BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN"

Transkripsi

1 15 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN 2.1. Sejarah Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mencegah Perang Dunia ke-2 tidak melenyapkan keyakinan bahwa hanya oleh satu bentuk organisasi publik negaranegara dapat tercapai suatu sistem keamanan kolektif yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang. 1 Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali dengan perumusan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang di dilakukan oleh Roosevelt yang merupakan Presiden Amerika Serikat dan Churchill selaku Perdana Menteri Inggris pada tanggal 14 Agustus Piagam ini memuat prinsip bersama dalam menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan dua negara. Piagam Atlantik juga memuat kehendak untuk melaksanakan kerjasama sepenuhnya antara semua bangsa di lapangan ekonomi dengan tujuan menetapkan bagi semua orang perbaikan standar harga kemajuan ekonomi dan jaminan sosial. 2 Pada tanggal 1 Januari 1942 dikeluarkan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi PBB atau disebut juga Declaration of the United Nations, yang di tandatangani oleh Rosevelt, Churchill, Litvinov dari USSR dan Soong dari China. 1 D.W. Bowett 1995, Op.cit. h Teuku May Rudy, 2002, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 115.

2 16 Keempat negara telah menyetujui adanya program umum dengan prinsip-prinsip dan maksud-maksud melengkapi Atlantic Charter dan mereka menyetujui akan melawan musuh secara bersama-sama. 3 Deklarasi Moskow kemudian dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1943 sebagai tindak lanjut atas Deklarasi PBB. Deklarasi ini ditandatangani oleh V.M. Molotov dari USSR, Anthony Eden dari Inggris, Gardell Hull dari AS dan Foo Ping Sheung. 4 Keempat pemerintah negara tersebut mengakui perlunya mendirikan suatu organisasi internasional publik yaitu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh beberapa negara yang didalamnya teruat fungsi, tujuan, kewenangan, asas, dan struktur organisasi yang dapat bekerja dalam waktu segera serta didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan dari seluruh negara yang cinta damai yang terbuka terhadap keanggotaan negara baik negara besar maupun kecil serta memelihara perdamaian dan keamanan internasional. 5 Presiden Rosevelt, Stalin dan Churchill kemudian bertemu di Teheran pada tanggal 1 Desember 1943, dan mendeklarasikan bahwa mereka bertanggung jawab penuh dan akan mengusahakan perdamaian yang akan dipimpin oleh kemauan baik dari rakyat diseluruh dunia dan menentang perang demi generasi yang akan datang. 6 3 Sri Setiaingsih Suwardi 2004, Op.cit, h Teuku May Rudy 2002, Op.cit, h Sefriani, 2009, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT RajaGrfindo Persda, Jakarta, h. 6 Sri Setiaingsih Suwardi 2004, Op.cit, h. 252.

3 17 Konferensi di Dumbarton Oaks dilaksanakan tanggal 21 Agustus sampai 28 September Konferensi ini membicarakan tentang tujuan dan asal organisasi, keanggotaan, dan kelengkapan utama dan keamanan internasional serta kerjasama internasional di bidang ekonomi dan sosial. Pada konferensi itu juga diusulkan badan yang paling menentukan pemeliharaan perdamaan internasional, yaitu lima negara besar ( China, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat). 7 Pertemuan antara Roosevelt, Churchill dan Stalin kemudian diadakan di Yalta ( Yalta Agreement ) antara tanggal 4-11 Februari Keputusan yang penting yang dihasilkan adalah mengenai prosedur pemungutan suara di Dewan Keamanan, perihal anggota asli PBB dan diterimanya sistem perwalian ( trusteeship ) untuk mengganti sistem mandat dalam rangka LBB. 8 Amerika Serikat sebagai negara sponsor mengundang empat puluh enam negara pada tanggal 5 Maret 1945 untuk menghadiri konferensi yang dibuka pada tanggal 25 April 1945 di San Fransisco. Konferensi ini disebut The United Confrence of International Organization. 9 Pembahasan atas konsep Piagam dilakukan dalam empat bagian yang masing-masing ditandatangani oleh empat komisi : 1. Komisi I menangani masalah tujuan umum organisasi 2. Komisi II memperbincangkan kekuasaan-kekuasaan dan tanggung jawab Majelis Umum 7 Teuku May Rudy 2002, Loc.cit 8 Sri Setiaingsih Suwardi 2004, Op.cit. h Ibid, h. 258.

4 18 3. Komisi III memperrbincangakn Dewan Keamanan 4. Komisi IV menelaah konsep mengenai status Mahkamah Internasional yang telah disiapkan di Washington. 10 Konferensi di San Fransisco selesai dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1945 dan menerima suara bulat dari seluruh Piagam PBB. Esok harinya tanggal 26 Juni diadakan upacara penandatanganan yang dilakukan di Gedung Opera di San Fransisco. Menurut ketentuan Piagam PBB berlaku setelah diratifikasi oleh negara penanda tangan dan termasuk lima negara tetap Dewan Keamanan (Pasal 110 Piagam PBB). Syarat berdirinya PBB dipenuhi tanggal 24 Oktober 1945 dengan Resolusi Majelis Umum pada tanggal 31 Oktober Tanggal 24 Oktober dinamakan Hari PBB Pengertian Hak Veto Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Sebagai organisasi internasional yang menaungi negara-negara di dunia, PBB bertujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan prinsip-prinsip persamaan derajat, mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalahmasalah kemanusiaan, hak-hak asasi manusia serta menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama. PBB sebagai organisasi internasional guna mencapai maksud dan tujuan 10 Teuku May Rudy 2002, Op. cit. h Sri Setianingsih Suwardi 2004, Op.cit, h. 264.

5 19 tersebut di atas, maka diciptakanlah alat perlengkapan atau organ utama. Piagam menyatakan bahwa telah dibentuk organ-organ utama PBB di antaranya Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional dan Sekretariat 12. Salah satu organ utama PBB yang paling menonjol adalah Dewan Keamanan. Dewan Keamanan memiliki tugas utama di dalam Piagam untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. 13 Dewan keamanan anggotanya terdiri dari lima belas anggota. Lima negara merupakan anggota tetap dan sepuluh sisanya merupakan anggota tidak tetap. Kesepuluh negara anggota tidak tetap dipilih untuk waktu dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Syarat untuk dapat dipilih sebagai anggota tidak tetap di antaranya didasarkan atas pertimbangan sumbangan yang diberikan oleh negara calon anggota tidak tetap dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan tujuan lain dari organisasi (PBB) serta atas pertimbangan pembagian secara geografis. Peranan Dewan Keamanan sehubungan dengan Pasal 39 Piagam PBB memberikan kewenangan pada Organ tersebut untuk menentukan apakah suatu tindakan membahayakan atau tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Setiap keputusan Dewan Keamanan harus mendapat bantuan dan dilaksanakan oleh setiap anggota dan juga oleh negara bukan anggota. Pembatasan terhadap wewenang Dewan Keamanan sendiri dibagi atas pembatasan yuridis dan pembatasan non yuridis. Pembatasan yuridis dapat dilihat 12 Pasal 7 ayat (1) Piagam PBB 13 Anonim, Main Organs ( Securuty Council ) Diakses tanggal 1 November 2015

6 20 pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 Piagam PBB, sedangkan pembatasan non yuridis yaitu berupa adaya hak veto dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Hak veto adalah keabsahan untuk membatalkan suatu resolusi yang telah diputuskan oleh suara terbanyak anggota Dewan Keamanan. 14 Dasar pemikiran yang melandasi diberikan hak veto yaitu bahwa pada anggota-anggota inilah dibebankan tanggung jawab terberat untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional oleh karena itu kepada mereka harus diberikan hak suara final dan menentukan dalam memutuskan tentang bagaimana tanggung jawab itu harus dilaksanakan. Piagam PBB tidak menyebutkan secara jelas apa yang dimasud hak veto akan tetapi kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB memiliki apa yang dinamakan hak veto tersebut. Apabila salah satu dari lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB menggunakan hak vetonya untuk menolak suatu keputusan yang telah disepakati anggota yang lain, maka keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan Sejarah Perkembangan Hak Veto Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Hak veto yang dimiliki oleh negara-negara besar pada awalnya dibicarakan secara teratur pada waktu merumuskan Piagam PBB, baik di Dumbarton Oaks maupun di Yalta dan di San Fransisco. Bahwasanya kepada kelima negara yang dianggap sangat bertanggung jawab pada penyelesaian Perang Dunia II akan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan dan kepada mereka diberikan hak 14 T. May Rudy, 2002, Op.cit, h.102.

7 21 veto, hal ini adalah merupakan imbalan dari tanggung jawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (primary responsibilities). 15 Secara hukum kekuasaan yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB ini merupakan previleges yang diberikan kepada mereka. Namun secara hukum pula mereka tidak mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwa tanggung jawab utama (primary responsibilities) untuk perdamaian dan keamanan internasional ada pada pihak Dewan Keamanan dan bukan pada anggota tetap Dewan Keamanan. 16 Pembicaraan di Dumbarton Oaks menemui perbedaan perumusan tentang pasal mengenai veto. Amerika Serikat menghendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan veto, misalnya dalam soal tata tertib. Demikian juga supaya suara dari negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang dibicarakan di Dewan Keamanan tidak mempunyai hak suara, juga bagi negara anggota tetap Dewan Keamanan, maka negara tersebut tidak dapat tanpa pembatasan. Pembicaraan di Yalta tentang veto ini berlanjut, pembahasannya dititik beratkan pada anggota tetap Dewan Keamanan. Anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto diwajibkan abstain dalam pemungutan suara yang diambil untuk penyelesaian sengketa di mana mereka merupakan pihak yang berselisih. Rusia berjuang dengan gigih untuk dapat mempergunakan hak vetonya di dalam segala kasus tanpa memperhatikan konsep yang ideal dalam hukum bahwa tidak 15 Sri Setianingsih Suwardi 2004, Op. cit., h Hans Kelsen,1951, The Law of United Nations,Stevens & Sons Limited, London, h.272.

8 22 ada seorangpun yang dapat menjadi hakim dalam masalahnya sendiri. Akhirnya Rusia menerima saran Amerika Serikat, bahwa anggota tetap Dewan Keamanan harus abstain bila ada pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana mereka adalah salah satu pihak dalam sengketa. Pasal 27 Piagam PBB menyatakan : 1. Each member of the security council shall have one vote Decision of the security council on procedural matters shall be made by an affirmative vote of nine members Decisions of the security council on all others matters including the concurring votes of the permanent members;provided that, in decision under chapter VI,and under paragraph 3 of Article 52, a party toa dispute shall abstain from voting 19 Pasal 27 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa setiap anggota Dewan Keamanan mempunyai satu suara. Jika ketentuan Pasal 27 ayat (1) ini dihubungkan dengan Pasal 27 ayat (3), maka akan nampak perbedaan hak suara antara anggota tetap Dewan Keamanan dengan anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Perbedaan ini terletak pada masalah non prosedural dan masalah prosedural. Berkaitan dengan masalah non prosedural ditetapkan bahwa keputusan harus diputuskan oleh minimal sembilan suara, termasuk suara bulat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan. Sedangkan untuk masalah prosedural ditetapkan bahwa keputusan akan diambil minimal oleh sembilan suara anggota Dewan Keamanan (tidak harus dengan suara bulat anggota tetap Dewan Keamanan). Ketentuan ini menunjukkan betapa besarnya peran dan pengaruh 17 Pasal 27 ayat 1 Piagam PBB 18 Pasal 27 ayat 2 Piagam PBB 19 Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB

9 23 anggota tetap Dewan Keamanan dalam proses pengambilan keputusan karena untuk masalah-masalah penting yang menyangkut perdamaian dan keamanan internasional (non prosedural) harus atas persetujuan mereka secara bulat. 20 Kekuatan hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar Dewan Keamanan memiliki kekuatan yang memadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula serta sering dianggap membuat berlarut larutnya masalah internasional yang membawa akibat pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak ini oleh negara-negara besar yang dianggap membawa kepentingannya sendiri dan juga kelompok. Penggunaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan, terutama Rusia seperti yang termuat dalam Security Council - Veto List ( in reverse chronological order ) telah mencapai 193 veto sepanjang tahun 1946 hingga Hal demikian semakin mempertegas bahwa keberadaan hak veto menempatkan kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara- negara anggota PBB lainnya. Konsep tersebut bertentangan dengan asas persamaan kedaulatan ( Principle of Sovereign Equality ) yang menjadi dasar dari Piagam. Hak veto yang dimiliki oleh kelima negara tersebut mejadi alat untuk melancarkan sebuah rencana yang mengacu pada kepentingan nasional yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta memiliki kecenderungan sebagai alat untuk saling mengancam dengan menggunakan vetonya dalam forum tertutup agar 20 Sri Setianingsih Suwardi 2004, Op. cit., h. 293 Loc.cit 21 UN Documents, 2016, Security Council - Veto List ( in reverse chronological order ),

10 24 kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali peduli terhadap negara tidak tetap. Opini yang berkembang pada masyarakat internasional saat ini terutama pada negara-negara dunia ketiga, mengatakan bahwa keberadaan kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak vetonya itu perlu ditinjau kembali, karena perkembangan dunia yang sudah semakin global dan demokrasi yang semakin berkembang, serta berlarut-larutnya upaya penyelesaian sengketa internasional yang membawa dampak pada masalah kemanusiaan akibat digunakannya hak veto. Hal demikian menimbulkan pemikiran bahwa PBB perlu direstrukturisasi atau direformasi, terutama organ Dewan Keamanan, agar dapat mengakomodasi perkembangan internasional, khususnya negara-negara dari dunia ketiga. 22 Untuk keperluan tersebut, Pasal 108 Piagam PBB dan 109 Piagam PBB mengatur tentang perubahan terhadap ketentuan Piagam yang dianggap tidak relevan lagi. Perihal perubahan terhadap ketentuan Piagam dinyatakan bahwa perubahan-perubahan yang diadakan terhadap Piagam ini berlaku bagi semua anggota PBB apabila hal itu telah diterima oleh suara dua pertiga dari anggota anggota Majelis Umum dan diratifikasi sesuai dengan proses-proses perundangundangan dari dua pertiga anggota- anggota PBB termasuk semua anggota tetap Dewan Keamanan. 23 Suatu konferensi umum dari anggota PBB yang bermaksud meninjau Piagam yang telah ada, dapat diselenggarakan pada waktu dan tempat 22 Setyo Widagdo 2007, Op.cit. h Pasal 108 Piagam PBB

11 25 yang disetujui oleh dua pertiga suara anggota Majelis Umum serta sembilan suara anggota manapun dari Dewan Keamanan PBB. 24 Setiap anggota PBB hanya mempunyai satu suara dalam konferensi tersebut. Setiap perubahan dari Piagam yang ada, disepakati oleh dua pertiga suara dari sidang akan berlaku apabila diratifikasi sesuai dengan proses-proses konstitusional oleh dua pertiga dari anggota-anggota PBB termasuk segenap anggota tetap Dewan Keamanan. Apabila sidang seperti tersebut di atas belum diadakan sebelum sidang tahunan yang kesepuluh dari Majelis Umum sesudah berlakunya Piagam yang sekarang, maka usul untuk mengadakan sidang tersebut agar dicantumkan dalam agenda sidang Majelis Umum PBB dan sidang akan diadakan apabila ditetapkan demikian berdasarkan suara terbanyak dari anggota Majelis Umum serta sembilan suara anggota manapun dari Dewan Keamanan. Amandemen terhadap Piagam PBB tentang Dewan Keamanan sebenarnya sudah pernah dilakukan, namun amandemen tersebut hanya mengamandemen terhadap penambahan jumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan tidak mengenai atau menyentuh hak veto. Hal ini terjadi karena secara logika, tidak mungkin kelima negara pemegang hak veto bersedia melepaskan hak istimewa mereka masing-masing Pasal 109 Piagam PBB 25 Ni Komang Ayu Suriani 2012, Op.cit. h. 90.

12 Perkembangan Pemikiran Tentang Prinsip Persamaan Kedaulatan Kedaulatan merupakan padanan istilah sovereignty (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Perancis), Souvereiniteit (bahasa Belanda), sovranus (bahasa Italia). Istilah istilah asing ini berasal dari kata Latin Superanus yang mempunyai arti tertinggi. Sebagai istilah politik, perkataan sovereignty timbul pada abad ke Beberapa sarjana terkemuka yang membuat istilah tersebut terkenal adalah sarjana Perancis Jean Bodin, sarjana Inggris Thomas Hobbes dan Jhon Austin. Sebagai orang yang pertama kali meletakkan kedaulatan sebagai atribut negara, Jean Bodin mengemukakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Kedaulatan mempunyai sifat atau hakikat yaitu asli (ursprunglich,oorspronkelijk), artinya tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain atau tidak berasal dari penyerahan kekuasaan lain, langgeng atau abadi (permanent, duurzaan), tertinggi, tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dialihkan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. 27 Definisi dari persamaan kedaulatan kembali ditekankan pada saat Declaration on Principles of International Law, Friendly Relations and Cooperation Among States in 26 Boer Mauna, 2011,Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, h Ibid

13 27 Accordance with the Charter of the United Nations 1970 yang mana dinyatakan All States enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are equal members of the international community, notwithstanding differences of an economic, social, political or other nature. 28 Isi deklarasi tersebut menegaskan bahwa semua negara dapat menikmati kedaulatan yang sama. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sebagai anggota yang sama dari masyarakat internasional dan tidak terhalang oleh perbedaan ekonomi, sosial, politik termasuk dalam hal kedudukan mereka dalam sebuah organisasi internasional. C.F. Strong memberi arti external sovereignty sebagai the absolute independence of one state as a whole with reference to all other states. Berdasarkan pengertian yang diberikan C.F. Strong, dapat diketahui bahwa kedaulatan eksternal adalah kedaulatan dalam kaitan hubungan antara suatu negara dengan negara lain. 29 Hubungan suatu negara dengan negara lain dapat berupa hubungan kerjasama dalam suatu organisasi internasional. Selanjutnya, negara-negara mendasarkan pergaulannya satu sama lain atas prinsip sovereign equality sebagai dasar kerjasama antarbangsa. 30 Antonio Cassese pun menegaskan bahwa hukum internasional didasarkan pada seperangkat aturan melindungi kedaulatan negara dan membangun kesetaraan formal mereka dalam hukum UN Document, Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations URL : diakses tanggal 27 September Anwar C.,Teori dan Hukum Konstitusi, 2011, Intrans Publishing, Malang. h Boer Mauna 2011, Op.cit, h Antonio Cassese, 2005, International Law,Oxford University Press, New York. h.48.

14 28 Salah satu contoh organisasi internasional yang menaungi banyak negara negara berdaulat yaitu PBB yang didalamnya terdiri atas banyak negara berdaulat di dunia. PBB berpegang teguh pada Piagam PBB dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang didalamnya memuat tujuan dan prinsip-prinsip PBB di antaranya prinsip persamaan kedaulatan antar negara anggota PBB. Persamaan kedaulatan seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB dapat diartikan bahwa semua anggota PBB tanpa kecuali memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama didalam menjalankan roda organisasi PBB. Prinsip ini sangat penting bagi semua negara anggota, karena dengan demikian PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat supranasional. Selain itu asas ini juga berkaitan dengan asas kegotongroyongan, artinya tindakan-tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif, bergotong royong sesuai dengan asas-asas demokrasi. Hal yang demikian mengharuskan dijalankannya asas koordinasi, artinya bahwa segala tindakan dan kegiatan bangsa-bangsa ke arah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan. 32 Komisi khusus PBB tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerjasama Antar Negara (the United Nations Special Committee on Principles of Internastional Law concerning Peaceful Relation and cooperation among States) dalam tahun 1970 berhasil mencapai konsensus tentang persamaan kedudukan negara-negara. Konsensus tersebut menetapkan semua negara menikmati persamaan kedaulatan. Sebagai subyek dari Hukum Internasional mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Prinsip 32 Sri Setianingsih Suwardi 2004, Op.cit, h. 270.

15 29 kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila negara itu berkeinginan untuk tetap eksis dalam pergaulan masyarakat internasional. Organisasi internasional yang dibentuk berdasarkan prinsip ini tidak akan membedakan besar kecilnya negara sebagai anggota. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat pada negara. Piagam PBB memuat asas-asas kedaulatan negara yang harus dihormati oleh PBB sendiri sebagai suatu organisasi dunia terbesar pada saat ini. 33 Kenyataannya dewasa ini, keberadaan prinsip persamaan kedaulatan dikesampingkan oleh adanya hak veto yang dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Terlebih lagi keberadaan hak veto yang merupakan hak istimewa lima negara tersebut banyak disalahgunakan untuk menjaga kepentingan nasional dari negara-negara pemegang hak veto sehingga menimbulkan permasalahan tersendat-sendatnya penyelsaian berbagai kasus pelanggaran terhadap hukum intenasional dan merugikan negara anggota yang tidak memiliki hak veto. Keberadaan hak veto telah menyebabkan kebijakan Dewan Keamanan sebagai salah satu badan utama PBB selalu mengikuti langkah kelima negara tersebut. Penulis sependapat bahwa dalam perkembangannya hak veto merupakan alat penghambat dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional karena banyaknya penyimpangan penggunaan hak veto untuk kepentingan pribadi negara pemeganghak veto. Kekuatan ini, yaitu kekuasaan 33 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai Alumni,Bandung, h.166.

16 30 veto, merupakan alat yang sering merusak citra Dewan keamanan dan anggotaanggota tetap itu tidak segan segan mempergunakan hak veto-nya apabila mereka menganggap bahwa kepentingan kepentingan vital mereka terancam. 34 Hak veto di Dewan Keamanan PBB dinilai sangat politis bahkan dianggap sangat mencerminkan ketidakadilan negara-negara besar terhadap negara-negara kecil. Setiap persoalan yang dibawa ke Dewan Keamanan PBB selalu mengalami perdebatan dan bahkan konflik internal di Dewan Keamanan PBB yang mengakibatkan proses penyelesaian persoalan internasional menjadi terhambat dan berlarut-larut, karena jika ada satu negara saja menggunakan hak veto maka resolusi atau keputusan yang diambil menjadi tidak dapat dilaksanakan. 34 Sri Setianingsih Suwardi 2004, Op.cit. h. 265.

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perserikatan Bangsa Bangsa selanjutnya disebut PBB merupakan suatu organisasi internasional yang dibentuk sebagai pengganti Liga Bangsa Bangsa selanjutnya

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Macam-macam Organisasi Internasional

Macam-macam Organisasi Internasional (ORGANISASI INTERNASIONAL) Organisasi Internasional adalah suatu organisasi yang dibuat oleh anggota masyarakat internasional secara sukarela atau atas dasar kesamaan yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB XIV DOKTRIN KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB XIV DOKTRIN KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB XIV DOKTRIN KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA INTERNASIONAL Adanya perubahan doktrin kedaulatan dari asas ketertiban dalam negeri seperti dianut oleh Jean Bodin dan para pengikutnya, menjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

BAB II HAK VETO NEGARA ANGGOTA TETAP DK PBB. Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh 5 negara besar

BAB II HAK VETO NEGARA ANGGOTA TETAP DK PBB. Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh 5 negara besar BAB II HAK VETO NEGARA ANGGOTA TETAP DK PBB A. Hak Veto 1. Pengertian Hak Veto Hak veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh 5 negara besar anggota tetap DK PBB, yang lazim disebut the big five. Kelima

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

Charter dan mereka menyetujui akan melawan musuh secara bersama-sama. Moscow Declaration ditandatangani oleh Molotov (USSR), Anthony Eden (Inggris),

Charter dan mereka menyetujui akan melawan musuh secara bersama-sama. Moscow Declaration ditandatangani oleh Molotov (USSR), Anthony Eden (Inggris), BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 11 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA/UNITED NATIONS A. Sejarah Setelah LBB berumur 20 tahun sebagai suatu OI yang bertujuan untuk mengakhiri perang dan agar

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang...1. B. Rumusan Masalah...7. C. Tujuan Penelitian...8. D. Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang...1. B. Rumusan Masalah...7. C. Tujuan Penelitian...8. D. Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERNYATAAN...iii KATA PENGANTAR...iv DAFTAR ISI...vii DAFTAR TABEL...xi INTISARI...xii ABSTRACT...xiii BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang...1

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 49 TAHUN 1997 (49/1997) TENTANG PENGESAHAN SPECIAL AGREEMENT FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dipandang perlu untuk memberikan petunjuk-petunjuk pengarahan bagi Delegasi Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 22 BAB II TINJAUAN UMUM ORGANISASI INTERNASIONAL PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 2.1 Sejarah Lahirnya Perserikatan Bangsa- Bangsa Pada umumnya manusia hidup memerlukan bantuan

Lebih terperinci

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) By Dewi Triwahyuni Basic Fact: Diawali oleh Liga Bangsa-bangsa (LBB) 1919-1946. Didirikan di San Fransisco, 24-10-45, setelah Konfrensi Dumbatan Oaks. Anggota terdiri dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan.

BAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan pergaulan masyarakat internasional, kerjasama antar negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan. Namun demikian,

Lebih terperinci

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1

BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1 BAB I PENGERTIAN DAN PENGGOLONGAN ORGANISASI INTERNASIONAL 1 A. Pendahuluan Organisasi Internasional adalah kolektivitas dari entitas-entitas yang independen, kerjasama yang terorganisasi (organized cooperation)

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha No.1775, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DJSN. Kode Etik. Majelis Kehormatan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG KODE ETIK DAN MAJELIS KEHORMATAN DEWAN JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah/Pengertian Tentang Organisasi Internasional 1. Pengertian organisasi internasional Organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-77 - - 78 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2016 AGREEMENT. Pengesahan. Republik Indonesia. Republik Polandia. Bidang Pertahanan. Kerja Sama. Persetujuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N0. 177 A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan organisasi perdamaian

Lebih terperinci

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI 1 K 87 - Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA Pembukaan Presiden atau Kepala mahkamah konstitusi dan institusi sejenis yang melaksanakan kewenangan konstitusional di Asia: MENGINGAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci