rp ,- per dolar. Meningkatnya harga minyak dunia yang sempat menembus level US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika. Menjelang akhir tahun 2005 nilai rupiah mulai menguat hingga di bulan Desember ditutup sebesar Rp ,-.

65 52 Perbaikan indikator moneter membuat nilai tukar rupiah selama tahun 2006 sedikit menguat dibandingkan akhir tahun Pada awal tahun nilai tukar dibuka dengan nilai Rp ,- per dolar dan ditutup di akhir tahun dengan nilai sebesar Rp ,-. Penguatan nilai rupiah pada tahun ini didukung oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah karena masih dipengaruhi oleh ekonomi AS yang melemah karena terjebak defisit ratusan miliar dolar AS dan oleh kestabilan harga minyak dunia, meskipun masih cukup tinggi. Sementara itu, dari sisi internal penguatan ini dipengaruhi oleh laju inflasi yang berada di bawah 10 persen dan menyebabkan suku bunga turun ke level 9,75 persen. Selama tahun 2007, nilai tukar rupiah juga relatif menguat jika dibandingkan dengan tahun 2006 dan mencapai titik terendah pada bulan Mei dengan nilai Rp ,- per dolar AS. Menjelang akhir tahun, rupiah sempat melemah yang disebabkan karena besarnya permintaan korporasi terhadap dolar untuk keperluan pembayaran utang jatuh tempo. Disamping itu suku bunga di beberapa negara yang mengalami kenaikan, tingginya harga minyak dunia, rontoknya bursa saham akibat krisis ekonomi di AS juga menjadi pendorongnya. Setelah sempat melemah di akhir tahun 2007, rupiah mulai menguat di awal tahun 2008 yaitu sebesar 128 poin. Penguatan nilai rupiah ini masih berlangsung sampai pertengahan tahun Mulai bulan Oktober tahun 2008, rupiah mulai melemah dengan kisaran nilai di atas Rp ,-. Pada akhir tahun rupiah ditutup dengan nilai Rp ,-. Awal tahun 2009, nilai rupiah masih melemah yang merupakan kelanjutan dari akhir tahun Nilai rupiah sempat mencapai Rp ,- pada bulan

66 53 Februari. Menjelang akhir tahun, rupiah kembali menguat dengan kisaran Rp ,-. Pada tahun 2010, rupiah diperdagangkan dengan nilai rata-rata Rp ,- dan relatif stabil sepanjang tahun. 4.3 Perkembangan Upah Buruh di Indonesia Besarnya upah yang diterima buruh tiap bulan dikenal dengan upah buruh nominal, sedangkan upah buruh riil adalah besar upah yang diharapkan dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) para buruh setelah memperhitungkan faktor inflasi. Upah buruh yang dimaksud adalah upah buruh industri di bawah mandor (supervisor). Dari data BPS, selama kuartal hingga kuartal trend pada upah buruh riil meningkat di tahun 1997 lalu terjadi penurunan di tahun 1998 dan kemudian mulai meningkat lagi di tahun Timbulnya trend ini merupakan salah satu dampak krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, sehingga perusahaan-perusahaan mengambil kebijakan dengan merumahkan sebagian karyawan/buruh baik sementara ataupun hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini jelas ikut mempengaruhi besar upah yang diterima para buruh. Dari Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa dari tahun 1996 sampai akhir tahun 1997 upah riil terus mengalami peningkatan, lalu menurun secara drastis hanya dalam satu kuartal saja mencapai 22,2 persen yaitu dari kuartal ke kuartal Penurunan ini terus berlanjut hingga akhir kuartal dan mulai meningkat lagi di awal tahun 1999 bahkan hingga akhir kuartal berada 15,7 persen di atas posisi awal. Untuk sektor industri, kenaikan upah buruh riil

67 54 setelah krisis 1997 mulai terlihat pada kuartal I tahun Selama tahun 1999, kenaikan upah riil rata-rata 3,9 persen. RUPIAH/ORANG I 1997 IV 1997 III 1998 II 1999 I 2000 IV 2000 III 2001 II 2002 I 2003 IV 2003 III 2004 II 2005 I 2006 IV 2006 III 2007 II 2008 I 2009 IV 2009 KUARTAL UPAH RIIL Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.5 Upah Buruh Riil Indonesia Tahun Jika dilihat dari rata-rata persentase kenaikan upah riil, dapat dilihat bahwa dari tahun 1999 sampai tahun 2000 terlihat bahwa upah riil buruh industri mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu di tahun 1999 sebesar 3,91 dan di tahun 2000 sebesar 6,58. Secara rata-rata tingkat upah riil buruh sektor industri semakin mengalami peningkatan secara bertahap. Penurunan upah riil sempat terjadi pada tahun akhir 2005 sampai akhir tahun Penurunan ini kemungkinan besar disebabkan oleh semakin memburuknya kondisi perekonomian bangsa sebagai akibat adanya krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat tahun Pada tahun 2005, saat pemerintah menaikkan harga BBM, terlihat juga bahwa upah riil buruh cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun Hal ini sebagai dampak dari biaya produksi yang semakin tinggi akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan biaya produksi berdampak pada penurunan

68 55 upah buruh riil. Walaupun sempat naik sedikit di tahun 2006, tetapi tahun , upah riil kembali mengalami penurunan yang juga sebagai dampak dari kenaikan harga BBM oleh pemerintah I 1997 IV 1997 III 1998 II 1999 I 2000 IV 2000 III 2001 II 2002 I 2003 IV 2003 III 2004 II 2005 I 2006 IV 2006 III 2007 II 2008 I 2009 IV 2009 III 2010 indeks Upah Riil IHK Sumber : BPS, diolah Gambar 4.6 Perbandingan IHK dan Indeks Upah Riil Buruh Jika dilihat perbandingan antara tingkat inflasi atau indeks harga konsumen (IHK) dan besarnya upah riil maka dapat dilihat bahwa indeks upah riil selalu berada di bawah IHK. Hal ini disebabkan karena upah riil ini memang upah yang diterima buruh setelah memperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi (Gambar 4.6). 4.4 Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Hubungannya dengan Komoditi Pangan Indonesia Selama kurun waktu tahun 1998 sampai 2003, indeks harga komoditi pangan dunia cenderung stabil. Indeks harga komoditi pangan dunia mulai meningkat pada awal tahun Perubahan iklim yang bersifat ekstrem di beberapa negara penghasil komoditi pangan utama menyebabkan terganggunya siklus panen di banyak negara yang juga menyebabkan kenaikan harga pangan.

69 ,1 98:01 98:09 99:05 00:01 00:09 01:05 02:01 02:09 03:05 04:01 04:09 05:05 06:01 06:09 07:05 08:01 08:09 09:05 10:01 10:09 INDEKS (UNIT) PERIODE/TAHUN Indeks Harga Makanan Sumber : FAO (diolah) Gambar 4.7 Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Tahun Kenaikan harga pangan dunia yang paling tinggi terjadi pada tahun Pada tahun 2008, indeks harga pangan dunia mencapai 224,1 yang merupakan posisi tertinggi selama kurun waktu (Gambar 4.7). Berdasarkan laporan dari Bank Dunia (Food Price Watch, Februari 2011) indeks harga pangan dunia meningkat 15 persen dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Januari Angka tersebut hanya 3 persen di bawah level tertingginya yang dicapai pada Juni Komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga di antaranya adalah gandum, jagung, gula, dan minyak goreng, dengan sedikit kenaikan pada beras. Kenaikan harga komoditas pangan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir terutama disebabkan oleh masalah-masalah temporer, diantaranya: (i) gangguan pasokan akibat gangguan cuaca; (ii) larangan ekspor dari negara-negara eskportir pangan untuk mengamankan pasokan domestik; (iii) quantitative easing negara-negara maju yang mendorong investor untuk mencari target investasi yang lebih menguntungkan, yaitu negara-negara berkembang maupun pasar komoditas; dan (iv) kebijakan negara-negara eksportir pangan,

70 57 terutama AS, untuk mendorong produksi biofuel yang berakibat pada menurunnya pasokan pangan dunia karena alih fungsi lahan pertanian INDEKS (UNIT) PERIODE IHK Bahan Makanan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Sumber : FAO dan BPS (diolah) Gambar 4.8 Perbandingan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bahan Makanan di Indonesia Tahun Jika dibandingkan dengan indeks harga komoditi pangan dunia, maka dapat dilihat bahwa perkembangan indeks harga konsumen (IHK) bahan makanan di Indonesia relatif sama dengan perkembangan indeks harga komoditi pangan dunia. Kenaikan harga komoditi pangan dunia juga akan menyebabkan kenaikan harga bahan makanan di Indonesia. Dari Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa perkembangan indeks harga konsumen bahan makanan bergerak searah dengan indeks komoditi pangan dunia, hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga pangan dunia akan berpengaruh terhadap harga pangan domestik. Jika dilihat proporsi inflasi bahan makanan terhadap inflasi umum, secara rata-rata dari tahun (dari Gambar 4.9), terlihat bahwa laju inflasi bahan makanan diatas laju inflasi umum. Artinya, sumbangan inflasi bahan makanan

71 58 terhadap inflasi umum masih cukup besar sehingga jika terjadi guncangan sedikit terhadap harga bahan makanan maka laju inflasi umum juga ikut naik. PERSEN TAHUN INFLASI UMUM INFLASI BAHAN MAKANAN Sumber : BPS (diolah) Gambar 4.9 Perbandingan Inflasi Bahan Makanan dan Inflasi Umum Tahun Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada periode tahun , fluktuasi harga minyak cenderung mengalami kenaikan yang terus menerus. Di awal tahun 1998, harga minyak masih relatif rendah yaitu sekitar $15,07 per barrel. Harga minyak dunia ini cenderung stabil sampai awal tahun Menjelang akhir tahun 2004, harga minyak mulai berfluktuasi yang harganya diatas $40 per barel. Pada bulan Agustus 2004, harga minyak dunia mencapai $42,08 per barel. Pada bulan-bulan selanjutnya harga minyak dunia meningkat dan pada bulan Desember tahun 2004 harganya sempat mengalami penurunan yaitu diperdagangkan di $39,09 per barel. Selama tahun 2005, harga minyak mulai mengalami kenaikan kembali dan di bulan Desember 2005 harganya mencapai $56,47 per barel (Gambar 4.10).

72 :01 98:10 99:07 00:04 01:01 01:10 02:07 03:04 04:01 04:10 05:07 06:04 07:01 07:10 08:07 09:04 10:01 10:10 $US/Barrel PERIODE/TAHUN Harga Minyak Dunia Sumber : IMF (diolah) Gambar 4.10 Harga Minyak Dunia Bulanan Tahun Selama periode tahun , harga minyak dunia tetap menunjukkan perkembangan yang selalu naik. Kenaikan dalam tahun-tahun ini bahkan sudah menembus $90 per barel, harga yang sangat tinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada bulan Maret 2008, harga minyak kembali mengalami peningkatan bahkan harganya mencapai $100 per barel atau tepatnya $101,84 per barel. Harga diatas $100 per barel ini tetap berlangsung sampai bulan Agustus 2008 dan kembali turun menjelang akhir tahun Menjelang akhir tahun 2008, harga minyak dunia mulai turun dan stabil dengan kisaran harga $40 per barel. Kondisi ini berlangsung sampai tahun Tetapi di bulan Juni tahun 2009 harga minyak kembali mengalami peningkatan dimana harganya mencapai level $70 per barel. Kenaikan harga ini terus berlangsung hingga tahun 2010, dimana di akhir tahun harganya mencapai level $90 per barel.

73 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji akar-akar unit (Unit Root Test) dengan merode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test). Tabel 5.1 Hasil Uji Root Test Tingkat Level Variabel t-hitung Critical value 1 % 5 % 10 % Hasil Kesimpulan INF Tolak H 0 Stasioner EXP_INF Tolak H 0 Stasioner LN_PFW TerimaH 0 Tidak Stasioner LN_KURS Tolak H 0 Stasioner LN_P_OIL TerimaH 0 Tidak Stasioner LN_W_RIIL TerimaH 0 Tidak Stasioner Sumber: Lampiran 1 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10% Tabel 5.1 di atas menyajikan hasil Uji Root Test dengan metode ADF pada tahap level. Metode ADF yang digunakan ada yang memasukkan intercept dan ada yang memasukkan intercept and trend tergantung perilaku dari masingmasing variabel. Selanjutnya, dengan membandingkan nilai dari t-hitung dengan nilai Critical Value untuk masing-masing α yaitu 1 persen, 5 persen dan 10 persen

74 61 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tingkat level variabel yang stasioner adalah INF, EXP_INF dan LN_KURS sedangkan variabel lainnya yaitu LN_PFW, LN_P_OIL dan LN_W_RIIL masih belum stasioner. Semua variabel stasioner belum stasioner pada level sehingga akan dilakukan kembali uji Root Test pada First Differencing. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini: Tabel 5.2 Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing Variabel t-hitung Critical value 1 % 5 % 10 % Hasil Kesimpulan INF Tolak H 0 Stasioner EXP_INF Tolak H 0 Stasioner LN_PFW Tolak H 0 Stasioner LN_KURS Tolak H 0 Stasioner LN_P_OIL Tolak H 0 Stasioner LN_W_RIIL Tolak H 0 Stasioner Sumber : Lampiran 2 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10%. Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pada tingkat first differencing semua variabel sudah stasioner. Artinya, data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Sims dalam Hasanah (2007), penggunaan data perbedaan pertama tidak direkomendasikan karena akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM.

75 Uji Lag Optimal Penentuan uji lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan panjang lag optimal didasarkan pada nilai dari kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Besarnya lag optimal yang dipilih dilihat dari nilai adjusted R 2 yang terbesar. Dari pengujian lag optimal di penelitian ini dapat dilihat bahwa lag yang mungkin adalah 1, 2 dan 8. Dari nilai lag tersebut masing-masing akan dimasukkan ke uji VAR dan akan dilihat nilai adjusted R 2. Nilai adjusted R 2 untuk lag optimal 1 yaitu sebesar 0,34, lag optimal 2 adalah sebesar 0,38 dan lag optimal 8 sebesar 0,21. Nilai adjusted R 2 terbesar didapatkan dengan memasukkan nilai lag optimal 2 yaitu sebesar 0,38. Sehingga dalam penelitian ini nilai lag optimal yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah Pengujian Stabilitas VAR Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Untuk pengujian stabil atau tidaknya

76 63 estimasi VAR yang telah terbentuk, maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1. Hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada Tabel 5.3. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai modulusnya semuanya kurang dari 1 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model VAR tersebut sudah stabil. Tabel 5.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Root Modulus i i i i i i i i i i Sumber : Lampiran Analisis Kointegrasi Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle Granger pada tahun 1987 sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen dengan membandingkan antara trace statistics

77 64 dengan critical value yang digunakan yaitu taraf nyata 5 persen. Jika trace statistics lebih besar dari critical value, terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi dan untuk menetukan pilihan trend yang akan dipakai bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Berdasarkan hasil summary dapat dilihat bahwa deterministic trend yang tersedia untuk penelitian ini adalah no intercept or trend (1) dan intercept no trend (2) yang didasarkan pada adanya tanda bintang pada uji kointegrasi tersebut. Untuk penelitian ini akan digunakan pilihan trend yang model 2 yaitu intercept no trend. Setelah mengetahui pilihan trend yang akan digunakan dan lag optimal yang akan dipakai, selanjutnya akan dlakukan uji kointegrasi. Hasil uji tersebut disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Uji Kointegrasi No Hipotesis Trace Statistics Max-Eigen Statistics 1 Rank = Rank = Rank = Rank = Rank = Rank = Sumber : Lampiran 5 Cetak tebal menunjukkan Trace Statistics dan Max-Eigen Statistics > 5% critical value dan terjadi kointegrasi. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dalam pengujian ini dengan model intercept no trend dan lag optimal sebesar 2 terdapat dua (2) rank kointegrasi pada taraf nyata 5

78 65 persen. Artinya secara multivariate terdapat dua persamaan linear jangka panjang yang dikandung di dalam model. Dengan adanya kointegrasi, hasil estimasi selanjutnya menggunakan model VECM. 5.5 Analisis Kausalitas dengan Granger Causality Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan variabel-variabel lain yaitu expected inflation, harga minyak dunia, indeks komoditi pangan, nilai tukar rupiah (exchange rate) dan upah buruh. Hasil uji kausalitas dapat diketahui dengan melihat nilai probability-nya. Variabel yang menolak H 0 dicerminkan dengan nilai probabilitas kurang dari nilai taraf uji yang digunakan. Dalam uji kausalitas Granger, digunakan taraf uji sampai dengan 10 persen. Jika hasil uji menolak H 0, maka terdapat hubungan sebab akibat. Sedangkan pengaruh yang diberikan oleh tiap variabel bisa berbeda jika dilakukan pengujian pada lag berbeda. Adapun penelitian ini menguji hubungan kausalitas dengan menelusuri pengaruhnya sampai dengan lag 2 sesuai dengan panjang lag optimal yang telah dihasilkan dalam uji lag yang dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini, uji kausalitas lebih ditujukan untuk mengetahui variabel-variabel yang menyebabkan inflasi atau variabel-variabel yang bertindak sebagai leading indikator bagi inflasi. Tabel 5.5 menyajikan nilai F stat dan probability untuk masing-masing H 0 dalam uji kausalitas Granger. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi hanya variabel kurs (KURS), sedangkan variabel inflasi mempengaruhi variabel upah buruh riil (W_RIIL) dan indeks harga komoditi pangan dunia. Hal ini sesuai teori bahwa kurs berpengaruh terhadap inflasi karena berhubungan

79 66 dengan harga bahan baku impor dimana jika kurs melemah maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi ikut naik dan akan terjadi kenaikan harga pada barang yang bisa memicu terjadinya inflasi. Yang berpengaruh terhadap variabel expected inflation adalah harga minyak dunia dan upah riil. Yang berpengaruh terhadap variabel kurs adalah variabel expected inflation (EXP_INF). Variabel harga minyak dunia dipengaruhi oleh indeks harga komoditi pangan dunia, sedangkan indeks harga pangan dunia dipengaruhi oleh upah buruh riil. Tabel 5.5 Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. LN_KURS does not Granger Cause INFLASI E-05 INFLASI does not Granger Cause LN_KURS LN_PFW does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_PFW LN_W_RIIL does not Granger Cause INFLASI INFLASI does not Granger Cause LN_W_RIIL LN_KURS does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_KURS LN_P_OIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_P_OIL LN_W_RIIL does not Granger Cause EXP_INF EXP_INF does not Granger Cause LN_W_RIIL LN_PFW does not Granger Cause LN_P_OIL LN_P_OIL does not Granger Cause LN_PFW LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_PFW LN_PFW does not Granger Cause LN_W_RIIL Sumber : Lampiran 8 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut signifikan pada taraf nyata 10% Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang saling mempengaruhi antar variabel dan hubungan mempengaruhinya hanya berlaku satu sisi saja.

80 Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk menunjukkan bagaimana respons suatu variabel dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Dalam mengidentifikasi respon inflasi pada IRF dalam model VECM ini, digunakanlah standar Cholesky Decomposition. Cholesky Decomposition bertujuan untuk membangkitkan impulse response yang tergantung secara krusial pada urutan (ordering) variabel dalam sistem. Dalam penelitian ini, jangka waktu yang digunakan dalam menganalisis respon laju inflasi terhadap variabel-variabel lainnya diproyeksikan dalam 50 bulan ke depan Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Guncangan laju inflasi sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 1,30 persen. Hingga bulan keenam, guncangan inflasi masih direspon positif oleh inflasi itu sendiri, meskipun semakin lama respon tersebut semakin berkurang. Misalkan saja pada bulan ketujuh, peningkatan inflasi hanya sebesar 0,12 persen. Namun, mulai bulan kedelapan guncangan pada inflasi mengakibatkan inflasi berkurang sebesar 0.11 persen. Mulai periode ini hingga 50 bulan ke depan, inflasi masih tetap merespon positif terhadap guncangan inflasi dan semakin lama guncangan ini mengakibatkan inflasi naik dalam jumlah yang semakin menurun. Misalkan pada tahun pertama, guncangan tersebut mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 0,11 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai kseimbangan pada

81 68 periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke 10, dimana inflasi masih merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,11 persen (Gambar 5.1). 1.4 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. INFLASI Innovation Gambar 5.1 Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Guncangan expected inflation sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada expected inflation direspon negatif oleh inflasi sebesar 0,17 persen. Namun pada bulan kelima respon negatifnya semakin berkurang yaitu sebesar 0,41 persen. Respon negatif ini semakin berkurang mulai bulan kelima dan pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan expected inflation ini mulai mencapai keseimbangan pada bulan kesembilan, dimana inflasi merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,36 persen (Gambar 5.2).

82 69 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. EXP_INF Innovation Gambar 5.2 Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Pada awal periode respon inflasi terhadap expected inflation memang tidak sesuai teori yaitu seharusnya responnya positif. Tetapi hal ini bisa disebabkan karena jika prediksi expected inflation itu tinggi, di awal bulan masyarakat cenderung untuk mengurangi konsumsinya sehingga menyebabkan inflasi turun di awal bulan. Tetapi setelah sekitar lima bulan penyesuaian, maka masyarakat kembali meningkatkan konsumsinya sehingga inflasi naik kembali Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Guncangan nilai tukar rupiah sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada kurs akan direspon positif oleh inflasi dengan kenaikan inflasi sebesar 0,47 persen. Mulai bulan ketiga sampai bulan kelima respon positif inflasi terhadap guncangan kurs semakin berkurang, dimana pada bulan kelima peningkatan inflasi hanya sebesar 0,21 persen. Di bulan keenam, respon positif inflasi tersebut

83 70 mulai menunjukkan peningkatan kembali yakni sebesar 0,22 persen. Peningkatan respon positif ini terus berlangsung hingga bulan kesembilan yang mencapai 0,25 persen. Respon inflasi terhadap guncangan kurs mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-10, dimana inflasi merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,26 persen (Gambar 5.3)..5 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_KURS Innovation Gambar 5.3 Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Permana (2004) bahwa nilai tukar rupiah berhubungan positif dengan inflasi melalui sektor usaha dan berhubungan dengan biaya impor atas bahan baku industri. Sebagian besar industri manufaktur di Indonesia masih mengandalkan bahan baku utamanya pada impor dari luar negeri. Semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat harga impor bahan baku menjadi mahal. Bahan baku yang semakin mahal membuat biaya produksi semakin meningkat dan pada akhirnya produsen

84 71 akan menaikkan harga jual. Melemahnya nilai tukar rupiah pada awal bulan langsung direspon positif dengan naiknya inflasi Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direpon oleh inflasi. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai muncul pada bulan kedua yang responnya bersifat negatif yang ditunjukkan dengan adanya penurunan inflasi sebesar 0,14 persen. Respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-15, di mana inflasi akan merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,17 persen (Gambar 5.4)..00 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_P_OIL Innovation Gambar 5.4 Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Respon inflasi di awal bulan terhadap guncangan harga minyak dunia tidak sesuai dengan teori. Seharusnya sesuai teori bahwa kenaikan harga minyak

85 72 dunia akan direspon dengan kenaikan inflasi. Tapi penelitian ini sesuai dengan penelitian Permana (2004) dimana dalam penelitiannya disebutkan bahwa harga BBM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Respon yang negatif pada awal bulan dikarenakan kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga minyak dalam negeri. Pemerintah membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga minyak dunia. Di samping itu, sektor usaha kemungkinan masih memiliki persediaan BBM sehingga dampak kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga. Seiring bertambahnya bulan, respon sektor usaha mulai terasa terhadap kenaikan harga minyak dunia. Mereka meresponnya dengan menaikkan harga jual produknya. Pada awal menaikkan harga jual, akan menyebabkan inflasi di masyarakat tapi hal ini tidak berlangsung lama karena lama kelamaan masyarakat akan mulai menyesuaikan Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Inflasi tampak belum merespon guncangan indeks harga komoditi pangan dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama. Guncangan ini mulai direpon positif pada bulan kedua yakni dengan peningkatan inflasi sebesar 0,29 persen. Namun, mulai bulan ketiga sampai tahun pertama, respon positif ini cenderung semakin berkurang dimana pada tahun pertama sebesar 0,12 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke-19 (Gambar 5.5).

86 73 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_PFW Innovation Gambar 5.5 Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan harga komoditi pangan akan menyebabkan kenaikan inflasi terutama inflasi makanan. Kecenderungan respon yang semakin berkurang ini dikarenakan masih cukupnya persediaan komoditi pangan di dalam negeri dan mulai berkurangnya ketergantungan terhadap komoditi pangan luar negeri Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia Guncangan upah buruh riil sebesar satu standar deviasi juga tampak belum direspon oleh inflasi pada bulan pertama. Di bulan kedua respon inflasi bersifat negatif terhadap guncangan upah riil yang dtunjukkan dengan penurunan inflasi sebesar 0,18 persen. Di bulan ketiga sampai kelima, respon inflasi terhadap guncangan upah riil cenderung berfluktuatif dan menunjukkan penurunan respon negatifnya yaitu berkisar pada 0,05 persen. Inflasi akan mencapai keseimbangan

87 74 jangka panjangnya pada bulan ke-16 dalam merespon guncangan upah riil pada kisaran 0,06 persen (Gambar 5.6)..00 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_W_RIIL Innovation Gambar 5.6 Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh Respon inflasi di awal bulan terhadap kenaikan upah buruh kurang sesuai dengan teori biaya produksi bahwa jika upah naik maka biaya produksi akan naik dan terjadi kenaikan harga yang memicu inflasi. Hal ini mungkin disebabkan bahwa data yang dipakai adalah upah riil yang telah terkoreksi dengan kenaikan harga sehingga tidak benar-benar mencerminkan upah yang dibayarkan produsen. Perbedaan hasil ini bisa juga disebabkan produsen yang tidak langsung merespon kenaikan upah tersebut karena kondisi usaha yang lesu karena adanya krisis ekonomi. 5.7 Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) FEVDs bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen

88 75 utama yang diamati. Dengan kata lain, FEDV menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEDVs maka pada penelitian ini akan dibahas bagaimana peranan berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi. Di samping itu, FEDVs juga bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) variabel endogen lainnya dalam mempengaruhi tingkat inflasi. Berdasarkan hasil dekomposisi varian (Gambar 5.7), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu di bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan yaitu sebesar 40,52 persen. Variabel expected inflation berada pada urutan kedua yakni sebesar 28,58 persen. Variabel nilai tukar rupiah (kurs) juga tampak mulai memegang peranan dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi pada periode tersebut, yakni sebesar 16,90 persen. Variabel indeks harga komoditi pangan dunia, upah riil dan harga minyak dunia tampak tidak terlalu mempengaruhi variabilitas laju inflasi, di mana masing-masing hanya berperan sebesar 6,95 persen, 5,71 persen dan 1,34 persen.

89 76 PERSEN 100% 80% 60% 40% 20% 0% INFLASI EXP_INF PERIODE LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL Gambar 5.7 Hasil Forecast Error Variance Decompositionss (FEVDs) Dalam periode dua tahun mendatang, peranan inflasi dalam menjelaskan fluktuasi inflasi itu sendiri semakin berkurang, yakni sebesar 26,78 persen. Namun disisi lain, peranan expected inflation tampak semakin meningkat yakni sebesar 36,96 persen. Peranan kurs juga menunjukkann peningkatan yakni sebesar 20,64 persen. Variabel indeks harga komoditi pangan dunia menunjukkan peranan yang agak menurun dalam menjelaskan variabilitas inflasi. Pada periodee ini, variabel harga minyak dunia menunjukkan peranan yang lebih besar dibandingkan variabel upah riil dalam menjelaskan inflasi yaitu sebesar 6,23 persen Proporsi untuk variabel hargaa minyak dunia dan upah riil masing-masing sebesar 8,76 persen dan 1,34 persen. Padaa proyeksi tiga tahun ke depan (36 bulan) ), dominansi inflasi dalam menjelaskan variabilitas inflasi itu sendiri mulai berkurang dan digantikann oleh variabel expected inflation dimana proporsinya dalam menjelaskan variabilitas inflasi menjadi sebesar 20,70 persen. Variabel expected inflation, proporsinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus utama dari kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, tujuan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Inflasi Inflasi merupakan salah satu resiko yang pasti dihadapi oleh manusia yang hidup dalam ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu mengalami

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang

Lebih terperinci

Suku Bunga dan Inflasi

Suku Bunga dan Inflasi Suku Bunga dan Inflasi Pengertian Suku Bunga Harga dari uang Bunga dalam konteks perbankan dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ekonomi dunia dewasa ini berimplikasi pada eratnya hubungan satu negara dengan negara yang lain. Arus globalisasi ekonomi ditandai dengan

Lebih terperinci

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;. Bab V INFLASI Jika kita perhatikan dan rasakan dari masa lampau sampai sekarang, harga barang barang dan jasa kebutuhan kita harganya terus menaik, dan nilai tukar uang selalu turun dibandingkan nilai

Lebih terperinci

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran K-13 ekonomi K e l a s XI INFLASI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan menjelaskan penyebab inflasi dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat. A. INFLASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan meningkatnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Definisi Inflasi Pada tahun awal Perang Dunia II Lerner mengutarakan definisi inflasi. Menurut Lerner, inflasi adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar tidak diragukan lagi adalah merupakan salah satu variabel ekonomi yang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Perbedaan nilai

Lebih terperinci

PENGARUH KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) MASING-MASING KELOMPOK BARANG DAN JASA DI KOTA BANDA ACEH TAHUN

PENGARUH KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) MASING-MASING KELOMPOK BARANG DAN JASA DI KOTA BANDA ACEH TAHUN PENGARUH KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) MASING-MASING KELOMPOK BARANG DAN JASA DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 1998-2008 Oleh : Nenden Budiarti H14084014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laju inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama pengambil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laju inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama pengambil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama pengambil kebijakan ekonomi. Laju inflasi tinggi dan biasanya juga cenderung tidak stabil dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Boediono (2000) Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Boediono (2000) Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Inflasi Boediono (2000) Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus. kenaikan harga pada satu atau dua barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi.

BAB I PENDAHULUAN. Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Fenomena inflasi terbukti telah menggerogoti nilai riil pendapatan, menjadikan semua orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data bulanan periode 1998-2010. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin lama semakin tak terkendali. Setelah krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Dalam penelitian ini, obyek yang diamati yaitu inflasi sebagai variabel dependen, dan variabel independen JUB, kurs, BI rate dan PDB sebagai variabel yang

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah satu indikator kemajuan suatu Negara adalah perekonomian. Perekonomian menjadi salah satu pondasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu negara. Nilai tukar mata uang memegang peranan penting dalam perdagangan antar negara, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang menginginkan adanya perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkelanjutan. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Cadangan devisa didefenisikan sebagai saham eksternal aset, yang tersedia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Cadangan devisa didefenisikan sebagai saham eksternal aset, yang tersedia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cadangan devisa didefenisikan sebagai saham eksternal aset, yang tersedia untuk suatu negara dalam otoritas moneter yang digunakan untuk menutupi ketidakseimbangan

Lebih terperinci

PENGUKURAN INFLASI. Dalam menghitung Inflasi secara umum digunakan rumus: P P

PENGUKURAN INFLASI. Dalam menghitung Inflasi secara umum digunakan rumus: P P INFLASI Minggu 15 Pendahuluan Inflasi adalah kecendrungan meningkatnya harga-harga barang secara umum dan terus menerus. Kenaikkan harga satu atau dua barang tidak bisa disebut sebagai inflasi, kecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional mempunyai peranan sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1) Inflasi adalah kecendrungan meningkatnya harga-harga barang secara umum dan terus menerus. Kenaikkan harga satu atau dua barang tidak bisa disebut sebagai inflasi, kecuali jika kenaikkan harga barang itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Inflasi Inflasi merupakan salah satu fenomena yang penting dan sering dijumpai di semua Negara. Menurut Boediono (1982), inflasi merupakan kecenderungan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000 28 III. METODE PENELITIAN 3.1. Data 3.1.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari

Lebih terperinci

Indeks Nilai Tukar Rupiah 2000 = 100 BAB 1 PENDAHULUAN

Indeks Nilai Tukar Rupiah 2000 = 100 BAB 1 PENDAHULUAN 1990Q1 1991Q1 1992Q1 1993Q1 1994Q1 1995Q1 1996Q1 1997Q1 1998Q1 1999Q1 2000Q1 2001Q1 2002Q1 2003Q1 2004Q1 2005Q1 2006Q1 2007Q1 2008Q1 2009Q1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Artinya,

BAB I PENDAHULUAN. Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Artinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memiliki peran utama dalam mempertahankan stabilitas makroekonomi di negara berkembang. Namun, dua kebijakan tersebut menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu di antara beberapa variabel ekonomi makro yang paling diperhatikan oleh para ekonom. Alasannya, karena PDB merupakan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi. di Indonesia Tahun

SKRIPSI. Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi. di Indonesia Tahun Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 1977-2007 SKRIPSI Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Jenjang Strata I Jurusan Ilmu Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara berkembang yang menggunakan sistem perekonomian terbuka.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara berkembang yang menggunakan sistem perekonomian terbuka. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara berkembang yang menggunakan sistem perekonomian terbuka. Sistem perekonomian terbuka sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengantar Ekonomi Makro Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengertian Ilmu Ekonomi Adalah studi mengenai cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menggunakan sumber daya yang langka guna memproduksi komoditas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada

BAB III METODE PENELITIAN. kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada BAB III METODE PENELITIAN Menurut Sugiyono (2013), Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat

Lebih terperinci

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H14102107 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NOVA MARDIANTI. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk melakukan kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar bisa berupa banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional

I. PENDAHULUAN. terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penganut sistem perekonomian terbuka yang tidak terlepas dari kegiatan ekonomi internasional. Kegiatan ekonomi internasional yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Kausalitas dan Instrumen Data 1. Uji Stasioneritas Dalam mendapatkan estimasi model VECM, tahap pertama yang harus dilakukan pada pengujian data adalah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mankiw, 2006: 145). Ini tidak berarti bahwa harga harga berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mankiw, 2006: 145). Ini tidak berarti bahwa harga harga berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi Salah satu peristiwa modern yang sangat penting dan yang selalu dijumpai dihampir semua negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. besar bagi neraca berjalan maupun bagi variabel-variabel makroekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. besar bagi neraca berjalan maupun bagi variabel-variabel makroekonomi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbedaan nilai tukar suatu mata uang negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang (Tajul, 2000:129). Kurs merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 56 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI 0810512077 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS Mahasiswa Strata 1 Jurusan Ilmu Ekonomi Diajukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak pernah lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Karena pembangunan ekonomi mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Inflasi. Berdasarkan Tingkat Keparahan;

Jenis-Jenis Inflasi. Berdasarkan Tingkat Keparahan; INFLASI Pengertian Inflasi Inflasi adalah suatu keadaan perekonomian dimana harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan kenaikan harga itu berlangsung dalam jangka panjang. Inflasi secara umum terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu

Lebih terperinci

KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* Abstract

KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* Abstract KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* 1) Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Email: Mirza.winanda38@gmail.com 2)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset di Indonesia Pendekatan VECM (Periode 2005: :12)

Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset di Indonesia Pendekatan VECM (Periode 2005: :12) Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset di Indonesia Pendekatan VECM (Periode 2005:01 2015:12) DISUSUN OLEH : SITI FATIMAH 27212052 LATAR BELAKANG Kebijakan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global, nilai tukar

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global, nilai tukar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global, nilai tukar Rupiah terus mengalami tekanan depresiasi. Ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia juga telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Tingkat inflasi berbeda dari satu periode ke periode lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berintegrasi dengan banyak negara lain baik dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga secara

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 85 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi serta menelaah perbedaan pengaruh faktor-faktor tersebut pada masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi internasional semakin pesat sehingga hubungan ekonomi antar negara menjadi saling terkait dan mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor utama dalam perekonomian Negara tersebut. Peran kurs terletak pada nilai mata

BAB I PENDAHULUAN. sektor utama dalam perekonomian Negara tersebut. Peran kurs terletak pada nilai mata BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilai mata uang Rupiah dan perbandingan dengan nilai mata uang acuan internasional yaitu Dollar Amerika, merupakan salah satu gambaran pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan jasa dalam perekonomian dinilai dengan satuan uang. Seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan jasa dalam perekonomian dinilai dengan satuan uang. Seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan uang sangat penting dalam perekonomian. Seluruh barang dan jasa dalam perekonomian dinilai dengan satuan uang. Seiring dengan perkembangan perekonomian atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Nominal perbandingan antara mata uang asing dengan mata uang dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Nominal perbandingan antara mata uang asing dengan mata uang dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominal perbandingan antara mata uang asing dengan mata uang dalam negeri biasa sering dikenal sebagai kurs atau nilai tukar. Menurut Bergen, nilai tukar mata uang

Lebih terperinci

SKRIPSI. ANALISIS FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INFLASI DI JAWA TIMUR Disusun oleh : M. Rizki Johansyah

SKRIPSI. ANALISIS FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INFLASI DI JAWA TIMUR Disusun oleh : M. Rizki Johansyah SKRIPSI ANALISIS FAKTOR EKONOMI YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INFLASI DI JAWA TIMUR Disusun oleh : M. Rizki Johansyah 0611010108 Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi jurusan

Lebih terperinci

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya 1. Mikroekonomi vs Makroekonomi Untuk dapat memahami ilmu makro ekonomi, sebaiknya kita mengenali terlebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa kajian/landasan teoritis, studi empiris terkait sebelumnya atau yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa kajian/landasan teoritis, studi empiris terkait sebelumnya atau yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini pada intinya menyajikan tinjauan ulang literatur terkait dengan beberapa kajian/landasan teoritis, studi empiris terkait sebelumnya atau yang relevan dengan masalah pokok.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kurs (Nilai Tukar) a. Pengertian Kurs Beberapa pengertian kurs di kemukakan beberapa tokoh antara lain, menurut Krugman (1999) kurs atau exchange rate adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peristiwa moneter yang penting dan hampir dijumpai semua

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peristiwa moneter yang penting dan hampir dijumpai semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu peristiwa moneter yang penting dan hampir dijumpai semua negara di dunia adalah inflasi. Inflasi berasal dari bahasa latin inflance yang berarti meningkatkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan harga tanah dan bangunan yang lebih tinggi dari laju inflasi setiap tahunnya menyebabkan semakin

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series 40 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada tingkat pengangguran seperti yang dijelaskan oleh teori trade-off

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada tingkat pengangguran seperti yang dijelaskan oleh teori trade-off BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian sebuah negara selain pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Inflasi juga sebuah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menunjukan kuat atau lemahnya fundamental perekonomian suatu negara. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT A. INFLASI Adalah kecederungan tingkat perubahan harga secara terus menerus, sementara tingkat harga adalah akumulasi dari inflasi inflasi terdahulu. π =

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Perbankan Syariah di Indonesia yang mempunyai laporan keuangan yang transparan dan di publikasikan oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector 52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikonsumsinya atau mengkonsumsi semua apa yang diproduksinya.

BAB I PENDAHULUAN. yang dikonsumsinya atau mengkonsumsi semua apa yang diproduksinya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang memiliki spesialisasi yang tinggi. Hal ini berarti tidak ada seorangpun yang mampu memproduksi semua apa yang dikonsumsinya

Lebih terperinci

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 69 VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Eksternal Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rp14.900/$ pada kuartal berikutnya. Sama seperti pada tahun1998, Indonesia juga

BAB I PENDAHULUAN. Rp14.900/$ pada kuartal berikutnya. Sama seperti pada tahun1998, Indonesia juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dekade terakhir ini (1993-2012) Indonesia mengalamai dua kali krisis keuangan, yang pertama terjadi pada tahun 1998 yang pada saat itu nilai tukar rupiah

Lebih terperinci

KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG

KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG Katalog BPS : 7102004.3322 KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG No. Katalog : 7102004.3322 No. Publikasi : 33224.13.04 Ukuran Buku : 5,83 inci x 8,27 inci Jumlah

Lebih terperinci