STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI)"

Transkripsi

1 STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI) EDITOR PROF. DR.H.A. AZIZ RANI, SpPD, KGEH DR. SIDARTAWAN SOEGONDO, SpPD, KEMD DR. ANNA UJAINAH NASIR, SpPD, KP EDISI Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

2 STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI) EDITOR PROF. DR.H.A. AZIZ RANI, SpPD, KGEH DR. SIDARTAWAN SOEGONDO, SpPD, KEMD DR. ANNA UJAINAH NASIR, SpPD, KP EDISI Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

3 KATA PENGANTAR Dalam rangka menghadapi globalisasi dan menempuh pelayanan optimal sesuai dengan profesionalisme dalam menjalankan tugas profesi Dokter Spesialis Penyakit Dalam, maka Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM telah menginventarisasi dan menyusun Standar Pelayanan Medis dan Panduan Standar Operasional Prosedur Tindakan Dalam Pelayanan sehingga dapat diterapkan sebagai panduan kerja yang bermutu dan dapatdipertanggungjawabkan. Standar Pelayanan Medis di susun pertama kali dan telah dilaksanakan sejak tahun Pada tahun 1996 diadakan penyesuaian, perbaikan dan ditetapkan penggunaanya pada November 1996 dengan penanggung jawab Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Dengan berkembangnya Standar Pelayanan Medis dan berubahnya RSUPN-CM menjadi Perjan RSCM, maka pada tahun 2004 dilakukan penyesuaian dan perbaikan kembali dan ditetapkan penggunaanya oleh PB PAPDI pada Juli Tujuan dari perubahan dan penyesuaian tersebut oleh PB PAPDI agar buku Standar Pelayanan Medis (SPM) tersebut dapat dijadikan rujukan untuk seluruh Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang bekerja di rumah sakit seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, PB PAPDI berterima kasih kepada para Ketua Divisi dan Staf atas revisi yang diberikan untuk perbakan konsep SPM. Penghargaan juga diberikan kepada tim penyusun yang diketuai dr.anna ujainah Nasir dan seluruh anggotanya. Semoga SPM ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Jakarta, Juli 2004 Ketua Umum PB PAPDI Prof.Dr.H.A.Aziz Rani, SpPD, KGEH 3 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

4 DAFTAR ISI Kata Pengantar Langkah-langkah Penyusunan Standar Pelayanan Medik Pendahuluan Fasilitas Pelayanan Sub-Bagian Halaman Tatalaksana Poliklinik Tatalaksana Rawat Inap Tatalaksana Perawatan Tugas dan Wewenang Dokter di Poliklinik Tugas dan Kewajiba Dokter di Ruangan SMF IPD Tugas dan Kewajiban Dokter Jaga di SMF IPD Standar Pelayan Medik: Reumatologi: Artritis Rematoid (RA) Arthritis Gout Sistemik Lupus Eritematosus Osteo Arthritis (OA) Scleroderma Prosedur Tindakan Injeksi Intra Artikuler Aspirasi cairan sendi Hepatologi: Sirosis Hati Hepatoma Hepatitis Akut Hepatitis Virus Kronik Cholecystitis Abses Hati Fatty Liver Tindakan Prosedur Biopsy Hati Aspriasi Pungsi Ascites ERCP Tropik dan Infeksi: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Demam Tifoid Sepsis Leptospirosis FUO Metabolik-Endokrin: 4 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

5 Diabetes Mellitus Tirotoksikosis Ketoasidosis (KAD) Hipoglikemia Dislipidemia Gangren DM SNNT Kista Tiroid Ca Thyroid Cushing Syndrome Prosedur Tindakan Pungsi Kista FNAB Perawatan Ulkus DM Kardiologi: Arhytmia Congestive Heart Failure (CHF) Sindrom Koroner Akut (SKA) Endokarditis Infektif Prosedur Tindakan Catheterisasi Treadmill PTCA Pungsi Perikard Pemasangan Pace Maker Alergi dan Immunologi: Asthma Syok Anafilaktik HIV/AIDS Prosedur Tindakan Skin Test Provokasi Test Gastroenterologi: Hematemesis Melena Diare Kronik Pankreatitis Akut Ileus Paralitik Dispepsia Hematoskezia Ca Colon Ca Rectum Ca Gaster Peptic Ulcer Prosedur Tindakan Endoskopi 5 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

6 Kolonoskopi Flokker Ligasi Skleroterapi Businasi Ginjal dan Hipertensi: Sindrom Nefrotik (SN) Penyakit Ginjal Kronik Infeksi Saluran Kemih (ISK) Gagal Ginjal Akut Hipertensi Prosedur Tindakan Hemodialisa/ HD Biopsy Ginjal Peritonialdialisis/ PD Hematologi-Onkologi Medik: Lymphoma Anemia Aplastik Leukemia Akut Leukemia Kronik Sindrom Lisis Tumor Idiopathic Trombositopenic Purpura (ITP) Deep Vein Thrombosis (DVT) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Prosedur Tindakan FNAB Kemoterapi Apheresis Phlebotomi Aspirasi Sumsum Tulang/ Bone Marrow Puncture (BMP) Biopsi Sumsum Tulang Nutricath Transfusi Darah Psikosomatik: Depresi Berorientasi Organ Ansietas Berorientasi Organ Pulmonologi: Hemoptisis Efusi Pleura Pneumothoraks Pneumonia Didapat di Masyarakat (CAP) Pneumonia Nosokomial Pneumonia Atipic Pneumonia Aspirasi 6 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

7 Gagal Napas Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) TB Paru Ca Paru Emboli Paru Prosedur Tindakan Pungsi Cairan Guided USG FNAB TTB Pleurodesis Bronkoskopi Spirometri Geriatri: Pneumonia Dehidrasi Acute Confusional State (ACS) Incontinentia Urin Penutup Lampiran: Jadwal Kegiatan Departemen Jadwal Kegiatan Sub-Bagian Daftar Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM Alur Konsul dari Departemen Lain Alur Pasien Rawat Jalan Surat Keputusan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM No. 469/PT02.FK25/cbu-93/2003 Penetapan Tim Revisi Standard Operating Procedure (SCP). Surat Keputusan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM No. 682a/PT02.FK25/cbt-131/1996 Penetapan Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. 7 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

8 KATA PENGANTAR Dalam rangka menghadapi globalisasi dan menempuh pelayanan optimal sesuai visimisi RSCM, maka Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM telah menginventarisasi dan menyusun Standar Pelayanan Medis dan Panduan Standar Operasional Prosedur Tindakan Dalam Pelayanan sehingga dapat diterapkan sebagai panduan kerja yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Standar Pelayanan Medis di susun pertama kali dan telah dilaksanakan sejak tahun Pada tahun 1996 diadakan penyesuaian, perbaikan dan ditetapkan penggunaanya pada November 1996 dengan penanggung jawab Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Dengan berkembangnya Standar Pelayanan Medis dan berubahnya RSUPN-CM menjadi Perjan RSCM, maka pada tahun 2003 dilakukan penyesuaian dan perbaikan kembali dan ditetapkan penggunaanya oleh PB PAPDI pada Desember Pada kesempatan ini, PB PAPDI berterima kasih kepada para Ketua Sub Bagian atas revisi yang diberikan untuk perbakan konsep SPM. Penghargaan juga diberikan kepada tim penyusun yang diketuai dr.uyainah Zaini Nasir dan anggotanya dr.m. Syafiq, dr.ikhwan Rinaldi, dr. Johanes, dr.purwita, dr.dyah, dan dr.ariani. Semoga SPM ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Jakarta, Desember 2003 Ketua Departemen/KSMF Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM Dr.H.A.Aziz Rani, SpPD, KGEH NIP Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

9 LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM TAHUN 2003 Dalam Penyusunan Standar Pelayanan Medik (SPM) Ilmu Penyakit Dalam ada beberapa langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil yang makasimal, sebagai berikut: 1. Departemen Ilmu Penyakit Dalam bersama Koordinator Pelayanan Medik membentuk tim khusus penyusun SPM tahun 2003 yang terdiri dari: 1. Satu orang staf Penyakit Dalam dari Koordinator Pelayanan Medik sebagai Koordinator. 2. Enam orang PPDS Ilmu Penyakit Dalam sebagai anggota. 3. Dua orang secretariat dari Koordinator Pelayanan Medik IPD. 2. Pembuatan SK Penugasan Penyusunan SPM Penyakit Dalam tahun 2003 oleh Ketua Departemen. PROSES PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM TAHUN Menentukan latar belakang penyusunan SPM. 2. Menentukan masalah yang ada dalam pelayanan di Departemen Penyakit Dalam. 3. Menentukan topik-topik yang perlu dimasukkan ke dalam SPM Topik-topik ditentukan berdasarkan: a. Sepuluh penyakit terbesar dari setiap subbagian. b. Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil. c. Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi. 4. Pembagian topic kepada 6 orang PPDS, dengan ketentuan 2 subbagian untuk masingmasing PPDS (ada 12 subbagian). PEMBAGIAN TOPIK: 1. dr.muh.syafiq & Dwi Hargiati: Psikosomatik : - Depresi - Anxietas Reumatologi : - OA (Osteoarthritis) - RA (Arthritis Rheumatoid) - SLE (Systemic Lupus Eritematosus) - Arthritis Gout - Scleroderma Tindakan/prosedur : - Injeksi Intra Artikuler - Aspirasi Cairan Sendi 9 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

10 2. dr.purwita Wijaya Laksmi & Dwi Hargiati: Ginjal- Hipertensi : - Penyakit Ginjal Kronik. - Sindrom Nefrotik (SN) - Gagal Ginjal Akut. - Hipertensi. - ISK (Infeksi Saluran Kemih) Tindakan/prosedur : - Hemodialisa/HD. - Biopsi Ginjal. - Peritonialdialisis (PD). Tropik- Infeksi : - DHF (Dengue Haemorrhagic Fever). - Typhoid Fever (Demam Tifoid). - Leptospirosis. - Sepsis. - FUO. 3. dr.dyah Purnamasari & Dwi Hargiati: Hepatologi : - SH (Sirosis Hati). - Hepatoma. - Hepatitis Akut. - Hepatitis Virus Kronik. - Cholecystitis. - Abses Hati. - Fatty Liver. Tindakan/prosedur : - Biopsi Hati. - Aspirasi. - Pungsi Ascites. - ERCP. Hematologi-Onkologi Medik : - Lymphoma. - Anemia Aplastik. - Leukemia Akut. - Leukemia Kronik. - Sindrom Lisis Tumor. - ITP (Idiopathic Trombositopenic Purpura). - DVT (Deep Vein Thrombosis). - DIC. 10 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

11 Tindakan/prosedur : - FNAB. - Kemoterapi. - Apheresis. - Phlebotomi. - BMP (Aspirasi Sumsum Tulang). - Biopsi Sumsum Tulang. - Nutricath. - Transfusi Darah. 4. dr.ikhwan Rinaldi & Arti Lestari, SKM: Kardiologi : - Arhtymia. - CHF (Congestive Heart Failure). - SKA (SIndrom Koroner Akut). - Endokarditis Infektif. Tindakan/prosedur : - Catheterisasi. - Treadmil. - PTCA. - Pungsi Perikard. - Pemasangan Pace Maker. Alergi- Imunologi : - Asthma. - Syok Anafilaktik. - HIV/SIDA. Tindakan/prosedur : - Skin Test. - Provokasi Test. 5. dr.ariani Intan Wardhani & Arti Lestari, SKM: Gastroenterologi : - Haematemesis Melena. - Diare Kronik. - Pankreatitis Akut. - Ileus Paralitik. - Dispepsia. - Haemtoskezia. - Ca Colon. - Ca Recti. - Ca Gaster. - Peptic Ulcer. Tindakan/prosedur : - Endoskopi. 11 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

12 - Kolonoskopi. - Flokker. - Ligasi. - Skleroterapi. - Businasi. Geriatri : - Pneumonia. - Dehidrasi. - ACS (Acute COnfusional State). - Incontinensia Urin. 6. dr.johanes Poerwoto & Arti Lestari, SKM: Metabolik- Endokrinologi: - Diabetes Mellitus. - Tirotoksikosis. - KAD (Ketoasidosis). - Hipoglikemia. - Dislipidemia. - Gangren DM. - SNNT. - Kista Thyroid. - Ca Thyroid. - Cushing Syndrome. Tindakan/prosedur : - Pungsi Kista. - FNAB. - Perawatan Ulkus DM. Pulmonologi : - Hemoptisis. - Effusi Pleura. - Pneumothoraks. - Pneumonia. - Gagal Nafas. - PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik). - TB Paru. - Ca Paru. - Emboli Paru. TIndakan/prosedur : - Pungsi Cairan. - Guided USG. - FNAB. - TTB. 12 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

13 - Pleurodesis. - Bronkoskopi. 5. Pembagian tugas secretariat yaitu 1 orang secretariat untuk 3 orang PPDS yang bertugas menfollow-up, mengingatkan PPDS dan membantu proses kelancaran dalam menyusun SPM. 6. Menyusun sistematika penulisan SPM yaitu sebagai berikut: I. Penyakit Terdiri Dari: (1) Pengertian. (2) Diagnosis. (3) Differensial Diagnosis. (4) Pemeriksaan Penunjang. (5) Terapi. (6) Komplikasi. (7) Prognosis. (8) Wewenang. (9) Unit Terkait. II. Tindakan Terdiri Dari: (1) Pengertian. (2) Tujuan. (3) Indikasi. (4) Kontra Indikasi. (5) Persiapan. (6) Prosedur Tindakan. (7) Lama Tindakan. (8) Komplikasi. (9) Wewenang. (10) Unit Terkait 7. SPM meliputi pelayanan subbagian rawat jalan, rawat inap, dan kegawatdaruratan. 8. Menyusun SPM yang telah dibuat oleh 6 orang PPDS menjadi satu bentuk tulisan yang kemudian di koreksi oleh staf subbagian terkait yang ditunjuk oleh masingmasing subbagian. 9. Menyusun keseluruhan SPM yang telah dibuat mencakup didalamnya (SPM pelayanan subbagian, rawat jalan, rawat inap, kegawatdaruratan, dan SPM yang telah dikoreksi oleh masing-masing subbagian terkait) menjadi satu bentuk tulisan utuh. 10. Ketua Departemen mengirimkan SPM yang telah jadi ke subbagian-subbagian terkait untuk dikoreksi kembali. 11. Memperbaiki SPM yang telah dikoreksi oleh masing-masing subbagian. 12. Ketua Departemen menyetujui SPM yang telah diperbaiki, pembuatan SPM tahun 2003 selesai. 13. Sosialisasi SPM kepada seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan PPDS- IPD. 14. Pelaksanaan SPM dilaksankan oleh seluruh Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan PPDS-IPD dengan penuh tanggung jawab. I. PENDAHULUAN 13 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

14 Rumah Sakit Perjan Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah satu-satunya rumah sakit rujukan utama (top Referal) milik Pemerintah Indonesia. Selain itu RSCM juga merupakan rumah sakit pendidikan (Teaching hospital) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), baik untuk pendidikan dokter umum (S1), dokter spesialis (S2/Sp I, Sp II) dan doctor (S3). Visi dari RSCM adalah Rumah Sakit Pendidikan yang mandiri dan terkemuka di ASEAN Tahun 2005 dan di Asia Pasifik tahun Salah satu misi RSCM adalah memberikan pelayanan kesehatan paripurna, bermutu, dan terjangkau. Sedangkan salah satu tujuannya adalah tercapainya pelayanan prima yang menjamin kepuasan konsumen. Sebagai salah satu rumah sakit rujukan utama Perjan RSCM member pelayanan untuk hampir semua jenis cabang ilmu kedokteran. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM terdiri dari 12 subbagian, mempunyai 81 orang staf konsultan subspesialisasi dan tenaga ahli, termasuk diantaranya 14 orang guru besar dan 5 orang doctor/phd/msc. Selain itu terdapat 117 dokter asisten ahli, yang sedang menjalani pendidikan spesialis I. Pelayanan yang diberikan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM selalu ditekankan pada penanganan medis berdasarkan masalah (Problem Oriented Medical Management) dan Memperhatikan cost effectiveness. Dalam melayani pasien selalu diupayakan menegakkan permasalahan yang ada berdasarkan data-data yang didapat, dan dilakukan sintesis dan analisis untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. Begitupula pemeriksaan dan pengobatan yang direncanakan selalu dipilih berdasarkan pertimbangan indikasi yang tepat dan biaya yang hemat. Konsultasi dengan Departemen lain akan dilakukan bila diperlukan sehingga pasien mendapat pelayanan yang Optimal terpadu, dan berkesinambungan. Pertimbangan utama dari setiap tindakan adalah kepentingan pasien. Selain di RSCM, pelayanan Departemen Ilmu Penyakit Dalam juga dilakukan di RS Persahabatan dan RSUD Tangerang. 14 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

15 II. CARA MENDAPATKAN PELAYANAN DI DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM (IPD) RSCM Sesuai dengan fungsinya sebagai rujukan utama, pelayanan di RSCM diutamakan sebagai rujukan. Pengertian ini berarti pasien yang dikirim ke Departemen IPD (RSCM) sebelumnya sudah diperiksa oleh dokter praktek umum, dokter puskesmas, dokter spesialis di Kabupaten dan Propinsi secara optimal. Departemen IPD RSCM juga melayani konsultasi baik dari dokter praktek umum maupun spesialis swasta. Bagi seorang pegawai negeri pada surat rujukan Asuransi Kesehatan (ASKES). Hal yang perlu dilakukan untuk rujukan ke Departemen IPD RSCM adalah sebagai berikut: 1. Membawa surat pengantar dari: Dokter luar (Puskesmas/ RS Pemda/Klinik Swasta/ RS Swasta). Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM. Dokter Departemen lain di RSCM. 2. Membeli karcis di loket yang telah disediakan. 3. Bagi peserta ASKES diminta mengisi formulir khusus. 4. Mendaftar ke loket Poliklinik Penyakit Dalam yaitu 2 jenis: a) Bagi pasien yang membwa rujukan dari dokter umum/departemen lain, setelah mendaftar di loket Poli Penyakit Dalam, menunggu panggilan dari Poliklinik Penyakit Dalam, Apabila dikonsulkan ke polklinik subspesialis penyakit dalam, yang bersangkutan mendaftar kembali di Poliklinik Penyakit Dalam berdasarkan surat konsul tersebut, selanjutnya menunggu panggilan dari Poliklinik Subspesialis yang dituju. b) Bagi Pasien yang membawa rujukan dari dokter spesialis penyakit dalam luar yang ditujukan untuk subspesialis, setelah mendaftar di loket Poli Penyakit Dalam, langsung menuju panggilan dari Poliklinik subbagian yang dituju. Untuk penanganan kasus-kasus gawat darurat, bagian gawat darurat Departemen IPD RSCM selalu siap 24 jam sehari sepanjang tahun termasuk hari libur. Pelayanan subbagian di Departemen IPD RSCM: 1. Alergi Imunologi Klinik. 2. Metabolik Endokrinologi. 3. Ginjal Hipertensi. 4. Gastroenterologi. 5. Hepatologi. 6. Pulmonologi. 7. Hematologi- Onkologi Medik. 8. Tropik- Infeksi. 9. Reumatologi. 10. Kardiologi. 15 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

16 11. Psikosomatik. 12. Geriatri. III. TATA LAKSANA POLIKLINIK Jenis Pasien: 1. Dengan surat pengantar. 2. Tanpa surat pengantar. A. Dengan surat pengantar dari: Dokter luar (Puskesmas/ RS Pemda/ Klinik Swasta/ RS Swasta). Instalasi Gawat Darurat RSCM. Dokter Departemen lain di RSCM. Dapat ke: 1. Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam: a. Langsung berobat/konsultasi di polilklinik spesialis penyakit dalam. b. Pada setiap konsultasi dilakukan pemeriksaan dan pembuatan status serta konsep surat jawaban konsultasi oleh peserta PPDS. c. Setiap surat jawaban konsul atau surat rawat harus di ketahui dan di tanda tangani oleh supervisor (c.q. Pelaksana harian yang bertugas). d. Pelaksana harian pada Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam, bertanggung jawab kepada Supervisor Poliklinik Penyakit Dalam. e. Bila dianggap perlu peserta PPDS dapat meminta konsultasi SMF lain sepengetahuan Pelaksana Harian/ Supervisor. f. Atas Indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Poli Subspesialis. 2. Poliklinik Subspesialis: a. Pasien dapat berobat langsung ke Poliklinik Subspesialis apabila surat pengantar langsung ditujukan ke Poliklinik Subspesialis. b. Setiap konsultasi dilakukan pemeriksaan dan pembuatan status serta konsep jawaban konsul oleh peserta PPDS. c. Setiap permintaan dan jawaban konsul harus diketahui dan ditandatangani oleh/bersama konsulen subbagian yang bersangkutan. d. Bila diperlukan tindakan khusus/ prosedur diagnostic/ terapi, dibuatkan surat pengantar ke Ruang Prosedur dan Pasien harus mendaftar di loket khusus. Poliklinik Subspesialis terdiri dari: 1. Alergi dan Imunologi Klinik. 2. Tropik Infeksi. 3. Reumatologi. 16 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

17 4. Pulmonologi. 5. Ginjal dan Hipertensi. 6. Psikosomatik. 7. Hepatologi. 8. Metabolik dan Endokrin. 9. Gastroenterologi. 10. Jantung. 11. Hematologi- Onkologi Medik. 12. Geriatri. B. Tanpa surat pengantar: 1. Poliklinik Penyakit Dalam: a. Pasien harus berobat pada poliklinik penyakit dalam terlebih dahulu dan bila perlu dikonsulkan ke poliklinik subspesialis atau Departemen lain di RSCM. b. Dokter Poliklinik Penyakit Dalam yang akan merawat pasien harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pelaksana harian yang bertugas. 2. Instalasi Gawat Darurat: a. Menerima pasien yang gawat. b. Pasien mendaftar di loket IGD. c. Setiap pelayanan dilakukan pemeriksaan, pengobatan, dan pembuatan status serta pencatatan medik oleh PPDS (dokter jaga). d. Bila ada masalah/ kasus sulit yang belum terselesaikan dokter jaga harus melakukan konsul melalui telepon kepada konsulen jaga penyakit dalam dan atau konsulen subspesialis di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. e. Bila ada indikasi, dokter jaga IGD bersama Chief jaga dapat langsung menyetujui perawatan pasien. f. Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Departemen lain yang terkait. g. Bila ada indikasi, pasien dapat ditempatkan di ruang isolasi, IW, HCU. IV. ALUR PASIEN RAWAT JALAN 1. Pasien langsung mendaftar ke loket Poliklinik Penyakit Dalam sesuai dengan surat pengantar (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). 2. Di Poliklinik Penyakit Dalam dilakukan pemeriksaan dan pembuatan staus serta pencatatan medik oleh PPDS. 3. Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkanke Poliklinik Subspesialis di Penyakit Dalam. Kemudian Pasien mendaftar kembali ke loket Poliklinik Penyakit Dalam (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). 4. Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Departemen lain yang terkait (Pendaftaran langsung ke Poliklinik Departemen lain yang dituju, dengan pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan Departemen lain yang terkait: Umum/ Askes). 5. Bila diperlukan tindakan khusus/ prosedur diagnostik/ terapi, dibuatkan surat pengantar ke Ruang Prosedur dan Pasien harus mendaftar di loket khusus tindakan 17 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

18 subbagian yang dituju (Pembayaran sesuai pembayaran sesuai kebijakan IPD dan Subbagian yang terkait dengan persetujuan RSCM: Umum/ Askes). 6. Hasil pembayaran dilaporkan ke ko/admin ke IPD RSCM kemudian ke YanMed RSCM. V. ALUR KONSUL DARI DEPARTEMEN LAIN (ANTAR DEPARTEMEN) 1. Jika Konsul dilakukan pada jam Kerja: a. Bila surat pengantar diberikan untuk Poliklinik Penyakit Dalam, pasien mendaftar di Poliklinik Penyakit Dalam (Poliklinik Konsul PD) (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). b. Bila surat pengantar diberikan untuk Poliklinik Subspesialis Penyakit Dalam, pasien mendaftar di Poliklinik Penyakit Dalam (Poliklinik Konsul PD) (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). c. Bila ada indikasi alih rawat dan kondisi pasien sangat emergency/ perawatan intensif (Mengancam nyawa) maka pasien dapat ditempatkan di ICU, ruang rawat khusus, atau ruang resusitasi/ IGD lantai 1. d. Bila masalah emergency teratasi maka pasien dirawat lanjutan di ruang rawat Penyakit Dalam. e. Jika ruang rawat penuh, maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian terkait) dengan melapor terlebih dahulu ke supervisor/konsulen subbagian. f. Bila ada indikasi alih rawat tetapi kondisi pasien tidak emergency dan tempat penuh maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan ke subbagian terkait) dan dilaporkan terlebih dahulu ke supervisor/ konsulen subbagian. g. Bila diperlukan, pasien dapat rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian dengan terlebih dahulu lapor ke supervisor/konsulen subbagian). 2. Jika Konsul dilakukan di luar jam Kerja: a. Pasien dikonsulkan ke dokter jaga. b. Bila ada indikasi alih rawat dan kondisi pasien sangat emergency/ perawatan intensif (Mengancam nyawa) maka pasien dapat ditempatkan di ICU, ruang rawat khusus, atau ruang resusitasi/ IGD lantai 1. c. Bila masalah emergency teratasi maka pasien dirawat lanjutan di ruang rawat Penyakit Dalam. d. Jika ruang rawat penuh, maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian terkait) dengan melapor terlebih dahulu ke supervisor/konsulen subbagian. e. Bila ada indikasi alih rawat tetapi kondisi pasien tidak emergency dan tempat penuh maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan ke subbagian terkait) dan dilaporkan terlebih dahulu ke supervisor/ konsulen subbagian. f. Bila diperlukan, pasien dapat rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian dengan terlebih dahulu lapor ke supervisor/konsulen subbagian). 18 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

19 VI. FASILITAS PELAYANAN SUB-BAGIAN: A. SUB-BAGIAN ALERGI IMUNOLOGI KLINIK: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit alergi dan imunologi (misalnya Lupus Eritematosus Sistemik/ Systemic Lupus Erythematosus/ SLE), disamping menjawab konsultasi dari departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan Kamis di lantai IV gedung Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM). 2. Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan yang bisa dilakukan di sub-bagian ini mencakup uji faal paru (Spirometri), uji CMI (Cell Mediated Immunity/ Imunitas yang dihantarkan sel), uji kulit, uji provokasi obat, uji provokasi histamine. Uji CMI dan faal paru dilakukan setiap Senin, Rabu, dan Jum at. Uji kulit dilakukan setiap hari Selasa, sementara uji provokasi obat dan histamin sesuai perjanjian. 3. Pengobatan: Di Poliklinik gedung IRM lantai IV dilakukan juga pengobatan inhalasi. 4. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. B. SUB-BAGIAN METABOLIK-ENDOKRIN: 1. Poliklinik: 1.1. Poliklinik Penyakit Endokrin: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit endokrin secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Hari kerja Poliklinik adalah Setiap Senin, Selasa, Kamis, dan Jum at bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja Poliklinik Penyakit Diabetes Mellitus: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit Diabetes Mellitus secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Pelayanan juga mencakup tatalaksana diabetes pada kehamilan dan pada penyakit lain. Hari kerja Poliklinik adalah Setiap Selasa dan Jum at bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja Poliklinik Lipid dan Obesitas: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit Lipid dan Obesitas secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Hari kerja Poliklinik adalah Rabu bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja. 19 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

20 1.4. Klinik Penyuluhan Diabetes: Di poliklinik ini dilakukan penyuluhan pasien baru, pasien lama dengan masalah, konsultasi dari luar RSCM untuk penurunan glukosa darah, mengenal komplikasi seperti hipoglikemia dan merupakan rujukan klinik diabetes yang ada disekitar Pulau Jawa Klinik Perawatan Kaki Diabetes: Di Poliklinik ini dilakukan penanganan perawatan kaki diabetes. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Tindakan Diagnostik Penyakit Tiroid Meliputi USG, Biopsi, Aspirasi Tiroid untuk mencari diagnostik etiologik. Pemeriksaan dilakukan sesuai perjanjian Tes Dinamika Hormon Pertumbuhan, Adrenal, dan Hipofisis Pemeriksaan Laboratorium untuk Kadar Glukosa Darah dan tes toleransi glukosa, dilakukan Selasa dan Jum at bersama Poliklinik Penyakit Diabetes Mellitus Pemeriksaan Laboratorium untuk kadar kolesterol dan lipid darah, dilakukan pada hari Poliklinik Lipid dan Obesitas yaitu Rabu. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. C. SUB-BAGIAN GINJAL HIPERTENSI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Ginjal dan Hipertensi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Rabu, dan Jum at di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II sayap kanan. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat struktur ginjal dan saluran kemih sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik dan perencanaan tindakan selanjutnya. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.2.Biopsi Ginjal Tindakan diagnostik ini diperlukan untuk menilai struktur jaringan ginjal dengan tuntunan USG. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.3.Renogram Effective Renal Plasma Flow (ERPF), Glomerular Filtration Rate (GFR), arteriografi, dan BPN dilakukan bekerjasama dengan Departemen Radiologi. 3. Hemodialisis (Cuci Darah): 20 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

21 Sub-bagian Ginjal Hipertensi mempunyai ruangan khusus untuk tindakan ini yang dilakukan setiap Senin sampai Sabtu mulai jam 8 pagi sampai jam 8 malam termasuk hari libur. Tindakan hemodialisis dilakukan pada kasus dengan Chronic Kidney Disease Stadium 4 dan 5, atau ginjal akut dengan indikasi tertentu. 4. CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis/ Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan): Dengan bimbingan dari tenaga medis dan paramedik dari sub-bagian Ginjal Hipertensi, dialysis cara ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien. 5. Transplantasi (Cangkok) Ginjal: Tindakan penuh tantangan dan ketelitian ini sudah dilakukan di RSCM bekerjasama dengan Departemen Bedah Urologi. 6. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. D. SUB-BAGIAN GASTROENTEROLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit saluran cerna, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan Kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II. 2. Pemeriksaan Khusus: Tindakan peneropongan saluran cerna dengan optik fiber ini bisa dilakukan untuk 2 fungsi yaitu diagnostik dan terapi. Tindakan diagnostic mencakup Esofago Gastro Duodenoskopi, ERCP (Bekerjasama dengan Departemen Radiologi) dan Kolonoskopi. Sedangkan tindakan terapi adalah untuk dilatasi esophagus (Bouginasi), pemasangan protesa esophagus, dilatasi pylorus, PEG (Percutaneus Endoscopic Gastroenterostomy/ Gastroenterostomi Endoskopi Perkutaneus). Kalau diperlukan, tindakan ini juga bisa dilanjutkan dengan pemasangan stent, polipektomi, skleroterapi hemoroid, dan ligasi hemoroid. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. E. SUB-BAGIAN HEPATOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit hati, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. 21 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

22 Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin dan Rabu di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat struktur hati dan bagian sistem pencernaan lainnya seperti limpa dan kandung empedu sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik dan dasar perencanaan tindakan selanjutnya. Prosedur ini bisa dilanjutkan dengan intervensi seperti aspirasi untuk kasus abses hati amuba ataupun piogenik. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.2.Biopsi Hati: Tindakan diagnostik ini dilakukan dengan panduan USG, diperlukan untuk menilai struktur Patologi Anatomis jaringan hati misalnya pada kelainan hati kronis akibat virus ataupun non-virus, nodul di hati,dll. Penjadwalan dilakukan sesuai perjanjian. 2.3.Laparoskopi: Pemeriksaan ini dilakukan dengan peneropongan untuk melihat struktur permukaan organ dalam rongga perut. Prosedur ini bisa dilanjutkan dengan biopsi atas indikasi. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. F. SUB-BAGIAN PULMONOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit saluran nafas, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Rabu, dan Jum at di gedung Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM) lantai V. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Spirometri: Merupakan uji faal paru yang sangat berguna dalam menilai toleransi operasi, dan pemantauan terapi penyakit paru kronik. Pemantauan ini dilakukan setiap hari poliklinik, yaitu Senin, Rabu, dan Jum at. 2.2.Bodyplethysmography: Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam penilaian fungsi paru yang belum terdeteksi dengan spirometri (Standard). Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari poliklinik, yaitu Senin, Rabu, dan Jum at atau dengan perjanjian. 22 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

23 2.3.Bronkoskopi: Pemeriksaan dengan teropong serabut optik ini dilakukan untuk menilai keadaan permukaan jalan nafas, bisa dilanjutkan dengan bilas bronkoalveolar, sikatan bronkus, atau biopsi transbronkial. Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa, dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.4.Punksi Cairan Pleura: Pengambilan cairan pleura ini berdasarkan indikasi sebagai penunjang diagnostik dan tindakan terapetik. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.5.Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB): Aspirasi jarum halus dilakukan pada pembesaran Kelenjar Getah Bening, massa tumor di leher, subclavicula, ataupun ketiak untuk analisis sitologi keganasan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.6.Biopsi Trans Torakal (Trans Thoracal Biopsy/ TTB): Biopsi trans torakal dilakukan pada tumor paru yang letaknya perifer. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.7.Biopsi Pleura: Biopsi pleura ini dilakukan untuk penunjang diagnostic. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. G. SUB-BAGIAN HEMATOLOGI-ONKOLOGI MEDIK: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit darah dan keganasan, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari kerja di gedung Poliklinik Subbagian Penyakit Dalam Lantai II Sayap kiri. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Pemeriksaan darah perifer/tepi lengkap (DPL) termasuk sitomorfologi Analisis sitomorfologi dan pewarnaan khusus serta sitokimia sumsum tulang melalui Aspirasi (BMP) dan Biopsi Sumsum Tulang untuk mendapatkan data histopatologi (PA dari Departemen Patologi Anatomi Sitologi cairan tubuh (Cairan Pleura, Asites, Cairan Otak dsb) dengan teknik Cytospin Biopsi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB) terhadap Kelenjar Getah Bening atau Massa Tumor untuk Analisis Sitologi Keganasan Pemeriksaan pembekuan darah (Hemostasis Lengkap) dan agregrasi trombosit Analisis limfosit T dan B dengan Antibody Monoclonal dengan Immunofluoresensi untuk menilai kekebalan seluler dan diagnosis imunologik leukaemia (Immunofenotyping). 23 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

24 2.7. Deteksi virus HIV dalam darah Pemeriksaan sitogenetika untuk mencari kelainan kromosom pada keganasan dari darah tepi, aspirat sumsum tulang maupun jaringan tumor padat. 3. Pengobatan: 3.1. Poliklinik: Pelayanan transfusi komponen darah, flebotomi maupun pemberian sitostatika secara Perawatan Sehari (One Day Care) Rawat Inap Khusus Kamar Steril: Perawatan dalam ruangan isolasi khusus/bebas kuman untuk pengobatan induksi sitostatika dan transplantasi sumsum tulang Pelayanan Hemaferesis Atau Pemisahan Komponen Darah: Berupa Terapi (Misalnya lekosit atau trombosit berlebihan) dan penambah untuk orang lain yang memerlukan. 4. Pengobatan: 4.1. Merancang: Memberikan dan melakukan penyediaan kemoterapi sitostatika pada penyakit keganasan (Misalnya Leukemia, limfoma malignum, myeloma multiple) Berkerjasama: Dengan disiplin/sub-bagian terkait dalam pengelolaan medic penyakit kanker padat/ non-hematologik, baik secara konsultatif maupun tim/rawat bersama. 5. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. H. SUB-BAGIAN TROPIK INFEKSI: 1. Poliklinik: Pelayanan sub-bagian Tropik Infeksi dilakukan di RSUPN-CM dan RSUP Persahabatan Kegiatan yang dilakukan di kedua tempat adalah pemeriksaan dan pengobatan penyakit Tropik-Infeksi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ Rumah Sakit lain, konsultasi dari Dokter Praktek Umum dan Spesialis di Luar Rumah Sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan di RSUPN-CM dilakukan setiap hari kerja di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II sayap kanan, sementara di RSUP Persahabatan di lantai II gedung Poliklinik.. 2. Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan Laboratorium dilakukan setiap hari diantaranya: Serologi Malaria. Serologi Leptospirosis. Serologi Widal. Serologi Dengue. Kultur Bakteriologi. Mikologi. 24 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

25 3. Rawat Inap: Perawatan juga dilakukan di RSCM dan RSUP Persahabatan. Pelayanan sub-bagian ini di RSUP Persahabatan mempunyai fasilitas perawatan dan pelayanan khusus untuk diare. I. SUB-BAGIAN REUMATOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Reumatologi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II. 2. Pemeriksaan Khusus: Tindakan ini mencakup fungsi cairan sendi dan analisanya, pemeriksaan CRP, faktor rematoid, Autoantibodi (Latex, Rose Wahler), ANA, anti ds-dna, anti scl 70, SS-A, SS-B, anti SN-RNP. 3. Terapi: Tercakup di sini adalah fungsi cairan sendi, injeksi steroid intraartikuler, dan terapi rehabilitasi (Kerjasama dengan Instalasi Rehabilitasi Medik). 4. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. J. SUB-BAGIAN KARDIOLOGI: 1. Poliklinik: 1.1.Poliklinik Kardiologi: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Jantung, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Poliklinik ini melayani pasien setiap hari pada jam kerja. 1.2.Poliklinik Aritmia: Poliklinik ini melayani pasien 2 kali seminggu pada jam kerja. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Ekokardiografi Doppler dan Warna: Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi. Gambaran pemeriksaan bisa dipantau bersama pasien melalui monitor komputer. Indikasi pemeriksaan antara lain adalah didapatkannya perikarditis, efusi pericardial, prolaps katup mitral (Mitral Valve Prolapse, MVP), kelainan katup, kerusakan sekat serambi dan bilik (Atrial Septal Defect, ASD dan Ventricular Septal Defect, VSD), Fungsi jantung. Waktu tindakan disesuaikan dengan perjanjian Ekokardiografi Trans-Esofagus (Transesophagus Echocardiography/ TEE): 25 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

26 Pemeriksaan ini di-indikasikan terutama untuk pasien muda yang menderita stroke dimana didapatkan kecurigaan adanya thrombus di appendage atrium kiri, melihat lebih jelas adanya kelainan katup, aorta, VSD, ASD. Waktu tindakan sesuai perjanjian Ekokardiografi Stress: (Stress Echocardiography): Ini berguna untuk melihat hasil uji stress dengan lebih teliti Treadmill (Uji Beban Jantung) Monitor Hotter (Melihat Aritmia) Fonokardiografi (Visualisasi Kelainan Bunyi Jantung) Kateterisasi Jantung. Pemeriksaan ini merupakan cara mengukur tekanan di ruang-ruang jantung, aliran balik (Regugirtasi), melihat kondisi kelianan bawaan, katup, dan stenosis pembuluh koroner. Kateterisasi juga bisa digunakan sebagai terapi seperti pada PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty/ Angioplastik Koroner Intralumen Perkutan), BMV (Ballon Mitral Valvuloplasti/ Mitral dengan Balon), EPS (Electro Physiology Study/ Pemantauan Elektrofisiologi). Tindakan ini juga bisa dilanjutkan dengan ablasi, pemasangan stent dan alat pacu jantung baik yang sifatnya temporer (Sementara) maupun yang permanen (Tetap). 3. Perawatan: 3.1. Rawat Inap: Fasilitas ini digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung yang perlu dirawat Unit Perawatan Jantung Intensif (Intensive Coronary Care Unit, ICCU): Unit ini melakukan perawatan jantung secara intensif berdasarkan indikasi. 4. Rehabilitasi Jantung: Pelayanan ini dilakukan bersama Yayasan Jantung Mas Isman, dilakukan di beberapa tempat di Jakarta. 5. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. K. SUB-BAGIAN PSIKOSOMATIK: Departemen Penyakit Dalam RSUPN-CM selalu memegang prinsip bahwa penatalaksanaan pasien harus holistic, yaitu secara keseluruhan, tidak memandang jasad dan jiwa sebagai hal yang terpisah. Ada 4 Keadaan yang Berhubungan dengan gangguan psikosomatik: 1. Gejala Fisik yang penyebabnya murni psikis. 2. Gejala Fisik/ Organik yang disebabkan factor psikis lama. 3. Gangguan Fisik dan Psikis yang dijumpai bersama-sama tapi keduanya tak berhubungan (Koinsidensi). 4. Gangguan fisik lama yang menyebabkan gangguan psikis (Misalnya pada Arthritis Reumatoid, Diabetes, Penyakit Keganasan, atau Penyakit Jantung yang sudah lama. 26 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

27 Fasilitas Pelayanan Yang Ada: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Psikosomatik, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Selasa, dan Kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai V IRM (Instalasi Rehabilitasi Medik). 2. Pemeriksaan/ Uji Laboratorium: Pemeriksaan yang bisa dilakukan di sub-bagian ini mencakup uji insulin, uji adrenalin, dan uji air yang bertujuan menilai adanya ketidakseimbangan saraf otonom vegetative. 3. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. L. SUB-BAGIAN GERIATRI: Memasuki usia lanjut tidak berarti hanya menjadi jompo dengan sederet penyakit dan segenggam obat yang harus tiap kali diminum. Geriatri adalah seni tersendiri dalam bidang penyakit dalam yang memerlukan tindakan holistic inter/multidisiplin. 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Geriatric, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Edukasi dan latihan jasmani adalah hal yang tak kalah pentingnya. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jum at di gedung Poliklinik Geriatric Departemen Penyakit Dalam. 2. Perawatan Sehari: Kegiatan ini dilakukan pada setiap hari Senin. Dalam proses ini dilakukan pengkajian (assessment) menyeluruh pada pasienpasien Geriatrik. Pelayanan ini dilakukan bersama-sama dokter dari Departemen Terkait seperti Unit Rehabilitasi Medik, Jiwa, dan Instalasi Gizi. 3. Penyuluhan: Kegiatan ini dilaksanakan sekali sebulan dengan pokok bahasan masalah-masalah yang sering dijumpai. 4. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. 5. Kunjungan ke Panti Werdha Untuk Pemeriksaan dan Penyuluhan pada Pasien-paien di tempat tersebut. VII. TATA LAKSANA RAWAT INAP 27 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

28 A. TATA CARA PERAWATAN a. Tata Cara Perawatan di Ruang Kelas IIB dan III: Pasien yang akan dirawat di ruang kelas II B dan III harus mendapat persetujuan lebih dahulu dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pasien yang berasal dari poliklinik umum mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik spesialis penyakit dalam (PHS PSPD). 2. Pasien yang berasal dari poliklinik Spesialis Penyakit Dalam mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik spesialis penyakit dalam (PHS PSPD). 3. Pasien yang berasal dari poliklinik spesialis harus mendapat persetujuan dari konsulen poliklinik subspesialis. 4. Pasien yang berasal dari Instalasi Gawat Darurat (Pada jam Kerja) mendapat persetujuan dari Dokter Instalasi Gawat Darurat. 5. Pasien yang berasal dari Instalasi Gawat Darurat (Diluar jam Kerja) mendapat persetujuan dari Dokter Jaga Utama Penyakit Dalam 6. Pasien yang berasal dari ruang perawatan Departemen lain (di luar Departemen Penyakit Dalam) dipindahkan setelah mendapat persetujuan dari Pelaksana Harian Supervisor Poliklinik Spesialis Pada waktu jam kerja, dan diluar jam kerja mendapat persetujuan dari Dokter Jaga Utama Penyakit Dalam. b. Tata Cara Perawatan di Ruangan kelas I dan II: Pasien yang akan dirawat di ruang kelas I dan II harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Pasien pribdi staf Departemen Penyakit Dalam yang membawa surat dari dokter pribadinya dan datang pada jam kerja, dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari P3RN. 2. Pasien pribadi dari dokter staf Departemen Penyakit Dalam yang membawa surat dari dokter pribadinya dan datang di luar jam kerja, diperiksa dahulu oleh dokter jaga Penyakit Dalam IGD dan dapat dirawat setelah memenuhi persyaratan administrative. Dokter jaga memberitahukan ke staf tersebut bahwa pasiennya dirawat. 3. Pasien yang datang dengan indikasi rawat yang datang ke: Poliklinik Umum dan Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam tanpa pengantar surat pengantar dokter pribadi, dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik umum. Poliklinik Subspesialis tanpa surat pengantar dari dokter pribadi atau konsulen poliklinik subspesialis dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari P3RN. 4. Pasien dengan indikasi rawat yang datang di IGD pada jam kerja tanpa surat pengantar dokter pribadi, boleh memilih dokter yang dikehendaki, dan bila tidak maka pasien dirawat atas nama Koordinator Pelayanan Medik Setelah mendapat persetujuan P3RN. 28 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

29 5. Pasien dengan indikasi rawat yang datang di IGD pada jam jaga tanpa surat pengantar dokter pribadi, dapat dirawat atas nama Koordinator Pelayanan Medik Setelah menyelesaikan persyaratan administrasi. 6. Pasien yang masuk rawat di luar jam kerja penanganannya sementara dapat dilakukan oleh dokter jaga. VIII. TATA LAKSANA PERAWATAN A. Pasien di ruang perawatan Kelas III: 1. Masuk Rawat Pada Jam Kerja: a. Setelah pasien tiba di ruangan maka dokter ruangan bersama dokter kepala ruangan (DKR) memeriksa penderita dan segera menetapkan kondisi pasien: baik, sedang, berat, kritis. b. Bila Kondisi Pasien Berat atau Kritis, maka: Masalah segera ditegakkan. Segera diatasi masalahnya dengan menetapkan keadaan vital (Vital sign) pemberian diet, cara perawatan, cara pemberian cairan I.V. dan medikamentosa, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya serta instruksi khusus (Konsultasi, perawatan khusus, tindakan khusus, dsb). Selanjutnya dokter ruangan bersama-sama dokter kepala ruangan segera melaporkan kepada supervisor dan bila perlu ke subbagian yang bersangkutan. Ringkasan pada waktu pasien masuk harus segera diisi dan catatan medic lengkap harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. c. Bila pasien dalam kondisi baik atau sedang maka: Dokter ruangan bersama-sama dengan dokter kepala ruangan memeriksa pasien dan menegakkan masalah kemudian menetapkan diet, cara perawatan, medikamentosa, pemeriksaan laboratorium, dan penunjang. Melaporkan kepada supervisor ruangan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Catatan medik lengkap harus diselesaikan dalam waktu 2 jam. d. Supervisor mengkoordinasikan dan mengawasi kondisi pasien dan perkembangannya, rencana pemeriksaan penunjang dan pengobatan dengan menghubungkan Cost Effectiveness dan etik kedokteran dengan cara mengadakan ronde ruangan minimal 2x/ minggu. e. Bila pasien yang tiba di ruangan dalam keadaan baik, kemudian tiba-tiba jatuh dalam keadaan berat atau kritis maka dokter ruangan dan dokter kepala ruangan segera menetapkan tindakan dan pengobatan dan segera melaporkan pada supervisor. f. Bila pasien meninggal maka dokter ruangan membuat resume perawatan, dan bersama-sama dokter ruangan yang lain dan supervisor mendiskusikannya dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh supervisor (Minimal 1x minggu). g. Pemulangan pasien ditentukan oleh supervisor. Dokter ruangan berkewajiban membuat surat pengantar kepada dokter yang mengirim/ Puskesmas/ 29 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

30 Poliklinik Sub-Spesialis, dan surat tersebut harus diketahui oleh supervisor ruangan. 2. Masuk Rawat Diluar Jam Kerja (Jam Jaga): a. Setelah pasien tiba di ruangan maka dokter jaga junior bersama-sama dokter jaga senior menetapkan kondisi pasien, karena umumnya yang dirawat pada jam jaga ialah pasien yang berat atau kritis maka langkah seperti dalam ad 1 segera dilaksanakan. b. Formulir status dan pengobatan/ tindakan yang dilakukan segera ditulis dan ditandatangani oleh yang bersangkutan dengan mencantumkan nama jelas. c. Keesokan harinya dokter jaga junior segera menimbang terimakan pada dokter ruangan. Dokter ruangan bersama-sama dokter kepala ruangan segera melaporkan kepada supervisor. 3. Segala sesuatu yang terjadi pada pasien yang baru tiba, pasien lama yang gawat atau meninggal dan setiap tindakan harus dicatat dalam catatan medik dan ditandatangi oleh yang bersangkutan disertai nama jelas. B. Pasien di ruang perawatan Kelas II: Prinsip tatalaksana perawatan sama dengan pasien ruang perawatan kelas III. C. Pasien di ruang perawatan kelas I: Karena pasien di ruangan kelas I tidak ada dokter kepala ruangan dan dokter ruangan, maka pasien ditujukan ke subbagian terkait apabila kasusnya sudah jelas dan ditujukan ke coordinator pelayanan masyarakat apabila kasusnya belum jelas. 30 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

31 STANDAR PELAYANAN MEDIK PENYAKIT 31 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

32 REUMATOLOGI NO ARTRITIS PIRAI Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristalmonosodium urat(msu) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik. 2. Diagnosis Kriteria ACR (1977): A. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau B. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam tofus, atau C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut: 1. Inflamasi maksimal pada hari pertama 2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali 3. Artiritis monoartikular 4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan 5. Pembengkakan sendi simetris pada gambaran radiologik 6. Serangan pada sendi MTP unilateral 7. Serangan pada sendi Tarsal Unilateral 8. Tofus 9. Hiperurisemia 10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologik 11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik 12. Kultur bakteri cairan sendi negative 3. Diagnosis Banding 1.Pseudogout khusus: Artritis Septik, Artritis Reumatoid 4. Pemeriksaan Penunjang LED, CRP Analisis cairan sendi Asam Urat darah dan urin 24 jam Ureum, Kreatinin, CCT Radiologi Sendi 5. Terapi 1. Penyuluhan 2. Pengobatan Fase Akut: a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8mg/24 jam. b. Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID) c. Glukokortikotoid dosis rendah bila ada kontraindikasi 3. Pengobatan Hiperurisemia: a. Diet Rendah Purin b. Obat penghambat Xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya Allopurinol c. Obat Urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) Catatan: Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut. 32 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

33 6. Komplikasi Tofus Deformitas Sendi Nefropati Gout, Gagal Ginjal 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Reumatologi 10. Unit Yang Terkait NO ARTRITIS REUMATOID Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui 2. Diagnosis Kriteria Diagnosis (ACR,1987) 1. Kaku Pagi, sekurangnya 1 jam 2. Artritis pada sekurangnya 3 sendi 3. Artiritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP). 4. Artritis yang Simetris. 5. Nodul Reumatoid 6. Faktor Reumatoid serum positif 7. Gambaran Radiologik yang spesifik Catatan: Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas, criteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu. 3. Diagnosis Banding Spondiloatropati seronegatif, sindrom Sjogren 4. Pemeriksaan Penunjang LED,CRP Faktor Reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan hasil negative tidak menyingkirkan adanya AR. Analisis Cairan Sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit diatas 2000/mm 3. Analisis ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropati Kristal. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh Osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampah daerah subkondral. Biopsi sinovium/nodul rheumatoid. 5. Terapi Penyuluhan Proteksi Sendi, terutama pada stadium akut Obat antiinflamasi non-steroid Obat remitif(dmard), misalnya klorokuin dengan dosis 1x250mg/hari, metrotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu, salazopirin dosis 3-4x 500mg/hari, garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g, dilanjutkan seminggu 33 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

34 kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikan menjadi 50 mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis kumulatif 2g. Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan akut atau kekambuhan Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20mg dosis terbagi dan segera Tappering off. Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti Triamcinolone Acetonide 10 mg atau metilprednisolon mg. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Operasi untuk memperbaiki deformitas. 6. Komplikasi Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar) Sindrom Terowongan Karpal 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam-Subbagian Reumatologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Orthopedi NO LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit autoimun yang ditandai produksi antibody terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. 2. Diagnosis Kriteria Diagnosis ACR Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria dibawah ini. 1. Ruam Malar 2. Ruam Diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis 6. Serositis (pleuritis dan perikarditis) 7. Kelainan ginjal (proteinuri>0,5g/hari), atau (silinder sel) 8. Kelainan Neurologi, kejang-kejang atau psikosis. 9. Kelainan Hematologi, anemia hemolitik, atau leucopenia, atau limfopenia, atau trombopenia. 10. Kelaian imunologik, Sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis untuk sifilis positif palsu. 11. Antiboid Antinuklear (ANA) positif. 3. Diagnosis Banding Mixed Connective Tissue Disease, Sindrom Vaskulitis 4. Pemeriksaan Penunjang LED, CRP C3 dan C4 ANA, ENA (Anti dsdna dsb) Coomb Test, bila ada AIHA 34 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

35 BIopsi Kulit 5. Terapi Penyuluhan Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, kadang-kadang juga sinar fluoresein Pada manifestasi non-organ vital(kulit, sendi, fatigue) dapat diberikan klorokuin 4 mg/kg/bb/hari. Bila terdapat peradangan terbatas pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan pulse metilprednisolon 1g/hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu diberikan prednisone 40-60mg/hari per oral Bila Pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai pemberian imunosupresif lain, missal siklofosfamid mg/m 2 sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun. Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalah azatioprin, siklosporin-a 6. Komplikasi Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder, osteonekrosis. 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Kulit & Kelamin. NO ARTRITIS SEPTIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Artritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai mikroorganisme (bakteri,non-gonokokal) 2. Diagnosis Nyeri Sendi Akut, umumnya monoartikular. Umumnya terdapat penyakit lain yang mendasari DItemukan bakteri dari kultur cairan sendi. 3. Diagnosis Banding Artiritis gonokokal, bursitis septio 4. Pemeriksaan Penunjang Analisis Cairan Sendi Pewarnaan Gram dan kultur cairan Sendi Radiografi sendi yang terserang. LED,CRP, leukosit darah Kultur darah, bila ada tanda-tanda sepsis. 5. Terapi 1. Aspirasi Cairan Sendi 2. Antibiotik berspektrum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur diperoleh. 3. Drainase sendi yang terinfeksi 4. Indikasi Tindakan bedah: a. Infeksi Koksa pada anak-anak. b. Infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainase secara adekuat. c. Terdapat Bukti Osteomielitis d. Infeksi Berkembang ke jaringan lunak sekitarnya 35 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

36 6. Komplikasi Osteomielitis, sepsis 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah- Orthopedi NO OSTEOARTRITIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian OA merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (Osteofit) 2. Diagnosis Osteoartritis sendi lutut: 1. Nyeri lutut, dan a. Usia > 50 tahun b. Kaku Sendi < 30 menit c. Krepitasi+ Osteofit 2. Salah satu dari 3 kriteria berikut: Osteoartritis sendi tangan: 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari 4 kriteria berikut: a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III ki&ka, CMC I ki&ka). b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP. c. Pembengkakan pada <3 sendi MCP d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu. Osteoartritis sendi pinggul: 1. Nyeri pinggul, dan 2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: a. LED <20 mm/jam b. Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum c. Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial) 3. Diagnosis Banding Artritis rheumatoid, arthritis gout, arthritis Septic, spondilitis ankilosa 4. Pemeriksaan Penunjang LED, pada OA inflamatif, LED akan meningkat. Analisis Cairan Sendi Radiografi Sendi yang terserang. Artroskopi. 5. Terapi 1. Penyuluhan 2. Proteksi sendi, terutama pada Stadium AKut 3. Obat antiinflamasi non-steroid. Dapat digunakan seperti sodium diklofenak 50 mg t.i.d, piroksikam 20 mg o.d. meloksikam 7,5 mg. o.d dan sebagainya. 4. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis 5. Operasi untuk memperbaiki deformitas 6. Komplikasi Deformitas Sendi 36 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

37 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Orthopedi. NO SPONDILITIS ANKILOSA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Spondilitis Ankilosa (SA) merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai tulang aksial. Dikenal dua bentuk yaitu spondilitis ankilosa primer (idiopatik) dan sekunder yang berkaitan dengan arthritis reaktif,psoriasis atau penyakit kolon inflamatif. 2. Diagnosis Kriteria New York: 1. Nyeri padavertebra lumbal atau dorsolumbal 2. Keterbatasan gerak fleksi anterior, fleksi lateral, dan ekstensi lumbal 3. Keterbatasan ekspansi dada sebesar 2,5 cm pada sela iga ke-iv Diagnosis definitive ditegakkan berdasarkan: 1. Gambaran radiografi sakrolitis bilateral derajat 3-4 ditambah 1 atau lebih criteria diatas, atau 2. Gambaran radiografi sakroilitis unilateral derajat 3-4 atau sakroilitis bilateral derajat 2, ditambah criteria 1 atau criteria 2+3. Diagnosis kemungkinan SA (Probable) ditegakkan berdasarkan gambaran radiografi sakroilitis derajat 3-4, tanpa disertai criteria tersebut di atas. 3. Diagnosis Banding Penyakit Reiter, Spondiloartropati juvenile, arthritis psoriatic, artropati enteropatik. 4. Pemeriksaan Penunjang LED, CRP, Seperti halnya AR, LED dan CRP diharapkan meningkat di mana hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi. Faktor Rheumatoid serum, biasanya negative Analisis cairan Sendi. Tidak ada parameter spesifik untuk menyingkirkan kelainan lain. Radiologi sendi sakroiliakal, vertebra lumbal, dan vertebra torakal. HLA-B27, Hasil positif sangat mendukung kejadian SA. Faktor risiko berkaitan dengan adanya subtype dari HLA-B27 5. Terapi Penyuluhan Proteksi sendi, terutama pada stadium akut Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID) Obat remitif (DMARD), biasanya salazopirin dengan dosis 2 x 1 gram/hari. Fisioterapi yang intensif, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Operasi untuk memperbaiki deformitas. 6. Komplikasi Bamboo Spine, Fraktur dislokasi 7. Prognosis Malam 37 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

38 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Rehabilitasi Medik HEPATOLOGI NO HEPATITIS VIRUS AKUT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6 bulan 2. Diagnosis Anamnesis: Mual, malaise, anoreksia, urin berwarna gelap Pemeriksaan fisik: Ikterus, hepatomegali Laboratorium: ALT dan AST meningkat > 3xN 3. Diagnosis Banding Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: AST, ALT, bilirubin, seromarker (IgM anti HAV,HbsAg, IgM anti HBc, anti HCV, IgM anti HEV) 5. Terapi Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif 6. Komplikasi Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi 10. Unit Yang Terkait NO HEPATITIS VIRUS KRONIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati. 2. Diagnosis Anamnesis: Umumnya tanpa keluhan Pemeriksaan Fisik: Bisa ditemukan hepatomegali Laboratorium: Pertanda Virus hepatitis B atau C positif USG:Hepatitis Kronik Biopsy hati: Peradangan dan fibrosis pada hati. 3. Diagnosis Banding Perlemakan hati 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium seperti pada hepatitis akut USG hati Biopsi hati 5. Terapi Hepatitis B Kronik:Lamivudin Hepatitis C Kronik: Interferon α +Ribavirin 6. Komplikasi Sirosis hati,karsinoma Hepatoseluler 7. Prognosis 20% akan berkembang menjadi sirosis hati 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Anatomi 38 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

39 NO ABSES HATI Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Rongga Patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi amuba atau bakteri 2. Diagnosis Anamnesis: Demam Pemeriksaan Fisik: Ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri perut kanan atas Laboratorium: Leukositosis, gangguan fungsi hati USG: Rongga dalam hati Aspirasi: Pus(+) 3. Diagnosis Banding Hepatoma, Kolesititis, TBC hati, aktinomikosis hati 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: DPL, ALP, Biliruibn, serologi amuba, USG, Kultur cairan pus 5. Terapi Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein Pada Abses amuba: Metronidazol 4 x mg/hari selama 5-10 hari Pada Abses piogenik; Antibiotika spectrum luas atau sesuai dengan hasil kultur kuman Pada Abses Campuran: Kombinasi metronidazol dan antibiotika. Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila apses berukuran besar (>5) 6. Komplikasi Ruptur Abses (ke Pleura, Paru, Perikardium, usus, Intraperitoneal atau kulit), Perdarahan dalam abses, sepsis 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi 10. Unit Yang Terkait NO KOLESISTITIS AKUT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. 2. Diagnosis Anamnesis: Nyeri Epigastrium atau perut kanan atas, dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam Pemeriksaan fisik: Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik. Laboratorium: Leukositosis USG: Penebalan dinding kandung empedu, seringkali ditemukan pula sludge atau batu. 3. Diagnosis Banding Angina Pektoris, Infark Miokard Akut, Appendisitis Akut Retrosaekal, tukak peptik, perforasi, pankreatitis akut, Obstruksi Intestinal. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: DPL, AST, ALT, ALP, bilirubin, kultur 39 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

40 darah, USG hati. 5. Terapi Tirah baring, puasa sampai nyeri berkurang/hilang Pengobatan suportif (Antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) Antibiotika parenteral Kolesistektomi bila diperlukan. 6. Komplikasi Gangren/Empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronis 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah Digestif. NO PERLEMAKAN HEPATITIS NON ALKOHOLIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu sindrom klinis dan patologis akibat perlemakan hati ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati 2. Diagnosis Anamnesis: Rasa mengganjal di perut kanan atas Pemeriksaan Fisik: Kelebihan berat badan USG: Gambaran Bright Liver. Biopsi Hati: Ditemukan perlemakan hati, perdangan lobulus, kerusakan hepatoseluler, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis. 3. Diagnosis Banding Hepatitis Virus Kronik 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Gula darah, profil lipid, AST, ALT, ALP, Gamma GT, Seromarker Hepatitis, ANA, anti dsdna Biopsi Hati 5. Terapi Mengoreksi Faktor risiko (Penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid dan olah raga) 6. Komplikasi Sirosis hati 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Anatomi. TROPIK INFEKSI 40 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

41 NO DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit Demam Akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 2. Diagnosis Kriteria Diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini: Uji Tourniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm 2 ) Peteki, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain. Hematemesis atau melena. Trombositopenia ( /mm 3 ) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage: Hematokrit meningkat 20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama. Hematokrit turun hingga 20% dari 41 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 hematokrit awal, setelah pemberian cairan Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia Derajat I: Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/atau mudah memar. II: Derajat I disertai perdarahan spontan. III: Terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah, atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah. IV: Renjatan: Tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindrom renjatan dengue 3. Diagnosis Banding Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia 4. Pemeriksaan Penunjang Hb,Ht, Leukosit, Trombosit, Serologi Dengue. 5. Terapi Nonfarmakologis: Tirah baring, makanan lunak Farmakologis: Simtomatis: Antipiretik parasetamol bila demam Tatalaksana Terinci dapat dilihat pada lampiran protokol tatalaksana DBD Cairan Intravena: Ringer Laktat atau Ringer Asetat 4-6 jam/kolf koloid/ plasma ekspander pada DBD Stadium III dan IV bila diperlukan. Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi. Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)

42 6. Komplikasi Renjatan, Perdarahan, KID 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian TropikInfeksi 10. Unit Yang Terkait NO DEMAM TIFOID Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhi 2. Diagnosis Anamnesis: Demam naik secara bertangga lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. PF: ebris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif( peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia) Lab: Dapat ditemukan leukopenia, Leukositosis, atau leukosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, Anemia ringan, Trombositopenia, gangguan Fungsi hati. Kultur Darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal 4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis tifosa : bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosiat 1. Hepatomegali. 2. Ikterik, 3. Kelainan Laboratorium antara lain: Bilirubin >30,6 umol/l, Peningkatan SGOT/SGPT Penurunan indeksi PT 4. Kelainan histopatologi Tifoid Karier: ditemukannya kuman Salmonella Typhii dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid. 3. Diagnosis Banding Infeksi virus, malaria 4. Pemeriksaan Penunjang DPL,Test fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu) 5. Terapi NonFarmakologis: Tirah baring, makanan lunak renda serat Farmakologis: Simtomatis Antimikroba Pilihan Utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam. 42 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

43 43 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Alternatif lain: Tiamfenikol 4 x 500 mg (Komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan Kloramfenikol) Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu. Ampisilin dan amoksisilin mg/kg/bb selama 2 minggu. Sefalosporin generasi III, yang terbukti efektif adalah Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan Sefotaksim 2-3 x 1 gram, Sofeperazon 2 x 1 gram Florokuinolon (Demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV): o Norfloksasin 2x 400 mg/hari selama 14 hari. o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari. o Oflofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari. o Peflofloksasin 400mg/hari selama 7 hari. o Flerofloksasin 400 mg/hari selama 7 hari. Kasus Toksik Tifoid (Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. Kombinasi Antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renjatan septik. Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tidoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3x5 mg Kasus Tifoid Karier: Tanpa Kolesitasis Pilihan rejimen terapi selama 3 bulan: Ampisilin 100 mg/kgbb/hari + Probenesid 30 mg/kgbb/hari Amoksisilin 100mg/kgBB/hari +Probenesid 30 mg/kgbb/hari Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari Dengan Kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimen: Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari Norfloflaksasin 2 x 400 mg/hari Dengan infeksi Shicstosoma Haematobium pada traktur urinarius Eradikasi Schistosoma Haematobium: Prazikuantel 40 mg/kgbb dosis tunggal, atau Metrifonat 7,5-10 mg/kgbb bila diperlu diberikan 3

44 dosis interval 2 minggu. Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas. Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksasol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III, Tiamfenikol tidak dianjurkan pada Trimester I, Obat yang dianjurkan golongan beta laktam: Ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin generasi III(Seftriakson) 6. Komplikasi Intestinal: Perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Ekstra-Intestinal:Kardiovaskular (Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, tromboflebitis), hematologik ( Anemia hemolitik, trombositopenia, KID), Paru (Pneumonia, empiema, pleuritis), Hepatobilier ( Hepatitis, Kolesistitis), Ginjal 7 (Glomerulonefritis, Pielonefritis, Pernefritis), Tulang (Osteomielitis, Periosistitis, Spondilitis, Artritis), Neuropsikiatrik (Toksik Tifoid). 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah- Subbagian Bedah Digestif. NO LEPTOSPIROSIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili Leptospiraceae 2. Diagnosis Anamnesis: Demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, Mual, muntah, diare. PF: Injeksi konjungtiva. Ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran Lab: Dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amilase,lipase, dan CK, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal Serologi leptospira positif (titer I 100 atau terdapat peningkatan 4 kali pada titer ulangan). 3. Diagnosis Banding Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria,kolangitis, hepatitis fulminan 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase, serologi leptospira 5. Terapi Non Farmakologis: Tirah baring,makanan/ cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat. Farmakologis: Simtomatis Antimikroba: Pilihan utama: Penisilin G 4 x 1,5 juta unit selamat 5-7 hari. Alternatif: Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon. 44 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

45 6. Komplikasi Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan masif, meningitis aseptik. 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Ginjal Hipertensi NO SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Sepsis: Sindrom respon inflamasi Sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. Renjatan septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS <90 mmhg atau penurunan >40 mmhg dari TD awal, tanpa adanya obatobatan yang dapat menurunkan TD 2. Diagnosis 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala awal atau lebih berikut: Suhu badan C Frekuensi denyut jantung >90x/menit Frekuensi Pernapasan >24x/menit atau PaCO 2 <32 tor Hitung Leukosit >12.000/mm 3 atau <4.000/mm 3 adanya > 10% sel batang 2. Adanya fokus infeksi yang bermakna untuk menyebabkan sepsis 3. Gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik. 3. Diagnosis Banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan infeksi fokal (urin,pus, sputum dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks. 5. Terapi Eradikasi fokus infeksi Antimikroba empirik, sesuai dengan Tempat infeksi Dugaan kuman penyebab Profil antimikroba (Farmakokinetik dan 45 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 farmakodinamik) Antimikroba Definitif: bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme. Suportif:Resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respon secepatnya. Resusitasi Cairan Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respon klinis (respon terlihat

46 46 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin dan perbaikan kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan JVP, ronki, galop S 3 dan penurunan saturasi oksigen). Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan cmh 2 O), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari. Oksigenasi sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernapasan. Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah sistolik 90 mmhg atau MAP 60 mmhg dan urin dipertahankan > 30 ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis > 8 mcg/kgbb/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kgbb/menit, fenilefrin 0,5-8 mcg/kgbb/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgbb/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kgbb/menit, Dopamin 3-8 mcg/kgbb/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgbb/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon). Transfusi komponen darah sesuai indikasi Koreksi gangguan metabolik: Elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik( secara empiris dapat diberikan bila ph<7,2 atau bikarbonat serum <9 meq/l, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik) Nutrisi yang adekuat Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal. Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal. Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aptt 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya. 6. Komplikasi Gagal napas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel. 7. Prognosis Dubia ad malam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

47 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi/ICU, Departemen Bedah NO FEVER OF UNKNOWN ORIGIN Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian FUO klasik: Infeksi, Neoplasma, penyakit kolagen Demam >, C selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif, selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum ditentukan penyebab demam. FUO pada pasien HIV: Infeksi Demam, C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat deng an hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi FUO pada pasien neutropenia (Jumlah Leukosit PMN <500/mm 3 ): Infeksi Demam, C, dalam 3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dari dugaan fokus infeksi FUO pada pasien Geriatri: eoplasma, penyakit kolagen, infeksi Demam, C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dari demam. FUO pada pasien Pediatri (Usia<18 tahun): Infeksi, Penyakit Kolagen, Neoplasma. Demam, C selama lebih dari 8 hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. FUO pada pasien Nosokomial: Infeksi Demam, C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi, penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi FUO Iatrogenik: Demam, C akibat penggunaan obat: penisilin, Sefalosporin, sulfonamida,atropin, fenitoin, prokainamida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifampisin, INH, Makrolida, Klindamisin, Vankomisin, Aminoglikosida, Allopurinol. 2. Diagnosis Anamnesis dan PF: Cermat, teliti, dan berulang Riwayat penyakit secara terperinci: Pola demam, ada tidaknya infeksi saluran napas atas, infeksi saluran napas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik. Riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening, lubang 47 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

48 orifices pasien Lab: Sesuai mikroorganisme dari organ terdekat. 3. Diagnosis Banding Infeksi, Penyakit Kolagen, Neoplasma, Efek Samping Obat 4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan hematologi, Kimia Darah, UL, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi,angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparotomi percobaan), uji pengobatan. 5. Terapi Simtomatis Uji Terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat antiinflamasi nonsteroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan. 6. Komplikasi Sepsis, renjatan sepsis 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait NO MALARIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falsiparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, atau Plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles 2. Diagnosis Anamnesis: Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah endemik malaria, trias malaria (Keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama) PF: Konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali Lab: Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+) [Sebagai penunjang] Malaria berat:ditemukan P.Falsiparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala berikut. 1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan buka disebabkan oleh penyakit lain. 2. Anemia Berat (Normositik) pada keadaan hitung parasit >10.000/ul; (Hb<5 g/dl atau hematokrit <15%). 3. Gagal ginjal akut (urin<400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml/kgbb pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl) 4. Edema paru/acute respiratory distress syndrome (ARDS) 5. Hipoglikemia (gula darah <40mg/dl) 6. Gagal sirkulasi atau syok (Tekanan sistolik <70 mmhg, diserta keringat dingin atau perbedaan 48 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

49 temperatur kulit-mukosa 1C) 7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan/ atau disertai gangguan koagulasi intravaskular, 8. Kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia 9. Asidemia (ph 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 meq/l) 10. Hemoglobinuria makroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek samping obat anti malaria pada pasien dengan defisiensi G6PD) 11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P.falsiparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak. Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat: 1. Gangguan kesadaran 2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan) 3. Hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria 4. Ikterus (bilirubin >3mg/dl) 5. Hiperpireksia (temperatur rektal 40C) 3. Diagnosis Banding Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis 4. Pemeriksaan Penunjang Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG 5. Terapi I. Infeksi P.Vivax atau P.Ovale 1. Daerah sensitif klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari I: 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), Hari II& III: 2 tablet Atau Hari I&II : 4 tablet Hari III 2 tablet Terapi radikal: Primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari bila gagal dengan terapi klorokuin kina Sulfat mg/hari selama 7 hari. 2. Daerah resisten klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari I :4 tablet +2 tablet (6 jam kemudian), hari II&III 2 tablet Atau Hari I&II : 4 tablet, Hari III:2 tablet ditambah SP 3 tablet (Dosis tunggal) Terapi radikal: Primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari. II. Infeksi P.Falsiparum ringan/sedang, infeksi campur P.Falsiparum dan P.Vivax Klorokuin basa 150 mg: Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), hari II&III 2 tablet Atau 49 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

50 III. Hari I&II: 4 tablet, Hari III:2 tablet Bila perlu terapi radikal: Falsiparum: Primakuin 45 mg( dosis tunggal); infeksi campur: primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari bila resisten dengan pengobatan tersebut SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3x mg/hari selama 7 hari. Malaria Berat Drip kina HCL 500 mg (10ml/kgBB) dalam ml D5% diberikan dalam 6-8 jam (maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar guladarah tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target (total pemberian oarenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis per oral 10 mg/kgbb/24 jam diberikan 3 kali sehari) Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan Tetrasiklin 94mg/kgBB diberikan 4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgbb sekali sehari. Perhatian: SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi, dan penderita G6PD. Klorokuin tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya diturunkan sampai 30-50%. Kortikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral. Pemantauan pengobatan: Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasi pada H1 50%, H0 dan H3 <25% H0. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Pencegahan: Klorokuin basa 5 mg/kgbb, maksimal 300 mg/minggu atau SP dengan dosis sulfadoksin 10-15mg/kgBB atau pirimetamin 0,5-7,5 mg/kgbb diminum tiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik. 6. Komplikasi Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut 7. Prognosis Malaria falsiparum ringan/ sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: dubia ada malam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi/ICU, Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian ginjal Hipertensi/Unit hemodialisis, Departemen Parasitologi, Departemen Neurologi. NO INTOKSIKASI OPIAT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 50 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

51 1. Pengertian Intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat:morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan 2. Diagnosis Anamnesis: Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada PF: Pupil miosis-pin point pupil, depresi napas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle track sign, sianosis, spasme saluran cerna dan bilier, kejang. Lab:Opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi. 3. Diagnosis Banding Intoksikasi obat sedatif: barbiturat, benzodiazepin, etanol 4. Pemeriksaan Penunjang Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks 5. Terapi A. Penanganan Kegawatan: Resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal) Bebaskan jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan. B. Pemberian antidot Nalokson: 1. Tanpa Hipoventilasi: Dosis awal diberikan 0,4 mg IV pelan-pelan atau diencerkan. 2. Dengan Hipoventilasi: Dosis awal diberikan 1-2 mg IV pelan-pelan atau diencerkan. 3. Bila tidak ada respon, diberikam nalokson 1-2 mg IV tiap 5-10 menit hingga timbul respon (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil) atau lelah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang, lapor konsulen Tim Narkoba Bagian IPD RSCM. 4. Efek Nalokson berkurang dalam menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip Nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam. 5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan rontgen toraks. 6. Pertimbangkan pemasangan ETT bila: pernapasan tidak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian Nalokson yang optimal. 7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat oral. 8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml 51 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

52 cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram. 9. Bila terjadi kejang dapat diberkan diazepam IV 5-10mg dan dapat diulang bila perlu Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian IPD RSCM untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi. 6. Komplikasi Aspirasi, gagal napas, edema paru akut 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi/ICU, Tim Narkoba Bagian IPD RSCM NO INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat 2. Diagnosis Anamnesi: Riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah. PF:Bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tandatanda aspirasi Lab: Pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG,pemeriksaan organofosfat. 5. Terapi Bilas lambung melalui NGT Atropinisasi 6. Komplikasi Gagal napas, blok AV 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi 10. Unit Yang Terkait METABOLIK ENDOKRINOLOGI 52 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

53 NO DIABETES MELLITUS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada: 1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan perifer (otot dan lemak). 2. Sekresi Insulin oleh sel Beta Pankreas 3. Atau keduanya. Klasifikasi DM: 1. DM tipe 1 (destruksi sel β, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut): Immune-mediated, Idiopatik. 2. DM tipe 2 (Bervariasi mulai dari yang: Predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatifpredominan defek sekretorik dengan resistensi insulin). 3. Tipe Spesifik lain: Defek genetik pada fungsi sel β. Defek genetik pada kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Diinduksi obat atau zat kimia. Infeksi Bentuk tidak lazim dari Immune Mediated DM. Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan dengan DM 4. DM Gestasional 2. Diagnosis Terdiri dari: Diagnosis DM Diagnosis komplikasi DM Diagnosis penyakit penyerta Pemantauan pengendalian DM Anamnesis: Keluhan khas DM: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan tidak khas DM: Lemah, Kesemutan, Gatal, Mata kabur, Disfungsi ereksi pada pria, Pruritus vulvae pada wanita. Faktor Resiko DM tipe 2: Usia > 45 tahun 53 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

54 Berat badan lebih:>110% BB idaman atau IMT>23 kg/m 2 Hipertensi (TD 140/90 mmhg) Riwayat DM dalam garis keturunan. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi >4.000 gram Riwayat DM gestasional. Riwayat TGT atau GDPT Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis, hipertiroidisme. Kolesterol HDL 5 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl Anamnesis Komplikasi DM (Lihat Komplikasi. Pemeriksaan fisik lengkap, Termasuk: TB,BB, TD, Lingkar pinggang. Tanda neuropati Mata (visus,lensa mata dan retina) Gigi mulut Keadaan Kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku Kriteria diagnosti kdm dan Gangguan Toleransi Glukosa: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl, Atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl, Atau 3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO. Pemeriksaan Laboratorium: Hb,Leukosit, hitung jenis leukosit, LED. Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan. Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur. Kreatinin SGPT, Albumin/ Globulin. Kolesterol Total, Kolesterol LDL, Kolesterol HDL, Trigliserida. A 1 C Albuminuri mikro. Pemeriksaan Penunjang lain: EKG. Foto Thoraks. Funduskopi. 3. Diagnosis Banding Hiperglikemia reaktif Toleransi Glukosa Terganggu (TGT=IGT) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GPDT=IFG) 4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium: Hb,Leukosit, hitung jenis leukositf, LED Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, Kreatinin SGPT, Albumin/Globulin Kolesterol Total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida A 1 C 54 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

55 Albuminuri mikro Pemeriksaan Penunjang lain: EKG. Foto Thoraks. Funduskopi. 5. Terapi Edukasi Meliputi pemahaman tentang: Penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM Intervensi farmakologis dan non-farmakologis Hipoglikemia Masalah khusus yang dihadapi Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Jumlah kandungan kolesterol disarankan <300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari, diutamakn serat larut. 55 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Jumlah kalori basal per hari: Laki-laki :30 kal/kg BB Idaman Wanita : 25 kal/kg BB Idaman Penyesuaian (Terhadap kalor basal.hari): Status gizi: a. BB gemuk -20% b. BB Lebih -10% c. BB Kurang + 20% Umur>40 tahun -5% Stres Metabolik (Infeksi, operasi, dll): +(10 s/d 30%) Aktifitas: a. Ringan +10% b. Sedang +20% c. Berat +30% Hamil: a. Trimester I,II +300 kal b. Trimester III/ laktasi +500 kal Rumus Broca:* Berat badan Idaman = (TB-100)-10% *Pria <160 cm dan wanita <150 cm, tidak dikurangi 10% lagi BB kurang : <90% BB Idaman BB normal : % BB Idaman

56 BB lebih : % BB Idaman Gemuk : >120% BB Idaman 56 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur 93-4kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip: CONTINUOS-RYTHMICAL-INTERVAL- PROGRESSIVE-ENDURANCE Intervensi Farmakologis Obat Hipoglikemia Oral (OHO): Pemicu sekresi Insulin (Insulin secretagogue): Sulfonilurea Glinid Penambah sensitivitas terhadap insulin: Metformin Tiazoldindion Penghambat absorpsi glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa Insulin Indikasi: Penurunan berat badan yang cepat. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis. Ketoasidosis Diabetik. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik. Hiperglikemia dengan asidosis Laktat. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal. Stres berat (Infeksi Sistemik, IMA, Stroke). Kehamilan dengan DM/ Diabetes Mellitus gestasional yang tidak terkendai dengan perencanaan makan. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah, kalau dengan OHO tunggal, sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk: Non-farmakologis evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis. Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: +1 macam OHO

57 Biguanid/ Penghambat glukosidase α/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Biguanid/ Penghambat glukosidase α/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO: Biguanid/+Penghambat glukosidase α+ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO Biguanid+ Penghambat glukosidase α+ Glitazon+ Secretagogue Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir. Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk: Non-farmakologis evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Non-farmakologis+Secretagogue. Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Secretagogue + Penghambat glukosidase α/ Biguanid/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO: Secretagogue + Penghambat glukosidase α+biguanid/ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): 57 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

58 Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO Secretagogue +Penghambat glukosidase α+ Biguanid+ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir. Penilaian Hasil Terapi: 1. Pemeriksaan Glukosa Darah 2. Pemeriksaan A1C 3. Pemeriksaan Glukosa Darah Mandiri 4. Pemeriksaan Glukosa Urin 5. Penentuan Benda Keton Kriteria pengendalian DM (Lihat tabel Lampiran) 6. Komplikasi A. Akut: Ketoasidosis diabetik Hiperosmolar non Ketotik Hipoglikemia B. Kronik: Makroangiopati: 1. Pembuluh koroner 2. Vaskular perifer 3. Vaskular Otak Mikroangiopati: 1. Kapiler retina 2. Kapiler renal Neuropati Gabungan: 1. Kadiopati: PJK, kardiomiopati 2. Rentan Infeksi 3. Kaki diabetik 4. Disfungsi ereksi 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Divisi Kardiologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Bagian Patologi Klinik FKUI/ RSUPN CM. Bagian Mata FKUI/ RSUPN CM. Bagian Gizi RSUPN CM 58 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

59 Referensi: 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe The Expert Comittee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The Expert Comittee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26(Suppl. 1):S Suyono S.Type 2 Diabetes Mellitus is a β- Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and its Complications: From Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov Simposium Current Treatment in Internal Medicine Jakarta, November 2000: Keterangan: TB = Tinggi Badan BB= Berat Badan IMT= Indeks Massa Tubuh TD = Tekanan Darah TTGO= Tes Toleransi Glukosa Oral Tabel: Kriteria Pengendalian DM No Kriteria Baik Sedang Buruk 1. GD puasa (mg/dl) GD 2 jam PP (mg/dl) A 1 C (%) < 6,5 6,5-8 >8 4. Kolesterol Total (mg/dl) < Kolesterol LDL (mg/dl) < Kolesterol HDL (mg/dl) >45 7. Trigliserida < IMT 18,5-22, >25 9. Tekanan Darah (mmhg) <130/ >140/90 NO TIROTOKSIKOSIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid. Berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori: Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme. 59 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

60 Hipertiroidisme Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid, Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma multinodosa toksik (Plummer), dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian berlebihan Yodium, obat hormon tiroid dll. Krisis Tiroid Keadaan Klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: Infeksi, Operasi, Trauma, Zat kontras beriodium, Hipoglikemia, Partus, Stres Emosi, Penghentian obat anti- tiroid, Terapi I 131, Ketoasidosis Diabetikum, Tromboemboli paru, CVD/ Stroke, Palpasi Tiroid terlalu kuat. 2. Diagnosis Gejala dan tanda Tirotoksikosis: Hiperaktivitas Palpitasi Berat badan turun Nafsu makan meningkat Tidak tahan panas, banyak keringat Mudah lelah BAB sering Oligomenore/amenore dan libido turun Takikardia Fibrilasi Atrial Tremor Halus Refleks Meningkat Kulit hangat & basah Rambut rontok Bruit Gambaran Klinis Graves: Struma Difus Tirotoksikosis Oftalmopati/Eksoftalmus Dermopati lokal Thyroid acropachy Laboratorium: TSHs rendah T 4 atau FT 4 tinggi Pada T 3 Toksikosis: T 3 atau FT 3 meningkat 60 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

61 Penderita yang dicurigai krisis tiroid. Anamnesis: Riwayat penyakit hipertiroidsme dengan gejala yang khas. Berat Badan Turun Perubahan Suasana hati, bingung Diare Amenorea Pemeriksaan Fisik: Gejala 7 tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau yang lain. Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma Demam tinggi s/d 40C Takikardia s/d x/m Sering:Fibrilasi Atrial dengan respons ventrikular cepat Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif Dapat ditemukan ikterus. Laboratorium: TSHs sangat rendah T 4 /FT 4/ T 3 tinggi. Anemia normokrom normositik, limfositosis relatif. Hiperglikemia Peningkatan enzim transaminase hati Azotemia prerenal EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat. 3. Diagnosis Banding Hipertirodisme Primer: Penyakit Graves Struma Multinodosa Toksik Adenoma toksik Metastasis Karsinoma Tiroid Fungsional Struma Ovarii Mutasi Reseptor TSH Obat: Kelebihan Iodium (Fenomena Jod Basedow) Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme Tiroiditis subakut Tiroiditis silent Destruksi tiroid karena: amiodarone, radias, infark adenoma. Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis facitia) Hipertiroidisme sekunder Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH Sindrom resistensi hormon tiroid Tumor yang mensekresi HCG Tirotoksikosis gestasional 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: TSHs T 4 atau FT 4 T 3 atau FT 3 TSH Rab Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid). Sidik Tiroid/ Thyroid Scan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan 61 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

62 komponen nodosa. EKG Foto Thoraks 5. Terapi Tata laksana Penyakit Graves: 62 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 OBAT ANTITIROID PTU dosis awal mg/ hari, dosis maksimal mg/hari Metimazol dosis awal mg/ hari. Indikasi: Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringna- sedang dan tirotoksikosis Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif Persiapan tiroidektomi Pasien hamil, lanjut usia Krisis Tiroid Penyekat adrenergik β: pada awal terapi, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis mg dalam 4 dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali. Memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT 4 /T 4 / T 3 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. Tindakan Bedah Indikasi: Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodiumradioaktif Adenoma toksik, struma multinodosa toksik Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul. Radioablasi Indikasi: Pasien berusia 5 tahun Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid Adenoma toksik, Struma multinodosa toksik.

63 Tata laksana krisis Tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid) 1. Perawatan suportif: Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan elektrolit: infus Dextrose 5% dan NaCl 0,9%, Mengatasi gagal jantung: O 2, diuretik, digitalis. 2. Antagonis aktivitas hormon tiroid: Blokade produksi hormon tiroid Propitiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif: Metimazol mg tiap 4 jam PO. Pada keadaan sangat berat: dapat per NGT, PTU mg atau metimazol mg. Blokade Ekskresi hormon tiroid: Solutio Lugol (saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam: Β-Blocker: Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target:frekuensi jantung <90x/m) Glukokortikoid: Hidrokortison mg IV tiap 12 jam Bila Refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal. 3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik, dll 6. Komplikasi Penyakit Graves: Penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. Krisis tiroid: Mortalitas 7. Prognosis Dubia ad bonam Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15% 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Sub Bagian Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUI/ RSUPN CM Sub Bagian Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/ RSUPN CM Referensi: 1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertirodisme. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI: Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

64 2. Jameson JL, Weetman Ap. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001: Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, April 2000: Suyono S, Subekti I. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting Jakarta, 18 Oktober Waspadji S. Pengelolaan Medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting Jakarta, 18 Oktober NO KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM (KAD) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis Utama KAD adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Faktor Pencetus: Infeksi, Infark Miokard Akut, Pankreatitis Akut, Penggunaan Obat Golongan Steroid Penghentian atau Pengurangan dosis Insulin 2. Diagnosis Klinis: Keluhan poliuri, polidipsi Riwayat berhenti menyuntik insulin Demam/ Infeksi Muntah Nyeri Perut Kesadaran: CM-delirium-koma Pernafasan cepat dan dalam (Kuusmaul) Dehidrasi ( Turgor kulit, lidah dan bibir kering) Dapat disertai syok hipovolemik Kriteria Diagnosis Kadar Glukosa : >250 mg/dl ph : <7,35 HCO3 : Rendah Anion Gap : Tinggi Keton Serum : Positif, dan atau ketonuria. 3. Diagnosis Banding Ketosis Diabetik Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik/ hyperglycemic hyperosmolar state. Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum Minum Alkohol, Ketosis Alkoholik Ketosis Hipoglikemia Ketosis Starvasi Asidosis Laktat Asidosis hiperkloremik Kelebihan salisilat Drug-induced acidosis Ensefalopati karena infeksi 64 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

65 Trauma Kapitis 4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Cito: Gula darah Elektrolit Ureum, kreatinin Aseton darah Urine rutin Analisa Gas Darah EKG Pemantauan: Gula darah :tiap jam Na +,K +,Cl - :Tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan. Analisa gas darah: bila ph<7 saat masuk diperiksa setiap 6 jam s/d ph > 7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil. Pemeriksaan lain (Sesuai Indikasi): Kultur darah, Kultur urin, Kultur pus 5. Terapi Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: I. Cairan: a. NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ±1L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keeempat, dan ± 0,25 L. Pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan. b. Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5L. c. Jika Na + > 155 meq/l ganti cairan dengan NaCl 0,45%. d. Jika GD <200 mg/dl ganti cairan dengan Dextrose 5%. II. Insulin (regular insulin = RI): a. Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan. b. RI bolus 180 mu/kgbb IV, dilanjutkan; c. RI drip 90 mu/kgbb/jam dalam NaCl 0,9 % d. Jika GD < 200 mg/dl; kecepatan dikurangi RI drip 45 mu/kgbb/jam dalam NaCl 0,9%. e. Jika GD stabil mg/dl selama 12 jam RI drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam: GD RI (mg/dl) (Unit, subkutan) < > f. Jika kadar GD ada yang <100 mg/dl; drip RI dihentikan. g. Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan 65 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

66 III. IV. Kalium (bila pasien sudah makan) Kalium (KCl)drip dimulai bersamaan dengan drip RI dengan dosis 50 meq/ 6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat. Bila kadar K + pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3,5 drip KCL 75 meq/6 jam 3,0-4,5 drip KCL 50 meq/6 jam 4,5-6,0 drip KCL 25 meq/6 jam >6,0 drip distop Bila sudah sadar, diberikan K + oral selama seminggu Bicarbonat Drip 100 meq bila ph <7,0 disertai KCl 26 meq drip Drip 50 meq bila ph 7,0 7,1 disertai KCl 13 meq drip Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam. 66 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 V. Tata laksana Umum: O 2 bila PO 2 <80mmHg Antibiotika adekuat Heparin: bila ada DIC atau hiperosmolar (>380 mosm/l) Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis: Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam, Kesadaran setiap jam Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam, Produksi urin setiap jam balans cairan Cairan infus yang masuk setiap jam Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang) 6. Komplikasi Syok hipovolemik Edema paru Hipertrigliseridemia Infark Miokard Akut Hipoglikemia Hipokalemia Hiperkloremia Edema otak Hipokalsemia 7. Prognosis Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid,(???) Infark miokard akut, sepsis, syok. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM.

67 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM. Referensi: 1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalasanaan kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam,jakarta, April 2000: Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, April 2000: Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barret EJ, Kreisberg RA, Malone Jl, et al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients with Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001;24 (1): NO HIPOGLIKEMIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kadar glukosa darah <60 mg/dl, atau kadar glukosa darah <80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena: Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat hipolikemik oral. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun gagal ginjal kronik, pasca persalinan. Asupan makan tidak adekuat: Jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat. Kegiatan jasmani berlebihan. 2. Diagnosis Gejala dan Tanda Klinis: Stadium parasimpatik:lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar. Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang. Anamnesis: Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral, dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis. Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi. Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya. Lama menderita DM, komplikasi DM. Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll. Penggunaan obat sistemik lainnya: Penghambat adrenergik β, dll. Pemeriksaan Fisik: Pucat, diaphorecis. Tekanan darah Frekuensi denyut jantung Penurunan kesadaran 67 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

68 Defisit neurologik fokal transien Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia. 2. Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejela mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat. 3. Diagnosis Banding Hipoglikemia karena Obat: a. (sering): Insulin, sulfonilurea, alkohol, b. (kadang):kinin, pentamidine. c. (jarang):salisilat, sulfonamid Hiperinsulnisme endogen: a. Insulinoma b. Kelainan sel β jenis lain. c. Secretagogue:sulfonilurea d. Autoimun e. Sekresi Insulin Ektopik. Penyakit kritis: a. Gagal hati b. Gagal ginjal c. Gagal jantung d. Sepsis e. Starvasi dan inanisi Defisiensi endokrin: a. Kortisol, growth hormone. b. Glukagon, epinefrin. Tumor non-sel β: a. Sarkoma b. Tumor adrenokortikal, hepatoma 68 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 c. Leukemia, limfoma, melanoma Pasca-prandial: a. Reaktif (setelah operasi gaster). b. Diinduksi alkohol. 4. Pemeriksaan Penunjang Kadar glukosa darah (GD) Test fungsi ginjal. Test fungsi hati. C-peptide 5. Terapi Stadium permulaan (sadar) Berikangula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Stop obat hipoglikemik sementara. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam Pertahankan GD sekitar 200mg/dl.(bila sebelumnya tidak sadar). Cari penyebab. Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia): 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml)bolus intra vena, 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf,

69 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: Bila GDs < 50 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV Bila GDs < 100 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%: Bila GDs < 50 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV Bila GDs < 100 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV Bila GDs mg/dl Tanpa bolus Dekstrosa 40% Bila GDs >200 mg/dl Pertimbangkan menurunkan kecepatan Drip Dekstrosa 10%. 5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturutturut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. 6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturutturut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl Pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. 7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturutturut, sliding scale setiap 6 jam. GD RI (mg/dl) (Unit, subkutan) < > Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin). Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgbb IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun. 6. Komplikasi Mortalitas 7. Prognosis Dubia. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM 69 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

70 Referensi: Departemen Neurologi FKUI/RSUPN CM. 1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, April 2000: Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15t h ed. New York: McGraw-Hill, 2001: NO DISLIPIDEMIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma.kelainan fraksi lipid yang utam adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan. Sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis, diklasifikasikan menjadi: Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia Campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. 2. Diagnosis Klasifikasi kadar kolesterol: Kolesterol LDL Klasifikasi <100 mg/dl Optimal mg/dl Hampir Optimal mg/dl Borderline tinggi mg/dl Tinggi 190 mg/dl Sangat tinggi Kolesterol total: Klasifikasi <200 mg/dl Idaman mg/dl Borderline tinggi 240 mg/dl Tinggi Kolesterol HDL Klasifikasi <40 mg/dl Rendah 60 mg/dl Tinggi 70 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner(pjk) diperhatikan faktor-faktor resiko lainnya: Faktor Resiko Positif: Merokok Umur ( Pria 45 tahun, wanita 55 tahun). Kolesterol HDL rendah Hipertensi (TD 140/90 mmhg atau dalam terapi antihipertensi) Riwayat PJK dini dalam keluarga (first degree: Pria <55 tahun, wanita <65 tahun). Faktor resiko negatif:

71 Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor resiko dari perhitungan total. ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya resiko PJK pada pasien dengan 2 faktor resiko, meliputi : umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi, Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase resiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK, yakni > 20% dalam 10 tahun, terdiri dari: Bentuk klinis lain dari arterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang simtomatis. Diabetes Faktor resiko multipel yang mempnyai resiko PJK dalam 10 tahun >20% 71 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida: Obesitas, berat badan lebih Inaktivitas fisik Merokok Asupan alkohol berlebih Diet tinggi karbohidrat (>60% asupan energi). Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi. Kelainan genetik (riwayat keluarga). Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia: Normal : <150 mg/dl Borderline-tinggi: mg/dl Tinggi : mg/dl Sangat Tinggi : 500 mg/dl 3. Diagnosis Banding Hiperkolesterolemia sekunder, karena: Hipotiroidisme, Penyakit hati obstruksi, Sindrom Nefrotik, Anoreksia Nervosa, Porfiria Intermitten Akut, Obat:Progestin, siklosporin, thiazide Hipertrigliseridemia sekunder, karena: Obesitas DM Gagal ginjal kronik Lipodistrofi Glycogen storage disease Alkohol

72 72 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Bedah bypass ileal Stress Sepsis Kehamilan Obat: Estrogen, isoretinoin, penghambat beta glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide Hepatitis akut Lupus eritematosus sistemik Gammopati monoklonal: Myeloma multipel, limfoma, AIDS: Inhibitor protease HDL rendah sekunder karena: Malnutrisi Obesitas Merokok Penghambat beta Steroid anabolik 4. Pemeriksaan Penunjang Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekali: Kadar kolesterol total Kadar kolesterol LDL Kadar kolesterol HDL Kadar Trigliserida Kadar glukosa darah Tes fungsi hati Urine lengkap Tes fungsi ginjal, TSH EKG. 5. Terapi Untuk hiperkolesterolemia: Penatalaksanaan Non-Farmakologis (Perubahan Gaya Hidup): 1. Diet, dengan komposisi: Lemak jenuh <7% kalori total PUFA hingga 10% kalori total MUFA hingga 10% kalori total Lemak total 25-35% kalori total Karbohidrat 50-60% kalori total Protein hingga 15% kalori total Serat g/ hari Kolesterol <200 mg/hari 2. Latihan Jasmani 3. Penurunan berat badan bagi yang gemuk 4. Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di bawah ini, pemantaua setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/ steroid

73 73 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerja sama dengan dietisien. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi nonfarmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi Farmakologis: 1. Golongan Statin: Simvastatin : 5-40 mg Lovastatin : mg Pravastatin : mg Fluvastatin : mg Atorvastatin :10-80 mg 2. Golongan bile acid sequestrant: Cholestyramine 4-16 g 3. Golongan nicotinic acid: Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s/d 1,5 3 g Target Kolesterol LDL (md/dl): Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL Resiko LDL untuk mulai u ntuk mulai PGH terapi farmakologis PJK atau < Ekivalen PJK ( : opsional) (FRS > 20%) aktor resiko 2 < ( RS 10-20%) ( RS 20%) 160( RS <10%) Faktor resiko 0-1 < ( : opsional) Terapi hiperkolesteromeia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. 1. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai ( lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. 2. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. 3. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi nonfarmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dl Pasien dengan hipertrigliseridemia: Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas. Penatalaksanaan farmakologis:

74 Target Terapi: a. Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL. b. Pasien trigliserida tinggi : target sekunder adalah kolestero non-hdl yakni sebesar 30mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari: Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg Fenofibrat 1 x 200 mg. Penyebab primer dari dislipedemia sekunder, juga harus ditatalaksana. 6. Komplikasi Aterosklerosis Penyakit jantung koroner Stroke Pankreatitis akut 7. Prognosis Dubia ad Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Mellitus di Indonesia Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults ( Adult Treatment Panel III). JAMA, May 16, 2001;285(19): Semiardji G. National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III (NCEP- ATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dama, Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. in Braunwald E. Fauci AS, kasper DL, Hauser SL, Longo DL. Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15 th ed. New York: McGraw-Hill, 2001: Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan? Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine Jakarta, November 2000: Keterangan: Kolesterol HDL = Kolesterol High Density Lipoprotein Kolesterol LDL= Kolesterol Low Density Lipoprotein PGH= Perubahan Gaya Hidup 74 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

75 MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid PUFA= Poly Unsaturated Fatty Acid NO STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Berdasarkan jumlah nodul, dibagi: Struma mononodosa non toksik Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif: Nodul dingin, Nodul hangat, Nodul panas, Berdasarkan konsistensinya: Nodul lunak; Nodul kistik; Nodul keras; Nodul sangat keras. 2. Diagnosis Anamnesis Umum: Sejak kapan benjolan timbul. Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap. Cara membesarnya: cepat atau lambat. Pada awalnya berupa satu benjolan atau hanya pembesaran leher saja. Riwayat keluarga. Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda Perubahan suara Gangguan menelan, Sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis Pemeriksaan fisik: Umum Lokal Nodus tunggal atau majemuk, atau difus Nyeri tekan Konsistensi Permukaan Perlekatan pada jaringan sekitarnya Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional Pemberton s sign Penilaian resiko keganasan: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan 75 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

76 76 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid. Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak. Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: Umur <20 tahun atau >70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak). Riwayat keluarga kanker tiroid meduler. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan. Paralisis pita suara, Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru, dll) Langkah diagnostik I: TSHS, FT4 Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II:BAJAH nodul tiroid Hasil: A. Ganas B. Curiga C. Jinak D. Tak cukup/sediaan tak representatif (dilanjutkan di kolom Terapi) 3. Diagnosis Banding 1. Struma Nodosa pada: Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause, infeksi, stres lain. 2. Tiroiditis akut 3. Tiroiditis subakut 4. Tiroiditis kronis:limfositik (Hashimoto), fibrousinvasif (Riedel) 5. Simple goiter 6. Struma endemik 7. Kista tiroid, kista degenerasi 8. Adenoma 9. Karsinoma tiroid primer, metastatik 10. Limfoma 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Lab:T4 atau FT4, T3, dan TSH 2. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) nodul tiroid: Bila hasil lab: non-toksik Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan: cold

77 nodule. syarat: sudah menjadi eutiroid 3. USG tiroid: Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi Pemandu pada BAJAH 4. Sidik Tiroid: Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2x): jinak, Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas. 5. Petanda kegansan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid meduler, diperiksakan kalsitonin) 6. Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto. 5. Terapi Sesuai hasil BAJAH, maka terapi: A. Ganas Operasi Tiroidektomi near-total B. Curiga Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC): Bila hasil = ganas Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil= jinak Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total. Alternatif: Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule Operasi C. Tak cukup/ sediaan tak representatif Jika nodul Solid (saat BAJAH):ulang BAJAH Bila klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi.. Bila klinis curiga ganas rendah Observasi. Jika nodul Kistik (saat BAJAH):Aspirasi. Bila kista regresi Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi D. Jinak Terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis. Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3hari). 77 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari). Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis menjadi 2 x 100 ug sampai 4-6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1-0,3ulU/L) Supresi TSH dipertahankan sampai 6 bulan Evaluasi dengan USG: Apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila mengecil >50% dari volume awal) Bila Nodul mengecil atau tetap L-tiroksin distop dan diobservasi: Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 ulu/l). Bila setelah L-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.

78 Bila Nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi ==< obat dihentikan dan operasi Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA: o Jinak: Terapi dengan L-Tiroksin: Target TSH 0,5-3,0 ulu/l o Ganas: Terapi dengan L- Tiroksin Individu dengan resiko ganas tinggi: Target TSH <0,01-0,05 ulu/l Individu dengan resiko ganas rendah: Target TSH 0,05-0,1 ulu/l 6. Komplikasi Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut 7. Prognosis Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI: Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S. Gani RA. Alwi (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, 1997: Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999: Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology meeting Jakarta, 18 Oktober Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15 th ed. New York:McGraw-Hill, 2001: NO KISTA TIROID Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan % dari seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan. 78 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

79 Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid. 2. Diagnosis Seperti pada Struma Nodosa Non Toksik: Anamnesis Umum: Sejak kapan benjolan timbul Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap 79 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Cara membesarnya cepat, atau lambat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja. Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda. Perubahan suara Gangguan menelan, Sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis. Pemeriksaan fisik: Umum Lokal: Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak. Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: Umur <20 tahun atau >70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak). Riwayat keluarga kanker tiroid meduler. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan. Paralisis pita suara, Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru, dll) Langkah diagnostik I: TSHS, FT4 Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II: Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid. 3. Diagnosis Banding Kista tiroid, Kista degenerasi Karsinoma tiroid 4. Pemeriksaan Penunjang USG tiroid:

80 Dapat membedakan bagian pada dan cair. Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis. Sitologi Cairan Kista dengan prosedur sitospin. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH): pada bagian yang solid. 5. Terapi Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: Bila kista regresi Observasi Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah Pungsi aspirasi dan Observasi Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi Operasi Lobektomi 6. Komplikasi Tidak ada 7. Prognosis Dubia ada bonam. Tergantung tipe dan jenis histopatolognya. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSUPN CM SSub Bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI: Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S. Gani RA. Alwi (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, 1997: Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999: Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology meeting Jakarta, 18 Oktober KARDIOLOGI NO BRADIARITMIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Perlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungsi sinus noda, hipersensitivitas/ kelainan system persarafan dengan atau adanya gangguan konduksi atrioventikular. Dua keadaan 80 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

81 yang sering ditemukan: 1. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) 2. Gangguan konduksi atrioventikular/ Blok AV (AV block): blok AV derajat satu, blok AV derajat dua, blok AV total. 2. Diagnosis Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Keluhan: Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan. Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia; terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pektoris atau sinkop (pingsan) Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, dan emboli sistemik. EKG: EKG monitoring baik selama dirawat di rumah sakit maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa bradikardia sinus persisten. Blok AV Blok AV derajat Satu Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebihi 0,2 detik. Blok AV derajat dua Mobitz tipe I (Wenckebach) Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan kemudian siklus tersebut berulang kembali. Mobitz tipe II Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bisa lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama QRS bisa teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila hambatan terjadi pada berkas his, namun bisa lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas. Blok Total AV (Complete AV Block): Hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi atrium) Keluhan: Sinkop, vertigo, denyut jantung (<50 kali/menit) EKG: Disosiasi atrioventrikular Denyut atrium biasanya lebih cepat. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi 81 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

82 Angiografi koroner EPS (Electro Physiology Study) 5. Terapi Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Pada keadaan gawat darurat: Dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total (0,04 mg/kgbb) jika tidak ada respon diberikan drip isoproterenol dimulai dengan dosis 1ug/menit sampai 10 ug/kg/menit secara bertahap. Kemudian dapat dilanjutkan dengan memasang pacu jantung, tergantung sarana yang tesedia (transcutaneous temporary pace maker dan transvenous temporary pace maker) Pada penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Blok AV Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik, walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah penyakit ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obat-obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena faktor metabolik yang reversibel maka faktor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat sementara, maka mungkin hanya perlu diberikan pengobatan sementara (pacu jantung sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik perlu dipasang pacu jantung yang tetap. Blok AV total Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik). Dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total 0,04 mg/kgbb) atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung sementara selanjutnya pemasangan pacu jantung permanen. 6. Komplikasi Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung. 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 82 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

83 1. Panggabean MM. Bradiaritmia. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p NO EDEMA PARU AKUT (KARDIAK) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravaskular. 2. Diagnosis Anamnesis: Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan Pemeriksaan fisik: 1. Sianosis sentral. 2. Sesak nafas dengan bunyi napas melalui mukus berbuih. 3. Ronkhi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadangkadang disertai ronkhi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut asma kardial. 4. Takikardia dengan gallop S3 5. Murmur bila ada kelainan katup. Elektrokardiografi: Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung Gambaran infark, LVH atau aritmia bisa ditemukan. Laboratorium: Gas darah menunjukkan po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. Foto Toraks: Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru Kadang-kadang timbul efusi pleura Ekokardiografi tergantung penyebab gagal jantung: 1. Kelainan katup 2. Hipertrofi ventrikel (hipertensi) 3. Segmental wall motion abnormality (PJK) 4. Umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. 3. Diagnosis Banding 1. Edema paru akut non kardiak 83 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

84 2. Emboli paru 3. Asma Bronkial 4. Pemeriksaan Penunjang Darah rutin, ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, urinalisa, foto toraks, EKG, Enzim Jantung (CK-CKMB, Troponin T), Echocardiografi transtorakal, angiografi koroner 5. Terapi 1. Posisi ½ duduk 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker, Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmhg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator/bipep. 3. Infus emergensi 4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmhg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgbb. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgbb/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik mmhg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 6. Morfin sulfat: 3-5 mg IV, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg. 7. Diuretik: Furosemid mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1ml/kgBB/jam. 8. Bila perlu (tekanan darah turun/ tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgbb/menit atau Dobutamin 2-10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. 9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. 11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regugirtasi,vsd, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendeniae. 6. Komplikasi Gagal napas 7. Prognosis Tergantung penyebab. Beratnya gejala dan respon terapi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit 84 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

85 Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO ENDOKARDITIS INFEKTIF Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dari jaringan sekitarnya yang terkait dengan agen penyebab infeksi. 2. Diagnosis Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektik (EI): EI definite: Kriteria Patologis: Mikroorganisme: Ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang mengalami emboli datau dalam suatu abses intrakardiak. Lesi Patologis: Vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis aktif. Kriteria klinis: Menggunakan definisi spesifik. dua kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor Kriteria Mayor: 1. Kultur darah positif untuk Endokarditis Infektif (EI) A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis dibawah ini: i. Streptococci viridans, Streptococcus bovis atau grup HACEK atau, ii. Community Aquired Staphylococcus Aureus atau Enterococci tanpa ada fokus primer. B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan sebagai: i. 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah >12 jam atau, ii. Semua dari atau mayoritas dari 4 kultur darah terpisah (Dengan sampel awal dan akhir diambil terpisah 1 jam). 85 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

86 2. Bukti keterlibatan kardial. A. Ekokardiogram positif untuk EI didefinisikan sebagai: i. Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regugirtasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau, ii. Abses, atau, iii. Tonjolan baru pada katup prostetik atau, B. Regugirtasi valvular yang baru terjadi (Memburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup). Kriteria Minor: 1. Predisposisi: Predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena. 2. Demam: Suhu C 3. Fenomena vascular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 4. enmena imunologis: Glomerulonefritis, Osler s nodes, Roth Spots, dan Faktor Rheumatoid. 5. Bukti mikrobiologi: Kultur darah positif terapi tidak memenuhi kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI. 6. Temuan kardiografi: Konsistensi dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis diatas. EI possible: Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected. EI Rejected: Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik selama 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik 4 hari. 3. Diagnosis Banding 1. Demam Reumatika Akut dengan Karditis. 2. Sepsis. 3. Tuberkulosis Milier. 4. Lupus Eritematosus Sistemik. 5. Pasca Glomerulonefritis Streptokokal. 6. Pielonefritis. 7. Poliarteritis Nodosa. 8. Reaksi Obat. 4. Pemeriksaan Penunjang Darah ruin, EKG, foto toraks, echocardiografi, transesogaflea echocardiografi, kultur darah. 5. Terapi Oksigenasi Cairan intravena yang cukup Antipiretik 86 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

87 87 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Antibiotika: Regimen yang dianjurkan (AHA) 1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Streptococcus Bovis: Penisilin G kristal juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4 minggu atau seftriakson 2 g 1 kali/hari iv atau im selama 4 minggu. Penisilin G kristal juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 2 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgbb/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4 minggu. 2. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Streptococcus Bovis relatif resisten terhadap Penisilin G: Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam IV kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 2 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgbb/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4 minggu. 3. Endokarditis karena Enterococci: Penisilin G kristal juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. Ampisilin 12g/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgbb/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4-6 minggu, dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. 4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik. a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci: Nafsilin atau oksasilin 2g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 35 hari. b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam: Cefazolin (atau sefalosporin generasi I lain dalam dosis setara) 2 g IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah ditambah gentamicin sulfat 1 mg/kgbb IM atau IV tiap 8 jam selama 3-5 hari. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgbb/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24

88 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4-6 minggu. Operasi bila: Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis, Vegetasi yang menetap setelah emboli sistemik dan, Ekstensi perivalvular. 6. Komplikasi Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis. 7. Prognosis Tergantung beratnya gejala dan komplikasi 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. Alwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada Penyalahgunaan Obat Intravena. Dalam: Setiati S, Sudoyo W, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, Lydia A, et al, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000;p NO FIBRILASI ATRIAL Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Adanya iregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang P dengan frekuensi antara permenit. 2. Diagnosis Gambaran EKG berupa adanya iregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang P dengan frekuensi antara permenit. Klasifikasi: Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari: 1. Primer:bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang menimbulkan aritmia. 2. Sekunder: bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia. Berdasarkan waktu timbulnya AF serta kemungkinan keberhasilan usaha konversi ke irama sinus: 1. Paroksismal, bila AF berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun. 2. Persisten, bila AF menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan. 3. Permanen bila AF berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan tetap tidak berubah. 88 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

89 Dapat pula dibagi sebagai: 1. Akut, bila timbul kurang dari 48 jam. 2. Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang EKG bila perlu dengan Holter Monitoring bila menghadapi pasien AF paroksismal. Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer. Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik. 5. Terapi Fibrilasi atrial paroksismal: 1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja. 2. Bila menimbulkan keluhanyang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid. 3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron. 4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat antiaritmia lain. 5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amiodaron merupakan obat pilihan. Fibrilasi atrial Persisten: 1. FA tidak kembali ke irama sinus yang secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (Propafenon dan Flekainid). 2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Alternatif lain pada pasien tersebut dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya tombus kardiak sebelum kardioversi. 3. FA persisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (Propafenon, Flekainid), sotalol, atau amiodarone. Fibrilasi Atrial Permanen: 89 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

90 1. Kardioversi tidak efektif. 2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium. 3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan pacemaker permanen. 4. FA resisten, perlu pemberian antitromboemboli. 6. Komplikasi Emboli, stroke, trombus intrakardiak. 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Ismail D. Fibrilasi Atrial:Aspek Pencegahan Terjadinya Stroke. Dalam: Setiati S, Sudoyo W, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, Lydia A, et al, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000;p Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO GAGAL JANTUNG KRONIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa. 2. Diagnosis Anamnesis: Dispnea on Effort; Orthopnea; Paroksismal Nokturnal Dispnea; Lemas; Anoreksia dan mual; Gangguan mental pada usia tua. Pemeriksaan Fisik: Takikardia, Gallop bunyi jantung ketiga; Peningkatan/ekstensi vena jugularis; Refluks hepatojugular; 90 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

91 Pulsus alternans; Kardiomegali; Ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat; Edema pretibial pada pasien yang dirawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif; Hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik; ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin; Ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat. Pemeriksaan Penunjang: Foto rontgen dada: Pembesaran Jantung, distensi vena pulmonal dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks). Peningkatan tekanan vaskular pulmonar; Efusi Pleura, kadang-kadang. Elektrokardiografi: Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain). Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan lain-lain. Laboratorium: Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi liver, dan lipid darah Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria. Ekokardiografi: Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah <35%-40% atau normal, kelainan katup (mitral stenosis, mitral regugirtasi, trikuspid stenosis atau trikuspid regugirtasi), LVH, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, atau perikarditis. Kriteria Diagnosis Kriteria Framingham Kriteria Mayor: 1. Paroksismal Nokturna Dispnea. 2. Distensi vena-vena leher. 3. Peningkatan Vena jugularis 4. Ronkhi. 5. Kardiomegali. 6. Edema paru Akut. 7. Gallop bunyi jantung III (S3) 8. Refluks hepatojugular positif. 91 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

92 Kriteria Minor: 1. Edema ekstremitas. 2. Batuk malam. 3. Dispnea pada aktivitas. 4. Hepatomegali. 5. Efusi pleura. 6. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal. 7. Takikardia (>120 denyut permenit) Mayor atau minor: Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari terapi. Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 3. Diagnosis Banding 1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnya ARDS, emboli paru. 2. Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik. 3. Penyakit hati: Sirosis hepatis. 4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang: Foto rontgen dada: Pembesaran Jantung, distensi vena pulmonal dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks). Peningkatan tekanan vaskular pulmonar; Efusi Pleura, kadang-kadang. Elektrokardiografi: Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain). Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan lain-lain. Laboratorium: Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi liver, dan lipid darah Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria. Ekokardiografi: Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah <35%-40% atau normal, kelainan katup (mitral stenosis, mitral regugirtasi, trikuspid stenosis atau trikuspid regugirtasi), LVH, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, atau perikarditis. 5. Terapi Non Farmakologi: 1. Anjuran Umum: a. Edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan. b. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih 92 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

93 93 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 bisa dilakukan. c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang. d. Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu. e. Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat dianjurkan. 2. Tindakan Umum: a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat, dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. b. Hentikan rokok. c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi g/hari pada yang lainnya. d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang). e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat, dan eksaserbasi akut. Farmakologi: 1. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV yang disebabkan gagal jantung sistolik. 2. ACE inhibitor, bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. 3. Beta blocker, bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa mingu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Beta bloker yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan ACE inhibitor dan diuretik. 4. Angiotensin II antagonis reseptor, dapat digunakan

94 bila ada kontraindikasi penggunaan ACE inhibitor. 5. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide Dinitrat memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan ACE inhibitor dapat dipertimbangkan. 6. Digoksin, diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta bloker. 7. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis, dan Transient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak, dan aneurisma ventrikel. 8. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia Klas i harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia Kelas III terutama Amiodarone dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak. 9. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobat angina atau hipertensi pada gagal jantung. 6. Komplikasi Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit 7. Prognosis Tergantung klas fungsionalnya. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait ICCU Referensi: 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p ACC/AHA. ACC/AHA. Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in Adult: Executive Summary. A Report of The American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for theevaluation and Management of Heart Failure). Circulation 2001; 104: NO TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Takikardia yang terjadi karena perangsangan yang berasal 94 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

95 dari AV node dimana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagian ke atrium. 2. Diagnosis Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS. Jarak R-R teratur. Kompleks QRS langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Pemeriksaan Elektrofisiologi Ekokardiografi. Angiografi koroner. TEE(Transesofageal Echocardiografi) 5. Terapi 1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball pressure, pemijitan sinus karotikus dan sebagainya. 2. Pemberian obat yang memblok nodus AV: a. Adenosin atau Adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara IV dan cepat. b. Verapamil IV. c. Obat penghambat beta. d. Digitalisasi. 3. Bilasering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD (Defibrillator Intra Cardial) 6. Komplikasi Emboli, kematian mendadak 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

96 NO PERIKADITIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau keduaduanya, yang dapat bermanifestasi sebagai: 1. Perikarditis akut. 2. Efusi perikard tanpa tamponade. 3. Efusi perikard dengan tamponade. 4. Perikarditis konstriktiva. 2. Diagnosis Tergantung manifestasi klinis perikarditis: A. Perikarditis akut: Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis). Pemeriksaan fisik: Friction rub 2-3 komponen EKG: ST elevasi cekung )bedakan dengan infark jantung akut dan repolarisasi dini). Foto: jantung normal atau membesar. B. Tamponade Awal: Peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan X prominen dan hilangnya cekungan Y (juga terlihat pada CVP) Kemudian: Kusmaull sign (Peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi). Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah >12-15 mmhg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau tensimeter). Penurunan tekanan darah umumnya disertai: Pekak hati yang meluas, bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia. Foto toraks menunjukkan: Paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor. Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan >250ml) EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS saja, atau P, QRS, dan T). Ekokardiografi: Efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi diastolic vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan. Kateterisasi: Peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang X prominen serta gelombang Y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan diastolic di ke 4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri dan PCW) C. Perikarditis Konstriktiva Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung 96 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

97 seperti peningkatan tekanan vena jugularis dengan cekungan X dan Y yang prominen, hepatomegali, asites, dan edema. Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut) End diastolic sound (knock) (lebih sering pada kronik) Kusmaull sign (Peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi) terutama pada yang kronik. Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar tapi bisa normal. CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks, Bila, CT Scan/MRI normal maka diagnosis perikarditis konstriktiva hampir pasi sudah bisa disingkirkan. Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolic ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan rata-rata PCW <5 mmhg. Gambaran dil dan plateu pada tekanan ventrikel. 3. Diagnosis Banding 1. Perikarditis: a. Infark jantung akut, b. Emboli paru, c. Pleuropneumonia, d. Disesksi aorta, e. Akut Abdomen. 2. Efusi Pleura/Tamponade: a. Kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, b. Emboli paru, 3. Perikarditis Konstriktiva: a. Kardiomiopati restriktif. 4. Pemeriksaan Penunjang EKG, foto toraks,ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial effusion), Kateterisasi, CT Scan, MRI. 5. Terapi Perikarditis Akut: 1. Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade. 2. Simptomatik dengan aspirin 650mg/4 jam atau OAINS Indometasin mg/6 jam atau petidin 25-0 mg/4 jam, hindarkan steroid karena sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off. 3. Cari etiologi/kausal EFUSI PERIKARD 4. Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik. TAMPONADE JANTUNG 1. Perikardiosentesis perkutan. 2. Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgbb/menit atau isoproterenol 2-20 ug/menit. 3. Kalau perlu membuat jendela percardial dengan: a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan. 97 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

98 b. Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) Untuk membuat jendela pericardial dapat dilakukan bila: tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik dengan perikardiosentesis, kausanya Trauma. 4. Pembedahan yang dapat dilakukan: a. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi. b. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video. c. Reseksi perikard anterolateral jantung. 5. Pengobatan Kausal: bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik, antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila etiologinya tumor. PERIKARDITIS KONSTRIKTIVA 1. Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS. 2. Bila Progresif, dapat dilakukan perikadiektomi. 6. Komplikasi 1. Perikarditis akut: a. Chronic relapsing perikarditis. b. Efusi perikard. c. Tamponade perikarditis konstriktiva. 2. Efusi Perikard/Tamponade a. Henti jantung. b. Aritmia: Fibrilasi atrial atau Flutter. c. Perikarditis Konstriktiva 3. Perikarditis Kontriktiva 7. Prognosis Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. Ismail D, Panggabean MM.Perikarditis. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO SINDROM KORONER AKUT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. 98 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

99 Sindrom koroner akut mencakup: 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST. 2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST. 3. Angina pektoris tak stabil (Unstable angina pectoris) 2. Diagnosis Anamnesis: Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial. Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakarm seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat, atau tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas. Elektrokardiogram: Angina pektoris tidak stabil: Depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. Infark miokard ST elevasi: Hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi gelombang T. Infark Miokard Non ST Elevasi: Depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam. Petanda Biokimia CK, CKMB, Troponin-T, DLL Enzim meingkat minimal 2 x nilai batas atas normal. 3. Diagnosis Banding 1. Angina Pektoris tak Stabil: a. Infark Miokard akut. 2. Infark Miokard akut: a. Diseksi aorta, b. Perikarditis akut, c. Emboli paru akut, d. Penyakit dinding dada, e. Sindrom Tietze, 3. Gangguan gastrointestinal seperti: a. Hiatus hernia dan refluks esofagitis, b. Spasme atau ruptur esofagus, c. Kolesistitis akut, d. Tukak lambung, dan pankreatitis akut. 4. Pemeriksaan Penunjang EKG Foto rontgen dada Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll, Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin. Echocardiografi, Treadmill tes (untuk stratifikasi setelah infark miokard) Angiografi koroner. 99 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

100 5. Terapi 1. Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU) 2. Pasang infus Intravena dengan NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%. 3. Oksigen dimulai dengan 2 liter/menit 2-3 jam, dilanjutkan bila saturasi oksigen arteri rendah (<90%). 4. Diet: Puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. 5. Selanjutnya diet jantung. 6. Pasang monitor EKG secara kontinu. 7. Atasi nyeri dengan: a. Nitrat sublingual/transdermal/ nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik <90 mmhg), bradikardia (<50 kali/menit), takikardia. Atau. b. Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin mg intravena atau tramadol mg intravena. 8. Antitrombotik: a. Aspirin ( mg), bila alergi atau intoleransi / tidak responsif diganti dengan tiklopidin atau klopidogrel. b. Trombolitik dengan Streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasminogen jaringan (t-pa) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgbb (maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgbb (maksimal 35mg) dalam 60 menit jika. Elevasi segmen ST > 0,1 mv pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau >0,2 mv pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi <12 jam, usia <75 tahun. c. Blok cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut. 9. Antikoagulan: a. Heparin direkomendasikan untuk pasien yang menjalani revaskularisasi perkutam atau bedah, pasien dengan resiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang tidak ada kontraindikasi heparin. b. Heparin diberikan dengan target aptt 1,5-2 kali kontrol pada angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000 unit/ jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aptt 1,5-s kali nilai kontrol. c. Pada Infark Miokard akut yang ST elevasi>12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit dilanjutkan dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aptt 1,5-2 kali nilai kontrol. d. Pada Infark Miokard anterior Transmural luas, antikoagulan diberikan sampai saat pulang rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah apeks ventrikel kiri, antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak beberapa hari 100 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

101 101 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 sebelum heparin dihentikan. e. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3). 10. Atasi Rasa takut atau cemas: Diazepam 3x 25 mg oral atau IV. 11. Pelunak Tinja: Laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml. 12. Beta Bloker: Diberikan bila tidak ada kontraindikasi. 13. ACE Inhibitor: Diberikan bila keadaan mengizinkan terutama pada Infark Miokard Akut yang luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard. 14. Antagonis Kalsium: Verapamil untuk Infark Miokard non ST Elevasi atau Angina Pektoris tak stabil bila nyeri tidak teratasi. 15. Atasi Komplikasi: a. Fibrilasi Atrium: Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia intraktabel. Digitalisasi cepat Beta Bloker Diltiazem atau verapamil bila beta bloker dikontraindikasikan. Heparinisasi. b. Fibrilasi ventrikel: DC Shock Unsynchronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus diberikan shock kedua J dan jika perlu Shock ketiga 360 J. c. Takikardia Ventrikel: VT polimorfik menetap (>30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik: DC Shock Unsynchronized dengan energi awal 200J, jika gagal harus diberikan shock kedua J dan jika perlu shock ketiga 360J. VT monomorfik yang menetap diikuti angina, edema paru, atau hipotensi harus diterapi DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru, atau hipotensi dapat diberikan: Lidokain bolus 1-15 mg/kgbb. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kgbb tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kgbb/ Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgbb/menit). Atau. Disopiramid: bolus 1-2 mg/kgbb dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1mg/kgBB/jam. Atau.

102 102 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Amiodarone 150 mg infus selama menit atau 5 ml/kgbb menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit. Atau Kardioversi elektrik synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya). d. Bradiaritmia dan Blok Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung <50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape). Asistol ventrikel Blok AV simtomatik terjadi pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga dengan ritme escape kompleks sempit) Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal, sementara menunggu pacu jantung sementara. e. Gagal Jantung Akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis mengenai kasus ini. f. Perikarditis Aspirin ( mg/hari) Indometasin, ibuprofen Kortikosteroid. g. Komplikasi Mekanik Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana operasi. 6. Komplikasi 1. Angina pektoris tak stabil: Payah jantung, Syok kardiogenik, Aritmia, Infark Miokard akut, 2. Infark Miokard Akut (dengan atau tanpa ST elevasi): Gagal jantung, Syok Kardiogenik, Ruptur korda, Ruptur septum, Ruptur dinding bebas, Aritmia gangguan hantaran, Aritmia gangguan pembentukan rangsang Perikarditis, Sindrom dresier, Emboli Paru, 7. Prognosis Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM.

103 10. Unit Yang Terkait ICCU Referensi: 1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut Dalam:Bawazier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, eds. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001:p Harun S, Alwi I, Rasyidi K. Infark Miokard Akut. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p NO RENJATAN KARDIOGENIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya pompa jantung. 2. Diagnosis Trias tekanan darah <90 mmhg, takikardia, dan oliguria. Pemeriksaan fisik: 1. Tanda-tanda gagal jantung. 2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau muskulus papilaris. Infark Ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut jantung rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak kongestif. Murmur: Regugirtasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis katup prostetik. Elektrokardiografi: 1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage. 2. Aritmia: AV blok, bradiaritmia, takiaritmia. 103 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Foto Toraks: Opasifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadang-kadang efusi pleura. Ekokardiografi: Kontraktilitas ventrikel kiri atau atrium kiri atau arteri pulmonalis. Regugirasi katup, Miksoma atrium, Efusi perikard dengan tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis Konstriktiva,

104 3. Diagnosis Banding Syok Hipovolemik, Syok Obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks), Syok Distributif (Syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat). Infark Jantung kanan. 4. Pemeriksaan Penunjang Darah rutin,ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, foto toraks, EKG Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T). Echocardiografi, Angiografi koroner. 5. Terapi 1. Posisi ½ duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat. 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmhg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipotensi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator. 3. Infus emergensi 4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana untuk dekompresi dengan chest tube torakotomi. 5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC. 6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin ml kecuali ada edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz. 7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior. 8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan PAWP. Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 100mmHg. Dopamin dimulai dengan 5ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15 ug/kgbb/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80mmHg dengan dosis 0,1-30 ug/kgbb/menit. Jika tidak ada respon dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin dengan dosis titrasi 2,5-20 ug/kgbb/menit atau milrinon/amrinon. 9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak ada responsif dengan terapi adekuat sambil menunggu tindakan intervensi bedah. 10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi afterload dan memperbaiki fungsi pompa terutama berguna pada hipertensi berat, edema paru, dekompensasi katup. 11. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmhg bisa 104 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

105 diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgbb. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgbb/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik mmhg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 12. Bila perlu diberikan: Bila perlu (tekanan darah turun/ tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgbb/menit atau Dobutamin 2-10 ug/kgbb/menit. Untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis. 13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regugirtasi,vsd, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendeniae. 6. Komplikasi Gagal Napas 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Trinohadi HB. Syok Kardiogenik. Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut Dalam:Bawazier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, eds. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001:p Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

106 NO FIBRILASI VENTRIKULAR Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Tidak ditemukan depolarisasi ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T. 2. Diagnosis Kompleks QRS sudah berubah sama sekali Amplitudo R sudah mengecil sekali. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi Koroner 5. Terapi 1. DC Shock dengan evaluasi dan Shock sampai 3 kali jika perlu dimulai dengan 200 Joule, kemudian Joule dan 360 Joule. 2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung efektif (pulsasi di pembuluh nadi besar tidak teraba). 3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular. 6. Komplikasi Emboli paru, emboli otak, henti jantung 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO TAKIKARDIA VENTRIKULAR Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Tiga atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit. 106 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

107 2. Diagnosis 1. Frekuensi kompleks QRS meningkat, kali/menit. 2. Kompleks QRS melebar. 3. Hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap. 3. Diagnosis Banding Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans 4. Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi koroner Pemeriksaan Elektrofisiologi. 5. Terapi 1. Atasi penyakit dasar: bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah jantung maka diatasi payah jantungnya. 2. Pada keadaan akut: 3. DC Shock diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, Joule, 360 Joule atau bifasik ekuivalen) jika perlu. 4. Antiaritmia yang diberikan: lidokain atau amiodaron. 5. Lidokain diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgbb (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 2-4 mg/kgbb). 6. Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50 mg/kgbb. Untuk Amiodaron dapat diberikan 15 mg/kgbb bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kgbb bolus/drip dalam 24 jam sampai dengan 1000mg/24 jam. Untuk jangka panjang: 7. Bilamana selama takikardia tidak memberikan gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. 8. Hal ini terutama untuk ventrikular takikardia reentran cabang berkas. 9. Bilamana selama takikardia memberikan gangguan hemodinamik diperlukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan defibrilator jantung otomatik. 6. Komplikasi Emboli paru, emboli otak, kematian 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

108 2. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO EKSTRASISTOL VENTRIKULAR Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Suatu Kompleks ventrikel prematur timbul secara dini di salah satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri. 2. Diagnosis 1. P sinus biasanya terbenam dalam kompleks QRS, segmen ST atau gelombang T. 2. Kompleks QRS muncul lebih awal dari seharusnya. 3. QRS melebar ( 0,12 detik). 4. Gambaran QRS wide and bizzare. 5. Segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS. 6. Bila karena mekanisme reentri maka interval antara kompleks QRS normal yang mendahuluinya dengan kompleks ekstrasistol Ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari fokus ventrikel yang berbeda. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi koroner. 5. Terapi 1. Tidak perlu diobati jika jarang, timbul pada pasien tanpa/ tidak dicurigai kelainan jantung organik. 2. Perlu pengobatan bila terdapat pada keadaan iskemia miokard akut, bigemini, trigemini, atau multifokal, alvo ventrikel. 3. Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia. 4. Obat: yang sering digunakan Xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit. Obat alternatif: Prokainamid, disopiramid, amiodaron, meksiletin. Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat tersebut dapat diberikan secara oral. 6. Komplikasi VT/VF, kematian mendadak 7. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN 108 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

109 CM ICCU ICU Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p ALERGI IMUNOLOGI NO AIDS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Pasien yang terbukti terinfeksi HIV dengan hitung sel T CD4 <200 dan pasien yang terinfeksi HIV dengan satu atau lebih penyakit yang dipertimbangkan sebagai indikator gangguan imunitas selular yang berat. 2. Diagnosis Adanya faktor risiko penularan Berdasarkan gejala: Sindrom HIV akut: 1. Timbul 3-6 minggu setelah infeksi primer. 2. Ditemukan gejala: 3. Umum:demam, faringitis, limfadenopati. 4. Headache/retroorbital pain, atralgia/mialgia, letargi/malaise, anoreksia/berat badan turun, mual/muntah/diare. 5. Neurologi: Meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopati. 6. Dermatologi: Rash eritematosus makulopapular, ulserasi mukokutan. Asimptomatik: 1. Tanpa gejala sama sekali. 2. Pembesaran kelenjar getah bening. Simptomatik: 1. Penurunan berat badan (<10%). 2. Kelainan mulut, kulit, saluran nafas yang ringan (sariawan, kelitis, dermatitis seboroika, prurigo, infeksi jamur pada kuku). Simptomatik Lanjut: 1. Penurunan berat badan yang lebih mencolok. 2. Diare lebih 1 bulan. 3. Panas hilang timbul maupun terus-menerus tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan. 4. Kandidiasis mulut. 5. Hairy leukoplakia. 6. Tuberkulosis paru. 7. Infeksi bakterial yang berat misalnya pneumonia. 109 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

110 Infeksi Oportunistik: 1. Pneumonia Pneumosistis Karinii 2. Toksoplasmosis otak. 3. Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan. 4. Kriptokokosis di paru. 5. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali limpa, hati, atau kelenjar getah bening. 6. Infeksi virus, herpes simplek di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi. 7. Leukoensefalopati multifokal progresif. 8. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis koksidiodomikosis) yang endemik, menyerang banyak organ tubuh (diseminata). 9. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru. 10. Mikobateriosis atipik (mirip bakteri tuberkulosis) diseminata. 11. Septikemia salmonella non tifoid. 12. Tuberkulosis di luar paru. 13. Limfoma 14. Sarkoma kaposi. 15. Ensefaopati HIV, sesuai kriteria CDC yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV. Laboratorium: Tes skrining ELISA 2x positif ditambah tes konfirmasi. Western Blot 1x positif. 3. Diagnosis Banding Infeksi oportunistik. Penyakit imunodefisiensi primer. 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Kimia rutin dan hematologi. 2. Foto thoraks. 3. Anti HIV dengan cara ELISA dan Western Blot. 4. Kadar HIV RNA dengan RT-PCR. 5. Hitung CD Antitoksoplasma antibodi. 7. VDRL. 8. PPD test. 9. Pemeriksaan status mini-mental. 10. Serologi hepatitis A dan B. 5. Terapi 1. Konseling tentang HIV/AIDS. 2. Terapi infeksi oportunistik/infeksi sekunder baik untuk profilaksis maupun pengobatan. 3. Terapi neoplasma. 4. Terapi antiretroviral. 5. Vaksin hepatitis A. 6. Vaksin hepatitis B. 7. Vaksin Influensa. 8. Vaksin Streptococcus Pneumonia. 6. Komplikasi Infeksi oportunistik, sepsis. 7. Prognosis Tergantung hitung CD Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit 110 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

111 Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Alergi- Imunologi. 10. Unit Yang Terkait Pokdissus AIDS-RSCM Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Referensi: 1. Fauci A, Lane HC.Human Immunodeficiency Virus (HIV) disease: AIDS and Related Disorders in:braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL. Jameson JL, Ed. Harrison s Principles of Internal Medicine, 15 th eds. New York: McGraw-Hill, 2001; NO RENJATAN ANAFILAKSIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmhg akibat respon hipersensitifitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antibodi ige). 2. Diagnosis 1. Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa: 2. Reaksi sistemik ringan: rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen. 3. Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran nafas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaktik ringan. 4. Reaksi sistemik berat:terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak nafas, sianosis, henti nafas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare, dan muntah. Kejang uterus, kejang umum, gangguan kardiovaskuler, aritmia jantung, koma 3. Diagnosis Banding Renjatan Kardiogenik, Renjatan hipovolemik 4. Pemeriksaan Penunjang Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah, EKG. 5. Terapi A. Untuk renjatan: 1. Adrenalin larutan 1:1000, 0,3-0,5 ml Subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali 111 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

112 bila sengatan di kepala, leher, tangan dan kaki. Dapat dilanjutkan dengan infus adrenalin 1 ml(1mg) dalam: Dekstrosa 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular lainnya. 2. Pasang Tourniqet proksimal dan suntikan atau sengatan serangga dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit. 3. O2 bila sesak, mengi, sianosis 3-5 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal. 4. Antihistamin Intravena, intramuskular atau oral, Rawat ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi: I. IVFD Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl 2-3 l/m 2 permukaan tubuh. II. Dopamin 0,3-1,2 mg/kgbb/jam bila tekanan darah tidak membaik. III. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgbb intravena dilanjutkan 5 mg/kgbb tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam. B. Bila disertai spasme bronkus maka dapat diberikan: 1. Agonis inhalasi beta-2 2. Jika spasme bronkus menetap Aminofilin 4-6 mg/kgbb dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10 ml diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infus aminofilin 0,2-1,2 mg/kgbb/jam. C. Bila disertai edema hebat saluran nafas atas: Intubasi dan trakeostomi. D. Pemantauan paling sedikit 24 jam. 6. Komplikasi Renjatan ireversibel, Multi organ failure. 7. Prognosis Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Alergi- Imunologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU Referensi: 1. Samsuridjal Djauzi. Syok Anafilaktik. Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds.penyunting. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

113 2. Mahdi AD. Syok Anafilaktik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds.penyunting. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p NO ASMA BRONKIAL Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan obstruksi jalan nafas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, netrofil, dan epitel. 2. Diagnosis Episode berulang sesak nafas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat di dada akibat faktor pencetus. Dibagi menjadi: 1. Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu asimptomatik, APE diantara serangan normal, asma malam 2 kali/bulan, APE 0%, variabilitas <20%. 2. Asma persisten ringan, gejala asma 1 kali/minggu, <1 kali/hari, asma malam 2 kali bulan, APE 0%, variabilitas 20-30%. 3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta-2 agonis kerja singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam >1 kali/minggu, APE > 60% dan < 80% prediksi atau variabilitas > 30%. 4. Asma persisten berat, gejala sama terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE 60% prediksi atau variabilitas >30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada semua tingkatan derajat asma. 3. Diagnosis Banding Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), Gagal Jantung. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: 1. Jumlah eosinofil darah dan sputum. 2. Foto toraks, 3. Spirometri, 4. Uji tusuk kulit(skin prick test/spt), 5. Uji bronkodilator atas indikasi, 6. Uji provokasi bronkus atas indikasi, 7. Analisa Gas Darah atas indikasi. 5. Terapi 1. Asma intermitten tidak memerlukan obat pengendali. 2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (300 ug BDP atau ekuivalennya atau pilihan lainnya: Teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien. 3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi ( Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

114 114 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi ug BDF atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain. Kortikosteroid inhalasi ( ug BDP atau ekuivalennya)+ LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi ug BDP atau ekuivalennya)+ antileukotrien. 4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi (>1000 ug BDP atau ekuivalennya)+laba Inhalasi+ salah satu pilihan berikut: Teofilin lepas lambat. Antileukotrien. LABA oral. BDP= Budesonide Propionat. Sedangkan untuk penghilang sesak diberikan beta-2 agonis kerja singkat inhalasi tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Antikolinergik inhalasi, agonis beta-2 kerja singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen. 2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respon terapi awal. 3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromida) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta-2). 4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis mg/hari setara prednison. 5. Aminofilin tidak dianjurkan, bila diberikan dosis awal 5-6 mg/kgbb dilanjutkan infus aminofilin 0,5-0,6 mg/kgbb/jam. 6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder. 7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi agonis beta-2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan, dan pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat. 8. Bila setelah vasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan risiko tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE (Arus Puncak Ekspirasi) > 50% dan <70 % dan tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisa gas darah) pasien harus dirawat. Pasien dirawat di ICU bila tidak ada berespon terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan kesadaran, atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hipoksemia dengan kadar po2<60 mmhg dan/atau pco2>45 mmhg walaupun mendapat pengobatan oksigen

115 yang adekuat. 6. Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks. 7. Prognosis Tergantung beratnya gejala 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Alergi- Imunologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU NO URTIKARIA KARENA OBAT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. 2. Diagnosis Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, misal: NSAID, Sulfonamida, antikonvulsan, penicillin, dan tetrasiklin. Gejala prodromal berupa gejala radang saluran nafas atas, demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Dalam beberapa hari terjadi erosi multipel pada membran mukosa, lepuhan, makula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan pelepasan kulit 10%. 3. Diagnosis Banding TEN, eritema multiformis. 4. Pemeriksaan Penunjang Hitung eosinofil, elektrolit, foto thoraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum. 5. Terapi 1. Hentikan obat penyebab. 2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah infeksi bakteri. 3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin. 4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dan darah dan mukokutan. 5. Pemberian makanan tinggi kalori. 6. Penggantian cairan dan elektrolit. 7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera. 8. Konsultasi mata. 9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata. 10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal. 11. Antibiotika tergantung hasil kultur. 6. Komplikasi Sepsis, syok hipovolemik, syok sepsis. 7. Prognosis Tergantung beratnya gejala 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Alergi- Imunologi. 115 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

116 10. Unit Yang Terkait Departemen Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN CM Departemen Bedah- Unit Luka Bakar FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU GASTROENTEROLOGI NO ULKUS PEPTIKUM Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis. 2. Diagnosis Faktor risiko: Umur, penggunaan obat-obatan, aspirin, atau NSAID. Anamnesis: Terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksia, dan kembung. 3. Diagnosis Banding Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus. 4. Pemeriksaan Penunjang Barium dobel kontras. Endoskopi saluran cerna bagian atas. 5. Terapi A. Tanpa Komplikasi: 1. Suporif: Nutrisi. 2. Memperbaiki/ menghindari faktor risiko. 3. Pemberian obat-obatan: i. Antasida, ii. Antimuskarinik, iii. Antagonis resepto H2, iv. Proton Pump Inhibitor, v. Pemberian obat-obatan untuk mengikat asam empedu, vi. Pemberian obat-obatan untuk mempercepat vii. pengosongan lambung, Pemberian obat-obatan untuk eradikasi kuman Helicobacter Pylori, viii. Pemberian obat-obatan untuk meningkatkan faktor defensif. B. Dengan Komplikasi: 1. Tukak peptik yang berdarah Penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum. 2. Penatalaksanaan/ tindakan khusus: Tindakan/terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe. 3. Pemberian obat somatostatin jangka pendek. 116 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

117 4. Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi. 5. Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan, tetap masuk keadaan gawat I s/d II maka penderita masuk dalam indikasi operasi. 6. Komplikasi Perdarahan Ulkus 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah- Subbagian Bedah Digestif. NO DISPEPSIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa. 2. Diagnosis Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas. 3. Diagnosis Banding Penyakit refluks gastroesofageal. Irritable Bowel Syndrome. Karsinoma Saluran Cerna Bagian Atas. Kelainan Pankreas dan Kelainan Hepar, 4. Pemeriksaan Penunjang Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, analisis cairan lambungm pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter Pylori, pemeriksaan fungsi hati, amylase, dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT. 5. Terapi Suportif:Nutrisi. Pengobatan empirik selama 4 minggu (terdiri dari...) Pengobatan berdasarkan etiologi. 6. Komplikasi - 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait NO KARSINOMA GASTER Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Keganasan pada lambung. 2. Diagnosis Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dyspepsia. Berat badan yang turun tanpa penyebab Pemeriksaan fisik: Diagnosis Banding Karsinoma esophagus, esofagitis. 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG abdomen, CT scan abdomen. 117 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

118 5. Terapi Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi. 6. Komplikasi Obstruksi saluran cerna bagian atas. 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif. NO HEMATEMESIS MELENA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasa dari saluran cerna bagian atas. Melena yaitu buang air besar berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esophagus. 2. Diagnosis Muntah dan BAB darah warna hitam ter. Sindrom Dyspepsia, bila ada riwayat makan obat NSAID, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum. Keadaan Umum: pasien sakit ringan sampai berat, daoat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), Dapat terjadi syok hipovolemik. 3. Diagnosis Banding Hemoptoe. Hematoskezia. 4. Pemeriksaan Penunjang Darah perifer lengkap, hemostasis lengkap atau, masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na, K, Cl), pemeriksaan fungsi hati (Cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C, endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati.) 5. Terapi Nonfarmakologis: Tirah baring, puasa, diet hati/ lambung pasang NGT untuk dekompresi, pantau perdarahan. Farmakologis: 118 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varices transfusi sampai dengan Hb 10 g% pada kasus non varices, transfusi samapi dengan Hb 12g%. Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL. Untuk penyebab non varices: 1. Injeksi antagonis resptor H2 atau penghambat pompa proton. 2. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab. 3. Antasida. 4. Injeksi Vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati.

119 Untuk penyebab varices: 1. Somatostatin bolus 20 ug + drip 250 mikro gram intravena atau ocreotide (sandostatin) 0,1mg/2jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varices esophagus. 2. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan sampai tekanan Diastolic turun 20 mmhg atau denyut nadi turun 20%. 3. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2x 1 tablet/hari. 4. Metoklorpamid 3 x 10mg/hari Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan. Pada pasien dengan, pecah varices/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan: a. Laktulosa 4 x 1 sendok makan. b. Neomisin 4 x 500 mg. Obat ini diberikan sampai tinja normal. Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. Bedah emergensi di indikasikan bila pasien masuk dalam keadaan gawat I-II. 6. Komplikasi Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan. 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif. 119 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

120 NO DIARE KRONIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Diare kronik yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal diare. 2. Diagnosis Diare dengan lama lebih dari 15 hari. 3. Diagnosis Banding Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan hati,ibs tipe diare. 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan tinja. 2. Pemeriksaan darah: DPL, kadar feritin, SHBC, kadar Vitamin B12 darah, kadar asam folat darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba (IDT), Widal, pemeriksaan imunodefisiensi (CD4, CD8). 3. Pemeriksaan anatomi usus: Barium enema/colon in loop (didahului BNO), kolonskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT Scan abdomen. 4. Fungsi usus dan pankreas: Tes fungsi ileum dan jejunum, tes fungsi pankreas, tes Schiling, CEA dan CA Terapi A. Non Farmakologis: 1. Diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak, bila penyakit Crohn dan colitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum yang baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi. B. Farmakologis: 1. Bila sesak nafas dapat diberikan oksigen infus untuk memberikan cairan dan elektrolit. 2. Antibiotika bila terdapat infeksi. 3. Bila penyebab amuba/parasit/giardiasis dapat diberikan metronidazol. 4. Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab alergi tersebut. 5. TBC usus diobati dengan OAT. 6. Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrinnya. 7. Malabsorbsi diatasi dengan pemberian enzim. 8. Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis. 6. Komplikasi Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/ gas darah, gagal ginjal akut, kematian. 7. Prognosis Dubia ada bonam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 120 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

121 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait NO PANKREATITIS AKUT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Pankreatitis akut yaitu reaksi peradangan pankreas yang akut. 2. Diagnosis Keadaan umum pasien seperti sakit dyspepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai gangguan kesadaran. Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok, dan takikardia, bising usus menurun (ileus paralitik). Penyakit penyerta yang meninggalkan resiko: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis, DHF. 3. Diagnosis Banding Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, appendisitis akut, nefrolitiasis kanan akut, infark miokard akut inferior. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Klasifikasi berat/prognosis: kriteria Ranson, DPL, amylase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDh serum, fungsi ginjal, SGOT/SGPT, AGD elektrolit. 5. Terapi Non farmakologis: puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi parenteral total sampai amylase dan lipase serum normal/ mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung <300cc, pasien tak nyeri ulu hati. Farmakologis: 1. Analgesik dan sedative, infus cairan, pasang selang lambung: 2. Antibiotika bila ada infeksi, 3. Penghambat sekresi enzim pankreas, 4. Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan. 6. Komplikasi Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar, pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites. Sepsis. 7. Prognosis Dubia ad bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif. 121 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

122 NO ILEUS PARALITIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat BAB. 2. Diagnosis 1. Perut kembung (distensi), bising usus menurun, dan menghilang. 2. Muntah, bisa disertai diare, tak bisa BAB. 3. Dapat disertai demam, 4. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran. 5. Dapat terjadi syok, 6. Pada colok dubur: rectum tidak kolaps, tidak ada kontraksi, 7. Adanya penyakit yang meningkatkan resiko:batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh. 8. Pemeriksaan fisik: bising usus menghilang 3. Diagnosis Banding Ileus obstruktif 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: DPL, amylase-lipase, gula darah, kalium serum, elektrolit dan AGD. 5. Terapi A. Non Farmakologis: 1. puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin melalui dubur. 2. Pasang selang lambung dan dekompresi. 3. Pasang kateter urin. B. Farmakologis: 1. Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai elektrolit. 2. Natrium dan Kalium sesuai kebutuhan /24 jam. 3. Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal di tambah kebutuhan lain. 4. Terapi etiologi. 6. Komplikasi Syok hopovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi. 7. Prognosis Dubia ad bonam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif. NO HEMATOSKEZIA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Hematoskezia adalah BAB darah segar berwarna merah yang berasal dari saluran cerna bagian bawah. 122 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

123 2. Diagnosis 1. BAB darah merah segar sampai merah tua. 2. Demam bila penyebabnya infeksi usus. 3. Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul dapat akut, atau kronik, dapat ditemukan massa. 4. Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik. 5. Bising usus menurun atau menghilang. 6. Berat bada dapat menurun. 7. Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makan yang tidak biasanya, mendapat terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti kelainan kulit, sendi, dan radang mata. 3. Diagnosis Banding Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus/inflamatorik, Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodisplasia, tumor kolon dan/atau usus halus colitis iskemik, colitis radiasi. 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: DPL tiap 6 jam, analisis gas dan elektrolit darah. 2. Pemeriksaan hemostasis lengkap. Pemeriksaan etiologi: Kultur widal-gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses. 3. Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi, dan biopsy. Pada demam tifoid, kolonoskopi sebaiknya dilakukan bila demam sudah menghilang, dan keadaan umum membaik. 4. Foto abdomen 3 posisi. 5. Kolon in loop kontras ganda. 6. USG abdomen, 7. CT Scan abdomen/foto usus halus, 8. Foto dada, 9. EKG. 5. Terapi A. Non Farmakologis: puasa, cairan infus, perbaikan hermodinamik. Jika Hemodinamik stabil dapat nutrisi enteral. B. Farmakologis: Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb>10 g% Infus cairan Pengobatan infeksi sesuai penyebab. Bila ada kelainan hemostasis di obati sesuai penyebabnya. 6. Komplikasi Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan. 7. Prognosis Dubia ad Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. 10. Unit Yang Terkait 123 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

124 GINJAL HIPERTENSI NO PENYAKIT GINJAL KRONIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Kriteria: 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal. Dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan: 2. LFG <60ml/menit/1,73 m 2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. 2. Diagnosis Anamnesis: Lemas, mual, muntah, sesak napas, pucat, BAK berkurang. PF: Anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru. Lab: Gangguan fungsi ginjal. Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik LFG (ml/menit/1,73 Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal m 2 ) Dengan Hipertensi Tanpa Hipertensi Dengan Hipertensi Tanpa Hipertensi Hipertensi ormal Hipertensi+ L G L G <15 (atau dialisis) 3. Diagnosis Banding Gagal ginjal akut 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, ureum, kreatinin, UL(Urinalisa Lengkap), CCT ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), Profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, Ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti HCV, Anti HIV. 5. Terapi 1. Non Farmakologis: 1. Pengaturan Asupan Protein: Pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgbb/ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien. Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgbb ideal/hari. Pasien peritonealdialisis 1,3 gram/kgbb/hari. 2. Pengaturan Asupan Kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari. 3. Pengaturan Asupan Lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh. 4. Pengaturan Asupan Karbohidrat: 50-60% dari kalori total. 5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari. 6. Kalium :40-70 meq/kgbb/hari. 7. Fosfor :5-10 mg/kgbb/hari. Pasien HD:17 mg/hari. 124 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

125 8. Kalsium: mg/hari. 9. Besi: mg/hari. 10. Magnesium mg/hari. 11. Asam Folat pasien HD : 5mg 12. Air: Jumlah urin 24 jam ml (Insensible Water Loss) pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan BB di antara waktu HD < 5% BB kering. 2. Farmakologis: 1. Kontrol Tekanan darah: Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. Penghambat kalsium. Diuretik. 2. Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin, dan obat-obatan sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%. 3. Koreksi anemia dengan target Hb10-12 g/dl. 4. Kontrol hiperfosfatemi: Polimer kationik (Renagel), Kalsitriol. 5. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO meq/l 6. Koreksi hiperkalemi. 7. Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin. 8. Terapi ginjal pengganti. 6. Komplikasi Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia. 7. Prognosis Dubia 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Menangani 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah-Subbagian Bedah Urologi. NO SINDROM NEFROTIK (SN) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian SN merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masih > 3,5 gram/24 jam/1,73 m 2 disertai lipiduria. 2. Diagnosis Anamnesis: Bengkak seluruh tubuh, BAK keruh. PF: Edema anasarka, asites. Lab: Proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m 2, lipiduria, hipoalbuminemia (3,5 gram/dl), dislipidemia. Diagnosis etiologi berdasarkan biospi ginjal. 3. Diagnosis Banding Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN. 4. Pemeriksaan Penunjang UL( Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biospi ginjal. 125 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

126 5. Terapi A. Non Farmakologis: 1. Istirahat. 2. Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgbb ideal/hari+ ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgbb ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. 3. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari. 4. Berhenti merokok. 5. Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema. B. Farmakologis: 1. Pengobatan edema: diuretik loop. 2. Pengobatan proteinuria dengan penghambat EKA dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II. 3. Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin. 4. Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmhg. Penghambat EKA dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama. 5. Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat SOP penyakit glomerular). 6. Komplikasi Penyakit ginjal kronik, tromboemboli. 7. Prognosis Tergantung jenis kelainan/glomerular. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 10. Unit Yang Terkait NO PENYAKIT GLOMERULAR Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus, dapat merupakan penyakit glomerular primer atau sekunder. Penyakit glomerular primer: 1. Kelainan minimal. 2. Glomerulosklerosis fokal segmental. 3. Glomerulonefritis (GN) difus: a. GN membranosa (Nefropati membranosa). b. GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada UL sedimen eritrosit (+), hematuria: GN proliferatif mesangial, GN proliferatif endokapiler, GN membranoproliferatif (Mesangiokapiler). GN kresentik dan necrotizing. c. GN Sclerosing. 4. Nefropati IgA. Penyakit glomerular sekunder: 1. Nefropati diabetik. 2. Nefritis lupus. 3. GN pasca infeksi. 4. GN terkait hepatitis. 126 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

127 5. GN terkait HIV. Keterangan: Difus: Lesi mencakup > 80% glomerulus. Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus. Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus. Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus. 2. Diagnosis Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa: 1. Sindrom nefrotik. 2. Hematuria persisten. 3. Proteinuria persisten. 4. Sindrom nefritik (Hipertensi, hematuria, azotemia). 5. Rapid Progressive Glomerulonephritis (RPGN). 3. Diagnosis Banding Etiologi dari penyakit glomerular. 4. Pemeriksaan Penunjang UL ( Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati. 5. Terapi Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer: A. Kelainan Minimal: 1. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m2 (maksimal 80 m 2 ) selama 4-6 minggu. 2. Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m 2 selang sehari selama 4-6 minggu 3. Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m 2 (maksimal 80 mg) setiap hari sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis 40 mg/m 2 selama 4 minggu. 4. Bila sering relaps (>2kali): Prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2 mg/kgbb atau klorambusil 0,15 mg/kgbb selama 8 minggu. Bila gagal diberikan siklosporin 5 mg/kgbb selama 6-12 bulan. 5. Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2 minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali beruturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgbb selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin 5 mg/kgbb selama 6-12 bulan. 6. Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgbb selama 6-12 bulan. B. Glomerulonefritis fokal segmental: 1. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan. 2. Bila resisten atau tergantung steroid: Siklosporin 5 mg/kgbb selama 6 bulan: Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan. Bila gagal, siklosporin dihentikan. C. Nefropati membranosa: 1. Diberikan bolus IV metil prednisolon 1 gram/hari selama 3 hari. 2. Kemudian diberikan steroid yang setara dengan 127 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

128 prednison 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan lalu diganti dengan Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari atau siklofosfamid 2 mg/kgbb/hari selama 1 bulan. 3. Prosedur no 2 diulangi kembali sampai seluruhnya dari prosedur no.2 sebanyak 3 kali. D. Glomerulonefritis membranoproliferatif: 1. Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa. Dianjurkan pemberian aspirin 325 mg/hari atau dipiridamol 3 x mg/hari atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon, pengobatan dihentikan sama sekali. E. Nefropati IgA: 1. Bila proteinuria<1 gram. Hanya observasi. 2. Bila proteinuria 1-3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan. 3. Bila proteinuria >3 gram dengan CCT >70 ml/menit. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 1 mg/kgbb selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai dengan 6 bulan. Bila CCT <70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan. Catatan: Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid. 6. Komplikasi Penyakit ginjal kronik. 7. Prognosis Tergantung jenis kelainan/glomerular. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 10. Unit Yang Terkait NO GAGAL GINJAL AKUT(GGA) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Sindrom yang ditandai oleh penurunan LFG secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu) yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl dari nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang mengakibatkan kebutuhan akan dialisis. 2. Diagnosis Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA: 1. Pre-renal: Akibat hipoperfusi ginjal (Dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain). 2. Renal: Akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat,zat kimia/toksin, iskemia ginjal, penyakit glomerular). 128 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

129 3. Post-renal: Akibat obstruksi akut traktus urinarius ( batu saluran kemih), hipertrofi prostat, keganasan ginekologis). Fase anuria: (Produksi urin <100 mg/24 jam), oliguria (produksi urin <400 ml/24 jam), poliuria (produksi urin>3500 ml/24 jam). 3. Diagnosis Banding Episode akut pada penyakit ginjal kronik, penyakit ginjal kronik. 4. Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi ginjal, DPL, UL(Urinalisa Lengkap), Elektrolit, AGD, Gula darah. 5. Terapi A. Asupan Nutrisi 1. Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB ideal/ hari pada GGA tanpa komplikasi; kebutuhan ditambah 15-20% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres). 2. Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram kg/bb ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi; 1-1,5 gram/kgbb Ideal/hari pada GGA berat. 3. Perbandingan karbohidrat dan lemak 70: Suplementasi asam amino tidak dianjurkan. B. Asupan Cairan tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hari bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral bila ada fasilitas. 1. Hipovolemia: Rehidrasi sesuai kebutuhan. Bila perdarahan diberikan transfusi darah PRC dan cairan isotonik, hematokrit dipertahankan sekitar 30%. Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan kristaloid. 2. Normovolemia: Cairan seimbang (input=output). 3. Hipervolemia: Restriksi cairan (input<output). 4. Fase anuria/oliguria; Cairan seimbang; fase poliuria 2/3 dari cairan yang keluar. 5. Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan ml electrolyte free water perhari sebagai bagian dari total cairan yang diperlukan C. Koreksi gangguan asam basa. D. Koreksi gangguan elektrolit: 1. Asupan kalium dibatasi <50 meq/hari, Hindari makanan yang banyak mengandung kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium seperti penghambat EKA dan diuretik hemat kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung kalium. 2. Bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral 3-4 gram per hari dalam bentuk kalsium karbonat, bila samapi timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10% IV. 3. Bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat seperti alumunium hidroksida atau kalsium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan. 129 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

130 E. Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase nonoligurik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan. F. Indikasi Dialisis: 1. Oliguria. 2. Anuria. 3. Hiperkalemia (K>6,5 meq/l). 4. Asidosis berat (ph < 7,1). 5. Azotemia (ureum>98 mg/dl). 6. Edema paru. 7. Ensefalopati uremikum. 8. Perikarditis uremik. 9. Nefropati/miopati uremik. 10. Disnatremia berat (Na >160 meq/l atau <115 meq/l). 11. Hipertermia. 12. Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan). 6. Komplikasi Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi. 7. Prognosis Dubia ad bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi/ICU, Departemen Ilmu Penyakit Dalam/ Unit Dialisis. N O HIPERTENSI Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertia n Tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmhg sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmhg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Klasifikasi TD Sitolik (mmhg) 130 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 TD Diastolik (mmhg) Normal <120 Dan <80 Prehipertensi Atau Hipertensi Atau Stage 1 Hipertensi Stage Atau Diagnosis 1. Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit. 2. Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan

131 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksa an Penunjang kelainan pembuluh darah perifer. 4. Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri dindikasikan pada pasien dengan risiko hipertensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll). 5. Faktor risiko kardiovaskular: Hipertensi. Merokok. Obesitas (IMT 0). Inaktivitas fisik. Dislipidemia. Diabetes Mellitus. Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit. Usia (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun). Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (Laki-laki <55 tahun atau perempuan <65 tahun). 6. Kerusakan organ sasaran: Jantung: Hipertrofi ventrikel kiri, angina, atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung. Otak: Stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA). Penyakit ginjal kronik. Penyakit arteri perifer. Retinopati. 7. Penyebab hipertensi: yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik, aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid. Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat dll. UL (Urinalisa Lengkap), tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi. 5. Terapi Algoritme Penatalaksanaan Hipertensi 131 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

132 Modifikasi Gaya Hidup Target tekanan darah tidak tercapai (<140/90 mmhg atau <130/80 mmhg pada pasien dengan DM atau penyakit ginjal kronik). Pilihan Obat inisial Hipertensi tanpa compelling indication Hipertensi Stage 1 Obat Indications Golongan diuretic tiazid bila pertimbangkan antagonis penghambat EKA antagonis reseptor AII, reseptor β penghambat reseptor β penghambat kalsium atau kombinasi Hipertensi Stage 2 Kombinasi 2 obat (biasanya gol diuretik tiazid dan pemghambat EKA atau antagonis reseptor AII atau penghambat reseptor β atau penghambat kalsium Hipertensi dengan compelling indication. Lihat petunjuk pemilihan dengan compelling Obat anti hipertensi lain dibutuhkan (Diuretik, reseptor AII, penghambat kalsium Target tekanan darah tidak tercapai Optimalisasi dosis atau tambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai Pertimbangkan untuk konsultasi kepada spesialis hipertensi 132 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

133 Petunjuk Pemilihan obat pada Compelling Indications Kondisi Obat Yang Direkomendasikan Risiko tinggi dg compellin Diuret ik Pengham bat reseptor β Pengham bat EKA (ACI Antagon is Resepto Pengham bat Kalsium Antagoni s Aldoster g (Beta Inhibitor) r AII (CCB) on Indicatio ns Bloker) (ARB) Gagal Jantung Pasca Infark Miokard Risiko Tinggi Penyakit Koroner DM Penyakit Ginjal Kronik Pencegah an Stroke Berulang 6. Komplika si Pada penggunaan penghambat EKA(Ace Inhibitor) atau antagonis reseptor AII (ARB): evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. Kondisi khusus lain: 1. Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan >89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmhg, trigliserida tinggi 150 mg/dl, kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) Modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat EKA (ACE inhibitor). Pilihan lain adalah Antagonis Reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat α. 2. Hipertrofi Ventrikel kiri Tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan BB, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil. 3. Penyakit arteri perifer Semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin. 4. Lanjut Usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi diuretik (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta. 5. Kehamilan Pilihan terapi adalah golongan metildopa, penghambat reseptor β, antagonis kalsium, dan vasodilator, Penghambat EKA dan antagonis reseptor AII tidak boleh digunakan selama kehamilan. Hipertrofi Ventrikel Kiri, proteinuria, dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, stroke, atau TIA, infark miokard, angina pectoris, gagal 133 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

134 jantung. 7. Prognosis Bonam 8. Wewenan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam g 9. Unit Yang Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Menangan i 10. Unit Yang Terkait Departemen Mata, Departemen Neurologi. NO KRISIS HIPERTENSI Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Krisis hipertensi: Keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua: 1. Hipertensi Emergency: Situasi dimana diperlukan penurunan tekanan darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau progresif. 2. Hipertensi Urgency: Situasi dimana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejela yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 2. Diagnosis Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik, dan steroid, kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan. PF: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis. Lab: Sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target. 3. Diagnosis Banding Penyebab hipertensi Emergency: 1. Hipertensi maligna terakselerasi dengan papiledema, 2. Kondisi Serebrovaskular, ensefalopati hipertensi, infark otak aterotombotik dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala. 3. Kondisi jantung: Diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner. 4. Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagen-vaskular, 134 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

135 hipertensi berat pasca transplantasi ginjal. 5. Akibat katekolamin di sirkulasi: Krisis feckromositoma. Interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis. 6. Eklamsia. 7. Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular. 8. Luka bakar berat. 9. Epistaksis berat. 10. Thrombotic Thrombocytopenic Purpura. 4. Pemeriksaan Penunjang DPL, UL(Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG. Pemeriksaan khusus sesuai indikasi: Foto Thoraks, Ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldosteron, metanefrin/ katekolamin, USG abdomen, CT Scan, dan MRI. 5. Terapi 1. Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110mmHg atau berkurangnya Mean Arterial Blood Pressure tidak lebih dari 25% dalam waktu beberapa menit sampai 2 jam (Pada stroke penurunan hanya boleh 20% dan khusus pada stroke iskemik, tekanan darah, baru diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi, >220/130 mmhg). Setelah diyakinkan bila tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam jam selanjutnya sampai mendekati normal. 2. Target terapi penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency sama seperti hipertensi emergency tetapi dilakukan secara bertahap dalam waktu jam. Hipertensi Urgency: Obat Dosis Awitan Lama Kerja Penghambat EKA (ACE Inhibitor) Kaptopril 6,25-50 mg per oral atau sublingual 15 menit 4-6 jam bila tidak dapat menelan Penyekat β Adrenergik( Beta Bloker) Klonidin Dosis awal 0,5-2 jam 6-8 jam per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15 mg tiap jam dapat 135 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

136 Labetalol diberikan sampai dengan dosis total 0,9 mg mg per oral Diuretik Furosemid mg per oral 0,5-2 jam 8-12 jam 0,5-1 jam 6-8 jam Hipertensi Emergency: Obat Dosis Awitan Lama Kerja Diuretik Furosemid mg, dapat diulang. Hanya diberikan bila terdapat retensi cairan. Vasodilator: Nitrogliserin Infus mcg/menit. Dosis awal 5 mcg/menit dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit. Nitroprusid Infus 0,25-10 mcg/kgbb/menit (maksimum 10 menit) Antagonis Kalsium (CCB) Diltiazem Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgbb), dilanjutkan infus 5-10 mg/jam Penyekat reseptor α Klonidin 6 ampul (900 mcg) dalam 250 ml cairan infus, 5-15 menit 2-3 jam 2-5 menit 5-10 menit segera 1-2 menit dosis diberikan dengan titrasi mikrodrip. 6. Komplikasi Kerusakan organ target. 7. Prognosis Dubia. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 10. Unit Yang Terkait Departemen Anestesi/ ICU 136 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

137 N O INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan ascending. Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks,instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM atau pengaruh obat-obat estrogen. ISK sederhana/tak terkomplikasi: ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat difungsi struktural ataupun ginjal. ISK terkomplikasi: ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil. 2. Diagnosis Anamnesis: ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas nyeri pinggang, demam, menggigil, mual, dan muntah, hematuria. PF: Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra. 3. Diagnosis Banding 4. Pemeriksaa n Penunjang Lab: Leukositosis, lekosituria, kultur urin(+): bakteriuria >10 5 /ml urin ISK sederhana, ISK terkomplikasi DPL, UL(Urinalisa Lengkap, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto BNO-IVP, USG ginjal. 5. Terapi A. Nonfarmakologis: 1. Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik. 2. Menjaga higiene genitalia eksterna. B. Farmakologis: 1. Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada, Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan. Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi Antimikroba Dosis Lama Terapi Trimetoprim- 2 x 160/800mg 3 hari Sulfametoksazol Trimetoprim 2 x 100 mg 3 hari Siprofloksasin 2 x mg 3 hari Levofloksasin 2 x 250 mg 3 hari Sefiksim 1 x 400 mg 5 hari Salpodoksim prokesil 2 x 100 mg 5 hari Nitrofurantoin 4 x 50 mg 7 hari Makrokristal Nitrofurantoin Monohidrat Makrokristal 2 x 100 mg 7 hari Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg 7 hari Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi Antimikroba Dosis Interval 137 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

138 Sefepim 1 gram 12 jam Siprofloksasin 400 mg 12 jam Levofloksasin 500 mg 24 jam Ofloksasin 400 mg 12 jam Gentamisin 3-5 mg/kgbb 24 jam (+Ampisilin) 1 mg/kgbb 8 jam Ampisilin 1-2 gram 6 jam (+gentamisin Tikarsilin- 3,2 gram 8 jam Klavulanat Piperasilintazobaktam 3,375 gram 2-8 jam Imipenem-silastatin mg 6-8 jam ISK pada Perempuan Perempuan dengan keluhan disuria dan sering BAK Pengobatan selama 3 hari. Tak Bergeja la Tak perlu intervensi lebih lanjut Follow up selama 1-7 hari Bergej ala Urinalisis, biakan urin Keduanya negatif Bakteriuria dg atau tanpa piuria Piuria tanpa Bakteriuria Observasi pengobatan dg analgetika saluran kemih Pengobatan utk kuman klamidia Pengobatan diperpanjang. ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan. ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan. Meski tidak 138 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

139 bergejala. Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia <50 tahun harus diberikan selama 14 hari, usia >50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu. Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol mg/hari selama 14 hari. Bila inferksi terjadi pada pasien dengan kater, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih dengan amfoterisin selama 5 hari. ISK Berulang Riwayat ISK berulang Gejala ISK baru Pengobatan 3 hari Follow up selama 4-7 hari Pengobatan berhasil Pengobatan gagal Pasien dg reinfeksi berulang Infeksi Kuman resisten antimikroba Urinalisis, biakan urin Infeksi kuman peka antimikroba Calon utk terapi jangka panjang dosis rendah Terapi 3 hari utk kuman yg peka Terapi dosis tinggi selama 6 minggu Terapi jangka panjang: trimetoprim-sulfametoksazol dosis rendah ( mg) tiga kali seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi. 139 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

140 6. Komplikasi Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal 7. Prognosis Bonam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Menangani 10. Unit Yang Terkait Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi. NO BATU SALURAN KEMIH Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Batu di traktus urinarius 2. Diagnosis Anamnesis: Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga. PF: Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah. Terdapat tanda balotemen. Lab:Hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG. 3. Diagnosis Banding Nefrokalsinosis; lokasi batu: batu di ginjal, batu ureter, batu vesika, jenis batu: asam urat, kalsium, struvite. 4. Pemeriksaan Penunjang UL (Urinalisa Lengkap, kultur urin, dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium, fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid, foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu. 5. Terapi A. Non Farmakologis: Batu Kalsium: diet rendah kalsium. Batu urat: Diet rendah asam urat. Minum banyak (2,5 l/hari) bila fungsi ginjal masih baik. B. Farmakologis: Antispasmodik bila ada kolik. Antimikroba bila ada infeksi. Batu kalsium:kalium sitrat. Batu urat: Allopurinol. C. Bedah: Pielotomi. ESWL. Nefrostomi. 6. Komplikasi Kolik, obstruksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal. 7. Prognosis Bonam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 140 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

141 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah- Subbagian Bedah urologi. NO NEFRITIS LUPUS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian SLE yang disertai keterlibatan ginjal. 2. Diagnosis Memenuhi kriteria SLE menurut ACR Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasiensle terdapat proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (>8LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995) Nefritis Lupus Histopatologi Gejala Klinis Kelas I Glomeruli Normal Hanya proteinuria, kelainan sedimen Kelas II Perubahan pada mesangial Kelas III Kelas IV Kelas V urin tidak ada Kelas II a:hanya proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada. KelasII b:hematuria mikroskopik da/atau proteinuria, tanpa hipertensi tidak pernah terjadi SN atau gangguan fungsi ginjal. Glomerulonefritis Hematuria dan fokal segmental proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada sebagian pasien. Glomerulonefritis Hematuria dan difus proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada hampir seluruh pasien. Glomerulonefritis SN pada seluruh 141 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

142 membranosa difus pasien, sebagian dengan hematuria atau hipertensi namun fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun. Kelas VI Glomerulonefritis Penurunan fungsi sklerotik lanjut. ginjal yang lambat, dengan kelainan urin yang relatif normal. 3. Diagnosis Banding Glomerulonefritis oleh sebab lain. 4. Pemeriksaan Penunjang UL(Urinalisa Lengkap), protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum, profil lipid, komplemen C 3 C 4, anti ds-dna. 5. Terapi Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. A. Penatalaksanaan Umum: Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau sindrom nefrotik, rendah protein sesuai derajat penyakit. Diuretik diberikan sesuai dengan kebutuhan. Tatalaksanan hipertensi dengan baik. Pemeriksaan rutin periodik meliputi: Sedimen urin, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, albumin serum, komplemen C 3 C 4, anti ds-dna. Monitor efek samping steroid dan imunosupresan serta komplikasi selama pengobatan. Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid. Hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang akan memperberat fungsi ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom antifosfolipid. Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif. B. Penatalaksanaan Khusus: Nefritis Lupus Pengobatan Kelas I Tidak ada pengobatan khusus, terapi ditujukan untuk gejala ekstrarenal. Kelas II II a tidak memerlukan pengobatan. II b dengan protein >1 gram, titer anti ds-dna tinggi, dan C 3 rendah dapat diberikan 142 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

143 prednison 20 mg/hari selama 6 minggu- 3 bulan, kemudian dosis diturunkan secara bertahap. Kelas III dan Kelas IV Kombinasi steroid dosis rendah dan siklofosfamid Prednison 0,5 mg/kgbb/hari selama 4 minggu, lalu dosis diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan ekstrarenal; Siklofosfamid 0,5-1gram/m 2 tiap bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap 3 bulan juga 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap 3 bulan juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun). Alternatif lain: Azatioprin 2 mg/kgbb.( Relatif aman untuk perempuan hamil) dikombinasi dengan prednison. Siklosporin dikombinas dengan prednison. Dosis awal siklosporin 5 mg/kgbb/hari, lalu diturunkan menjadi 2,5 mg/kgbb/hari setelah 6 bulan. Mycophenolate moletil (MMF) dengan dosis 0,52 gram/hari, terutama bila terapi dengan siklofosfamid tidak berhasil. Terapi MMF dikombinasi dengan prednison 0,5 mg/kgbb/hari yang kemudian diturunkan dosisnya perlahanlahan. Lama terapi bisa mencapai 24 bulan. Kelas V Terapi prednison 1 mg/kgbb/hari selama Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

144 minggu respon klinis tak ada:prednison dihentikan. Terdapat respon: Prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10mg/hari. Dapat pula diberikan siklosporin. Kelas VI Terapi manifestasi ekstrarenal. Terapi suportif untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal: restriksi protein, penatalaksanaan hipertensi, pengikat fosfor oral, dan vitamin D. 6. Komplikasi Gagal ginjal 7. Prognosis Tergantung kelas nefritis lupus, Kelas I dan II prognosis baik, Kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosisnya cukup baik. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi 10. Unit Yang Terkait Unit hemodialisis, rematologi, alergi-imunologi. HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK NO LYMPHOMA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat. 2. Diagnosis 1. Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/ massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen, hidung, lambung dsb) 2. Riwayat demam-demam tanpa sebab yang jelas. 3. Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan. 4. Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai. 5. Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin. 3. Diagnosis Banding Limfoma Hodgkin Limfadenitis TB Toxoplasmosis Filariasis Tumor padat yang lain. 4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, imunoglobulin. 2. Pemeriksaan sitologi: Kelenjar/massa tumor untuk mengetahui subtype LNH 144 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

145 tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. 3. CT scan atau USG abdomen: Untuk mengetahui adanya pembesaran KGB paraaorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen. 4. Foto thoraks: Untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum. 5. Pemeriksaan THT: Untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer. 6. Gastroskopi: Untuk melihat keterlibatan lambung. 7. Bone Scan atau foto Bone Survey: Untuk melihat keterlibatan tulang. 5. Terapi 1. Derajat Keganasan Rendah. Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral. Radioterapi paliatif. 2. Derajat Keganasan Menengah. Stadium I s/d IIa: Radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi. Stadium Iib s/d IV: Kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliatif. 3. Derajat Keganasan Tinggi. Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif). Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif. 4. Reevaluasi hasil pengobatan: Setelah siklus kemoterapi keempat. Setelah selesai pengobatan lengkap. 6. Komplikasi 1. Akibat langsung penyakitnya: Penekanan terhadap organ khsususnya jalan nafas, usus dan saraf. Mudah terjadi infeksi, bisa fatal. 2. Akibat efek samping pengobatan: Aplasia sumsum tulang. Gagal jantung oleh obat golongan, antrasiklin. Neuritis oleh obat vinkristin. 7. Prognosis Tergantung derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass, keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan. 1. Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama. 2. Derajat keganasan menegah: Sebagian dapat disembuhkan. 3. Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait Departemen THT, Departemen Patologi Anatomi, Departemen Radiologi. 145 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

146 NO ANEMIA APLASTIK Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Anemia akibat aplasia dari sumsum tulang dimana jaringan hemopoiesis diganti oleh jaringan lemak. Dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Anemia aplastik berat: Selularitas sumsum tilang <25% Terdapat 2 dari 3 gejala berikut. Granulosit <500/ul Trombosit<20.000/ui Retikulosit<10%/mg 2. Anemia aplastik: Sumsum tulang hipoplastik. Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat. 2. Diagnosis 1. Anamnesis: Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi). Menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah. Gejala anemia: rasa lemas/ lemah, pucat, pusing, sesak nafas/ gagal jantung, berkunangkunang. Tanda- tanda infeksip: sering demam. Akibat trombositpenia: Perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, BAB campur darah, muntah darah). 2. Pemeriksaan Fisik: Konjuntiva pucat, takikardia, tanda perdarahan. 3. Pemeriksaan Penunjang: Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus). 4. Diagnosis pasti: Sitologi dan histopatologi sumsum tulang. 3. Diagnosis Banding Mielofibrosis. Anemia hemolitik. Anemia defisiensi. Anemia karena penyakit kronik. Anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang. Hipersplenisme. Leukemia akut. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus, aspirasi dan biopsi sumsum tulang. 5. Terapi Terapi penunjang: Transfusi komponen darah (PRC dan/tc) sesuai indikasi (pada bab transfusi darah). Menghindari dan mengatasi infeksi. Kortikosteroid: Prednison 1-2 mg/kgbb/hari. Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgbb/hari, 146 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

147 maksimal diberikan selama 3 bulan. Splenektomi, bila tidak respon dengan steroid. Bila menolak splenektomi dapat diberikan: A. Immunosupresif: a. Siklosporin 5 mg/kgbb/hari. b. ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgbb/hari intravena selama 5 hari. B. Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok. Respon terapi: Complete: Granulosit >1000/ul, trombosit > /ul, Hb N. Partial: Granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit. Minimal: Granulosit>500/ul, membutuhkan transfusi darha merah dan trombosit. Tidak respon: Anemia aplastik berat menetap. 6. Komplikasi Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia yang berat. 7. Prognosis Dubia, tergantung tingkat hipoplasinya. Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait Departemen Patologi Anatomi. NO LEUKEMIA AKUT Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel blas dan atau satu tingkat diatasnya.) Dibagi 2 yaitu: 1. Leukemia mielositik akut. 2. Leukemia limfositik akut. 2. Diagnosis Anamnesis: Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/ gagal jantung, berkunang-kunang. Tanda-tanda infeksi: sering demam. Akibat trombositopenia: Perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit, hematuria, BAB campur darah, muntah darah). Pemeriksaan fisik: Pucat, demam, pembesaran KGB superfisial, organomegali, petekie/purpura/ekimosis. Pemeriksaan Penunjang: Aspirasi sumsum tulang: Hitung jenis sel blas dan/atau progranulosit >30% 3. Diagnosis Banding MDS (Sindrom mielodisplasia), reaksi leukemoid, leukemia 147 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

148 kronis. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: darah perifer lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (Hepatitis, HSV, EBV, CMV). Sitologi Aspirasi Sumsum tulang, sitogenetik. 5. Terapi Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun: 1. Persiapan pengobatan sitoreduksi Central Venous line. 148 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Anti Emetik. Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup >2000 ml/24 jam, alkalinisasi urin dengan bicnat oral 4 x mg/hari (target ph urin>7). Tunda haid (lynestrenol). Antibiotika dekontaminasi parsial. Profilaksis streptokokus (Benzylpenicilline 4 x 1 g). Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg peroral. Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B ug/minggu. Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > /uL dikombinasi metilprednisolon 5 mg/kg/hari. 2. Pemeriksaan rutin: Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat). Elektrolit (Na, K, Ca). Hemostasis lengkap. Fungsi ginjal (Ureum, kreatinin). Keasaman urin. Fungsi hati (Bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP). Gula darah. Serologi virus. Surveillance bakteriologi. Foto dada. Pungsi lumbal diagnostik jangkitan otak. 3. Kuratif: Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dari yang ringan hingga yang agresif dengan membutuhkan rescue sel induk darah pasien dari darah perifer untuk penyelamatan pada ablasi sumsum tulang. Transplantasi sel induk darah alogenik atau autogenik dari darah perifer, sumsum tulang, atau tali pusar. 4. Paliatif 5. Respon Terapi: 6. Complete: Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit <5% pada sitologi aspirat sumsum tulang. Pada darah tepi tidak ditemukan blas, leukosit>3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit > /ul 7. Partial:

149 Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang. Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas. 8. Tidak Respon: Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit >10% pada sitologi aspirat sumsum tulang. 6. Komplikasi Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia, dan perdarahan trombopenia/ KID. 7. Prognosis Malam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait NO SINDROM LISIS TUMOR Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat, dan hipokalsemia yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat. 2. Diagnosis Anamnesis: Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (Limfoma Burkitt, leukemia limfoblastik akut, dan limfoma derajat tinggi lainnya). Pemeriksaan Fisik: Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi ( misalnya: pernafasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia). Laboratorium: Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah,penurunan kalsium darah, analisa gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa menunjukkan ph urin<7 dan/terdapat kristal asam urat. 3. Diagnosis Banding Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisa. 5. Terapi 1. Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting. 2. Hidrasi adekuat 3000 ml/m 2 perhari. 3. Mempertahankan ph urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat. 4. Allopurinol 300 mg/m 2 per hari. 5. Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD, dan asam urat. 6. Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K>6 meq/l, asam urat >10mg/dl, kreatinin >10 mg/dl, F>10 mg/dl, atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka 149 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

150 dilanjutkan hemodialisa. 6. Komplikasi Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak. 7. Prognosis Malam 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait NO IDIOPATIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian 2. Diagnosis Untuk menyingkirkan kemungkinan ITP sekunder: 1. Anamnesis: Riwayat obat-obatan (Heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/ kuinin, aspirin) dan bahan kimia. Gejala sistemik: pusing, demam BB. Gejala penyakit autoimun:artralgia, rash kulit, rambut rontok, riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), risiko infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada keluarga( Trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan autoimun). Penyakit, penyerta yang dapat, risiko perdarahan (kel. Gastrointestinal, kel. Sistem saraf pusat, dan kel. Urologi). Kebiasaan/hobi: Aktivitas yang traumatik. 2. Pemeriksaan Fisik: Perdarahan (Lokasi dan beratnya). Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau stigmata penyakit hati kronik. Tanda infeksi (Bakteremia/ infeksi HIV). Tanda Penyakit Autoimun (Artritis, Goiter, Nefritis, Vaskulitis). 3. Pemeriksaan Penunjang: Darah tepi: Hitung trombosit < /uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih besar. Laboratorium kimia rutin dan enzim hati. Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, Rubella). Pemeriksaan ACA, Coomb s test, C, C4, A A, anti dsdna. Pemeriksaan imunoelektroforesis protein. Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan yang memanjang. 150 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

151 Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: Megakariosit /. Pemeriksaan autoantibodi trombosit. 3. Diagnosis Banding Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat. Gangguan distribusi trombosit (Hipersplenisme, hipotermia). Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll.) Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada tabung darah. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Coomb s test, C3, C4, ANA, anti ds-dna, serologi virus, anti HIV, antibodi, trombosit, Sitologi: Aspirasi sumsum tulang. 5. Terapi A. ITP akut: (Anak-anak, Self Limiting). 1. Trombosit > /ul, asimtomatik/ purpura minimal tidak diterapi rutin. 2. Trombosit > dengan perdarahan bermakna atau <10.000/ul dengan purpura minimal Steroid (~ Prednison 1-2 mg/kgbb/hari). 3. Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IV Ig 1 g/kg 1hari. 4. Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~Prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi trombosit. B. ITP kronik: (Dewasa) 1. Membatasi aktivitas yang berisiko trauma. 2. Menghindari obat-obat yang menggangu fungsi trombosit. 3. Transfusi PRC sesuai kebutuhan. 4. Transfusi trombosit bila: Perdarahan masif. Adanya ancaman perdarahan otak/ssp. Persiapan untuk operasi besar. 5. Perawatan RS untuk pasien dengan: Perdarahan berat yang mengancam jiwa. Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna. Trombosit >50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal tidak diterapi. Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, /ul dengan perdarahan yang bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi: Steroid (~Prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6 bulan, Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak respon. 151 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

152 6. Splenektomi: Indikasi: Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi. Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi. Adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid. 7. Pilihan terapi yang lain: Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin). Preparat androgen (Danazol). Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat. Hormonal anovulatoir. 6. Komplikasi Infeksi, ITP berat, DM Induced Steroid, hipertensi immunocompromised. 7. Prognosis ITP akut: Bonam. ITP kronik: Dubia ad Malam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait N O DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Pemberkuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah. 2. Diagnosis Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis). Pasien dengan risiko tinggi yaitu apabila: 1. Riwayat trombosis, stroke. 2. Paska tindakan bedah terutama bedah ortopedi. 3. Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat. 4. Luka bakar. 5. Gagal jantung akut atau kronik. 6. Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi. 7. Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok. 8. Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen. 9. Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis. Anamnesis: 1. Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena. Pemeriksaan Fisik: 1. Edema, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba, homan s sign (+). 2. Berdasarkan data tersebut diatas sering ditemukan negatif palsu. 3. Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi. Pemeriksaan Penunjang: 1. Kadar antitrombin III(AT III) menurun (N:85-125%). 152 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

153 2. Kadar Fibrinogen Degradation Product (FDP) meningkat. 3. Titer D dimer meningkat. Diagram pendekatan diagnosis DVT Tersangka DVT DVT Ultrasono grafi Ada 3 pilihan Pertimban gan klinis Rendah Sedang/tin ggi 1 Minggu Ultrasonog rafi (+) (-) (+) D-dimer (-) DVT dapat disingkirk an Obati DVT dapat disingkirk an 1 minggu Ultrasonogr afi DVT dapat disingkirk an 3. Diagnosis Banding Sindrom paska flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, Gout, dermatitis kontak, eritema nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis. 153 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

154 4. Pemeriksaa n Penunjang Radiologi: Venographi/ flebografi, USG vena-b mode atau Colour Doppler. Laboratorium: Kadar AT III, prot C, prot. S, Antibody, Antikardiolipin, profil lipid, agregrasi trombosit. 5. Terapi A. Non Farmakologis: 1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena. 2. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler. 3. Latihan lingkup gerak sendi (Range of Motion/ ROM) seperti gerakan fleksi-ekstensi, menggengam dll, tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di vena2 yang masih terbuka (patent). 4. Pemakaian kaus kaki elastik (Elastic Stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena. B. Farmakologis: 1. Antikoagulan: Heparin (Unfractionated). Bolus IV 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000 IU/jam. Target ApTT 1,5-2,5 x kontrol, bila. ApTT < 1,5x kontrol, dosis IU/jam. ApTT 1,5-2x kontrol, dosis tetap. ApTT 2,5x kontrol, dosis IU/jam. Hari I ApTT diperiksa tiap 6 jam. Hari II ApTT diperiksa tiap 12 jam. Hari III ApTT diperiksa tiap 24 jam. LMWH (Low Molecular Weight Heparin). Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam. Enoxaparin 1mg/kg/12 jam. Tidak perlu pemantauan. Warfarin Dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin. Dosis hari I 6-10 mg malam hari, Hari II diturunkan INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3. Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya. Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor risiko. Bila tidak ada faktor risiko, dapat distop dalam 3-6 bulan. Bila ada faktor risiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup. Cara Penyesuaian dosis INR: 1. INR 1,1-1,4. Hari I Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Naikan 10-20% dari total dosis mingguan. Kembali 1 minggu. 2. INR 1,5-1,9. Hari I Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Kembali 2 minggu. 3. INR 2,0-3,0. Tidak ada perubahan. Kembali 1 minggu. 4. INR 3,1-3,9. Hari I Kurangi 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Kurangi 5-15% dari total dosis mingguan. Kembali 2 minggu. 5. INR 4,0-5,0 154 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

155 Hari I Tidak dapat obat. Mingguan Kurangi 10-20% dari total dosis mingguan. Kembali 1 minggu. 6. INR > 5,0 Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0 Mulai dengan dosis kurang 20-50%. Kembali Tiap hari. 2. Trombolisis (Streptokinase, tpa): Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus (Trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut). Tidak dianjurkan untuk thrombus yang berusia lebih dari 4 minggu. 3. Antiagregrasi trombosit (Aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon): Bukan merupakan terapi utama. Pemakaian dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau warfarin. 6. Komplikasi Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregrasi trombosit, trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien yang mendapat heparin >6 bulan dengan dosis U/hari. 7. Prognosis Tergantung penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik Menangani 10. Unit Yang Terkait Departemen Radiologi, Departemen Bedah-Bedah Vaskuler. NO KOAGULASI INTRAVASKULAR DISSEMINATA (KID/ DIC) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi bersamaan. 2. Diagnosis Klinis: Dapat ditemukan gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria dll. Adanya tanda-tanda perdarahan (Petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena, hematuria, epistaksis, dll). Trombosis gagal organ (Paru, ginjal,hati, dll). Merupakan akibat dari kausa primer yang lain: Bidang Obstetri (Emboli cairan amnion, IUFD, Abortus Septik). Bidang Hematologi (Reaksi Transfusi, Hemolisis berat, Leukemia). Infeksi (Septisemia, gram (-), gram (+); virus HIV, hepatitis, dengue; parasit malaria). Trauma, penyakit hati akut, luka bakar. Pemeriksaan penunjang: Darah tepi:trombositopenia atau normal, burr cell (+) Pemeriksaan hemostasis pada KID. 155 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

156 Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensasi Dekompensasi Trombosit N N PTT N / PT N / Fibrinogen N / d-dimer +/ +/ ++/ 3. Diagnosis Banding Fibrinolosis primer, penyakit hati berat, pseudo KID. 4. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: DPL, hemostasis lengkap (PT, APTT, fibrinogen, d- dimer). 5. Terapi A. Suportif: Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik. Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah. Membebaskan jalan nafas. Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa. Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit. B. Mengobati Penyakit Primer: C. Menghambat Proses Patologis: Antikoagulan Heparin IV bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi APTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat. Bila pada Jam Kedua: APTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U. APTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap. APTT > 2,5 x kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila: APTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U. APTT> 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500 U> Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, Kriopresipitat). 6. Komplikasi Gagal organ, syok/ hipoperfusi, DVT, KID fulminan. 7. Prognosis Malam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 10. Unit Yang Terkait 156 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

157 NO AFERESIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Prosedur pemisahan komponen darah seseorang secara langsung dengan menggunakan mesin pemisah komponen darah. 2. Tujuan Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (Cytapheresis) atau plasma (plasmapheresis/ plasma exchange). 3. Indikasi A. Terapeutik: 1. Sitoferesis. 2. Eritroferesis: Sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia. 3. Tromboferesis: Trombositema simtomatik. 4. Leukoferesis: Leukemia dengan hiperkleukositosis, arthritis rheumatoid ( Dalam keadaan tertentu). 5. Plasmafaresis: Kelainan paraprotein (Sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold agglutinin), Kelainan akibat metabolik toksik (Penyakit Refsum, penyakit Fabry, hiperkolesterolemia familial), Kelainan imunologis (Sindrom goodpasture, miastenia gravis, sindrom eaton-lambert, sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, inhibitor faktor koagulasi), Vaskulitides (SLE, glomerulonefritis mesangiokapiler, granulomatosis wagener), Defisiensi faktor plasma (TTP), keracunan obat atau bahan racun lainnya. B. Donor: 1. Untuk memenuhi kebutuhan komponen darah pasien: 2. Tromboferesis. 3. Plasmaferesis. 4. Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT. 4. Kontra Indikasi 1. Aferesis terapeutik : Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik, 2. Aferesis Donor: Kadar trombosit/ leukosit/ albumin/ hemoglobin/ hematokrit di bawah normal. Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+). Mengandung HbsAg/ anti HCV/ HIV/ VDRL dan Malaria. Berat badan kurang, usia tua, anak-anak. Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya. 5. Persiapan A. Bahan dan Alat: 1. Mesin aferesis. 157 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

158 2. Sel Aferesis disposable, set trombofaresis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis. 3. Antikoagulan ACD-A. 4. Akses intravena. 5. AV fistula. 6. Heparin injeksi. 7. Infus Salin(NaCl) 0,9%. 8. Albumin (Untuk plasmaferesis). 9. Obat-obat darurat: Injeksi Ca glukonas, inj adrenalin, inj. Kortikosteroid, inj. Antihistamin, infuse salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi, dan obat darurat untuk resusitasi. B. Pasien: 1. Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani. 2. Pemeriksaan: Fisik: Hemodinamik, berat badan, tinggi badan. Laboratorium: Gol. Darah ABO-Rh, crossmatching, DPL, HbsAg, anti HCV. 3. Informed Consent: Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya. 6. Prosedur Tindakan 1. Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroperasi, 2. Memasang set aferesis disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infus NaCl 0,9%, antikoagulan ACD-A, 3. Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda) atau satu lengan, 4. Mengisi data donor pada komputer mesin, 5. Menghubungkan mesin set dan sel aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur. 6. Prosedur donor trombosit dan plasma berlangsung 100 menit, 7. Sedangkan prosedur donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam. 8. Bila prosedur selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set aferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan ke pasien atau bila disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari. 9. Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengawasi keluhan, dan bila perlu menilai hemodinamik. 10. Untuk aferesis terapeutik, prosedurnya sama dengan aferesis donor, namun khusus untuk plasmaferesis, awasi kemungkinan syok hipovolemik, dan tidak lupa memberikan infus albumin, saat pertengahan prosedur serta awasi 1-2 jam setelah prosedur untuk mencegah kemungkinan syok. 7. Lama Tindakan 8. Komplikasi Hipokalsemia (Kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap), gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran. 9. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit 158 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

159 Dalam 10. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik 11. Unit Yang Terkait Bank darah. PSIKOSOMATIK NO DEPRESI Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih) 2. Diagnosis A. Gejala utama: Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup. Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan. Mudah lelah. B. Gejala lain: Konsentrasi dan perhatian kurang. Harga diri dan kepercayaan diri kurang. Perasaan bersalah/ tidak berguna. Pandangan masa depan suram/ pesimis. Tidur terganggu. Nafsu makan kurang/ bertambah. C. Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tesebut dengan ataupun tanpa gejala somatik. D. Derajat Depresi: 1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B. 2. Sedang: 2 gejala A dan 3 gejala B. 3. Berat: 3 gejala A dan 4 gejala B. 3. Diagnosis Banding Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi). 4. Pemeriksaan Penunjang Hb,Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3,T4, TSH, sesuai indikasi. Foto toraks. Elektrokardiogram,elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu. Endoskopi, kolonoskopi, ultrasonografi. Semua pemeriksaan diatas dilakukan bila perlu, sesuai indikasi/ sesuai keluhan pasien. 5. Terapi A. Non Farmakologis : Edukasi, reassurance, psikoterapi. B. Farmakologis : a. Antidepresan: Maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SSRI seperti Sertralin, paroksetin, dan lain-lain. b. Simtomatik, sesuai indikasi. 6. Komplikasi Kurang/ tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari 159 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

160 (bekerja), bunuh diri. 7. Prognosis Bonam. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Psikosomatik 10. Unit Yang Terkait NO ANSIETAS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Fenomena psikologis yang kompleks. 2. Diagnosis A. Perasaan cemas yang berlebihan, subyektif, dan tidak realistis. B. Tedapat keluhan dan gejala-gejala: Ketegangan motorik:kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian dan lain-lain. Hiperreaktif autonom: Sesak napas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules, diare, dan lain-lain. Bila ditemukan adanya kelainan organik pada umumnya keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang ditemukan. Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang: Mudah terkejut, cepat tersinggung, sulit konsentrasik suka tidur, dan lain-lain. C. Aktivitas sehari-hari terganggu: kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu, kurang merawat diri, dan lain-lain. D. Ada 5 varian Ansietas: Gangguan cemas menyeluruh (GAD), Gangguan panik, Obsesifkompulsif, Fobia, dan Gangguan stress pasca trauma. E. Gangguan cemas menyeluruh ditandai oleh? 3. Diagnosis Banding Gangguan campuran ansietas dan depresi? Depresi. Gangguan somatisasi. Kelainan organik yang ditemukan (koinsidensi). 4. Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. Analisis Gas Darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH. Foto toraks, Elektrokardiogram, elektromiogram, elektroensefalogram, Endoskopi, kolonoskopi, ultrasonografi. Semua pemeriksaan diatas dilakukan bila perlu, sesuai indikasi/ sesuai keluhan pasien. 5. Terapi 1. Non Farmakologis : Edukasi, reassurance, psikoterapi. 2. Farmakologis : a. Benzodiazepin: Diazepam; Alprazolam; 160 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

161 Clobazam; b. Non Benzodiazepin: Buspiron. c. Penyekat Beta (Beta Blocker):Bila gejala hiperaktivitas autonom menonjol. d. Simtomatik: sesuai indikasi. 6. Komplikasi Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja). 7. Prognosis Tergantung jenis kelainan/glomerular. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Subbagian Psikosomatik 10. Unit Yang Terkait Departemen Neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa. PULMONOLOGI NO HEMOPTISIS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Ekspektorasi darah dari saluran pernafasan. Darah bervariasi dari dahak disertai bercak/lapisan darah s/d batuk berisi darah saja. Batuk darah masih = batuk darah > 100 ml s/d >600 ml darah dalam 24 jam. 2. Diagnosis A. Anamnesis: 1. Batuk, darah berwarna merah segar, bercampur busa, 2. Batuk sebelumnya, dahak (jumlah, bau, penampilan), demam, sesak, nyeri dada, riwayat penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia. 3. Penyakit komorbid, riwayat penyakit sebelumnya. 4. Kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulen/ obat yang dapat menginduksi trombositopenia. 5. Kebiasaan: Merokok. B. Pemeriksaan Fisik: 1. Orofaring, nasofaring: Tidak ada sumber perdarahan, 2. Paru: Ronkhi basah, atau kering, pleural friction rub, 3. Jantung: Tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung. C. Pemeriksaan Penunjang: 1. Foto Thoraks : Menentukan lesi paru (fokal/difus), kardiak, 2. Laboratorium: DPL, LED, Ureum, Creatinin, Urine Lengkap. Hemostasis (aptt): Bila perlu. 161 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

162 Sputum: Pemeriksaan BTA langsung dan kultur pewarnaan Gram, kultur MOR, 3. Bronkoskopi: Menentukanlokasi sumber perdarahan dan diagnosis. 4. CT Scan Thoraks: Menemukan bronkiektasis, malformasi AV, 5. Angiografi: Menemukan emboli paru, malformasi AV. 3. Diagnosis Banding A. Sumber Trakeobronkial: Neoplasma (Karsinoma bronkogenik, tumor metastasis endobronkial, dll). Bronkitis (Akut dan Kronik). Bronkiektasis. Bronkiolitiasis. Trauma. Benda Asing. B. Sumber Parenkim Paru: Tuberkulosis Paru. Pneumonia. Abses Paru. Mycetoma (Fungus Ball). Sindrom Goodpasture. Granulomatosis Wegener. Pneumonitis lupus. C. Sumber Vaskular: Peningkatan tekanan vena pulmonal (MS). Emboli Paru. Malformasi AV. Hematemesis. Perdarahan nasofaring. Koagulopati,pengobatan trombolitik/antikoagulan. 4. Pemeriksaan Penunjang A. Foto Thoraks B. Laboratorium: DPL, LED, ureum, creatinin, urine lengkap. Hemostasis: Bila perlu. Sputum: Pemeriksaan BTA, pewarnaan Gram, Kultur MOR. C. Bronkoskopi: Bila perlu. D. CT Scan Thoraks: Bila Perlu. 5. Terapi A. Hemoptisis Masif: Tujuan terapi: Mempertahankan jalan napas, proteksi paru yang sehat, menghentikan perdarahan. 1. Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit. 2. Oksigen. 3. Infus, bila perlu transfusi darah. 4. Medikamentosa: Antibiotika. Kodein tablet untuk supresi batuk. Koreksi koagulopati: Vitamin K IV. 5. Bronkoskopi: 162 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

163 Diagnostik dan terapeutik topikal (bilas air es, instilasi epinefrin), 6. Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah. (bila perlu). 7. Indikasi Operasi pada pasien batuk darah masif: Batuk darah 600 cc/24 jam. Pada Observasi tidak berhenti. Batuk darah cc/24jam. Hb < 10 g/dl Pada Observasi tidak berhenti. Batuk darah cc/24 jam. Hb> 10 g/dl, Pada Observasi 48 jam tidak berhenti. B. Hemoptisis Non-Masif: Tujuan: Mengendalikan penyakit dasar. Terapi konservatif sesuai penyakit dasar. 6. Komplikasi Asfiksia, Atelektasis, Anemia. 7. Prognosis Tergantung pada penyebabnya. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah Subbagian Bedah Thoraks. Departemen Radiologi- Subbagian Radiodiagnostik. Referensi: 1. Uyainah A. Hemoptisis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Approach to the Patient. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: Weinberger SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15 th ed. New York: McGraw- Hill, 2001: NO EFUSI PLEURA Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Adanya cairan di rongga pleura > 15 ml, akibat: Ketidakseimbangan gaya Starling. Abnormalitas struktur endotel & mesotel, Drainase limfatik terganggu, Abnormalitas site of entry (Defek diafragma). Tipe Efusi Pleura: 1. Efusi transudatif: Cairan pleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena perubahan 163 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

164 2. Diagnosis A. Keluhan: Nyeri. Sesak. Demam. B. Pemeriksaan Fisik: 164 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab: Gagal jantung kongestif, Sindrom Nefrotik, Sirosis Hati, Sindrom Meigs, Hidronefrosis, Dialisis peritoneal, Efusi pleura maligna/ paramaligna: Karena atelektasis pada obstruksi bronkial, atau stadium awal obstruksi limfatik. 2. Efusi Eksudatif: Cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat). Efusi eksudatif terjadi karena perubahan faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab: Tuberkulosis. Efusi parapneumonia: Efusi pada pneumonia. Keganasan: Metastasis (Karsinoma paru, kanker mammae, limfoma, ovarium, dll), Mesothelioma. Emboli paru. Penyakit abdomen: Penyakit pankreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika. Penyakit kolagen (SLE,dll). Trauma. Chylothorax Uremia. Radiasi. Sindrom Dressler. Pasca CABG. Penyakit pleura diinduksi obat: Amiodarone, bromocriptine, Penyakit perikardium. 3. Chylothoraks: Timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chylus di rongga pleura. Disebabkan trauma, atau tumor mediastinum. 4. Hemothoraks: Cairan pleura mengandung darah, dan Ht cairan pleura > 50% Ht darah tepi. Disebabkan trauma atau ruptur pembuluh darah atau tumor. 5. Efusi Pleura Maligna: Bila ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan pleura saat biopsi pleura. 6. Efusi Pleura Para Maligna: Efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan pleura atau jaringan pleura. Efusi paramaligna. Dapat berupa cairan transudat.

165 165 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada. Bila > 300ml cairan: Bagian bawah/ daerah cairan: Perkusi :Redup. Fremitus taktil &fokal: Menghilang. Suara nafas :Melemah s/d menghilang. Fremitus (saat awal). Trakea :Terdorong ke kontralateral. Di atas dari cairan: Penekanan paru/ konsolidasi. C. Foto Thoraks: PA: Sudut kostofrenikus tumpul (bila>500 ml cairan). Lateral : Sudut kostofrenikus tumpul (>200ml cairan). PA/ Lateral: Gambaran perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah, biasanya relatif radioopak, permukaan atas cekung. D. USG: Menentukan adanya & lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi terlokulasi (terutama bila ketebalan efusi <10mm atau terlokulasi). E. CT Scan (Bila perlu) : Menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional, memperlihatkan parenkim paru, identifikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan asbestos, membedakan abses paru perifer dengan empyema terlokulasi. F. Pungsi Pleura(Thoracentesis) & Analisa cairan pleura: Melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan komposisi ciaran pleura dengan darah, dinilai secara: 1. Makroskopis: Transudat: Jernih, sedikit kekuningan. Eksudat: Warna lebih gelap, keruh, Empyema: Opak, kental, Efusi kaya kolesterol: Berkilau seperti satin. Efusi Chylous: Seperti susu. 2. Mikroskopis: Sel Leukosit <1000/mm 3 :Transudat. Sel Leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: Neoplasma, limfoma TBC. Sel Leukosit predominasi PMN: Pneumonia; Pankreatitis. G. Kimiawi: Protein. LDH. Cairan disebut Eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria: Rasio kadar protein total di cairan pleura : di serum >0,5. Radio kadar LDH di cairan pleura: di serum >0,6.

166 166 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004 Kadar LDH > 200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum. Jika Efusi pleura Eksudat, selanjutnya diperiksakan: Kadar glukosa. Kadar Amilase. ph. Hitung Jenis. Kadar lipid: Trigliserida. Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi. Amylase. Tes bakteriologi: Pewarnaan gram, kultur MOR, pemeriksaan BTA langsung, dan kultur BTA. Sitologi. 3. Diagnosis Banding Transudat, eksudat, chylothoraks, empiema (lihat di atas). 4. Pemeriksaan Penunjang Foto Thoraks PA, lateral dan lateral dekubitus, Analisa cairan pleura. Pemeriksaan cairan pleura: BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme+ Resistensi. Sitologi cairan pleura (Dengan atau tanpa cytospin). USG thoraks. CT Scan. 5. Terapi 1. Efusi karena gagal Jantung: Diuretik. Thoracocentesis diagnostik bila: Efusi menetap dengan terapi diuretik. Efusi unilateral. Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna. Efusi + febris. Efusi + Nyeri dada pleuritik. 2. Efusi Parapneumonia/Empiema: Thoracocentesis + Antibiotika ± Drainase (Lihat lampiran algoritme). 3. Efusi Pleura karena pleuritis TB: Obat anti TB (minimal 9 bulan) (+) Kortikosteroid dosis 0,75 1 mg/kgbb/hari selama 2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap. (+) Thoracocentesis terapeutik, bila sesak atau efusi tinggi dari sela iga III. 4. Efusi pleura keganasan: Drainase dengan chest tube + pleurodesis kimiawi, kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah: Terjadi rekurens yang cepat. Angka harapan hidup: Minimal beberapa bulan. Pasien tidak debilitasi. Cairan pleura dengan ph > 7,30. Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt. Terapi kanker paru (lihat SOP kanker paru).

167 Kemoterapi Sistemik pada limfoma, kanker Mammae dan karsinoma paru small cell. Radioterapi pada limfoma dan chylotorax limfomatous dengan keterlibatan KGb mediastinum. Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: thoracocentesis terapeutik periodik. 5. Chylothoraks: Chest tube/ thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt. 6. Hemothoraks: Chest tube/ thoracostomy, Bila Perdarahan > 200 ml/jam, pertimbangkan thoracotomy. 7. Efusi karena Penyebab lain: Atasi Penyakit primer. 6. Komplikasi Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal nafas. 7. Prognosis Dubia: Tergantung penyebab, dan penyakit komorbid. Prognosis buruk pada efusi pleura maligna. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. 10. Unit Yang Terkait Departemen Bedah- Subbagian Bedah Toraks. Departemen Radiologi- Subbagian Radiodiagnostik. Dep Referensi: 1. Uyainah A. Efusi Pleura. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3 rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15 th ed. New York: McGraw- Hill, 2001: Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

168 Algoritme Penatalaksanaan Efusi Parapneumonia Tersangka efusi Parapneumonia atau Empiema. Thoracosentesis +Antibiotik. Cairan Purulen Sedikit CT Dada Observasi atau lokulasi thoracocentesis dalam jam ph sama/ LDH sama/ Tidak Simple Parapneumonic Effusion (ph >7, glukosa 60; Empiema LDH <200 atau radio LDH < 0,6 ph LDH Ulangi foto thoraks tipis Banyak Chest tube Peel Tebal Multilokulasi Observasi atau Chest Tube CT Dada Chest Tube Ya Complicated Parapneumonic Effusion (ph <7, glukosa < 40; Empiema LDH >1000 Chest Tube/ CT Dada Drainase komplit/ Foto thoraks perbaikan Observasi Tidak Perbaikan Akumulasi Tinggi US/ CT Guided Chest Tube Tidak Perbaikan VATS Inkomplit Fibrinolitik Perbaikan Observasi Thorakoto mi Fibrinopur ulen Perbaikan VATS dan Observasi Multilokulasi Stadium organisasi perburukan Thorakotomi dan Chest Tube 168 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

169 NO PNEUMOTHORAKS Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumothoraks spontan : Terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: Pneumothoraks spontan primer: Pada orang sehat. Faktor risiko : Merokok. Penyebab: Umumnya Ruptur bleb subpleural atau bullae. Pneumothoraks spontan sekunder: Pada penderita PPOK, TB paru, Asma, Cystic Fibrosis, Pneumonia Pneumocytstis carini, dll. Pneumothoraks Traumatik: Didahului Trauma, termasuk: Biopsi trans thorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, thoracocentesis, biopsi trans bronchial, dll. Menurut jenis fistulanya, dibagi atas: 1. Pneumothoraks Ventil. 2. Pneumothoraks terbuka. 3. Pneumothoraks tertutup. 2. Diagnosis Gejala: Nyeri Dada, Akut, Terlokalisir. Dyspnea ( Pada P.Ventil: Tiba-tiba makin hebat). Batuk. Hemoptysis. PF: Takipneu Sisi Terkena (Ipsilateral): Statis lebih menonjol, Dinamis: Pergerakan berkurang/ tertinggal, Fremitus: Menghilang, Perkusi: Hipersonor, Auskultasi: Suara nafas melemah-menghilang. Tanda Pneumothoraks Tension: KU sakit berat, Denyut jantung >140 x/m, Hipotensi, Takipneu, pernafasan berat, Sianosis, Diaphoresis, Deviasi trakea ke sisi kontralateral, Distensi Vena leher; Foto Thoraks: Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen, PA tegak pneumothoraks kecil: Tampak ruangan antara paru, dan dinding dada pada apex. Bila perlu foto saat ekspirasi: Mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage, 169 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

170 CT Scan:Membedakan pneumothoraks terlokulasi dari kista atau bullae. AGD:Hipoxemia, mungkin disertai hipokarbia (Karena hiperventilasi) atau hiperkarbia. 3. Diagnosis Banding Penyakit Tromboemboli paru. Pneumonia. Infark Miokardium. PPOK Eksaserbasi akut. Efusi Pleura. Kanker Paru. 4. Pemeriksaan Penunjang Foto Thoraks. CT Scan Thoraks. Analisa Gas Darah (AGD): Bila Diperlukan 5. Terapi A. Pneumothoraks unilateral kecil (<20%) dan asimptomatik. Observasi, foto thoraks serial. B. Aspirasi: Anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16 F atau 18 F, s/d tidak ada gas lagi keluar. C. Jika Tidak Resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: D. Konsul Bagian Bedah/ Subbagian bedah Thoraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapat disertai suction 24 jam pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumothoraks lagi: tube dapat dicabut oleh TS bagian Bedah. E. Jika Pneumothoraks Rekuren F. Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau: G. Konsul Bagian Bedah/ Subbagian Bedah Thoraks untuk pertimbangan: Pleurodesis mekanik (Abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal), atau Thorakoskopi, atau Open Thoracotomy. Indikasi Absolut: Kebocoran udara memanjang. Reekspansi paru tidak sempurna. Bullae besar. Risiko pekerjaan. Indikasi Relatif: Pneumothoraks tension. Hemopneumothoraks. Bilateral Pneumothoraks. Rekurens Ipsilateral/ kontralateral. 6. Komplikasi Gagal nafas, pneumothoraks tension, hemopneumothoraks, infeksi/ pyopneumothoraks, penebalan pleura, atelektasis, pneumothoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema paru reekspansi. 7. Prognosis Dubia: Tergantung tipe, penyakit dasar, faktor pemberat/ 170 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

171 komorbid. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. 10. Unit Yang Terkait Subbagian Bedah Thoraks, Bagian Bedah RSCM. Subbagian Radiodiagnostik, Bagian Radiologi RSCM Referensi: 1. Bahar A. Pneumothoraks. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3 rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine 15 th ed. New York: McGraw- Hill, 2001: NO PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT (Community-Acquired Pneumonia = CAP) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal. 1. Pengertian Pneumonia Inflamasi parenkim paru yang disebabkan mikroorganisme selain Mycobacterium Tuberculosis. CAP Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit. Infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi thorak atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (Perubahan suara nafas dan atau ronkhi setempat). Pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000) Etiologi Penyebab: Lihat tabel 1 2. Diagnosis Rencana diagnostik bertujuan: 1. Diagnostik adanya CAP: Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah. Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: Demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (Pada penderita usia lanjut: Gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll). 171 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

172 2. Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau Pneumonia Severity of Illness Index (PSI): Berdasarkan proses dua langkah yang mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi lima kelas resiko mortalitas dan outcome (Lihat tabel 2,3,4, dan gambar 1). 3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (Lihat Tabel 4): Pewarnaan Gram sputum, Kultur sputum, Kultur darah, Pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), dan tes invasif (thorakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transthorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi): Bila diperlukan. 3. Diagnosis Banding Tuberkulosis paru. Jamur. 4. Pemeriksaan Penunjang Foto Thoraks, Pulse Oxymetry, Laboratorium Rutin: DPL, hitnung jenis, LED, Glukosa Darah, Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT. Analisa Gas Darah, elektrolit. Pewarnaan Gram Sputum, Kultur Sputum, Kultur Darah, Pemeriksaan Serologis, Pemeriksaan Antigen, Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), Tes Invasif (Thorakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transthorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi). 5. Terapi Tatalaksana Umum: Rawat Jalan: Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan. Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/mukolitik, Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan, Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan, Bila tidak membaik dalam 48 jam: Dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto thoraks, Keputusan Merawat Pasien di RS ditentukan Oleh: Derajat berat CAP (lihat diatas), Penyakit terkait; Faktor prognostik lain, 172 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

173 Kondisi dan dukungan orang di rumah, Kepatuhan, keinginan pasien. Rawat Inap di RS: Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya: Mempertahankan PaO 2 kpa dan SaO 2 92%. Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal nafas dituntun dengan pengukuran analisa gas darah berkala, Cairan: Bila perlu dengan cairan intravena, Nutrisi, Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/mukolitik, Foto Thoraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan. Rawat di ICU: Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial. Terapi Antibiotika: Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin berdasarkan perkiraan etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu, sesuai pedoman terapi empirik inisial ATS 2001 (Lihat tabel 1,5 dan gambar 2). Syarat untuk alih Terapi (ATS 2001): Berkurangnya keluhan batuk dan sesak nafas. Suhu afebris (<100F) pada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya. Leukosit berkurang/ menjadi normal. Saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat. Syarat Pemulangan dapat merujuk pada kriteria Weingarten atau Ramirez (lihat tabel 6) 6. Komplikasi CAP berat: Bila memenuhi satu kriteria mayor (dari 2 kriteria modifikasi) atau dua kriteria minor ( dari 3 kriteria minor modifikasi). Kriteria Minor yang dikaji saat masuk RS: 1. Gagal nafas berat (PaO 2 /FIO 2 <250), 2. Foto Thoraks : Pneumonia multilobaris, 3. TD sistolik 90 mmhg, Kriteria Mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit: 1. Perlunya ventilator mekanis, 2. Syok sepsis. Gagal Nafas. Sepsis, syok sepsis. Gagal ginjal akut. Efusi parapneumonik. Bronkiektasis. 7. Prognosis Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, 173 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

174 status imunologis, dll. 8. Wewenang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam 9. Unit Yang Menangani Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. 10. Unit Yang Terkait Subbag Tropik dan Penyakit Infeksi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam. Subbag Radiodiagnostik, Departemen Radiologi. Departemen Patologi Klinik. Departemen Mikrobiologi. Departemen Parasitologi. Departemen Anestesi/ ICU. Referensi: 1. American Thoracic Society. Guidlines for the Management of Adults with Community- Acquired Pneumonia: Diagnosis, Assesment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med, 2001;163: British Thoracic Society Standards of Care Comittee. British Thoracic Society Guidelines for The Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001;56 (suppl IV): Avaible at URL: 3. Rhaw DC, Weingarten SR. Achieving A Safe and Early Discharge for patients With Community-Acquired Pneumonia. Medical Clinic of North America, November 2001;85(6): Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Guidelines from the Infectious Diesease Society of America: Practice Guidlines for the Management of Community-Acquired in Adults. Clinical Infectious Disease 2000;31: Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

175 Tabel 1.Patogen Penyebab CAP menurut Klasifikasi Pasien (ATS 2001) Grup I: Rawat Jalan, Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, Tanpa Faktor Modifikasi Streptococcus Pneumoniae Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran). Hemophilus Influenzae. Respiratory Viruses Lain-lain: Legionella spp. Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Grup III: Rawat Inap Non-ICU a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (termasuk penghuni panti jompo). Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Hemophilus Influenzae. Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (bakteri + patogen atipik atau virus). Enterik gram negatif. Aspirasi (Anaerob) Virus Legionella spp Lain-lain: Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Pneumocystis carinii. b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, Tanpa faktor modifikasi. Streptococcus Pneumoniae Hemophilus Influenzae. Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae Infeksi canmpuran (bakteri + patogen atipik). Virus Legionella spp. Lain-lain: Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Pneumocystis carinii Grup II Rawat Jalan, Dengan Penyakit Kardiopulmonal, Dan/Atau Faktor Modifikasi. Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (bakteri + patogen atipik atau virus). Hemophilus Influenzae. Enterik gram negatif. Respiratory Viruses Lain-lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp. Aspirasi (anaerob). Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Grup IV Rawat ICU a. Tanpa risiko infeksi Pseudomonas aeruginosa. Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Legionella spp. Hemophilus Influenzae. Enterik gram nefatif. Staphylococcus Aureus Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Viruses Lain-lain: Chlamydia Pneumoniae Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, b. Ada risiko infeksi Pseudomonas Aeruginosa. Semua patogen diatas (IV.a) +Pseudomonas aeruginosa 175 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

176 Gambar 1. Langkah Pertama Rumus Prediksi Pneumonia: Mendeteksi Pasien dengan Kelas Resiko I Pasien dengan CAP Usia > 50 tahun? Ya Tidak Akibat Riwayat komorbid: -Neoplasma -gagal Jantung Kongestif -Penyakit Serebrovaskuler. -Penyakit Ginjal. Penyakit hati Tidak Adakah Kelainan Pada Pemeriksaan Fisik: -Perubahan Status Mental. - adi 125 x /menit - Pernafasan 30x/menit. -Tekanan Darah Sistolik <90 mmhg. Suhu < 5C atau 40C. Ya Ya Pasien dimasukkan dalam kelas Resiko. II-V Sesuai Langkah Kedua/ Sistem skor rumus Pasien dimasukkan dalam kelas Resiko. Tidak 176 Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 188/ /KEP/408.49/2015 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 188/ /KEP/408.49/2015 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN PACITAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Jl. Jend. A. Yani No. 51 (0357) 881410 Fax. 883818 Pacitan 63511 Website : http://rsud.pacitankab.go.id, Email : rsud@pacitankab.go.id KEPUTUSAN DIREKTUR

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

TATALAKSANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA PT ASKES (PERSERO) BAB I PERSYARATAN UMUM

TATALAKSANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA PT ASKES (PERSERO) BAB I PERSYARATAN UMUM Lampiran III Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/PER/II/2011 TATALAKSANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA PT ASKES (PERSERO) BAB I PERSYARATAN UMUM 1. Peserta wajib memiliki Kartu Askes yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar.

ANAMNESIS. dengan anamnesis yang benar. PENDAHULUAN Gout sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu gutta (tetesan) karena dipercaya bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh luka yang jatuh tetes demi tetes ke dalam sendi. Kini, asam urat bisa

Lebih terperinci

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway). I. Memahami dan menjelaskan gout arthritis 1.1.Memahami dan menjelaskan definisi gout arthritis Arthritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi Kristal asam urat pada jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 -

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 34 IPMK. 05 I 2014 TENTANG TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL Dr.CJP'fO MANGUNKUSUMO JAKARTA PADA KEMENTERIAN KESEHATAN MENTERIKEUANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia industri kesehatan terdiri dari beberapa jenis yaitu pelayanan klinik, puskesmas, dan rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia industri kesehatan terdiri dari beberapa jenis yaitu pelayanan klinik, puskesmas, dan rumah sakit. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia industri kesehatan terdiri dari beberapa jenis yaitu pelayanan klinik, puskesmas, dan rumah sakit. Pelayanan di industri kesehatan sangat perlu diperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004). Diabetes Mellitus merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE

RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE Nama Produk Jenis Produk Penerbit Deskripsi Produk DEFINISI COMM CLASSY CARE Asuransi Tambahan PT Commonwealth Life Adalah produk asuransi tambahan yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab kematian secara global. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensi semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan neonatal. Kematian neonatus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering mengganggu pertukaran gas. Bronkopneumonia melibatkan jalan nafas distal dan alveoli, pneumonia lobular

Lebih terperinci

JADWAL BLOK UROPOETIKA

JADWAL BLOK UROPOETIKA JADWAL BLOK UROPOETIKA Kode : 71105535 Semester / SKS : IV / 6 Tahun Akademik : 2010/2011 Ruang : Gedung Prof. Dr. Sardjito Lantai 3 UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA MINGGU I : Modul Diuresis dan Keseimbangan

Lebih terperinci

BAB III ELABORASI TEMA

BAB III ELABORASI TEMA BAB III ELABORASI TEMA 3.1 Pengertian Tema yang akan diangkat dalam perancangan Rumah Sakit Islam Ini adalah Habluminallah wa Habluminannas yang berarti hubungan Manusia dengan Tuhan dan hubungan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh globalisasi disegala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat

Lebih terperinci

TETAP SEHAT! PANDUAN UNTUK PASIEN DAN KELUARGA

TETAP SEHAT! PANDUAN UNTUK PASIEN DAN KELUARGA IMUNODEFISIENSI PRIMER TETAP SEHAT! PANDUAN UNTUK PASIEN DAN KELUARGA TETAP SEHAT! PANDUAN UNTUK PASIEN DAN KELUARGA 1 IMUNODEFISIENSI PRIMER Imunodefisiensi primer Tetap sehat! Panduan untuk pasien dan

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 61 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 61 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 61 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit misalnya pada pasien

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016

PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016 PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016 RUMAH SAKIT UMUM DADI KELUARGA Jl. Sultan Agung No.8A Purwokerto Tahun 2016 BAB I DEFINISI Sampai saat ini, Rumah Sakit di luar negeri termasuk di

Lebih terperinci

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis? Gagal Ginjal Kronis Banyak penyakit ginjal yang tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda gangguan pada kesehatan. Gagal ginjal mengganggu fungsi normal dari organ-organ tubuh lainnya. Penyakit ini bisa

Lebih terperinci

PROFIL PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN PROFESI DOKTER SPESIALIS I (PMKPDSp

PROFIL PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN PROFESI DOKTER SPESIALIS I (PMKPDSp PROFIL PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN PROFESI DOKTER SPESIALIS I (PMKPDSp I) ILMU PENYAKIT DALAM FKUI/RSCM Siti Setiati Disampaikan dalam seminar mahasiswa FKUI DOCTOR S S CAREER UPDATE 26 Januari 2008 PENGELOLA

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGORGANISASIAN UNIT RAWAT JALAN RUMAH SAKIT ELIZABETH

PEDOMAN PENGORGANISASIAN UNIT RAWAT JALAN RUMAH SAKIT ELIZABETH PEDOMAN PENGORGANISASIAN UNIT RAWAT JALAN RUMAH SAKIT ELIZABETH PT NUSANTARA SEBELAS MEDIKA RUMAH SAKIT ELIZABETH SITUBONDO 2015 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN Tujuan Umum... 2 Tujuan Khusus... 2 BAB II

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena penuaan populasi (population aging) merupakan fenomena yang telah terjadi di seluruh dunia, istilah ini digunakan sebagai istilah bergesernya umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemukan didunia. Tumor ini sangat prevalen didaerah tertentu

BAB I PENDAHULUAN. paling sering ditemukan didunia. Tumor ini sangat prevalen didaerah tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hepatoma ( karsinoma hepatoseluler ) merupakan salah satu tumor yang paling sering ditemukan didunia. Tumor ini sangat prevalen didaerah tertentu di Asia dan Afrika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru. kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).

BAB 1 PENDAHULUAN. ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru. kanker, 17.8% dari kematian karena kanker). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker paru merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lamongan, Penyusun

KATA PENGANTAR. Lamongan, Penyusun KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang telah dikaruniakan kepada penyusun, sehingga Pedoman Unit Hemodialisis RSUD Dr. Soegiri Lamongan ini dapat selesai disusun.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab timbulnya penyakit

Lebih terperinci

KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM

KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM 1. BIDANG ALERGI IMUNOLOGI KLINIK PENYAKIT DALAM Ketrampilan Bidang Alergi Imunologi Klinik Spirometri Tes Tusuk (Skin Prick Test) Tes Temple (Patch Test)

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN SOP ECHOCARDIOGRAPHY N O A B C FASE PRA INTERAKSI TINDAKAN 1. Membaca dokumentasi keperawatan. 2. Menyiapkan alat-alat : alat echocardiography, gel, tissu. 3. Mencuci tangan. FASE ORIENTASI 1. Memberikan

Lebih terperinci

RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE

RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE RINGKASAN INFORMASI PRODUK COMM CLASSY CARE Nama Produk Jenis Produk Penerbit Deskripsi Produk DEFINISI COMM CLASSY CARE Asuransi Tambahan PT Commonwealth Life Adalah produk asuransi tambahan yang memberikan

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan. RSUD Kota Yogyakarta

Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan. RSUD Kota Yogyakarta Purnomo, S.KM Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Yogyakarta Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Yogyakarta OLEH: TUJUAN PENGELOLAAN DM SECARA

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN KELAS III PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II RUMAH SAKIT MARTHA FRISKA BRAYAN. dengan Type Madya.Kapasitas Rawat Inap 270 Bed. Sakit Martha Friska Brayan adalah sebagai berikut :

BAB II RUMAH SAKIT MARTHA FRISKA BRAYAN. dengan Type Madya.Kapasitas Rawat Inap 270 Bed. Sakit Martha Friska Brayan adalah sebagai berikut : BAB II RUMAH SAKIT MARTHA FRISKA BRAYAN A. Sejarah Ringkas Rumah Sakit Martha Friska berdiri sejak tanggal 2 Maret 1981 beralamat di jalan Komodor Laut Yos Sudarso No. 91 Medan, Sumatera Utara.Dengan status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlebihan khususnya yang lama dan berkelanjutan dengan dosis relatif kecil

BAB I PENDAHULUAN. berlebihan khususnya yang lama dan berkelanjutan dengan dosis relatif kecil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi modern, pemakaian zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya semakin meluas di Indonesia. Pemakaian zat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic 10 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic Nephropathy, Hypertensi, Polycystic Kidney, penyakit ginjal obstruktif dan infeksi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan Wongkaditi Timur

Lebih terperinci

PANDUAN PENUNDAAN PELAYANAN DI RUMAH SAKIT PUPUK KALTIM BONTANG

PANDUAN PENUNDAAN PELAYANAN DI RUMAH SAKIT PUPUK KALTIM BONTANG PANDUAN PENUNDAAN PELAYANAN DI RUMAH SAKIT PUPUK KALTIM BONTANG KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr.Wb. Penundaan pelayanan kepada pasien terjadi apabila pasien harus menunggu terlayani dalam waktu yang

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI A. KONSEP MEDIK 1. Pengertian Hepatomegali Pembesaran Hati adalah pembesaran organ hati yang disebabkan oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELLITUS PADA Ny.T DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOSARI

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELLITUS PADA Ny.T DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOSARI ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELLITUS PADA Ny.T DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOSARI KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar

Lebih terperinci

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1 Mengapa Kita Batuk? Batuk adalah refleks fisiologis. Artinya, ini adalah refleks yang normal. Sebenarnya batuk ini berfungsi untuk membersihkan tenggorokan dan saluran napas. Atau dengan kata lain refleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola hidup menyebabkan berubahnya pola penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung yang prevalensinya

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

hipertensi sangat diperlukan untuk menurunkan prevalensi hipertensi dan mencegah komplikasinya di masyarakat (Rahajeng & Tuminah, 2009).

hipertensi sangat diperlukan untuk menurunkan prevalensi hipertensi dan mencegah komplikasinya di masyarakat (Rahajeng & Tuminah, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertensi masih menjadi salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi dan masih menjadi masalah serius di dunia terkait dengan efek jangka panjang yang

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

CODE BLUE SYSTEM No. Dokumen No. Revisi Halaman 1/4 Disusun oleh Tim Code Blue Rumah Sakit Wakil Direktur Pelayanan dan Pendidikan

CODE BLUE SYSTEM No. Dokumen No. Revisi Halaman 1/4 Disusun oleh Tim Code Blue Rumah Sakit Wakil Direktur Pelayanan dan Pendidikan Standar Prosedur Operasional (SPO) PENGERTIAN TUJUAN KEBIJAKAN PROSEDUR CODE BLUE SYSTEM No. Dokumen No. Revisi Halaman 1/4 Disusun oleh Diperiksa Oleh Tim Code Blue Rumah Sakit Wakil Direktur Pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang abnormal. dalam rongga pleura. (Tierney, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang abnormal. dalam rongga pleura. (Tierney, 2002) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang abnormal dalam rongga pleura. (Tierney, 2002) Penyebab dari efusi pleura yaitu neoplasma seperti broncogenik

Lebih terperinci

dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan diubah menjadi asam urat. b. Seseorang

dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan diubah menjadi asam urat. b. Seseorang PENDAHULUAN Asam urat merupakan sebutan orang awan untuk rematik pirai (gout artritis). Selain osteoartritis, asam urat merupakan jenis rematik artikuler terbanyak yang menyerang penduduk indonesia. Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal

BAB I PENDAHULUAN. mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt.

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. RUMAH SAKIT Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. PerMenKes RI Nomor 1045/menkes/per/XI/2006 Tentang Pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

Nama Pendamping : dr. Meldayeni Busra dan dr. Dwi Sepfourteen. Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Nama Pendamping : dr. Meldayeni Busra dan dr. Dwi Sepfourteen. Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Nama Peserta : dr. Frystka Hamelia Sari Nama Wahana : RSUD Sijunjung Topik : Gout Artritis Tanggal (Kasus) : 2015 Nama Pasien : Tn. Tanggal Presentasi : No. RM Nama Pendamping : dr. Meldayeni Busra dan

Lebih terperinci

NO SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 29 TAHUN 2001

NO SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 29 TAHUN 2001 LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 29 TAHUN 2001 TARIF PELAYANAN KESEHATAN DAN FASILITAS LAINNYA PADA BADAN PENGELOLA R.S.U dr. SLAMET KABUPATEN GARUT I. TARIF RAWAT JALAN (1) Tarif Kunjungan

Lebih terperinci

TARIF RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT WILAYAH MAGELANG

TARIF RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT WILAYAH MAGELANG : LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH PROVINSI : JAWA TENGAH : : NOMOR : : TANGGAL : TARIF RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT WILAYAH MAGELANG NO. JENIS PELAYANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. RSUP. DR. Mohammad Hoesin Palembang. Tarif.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. RSUP. DR. Mohammad Hoesin Palembang. Tarif. No.734, 2014. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. RSUP. DR. Mohammad Hoesin Palembang. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100/PMK.05/2014 TENTANG TARIF

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kronik didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka

Lebih terperinci

TARIF LAYANAN BERDASARKAN KELAS BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM MALIK MEDAN PADA KEMENTERIAN KESEHATAN TARIF KELAS II

TARIF LAYANAN BERDASARKAN KELAS BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM MALIK MEDAN PADA KEMENTERIAN KESEHATAN TARIF KELAS II LAMPJRAN I PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58/PMK.OS/2014 TENTANG TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM MALIK MEDAN PADA KEMENTERIAN KESEHATAN I\IIENTEHI KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya

Lebih terperinci

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN panduan praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN 07 02 panduan praktis Program Rujuk Balik Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

2017, No Paru Masyarakat Surakarta 2016, telah mengajukan usulan perubahan tarif layanan Badan Layanan Umum Balai Besar Kesehatan Paru Masyarak

2017, No Paru Masyarakat Surakarta 2016, telah mengajukan usulan perubahan tarif layanan Badan Layanan Umum Balai Besar Kesehatan Paru Masyarak No.860, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. BLU. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta pada Kementerian Kesehatan. Tarif. Layanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, menuntut perawat bekerja secara profesional yang didasarkan pada standar praktik keperawatan dan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN. permasalahan, penyebab permasalahan, dan pemecahan permasalahan. Sumber data

BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN. permasalahan, penyebab permasalahan, dan pemecahan permasalahan. Sumber data BAB 3 ANALISIS SISTEM BERJALAN Di dalam bab 3 ini akan dituangkan analisis sistem yang sedang berjalan, analisis permasalahan, penyebab permasalahan, dan pemecahan permasalahan. Sumber data yang menjadi

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 17 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TARIF PELAYANAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 17 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TARIF PELAYANAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 17 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TARIF PELAYANAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Indikator Wajib pengukuran kualitas pelayanan keesehatan di FKRTL. Indikator Standar Dimensi Input/Proses l/klinis 1 Kepatuhan

Indikator Wajib pengukuran kualitas pelayanan keesehatan di FKRTL. Indikator Standar Dimensi Input/Proses l/klinis 1 Kepatuhan Indikator Wajib pengukuran kualitas pelayanan keesehatan di FKRTL N o Indikator Standar Dimensi Input/Proses /Output Manajeria l/klinis 1 Kepatuhan 90% Efektifitas Proses Klinis terhadap clinical pathways

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengaruh globalisasi disegala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungannya,

Lebih terperinci

FORMULIR TAMBAHAN PEMULIHAN POLIS DAN PENAMBAHAN PRODUK ASURANSI UNTUK MANFAAT RAWAT INAP DAN PEMBEDAHAN

FORMULIR TAMBAHAN PEMULIHAN POLIS DAN PENAMBAHAN PRODUK ASURANSI UNTUK MANFAAT RAWAT INAP DAN PEMBEDAHAN > Mohon formulir diisi LENGKAP dengan menggunakan huruf CETAK dan pastikan Anda melengkapi persyaratan yang wajib dilampirkan. > Mohon tidak menandatangani formulir ini dalam keadaan kosong dan pastikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Dalam... i Pernyataan Orisinalitas... ii Persetujuan Skripsi... iii Halaman Pengesahan Tim Penguji Skripsi... iv Motto dan Dedikasi... v Kata Pengantar... vi Abstract...

Lebih terperinci

PANDUAN TEKNIS PESERTA DIDIK KEDOKTERAN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN

PANDUAN TEKNIS PESERTA DIDIK KEDOKTERAN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN PANDUAN TEKNIS PESERTA DIDIK KEDOKTERAN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN KOMITE MEDIK RSUD DR. SAIFUL ANWAR KESALAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT BAKORDIK RSSA/FKUB MALANG 2015 BILA BERHADAPAN DENGAN PASIEN,

Lebih terperinci

Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik

Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik Amaylia Oehadian Sub Bagian Hematologi Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Kelainan darah pada lupus Komponen darah Kelainan

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU Pengobatan TB pada keadaan khusus Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU 1 a. TB pada Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor pada bulan Juni 2009.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor pada bulan Juni 2009. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penilaian sistem, dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap interaksi yang terjadi pada input-proses-output yang terjadi untuk

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Ginjal berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis, epilepsy, stroke,

BAB I PENDAHULUAN. hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis, epilepsy, stroke, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan dan mempermudah akses pelayanan kesehatan kepada peserta penderita penyakit kronis, maka BPJS Kesehatan

Lebih terperinci

PELAPORAN HASIL KRITIS

PELAPORAN HASIL KRITIS PELAPORAN HASIL KRITIS Pengertian : 1. Proses penyampaian hasil kritis kepada dokter yang merawat pasien. 2. Nilai Hasil Kritis adalah hasil pemeriksaan diagnostic penunjang yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS BAGI DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM ATAU DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM SUBSPESIALIS GASTROENTEROHEPATOLOGI UNTUK MENDAPATKAN

PETUNJUK TEKNIS BAGI DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM ATAU DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM SUBSPESIALIS GASTROENTEROHEPATOLOGI UNTUK MENDAPATKAN PETUNJUK TEKNIS BAGI DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM ATAU DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM SUBSPESIALIS GASTROENTEROHEPATOLOGI UNTUK MENDAPATKAN SERTIFIKAT KOMPETENSI ENDOSKOPI GASTROINTESTINAL KOLEGIUM

Lebih terperinci

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU Penemuan PasienTB EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU 1 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Penatalaksanaan TB meliputi: 1. Penemuan pasien (langkah pertama) 2. pengobatan yang dikelola menggunakan strategi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan peyakit autoimun kronis, multisistem, dengan periode peningkatan aktivitas penyakit akibat peradangan di pembuluh darah

Lebih terperinci