UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA"

Transkripsi

1 PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM SAMBUNG SILANG HIDROGEL PVA(POLY(VINYL-ALCOHOL)) DAN NATRIUM ALGINAT DENGAN METODE FREEZE-THAWING DAN METRONIDAZOLE SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF SKRIPSI NURUL HIKMAH TANJUNG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015

2 PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM SAMBUNG SILANG HIDROGEL PVA (POLY(VINYL- ALCOHOL))DAN NATRIUM ALGINAT DENGAN METODE FREEZE-THAWING DAN METRONIDAZOL SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi NURUL HIKMAH TANJUNG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015 i

3

4

5

6 ABSTRAK Nama : Nurul Hikmah Tanjung NIM : Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thawing dan Metronidazol sebagai model zat aktif Telah dibuat sediaan film sambung silang PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan natrium alginat yang mengandung metronidazol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang, membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film. Film dibuat dengan empat formula A, B, C dan D dengan memvariasikan adanya natrium alginat dan metode sambung silang. Sambung. silang dilakukan dengan menggunakan metode fisik yaitu metode freeze-thawing. Film yang dihasilkan dikarakterisasi meliputi evaluasi organoleptis, ketebalan, kadar air, sifat mekanik, daya mengembang, dan profil pelepasan metronidazol dari film. Karakteristik film sambung silang yang dihasilkan dibandingkan dengan film yang tidak disambung silang. Hasilnya menunukkan bahwa film PVA-NA yang disambung silang, film PVA yang disambung silang, film PVA-NA yang tidak disambung silang dan film PVA yang tidak disambug silang memiliki karakteristik : persen kadar air berturut-turut64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61,77±3,58% dan 32,53 ± 6,473%; persen kekuatan tarikberturut-turut52,86±7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% dan 54,89 ± 5,01%; persen elongasiberturut-turut266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, persen pelepasan zat aktif dari dalam film pada jam ke 24 berturut-turut102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, 102,01 ± 2,67, dan 152,00 ± 11,02. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proses sambung silang mempengaruhi karakteristik film. Sambung silang yang dilakukan pada PVA-NA menyebabkan peningkatan kadar air sehingga menurunkan persen kekuatan tarik dan meningkatkan persen elongasi. Persentase kekuatan tarik terendah dan elongasi tertinggi dihasilkan oleh film sambung silang PVA-NA, persentase pelepasan obat metronidazol terendah dihasikan oleh film sambung silang PVA-NA. Kata kunci : film hidrogel, PVA, natrium alginat, metode sambung silang, freezethawing. v

7 ABSTRACK Name Major Title : Nurul Hikmah Tanjung : Pharmacy : Preparation and Characterization of Crosslinked PVA (Poly(vinyl alcohol)) and Sodium Alginate Hydrogel Film with Freeze Thawing Method and Metronidazole as Active Pharmaceutical Ingredient Model A Crosslink of PVA (Poly(vinyl-alcohol)) Hydrogel Film and Sodium Alginate dosage form that contain Metronidazole has been made. The purpose of this study was to characterize PVA (Poly(vinyl-alcohol)) and Sodium Alginate that were crosslinked, compare the characteristics of crossedlinked film with uncrossedlinked and to understand the effect of crosslink to the film. The film was formulated A, B, C and D. where varying the presence of sodium alginate and crosslink method in the film. Crosslink was done by using a physics method which was freeze thawing. The film that was resulted was characterized by their organoleptic, thickness, weight uniformity, water content, mechanical properties, swelling ratio, release profile of metronidazole from the film. The crosslink film characteristics resulted were being compared to the film that was not crosslinked. The result showed that PVA-NA crosslinked film, PVA crosslinked film, PVA- NA un crosslinked film and PVA uncrosslinked film had characteristics of : water content percentage 64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61, 77 ± 3,58% and 32,53 ± 6,473% respectively; tensile strength percentage 52,86 ± 7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% and 54,89 ± 5,01% respectively; elongation break percentage 266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, 102,01 ± 2,67, and 152,00 ± 11,02 respectively ; active pharmaceutical ingredient release from the film at hour 24 percentage 102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, respectively. Based on the results, it can be concluded that crosslink process affected the film characteristics. Crosslink that was done to PVA-NA caused ater content increase that the percentage of tensile strength was decreasing and elongation break percentage was increasing. The lowest tensile strength and the highest elongation break were resulted by PVA-NA crosslinked film, the lowest metronidazole release percentage was resulted by PVA-NA crosslinked film. Keywords : Hydrogel film, PVA, sodium alginate, crosslinked, freeze-thawing vi

8 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta kita sebagai umatnya. Penulisan skripsi yang berjudul Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thaing dan Metronidazol sebagai model zat aktif bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Nelly Suryani, Ph.D., Apt dan Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan, ilmu, bimbingan, waktu, tenaga, dan dukungan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya. 5. Kedua orang tua, ayahanda Syafi i Koto dan ibunda tercinta Sarifah Hanum yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dan doa yang tidak pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Sungguh besar jasa beliau, tidak ada apapun di dunia ini yang mampu membalas kebaikan Ayah dan Mama. Maafkan anakmu ini yang memiliki banyak kesalahan, semoga Allah senantiasa melindungi Ayah dan Mama. vii

9 6. Kakak dan abang saya yang tercinta Lina Khairani, Lili Suhaini, Arman Syahputra, Lisa Afriani dan Liza Tanzil serta abang dan kakak ipar saya tercinta Basir, M. Ridwan, Ardila, Riko Sihombing, dan Zulfan Efendi Arwalembun yang telah memberikan kasih sayang, doa, semangat,dan dukungan baik moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. 7. Keponakan-keponakan saya tersayang Sari Rahmadani, Hafiza Khairunnisa, M. Fajar Shiddiq, Prima Aji, Farhan Kholik, Sri Annisa, Jasmin, Batara Yuda, Indra Yana, M. Barkah Alzizian, Sahira Nafisa dan Doni Darmawan terima kasih karena selalu menjadi penyemangat dan penghibur ibu selama ini. 8. Kakek dan Nenek saya tersayang Alm. ungku Tapar, Alm.ungku Buyung, Almh. Nenek Norma semoga kalian diberi tempat terbaik disisi Allah swt dan Nenek Mariatun semoga selalu diberikan kesehatan dan umur panjang. Terimakasih telah telah menyayangi dan mendoakan kesuksesan cucumu ini. 9. Seluruh keluarga besar saya tercinta terima kasih atas doa dan dukungan baik secara moral dan materil. 10. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar. 11. Laboran-laboran Farmasi FKIK, Kak Rahmadi,Kak Eris, Kak Lisna, Kak Liken, Mba Rani, Kak Tiwi, Kak Yaenap, Kak Walid dan Mba Anis terima kasih atas dukungan serta kerjasamanya selama kegiatan penelitian. 12. Sahabat-sahabat seperjuanganku tercinta Mazaya Fadhila, Meri Rahmawati, Novila Tari, Mida Fahmi, Wina Oktaviana, Yulia Nurbaiti Raihana, Jemia, Firda Khanifah, Fitri Rachmadani, Dini Fauzana, Philia Permaiswari Pratiwi, Khairunnisa Robbani, Henny Pradika Nigrum, Miyadah Samiyah, Dana Yusshiammanti Fitria, Qurry Mawaddana, Gina Kholisoh, Nicky Annisiana Fortunita, Rika Chaerunnisa, Dhenny Arman Siregar, Resky Yuliandari dan Muhammad Fahmi Salafuddin, atas kebersaaman, persaudaraan, bantuan, semangat, pengertian, motivasi dan viii

10 dukungan sejak awal perkuliahan sampai saat ini. 13. Teman-teman Farmasi 2011 kelas A-C atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama kita di bangku perkuliahan. 14. Sahabat-sahabatku tercinta Intan Kurnia, Nabilah Fitri, Tengku Zahra Diba Johan, Nurul Arifah Batubara, Tengku Sofia Andriani Johan, Hanifah Sembiring, Dinda Afdilla Sarra, Nur Rizqi Handayani, Bebi Ayu Meilani, Nur Mawaddah Sari, dan Irawati Basuki, Muarifah, Harry Santoso dan Raudhatul Fuad terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini. 15. Teman-teman Tabletters Umniyati Mufidah, Herlina Pratiwi, Ichsana Eskha Widya, Rizka Nurbaiti, Wardah Annajiah dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan memberikan banyak masukan dalam penelitian ini. 16. Teman-teman 1001 Ailla Tiara Putri, Tiara Arliani, Anggita Cahya Utami, Nadiya Hilmi, Tri Wahyuni, Dila Taruli, Laila Khotimah dan teman-teman lainnya terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini. 17. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini. Amiin Ya Rabbal alamiin. Ciputat, Oktober2015 Penulis ix

11

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACK... vi KATA PENGANTAR... vii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Batasan dan Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kulit Luka Jenis-Jenis Luka Luka Berdasarkan Derajat Kontaminan Luka Berdasarkan Penyebab Fase Penyembuhan Luka Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi) Fase Intermediate (Proliferasi) Fase Akhir (Remodelling) Gangguan Proses Penyembuhan Luka Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid Luka Kronis Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain Wound Dressing (Pembalut Luka) Hidrogel PVA(Poly(vinyl alkohol)) Natrium Alginat Sambung Silang Sambung Silang PVA Gliserin Metronidazol BAB III METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Alat Bahan Prosedur Kerja xi

13 3.3.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Preparasi Film Sambung Silang Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Organoleptis Evaluasi Viskositas Karakterisasi Film Evaluasi Organoleptis Pengukuran Ketebalan Film Analisa Daya Mengembang Analisa Kadar Air Uji Sifat Mekanik Film Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazole Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Sediaan Film Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Preparasi Film Sambung Silang Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Organoleptis Evaluasi Viskositas Karaktersasi Film Evaluasi Organoleptis Pengukuran Ketebalan Film Analisa Daya Mengembang Analisa Kadar Air Uji Sifat Mekanik Film Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang Tabel 3.2 Variasi Jenis Film Tabel 4.1 Karakteristik Film Hasil Optimasi Tabel 4.2 Ketebalan Film Tabel 4.3 Daya Mengembang Film Tabel 4.4 Kadar Air Tabel 4.5 Uji Mekanik Film Tabel 4.6 Persen Kumulatif Pelepasan Metronidazole dari Film Tabel 4.7 Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Metronidazole dari Film Tabel 4.8 Kadar Metronidazole dalam Film xiii

15 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol) Gambar 2.2 Struktur Alginat Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol Gambar 4.1 Larutan CPF PVA-NA (A), Larutan CPF PVA (B) Gambar 4.2 Gambar Makroskopik Keempat Formula Film A (A), Film B (B), Film C (C), dan Film D (D) Gambar 4.3 Grafik Daya Mengembang Film Gambar 4.4 Kurva Sifat Mekanik Film Gambar 4.5 Grafik Persentase Kumulatif Pelepasan Metronidazole xiv

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Alur Penelitian Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan Lampiran 3. Pembuatan Koloid PVA 6% Lampiran 4. Pembuatan Koloid NA 0,9% Lampiran 5. Pembuatan Larutan Metronidazol Lampiran 6. Pembuatan Larutan Metronidazol Standar Lampiran 7. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Metronidazol dalam Aquabidestilasi Lampiran 8. Kadar Air Lampiran 9. Ketebalan Film Lampiran 10. Uji Mekanik Lampiran 11. Keseragaman Kandungan Lampiran 12. Presentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film Lampiran 13. Hasil Optimas Pelepasan Metronidazol Lampiran 14. Penetapan Kadar Metronidazol dari Film Lampiran 15. Uji Daya Mengembang Lampiran 16. Data Statistik Uji Mekanik Kekuatan Tarik Lampiran 17. Data Statistik Uji Mekanik Elongasi Lampiran 18. Data Statistik Uji Daya Mengembang Lampiran 19. Contoh Perhitungan Optimasi Pelepasan Metronidazol Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Metronidazol Lampiran 21. Sertifikat Analisis PVA Lampiran 22. Sertifikat Analisis Metronidazol Lampiran 23. Sertifikat Analisis Natrium Alginat xv

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, sediaan penutup luka menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehata. Banyaknya korban yang menderita luka akibat kecelakaan industri, lalu lintas, penyakit diabetes, kebakaran dan sebagainya menjadi faktor pertimbangan khusus dalam penelitian obat penutup luka. Sediaan penutup luka sangat diharapkan memiliki mekanisme kerja yang cepat dan efektif untuk mempercepat penyembuhan. Produk hidrogel merupakan kelompok yang terdiri dari material polimer, struktur hidrofiliknya mengakibatkan produk ini mampu menjerap air dalam jumlah besar dalam jaringan tiga dimensinya (Ahmed, 2013). Sifat lain dari hidrogel yaitu dapat memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel serta memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit (Weller dan Summan, 2006). Keuntungan-keuntungan hidrogel tersebut merupakan dasar pemilihan hidrogel sebagai basis film yang akan digunakan. Dalam aplikasi pengobatan penutup luka, PVA merupakan produk hidrogel sintetik yang paling lama dan memiliki biokompatibel yang baik (Komoun et al.,2014 ). Tetapi PVA memiliki kekurangan yaitu tidak cukup elastis, membrannya kaku dan sifat hidrofilisitasnya yang terbatas jika digunakan sendiri sehingga membutuhkan modifikasi seperti menggabungkan PVA dengan hidrogel natural ataupun sintetik lain (Kamoun et al., 2014). Serangkaian campuran PVA (poly(vinyl alcohol) dan polimer hidrogel lain yang memiliki karakteristik yang baik telah direview menggunakan metode sambung silang yang berbeda untuk mendapatkan bahan pembalut luka yang tepat. Yaitu pembalut luka yang memiliki biokompatibilitas dan sifat mekanik yang memuaskan. Dalam jurnal review yang dilakukan oleh (Komoun et al., 2014) para peneliti lain menyatakan bahwa penggabungan PVA dengan menggunakan 1 1

18 2 natrium alginat (NA) dengan metode freeze-thawing akan meningkatkan sifat film seperti meningkatkan elastisitas, dan stabilitas suhu dan daya mengembang yang berdampak pada kelembaban lingkungan luka. NA memiliki sifat hidrofilisitas yang tinggi, biokompatibilitas yang baik dan relatif ekonomis dan telah banyak diaplikasikan dalam pengobatan biomedis seperti wound dressing. NA merupakan polimer hidrogel yang paling umum diaplikasikan untuk wound dressing yang digabungkan dengan PVA baik sebagai komponen utama ataupun tambahan. (Kamoun et al., 2014). Pada penelitian ini akan dibuat film hidrogel yang terdiri dari 4 jenis film yang berbeda pada formula dan proses sambung silang. Film A terdiri dari polimer PVA dan NA yang disambung silang, film B terdiri dari polimer PVA yang disambung silang, film C terdiri dari polimer PVA dan NA yang tidak disambung silang dan film D terdiri dari polimer PVA yang tidak disambung silang. Semua film dibuat dengan penambahan gliserin sebagai plasticizer dan metronidazol sebagai model zat aktif. Penambahan plastisizer diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pembentukan film. Sambung silang merupakan salah satu metode untuk menghubungkan antara rantai polimer satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang saling berkesinambungan (Sugita et al., 2009). Ikatan yang terbentuk ini dapat mempengaruhi karakteristik dari suatu polimer dimana akan meningkatkan daya mengembang, sifat mekanik dan pelepasan obat (Komoun et al., 2013) Hidrogel akan disambung silang dengan metode freeze-thawing dalam upaya untuk memperbaiki sifat film. Bahan kimia yang digunakan dalam metode sambung silang secara kimia tidak hanya merupakan senyawa beracun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dan sel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia. Sehingga digunakan metode fisik yaitu freeze-thawing yang lebih mudah dan paling aman digunakan (Kamoun et al., 2014)

19 3 Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian selanjutkan dalam menentukan film yang akan digunakan sebagai pembawa bioaktif untuk sediaan penutup luka agar pengobatan pada luka mendapatkan efek terapi yang maksimal. 1.2 Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah karakteristik dari setiap film yang akan dibuat dengan metode sambung silang freeze--thawing? 2. Formulasi manakah yang akan memberikan karakteristik yang paling baik diantara formulasi yang telah dirancang? 3. Bagaimanakah pengaruh penambahan plastisizer pada pembentukan film? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang dan yang tidak disambung silang. 2. Membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film 3. Mempelajari karakteristik film dari setiap formulasi baik film yang disambung silang dengan metode freeze-thawing maupun film yang tidak disambung silang. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitan ini adalah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan film hidrogel pada sediaan penutup luka sehingga dapat memaksimalkan efek terapi pada pengobatan dan untuk membantu penelitian selanjutnya.

20 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m 2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital vserta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitifitas bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009). Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar haba, penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan (Setiabudi, 2008). Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa (Djuanda dan Sri, 2003). Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa.kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala (Djuanda dan Sri, 2003). Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora dan Derrickson, 2009). 2.2 Luka Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk dari luka berbeda tergantung penyebabnya, ada yang terbuka dan tertutup. Salah satu contoh luka terbuka adalah insisi dimana terdapat robekan linier pada kulit dan jaringan di bawahnya. Salah satu contoh luka 4

21 5 tertutup adalah hematoma dimana pembuluh darah yang pecah menyebabkan berkumpulnya darah di bawah kulit (Pusponegoro, 2005) Tubuh memiliki respon fisiologis terhadap luka yakni proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka terdiri dari berbagai proses yang kompleks untuk mengembalikan integritas jaringan. Selama proses ini terjadi pembekuan darah, respon inflamasi akut dan kronis, neovaskularisasi, proliferasi sel hingga apoptosis. Proses ini dimediasi oleh berbagai sel, sitokin, matriks, dan growth factor. Disregulasi dari proses tersebut bisa menyebabkan komplikasi atau abnormalitas luka yaitu luka hipertrofik dan keloid. Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami namun terkadang diperlukan penanganan khusus pada luka untuk membantu proses tersebut. Oleh karena itu penting untuk dipahami mengenai proses penyembuhan luka (Pusponegoro, 2005). Luka memberikan angka morbiditas yang cukup besar di seluruh dunia terutama luka kronis karena mengganggu fungsional jaringan dan dilihat dari nilai estetikanya. Luka akut yang mengalami penyulit dalam proses penyembuhannya dapat berprogres imenjadi luka kronis. Contoh dari luka kronis yang sering dan menyebabkan komplikasi adalah ulkus diabetikus.melihat permasalahan tersebut, luka perlu mendapat penanganan yang baik untuk mengurangi angka morbiditasnya (Lawrence, 2002) Jenis-Jenis Luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997) Luka Berdasarkan Derajat Kontaminasi a. Luka Bersih Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

22 6 b. Luka Bersih Terkontaminasi Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%. c. Luka Terkontaminasi Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d. Luka Kotor Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama Luka Berdasarkan Penyebab a. Vulnus Ekskoriasi Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupu n benturan benda tajam ataupun tumpul. b. Vulnus Scissum Vulnus scissum atau luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (seng, kaca), dimana bentuk luka teratur. c. Vulnus Laseratum Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang-camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana

23 7 bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d. Vulnus Punctum Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e. Vulnus Morsum Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f. Vulnus Combutio Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa Fase Penyembuhan Luka Tubuh mempunyai pelindung dalam menahan perubahan lingkungan yaitu kulit. Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung tersebut maka terjadilah luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki fungsi fisiologis penyembuhan luka. Proses penyembuhan ini terdiri dari fase awal intermediate dan fase lanjut. Masing-masing fase memiliki proses biologis dan peranan sel yang berbeda. Pada fase awal terjad hemostasis dimana pembuluh darah yang terputus pada luka akan dihentikan dengan terjadinya reaksi vasokonstriksi untuk memulihkan aliran darah serta inflamasi untuk membuang jaringan rusak dan mencegah infeksi bakteri. Pada fase intermediate, terjadi proliferasi sel mesenkim, epitelialisasi dan angiogenesis. Selain itu terjadi pula kontraksi luka dan sintesis kolagen pada fase ini. Sedangkan untuk fase akhir, terjadi pembentukan luka/remodelling (Pusponegoro, 2005 dan Leong et al., 2012)

24 Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi) Pada luka yang menembus epidermis akan merusak pembuluh darah menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis. Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah normal, terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan (Leong et a.l, 2012) Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor pezmbekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast (Gurtner, 2007) Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan dalam membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke dalam luka. Rangka fibrin-fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka dan bertindak sebagai penyimpan faktor faktor tersebut untuk proses penyembuhan (Leong et a.l, 2012) Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka. Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka (Gurtner, 2007 dan Schultz, 2007) Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan kapiler untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh epinephrin, norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Setelah menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi yang dimediasi oleh seotonin, histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan produk

25 9 endotel. Pp ini yang menyebabkan lokasi luka tampak merah dan hangat (bster et a.l, 2012 dan Leong et a.l, 2012) Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan histamin dan serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Pp ini mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler ke ekstravaskuler. Leukosit berpindah ke jaringan yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini dimulai dengan leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi oleh selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM) pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke jaringan yang luka (Leong et a.l, 2012) Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses penyembuhan. Pp ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005 dan Lawrence, 2002) Pada hari kedua/ketiga luka, monosit/makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Leong et a.l, 2012 dan Schultz, 2007)

26 10 Limfosit T muncul secara signifikan pada hari kelima luka sampai hari ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin, seperti IL-2 dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan interferon-γ (IFN- γ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis (Gurtner, 2007) Fase Intermediate (Proliferasi) Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel inflamasi, tanda-tanda radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang mengaktivasi fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai berproliferasi hingga jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima (Leong et a.l, 2012). Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks MPP (mettaloproteinase) untuk memecah matriks yang mengppangi migrasi. Fungsi utama dari fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama ECM. Kolagen tipe I dan III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan normalnya ada pada dermis manusia. Kolagen tipe III dan fibronectin dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan kemudian kolagen tipe III digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah banyak dan menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka (Leong et a.l, 2012 dan Galiano et a.l, 2007). Pembentukan pembuluh darah baru/angiogenesis adalah proses yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak akibat luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar ph yang asam, dan penurunan tekanan oksigen di jaringan (Gurtner, 2007 dan Schultz. 2007). Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai substansi akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan

27 11 transforming growth factor-β (TGF-β). Pembelahan dari sel endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi dari membran basal akan menghasilkan maturasi kapiler (Lawrence, 2002) Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang ebanyakan dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari akhir fase inflamasi. Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel kapiler, berikatan dengan berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai faktor angiogenik yang poten dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan fibroblast selama proses penyembuhan (Leong et al., 2012). Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan kembali lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi MMP lainnya ketika bermigrasi (Galiano et al., 2007) Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi akan berperan sebagai perantara sel-sel untuk melakukan migrasi. Jaringan ini terdiri dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast, makrofag dan sel endotel. Sel-sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh darah baru sebagai sumber energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul pada hari keempat setelah luka.fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan sebagai perantara migrasi keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka Makrofag akan menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast berproliferasi. Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk pembuluh darah baru (Schultz, 2007) Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi luka menuju arah tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi

28 12 juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah tengah dengan rata-rata 0,6 sampai 0,75 mm/hari. Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Leong et al., 2012 dan Gurtner, 2007) Fase Akhir (Remodelling) Fase remodeling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Leong et al, 2012) Gangguan Proses Penyembuhan Luka Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat mempengaruhi hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang terbentuk. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara kontaminasi atau benda asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan koagulasi, obat-obatan penekan sistem iun, paparan radiasi, dan beberapa faktor lain. Suplai darah juga mempengaruhi proses penyembuhan, dimana suplai darah pada ekstremitas bawah adalah yang paling sedikit pada tubuh dan suplai darah pada wajah serta tangan cukup tinggi. Usia pasien yang tua juga memperpanjang proses penyembuhan (Pusponegoro, 2005., Lawrence, 2002 dan Gurtner, 2007)

29 Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid Jaringan parut yang terbentuk sebagai hasil akhir proses penyembuhan bergantung pada kolagen terbentuk. Normalnya pada fase remodelling akan terjadi keseimbangan antara pembentukan kolagen dan pemecahannya oleh enzim. Apabila kolagen yang terbentuk melebihi degradasinya akan terjadi jaringan parut hipertrofik atau keloid, sedangkan apabila pemecahan lebih tinggi dari pembentukan akan terjadijaringan parut hipotrofik (Lawrence, 2002 dan Schultz, 2007) Jaringan parut dengan proliferasi kolagen yang berlebihan adalah jaringan parut hipertrofik dan keloid. Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi batas awal luka, biasanya tidak mengalami regresi. Keloid ini lebih sering terjadi pada pasien dengan kulit gelap dan juga ada predisposisi genetik (Gurtner, 2007 dan Galiano et a.l, 2007) Jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut yang tumbuh tapi masih dalam batas luka awal dan biasanya sembuh secara spontan. Jaringan parut hipertrofik ini biasanya dapat dicegah, contohnya pada kasus luka bakar. Pada luka bakar, akan terjadi perpanjangan fase inflamasi yang menyebabkan terjadinya proliferasi berlebih akibat aktivasi fibroblast yang tinggi. Sehingga usaha utama untuk melakukan pencegahan adalah dengan membantu fase inflamasi agar berlangsung lebih singkat. Pembentukan luka yang perpendikular juga akan tampak rata, sempit dengan pembentukan kolagen yang lebih sedikit dibandingkan luka yang paralel dengan serat otot (Gurtner, 2007) Luka Kronis Abnormalitas dari fase-fase pada proses penyembuhan dapat mempengaruhi masa penyembuhan luka. Luka kronis didefinisikan sebagai luka akut yang disertai gangguan proses penyembuhan. Pada penelitian tentang luka kronis didapatkan bahwa aktivitas TNF-α dan IL-1 mengalami peningkatan. Pada penyembuhan luka diperlukan adanya keseimbangan degradasi proteolitik dari ECM dan restrukturisasi ECM untuk mengijinkan perlekatan sel dan pembentukan membran basal. Apabila proses ini terganggu, ECM akan

30 14 mengalami kerusakan kemudian mencegah migrasi dan perlekatan keratinosit, dan merusak jaringan yang terbentuk (Brain et al, 2007) Salah satu contoh dari luka kronis adalah pressure ulcers menunjukkan peningkatan MMP, terutama MMP-1, -2, -8 dan -9, dan penurunan kadar tissue inhibitors of mettaloproteinase (TIMP). Pp ini membuktikan bahwa pada luka kronis terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan restrukturisasi ECM. Proteolisis yang berlebihan juga menyebabkan pemecahan jaringan ikat dan mengeluarkan produk yang merangsang sel inflamasi kembali aktif. Inflamasi yang berkepanjangan juga menambah kecenderungan penyembuhan luka menjadi lama (Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007) 2.3 Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain Dalam Al-Qur an Surah Al-Kahfi ayat dikatakan : Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya." Sungguh, Kami telah menempatkannya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun mengikuti suatu jalan. Hingga ketika dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ suatu kaum. Kami berkata: "Wahai Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. Berkata Zulkarnain: "Adapun orang yang zalim, maka kelak kami akan menyiksanya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang baik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami." Kemudian Zulkarnain mengikuti jalan. Hingga tatkala dia sampai ke tempat terbit matahari, dia mendapati matahari itu menyinari suatu kaum yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah, dan sesungguhnya Kami mengetahui segala sesuatu yang ada pada Zulkarnain. Kemudian dia mengikuti jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai diantara dua gunung, dia mendapati suatu

31 15 kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat penutup/penghalang antara kami dan mereka?" Zulkarnain berkata: "Apa yang telah dianugerahkan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding/penghalang antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi! Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulkarnain: "Tiuplah!" Hingga apabila dia (Zulkarnain) menjadikannya api, diapun berkata: "Berilah aku leburan tembaga agar aku tuangkan ke atasnya." Maka mereka (Ya juj dan Ma juj) tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Zulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." Dzulqarnain adalah seorang raja saleh yang diberi kekuasaan yang besar pada kesempatan yang luar biasa dan, kekuasaannya mencakup ke seluruh penjuru dunia di sekitar terbit dan terbenamnya matahari. Dalam keadaan demikian, Dzulqarnain tetap dalam kesalehan dan istiqamahnya tidak berubah, jika kita bayangkan pemimpin kita ada yang seperti beliau. Dengan berbagai keistimewaan dan kekuasaannya, beliau tidak pernah lupa kepada Tuhan yang memberikan segalanya (Taufik, 2009). Beliau dikurniakan Allah otak yang pintar, fikiran yang panjang dan berbagai-bagai ilmu pengetahuan: Ilmu Perang, Ilmu Politik dan Ilmu Teknik dan Kimia. Dari semenjak dia masih kecil, hatinya sudah tidak enak melihat perang yang selalu timbul antara Timur (Kerajaan Persia) dengan Barat (Kerajaan Rum). Perang yang tidak henti-hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad, yang telah menewaskan ribuan manusia dan merusakkan bumi, menghancurkan banyak harta benda. Untuk menghindarkan perang antaratimur dengan Barat yang sudah bertradisi ini, dia ingin mendirikan sebuah kerajaan besar yang meliputi Timur dan Barat (Taufik, 2009).

32 16 Padanya terdapat segala syarat untuk menyampaikan maksud dan tujuan hidupnya yang maha besar itu. Selain dia seorang yang baik, berakhlak yang tinggi, berilmu pengetahuan tentang ketenteraan, tentang pemerintahan dan teknik, akan dapat membawa dia sampai dipantai cita-citanya. Mula-mula sekali dengan tenteranya yang lengkap kuat, dia menuju ke Barat (Maghribi atau Moroko), tempat terbenamnya matahari. Disitu dilihatnya matahari itu terbenam dimata air yang bertambah hitam,yaitu Lautan Atlantik sekarang ini. Disitu didapatinya satu bangsa yang terlalu ingkar dan kafir, hebat sekali kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan bangsa itu. Bukan saja merusakkan permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Dzulkarnain menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam. Apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan atau akan dibiarkan begitu saja? (Taufik, 2009). Tuhan menyuruh Dzulkarnain membuat pilihan salah satu diantara dua tindakan: Digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka selama ini atau diajar dan dididik dengan propaganda, agar mereka kembali kepada kebenaran dan meninggalkan segala kejahatan. Akhirnya Dzulkarnain memutuskan akan menggempur mereka yang durhaka dan jahat sehebat-hebatnya dan membiarkan serta melindungi orang-orang yang baik diantara mereka. Pada bangsa itu, Dzulkarnain lalu mengucapkan kata-katanya yang ringkas: Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan agar Tuhan memberi siksa yang lebih hebat lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi serta diberi ganjaran-ganjaran dan kepadanya kami hanya akan perintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan saja (Taufik, 2009). Dalam beberapa penelitian banyak disebutkan dalam perjalanan Dzulqarnain selalu membawa lidah buaya dalam setiap peperangan sebagai obat luka bagi para prajuritnya. Dalam buku Martindale edisi 34 tahun 2005, ekstrak kering dari Aloe Barbadensis berisi tidak lebih dari 28 % derivat hydoxyanthracene sebagai barbaloin. Massa yang berwarna coklat gelap sedikit mengkilat berbentuk pecahan atau bubuk coklat. Sedikit larut dalam air mendidih,

33 17 larut dalam alkohol. Jus Aloe Capensis kering dari Aloe berisi 18 % derivat anthtracene sebagai barbaloin. Latex ( getah ) kering dari daun Aloe Barbadensis dikenal dalam perdagangan sebagai Curacao Aloe atau dari Aloe Ferox.dikenal dalam perdagangan dengan Cape Aloe. Menghasilkan tidak kurang 50 % ekstrak yang larut dalam air (IAI, 2008). 2.4 Wound Dressing (Pembalut Luka) Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal pada luka untuk melindungi luka, dan membantu penyembuhan luka. Dressing akan mengalami kontak langsung terhadap luka dan dibedakan dengan plester sebagai penahan dressing. Dressing berdasarkan aktivitasnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Inert/Passive Dressings dan Interactive/Bioactive Dressings (Weller dan Sussman, 2006). Tujuan utama pada luka bersih yang akan ditutup atau dibiarkan bergranulasi adalah menyediakan lingkungan penyembuhan yang lembap untuk memfasilitasi migrasi sel serta mencegah luka mengering. Pemilihan dressing tergantung dari jumlah dan tipe eksudat yang terdapat pada luka. Dressing hidrogel, film, komposit baik digunakan untuk luka dengan jumlah eksudat sedikit. Untuk luka dengan jumlah eksudat sedang digunakan hidrokoloid dan untuk luka dengan jumlah eksudat banyak digunakan alginate, foam dan NPWT. Luka dengan jaringan nekrosis yang besar harus dilakukan debridement terlebih dahulu sebelum memasang dressing (Lawrence, 2002., Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007). NPWT atau penutupan luka dengan vakum menggunakan spons pada luka, ditutup dengan dressing ketat kedap udara, dimana kemudian vakum dipasang. NPWT bisa digunakan untuk luka dengan kebocoran limfa yang besar dan fistula. Mekanisme utama NPWT adalah untuk menghilangkan edema, NPWT menghilangkan cairan darah atau limfa yang berada pada interstitial, sehingga meningkatkan difusi interstitial oksigen ke dalam sel. NPWT juga menghilangkan enzim-enzim kolagenase dan MMP yang kadarnya meningkat pada luka kronis (Lawrence, 2002 dan Brain et al, 2007).

34 18 Pembalut luka yang paling ideal adalah kulit alami sehingga dalam pengembangannya dalam pengembangannya penutup luka dibuat agar memiliki karakteristik yang mirir dengan kulit. Dengan demikian dapat tinggal lebih lama didaerah luka tanpa memberikan gangguan dan mampu mempercepat proses penyembuhan luka. Supaya memiliki karakteristik tersebut, maka suatu pembalut luka perlu memenuhi beberapa syarat berikut ini (Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012) 1. Mampu memelihara kelembaban yang tinggi pada antarmuka luka dan pembalut sekaligus mampu membuang eksudat luka berlebih dan senyawasenyawa toksik melalui absorpsi. 2. Memungkinkan pertukaran udara sekaligus memelihara lapisan yang tidak permeabel terhadap mikroorganisme. 3. Dapat mengisolasi termal. 4. Bersifat biokompartibel dan tidak merangsang reaksi alergi selama kontak dengan jaringan. 5. Memiliki daya lekat yang minimal terhadap permukaan luka sehingga saat dilepaskan dari luka tidak memberikan rasa sakit. 6. Secara fisik kuat bahkan pada saat basah. 7. Dapat dibuat dalam bentuk steril. Jika kriteria ini dapat dipenuhi maka lingkungan penyembuhan luka yang optimum dapat dipelihara dan proses penyembuhan dapat dipercepat ((Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012) 2.5 Hidrogel Dressing hidrogel sebagaimana namanya, dirancang untuk melembabkan luka, rehidrasi bekas luka dan membantu dalam debridemen autolitik. Hidrogel adalah polimer larut yang mengembangkan dalam air dan tersedia dalam bentuk lembaran, gel berbentuk amorf atau lembaran hidrogel dressing penyerap (Weller dan Summan, 2006) Dressing hidrogel memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel adalah keuntungan lain dari dressing hidrogel.

35 19 Hidrogel telah dapat memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit, pp ini sangat penting pada luka bakar dan luka yang menyakitkan. Viskositas dressing hidrogel bervariasi (Weller dan Summan, 2006). Hidrogel amorf diaplikasikan secara bebas ke atau ke dalam luka dan ditutupi dengan selaput sekunder seperti busa atau film.hidrogel bisa tetap tinggal pada luka selama tiga hari hari.dressing hidrogel mudah dihapus dari luka.selain penggunaannya dalam luka hidrogel tipis membantu dalam pengelolaan lesi seperti cacar air dan herpes zoster (Weller dan Summan, 2006). 2.6 PVA(Poly(vinyl alkohol)) PVA adalah salah satu dari sedikit polimer yang bersifatdapat larut dalam air.sifat kimia dan fisika dari polivinil alkohol membuat polimer ini memiliki andil penting dalam dunia perindustrian sehingga diproduksi secara luas di dunia.polivinil alkohol pertama kali ditemukan oleh Haehnel dan Herrman melalui reaksi adisi alkali pada larutan bening alkohol polivinil asetat yang kemudian menghasilkan larutan berwarna cokelat muda yang kemudian diketahui merupakan polivinil alkohol. Polivinil alkohol kemudian diperkenalkan pertama kali secara komersial pada tahun 1927 (Kirk dan Othmer, 1982). Berbeda dari senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi melalui reaksi polimerisasi, PVA diproduksi secara komersial melalui hidrolisis PVA dengan alkohol karena monomer dari vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi secara alami menjadi PVA (Kirk dan Othmer, 1982) Poly(vinyl alcohol) memiliki rumus kimia (C 2 H 4 O) n dengan berat molekul polivinil alkohol merupakan polimer sintetik larut air. Poly(vinyl alcohol) tidak berbau, serbuk granul berwarna putih hingga cream. ph Poly(vinyl alcohol) , titik leleh 228 o C untuk nilai hidrolisis penuh. Poly(vinyl alcohol) larut dalam air, sedikit larut dalam etanol 95%; tidak larut dalam pelarut organik. Pelarutan membutuhkan dispersi (pembasahan) dari bentuk padat dalam air pada suhu ruang diikuti dengan pemanasan pada saat mencampur pada suhu 90 o C sekitar 5 menit.pencampuran kemudian dilanjutkan ketika larutan panas menjadi dingin pada suhu ruang (Rowe et a.l, 2009).

36 20 Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol) Dalam aplikasinya poly(vinyl alcohol) digunakan dalam formulasi sediaan topikal(2.5% w/v) dan optalmik. Poly(vinyl alcohol) digunakan sebagai agen penstabil untuk emulsi (0.5% w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagaiagen peningkat viskositas untuk formulasi kental seperti produk optalmik ( % w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagai airmata buatan dan sebagai lubrikan pada cairan kontak lens, dan digunakan dalam formulasi susteined-release untuk sediaan oral dan patch transdermal. (Rowe et a.l, 2009) 2.7 Natrium Alginat Asam alginat tidak berasa, praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan, dan merupakan serbuk berserat (Rowe et al, 2009). Alginat (kalsium atau kalsium/natrium) bersifat sangat menyerap, merupakan dressing yang bersifat biodegradable yang berasal dari rumput laut coklat (Phaeophyceae) (Weller dan Summan, 2006). Pertukaran ion aktif dari ion kalsium menjadi ion natrium pada luka membentuk natrium alginat larut gel yang menyediakan lingkungan lembab pada permukaan luka. Sehingga dressing kalsium membutuhkan kelembaban/eksudat dari luka, karena itu mereka tidak cocok untuk kering luka atau luka dengan eschar mengeras (Weller dan Summan, 2006). Molekul asam alginat berbentuk polisakarida anionik yang linier dan disusun oleh kurang lebih residu rantai asam 1,4-ß-D- manuronat (M) dan 1,4-α-Lguluronat (G). Asam D-manuronat memiliki ikatan diekuatorial 4C1 sedangkan asam guluronat memiliki ikatan diaksial 1C4 (Komoun, 2013 dan Wandrey, 2005). Rantai yang terdiri atas 3 segmen polimer yang berbeda.

37 21 Gambar 2.2 Struktur Alginat Sifat alginat yang berserat dapat meninggalkan serat sisa dalam luka apabila tidak terdapat cukup eksudat pada luka. Pp ini mungkin memicu reaksi inflamasi karena merangsang zat asing dan menghasilkan respon tubuh. Perlu diperhatikan apabila menggunakan dressing alginat pada luka di sinus yang sangat dalam atau sempit, maka penghapusan dapat sulit dilakukan (Weller dan Summan, 2006). Alginat merupakan polimer yang bersifat biokompatibel dan biodegradable, polimerlarut dalam air, sifat mekanik lemah, kesulitan dalam penanganan, penyimpanandalam larutan, dan sterilisasi (Kamoun, 2014) Telah banyak penelitian yang mempromosikan beberapa dressing alginat karena dapat membantu proses hemostasis dalam perdarahan luka yang disebabkan karena pelepasan aktif ion kalsium yang membantu mekanisme pembekuan. Dressing alginat tersedia dalam lembaran, pita atau bentuk tali dalam berbagai ukuran dan memerlukan selaput sekunder (Weller dan Summan, 2006). Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan ph. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada ph dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (McHugh, 2003). Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan alginat cepat mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara.alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat diudara, karena bahan tersebut mengandung

38 22 partikel alga dan zat bernitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang,1990). 2.8 Sambung Silang Sambung silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer satu dengan lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang berkesimbunga di mana proses pembentukannya dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara kimia dan secara fisik. Proses secara kimia dibentuk dengan ikatan kovalen yang bersifat irreversible, sedangkan proses secara kimia dibentuk oleh ikatan reversible. Pada proses secara fisik terjadi interaksi secara ionic seperti sambung silang ionic dan kompleks polielektrolit. Pembentukan ikatan silang dilakukan dengan penambahan suatu agen sambung sialng ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi. Agen yang digunakan merupakan molekul yang memiliki bobot molekul yang lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan disambung silang (Sugita et al., 2009). Sambung silang terjadi ketika agen sambung silang membuat jembatan intermolekular atau yang lebih dikenal dengan tahap sambung silang. Agen sambung silang dapat berinteraksi dengan rantai linier makromolekul (tahap sambung silang) dan/atau dirinya sendiri (tahap polimerisasi) pada medium basa. Sambung silang secara drastis menurunkan mobilitas polimer dan sejumlah rantai yang terhubung oleh pembentukan dari keterkaitan antar rantai yang baru. Jaringan tiga dimensi kemudian terbentuk. Jika derajat retikulasi memiliki efisiensi yang tinggi, matriks dari polimer menjadi tidak larut dalam air (tetapi mengembang di dalam air) dan di pelarut organik (Shweta et al., 2013). Metode sambung silang secara fisik banyak dianggap sebagai metode sambung silang yang tepat dan telah banyak di aplikasikan untuk biomedis dan aaplikasi farmasetik. Penggunaan metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak toksik, bebas pelarut dan biokompatibel (Komoun et al., 2013)

39 Sambung Silang PVA Peppas dan Merrill (1977) mengungkapkan upaya awal dalam mempertimbangkan hidrogel PVA sebagai polimer biomaterial. Biasanya, hidrogel diperoleh dengan proses sambung silang dari polimer, yang mungkin dilakukan oleh reaksi kimia (misalnya polimerisasi radikal bebas, reaksi kimia dari kelompok pelengkap, menggunakan iradiasi energi tinggi, ataureaksi enzimatik) atau denganreaksi fisik(misalnya kristalisasi ion interaksi rantai polimer, hidrogen ikatan antara rantai, interaksi protein, atau desain kopolimer graft) (Kamoun et al., 2014). Dalam beberapa dekade terakhir, kebutuhandari gel sambung silang secara fisik mengalami peningkatan untuk menghindari penggunaan zat pengikat kimia tradisional dan reagen. Bahan kimia ini tidak hanya merupakan senyawaberacun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dansel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia (Kamoun et al., 2014). [Sumber : Hassan dan Peppas, 2000] Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing Beberapa upaya telah dilakukan oleh peniliti telah untuk penyiapan sambung silang PVA-basis hidrogel diantaranya yaitu radiation crosslinking oleh Park and Chang, 2003, chemical reaction with glyoxal oleh Teramoto et al., 2001, bifunctional reagents with glutaraldehyde oleh Dai and Barbari, 1999, juga

40 24 reaction with borates oleh Korsmeyer and Peppas, Meskipun, larutan hidrogel PVA dapat terbentuk dengan kekuatan rendah setelah terpapar penyimpanan dalam waktu yang sangat panjang pada suhu kamar, tetapi metode ini tidak memenuhi persyaratan aplikasi, di mana sifat mekanik adalah karakter yang paling penting dalam hidrogel, jauh lebih lemah (Kamoun et al., 2014) Gliserin Gliserin dalam pemeriannya berbentuk cairan jernih yang kental tidak berwarna, tidak berbau, memiliki rasa manis dan besifat higroskopis (Rowe et a.l, 2009). Dalam penggunanya, gliserin banyak digunakan pada sediaan farmasi antara lain sebagai humektan, emolien, kosolven dan pelarut pada sediaan cair dan setengah padat. Sedangkan pada produksi kapsul gelatin lunak biasanya gliserin digunakan sebagai zat pemberi sifat plastis (plastisizer) (Rowe et a.l, 2009). Berdasarkan sifat gliserin sebagai pemberi sifat plastis, maka akan digunakan glisein akan digunakan dalam penelitian ini untuk membantu meningkatkan sifat plastis dari film yang akan dibentuk sehingga akan meningkatkan penampilan film secara fisik Metronidazol [Sumber : Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol Nama kimia : 2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol Rumus molekul : C6H9N3O3 Berat molekul : 171,16 P

41 25 Pemeriaan : Hablur atau serbuk habllur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara; tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya. Kelarutan : Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform. Metronidazol merupakan obat yang bersifat hidrofilik, efektif untuk menghambat infeksi mikroorganisme anaerob dan protozoa. Obat ini digunakan untuk banyak terapi, termasuk infeksi vaginal dan peridontal. Obat ini termasuk obat yang banyak digunakan pada berbagai bsistem penghantaran obat seperti tablet untuk terapi ulkus peptikum, mikrosfer untuk terapi penyakit yang berhubungan dengan kolon dan mukosa lambung, partikel gel alginat untuk terapi lambung dan untuk terapi peridontal. Metronidazol adalah anggota kelas imidazol dengan konsentrasi 0,75% untuk sediaan gel intravaginal (Shifrovitch et al., 2009 dan USP, ).

42 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Formulasi Sediaan Padat, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakologi Laboratorium Kesehatan Lingkungan, dan Laboratorium Formulasi Sediaan Steril Program Studi Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah dan P3TIR BATAN, Pasar Jum at.penelitian dimulai pada bulan Maret hingga September Alat dan Bahan Alat Timbangan analitik (AND GH-202, Jepang), stand up stirrer (IKA RW 20 Digital), pengaduk magnetik (Advantec SRS710HA), oven (Eyela NDO- 400,Jepang), ph meter (Horiba F-52,Jepang), lemari pendingin dan freezer (Sanyo, Indonesia), termometer, deksikator, mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang), tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang), alat potong dumb bell (Saitama, Jepang), cawan penguap, spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2910, Jepang), mikroskop (OlympusIX-71, Jepang), cetakan akrilik film 8x4x4 cm, gunting, spuit, mikropipet, membran siringe filter, pipet volumetrik, gunting,dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium seperti beaker glass, labu erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, kaca arloji, cawan penguap, lumpang alu, spatel, batang pengaduk, pinset, labu ukur, dan lain-lain Bahan PVA (poly(vinyl-alcohol) tipe Pharmaceutical Grade (Shadong Bio- Technologi, Cina), natrium alginat (Shadong Bio-Technologi, Cina), metronidazol (PT.Indofarma, Indonesia) aquades, gliserin (Teknis), etanol 96% (Teknis), aquabides, akrilik, kertas saring, silica blue,tissue, alumunium foil dan plastik wrap. 26

43 Prosedur Kerja Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Optimasi ini dilakukan untuk memperoleh sediaan film yang memiliki organoleptis yang homogen secara visual, dan elastis. Dibuat cairan pembentuk film sambung silang PVA dan NA dengan formulasi sebagai berikut : Tabel 3.1 Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang Kode Formula PVA (%) NA (%) Gliserin (%) Aquades (%) F1 6 1,2 2 add 100 F2 6 0,9 2 add 100 F3 6 0,6 2 add 100 Larutan dibuat dengan mendispersikan PVA pada aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air), pendispersian dilakukan dengan bantuan pemanasan pada suhu 90 o C selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga terbentuk koloid (Rowe et al., 2009). Konsentrasi PVA digunakan berdasarkan studi literatur pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kamoun (2013). Dalam penelitian tersebut digunakan PVA dan NA sebagai polimer pembentuk film dengan konsentrasi 10:2. Namun dalam penelitian ini konsentrasi dimodifikasi menjadi 5:1. Natrium alginat didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan kemudian digerus hingga terbentuk koloid (Kamoun et al., 2013). Koloid yang terbentuk dari PVA dan NA diamati homogenitasnya untuk kemudian dicampurkan secara perlahan dan aquades yang tersisa ditambahkan kedalam campuran. Gliserin ditambahkan ke dalam campuran sebagai plasticizer dengan konsentrasi 2%. Konsentrasi ini didapatkan dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Saarai (2011).Campuran selanjutnya diaduk dengan stand up stirrer kecepatan 800 rpm selama 1 jam, campuran yang dihasilkan untuk selanjutnya disebut sebagai Cairan Pembentuk Film (CPF). CPF didiamkan

44 28 selama 24 jam kemudian dikeringkan dalam oven 50 o C selama 24 jam. Film yang dihasilkan kemudian diamati karakteristiknya, dimana film yang memenuhi karakteristik kemudian dipilih sebagai formula yang akan dievaluasi Preparasi Film Sambung Silang Berdasarkan hasil optimasi film yang diambil sebagai formula akhir yaitu F2. Film yang dibuat terdiri dari 2 jenis CPF yang berbeda yaitu CPF yang terdiri dari kombinasi PVA-NA (CPF A) dan CPF yang hanya terdiri dari PVA (CPF B). Kedua CPF masing-masing akan dibagi menjadi dua jenis film yang dibedakan berdasarkan film yang disambung silang dan film yang tidak disambung silang, berikut tabel variasi jenis film yang akan dibuat : Tabel 3.2 Variasi Jenis Film Kode Formula Formula PVA (%) NA (%) Gliserin (%) Metronidazol (%) Metode A 6 0,9 2 0,75 Sambung Silang B ,75 Sambung Silang C 6 0, , Tidak Sambung Silang D ,75 Tidak Sambung Silang *Film A (terdiri dari PVA dan NA yang disambung silang); Film B (terdiri dari PVA yang disambung silang); Film C (terdiri dari PVA dan NA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang); Film D (terdiri dari PVA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang). Film hidrogel dibuat dengan cara mendispersikan 6% PVA dalam aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air5), pendispersian dilakukan dengan pemanasan pada suhu 90 o C selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga homogen. Natrium alginat sebanyak 0,9% didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan lalu digerus hingga terbentuk koloid yang homogen. Kemudian 0,075% metronidazol didispersikan dalam aquades (1 bagian metronidazol dalam 50 bagian air) diaduk hingga homogen. Larutan natrium alginat dan larutan metronidazol dicampurkan

45 29 sedikit demi sedikit kedalam wadah berisi larutan PVA dan digenapkan menjadi 100%, kemudian campuran diaduk dengan menggunakan stand up stirrer dengan kecepatan 800 rpm selama 1 jam. Gliserin sebanyak 2% dicampurkan sedikit demi sedikit ke dalam CPF.CPF dibiarkan selama 24 jam dalam suhu ruang. CPF ditimbang seksama sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam cetakan akrilik ukuran 8x4x4 cm. Film A dan B disiapkan sebagai film sambung silang dengan metode freeze-thawing dengan cara membekukan film pada suhu -20 o C selama 8 jam kemudian dileburkan pada suhu 25 o C selama 6 jam, proses ini dlakukan berulang selama 3 siklus kemudian dikeringkan bersama dengan film C dan D dalam oven pada suhu 50 o C selama 24 jam. Film yang sudah kering kemudian dikeluarkan dari dalam oven untuk selanjutnya dilakukan karakterisasi dan evaluasi pada film (Kamoun et al., 2013 dengan modifikasi) Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Organoleptis Pengamatan makroskopik secara visual fisik CPF meliputi warna, kekeruhan, jenis CPF, dan permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012) Evaluasi Viskositas Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 30 rpm pada suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dalam Ginting, 2014 dengan modifikasi) Karakterisasi Film Evaluasi Organoleptis Pengamatan makroskopik secara visual fisik film meliputi warna dan tekstur permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012) Pengukuran Ketebalan Film Ketebalan film diukur dengan mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang) di 9 titik berbeda pada masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya

46 30 dan dinyatakan dalam satuan mikrometer (μm) (Satesh et al, 2010 dengan modifikasi) Analisa Daya Mengembang Untuk menghitung daya mengembang dari film PVA-NA, sampel film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan direndam dalam aquades 25 ml. Bobot awal sediaan ditimbang (W e ). Sampel kering kemudian direndam dengan aquades, bobot sampel ditimbang pada interval waktu tertentu hingga bobot sampel konstan. Waktu yang diambil yaitu pada menit ke 1, 5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Bobot sampel basah ditimbang (W s ). Ambilan air dari sampel dihitung menggunakan persamaan (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi) Daya Mengembang (%) = Analisa Kadar Air Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode thermogravimetri. Film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan ditimbang terlebih dahulu (Wo). Film diletakkan di dalam cawan penguap dan dioven pada suhu 105 o C selama 1 jam.film kemudian didinginkan dalam deksikator selama 15 menit dan ditimbang (Wt).Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan (AOAC, 2005 dalam Eskha, 2015). Kadar Air (%) = Uji Sifat Mekanik Film Kekuatan tarikan dan elongasi maksimum dianalisa menggunakan tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang) dengan gaya 100 kg. Film dipotong dengan alat dumb bell Astm-D-1822-L Crosshead (kecepatan 25 mm/min). Kekuatan tarik dan elongasi diukur sampai film sobek. Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi)

47 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazol Kurva kalibrasi metronidazol diukur dengan melarutkan 12,5 mg metronidazol dalam 25 ml aquabides sehingga didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Larutan kemudian diencerkan untuk membuat seri konsentrasi 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28 ppm. Untuk penentuan panjang gelombang maksimum, pengukuran serapan dilakukan dengan menggunakan larutan konsentrasi 10 ppm yang diukur pada panjang gelombang nm (Satesh et al, 2012 dengan modifikasi) Penetapan Kadar Metronidazol dalam Film Film ukuran 2 cm x 2 cm dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml yang mengandung 100 ml aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm selama 8 jam dan didiamkan selama 16 jam. Sebanyak 1 ml larutan diambil dan disaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-uv pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi) Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Film ukuran 2 cm x 2 cm dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml yang mengandung 100 ml aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm. Sebanyak 1 ml larutan diambil dandisaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm pada beberapa interval waktu dan langsung diganti dengan medium baru. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-uv pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi).

48 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Film Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Pada penelitian ini dibuat film sambung silang PVA dengan kombinasi NA dengan menggunakan metode freeze thawing. Metode freeze thawing merupakan suatu metode pembuatan film dengan melalui proses pembekuan (- 20 o C) dan peleburan (25 o C) yang dilakukan dalam beberapa siklus kemudian pelarut yang digunakan untuk melarutkan semua polimertermasuk obat dikeringkan sehingga terbentuk massa film (Hassan dan Peppas, 2000). Tabel 4.1 Karakteristik Film Hasil Optimasi Kode Formula F1 F2 F3 Konsentrasi PVA (%) Konsentrasi NA (%) 1,2 0,9 0,6 Konsentrasi Gliserin (%) Bentuk CPF Koloidal, agak keruh Koloidal, agak keruh Koloidal, agak keruh tanpa tanpa terlihat bentuk tanpa terlihat bentuk terlihat bentuk partikelnya, partikelnya, berwarna partikelnya, berwarna berwarna kuning kuning kecoklatan kuning Homogenitas CPF Homogen Homogen Homogen Tekstur Film Ujung film melengkung, tebal 0,23 mm, permukaan rata, kaku dibanding film lain, film tidak transparan Tebal 0,20 mm, permukaan rata, dan elastis, film transparan Tebal 0,18 mm, permukaan tidak rata, dan elastis, film transparan, film melengkung Penampakan Film 32

49 33 Pada penelitian pendahuluan dibuat film yang terdiri dari PVA dan NA dengan konsentrasi awal yaitu 5:1. Film ini dibuat dengan variasi konsentrasi dari NA dengan pemanasan 50 o C selama 24 jam dan bobot film yang dicetak sebanyak 10 gr. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil yang berbeda-beda pada setiap formula seperti yang tertera pada tabel di atas. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi NA yang digunakan dalam film. Dari ketiga formula uji, F2 dianggap memiliki karakteristik yang palik baik, oleh karena itu pengujian akan dilanjutkan dengan menggunakan F2 sebagai formula film yang akan dievaluasi dan akan menggunakan metronidazol sebagai model zat aktif Preparasi Film Sambung Silang Film dibuat mengandung obat metronidazol dengan dosis sebesar 0,75%, dosis tersebut merupakan dosis untuk sediaan topikal yang tertera pada USP. Dosis yang digunakan merupakan dosis zat aktif yang akan dimasukkan dalam sediaan yang akan dibuat. Sehingga dilakukan uji evaluasi untuk melihat kadar akhir metronidazol dalam film. Sediaan film ini dibuat dengan menggunakan pelarut aquades dan juga menggunakan plasticizer yaitu gliserin sebanyak 2%. Penggunaan gliserin pada sediaan film ini adalah hasil optimasi dimana pada uji pendahuluan film dibuat tanpa penambahan plasticizer menghasilkan film yang keras dan kaku. Pengunaan plasticizer di dalam formula sangat berkaitan dengan peningkat elastisitas dan sifat plastis dari film (Rudyardjo, 2014). Untuk membuat larutan cairan pembentuk film (CPF), masing-masing bahan terlebih dahulu harus didispersikan pada aquades. Pendispersian tersebut bertujuan untuk memastikan semua bahan terdispersi dengan sempurna sehingga ketika semua bahan dicampur bahan-bahan tersebut akan homogen. Setelah proses pembuatan, CPF didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang untuk menghilangkan gelembung udara yang terjerat di dalam CPF saat proses pembuatan. Gelembung udara yang terjerap dapat menyebabkan film yang terbentuk akan memiliki permukaan yang tidak merata.

50 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Organoleptis Pengamatan secara visual terhadap organoleptis CPF menunjukkan bahwa terdapat adanya NA di dalam formula menyebabkan perbedaan yang signifikan pada penampakan visual CPF. CPF A (PVAA-NA) merupakan koloid yang homogen, keruh, berwarna putih kekuningan, dan sedikit berbau amis, sedangkan CPF B (PVA) merupakan koloid yang homogen, jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Perbedaan ini disebabkan karena CPF A membentuk koloidal yang lebih besar karena polimer PVA dikombinasi dengan NA. A B Gambar 4.1 Larutan CPF PVA-NA (A), Larutan CPF PVA (B) Evaluasi Viskositas Uji viskositas cairan pembentuk film (CPF) menggunakan alat viskotester HAAKE 6R spindel R2 pada kecepatan 30 rpm. Kedua CPF memiliki perbedaan viskositas yang cukup besar. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas CPF A memiliki nilai viskositas 1077 cps dan CPF B memiliki nilai viskositas 265 cps. Hal ini disebabkan karena NA jika didispersikan dari dalam air membentuk koloid yang lebih kental dibandingkan PVA yang kemudian mempengaruhi nilai viskositas CPF PVA-NA menjadi lebih besar.

51 Karaktersasi Film Evaluasi Organoleptis Berdasarkan pengamatan secara visual film A berwarna putih kekuningan, sedikit berbau amis, bengkok, dan lebih tebal dibandingkan dengan film yang lain. Film B berwarna putih, tidak berbau, dan bengkok. Film C berwarna putih kuningan, sedikit berbau amis, dan permukaan film kasar. Film D berwarna putih, mengkilap seperti plastik dan tidak berbau. A B C D A A Gambar 4.2 Gambar Makroskopik Keempat Formula Film A (A), Film B (B), Film C (C), dan Film D (D) Film A dan B pada saat di sambung silang mengalami pengkerutan seperti gambar diatas. Diduga Hal ini terjadi karena pada saat proses sambung silang freeze thawing CPF mengalami sineresis yaitu proses keluarnya cairan dari dalam gel yang menyebabkan gel menjadi mengkerut. Sineresis diperkirakan terjadi akibat struktur serabut gel yang terus-menerus mengasar pada proses pembekuan sehingga menimbulkan suatu efek penekanan keluar. (Martin et al., 2011). Film C dan D tidak mengalami proses sambung silang sehingga film yang terbentuk tetap mengikuti bentuk cetakannya.

52 Pengukuran Ketebalan Film Berdasarkan pengujian yang dilakukan ketebalan pada setiap film sambung silang bervariasi baik pada film A, B, C maupun film D. Meskipun sudah menggunakan cetakan yang terbuat dari bahan akrilik yang memiliki permukaan yang rata, ketebalan film tetap bervariasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan perbedaan ini terjadi. Ketebalan yang bervariasi ini dapat disebabkan oleh ukuran cetakan yang terlalu sempit yang menyebabkan film dapat tertarik ketengah pada saat pengeringan sehingga film pada posisi tengah cetakan lebih besar daripada bagian pinggir cetakan. Proses sambung silang juga sangat berpengaruh seperti pada film A, Hal ini sudah dijelaskan pada evaluasi organoleptis. Ketebalan film sambung silang akan meningkat secara signifikan dengan adanya natrium alginat dan penambahan metronidazol juga dapat meningkatkan ketebalan film (Sarheed et al., 2015). Tabel 4.2 Ketebalan Film Formula Ketebalan (mm) A 1,24 ±0,03 B 0,44±0,04 C 0,20±0,02 D 0,22±0,01 Berdasarkan data hasil pengujian, terlihat bahwa ketebalan yang dimiliki film D lebih besar dibandingkan dengan film C. Hal ini tidak sesuai jika didasarkan pada polimer yang terkandung di dalam masing-masing film. Film C mengandung polimer yang lebih banyak dibandingkan film D di mana film C terdiri dari polimer PVA dan NA sedangkan film D hanya terdiri dari PVA. Oleh sebab itu film C seharusnya memiliki ketebalan yang lebih besar dibandingkan film D. Hal ini dapat terjadi diduga karena pada saat pengujian titik uji yang diambil tidak mewakili ketebalan film secara keseluruhan. Di mana titik uji yang diambil yaitu pada 9 titik meliputi 3 titik pada setiap bagian atas, tengah dan bawah film. Pada organoleptis makroskopis dapat dilihat bahwa terdapat daerah yang terlihat bening dibagian pinggir film sedangkan pada bagian tengah film

53 37 terlihat tidak bening. Daerah yang bening memiliki ketebalan yang lebih kecil dibandingkan daerah yang tidak bening sehingga seharusnya pengujian dilakukan dengan mengambil lebih banyak titik uji sehingga dapat mewakili seluruh film. Ketebalan film memilki efek yang signifikan terhadap kemampuan mengembang suatu film karena dapat menentukan konsentrasi dan ukuran penetrasi molekul pelarut yang dapat masuk ke dalam film (Sarheed et al., 2015) Analisa Daya Mengembang Tabel 4.3 Daya Mengembang Film Waktu % Daya Mengembang Film (menit) A B C D ,70 ± 9,95 75,41 ± 3,54 92,28 ± 14,47 70,01 ± 1, ,29 ± 43,26 95,76 ± 7,05 96,26 ± 6,56 82,54 ± 4, ,4 ± 51,22 115,89 ± 19,36 100,44 ± 18,23 84, 75 ± 2, ,41 ± 55,31 135,6 ± 15,32 94,13 ± 4,01 85,55 ± 2, ,20,± 43,35 143,61 ± 14,42 86,41 ± 7,70 81,98 ± 1, ,81 ± 19,05 136,21 ± 10,34 79,37 ± 5,27 86,91 ± 8, ,37 ± 14,11 145,04 ± 14,35 83,64 ± 8,25 64,70 ± 9,75 Gambar 4.4 Grafik Daya Mengembang Film

54 38 Pengujian daya mengembang merupakan karakterisasi yang penting, dimana pengujiam ini dilakukan untuk melihat gambaran kemampuan film untuk dapat menyerap eksudat luka. Film dengan modifikasi penambahan NA biasanya ditujukan untuk luka terbuka dengan eksudat yang banyak (Sarheed et al., 2015 dan Kamoun et al., 2014). Nilai daya mengembang suatu film sangat berkaitan dengan waktu perendaman sehingga pengamatan dilakukan dari beberapa interval waktu (Sarheed et al., 2015). Berdasarkan tabel dan grafik hasil pengujian, film yang memiliki persentase daya mengembang paling tinggi yaitu film A yang merupakan film sambug silang PVA-NA dibandingkan film B, C, dan D. Nilai daya mengembang semua film meningkat pada menit ke-5 namun waktu penurunan nilai daya mengembang masing-masing film berbeda. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa penambahan NA dalam film PVA akan meningkatkan daya mengembang film yang disebabkan sifat hidrofilisitas NA yang tingga. Berdasarkan hasil pengujian, Film A dan C meskipun sama-sama mengandung NA namun memiliki kemampuan mengembang yang berbeda secara bermakna. Hal ini dikarenakan proses sambung silang yang dilakukan terhadap film A menyebabkan kedua polimer (PVA dan NA) mengalami ikatan antar ujung molekul yang bersifat rreversible. Ikatan tersebut membentuk sudut kontak yang lebih besar antar polimer dengan pelarut sehingga memungkinkan pelarut terjerat lebih banyak (Martin et al.,1993). Oleh karena itu film A lebih banyak mengikat air meskipun keduanya mengandung NA Analisa Kadar Air Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan hasil bahwa kadar air pada film A yang merupakan film sambung silang PVA-NA paling besar dibandingkan dengan ketiga film B, C dan D. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa film PVA apabila dikombinasikan dengan NA serta dilakukan proses sambung silang akan meningkatkan kemampuan menjerap air lebih banyak daripada film yang tidak disambung silang. Namun tingginya kadar air di dalam film juga memiliki kekurangan yaitu menurunnya

55 39 kepadatan dari film sambung tersebut sehingga film tersebut memiliki sifat mekanik yang buruk ( Rosiak et al., 2001). Tabel 4.4 Kadar Air Formula Kadar Air (%) A 64,97 ± 4,222 B 52,20 ± 5,89 C 61,77 ± 3,58 D 32,53 ± 6, Uji Sifat Mekanik Film Sifat mekanik film yang diuji adalah kekuatan tarik (tensile strengt) dan perpanjangan saat putus (elongation break). Pengujian ini berfungsi untuk mengetahui seberapa besar gaya yang dibutuhkan untuk membuat film putus dan seberapa besar nilai perpanjangan film tersebut sebelum putus. Tabel 4.5 Uji Mekanik Film Kode Formula Tensile Strength (Kg/cm 2 ) Elongation Break (%) A 52,86 ± 7,43 266,67 ± 5,77 B 100,55 ± 9,98 423,33 ± 45,09 C 69,02 ± 2,38 366,67 ± 11,55 D 54,89 ± 5,01 246,67 ± 46, A B C D Jenis Film Tensile Strength (Kg/cm2) Elongation Break (%) Gambar 4.4 Kurva Sifat Mekanik Film

56 40 Berdasarkan hasil uji mekanik, film B memiliki nilai kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus yang paling besar dibandingkan dengan film A, C dan D. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS 16 menunjukkan bahwa hasil uji kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus pada sediaan film A, B, C dan D berbeda secara bermakna. Film yang memiliki daya sambung silang tinggi akan menghasilkan nilai kekuatan tarik yang tinggi dan nilai elongasi yang rendah karena film sambung silang yang dihasilkan lebih kuat (Chinta et al., 2013). Meskipun begitu kadar air yang bervariasi pada setiap film merupakan Hal yang penting diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil uji mekanik. Kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus. Pada film sambung silang PVA-NA semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi NA. Hal ini dapat terjadi karena penambahan NA ke dalam hidrogel PVA dapat membuat ketidakstabilan dan mempercepat pemutusan hidrogel, di mana hasil tersebut dapat menurunkan dan menyebabkan dekonstruksi pada film. Hal ini juga sesuai dengan sifat mekanik NA yang merupakan polimer yang memiliki sifat hidrofilisitas yang tinggi. Sifat ini memungkinkan kadar air yang besar dapat menyebabkan film memiliki sifat mekanik yang lemah sehingga mudah putus (Kamoun et al., 2013) Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Tabel 4.6 Persen Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film Waktu (Jam) A B C D ,05 21, ,96 105, ,05 112, ,68 122, ,57 129, ,01 152,00

57 41 Gambar 4.5 Grafik Persentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol Berdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat bahwa persentase kumulatif pelepasan metronidazol yang paling besar dimiliki oleh film B dan D yaitu sebesar 164,11% dan 152,00%. Sedangkan persentase kumulatif pelepasan metronidazol yang paling kecil yaitu film A dan C % dan 152,00%. Adanya NA pada membran hidrogel PVA diduga mempengaruhi pelepasan metronidazol dari dalam film karena adanya gugus COO - dari NA yang + berikatan dengan gugus NH 3 dari metronidazol. Ikatan yang terjadi berpotensi menurunkan dan mengganggu pelepasan metronidazol (Kamoun et al., 2013) Penetapan Kadar Metronidazol dalam Film Film diuji dengan metode perendaman selama 24 jam. Optimasi ini menggunakan film yang berukuran 4 cm x 8 cm yang direndam dalam 100 ml aquabides. Pengukuran dilakukan pada jam ke 24. Tabel 4.7 Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Metronidazol dari Film Formula Kadar Obat yang Terekstraksi (mg) Kadar Obat yang Terekstraksi (%) A B C D

58 42 Tabel 4.8 Kadar Metronidazol dalam Film Formula Kadar Metronidazol dalam Film (mg) A 17,43 ± 4,05 B 5,44 ± 0,51 C 10,81 ± 1,02 D 15,28 ± 1,43 Kadar diatas merupakan kadar aktual yang didapatkan berdasarkan hasil pengujian penetapan kadar. Pengujian ini dilakukan secara triplo dimana dalam setiap pengujian semua film memiliki luas 4 cm 2 namun memiliki bobot yang berbeda-beda. Secara teori, kadar metronidazol di dalam film berukuran 2 cm x 2 cm adalah 9,38 mg yang dihitung. Keseragaman film sangat penting pada pengujian ini dimana pada pengujian ini bobot film yang digunakan berbada-beda baik dalam satu formula maupun antarformula. Selain itu posisi film yang diambil untuk pengujian juga mempengaruhi besarnya kadarmetronidazol karena berdasarkan hasil pengujian setiap posisi film memiliki ketebalan yang berbeda. Sehingga kemungkinan besar film yang memiliki bobot dan ketebalan yang lebih besar lebih banyak mengandung metronidazol. Oleh karena itu kadar aktual dan kadar teori tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar.

59 43 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Film A, B, C dan D memiliki karakteristik yaitu persen kadar air berturutturut 6 4,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61,77±3,58% dan 32,53 ± 6,473%; persen kekuatan tarik berturut-turut 52,86±7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% dan 54,89 ± 5,01%; persen elongasi berturut-turut 266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, persen pelepasan zat aktif dari dalam film pada jam ke 24 berturut-turut 102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, 102,01 ± 2,67, dan 152,00 ± 11, Metode sambung silang sangat mempengaruhi karakteristik film, dimana film memiliki karakteristik yang lebih baik daripada film yang tidak disambung silang. Namun karakteristik tersebut bergantung pada sifat polimer yang digunakan dalam modifikasi. 3. Penambahan NA dalam film sambung silang PVA sangat mempengaruhi karakteristik film yaitu peningkatan elastisitasitas dan daya mengembang. Namun beberapa karakteristik juga mengalami penurunan seperti sifat mekanik film. 5.2 Saran 1. Diperlukannya optimasi metode sambung silang yang cocok dengan metode pembentukan film agar menghasilkan fim dengan karakteristik yang baik. 2. Diperlukannya pengujian pengaruh zat aktif terhadap karakteristik film yang dihasilkan. 3. Diperlukannya penggunaan posisi film yang sama pada setiap pengujian, agar data yang dihasilkan lebih homogen dan mewakili keseluruhan film. 43

60 44 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Enas M Hydrogel: Preparation, characterization, and applications. Journal of Advanced Research. Anggaraeni, Yuni Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan-Tripolifosfat yang mengandung Asiatikosia sebagai Pembalut Bioaktif untuk Luka. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Brain, Wilksman L, Solomonik I, Spira R, Tennenbaum T Novel Insights into Wound Healing Sequence of Events. Toxicol Pathol; 35: Djuanda dan Sri, S., dan Sri A. S Dermatitis. Dalam: Djuanda dan Sri, A. et al., ed. 3 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi Ke III. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Hal Eslami, A., Gallant-Behm CL, Hart DA, Wiebe C, Honardoust D, Gardner H, Expression of Integrin αvβ6 and TGF-β in Scarless vs Scar-forming Wound Healing. J Histochem Cytochem; 57: Galiano RD, Mustoe TA Wound Care. Dalam: Thorne CH, penyunting. Grabb and Smith s Plastic Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; pp Gurtner GC Wound Healing: Normal and Abnormal. Dalam: Thorne CH, penyunting. Grabb and Smith s Plastic Surgery.Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; pp Ginting, Delvina Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (Hpmc) Dan Natrium Karboksi Metil

61 45 Selulosa (Na CMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal Pada Penyakit Periodontal. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hom DB, Linzie BM, Huang TC The Healing Effects of Autologous Platelet Gel on Acute Human Skin Wounds. Arch Facial Plast Surg; 9: Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Mengenal Lidah Buaya Sebagai Salah Satu Tanaman Toga. pharmaceutical-information/339-mengenal-lidah-buaya-sebagai-salah-satutanaman-toga.html (Accessed 28 Oktober 2015) J. Balasubramanian, Narayanan N, Senthil Kumar M, Vijaya Kumar N, dan Azhagesh Raj K Formulation and evaluation of mucoadhesive buccal films of diclofenac sodium. Indian J. Innovations Dev; pp 70. Kamoun, A. Elbadaw,. Kenawy, El-Refaie S., Tamer, Tamer M., El-Maligy, Mahmoud A., Eldin, Mohamed S. Mohy Poly (vinyl alcohol)- alginate physically crosslinked hydrogel membranes for wound dressing applications: Characterization and bio-evaluation. Arabian Journal of Chemistry; 8:1 14 Kamoun, A. Elbadawy. Chen, Xin,. Eldin, Mohamed S. Mohy,. Kenawy, El- Refaie S Crosslinked poly(viny l alcohol) hydrogels for wound dressing application s: A review of remarkab ly blended polymers. Arabian Journal of Chemistry; 8:38-47 Kermany, Bahador Poorahmary Carbopol Hydrogels For Topical Administration: Treatement Of Wounds. Drug Transport And Delivery Research Group. Department Of Pharmacy Faculty Of Health Sciences University Of Tromsø

62 46 Kumar, Manoj., Prabushankar, G.L., Babu, P.R Satesh Formulation And In-Vitro Evaluation Of Peridontal Film Containg Metronidazol. International Journal Of PharmTech Research; 2(4): Lausanne, Materials Science and Engineering. 37.Webster J, Scuffham P, Sherriff KL, Stankiewicz M, Chaboyer WP, Negative pressure wound therapy for skingrafts and surgical wounds healing by primary intention. Cochrane Database of Systematic Reviews;4:1-45. Lawrence, WT Wound Healing Biology and Its Application to Wound Management. Dalam: O Leary P, penyunting. The Physiologic Basis of Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; h Leong M, Phillips LG Wound Healing. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-19. Amsterdam: Elsevier Saunders Martin, Alfred., Swarbrick, James., Cammarata, Arthur Farmasi Fisik: Edisi 3. Jakarta. UI Press McHugh, D.J A Guide to Seaweed Industry. Food and Agric. Org. of the UN. Rome Nugent, J.D Michael., Hanley, Austin., Tomkins, T. Paul., Higginbotham, L. Clement., Investigation Of A Novel Freeze-Thawing Procces For the production of drug delivery hydrogels. Journal Of Material Science: Material In Medicine; 16: Pusponegoro, AD Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, De Jong W, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ke-2. Jakarta: EGC, pp Rosiak, M.T., Darmawan, D., Zainuddin. S Irradiation Of Polyvinyl Alcohol And Polyvinyl Pyrrolidone Blended Hydrogel For Wound Dressing. Rhadiat. Phys. Chem; 62:

63 47 Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, ME Handbook of Pharmaceutical Excipient Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press Saarheed, Omar., Rasool, Abdul, K. Bazigha., Abu-Garbieh, Eman., Aziz, Uday Sajad., An Investigation And Characterization On Alginate Hydrogel Dressing Loaded With Metronidazol Prepared By Combined Intropic Gelatin And Freeze-Thawing Cycles For Controlled Realese. AAPS PharmSciTech; 16(3) Saarai, A., Kasparkova, V., Saha, Sedlacek P A Comparative Study of Crosslinked Sodium Alginate/Gelatin Hydrogels for Wound Dressing.Polymer Centre, Department of Fat, Surfactant and Cosmetics Technology Centre of Polymer Systems Tomas Bata University in Zlin. Czech Republic Schultz GS, 2007.The Physiology of Wound Bed Preparation. Dalam: Granick MS, Gamelli RL, penyunting Surgical Wound Healing and Management. Switzerland: Informa Healthcare; pp Setiabudi, Referensi Kesehatan-Diabetes Melitus. Available from: [Accessed 10 April 2010] Shifrovicth, yael. Binderman, itzhak. Bahar, hila. Berdicevsky, israela. Zilberman, meital Metronidazol-loaded bioabsorbable films as local antibacterial treatment of infected periodontal pockets. Technion-israel institute of technology, Haifa, Israel; 80(2) Shweta, Aggarwal., Pahuja, Sonia Pharmaceutical Relevance of Crosslinked Chitosan In Microparticel Drug Delivery. International Research Journal Of Pharmacy: 4(2) Martin, Alfred Farmasi Fisika & Ilmu Farmasetika Martin Edisi 5 / penulis Patrick J. Sinko. Jakarta : EGC Sugita, P. (2009), Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan, IPB Press. Bogor

64 48 Taufik Dzulkarnain Dalam Al-Qur an. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Taylor L, La Mone. (1997). Fundamentals of nursing: the art and science of nursing care B. Third Edition. Philadhelpia: Lippincott The United State Pharmacopeial Convention. (2006). Pharmacopeia (USP). 30th Edition. United States The United States Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: USP 32: United States Pharmacopeia Convention United States Pharmacopeia and the national Formulary (USP 32-NF 27). The United States Pharmacopeia Convention. Rockville (MD). Wandrey, C., Polielectrolytes and Biopolymers. Polytechnique Federale De. Weller, Carolina., Sussman, Geoff Wound Dressings Update. Journal of Pharmacy Practice and Research Volume 36. Zhanjiang, F., Training Manual of Gracilaria Culture and Processing In China. Regional Seafarming Development and Demonstration Project China

65 49 Lampiran 1. Alur Penelitian Optimasi Pembuatan Sediaan Film Pemilihan Formula Yang Akan Disambung Silang dan Dikarakterisasi Preparasi Film Sambung Silang Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Organoleptis Evaluasi Viskositas Karakteristik Film Sambung Silang Evaluasi Organoleptis Pengukuran Ketebalan Analisa Daya Mengembang Analisa Kadar Air Uji Sifat Mekanik Film Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Penentuan Kurva Kalibrasi Metronidazol Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Penetapan Kadar Metronidazol

66 50 Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat PVA Natrium Alginat Metronidazol Stand Up Stirrer Freezer Mikrometer Digital Spektrofotometer-UV Oven Tensile Tester Timbangan Analitik Mikroskop Hot Plate Stirrer

PROSES PENYEMBUHAN DAN PENANGANAN LUKA

PROSES PENYEMBUHAN DAN PENANGANAN LUKA PROSES PENYEMBUHAN DAN PENANGANAN LUKA Iwan Antara Suryadi; AAGN Asmarajaya; Sri Maliawan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

VULNUS (LUKA) 1. Definisi Vulnus 2. Klasifikasi Vulnus Apertum

VULNUS (LUKA) 1. Definisi Vulnus 2. Klasifikasi Vulnus Apertum VULNUS (LUKA) 1. Definisi Vulnus Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995). Vulnus appertum adalah luka dengan tepi yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan rusak atau hilangnya sebagian dari jaringan tubuh. Penyebab keadaan ini dapat terjadi karena adanya trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA Oleh Kelompok 7 Vera Tri Astuti Hsb (071101030) Nova Winda Srgh (071101031) Hafizhoh Isneini P (071101032) Rini Sri Wanda (071101033) Dian P S (071101034) Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan dan biasanya berhubungan dengan hilangnya fungsi. 1 Saat barier rusak akibat ulkus, luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya permukaan kulit/mukosa yang menghasilkan perdarahan. Luka dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor fisik dan kimia. Terdapat beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka itu sendiri didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit. (Cohen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vulnus (luka) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tubuh dan terganggunya integrasi normal dari kulit serta jaringan di bawahnya yang dapat disebabkan oleh trauma

Lebih terperinci

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Tinjauan Kepustakaan I 5 th August 2016 PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Neidya Karla Pembimbing : dr. Tertianto Prabowo, SpKFR Penguji : dr. Marietta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu jaringan organ (Harper dkk., 2014). Luka trauma pada jaringan lunak rongga mulut umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar penyusun tubuh manusia yang memiliki berbagai fungsi penting, antara lain sebagai pengatur keluar masuknya air, pengatur suhu, pelindung

Lebih terperinci

b) Luka bakar derajat II

b) Luka bakar derajat II 15 seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kulit merupakan organ terluar pada tubuh manusia yang menutupi

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kulit merupakan organ terluar pada tubuh manusia yang menutupi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kulit merupakan organ terluar pada tubuh manusia yang menutupi seluruh permukaan bagian tubuh. Fungsi utama kulit sebagai pelindung dari mikroorganisme,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran juga semakin berkembang. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat sudah dilakukan dari dulu, sejak peradaban manusia itu ada. Tumbuhan dapat digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit. Tumbuhan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare, 2002). Luka bakar

BAB I PENDAHULUAN. atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare, 2002). Luka bakar BAB I PENDAHULUAN 3.1 Latar Belakang Luka bakar didefinisikan sebagai suatu trauma pada jaringan kulit atau mukosa yang disebabkan oleh pengalihan termis baik yang berasal dari api, listrik, atau benda-benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang. tidak dapat dipungkiri pada saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang. tidak dapat dipungkiri pada saat ini. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri pada saat ini. Penemuan dan penelitian yang baru pun sangat dinantikan dan dibutuhkan manfaatnya.

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka adalah suatu cedera dimana kulit robek, terpotong, tertusuk, atau trauma benda tumpul yang menyebabkan kontusi. Luka dikategorikan dua jenis yaitu luka terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang paling luas dan mencapai 15% dari total berat badan dewasa. Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subkutaneus.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit atau jaringan akibat adanya kontak dengan listrik, api, pajanan suhu yang tinggi dari matahari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia tidak pernah lepas dari trauma, contohnya luka. Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka dapat disebabkan oleh trauma benda tajam

Lebih terperinci

Luka dan Proses Penyembuhannya

Luka dan Proses Penyembuhannya Luka dan Proses Penyembuhannya Anatomi Kulit Epidermis Dermis Subkutan 1 Epidermis Merupakan lapisan kulit terluar, tidak terdapat serabut saraf maupun pembuluh darah Berupa sel-sel berlapis gepeng yang

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh. Kulit menutupi tubuh 2 m 2, berat sekitar 3 kg atau 15% dari berat badan dan menerima 1/3 suplai sirkulasi darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi dapat berisiko menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya sebagian dari jaringan tubuh.

Lebih terperinci

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim PERAWATAN LUKA by : Rahmad Gurusinga A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka timbul, beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Lebih terperinci

PROFIL PELEPASAN METRONIDAZOL DARI MATRIKS KALSIUM ALGINAT-KITOSAN

PROFIL PELEPASAN METRONIDAZOL DARI MATRIKS KALSIUM ALGINAT-KITOSAN PROFIL PELEPASAN METRONIDAZOL DARI MATRIKS KALSIUM ALGINAT-KITOSAN SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi gelar Sarjana Farmasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbayak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Luka merupakan keadaan yang sering dialami oleh setiap orang, baik dengan tingkat keparahan ringan, sedang atau berat. Luka adalah hilangnya atau rusaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus luka pada mulut baik yang disebabkan oleh trauma fisik maupun kimia

BAB I PENDAHULUAN. Kasus luka pada mulut baik yang disebabkan oleh trauma fisik maupun kimia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus luka pada mulut baik yang disebabkan oleh trauma fisik maupun kimia sering terjadi di masyarakat indonesia. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan

Lebih terperinci

Luka Akibat Trauma Benda Tumpul a Luka Lecet (Abrasi)

Luka Akibat Trauma Benda Tumpul a Luka Lecet (Abrasi) Secara umum, luka atau cedera dibagi kepada beberapa klasifikasi menurut penyebabnya yaitu, trauma benda tumpul, trauma benda tajam dan luka tembak (Vincent dan Dominick, 2001). a. Trauma Benda Tumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. normal (Nagori and Solanki, 2011). Berdasarkan sifatnya luka dibagi menjadi 2,

BAB I PENDAHULUAN. normal (Nagori and Solanki, 2011). Berdasarkan sifatnya luka dibagi menjadi 2, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan kerusakan fisik sebagai akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara dengan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu sebagai termoregulasi, sintesis metabolik, dan pelindung. Adanya suatu trauma baik itu secara

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera

BAB I LATAR BELAKANG. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan (Agustina, 2010). Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas walaupun perkembangan terapi sudah maju. Laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas walaupun perkembangan terapi sudah maju. Laporan World Health 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hingga saat ini luka bakar masih dapat menjadi penyebab mortalitas dan morbiditas walaupun perkembangan terapi sudah maju. Laporan World Health Organization

Lebih terperinci

Disusun Oleh : ALIF NUR WIDODO

Disusun Oleh : ALIF NUR WIDODO PENGARUH KONSENTRASI ALOE VERA TERHADAP SIFAT TARIK MEMBRAN SERAT NANO POLIVINIL ALKOHOL (PVA)/ALOE VERA TUGAS AKHIR Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Strata-1 Pada Prodi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka pencabutan gigi di Indonesia relatif masih tinggi. Rasio penambalan dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar daripada

Lebih terperinci

PERAWATAN LUKA DENGAN NACL 0,9 % PADA TN. R DENGAN POST EKSISIABSES GLUTEA SINISTRA HARI KE-25 DI RUMAH TN. R DI DESA KIRIG KABUPATEN KUDUS.

PERAWATAN LUKA DENGAN NACL 0,9 % PADA TN. R DENGAN POST EKSISIABSES GLUTEA SINISTRA HARI KE-25 DI RUMAH TN. R DI DESA KIRIG KABUPATEN KUDUS. PERAWATAN LUKA DENGAN NACL 0,9 % PADA TN. R DENGAN POST EKSISIABSES GLUTEA SINISTRA HARI KE-25 DI RUMAH TN. R DI DESA KIRIG KABUPATEN KUDUS Oleh L.Sofa 1) S.Yusra 2) 1) Alumni Akademi Keperawatan Krida

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suhu yang tinggi, syok listrik, atau bahan kimia ke kulit. 1, 2

BAB I PENDAHULUAN. suhu yang tinggi, syok listrik, atau bahan kimia ke kulit. 1, 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar adalah luka yang disebabkan karena pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh, baik lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al.,

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al., 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka merupakan suatu keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kulit merupakan organ tubuh tunggal yang terbesar, yaitu persen dari total

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kulit merupakan organ tubuh tunggal yang terbesar, yaitu persen dari total BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dari tubuh manusia. Kulit merupakan organ tubuh tunggal yang terbesar, yaitu 15-20 persen dari total berat badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dihitung tanpa lemak, maka beratnya berkisar 16% dari berat badan

BAB I PENDAHULUAN. jika dihitung tanpa lemak, maka beratnya berkisar 16% dari berat badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh paling luas yang melapisi seluruh bagian tubuh, dan membungkus daging dan organ-organ yang berada di dalamnya. Ratarata luas kulit pada manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan suatu reaksi inflamasi karena adanya proses yang terhambat, atau proses penyembuhan

Lebih terperinci

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH 1. Luka bersih Luka operasi yang tidak terinfeksi, dimana tidak ditemukan adanya inflamasi dan tidak ada infeksi saluran pernafasan, pencernaan, dan urogenital.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox),

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulserasi adalah lesi berbentuk seperti kawah pada kulit atau mukosa mulut. Ulkus adalah istilah yang digunakan untuk menyebut luka pada jaringan kutaneus atau mukosa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diagnosis (Melrose dkk., 2007 sit. Avon dan Klieb, 2012). Biopsi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diagnosis (Melrose dkk., 2007 sit. Avon dan Klieb, 2012). Biopsi merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biopsi adalah pengambilan jaringan dari tubuh makhluk hidup untuk mendapatkan spesimen histopatologi dalam upaya membantu menegakkan diagnosis (Melrose dkk.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman dahulu hingga sekarang ini, banyak sekali individu yang sering mengalami luka baik luka ringan maupun luka yang cukup serius akibat dari kegiatan yang dilakukannya

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang kedokteran gigi. Indikasi pencabutan gigi bervariasi seperti pernyakit periodontal,

Lebih terperinci

E. Keaslian Penelitian (Tabel.1) No Penulis Judul Hasil

E. Keaslian Penelitian (Tabel.1) No Penulis Judul Hasil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang sangat dinamik, karena melalui fase inflamasi, proliferasi dan remodeling, penutupan luka segera dapat mengurangi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

FORMULASI SEDIAAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Webb.) DENGAN GELLING AGENT GELATIN DAN UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR SKRIPSI

FORMULASI SEDIAAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Webb.) DENGAN GELLING AGENT GELATIN DAN UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR SKRIPSI FORMULASI SEDIAAN GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera (L.) Webb.) DENGAN GELLING AGENT GELATIN DAN UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR SKRIPSI Oleh: Naimat Ussolehah K 100 070 030 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang hingga manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004). Luka sering terjadi dalam aktivitas sehari-hari dan dapat terjadi

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

FORMULASI HAND GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera var. sinensis) MENGGUNAKAN BASIS CARBOPOL 934: EVALUASI SIFAT FISIK DAN STABILITASNYA SKRIPSI

FORMULASI HAND GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera var. sinensis) MENGGUNAKAN BASIS CARBOPOL 934: EVALUASI SIFAT FISIK DAN STABILITASNYA SKRIPSI FORMULASI HAND GEL EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera var. sinensis) MENGGUNAKAN BASIS CARBOPOL 934: EVALUASI SIFAT FISIK DAN STABILITASNYA SKRIPSI Oleh : RAFA EMBUN RELIGIA K100110016 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL DIAKRILAT TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROGEL FILM UNTUK APLIKASI PEMBALUT LUKA

PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL DIAKRILAT TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROGEL FILM UNTUK APLIKASI PEMBALUT LUKA PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL DIAKRILAT TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROGEL FILM UNTUK APLIKASI PEMBALUT LUKA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Menyelesaikan Pendidikan Strata Satu Program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi pulpa dapat disebabkan oleh iritasi mekanis. 1 Preparasi kavitas yang dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan dari perhitungan jumlah fibroblas dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. SECTIO CAESAREA a. Definisi Sectio caesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi di dinding abdomen dan dinding uterus. Disebut juga abdominal delivery.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DARI MODIFIKASI KIMIA FILM GELATIN DENGAN FORMALDEHIDA DAN GLUTARALDEHIDA

KARAKTERISTIK DARI MODIFIKASI KIMIA FILM GELATIN DENGAN FORMALDEHIDA DAN GLUTARALDEHIDA KARAKTERISTIK DARI MODIFIKASI KIMIA FILM GELATIN DENGAN FORMALDEHIDA DAN GLUTARALDEHIDA TESIS NURLINA MUNTHE NIM. 147006001 MAGISTER ILMU KIMIA SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU KIMIA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Trauma dapat menyebabkan terjadinya luka pada jaringan tubuh. Trauma biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul dapat

Lebih terperinci