UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN TERAPI REMINISCENCE PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DAN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN MODEL STRESS ADAPTASI STUART DAN MODEL INTERPERSONAL PEPLAU DI RUANG SARASWATI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR KARYA ILMIAH AKHIR FLORENSA NPM PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, DESEMBER 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN TERAPI REMINISCENCE PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DAN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU DIRUANG SARASWATI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J) FLORENSA NPM PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, DESEMBER 2013 ii

3

4

5

6

7 ABSTRAK Nama : Florensa Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan jiwa Judul : Penerapan Terapi Reminiscence pada klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial Dengan Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau di Ruang Saraswati Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor Riskesdas (2007) mengungkapkan data yang menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang maka akan meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan mental emosional yang apabila tidak ditangani dengan tepat dapat berkembang menjadi suatu keadaan yang patologis (gangguan jiwa berat). Terapi Reminiscence merupakan salah satu psikoterapi yang efektif untuk mengatasi harga diri rendah dan isolasi sosial pada lansia yang mengalami gangguan jiwa. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah diperolehnya gambaran hasil penerapan terapi Reminiscence pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan menggunakan pendekatan model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati Rumah Sakit dr Marzuki Mahdi Bogor. Penerapan terapi Reminiscence ini dilaksanakan pada periode 13 September 15 November Terapi ini dilakukan pada 10 orang klien. Hasil pelaksanaan terapi Reminiscence menunjukkan adanya penurunan yang bermakna pada kondisi harga diri rendah dan isolasi sosial. Terapi kelompok Reminiscence direkomendasikan untuk mengatasi harga diri rendah dan isolasi sosial pada lansia. Kata kunci : harga diri rendah, isolasi sosial, terapi reminiscence, model Stress Adaptasi Stuart, Model Interpersonal Peplau

8

9 ABSTRACT Name : Florensa Study Programe : Psychiatric Nurse Specialist-Faculty of Nursing Title : The Implementation of Reminiscence Therapy toward The Low Self-Esteem and Social Isolation Client Using Stuart s Stress Adaptation Model and Peplau s Interpersonal Model Approach in Saraswati Dr. Marzoeki Mahdi Hospital, Bogor Riskesdas (2007) revealed the data that showed when people growing old they increase the risk of getting mental emositional disturbance that if it is not handled effectively can spread to become a pathology condition (heavy mental disurbance). The therapy of Reminiscence is one of the effective psicotherapy in facing the low self-esteem dan social isolation toward old people that having the mental disturbance. The pupose of this final scientific paper is to get illustration of the result the implementation of the Reminiscence therapy toward the low selfesteem and social isolation client using Stress Adaptation model and Interpersonal Peplau s model approach in Saraswati dr. Marzuki Mahdi Hospital in Bogor. The implementation of Reminiscence therapy is done in period of September 13 th until spetember 15 th The therapy was giving to 10 clients. The result of this Reminiscence therapy showed there was the meaningful decrease to the condition of low self-esteem dan social isolation. Reminiscene group therapy is recommended in handling the low self-esteem and social isolation toward old people. Key words : low self-esteem, social isolation, Reminiscence therapy, Stuart s Stress Adaptation model, Interpersonal Peplau s model.

10 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunianya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan judul Penerapan Terapi Reminiscence pada klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial Dengan Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau di Ruang Saraswati Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir, penulis tidak lepas dari petunjuk, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., M.N., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Prof. Achir Yani S. Hamid, MN., DN.Sc., selaku koordinator Mata Ajar Karya Ilmiah Akhir sekaligus dan terutama selaku pembimbing I yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai. Terima kasih atas ilmu dan pembelajaran yang saya peroleh. 4. DR. Mustikasari S.Kp., MARS, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dengan penuh kesabaran. 5. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun Karya Ilmiah Akhir ini 6. Direktur Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan praktik klinik keperawatan jiwa Kepala Bidang Keperawatan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, atas batuan dan kesempatan yang diberikan pada penulis selama melakukan praktik klinik keperawatan jiwa Seluruh rekan perawat ruangan khususnya di ruang Saraswati terima kasih atas kerjasama selama penulis melakukan praktik klinik keperawatan jiwa Pimpinan STIKES YARSI Pontianak yang mendukung penulis dalam melanjutkan studi. ix

11 10. Rekan-rekan mahasiswa Residensi Keperawatan Jiwa atas kekompakan dan kerjasama yang baik. 11. Keluarga besarku, Bapak & Almh. Ibu tercinta, mertuaku yang luar biasa. Suamiku dan anak-anakku tercinta (kakak Najla dan adek Arya) terimakasih atas pengertian dan pengorbanan kalian yang luar biasa besar. 12. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bermanfaat dari segi keilmuan dan dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan dan manfaat aplikatif dalam meningkatkan layanan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau, khususnya bagi klien harga diri rendah dan Isolasi sosial. Depok, Desember 2013 Penulis x

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR SKEMA... DAFTAR LAMPIRAN... ii iii iv v vi vii ix xi xiii xv xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia Teori Penuaan Konseptual Model Asuhan dan Pelayanan Keperawatan Input Harga Diri Rendah Isolasi Sosial Proses Terapi Reminiscence Penatalaksanaan Kolaborasi dalam Psikofarmaka Output Feedback Manajemen Pelayanan BAB 3 PROFIL RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR 3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H.Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor Gambaran manajemen keperawatan jiwa profesional di RSMM Bogor Penatalaksanaan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial di ruang Saraswati BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH DAN ISOLASI SOSIAL DI RUANG SARASWATI 4.1 Input Orientasi Identifikasi xi

13 Hasil pengkajian Klien dengan Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Diagnosa keperawatan dan medis Rencana Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial Proses Eksploitasi Output Evaluasi Hasil Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Rencana Tindak Lanjut BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Input Orientasi Identifikasi Hasil Pengkajian Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rencana Tindakan Proses Eksploitasi Penerapan Terapi pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial dengan Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau Output Resolusi BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Kemampuan Kepala Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan Tabel 3.2 Kemampuan Ketua Tim I Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan Tabel 3.3 Kemampuan Ketua Tim II Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan Tabel 3.4 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Kemampuan Perawat Pelaksana Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan Karakteristik Usia Klien Dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi Karakteristik Klien Dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi Faktor Predisposisi Klien Dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi Faktor Presipitasi Klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi Penilaian Stresor pada Klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September- 15 November Distribusi sumber koping pada klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi mekanisme koping pada klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September- 15 November 2013 xiii

15 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.11 Distribusi Diagnosis Keperawatan pada Klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November Distribusi Diagnosis Medis pada Klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September- 15 November Distribusi Tindakan Keperawatan pada klien dengan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September- 15 November Distribusi Penilaian Stressor pada klien dengan masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September- 15 November Distribusi Penilaian Stressor pada klien dengan masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial sebelum dan sesudah diberikan Terapi Reminiscence di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 13 September-15 November xiv

16 DAFTAR GAMBAR Skema 2.3. Kerangka konsep penerapan Terapi Reminiscence pada klien Harga diri rendah dan Isolasi Sosial dengan pendekatan model Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Instrumen penilaian Harga diri rendah Lampiran 2 : Instrumen penilaian Isolasi Sosial Lampiran 3 : Hasil penilaian Respon klien dengan Harga diri rendah Lampiran 4 : Hasil penilaian Respon klien dengan Isolasi sosial Lampiran 5 : Modul Terapi Reminiscence xvi

18 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi tentang kesehatan yang dikemukakan dalam UU kesehatan No. 23 tahun 1992 menyatakan bahwa manusia dipandang secara holistik dari segi bio, psiko sosial, kultural dan spiritualnya yang menitikberatkan pada kualitas hidup orang tersebut. Seseorang dikatakan sehat apabila ia tidak saja bebas dari penyakit fisik akan tetapi mempunyai jiwa yang sehat. Kesehatan jiwa seseorang bersifat harmonis yang memperhatikan semua aspek kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, oleh karena itu kesehatan jiwa mempunyai peran yang penting dalam kehidupan seseorang. Pemerintah dalam upayanya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah dengan mencanangkan Visi Indonesia Sehat Namun sejak dicanangkan, hal yang ingin dicapai dalam program tersebut saat ini masih belum terwujud. Hal ini dikarenakan target yang dicapai masih jauh dari harapan pada semua bidang kesehatan, khususnya kesehatan mental di Indonesia selama ini yang relatif terabaikan, padahal penurunan produktifitas akibat gangguan kesehatan jiwa terbukti berdampak nyata pada perekonomian (Setiawan, 2008). Masalah kesehatan terutama gangguan jiwa saat ini angka insidennya masih tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dari data yang dikemukakan oleh WHO (2006) yang mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan. Data Puslitbang Depkes RI (2008) memberikan gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 4.6 permil, yang menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk Indonesia terdapat empat sampai lima diantaranya yang menderita gangguan jiwa berat. Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009) Universitas Indonesia

19 2 sebanyak sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan orang. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi gangguan jiwa terbanyak dibandingkan provinsi lainnya yaitu 20,3 % sedangkan untuk Jawa Barat didapatkan data individu yang mengalami gangguan jiwa berat sebesar 2,2 % yang mana salah satu bentuk gangguan jiwa berat adalah Skizofrenia (Riskesdas, 2007). Selain data tersebut Riskesdas (2007) juga mengungkapkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di provinsi Jawa Barat adalah yang tertinggi yaitu 20 % dan prevalensi ini meningkat sejalan dengan pertambahan usia dengan prevalensi tertinggi pada kelompok umur 75 tahun (33,7 %). Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Riskesdas (2007) tersebut memperlihatkan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang maka akan meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan mental emosional yang apabila tidak ditangani dengan tepat dapat berkembang menjadi suatu keadaan yang patologis (gangguan jiwa berat). Saat ini Indonesia berada pada era penduduk berstruktur tua (aging population), bahkan beberapa propinsi di Indonesia proporsi lanjut usianya telah jauh berada diatas patokan penduduk berstruktur tua secara nasional yakni 7%, antara lain DIY (12,5%), Jatim (9,46%), Bali (8,93%), Jateng (8,9%), dan Sumbar (7,98%) dan pada tahun 2010 jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia sudah mencapai 24 juta jiwa atau 9,77% dari total penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2012). Peningkatan jumlah penduduk lansia merupakan dampak positif dari meningkatnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial. Namun demikian beban bagi masyarakat atau pemerintah terutama dalam hal beban ekonomi dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan bagi lansia dipastikan jumlahnya akan semakin meningkat. Hal menarik dan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius adalah masalah-masalah gangguan jiwa bagi lansia yang jumlahnya cenderung meningkat. Universitas Indonesia

20 3 World Health Organitation (2001) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai sekumpulan gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku dan sosialisasi dengan orang sekitar. Kaplan dan Sadock (2008) mengatakan gangguan jiwa merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan sekitarnya. Gangguan jiwa dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya (Dep.Kes, 2003). Townsend (2005) menyatakan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat, dan mengganggu fungsi sosial, bekerja, dan fisik individu. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan-pernyataan di atas adalah gangguan jiwa merupakan respon maladaptif yang ditunjukkan oleh individu yang tampak dari perubahan fungsi psikologis atau perilaku yang tidak sesuai apabila dikaitkan dengan norma lokal dan budaya setempat, dimana hal tersebut menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan bagi individu yang bersangkutan dalam melaksanakan peran sosialnya. Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa berat yang paling banyak ditemukan. Stuart (2009) menyebutkan di Amerika Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalami skizofrenia. Skizofrenia menempati 70% gangguan jiwa terbesar di Indonesia (Depkes RI, 2003). Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2008). Fontaine (2009) menjelaskan skizofrenia adalah kombinasi dari gangguan berpikir, persepsi, perilaku, dan hubungan sosial. Skizofrenia juga diartikan sebagai suatu Universitas Indonesia

21 4 penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak yang ditandai dengan perubahan kognitif, afektif dan perilaku yang membuat individu yang mengalaminya tampak aneh dibandingkan orang lain pada umumnya. Perilaku maladaptif yang ditunjukkan oleh klien dengan Skizofrenia berupa penampilan yang buruk, berkurangnya kemampuan untuk bekerja, perilaku stereotip, agitasi, agresif, dan negativism. Munculnya pikiran negatif pada klien skizofrenia dikarenakan adanya kesulitan dalam berpikir jernih dan logis, sering kali sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut membuat klien menjadi gaduh gelisah (Stuart, 2009). Pikiran negatif terhadap diri sendiri pada klien Skizofrenia dijadikan sebagai dasar dalam menegakan diagnosis harga diri rendah kronik, dimana pikiran tersebut membuat mereka cemas saat berinteraksi dengan orang lain. Harga diri rendah adalah evaluasi diri negatif dan berhubungan dengan perasaan yang lemah, tak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak lengkap, tidak berharga, dan tidak memadai (Stuart, 2009). Keliat dan Akemat (2010) menyatakan harga diri rendah kronis adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri. Harga diri rendah (HDR) kronis adalah perasaan dan penilaian diri negatif tentang kondisi dan kemampuan diri dalam jangka waktu lama (North American Nursing Diagnosis Association/NANDA, 2011). Individu yang mengalami harga diri rendah menilai dirinya tidak kompeten, tidak layak dicintai, tidak berguna, dan memalukan, dimana keadaan seperti ini sering ditemukan pada klien skizofrenia (Townsend, 2009). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah kronis adalah adanya perasaan tidak berarti, tidak berharga, lemah, tidak berdaya, tidak Universitas Indonesia

22 5 kompeten, tidak berguna, tidak layak dicintai akibat penilaian diri negartif dalam jangka waktu lama. Selain harga diri rendah kronis pada penderita yang mengalami Skizofrenia juga muncul gejala negatif lainnya yaitu isolasi sosial dimana klien menghindar dari orang lain agar pengalaman yang tidak menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang lagi. NANDA (2012), mendefinisikan isolasi sosial sebagai suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam. Intervensi keperawatan yang tepat baik ditatanan pelayanan rumah sakit atau di masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah harga diri rendah dan isolasi sosial. intervensi keperawatan klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial terintegrasi dengan profesi kesehatan lain termasuk tindakan medis. Tindakan medis diberikan terkait dengan Skizofrenia yaitu dengan pemberian terapi psikofarmaka (antipsikotik). Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial bertujuan agar klien dapat meningkatkan harga diri, memulai hubungan atau interaksi dengan orang lain, dapat mengembangkan dan meningkatkan hubungan/interaksi sosial dengan orang lain dan mengikuti program pengobatan secara optimal. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ternyata pemberian terapi generalis yang disertai dengan pemberian terapi spesialis dapat memberikan efek yang lebih baik pada penurunan gejala klien. Berdasarkan hasil penelitian tentang terapi Reminiscence dan gabungan dari psikoterapi terbukti efektif dalam penatalaksanaan terapi pada kasus-kasus depresi, keputusasan, ketidakberdayaan, harga diri rendah dan isolasi sosial pada lansia (Hersen et al, 2002; Jones, 2003; Colins, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Misesa, Keliat & Wardani (2013) dan Nurwiyono, Keliat & Daulima (2013) menunjukkan bahwa terjadi penurunan bermakna pada kondisi depresi, harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial, sedangkan Cognitive Therapy dan reminiscence therapy disamping Universitas Indonesia

23 6 efektif untuk terapi masalah-masalah psikososial pada lanjut usia seperti kecemasan, depresi, harga diri rendah, ketidakberdayaan, juga efektif untuk meningkatkan kemampuan kognitif pada lanjut usia (Hersen et al, 2002; Sadock, 2007; Townsend, 2009). Terapi reminiscence digunakan untuk konseling dan dukungan pada lansia dan merupakan bentuk intervensi terapeutik yang berfokus pada pengalaman hidup yang menyenangkan bagi lansia sehingga membantu mempertahankan kesehatan mental yang bagus (Kennard, (2006). Terapi reminiscence merupakan suatu terapi dengan mengingat kembali peristiwa, perasaan dan pikiran masa lalu yang menyenangkan untuk mendapatkan kepuasan dan peningkatan kualitas hidup, dengan terapi reminiscence terjadi peningkatan kualitas hidup lansia sebesar 4,09% dan gabungan dengan psikoedukasi keluarga kualitas hidup lansia meningkat 6,7% (Barathy, Keliat & Besral, 2011). Pelayanan keperawatan akan lebih berkualitas apabila didukung oleh penggunaan teori dan model konsep keperawatan sebagai kerangka kerja bagi perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Penggunaan teori model keperawatan dalam pendekatan asuhan yang diberikan dapat menjadi dasar dalam riset dan penerapan dan pengembangan terapi spesialis keperawatan jiwa yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien khususnya yang mengalami gangguan jiwa dalam berperilaku. Pendekatan teori model keperawatan yang digunakan oleh penulis adalah model stres adaptasi Stuart dan model interpersonal Peplau. Model stress adaptasi Stuart memberikan gambaran pengkajian tentang faktor predisposisi, stressor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, serta mekanisme koping. Penulis memilih model interpersonal yang dikemukakan oleh Peplau memandang bahwa keperawatan adalah hubungan teraupetik dan dipandang sebagai suatu proses interpersonal karena melibatkan interaksi klien dan perawat dengan tujuan bersama-sama mendefinisikan masalah dan Universitas Indonesia

24 7 menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan hubungan terapeutik ini perawat menggunakan diri sendiri sebagai suatu alat yang terapeutik untuk membangun dan mempertahankan hubungan terapeutik dengan klien sehingga klien dapat mengungkapkan masalahnya secara terbuka. Intervensi yang diberikan sesuai dan memberikan hasil yang efektif bagi kondisi klien jika klien terbuka dan jujur terhadap masalah yang dialaminya. Pemberian asuhan keperawatan klien harga diri rendah dan isolasi sosial menggunakan pendekatan model stress adaptasi Stuart dan interpersonal Peplau penulis lakukan di ruang rawat inap Saraswati RS Dr.Marzoeki Mahdi Bogor. Proses dan hasil pelaksanaan kegiatan tersebut dianalisis dan dilaporkan dalam bentuk penulisan karya ilmiah akhir ini. 1.2.Tujuan umum Memberikan gambaran hasil manajemen kasus spesialis pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial diri melalui pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Tujuan khusus Mengidentifikasi karakteristik klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Universitas Indonesia

25 Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Mengidentifikasi hasil evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Menyusun rencana tindak lanjut pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Menyusun rekomendasi berdasarkan implikasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor 1.3. Manfaat Manfaat pada penelitian ini berupa: Manfaat aplikatif Diperoleh gambaran mengenai proses keperawatan pada klien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah dan isolasi sosial dengan menerapkan Model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau di ruang Saraswati RSMM Bogor Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan memberi masukan bagi pemberi pelayanan kesehatan jiwa dalam memberikan pelayanan pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial dengan menerapkan tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis untuk klien, kelompok, dan keluarga. Universitas Indonesia

26 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan gangguan jiwa di unit pelayanan Poli dan ruang rawat khususnya dalam mengatasi klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial Sebagai pertimbangan bagi pihak rumah sakit untuk menempatkan perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai konsultan klinis di unit pelayanan umum Manfaat Keilmuan Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat berguna sebagai bagian dari pengembangan model keperawatan jiwa di unit pelayanan psikiatri dengan menghasilkan standar pelayanan dan standar asuhan keperawatan jiwa. Penulisan karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran tentang manajemen ruangan dan manajemen asuhan keperawatan pada diagnosa keperawatan harga diri rendah dan isolasi sosial. Model tersebut dapat menjadi masukan untuk pengembangan MPKP Jiwa di rumah sakit Model asuhan keperawatan yang telah dilakukan mendasari pelaksanaan manajemen kasus spesialis khususnya masalah harga diri rendah dan isolasi sosial pada klien dan keluarga di unit rawat inap psikiatri dengan berbagai kombinasi terapi spesialis yang diberikan. Penggunaan kombinasi terapi spesialis yang efektif menjadi dasar penyusunan standar intervensi spesialis keperawatan jiwa yang diberikan kepada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial Manfaat Metodologi Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan menjadi dasar pengembangan riset keperawatan selanjutnya. Studi ini akan menghasilkan wawasan tentang manajemen ruang dan manajemen Universitas Indonesia

27 10 asuhan keperawatan pada diagnosa harga diri rendah dan isolasi sosial sebagai dasar pengembangan terapi-terapi spesialis keperawatan jiwa di tatanan pelayanan psikiatri. Pengembangan riset keperawatan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan manajemen kasus keperawatan dan memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa di Indonesia. Universitas Indonesia

28 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sebagai landasan dan rujukan dalam karya ilmiah ini, dalam bab ini dipaparkan tentang konsep lansia dan konsep keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial yang terintegrasi dalam model Stress adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau. 2.1 Lansia Meiner (2011) menyatakan bahwa proses menua merupakan proses perubahan biologis yang dialami oleh individu secara terus menerus dalam tahapan kehidupannya, dan lansia (old age) merupakan istilah yang digunakan untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut. Hurlock (2004) menyatakan bahwa lansia terbagi menjadi lansia dini yaitu usia antara tahun dan lansia yang dimulai dari usia 70 tahun hingga akhir kehidupan seseorang sedangkan menurut Undang Undang No. 13 Tahun 1998 Bab I, pasal 1 ayat 2, tentang kesejahteraan lanjut usia, menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih (BPKP RI, 1998). Berdasarkan tahap perkembangan, usia lansia berada pada tahap integritas ego versus keputusasaan (Integrity vs despair), hal ini juga dikemukakan oleh Keliat (2011) bahwa tercapainya integritas diri yang utuh merupakan perkembangan psikososial yang harus dicapai oleh lansia. Lansia mempunyai tugas perkembangan menerima tanggung jawab diri dan kehidupannya (Videbeck, 2008). Tugas perkembangan pada masa tua harus dapat dikuasai pada saat yang tepat (Hurlock, 2004) sehingga lansia mampu menjalani kehidupannya secara sehat baik dari aspek fisik maupun menatl emosional Teori Penuaan Proses menua merupakan kombinasi berbagai faktor yang mempengaruhi dan saling berkaitan. Secara umum, proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi 11 Universitas Indonesia

29 12 terhadap lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Berikut akan dikemukakan beberapa teori proses menua Aspek Biologis pada Lansia Proses menua secara biologi menurut Stanley dan Beare (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan tentang proses terjadia penuaan pada sesaeorang, yaitu: a. Teori Hayflick Limit Hayflick dan Moorehead (1961, dalam Mujahidullah, 2012) menjelaskan bahwa manusia memiliki jam genetik yang rentang kehidupannya 110 tahun dan sel mampu membelah sekitar 50 kali sesudah itu mengalami pengrusakan. Hal ini sesuai dengan perubahan yang dialami lansia pada tingkat sel yaitu terjadi penurunan jumlah sel tapi ukuran meningkat dan mekanisme perbaikan sel mengalami gangguan. b. Teori error teori error berdasarkan pemikiran bahwa kesalahan dapat muncul pada transkrip sintesis dari DNA. Kesalahan yang terjadi memicu organ pada suatu sistem tidak bekerja pada level yang optimal. Proses penuaan dan kematian pada organisme dapat diakibatkan oleh kejadian ini (Sonneborn, 1979, dalam Meiner & Lueckenotte, 2006) Adanya gangguan pada sistem organ tersebut membuat lansia terhambat ruang geraknya dan respon lambat. Kebutuhan yang seharusnya dapat dipenuhi sendiri oleh lansia, terkadang harus membutuhkan bantuan dari orang lain. Kurangnya kemandirian ini tentunya akan menjadi stressor tersendiri bagi lansia sehingga dapat memicu stress yang mengarah pada harga diri rendah karena lansia merasa dirinya tidak berguna akibat keterbatasan yang dialaminya. c. Teori Wear & Tear Teori ini menyampaikan bahwa tubuh manusia apabila digunakan terus menerus akan mengalami keausan. Dikatakan bahwa terjadinya kerusakan pada jaringan akibat ketidakmampuan jaringan melakukan peremajaan pada dirinya sendiri (Hayflick, 1988 dalam Meiner & Luecknetto, 2006). Berdasarkan teori ini, Universitas Indonesia

30 13 kematian didapat muncul dikarenakan jaringan yang tidak mampu pemperbaharui dirinya. d. Teori Free radical radikal bebas merupakan produk yang dihasilkan dari aktivitas metabolisme fundamental didalam tubuh. Radikal bebas dapat meningkat akibat polusi lingkungan seperti ozone, pestisida dan radiasi. Normalnya mereka akan dinertralisir oleh aktivitas enzim atau antioksidan alami. Akan tetapi apabila radikal bebas tidak dapat dinetralisir maka tubuh yang memiliki keterbatasan akan mengalami kesulitan dalam mengendalikannya, radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel termasuk mitokondria yang akhirnya menyebabkan cepatnya kematian sel, terganggunya sistem saraf dan jaringan otot (Mujahidullah, 2012). Perubahan yang terjadi terkait teori ini adalah perubahan ukuran otak yang yang diakibatkan oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak, kehilangan atau penyusutan neuron (Stanley & Beare, 2006). Kondisi ini mengakibatkan lansia mengalami penurunan daya dan lambat dari biasanya dalam bereaksi terhadap suatu stimulus Aspek Psikologis pada Lansia Perkembangan lansia berdasarkan teori Erikson di atas berada pada tahap integritas ego versus putus asa yakni individu yang sukses dalam melampaui tahap ini akan dapat mencapai integritas diri (integrity), sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lansia mengalami kondisi penuh stress, rasa penolakan, marah. dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya (Keliat, Daulima & Farida, 2011). Pengalaman kehilangan pada masa kecil menimbulkan depresi, penampilan kepribadian harga diri rendah dalam keseharian, seseorang dengan masalah kognitif seperti pemikiran negatif tentang dirinya, lingkungan sekitarnya dan masa depan, memiliki pemikiran dan kepercayaan tidak dapat melakukan sesuatu (Stuart, 2009). Pengalaman yang dialami lansia di masa lalu dimana kurang terpenuhinya tugas perkembangan sebelumnya akan berdampak negatif dikemudian hari khusus saat usia tua. Universitas Indonesia

31 Aspek Sosial pada Lansia Teori sosial yang berkembang tentang proses penuaan pada lansia bervariasi dan memiliki keterkaitan tentang dengan perubahan lansia dalam berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Meiner dan Lueckenotte (2006) menyebutkan ada beberapa teori sosial yaitu Teori Disengagement, Teori Activity dan Teori Continuity. a. Teori Disengagement Teori ini memaparkan bahwa bertambahnya usia seseorang secara perlahan-lahan ia melepaskan atau menjauhkan dirinya dari kehidupan sosial atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Selain itu akan terjadi Triple Loss yaitu kehilangan yang terjadi secara bersamaan yaitu peran, kontak sosial dan berkurangnya nilai komitmen sosial (Cumming & Henry, 1961 dalam Meiner dan Lueckenotte, 2006). b. Teori Activity Lansia dikatakan sukses apabila ia mampu mempertahankan eksistensinya dan tetap aktif (Havighurt & Albrecht, 1953 dalam Meiner & Lueckenotte, 2006). Teori aktivitas ini mempunyai asumsi bahwa aktif lebih baik daripada pasif, gembira lebih baik dari sedih, dan orangtua sukses akan memilih aktif dan bergembira (Mujahidullah, 2012). Sebagian lansia memilih untuk pasif hal ini dikarenakan secara fisiologis sudah terjadi proses kemunduran yang mengakibatkan ketidakmampuan lansia untuk beraktifitas, padahal teori aktifitas ini jelas mengemukakan bahwa lansia yang aktif akan membantu ia keluar dari berbagai masalah. c. Teori Continuity Kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan, serta ciri dasar kepribadian seseorang tidak akan berubah (Stanley dan Beare, Teori ini menjelaskan bahwa lansia akan mencoba memelihara atau meneruskan komitmen, keyakinan, norma nilai dan Universitas Indonesia

32 15 semua yang berkontribusi dalam kepribadiannya (Havighurst, Neugarten & Tobin, 1963 dalam Meiner dan Lueckenotte, 2006). Teori menunjukkan secara jelas bahwa kepribadian lansia saat ini merupakan karakter pribadi sebelumnya, bila lansia mudah sedih dan berputus asa serta selalu menggunakan koping maladaptif di masa sebelumnya maka tidak mengherankan bila lansia berisiko tinggi mengalami harga diri rendah. Bila lansia saat muda tidak memiliki pergaulan dan hubungan sosial yang baik maka ia mengalami masalah isolasi sosial, demikian juga pada masalah lainnya, karena teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. 2.2 Konseptual Model Asuhan dan Pelayanan Keperawatan Penulisan karya ilmiah akhir ini menggunakan pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Topik keperawatan tidak terlepas dari pandang yang digunakan. Pendekatan sistem merupakan suatu cara yang memandang keperawatan secara menyeluruh dan sistemik, tidak parsial atau fragmentis. Keperawatan sebagai suatu sistem merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling berinteraksi antar bagiannya. Proses keperawatan yang dilaksanakan oleh perawat merupakan interaksi fungsional antar subsistem keperawatan. Melalui proses keperawatan diperoleh data yang merupakan input yang kemudian akan diolah untuk selanjutnya disusun rencana tindakan keperawatan serta implementasinya dalam proses. Melalui proses tersebut maka akan didapatkan hasil (output) keperawatan berupa asuhan keperawatan yang sudah diberikan kepada klien berdasarkan kebutuhan dan tujuan yang telah ditetapkan (Simamora, 2008). Feedback dilakukan pada semua subsistem, dimana informasi mengenai klien terkait dengan kondisi dan hasil dari asuhan keperawatan dikomunikasikan kemabali pada sistem, yang bertujuan agar dapat dievaluasi dan memberikan dalam pengkajian ulang untuk menentukan tindakan selanjutnya. Pada karya ilmiah akhir ini penulis mengintegrasikan dua model yaitu model Stress Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial yang mendapatkan terapi Reminiscence. Penulis menggunakan dua konsep ini dikarenakan kedua Universitas Indonesia

33 16 konsep keperawatan ini dapat saling melengkapi dalam pemberian asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sehingga akan memberikan suatu asuhan keperawatan yang terintegrasi dan berkualitas. Model Stress Adaptasi Stuart digunakan sebagai metode untuk mengumpulkan data, dimana pada model ini Stuart mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, sosial kultural, lingkungan dan legal etik dari perawatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan. Menurut model Stress Adaptasi yang dikemukakan oleh Stuart, ada beberapa komponen yang harus dikaji oleh perawat sebelum menetapkan masalah dan menyusun rencana tindakan. Komponen tersebut meliputi faktor predisposisi, stresor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping. Berdasarkan hal tersebut maka menurut penulis model ini sangat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor penyebab serta kekuatan yang dimiliki klien dan keluarga dalam mengatasi masalahnya. Model kedua yang digunakan oleh penulis adalah model Interpersonal yang dikemukakan oleh Peplau. Model ini diaplikasikan oleh penulis sebagai suatu kerangka kerja yang berfokus pada proses dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien. Model ini menggambarkan alur pemberian asuhan keperawatan dari fase orientasi, identifikasi eksploitasi sampai dengan fase resolusi dimana klien dan keluarga sudah mempunyai keterampilan untuk mengatasi masalah terkait dengan masalah kesehatan yang dialami oleh klien. Semua tahap tersebut saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain sebagai suatu proses penyelesaian masalah. Universitas Indonesia

34 17 INPUT PROSES OUTPUT FASE IDENTIFIKASI FASE EKSPLOITASI FASE RESOLUSI Pengkajian 1. Faktor predisposisi 2. Stressor presipitasi 3. Penilaian terhadap stressor 4. Sumber koping 5. Mekanisme koping Implementasi Keperawatan dan Kolaborasi 1. Terapi generalis 2. Terapi spesialis Keperawatan (Terapi Reminiscence) Terapi Medis Psiko farmaka: antipsikotik tipikal dan atipikal Melepaskan Klien dari ketergantungan perawat 1. KOGNITIF 2. AFEKTIF 3. PERILAKU 4. FISIK 5. SOSIAL FASE ORIENTASI PERAN PERAWAT SEBAGAI ORANG ASING Model Praktik Keperawatan Profesional: Pilar 1: Pendekatan Manajemen Pilar 2: Hubungan Profesional Pilar 3: Kompensasi dan penghargaan Pilar 4: Manajemen Asuhan Keperawatan PERAN PERAWAT SEBAGAI: 1. NARASUMBER 2. PENDIDIK 3. PEMIMPIN 4. PENASEHAT 5. PENGGANTI/WALI FEEDBACK Skema 2.1. Kerangka konsep penerapan terapi Reminiscence terhadap masalah harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan model Stress Adaptasi Stuart dan Interpersonal Peplau Universitas Indonesia

35 18 Berikut ini akan dijelaskan asuhan keperawatan klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu input, proses output dan feedback seperti yang tergambar pada skema Input Input adalah tahap awal dimulainya asuhan keperawatan klien harga diri rendah isolasi sosial. Komponen model interpersonal Peplau yang termasuk dalam input adalah fase orientasi dan identifikasi. Menurut Peplau, keperawatan adalah proses terapeutik dalam menolong individu yang sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan. Keperawatan dianggap sebagai suatu proses interpersonal dimana melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih individu untuk mencapai tujuan yang sama. Proses interpersonal menjadi dasar atas hubungan partisipasi antara perawat dan klien yang mempunyai tujuan mengatasi masalah klien melalui proses pengenalan diri dan pertumbuhan serta perkembangan terapeutik klien. Fase orientasi dimulai saat klien bertemu pertama kali dengan perawat. Fase ini difokuskan untuk membina hubungan saling percaya dimana klien bertemu dengan perawat dan peran perawat sebagai stranger (orang asing) bagi klien dan demikan sebaliknya. Perawat sebaiknya tidak memberikan penilaian di awal pertemuan namun menerima klien apa adanya. Tugas perawat adalah mengurangi kecemasan klien, memberi rasa aman dan nyaman bagi klien. Perawat membina hubungan saling percaya dengan klien yang dilakukan sesuai dengan tahapan hubungan terapeutik, diharapkan perawat mampu mempengaruhi klien melalui komunikasi yang dikembangkan dalam hubungan perawat dan klien sehingga menurunkan kecemasan yang dialami. Kecemasan dapat terjadi apabila ada kesulitan mengintegrasikan pengalaman interpersonal yang lalu dengan yang sekarang sehingga proses komunikasi dengan orang lain mengancam keamanan psikologi klien. Selama menjalankan komunikasi terapeutik, perawat menggunakan diri mereka sendiri sebagai suatu alat yang terapeutik untuk membangun suatu hubungan terapeutik dengan seorang klien, Penggunaan diri secara terapeutik merupakan suatu cara yang diperlukan perawat agar mempunyai kesadaran diri yang baik dan mengerti Universitas Indonesia

36 19 tentang dirinya sendiri, mempunyai penerimaan terhadap keyakinan falsafah mengenai kehidupan, kematian, dan semua kondisi manusia. Perawat harus mengerti bahwa kemampuan dan keluasan untuk dapat menjadi efektif membantu orang lain yang membutuhkan waktu dan dipengaruhi oleh sistem nilai secara internal yang berupa kombinasi antara intelektual dan emosi (Townsend, 2009; Videbeck, 2009). Hal yang paling utama dalam fase ini adalah adanya rasa membutuhkan pertolongan/bantuan dari klien kepada perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien. Kemampuan perawat untuk berempati pada fase ini terlihat dalam komunikasi perawat baik verbal maupun non verbal seperti mendengar, refleksi, focusing, klarifikasi merupakan suatu bentuk perawat menerima dan menghargai klien apa adanya. Respon perawat pada fase ini adalah menjelaskan perannya pada klien, membantu untuk mengidentifikasi masalah, dan menjelaskan cara menggunakan sumber-sumber dan pelayanan yang tersedia. Pada klien yang mengalami harga diri rendah dan isolasi sosial banyak ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri, ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai harapan atau citacita, krisis identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Faktor psikologis ini sangat mempengaruhi awal hubungan klien dengan perawat, sehingga sangat penting bagi perawat yang akan memulai hubungan dengan klien harga diri rendah dan isolasi sosial memahami latar belakang klien dalam aplikasi tahap prainteraksi hubungan perawat dengan klien. Fase selanjutnya yang merupakan bagian dari input adalah fase identifikasi. Jika hubungan saling percaya sudah terbina dengan baik di tahap orientasi, maka akan dilanjutkan pada tahap identifikasi. Fase identifikasi merupakan fase yang paling tinggi kualitasnya pada hubungan interpersonal. Perawat pada fase ini menggali perasan perasaan yang dialami klien harga diri rendah dan isolasi Universitas Indonesia

37 20 sosial, disini akan terlihat bagaimana klien mengatakan ketakutan, ketidakmampuan dan ketidak berdayaan dalam berhubungan dengan orang lain. Fase ini merupakan tahap pengkajian dan dasar perawat menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap klien. Perawat menentukan keadaan klien pada tahap isolasi sosial, mengidentifikasi faktor yang menyebabkan munculnya isolasi sosial. Pada fase ini perawat menjalankan perannya sebagai nara sumber bagi klien dimana perawat menjawab pertanyaan klien mengenai kesehatannya dan memberikan informasi mengenai rencana perawatan yang akan dijalani oleh klien selama di ruangan. Selain itu perawat juga berperan sebagai penasehat. Peran ini bertujuan membantu klien dalam mengingat dan memahami sepenuhnya apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini sehingga suatu pengalaman interpersonal dapat diintegrasikan bukannya dipisahkan dengan pengalaman lainnya dalam hidupnya. Peran lainnya yang dilakukan perawat adalah peran pengganti. Perawat berusaha menimbulkan rasa ketertarikan klien dalam melakukan aktivitas selama perawatan sehingga apapun yang diajarkan dan diberikan oleh tim kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan klien dapat memberikan efek yang baik pada klien. Pengkajian dalam manjemen kasus klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial digunakan dengan pendekatan psikodinamika gangguan jiwa menurut Stuart (2009). Penggunaan model Stuart ini sangat efektif dalam menggambarkan kondisi klinis klien dan proses terjadinya gangguan jiwa, khususnya masalah harga diri rendah dan isolasi sosial. Pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan model Stuart ini penting untuk mengetahui proses maladaptif dalam rentang kehidupan klien, yang dapat dijadikan landasan dalam pemberian terapi keperawatan. Selain itu, dilakukan pula pengkajian penilaian stresor terhadap masalah yang dialami klien sesuai sehingga dapat dirumuskan masalah keperawatan berdasarkan prioritas kebutuhan klien saat ini. Proses terjadinya masalah harga diri rendah dan isolasi sosial dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber Universitas Indonesia

38 21 koping dan mekanisme koping yang dimiliki dan digunakan oleh klien. Komponen yang termasuk dalam fase identifikasi yaitu faktor predisposisi, faktor presipitasi dan penilaian terhadap stressor. Kompoenen-konponen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : Harga diri rendah a. Faktor predisposisi Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Faktor ini meliputi biologis, psikologis, dan sosial budaya. 1) Faktor Biologis Faktor predisposisi biologi merupakan karakteristik fisik seseorang yang berpengaruh dalam menghadapi stressor. Faktor predisposisi biologis meliputi struktur otak hipotalamus dan neurotransmiter. Struktur otak yang berhubungan dengan depresi yang mengakibatkan harga diri rendah adalah sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal (Videbeck, 2008) dan hipotalamus (Yosep, 2007). Ketidakseimbangan neurotransmiter juga mendorong munculnya depresi (Niehoff, 2002; Hoptman, 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005; Kaplan, 2007). 2) Faktor psikologis Stuart (2009) mengatakan yang termasuk dalam faktor predisposisi psikologis diantaranya intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologi, kemammpuan mengendalikan diri. Kepribadian merupakan faktor psikologis dari seseorang, seperti tipe kepribadian introvert, menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Seseorang yang tidak dikenalkan dengan konsep moral baik dan buruk, misalnya terkait dengan keyakinan spiritual, menyebabkan seseorang tidak memiliki landasan yang kuat untuk membentuk mekanisme koping dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya (Townsend, 2009). Universitas Indonesia

39 22 3) Faktor sosial budaya Faktor yang paling berpengaruh terhadap harga diri rendah menurut Keliat (2003) meliputi: riwayat pekerjaan, pendidikan terakhir dan status perkawinan. Menurut Sasmita (2007) meliputi usia, jenis kelamin, riwayat pekerjaan, pendidikan. Menurut Fauziah (2009) terdiri atas pendidikan terakhir dan lama sakit / riwayat gangguan jiwa, sedangkan menurut Wahyuningsih (2009) adalah frekuensi dirawat. b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi terjadinya masalah harga diri rendah meliputi stresor biologis, stresor psikologis, dan stresor sosial budaya (Stuart, 2009). Sifat dari stresor yang tergolong komponen biologis, misalnya: penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak. Komponen psikologis, misalnya: stresor terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya abuse dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup. Komponen sosial budaya, misalnya: adanya aturan yang sering bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa. c. Penilaian terhadap stresor Penilaian terhadap stresor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada suatu situasi yang dialami individu (Stuart & Laraia, 2005). Penilaian terhadap stresor dapat dilihat melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Setelah adanya stresor yang menjadi faktor presipitasi, individu akan melakukan penilaian dan mempersepsikan stresor sebagai suatu hal yang negatif yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah. 1) Respon kognitif Penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat klien terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Masalah kognitif didominasi oleh evaluasi seseorang terhadap diri seseorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang, apabila evaluasi tersebut ke arah negatif misalnya seseorang memandang dirinya negatif maka orang tersebut Universitas Indonesia

40 23 akan mengalami harga diri rendah. Klien menjadi kebingungan, kurang perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna. 2) Respon afektif Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi dalam menghadapi masalah (Stuart & Laraia, 2005). Respon emosi sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Afek / emosional klien harga diri rendah yang dapat diamati adalah kemarahan, rasa kesal, murung, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian dan kesedihan, merasa berdosa, dan kurang motivasi, melebih-lebihkan umpan balik negatif, melihat dunia secara negatif, menyatakan kegagalan secara verbal 3) Respon fisiologis Respon fisik terhadap perubahan harga diri adalah perasaan lemah, penurunan energi, penurunan libido, insomnia/hipersomnia, penurunan/peningkatan nafsu makan, anoreksia, sakit kepala, agitasi tidak berdaya, keluhan fisik, merusak diri sendiri, (Stuart, 2009), ekspresi rasa bersalah, ekspresi rasa malu, kontak mata kurang, konsentrasi menurun, penilaian negatif tentang tubuhnya (Herdman, 2009). 4) Respon perilaku Tanda dan gejala perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan atau kegiatan yang dilakukan klien berkaitan dengan pandangannya terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2003). Pada klien harga diri rendah perilaku yang ditampilkan yakni mengkritik diri sendiri, menunda keputusan, hubungan yang buruk, merusak diri sendiri, bermusuhan, motivasi menurun, dan penurunan perawatan diri/kebersihan diri. Universitas Indonesia

41 24 5) Respon sosial Respon sosial klien harga diri rendah yang dapat diamati adalah berlebihan mencari penguatan, menolak umpan balik positif diri sendiri, pengurungan diri, sedikit atau tidak ada partisipasi, isolasi sosial, penilaian negatif terhadap orang lain, menolak kehadiran orang lain, keterasingan terhadap orang lain. d. Sumber koping Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu dalam menghadapi suatu masalah. Sumber koping dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri. Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan, teknik pertahanan diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Kemampuan individu merupakan hal-hal yang terkait individu itu sendiri dalam memecahkan masalah, seperti motivasi, pengetahuan, kemampuan memecahkan masalah dan lain-lain. Kemampuan yang diharapkan pada klien dengan harga diri rendah adalah kemampuannya mengenal aspek positif yang dimilikinya dan mampu melatih aspek tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki lansia saat ini. Kemampuan lanjutan yang harus dikuasai untuk mengatasi harga diri rendah adalah kemampuan mengungkapkan atau menyampaikan kenangan yang menyenangkan atau yang paling berkesan yang pernah dialami didalam kelompok. e. Mekanisme koping Mekanisme koping merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi stres (Stuart & Laraia, 2005). Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada tindakan untuk menghadapi stres, termasuk upaya penyelesaian masalah yang secara langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons neurobiologik. Dalam menghadapi stresor, individu menggunakan berbagai mekanisme koping yang dapat digolongkan menjadi mekanisme koping jangka pendek dan mekanisme koping jangka panjang (Stuart & Laraia, 2005; Suliswati, 2005). Universitas Indonesia

42 Isolasi sosial a. Faktor Predisposisi Stuart (2009) menyatakan stressor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang terdiri dari biologi, psikologis, dan sosial kultural 1) Faktor Biologis Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart 2009). Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45%. Struktur otak juga mempengaruhi, klien dengan skizofrenia yang mempunyai masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk selsel dalam limbik dan daerah kortikal. Gangguan pada korteks frontal mengakibatkan gejala negatif dan gangguan pada sistem limbik mengakibatkan gejala positif (Stuart, 2009). Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia. Seseorang dengan gangguan hubungan interpersonal memiliki penurunan volume prefrontal dibandingkan rata-rata aktifitas lobus frontal didalam otaknya. Ketidakseimbangan neurotransmiter berpengaruh terhadap terjadinya isolasi sosial. Penurunan katekolamin, peningkatan asetilkolin dan penurunan serotinin menyebabkan seseorang berusaha menghindari lingkungan sosial dan cenderung menjadi depresi. Faktor biologis akibat kondisi patologis, yakni tumor otak, infeksi otak dan stroke dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan fungsi otak sebagai pengatur perilaku manusia. 2) Faktor Psikologis Faktor predisposisi psikologis meliputi intelektualitas, ketrampilan verbal, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, dan pertahanan psikologis (Stuart, 2009). Pengalaman masa lalu termasuk didalamnya Universitas Indonesia

43 26 kegagalan mencapai tugas perkembangan. Kegagalan mencapai tugas perkembangan pada setiap tahapan usia tumbuh kembang seperti sejak bayi atau pada tahapan usia remaja berakibat terjadinya penurunan kemampuan dalam mengembangkan hubungan sosial pada individu. Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Perilaku dan perasaan ini dapat menimbulkan tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari terabaikan Seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya merupakan salah satu penyebab dari isolasi sosial. Individu dengan harga rendah akan menyebabkan klien merasa tidak mampu untuk berinteraksi dengan orang lain yang berlanjut menjadi isolasi sosial 3) Faktor Sosial Faktor sosial budaya dikaitkan dengan terjadinya isolasi sosial meliputi; umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan keyakinan. Faktor sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami skizofrenia dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tinggi, pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Townsand, 2009; Stuart, 2009). Sulistiwati (2005) menyatakan perubahan nilai budaya, perubahan sistem kemasyarakatan dan pekerjaan mengakibatkan gangguan keseimbangan emosional sehingga terjadi penurunan produktifitas seseorang. Kondisi ini berpengaruh terhadap respon klien dalam hubungan interpersonal dengan orang lain dan lingkungan. Uraian yang telah dijelaskan diatas, menggambarkan sangatlah penting untuk mengetahui sosial budaya klien terkait hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Universitas Indonesia

44 27 b. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam individu serta menimbulkan kondisi tegang dan stres sehingga memerlukan energi yang besar untuk menghadapinya (Stuart, 2009). Faktor presipitasi dapat bersifat stresor biologis, psikologis, serta sosial budaya yang berasal dari dalam diri individu (internal) maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain sifat dan asal stresor, waktu dan jumlah stresor juga merupakan komponen faktor presipitasi. Dimensi waktu meliputi kapan stresor terjadi, seberapa lama terpapar stresor, dan frekuensi terpapar stresor. c. Penilaian Stresor Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Penilaian stresor adalah proses dari situasi stres yang komprehensif yang berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009). Penjelasan tentang penilaian terhadap stresor, dijabarkan sebagai berikut: 1) Respon kognitif Respon kognitif : merupakan suatu mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stresor yang dipengaruhi oleh: a) Pandangan/pengertian: sikap, terbuka terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. b) Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya. c) Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman secara individual. d) Efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. e) Koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien. Universitas Indonesia

45 28 Penilaian klien isolasi sosial terhadap stresor secara kognitif adalah merasa kesepiam, merasa ditolak orang lain atau lingkungan, dan merasa orang lain tidak dimengerti akan dirinya, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak mempunyai tujuan dalam hidup, dan merasa dirinya tidak aman berada didekat orang lain, serta tidak mampu berkonsentrasi dan mengambil keputusan (Keliat, 2006; NANDA 2012; Townsend, 2009). 2) Respon Afektif Respon afektif, terkait dengan: a) Ekspresi emosi: respons emosi dalam menghadapi masalah dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, surprise. b) Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. c) Mood dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. d) Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut. Penilaian afektif sangat dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu, terutama berkaitan dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Menurut Townsend (2009); NANDA (2012); secara afektif klien dengan isolasi social merasa bosan dan lambat dalam menghabiskan waktu, sedih, afek tumpul, dan kurang motivasi. 3) Respon Fisiologis Respon Fisiologis, respon ini berkaitan dengan reflek dari interaksi beberapa neuroendokrin. Neurotransmiter dan beberapa hormon endokrin seperti hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin akan memegang peranan dalam berespon terhadap suatu stresor. Respons fight atau flight yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatkan aktivitas dari kelenjar pituitari adrenal. Respon fisiologis yang terjadi pada klien isolasi sosial berupa lemah, penurunan/peningkatan nafsu makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi (NANDA, 2012; Stuart,2009). Universitas Indonesia

46 29 4) Respon Perilaku Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres. Respon perilaku pada perilaku kekerasan bermacam-macam seperti perilaku mencari perhatian (malas melakukan apa-apa, malas untuk bekerja, sekolah bahkan dapat melakukan penyimpangan seksual), perilaku bermusuhan, dendam, keyakinan yang tidak rasional hingga melarikan diri dari interaksi dengan orang lain. Klien dengan masalah isolasi sosial menurut Townsend (2009) menunjukkan perilaku malas untuk merawat diri, tidak mempunyai tenaga melakukan aktivitas atau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri. Biasanya posisi hanya pada satu tempat/tidak berubah walaupun sebenarnya posisi tersebut tidak nyaman bagi klien, pergerakan lambat, kemunduran perilaku dari usia yang sebenarnya (regresi). Ini juga dinyatakan oleh NANDA (2012) dan Keliat (2006) bahwa perilaku yang ditunjukkan klien isolasi sosial meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain, dan sikap bermusuhan. 5) Respon Sosial Respons sosial terhadap stres, pada langkah awal biasanya mencari makna, seseorang akan mencari berbagai informasi mengenai masalah mereka. Hal ini sangat diperlukan untuk mendefinisikan strategi koping sebab hanya dengan melalui berbagai ide yang muncul sehingga individu mampu memberi respons secara rasional. Langkah yang kedua dalam respons sosial adalah atribut sosial, dimana seseorang mencoba untuk identifikasi berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah yang ada. Individu memandang bahwa masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping yang dipergunakannya (Stuart 2009). Universitas Indonesia

47 30 Respon sosial isolasi sosial diantaranya menarik diri, pengasingan, penolakan karena klien merasa malu dengan orang-orang disekitarnya. d. Sumber Koping Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap berbagai stresor yang dihadapi. Dengan mengetahui sumber koping yang dimiliki klien perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan. Menurut Stuart (2009), sumber koping terdiri dari kemampuan individu, dukungan sosial, ketersediaan materi dan keyakinan positif Kemampuan yang diharapkan pada klien isolasi sosial yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan lanjutan yang harus dikuasai untuk mengatasi isolasi sosial adalah kemampuan mengungkapkan atau menyampaikan kenangan yang menyenangkan atau yang paling berkesan yang pernah dialami didalam kelompok. Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga. Klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial sangat memerlukan dukungan sosial ini karena mereka nantinya juga akan kembali ke keluarga. Kemampuan keluarga dalam mendukung klien sangat mempengaruhi perkembangan perawatan pada klien. Ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan kesehatan dan lainlain. Keyakinan positif merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Kemampuan klien dan keluarga untuk mengetahui ketersedian aset sangat diperlukan seperti pengetahuan akan jaminan pelayanan kesehatan yang Universitas Indonesia

48 31 diberikan pemerintah atau bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan di berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Sumber koping yang dimiliki oleh klien harga diri rendah dan isolasi sosial inilah yang menjadi perhatian khusus perawat karena dengan mengetahui sumber koping ini akan menjadi dasar dalam pemberian suatu terapi kepada klien untuk mencapai standar kemampuan yang harus dimiliki oleh klien atau keluarga. Terapi yang dapat diberikan untuk mencapai kemampuan tersebut diatas antara lain terapi generalis dan terapi spesialis yaitu terapi Reminiscence Proses Proses adalah serangkaian langkah sistematis, atau tahapan yang jelas dan dapat ditempuh berulangkali, untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tahap implementasi dari asuhan keperawatan merupakan bagian dari proses. Berdasarkan model interpersonal Peplau fase yang termasuk dalam proses adalah fase eksploitasi. Fase ini perawat mendiskusikan lebih mendalam dan memilih alternative terhadap permasalahan yang dialami klien. Proses ini membutuhkan banyak energi agar dapat mentransfer energi klien dari yang negatif menjadi seorang yang positif dan produktif. Perawat berperan sebagai pendidik yang mengajarkan klien tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah harga diri rendah dan isolasi sosial, perawat mengajarkan dan memberikan informasi kepada klien tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah bila munculnya perasaan tidak berharga dan perasaan tidak diterima dalam lingkungannya, melakukan tindakan keperawatan pada klien melalui intervensi terapi-terapi keperawatan baik generalis maupun terapi spesialis. Peran perawat sebagai narasumber yang memberikan informasi kepada klien berbagai informasi dari pengobatan, tindakan keperawatan dalam membantu klien dan counselor juga dapat dilihat pada fase ini. Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri klien akan aspek positif yang dimilikinya sehingga klien mempunyai perasaan berharga sedangkan pada isolasi sosial bertujuan Universitas Indonesia

49 32 untuk melatih klien ketrampilan sosial sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial, partisipasi/terlibat dalam kegiatan sosial, mengurangi rasa kesendirian, dan menciptakan iklim sosial dalam keluarga dan melakukan interaksi sosial. Tindakan keperawatan diberikan kepada klien sebagai individu, kelompok, keluarga, maupun komunitas, berupa terapi standar (generalis) dan terapi spesialis berupa psikoterapi. Terapi generalis adalah terapi standar yang diberikan kepada klien dengan harga diri rendah agar klien mampu mengenal, mimilih dan melatih aspek positif yang dimilikinya sedangkan pada isolasi sosial agar dapat memulai berinteraksi dengan orang lain. Terapi spesialis adalah terapi yang merupakan terapi lanjutan dan terapi yang diberikan berupa psikoterapi yang akan meningkatkan harga diri klien dan meningkatkan keterampilan komunikasi klien dalam berinteraksi dengan orang lain. Psikoterapi merupakan tindakan keperawatan spesialis bertujuan untuk meningkatkan efek pengobatan, meningkatkan fungsi sosial, dan mencegah kekambuhan. Psikoterapi secara individu pada isolasi sosial dapat berupa terapi kognitif, terapi perilaku, terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT) dan Social Skill Trainning (SST); terapi kelompok, seperti terapi Suportif, psikoedukasi kelompok, dan Logotherapy serta pada lansia dapat diberikan terapi Reminiscence; terapi keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi komunitas, berupa terapi asertif komunitas (Assertif Community Therapy/ACT). Fokus perawatan pada pasien dengan harga diri rendah adalah untuk membantu pasien memahami dirinya secara utuh dan tepat sehingga secara langsung dapat memperoleh arah hidup yang lebih memuaskan (Stuart & Laraia, 2005). Tindakan keperawatan klien harga diri rendah terintegrasi dengan profesi kesehatan lain termasuk tindakan medis. Terapi lanjut / spesialis individu yang dapat dilakukan pada klien harga diri rendah adalah terapi kognitif, terapi perilaku, cognitive behaviour therapy (CBT) dan rational emotive behavior therapy (REBT). Terapi kelompok untuk klien harga diri rendah juga sangat menunjang proses penyembuhan klien. Terapi pada Universitas Indonesia

50 33 kelompok klien tersebut seperti terapi aktifitas kelompok (TAK). Terapi aktifitas kelompok juga bertujuan untuk mengidentifikasi hal positif yang ada pada diri klien serta melatih hal positif yang dapat digunakan klien (Keliat & Akemat, 2005). Terapi kelompok lain yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah harga diri rendah ini adalah logotherapy, psikoedukasi, terapi reminiscence dan terapi keluarga : triangle therapy, dan psikoedukasi keluarga. Pada penulisan ini, terapi spesialis yang akan dijelaskan adalah terapi Reminiscence. Terapi ini akan difokuskan untuk dibahas pada asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi social,, walaupun pada pelaksanaannya tidak hanya terapi ini yang diterapkan pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial. Alasan memilih terapi Reminiscence adalah untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri, memahami diri, beradaptasi terhadap stres, menciptakan kebersamaan kelompok dan meningkatkan keintiman sosial Terapi Reminiscence Terapi reminiscence merupakan terapi yang diberikan kepada lansia dengan mengenang kembali kejadian di masa lampau, perasaan, dan pikiran yang menyenangkan bertujuan untuk memfasilitasi kualitas hidup atau kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dari suatu kejadian saat ini. Terapi ini dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok dan mampu memperbaiki perilaku, fungsi sosial dan fungsi kognitif (Wilkinson, 2012). Terapi Reminiscence adalah terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan terapeutik lansia. Kenangan tersebut diingat secara spontan tanpa harus berurutan karena merupakan pengalaman yang paling berkesan atau menyenangkan. Terapi Reminiscence merupakan salah satu terapi yang dapat dilakukan pada lansia untuk menurunkan depresi; harga diri rendah ketidakberdayaan, keputusasaan, dan isolasi sosial (Fontaine, 2009). Terapi reminiscence juga terbukti efektif untuk mencegah dan mengurangi depresi, meningkatkan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan diri, meningkatkan Universitas Indonesia

51 34 harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan transisi (Cappeliez et al, 2012). Dengan pemberian terapi reminiscence ini diharapkan dapat menurunkan harga diri rendah dan isolasi sosial serta meningkatkan kualitas hidup lansia, sehingga lansia bisa menjalani dan mengisi hari tuanya dengan kebahagiaan. Kegiatan terapi reminiscence yang dilakukan ini mengacu kepada modul terapi yang telah disusun dan dikembangkan oleh Misesa, Keliat dan Wardani (2013). Terapi Reminiscence dilaksanakan sebanyak 12 sesi dengan waktu menit dengan jumlah peserta 6 12 orang. Sesi yang sama dapat diulang kembali bila tujuan sesi tersebut belum tercapai. Adapun sesi-sesi dalam pelaksanaan terapi meliputi: Sesi 1: Pendahuluan; Sesi 2: Kenangan menyenangkan pada masa kanak-kanak dan dalam kehidupan keluarga; Sesi 3: Kenangan menyenangkan pada masa sekolah; Sesi 4: Kenangan menyenangkan dalam pekerjaan; Sesi 5: Kenangan menyenangkan saat pertemuan dengan pasangan atau teman dekat; Sesi 6: Kenangan menyenangkan saat pernikahan; Sesi 7: Kenangan menyenangkan tentang rumah, kebun, hewan piaraan; Sesi 8: Kenangan menyenangkan dalam mengasuh anak; Sesi 9 : Kenangan menyenangkan terhadap makanan / minuman favorit, memasak; Sesi 10: Kenangan menyenangkan saat kegiatan liburan/tempat-tempat menyenangkan; Sesi 11: Kenangan menyenangkan saat hari raya / acara perayaan dan sesi 12 : Evaluasi (lampiran 3) Stuart (2009) menyatakan bahwa terapi reminiscence dapat membantu individu mencapai integritas, meningkatkan harga diri, dan menstimulasi individu untuk berpikir tentang pengalaman dirinya yang positif. Fontaine (2009) bahwa terapi Reminiscence membantu individu untuk meningkatkan harga diri dan mencapai kesadaran diri serta memahami diri, beradaptasi terhadap stress, melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Bryant et al (2005) dalam penelitiannya pada 180 responden menemukan bahwa terapi reminiscence telah meningkatkan kebahagiaan responden. Arean et al (1993) bahwa terapi reminiscence dilakukan untuk lebih meningkatkan kesadaran diri lansia dengan menggali pengalaman-pengalaman yang Universitas Indonesia

52 35 menyenangkan selanjutnya terapis memaksimalkan hal positif yang menyenangkan dari pengalaman tersebut. Pelaksanaan terapi baik generalis maupun spesialis jika dilihat dari sudut pandang Peplau masuk dalam fase eksploitasi. Perawat membantu klien untuk mengenal dan mengerti masalah harga diri rendah dan isolasi sosial yang dialaminya dan menentukan kebutuhannya untuk bantuan. Pada fase ini perawat berdiskusi dengan klien dalam memilih alternative terhadap permasalahan yang dialami klien. Saat interaksi dengan pasien maka perawat harus mengadaptasi untuk perubahan peran sesuai dengan kondisi yang dialamai oleh pasien (Forchuck,1991;Peplau 1997). Perawat berperan sebagai pendidik yang mengajarkan klien tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah harga diri rendah dan Isolasi Sosial, perawat mengajarkan dan memberikan informasi kepada klien tentang cara mengatasi dan penyelesaian masalah bila munculnya perasaan tidak berharga dan perasaan tidak diterima dalam lingkungannya, melakukan tindakan keperawatan pada klien melalui intervensi terapi-terapi keperawatan baik generalis maupun terapi spesialis. Peran perawat sebagai narasumber yang memberikan informasi kepada klien berbagai informasi dari pengobatan, tindakan keperawatan dalam membantu klien dan counselor juga dapat dilihat pada fase ini. Selama fase ini klien akan mendapatkan semua yang dibutuhkan dari perawat, perawat memberikan semua informasi, dan kebutuhan klien terkait dengan penyembuhan dan kebutuhan perawatan klien. Pada fase inilah peran perawat secar keseluruhan terkait, selain sebagai peran pendidik, narasumber, pemimpin, pengganti dan juga peran sabagai penasehat Penatalaksanaan Kolaborasi dalam Psikofarmaka Pendekatan tim multidisiplin merupakan pendekatan yang paling bermanfaat dalam memberikan pelayanan profesional bagi klien sebagai konsumen pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan jiwa. Anggota tim yang Universitas Indonesia

53 36 berbeda-beda memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga dengan berkolaborasi, mereka dapat memenuhi kebutuhan klien secara lebih efektif. Kolaborasi adalah bersama-sama menyusun rencana, membuat keputusan, menyelesaikan masalah, menetapkan tujuan, dan menerima tanggung jawab dengan bekerja bersama dan komunikasi terbuka (Stuart, 2009) Kolaborasi antara dokter dan perawat sangat diperlukan dalam menyelesaikan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial yang dialami klien. Sinaga (2007) menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa (skizofrenia) perlu ditatalaksana secara komprehensif baik dari aspek psikofarmakologis (terapi somatik) dan aspek psikososisal. Peran spesialis keperawatan jiwa dalam penanganan klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial adalah bertanggungjawab terhadap asuhan keperawatan biopsikososiokultural pada klien dengan melibatkan keluarga dan lingkungannya. Peran psikiater lebih ditekankan pada penegakan diagnosis medis dan penatalaksanaan psikofarmaka pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial dan gangguan lainnya. Penatalaksanaan terapi somatik meliputi obat-obatan golongan anti ansietas dan hipnotik sedatif, antidepresi, stabilisasi mood, antipsikotik dan obatobatan golongan lainnya. Pemberian pengobatan sebaiknya dilakukan peroral, jika kondisi klien memungkinkan. Pemberian melalui injeksi intramuskuler meningkatkan resiko efek samping trauma bagi klien (Stuart, 2009). Antipsikotik tradisional terutama berguna untuk mengendalikan gejala-gejala positif, sedangkan beberapa antipsikotik atipikal sangat efektif membantu klien-klien dengan gejala negatif. Mekanisme kerja antipsikotik tipikal menurut Maslim (2001) adalah memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron diotak, khususnya di sistem limbic dan system ekstrapiramidal (dopamine D2 reseptor antagonists). Obat antipsikotik tipikal antara lain : a) Chlorpromazine (Largactil): indikasinya yaitu penanganan gangguan psikotik seperti skizofrenia, fase mania pada gangguan bipolar, psikosis reaktif singkat, gangguan skizoafektif, ansietas, agitasi, cegukan yang sulit Universitas Indonesia

54 37 ditangani. Cara kerja dengan menyekat reseptor dopamine post sinap pada ganglia basalis, hipotalamus, system limbic, batang otak dan medulla. Efek samping dari obat ini antara lain sedasi, sakit kepala, pusing, gejala ekstrapiramidal, akatsia, hipotensi, takikardia b) Haloperidol (Haldol, serenace, govotil) indikasinya yaitu penatalaksanaan psikosis kronik dan akut, pengendalian tik dan pengucapan vocal pada gangguan Tourette, penanganan dimensia pada lansia, dapat pula digunakan sebagai antiemetik. Cara kerjanya adalah menekan sistem syaraf pusat pada tingkat subkortikal formasi retikuler otak, mesensefalon dan batang otak. Diperkirakan dapat menghambat reseptor katekolamin seperti juga pengambilan kembali berbagai neurotranmiter dalam mesensafalon. Merupakan antagonis pusat yang kuat dari reseptor dopamine. Efek samping hampir sama dengan Chlorpromazine. c) Trifluoperazine (Stelazine) indikasinya yaitu manifestasi gangguan psikotik, ansietas sedang sampai berat pada klien non psikotik. Cara kerja yang tepat belum sepenuhnya dimengerti, namun kemungkinan menyekat reseptor dopamine post sinap dalam ganglia basalis, hipotalamus, system limbic, batang otak dan medulla. Efek samping dari obat ini antara lain sedasi, sakit kepala, insomnia, pusing, gejala ekstrapiramidal. Antipsikotik atipikal sangat efektif membantu klien dengan gejala negative dan positif (Sinaga, 2007). Mekanisme kerja antipsikotik atipikal yaitu dengan memblokade dopamine dan serotonin (5HT2) pada reseptor pasca sinaptik neuron diotak (Shives, 2012). Beberapa jenis antipsikotik atipikal yang dapat digunakan, yaitu: a. Klozapin (Clozaril); mengurangi gejala apatis, penarikan diri, anhedonia, dan afek datar, pada hampir 30% klien kronis yang resisten terhadap pengobatan. Dosis mulai 25 mg sampai dengan mg/hari. Efek samping: sedasi, kejang grand mal, sialore, peningkatan BB, takikardia, hipotensi, demam, dan peningkatan enzim hati. Pada 1% klien dengan pemakaian bulan 1-6 dapat mengakibatkan agranulositosis, sehingga membutuhkan pemeriksaan sel darah putih berkala. Universitas Indonesia

55 38 b. Risperidon (Risperdal); efektif terhadap gejala positif dan negatif skizofrenia. Dosis mulai dengan 0,5-1 mg 2 kali/hari sampai dengan 4-6 mg/hari (dapat digunakan dalam dosis tunggal). Efek samping gejala ekstrapiramidal, diskinesia tardif, dan peningkatan berat badan. c. Olanzapin (Zyprexa); efektif mengatasi gejala negatif dengan dosis mg 1 kali/hari (mulai dengan 5 mg/hari). Efek samping hampir sama dengan risperidon, meskipun relatif lebih sedikit mengakibatkan gejala ekstrapiramidal. d. Quetiapin (Serequel); sedikit kurang efektif dibanding antipsikotik lannya. Dosis yang biasa diberikan mg/hari (dianjurkan dosis 2 kali sehari). Efek samping hampir sama dengan olanzapin, masalah utama yang sering muncul peningkatan berat badan dan hipotensi ortostatik. e. Ziprasidon (Zeldox); merupakan antipsikotik yang sangat efektif mengatasi gejala positif dan negatif, dan dapat digunakan sebagai antiansietas. Keluhan cenderung pada masalah gastrointestinal: mual, nyeri abdomen, dispepsia, dan konstipasi, tetapi pada umumnya ringan Output Output merupakan hasil yang diharapkan atau pencapaian dari pelaksanaan kegiatan atau proses. Output pada kerangka konsep karya ilmiah ini adalah peningkatan kemampuan yang meliputi kemampuan kognitif, afektif, perilaku, fisik dan sosial pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial. Output merupakan tahap akhir dari penyelesaian masalah. Komponen yang termasuk dalam output ini adalah kemampuan klien yang terbentuk dari hasil pelaksanaan asuhan keperawatan baik itu tindakan generalis maupun spesialis. Pada tahap ini perawata melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah diberikan. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan kepada klien dan keluarga. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Perawat membandingkan respon klien terhadap tindakan keperawatan dengan hasil yang diharapkan yang telah ditetapkan selama perencanaan. Sedangkan Universitas Indonesia

56 39 rencana tindak lanjut adalah serangkaian rencana tindakan yang dibuat berdasarkan evaluasi dari tindakan yang telah diberikan. Fase resolusi termasuk didalam tahap akhir ini. Pada fase ini perawat mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini perawat mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun. Untuk mengurangi rasa ketergantungan pada perawat, tindakan yang dilakukan perawat adalah mempersiapkan kemandirian klien dengan cara memaksimalkan sumber koping klien dan keluarga dalam mempersiapkan klien untuk pulang, peran yang dilakukan oleh perawat adalah sebagai counsellor yang dapat memberikan bimbingan sehingga klien dan keluarga mampu menggunakan apa yang telah dipelajari sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi terkait dengan masalah gangguan jiwa yang dihadapi klien. Kemandirian klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial yang terpenting adalah klien selalu mengembangkan koping yang adaptif, memiliki sikap dan harapan yang positif sebagai implikasi dari pikiran positif yang dimiliki klien, sehingga tidak muncul pikiran tidak diterima oleh lingkungan, tidak mampu bersosialisasi, tidak mempunyai teman dan tidak mempunyai kelebihan. Dukungan keluarga sangat penting sehingga keluarga harus dilibatkan dari awal, perawat juga harus mempersiapkan lingkungan klien melalui keluarga untuk mempertahankan sikap dan pikiran positif klien ketika klien pulang. Mekanisme koping adalah komponen yang akan dinilai pada fase resolusi. Pada output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus yang ada dan respon maladaptif jika individu tidak mampu berespon terhadap stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya. Tahapan proses interpersonal yang dikembangkan Peplau dalan empat fase dinilai sangat relevan dengan manajemen kasus pada klien harga diri rendah dan isolasi Universitas Indonesia

57 40 iosial. Teori Peplau yang berfokus pada interpersonal relationship ini sangat sesuai bagi intervensi pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial dalam mengaplikasikan terapi-terapi spesialis seperti terapi Reminiscence yang sangat membutuhkan hubungan yang trust dari klien kepada perawat dan orang lain dalam kelompok sehingga klien bersedia mengungkapkan pengalaman hidupnya yang nantinya mampu meningkatkan perasaan berarti sehingga meningkatkan harga diri dan meningkatkan interaksi dengan orang lain di lingkungannya Feedback Feedback merupakan proses mengkomunikasikan kembali informasi yang didapat kedalam sistem agar dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan memberikan arah dalam pengkajian ulang untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain itu menurut A Pruebo (2005) feedback merupakan salah satu bentuk reinforcement terhadap aktivitas yang telah dilaksanakan sehingga aktivitas tersebut dapat dipertahankan atau memberikan respon yang serupa dan pada aktivitas berikutnya dapat meningkat lagi. Feedback tidak saja dilakukan terhadap klien sebagai penerima asuhan keperawatan tetapi juga terhadap perawat yang memberikan asuhan keperawatan tersebut sehingga diharapkan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dan feedback diberikan pada setiap tahapan dalam proses keperawatan. 2.3 Manajemen pelayanan Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh banyak orang. Oleh karena itu perlu dikelola dengan sistem manajemen keperawatan yang tepat, efektif dan efisien. Manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan, pengobatan dan bantuan terhadap para klien. Penerapan manajemen keperawatan yang baik akan memberikan tingkat kepuasan yang tinggi kepada konsumen dalam hal ini adalah klien, keluarga, dan masyarakat. Manajemen keperawatan yang saat ini dikembangkan khususnya untuk rumah sakit jiwa dan menunjukkan hasil yang optimal dalam pelayanan keperawatan di Universitas Indonesia

58 41 Indonesia adalah pelayanan dengan pendekatan model praktik keperawatan profesional (MPKP). Manajemen keperawatan dengan bentuk MPKP awalnya dikembangkan oleh Sitorus (1996) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan beberapa rumah sakit umum lainnya. MPKP ini selanjutnya dalam aplikasinya oleh Keliat (2010) telah dikembangkan untuk digunakan di rumah sakit jiwa. MPKP yang dimodifikasi untuk rumah sakit jiwa meliputi: 1) MPKP transisi adalah MPKP dasar yang masih memiliki tenaga perawat yang berpendidikan SPK, tetapi kepala ruangan dan ketua timnya minimal berpendidikan D3 Keperawatan; 2) MPKP pemula adalah MPKP dasar dengan semua tenaganya minimal D3 Keperawatan; 3) MPKP profesional, terdiri atas MPKP I, MPKP II, dan MPKP III. Jenis MPKP profesional tingkat I disebut sebagai MPKP basic (dasar) dengan tenaga perawat pelaksana minimal D3 Keperawatan, tetapi kepala ruangan dan ketua tim berpendidikan minimal S1 Keperawatan. MPKP profesional tingkat II disebut sebagai MPKP intermediate (menengah) dengan tenaga minimal D3 Keperawatan dan mayoritas Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah memiliki tenaga Spesialis Keperawatan Jiwa. Sedangkan MPKP profesional tingkat III disebut juga MPKP advance (tingkat lanjut) dimana semua tenaga perawatnya minimal Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah mempunyai tenaga Spesialis Keperawatan Jiwa dan Doktor Keperawatan yang bekerja di area keperawatan jiwa. Pendekatan MPKP yang dilaksanakan di rumah sakit jiwa menurut Keliat (2010) berpedoman pada empat pilar-pilar profesionalisme keperawatan yaitu pilar management approach, compensatory reward, professional relationship, dan patient care delivery. Pilar I (management approach) terdiri dari: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengendalian (controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan penentuan visi, misi, filosofi dan pembuatan rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan). Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembuatan struktur organisasi dan pembagian alokasi klien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian, dan penciptaan iklim Universitas Indonesia

59 42 motivasi. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survey diagnosa medis dan keperawatan, survey kepuasan, dan audit dokumentasi. Pilar II (compensatory reward) meliputi kegiatan rekruitmen, seleksi, orientasi, evaluasi/ penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar ini terdiri dari dua kegiatan yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Sedangkan Pilar III (professional relationship) meliputi kegiatan konferensi kasus, visite dokter, rapat tim keperawatan dan rapat tim kesehatan. Pilar IV (patient care delivery) mencakup pemberian asuhan keperawatan kepada klien dan keluarga dengan diagnosis isolasi sosial. Asuhan keperawatan yang dilakukan kepada klien dengan menggunakan standar asuhan keperawatan generalis. Universitas Indonesia

60 BAB 3 PROFIL RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial ini dilakukan pada tanggal 13 September 15 November 2013 di Ruang Saraswati RS Dr Marzoeki Mahdi (RSMM), Bogor. Berikut akan di uraikan mengenai gambaran umum RSMM Bogor, ruangan Saraswati dan manajemen ruangan tempat praktik klinik keperawatan jiwa III. 3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H.Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor Sejarah RSMM RSMM merupakan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) pertama di Indonesia. Berdiri pada tahun 1862 dipimpin oleh dua orang ahli, yakni Dr FH Bauer, psikiater yang memimpin suatu RSJ di Belanda dan Dr WM Smith, dokter Angkatan Laut Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa Bogor secara resmi pada tanggal 1 Juli RSJ Bogor ini dikhususkan untuk merawat pegawai Hindia Belanda dan diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Custodial (tahanan). Seiring perkembangan pelayanan yang diberikan maka tahun 2002 diberi nama rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor berdasarkan SK Menkes No.266/ Menkes/sk/IV/2002 tanggal 10 April RSMM Bogor sejak tahun 2007 telah menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkeu No.279/KMK 05/2007 tanggal 21 Juni Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor sebagai Badan Layanan Umum memberikan pelayanan psikiatri, NAPZA serta pelayanan umum dan merupakan rumah sakit jiwa pertama yang mengembangkan manajemen MPKP yang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia sejak tahun RSMM Bogor saat ini mempunyai 516 tempat tidur untuk rawat inap psikiatri, 60 tempat tidur untuk rawat inap NAPZA, dan 144 tempat tidur 43 Universitas Indonesia

61 44 untuk rawat inap umum. RSMM Bogor ini telah memiliki 14 rawat inap psikiatri, 3 rawat inap NAPZA dan 8 rawat inap umum. RSMM Bogor juga memiliki unit rawat jalan psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, Struktur Organisasi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Struktur organisasi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi berdasarkan pada keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: No. Ditetapkan Menjadi 15 UPT Depkes dengan menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007 tanggal 26 Juni 2007 dan berubah statusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU), Menjadi Instansi Pemerintah yang menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkeu No. 279/KMK.05/2007 tanggal 21 Juni Struktur tersebut terdiri dari Direktur Utama yang membawahi 3 Direktorat yaitu Medik dan Keperawatan, SDM dan Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. RS Dr. H. Marzoeki Mahdi juga mempunyai Dewan Pengawas, Komite Medik yang membawahi staf medik fungsional, Komite Etik dan Hukum, serta Satuan Pemeriksaan Intern. Direktorat Medik dan Keperawatan membawahi bidang medik, bidang keperawatan. Bidang medik terdiri dari dua seksi yaitu pelayanan medik dan pelayanan penunjang medik. Bidang keperawatan mempunyai dua seksi yaitu pelayanan keperawatan rawat jalan dan pelayanan rawat inap. Direktorat SDM dan Pendidikan membawahi dua bagian yaitu SDM, serta Pendidikan dan Penelitian. Direktorat Keuangan dan Administrasi Umum membawahi dua bagian yaitu keuangan dan administrasi umum. Masingmasing direktorat membawahi instalasi terkait dan kelompok jabatan fungsional. Struktur tersebut telah diresmikan pada 11 Maret Struktur dibidang keperawatan dikepalai oleh seorang Kepala Bidang Keperawatan dan membawahi 2 Kepala Seksi. Kepala Seksi dibantu 3 orang supervisor. Kepala Seksi I membawahi unit-unit pelayanan rawat jalan baik psikiatri maupun umum termasuk rawat jalan spesialis, IGD, Universitas Indonesia

62 45 Elektromedik, dan Kamar Bedah. Kepala Seksi II membawahi seluruh unit rawat inap baik unit psikiatri, umum dan unit Napza Visi dan Misi Visi Visi dari RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor yaitu menjadi rumah sakit jiwa dengan pelayanan paripurna dan komprehensif, bermutu dan berkeadilan Misi a. Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dengan upaya promosi, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. b. Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa yang didukung oleh pelayanan spesialistik lainnya. c. Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi NAPZA & HIV AIDS. d. Mengembangkan pendidikan dan penelitian kesehatan secara profesional. e. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat. Dari beberapa pernyataan misi tersebut, diharapkan dalam waktu yang pendek RSMM Bogor dapat menjadi rumah sakit rujukan nasional pelayanan kesehatan jiwa dan NAPZA dan HIV AIDS, rumah sakit pendidikan yang memberikan kesejahteraan bagi klien dan masyarakat. 3.2 Gambaran Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional di RSMM Bogor MPKP pertama kali diterapkan di tiga ruang perawatan yaitu Srikandi, Bratasena dan Sadewa. Berdasarkan informasi yang diperoleh terjadi peningkatan mutu setelah MPKP diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari BOR sebesar 65-80% dan AvLOS sebesar 25 hari. Angka BOR berada pada ratarata nasional dengan nilai AvLOS lebih rendah dari standar nasional, hal ini menunjukkan angka yang ditampilkan di ruang MPKP RSMM lebih baik dari standar nasional. Universitas Indonesia

63 46 Konsep Model Praktik Keperawatan Profesional yaitu manajemen pelayanan dan manajemen asuhan keperawatan. Konsep ini diuraikan dalam empat pilar professional MPKP yaitu pendekatan manajemen (management approach), sistem kompensasi dan penghargaan (compensatory reward), hubungan professional (professional relationship) dan sistem pemberian asuhan keperawatan (patient care delivery). Pilar pertama diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang terdiri dari: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan merumuskan visi, misi, filosofi, rencana jangka pendek (harian, bulanan dan tahunan). Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembentukan struktur organisasi, jadual dinas dan daftar alokasi pasien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi pengendalian terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survei diagnosa keperawatan dan medis, survei kepuasan, dan audit dokumentasi. Pilar yang kedua yaitu kompensasi dan penghargaan. Pilar ini mengatur dan menjelaskan bagaimana mekanisme pemberian reward kepada staf ruang MPKP terhadap kinerja yang sudah dilakukannya. Kegiatan yang dilakukan dalam pilar ini adalah penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar yang ketiga yaitu hubungan professional. Pilar ini mengatur dan menjelaskan bagaimana hubungan antara tim kesehatan dan tenaga lain dalam upaya pemberian asuhan keperawatan yang professional. Kegiatan yang dilakukan dalam pilar ini meliputi rapat tim kesehatan, rapat tim keperawatan, konferensi kasus, dan visit dokter.pilar keempat yaitu pemberian asuhan keperawatan. Pilar ini mengatur dan menjelaskan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan keperawatan. Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini meliputi pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan diagnosa risiko perilaku kekerasan, halusinasi, waham, harga diri rendah, isolasi sosial dan defisit perawatan diri. Universitas Indonesia

64 47 Berdasarkan keempat pilar dalam MPKP tersebut terdapat 30 kegiatan yang dilakukan. Dari ketiga puluh kegiatan dalam MPKP tersebut semuanya harus dikuasai oleh kepala ruangan. Ketua tim harus mengasai 18 kegiatan, yaitu pembuatan rencana harian dan bulanan, alokasi pasien, pre dan post conference, supervise, pendelegasian, penciptaan iklim motivasi, kolaborasi saat visit dokter, case conference, dan pemberian asuhan keperawatan terhadap tujuh diagnosa keperawatan. Kompetensi untuk perawat pelaksana yaitu pembuatan rencana harian dan pemberian asuhan keperawatan terhadap tujuh diagnosa keperawatan Karakteristik Pelayanan Kesehatan Jiwa di Ruang Saraswati Ruangan saraswati merupakan Ruang Khusus untuk klien gangguan jiwa lansia dengan keluhan fisik yang terdiri dari laki laki dan perempuan. Sampai saat ini Ruang Saraswati masih berada pada level MPKP pemula. Pendekatan manajemen MPKP mulai diterapkan sejak tahun 2006, dengan metode asuhan keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk metode tim. Ruang saraswati mempunyai kapasitas tempat tidur 40 dengan indikator mutu bulan Oktober 2013 BOR 41,45 AvLOS 12 hari, lari 0, fiksasi 0, infeksi nosokomial 0. Tingkat kepuasan klien pada bulan Oktober 2013 sebesar 75 %, sedangkan tingkat kepuasan keluarga adalah 96%. Selain itu masalah keperawatan pada bulan Oktober 2013 sesuai dengan urutannya adalah Isolasi sosial 81,25 %, Harga diri rendah 56,25 %, Defisit perawatan diri 31,23 %, halusinasi 62,5 %, Resiko perilaku kekerasan 18,72 %, harga diri rendah 40%, Waham 6 % dan Risiko bunuh diri 0 %. Jumlah SDM perawat di Ruang Saraswati sebanyak 14 orang yang terdiri dari 2 orang dengan latar belakang pendidikan S1 keperawatan, 12 orang dengan latar belakang pendidikan D3 Keperawatan. Perawat yang telah mengikuti pelatihan MPKP sebanyak 8 orang (57.1 %). SDM lain yang ada di ruang Saraswati adalah 1 orang dokter ruangan (dokter umum), 1 orang psikiater dan 1 orang psikolog. Tenaga non keperawatan ada 3 orang, Universitas Indonesia

65 48 meliputi 1 tenaga pramuhusada, 1 tenaga administrasi dan 1 tenaga cleaning service. Menurut Akemat & Keliat (2010), kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam melakukan manajemen MPKP diruangan antara lain 32 kegiatan pada kepala ruangan, 19 kegiatan pada ketua tim dan 8 kegiatan pada perawat pelaksana. Dari hasil pengamatan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa selama praktik klinik keperawatan jiwa 3 didapatkan hasil bahwa kepala ruangan ruang Saraswati telah memiliki kemampuan melaksanakan 32 kegiatan MPKP, ketua tim masing-masing telah memiliki kemampuan melaksanakan 19 kegiatan MPKP dan perawat pelaksana 8 kegiatan MPKP.. Selama praktik di ruang Saraswati, penulis melakukan evaluasi terhadap kemampuan yang dimiliki oleh kepala ruangan, ketua tim dan perawat pelaksanan terkait dengan manajemen pelayanan dan manajemen asuhan. Kegiatan yang dilakukan adalah supervisi insidentil dan pendampingan berdasarkan hasil evaluasi. Supervisi insidentil merupakan kegiatan supervisi yang dilakukan terhadap kemampuan karu, katim, dan perawat pelaksana yang telah bernilai lulus (nilai > 75). Sedangkan pendampingan dilakukan bila terdapat nilai kemampuan karu, katim, dan perawat pelaksana 75. Supervisi insidentil dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut sudah membudaya dilakuakan oleh staf ruang Saraswati. Pelaksanaan kegiatan pengembangan MPKP yang telah dilakukan di ruang Saraswati meliputi kegiatan bimbingan terstruktur maupun insidentil serta melakukan penilaian kinerja. Pendampingan (supervisi terstruktur) terhadap karu dan supervisi insidentil terhadap karu, katim 1 dan katim 2 dilakukan berdasarkan pada rencana jadwal kegiatan yang telah disusun. Adapun pelaksanaan kegiatan penyegaran, bimbingan baik terstruktur atau insidentil dan penilain kinerja secara umum adalah sebagai berikut: Universitas Indonesia

66 49 a. Supervisi insidentil dan diskusi untuk penyusunan rencana bulanan pada karu dengan format rencana bulanan yang lebih simpel dan praktis dilakukan pada hari Kamis, 3 Oktober 2013 dan 24 Oktober b. Supervisi insidentil dan diskusi untuk penyusunan rencana bulanan pada katim 3 Oktobert 2013 dan 10 Oktober 2013 dengan format rencana bulanan yang lebih simpel dan praktis c. Supervisi insidentil struktur organisasi, daftar dinas, dan daftar alokasi pasien dilakukan pada 19 September 2013, dan 26 September 2013 d. Supervisi insidental operan dan iklim motivasi pada karu dan pre-post conference pada katim dimulai tanggal 19 september sampai dengan 31 Oktober e. Supervisi insidental dan diskusi terkait audit dokumentasi, survey kepuasaan, survey masalah dan indicator mutu dimulai dari tanggal 19 September 2013 sampai dengan 31 Oktober 2013 f. Pendelegasian kepada kepala ruangan untuk pelaksanaan supervisi insidentil terhadap ketua tim 1 dan ketua tim 2 mulai tanggal 19 September 2013 sampai dengan 31 Oktober 2013 g. Pendelegasian supervisi insidentil kepada ketua tim dan kepala ruangan untuk melakukan supervisi terhadap perawat pelaksana mulai tanggal 19 September 2013 sampai dengan 31 Oktober 2013 Pelaksanaan kegiatan pengembangan MPKP di ruang Saraswati ini dapat juga dilihat dari penilaian evaluasi kinerja yang telah dilakukan setelah kegiatan supervisi selesai dilaksanakan. Hasil evaluasi kinerja pengembangan MPKP pada Karu di ruang Saraswati ini disajikan pada tabel 3.1 berikut ini. Universitas Indonesia

67 50 Tabel 3.1 Kemampuan Kepala Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan (kegiatan MPKP) No Kegiatan EK April 2013 EK Nov 2013 Keterangan RTL I Management Approach A Perencanaan 1 Visi Pembudayaan Daily 2 Misi Pembudayaan Daily 3 Filosofi Pembudayaan Daily 4 Rencana kegiatan : Harian Pembudayaan Daily Bulanan Pembudayaan Periodik Tahunan Pendampingan Periodik B Pengorganisasian 1 Struktur organisasi Pembudayaan Insidentil 2 Daftar dinas Pembudayaan Periodik 3 Daftar alokasi pasien Pembudayaan Insidentil C Pengarahan 1 Operan Pembudayaan Daily 2 Supervisi Pembudayaan Periodik 3 Pre conference Pembudayaan Daily 4 Post conference Pembudayaan Daily 5 Iklim motivasi Pembudayaan Daily 6 Pendelegasian Pembudayaan Insidentil D Pengendalian 1 Audit dokumentasi Pembudayaan Periodik 2 Survey kepuasan Pembudayaan Insidentil 3 Survey masalah Pembudayaan Periodik 4 Indikator mutu Pendampingan Periodik II Compensatory Reward 1 Penilaian kinerja Pembudayaan Periodik 2 Pengembangan staf Pembudayaan Periodik III Professional Relationship 1 Rapat keperawatan Pembudayaan Periodik 2 Case conference Pembudayaan Periodik 3 Rapat Tim kesehatan Periodik 4 Visit dokter Pembudayaan Insidentil IV Pasien Care Delivery 1 HDR Pembudayaan Daily 2 Isolasi Sosial Pembudayaan Daily 3 GSP Halusinasi Pembudayaan Daily 4 RPK Pembudayaan Daily 5 Waham Pembudayaan Daily 6 DPD Pembudayaan Daily 7 RBD Pembudayaan Daily Kemampuan 31 dari 32 kemampuan kepala ruangan Universitas Indonesia

68 51 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa 31 kegiatan sudah membudaya, kecuali rapat tim kesehatan. Berdasarkan hasil evaluasi mahasiswa Residensi 3 berpraktik di ruang Saraswati diketahui bahwa hasil evaluasi kinerja akhir pada ketua tim adalah sebagai berikut: No Tabel 3.2 Kemampuan Ketua Tim 1 Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan (kegiatan MPKP) Kegiatan EK April 2013 EK Nov 2013 Keterangan RTL I Management Approach A Perencanaan 1 Rencana kegiatan : Harian Pembudayaan Daily Bulanan Pembudayaan Periodik B Pengorganisasian 1 Daftar dinas Pembudayaan Periodik 2 Daftar alokasi pasien Pembudayaan Insidentil C Pengarahan 1 Supervisi Pembudayaan Daily 2 Pre conference Pembudayaan Periodik 3 Post conference Pembudayaan Daily 4 Iklim motivasi Pembudayaan Daily 5 Pendelegasian Pembudayaan Daily II Compensatory Reward 1 Penilaian kinerja Pembudayaan Periodik III Professional Relationship 1 Case conference Pembudayaan Periodik 2 Visit dokter Pembudayaan Insidentil IV Pasien Care Delivery 1 HDR Pembudayaan Daily 2 Isolasi Sosial Pembudayaan Daily 3 GSP Halusinasi Pembudayaan Daily 4 RPK Pembudayaan Daily 5 DPD Pembudayaan Daily 6 Waham Pembudayaan Daily 7 RBD Pembudayaan Daily Kemampuan 19 dari 19 kemampuan Ketua Tim Universitas Indonesia

69 52 Sedangkan untuk ketua tim 2 adalah sebagai berikut: No Tabel 3.3 Kemampuan Ketua Tim 2 Ruang Saraswati dalam Manajemen Pelayanan (kegiatan MPKP) Kegiatan EK April 2013 EK Nov 2013 Keterangan RTL I Management Approach A Perencanaan 1 Rencana kegiatan : Harian Pembudayaan Daily Bulanan Pembudayaan Periodik B Pengorganisasian 1 Daftar dinas Pembudayaan Periodik 2 Daftar alokasi pasien Pembudayaan Insidentil C Pengarahan 1 Supervisi Pembudayaan Daily 2 Pre conference Pembudayaan Periodik 3 Post conference Pembudayaan Daily 4 Iklim motivasi Pembudayaan Daily 5 Pendelegasian Pembudayaan Daily II Compensatory Reward 1 Penilaian kinerja Pembudayaan Periodik III Professional Relationship 1 Case conference Pembudayaan Periodik 2 Visit dokter Pembudayaan Insidentil IV Pasien Care Delivery 1 HDR Pembudayaan Daily 2 Isolasi Sosial Pembudayaan Daily 3 GSP Halusinasi Pembudayaan Daily 4 RPK Pembudayaan Daily 5 DPD Pembudayaan Daily 6 Waham Pembudayaan Daily 7 RBD Pembudayaan Daily Kemampuan 19 dari 19 kemampuan Ketua Tim Berdasarkan tabel diatas terlihar bahwa ketua tim 2 ruangan Saraswati telah memiliki 19 kempuan Ketua Tim Universitas Indonesia

70 53 Berikut ini adalah kemampuan perawat pelaksana ruang Saraswati dalam pelaksanaan MPKP: Tabel 3.4 Kemampuan Perawat pelaksana Ruang Saraswati dalam MPKP No Kegiatan EK April 2013 EK Nop 2013 Keterangan RTL I Management Approach A Perencanaan 1 Rencana kegiatan : Harian 80,3 84,9 Pembudayaan Daily IV Pasien Care Delivery 1 HDR 81,5 87 Pembudayaan Daily 2 Isolasi Sosial Pembudayaan Daily 3 GSP Halusinasi 81,5 89 Pembudayaan Daily 4 RPK 82,5 90 Pembudayaan Daily 5 DPD Pembudayaan Daily 6 Waham Pembudayaan Daily 7 RBD 80,5 82 Pembudayaan Daily Kemampuan 8 dari 8 kemampuan perawat pelaksana Hasil pelaksanaan MPKP di ruang Saraswati seperti yang diuraikan di atas membuktikan metode tersebut cukup efektif dalam membantu penanganan masalah keperawatan pada klien dengan Harga diri rendah dan isolasi sosial. Hal ini dapat terlihat dimana rata-rata lama rawat klien yang menurun dari 34 hari pada bulan Februari 2013 menjadi 12 hari pada Oktober Penuruan rata-rata lama rawat klien merupakan salah satu bukti keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan dan manajemen pelayanan keperawatan yang dilaksanakan di ruang Saraswati. Penurunan rata-rata lama rawat inap klien bukan hanya dipengaruhi oleh pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan oleh perawat. Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah pemberian psikofarmaka, lama sakit, frekuensi dirawat, dukungan keluarga dan kemampuan klien sendiri serta keyakinan positif yang dimiliki. Universitas Indonesia

71 Penatalaksanaan Masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Penatalaksanaan Keperawatan Klien yang dirawat di ruang Saraswati secara umum sebelumnya sudah pernah dirawat di ruang Kresna laki-laki ataupun perempuan. Mereka juga sudah mendapatkan terapi generalis walaupun sebagian besar belum tuntas dilakukan di ruangan Kresna sebelum di pindah ke ruangan Saraswati. Di ruangan Saraswati klien diberikan intervensi lanjutan dari terapi yang sudah diberikan pada ruangan sebelumnya. Pemberian terapi yang berkelanjutan memungkinkan klien untuk mendapatkan terapi keperawatan secara lengkap dan memberikan dampak yang efektif bagi klien sehingga klien siap untuk pulang. Penatalaksanaan keperawatan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial di ruangan Saraswati, menggunakan pendekatan proses keperawatan dengan menggunakan format asuhan keperawatan yang dimulai dari pengkajian, perumusan diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang sudah tersedia di ruangan. Selanjutnya mendokumentasikan tindakan dan kemampuan pasien dan keluarga pada catatan perkembangan klien. Hasil observasi dan wawancara terhadap perawat ruangan, didapatkan data bahwa secara umum perawat melakukan asuhan keperawatan berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dari hasil pengkajian yang dilakukan. Pemberian asuhan keperawatan diberikan pada pasien dan kepada keluarga berupa pendidikan kesehatan bagaimana cara merawat klien berdasarkan masalah yang ditemukan. Penatalaksanaan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial yang diberikan secara berkelompok, baik pada klien maupun keluarga, sudah dilakukan oleh semua perawat. Penatalaksanaan secara berkelompok pada pasien dilaksanakan dalam bentuk terapi aktifitas kelompok (TAK) sosialisasi. Penatalaksanaan pendidikan keluarga secara berkelompok dilakukan tiap triwulan bersama dengan ruangan lain, sesuai dengan jadual Universitas Indonesia

72 55 pendidikan kesehatan (penkes) yang telah ditetapkan oleh RSMM. Materi yang diberikan saat penkes, yaitu gangguan jiwa secara umum, belum spesifik membahas penanganan masalah harga diri rendah ataupun isolasi sosial Penatalaksaan Medis. Penanganan medis pasien dengan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial di ruangan Saraswati diberikan berdasarkan diagnosis medis pasien. Sebagian besar pasien harga diri rendah dan isolasi sosial yang dirawat memiliki diagnosis medis Skizofrenia paranoid sehingga terapi medis yang diberikan untuk pasien pada umumnya yaitu kombinasi antara Haloperidol 5 mg, Trihexiphenidyl 2 mg, dan Chlorpromazine 50 mg. Universitas Indonesia

73 BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA KLIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH DAN ISOLASI SOSIAL DI RUANG SARASWATI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami harga diri rendah (HDR) dan isolasi sosial (Isos). Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan dengan pendekatan model Stuart yaitu pengkajian faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping dan model Interpersonal Peplau. Penegakan diagnosa keperawatan dirumuskan dari data yang ditemukan. Intervensi dan pelaksanaan terapi keperawatan berdasarkan pengkajian dan perumusan diagnosa yang ditegakan yaitu dari intervensi generalis hingga terapi spesialis. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial yang meliputi karakteristik klien, hasil pengkajian, diagnosa keperawatan dan diagnosa medik, penatalaksanaan, hasil, kendala serta rencana tindak lanjut. 4.1 Input Komponen model interpersonal Peplau yang termasuk dalam input adalah fase orientasi dan identifikasi Orientasi Perawat memulai dengan proses orientasi. Pada tahap ini perawat berusaha untuk membina hubungan yang trust dengan klien. Perawat memperkenalkan diri, menjelaskan peran perawat dan klien dalam perawatan yang akan dilaksanakan selama beberapa waktu kedepan. Setelah terbina hubungan saling percaya antara klien dengan perawat maka selanjutnya masuk pada tahap fase identifikasi. 56 Universitas Indonesia

74 Identifikasi Pada tahap ini perawat berusaha menggali faktor-faktor biopsikososial untuk menjelaskan respon destruktif dan konstruktif dari klien sehingga pada akhirnya perawat dan klien dapat menyimpulkan kebutuhan belajar untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien Hasil Pengkajian Klien dengan Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Kegiatan pelaksanaan manajemen kasus spesialis diawali dengan pengkajian. Pengkajian klien dengan HDR dan Isos yang terdiri dari pengkajian karakteristik klien (data demografi) dan pengkajian kondisi klinis klien. Pengkajian kondisi klinis klien dilakukan menggunakan model stress adaptasi Stuart. Model ini terdiri dari pengkajian faktor presdisposisi, presipitasi, peniliaian terhadap stressor, sumber koping, dan mekanisme koping. a. Karakteristik Klien Karakteristik klien harga diri rendah dan isolasi sosial di ruang Saraswati dikelompokkan berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, onset dan frekuensi dirawat. Tabel 4.1 Karakteristik Usia Klien dengan Harga diri rendah dan Isolasi sosial di Saraswati, Periode 19 September-15 November 2013 (n = 10) Variabel N Mean Median SD Min-Maks Usia 10 66, , tahun Onset 10 3,50 3, tahun Frek. Dirawat 10 2,30 2,00 1, kali Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa rata-rata usia klien secara keseluruhan adalah 66,20 tahun dengan nilai mediannya adalah 67 tahun sedangkan standar deviasi pada keseluruhan responden adalah 5,731. Usia terendah pada responden adalah 58 tahun dan usia tertua Universitas Indonesia

75 58 adalah 74 tahun. Onset gangguan jiwa yang terjadi pada pasien rata-rata 3,5 tahun dengan onset terendah adalah 1 tahun dan yang tertinggi adalah 7 tahun sedangkan rata-rata frekuensi dirawat adalah 2.30 kali. Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Klien dengan Harga diri rendah dan Isolasi sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) No Variabel Jumlah Presentase 1. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. perempuan 2. Pendidikan a. SD/SR b. SMP c. SMA % 60% 60% 30% 10% 3. Pekerjaan a. Tidak bekerja % 4. Status Perkawinan a. Menikah (pasangan masih ada) b. Janda/duda % 60% Klien yang berjenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 6 orang (60%). Tingkat pendidikan klien yang paling banyak adalah SD sebanyak 6 orang (60%). Klien seluruhnya tidak bekerja sebanyak 10 orang (100%). Sebagian besar status perkawinan klien adalah janda/duda sebanyak 6 orang (60%). b. Faktor Predisposisi Menurut Stuart (2009) faktor predisposisi adalah faktor yang melatarbelakangi masalah yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik biologis, psikososial dan sosial kultural (Tabel 4.3). Universitas Indonesia

76 59 Tabel 4.3 Distribusi Faktor Predisposisi pada Klien Harga diri rendah dan isolasi sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) No Faktor Predisposisi Jumlah Persentase 1. Biologis a. Genetik b. Riwayat gangguan jiwa sebelumnya c. Penyakit fisik 2. Psikologis a. Introvert b. Riwayat kekerasan c. Kehilangan / kegagalan 3. Sosial a. Ekonomi menengah b. Pendidikan rendah c. Jarang terlibat kegiatan sosial % 80% 30% 70% 20% 60% 80% 90% 50% Hasil pengkajian menunjukkan bahwa klien mempunyai beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa. Pada faktor biologis yang banyak teridentifikasi pada masalah HDR dan Isos yaitu riwayat gangguan jiwa sebelumnya sebanyak 8 orang (80%). Faktor psikologis ditemukan 7 orang (70%) memiliki kepribadian introvert. Sikap ini ditemukan pada klien saat menghadapi masalah. Sedangkan pada faktor Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi klien dengan HDR dan Isos adalah status ekonomi menengah kebawah yaitu sebanyak 8 orang (80%). c. Faktor presipitasi Faktor presipitasi merupakan stressor yang dihadapi klien yang mencetuskan perilaku kekerasan. Stuart (2009) menyatakan faktor presipitasi ini meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (tabel 4.4). Universitas Indonesia

77 60 Tabel 4.4 Distribusi Faktor Presipitasi pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) N Faktor Presipitasi Jumlah Persentase o 1. Sifat a. Biologis - Putus obat b. Psikologis - Keinginan tidak terpenuhi - gagal bekerja - Merasa tidak berguna c. Sosial budaya - Masalah ekonomi - Konflik lingkungan/tetangga - Konflik keluarga 2. Asal Stresor a. Internal b. Eksternal 3. Waktu a. 6 bulan b. > 6 bulan 4. Jumlah Stresor a. 1-2 Stresor b. > 2 Stresor % 50% 50% 60% 60% 20% 30% 90% 100% 40 % 60 % 30 % 70 % Tabel 4.3 memaparkan data tentang faktor presipitasi gangguan jiwa pada klien HDR dan isos, sama halnya dengan faktor predisposisi, klien juga memiliki beberapa faktor presipitasi. Data menunjukkan berdasarkan sifat stressor ditemukan bahwa faktor presipitasi biologis adalah karena putus obat sebanyak 7 orang (70%). Klien merasa jenuh dan bosan meminum obat. Stresor psikologis disebabkan karena adanya perasaan yang tidak berguna sebesar 60%. Stresor sosial budaya sebagian karena adanya masalah sosial ekonomi yang rendah yaitu sebesar 60%. Sumber permasalahan pada klien sebagian besar berasal dari individu (internal), sebesar 90%. Lama klien terpapar stresor sebagaian besar lebih dari dari 6 bulan yaitu 6 orang (60%) dan sebesar 70% klien mempunyai lebih dari 2 stressor. Universitas Indonesia

78 61 d. Penilaian Terhadap Stresor Respon klien terhadap stressor dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial (Stuart, 2009). Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap sumber stres. Tabel 4.5 Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) No Penilaian Terhadap Stresor Isolasi Sosial Harga diri rendah n Mean Mean 1 Respon Kognitif 10 26,25 27,14 2 Respon Afektif 10 24,87 25,57 3 Respon Perilaku 10 26,66 27,83 4 Respon Sosial 10 27, Respon Fisiologis 10 25,37 28,6 Jumlah Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa rata-rata penilaian terhadap stressor pada 10 klien isolasi sosial pada respon kognitif 26,25, respon afektif sebesar 24,87, respon perilaku sebesar 26,66, respon sosial sebesar 27,33, respon fisiologis sebesar 25,37 dan secara keseluruhan respon klien isolasi sosial sebesar 130,48. Sedangkan penilaian stresor pada masalah harga diri rendah didapatkan gambaran rata-rata respon kognitif klien sebelum diberikan terapi reminiscence sebesar 27,14 respon afektif sebesar 25,57, respon perilaku sebesar 27,83, respon sosial sebesar 30, respon fisik sebesar 28,6 dan secara komposit didapatkan respon klien harga diri rendah sebesar 139,14. Secara rinci tanda yang muncul pada masing-masing respon klien dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5. e. Sumber Koping Sumber koping merupakan kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya. Menurut Stuart (2009), sumber koping terdiri dari Universitas Indonesia

79 62 kemampuan individu, dukungan sosial, ketersediaan materi, dan keyakinan positif (Tabel 4.6) Tabel 4.6 Distribusi Sumber Koping pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) No Sumber Koping Jumlah Persentase 1. Kemampuan Personal a. Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi Isos dan HDR a. Tahu dan mampu cara mengatasi Isos dan % 30 % HDR 2. Dukungan Sosial a. Dukungan keluarga - Ada, mampu merawat 4 40 % - Ada, tidak mampu merawat b. Dukungan kelompok - Tidak ada c. Dukungan masyarakat - Tidak ada 3. Ketersediaan Aset a. Pembayaran Jamkesmas/Jamkesda b. Jangkauan ke Pelayanan Kesehatan - Jauh - Dekat/Terjangkau % 100 % 100 % 100 % 30 % 70 % 4. Keyakinan Positif a. Yakin akan sembuh % Sebanyak 7 orang (70 %) klien HDR dan Isos yang tidak tahu cara mengatasi masalah yang dialami oleh klien. Dukungan sosial yang didapatkan pada klien diantaranya sebagian besar memiliki dukungan keluarga tetapi tidak mengetahui perawatan klien yaitu sebesar 60%. Klien tidak mendapat dukungan kelompok dan dukungan masyarakat, masing-masing sebesar 100%. Semua klien mendapatkan fasilitas jamkesmas atau jamkesda dari pemerintah. Jarak rumah dan yankes terjangkau (70%). Pelayanan kesehatan jiwa yang dimaksud adalah rumah sakit, baik rumah sakit jiwa ataupun rumah sakit umum yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Keyakinan positif yang Universitas Indonesia

80 63 dimiliki oleh klien dengan HDR dan Isos yaitu seluruh klien yakin akan kesembuhan penyakitnya sebesar 100%. f. Koping mekanisme Koping mekanisme merupakan cara yang dilakukan klien saat menghadapi masalah (Tabel 4.7). Tabel 4.7 Distribusi Koping Mekanisme pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) No Koping Mekanisme Jumlah Persentase Diam/memendam masalah Marah-marah Menceritakan kepada orang lain % 60 % 40 % Koping mekanisme klien Harga diri rendah dan isolasi sosial sebagian besar klien menggunakan koping mekanisme memendam masalah, diam (represi, supresi, regresi) sebesar 70% Diagnosis Keperawatan dan Medik a. Diagnosa keperawatan Klien yang dikelola penulis memiliki diagnosa yang lain selain diagnosa HDR dan Isolasi sosial (Tabel 4.8), diketahui diagnosa penyerta yang paling banyak ditemukan adalah Defisit Perawatan diri sebesar 60% disusul Halusinasi sebesar 50%. Tabel 4.8 Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) Diagnosis Utama Harga diri rendah Isolasi sosial Diagnosis penyerta Jumlah Persentase Halusinasi 5 50% Defisit perawatan diri 6 60% Risiko perilaku kekerasan 2 20% Ketidakberdayaan 3 30 % Universitas Indonesia

81 64 b. Diagnosis dan Terapi Medis Berikut akan dipaparkan diagnosis medis pada klien HDR dan Isos di Ruang Saraswati RSMM Bogor. Tabel 4.9 Diagnosis Medis Pada Klien Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) Aspek Medis Diagnosis Medis: - Skizoprenia paranoid - Psikotik Kronis 7 3 n (10) 70% 30% Perse ntase (%) Rencana Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial Rencana penatalaksanaan pada klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah meliputi pemberian tindakan keperawatan terapi generalis dan spesialis, baik kepada individu maupun kepada keluarga yang disesuaikan berdasarkan standar asuhan keperawatan hasil workshop keperawatan jiwa FIK UI (2011). Klien yang diberikan tindakan keperawatan bukan hanya pada masalah isolasi sosial dan harga diri rendah, tetapi juga diagnosis lain yang didapatkan pada klien tersebut. Hal ini dikarenakan pada keperawatan jiwa, masalah klien saling berkaitan dan saling berpengaruh. Penulis selanjutnya akan menyampaikan penjelasan penatalaksanaan keperawatan yang telah diberikan kepada klien isolasi sosial dan harga diri rendah a. Rencana Tindakan 1) Terapi Generalis a) Tindakan keperawatan untuk klien isolasi sosial Tujuan: klien mampu membina hubungan saling percaya, klien mampu menyadari penyebab isolasi sosial, klien mampu berinteraksi dengan orang lain, klien mampu melakukan hubungan sosial. Universitas Indonesia

82 65 Tindakan: membina hubungan saling percaya, membantu klien menyadari penyebab perilaku isolasi sosial, dan melatih klien berkenalan dengan orang lain secara bertahap, mampu melakukan interaksi dalam hubungan sosial. b) Tindakan keperawatan untuk klien harga diri rendah Tujuan: klien mampu membina hubungan saling percaya, klien mampu mengenal penyebab harga diri rendah, klien mampu mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki, klien dapat memilih 1 kemampuan yang dimiliki untuk dilakukan di rumah sakit, klien dapat melakukan 2 kemampuan positif pada pertemuan berikutnya, klien dapat mengetahui manfaat melakukan kemampuan yang dilakukan. Tindakan: membina hubungan saling percaya, membantu klien mengidentifikasi penyebab harga diri rendah dan mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki, klien dapat memilih 1 kemampuan yang dimiliki untuk dilakukan di rumah sakit, klien dapat melakukan 2 kemampuan positif pada pertemuan berikutnya, klien dapat mengetahui manfaat melakukan kemampuan yang dilakukan. 2) Terapi spesialis Terapi spesialis diberikan berdasarkan analisis masalah yang ditemukan pada klien. Terapi spesialis diberikan sesuai dengan kebutuhan klien. Terapi spesialis yang dilakukan pada klien lansia dengan isolasi sosial dan harga diri rendah adalah terapi reminiscence. 4.2 Proses Eksploitasi Setelah penulis melakukan pengkajian dan merumuskan masalah maka selanjutnya disusunlah rencana tindakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh klien. Kemudian penulis melakukan kontrak pertemuan untuk melaksanakan terapi yang telah ditentukan berdasarkan hasil analisa data Universitas Indonesia

83 66 dari pengkajian yang telah dilakukan di fase identifikasi. Fase eksploitasi merupakan fase dimana penulis mengimplementasikan rencana tindakan yang telah disusun. Pada fase ini penulis berperan sebagai seorang konselor, pendidik dan pemimpin dalam terapi Reminiscence yang dilakukan secara berkelompok. Pada tahap eksploitasi manajemen keperawatan sudah mencapai pada implementasi asuhan keperawatan berdasarkan kebutuhan klien. Implementasi keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi generalis dilakukan pada oleh perawat ruangan dan mahasiswa D3 Keperawatan yang sedang praktik di ruang Saraswati penulis (tabel 4.10). Tabel 4.10 Distribusi Tindakan Keperawatan Generalis Pada Klien Harga diri rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Dr.Marzoeki Mahdi Bogor 13 September 15 November 2013 (n=10) No Standar Tindakan keperawatan generalis untuk n % klien 1 Mengidentifikasi penyebab harga diri rendah Mengidentifikasi aspek positif yang dimiliki klien Melatih klien memilih aspek positif yang akan dilatih Melatih klien untuk melakukan / melatih aspek positif yang dimilikinya 5 Mengidentifikasi penyebab klien manarik diri Melatih klien cara berkenalan dengan orang lain Berkenalan dengan dua orang atau lebih Melatih klien berbicara dalam kelompok Berdasarkan table 4.10 di atas, tindakan generalis individu pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial sudah diberikan terhadap semua klien hingga selesai. Pelaksanaan terapi generalis individu ini rata-rata dilakukan 2-3 kali pada tiap sp. Terapi spesialis yang diberikan pada klien yang mengalami harga diri rendah dan isolasi sosial di ruang Saraswati adalah terapi Reminiscence. Terapi Reminiscence ini dilakukan secara berkelompok. Sebelum pelaksanaan terapi Reminiscence, penulis melakukan evaluasi terhadap Universitas Indonesia

84 67 kemampuan generalis klien, hal ini perlu dilakukan oleh penulis agar pada saat pelaksanaan terapi Reminiscence yang dilakukan secara berkelompok, klien sudah siap dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi didalam kelompok. Setelah memastikan bahwa semua klien sudah mempunyai kemampuan terapi generalis baik untuk masalah harga diri rendah dan isolasi sosial, maka selanjutnya klien dipersiapkan untuk mengikuti terapi Reminiscence. Pada pelaksanaannya 10 orang klien dibagi dalam 2 kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 5 orang klien. Tiap kelompok dilakukan terapi Reminiscence sebanyak 12 sesi, kelompok 1 terapi Reminiscence ini diselesaikan dalam 8 kali pertemuan sedangkan kelompok 2 diselesaikan dalam 10 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan terapi Reminiscence adalah kemampuan mengungkapkan atau menceritakan kembali pengalam hidup yang paling berkesan bagi klien kepada anggota kelompok lainnya kemudian penulis yang berperan sebagai pendidik membantu klien memaksimalkan hal positif dari pengalaman yang menyenangkan tersebut. Pada pelaksanaan terapi Reminiscence penulis juga berperan sebagai leader dimana penulis memimpin kegiatan dan memberikan arahan sesuai dengan jalannya terapi. Saat pertama kali terapi dilaksanakan klien mengalami kesulitan untuk memulai sehingga penulis memainkan peran sebagai seorang socializing agent yang memberikan contoh bagaimana berinteraksi dan menceritakan pengalaman hidup yang menyenangkan didalam kelompok sehingga klien mendapatkan gambaran dan mampu melakukan seperti yang telah dilakukan penulis dan klien mampu menceritakan pengalaman hidup secara spontan tanpa bantuan motivasi dan contoh dari penulis adalah pada sesi ketiga dimana klien sudah mengikuti 2 3 kali pertemuan dalam terapi Reminiscence. Universitas Indonesia

85 Terapi Medis Sebagian besar klien didiagnosis dengan skizofrenia paranoid (70%). Terapi psikofarmaka diberikan golongan APG 1 pada 8 klien dan kombinasi dengan kombinasi APG 2 pada 2 klien. Pemberian terapi psikofarmaka jenis anti psikotik terbanyak pada chlorpromazine 50 mg (1 tablet perhari), triheksipenidil 2 mg (3 tablet sehari) dan haloperidol 5 mg (2-3 tablet perhari) serta Risperidon 1 mg (2 tablet sehari. 4.3 Output Merujuk pada model interpersonal Peplau maka yang termasuk pada tahap output adalah fase resolusi dimana pada fase ini penulis mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini, penulis melakukan evaluasi kemampuan klien yang mengalami harga diri rendah dan isolasi sosial setelah mendapatkan terapi keperawatan baik terapi generalis maupun terapi spesialis. Evaluasi yang penulis lakukan meliputi aspek kognitif, afektif, perilaku, fisiologis dan sosial Evaluasi Hasil Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan kepada klien. Evaluasi dilakukan terhadap terapi generalis dan terapi spesialis yang telah diberikan Terapi Generalis Kemampuan klien harga diri rendah dalam melakukan terapi generalis adalah meningkatnya kemampuan seluruh klien dalam : 1) mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki; 2) menilai kemampuan yang masih bisa digunakan; 3) memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan; 4) melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih dan memasukannya kedalam jadual kegiatan harian sedangkan pada klien isolasi sosial dalam melakukan terapi generalis setelah dilatih adalah : seluruh klien telah mampu: 1) mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, 2) mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain dan Universitas Indonesia

86 69 kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, 3) melakukan latihan berkenalan, 4) berbicara dalam berhubungan sosial Terapi Spesialis Evaluasi hasil dilakukan dengan membandingkan respon kognitif, afektif, perilaku, sosial dan fisik pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial pada saat pengkajian dengan respon setelah diberikan terapi Reminiscence. Kemampuan yang telah dimiliki klien setelah mengikuti terapi Reminiscence dapat dilihat pada tabel 4.11 Tabel 4.11 Distribusi Hasil Evaluasi Terapi Keperawatan pada Klien Harga diri rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati RSMM Bogor 13 September 15 November 2013 No KEMAMPUAN TERAPI REMINISCENCE PADA KLIEN n % 1 Memperkenalkan diri didalam kelompok Mengidentifikasi masalah yang dirasakan Mengidentifikasi harapan Mengungkapkan pengalaman masa kecil yang mengesankan Mengungkapkan pengalaman kehidupan keluarga yang mengesankan 6 Mengingat kenangan tentang guru Mengingat kenangan tentang teman Mengingat kenangan permainan yang menyenangkan Mengingat kenangan saat bekerja Mengingat kenangan saat bertemu pasangan Mengingat kenangan saat pernikahan Mengingat kenangan pada rumah, kebun, binantang Mengingat kenangan saat mengasuh anak Mengingat kenangan pada masakan dan makanan Mengingat kenangan saat libur Mengingat kenangan pada hari perayaan/raya Mengenang kenangan yang berkesan dan memberi semangat hidup bagi lansia 18 Mengungkapkan manfaat terapi dan memaknai pengalaman hidup Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa semua klien yang mengikuti terapi Reminiscence telah mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan didalam kelompok tentang pengalaman yang mengesankan atau mnyenangkan yang pernah dialami. Universitas Indonesia

87 70 Tabel 4.12 akan menjelaskan tentang hasil penilaian respon yang ditunjukkan oleh klien sebelum dan sesudah diberikan terapi Reminiscence. Tabel 4.12 Distribusi Penilaian Stresor pada Klien dengan masalah Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Reminiscence di Ruang Saraswati, Periode 13 September-15 November 2013 (n = 10) N o Penilaian Terhadap Stresor 1 Respon Kognitif 2 Respon Afektif 3 Respon Perilaku 4 Respon Sosial 5 Respon Fisiologis Isolasi Sosial Harga diri rendah n Mean sebelum Mean sesudah Selisih Menan sebelum Mean sesudah Selisih 10 26,25 18,42 7,8 27,14 20,43 6, ,87 16,12 8,75 25,57 18,86 6, ,66 19,16 7,5 27,83 17,66 10, , , ,4 10, ,37 17, ,6 19,6 9 Hasil dari pemberian terapi Reminiscence menunjukkan adanya penurunan tanda dan gejala HDR dan Isos pada klien. Berdasarkan tabel 4.12 didapatkan gambaran respon klien dengan masalah isolasi sosial terjadi perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah diberikannya terapi Reminiscence dimana rata-rata respon kognitif sebelum diberikan terapi sebesar 26,25 dan setelah diberikan terapi Reminiscence menjadi 18,42. Rata-rata respon afektif sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 24,87 dan setelah diberikan terapi sebesar 16,12. Rata-rata respon perilaku sebelum diberikan terapi reminiscence sebesar 26,66 dan setelah diberikan sebesar 19,16. Rata-rata respon sosial sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 27,33 dan setelah diberikan terapi Reminiscence menjadi sebesar 18. Rata-rata respon fisik sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 25,37, dan setelah diberikan terapi menjadi sebesar 17,37. Rata-rata respon secara keseluruhan sebelum diberikan terapi Reminiscence Universitas Indonesia

88 71 sebesar 130,48 dan sesudah diberikan terapi Reminiscence sebesar 89,07. Sedangkan pada diagnosis harga diri rendah didapatkan gambaran respon klien terjadi perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah diberikannya terapi Reminiscence dimana rata-rata respon kognitif sebelum diberikan terapi 27,14 dan setelah diberikan terapi menjadi 20,43. Rata-rata respon afektif sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 25,57 dan setelah diberikan terapi menjadi sebesar 18,86. Rata-rata respon perilaku sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 27,83 dan setelah diberikan terapi menjadi sebesar 17,66. Rata-rata respon sosial sebelum diberikan terapi Reminiscence besar 30 dan setelah diberikan terapi sebesar 19,5. Rata-rata respon fisik sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 28,6 dan setelah diberikan terapi menjadi sebesar 19,6. Rata-rata respon secara keseluruhan sebelum diberikan terapi Reminiscence sebesar 139,14 dan sesudah diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 95,95. Secara rinci perbandingan penilaian sebelum dan sesudah diberikan terapi dapat dilihat pada lampiran 4 dan Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Klien Ruangan Saraswati merupakan salah satu ruangan yang digunakan oleh beberapa institusi pendidikan keperawatan sebagai lahan praktek. Banyaknya mahasiswa yang praktik terkadang membuat klien menjadi jenuh karena seringkali ditanya dengan hal yang sama. Selain itu beberapa klien yang terlihat kurang termotivasi dalam mengikuti terapi Reminiscence sehingga perawat perlu waktu yang cukup lama untuk memotivasi klien. Pemberian obat-obatan golongan antipsikotik tipikal seperti haloperidol, chlorpromazine dan triheksipenidil serta Risperidon pada klien juga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan terapi. Efek samping penggunaan jangka panjang obat-obatan ini akan memperberat gejala negatif yang ada. Universitas Indonesia

89 72 Penurunan motivasi untuk melakukan aktifitas termasuk motivasi untuk melakukan interaksi sosial dan emosi yang tumpul Keluarga Keluarga sangat jarang menjenguk klien hal ini menunjukkan motivasi atau kesadaran keluarga dalam membantu perawatan klien juga masih kurang. Berbagai alasan yang disampaikan keluarga seperti jarak rumah yang jauh dari rumah sakit, sibuk bekerja dan kendala biaya serta keinginan anggota keluarganya di rawat lebih lama lagi di rumah sakit dengan alasan takut terjadi kekambuhan Lingkungan Perawatan Hal yang dirasakan sebagai kendala adalah tidak ada ruangan khusus untuk TAK dimana pelaksanaan terapi Reminiscence yang dilakukan secara berkelompok dilaksanakan di ruang tengah yang biasanya digunakan oleh klien untuk menonton TV atau di halaman samping ruangan. Tidak adanya ruang khusus ini sering membuat kegiatan terapi terganggu karena kadangkadang terinterupsi dengan klien lain atau peristiwa lain diruangan seperti saat pembagian snack yang membuat klien yang sedang mengikuti terapi menjadi terdistraksi. 4.5 Rencana Tindak Lanjut Klien : Klien dengan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial yang telah diberikan terapi baik terapi generalis baik individu maupun kelompok didelegasikan kepada perawat ruangan meliputi perkembangan terapi dan kemampuan yang sudah dimiliki oleh klien, sehingga pelaksanaan terapi dapat dilaksanakan secara kontinyu dan tidak tumpang tindih Keluarga: a. Memberikan informasi tentang pentingnya dukungan keluarga bagi klien karena akan saling mendukung dalam proses perawatan klien. Universitas Indonesia

90 73 b. Memfasilitasi kegiatan family gathering kepada keluarga untuk memberikan informasi meliputi cara perawatan klien dirumah, kontrol ke Rumah sakit atau Puskesmas yang terjangkau, melibatkan kader kesehatan jiwa yang ada sehingga setelah klien pulang kerumah, keberlanjutan proses pengobatan dan perawatan masih tetap dapat dipertahankan untuk mengurangi resiko kekambuhan klien. Keluarga sebaiknya rutin mengunjungi klien agar terpelihara dukungan sosial bagi klien. Selain itu keluarga juga dapat melakukan perawatan klien di RS sehingga meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien Lingkungan Perawatan a. Lingkungan perawatan di rumah sakit perlu diciptakan suasana yang mendukung dan kondusif baik pada perawat yang berada di struktural maupun perawat fungsional ada hubungan yang saling mendukung dalam melakukan manajemen pelayanan dan manajemen asuhan keperawatan terhadap klien. Bentuk hubungan yang saling mendukung antara lain pendokumentasian asuhan secara kontinyu untuk memudahkan pengelolaan klien, monitoring dan evaluasi terhadap kemampuan perawat pelaksana dalam kegiatan manajerial dan asuhan keperawatan, serta pengoptimalan sistem penghargaan dan kompensasi bagi perawat pelaksana yang memiliki potensi serta kinerja yang baik. b. Perlunya kerjasama antar tim kesehatan dalam perawatan klien dengan cara mendiskusikan masalah yang didapatkan serta perkembangan klien selama masa perawatan, sehingga dapat diberikan paket terapi yang tepat dan efisien bagi klien yang saling mempengaruhi terhadap proses perawatan klien. c Manajemen RS Meningkatkan dukungan dengan cara memfasilitasi dukungan fisik seperti fasilitas ruangan yang menunjang pelaksanaan terapi seperti ruangan khusus serta fasilitas untuk peningkatan dukungan keluarga Universitas Indonesia

91 74 dalam merawat klien seperti adanya kunjungan rutin yang dilaksanakan kekeluarga dan masyarakat setempat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan support system terhadap masalah gangguan jiwa yang dialami klien. Universitas Indonesia

92 BAB 5 PEMBAHASAN Bab ini membahas tentang hasil penerapan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien dengan Harga diri rendah dan isolasi sosial yang dilaksanakan diruang Saraswati RSMM Bogor. Pembahasan mengacu pada kerangka konsep yang menggunakan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart meliputi predisposisi, presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme koping serta aplikasi dari model Interpersonal Peplau. 5.1 Input Komponen model interpersonal Peplau yang termasuk dalam input adalah fase orientasi dan identifikasi Orientasi Peplau mengidentifikasikan 4 fase dari hubungan perawat dan klien yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi (Tomey & Aligood, 2006). Fase orientasi dimulai diawal pertama sekali perawat dan klien bertemu dimana perawat berperan sebagai orang asing bagi klien. Perawat harus menempatkan klien dengan penuh perasaan dan secara sopan serta menerima klien apa adanya. Fase ini ditandai dengan adanya rasa membutuhkan pertolongan/bantuan dari klien kepada perawat terhadap masalah yang dialaminya sehingga perawat dapat menolong dan menentukan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah klien. Penggunaan diri secara terapeutik dan kemampuan melakukan tehnik terapeutik memiliki pengaruh yang besar akan terciptanya hubungan saling percaya. Setelah terbina hubungan saling percaya antara klien dengan perawat maka selanjutnya masuk pada tahap fase identifikasi. Pada tahap ini pasien digiring mengenal kebutuhan untuk belajar. Perawat dengan keahliaanya mengkaji pengetahuan dan pengalaman terdahulu, menentukan tujuan pembelajaran dan mendiskusikan bahan pengajaran. Perawat menjadi sumber pengajar dan konselor bagi pasien (Peplau, 1997). 75 Universitas Indonesia

93 Identifikasi Tahap identifikasi dilakukan oleh perawat dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap masalah yang muncul pada klien. Pada tahap ini hubungan perawat dan klien sudah terbina dengan baik sehingga perawat dapat menggali permasalahan yang klien alami. Pada tahap ini bila dikaitkan dengan dengan model Stuart, maka yang termasuk dalam kondisi diatas adalah faktor presipitasi/ faktor pencetus yang dalam hal ini terkait dengan suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman atau tuntutan dan penilaian terhadap stresor serta sumber koping. Pada tahap ini perawat berusaha menggali faktor-faktor biopsikososial untuk menjelaskan respon destruktif dan konstruktif dari klien sehingga pada akhirnya perawat dan klien dapat menyimpulkan kebutuhan belajar untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Tujuan akhir dari tahap ini adalah untuk memberikan kesempatan pada pasien untuk berada pada level siap menerima tanggung jawab terhadap perawatan dirinya (Peplau, 1997) Hasil Pengkajian Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial di Ruang Saraswati Hasil pengkajian karakteristik klien terdiri usia, pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan sebagai berikut: a. Karakteristik Klien 1) Usia Klien yang dirawat dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah di ruang Saraswati rata-rata berusia 66,2 tahun dengan usia terendah 58 tahun dan usia tertua adalah 74 tahun, hal ini sesuai dengan data yang diungkapkan dalam Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa risiko gangguan jiwa meningkat dengan bertambahnya usia seseorang. Perkembangan psikososial lanjut usia (>65 tahun) adalah tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan menyebabkan lansia berusaha membimbing generasi berikutnya (anak dan cucu) Universitas Indonesia

94 77 berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalu karena tidak merasakan hidupnya bermakna (Keliat, 2011). Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi stresor untuk perkembangan berikutnya. Kondisi tersebut akan menyebabkan individu merasa rendah diri merasa gagal dalam memenuhi tuntutan sosialnya dan apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri rendah kronis yang mengakibatkan munculnya perilaku menarik diri dari lingkungan. 2) Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya gangguan jiwa. Karakteristik jenis kelamin pada lansia secara keseluruhan paling banyak adalah perempuan 6 orang (60%). Fakta ini sesuai dengan dikemukakan oleh Stuart (2009) yang menyatakan bahwa wanita berisiko % untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Norman, Whooley dan Lee yang menunjukkan bahwa wanita 2 kali lebih berisiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki (Landefeld et al, 2004). Hal ini dimungkinkan terjadi karena wanita mempunyai peran yang lebih kompleks mulai dari mengurus rumah tangga, mengasuh anak sampai menjadi tulang punggung keluarga hal ini makin diperparah dengan adanya konflik yang terjadi didalam keluarga. 3) Pendidikan Latar belakang pendidikan yang paling banyak adalah Sekolah Rakyat (SR) yaitu setingkat SD sebanyak 6 orang (60%), 3 orang SMP dan hanya 1 orang yang SMA. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara Universitas Indonesia

95 78 penilaian klien terhadap stresor. Stuart (2009) menyatakan bahwa strategi koping sangat berhubungan dengan fungsi kognitif. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan berbanding lurus dengan keterampilan koping yang dimiliki. Dengan demikian maka latar belakang pendidikan seseorang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola pikir dalam menghadapi suatu masalah dimana alternatif pemecahan masalah lebih terbatas, apabila tindakan atau keputusan yang diambil tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik maka akan menimbulkan frustasi dan dapat berdampak pada munculnya gangguan jiwa. Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki penalaran yang rasional dan bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian tingkat pendidikan yang dimiliki oleh klien sangat mempengaruhi proses pemberian terapi sebagai proses belajar yang bertujuan terjadinya perubahan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor kearah yang lebih adaptif. Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah dan mengambil suatu keputusan terhadap kondisi kesehatan jiwa yang saat ini terganggu. Stuart (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan jiwa. 4) Status Pekerjaan Karakteristik riwayat pekerjaan pada lansia secara keseluruhan adalah tidak bekerja 10 orang (100%). Status pekerjaan biasanya dapat dihubungkan dengan status ekonomi. Klien yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak memiliki penghasilan atau disebut status sosial ekonomi rendah. Townsend (2009) mengatakan sosial ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa. Universitas Indonesia

96 79 Usia lanjut ditandai dengan menurunnya produktifitas kerja, hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Mauk, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kondisi lansia yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja sehingga mereka tidak produktif lagi dan mereka harus bergantung pada orang lain. Sebagian besar lansia tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki sumber ekonomi yang memadai, sehingga memasuki usia tua mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap seperti dana pensiun, asuransi atau pasive income yang lain. Dampaknya sumber koping (dukungan finansial) tidak mendukung sehingga bisa timbul berbagai masalah kesehatan dan masalah psikologis bagi lansia seperti harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan keterasingan dari lingkungan atau isolasi sosial. Untuk itu support system, dukungan finansial, jaminan sosial dan perawatan kesehatan bagi lansia sangat dibutuhkan. 5) Status Perkawinan Karakteristik perkawinan pada lansia yang paling banyak adalah duda/janda (60%). Karakteristik perkawinan pada penelitian sebelumnya terkait dengan psikoterapi depresi pada lansia antara lain (Syarniah, Keliat, Hastono & Daulima, 2010) secara keseluruhan paling banyak adalah tidak menikah yakni 65 orang (86,7%). (Barathy, Keliat & Besral, 2011) secara keseluruhan paling banyak adalah tidak menikah yakni 34 orang (47,2%) dan penelitian yang dilakukan oleh Wiyono, Keliat, Daulima (2013) juga mengungkapkan bahwa karakteristik lansia yang mengalami gangguan jiwa adalah yang tidak menikah. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa lansia yang tidak menikah, janda atau duda lebih berisiko mengalami gangguan jiwa. Universitas Indonesia

97 80 Suardiman (2011) menyebutkan bahwa lansia yang kehilangan pasangan atau menjadi janda atau duda serta tidak adanya support system dari keluarga dapat meningkatkan resiko terjadinya depresi. Keluarga, suami atau istri merupakan support system yang utama dan sebagai sumber koping bagi lansia untuk membantu menangani berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lansia. b. Faktor Predisposisi 1) Aspek biologis Hasil pengkajian terhadap faktor predisposisi klien didapatkan yaitu dari faktor biologi sebagian besar dari faktor genetik (60,%). Factor genetik memiliki peran terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita Skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 2007). Menurut Townsend (2009), faktor genetik biasanya ditemukan pada individu yang memiliki keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Klien yang dirawat oleh anggota keluaga yang mengalami gangguan jiwa akan mengadopsi perilaku orang yag mengasuh berpotensi mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan populasi. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui bahwa ada 3 orang klien yang mempunyai orang tua (ibu) yang mengalami gangguan jiwa dan memberikan pengasuhan pada klien sedangkan pada klien lainnya yang memiliki faktor genetik didapatkan dari kakek dan paman. Hal ini membuktikan bahwa memang secara genetik, gangguan jiwa memang diturunkan. 2) Faktor psikologis Faktor psikologi pada sebagian besar klien yakni kepribadian yang tertutup sedangkan pada pengalaman kehilangan atau kegagalan ditemukan pada 6 orang (60%). Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping Universitas Indonesia

98 81 dan keterampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Pengalaman masa lalu berupa kehilangan dan kegagalan yang dialami klien akan mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya dimana klien menjadi tidak percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain. Kondisi ini akan membuat individu lebih cenderung merasa rendah diri dan menarik diri dari orang lain dan lingkungannya. 3) Aspek sosial Budaya Faktor predisposisi selanjutnya adalah sosial budaya. Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa mengidentifikasi adanya faktor usia (100%), pendidikan yang rendah (90%), ekonomi menengah kebawah (80%) dan jarang terlibat dalam kegiatan social (50%). Aspek-aspek ini merupakan penyebab seseorang dapat mengalami gangguan jiwa. Hasil ini senada dengan teori sosial budaya yang menyatakan bahwa pengalaman seseorang sulit beradaptasi terhadap permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang rendah dan mekanisme koping yang buruk (Shives, 2012). Kemampuan komunikasi yang rendah akibat konsep diri yang negatif menyebabkan seseorang sulit dalam menyelesaikan masalah sehingga seseorang kehilangan minat dalam bersosialisasi. Stuart (2009) menyatakan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor pendukung klien dalam mengatasi masalah. Rendahnya kehidupan sosioekonomi juga akan mempengaruhi kehidupan sosial klien dan keluarga, rendahnya pemenuhan kebutuhan dan nutrisi keluarga sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh lingkungan dan menimbulkan perasaan rendah diri. Universitas Indonesia

99 82 c. Faktor Presispitasi Presipitasi faktor biologis klien didapatkan yaitu putus obat (70%). Putus obat yang dilaporkan klien karena rasa bosan dan jenuh harus selalu meminum obat, selain itu ada beberapa pasien yang tidak mampu bertoleransi terhadap efek samping. Kondisi ini yang sering memicu penghentian pengobatan secara sepihak dan memunculkan kembali gejala gangguan jiwa. Muller (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa penyebab utama relaps penderita Schizophrenia adalah berhenti mengkonsumsi antipsikotik sehingga fokus utama pengobaan schizophrenia adalah tindakan pencegahan relaps. Seluruh klien yang mengalami masalah isolasi sosial dan harga diri rendah memiliki stresor berasal dari diri klien sendiri dan juga ditambah dengan stresor dari luar diri pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) bahwa stresor dapat berasal dari internal maupun eksternal. Waktu terpaparnya stresor pada klien sebagian besar sudah mengalami gangguan jiwa > 6 bulan (60%) dan jumlah stresor yang dialami oleh klien lebih dari 2 stresor (70%). Kondisi ini menujukkan bahwa rata-rata klien sudah mengalami gangguan jiwa kronis. Jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu yang bersamaan akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waku. Setiap stresor atau masalah yang muncul membutuhkan penyelesaian sehingga semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu tersebut makin dituntut untuk memiliki penyelesaian koping yang adekuat dan makin bervariasi dalam mengatasi stresornya (Stuart dan Laraia, 2005). Presipitasi faktor psikologis yakni keinginan yang tidak terpenuhi (50%), gagal bekerja (50%) dan adanya perasaan tidak berguna (60%). Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara Universitas Indonesia

100 83 verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. d. Penilaian Stressor Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi yang dilakukan klien secara menyeluruh terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialami (Stuart, 2009). Berdasarkan hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan terhadap klien harga diri rendah dan isolasi sosial dapat dilihat bahwa rata-rata penilaian terhadap stressor pada 10 klien isolasi sosial pada respon kognitif 26,25, respon afektif sebesar 24,87, respon perilaku sebesar 26,66, respon sosial sebesar 27,33, respon fisiologis sebesar 25,37 dan secara keseluruhan respon klien isolasi sosial sebesar 130,48. Sedangkan penilaian stresor pada masalah harga diri rendah didapatkan gambaran rata-rata respon kognitif klien sebelum diberikan terapi reminiscence sebesar 27,14 respon afektif sebesar 25,57, respon perilaku sebesar 27,83, respon sosial sebesar 30, respon fisik sebesar 28,6 dan secara komposit didapatkan respon klien harga diri rendah sebesar 139,14. Respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah dalam menghadapi stresor tersebut sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) yang melihatnya dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Kelima aspek tersebut dijadikan pedoman dalam penilaian terhadap respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah kronis dalam karya ilmiah ini. Didapatkannya penilaian terhadap stresor pada kelima respon tersebut mendorong penulis untuk memberikan terapi Reminiscence yang bertujuan untuk meningkatkan respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosialnya melalui kegiatan mengenang kembali dan memaknai peristiwa yang menyenangkan dalam hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Universitas Indonesia

101 84 e. Sumber Koping Kemampuan personal yang dimiliki klien yaitu telah dilatih dan diajarkan bagaimana mengenal tentang masalah harga diri rendah dan isolasi sosial, klien sudah mampu menilai, memilih dan melatih aspek positif yang ada pada dirinya, sedangkan pada masalah isolasi sosial klien sudah mampu mengenal masalah isos dan berlatih berkenalan secara bertahap. Rendahnya dukungan yang dimiliki klien terlihat nyata bahwa hanya sedikit dukungan keluarga dan tidak ditemukan dukungan kelompok. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kunjungan keluarga dan motivasi yang kurang dari keluarga untuk merawat klien dirumah. Menurut Stanhope & Lancaster (1996), keluarga sebagai struktur atau konteks menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber kesehatan ataupun sumber sakit bagi anggota keluarganya. Keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kondisi anggota keluarga baik secara fisik maupun mental. Jika ditilik dari pendekatan keluarga sebagai sistem, keluarga merupakan penderita yang pertama dan tampilan keluarga menunjukkan interaksi berbagai sistem yang terdapat pada keluarga tersebut. Adanya keluarga yang belum dapat memaksimalkan akses pelayanan kesehatan jiwa merupakan salah satu fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan konsep Friedman (2008) yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Sistem pendukung utama yang dibutuhkan oleh klien adalah orang terdekat dengan klien yaitu keluarga, jadi dalam hal ini seharusnya keluarga dapat berperan sebagai care giver dengan syarat keluarga telah mengetahui dan menguasai cara perawatan klien. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Stuart dan Laraia (2005) bahwa keluarga seharusnya menjadi tempat atau lembaga pengasuhan (care giver) yang paling dapat memberi kasih sayang, afektif, dan ekonomis. Universitas Indonesia

102 85 Ketersediaan aset ekonomi sangat mendukung klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Penggunaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas/Jamkesda) untuk biaya perawatan dan pengobatan selama di RS terbukti sangat membantu klien dan keluarga. Pengobatan yang gratis hendaknya meningkatkan motivasi klien dan keluarga untuk menuntaskan pengobatan. Hasil pengkajian sumber koping keyakinan positif pada klien, semuanya merasa yakin mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan dapat sembuh. Timbulnya penilaian ini berdasarkan keyakinan klien terhadap diri, pengobatan, petugas (perawat dan dokter). Keyakinan positif ini akan membantu proses penyembuhan klien karena akan membangkitkan semangat untuk sembuh. f. Mekanisme Koping Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan klien sebagai upaya mengatasi stressor untuk melindungi diri (Stuart, 2009). Mekanisme koping yang digunakan oleh klien rata-rata adalah mekanisme koping destruktif yaitu diam atau memendam masalah dan marah-marah, hanya ada 4 orang (40%) yang menggunakan koping yang konstruktif yaitu menceritakan masalahnya pada keluarga atau orang yang terdekat. Mekanisme koping merupakan gambaran kemampuan klien dalam mengatasi masalah. Berdasarkan hasil asuhan keperawatan menunjukkan bahwa sebagian besar klien tidak menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam mengatasi masalahnya, hal inilah yang menyebabkan klien tidak mampu mengatasi perasaan rendah diri akibat stressor yang dialami, akhirnya mengakibatkan munculnya masalah harga diri rendah yang juga memunculkan masalah isolasi sosial. Universitas Indonesia

103 Rencana Tindakan Pada fase identifikasi, setelah perawat dengan keahliannya mengkaji pengetahuan dan pengalaman terdahulu, selanjutnya adalah menentukan tujuan pembelajaran dan mendiskusikan bahan pengajaran. Pada fase ini, perawat menjadi sumber pengajar dan konselor bagi pasien (Peplau, 1997). Perawat harus mampu menjawab pertanyaan klien mengenai kesehatannya dan memberikan informasi mengenai rencana perawatan yang akan dijalani oleh klien selama di ruangan. 5.2 Proses Fase yang termasuk dalam tahap proses menurut model Interpersonal Peplau adalah fase eksploitasi Eksploitasi Output merupakan tahap selanjutnya setelah proses pelaksanaan asuhan keperawatan yang bertujuan untuk menyelesaian masalah. Merujuk pada model interpersonal Peplau maka yang termasuk pada tahap output adalah fase resolusi dimana pada fase ini perawat mengakhiri hubungan interpersonalnya dengan klien. Sebelum mengakhiri fase ini perawat mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif (kognitif, afektif dan psikomotor) berdasarkan kriteria tujuan keperawatan pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun Penerapan Terapi pada Klien Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial dengan Pendekatan Stress Adaptasi Stuart dan Model Interpersonal Peplau Setelah mendapatkan berbagai data, pada tahapan selanjutnya yaitu tahap eksploitasi, perawat melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan apa yang telah direncanakan pada fase identifikasi dalam hal ini adalah terapi Reminiscence. Penulis dalam memberikan Terapi Reminiscence menggunakan modul yang telah dikembangkan oleh Missesa, Keliat dan Universitas Indonesia

104 87 Wardani (2013) yang terdiri dari 12 sesi yaitu meliputi: Sesi 1: Pendahuluan; Sesi 2: Kenangan menyenangkan pada masa kanak-kanak dan dalam kehidupan keluarga; Sesi 3: Kenangan menyenangkan pada masa sekolah; Sesi 4: Kenangan menyenangkan dalam pekerjaan; Sesi 5: Kenangan menyenangkan saat pertemuan dengan pasangan atau teman dekat; Sesi 6: Kenangan menyenangkan saat pernikahan; Sesi 7: Kenangan menyenangkan tentang rumah, kebun, hewan piaraan; Sesi 8: Kenangan menyenangkan dalam mengasuh anak; Sesi 9 : Kenangan menyenangkan terhadap makanan / minuman favorit, memasak; Sesi 10: Kenangan menyenangkan saat kegiatan liburan / tempat-tempat menyenangkan; Sesi 11: Kenangan menyenangkan saat hari raya / acara perayaan dan sesi 12 : Evaluasi. Terapi Reminiscence ini dilakukan secara berkelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 5 orang klien dan setiap sesi dilaksanakan selama menit. Menurut Peplau, membangun rasa yang sama dengan komunitasnya dan membuat nyaman pada perubahan lingkungan, seperti berpartisipasi dalam group diskusi merupakan hal yang penting untuk mempertahankan gambaran diri yang positif dan kembali pada kesehatan yang optimal (Peplau, 1997). Hal ini yang mendasari penulis melakukan terapi ini secara berkelompok, selain itu juga untuk meningkatkan kemampuan klien dalam berkomunikasi secara berkelompok pada klien harga diri rendah yang juga mengalami isolasi sosial. Pada fase ini perawat berperan sebagai leader dimana perawat harus mampu memimpin klien untuk memecahkan masalah kesehatan melalui proses kerja sama dan partisipasi aktif klien dalam kelompok. Selain itu juga pada pelaksanaan terapi perawat berperan sebagai pendidik yaitu mengajarkan klien bagaimana cara meningkatkan harga diri dan kemampuan bersosialisasi melalui pemberian terapi pada kehidupan sehari-harinya sehingga kegiatan tersebut menjadi membudaya pada klien. Tahap eksploitasi ini dilakukan bersama klien sampai klien benar-benar Universitas Indonesia

105 88 mampu untuk menyampaikan pengalaman hidup yang menyenangkan di dalam kelompok serta mampu memaknai pengalaman hidup tersebut sehingga dapat menimbulkan perasaan bangga yang berdampak pada peningkatan harga diri klien. Setelah perawat merasa yakin bahwa klien telah mampu menguasai terapi yang dilatihkan, selanjutnya perawat melakukan identifikasi kembali terhadap kemampuan klien dalam melaksanakan kemampuan yang telah dilatihkan serta perawat membantu klien untuk mempersiapkan lepas dari ketergantungan terhadap perawat dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya yang termasuk dalam tahap akhir yaitu tahap resolusi. 5.3 Output Output merupakan tahap akhir dari penyelesaian masalah. Komponen yang termasuk dalam output ini adalah mekanisme koping yang terbentuk dari hasil pelaksanaan asuhan keperawatan dan evaluasi hasil serta rencana tindak lanjut dari asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial. Pada model Interpersonal Peplau, yang termasuk pada tahap ini adalah fase resolusi Resolusi Fase resolusi merupakan fase akhir dari pemberian asuhan keperawatan dari model Interpersonal Peplau. Sebelum mengakhiri fase ini perawat mengevaluasi kemampuan klien baik secara subjektif maupun objektif berdasarkan kriteria tujuan keperawatan, pada tahap ini klien sudah menemukan problem solving baru dalam mengatasi masalahnya dan mengaplikasikannya sehari-hari sesuai dengan jadual yang telah disusun. Evaluasi pada manajemen kasus spesialis ini dilakukan dengan membandingkan respon klien sebelum dan sesudah diberikan terapi Reminiscence. Respon ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, Universitas Indonesia

106 89 perilaku, dan sosial yang diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran harga diri rendah dan isolasi social Hasil akhir pelaksanaan terapi Reminiscence klien harga diri rendah dan isolasi sosial dengan pendekatan teori Peplau menunjukkan terjadi perubahan respon klien dalam mengatasi stressor yang ada. Perubahan respon berdampak kepada perilaku yang ditampilkan oleh klien dimana klien dapat menunjukkan peningkatan harga diri dan kemampuan sosialisasi yang meningkat, hal ini terlihat pada hasil rata-rata respon kognitif, afektif, fisik, psikomotor dan sosial klien. Perubahan ini sesuai dengan tujuan yang dikemukakan oleh Goldstein (1994) bahwa terapi reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri, memahami diri, beradaptasi terhadap stres, menciptakan kebersamaan kelompok dan meningkatkan keintiman sosial. Terapi reminiscence tidak hanya memberikan pengalaman yang menyenangkan dan meningkatkan hubungan dengan orang lain, tetapi dapat pula memberikan stimulasi kognitif. Penelitian tentang terapi Reminiscence oleh Nurwiyono (2013) yang dilakukan pada lansia yang mengalami depresi Psikotik di RSJ Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa setelah mendapatkan terapi Reminiscence terjadi peningkatan harga diri dan kemampuan sosialisasi pada klien yang bermakna. Selain itu juga Misesa (2013) melakukan penelitian tentang terapi Reminiscence pada lansia depresi yang tinggal di Panti Jompo di Kalimantan Tengah juga menunjukkan terjadinya peningkatan harga diri dan kemampuan sosialisasi yang bermakna setelah mendapatkan terapi Reminiscence. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa terapi Reminiscence berperan efektif dalam mengatasi masalah harga diri rendah dan isolasi sosial pada lansia. Universitas Indonesia

107 90 Proses terapi reminiscence yang dilakukan secara berkelompok dan masing-masing lansia menceritakan pengalaman masa lalunya yang menyenangkan maka terjadi eksplorasi pengalaman yang positif dari setiap anggota kelompok. Eksplorasi pengalaman masa lalu yang menyenangkan ini baik tentang kehidupan keluarga, masa sekolah, bekerja, pernikahan, berkebun, mengasuh anak, makanan atau minuman favorit dan liburan merupakan suatu upaya untuk melatih lansia meningkatkan perasaan berharga dan bangga yang dimiliki lansia. Kegiatan terapi yang dilakukan pada setiap sesinya memfasilitasi lansia untuk mengeksplorasi pengalaman, pikiran dan perasaan lansia yang positif. Hal inilah yang dapat meningkatkan perasaan berharga bagi lansia, sehingga terapi reminiscence secara bermakna menurunkan skor harga diri rendah atau meningkatkan harga diri lansia. Terapi reminiscence bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain dan juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi (Boyd dan Nihart, 1998) lebih lanjut Chen et al (2009) menyatakan bahwa terapi reminiscence dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi klien, sehingga dapat memperbaiki kondisi isolasi sosial pada lansia. Beberapa peneliti lain terkait terapi reminiscence dalam manajemen isolasi sosial antara lain (Simon & Ryan, 2008; Chao et al, 2006; Lin et al, 2003; Kim et al, 2001; Chiang et al, 2009 dalam Syarniah, 2010) pada umumnya semua sependapat bahwa terapi reminiscence dapat meningkatkan sosialisasi pada lansia. Pada fase resolusi diharapkan klien memiliki mekanisme koping yang lebih baik dari sebelumnya setelah mendapatkan terapi Reminiscence. Mekanisme koping yang diharapkan dimiliki oleh klien adalah mekanisme koping adaptif. Adaptif dapat diartikan klien bahwa memiliki kemampuan merespon secara positif stresor internal dan eksternal yang muncul dalam setiap situasi. Universitas Indonesia

108 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dibahas simpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir beserta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa di unit psikiatri. 6.1 Simpulan Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus spesialis pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial di Ruang Saraswati Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor. Simpulan dari kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah sebagai berikut : Karakteristik klien dengan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial di Ruang Saraswati rata-rata berusia 66, 20 tahun, pendidikan rata rata rendah (SR/SD) 60%, duda/janda 60% dan tidak bekerja 100% Faktor predisposisi penyebab harga diri rendah dan isolasi sosial yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu genetik (60%), pada aspek psikologis kepribadian introvert (70%) dan pada aspek sosial budaya yaitu masalah ekonomi (80%). Faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien yaitu pada aspek biologis karena putus obat (70%), pada aspek psikososial yakni perasaan tidak berguna (60%) dan aspek sosial budaya yaitu status ekonomi (60%%). Asal stressor sebagian besar berasal dari eksternal (100%) dalam kurun waktu > 6 bulan (60%) dengan jumlah stresor lebih dari 2 stresor (70%) Diagnosa medis yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia paranoid, sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai diagnosa harga diri rendah dan isolasi sosial yaitu, defisit perawatan diri, halusinasi dan risiko perilaku kekerasan serta ketidakberdayaan Terapi spesialis keperawatan jiwa yang dilakukan di Ruang Saraswati yaitu terapi Reminiscence. Klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial yang mendapatkan terapi spesialis menunjukkan perubahan 91 Universitas Indonesia

109 92 tanda dan gejala pada klien, ini terlihat dari perubahan penilaian stressor yang dialami oleh klien. Penurunan gejala ini dapat dilihat dari pada respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial Pendekatan model hubungan interpersonal Peplau dirasakan tepat diterapkan pada klien dengan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial karena tahapan-tahapan pemberian asuhan keperawatan dalam model hubungan interpersonal Peplau yang terdiri dari tahap orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi dapat diterapkan sesuai dengan karakteristik klien. 6.2 Saran Berdasarkan simpulan hasil karya ilmiah akhir, ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di ruang Saraswati Pelayanan Keperawatan Kepala Bidang Keperawatan a. Memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan. b. Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan yang bersifat spesialistik melalui program perencanaan pengembangan tenaga perawat spesialis jiwa. c. Memfasilitasi dan mensosialisasikan standar asuhan keperawatan spesialis serta peranan perawat ruangan untuk manajemen kasus harga diri rendah dan isolasi sosial Kepala Ruangan dan Perawat Saraswati a. Mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai role model dalam menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa khususnya penerapan terapi Universitas Indonesia

110 93 generalis untuk masalah harga diri rendah dan isolasi sosial. b. Menerapkan model keperawatan yang sesuai dengan pelaksanaan terapi keperawatan pada klien harga diri rendah dan isolasi sosial c. Mengontrol dan mengevaluasi kemampuan klien harga diri rendah dan isolasi sosial khususnya dalam pelaksanaan buku kerja klien. d. Menyelenggarakan program pertemuan rutin dengan keluarga dalam meningkatkan peran keluarga dalam perawatan. e. Membentuk terapi pendukung bagi klien dan keluarga dengan masalah harga diri rendah dan isolasi sosial Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi keperawatan spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah keperawatan harga diri rendah dan isolasi sosial Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis melalui program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan jiwa spesialis Riset Keperawatan Perlunya dikembangkan penelitian tentang efektifitas beberapa paket terapi spesialis pada klien dengan harga diri rendah dan isolasi sosial Perlunya pengembangan instrumen untuk penelitian khususnya pada masalah harga diri rendah, isolasi sosial serta instrument untuk mengukur kemampuan terapi yang telah diberikan sehingga hasilnya dapat terukur secara akurat. Universitas Indonesia

111 DAFTAR PUSTAKA Arean et al. (1993). Comparative Effectiveness of Social Problem Solving Therapy and Reminiscence Therapy as Treatments for Depression in older Adults. Diakses tanggal 10 Desember 2013 Barathy, E.B.S, Keliat, B.A., & Besral. (2011). Pengaruh terapi reminiscence dan psikoedukasi keluarga terhadap kondisi depresi dan kualitas hidup lansia di Katulampa Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi. Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice, Philadelphia: Lippincott. Cappeliez, P. (2004). Cognitive-reminiscence therapy for depressed older adult. Diakses tanggal 8 Desember 2013 Chao, et al. (2006). The Effects of Group Reminiscence Therapy on Depression, Self esteem, and Life Satisfaction of Elderly Nursing Home Residents. Journal of Nursing Research. 2006, volume 14, nomor 1, hal Chen, L.J., et al. (2009). Cognitive Behavioural Therapy and Reminiscence techniques for the Threatment of depression in the Elderly : a Systematic Review. Februari Vol. 57, Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan dasar Jakarta: Balitbangkes depkes RI Fauziah. (2009). Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif (TPK) Pada Klien Skozofrenia Dengan Perilaku Kekerasan di Rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Friedman, M.M. (2008). Keperawatan keluarga : teori dan praktik (family nursing : theory and practice) alih bahasa : Ina Debora R.L, Jakarta : EGC Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing. Sixth edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Goldstein, F.M. (1994). The Role of Reminiscence in Old Age. Diakses tanggal 15 Desember Herdman, T.H. (2010). Nursing Diagnoses: Definition and classification , by Nanda International, Alih bahasa: Sumarwati Made, Widiarti Dwi, Tiar Estu, Jakarta: EGC. Hurlock, E. (2004). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga. Universitas Indonesia

112 Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Keliat, et al. (2006). Modul IC CMHN; Manajemen kasus gangguan jiwa dalam keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan World Health organization. Keliat, B.A., & Akemat. (2010). Model Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC Keliat, B.A., Helena,N, dan Farida, P. (2011). Manajemen Keperawatan Psikososial dan Kader Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate course). Jakatta : EGC. Kennard, C. (2006) Reminiscence therapy and activities for people with dementia. l. diperoleh 2 Februari Landefeld, C.S., Palmer, R.M., Johnson, M., Anne, J, C.B dan Lyons, W. (2004). Current Geriatric Diagnosis & Treatment. Singapore : Mc Graw Hill. Mauk, K.L. (2006). Gerontological Nursing; competencies for care. London: Jones and bartlett Publishers International Meiner, S.E, & Lueckenotte, A.G. (2006). Gerontologic Nursing Third Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier Meiner. (2011). Gerontologic Nursing. Mosby Year Book. Missouri. Misesa (2013) Pengaruh terapi kelompok Reminiscence dan Life Review terhadap depresi pada lansia di Panti sosial tresna Wedha Sinta Rangkang Tangkiling, Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan Mujahidullah, K. (2012). Keperawatan Geriatrik: Merawat Lansian Dengan Cinta Dan Kasih Sayang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Muller, C.A. (2004) Nursing for wellness in older adults; theory and practice. USA: Lippincott William & Wilkins. NANDA. (2012). NANDA International:Diagnosa Keperawatan (Definisi dan Klasifikasi) Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Nurwiyono, Anang (2013). Pengaruh terapi kognitif da Reminiscence terhadap depresi psikotik lansia di RSJ Propinsi Jawa Timur. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan Universitas Indonesia

113 Peplau. Hildegard E. (1997). Interpersonal Relations in Nursing: A conceptual Frame of Reference for Psychodynamic Nursing. Springer Publishing Company. New York Sasmita, H. (2007). Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) pada Klien Harga Diri Rendah di RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor tahun Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan Shives, L.R. (2006). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (7 th ed). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins Simamora, Raymond.H. (2009). Buku ajar Pendidikan Dalam Keperawatan. EGC. Jakarta Stanhope, M., & Lancaster, J. (1996). Community health nursing : promoting health aggregates, family & individuals. Saint Louis : Mosbby Year Book, Inc Stanley, M. dan Beare, P.G. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Alih bahasa : Juniarti N., Kurnianingsih, S. Editor :Meylin E., Ester M. Jakarta : EGC. Stuart, G.W., & Laraia, M.T. ( 2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (8 th ed). St.Louis: Mosby. Stuart. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (9 th ed). Missouri: Mosby. Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. Suardiman, S.P. (2011). Psikologi usia lanjut. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Syarniah., Keliat, B.A., Hastono, S.P., & Daulima, N.H.C. (2010). Pengaruh terapi kelompok reminiscence terhadap depresi pada lansia di Panti sosial Tresna Werdha Kalimantan Selatan. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi Tomey, Ann Marriner & Alligood, Martha R. (2006). Nursing Theorists and Their Work. (4 th ed). St Louis : Mosby-Year book Inc. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing: conceps of care in evidence based practice. Sixth edition. Philadelphia: F A davis Company. Universitas Indonesia

114 Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa: Renata K. dan Afrina H. Jakarta: EGC. Wahyuningsih, D.( 2009). Pengaruh assertiveness training terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia di RSUD Banyumas, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: new Understanding, new hope. http :// diperoleh pada tanggal 15 Desember 2013 WHO. (2006). Investing in mental health. diperoleh tanggal 15 Desember 2013 Wilkinson, J.M. (2012). Nursing diagnosis with NIC Interventions and NOC Outcomes. (9 ed). Pearson Prentice Hall: New Jersey Yosep Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama. Universitas Indonesia

115 Lampiran 2 KUESIONER D: PENGUKURAN HARGA DIRI Nama pasien : Tanggal Observasi : No. CM : Observasi ke : Ruangan : Observer : (diisi oleh peneliti) Petunjuk Pengisian Kuesioner : 1. Berilah tanda ( ) pada selalu jika lebih dari 3 kali sehari 2. Berilah tanda ( ) pada sering jika 2-3 kali sehari 3. Berilah tanda ( ) pada jarang jika kurang dari 2 kali sehari 4. Berilah tanda ( ) pada tidak pernah jika tidak sama sekali No PERNYATAAN Selalu Sering Jarang 1 Saya bingung harus melakukan apa 2 Saya pikir saya adalah orang yang pelupa 3 Saya mudah memusatkan perhatian terhadap orang yang mengajak bicara 4 Saya pikir apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan 5 Saya selalu ingat kejadian penting pada masa lalu saya 6 Saya sulit untuk konsentrasi 7 Saya sanggup mengatasi masalah saya sendiri 8 Saya merasa bahwa saya adalah orang yang tidak berharga dimata orang lain 9 Saya merasa hidup saya sangat berguna 10 Saya merasa saya mempunyai sesuatu yang dapat saya banggakan. 11 Saya merasa tidak ada hal yang istimewa dalam diri saya 12 Saya merasa saya sanggup mengerjakan sesuatu yang baik bagi orang lain 13 Saya tidak mau tahu dengan kejadian disekitar saya 14 Saya merasa puas terhadap diri saya sendiri secara keseluruhan 15 Saya merasa bodoh dalam melakukan tugas yang diberikan kepada saya. 16 Saya malas melakukan kegiatan 17 Saya berteman dengan orang disekitar saya. 18 Saya mengikuti terapi aktivitas kelompok 19 Saya mencoba untuk melukai diri sendiri 20 Saya mandi sendiri 21 Saya memperkenalkan diri saya pada orang yang belum saya kenal 22 Saya lebih suka menyendiri 23 Saya malas untuk memulai suatu pembicaraan Tidak pernah

116 Lampiran 2 No PERNYATAAN Selalu Sering Jarang 24 Saya akan tersenyum bila bertemu dengan orang lain 25 Saya berusaha mengajak orang lain ngobrol 26 Saya berusaha mengeraskan suara saya saat bicara 27 Saya mengajak teman saya untuk ngobrol Tidak pernah

117 Lampiran 2 OBSERVASI TANDA FISIK KLIEN HARGA DIRI RENDAH Petunjuk Pengisian : 1. Isilah pernyataan di bawah ini dengan memberi tanda ( ) pada pilihan jawaban sesuai dengan apa yang dilakukan oleh klien selama ini dengan ketentuan : Ya (2) jika klien menampilkan respon / tanda fisik sesuai aspek yang telah diobservasi. Tidak (1) jika klien tidak menampilkan respon / tanda fisik sesuai aspek yang telah diobservasi. 2. Amati dengan teliti dan seksama No PERNYATAAN 1. Menunduk saat berbicara / tidak ada kontak mata 2. Klien tidak berani / ragu untuk memulai pembicaraan 3. Ekpresi klien tidak ceria / murung 4. Penampilan klien tidak rapi 5. Postur tubuh klien membungkuk Ya (2) Tidak (1)

118 Lampiran 3 INSTRUMEN ISOLASI SOSIAL Nama:... No CM:...Ruang:... Petunjuk Pengisian Kuesioner : 1. Berilah tanda ( ) pada selalu jika lebih dari 3 kali sehari 2. Berilah tanda ( ) pada sering jika 2-3 kali sehari 3. Berilah tanda ( ) pada jarang jika kurang dari 2 kali sehari 4. Berilah tanda ( ) pada tidak pernah jika tidak sama sekali No Pernyataan & yang diobservasi Kognitif 1. Merasa tidak berguna 2. Merasa ada penolakan dengan lingkungan 3. Ketidakmampuan konsentrasi dan pengambilan keputusan 4. Kehilangan rasa tertarik kegiatan sosial dan waktu berjalan lambat 5. Ingin kontak lebih banyak dengan orang lain tetapi tidak mampu 6. Melaporkan ketidakamanan dalam situasi sosial 7. Melaporkan tidak mempunyai teman akrab 8. Tidak mampu menerima nilai dari masyarakat 9. Ketidakmampuan membuat tujuan hidup 10. Mengatakan ketidakmampuan untuk memenuhi pengharapan orang lain 11. Penurunan konsentrasi 12. Kesulitan mengambil keputusan Afektif 13. Merasa sedih dan afek dangkal/datar 14. Merasa tertekan, depresi, cemas atau marah 15. Merasa kesepian dan perasaan ditolak oleh lingkungan 16. Merasa tidak aman ditengah-tengah orang lain 17. Merasa tidak mempedulikan orang lain 18. Merasa malu dengan orang lain 19. Takut berada di dekat orang lain 20. Curiga Fisiologis 21. Wajah murung 22. Sulit tidur 23. Dada berdebar-debar 24. Frekuensi nadi, pernapasan meningkat Kualitas Selalu Sering Jarang Tidak Pernah

119 No Pernyataan & yang diobservasi 25. Tekanan darah naik 26. Merasa lelah dan letih Perilaku 27. Tidak ada kontak mata 28. Negativism, kurang aktivitas baik fisik dan verbal 29. Banyak melamun, larut dengan pikiran dan ingatan sendiri 30. Dipenuhi dengan pikiran-pikiran sendiri, repetitif (perilaku yang ulang-ulang) 31. Penampilan tidak sesuai dan tidak dapat diterima oleh masyarakat 32. Melakukan pekerjaan tidak tuntas Sosial 33. Menarik diri 34. Sulit berinteraksi dan tidak berkomunikasi 35. Kegagalan untuk berinteraksi dengan orang lain didekatnya 36. Mencari kesempatan untuk sendiri atau berada dalam suasana subkultur 37. Tidak tertarik terhadap segala aktivitas yang sifatnya menghibur 38. Ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam sosial 39. Acuh terhadap lingkungan 40. Curiga terhadap orang lain Total skor Kualitas Selalu Sering Jarang Tidak Pernah

120 Lampiran 6 1. Respon Kognitif No Kondisi klien 1. Saya pikir saya adalah orang yang pelupa 2. Saya mudah memusatkan perhatian terhadap orang yang mengajak bicara 3. Saya selalu ingat kejadian penting pada masa lalu saya 4. Saya sulit untuk konsentrasi 5. Saya sanggup mengatasi masalah saya sendiri 6. Saya merasa saya sanggup mengerjakan sesuatu yang baik bagi orang lain 7. Saya merasa bodoh dalam melakukan tugas yang diberikan kepada saya. Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu

121 2. Espon Emosi/Afektif No Kondisi klien 8. Saya merasa bahwa saya adalah orang yang tidak berharga dimata orang lain 9. Saya merasa hidup saya sangat berguna 10. Saya merasa saya mempunyai sesuatu yang dapat saya banggakan. 11. Saya merasa tidak ada hal yang istimewa dalam diri saya 12. Saya tidak mau dengan kejadian disekitar saya tahu 13. Saya merasa puas terhadap diri saya sendiri secara keseluruhan 14. Saya berusaha mengeraskan suara saya saat bicara Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu

122 3. Respon Perilaku/Psikomotor No Sebelum Kondisi Tidak klien Jarang Sering Selalu pernah 15. Saya bingung harus melakukan apa 16. Saya pikir apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan 17. Saya malas melakukan kegiatan 18. Saya mengikuti terapi aktivitas kelompok 19. Saya mencoba untuk melukai diri sendiri 20. Saya mandi sendiri Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu

123 4. Respon Sosial No Kondisi klien 21. Saya memperkena lkan diri saya pada orang yang belum saya kenal 22. Saya lebih suka menyendiri 23. Saya malas untuk memulai suatu pembicaraan 24. Saya akan tersenyum bila bertemu dengan orang lain 25. Saya berusaha mengajak orang lain ngobrol 26. Saya mengajak teman saya untuk ngobrol Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu

124 5. Respon Fisik No Kondisi klien 1. Menunduk saat berbicara 2. Tidak berani memulai pembicaraan 3. Eksresi tidak ceria/murung 4. Penampilan tidak rapi 5. Postur tubuh membungkuk Tidak pernah Sebelum Sesudah Jarang Sering Selalu Tidak Jarang Sering Selalu pernah

125 Lampiran 5 Tabel penilaian respon Isolasi sosial 1. Respon Kognitif No Kondisi klien Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu Merasa tidak 1. berguna Merasa ada penolakan 2. dengan lingkungan Ketidakmampuan konsentrasi dan 3. pengambilan keputusan Kehilangan rasa tertarik kegiatan 4. sosial dan waktu berjalan lambat Ingin kontak lebih banyak 5. dengan orang lain tetapi tidak mampu Melaporkan ketidakamanan 6. dalam situasi sosial Melaporkan tidak 7. mempunyai teman akrab Tidak mampu 8. menerima nilai dari masyarakat Ketidakmampuan 9. membuat tujuan hidup Mengatakan ketidakmampuan 10. untuk memenuhi pengharapan orang lain Penurunan

126 konsentrasi Kesulitan 12. mengambil keputusan

127 Respon Afektif No Kondisi klien Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu Merasa sedih 13. dan afek dangkal/datar Merasa tertekan, 14. depresi, cemas atau marah Merasa kesepian dan perasaan 15. ditolak oleh lingkungan Merasa tidak aman ditengahtengah orang 16. lain Merasa tidak 17. mempedulikan orang lain Merasa malu 18. dengan orang lain Takut berada di 19. dekat orang lain Curiga

128 2. Respon Fisiologis Sebelum Sesudah No Kondisi klien Tidak pernah Jarang Sering Selalu Tidak Jarang Sering Selalu pernah 21. Wajah murung Sulit tidur Dada berdebardebar Frekuensi nadi, 24. pernapasan meningkat Tekanan darah 25. naik Merasa lelah 26. dan letih

129 3. Respon Perilaku No Kondisi klien Tidak ada 27. kontak mata Negativism, kurang aktivitas 28. baik fisik dan verbal Banyak melamun, larut 29. dengan pikiran dan ingatan sendiri Dipenuhi dengan pikiranpikiran sendiri, 30. repetitif (perilaku yang ulang-ulang) Penampilan tidak sesuai dan 31. tidak dapat diterima oleh masyarakat Melakukan 32. pekerjaan tidak tuntas Tidak pernah Sebelum Jarang Sering Selalu Tidak pernah Sesudah Jarang Sering Selalu

130 4. Respon Sosial Sebelum Sesudah No Kondisi klien Tidak pernah Jarang Sering Selalu Tidak Jarang Sering Selalu pernah 33. Menarik diri Sulit berinteraksi 34. dan tidak berkomunikasi Kegagalan untuk berinteraksi 35. dengan orang lain didekatnya Mencari kesempatan untuk sendiri 36. atau berada dalam suasana subkultur Tidak tertarik terhadap segala 37. aktivitas yang sifatnya menghibur Ketidakmampuan dalam 38. berpartisipasi dalam sosial Acuh terhadap 39. lingkungan Curiga terhadap 40. orang lain

131 MODUL TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE Disusun oleh : Ns. Missesa, S.Kep Prof. Budi Anna Keliat, M.App. Sc Ns. Ice Yulia Wardani, M.Kep, Sp. Kep.J Yossie Susanti Eka Putri, SKp, MN PROGRAM PENDIDIKAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK,

132 2 KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan kasih-nya, sehingga modul Terapi Kelompok Reminiscence ini dapat diselesaikan. Modul ini dipersembahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khusus keperawatan jiwa pada lansia. Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan modul ini dapat dilakukan. Penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya atas bantuan, bimbingan serta dukungan pada kesempatan ini kepada yang terhormat : 1. Ibu Dewi Irawaty,M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, MN, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Ibu Prof. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc, selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan sangat cermat memberikan masukan, serta motivasi dalam penyelesaian modul ini. 4. Ibu Ns.Ice Yulia Wardani, MKep., Sp.Kep.J, selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis, senantiasa meluangkan waktu, dan sangat teliti memberikan masukan untuk perbaikan modul ini. 5. Ibu Yossie Susanti Eka Putri, SKp, MN, yang memberikan banyak masukan terkait konsep keperawatan jiwa pada lansia dan terapi Reminiscence yang efektif. 6. Seluruh Kontributor dan Motivator lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu Besar harapan kami supaya Modul ini menjadi panduan mahasiswa Spesialis Keperawatan dalam memberikan terapi spesialis keperawatan jiwa serta wujud tali kasih kepada lansia agar bahagia, sejahtera dan sehat jiwa. Depok, Maret 2013 Penulis

133 3 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 KATA PENGANTAR... 2 DAFTAR ISI... 3 BAB I PENDAHULUAN... 4 BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE... 7 BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE BAB IV BUKU KERJA UNTUK LANSIA BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA

134 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lansia menurut Undang-Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan lanjut Usia dan Badan Pusat Statistik tahun 2010 menyatakan bahwa lansia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Sedangkan perkembangan lansia berdasarkan teori Erik Erikson lansia berada pada tahap integrity versus despair. yakni individu yang sukses dalam mclampaui tahap ini akan dapat mencapai integritas diri (integrity), sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lansia mengalami kondisi penuh stress, rasa penolakan, marah. dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya (Stuart. 2009; Keliat 2011). Perawatan yang dilakukan pada lansia ditujukan untuk mendapat hidup yang sukses, bahagia dan berkualitas diantaranya adalah: kesehatan fisik, keamanan financial, produktifitas, ketidakbergantungan. mekanisme koping yang baik dan pandangan hidup yang tetap optimis, kematangan dalam spiritual (Maryam dkk. 2008). Harapan ke depan lansia dapat sejahtera sesuai usia dan perkembangannya melalui perawatan yang optimal di setiap tatanan pelayanan keperawatan. Upaya perawatan pada lansia saat ini salah satunya dengan dikembangkannya psikoterapi yaitu proses terapi masalah psikologis melalui komunikasi memperhatikan struktur, prinsip dan tehnik yang profesional dari terapis (Hervoc, 2006). Terapi Kelompok Reminiscence merupakan salah satu psikoterapi yang memiliki banyak manfaat bagi lansia berdasarkan hasil penelitian, baik ditujukan pada lansia sehat jiwa maupun lansia dengan gangguan mental emosional seperti depresi (Syarniah, 2010). Intervensi Terapi Kelompok Reminiscence adalah terapi mengenang pada lansia secara

135 5 spontan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa tanpa terikat urutan atau struktur yang baku ( Mitchell, 2009). Touhy dan Jett ( 2012) menyarankan pelaksanaan reminiscence yaitu mendengar tanpa kritik, menganjurkan lansia menyampaikan kenangan dengan memperhatikan privasi mereka menutupi usia dan tahapannya, sabar dengan melakukan pengulangan apabila lansia kesulitan mengingat, jika ada hal yang tidak ingin dibahas sebaiknya ganti pembahasan yang lain, ciptakan suasana yang menyenangkan bagi lansia untuk mengungkapkan kenangan penting menurutnya, pertahankan kontak mata, tidak memotong pembicaraan, berikan respon positif dan umpan balik dengan caring, pergunakan alat peraga yang membantu individu mengingat memori seperti photo serta pergunakan pertanyaan terbuka. Modul terapi Terapi Kelompok Reminiscence ini mengacu pada pelaksanaan reminiscence pada Schweitzer et al (2008) dan Stinson (2009) dengan beberapa modifikasi. Melalui modul ini diharapkan perawat spesialis keperawatan jiwa untuk mengatasi masalah keperawatan pada lansia seperti harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan, isolasi sosial serta meningkatkan pencapaian kualitas hidup lansia. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah mmpelajari modul ini diharapkan perawat spesialis keperawatan jiwa dapat memahami dan melaksanakan Modul Terapi Kelompok Reminiscence pada lansia dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan, isolasi sosial dan pencapaian kesejahteraan serta integritas diri lansia. 2. Tujuan Khusus Setelah mempelajari modul ini, perawat spesialis keperawatan jiwa diharapkan mampu :

136 6 a. Menjelaskan mengenai Terapi Kelompok Reminiscence pada lansia b. Menyebutkan prosedur pelaksanaan Terapi Kelompok Reminiscence. c. Melakukan Terapi Kelompok Reminiscence pada lansia dengan kondisi harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial. d. Melakukan monitoring dan evaluasi Terapi Kelompok Reminiscence pada lansia dengan kondisi harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial. e. Melakukan pendokumentasian Terapi Kelompok Reminiscence pada lansia dengan kondisi harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial.

137 7 BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE A. Pengertian Terapi Kelompok Reminiscence Pengertian Reminiscence adalah penggunaan pengalaman masa lalu, perasaan, pikiran yang menyenangkan untuk memfasilitasi kualitas hidup atau kemampuan beradaptasi terhadap perubahan (Nursing Intervention of Care atau NIC, 2008). Reminscence adalah terapi mengenang pada lansia secara spontan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa tanpa terikat urutan atau struktur yang baku, dapat lakukan secara individu maupun kelompok (Haber, 2006). Pengertian lainnya, Reminiscence adalah terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan terapeutik pada lansia kemudian memori tersebut dapat sebagai kumpulan pengalaman pribadi atau dibagikan dengan orang lain (Webster, 1999 Bluck & l.evine, 1998 dalam Collins, 2006). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Terapi Reminiscence merupakan terapi dengan cara memotivasi lansia untuk mengenang atau mengingat kembali suatu kejadian atau pengalaman masa lalu secara spontan serta kemampuan penyelesaian masalahnya. B. Tujuan Terapi Kelompok Reminiscence Tujuan Terapi Kelompok Reminiscence adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan harga diri 2. Meningkatkan perasaan berharga 3. Meningkatkan kemampuan komunikasi 4. Meningkatkan keintiman sosial 5. Membantu menciptakan kebersamaan kelompok 6. Menurunkan isolasi sosial (meningkatkan sosialisasi) 7. Meningkatkan kepuasan hidup.

138 8 C. Indikasi Terapi Kelompok Reminiscence Terapi kelompok Reminiscence dapat meningkatkan kepuasan dalam hidup, meningkatkan koping efektif pada masa transisi,, meningkatkan integritas lansia, meningkatkan interaksi sosial, meningkatkan kepercayaan diri, membantu lansia yang mengalami demensia (Jones, 2003).Terapi kelompok reminiscence dapat mengatasi depresi dengan masalah keperawatan keputusasaan, ketidakberdayaan, harga diri rendah dan isolasi sosial (Syarniah, 2010). Selain itu, terapi ini efektif untuk mencegah dan mengurangi depresi, meningkatkan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan diri, meningkatkan harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan transisi (Korte, Bohlmeijer, Cappeliez, Smit, & Westerhof, 2012). Indikasi medis Terapi Kelompok Reminiscence adalah Depresi, Demensia, Alzheimer (Rentz, 1995 ; Jones, 2003; Schweitzer, Pam Bruce, Erllyn Gibson, Faith, 2008; Touhy & Jett,2012). Indikasi diagnosa keperawatan yaitu harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan, isolasi sosial. D. Tempat Terapi Kelompok Reminiscence Ruang khusus atau aula pertemuan dengan lingkungan yang kondusif untuk pelaksanaan terapi di Panti Werdha Sinta Rangkang Tangkiling Kalimantan Tengah. E. Waktu Terapi Kelompok Reminiscence Terapi Kelompok Reminiscence dari 12 sesi dimana tiap sesinya. Pelaksanaannya memerlukan waktu menit, pelaksanaannya 1 3 kali seminggu. F. Media Reminiscence kit menurut Collins (2006) terdiri dari barang-barang/benda pada masa lalu, majalah, alat untuk memasak, foto pribadi, alat pemutar

139 9 musik, video, kaset, pulpen, stimulus bau yang berbeda (kopi, keju, cuka), rasa (coklat, jeruk, kulit pie dan lain-lain) dan bahan-bahan lain untuk menstimulasi sensori sentuhan (seperti bulu binatang, wol, kain planel, pasir, lumpur dan lain-lain). Selain itu, disesuaikan dengan budaya setempat.proses Reminiscence melalui berbagai cara atau aktivitas melalui ungkapan verbal, visual, audiotory, penciuman dan perasa serta perabaan (Mindy, 2007). G. Jumlah dan Setting Lansia Terapi Kelompok Reminiscence Lansia Terapi Kelompok Reminiscence berjumlah 6 12 orang, terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. H. Kriteria terapis Terapi Kelompok Reminiscence Kriteria terapis Terapi Kelompok Reminiscence adalah sebagai berikut : a. Perawat spesialis keperawatan jiwa (minimal lulus S2 keperawatan) atau Lulusan Ners Keperawatan dan telah lulus uji kompetensi Reminiscence Therapy (lulus uji expert validity). b. Berpengalaman dalam keperawatan jiwa. I. Ketentuan Khusus Pelaksanaan terapi diharapkan memberikan manfaat kepada semua lansia yang mengalami depresi. Khusus lansia yang tidak bisa membaca atau menulis akan difasilitasi oleh fasilitator yaitu caregiver lansia, seperti keluarga atau pengasuh di panti. J. Tahapan Terapi Kelompok Reminiscence 1. Pendahuluan 2. Masa kanak-kanak dan kehidupan keluarga 3. Masa sekolah 4. Awal bekerja dan kegiatan bekerja 5. Pertemuan dengan pasangan 6. Pernikahan 7. Rumah, kebun dan binatang

140 10 8. Mengasuh anak 9. Makanan dan memasak 10. Liburan 11. Hari raya/acara perayaan 12. Kesimpulan dan evaluasi

141 11 BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE SESI 1 : PENDAHULUAN A. TUJUAN 1. Meningkatkan rasa penerimaan dalam kelompok 2. Memperkenalkan diri satu sama lain 3. Membangkitkan minat mengikuti kegiatan B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, photo keluarga. D. METODE Diskusi dan tanya jawab E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Membuat kontrak dengan lansia satu hari sebelumnya bahwa terapi akan dilaksanakan secara berkelompok selama 12 (dua belas sesi) dengan waktu pelaksanaan menit. Lansia berada di tempat terapi 10 menit sebelum kegiatan berlangsung. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Mengucapkan salam, terapis memperkenalkan diri dan perkenalan dengan semua lansia, menanyakan nama dan panggilan lansia. 2) Evaluasi/Validasi Menanyakan bagaimana perasaan lansia. Lansia menulis pada buku kerja tentang masalah psikososial dan harapannya di masa tua.

142 12 3) Kontrak a) Menjelaskan kegiatan Terapi Kelompok Reminiscence dengan jumlah sesi 12 (dua belas) pertemuan dan membuat jadwal pertemuan. b) Menjelaskan tujuan sesi 1 yaitu kenangan tentang keluarga Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : (1) Lama kegiatan menit. (2) Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai (3) Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1. Beri kesempatan lansia mengidentifikasi identitas pribadinya, seperti : a) Nama-nama ( nama awal, tengah dan akhir) b) Asal keluarga c) Lokasi atau negara d) Nama panggilan e) Nama berbeda di setiap waktu dan tempat seperti apa orang mengenal nama mu di rumah rumah atau saat bekerja, saat kecil atau saat dewasa. f) Perubahan nama, seperti saat menikah, setelah bercerai, nama dari negara lain. g) Apa yang dirasakan terkait nama h) Jika diberikan kesempatan memilih, maka akan memilih nama...? i) Hal apa saja terkait dengan nama. 2. Ajak lansia berdiri di tempat, mengucapkan salam dengan berbagai cara (Mengucap salam, membungkuk, menggoyangkan tangan, melambai, menepuk, mengacungkan jempol), kemudian menyebutkan identitas secara bergantian. Kegiatan ini dimulai demonstrasi awal oleh fasilitator selanjutnya lansia secara

143 13 bergiliran searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3. Lansia dibagi menjadi kelompok kecil dan mendiskusikan tentang tempat tinggal, dimana mereka bertumbuh dan berkembang. a) Daerah mana yang mereka sukai b) Apakah di tengah kota besar, kota kecil, desa? c) Apakah rumah permanen, rumah betang, pondok, lanting atau rumah di atas klotok (kapal kecil)? d) Apakah perumahan padat penduduk, dekat hutan, dekat aliran sungai. e) Apakah suka musim hujan atau tidak, rapih atau berantakan? Kemudian lansia mencatat dalam buku kerja yang telah dibagikan. 4. Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. 5. Terapis memberikan kesempatan kepada lansia secara bergantian menceritakan pengalaman tersebut kepada peserta lainnya dalam kelompok besar. 6. Lansia diberikan kesempatan memilih salah satu lagu daerah yang menggambarkan kehidupan mereka saat itu dan dapat dinyanyikan (dapat diiringi alat musik khas daerah kalteng seperti kecapi atau alat musik lainnya). Contoh : Lagu Pukul gandang garantung sambil manasai (tarian khas kalteng).

144 14 c. Fase terminasi 1. Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan lansia mengenal identitasnya. c) Mengevaluasi kemampuan lansia memperkenalkan diri. d) Mengevaluasi kemampuan lansia menceritakan tempat tinggal dimana mereka bertumbuh dan berkembang. e) Mengobservasi ekspresi lansia saat menceritakan kenangan tentang dirinya. 2. Rencana tindak lanjut Lansia menulis tentang harapan dan masalahnya saat ini di wisma. 3. Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 2 yaitu kenangan pada masa kanakkanak dan kehidupan keluarga, terapis menanyakan permainan yang disenangi masa kanak-kanak dan menganjurkan lansia membawa benda kenangan terkait hal tersebut 1 atau 2 benda, kemudian membawa photo masa kecil 1 atau 2 untuk pertemuan berikutnya. (Apabila lansia memiliki benda kenangan tersebut). b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 2

145 15 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan lansia saat melaksanakan kegiatan sesi 1 (satu) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Memperkenalkan diri a. Mengucapkan salam b. Menyebutkan identitas 2 Menyampaikan kenangan tentang daerah tempat tinggal 3 Berpartisipasi dalam kegiatan diskusi Nilai lansia Menyampaikan perasaan senang mengikuti kegiatan dan berminat mengikuti semua sesi Terapi Reminiscence 5 Ekspresi senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : 1. Total skor 8 2. Nilai 1 jika dilakukan, nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 6 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 6 maka mengulang terapi Terapi Kelompok Reminiscence sesi 1 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 1 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

146 16 CATATAN MASALAH KEPERAWATAN PADA LANSIA No Nama Lansia Masalah Harapan

147 17 SESI 2 : MASA KANAK-KANAK DAN KEHIDUPAN KELUARGA A. TUJUAN 1. Membangun rasa kebersamaan dalam kelompok 2. Memperkenalkan aktivitas kreatif berhubungan dengan memori 3. Mengekspresikan perasaan senang di masa kanak-kanak 4. Merangsang kerjasama saat mengingat pengalaman. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, beberapa alat permainan khas kalteng seperti balogo, habayang, kambe bute. Photo keluarga, buku keluarga dan silsilah keluarga. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia telah menuliskan masalah dan harapan. c) Melakukan cek pada buku kerja

148 18 d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menyampaikan topik sesi 2 yaitu kenangan masa kanak-kanak dan kehidupan keluarga dengan tujuan lansia merasakan kegembiraan masa kecil dan lebih mengenal silsilah keluarganya. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : (1) Lama kegiatan menit (2) Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai (3) Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Lansia diberi kesempatan dan mengingat keluarga atau kerabat dekat yang penting pada awal kehidupan mereka dan menuliskannya dalam buku kerja tentang silsilah keluarga. 2) Beri kesempatan lansia secara bergantian menceritakan kenangan tentang keluarga dengan photo yang mereka bawa seperti rambut, apa yang mereka lakukan, kebiasaan dan perilaku mereka serta hubungan orang tersebut dengan mereka. Searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3) Lansia mengenang permainan masa kanak-kanak. a) Ingatkan tentang mainan-mainan dari masa kanak-kanak. b) Diskusikan tentang mainan pertama. c) Diskusikan tentang mainan-mainan favorit (paling disenangi). d) Diskusikan tentang mainan-mainan yang dibuat di rumah.

149 19 e) Ceritakan tentang memori yang lucu tentang teman saat bermain (tunjukkan photo teman bila ada) 4) Beri kesempatan lansia berdiskusi memilih permainan yang akan di praktekkan. 5) Beri semangat lansia mempraktekkan permainan dalam kelompok, usahakan semua lansia terlibat aktif. 6) Beri reinforcement positif untuk setiap kemampuan yang dilakukan. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang kehidupan keluarga c) Mengevaluasi kemampuan mengenang salah satu anggota keluarga d) Mengevaluasi kemampuan mengenang masa kecil e) Mengevaluasi kemampuan partisipasi dalam permainan f) Mengobservasi ekspresi lansia saat mengenang masa kecil, kehidupan keluarga dan melakukan permainan. 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia melanjutkan menulis silsilah keluarga b) Lansia mengenang tentang masa kecil dan kehidupan keluarga 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 3 yaitu kenangan pada masa sekolah. Terapis menanyakan benda kenangan terkait masa sekolah dan menganjurkan lansia membawanya pada pertemuan berikutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 3.

150 20 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 2 (dua) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menulis silsilah keluarga 2 Menyampaikan kenangan pada salah satu anggota keluarga 3 Menyampaikan kenangan masa kecil 4 Berpartisipasi melakukan permainan 5 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 7 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 5 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 5 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 3 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 2 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

151 21 SESI 3 : MASA SEKOLAH A. TUJUAN 1. Membangun rasa kebersamaan dalam kelompok 2. Melakukan aktivitas kreatif yang baru 3. Mengekspresikan pengalaman yang menyenangkan tentang sekolah B. SETTING TEMPAT Tempat duduk diatur seperti ruang kelas dan penempatan peralatan sekolah dalam ruang kelas. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, beberapa alat sekolah seperti papan tulis, spidol, tas sekolah, catatan sekolah, Globe (bola dunia), dasi sekolah, topi, rotan, alat permainan. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia telah menuliskan silsilah keluarga dan latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja

152 22 d) Mengecek peralatan sekolah yang di bawa lansia e) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menyampaikan topik sesi 3 yaitu kenangan masa sekolah dengan tujuan lansia merasakan kegembiraan hari-hari sekolah, aktif beraktivitas dan bekerjasama serta meningkatkan kepercayaan diri. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. c. Fase kerja 1) Terapis memberi kesempatan kepada lansia menceritakan tentang suasana kelas, apa saja yang terpanjang di dinding ruangan, bagaimana pengaturan tempat duduk, pembelajaran yang diberikan, pakaian yang digunakan guru. Peserta lain dapat memberikan komentar singkat. 2) Terapis memberikan kesempatan kepada salah satu peserta yang bersedia atau fasilitator untuk memerankan peran guru. Guru maju ke depan memimpin lansia menyanyikan salah satu lagu nasional / hymne yang dapat diingat dan dinyanyikan semua peserta. 3) Terapis menanyakan tentang prestasi yang membanggakan setiap lansia baik secara formal maupun informal sambil menunjukkan hadiah atau penghargaan (apabila ada). Prestasi dapat diterima di sekolah, di bidang olahraga, di bidang seni dan sebagainya. Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri)

153 23 Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 4) Lansia dibagi dalam kelompok kecil dan memilih salah satu permainan yang dimainkan selama di sekolah dan mempraktekkannya. (Dapat menggunakan beberapa benda permainan pada pertemuan sebelumnya). 5) Beri reinforcement positif untuk setiap kemampuan yang dilakukan. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang hari-hari di sekolah c) Mengevaluasi kemampuan mengenang prestasi d) Mengevaluasi kemampuan mengenang permainan di sekolah dan mempraktekkannya. 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan tentang guru dan sahabatnya di sekolah b) Lansia mengenang tentang hari-hari sekolah yang menyenangkan 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 4 yaitu kenangan pada waktu memulai pekerjaan dan mengerjakan tugas. Terapis menanyakan benda kenangan terkait pekerjaan atau pelaksanaan tugas tertentu berupa sertifikat, mendali dan sebagainya. Menganjurkan lansia membawanya pada pertemuan berikutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 4.

154 24 2) Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 3 (tiga) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai Nilai lansia Menyampaikan kenangan tentang sekolah atau kegiatan belajar. 2 Berpartisipasi mengikuti kegiatan kelas menyanyi lagu nasional/hymne 3 Menyampaikan kenangan tentang prestasi yang membanggakan 4 Berpartisipasi melakukan permainan di masa sekolah 5 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : 1. Total skor 7 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 5 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 5 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 4 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 3 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

155 25 SESI 4 : PEKERJAAN DAN MELAKSANAKAN TUGAS A. TUJUAN 1. Menghargai kemampuan kerja di masa lalu 2. Meningkatkan kepercayaan diri 3. Mengekspresikan kegembiraan dengan pengalaman bekerja atau melaksanakan tugas B. SETTING TEMPAT Terapis dan peserta duduk dalam bentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, beberapa peralatan untuk bekerja seperti alat untuk menangkap ikan (rengge, sauk), alat untuk menangkap binatang hutan (tombak, sumpit), Penanda pulang ( pentungan, kulit bere), alat penumbuk padi (lesung dan alu), alat untuk menyadap karet, bakul, lontong, topi ladang, amak dare, jukung, senter. Penghargaan saat perjuangan seperti mendali, sertifikat. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan 1. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. 2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia telah menulis tentang guru dan sabahat di sekolah serta latihan mengenang.

156 26 c) Melakukan cek pada buku kerja d) Mengecek peralatan sekolah yang di bawa lansia e) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menyampaikan topik sesi 4 yaitu kenangan kenangan tentang awal bekerja dan melaksanakan tugas dengan tujuan lansia menghargai kemampuan kerja, meningkatkan kepercayaan diri, dan memerasakan kegembiraan saat bekerja. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Terapis memberi kesempatan kepada lansia mengenang tentang pengalaman kerja yang diingat (tempat kerja, proses kerja, kerjasama dalam bekerja, peran dalam pekerjaan). 2) Secara bergantian lansia menceritakan pengalaman bekerja dengan menunjukkan benda kenangan saat bekerja. Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri) Tea break : Menyediakan teh dan snack khas yang dimakan sehabis bekerja ( lamang, kue apam, kue pais dan sebagainya) di atas amak dare. 3) Lansia dibagi dalam kelompok kecil ( 2 atau 3 ) lansia dan memilih salah satu pekerjaan yang di roleplay kan. Berdikusi tentang pekerjaan, proses kerja, peran masing-masing lansia.

157 27 4) Dalam kelompok besar lansia mempraktekkan cara melakukan pekerjaan. 5) Beri reinforcement positif untuk setiap kemampuan yang dilakukan, peserta lainnya bertepuk tangan. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang pekerjaan dan melaksanakan tugas c) Mengevaluasi kemampuan berpartisipasi dalam pekerjaan d) Mengobservasi ekspresi lansia saat bekerja. 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan menyenangkan tentang pekerjaan. b) Lansia mengenang tentang pekerjaan 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 5 yaitu kenangan tentang pertemuan dengan sahabat / kekasih. Terapis menanyakan benda kenangan terkait pertemuan dengan sabahat atau kekasih seperti photo, asesoris, musik pada masa muda yang membuat mereka senang dan menari. Menganjurkan lansia membawanya pada pertemuan berikutnya apabila memiliki benda tersebut. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 5.

158 28 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 4 (empat) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai Nilai lansia Menyampaikan kenangan tentang pekerjaan 2 Menyampaikan pendapat tentang pekerjaan yang dilaksanakan 3 Bekerjasama melakukan suatu pekerjaan. 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : 1. Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 4 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 4 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

159 29 SESI 5 : PERTEMUAN DENGAN PASANGAN A. TUJUAN 1. Mengenang tentang masa menyenangkan bertemu dengan pasangan 2. Menyampaikan kenangan saat berpenampilan muda dan menarik 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat kenangan pertemuan dengan Pasangan. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, DVD palyer CD/Mp-3 lagu-lagu kenangan masa muda, peralatan kosmetik, sisir, alat cukur, make up, model sepatu, pakaian dan celana, perhiasan/asesoris. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. c. Lansia diberi kesempatan untuk kaset atau catatan tentang lagu kesukaan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 4 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya.

160 30 3) Kontrak a) Menjelaskan sesi 5 mengenang pertemuan dengan sahabat/kekasih bertujuan meningkatkan kegembiraan saat mengenang masa muda bertemu pasangan. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan 45 60menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Terapis memberi kesempatan lansia mengenang masa muda bertemu dengan pasangan ( Persiapan yang dilakukan, tempat pertemuan, suasana pertemuan, aktivitas pertemuan, musik terkait pertemuan tersebut dan sebagainya). 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang pertemuan dengan pasangan (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3) Beri kesempatan lansia mempraktekkan persiapan pertemuan mulai dengan bercermin sampai siap berangkat. (cermin adalah peserta lain yang meniru gaya lansia yang sedang bercermin). Misal pada wanita menggunakan bedak, menggunakan lisptik, menata rambut dan menggunakan asesoris/perhiasan. Pada laki-laki mulai bercukur, menyisir rambut, menggunakan dasi/merapikan pakaian.

161 31 Selanjutnya, musik kenangan pada masa muda dihidupkan. Tempatkan kelompok laki-laki dan kelompok perempuan di tempat terpisah pada sudut ruangan. Kemudian wanita berjalan bergantian menampilkan gaya dan pesona pada masa muda yang dianggap menarik. Selanjutnya kelompok laki-laki berjalan menuju kelompok wanita dan mengajak berkenalan. 4) Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. 5) Beri kesempatan lansia berdiskusi dan memilih salah satu lagu kenangan untuk dinyanyikan bersama ( dapat diiringi alat musik khas daerah kalteng seperti kecapi atau alat musik lainnya). 6) Ajak lansia bernyanyi bersama dan beri semangat untuk bertepuk tangan, menyanyi atau menari. c. Fase terminasi 4) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang pertemuan dengan pasangan. c) Mengevaluasi kemampuan mempraktekkan persiapan dan tampil menarik serta menunjukkan sikap bersahabat. d) Mengobservasi ekspresi lansia saat mengenang pertemuan dengan pasangan. 5) Rencana tindak lanjut a) Menulis kenangan tentang pertemuan dengan pasangan. b) Lansia mengenang tentang pertemuan dengan pasangan. 6) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 6 yaitu kenangan tentang pertemanan/pernikahan Menanyakan kepada lansia tentang benda kenangan terkait hubungan pertemanan atau pernikahan berupa photo, cincin, asesoris, video pernikahan dan sebagainya, serta menganjurkan lansia membawanya pada pertemuan berikutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 6.

162 32 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 5 (lima) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang pasangan. 2 Lansia mempraktekkan pertemuan dengan pasangan. 3 Menyampaikan perasaan senang terhadap kenangan pada pertemuan dengan pasangan. 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan,nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi Kelompok Reminiscence sesi 4 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 5 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

163 33 SESI 6 : PERNIKAHAN A. TUJUAN Lansia dapat : 1. Mengenang tentang hubungan pernikahan 2. Menyampaikan kesan terhadap hubungan pernikahan 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat kenangan pernikahan B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, benda kenangan tentang pertemanan atau pernikahan seperti photo, cincin, video pernikahan atau asesoris D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 5 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 6 kenangan pernikahan yaitu menimbulkan perasaan bahagia saat mengingat kenangan pernikahan yang menyenangkan.

164 34 b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : (1) Lama kegiatan menit (2) Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai (3) Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Lansia mengenang tentang hubungan percintaan atau pernikahan a) Bagi lansia yang memiliki pengalaman menikah : Ingatkan tentang saat pacaran atau hubungan menjelang pernikahan. Diskusikan tentang pesta pernikahan. Diskusikan tentang pernikahan sambil mainkan lagu-lagu dari masa lalu. b) Bagi lansia yang tidak menikah Ingatkan tentang saat ketertarikan dengan lawan jenis atau persahabatan, penampilan yang menarik, dan hal menarik dalam hubungan tersebut. 2) Beri kesempatan lansia secara bergantian untuk menceritakan hubungan kasih atau pernikahannya dengan menunjukkan benda kenangan terkait hal tersebut. Diakhir cerita, beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3) Beri kesempatan lansia memilih salah satu lagu/ karungut/puisi terkait pesta pernikahan dan mempraktekkannya di depan secara bergantian 4) Beri reinforcemt untuk kegiatan yang dilakukan tersebut.

165 35 c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang pernikahan c) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang pernikahan 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan menyenangkan yang belum disampaikan tentang pernikahan b) Lansia mengenang tentang pernikahan. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 7 yaitu kenangan pada rumah, kebun dan binatang. Tanyakan benda kenangan terkait rumah tangga, photo, aktivitas rumah tangga, binatang kesayangan. Menganjurkan lansia membawan benda kenangan pada pertemuan berikutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 7

166 36 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 6 (enam) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang pertemanan/pernikahan 2 Menyampaikan perasaan senang terhadap kenangan pada pada pertemanan/pernikahan 3 Menunjukkan kemampuan menyanyi/ mangarungut atau puiasi tentangpernikahan. 4 Eskpresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 5 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 3 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 3 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 6 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 6 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

167 37 SESI 7 : RUMAH, KEBUN DAN BINATANG A. TUJUAN 1. Melakukan stimulasi mengingat saat awal berumah tangga pada usia dewasa 2. Mengingat berbagai aktivitas di rumah (berkebun, mendekorasi, membeli furniture, mengatur uang, memelihara binatang kesayangan). 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat kenangan rumahtangga. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, photo tentang kegiatan di rumah tangga, photo binatang keayangan, peralatan untuk kegiatan dirumah. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a) Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 6 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 7 kenangangan tentang rumah, kebun dan binatang kesayangan yaitu meningkatkan kegembiraaan saat

168 38 mengingat hal yang menyenangkan saat pertama kali berumah tangga. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. 3. Fase kerja 1) Lansia mengenang awal berumah tangga. a) Saat masih tinggal bersama orantua b) Saat memutuskan pindah rumah dengan rumahtangga sendiri c) Aktivitas yang dilakukan pada awal berumah tangga seperti membeli furniture, mendekorasi rumah, mengatur keuangan, memilih program televisi/radio untuk didengar bersama dan sebagainya. d) Aktivitas berkebun di sekitar rumah yang dilakukan (seperti menyiram bunga, mengatur tanah untuk tanaman dan sebaginya) e) Aktivitas bersama binatang kesayangan ( alasan memilih binatang tersebut, aktivitas pemeliharaan yang dilakukan dan sebagainya. 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang aktivitas saat awal berumah tangga sambil menunjukkan benda kenangan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja

169 39 3) Beri kesempatan klien bermain peran (dibantu fasilitator) menunjukkan aktivitas yang dilakukan dalam kelompok kecil (lansia dibagi kelompok terdiri dari 2 atau 3 orang). Misal saat mengatur dan membersihkan ruangan, mengecat rumah, berkebun, memilih program televisi/radio bersama,memberi makan binatang kesayangan. Praktek menggunakan alat bantu yang telah disediakan. 4) Secara bergantian setiap kelompok melakukan role play dalam kelompok besar. 5) Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang rumah, kebun dan binatang kesayangan. c) Mengevaluasi partisipasi mempraktekkan kenangan terhadap rumah, kebun dan binatang kesayangan. d) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang aktivitas / pekerjaan 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan yang belum disampaikan tentang rumah, kebun dan binatang. b) Latihan mengenang tentang rumah, kebun dan binatang. 4) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 8 mengasuh dan mendidik anak. Tanyakan pada lansia photo kenangan tentang anak-anak mereka mulai saat bayi hingga dewasa. Dianjurkan peserta membawa photo kenangan tersbut untuk kegiatan berikutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 8

170 40 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 7 (tujuh) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang rumah,kebun dan binatang 2 Lansia menyampaikan perasaan senang mengenang tentang rumah, kebun dan binatang 3 Lansia bekerjasama melakukan aktivitas terkait kenangan rumah, kebun dan binatang. 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 7 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 5 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 5 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 7 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 7 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

171 41 SESI 8 : MENGASUH ANAK A. TUJUAN 1.Melakukan stimulasi mengingat kenangan saat memiliki bayi dan mengasuhnya 2. Mengingat berbagai aktivitas menyenangkan mengasuh bayi. 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengasuh bayi. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, photo kenangan tentang anak-anak, botol susu, boneka, mainan anak-anak, berbagai perlengkapan bayi (seperti baby oil, sabun bayi), bak mandi bayi, pakaian bayi.,tuyang (ayunan bayi), boneka bayi. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a) Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a) Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 7 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya.

172 42 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 8 kenangan mengasuh bayi yaitu meningkatkan kegembiraaan saat mengingat hal yang menyenangkan saat pertama kali mengasuh anak b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b) Fase kerja 1) Terapis memberi kesempatan lansia mengenang saat mengasuh bayi, aktivitas yang dilakukan, perubahan perilaku bayi dan sikap bayi, peubahan kemampuan bayi sampai usia kanakkanak, cara mendidiknya. 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang aktivitas mengasuh bayi sambil menunjukkan benda kenangan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3) Beri kesempatan klien bermain peran (dibantu fasilitator) menunjukkan aktivitas yang dilakukan dalam kelompok kecil (lansia dibagi kelompok terdiri dari 2 atau 3 orang). Misal saat memandikan bayi, mengenakan pakaiannya, merapikannya, memberinya makan, mengajak bermain dan

173 43 mengajarkan berjalan. Praktek menggunakan alat bantu yang telah disediakan. 4) Secara bergantian setiap kelompok melakukan role play dalam kelompok besar. 5) Terapis memberi kesempatan lansia mengingat salah satu lagu saat menimang bayi dan menceritakan kenangan terkait lagu tersebut. Selanjutnya menyanyikan lagu tersebut. Kesempatan ini dilakukan secara bergiliran dari setiap lansia. 6) Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang saat mengasuh anak. c) Mengevaluasi partisipasi mempraktekkan kenangan mengenang mengasuh anak. d) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang mengasuh anak. 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan yang belum disampaikan tentang mengasuh anak. b) Latihan mengenang tentang mengasuh anak. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 9 makanan dan minuman. Tanyakan pada lansia beberapa masakan, kue atau minuman yang mereka sukai. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 9

174 44 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 8 (delapan) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang mengasuh bayi dan pertumbuhan dan perkembangannya 2 Lansia menyampaikan perasaan senang tentang mengasuh bayi dan melihat pertumbuhan dan perkembangannya 3 Lansia bekerjasama melakukan aktivitas mengasuh bayi 4 Lansia menceritakan lagu saat menimang bayi dan mempraktekkannya 5 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a) Ada kontak mata b) Postur tubuh rileks c) Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 7 2. Nilai 1 jika dilakukan, Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 5 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 5 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 8 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 8 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

175 45 SESI 9 : KENANGAN TENTANG MAKANAN DAN MEMASAK A. TUJUAN 1. Mengenang tentang makanan dan memasak 2. Menyampaikan kesan terhadap makanan dan memasak 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat makanan dan memasak B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, beberapa gambar makanan khas kalteng, makanan yang khas ( contoh: Juhu umbut, Juhu asem rimbang, pancok balasan, tepe dawen jawaou, sambal sarai dan sebagainya) kue khas kalteng (contoh: wadai pais pulut, kenta, lamang. Bahan makanan membuat juhu asem rimbang, wadai pais dan lamang. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 8 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya.

176 46 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 9 yaitu kenangan tentang makanan dan memasak b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : (1) Lama kegiatan menit (2) Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai (3) Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. d. Fase kerja 1) Lansia mengenang tentang makanan favorit a) Berikan kesempatan lansia mencium bau minuman dan makanan sambil membayangkan peristiwa yang menyenangkan tentang makanan tersebut, setelah itu mencicipinya. b) Diskusikan tentang makanan : cara pembuatan dan peristiwa menyenangkan terkait makanan tersebut misal syukuran panen, acara keluarga 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang makanan dan masakan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) 3) Lansia dibagi menjadi 2 kelompok. 4) Beri kesempatan ansia berdiskusi memilih makanan yang akan dipraktekkan untuk dimasak dengan bahan-bahan yang telah tersedia, serta menentukan peran masing-masing. 5) Pada kelompok besar lansia mempraktekkan cara memasak secara bergantian. 6) Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. Makan bersama

177 47 c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang makanan c) Mengevaluasi kemampuan lansia berpartisipasi mempraktekkan cara memasak d) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang makanan dan melakukan kegaitan memasak. 4) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan yang belum disampaikan tentang makanan b) Lansia mengenang tentang kegembiraan saat memasak bersama. 5) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 10 yaitu kenangan tentang liburan. Menanyakan tentang tempat yang menyenangkan dan benda kenangan seperti photo, souvenir. Menganjurkan lansia membawa benda tersebut pada pertemuan selanjutnya. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 10.

178 48 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 9 (sembilan) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang makanan favorit. 2 Menyampaikan perasaan pada saat mengenang makanan 3 Bekerjasama melakukan kegiatan memasak. 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan,nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 9 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 9 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

179 49 SESI 10: LIBURAN A. TUJUAN 1. Mengenang tentang kegiatan liburan atau kunjungan ke suatu tempat yang menyenangkan. 2. Menyampaikan tempat liburan berkesan yang dikunjungi. 3.Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat tempat liburan yang dikunjungi. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, photo tempat liburan, selendang, topi, tikar, rantang makanan, souvenir, gambar alat transportasi (seperti klotok atau jukung). D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 9 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya.

180 50 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 10 liburan/kunjungan ke tempat menyenangkan yaitu merasakan kegembiraan saat mengenang kegiatan liburan b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Lansia mengenang tentang liburan atau kunjungan ke suatu tempat yang menyenangkan. a) Alasan memilih tempat tersebut dan persiapan yang dilakukan. b) Transportasi yang digunakan menuju tempat tersebut. c) Kegiatan yang dilakukan pada tempat tersebut 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang liburan sambil menunjukkan benda kenangan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja 3) Lansia dibagi menjadi 2 kelompok kecil 4) Beri kesempatan lansia berdiskusi memilih kegiatan kunjungan yang dilakukan. 5) Beri kesempatan lansia mempraktekkan kegiatan kunjungan (contoh : mulai mempersiapkan makanan di rantang, menggunakan

181 51 pakaian dan atribut bepergian, jukung, mendayung dan melihat pemandangan di pinggir sungai). 6) Memberikan reinforcement positif bagi setiap kemampuan lansia. c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang liburan c) Mengevaluasi kemampuan lansia berpartisipasi mempraktekkan kegiatan liburan. d) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang liburan dan praktek bepergian. 2) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan yang belum disampaikan tentang liburan b) Lansia mengenang tentang kegembiraan saat mengunjungi tempatyang menyenangkan. 3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 11 yaitu kenangan tentang hari raya/perayaan. Menanyakan kepada lansia photo kenangan saat kegiatan hari raya/perayaan. b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 11.

182 52 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 10 (sepuluh) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang liburan 2 Menyampaikan perasaan senang pada saat mengenang liburan. 3 Bekerjasama melakukan kegiatan liburan. 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan,nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 10 sebelum lanjut sesi berikutnya. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 10 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

183 53 SESI 11 : HARI RAYA/ACARA PERAYAAN A. TUJUAN 1. Mengenang tentang hari raya/ acara perayaan 2. Menyampaikan kesan terhadap hari raya/ acara perayaan 3. Menunjukkan ekspresi kegembiraan mengingat hari raya/ acara perayaan. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, alat tulis, name tag, photo kenangan saat hari raya/acara perayaan. D. METODE 1. Diskusi dan tanya jawab 2. Roleplay E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 1 jam sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 10 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 11 kenangan tentang hari raya/acara perayaan yaitu meningkatkan semangat hidup dengan mengenang kegembiraan saat hari raya/acara perayaan. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit

184 54 Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Lansia mengenang tentang hari raya/ acara perayaan : a) Mengenang tentang hari raya keagamaan sesuai kenyakinan lansia atau acara perayaan seperti pesta rakyat. b) Mengenang penampilan saat hari raya/ acara perayaan c) Mengenang makanan / minuman yang disajikan saat hari raya/ acara perayaan. 2) Beri kesempatan secara bergantian menceritakan kenangan tentang hari raya/acara perayaan dengan menunjukkan photo atau benda kenangan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan beberapa kue hari raya di atas meja ( sambil bercerita pengalaman hari raya/perayaan lansia mencicipi makanan).. 3) Lansia dibagi dalam beberapa kelompok sesuai kenyakinannya mendisukusikan lagu/ puisi / karungut yang menggambarkan suasana hari raya/acara perayaan. 4) Beri kesempatan kelompok lansia secara bergantian menampilkan lagu/ puisi / karungut tentang hari raya/acara perayaan. 5) Beri reinforcement positif atas kemampuan lansia.

185 55 c. Fase terminasi 6) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan mengenang hari raya/acara perayaan c) Mengevaluasi kemampuan lansia menampilkan lagu/karungut/puisi terkait hari raya/acara perayaan d) Mengevaluasi ekspresi lansia saat mengenang hari raya/acara perayaan. c) Rencana tindak lanjut a) Lansia menulis kenangan yang belum disampaikan tentang hari raya/acara perayaan b) Lansia latihan mengenang kegembiraan saat hari raya/acara perayaan. d) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati kegiatan sesi 12 yaitu kesimpulan dan evaluasi b) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan.

186 56 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 11 (sebelas) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai 1 Menyampaikan kenangan tentang hari raya/acara perayaan 2 Menyampaikan perasaan senang terhadap hari raya/acara perayaan 3 Menampilkan kerjasama terkait kenangan hari raya/acara perayaan 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : Nilai lansia Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 11 sebelum mengakhiri sesi terapi. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 11 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

187 57 SESI 12 : KESIMPULAN DAN EVALUASI A. TUJUAN 1. Mengetahui sesi yang paling berkesan bagi lansia 2. Mengetahui manfaat terapi reminiscence bagi peserta 3. Mengafirmasi kemampuan positif yang dimiliki lansia 4. Menegaskan pentingnya kegiatan bersama. B. SETTING TEMPAT Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran. C. ALAT Buku kerja, buku evaluasi, alat tulis, name tag, photo kegiatan/video kegiatan. D. METODE Diskusi dan tanya jawab E. LANGKAH KERJA 1. Persiapan a. Mengingatkan lansia untuk hadir 30 menit sebelum kegiatan dimulai. b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. 2. Pelaksanaan a. Fase Orientasi 1) Salam terapeutik Terapis mengucapkan salam kepada semua lansia. 2) Evaluasi/Validasi a) Menanyakan bagaimana perasaan lansia. b) Menanyakan apakah lansia mendapatkan kenangan belum dituliskan pada sesi 11 dan sudah latihan mengenang. c) Melakukan cek pada buku kerja d) Beri pujian bila lansia telah melakukannya. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan sesi 12 tentang kesimpulan dan saran yaitu mengingatkan kembali tentang proses kegiatan dan menggunakan manfaat terapi untuk mengatasi masalah saat ini. b) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut : Lama kegiatan menit

188 58 Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, perilaku. b. Fase kerja 1) Terapis menampilkan photo kegiatan / video rekaman (menampilkan beberapa bagian penting dalam durasi waktu yang singkat) kegiatan mulai sesi 1 11, seluruh lansia menonton dan menyimak dengan baik. Dipersilahkan kepada lansia memberi komentar. 2) Lansia dibagi menjadi kelompok kecil (terdiri dari 3-4 orang) mendiskusikan sesi terapi yang paling berkesan, respon terhadap terapi dan manfaat yang dirasakan. 3) Beri kesempatan setiap lansia bergantian menyampaikan pendapat tentang sesi yang paling berkesan, respon dan manfaat yang dirasakan, searah jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan terapis). ( Terapis melakukan evaluasi harapan dan masalah psikologis yang diungkapkan pada awal terapi ) Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan mengucapkan...(nama panggilan lansia) luar biasa. (sambil mengacungkan jempol dengan wajah berseri) Tea break : Menyiapkan minuman dan beberapa kue yang lebih spesial dibanding sesi sebelumnya.. 4) Menyerahkan benda kenangan sebagai tanda partisipasi dalam kegiatan terapi Reminiscence. 5) Menyanyi bersama (pilih lagu yang bermakna positif dan membangun serta dapat dinyayikan bersama)

189 59 c. Fase terminasi 1) Evaluasi subjektif / objektif a) Menanyakan perasaan lansia b) Mengevaluasi kemampuan lansia melakukan evaluasi diri c) Mengevaluasi kemampuan menggunakan terapi untuk mengatasi masalah saat ini. d) Mengevaluasi ekspresi lansia. 2) Rencana tindak lanjut Lansia latihan mandiri mengenang memori yang menyenangkan untuk mengatasi masalah saat ini. 3) Kontrak yang akan datang Menyepakati terapi, waktu dan tempat kegiatan selanjutnya

190 60 3. Evaluasi Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan saat melaksanakan kegiatan sesi 12 (sebelas) dalam kelompok Tanggal : Kelompok : No Aspek yang dinilai Nilai lansia Menyampaikan kenangan yang paling berkesan 2 Menyampaikan perasaan senang terhadap kegiatan terapi 3 Menyebutkan manfaat terapi yang dirasakan 4 Ekspresi wajah senang saat membagikan kenangan a. Ada kontak mata b. Postur tubuh rileks c. Senyum Petunjuk penilaian : 1. Total skor 6 2. Nilai 1 jika dilakukan Nilai 0 jika tidak dilakukan 3. Skor akhir untuk melanjutkan sesi selanjutnya adalah > 4 4. Apabila ada lansia memiliki skor akhir < 4 maka mengulang terapi Terapi kelompok Reminiscence sesi 11 sebelum mengakhiri sesi terapi. A. KOMENTAR SECARA UMUM TENTANG KEGIATAN SESI 12 B. REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN SESI BERIKUTNYA

191 61 BAB IV BUKU KERJA Buku kerja ini merupakan buku pegangan bagi lansia sebagai panduan mengikuti kegiatan terapi dan melakukan latihan baik selama terapi Reminiscence berlangsung maupun saat melakukan latihan mandiri, dengan harapan mendapatkan manfaat terapi semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah keperawatan yang dihadapi. BUKU KERJA TERAPI KELOMPOK REMINISCENCE Nama : Alamat : PROGRAM PENDIDIKAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Proyeksi dan data-data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sehat jiwa adalah keadaan mental yang sejahtera ketika seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap stressor, produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Konsep tentang manusia bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya maupun lingkungan luarnya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara

Lebih terperinci

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH Sri Wahyuni Dosen PSIK Universitas Riau Jl Pattimura No.9 Pekanbaru Riau Hp +62837882/+6287893390999 uyun_wahyuni2@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi perilaku, yaitu bagaimana prestasi kerja yang ditampilkan oleh individu baik proses maupun hasilnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996, kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization, BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan sekumpulan gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization, 2001). Gangguan jiwa

Lebih terperinci

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN Ni Made Dian Sulistiowati*, Budi Anna Keliat **, Ice Yulia Wardani** * Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkonstribusi pada fungsi yang terintegrasi. Pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan professional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis (Maramis, 2009). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis (Maramis, 2009). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Penurunan yang terjadi berbagai

Lebih terperinci

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PENGARUH ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY TERHADAP GEJALA DAN KEMAMPUAN KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN Ni Made Dian Sulistiowati*, Budi Anna Keliat **, Ice Yulia Wardani** * Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial, yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini cenderung semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan hidup yang semakin tinggi dan tidak tepatanya pemberian koping pada stresor mengakibatkan peningkatan kasus gangguan jiwa. Menurut WHO (2009) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL KEPUTUSASAAN DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JAKARTA A. KOMPETENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Konsep tentang manusia bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan manifestasi klinis dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual yang utuh dan unik, artinya yang merupakan satu kesatuan yang utuh dari aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dibidang kesehatan, meningkatnya sosial ekonomi dan peningkatan masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan usia harapan hidup.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian ( WHO,

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Oleh Afandi 1), Y.Susilowati 2) 1) Alumni Akademi Keperawatan Krida Husada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di segala kehidupan. Tidak orang semua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007), sebanyak 1 juta orang atau sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut UU No.36 tahun 2009 adalah "Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia. Dari seluruh skizofrenia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang mengganggu fungsi mental sehingga menempatkan seseorang dalam kategori tidak sejahtera. Gangguan jiwa adalah respon maladaptif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa adalah penyakit dengan manifestasi psikologik atau perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, psikologik, genetika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orang lanjut usia adalah sebutan bagi mereka yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat Mendapatkkan gelar ahli madya keperawatan Disusun

Lebih terperinci

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas 1 /BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara - negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak BAB I PENDAHULUAN 1,1. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi hidup manusia menurut WHO, sehat diartikan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada fungsi ginjal, dimana tubuh tidak mampu untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada masa globalisasi saat ini dengan kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia cenderung akan mengalami stress apabila ia tidak mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk-bentuk dukungan keluarga terhadap lansia (

BAB I PENDAHULUAN. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk-bentuk dukungan keluarga terhadap lansia ( BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan telah meningkatkan kesejahteraan sosial dan derajat kesehatan masyarakat, yang dampak positifnya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

Abdul Wakhid 1), Achir Yani S. Hamid 2), Novy Helena CD 3) AKPER Ngudi Waluyo, Ungaran, 50515, Indonesia

Abdul Wakhid 1), Achir Yani S. Hamid 2), Novy Helena CD 3) AKPER Ngudi Waluyo, Ungaran, 50515, Indonesia PENERAPAN TERAPI LATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DAN HARGA DIRI RENDAH DENGAN PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR 1) Abdul Wakhid 1), Achir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Dadang yang awalnya ingin melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara serentak batal menikah, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai karakteristik positif yang menggabarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan

Lebih terperinci

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri A. Pengertian Defisit Perawatan Diri Kurang perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Maslim, 2001). Kurang perawatan diri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan keadaan dimana kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (WHO, 2005). Kesehatan terdiri

Lebih terperinci

Key words: social skills training therapy, social isolated, behavioral system model

Key words: social skills training therapy, social isolated, behavioral system model Penerapan Terapi Social Skills Training Pada Klien Isolasi Sosial dengan Pendekatan Teori Dorothy E. Johnson Behavioral System Model di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor Sutejo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan perasaan sehat dan berbahagia mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri

Lebih terperinci

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL MODUL KEPERAWATAN JIWA I NSA : 420 MODUL ANXIETAS DISUSUN OLEH TIM KEPERAWATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JAKARTA A. KOMPETENSI

Lebih terperinci

Abstract. Key word : social skills training, social isolation, low self esteem, Peplau interpersonal model

Abstract. Key word : social skills training, social isolation, low self esteem, Peplau interpersonal model PENERAPAN TERAPI LATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DAN HARGA DIRI RENDAH DENGAN PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR Abdul Wakhid *), Achir Yani

Lebih terperinci

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas Nama : Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : 19671215 200003 1 002 Departemen Mata Kuliah Topik : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas : Keperawatan Komunitas : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas LAPORAN WHO (2002)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dari masalah yang diteliti, rumusan masalah, tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian, serta manfaat penelitian. 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku pantas dan adaptif.organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefeniskan kesehatan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Isolasi sosial sering terlihat pada klien skizofrenia. Hal ini sebagian akibat tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan kehilangan batasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dari masalah yang diteliti, rumusan masalah, tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian, serta manfaat penelitian ini. A. Latar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang paling sering dialami oleh masyarakat (Lubis, 2009). Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan

Lebih terperinci

Vol XI Nomor 1 Januari Jurnal Medika Respati ISSN :

Vol XI Nomor 1 Januari Jurnal Medika Respati ISSN : EFEKTIFITAS TERAPI KOGNITIF DAN LOGOTERAPI DALAM ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN HDR SITUASIONAL DAN KETIDAKBERDAYAAN MELALUI PENDEKATAN KONSEP STRES ADAPTASI STUART DI RSUP PERSAHABATAN, JAKARTA Wahyu Rochdiat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). 1 BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Menarik diri adalah satu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri). (Depkes RI, 1983) Menarik

Lebih terperinci

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY

PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN TERAPI REMINISCENCE PADA LANSIA HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY Novi Herawati (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang) ABSTRACT The study aimed to

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

Abstrak

Abstrak 1 Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Isolasi Sosial Menggunakan Pendekatan Model dan Konsep Teori Hildegard Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H Marzoeki Mahdi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial

BAB I PENDAHULUAN. muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial budaya serta krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan kesehatan mental psikiatri sebagai efek negatif modernisasi atau akibat krisis multidimensional dapat timbul dalam bentuk tekanan dan kesulitan pada seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah penyakit dengan. manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah penyakit dengan. manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau perilaku yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stuard & Sudeen (1998) mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyimpangan proses pikir, alam perasaan, dan perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir ini menjadi salah satu faktor peningkatan permasalahan kesehatan fisik dan mental/spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun 2014 merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN KONSEP DIRI PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROV.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN KONSEP DIRI PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN KONSEP DIRI PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH PROV. SULAWESI SELATAN Beatris F. Lintin 1. Dahrianis 2. H. Muh. Nur 3 1 Stikes Nani Hasanuddin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. umur harapan hidup tahun (Nugroho, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. umur harapan hidup tahun (Nugroho, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya usia harapan hidup hampir di seluruh negara di dunia menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dan terjadi transisi demografi ke arah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. ( Yosep, 2007 ). Harga

Lebih terperinci

APLIKASI TERAPI SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS DI RSMM JAWA BARAT

APLIKASI TERAPI SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS DI RSMM JAWA BARAT APLIKASI TERAPI SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS DI RSMM JAWA BARAT Efri Widianti 1, Budi Anna Keliat 2, Ice Yulia Wardhani 3 1 Fakultas Keperawatan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu atau Manusia dalam hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014 merupakan suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan

Lebih terperinci