BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju"

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, pada masa ini terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Keadaan ini memungkinkan remaja cenderung memiliki resiko terhadap terjadinya kenakalan dan kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindakan kekerasan. Hingga saat ini telah banyak kasus kenakalan yang diperbuat remaja, antara lain membolos, berkelahi, tawuran antar pelajar, bermain games online hingga lupa waktu, pelecehan seksual sampai melakukan bunuh diri. Misalnya Seperti yang terjadi di Sleman Yogyakarta, seorang siswi SMP Piri nekat gantung diri di kamarnya, menurut saksi sebelum kejadian korban sempat terlibat cekcok dengan ibunya dan diduga di sekolah korban selalu diejek oleh teman-temannya (Tribun Jogja, 13 Maret 2013). Dua siswa SMP di wilayah Prambanan terjaring razia kedisiplinan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman karena membolos di waktu jam sekolah, pelajar memilih warnet untuk main games online sebagai lokasi favorit membolos (Tribun Jogja, 22 November 2012). Bahkan di wilayah hukum Polresta Yogyakarta, makin marak perkelahian, tawuran dan bahkan ditemukan pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam. Berdasarkan data Polresta Yogyakarta angka tindakan pelajar yang mengarah pada perbuatan kriminal pembawa senjata tajam, telah terjadi dua kasus selama dua bulan

2 terakhir. Sementara perkelahian dan tawuran yang melibatkan pelajar sejak bulan April telah terjadi delapan kasus (Tribun Jogja, 07 Agustus 2012). Selain maraknya perkelahian, tawuran dan membawa senjata tajam, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah semakin meningkat, terjadi 139 kasus pada tahun 2011 sedangkan untuk tahun 2012 ditemukan 36 kasus. Kasus bullying yang terjadi melibatkan kelompok anak yang memiliki power terhadap anak lainnya yang lebih powerless. Banyaknya kasus bullying di sekolah karena adanya pengajakan yang dilakukan oleh senior terhadap junior agar tunduk terhadap perintah. Pengajakan di sini berarti digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas (Tempo.co, 18 September 2012). Perbincangan peneliti dengan siswi SMPN X Depok Sleman Yogyakarta pada 15 Nopember 2012, mendapatkan informasi bahwa di Sekolah tersebut hampir terjadi tawuran antar sekolah, yang disebabkan beberapa hari sebelumnya ada beberapa siswa dari sekolah lain melempar batu ke arah jendela SMPN X hingga mengakibatkan salah satu kaca jendela pecah. Kejadian ini memancing siswa untuk menyerang balik sekolah tempat siswa yang melakukan pelemparan batu tersebut. Permasalahan yang terjadi di SMPN X merupakan salah satu contoh perilaku remaja yang dapat memancing terjadinya tindakan perkelahian dan tawuran antar pelajar. Permasalahan yang belum jelas, namun akibat keinginan mengikuti tindakan yang dilakukan teman-teman dapat membuat remaja tidak berpikir dengan baik sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang salah. Hasil wawancara dengan wakil kepala sekolah SMPN X Depok Sleman Yogyakarta, pada tanggal 4 April 2013, diperoleh informasi bahwa di SMPN tersebut

3 masih terjadi banyak pelanggaran yang dilakukan siswa mulai dari pelanggaran ringan sampai pelanggaran berat bahkan ada yang telah menjurus tindakan kriminal. Beberapa tindakan siswa antara lain tidak memakai dasi saat berada di sekolah, baju tidak di masukkan, masih ada beberapa siswi yang menggunakan rok terlalu pendek, tidak menjaga kebersihan sekolah dengan membuang sampah sembarangan, bertengkar dengan siswa sekolah lain, terlibat pencurian kendaraan bermotor dan mengkonsumsi minuman beralkohol oplosan di sekolah. Lebih lanjut wakil kepala sekolah mengatakan, perilaku siswa yang sedang marak saat ini adalah bermain games online. Permainan ini mempengaruhi perilaku siswa, karena untuk bermain games online membutuhkan biaya sedangkan siswa berasal dari keluarga kurang mampu keadaan ini membuat siswa melakukan segala cara untuk mendapatkan uang agar dapat bermain games online. Keadaan ini menjadi penyebab seorang siswa kelas VIII terlibat pencurian kendaraan bermotor bersama teman bermainnya. Jenis pelanggaran yang dilakukan siswa berdasarkan lembar catatan kejadian harian siswa yang ada pada guru bimbingan dan konseling terdiri dari terlambat, tidak melaksanakan piket, tidak mengerjakan PR, main kartu remi di kelas, ramai di kelas saat pelajaran, tidak masuk tanpa keterangan, kekerasan (memukul, merampas tas dan helm), merokok, menggunakan hp dalam kelas, kurang disukai teman-temannya, serta tidak memperhatikan guru saat pelajaran di kelas. Masih banyaknya tindakan pelanggaran yang dilakukan siswa di sekolah dan diluar sekolah menjadi gambaran bahwa kecerdasan moral siswa belum berkembang dengan baik. Borba (2001) menyatakan kecerdasan moral adalah kemampuan individu untuk memahami hal yang benar dan yang salah. Kecerdasan ini mencakup

4 kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat; mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan; mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian; menerima dan menghargai perbedaan; bisa memahami pilihan yang berbeda; dapat berempati; memperjuangkan keadilan; dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain. Ini merupakan sifat-sifat utama yang akan membentuk anak dan remaja menjadi baik hati, berkarakter kuat dan menjadi warga Negara yang baik. Istilah kecerdasan moral digunakan untuk menjelaskan bahwa penalaran moral, perilaku moral dan perasaan moral itu penting di dalam perkembangan moral yang berkaitan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain (Santrock, 2003). Hal ini penting karena masa-masa penuh persoalan seperti sekarang ini orangtua perlu tindak lanjut jika ingin berhasil membuat remaja tidak hanya berpikir, tetapi juga bertindak sesuai dengan norma-norma moralitas; dan karena jika remaja tidak tahu bagaimana harus bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Dengan meningkatkan kecerdasan moral remaja, diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga diharapkan mampu bertindak benar. Kecerdasan moral menunjukkan fakta bahwa manusia dilahirkan bukan berarti bermoral atau tidak bermoral. Namun manusia harus terus belajar untuk menjadi baik. Belajar untuk menjadi orang baik melibatkan adanya komunikasi, umpan balik, sosialisasi dan pendidikan. Manusia memerlukan kecerdasan untuk melakukan hal yang benar. Kecerdasan moral berarti peduli terhadap kehidupan, manusia dan alam; kesejahteraan, sosial ekonomi dan menghormati orang lain;

5 terbuka dan jujur dalam berkomunikasi; serta peduli terhadap kebutuhan dasar orang lain (Dinorcia, 2003). Kecerdasan moral merupakan bagian dari kita yang membentuk kompas moral dan memastikan bahwa tujuan kita konsisten dengan kompas moral kita. Kecerdasan moral merupakan bentuk lain dari bakat. Kecerdasan moral merupakan bakat dasar untuk sentuhan dan tindakan moral. Kecerdasan moral mengajak kita untuk membangun nilai moral dan kepercayaan yang akan berkaitan dengan kompas moral. Sebab, hal tersebut merupakan bagian yang kita ketahui adalah benar, kita gunakan hal tersebut untuk memastikan bahwa tujuan dan perilaku selaras dengan kompas moral (Lennick & Kiel 2005). Penyebab merosotnya moralitas sangatlah kompleks, namun terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri seperti lingkungan moral tempat remaja dibesarkan saat ini dapat meracuni kecerdasan moral mereka. Pertama, sejumlah faktor sosial kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh, yaitu pengawasan orangtua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan akrab dengan orang dewasa, sekolah khusus, norma-norma nasional yang jelas, dukungan masyarakat, stabilitas dan pola asuh yang benar. Kedua, remaja secara terus-menerus menerima masukan dari luar yang bertentangan dengan norma-norma (Borba, 2001). Bagus Takwin, psikolog dari Universitas Indonesia mengatakan kekerasan dan tindakan kriminal yang dilakukan anak dan remaja disebabkan berbagai hal, namun faktor lingkungan yang berasal dari rumah atau sekolah menjadi pengaruh terbesar. Sehingga perlu diberikan sosialisasi di rumah dan sekolah sedini mungkin

6 tentang tidak patutnya tindak kekerasan dan tindakan melawan hukum (Seputar Indonesia, 18 Februari 2012). Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk tersebut muncul dari berbagai sumber yang mudah di dapat seperti televisi, film, video permainan, musik pop dan iklan memberikan pengaruh buruk bagi moral anak dan remaja, karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan pengagungan kekerasan. Hal-hal buruk di dunia internet seperti pornografi, penyiksaan, pemujaan setan, pedofilia dan begitu banyak situs-situs penghasut yang mengajarkan kebencian. Bahkan hasil riset menemukan bahwa anak-anak yang terus-menerus melihat acara televisi bermuatan kekerasan cenderung kurang peka terhadap anak lain yang perlu pertolongan sehingga cara terbaik mengajarkan perilaku bermoral kepada anak adalah memberi contoh yang baik (Borba, 2001). Begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar, keadaan ini perlu mendapat perhatian yang lebih dari orangtua, guru, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sebaiknya tidak hanya fokus terhadap pengembangan aspek akademis saja, namun idealnya pendidikan mampu mendukung perkembangan remaja secara utuh dan seimbang yang meliputi fisik, psikologis, sosial dan religius. Jika remaja memiliki dasar fondasi nilai moral yang kuat maka untuk kedepannya remaja akan kokoh menghadapi berbagai rintangan kehidupan. Remaja tidak mudah goyah dengan ajakan teman-temannya untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Remaja memiliki pegangan hidup yang akan mengantarkannya menjadi seseorang yang memiliki pribadi yang tangguh yang mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk.

7 Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kalangan remaja memiliki kecenderungan melakukan perbuatan yang mengarah pada tindakan kriminal dan melanggar hukum. Banyaknya kasus-kasus kekerasan seperti perkelahian, tawuran, membawa senjata tajam dan bullying yang dilakukan oleh para remaja sebagai bentuk perilaku yang tak bermoral. Hurlock (2005) menyatakan perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Bagi remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalan hidupnya. Pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini (Sarwono, 2002). Moral menurut Sunarto dan Hartono (2008) adalah kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Sedangkan Hadiwardoyo (2010) menyatakan Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang yang tidak bermoral atau orang yang kurang bermoral. Moral disamakan dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Kecerdasan moral anak dan remaja dapat berkembang dengan baik dengan adanya pembelajaran. Orangtua dapat menjadi model yang akan mengajarkan kebajikan, kebiasaan dan keyakinan yang kuat tentang pendidikan moral yang akan memperkuat kecerdasan moral anak dan remaja. Hurlock (2005) menyatakan

8 kecerdasan moral dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia. Cara orangtua mengasuh anak merupakan hal yang pokok karena mempunyai ayah dan ibu yang memiliki kasih sayang, mau menerima anak dalam kondisi apapun merupakan syarat yang paling utama dalam perkembangan kata hati yang baik (Monks, Knoers, & Haditono, 1994). Damon (1999) menyatakan bagi sebagian besar anak, orangtua merupakan sumber bimbingan moral. Model otoritatif menetapkan aturan dan batasan keluarga dengan tegas, namun juga mendorong anak untuk berdiskusi dan komunikasi untuk menjelaskan sesuatu. Model permisif menghindari aturan seluruhnya sedangkan model otoriter mematuhi aturan seluruhnya tanpa terkecuali. Model permisif dan otoriter menghasilkan remaja yang memiliki kontrol diri dan tanggung jawab sosial yang rendah. Keluarga adalah suatu bentuk lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga merupakan dasar bagi seorang anak untuk mengenal dan berinteraksi dengan dunia lingkungan sekitar yang akan dihadapinya. Keluarga juga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan stempel dan fondasi primer bagi perkembangan anak (Kartono, 1995). Gunarsa (1982) menyatakan bahwa lingkungan rumah dan lingkungan sosial adalah sumber bagi anak untuk mempelajari segala hal, untuk memasukkan tingkah laku yang baru, sehingga menjadi tingkah laku yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan. Selanjutnya orangtua berkewajiban mempersiapkan anak agar dapat menghadapi setiap tantangan lingkungan tersebut melalui pola asuh yang diberikan pada anak. Pola asuh orangtua sangat berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam menjalin interaksi sosial dengan orang lain. Jika anak terbiasa melakuakan interaksi

9 yang baik dengan anggota keluarga, maka anak tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain dan remaja akan berperilaku baik di sekolah. Pola asuh merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan orangtua dalam mengasuh anak (Santrock, 2002). Terdapat berbagai bentuk pola asuh yang diterapkan oleh keluarga dan masing-masing pola asuh tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Baumrind (dalam Santrock, 2003) menyatakan pola asuh secara psikologis merupakan strategi orang tua dalam membesarkan anak, yang terbagi dalam beberapa bentuk pola asuh yaitu otoritarian, otoritatif dan permisif. Pola asuh otoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi orangtua tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan remaja. Adanya komunikasi yang terjadi timbal balik antara anak dan orangtua, anak memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya dan orangtua bersifat hangat serta memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak. Pola asuh otoritatif memiliki ciri-ciri di mana orangtua memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak, anak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, namun orangtua tetap memberikan batasan dan pengawasan pada anak, adanya komunikasi serta diskusi yang dilakukan membuat anak memiliki kebebasan untuk mengutarakan keinginan dan pemikiran mereka, orangtua memberikan penjelasan terhadap aturan-aturan yang diterapkan. Pola asuh otoritatif mengajak anak untuk berpikir sehingga keadaan ini diperkirakan dapat menstimulasi kecerdasan moral anak. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa pola asuh otoritatif dapat mempengaruhi kecerdasan moral seperti hasil penelitian Pratiwi (2010) menunjukkan

10 kecerdasan moral anak yang mendapat gaya pengasuhan authoritative lebih tinggi dibandingkan dengan gaya pengasuhan authoritarian, permissive, dan uninvolved atau neglectful. Hal itu dikarenakan orangtua dapat terlibat langsung dengan anak dengan memberikan perhatian, kasih sayang, mengajak anak untuk bicara, namun tetap memberikan aturan dan alasan yang jelas. Sedangkan Nurhayani (2007) menunjukkan bahwa melalui pola asuh otoritatif anak berinteligensi tinggi belajar memahami sendiri batasan-batasan moral yang harus dipegangnya tanpa merasa dikekang. Pengasuhan otoritatif membantunya menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri serta mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri sehingga berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Hasil penelitian Farid (2011) menunjukkan remaja yang memperoleh pola pengasuhan orangtua otoritatif menjadikan orangtua sebagai model pembelajaran kompetensi sosial. Pola hubungan otoritatif menumbuhkan remaja memiliki kehangatan, cinta kasih, toleransi dan tanggung jawab dalam interkasi sosial. Sedangkan Qudsyi dan Gusniarti (2007) menyatakan ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir, hal ini karenakan adanya sikap dan komunikasi yang terbuka di antara anggota keluarga sehingga terjadi penanaman nilai-nilai moral. Selain itu latar belakang pendidikan ibu juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penalaran moral yang dimiliki anak, semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik penalaran moral anak, hal ini disebabkan adanya komunikasi dan keterbukaan yang dilakukan ibu terhadap anak (Gupta & Puja, 2010). Walker dan Hennig (1999) menemukan tiga hal yang penting yaitu interaksi orangtua, fungsi ego dan penalaran moral mampu memprediksi perkembangan moral

11 anak. Orangtua yang memiliki pendapat yang keras, bermusuhan, kritis, menentang serta kurang memiliki perasaan akan menghalangi anak memiliki pemahaman moral yang lebih matang, sebaliknya orangtua yang efektif adalah lebih berpusat pada anak dan menjadi pegangan dalam perkembangan anak dengan mendengarkan pendapat anak, menggambarkan penalaran anak dengan pertanyaan yang tepat, memberikan dukungan emosi dan perhatian akan meningkatkan penalaran moral anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Kuczynski dan Lollis (dalam Santrock, 2007b) bahwa orangtua yang otoritatif lebih cenderung melibatkan anak dalam kegiatan memberi dan menerima secara verbal dan memperbolehkan anak mengutarakan pandangan mereka. Jenis diskusi keluarga ini membantu anak memahami hubungan sosial dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang yang kompeten secara sosial. Azhar dan Putri (2009) menunjukkan bahwa remaja yang mengalami penyimpangan dalam pengasuhan (deviasi mothering) cenderung tidak memiliki kecerdasan moral yang baik. Hal ini disebabkan oleh ketidakhadiran orang tua secara emosional terutama peran ibu, ketiadaan keterlibatan ayah, kekerasan di usia balita, faktor lingkungan dan faktor usia. Santrock (2007a) menjelaskan ketika anak mendapat perlakuan yang salah dari orang tua, maka anak akan menunjukkan perilaku kurang percaya diri dalam bersosialisasi ketika dewasa, kurang mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan teman sebaya, cenderung menjadi agresif terhadap teman sebaya atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menghadapi masalah akademis, saat dewasa akan menunjukkan kekerasan terhadap orang dewasa lainnya yaitu kekasih dan pasangan dalam perkawinan, penyalahgunaan obat, kecemasan dan depresi.

12 Selain faktor pola asuh orangtua, konformitas teman sebaya juga diduga memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan moral remaja. Salah satu fungsi teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Bagi remaja hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Condry et al (dalam Santrock, 2003) menyatakan selama satu minggu, remaja muda laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orangtuanya. Santrock (2003) menyatakan bahwa teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Pada banyak remaja, bagaimana mereka di pandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun, agar mereka dapat dimasukkan sebagai anggota kelompok teman sebaya. Untuk mereka, dikucilkan berarti stress, frustasi dan kesedihan. Keadaan ini mendorong remaja untuk melakukan hal-hal yang sama dengan teman-temannya. Adanya pergaulan dengan teman sebaya tidak menutup kemungkinan bahwa teman sebaya dapat memberi pengaruh negatif. Yusuf (2008) mengatakan bahwa teman sebaya mempunyai peranan penting bagi remaja. Remaja sering menempatkan teman sebaya dalam posisi prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua atau guru dalam menyatakan kesetiaannya. Hal ini dilakukan agar remaja merasa di terima dalam lingkungan teman sebayanya. Salah satu bentuk pengaruh sosial yang dapat menimbulkan kenakalan adalah bentuk konformitas yang negatif. Myers (2005) menyatakan konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan agar sesuai dengan orang lain. Konformitas muncul ketika seseorang meniru sikap atau tingkah laku orang lain

13 dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Namun adanya konformitas yang kuat terhadap teman sebaya dapat menyebabkan remaja cenderung melakukan hal-hal yang negatif seperti menggunakan bahasa yang asalasalan, mencuri, coret mencoret dan mempermainkan orangtua dan guru (Santrock, 2003). Myers (2005) menyatakan konformitas terjadi agar seseorang diterima dan menghindari penolakan serta untuk memperoleh informasi. Konformitas membuat seseorang mengikuti perilaku dan sikap orang lain tanpa pertimbangan. Remaja yang melakukan konformitas adalah remaja yang tidak menggunakan pertimbangan kognitif karena dilandasi perasaan takut akan adanya penolakan membuat remaja mengikuti sikap dan perilaku teman sebaya serta adanya keragu-raguan mengenai mana yang benar atau tepat membuat remaja bergantung dengan teman sebaya sebagai sumber informasi. Keadaan ini membuat kognisi remaja tidak berkembang, sehingga kecerdasan moral remaja tidak terstimulasi dengan baik. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa konformitas dapat memberikan dampak yang negatif terhadap perilaku remaja seperti hasil penelitian Nusa (2010) menunjukkan adanya fenomena konformitas negatif yang tampak dalam keterlibatan siswa pada sikap dan perilaku negatif. Siswa mudah terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai positif seperti pencurian, merokok, minum minuman keras dan sebagainya. Fenomena konformitas negatif tampak dalam sikap

14 mendiamkan kesalahan teman dan melindungi teman yang melakukan pelanggaran dan kejahatan. Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menunjukkan tekanan teman sebaya, konformitas teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku beresiko seperti penggunaan narkoba, kenakalan dan kinerja sekolah yang buruk. Begitu juga dengan Mawardah (2012) menyatakan konformitas peer group memiliki pengaruh terhadap kecenderungan remaja menjadi pelaku cyberbullying. Semakin besar konformitas remaja terhadap teman sebayanya maka semakin besar kecenderungan remaja untuk menjadi pelaku cyberbullying. Mantiri dan Andriani (2012) menyatakan Konformitas terhadap teman sebaya berpengaruh besar terhadap kecenderungan remaja melakukan kenakalan, hal ini disebabkan keinginan untuk konform dengan teman-teman yang memiliki status sosial yang lebih tinggi sebagai bentuk penghargaan dan adanya kebersamaan (kolektifitas) untuk melakukan sesuatu bersama. Sedangkan hasil penelitian Indria dan Nindyati (2007) menunjukkan walaupun remaja perlu melakukan konformitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun tingkat konformitas yang tinggi dapat membuat remaja tidak percaya diri dengan keunikan dirinya, kurang imajinatif dalam menciptakan hal-hal baru, serta mudah dipengaruhi orang lain. Konformitas terhadap teman sebaya sering membuat remaja ikut terlibat di dalam tindakan yang menyimpang akibat adanya tekanan yang dirasakan remaja untuk sama dengan teman yang lain membuat remaja sulit menolak. Kedaan ini jika dibiarkan begitu saja dapat menghambat perkembangan kecerdasan moral remaja,

15 karena adanya perasaan takut ditolak dan dikucilkan teman membuat remaja mengikuti apa yang dilakukan dan diperbuat teman. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa perkembangan kecerdasan moral remaja perlu diperhatikan agar mereka memiliki kecerdasan moral yang baik sehingga nantinya mampu membedakan perilaku yang benar dan salah. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan moral remaja. Atas dasar inilah peneliti ingin meneliti tentang hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja. Peneliti menduga terdapat keterkaitan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka secara umum permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Apakah ada hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja? C. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan perumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah Kecerdasan moral merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan hal yang baik dan salah. Kecerdasan moral akan menjadi landasan bagi seseorang

16 dalam berpikir dan bertindak. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk mengkaji faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap kecerdasan moral remaja mengingat usia remaja merupakan tahapan penting dalam perkembangan untuk menyiapkan diri secara optimal dalam mencapai usia dewasa. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris terkait dengan kecerdasan moral khususnya pada remaja dan menambah perbendaharaan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan dan perkembangan pada umumnya serta menjadi stimulus pengembangan penelitian kecerdasan moral berikutnya. Oleh karena itulah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk mengembangkan kecerdasan moral melalui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses perkembangannya. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang perkembangan moral, pola asuh orang tua dan teman sebaya yang ditemukan, antara lain: 1. Pratiwi (2010) melakukan penelitian tentang Kecerdasan Moral Anak Usia PraSekolah Etnis Cina berusia 4-6 tahun ditinjau dari Gaya Pengasuhan OrangTua. Subjek penelitian 67 siswa TK di Semarang. Menggunakan instrument kecerdasan moral yang terdiri dari tujuh gambar dan skala gaya pengasuhan orangtua serta data dokumentasi untuk mengetahui jenis kelamin siswa. Analisis menggunakan Anava Dua Jalur. Hasil menunjukan kecerdasan moral anak yang mendapat gaya pengasuhan authoritative lebih tinggi dibandingkan dengan gaya pengasuhan authoritarian, permissive, dan uninvolved atau neglectful.

17 2. Pranoto (2010) melakukan penelitian tentang Hubungan antara Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dengan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia PraSekolah berusia 4-6 tahun. Hasil menunjukan ada hubungan positif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan perkembangan kecerdasan moral anak. Semakin tinggi tingkat keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin tinggi tingkat perkembangan kecerdasan moral anak. 3. Rahimi, Irani, dan Noruzi (2011) penelitian tentang efek kecerdasan moral pada karyawan terhadap keberhasilan pekerjaan di 13 lokasi Universitas Azad Islam. Peserta 322 karyawan di Universitas Azad Islam Iran. Hasil menunjukkan kecerdasan moral merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam sebuah organisasi. 4. Ahyani (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui metode dongeng dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng memiliki tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng. 5. Purnomo (2008) penelitian hubungan makna kerja, kepemimpinan diri dan kecerdasan moral dalam kerja terhadap perilaku kewargaan organisasi. Subyek penelitian terdiri dari 34 orang yang bekerja pada BMT Al-Ikhlas. Menggunakan analisis regresi. Hasil menyimpulkan bahwa secara bersama-sama hubungan antara makna kerja, kepemimpinan diri dan kecerdasan moral dalam kerja berpengaruh terhadap perilaku kewargaan organisasi.

18 6. Tirri, Nokelainen, dan Mahkonen (2009) melakukan penelitian hubungan antara morality dan religiusitas dengan inteligensi, study kasus pada remaja yang cerdas dalam bidang matematika. Peserta berjumlah 20 siswa SMA di Finlandia berusia tahun. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara penalaran moral dengan inteligensi. Pada IQ di atas rata-rata memiliki hubungan positif dengan pemahaman religiusitas. 7. Muslimin (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan penalaran moral siswa kelas 2 dan kelas 3 yang bersekolah di SMP IT, MTs dan SLTPU di Yogykarta, berjumlah 67 siswa. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan penalaran moral antara siswa yang bersekolah di SLTP IT, MTs dan SLTPU. 8. Douglas (2011) melakukan penelitian tentang hubungan antara pola pengasuhan orang tua, dimensi pengasuhan dan prestasi akademik siswa. Peserta terdiri dari 51 siswa berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan pengasuhan authoritative memberikan pengaruh yang baik terhadap prestasi akademik siswa Kaukasia. 9. Walker dan Hennig (1999) perspektif teori dari psikologi moral berkaitan dengan orangtua di dalam perkembangan moral anak dan kontek keluarga berkaitan dengn teori perkembangan kognitif. Peserta terdiri dari 80 keluarga (ibu, ayah dan anak), anak-anak berasal dari kelas 1, 4, 7 dan 10. Menggunakan Kohlberg s Moral Judgment Interview. Hasil menunjukkan interaksi orangtua, fungsi ego dan penalaran moral mampu memprediksi perkembangan moral anak. Orangtua yang memiliki pendapat yang keras, bermusuhan, kritis, menentang serta kurang memiliki perasaan akan menghalangi anak memiliki pemahaman moral yang lebih matang, sebaliknya orangtua yang efektif adalah lebih berpusat pada anak dan mendengarkan pendapat anak, memberikan dukungan emosi dan perhatian akan

19 meningkatkan penalaran moral anak. Serta pentingnya faktor afektif dalam mensosialisasi moral yang efektif dan pentingnya menggunakan dilemma moral dari kehidupan nyata yang berfokus pada persoalan anak. 10. Nyarko (2012) melakukan penelitian untuk melihat hubungan orang tua dengan remaja dan pengaruh teman sebaya terhadap harga diri remaja. Peserta terdiri dari 100 siswa remaja berusia 15 dan 18 tahun dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif antara remaja dan teman sebaya terhadap harga diri remaja. Tidak ditemukan hubungan antara orangtua dan harga diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penelitian yang akan dilakukan dengan judul Hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja memiliki perbedaan dengan penelitian di atas, yaitu subjek penelitian siswa SMPN berusia tahun, alat ukur skala kecerdasan moral, skala pola asuh otoritatif orangtua dan skala konformitas teman sebaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap individu yang meletakkan dasar bagi kehidupannya di masa dewasa. Masa kanak-kanak ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan bagian dari generasi muda yang menjadi peletak dasar bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan oleh remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam perkembangan remaja dukungan sosial teman sebaya dan pola asuh otoritatif orangtua selalu menjadi isu penting maka perlu diperhatikan. Pengaruh dukungan sosial teman sebaya dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah fase kedua dalam kehidupan setelah fase anak-anak. Fase remaja disebut fase peralihan atau transisi karena pada fase ini belum memperoleh status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pentingnya moral dalam kehidupan manusia adalah manusia tidak biasa hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai aturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori usia remaja yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selanjutnya dijelaskan bahwa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Selanjutnya dijelaskan bahwa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia 12-21 tahun dengan pembagian menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja juga merupakan priode yang penting, dimana pada masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja juga merupakan priode yang penting, dimana pada masa remaja A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN Masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat. Masa remaja juga merupakan priode yang penting, dimana pada masa remaja sebagai masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, manusia lahir dalam keadaan lemah tidak berdaya, mereka memiliki rasa ketergantungan pada orang lain terutama pada orang tua serta orangorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan akademik (kognitif) saja namun juga harus diseimbangkan dengan kecerdasan emosional, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Remaja merupakan fase perubahan baik itu dalam bentuk fisik, sifat, sikap, perilaku maupun emosi. Seiring dengan tingkat pertumbuhan fisik yang semakin berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang, kehidupan seksual dikalangan remaja sudah lebih bebas dibanding dahulu. Terbukanya saluran informasi seputar seks bebas beredar dimasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rinci masa remaja dibagi ke dalam 3 tahap yaitu: usia tahun adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rinci masa remaja dibagi ke dalam 3 tahap yaitu: usia tahun adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja mempunyai arti yang khusus karena di dalam proses perkembangannya menempati fase yang tidak jelas. Remaja bukan termasuk golongan anak maupun golongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa waktu yang lalu, kita semua tertegun melihat berita di sebuah stasiun televisi swasta, di mana dua kelompok remaja yang masih mengenakan seragam putihbiru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup BABI PENDAHULUAN 1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar BeJakang Masalah Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia terjadi beberapa permasalahan dalam berbagai bidang. Beberapa kasus terjadi di bidang hukum, politik dan tata pemerintahan. Dalam ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan satu hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang kedepan diharapkan muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh: LINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dalam masa peralihan ini akan terjadi perubahan-perubahan pada diri remaja seperti fisik, kepribadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gaya kehidupan anak-anak remaja sekarang ini banyak mengalami perubahan. Perubahan itu meliputi cara berpikir, tata cara bertingkah laku, bergaul dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Istilah pubertas juga istilah dari adolescent yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa Jadi masa remaja disebut masa bertumbuh dan berkembang, baik bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang, yaitu suatu periode yang berada dalam dua situasi antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis, psikologis, dan sosiologis. Remaja mengalami kebingungan sehingga berusaha mencari tempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO SKRIPSI Diajukan oleh : Bonnie Suryaningsih F. 100020086 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JULI 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa ini juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa ini juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam fase pertumbuhan dan perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Masa ini juga merupakan periode pencarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja (siswa) semakin meluas, bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah lingkaran yang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana pada masa ini akan terjadi perubahan fisik, mental, dan psikososial yang cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja identik dengan masa pubertas, di masa ini terjadi perubahan fisik di semua bagian tubuh baik ekternal maupun internal yang juga mempengaruhi psikologis remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat dimana remaja menghabiskan sebagian waktunya. Remaja berada di sekolah dari pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore, bahkan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa yang indah. Banyak hal yang terjadi dalam masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Suatu proses masa yang semua anak manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu, menggali serta memahami arti dan makna dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan orang lain. Kehidupan manusia mempunyai fase yang panjang, yang di dalamnya selalu mengalami

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Santri, sebagaimana dia seorang remaja, mengalami periode transisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Santri, sebagaimana dia seorang remaja, mengalami periode transisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Santri, sebagaimana dia seorang remaja, mengalami periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prilaku remaja pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada remaja itu sendiri, prilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran (http://www.sekolahdasar.net). Sekolah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emosi adalah respon yang dirasakan setiap individu dikarenakan rangsangan baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam setiap dunia pendidikan, sehingga tanpa belajar tak pernah ada pendidikan. Belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia diharapkan mampu mengatasi segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecepatan arus informasi dan semakin majunya teknologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan

Lebih terperinci