BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai proses

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai proses"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai proses dalam pengembangan potensi manusia secara optimal dan berfungsi untuk mengembangkan manusia ke arah kearifan, pengetahuan dan etika sehingga dapat membangun aspek kognisi, afeksi dan psikomotor secara optimal. Diungkapkan oleh Elmubarok (2009:3) peranan pendidikan bagi manusia sebagai proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar dapat melakukan peranannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Menurut Kartadinata (2011:11) pendidikan berfungsi untuk pengembangan, peragaman dan integrasi. Dari ketiga fungsi tersebut memiliki arti bahwa pendidikan berfungsi untuk membantu manusia dalam pengembangan diri sesuai dengan keunikannya dimana keragaman perkembangan diri tersebut disesuaikan dengan potensi yang dimiliki individu agar menjadi manusia yang utuh. Fungsi pendidikan yang diharapkan bagi perkembangan manusia tercantum di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab II Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2 2 Uraian fungsi pendidikan di atas berimplikasi terhadap pengertian pendidikan. Pengertian pendidikan di antaranya menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan adalah : usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Uraian di atas menyuratkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal. Menurut Makmun (2005:22) pendidikan mencakup seluruh proses hidup dan termasuk interaksi individu dengan lingkungannya yang berlangsung secara formal, nonformal maupun informal agar peserta didik dapat mewujudkan dirinya sesuai dengan tahapan tugas perkembangan secara optimal sehingga mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu. Pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan khusus, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan umum. Berkaitan dengan pendidikan khusus, pada Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 127 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.

3 3 Lebih lanjut terkait fungsi, tujuan dan peserta didik pada pendidikan khusus dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 129 (1), (2) dan (3). Pasal 1 terkait fungsi pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan yakni memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fungsi,emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Pasal 2 terkait tujuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya. Pasal 3 terkait peserta didik yang mengikuti pendidikan khusus berkelainan terdiri dari peserta didik tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, gangguan motorik, menjadi penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain serta memiliki kelainan lain. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan dasar (Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Bab VII Pasal 133) terdiri atas sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat; dan sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. Penjelasan di atas menegaskan bahwa satuan pendidikan khusus adalah bentuk layanan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada jalur pendidikan formal untuk jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Peserta didik berkelainan karena keterbatasan fungsi indera dan/atau fisiknya adalah mereka yang tergolong sebagai penyandang

4 4 tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras dan autis. Secara spesifik satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan, terdapat dalam bentuk kelembagaan Sekolah Luar Biasa (SLB) jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB. Uraian SLB berdasarkan spesifikasi kelainan yang disandangnya, yaitu: (1) SLB A untuk tunanetra; (2) SLB B untuk tunarungu dan wicara; (3) SLB C untuk tunagrahita; (4) SLB D untuk tunadaksa; (5) SLB E untuk tunalaras (Tuslina T, 2012). Peserta didik yang menyandang kelainan tersebut dihadapkan pada permasalahan permasalahan di antaranya terkait permasalahan akademik dan pribadi-sosial yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman fisik dan kurang adanya proses interaksi belajar. Menurut Neely permasalahan tersebut dikelompokan menjadi empat, yaitu hubungan dengan orang lain, konflik internal, tingkah laku maladaptif dan konseling vokasional. Pada usia sekolah lanjutan pertama, permasalahan yang dapat mengganggunya di antaranya permasalahan pribadi-sosial seperti menguatnya kebutuhan diterima oleh teman sebaya selain itu penguasaan keterampilan dan pilihan kerja (Iin dan Purwanti, 2000:20). Permasalahan pribadi-sosial tersebut tidak timbul dengan sendirinya. Sebagaimana diketahui bahwa perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan mengenai individu atau organisme tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Carl Rogers (Darminto, 2007:108) yang menyatakan bahwa manusia bereaksi terhadap lingkungannya sesuai dengan persepsi dan pengalamannya sendiri. Pengalaman tersebut meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan

5 5 pengalaman tersebut disebut medan fenomenal atau medan persepstual. Medan fenomenal adalah dunia privat individu (individual frame of reference) yang hanya diketahui oleh orang itu sendiri. Tingkahlaku seseorang dapat dipahami dengan sangat baik dari kerangka internal individu itu sendiri. Rogers mendefinisikan kerangka acuan internal (internal frame of refrence) sebagai seluruh bidang pengalaman yang tersedia bagi pengalaman individu pada saat tertentu. Bidang pengalaman tersebut meliputi sensasi-sensasi, persepsi-persepsi, makna-makna, ingatan-ingatan yang tersedia bagi kesadaran. Beberapa pengalaman individu (medan fenomenal) berdiferensiasi dan dilambangkan sebagai kesadaran. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah pengalaman diri dan akhirnya sebagian dari pengalaman tersebut menjadi dasar dalam pembentukan konsep diri. Menurut Rogers (Prabawa, 2009:10) konsep diri terbagi 2 yaitu real self dan ideal self. Real self adalah keadaan diri individu saat ini, sementara ideal self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut. Untuk menunjukkan kesesuaian antara kedua konsep diri tersebut, Rogers mengenalkan dua konsep, yaitu incongruence dan congruence. Dalam teori Rogers, terdapat dua arti dari kongruensiinkongruensi. Pertama adalah kongruensi atau inkongruensi antara kenyataan subjektif dan kenyataan luar. Sedangkan yang kedua adalah tingkat ketidaksesuaian antara diri (pengalaman nyata) dan diri idealnya sangatlah besar, sehingga membuat orang merasa tidak puas sehingga sulit untuk menyesuaikan diri (Prabawa, 2009:11).

6 6 Lebih lanjut terkait konsep diri dan penyesuaian diri khususnya pada remaja, menurut Santrock (2003:334) perkembangan konsep diri dan penyesuaian diri remaja dipengaruhi oleh perkembangan kognisi. Perkembangan kognisi pada remaja sangat memungkinkan remaja untuk berfikir secara lebih abstrak dan idealistik sehingga pada pemahaman diri seorang remaja dapat menjadi semakin terdiferensiasi sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi. Setelah kebutuhan untuk mendiferensiasikan diri ke dalam banyak peran dalam konteks yang berbeda-beda ada dalam diri remaja, muncullah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi tersebut. Adanya sifat kontradiktif tersebut pada masa remaja membuat munculnya fluktuasi diri remaja dalam berbagai situasi dan waktu tidaklah mengejutkan. Munculnya kemampuan remaja untuk mengkonstruksi diri ideal disamping diri yang sebenarnya, menjadi sesuatu yang membingungkan bagi remaja. Menurut Carl Rogers adanya perbedaan yang terlalu jauh antara diri yang nyata dengan diri yang ideal menunjukkan tanda ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri. Berkaitan dengan upaya penyesuaian diri remaja ke arah dewasa, biasanya para remaja mengalami kebingungan dalam menemukan konsep dirinya, karena remaja belum menemukan status dirinya secara utuh. Sisi lain yang dimiliki para remaja adalah adanya perasaan sudah besar, kuat, pandai dan telah menjadi dewasa. Tetapi mereka tetap memiliki perasaan ketidakpastiaan dan kecemasan sehingga membutuhkan perlindungan dari orangtua (Kartono, 1995:20). Menurut Agustiani (2006:143), selama masa anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan, menggantikan

7 7 orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh pada konsep diri mereka. Anak makin mengidentifikasikan diri dengan anak-anak seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku dari kelompok teman sebaya dari jenis kelamin yang sama. Selama masa anak akhir konsep diri yang terbentuk sudah agak stabil. Tetapi dengan mulainya masa pubertas terjadi perubahan drastis pada konsep diri. Remaja yang masih muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, namun bagi orang tua ia tetap masih seseorang anak-anak. Konsep diri berperan penting dalam kehidupan sebagai penentu perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Hartinah (2008:96) yang mengungkapkan pentingnya peranan konsep diri karena berpengaruh terhadap perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan orang lain. Sejauh mana individu menyadari dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam dirinya, maka akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Apabila seseorang mampu menerima segala kelebihan dan kekurangannya maka dalam individu tersebut akan tumbuh konsep diri yang positif, sebaliknya bagi yang tidak mampu menerimanya maka akan menumbuhkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang positif akan mempengaruhi kemampuan individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik. Penelitian Ary et al. (2009) berkaitan dengan hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi di SMP Negeri 2 dan SMP PL Domenico Savio Semarang. Penelitian dilakukan terhadap 61 subjek penelitian, ditemukan hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan

8 8 penyesuaian sosial. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa konsep diri peserta didik SMP merupakan hal penting untuk dikembangkan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana pun mereka berada. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Lailatul Rokhmatika dan Eko Darminto (2013) terhadap 50 peserta didik kelas unggulan di SMP Negeri 1 Kalitengah, Lamongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara konsep diri dan penyesuaian diri peserta didik di sekolah. Menurut Forteza (2002), individu penting untuk memiliki konsep diri yang positif, namun meskipun demikian, beberapa individu mengalami kesulitan untuk menemukan konsep diri yang positif di dalam dirinya, terlepas dari apakah mereka memiliki kelainan atau tidak. Pada dasarnya konsep diri yang dimiliki antara anak tunanetra dan anak awas adalah sama, terbukti dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Huurre et al. (1999) di India. Penelitian dilakukan terhadap 100 peserta didik dengan rentang umur antara tahun, jumlah sampel perempuan tunanetra sebanyak 50 orang dan sampel laki-laki awas sebanyak 50 orang. Hasil penelitian tidak terdapat perbedaan antara konsep diri di antara kelompok partisipan awas dan tunanetra. Hal tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Universitas Hong Kong (Fok dan Fung, 2004), penelitian dilakukan terhadap 115 partisipan yang terdiri dari 52 orang tunanetra dan 63 orang awas, hasil penelitian antara konsep diri partisipan tunanetra dan awas memiliki level self esteem dan konsep diri yang setara.

9 9 Namun menurut Hare and Hare dalam Forteza (2000) ketunanetraan dapat berdampak negatif terhadap konsep diri, karena mereka tidak bisa mengalami situasi penuh atau belajar tentang obyek secara keseluruhan. Hasil penelitian terhadap dampak psikososial dan perilaku yang dialami remaja tunanetra berkaitan dengan ketunanetraannya telah dilakukan oleh Wong et al. (2009) terhadap 1249 orang remaja yang terdiri dari remaja tunanetra dan remaja awas, umur di antara tahun. Hasil penelitian remaja tunanetra memiliki skor psikososial dan peranan sekolah yang lebih rendah dibandingkan remaja awas. Menurut Hatlen (2004) dan Kef (2002) dalam Halder dan Datta (2011:39), beberapa literatur berkaitan dengan kebahagiaan, depresi, kesehatan mental, dan studi tentang dampak psikososial remaja tunanetra menunjukkan bahwa isolasi sosial dan persepsi kelainan dari rekan-rekannya dapat berdampak terhadap harga diri remaja tunanetra. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Nurullah Bolat et al. (2011) terhadap 80 remaja, 40 remaja awas dan 40 remaja tunanetra. Umur partisipan antara tahun. Hasil penelitian tingkat depresi dan konsep diri antara remaja awas dan remaja tunanetra berada pada level yang sama, namun remaja tunanetra cenderung memiliki kecemasan yang lebih tinggi. Senada dengan pernyataan di atas, Blomquist et al., 1998 menyatakan, remaja yang mengalami kelainan di bagian wajah mendapatkan beberapa hambatan seperti tidak terlalu diharapkan oleh pihak orangtua maupun masyarakat, kurangnya mendapatkan pengetahuan tentang layanan karir dan pendidikan dan keterampilan advokasi diri untuk mencapai tujuan mereka.

10 10 Remaja yang mengalami kelainan di bagian wajah di antaranya adalah remaja tunanetra. Mereka mengalami hambatan perkembangan sesuai dengan ketunaannya, namun hal-hal yang berhubungan dengan rangsangan mata diganti dengan indra lainnya sebagai kompensasinya, terkecuali tunanetra yang diiringi oleh kelainan ganda. Menurut Kirkwood (1997:110), salah satu aspek penting pada masa remaja adalah pengembangan identitas dan harga diri yang bersifat positif. Hal tersebut terkadang sulit melakukan pengembangan tersebut bagi remaja, karena pada umumnya remaja dipenuhi oleh keraguan diri dan ketidakpastian masa depan, terlebih lagi apabila disertai adanya gangguan penglihatan. Menurut pernyataan dari para peneliti (Centers & Centers, 1963; Siller, Ferguson, Vann & Holland, 1968; Wright, 1960) dalam Backen (1996: 384), hampir semua nasib individu dengan kondisi kelainan/ketunaan mendapatkan penilaian yang negatif dari masyarakat, misalnya masyarakat cenderung melihat sisi ketidakmampuannya sehingga menghambat pengembangan konsep diri yang positif. Apabila individu tersebut memiliki konsep diri yang rendah, dengan adanya persepsi negatif dari lingkungannya terhadap dirinya maka konsep diri individu tersebut akan menjadi kurang berkembang ke arah yang positif. Menurut Tuttle dalam Forteza (2000) meskipun semua individu rentan terhadap perkembangan konsep diri yang negatif, individu tunanetra berada pada resiko yang lebih besar. Dia menyatakan bahwa rasa memiliki kompetensi diri dan persepsi dari orang lain penting dalam perkembangan konsep diri individu, karena individu dengan gangguan penglihatan dipandang berbeda oleh orang lain, sehingga mereka lebih mungkin untuk mengembangkan konsep diri yang negatif.

11 11 Menurut Clock-Clampert dalam Forteza (2000), aspek yang paling fundamental dari anak tunanetra adalah konsep dirinya yaitu cara anak belajar untuk melihat dirinya sendiri, memiliki dampak besar terhadap ambisi masa depan, prestasi dan kebahagiaan pribadinya. Anak tunanetra merupakan individu yang mengembangkan dirinya melalui hubungan dan interaksi dinamis dengan inividu lain dan dengan kelompok sosial, baik di lingkungan sekolah, asrama, rumah maupun di lingkungan masyarakat. Dengan demikian untuk mengembangkan diri anak tunanetra khususnya konsep diri anak tunanetra diperlukan rancangan bimbingan dalam ruang lingkup pribadisosial yang menekankan pada peningkatan pengalaman yang positif dan pengembangan konsep real self agar tidak terlalu khawatir mengenai apa yang orang lain inginkan pada diri anak tunanetra. Bimbingan pribadi-sosial berarti upaya untuk membantu individu dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi konflik-konflik dalam diri, sebagai upaya untuk mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta upaya membantu individu dalam membina hubungan sosial di berbagai lingkungan (pergaulan sosial) (Yusuf, 2009: 53). Bimbingan pribadi-sosial dimaksudkan di atas yaitu untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi-sosial dalam mewujudkan pribadi yang takwa, mandiri, dan bertanggung jawab. Dalam aspek pribadi-sosial, layanan bimbingan membantu peserta didik agar: 1) memiliki kesadaran diri dan dapat mengembangkan sikap positif, 2) membuat pilihan secara sehat, 3) menghargai

12 12 orang lain, 4) mempunyai rasa tanggung jawab, 5) mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi (interpersonal), 6) menyelesaikan konflik, 7) membuat keputusan secara efektif. Program bimbingan tersebut selayaknya berbasis pendekatan yang bertitiktolak dari pandangan yang positif terhadap manusia atau bahwa manusia pada dasarnya baik, perilaku manusia dengan sadar, bebas dan bertanggungjawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawi secara penuh, serta agar berkembang ke arah positif, manusia membutuhkan suasana dan pendampingan personal serba penuh penerimaan dan penghargaan demi mekarnya potensi positif yang melekat dalam dirinya (Hall dan Lindzey dalam Supriatna, 2010: 11) Pernyataan tersebut menghantarkan perancangan program bimbingan untuk mengembangkan konsep diri yang didasarkan atas pendekatan humanistik. Menurut Alwisol (2009:265) pendekatan humanistik menekankan manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri, rasional, utuh, mudah berubah dan sukar dipahami. Dalam hal ini, program bimbingan dipandang sebagai upaya pendidikan dalam bentuk layanan yang: (1) memusatkan perhatian pada pribadi yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomenon primer dalam mempelajari manusia; (2) menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia seperti realisasi diri; (3) bersandarkan pada kebermaknaan dalam memilih masalahmasalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang digunakan; (4) memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan

13 13 martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:11). Bimbingan pribadi-sosial dengan pendekatan humanistik dilakukan dengan mengintegrasikan bimbingan pribadi-sosial yang di dalamnya memungkinkan peserta didik mengembangkan konsep diri yang meliputi aspek kognitif dan afektif untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kondisi fisiknya, identitas dirinya terkait sifat yang dimilikinya, mengenal kemampuan dan ketidakmampuannya, mempelajari cara pengambilan keputusan, memaknai pengalaman, menghargai diri, sikap percaya diri dan mengembangkan nilai moral peserta didik pada saat itu agar anak tunanetra tidak terlalu khawatir mengenai apa yang orang lain inginkan pada diri anak tunanetra sehingga mempengaruhi ideal selfnya. Asumsinya berdasarkan pada pandangan positif tentang manusia, dengan memandang manusia memiliki sifat bawaan untuk berjuang keras untuk menjadi individu yang selaras dan berfungsi secara penuh (becoming fully functioning) (Feist dan Feist, 2010:7). Individu dapat mengembangkan keselarasan di dalam konsep dirinya dan keberfungsiannya sebagai manusia secara penuh setelah diberi kebebasan dan dukungan emosional serta didorong dengan lingkungan yang menerima dan memahami situasi terapeutik. Dengan demikian Sekolah memerlukan Program Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Mengembangkan berdasarkan Pendekatan Humanistik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan fakta empirik di atas memunculkan masalah penelitian secara umum adalah Bagaimana program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan

14 14 pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013?. Secara lebih rinci masalah utama tersebut diuraikan ke dalam pertanyaan sebagai berikut: 1) bagaimana profil umum konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013? 2) bagaimana kondisi awal profil konsep diri subjek penelitian? 3) bagaimana rumusan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 yang layak menurut pakar dan praktisi bimbingan dan konseling? 4) bagaimana gambaran efektivitas program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013? C. Penjelasan Istilah Dalam rumusan permasalahan di atas terdapat dua istilah, yaitu konsep diri dan bimbingan pribadi-sosial. Berikut ini adalah uraian penjelasan istilah tersebut. 1) Konsep Diri Menurut Burn (1993:87) konsep diri yaitu konseptualisasi individu mengenai pribadinya sendiri, dipandang sebagai seseorang yang diinvestasikan dengan konotasi-konotasi emosional yang potensial dan evaluatif karena keyakinan-keyakinan subyektif dan pengetahuan faktual yang dianggap berasal dari diri individu yang bersifat pribadi dalam berbagai tingkatan, intens dan sentral terhadap keunikan identitasnya.

15 15 Menurut Hurlock (1993: 234) konsep diri diartikan sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karasteristik fisik, emosional, psikologis sosial, aspirasi dan prestasi. Berdasarkan pendapat Hurlock, keyakinan terhadap apa yang menjadi karakteristik individu tidak seharusnya didapatkan dari orang lain sebagai pemberi informasi. Individu dapat menggali dan mengolahnya sendiri menjadi sebuah kepribadian yang khas. Menurut Carl Rogers (Alwisol, 2004:338) konsep diri diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan/sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya sendiri; (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya. Lebih lanjut menurut Rogers, konsep diri merupakan gestalt konseptual yang teratur dan bersifat konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang ciri atau karakteristik diri individu dan juga persepsi yang individu miliki tentang hubungan antara diri individu dengan orang lain, pendapat orang lain yang diyakini terhadap diri, juga berbagai aspek dalam kehidupan individu. Konsep diri menurut Rogers (Prabawa, 2009:10) tidak hanya terdiri dari persepsi tentang apa yang individu sukai, tetapi juga apa yang individu fikirkan tentang apa yang seharusnya individu lakukan dan ingin menjadi seperti apa diri individu. Keadaan diri individu saat ini disebut real self, sementara ideal self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.

16 16 Menurut Atwater (Desmita, 2010:163) konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Atwater mengidentifikasikan konsep diri atas tiga bentuk, pertama, body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya; kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya; ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan konsep diri adalah cara pandang individu terhadap gambaran pribadinya yang merupakan gabungan dari persepsi dan sikap terhadap keadaan diri individu saat ini dan keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu tersebut dengan dipengaruhi aspek-aspek yang terikat meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif meliputi pengalaman masa lalu, keyakinan terhadap pilihan, pemahaman kelebihan dan kelemahan diri, pertimbangan konsekuensi pilihan-pilihan, tujuan yang ingin dicapai, harapan, nilai-nilai kehidupan, kesadaran akan perilaku diri dan orang lain. Aspek afektif meliputi dorongan-dorongan, perasaan subjektif individu tetrhadap diri, penghargaan terhadap diri dan orang lain, keterlibatan dalam sebuah komunitas dan taat pada norma yang berlaku. Aspek psikomotorik meliputi interaksi dengan lingkungan sosial, kemampuan berbahasa dan mengelola emosi. Konsep diri mempresentasikan pola persepsi yang terorganisasi dan kosisten. Walaupun diri berubah, diri akan selalu memiliki kualitas pola, integrasi dan organisasi yang sama.

17 17 Istilah konsep diri dalam penelitian ini adalah cara pandang individu terhadap gambaran pribadinya saat ini, meliputi aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif meliputi pengetahuan diri terkait kondisi fisik, penjabaran identitas diri terkait kepribadian, pemahaman kelebihan dan kelemahan diri, pertimbangan konsekuensi pilihan-pilihan, pemaknaan terhadap pengalaman, kesadaran akan perilaku diri dan orang lain. Aspek afektif meliputi dorongan-dorongan, perasaan subjektif individu terhadap diri, penghargaan terhadap diri dan orang lain, sikap percaya diri dan keyakinan terhadap nilai dan norma yang berlaku. 2) Bimbingan Pribadi-Sosial Menurut Winkel (2006:118) bimbingan pribadi-sosial berarti bimbingan yang diberikan kepada konseli oleh konselor dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial). Menurut Rochman Natawidjaja (Yusuf, 2010:40) bimbingan pribadi-sosial diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan secara berkesinambungan oleh konselor, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Lebih lanjut Yusuf dan Nurihsan (2010:11) menjabarkan bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam

18 18 memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial. Yang tergolong dalam permasalahan pribadi-sosial adalah masalah hubungan dengan sesama teman, pemahaman sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik. Berdasarkan uraian di atas bimbingan pribadi-sosial dapat diartikan sebagai proses bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan oleh tenaga ahli (konselor) untuk membantu individu (konseli) memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial, yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi, serta ragam permasalahan yang dialami oleh individu (konseli). Bimbingan pribadi-sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif serta keterampilanketerampilan sosial yang tepat. Pendekatan humanistik menurut Rochman Natawidjaja (Supriatna, 2010:56) memiliki pandangan yang menghargai pemahaman pengalaman subjektif individu dan mementingkan aspek pertumbuhan dan perkembangan pribadi untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis tersebut sangat tergantung pada konsep diri yang sehat. Perkembangan konsep diri yang sehat akan tercapai jika seseorang memperoleh penghargaan positif atau cinta tanpa syarat. Lebih lanjut pendekatan humanistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:56): 1) berfokus pada pengalaman sebagai fenomenon primer dalam mempelajari manusia, atau perhatian terpusat

19 19 pada pribadi yang mengalami; 2) menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai dan realisasi diri sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik; 3) dalam memilih masalah-masalah yang dipelajari dan prosedur penelitian yang dipergunakan bersandar pada kebermaknaan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi; dan 4) memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang melekat pada setiap individu. Artinya, individu dipandang dapat menemukan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial. Pendekatan humanistik Rogers memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia tersebut berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek pendekatan humanistik Rogers atau disebut terapi person centered (PCT). Menurut Roger konsep inti PCT adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Program bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan konselor untuk melaksanakan bantuan kepada individu (konseli) dalam mengembangkan potensi diri dan kemampuan berhubungan sosial sehingga

20 20 membina hubungan sosial di berbagai lingkungan atau pergaulan sosial, serta bertujuan untuk mencapai perkembangan diri khususnya pengembangan konsep diri individu dengan menggunakan pendekatan humanistik dari Rogers melalui metode yang mengandung aktivitas dialogis, reflektif dan ekspresif, sebagaimana dipergunakan dalam proses pendidikan yang humanis. Adapun struktur program sebagai berikut. 1. Orientasi program yaitu landasan pembuatan program bimbingan yang mengacu pada teori Rogers sebagai pedoman utama. 2. Rasional dan asumsi program menjelaskan mengenai pandangan Rogers terhadap manusia khususnya dalam mengembangkan konsep diri peserta didik. 3. Tujuan program yaitu menerapkan pendekatan humanistik dari Rogers untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. 4. Peran konselor yaitu menjabarkan tugas-tugas konselor dalam melaksanakan program pribadi-sosial dari mulai persiapan, pelaksanaan dan evaluasi program. 5. Kompetensi konselor yaitu menjelaskan kemampuan-kemampuan konselor dalam melaksanakan program bimbingan pribadi-sosial dalam penelitian ini. 6. Struktur dan tahapan program yaitu menjelaskan dengan rinci tahapan, tujuan, deskripsi kegiatan, dan sistem penunjang pelaksanaan program. 7. Evaluasi program yaitu mencakup evaluasi proses dan hasil. 8. Indikator pencapaian pelaksanaan program bimbingan pribadi-sosial dalam mengembangkan konsep diri peserta didik.

21 21 D. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik. Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk menemukan fakta empirik tentang: 1) profil umum konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013; 2) kondisi awal profil konsep diri subjek penelitian; 3) rumusan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013 yang layak menurut pakar dan praktisi bimbingan dan konseling; 4) keefektifan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X Tahun Pelajaran 2012/2013. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi konselor sekolah dan peneliti selanjutnya. 1) Bagi guru bimbingan dan konseling/konselor sekolah Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi konselor untuk mengembangkan konsep diri peserta didik khususnya peserta didik tunanetra satuan pendidikan SMP. 2) Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian dapat ditindaklanjuti untuk mengembangkan konsep diri peserta didik dalam setting sekolah SLB maupun sekolah inklusi yang lebih luas.

22 22 F. Asumsi Penelitian Penelitian dan pengembangan program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik SMPLB X didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut. 1) Bimbingan pribadi-sosial diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami individu (Syamsu, 2010). 2) Pendekatan humanistik memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan martabat manusia, serta tertarik pada perkembangan potensi yang melekat pada setiap individu. Artinya, individu dipandang dapat menemukan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial (Misiak dan Sexton dalam Supriatna, 2010:56). 3) Pendekatan person centered therapy lebih menekankan nilai-nilai positif individu, lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan dan kemampuannya daripada kekurangan dan kesulitannya. Disamping itu, konsep unconditional positive regard besar artinya untuk mempromosikan penerimaan diri (self acceptance) dan mempertinggi rasa harga diri (self esteem). Selain itu, pendekatan person centered juga menghargai upaya keras, dan hal ini sangat relevan dengan pengalaman individu penyandang cacat tertentu, termasuk ketunanetraan (Tarsidi, 2008:69).

23 23 G. Metodologi Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian eksperimen kuasi, dengan desain kelompok kontrol yang non-ekuivalen (nonequivalent control group design). Desain penelitian nonequivalent pretest-posttest control group design, yaitu jenis desain yang biasanya dipakai pada eksperimen yang menggunakan kelas-kelas yang sudah ada sebagai kelompoknya, dengan memilih kelas-kelas yang diperkirakan sama keadaan atau kondisinya. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

24 24 H. Kerangka Penelitian TAHAP PERSIAPAN Studi Pendahuluan: 1.kajian literatur 2.studi lapangan Rancangan Instrumen Konsep Diri Rancangan Program Bimbingan Pribadi -Sosial Judgment Rasional 1. Judgment ke ahli dan Praktisi 2. Uji Keterbacaan 3. Uji validitas dan Reliabilitas Program Hipotetik Bimbingan Pribadi -Sosial Instrumen Konsep Diri yang Valid TAHAP PELAKSANAAN Tes terhadap populasi penelitian Profil Umum Konsep Diri Eksperimentasi Program kepada Sampel Penelitian kelompok eksperimen Data Awal Konsep Diri Sampel Penelitian: Kel. Eksperimen & Kel Kontrol Pre tes Post tes TAHAP AKHIR Program Bimbingan Pribadi-Sosial yang Efektif untuk Mengembangkan Uji Efektivitas Data Hasil Eksperimen Bagan 1.1 Kerangka Penelitian Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Mengembangkan berdasarkan Pendekatan Humanistik

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan mendorong peserta didik untuk memiliki kekuatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian tentang program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian tentang program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Penelitian tentang program bimbingan pribadi-sosial berdasarkan pendekatan humanistik untuk mengembangkan konsep diri peserta didik dilakukan melalui pendekatan kuantitatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, rancangan program

BAB III METODE PENELITIAN. instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, rancangan program BAB III METODE PENELITIAN Bab ini membahas tentang pendekatan dan desain penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, proses pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita individu. Pendidikan secara filosofis merupakan proses yang melibatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita bangsa Indonesia yang disebutkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan harapan serta potensi untuk mewujudkanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan investasi yang berharga bagi peradaban umat manusia, pada saat yang bersamaan pendidikan dan penalaran moral juga merupakan pilar yang sangat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus yang akan datang. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar bagi kemajuan dan kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar bagi kemajuan dan kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan dasar bagi kemajuan dan kelangsungan hidup individu. Melalui pendidikan, individu memperoleh informasi dan pengetahuan yang dapat dipergunakan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal

Lebih terperinci

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. :: Sistem Pendidikan Nasional Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional.

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga ataupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat dilaksanakan melalui proses belajar mengajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat dilaksanakan melalui proses belajar mengajar yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dilaksanakan melalui proses belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah, meskipun pada dasarnya proses pendidikan dapat dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan dan perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan model konseling kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Secara uji statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas menentukan masa depan bangsa. Sekolah. sekolah itu sendiri sesuai dengan kerangka pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas menentukan masa depan bangsa. Sekolah. sekolah itu sendiri sesuai dengan kerangka pendidikan nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas tercipta dari proses pendidikan yang baik.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS HERRY WIDYASTONO Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Khusus PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 6/9/2010 Herry

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial guna menjamin perkembangan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Fungsi dan tujuan penddikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

2015 EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK JOHARI WINDOW UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DIRI

2015 EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK JOHARI WINDOW UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DIRI BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan menjelaskan beberapa hal penting sebagai dasar dalam penelitian. Bab ini membahas latar belakang mengenai topik atau isu yang diangkat dalam penelitian, rumusan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat menciptakan kemajuan peradaban dan kualitas hidup bangsa. Dalam penyelenggaraan pendidikan faktor pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya perkembangan IPTEK pada era globalisasi sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Lebih terperinci

2014 EFEKTIVITAS KONSELING TEMAN SEBAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SISWA

2014 EFEKTIVITAS KONSELING TEMAN SEBAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SISWA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di Indonesia terdapat berbagai macam jenis pendidikan, salahsatunya pendidikan di pondok pesantren. Secara legalitas dalam pendidikan Nasional, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap manusia adalah unik, dan peserta didik yang memasuki masa remaja harus dapat menyadari hal tersebut. Melalui layanan bimbingan konseling disekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang lebih berkualitas. Hal ini bertujuan untuk membentuk kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting untuk mempersiapkan kesuksesan dimasa depan. Pendidikan bisa diraih dengan berbagai cara salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan adalah suatu proses sadar tujuan, artinya bahwa kegiatan

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) :

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : 1. Konsep dasar bimbingan dan konseling pribadi - sosial : a. Keterkaitan diri dengan lingkungan sosial b. Pengertian BK pribadi- sosial c. Urgensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan

Lebih terperinci

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive Modul ke: Fakultas Psikologi Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Dasar Filsafi Carl Rogers Mengenai Manusia Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Pendidikan diberikan kepada seorang anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Laboratorium Percontohan UPI Bandung. Alasan pemilihan lokasi penelitian yakni belum tersedianya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang. Pendidikan bersifat umum bagi semua orang dan tidak terlepas dari segala hal yang berhubungan

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik lingkungan fisik maupun metafisik. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. baik lingkungan fisik maupun metafisik. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu usaha membantu individu dalam mengembangkan potensinya agar mencapai perwujudan diri. Perwujudan diri akan tampak dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam usaha menciptakan masyarakat yang beriman, berakhlak mulia, berilmu serta demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya. Bahkan keduanya saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi individu. Secara filosofis dan historis pendidikan menggambarkan suatu proses yang melibatkan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan logis.pendidikan diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia yang siap menghadapi kemajuan

Lebih terperinci

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia A. Pendahuluan Sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Sistem

Lebih terperinci

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Pengertian pendidikan sendiri ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia memunculkan perbedaan karakter antara satu dengan yang lainnya. Tidak hanya seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang mengerahkan segala daya upaya untuk melakukan pembangunan di segala bidang demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa pendidikan merupakan hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang kehidupan. Hal ini menuntut adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa. Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan menceerdaskan

I. PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa. Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan menceerdaskan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Siti Fatimah, S.Psi., M.Pd

Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Siti Fatimah, S.Psi., M.Pd Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kerangka Ilmu Pendidikan Siti Fatimah, S.Psi., M.Pd Pendahuluan Pendidikan merupakan dasar bagi kemajuan dan kelangsungan hidup peserta didik. Melalui pendidikan, peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peserta didik di SMA memasuki masa late adolescence yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Santrock (2007) menjelaskan, remaja mengalami berbagai perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu pendidikan seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam 15 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam membentuk pribadi siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 20

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 20 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu kenyataan dalam kehidupan bahwa semua manusia yang lahir perlu mendapatkan pendidikan, karena pendidikan merupakan langkah yang tepat dalam rangka memupuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22 BAB IV ANALISIS A. Optimalisasi manajemen layanan bimbingan dan konseling di SMP Islam Sultan Agung 1 Semarang Pendidikan merupakan aset yang tidak akan ternilai bagi individu dan masyarakat, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia agar mampu menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan meliputi rencana dan proses yang akan menentukan hasil yang ingin di capai sebagaimana termasuk dalam UU No. 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat (1) tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Menjadi insan-insan yang terdidik merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.

Lebih terperinci

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd A. PENDAHULUAN Banyak pertanyaan dari mahasiswa tentang, bagaimana menjadi konselor professional? Apa yang harus disiapkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif yang merupakan pendekatan utama dan pendekatan kualitatif sebagai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif yang merupakan pendekatan utama dan pendekatan kualitatif sebagai 3 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang merupakan pendekatan utama dan pendekatan kualitatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap negara di dunia telah memasuki awal era globalisasi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap negara di dunia telah memasuki awal era globalisasi, dimana 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara di dunia telah memasuki awal era globalisasi, dimana manusia menghadapi tantangan dalam berkembang pesatnya globalisasi. Indonesia sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewi Melati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewi Melati, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cara individu dalam memenuhi kebutuhannya menunjukkan adanya keragaman pola penyesuaian. Individu adalah mahkluk yang unik dan dinamik, tumbuh dan berkembang,

Lebih terperinci

Judul BAB I PENDAHULUAN

Judul BAB I PENDAHULUAN 1 Nama Judul : Ita Wulan Septina : Hubungan antara kepribadian dan lingkungan pergaulan dengan prestasi belajar siswa kelas II program Keahlian Pemesinan SMK Negeri 5 Surakarta tahun pelajaran 2006/2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai ujung tombak perubahan memiliki peranan penting dalam mengoptimalkan potensi peserta didik, sehingga peserta didik memiliki kompetensi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari pelayanan pendidikan dan pengajaran di sekolah agar setiap peserta didik dapat berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pemenuhan tugas perkembangan tersebut, banyak remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses pemenuhan tugas perkembangan tersebut, banyak remaja yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase perkembangan dari kehidupan individu. Pada fase ini terdapat sejumlah tugas perkembangan yang harus dilalui, untuk menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga maupun masyarakat dalam suatu bangsa. Pendidikan bisa. dikatakan gagal dan menuai kecaman jika manusia - manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. keluarga maupun masyarakat dalam suatu bangsa. Pendidikan bisa. dikatakan gagal dan menuai kecaman jika manusia - manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat rentan dengan suatu kondisi dari sebuah masyarakat, baik itu masyarakat keluarga maupun masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus berkembang. Persaingan semakin ketat dan masyarakat dituntut untuk dapat bersaing dalam menghadapi tantangan

Lebih terperinci

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat menghasilkan

Lebih terperinci

CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY)

CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY) Biografi CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY) 1. Carl Rogers dilahirkan di Illionis 8 Januari 1902 USA. 2. Ia menaruh perhatian atas ilmu pengetahuan alam dan biologi. Pengaruh filsafat J. Deway mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belajar merupakan key term, istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan (Muhibbin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nurul Fahmi,2014 EFEKTIVITAS PERMAINAN KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Nurul Fahmi,2014 EFEKTIVITAS PERMAINAN KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aktivitas anak tidak lepas dari kegiatan bermain dan permainan, kegiatan tersebut dapat mengembangkan interaksi dengan orang lain dan menjalin hubungan dengan

Lebih terperinci

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Sosialisasi KTSP DASAR & FUNGSI PENDIDIKAN NASIONAL Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan berdasarkan bab III ayat 5 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia itu sendiri, yaitu membudayakan manusia. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan sebuah perubahan-perubahan baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik kearah

Lebih terperinci

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan

Lebih terperinci