BAB I PENDAHULUAN. Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang menjulang setinggi 2978 m di jantung pulau Jawa ini dalam sejarah letusannya telah menelan banyak korban. Letak Gunung Merapi yang berada pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten memberikan dampak letusan yang luar biasa bagi daerah di sekitarnya. Gambar 1.1. Letak Gunung Merapi Sumber: Materi Paparan BPPTKG Yogyakarta pada Rakor Bakohumas di Kabupaten Magelang,

2 Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Magelang tahun 2014, sejak abad ke-20 korban meninggal akibat letusan Merapi dan banjir lahar dingin tercatat sekitar 1987 jiwa, dengan korban terbanyak pada letusan tahun 1930 sekitar 1369 jiwa. Letusan dahsyat abad ke-21 terjadi tahun Letusan tersebut menghanguskan Desa Kinahrejo Kecamatan Cangkringan Yogyakarta dengan korban meninggal dunia tercatat 388 jiwa yang tersebar di 4 kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Tabel 1.1. Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin dalam Kurun Waktu 100 Tahun Terakhir No Tahun Awan panas Lahar Dingin Jumlah Sumber: Materi paparan BPBD Kabupaten Magelang, 2014 Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, selama 100 tahun terakhir, letusan Gunung Merapi rata-rata terjadi 2-5 tahun sekali. Ancaman utama letusan Gunung Merapi adalah awan panas atau aliran piroklatik. Sedangkan ancaman sekunder berupa banjir lahar dingin di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Jangkauan awan panas dalam letusan normal biasanya kurang dari 10 km, tetapi pada letusan besar bisa mencapai lebih 2

3 dari 20 km. Kondisi Gunung Merapi pasca letusan tahun 2010 terdapat endapan material sebesar > 130 juta m 3 yang berpotensi menimbulkan bencana lahar dingin yang akan mengancam setiap kali musim hujan. Morfologi kawah di puncak Gunung Merapi juga berubah yang berimplikasi pada arah ancaman erupsi yang akan datang. Terbentuknya kawah yang membuka ke arah tenggara/ selatan membawa implikasi pada ancaman erupsi ke depan akan lebih dominan ke arah selatan atau sekitar DIY dan Kabupaten Klaten. Gambar 1.2. Kondisi Morfologi Puncak Gunung Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi 2010 Sumber: Materi paparan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian ESDM, Meskipun potensi letusan ke depan lebih mengarah ke arah DIY dan Kabupaten Klaten. Akan tetapi selama status Gunung Merapi masih sebagai gunung api aktif, maka pemerintah daerah di wilayah Gunung Merapi harus selalu siaga dengan menetapkan prosedur manajemen bencana Gunung Merapi. Berbagai upaya dilakukan guna mengurangi risiko bencana letusan Gunung Merapi. Salah satunya di Kabupaten Magelang, Pemerintah Kabupaten Magelang melalui BPBD menerapkan program sister village sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Program sister village merupakan upaya pengurangan risiko 3

4 bencana dengan menempatkan pengungsi di desa bersaudara yang letaknya di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi. Sehingga apabila bencana terjadi, masyarakat di KRB III Gunung Merapi tidak panik dan bingung karena sudah punya arah dan tujuan yang jelas kemana mereka harus mengungsi. Penempatan pengungsi di desa bersaudara (desa penyangga) bervariasi, ada yang ditempatkan di gedung fasilitas umum, rumah penduduk atau perpaduan antara gedung fasilitas umum dengan rumah penduduk, semua tergantung pada kondisi desa yang ditempati pengungsi. Program sister village ini menyatukan dua pasang desa atau lebih dalam suatu hubungan yang dilembagakan. Di dalam mempersiapkan penerapan program ini, desa penyangga turut bekerja keras. Hal ini dikarenakan fasilitas dan sarana prasarana pendukung pengungsian berada di desa penyangga, sehingga mereka juga turut berperan dalam penyediaannya. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsian seperti tempat penampungan, tempat logistik, dapur umum, dan tempat MCK (mandi, cuci, kakus) harus dipersiapkan dengan baik. Faktanya desa penyangga yang bukan merupakan desa terdampak letusan Gunung Merapi tampak antusias dalam mempersiapkan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsian tersebut. Antara desa penyangga dengan desa KRB III Gunung Merapi juga terlihat kompak dalam mempersiapkan penerapan program sister village ini. Melihat fenomena seperti ini, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai modal sosial di dalam sister village. Bagaimana peranan modal sosial di dalam sister village, sehingga pasangan desa bersaudara mampu menjalin hubungan dengan baik. Modal sosial merupakan bagian penting dalam 4

5 peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Seperti yang dikatakan Mathbor (1997, 1999, 2004: Mathbor et. al. 1993) dalam Mathbor (2007: 358) bahwa peningkatan kapasitas masyarakat melalui pemanfaatan modal sosial yang efektif sangat penting dalam proyek penanggulangan bencana. Penelitian ini fokus pada dimensi dan peranan modal sosial di dalam sister village. Pemilihan topik ini juga untuk mengisi kekosongan gap dalam kajian manajemen bencana dan pengungsi yang didapat dari hasil kajian pustaka. Penulis sebelumnya telah melakukan tinjauan pustaka pada jurnal-jurnal internasional dan tesis yang terkait dengan manajemen bencana. Topik yang dibahas dalam jurnal manajemen bencana meliputi upaya, tantangan, dan persoalan yang dihadapi dalam penanganan bencana serta konsep penanganan bencana berbasis kemitraan dan masyarakat (Sharma, 2003; Chen dkk, 2006; Khan & Rahman, 2006; Hardoy dkk, 2011; Sabur, 2012); Pemanfaatan dan mobilisasi modal sosial dalam mitigasi bencana (sumber: Mathbor, 2007; LaLone, 2012); Strategi masyarakat bekerjasama dengan pemerintah dan LSM dalam tata kelola informasi risiko bencana (sumber: Ikeda dan nagasaka, 2011); Analisis sistem manajemen bencana dan perbandingan sistem penanggulangan bencana (sumber: Lixin dkk, 2011); Pengalaman pengurangan risiko bencana dan pengintegrasian ke dalam manajemen pembangunan (sumber: Hardoy, 2011); serta sejarah dan peran organisasi masyarakat dalam pengurangan risiko bencana (sumber: Ishiwatari, 2012). Selain jurnal internasional, tesis tentang manajemen bencana juga telah banyak ditulis, di antaranya tentang model ketahanan masyarakat dalam bencana 5

6 (Ikhwanuddin, 2014) dan penanganan bencana berbasis pengembangan institusi dan peran serta masyarakat (Balebu, 2010). Selain jurnal dan tesis tentang manajemen bencana, penulis melakukan tinjauan pustaka pada tesis tentang pengungsi. Di antaranya adalah strategi dan pola-pola adaptasi pengungsi terhadap hunian baru dan barak pengungsian (sumber: Nyak Pha, 2007; Widayani, 2014). Dari tinjauan pustaka jurnal dan tesis manajemen bencana serta tesis pengungsi di atas, diketahui bahwa masih banyak kajian tentang manajemen bencana yang belum dibahas. Kajian tentang kelemahan dan kelebihan penerapan manajemen bencana yang diterapkan; faktor-faktor pendukung munculnya modal sosial dan unsur-unsur modal sosial; sejarah atau awal mula munculnya program tata kelola informasi risiko bencana; langkah-langkah yang diambil dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam penanggulangan bencana; persepsi masyarakat terhadap manajemen bencana; dan evaluasi manajemen bencana yang telah dilakukan. Kajian tentang upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana juga belum banyak dikaji. Tesis tentang pengungsi yang telah dikemukakan belum mengkaji tentang kendala yang dihadapi masyarakat dalam beradaptasi dengan hunian baru atau barak pengungsian. Selain terinspirasi dari tinjauan pustaka, penelitian sister village ini penting dilakukan karena pengurangan risiko bencana telah menjadi agenda besar negara-negara di dunia dengan menggelar berbagai konferensi. Aksi Beijing, Deklarasi Hyogo, dan Kerangka Kerja Aksi Hyogo merupakan sebagian kecil yang terbentuk. Salah satu poin penting Konferensi Sedunia tentang Pengurangan 6

7 Risiko Bencana yang diselenggarakan tanggal Januari 2005 di Kobe, Hyogo, adalah pentingnya pengurangan risiko bencana yang diperkuat dengan suatu pendekatan yang lebih proaktif dalam memberikan informasi, memotivasi, dan melibatkan penduduk dalam segala aspek pengurangan risiko bencana dalam komunitas lokal mereka sendiri (Laporan Akhir Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana dan Laporan Akhir Konferensi Se-Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana, 2005). Peran partisipasi komunitas dan kemampuan penduduk untuk melakukan penyesuaian secara umum juga diakui sebagai elemen-elemen kunci dalam menjelaskan risiko bencana (Affeltranger dkk, 2007 : 72). Llyod Bailey mengatakan Ketahanan masyarakat lokal merupakan hal yang terpenting, ketahanan ini ditentukan pemahaman dan pendidikan mengenai risiko bencana, termasuk apa yang perlu dilakukan disaat kritis, pengembangan sistem jaringan komunitas lokal, pengurangan risiko bencana melalui pengaturan lingkungan dan peningkatan kapasitas menghadapi bencana. Llyod menambahkan bahwa pengalaman bencana di masa lalu adalah aset, sebagai guru terbaik dalam mempersiapkan manajemen bencana dan membangun komunitas yang mempunyai kekuatan bertahan yang lebih baik (kjri-perth.org.au). Kabupaten Magelang dipilih sebagai lokasi penelitian dengan dasar bahwa Kabupaten Magelang menjadi satu-satunya kabupaten di lingkar Merapi yang secara resmi menerapkan sister village. Selain itu, Kabupaten Magelang sudah membentuk sister village di 19 desa wilayah KRB III. Pemilihan studi kasus di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung 7

8 Kecamatan Muntilan dengan alasan bahwa kedua desa tersebut menjadi pilot project (proyek percontohan) penerapan sister village. Pasangan Desa Ngargomulyo dengan Desa Tamanagung menjadi pilot project, karena kedua desa tersebut paling antusias dalam merespon program sister village dan merupakan pasangan desa yang pertama kali membentuk sister village. Sampai dengan tahun 2014, dari 19 desa KRB III Gunung Merapi, baru 4 pasang desa yang telah selesai dalam melaksanakan tahapan pembentukan sister village. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang dan kurangnya kesiapan pemerintah desa bersaudara. Dalam melaksanakan 4 tahapan penerapan sister village tersebut, diperlukan dukungan anggaran, sumber daya, dan kesiapan seluruh pemerintah desa bersaudara Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan dimensi modal sosial di dalam program sister village sebagai upaya pengurangan risiko bencana letusan Gunung Merapi serta faktor apa yang mendukung dimensi modal sosial tersebut Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan dimensi modal sosial di dalam program sister village dan faktor pendukung modal sosial tersebut. 8

9 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran bagi semua pihak yang terkait dengan pengurangan risiko bencana. Selain itu juga bisa memberikan masukan bagi pemerintah daerah lain dalam penanganan pengungsi Keaslian Penelitian Sebelum memilih penelitian peranan modal sosial dalam membangun sister village ini, penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka memiliki beberapa tujuan utama antara lain yaitu: menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian sebelumnya. Tinjauan ini juga menyediakan kerangka kerja dan tolok ukur untuk mempertegas pentingnya penelitian yang dilakukan seraya membandingkan hasil-hasilnya dengan penemuan lain (Creswell, 2010: 40). Penulis melakukan tinjauan pustaka pada jurnal dan tesis manajemen bencana serta tesis tentang pengungsi. Jurnal dan tesis terdahulu mengenai manajemen bencana dan pengungsi secara garis besar berbicara tentang mekanisme dan implementasi. Secara garis besar ada beberapa kajian tentang manajemen bencana di India, Taiwan, Bangladesh, Jepang, Cina, dan Amerika Latin. Kajian tentang mekanisme manajemen bencana di India yang ditulis oleh Sharma (2003) meliputi upaya yang dilakukan, tantangan dan berbagai persoalan 9

10 yang dihadapi dalam manajemen bencana. Dikatakan bahwa manajemen bencana di India sebelumnya tidak terintegrasi dengan rencana pembangunan berkelanjutan. Namun, sekarang pemerintah India membuat pola baru dalam manajemen bencana yang terdiri dari 4 pilar, yaitu: budaya kesiapsiagaan, budaya tanggap cepat, budaya berpikir strategis, dan budaya pencegahan. Dalam membangun 4 pilar ini, diperlukan pendekatan multidisipliner, multisektoral, dan pendekatan multiancaman. Semua pihak dan semua tingkatan masyarakat turut berperan dalam manajemen bencana yang mencakup kesiapsiagaan, mitigasi, dan pengurangan bencana. Jurnal tentang sistem manajemen bencana di Taiwan yang ditulis oleh Chen dkk (2006) membahas tentang manajemen bencana berbasis masyarakat terpadu dan kendala yang dihadapi dalam penerapannya disertai dengan studi kasus di Desa Shang-An Taiwan. Di Taiwan, program manajemen bencana berbasis masyarakat fokus pada promosi perencanaan prabencana, fasilitasi kemampuan ketahanan bencana, dan mendukung masyarakat dengan kerangka kerja ke depan agar lebih mempunyai ketahanan dan keberlanjutan. Tujuannya adalah mengajak masyarakat berkolaborasi mempersiapkan dan melindungi diri mereka melawan bencana alam dengan mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan. Desa Shang An, Kota Shili, wilayah Nantou menjadi contoh masyarakat bagi program manajemen bencana berbasis masyarakat terpadu tahun Secara keseluruhan mendorong Shang An mewujudkan masyarakat yang tahan dan tangguh bencana serta masyarakat yang berkelanjutan. Proyek ini berupaya menyadarkan masyarakat tentang mitigasi bencana untuk memperkuat 10

11 kemampuan mereka dalam bertahan dari bencana alam dan untuk mengembangkan tindakan pengurangan risiko bencana. Tahapan program ini adalah inisiasi, penilaian, perencanaan, dan praktik atau simulasi. Meskipun telah melakukan pencapaian yang berharga, namun dalam mengimplementasikan proyek ini masih terdapat sejumlah kendala yaitu: adanya kelemahan/ penurunan kesadaran masyarakat akan bencana alam dan ukuran yang digunakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana dan mempromosikan mitigasi. Masyarakat terdampak bencana cenderung fokus pada pemulihan ekonomi dan kasus kriminal serta pendidikan daripada mengikuti pelatihan. Kekurangan tenaga profesional, pemandu, dan material. Serta kekurangan dukungan perundangan, dana, mekanisme implementasi dari pemerintah membuat proyek ini sulit diwujudkan dalam tindakan nyata. Jurnal tentang manajemen bencana di Bangladesh, negara yang rentan terhadap bencana, ditulis oleh Khan dan Rahman (2006), Mathbor (2007), dan Sabur (2012). Khan dan Rahman (2006) mengkaji konsep manajemen bencana berbasis kemitraan dan faktor-faktor penyebab tidak berjalannya konsep tersebut. Studi, laporan, dan rencana tindakan yang berkaitan dengan penyebab bencana, prabencana, dan rekomendasi setelah bencana telah tersedia Bangladesh. Kemitraan dalam manajemen bencana juga telah terjalin. Meskipun demikian manajemen bencana tersebut masih berada di atas kertas dan jauh dari kenyataan. Budaya proses kemitraan dalam manajemen bencana belum membumi, maka tidak ada internalisasi dari pendekatan ini dalam strategi pembangunan. Kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam kemitraan membuat manajemen 11

12 bencana tidak bisa berjalan sesuai konsep. Peneliti menyarankan sebuah kerangka kerja kemitraan yang memberikan perbedaan dan penjelasan peranan dan tanggung jawab stakeholder dalam manajemen bencana. Sehingga diharapkan dapat membawa sebuah kemitraan yang efektif dalam manajemen bencana. Mathbor (2007) mengkaji pemanfaatan modal sosial dan pekerja sosial dalam pemulihan bencana di daerah pesisir Bangladesh dan Amerika yang menyoroti peranan penguatan personal, sosial, ekonomi, dan politik melalui keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan usai terjadinya bencana. Dalam berbagai perspektif, ditemukan bahwa kekuatan lokal, regional, dan rekanan internasional yang efektif dapat dibangun guna mengintervensi situasi bencana dalam jangka panjang maupun pendek. Bangladesh telah membangun sebuah mekanisme penggunaan modal sosial guna pemulihan dan pembangunan kembali setelah bencana mengguncang negara ini. Banyak pekerja sosial/ relawan di Bangladesh yang menggunakan konsep modal sosial untuk meningkatkan kapasitas individu, kelompok, komunitas, dan organisasi. Relawan memainkan peranan penting dalam pemulihan bencana dengan melakukan pendampingan dalam berbagai cara. Peneliti menyarankan bahwa sebenarnya akan lebih efektif apabila relawan tidak hanya berperan di dalam pemulihan pascabencana, namun penting untuk berperan dalam antisipasi bencana. Sabur (2012) mengkaji tentang transformasi sistem manajemen bencana di Bangladesh dengan fokus pada teori, kerangka hukum, dan kelembagaan. Selama ribuan tahun, tanpa bantuan pemerintah, masyarakat Bangladesh telah mencoba 12

13 menghadapi bencana alam dengan mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang ditransmisikan dari generasi ke generasi. Setelah kemerdekaan, upaya penanggulangan bencana mulai mengalami transformasi, pemerintah menjadi tokoh sentral, LSM juga memainkan peranan penting. Manajemen bencana telah berkembang dari sekedar bantuan dan kegiatan rehabilitasi, menjadi usaha kompleks yang mencakup tugas-tugas prediksi bencana, kesiapsiagaan jangka panjang, rekonstruksi, dan manajemen risiko bencana di masa datang. Bangladesh telah menerapkan sistem penanggulangan bencana yang mencakup mekanisme, proses, dan keseluruhan cara dan sarana guna pengelolaan berbagai bencana. Manajemen bencana terbagi menjadi 4 tahap: fase normal diperlukan tindakan guna mengantisipasi dampak. Fase waspada atau peringatan. Fase bencana, diperlukan langkah-langkah darurat. Dan fase pemulihan guna mengembalikan infrastruktur dan kebutuhan jangka panjang. Namun, penanggulangan bencana ini berfokus pada pendekatan top down yang kurang melibatkan masyarakat. Jurnal tentang manajemen bencana lainnya ditulis oleh Mimura dkk (2011), Ikeda dan Nagasaka (2011), dan Ishiwatari (2012) yang mengkaji manajemen bencana di Jepang. Mimura dkk (2011) mengkaji tentang langkahlangkah masyarakat dan pemerintah Jepang dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Orang-orang dari kota-kota di timur laut Jepang seperti Kesennuma dan Kamaishi, antusias dalam pencegahan bencana tsunami. Mereka telah sangat efektif dalam hal ini, dengan menyelenggarakan workshop, pendidikan bencana tsunami, dan simulasi evakuasi. Selain itu, mereka juga mendistribusikan peta bahaya tsunami ke seluruh rumah tangga. Setiap pemerintah kota yang berpotensi 13

14 banjir dan tsunami menyiapkan peta bahaya tsunami. Speaker dan radio transmisi keras yang dipasang di setiap kota untuk mengumumkan keadaan darurat. Kegiatan pencegahan ini memiliki efek yang besar, bahkan dalam menghadapi tsunami raksasa. Catatan khusus tentang fakta bahwa hampir anak-anak di SD dan SMP berhasil mengevakuasi diri di Kamaishi. Ada sebuah legenda "tsunami tendenko", tendenko" dalam bahasa lokal berarti "tersebar", legenda telah ditransfer dalam waktu yang lama untuk mengajarkan bahwa ketika Anda merasakan gempa, Anda tidak harus menunggu untuk berkumpul, tapi segeralah lari secara individu. Ikeda dan Nagasaka (2011) mengkaji tentang strategi masyarakat Jepang bekerjasama dengan pemerintah dan LSM dalam tata kelola informasi risiko bencana guna mengurangi kerentanan terhadap bencana. Tata kelola risiko bencana dapat didefinisikan sebagai manajemen risiko bencana yang terintegrasi yang disesuaikan atau diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penanganan kompleksitas yang tinggi dan ketidakpastian kondisi. Merupakan sebuah kolaborasi dalam pengambilan keputusan oleh berbagai pemangku kepentingan. Jepang membentuk saluran komunikasi bagi pemerintah dan warganya untuk saling berkomunikasi tidak hanya dalam saat bahaya tetapi juga berbagi informasi tentang risiko bencana. Metode skenario komunikasi risiko berbasis bencana: 1. Mengidentifikasi bahaya, menilai risiko, dan mengevaluasi kemungkinan kerusakan dan kerentanan masyarakat lokal terhadap bencana yang spesifik. 2. Menghasilkan rencana aksi pengurangan risiko sebagai kolaborasi berbagai inovasi kegiatan mengatasi kemampuan untuk mencapai penggunaaan 14

15 sumber daya secara optimal. 3. Menyebarluaskan skenario risiko yang dihasilkan bagi penduduk yang belum berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi. Tujuannya tidak hanya untuk mempromosikan pemahaman dasar risiko bencana, tetapi juga membuka kemungkinan untuk reorganisasi struktur pemerintahan di komunitas mereka. Ishiwatari (2012) mengkaji tentang peranan organisasi komunitas dan pemerintah dalam pengurangan risiko bencana di Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam memperkuat kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana. Dukungan pemerintah terhadap organisasi masyarakat sangat bermanfaat. Pemerintah Jepang menyediakan dukungan yang amat besar terhadap organisasi masyarakat seperti Suibo-dan, Syobo-dan, dan Jisyubo. Jurnal tentang manajemen bencana di Cina oleh Lixin dkk (2011) membandingkan sistem manajemen bencana di Cina dengan Amerika dan Jepang. Perbedaan sistem penanggulangan bencana Cina dengan Amerika dan Jepang yaitu: Pertama, manajemen bencana di Cina terdesentralisasi, tidak seperti di Amerika dan Jepang yang tersentralisasi. Kedua, payung hukum bencana di Cina terdesentralisasi di masing-masing lembaga, sedangkan di Amerika dan Jepang terintegrasi, satu payung hukum memayungi semua bencana. Ketiga, peran masyarakat dan swasta dalam penanggulangan bencana di Cina tidak secara jelas diatur dalam pemerintahan. Dalam manajemen bencana Amerika dan Jepang, partisipasi masyarakat dan swasta memainkan peranan penting. Keempat, Cina mempunyai anggaran manajemen bencana rendah, sedangkan anggaran 15

16 manajemen bencana Amerika dan Jepang tinggi. Selain perbedaan yang amat signifikan tersebut, Cina juga mengalami kendala dalam melaksanakan manajemen bencana, yaitu: Koordinasi antar lembaga bencana tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi keterlambatan informasi yang berdampak pada penanggulangan bencana yang tidak efektif dan efisien; Tidak ada undang-undang manajemen bencana keseluruhan di Cina, yang mengatur dasar kebijakan, manajemen, tugas pokok, tanggung jawab, dan prosedur dalam penanggulangan bencana; Rencana darurat bencana sebagai dasar penyelamatan darurat memiliki banyak kekurangan, yaitu kurangnya analisis bencana, langkah-langkah penyelamatan, dan berkualitas rendah; Tidak ada pendidikan dan kesadaran dari masyarakat dalam pencegahan dan mitigasi bencana; Tidak ada asuransi bencana; Tidak ada mekanisme dan prosedur partisipasi swasta dalam pencegahan dan mitigsi bencana; serta anggaran bencana Cina yang relatif sedikit. Jurnal manajemen bencana di Amerika Latin ditulis oleh Hardoy dkk (2011) dan LaLone (2012). Hardoy dkk (2011) mengkaji tentang integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam manajemen rencana pembangunan dan lingkungan perkotaan dengan studi kasus pada Kota Manizales, Kota Medellin, Kota Moreno, dan Kota Santa Fe. Mencakup diskusi inovasi dalam sistem nasional dan dukungan dana untuk pengurangan risiko bencana. Kota Manizales terkenal dengan program pengembangan dan aksi lingkungan. Proses pembangunan perkotaan mengintegrasikan lingkungan perkotaan dengan manajemen risiko lokal, meliputi: kebijakan lingkungan kota dan rencana aksi kota untuk memfasilitasi implementasi kebijakan. Kota ini berhasil dalam 16

17 mengintegrasikan pemerintah lokal dan regional, sektor swasta, universitas, dan ormas ke dalam partisipasi proses pembangunan. Program-program yang membangun antara lain adalah pengurangan pajak bagi mereka yang berperan dalam pengurangan kerentanan perumahan di daerah berisiko tinggi dan program asuransi bangunan. Medellin Kolombia, punya sistem untuk merespon keadaan darurat. Moreno Argentina, masyarakat mengelola dapur umum dan memberikan ekstrakurikuler untuk anak sekolah. Santa Fe Argentina, mengkolaborasikan berbagai ormas dalam manajemen bencana. Setelah banjir 2003, muncul berbagai ormas yang membantu penanganan bencana. Tantangan bagi pemerintah Amerika Latin adalah memberikan mekanisme partisipatif untuk mendukung peranan masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana. LaLone (2012) menulis mobilisasi modal sosial dalam manajemen bencana di Pedesaan Appalachian Virginia. Studi ini memberikan pandangan dalam skala kecil bahwa modal sosial dimobilisasi bersama saluran informasi di tingkat lokal dan di daerah pedesaan pasca bencana lingkungan. Analisis menunjukkan bahwa Manajemen Kedaruratan Departemen Virginia (VDEM) dan pemerintah daerah memiliki struktur organisasi formal terencana sehingga pemerintah mampu merespon dengan cepat bencana lingkungan tak terduga. Pelajaran yang bisa diambil dari penanganan bencana tornado di Virginia yaitu menunjukkan potensi jumlah, proses kelompok sosial, tindakan individu, dan kecepatan dalam memobilisasi sumber daya modal sosial di wilayah pedesaan, dimana sumber daya dapat dimobilisasi menyusul bencana yang tak terduga. Meskipun telah banyak tulisan tentang nilai potensial modal sosial di tengah 17

18 bencana, tetapi pesan inklusi modal sosial belum sepenuhnya dihargai. Selain itu belum sepenuhnya terintegrasi dalam kesiapsiagaan darurat bencana. pelajaran lainnya menunjukkan kebutuhan perencanaan prabencana dengan mengkolaborasikan potensi modal sosial, masyarakat, dan praktisi kedaruratan untuk lebih mengantisipasi, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan potensi masuknya modal sosial yang mungkin dimobilisasi dalam situasi darurat bencana, sehingga sumber daya tersebut dapat digunakan secara maksimal. Pelajaran yang bisa diambil dari penerapan penelitian berbasis masyarakat untuk perencanaan bencana lingkungan yaitu besarnya potensi sumber daya modal sosial melalui jaringan dan saluran lokal, menggambarkan pola proses mobilisasi sosial pada hari-hari dan minggu-minggu pertama, perlunya melakukan perencanaan pengelolaan sumber daya formal dan informal, dan perlunya antisipasi besarnya kontribusi modal sosial dalam ketahanan masyarakat terhadap bencana. Tesis tentang manajemen bencana juga telah banyak ditulis, salah satunya oleh Ikhwanuddin (2014) yang mengambil tema Model Ketahanan Masyarakat Lereng Merapi Terhadap Erupsi di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Fokus kajiannya berupa upaya-upaya masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi ancaman bencana erupsi Gunung Merapi dan perumusan model ketahanan masyarakat dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi. Hasil penelitiannya adalah bahwa upaya yang dilakukan masyarakat lereng Gunung Merapi dalam membangun ketahanan diri menghadapi ancaman erupsi Gunung Merapi yaitu dengan terlibat dan berperan serta dalam setiap perencanaan, penyusunan program-program dan pelaksanaan kegiatan mitigasi bencana. 18

19 Tesis oleh Balebu (2010) mengkaji tentang Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Pengembangan Institusi dan Peran Serta Masyarakat di Kabupaten Poso. Fokus kajiannya adalah pemahaman masyarakat tentang bencana banjir, kesiapsiagaan masyarakat menghadapi banjir, dan peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat akan bencana banjir cukup tinggi, termasuk mengerti penyebab banjir dan gejala akan datangnya banjir. Namun dalam tingkat kesiapsiagaan dan partisipasi masyarakat masih sangat kurang karena pengetahuan akan perundang-undangan serta sosialisasi dan pelatihan masih sangat rendah. Hal ini didukung dengan belum terbentuknya suatu lembaga yang secara khusus menangani masalah banjir. Masyarakat memiliki sikap pasrah terhadap banjir dan kurang menjaga sarana prasarana penanggulangan banjir yang telah ada. Selain jurnal dan tesis tentang manajemen bencana, penulis melakukan tinjauan pustaka pada tesis tentang pengungsi. Di antaranya adalah tesis tentang Strategi Adaptasi Penghuni di Barak Pengungsian Lhoong Raya Banda Aceh oleh Pha (2007) dan Adaptasi Pengungsi Erupsi Merapi 2010 Terhadap Permukiman Baru oleh Widayani (2014). Tesis oleh Pha (2007) mengkaji tentang strategi adaptasi penghuni barak penoongungsian Lhoong Raya, Kecamatan Banda Aceh, Kota Banda Aceh. Hasilnya adalah, strategi adaptasi yang dilakukan ada 4 hal yaitu: menyesuaikan fisik dan lingkungan sesuai dengan keinginan penghuni; menyesuaikan perilaku penghuni agar harmoni dengan lingkungan; tindakan diam karena mampu bertahan atau diam dan menunggu. Apabila tiga hal tersebut sulit 19

20 dilakukan, maka mereka memilih cara keempat dengan menghindar atau pindah sementara pada saat-saat tertentu. Tesis Widayani (2014) mengkaji tentang adaptasi yang dilakukan korban erupsi Gunung Merapi terhadap pemukiman baru di hunian tetap Batur dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi yang dilakukan meliputi: penyesuaian terhadap perubahan fisik, baik rumah maupun lingkungan; penyesuaian terhadap perubahan kondisi perekonomian; dan penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang mengiringi perubahan fisik, yang dilakukan secara individu maupun kelompok. Penyesuaianpenyesuaian ini banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat nggunung yang penuh dengan kekeluargaan. Dari hasil tinjauan pustaka yang dilakukan, penelitian tentang peranan modal sosial dalam pengurangan risiko bencana yang fokus pada penanganan pengungsi belum dilakukan. Sehingga ini menarik perhatian bagi penulis untuk mengambil tema ini dalam tesis. Selain itu beralihnya paradigma penanganan bencana dari tanggap darurat menuju pengurangan risiko bencana menjadikan penelitian ini sangat relevan dengan kondisi saat ini. 20

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua daerah tidak pernah terhindar dari terjadinya suatu bencana. Bencana bisa terjadi kapan dan dimana saja pada waktu yang tidak diprediksi. Hal ini membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 2010 tercatat sebagai bencana terbesar selama periode 100 tahun terakhir siklus gunung berapi teraktif

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Ringkasan Temuan Penahapan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud terdapat lima tahap, yaitu tahap perencanaan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud 2014, tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skripsi ini menganalisis tentang partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki karakteristik bencana yang kompleks, karena terletak pada tiga lempengan aktif yaitu lempeng Euro-Asia di bagian utara, Indo-Australia di bagian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website,  2011) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi secara geografis terletak pada posisi 7º 32.5 Lintang Selatan dan 110º 26.5 Bujur Timur, dan secara administrasi terletak pada 4 (empat) wilayah kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk Pengurangan Risiko Bencana ini berusaha menguraikan bagaimana kondisi kapasitas kelembagaan dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia terbentang

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Merapi. Ada 8 Desa yang termasuk ke dalam KRB III. Penelitian ini bertujuan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Merapi. Ada 8 Desa yang termasuk ke dalam KRB III. Penelitian ini bertujuan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Kecamatan Dukun adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Magelang yang letak geografisnya sangat rentan terhadap ancaman bencana erupsi Gunung Merapi. Ada 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara periodik setiap tiga tahun, empat tahun atau lima tahun. Krisis Merapi yang berlangsung lebih dari

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LEBAK

Lebih terperinci

I. Permasalahan yang Dihadapi

I. Permasalahan yang Dihadapi BAB 34 REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DI WILAYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATRA UTARA, SERTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PROVINSI JAWA TENGAH I. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah lama diakui bahwa Negara Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia serta diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta dan Perencanaan Partisipatif Dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Tingkat Kampung A. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN 1 PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 32 31 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) 2 4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu fase penting dalam penanggulangan bencana adalah fase respon atau fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat membutuhkan suatu sistem yang terintegritas

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan kebijakan relokasi atas dasar pertimbangan Peta

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN: 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Terjadinya bencana alam di suatu wilayah merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena bencana alam merupakan suatu gejala alam yang tidak

Lebih terperinci

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN B. Wisnu Widjaja Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan TUJUAN PB 1. memberikan perlindungan kepada masyarakat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

MODUL 1: PENGANTAR TENTANG KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA. USAID Adapt Asia-Pacific

MODUL 1: PENGANTAR TENTANG KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA. USAID Adapt Asia-Pacific MODUL 1: PENGANTAR TENTANG KETANGGUHAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA University of Hawaii at Manoa Institut Teknologi Bandung SELAMAT DATANG! Mengapa kita berada disini (tujuan

Lebih terperinci

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif xvii Ringkasan Eksekutif Pada tanggal 30 September 2009, gempa yang berkekuatan 7.6 mengguncang Propinsi Sumatera Barat. Kerusakan yang terjadi akibat gempa ini tersebar di 13 dari 19 kabupaten/kota dan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN DESA YANG BERBASIS PENGURANGAN RISIKO BENCANA

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN DESA YANG BERBASIS PENGURANGAN RISIKO BENCANA KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN DESA YANG BERBASIS PENGURANGAN RISIKO BENCANA DISAMPAIKAN OLEH : EKO PUTRO SANDJOJO MENTERI DESA, PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembentukan,

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN NGANJUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai dan banjir. Bencana tersebut datang hampir setiap

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi atau ring of fire yang dimulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara hingga

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi oleh jalur api (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Australia. Letak wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Kuesioner Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Becana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

LAMPIRAN. Kuesioner Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Becana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana LAMPIRAN Kuesioner Peraturan Kepala Badan Nasional Becana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Lampiran 1. Aspek dan Indikator Desa/Kelurahan Tangguh Aspek Indikator Ya Tidak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk meminimalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PEMBENTUKAN DESA TANGGUH BENCANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANGGARAN 2015

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PEMBENTUKAN DESA TANGGUH BENCANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANGGARAN 2015 KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PEMBENTUKAN DESA TANGGUH BENCANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANGGARAN 015 I. LATAR BELAKANG Sejarah kebencanaan di Kabupaten Boyolali menunjukkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan berisi latar belakang dilakukannya penelitian tugas akhir, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, serta sistematika dalam penulisan proposal tugas akhir ini.

Lebih terperinci

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI PEMANGKU JABATAN STRUKTURAL DAN NONSTRUKTURAL PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Parker (1992), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG DUNIA USAHA TANGGUH BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA BUPATI KARANGANYAR, ESA Menimbang : a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa kondisi geografis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui garis astronomis 93⁰BT-141 0 BT dan 6 0 LU-11 0 LS. Dengan morfologi yang beragam dari

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini,

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana dan keadaan gawat darurat telah mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat secara signifikan, terutama yang berhubungan dengan kesehatan. Berdasarkan data dunia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2008, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana sangat tinggi dan bervariasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA SINGKAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG,

Lebih terperinci

TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT

TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT Sesuai UU No: 24 Thn 2007 Pasal 4, Badan Penanggulangan Bencana Daerah memiliki tugas : 1. Menetapkan pedoman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini dihadapi oleh kota-kota di Indonesia karena dampaknya mengancam eksistensi kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Ida Ngurah Plan International Indonesia Ida.Ngurah@plan-international.org Konteks Bencana dan Dampak Pendidikan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2015 No.22,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul. Perubahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, Penanggulangan, bencana. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG 1 2015 No.14,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul. Peran serta, Lembaga Usaha, penyelenggaraan, penanggulangan, bencana. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter diatas permukaan laut. secara geografis terletak pada posisi 7 32.5 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah menenggelamkan 19 kampung, memutus 11 jembatan, menghancurkan lima dam atau bendungan penahan banjir, serta lebih

Lebih terperinci

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Menimbang Mengingat QANUN KABUPATEN ACEH JAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN ACEH JAYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

PERATURAN WALIKOTA TEGAL WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TEGAL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terelakkan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin banyak kebutuhan lahan yang harus disiapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah gunung berapi yang masih aktif

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut dimensi tempat, ruang dan waktu baik yang terkait dengan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut dimensi tempat, ruang dan waktu baik yang terkait dengan keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Geografi merupakan bidang ilmu yang terpusat perhatiaannya pada kajian kewilayahan muka bumi yang keadaannya dinamis, berubah dari waktu ke waktu dan menyangkut dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan menimbulkan banyaknya kerugian baik secara materil maupun

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak diantara tiga lempeng utama dunia, yaitu Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional Kegiatan Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional SFDRR (Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana) dan Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan di Indonesia Tanggal 17 Oktober

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Secara geografis Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng benua Eurasia, lempeng samudra Hindia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disaster Reduction) 2005, dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi

BAB I PENDAHULUAN. Disaster Reduction) 2005, dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Resiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) 2005, dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015 dengan tema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan

Lebih terperinci

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari upaya responsif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO Oleh: Yusman Wiyatmo Jurdik Fisika FMIPA UNY, yusmanwiyatmo@yahoo.com, HP: 08122778263 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. No.1602, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang sangat besar, fakta bahwa besarnya potensi bencana geologi di Indonesia dapat dilihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Indonesia terletak diantara 2 benua yaitu benua asia dan benua australia

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG 1 GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 62 TAHUN 2015

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 62 TAHUN 2015 BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 62 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT OPERASIONAL DAN UNIT PELAKSANA PENANGGULANGAN BENCANA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulstiwa dan berada pada

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulstiwa dan berada pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulstiwa dan berada pada koordinat 95 0 BT-141 0 BT dan 6 0 LU-11 0 LS dengan morfologi yang beragam dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia Oleh: Rudi Saprudin Darwis Pendahuluan Secara geografis, Indonesia berada di daerah rawan bencana; negara yang memiliki risiko gempa bumi lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Merapi yang terjadi pada bulan Oktober 2010 telah memberikan banyak pelajaran dan meninggalkan berbagai bentuk permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang masih

Lebih terperinci