3 TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Memahami Api dan Kebakaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3 TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Memahami Api dan Kebakaran"

Transkripsi

1 16 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Memahami Api dan Kebakaran Jaber et al. (2001) menyatakan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan mencakup pembahasan terhadap empat komponen utama, yaitu : a. Deteksi dini kebakaran b. Penilaian resiko (berhubungan dengan kondisi cuaca) c. Penilaian terhadap luasan areal terbakar (kebakaran yang terjadi pada area yang tidak luas umunya tidak berbahaya) d. Simulasi terhadap perilaku penyebaran api Pengelolaan resiko kebakaran hutan dan lahan dimulai dari penilaian terhadap besar resiko yang disebabkan oleh kejadian kebakaran tersebut. Perilaku api terkadang tidak menentu sehingga sulit untuk dideteksi dan dilakukan pendekatan. Memprediksi kondisi aktual kebakaran dengan suatu permodelan tidak mudah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran, baik faktor ekologi maupun sosial ekonomi, tidak bisa dianalisis secara terpisah. Resiko kebakaran hutan dapat didekati dengan menjumlahkan skor pada faktor kemudahan menyala, topomorfologi, dan landuse (Guettouche et al. 2011). Braun et al. (2010) telah membuat pendekatan penilaian peluang terjadinya kebakaran dengan menggunakan data waktu kejadian kebakaran, lokasi penyalaan dan area terbakar. Batasan pengertian area terbakar mencakup area tempat kejadian penyalaan dan juga area penyebaran dari titik api tersebut. Untuk mengurangi terjadinya bias, maka dibuat buffer dengan radius 5 km di sekitar wilayah kajian. Hal ini didasarkan kemungkinan api merambat keluar dari wilayah studi. Pembakaran lahan telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Pembakaran lahan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Kebakaran hutan juga memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah (Vafeidis et al. 2007) Penggunaan Hotspot MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan produk dari Earth Observing Sistem (EOS) NASA yang memiliki 2 jenis satelit, yaitu Terra (EOS AM) and Aqua (EOS PM). Orbit satelit Terra dari utara ke arah equator pada pagi hari dan satelit Aqua dari selatan ke Equator pada siang hari yang menghasilkan liputan seluruh muka bumi dalam waktu 1-2 hari. Satelit EOS memiliki wilayah pergantian liputan ± 55 derajat, ketinggian orbit 705 km dan lebar 2330 km. Terra (EOS AM) diluncurkan 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) pada tanggal 4 Mei Hasil observasi hotspot dengan kualitas tinggi baru tersedia pada satelit Terra mulai November 2000, sementara satelit Aqua mulai 4 Juli 2002 dan seterusnya (

2 Satelit Terra (EOS AM) melewati khatulistiwa sekitar pukul 10:30 pagi dan 10:30 malam setiap hari, Aqua (EOS PM) satelit melewati khatulistiwa sekitar pukul 1:30 pagi dan 1:30 siang. Adanya jalur orbit yang sama memungkinkan satelit untuk melewati daerah yang sama pada waktu yang sama dalam setiap periode 24 jam. Diperlukan waktu sekitar 2-4 jam setelah proses liputan satelit untuk pemrosesan data, dan pembaharuan data FIRMS pada situs web. Untuk sebagian besar ekuator Bumi, ada 4 liputan dalam jangka waktu 24 jam (2 untuk Aqua dan 2 untuk Terra). Sebagai orbit kedua satelit "tumpang tindih" di kutub, ada cakupan lebih per daerah mengingat lebih jauh ke utara atau selatan daerah dari khatulistiwa ( Satelit MODIS memiliki resolusi spasial (250 m) yang lebih tinggi dari pada AVHRR pada Band 1 ( µm) dan Band 2 ( µm) (Zhang et al. 2011). Salah satu kelebihan MODIS dibanding dengan satelit lainnya adalah dalam pembacaan algoritmanya tidak ada batas atas untuk api terbesar dan / atau terpanas yang dapat dideteksi dengan MODIS. Ini tidak dimiliki oleh beberapa satelit seperti AVHRR, VIRS, dan ATSR (Giglio 2010). Dalam kejadian kebakaran, besar minimum api terdeteksi oleh sensor dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti sudut scan, bioma, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah asap dan arah angin, dll), sehingga nilai yang tepat sulit diketahui. Dari resolusinya MODIS mendeteksi kebakaran 1000 m², namun apabila pengamatan dilakukan dalam kondisi optimal (misalnya di dekat titik nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan tanah yang relatif homogen, dll), kebakaran dengan luas 100 m² dapat dideteksi, bahkan dalam kasus yang sangat jarang dapat mendeteksi kebakaran seluas 50 m² (Giglio 2010). Diantara kelebihan Satelit MODIS (resolusi 250 m) adalah produk yang tidak mahal, resolusi temporal yang tinggi, cakupan areal yang sangat luas dan memberikan informasi dalam rangka monitoring kondisi kesehatan ekosistem hutan. Penggunaan data MODIS dapat mengenali sebaran area terbakar sebagai bahan masukan bagi petugas pengendali kebakaran. Namun hasil identifikasi area terbakar tersebut umumnya memiliki luasan lebih rendah dibanding dengan pengukuran GPS (Quintano et al. 2011). Validasi hotspot Terra MODIS dan Aqua MODIS telah dilakukan dengan menggunakan pengamatan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dengan hasil yang baik (Klerk 2008 dan Hawbaker et al dalam Giglio 2010). Citra Landsat 5 TM juga dapat digunakan sebagai data lapangan untuk validasi MODIS. Validasi terhadap MODIS dengan citra Landsat TM menunjukkan hasil yang akurat sebagai sumber informasi peta kebakaran (Shimabukuro et al. 2009). Demikian juga validasi dengan pengecekan lapangan, penggunaan data hotspot MODIS memiliki akurasi yang cukup tinggi (di atas 90 %) sehingga cukup layak digunakan sebagai data dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Thailand (Tanpipat et al. 2009). Setiap deteksi kebakaran hotspot merupakan pusat dari pixel dengan resolusi ± 1 km², dan dalam satu piksel tersebut terdapat satu atau lebih hotspot / kebakaran. Lokasi sebenarnya titik api tersebut di dalam 1 piksel itu tidak diketahui secara pasti. Seringkali hotspot/titik api yang terdeteksi memiliki luas kurang dari 1 km², sehingga secara pasti luas area terbakar tidak dapat diketahui. Hanya dapat disimpulkan bahwa dalam 1 piksel itu terdapat satu atau beberapa hotspot ( 17

3 18 Hotspot diproses oleh MODIS Rapid Response Sistem menggunakan algoritma berstandar MODIS MOD14/MYD14 Fire dan produk Thermal Anomalies. Deteksi kebakaran dilakukan dengan memanfaatkan emisi yang kuat dari radiasi inframerah tengah yang dipantulkan/dipancarkan oleh kebakaran. Algoritma memeriksa setiap pixel dari petak MODIS, dan parameter data meliputi data yang hilang, awan, air, non-api, api, atau tidak diketahui ( Faktor faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Kebakaran yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan menjadi : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri 2007). Di Nevada, kebakaran yang disebabkan oleh alam sering terjadi pada daerah dengan kerapatan petir yang tinggi. Pengaruh faktor alam terlihat pada daerah-daerah yang sulit diakses oleh manusia yang dapat memicu terjadinya penyalaan api. Kebakaran secara alami ini terjadi ketika didukung oleh kesesuaian bahan bakar dan topografi (Dilts et al. 2009). Untuk Indonesia kebakaran disebabkan faktor alam ini jarang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup faktor sosial ekonomi (dalam segitiga api terkait sumber penyalaan) dan biofisik (terkait bahan bakar) Faktor Sosial Ekonomi Pengolahan Lahan Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina 2008). Sebagian masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan. Pembakaran lahan dapat meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Prasad et al. (2008) juga menemukan keterkaitan yang erat antara aktivitas masyarakat dengan kejadian kebakaran hutan di India. Permintaan terhadap kayu bakar di pedesaan terkait erat dengan pembersihan dan pembakaran lahan pertanian, dimana vegetasi (pohon) ditebang dan dibakar dengan tujuan membuka lahan. Ketergantungan masyarakat pada hutan sebagai penyedia kayu bakar dan sumber utama energi menyebabkan deforestasi yang serius di beberapa bagian hutan. Populasi yang terus meningkat menyebabkan konsumsi bahan bakar kayu meningkat dengan cepat. Hal ini seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan.

4 19 Demografi (Penduduk) Kepadatan penduduk pedesaan, angka buta huruf serta ketergantungan penduduk pedesaan pada sumber daya hutan merupakan faktor yang berpeluang menimbulkan kebakaran hutan (Prasad et al. 2008). Pengaruh tingkat kepadatan penduduk ini juga terlihat pada pola sebaran kebakaran yang frekuensinya semakin meningkat di daerah-daerah berpenduduk padat dan sedkit di daerahdaerah yang penduduknya jarang (Calcerrada et al. 2010). Di banyak daerah kebakaran dipengaruhi oleh jumlah penduduk dimana pada daerah-daerah yang penduduknya rendah ada kecenderungan jumlah kebakaran yang terjadi juga rendah. Ini terkait dengan faktor manusia sebagai penyebab terjadinya penyalaan api. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, intensitas aktivitas manusia untuk mengakstraksi sumberdaya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi juga meningkat meningkat (Zhai et al. 2003; Yamashita 2008; Syphard et al. 2009). Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masyarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar 2000) Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km². Aksesibilitas Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman 2010). Pengaruh faktor manusia ini juga terlihat dari pola sebaran titik api yang berkorelasi kuat dengan ketersediaan aksesibilitas di wilayah tersebut. Daerahdaerah yang berdekatan dengan jalan lebih rawan terjadi kebakaran daripada daerah yang jauh (Zhai et al. 2003; Calcerrada et al. 2010). Pemahaman Masyarakat Lee et al. (2009) mengatakan bahwa ada kaitan kuat antara tingkat pemahaman masyarakat sekitar dengan terjadinya gangguan di beberapa kawasan lindung Sulawesi. Beberapa variabel prediktor yang digunakan adalah informasi rumah tangga, pendapat terhadap kawasan lindung, pemahaman terhadap konservasi, interaksi dengan kawasan lindung dan variabel sosial demografi. Parameter-parameter yang diukur adalah tingkat dukungan terhadap pembangunan kawasan lindung, metoda pemanfaatan yang mendukung keberlanjutan sumber daya, partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan lindung, konflik dalam pemanfaatan ruang, jumlah penduduk, proporsi suku asli, jarak dari pemukiman, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharian penduduk.

5 20 Status Kawasan Status kawasan yang berbeda menunjukkan frekuensi kebakaran yang berbeda. Berdasarkan status kawasannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan alam dari pada di Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Hak di luar keperluan industri. Hutan hak non industri lebih rendah kerawanannya daripada kedua status kawasan lainnya. Terkait jenis tanamannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan pinus dan campuran pinus-daun lebar daripada hutan daun lebar. Ini terkait dengan kemudahan terbakar pada media bahan bakar api (Zhai et al. 2003). Daerah Terbangun Tingkat perkembangan wilayah juga mempengaruhi frekuensi kebakaran. Kebakaran umumnya meningkat dengan makin dekatnya jarak terhadap pusatpusat pemukiman. Daerah yang lebih dekat lebih tinggi kepadatan hotspot-nya dibandingkan daerah yang jauh dan sulit diakses penduduk. Kepadatan hotspot ini menurun untuk daerah-daerah yang sangat dekat dengan pemukiman (Yamashita 2008) Faktor Biofisik Faktor lingkungan biofisik, mencakup variabel-variabel lingkungan yang mempengaruhi kemudahan untuk terbakar dan kejadian kebakaran, meliputi : Topografi Salah satu unsur yang mempengaruhi perilaku api adalah Topografi. Faktor topografi terdiri atas data ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), aspect dan tingkat keterisolasian (Chuvieco et al. 1997). Slope mempengaruhi kecepatan penjalaran api dan aspek berhubungan dengat kondisi kelembaban udara. Variabel elevasi mempengaruhi tingkat kelembaban bahan bakar dan udara (Setiawan et al. 2004). Syaufina (2008) menyatakan bahwa semakin curam lereng maka akan semakin cepat api menjalar disebabkan nyala api lebih dekat dengan bahan bakar. Aliran angin biasanya menuju puncak. Udara yang terpanaskan akan menambah kecepatan angin dan menimbulkan lompatan bara api yang jatuh ke bawah dan menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin. Dalam penelitian yang dilakukan Dilts et al. (2009) mengenai pemodelan kebakaran untuk pemetaan kejadian kebakaran, terdapat hasil yang berbeda. Kerawanan kebakaran daerah bertopografi tinggi justru lebih rendah dibandingakan topografi rendah. Hal ini disebabkan sulitnya aksesibilitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran.

6 21 Miller dan Urban (1999); Platt et al. (2006) menjelaskan bahwa variabel ketinggian dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat suhu dan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap tingkat kebasahan dari bahan bakar. Pada daerah-daerah yang tinggi, suhu udara lebih rendah dan kelembabannya lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk terbakar. Demikian juga sebaliknya, pada daerahdaerah yang berada pada ketinggian yang rendah diukur dari permukaan laut maka kondisi suhunya akan lebih tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi tersebut dapat berdampak pada mudahnya bahan bakar yang ada di wilayah tersebut untuk terbakar. Setiawan et al. (2004) menyatakan bahwa lebih dari 90 % kebakaran terjadi pada elevasi 100 m dpl. Kerusakan yang terjadi akibat kebakaran pada area rendah lebih besar dibandingkan area yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh besarnya curah hujan pada daerah tinggi tersebut. Bahan Bakar Pemahaman terhadap karakteristik bahan bakar merupakan komponen sangat penting dalam management kebakaran hutan dan lahan. Data karakteristik bahan bakar dapat digunakan untuk menghitung bahaya, resiko, perilaku dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Karakteristik bahan bakar tersebut cukup sulit dijelaskan karena sangat komplek dan bervariasi (Manzanera et al. 2008). Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, susunannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukurannya mempengaruhi kemudahan menyala, serta ada tidaknya kandungan kimia mempengaruhi kecepatan nyala api (Syaufina 2008). Bahan bakar dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Semakin besar ukuran pohonpohonnya maka volume bahan bakar juga akan semakin besar. Volume bahan bakar dan kelembabannya secara bersama-sama mempengaruhi proses penyalaan api (Miller dan Urban 1999; Syaufina 2008). Prasad et al. (2008) mengidentifikasi variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian kebakaran adalah luas kawasan berhutan, kepadatan biomassa, kepadatan penduduk pedesaan, curah hujan rata-rata kuartal terpanas, elevasi dan suhu tahunan rata-rata. Di antara variabel-variabel ini, kepadatan biomassa dan curah hujan rata-rata kuartal terpanas memiliki signifikansi tertinggi, diikuti oleh variabel lainnya. Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput, Alang- alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti 2006). Knapp (1996) dalam Dilts et al. (2009) menyatakan bahwa daerah-daerah yang ditumbuhi oleh rerumputan lebih rawan terhadap kebakaran. Daerah-daerah

7 22 tersebut terkadang dijumpai pada daerah bertopografi datar dan berbatu, sehingga rumput lebih mampu tumbuh dibandingkan jenis lainnya. Iklim Komponen iklim/cuaca yang berpengaruh terhadap kebakaran mencakup suhu, kelembaban, angin dan curah hujan (Chuvieco et al. 1997). Iklim/Cuaca menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kemarau mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina 2008). Ketersediaan air mempengaruhi kelembaban dan produktivitas bahan bakar. Simuasi model kebakaran permukaan, iklim dan hutan di California menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan ketinggian di atas meter, ketersediaan bahan bakar yang diperlukan dalam proses penyalaan sangat sedikit. Faktor pembatas juga mencakup variabel kelembaban dimana pada ketinggian di atas tersebut bahan bakar menjadi terlalu lembab untuk bisa terbakar. Sehingga daerah-daerah dengan ketinggian di atas m tidak rawan terbakar (Miller dan Urban 1999). Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul sampai 18.00, setelah jam penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar menurun (Sumantri 2007). 3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan Morisette et al. (2005) dalam Prasad et al. (2008) menyebutkan bahwa penginderaan jauh yang menggunakan multi waktu, multispektral, cakupan dan pola kejadian berulang dapat memberikan informasi tentang jumlah kebakaran, luas area dan jenis ekosistem yang terbakar.untuk menghitung daerah yang terbakar dengan penginderaan jauh umumnya menggunakan 2 cara : a. Deteksi kebakaran aktif b. Deteksi pasca kebakaran GIS sangat bermanfaat dalam pengolahan data digital citra satelit untuk membuat peta sebaran bahan bakar, pemodelan spasial resiko kebakaran serta pemodelan spasial peluang kejadian kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari GIS tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola kawasan untuk melakukan pencegahan, perencanaan dan penanganan kebakaran (Bonazountas et al. 2007). Pemakaian GIS dan regresi logistik multivariat memberikan hasil yang cukup baik untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor yang digunakan sebagai prediktor dalam proses tersebut mencakup demografi, sosial ekonomi, fisik, geografi dan bahan bakar kayu. GIS digunakan untuk mengkombinasikan data spasial hasil inventarisasi hutan dan data hasil sensus, serta bermanfaat untuk menghitung jarak setiap plot dalam kegiatan inventarisasi hutan terhadap lokasi aksesibilitas penduduk (Zhai et al. 2003).

8 23 Setiawan et al. (2004) juga menggunakan GIS berbasis grid dengan didukung Multi Criteria Analysis (MCA) untuk memetakan daerah-daerah yang bahaya/rawan kebakaran pada hutan rawa gambut. Variabel-variabel yang diuji meliputi landuse, jaringan jalan, slope, aspect, tanah, vegetasi dan ketinggian. Sebagai pembobot model digunakan skor dari proses Analitical Hierarcy Process (AHP). GIS juga dapat dimanfaatkan untuk menguji hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas tingkat kepadatan kejadian kebakaran melalui pemodelan spasial Regresi Linier Terboboti. Kepadatan hotspot dihitung dengan fungsi Kernel Density Estimate (KDE) dengan nilai bandwidth feet. Bandwith yang optimal untuk fungsi kebakaran ini adalah feet (Yamashita 2008). Geographical Information System (GIS) juga bermanfaat untuk memetakan daerah-daerah yang terkena dampak kebakaran serta membuat model zonasi bahaya kebakaran. Data multi waktu citra satelit dapat digunakan untuk memetakan area penyebaran api serta arahnya (Kunwar dan Kachhwaha 2003). 3.3 Pemodelan Spasial Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : a. penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama b. pendefinisian masalah agar lebih jelas dan logis c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Menurut Brimicombe (2010), model spasial yang memanfaatkan GIS biasanya terdiri atas tiga hal : a. garis regresi yang memprediksi nilai output berdasarkan variabel input b. sejumlah tabel yang menggambarkan hubungan dan proses yang komplek, merupakan hasil manipulasi dari beberapa layer peta c. Sejumlah formula matematika yang menggambarkan hubungan sebab akibat yang dikompilasi melalui program komputer. Dalam kaitannya dengan studi kebencanaan, dikenal tiga istilah yang menjadi obyek kajian model prediksi, yaitu tingkat bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan resiko (risk). Hazard diartikan sebagai potensi kerusakan yang mungkin terjadi pada waktu dan lokasi tertentu. Dari pengertian ini maka pemodelan hazard mencakup dua komponen utama yaitu pemodelan berdasarkan lokasi dan waktu kejadian. Sementara vulnerability diartikan sebagai tingkat kerentanan rusak atau tingkat kehilangan suatu obyek yang disebabkan oleh terjadinya hazard. Tingkat kerentanan berdasarkan kerusakan yang terjadi digambarkan pada skala 0 sampai dengan 1 (skala 0 berarti tidak rentan, skala 1 berarti sangat rentan). Resiko (risk) merupakan ukuran dampak yang

9 24 menggambarkan hasil akhir dari kombinasi peluang hazard dan vulnerability (Brimicombe 2010). Barnett (2005) menyebutkan bahwa kesesuaian model untuk menjelaskan perilaku api sangat dipengaruhi oleh tingkat variasi data pada unit-unit wilayah yang seragam. Adanya variasi yang tinggi pada perilaku api dapat menyebabkan model menjadi tidak akurat. Pemodelan spasial dapat membantu para petugas yang menangani kebakaran dengan cara membuat mereka lebih fokus pada faktorfaktor yang berpengaruh penting terhadap kejadian kebakaran di suatu wilayah. 3.4 Analisis SWOT dan QSPM Penggunaan SWOT dalam perencanaan strategis saat ini telah banyak dilakukan oleh berbagai organisasi/lembaga. Rangkuti (1997) mendefinisikan analisis SWOT dengan suatu alat identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Dalam aplikasinya, analisis ini tidak hanya terbatas pada lingkungan bisnis untuk meningkatkan daya saing perusahaan, namun juga dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Analisis ini dapat digambarkan kedalam diagram dengan 4 kuadran sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2 Matrik analisis SWOT Rangkuti (1997) mendeskripsikan keempat kuadran tersebut sebagai berikut : 1. Kuadran 1, merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. 2. Kuadran 2, merupakan situasi dimana perusahaan menghadapi berbagai ancaman namun masih memiliki kekuatan internal. Strategi yang harus

10 25 diterapkan pada kuadran ini adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi. 3. Kuadran 3, dimana organisasi memiliki peluang yang besar namun masih terkendala oleh kelemahan internal. Strategi yang tepat untuk kondisi ini adalah meminimalkan mkelemahan-kelemahan internal agar dapat merebut peluang yang lebih baik. 4. Kuadran 4, dimana pada kuadran ini organisasi dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan. Organisasi dihadapkan pada berbagai ancaman dan kelemahan internal. Upaya yang cocok pada kuadran ini adalah mendukung strategi defensif. Hasil analisis SWOT dapat menjadi input dalam analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM merupakan alat untuk mengevaluasi alternatif strategi berdasarkan hasil penilaian terhadap faktor internal dan eksternal sebagai elemen kunci dalam pencapaian tujuan. Alat ini memerlukan pengetahuan yang baik tentang pemasalahan yang ada karena melibatkan intuisi dari para pengambil keputusan (David 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu

4 METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi kajian di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Provinsi Sulawesi Tenggara dan kecamatan penyangganya. Pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Definisi Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa puguh.draharjo@yahoo.co.id Floods is one of the natural phenomenon which happened in jawa island. Physical characteristic

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah khatulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan,

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsoran adalah salah satu jenis bencana yang sering dijumpai di Indonesia, baik skala kecil maupun besar. Upaya penanggulangan longsoran biasanya dilakukan setelah

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci