TINJAUAN FENOMENOLOGI ATAS STIGMATISASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS TUNARUNGU
|
|
- Sri Sasmita
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN FENOMENOLOGI ATAS STIGMATISASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS TUNARUNGU Ni Nyoman Mika Putri Karuniasih 1), Wahyu Budi Nugroho 2), Gede Kamajaya 3) 123) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1, 2, 3 ABSTRACT The discourse on persons with disabilities, especially in hearing impairment social stigmatization could be analyzed through the study of sociology. This study seeks to discuss and explain the experiences of the deafs when they are experiencing, interpreting, even beyond the labeling on their disability. This study used qualitative research methods to the analysis of the theory of phenomenology which focused on three deaf adolescence (middle adolescence), and involve the family, the teacher of SLBB on Sidakarya, and Sanggar Sandi Muni Kumara as one of the deaf dance community in Denpasar City. Based on the results of this study, it is found that social stigmatization could arise from inside and from outside ourselves. Both aspects are mutually influencing and shaping the characteristics of young people with hearing impairment. Characteristics that are formed by the social stigmatization also determine how the deaf adolescence with the limitations of communicating ability to adapt themselves in communities that generally use verbal language. Keywords: Social stigmatization, Disability, Deaf, Phenomenology 1. PENDAHULUAN Manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain tentu memerlukan ruang, khususnya dalam menjalin relasi sosial, dan lingkungan masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial tersebut. Dalam interaksi pada umumnya terdapat kontak sosial yang tercermin lewat komunikasi. Namun, ketika individu mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi yang dalam hal ini memiliki permasalahan pada kemampuan mendengar yakni tunarungu akan memunculkan hambatan tersendiri dalam melakukan proses interaksi sosial tersebut. Pinilih (2012: 19) menjelaskan bahwa sepintas tunarungu tampak seperti orang normal yang tidak memiliki kelainan. Mereka baru mengalami kebutuhan khusus ketika melakukan interaksi sosial terutama saat berkomunikasi dengan orang lain. Pada beberapa orang ketidakmampuan mendengar juga disertai dengan ketidakmampuan berbicara. Tentu hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hambatan yang dapat mengarahkan individu pada suatu kehidupan yang terasing (isolated) dalam masyarakat. Soekanto (2012: 62-63) juga memaparkan bahwa kehidupan terasing ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial bersama pihak-pihak lain. Kehidupan terasing dari ketidakmampuan berinteraksi pada penyandang tunarungu dalam hal ini
2 dicermati pada usia remaja, dikarenakan masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai masa storm dan stress di mana pada masa inilah remaja menjalani proses evolusi menuju kedewasaan (Lestari, 2012: 108). Jika dikaitkan dalam tahapan sosialisasi, usia remaja dikategorikan masuk dalam tahap game stage (siap bertindak) di mana individu mulai mampu mengenali perannya secara pribadi dan bersiap menuju tahap generalized stage (kedewasaan) yang mulai dapat menjalankan perannya serta menempatkan diri di masyarakat. Remaja penyandang tunarungu dapat mengalami konflik diri dalam menghadapi realitas bahwa kemampuan berinteraksinya di lingkup masyarakat menjadi sangat terbatas dikarenakan hambatan dalam berkomunikasi sebagaimana mestinya. Bersamaan dengan munculnya berbagai persepsi atau bahkan stigma tersendiri oleh masyarakat juga bisa menghambat perkembangan potensi maupun kemampuan remaja tunarungu dalam menunjukkan identitasnya. Namun, pada dasarnya setiap individu dapat menjadi pribadi yang mampu melakukan apa yang memang diinginkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Hal ini bergantung pada besarnya introyeksi ke dalam diri yang dijadikan peristiwa definisi terhadap diri (Kartono, 2012: 47). Kemampuan dalam mendefinisikan diri tersebut dapat membuat individu menemukan suatu identitas maupun konsep bahwa ia merupakan aktor yang menjadi bagian dari masyarakat dan sudah semestinya dapat menyesuaikan diri, berpartisipasi, termasuk menjalin relasi bahkan membentuk suatu komunal meski dibatasi dengan kecacatan yang dimiliki. Demikian pula dalam hal meminimalisir keberadaan pada kehidupan yang terasing serta menghadapi stigma-stigma yang terbentuk baik dari dalam diri maupun pihak di luar diri. Pengetahuan mengenai diri dan masyarakat serta berbagai realitas yang dipahami atas status tunarungu tersebut diyakini akan memunculkan beragam perilaku maupun tindakan baik secara individual atau kelompok dari para remaja penyandang tunarungu yang pada akhirnya dapat didefinisikan sebagai suatu fenomena yang patut diketahui dan dipahami di ranah sosial. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Fenomenologi atas Stigmatisasi Sosial Penyandang Disabilitas Tunarungu dengan menekankan pada sudut pandang serta pengalaman hidup remaja tunarungu yang ada di Bali tepatnya di Kota Denpasar. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Keberadaan penyandang disabilitas menarik minat beberapa peneliti untuk mengkajinya dalam berbagai aspek. Kusuma (2013) yang meneliti tentang Hubungan antara Dukungan Sosial dan Penerimaan Diri dengan Resiliensi pada Remaja Penyandang Tunarungu di SLB-B Kabupaten Wonosobo menyatakan bahwa
3 dibutuhkan kemampuan resiliensi pada remaja tunarungu dalam proses bersosialisasi yang berkaitan dengan dukungan sosial dan penerimaan diri oleh remaja tunarungu itu sendiri. Dipertegas dengan penelitian Hasan & Handayani (2014) mengenai Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu di Sekolah Inklusi bahwa dukungan teman sebaya di sekolah inklusi dapat dinilai sebagai dukungan sosial yang mampu menunjang siswa tunarungu untuk mengenal teman yang seragam yang tidak hanya terbatas pada sesama anak berkebutuhan khusus tunarungu saja. Ryandani (2015) pun meneliti tentang Pemaknaan Orang Tua Terhadap Anak Inklusi yang memaparkan secara jelas bahwa pandangan negatif dari masyarakat kepada para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tidak dapat dihindarkan namun para orang tua berusaha untuk meredam dan membuat anak mereka merasa nyaman sehingga sikap percaya diri pada anak dapat muncul. Ditunjang oleh penelitian fenomenologi oleh Novianti (2013) dengan judul Kebermaknaan Hidup Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha yang mengulas proses pencarian makna hidup penyandang disabilitas fisik melalui sudut pandang psikologi. Keempat penelitian tersebut menjadi acuan bagi penelitian ini yang berupaya menggali fenomena stigmatisasi sosial yang dialami remaja tunarungu sebagai bagian dari penyandang disabilitas. 2.2 Stigmatisasi Sosial Stigma adalah cap atau persepsi negatif terhadap seseorang oleh orang lain. Konsep stigma dikemukakan oleh Goffman (dalam Poloma, 2013: ) mengarah pada orang-orang yang memiliki cacat sehingga tidak memperoleh penerimaan sosial sepenuhnya. Mereka merupakan orang yang direndahkan (discredit stigma) dan berpotensi dapat direndahkan (discreditable stigma). Stigma dapat dikatakan sebagai suatu bentuk reaksi sosial dari masyarakat kepada seseorang di mana seseorang atau individu dikucilkan, disingkirkan, didiskualifikasi atau ditolak dari penerimaan sosial. Melalui analisis dari konsep stigma di atas dapat ditentukan bahwa stigmatisasi merupakan proses munculnya pelabelan pada individu diakibatkan oleh ketidaksamaan dengan orang-orang yang dianggap sebagai orang normal. Ini juga dijelaskan oleh International Federation Anti Leprocy Association (dalam Febrianti 2012: 11) bahwa masyarakat cenderung berprasangka dengan pandangan tertentu kepada orang-orang yang berbeda dengan memberinya label sehingga memunculkan stigmatisasi dan diskriminasi. Mengkaji lebih dalam mengenai stigmatisasi sosial tidak hanya dilihat melalui penilaian masyarakat saja tetapi juga penilaian orang yang terstigmakan atau penilaian terhadap diri sendiri yang berkaitan dengan persepsi maupun respon atas stigma tersebut.
4 2.3 Disabilitas Disabilitas atau disability secara umum didefinisikan sebagai ketidakmampuan pada manusia untuk melakukan sesuatu sebagaimana mestinya. Menurut WHO, disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kehilangan struktur atau fungsi anatomis (Kemenpppa, 2014). Adapun jenis-jenis disabilitas tersebut diantaranya sepertu disabilitas, disabilitas mental, disabilitas intelektual, disabilitas sensorik, dan disabilitas perkembangan (Layanan Disabilitas UGM, 2015). 2.4 Tunarungu Tunarungu secara umum diartikan tidak dapat mendengar. Pinilih (2012: 14) menjelaskan bahwa tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruh alat pendengarannya yang menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi sehingga berdampak terhadap kehidupannya. Pada umumnya cara berkomunikasi digunakan para penyandang tunarungu dengan sesama tunarungu maupun orang normal yakni menggunakan perpaduan bahasa verbal (pelafalan meski terbata), bahasa isyarat, sekaligus bahasa tubuh untuk mengekspresikan perasaan. 2.5 Kerangka Teori Adapun landasan teori yang digunakan dalam mengkaji stigmatisasi penyandang disabilitas dalam penelitian ini yakni teori fenomenologi oleh Alfred Schutz. Pemikiran Schutz pada dasarnya merupakan jembatan konseptual antara ilmu sosial pada tataran tingkat kolektif dengan pemikiran fenomenologi terdahulu yang dicetuskan oleh Edmund Husserl yang bernuansa filsafat sosial dan psikologi. Dengan kata lain, Schutz mencoba memadukan antara fenomenologi murni dengan ilmu sosial untuk melihat gejala dalam dunia sosial agar dapat dicermati secara sistematis. Nindito (2005: 80) juga menyatakan gejala-gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of interest) dari fenomenologi sosiologi. Dalam teori fenomenologi yang dicetuskan oleh Schutz cenderung melihat implikasi sosiologi dari fenomena yang ada di sekitar. Schutz tidak hanya menjelaskan dunia sosial semata, melainkan menjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep ilmu pengetahuan yang berupa gagasan maupun kesadaran serta berbagai model teoritis dari realitas yang ada. Realitas yang disebutkan oleh Schutz adalah dunia keseharian atau yang biasa dikenal dengan pengalaman sehari-hari. Selain itu Schutz juga menyatakan bahwa dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif. Secara keseluruhan dunia individu tidak sepenuhnya bersifat pribadi melainkan terdapat kesadaran orang lain di dalamnya (dalam Zeitlin, 1995: 259). Jadi, fenomena
5 yang ditampakkan oleh individu merupakan refleksi dari pengalaman transendental atau pemahamannya tentang makna. Di samping itu, manusia juga dikatakan sebagai makhluk sosial. Akibatnya kesadaran akan kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial. Jika dikaitkan dengan penelitian ini dapat dinyatakan pula bahwa fenomena stigmatisasi sosial yang dialami individu penyandang tunarungu merupakan suatu bentuk kesadaran sosial. Dalam kesadaran sosial ini tentu mengikutsertakan persepsi para penyandang tunarungu dan orang lain (masyarakat), dengan kata lain terdapat persepsi dua arah yaitu antara persepsi orang lain terhadap si penyandang tunarungu serta persepsi si penyandang tunarungu terhadap dirinya sendiri. 3. METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptifeksplanatif. Fokus penelitian dilakukan di Kota Denpasar yang merupakan kotamadya di Provinsi Bali. Dipilihnya Denpasar menjadi lokasi penelitian tidak terlepas dari berbagai aktifitas yang dilakukan oleh para penyandang tunarungu baik itu menempuh pendidikan, berkumpul bersama rekan-rekan sesama tunarungu dalam organisasi maupun komunitas, dan beragam aktifitas-aktifitas lain yang terpusat di kota ini. Jenis data yang digunakan yakni berupa data kualitatif berdasarkan sumber primer dari remaja tunarungu, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Serta sumber sekunder yakni sumber lain di luar sumber utama sebagai pendukung maupun pelengkap data. Selain itu, penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipatif dengan teknik wawancara mendalam yang dilanjutkan dengan proses analisis data berupa reduksi data, penyajian data, hingga mencapai tahapan akhir berupa simpulan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Diskursus Penyandang Disabilitas Tunarungu Di Indonesia, secara umum diskursus mengenai penyandang disabilitas khususnya tunarungu merupakan suatu wacana yang lumrah diketahui oleh masyarakat. Dalam diskursus tersebut masyarakat cenderung lebih mengenal orang yang memiliki keterbatasan baik dari segi fisik maupun psikis dengan sebutan penyandang cacat dibanding penyandang disabilitas. Konstruksi diskursus mengenai penyandang cacat pun tersosialisasikan dalam sistem sosial, ekonomi, dan budaya serta tertata dalam struktur formasi sosial Indonesia (Fakih, 2011: 305). Untuk itu, sangat perlu pemahaman spesifik dalam mengidentifikasi makna kecacatan yang pada umumnya diketahui masyarakat serta makna disabilitas yang dibentuk untuk mengganti konotasi cacat sebagai salah satu cara meminimalisir implikasi dari label cacat tersebut. Para penyandang tunarungu di berbagai daerah memiliki sebutan tersendiri. Seperti halnya di Bali, masyarakat menamai orang yang memiliki gangguan pendengaran (tuli) dengan sebutan bongol, serta orang yang
6 memiliki gangguan berkomunikasi atau tidak bisa bicara (bisu) disebut kolok. Sebutan tersebut jika dikritisi lebih jauh juga mengandung unsur pelabelan di mana orang-orang tunarungu (kolok dan bongol) dinilai memiliki tingkat intelegensi yang rendah karena susah diajak melakukan kegiatan bermasyarakat seperti orang-orang pada umumnya yang di dalamnya memang sangat membutuhkan komunikasi. Keengganan berkomunikasi yang ditujukan oleh orang-orang yang bukan tunarungu secara langsung berimbas pada bagaimana para penyandang tunarungu tersebut menilai diri mereka. 4.2 Stigmatisasi sebagai Permasalahan Sosial yang Dialami Remaja Tunarungu Kondisi aspek sosial dan emosional yang ditunjukkan oleh remaja tunarungu memiliki pengaruh pada bagaimana para remaja tersebut menilai diri mereka sendiri. Apalagi ditunjang dengan pelabelan dari pihak luar yakni salah satu yang terdekat seperti keluarga yang memberikan pemahaman kuping jelek pada mereka. Memang penekanan pemahaman tersebut sebagai bentuk sederhana agar mereka menyadari keterbatasan yang dimiliki. Perlu diketahui bahwa masing-masing individu meskipun sesama tunarungu tentu memiliki pembawaan yang berbeda dan ini disebabkan oleh lingkungan yang berbeda pula. Khususnya di usia remaja, kemungkinan besar perasaan tertekan akibat melabeli diri sesuai apa yang dilihatnya bisa saja dialami sekalipun yang dilihatnya itu merupakan hal yang positif. Hal ini dikarenakan oleh kecenderungan remaja dalam menemukan identitas diri mereka dan berusaha berbuat sebagaimana yang mereka inginkan. Ketika keinginan mereka tidak dapat terpenuhi karena kemampuan yang terbatas maka gejolak emosi tidak dapat dihindari. Tentunya ini berdampak pada respon remaja tunarungu dalam menghadapi stigmatisasi dari luar. 4.3 Proses dan Bentuk Stigmatisasi Sosial terhadap Remaja Tunarungu Berdasarkan pengalaman dari para remaja tunarungu yang menjadi subjek dalam penelitian ini, proses stigmatisasi sosial yang mereka alami dapat diidentifikasi menjadi dua yakni proses yang muncul dari dalam diri serta dari pihak luar diri. Kedua proses ini sesungguhnya memiliki keterkaitan, tepatnya saling memengaruhi. Soekanto (2012: 385) memaparkan bahwa proses saling memengaruhi melibatkan unsur-unsur yang baik dan benar, serta unsur-unsur lain yang dianggap salah dan buruk. Tergantung pula dari mentalitas pihak yang menerima. Dalam hal ini, pengalaman stigmatisasi terhadap diri sendiri terkait pemahaman mengenai kedisabilitasan tersebut akan berdampak pada bagaimana individu penyandang tunarungu memiliki kepercayaan diri untuk bergaul dan bergabung dengan orang-orang yang bukan tunarungu di lingkungan di mana ia berada terlebih dalam masyarakat luas. Di sisi lain, pengalaman stigmatisasi yang diperoleh dari pihak luar juga perlu diperhatikan. Jika para penyandang
7 tunarungu tersebut memiliki pengalaman pelabelan dari orang lain entah berupa tindakan langsung dalam bentuk apapun, atau hanya sekedar menerima pandangan negatif yang memiliki potensi diskriminatif maka dapat dinyatakan bahwa stigmatisasi sosial memang masih melekat pada kaum difabel khususnya tunarungu. Pelabelan dari orang lain akan berpengaruh kembali pada individu yang bersangkutan yakni penyandang tunarungu yang telah diberi label tertentu. Bahkan tidak hanya pada individu penyandang tunarungu saja, namun berdampak pula pada orang-orang terdekat seperti keluarga batih dapat terkena imbas dari stigmatisasi tersebut. 4.4 Respon dan Penyesuaian Diri atas Stigmatisasi Sosial Memahami stigmatisasi sosial yang terbagi menjadi dua yakni dari dalam diri dan dari luar diri akan mengarahkan pula pada tinjauan tentang bagaimana para penyandang tunarungu khususnya di usia remaja melakukan upaya-upaya penyesuaian diri. Meadow (dalam Semiawan & Mangunsong, 2010: 101) memang menyatakan para penyandang tunarungu memiliki masalah dalam melakukan penyesuaian diri. Mereka cenderung kaku, egosentris, kurang kreatif, impulsif, dan kurang mampu berempati. Sikap-sikap tersebut dapat menghambat mereka untuk memberikan respon terhadap stigmatisasi yang dialami secara tepat khususnya stigmatisasi dari luar diri karena kondisi emosional yang terkategori kurang stabil. Bahkan untuk mengendalikan stigmatisasi yang dibentuknya sendiri akan menjadi sangat sulit. Jadi peran orang terdekat khususnya orang-orang yang mampu memahami dan benar-benar bisa berkomunikasi secara baik dengan mereka sangat diperlukan dalam membantu mereka mengenal maupun beradaptasi dengan lingkungan luar terlebih saat secara langsung aktif menjadi bagian dari masyarakat. 4.5 Analisis Teori Fenomenologi Alfred Schutz terkait Pengalaman Stigmatisasi Sosial Remaja Tunarungu Fenomena stigmatisasi sosial yang dialami oleh penyandang disabilitas khususnya remaja tunurungu tidak terlepas dari pengalaman kesehariannya serta bagaimana ia terlibat dengan orang lain. Pemaknaan diri yang menyandang disabilitas tentu berbeda dengan pemahaman orang lain yang melihatnya sebagai penyandang disabilitas. Dalam teori fenomenologi Schutz, analisa suatu fenomena akan mengarah pada apa yang ia sebut realitas puncak. Realitas puncak adalah realitas nyata yang dialami individu dalam kehidupan kesehariannya. Pada remaja tunarungu tentu realitas puncak yang dihadapi setiap hari adalah kedisabilitasannya atau ketidakmampuannya dalam berkomunikasi baik mendengar maupun berbicara. Bagaimana remaja tunarungu tersebut mampu memberi makna atas apa yang ia hadapi telah melalui proses berpikir yang bersifat intersubyektif. Pemahamanpemahaman atas disabilitas tidak langsung
8 didapatkan begitu saja karena terdapat penekanan pemahaman dari pihak keluarga sebagai pihak dari luar diri yang paling dekat dengannya. Seperti penekanan pemahaman kuping jelek yang sesungguhnya bersifat sederhana, diberikan orang tua agar remaja tunarungu dapat memahami tentang kedisabilitasannya bisa saja dimaknai berbeda. Sesuai temuan penelitian, orang tua bahkan guru yang menyebutnya memiliki kuping jelek dengan tujuan baik yakni membantu secara sederhana agar mereka yang tunarungu paham akan situasi dan kondisi tubuh yang dimiliki tidak seperti dengan orang-orang yang bisa mendengar. Sedangkan dari remaja tunarungu tersebut memaknai bahwa kuping jelek berarti kuping yang benar-benar jelek, atau rusak, atau tidak bagus sehingga akan selalu membuatnya merasa tidak bisa melakukan apa yang dilakukan orang-orang pada umumnya khususnya dalam hal komunikasi dan menganggap dirinya berbeda yang mengakibatkan munculnya perasaan rendah diri. Dalam kasus tersebut, pemberian makna kuping jelek dapat dikatakan sebagai suatu proses pelabelan atau stigmatisasi. Stigmatisasi dari dalam diri terkait dengan pemberian makna yang dilakukan oleh individu penyandang tunarungu terhadap dirinya sendiri, sedangkan stigmatisasi dari luar diri terkait dengan pemberian makna dari pihak luar seperti keluarga dan masyarakat. Remaja tunarungu dalam rentang usia middle adolescent belum cukup mampu memaknai secara khusus kondisi disabilitasnya, ini dikarenakan oleh sulitnya mereka mengungkapkan secara gamblang tentang pengalaman-pengalaman sebagai penyandang disabilitas. Akan tetapi ungkapan perasaan secara sederhana seperti tidak suka atau malu serta sedih terhadap perlakuan dan penilaian orang lain bahkan ketika menilai diri mereka sendiri cukup menjadi acuan bahwa mereka memiliki kesadaran atas kondisi disabilitas tersebut. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Memahami kajian mengenai penyandang tunarungu dapat dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang pengalaman-pengalaman yang didapat oleh mereka baik mengenai bagaimana para penyandang tunarungu tersebut menemukan konsep diri yang sesuai sebagai penyandang disabilitas dan bagaimana mereka mampu bergabung serta beradaptasi dengan masyarakat yang di dalamnya masih terdapat pemahaman konsep normal dan tidak normal. Pada dasarnya konsep normal dan tidak normal merupakan suatu yang telah dikonstruksikan secara sosial. Sulit untuk mengesampingkan pemahaman masyarakat bahwa penyandang disabilitas merupakan penyandang cacat, tidak mampu melakukan hal-hal sebagaimana mestinya, berbeda, bahkan tidak normal karena hal tersebut telah terkonstruksi secara mendasar sebagai sebuah persepsi yang dijadikan sebagai bahan untuk menilai
9 keberadaan dari penyandang tunarungu tersebut. Persepsi bahwa penyandang disabilitas tunarungu merupakan orangorang yang berbeda bahkan tidak normal ditunjukkan sebagai bentuk persepsi negatif yang tidak lain adalah bagian dari stigmatisasi sosial. Meninjau fenomena stigmatisasi sosial tidak hanya dari proses pelabelan dari masyarakat terhadap individu penyandang tunarungu, tetapi juga proses pelabelan yang dilakukan oleh individu tersebut terhadap dirinya sendiri yang menyadari kedisabilitasan yang dimiliki. Dalam hal ini stigmatisasi sosial terbagi menjadi dua yaitu stigmatisasi yang muncul dari dalam diri dan pihak luar diri. Kedua bagian dari keberadaan fenomena stigmatisasi sosial berdampak pula pada pembentukan karakteristik penyandang tunarungu khususnya di usia remaja sebagai masa-masa tersulit yang dialami individu. Masa strom dan stress serta pemaknaan atas realitas kedisabilitasannya secara garis besar membentuk karakter yang cenderung ekspresif ditunjang pula dengan kondisi pubertas sehingga remaja penyandang tunarungu merupakan remaja yang sangat sensitif. Karakter-karakter lain seperti kaku, egosentris serta impulsif yang juga ditunjukkan merupakan bentukan atas stigmatisasi sosial yang mereka alami. Karakter-karakter inilah yang besar kemungkinan menghambat mereka melakukan penyesuaian diri di lingkungan masyarakat. 5.2 Saran Perlu diperhatikan upaya-upaya yang dilakukan baik perihal pemberdayaan maupun mendapatkan kesejajaran dengan orang-orang yang bisa mendengar seharusnya disesuaikan dengan kemampuan dari penyandang tunarungu tersebut. Seperti halnya saat mengikutsertakan mereka dalam kompetisi bersama orang-orang yang bukan tunarungu, atau melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara umum. Selain itu kepercayaan diri mereka juga dapat terlatih akibat peran dari orangorang terdekat terutama keluarga dan guruguru di sekolah. Orang-orang terdekat terutama yang bukan tunarungu namun bisa memahami atau berkomunikasi dengan mereka akan membuat para penyandang tunarungu tersebut menyadari bahwa mereka normal dan sama seperti orang lain meski menggunakan bahasa isyarat. Masyarakat juga dapat mencoba memahami mereka dengan belajar bahasa isyarat untuk membantu mereka agar lebih mudah melakukan penyesuaian diri. DAFTAR PUSTAKA Buku: Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES Fakih, Mansour. (2011). Jalan Lain Manfesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kartono, Kartini. (2011). Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana
10 Miles, Matthew B & Huberman A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Misiak, Henryk & Sexton, Virginia S. (2009). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, Bandung: Refika Aditama Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana Poloma, Margareth M. (2013). Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers Semiawan, Conny R. & Mangunsong, Frieda. (2010). Keluarbiasaan Ganda (Twice Exceptionality) Mengeksplorasi, Mengenal, Mengidentifikasi, dan Menanganinya, Jakarta: Kencana Soekanto, Soerjono. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. (1997). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded, Surabaya: PT. Bina Ilmu Wirawan, IB. (2012). Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial), Jakarta: Kencana Zeitlin, Irving M. (1995). Memahami Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gajahmada University Press Jurnal Batubara, Jose RL. (2010). Adolescent Development (Perkembangan Remaja), Jurnal Sari Pediatri, 12(1), Djaelani, Aunu Rofiq. (2013). Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif, Majalah Ilmiah Pawiyatan, 20(1), Hasan, Sofy Ariany dan Handayani, Muryantinah Mulyo. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu di Sekolah Inklusi, Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 3(2), Nindito, Stefanus. (2005). Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial, Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1), Ryandani, Okza. (2015). Pemaknaan Orang Tua Terhadap Anak Inklusi, Jurnal Komunitas, 4(3), 1-10 Thohari, Slamet. (2007). Menimbang Difabelisme Sebagai Kritik Sosial, Jurnal Mozaik, 2(2), Skripsi & Tesis Febrianti, Linda. (2012). Pengalaman Stigma Pada Penderita Kusta di Kota Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang Kusuma, Auditya Warta. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Penerimaan Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Penyandang Tunarungu di SLB-B Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Novianti, Dewi. (2013). Kebermaknaan Hidup Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha (Penelitian Fenomenologi Pada Tiga Orang Penyandang Disabilitas Fisik yang Berwirausaha di Kota Bandung). Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Pinilih, Sambodo Sriadi. (2012). Pengaruh Social Skills Training (SST) terhadap Keterampilan Sosialisasi dan Social Anxiety Pada Remaja Tunarungu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kabupaten Wonosobo. Tesis. Depok: Universitas Indonesia Internet Kemenpppa. (2014). Penyandang Disabilitas, (Diakses 16 Januari 2016) Layanan Disabilitas UGM. (2015). Macam- Macam Disabilitas, / (Diakses 16 Januari 2016) Perdana. (2014). Pendekatan Fenomenologi Penelitian Kualitatif, 4/05/pendekatan-fenomenologipenelitian-kualitatif (Diakses 16 Januari 2016)
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain tentu memerlukan ruang, khususnya dalam menjalin relasi sosial, dan lingkungan masyarakat menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda. Kesempurnaan tidak hanya dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki. Umumnya seseorang
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA KOMUNIKASI SISTEM ISYARAT BAHASA
92 BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA KOMUNIKASI SISTEM ISYARAT BAHASA INDONESIA (SIBI) BAGI PENYANDANG TUNARUNGU DI SMALB-B KARYA MULIA SURABAYA A. Bagaimana proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia berharap dilahirkan dalam keadaan yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu fase dalam perkembangan individu adalah masa remaja. Remaja yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga membutuhkan program individual dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja berasal dari kata adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis
14 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak setiap orang. Begitu pula pendidikan untuk orang orang yang memiliki kebutuhan khusus. Seperti dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut manusia memerlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat individu umumnya kurang mampu
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Deddy N. Hidayat dalam penjelasan ontologi paradigma kontruktivis, realitas merupakan konstruksi
Lebih terperinciPENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)
58 Penyesuaian Sosial Siswa Tunarungu PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta) Karina Ulfa Zetira 1 Dra. Atiek Sismiati Subagyo 2 Dr. Dede Rahmat Hidayat, M.Psi 3 Abstrak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki keinginan untuk lahir dengan kondisi fisik yang normal dan sempurna, namun pada kenyataannya ada manusia yang tidak dapat mendapatkan kesempurnaan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Yang Digunakan Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan fenomenologi untuk dapat menggambarkan sifat-sifat
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan berumah tangga, setiap keluarga tentunya akan mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka. Setiap pasangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase-fase kehidupan sejak ia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase-fase kehidupan sejak ia dilahirkan. Salah satu fase yang dilewati itu adalah masa remaja. Masa remaja merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disabilitas adalah evolving process yang didukung oleh proses interaksi antara lingkungan, masyarakat serta kebijakan yang menghambat penyandang disabilitas tidak mampu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Beberapa dekade terakhir ini keberadaan anak berkebutuhan khusus bukan menjadi hal yang baru bagi masyarakat. Menurut World Health Organization, diperkirakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling menarik untuk dipelajari, karena banyak sekali masalah yang dihadapi. Seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya hidup, berkembang, dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya hidup, berkembang, dan berperan sebagai manusia dengan berhubungan dan bekerja sama dengan manusia lain. Salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan cakupan batasan penelitian. 1.1
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat
BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Menurut Thomas Kuhn 22, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang
Lebih terperinciSOSIOLOGI PENDIDIKAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. MAX WEBER 5. THOMAS LUCKMAN 2. EDMUND HUSSERL 6. ANTHONY GIDDENS 3. ALFRED SCHUTZ 7. PIERE BOURDIEU 4. PETER
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahkluk sosial selalu berhubungan dengan orang lain karena pada dasarnya manusia tercipta sebagai mahluk sosial,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga bisa menjadi sebuah impian setiap orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Deskripsi Definisi Judul
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Deskripsi 1.1.1 Definisi Judul Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian AUTISM SCHOOL DI BATANG DENGAN PRINSIP UNIVERSAL DESIGN, maka perlu diketahui tentang pengertian judul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat yang diikat norma sosial kerap kali muncul permasalahan menyangkut anak yang diduga melakukan tindak pidana. Ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang SLB-B Putra Harapan Bojonegoro merupakan salah satu sekolah luar biasa khusus penyandang cacat tunarungu yang ada di Bojonegoro yang berada di bawah naungan yayasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keharusan negara untuk mampu menciptakan rakyat yang cerdas ditiap-tiap bidangnya dan mengenai pendidikan sebagai suatu alat terciptanya negara yang baik dalam perspektif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang saling terkait, berkesinambungan, dan berlangsung secara bertahap. Tingkat perkembangan individu memicu adanya berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pendengaran merupakan sensori terpenting untuk perkembangan bicara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendengaran merupakan sensori terpenting untuk perkembangan bicara dan bahasa, berkomunikasi dan belajar. 1 Kehilangan pendengaran terjadi sejak lahir, dampaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kolektif bagi tujuan-tujuan kolektif. Politik juga melekat dalam lingkungan hidup
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Politik adalah aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi tujuan-tujuan kolektif. Politik juga melekat dalam lingkungan hidup manusia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah autisme sudah cukup familiar di kalangan masyarakat saat ini, karena media baik media elektronik maupun media massa memberikan informasi secara lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
Lebih terperinciHubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel
Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi
Lebih terperinciPEMAKNAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK INKLUSI
JURNAL SOSIAL DAN POLITIK PEMAKNAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK INKLUSI Okza Ryandani (071114063) Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Penelitian yang berjudul Pemaknaan Orang
Lebih terperinciINTERAKSI SOSIAL PADA PENDERITA DIFABEL. Risa Diana Putri 1), Harry Theozard Fikri 2)
INTERAKSI SOSIAL PADA PENDERITA DIFABEL Risa Diana Putri 1), Harry Theozard Fikri 2) 1) Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia YPTK Padang Risa.diana11@yahoo.com 2) Fakultas Psikologi Universitas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of Productive Employement and Social Integrationyaitu Promote equal access to all levels of
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi dunia mempengaruhi banyak bidang kehidupan, salah satunya adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya media Eropa ke Asia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang mengarah pada sisi perempuan. 1. sedangkan dalam pengertian dalam pandangan islam waria
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan fisik, tidak menjadi halangan bagi wanita penyandang tuna rungu, Irena Cherry, untuk
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi Diajukan oleh :
Lebih terperinciAbstrak. Universitas Kristen Maranatha
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunarungu usia prasekolah di SLB-B X Cimahi. Alat ukur yang digunakan merupakan kuesioner dengan bentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Keberadaan para penyandang cacat sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat. Mereka dapat dijumpai di pinggir jalan, panti-panti yang menampung
Lebih terperinciwww. psld. uin-suka.ac.id
www. psld. uin-suka.ac.id Facts about Education and PWDs Gap Kebijakan-Kebijakan Perubahan Persepsi-Paradigma Hambatan yang dialami mhs difabel di PT Apa yang dilakukan PSLD 1 Rendahnya partisipasi penyandang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, bahasa, dan seni. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia pun memiliki keanekaragaman tersebut. Masyarakat
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia
1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Istilah anak berkebutuhan khusus saat ini semakin luas dikenal masyarakat. Secara tradisional masyarakat melabel anak berkebutuhan khusus sebagai mereka yang memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,
Lebih terperinciPELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS VII SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) NEGERI KABUPATEN GORONTALO
1 PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS VII SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) NEGERI KABUPATEN GORONTALO Ummurul Hasanah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Novianti, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lain, selain makhluk sosial manusia juga membutuhkan yang namanya
Lebih terperinciPOLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1
POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Psikologi Disusun Oleh : YULI TRI ASTUTI F 100 030
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, setiap individu terkadang mengalami suatu hambatan. Hambatan yang terjadi pada suatu individu beragam jenisnya. Beberapa jenis
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan menggunakan kajian fenomenologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya manusia terlahir di dunia dengan keadaan normal dan sempurna. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dialami oleh semua orang. Beberapa orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat
Lebih terperinciKOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD
KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD DI SMALB DHARMA BAKTI DHARMA PERTIWI BANDAR LAMPUNG MUJIB Pendidikan Matematika, IAIN Raden Intan Lampung,
Lebih terperinciPENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK
PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK Nelly Oktaviyani (nellyokta31@yahoo.com) 1 Yusmansyah 2 Ranni Rahmayanthi Z 3 ABSTRACT The purpose of this study
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan pendekatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak adalah anugrah dan titipan dari tuhan yang harus di jaga dan di pelihara dengan baik. Seseorang yang masih dikategorikan sebagai seorang anak adalah sepenuhnya
Lebih terperinciKepedulian Sosial dalam Puisi Anak pada Rubrik Peer-Kecil Surat Kabar Pikiran Rakyat Edisi
Kepedulian Sosial dalam Puisi Anak pada Rubrik Peer-Kecil Surat Kabar Pikiran Rakyat Edisi 2010 2011 Oleh: Sheila Fera Phina 1 Abstrak Judul skripsi ini adalah Kepedulian Sosial dalam Puisi Anak pada Rubrik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang dianugerahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah. Islam sebagai agama yang dianut penulis mengajarkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga negara. Bahkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya anak normal saja
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelahiran seorang anak di dunia ini adalah kebanggaan tersendiri bagi keluarga, manusia tidak dapat meminta anaknya berwajah cantik atau tampan sesuai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Badan Pusat Statistik Nasional, pada tahun 2007, terdapat 82.840.600 anak berkebutuhan khusus diantara 231.294.200 anak Indonesia. (Kementrian Kesehatan
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008
31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain, maka dari itu manusia selalu berusaha berinteraksi dengan orang lain dan mencari
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai pengalaman psikologis pada remaja yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hasil dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu pranata sosial yang didalamnya terdapat proses sosialisasi mengenai norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan kepada anak. Jika
Lebih terperinciBAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan dengan elemen lain seperti modal, teknologi, dan uang sebab manusia itu sendiri yang mengendalikan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. B. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian lapangan atau field research, yaitu sebuah studi penelitian yang mengambil data autentik secara obyektif atau studi lapangan.
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Persepsi keluarga terhadap anak dengan ID Keluarga dapat memiliki persepsi yang benar maupun salah terhadap anak dengan ID, khususnya terkait dengan disabilitas
Lebih terperinciSosialisasi Bahasa dalam Pembentukkan Kepribadian Anak. Sosialisasi bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di
96 D. Pembahasan Sosialisasi Bahasa dalam Pembentukkan Kepribadian Anak Sosialisasi bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya, yaitu segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak awal adanya kehidupan manusia, kodrati manusia sebagai makhluk sosial telah ada secara bersamaan. Hal ini tersirat secara tidak langsung ketika Tuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 1) Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti memilih menggunakan penelitian kualitatif sesuai dengan pendapat Strauss dan Corbin (Basrowi&
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Motivasi dan belajar adalah dua hal yang saling berkaitan. Motivasi belajar merupakan hal yang pokok dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga tanpa motivasi seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan
Lebih terperinciFenomenologi I: Etnometodologi Garfingkel
Fenomenologi I: Etnometodologi Garfingkel Kuliah ke-9: Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana, PhD. a.wardana@uny.ac.id Sedikit pengantar tentang Fenomenologi Warisan Husserl dan Schutz Fenomenologi:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta
Lebih terperinciSosiologi politik MEMAHAMI POLITIK #3 Y E S I M A R I N C E, M. S I
Sosiologi politik MEMAHAMI POLITIK #3 Y E S I M A R I N C E, M. S I PERKEMBANGAN ILMU POLITIK CARA MEMANDANG ILMU POLITIK Ilmu yang masih muda jika kita memandang Ilmu Politik semata-mata sebagai salah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Mengkaji paradigma penelitian komunikasi tidak terlepas dari paradigma penelitian sosial sebagai rumpun ilmunya dan berarti terkait dengan filsafat ilmu yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan suatu bangsa tak lepas dari poros penggerak anak muda. Potensi dan jati diri anak muda lah yang merupakan potensi penerus masa depan yang cerah. Namun
Lebih terperinci