BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. petak-petak sawah dikerjakan bersama-sama antar keluarga petani dengan

Transkripsi

1 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Pembangunan Pertanian Tidak Merubah Kehidupan Keluarga Petani Usaha tani yang dilakukan keluarga-keluarga petani ternyata membawa pengulangan cara dan tujuan bertani dalam kehidupan bertani keluarga-keluarga petani. Pertama, terjadi pengulangan cara bertani atau cara produksi keluarga petani di lahan sawah basah hingga saat ini (2012). Lahan sawah basah berupa hamparan masih dikerjakan dengan cara komunal, yaitu lahan sawah yang berupa petak-petak sawah dikerjakan bersama-sama antar keluarga petani dengan hubungan produksi (relation of production) mburuhke dan cara kerja konkret yang disebut mburuh. Dalam hubungan tersebut, tercipta hubungan antara pengelola dan non-pengelola lahan yang ditujukan untuk keseimbangan antara aktivitas produksi dan konsumsi keluarga dan komunal. Hubungan produksi mburuhke dengan cara kerja konkret mburuh merupakan perkembangan cara produksi yang pernah dilakukan keluarga petani untuk penyesuaian terhadap pembangunan pertanian agar terdapat tambahan pendapatan keluarga (upah) untuk kecukupan keluarga dan modal bertani. Konsekuensi hubungan tersebut terdapat dua cara produksi, yakni mburuh dan usaha tani yang saling melengkapi. Hal ini merupakan bentuk nyata dualisme ideologi dalam pendekatan pembangunan: pendekatan horizontal dengan yang komunalistik dan pendekatan vertikal dengan digunakannya usaha tani kapitalistik. Terjadi dualisme cara produksi yang diturunkan dari dualisme ideologi. Hal ini merupakan konsekuensi dari cara produksi usaha tani yang disertai input 344

2 sarana dan alat produksi yang sangat banyak pada petak-petak sawah yang dikerjakan secara komunal sejak semula (perluasan struktur produksi yang disebut sebagai proses farming dalam peasanting). Sehingga, aktivitas bertani tidak membawa perubahan. Maksudnya, terdapat perubahan cara produksi dengan pembelian sebanyak-banyaknya sarana dan alat produksi. Oleh karena itu, struktur produksi menjadi sangat besar. Akan tetapi, hal ini dapat dikatakan sekedar perubahan cara produksi yang tidak diikuti pendapatan keluarga petani yang semakin banyak padahal terjadi peningkatan produksi gabah yang dihasilkan. Dengan demikian, tidak terjadi keseimbangan baru antara aktivitas produksi dan konsumsi melalui usaha tani. Puluhan tahun superstruktur modernisasi diperkenalkan melalui struktur yang dikenal sebagai pembangunan pertanian dengan banyak pembaharuan infrastruktur di dusun tidak memberi manfaat terhadap petani, kecuali struktur produksi yang bertambah besar. Diperbesarnya struktur produksi pertanian tidak mewujudkan keseimbangan dikarenakan hasil dalam bentuk gabah langsung dijual, sehingga tidak ada surplus yang didapat keluarga petani dari aktivitas produksi tersebut. Seharusnya, surplus menjadi alat keseimbangan keluarga petani, maka saat tidak ada keseimbangan, tercipta buruh (mburuh sebagai cara produksi dalam hubungan produksi mburuhke). Dengan demikian jelas bahwa struktur produksi yang besar hanya berdampak pada tonase dengan naiknya produktivitas. Dengan demikian dapat dikatakan, perubahan hubungan dan cara produksi tidak lain adalah sebagai respons terhadap perubahan struktur produksi yang diperbesar. Ini adalah pengulangan cara bertani (cara hidup) agar sesuai dengan tingkat hidup 345

3 (konsumsi). Dengan demikian, terjadi pengulangan subsistensi oleh petani dengan hubungan dan cara produksi yang berbeda. Secara singkat pembangunan pertanian sekian puluh tahun masih memposisikan setiap keluarga petani mencari kesimbangan subsistensif. Subsistensi saat ini dilakukan dengan cara produksi yang struktur produksinya jauh lebih besar tetapi ruang dusun untuk aktivitas bertani tidak pernah diperluas, sehingga terjadi pertanian yang involutif. Involusi pertanian saat ini bukan tidak berkembang atau naiknya hasil produksi, melainkan ruang untuk produksi, lahan sawah, tidak berubah. Involusi ini terjadi karena beberapa hal: (1) Lahan tetap terkonsentrasi pada beberapa keluarga (2) hubungan produksi didasarkan pada konsentrasi lahan yaitu mburuhke, dan (3) mburuhke dilakukan dengan mekanisme mburuh di lahan tersebut dalam jumlah luasnya yang terbatas. Hal ini terjadi karena dominasi negara atas masyarakat tani yang belum mau berubah (gambar 37), yang berakibat pada depeasantation atau penciptaan buruh. Kepentingan lembaga-lembaga yang dilibatkan di tingkat dusun hanya untuk memacu produktivitas agar terjadi surplus di tingkat negara. Di tingkat keluarga petani tidak ada perkembangan apaupun kecuali output (biaya produksi) jauh lebih besar dari input (hasil untuk keluarga). Inilah yang menyebabkan kemacetan perubahan penghidupan keluarga petani menjadi lebih baik. Pembangunan pertanian yang tidak merubah apapun adalah pertanian involutif. involutif sebagai bentuk stagnasi pada hasil dari cara bertani yang tetap berkutat pada pencarian keseimbangan dan tidak merubah apapun di tingkat keluarga petani yang berhubungan dengan kesejahteraan. Keberadaan hasil yang 346

4 lebih banyak (tonase) selalu kembali untuk pihak yang relatif lebih berkuasa atas hasil. Oleh karena itu tujuan cara produksi mburuh dari hubungan produksi mburuhke dalam sistem produksi usaha tani terulang secara terus-menerus di negara ini karena negara mendominasi petani. Reproduksi dominasi negara atas petani berjalan secara ideologis, di satu sisi komunalistik dengan model produksi sosialistik, disisi lainnya adalah liberalistik dengan model produksi kapitalistik. Rasionalisasi pertanian dengan asupan modern tujuannya adalah merestrukturisasi produksi pertanian agar terdapat efisiensi produksi. Namun, tindakan memperbesar struktur produksi yang dibebankan kepada keluarga petani melalui biaya produksi yang besar yang didapat saat menjadi buruh dengan cara komunal (mburuh). Petani tetap pada dasar piramid struktur masyarakat yang memberikan hasilnya kepada penguasa oleh karena itu kehidupan keluarga petani tidak berubah. 6.2 Penghidupan Keluarga Petani Tidak Berubah dalam Pembangunan Pertanian Penghidupan petani seharusnya mengalami perubahan dengan usaha tani, yakni cara produksi yang didasarkan pada modernisasi atau rasionalisasi produksi untuk tercipta efisiensi pekerjaan di lahan sawah basah. Pada kenyataannya, dengan diperbesarnya aktivitas bertani keluarga dengan input modern sarana dan alat produksi, didukung lembaga-lembaga seperti BPP, KUD dan BRI Unit Desa penghidupan petani tidak menemukan keseimbangan baru, tanpa keseimbangan baru berarti pembangunan pertanian gagal merubah kehidupan petani. Pembangunan pertanian berkembang involutif mengulang subsistensi: hasil panen tidak pernah dapat lebih dari kebutuhan keluarga petani. Oleh karena 347

5 itu, hingga saat ini keluarga petani selalu mencari keseimbangan baru yang cenderung tidak terwujud. Pembangunan pertanian hanya dinikmati negara dengan keseimbangan dalam wujud distribusi beras pada masyarakat. 6.3 Proses Perubahan Penghidupan dan Bentuk Struktur Produksi Perubahan penghidupan pada keluarga petani dalam hal perubahan penghidupan sama sekali tidak ada, karena hanya tampak pada tonase panen. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bertani mengalami stagnasi. Stagnasi ini terjadi pada aktivitas bertani sehari-hari yang meliputi beberapa hal. Pertama, keluarga petani hanya bekerja pada lahan yang sama dengan luasan tetap. Kedua, keluarga petani dengan luasan lahan tersebut melakukan cara produksi usaha tani dengan cara produksi mburuh. Hal ini sama dengan mengulangi mekanisme kerja dari bahu yang hanya menjadi perkembangan dari mbahu, dan ngupoyo hasil tiga sampai lima dekade lalu. Mburuh ini pun tidak lain sebagai bentuk penyiasatan atau penyesuain dengan kebutuhan uang untuk modal. Ketiga, bentuk struktur produksi menjadi besar dengan ditambahnya modal, berupa uang untuk pengadaan sarana dan alat produksi. Stagnasi yang diakibatkan dari ketiga hal di atas adalah akibat superstruktur modernisasi dengan menciptakan struktur pembangunan pertanian, maka: tercipta buruh. Buruh inilah yang dimobilisasi dalam proses produksi dalam struktur produksi yang besar melalui patronage. Negara tetap mendominasi atas masyarakat tani. 6.4 Intervensi Negara dalam Sistem Produksi melalui Perluasan Struktur Produksi Usaha tani sebagai sistem produksi tidak lepas dari intervensi negara. Intervensi ini dimulai sejak pembangunan pertanian menciptakan struktur 348

6 produksi yang sangat besar di tingkat petani. Mulai saat itu, keluarga-keluarga petani harus menyesuaikan diri dengan usaha tani yang padat modal. Oleh karena itu, hubungan produksi beralih ke mburuhke dengan cara mburuh. Hal ini berdampak dua hal pada masyarakat tani. Pertama, cara produksi yang dilakukan oleh petani-petani dengan usaha tani adalah farming (farm management) yang bersifat kapitalistik. Cara tersebut dimasukkan dengan pendekatan vertikal pada masyarakat tani yang bersifat komunalistik dengan akar patronage yang kuat. Patronge menciptakan hamparan sekaligus mobilisasi tenaga kerja. Inilah yang disebut pendekatan horizontal yang juga dilakukan negara untuk mengintervensi cara produksi guna tercipta efisensi. Kedua, dengan mengacu pada hal di atas, pengelompokan lahan yang ada dibawah kelompok tani dimaksudkan untuk penyesuaian cara produksi. Penyesuaian cara produksi tersebut adalah konsekuensi logis dari struktur produksi yang terus diperbesar untuk memacu surplus. Inilah hubungan negara dengan petani yang tidak dapat lepas dari patronage, maka dikemukakan bahwa hubungan produksi di Jawa, khususnya Loh Banyu tidak dapat lepas dari patronage yang telah mengakar kuat (lihat gambar 37). Patronage ini berbentuk piramidal yang sebelumnya telah dijelaskan sesuai struktur masyarakat tani yang berlapis. Maka lapisan masyarakat satu dengan lapisan masyarakat lainnya yang terjadi adalah mobilisasi, seperti farmer, petani dengan lahan terhadap peasant, petani tanpa lahan. Akibatnya adalah depeasantation, maka dari itu hubungan antar keluarga petani tidak membuahkan hasil apapun kecuali pengulangan model produksi yang sama untuk terjadinya subsistensi saja. 349

7 Usaha tani hanya mendudukkan keluarga petani untuk sekedar cukup, itupun masih harus dilakukan dengan cara lainnya dengan menjadi buruh. Hal ini dikarenakan pembangunan pemerintah sebagai struktur dari modernisasi sebagai superstruktur, harus menciptakan infrastruktur yang sesuai dengan usaha tani, maka kebijakan yang dikeluarkan justru tidak mendukung petani tetapi mendukung berjalanya pembangunan pertanian yang dilakukan dengan model produksi usaha tani. 6.5 Rekomendasi Pembangunan pertanian yang telah dilakukan di era orde lama, orde baru dan orde reformasi masih mendudukkan industrialisasi sebagai bagian modernisasi yang tidak berlanjut. Setiap orde berbeda titik beratnya: reforma agraria, peningkatan produktivitas, dan ketidakjelasan tujuan sekarang ini dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu perlu reformulasi peningkatan produktivitas kembali pertanian pangan, dengan syarat: (i) bebas dari hal-hal represif, yaitu petani yang dibangun saat ini dengan telah mendengungkan bottom up, dalam pelaksanaanya dilakukan dengan musrenbangdes hingga tahap kabupaten masih tidak terlepas dari patronage. Patronage tampak sulit dihapuskan, menjadi satu ciri khas hingga masuk dalam persoalan subsistensi rumah tangga petani. Namun justru inilah kekuatan, negara boleh menggunakan jalur patronage ini lewat saham. (ii) Mobilisasi identik dengan patronage dan tidak salah melakukan hal ini namun yang digarisbawahi adalah tujuannya, oleh karena itu mobilisasi diarahkan pada satu institusi yang kuat bukan persoalan teknis perubahan bercocok tanam. (iii) Maka selanjutnya adalah partisipatif dalam 350

8 institusi yang kuat didirikan dimana patron memiliki 50% saham sedangkan masyarakat tani memiliki 50 % saham lewat saham. Keseluruhan saham ini adalah reinstitusionalisasi hubungan Negara dan petani dalam wujud industri pangan dengan KUD yang mewakili kepemilikan saham masyarakat tani sebagai sintesis sosialisme dan kapitalisme, gambarnya: Negara (Pemerintah Pusat) dan Provinsi (Pemerintah Daerah Tingkat 1) Bulog Fungsi Pengawasan dan Pemasaran Dolog Industri Pangan Milik Pemerintah Daerah Tingkat 2 (Kabupaten) dengan Bentuk Kelembagaan Perseroan Terbatas (Perusahaan Daerah) Melakukan Pengawalan dan Penerapan Aturan Melakukan Pengenalan dan Penerapan Teknologi Saham: Dikelola dalam Lembaga KUD (Koperasi Unit Desa) Industrialisasi memanfaatkan hamparan yang ada dalam Kelompok Tani 351