STUDI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG"

Transkripsi

1 STUDI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG Nabela 1, Ahmad Muhammad 2, Sunarto 3 1 Mahasiswi Program S1 2 Dosen Bidang Ekologi Jurusan Biologi 3 WWF Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Bina Widya Pekanbaru, 28293, Indonesia nabelabahari88@gmail.com ABSTRACT The population of Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929), one of the most critically endangered species on Sumatra, has been studied using camera traps in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP), Lampung. Cameras (Reconyx &Bushnell, USA) were set up in a total of 45 cells of 2 x 2 km, covering a sampled area of 390 km 2 and an altitude ranged between asl. During an effective operation that consisted of trap-nights, tiger image that has been captured by the camera indicated that the population was made up of at least seven adult males, eight adult females, and one subadult individual with unknown sex. This finding suggests that BBSNP demonstrated a very important Sumatran tiger reservation on the island, in which a viable population might persist. In addition, tigers were captured in all altitudes, but their presence seemed to gravitate in higher altitudes (> asl.). They appeared to be more active during daytime (0600 am-0500 pm). Keywords: Critically endangered species, viable population, nature reserve, Sumatra ABSTRAK Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929), salah satu spesies yang paling terancam punah di Sumatera, telah dipelajari menggunakan kamera jebak di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung. Kamera (Reconyx & Bushnell, USA) didirikan di total 45 sel dari 2 x 2 km, meliputi area sampel dari 390 km2, dengan berbagai ketinggian antara dpl dan beroperasi selama kamera-hari efektif. Gambar Harimau yang telah tertangkap oleh kamera mengindikasikan bahwa populasi tersebut terdiri dari setidaknya tujuh laki-laki dewasa, delapan perempuan dewasa, dan satu remaja dengan jenis kelamin yang tidak diketahui. Temuan ini menunjukkan bahwa TNBBS merupakan kantong populasi harimau Sumatera yang sangat penting di pulau ini, di mana populasi yang layak dapat bertahan. Selain itu, harimau ditangkap di semua ketinggian, tapi kehadiran mereka tampaknya tertarik pada ketinggian yang lebih tinggi (> m dpl). Mereka tampaknya lebih aktif pada siang hari ( ). 1

2 Kata Kunci: Spesies terancam punah, populasi yang layak, cagar alam, Sumatera PENDAHULUAN Semakin tinggnya populasi manusia di Pulau Sumatera menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat, baik untuk kepentingan pemukiman, perhubungan, maupun budidaya. Hal ini mengakibatkan tutupan hutan alam yang ada di pulau ini terus mengalami fragmentasi dan berkurang luasnya (Uryu, 2010). Hutan alam merupakan habitat utama bagi berbagai spesies satwaliar darat, perubahan ini menyebabkan gangguan yang mengancam keberadaan mereka (Hedges et al.2005 dan Kinnaird et al.2003). Oleh karenanya, dari waktu ke waktu semakin banyak spesies satwaliar Sumatera yang terancam kepunahan, yang salah satu diantaranya adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Kinnaird et al.2003). Harimau Sumatera merupakan subspesies harimau terkecil yang belum mengalami kepunahan. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga (WWF Indonesia, 2008). Mengingat populasinya yang cenderung terus mengecil dari waktu ke waktu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan harimau Sumatera sebagai salah satu spesies fauna yang dilindungi di negara ini (Nemora dan Julia, 2007). Hal tersebut tercantum di Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Perhatian terhadap kelestarian spesies fauna ini juga diberikan oleh dunia internasional. IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai lembaga internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam telah menetapkan status kritis (critically endangered) dan menempatkannya dalam daftar spesies yang terancam kepunahan (Species Red List) (IUCN, 2006). Upaya menyelamatkan harimau Sumatera dari kepunahan terutama sekali dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan berhutan yang menjadi habitat utama dari satwa ini sebagai kawasan lindung. Salah satu diantara kawasan-kawasan lindung yang ada di pulau ini adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berada di Provinsi Lampung. Meskipun TNBBS telah diresmikan statusnya sejak tahun 1999 (BTNBBS, 1999), informasi mengenai bagaimana status populasi harimau Sumatera dalam kawasan lindung ini masih sedikit. Penelitian ini akan menghasilkan informasi tentang kondisi dan karakteristik populasi harimau Sumatera di TNBBS beserta pola sebaran spasial dan waktu aktifnya. Informasi mengenai hal tersebut sangat penting artinya sebagai dasar pengelolaan kawasan. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), yang statusnya telah 21

3 ditetapkan dalam KepMenHut No. 489/Kpts-II/1999. Taman Nasional ini berada dalam wilayah Provinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Barat, dan Provinsi Bengkulu, yaitu di Kabupaten Kaur. Pada penelitian ini lokasi tempat pemasangan kamera meliputi daerah Balai Kencana, Balik Bukit, Biha, Suoh, dan Ngambur. Gambar 1. Peta Pemasangan Stasiun Kamera Jebak di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Sumber:WWF Indonesia Sumatera Bagian Selatan Desain Penelitian WWF Indonesia - Program Lampung telah melakukan pemantauan satwa di TNBBS menggunakan kamera jebak dengan satwa target yaitu badak Sumatera. Hal ini telah dilakukan sejak bulan Februari Meskipun kamera jebak ditargetkan untuk badak, tidak menutup kemungkinan banyaknya satwa lain juga ikut terpotret salah satunya adalah harimau. Adapun tahaptahap dalam proses perencanaan suatu survei menggunakan kamera jebak yang dilaksanakan berdasarkan panduan Ancrenaz et al. (2012). Pemilihan lokasi survey adalah hal pertama yang harus dilakukan. lokasi yang dipilih adalah kawasan yang diketahui atau diduga dihuni oleh spesies-spesies satwa liar yang menjadi sasaran survei. Dalam hal ini, dibutuhkan pembuatan peta ini untuk mempermudah dalam perencanaan pengamatan secara sistematis. Kamera jebak diletakkan dalam setiap grid yang dipilih. Adapun grid-grid yang dimaksud dibuat pada peta virtual (maya) dengan bantuan program ArcGIS. Dalam penelitian ini grid yang dimaksud berukuran 2x2 km. Grid yang dipilih untuk pemasangan kamera jebak selalu berada diantara dua grid lain yang tidak dipasangi kamera, baik dalam baris maupun dalam kolom. Hal ini juga dilakukan secara virtual dengan bantuan program ArcGIS. Setelah grid-grid yang akan dipasangi kamera ditentukan, maka dilakukan peninjauan ke lapangan untuk 31

4 melihat kondisi lingkungan yang ada serta menentukan titik pemasangan kamera. Penentuan titik pemasangan kamera tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan potensi lokasi sebagai tempat lintasan satwa sasaran. Kamera jebak dipasang pada titik yang telah ditentukan. Dalam hal ini ketinggian pemasangan kamera disesuaikan dengan ukuran tubuh satwa sasaran. Pada penelitian ini kamera dipasang untuk satwa badak yaitu ketinggian 120 cm. Pemantauan kamera dilakukan berdasarkan kapasitas baterai dan kartu memori yang terpasang dalam masing-masing kamera. Umumnya hal ini dilakukan setiap satu bulan (di WWF Indonesia). Selama pemantauan juga dilakukan pengumpulan data dari hasil pemotretan kamera selama satu bulan tersebut. (a) (b) (c) (d) Gambar 2. Contoh pembuatan disain survei menggunakan kamera jebak: (a) Lokasi survei yang ditentukan; (b) pembuatan grid pada peta lokasi; (c) pemilihan grid; (d) survei kondisi grid dan penentuan titik pemasangan kamera di lapangan. Semua kamera yang dipasang merupakan kamera digital (bermerk Bushnell & Reconyx, USA) yang berisi 12 baterai A2 (Energizer) dan sebuah kartu memori berkapasitas 16 GB. Secara berkala, yaitu setiap 30 hari sekali, keduanya harus diambil dan diganti. Data rekaman yang berupa foto maupun video dari masing-masing kamera segera dipindahkan kedalam komputer, dimana sebelumnya telah disiapkan folder-folder untuk menampung data dari masing-masing kartu memori. Setelah pengumpulan data di lapangan selesai, baru dilakukan pemeriksaan isi masing-masing folder tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan dengan sistematika. Hal pertama yang dilakukan adalah pemilihan dan 41

5 pemisahan foto-foto dan video-video yang di dalamnya terdapat gambar harimau. Nama setiap foto atau video harimau diganti dengan kode nomor sel dan tanggal perekaman. Pemilihan dan pemisahan foto-foto dan video-video harimau yang dapat dikategorikan sebagai gambar-gambar independen, yaitu gambar-gambar spesies yang sama yang terekam di tempat yang sama dengan jarak perekaman minimal 30 menit (O Brien et al. 2003; Rayan 2012). Setiap gambar independen disimpan sebagai sisipan dalam program Microsoft Excel dan dilakukan identifikasi tiap individu. Dalam penelitian ini, yang peneliti lakukan hanya sebatas mengidentifikasi individu dan analisa populasi, tidak termasuk pemasangan kamera dan pengelolaan data. Analisis Data Jumlah dan Komposisi Individu Jumlah individu ditentukan berdasarkan jumlah total harimau dalam semua gambar independen yang dapat dikenali sebagai individu-individu yang berbeda (distinct individuals). Sementara untuk foto yang tidak jelas dan tidak dapat diidentifikasi disimpan dalam folder Unknown. Identifikasi foto dan video dilakukan secara manual, dimana antara foto satu dan foto yang lainnya dibandingkan dan dicatat perbedaan-perbedaan yang ada. Ciri utama pembeda antar individu dalam hal ini adalah ukuran tubuh, jenis kelamin, karakteristik pola warna tubuh, panjang surai dan karakteristik belang. Ciri pembeda lainnya adalah waktu dan tempat dimana foto atau video suatu individu terekam. Selanjutnya hasil identitifikasi dimasukkan kedalam Microsoft Excel dengan menyertakan data waktu perekaman, nama sel dan koordinat sel. Individu Secara Spasial dan Waktu Aktif Sebaran spasial yang dimaksud dalam hal ini adalah sebaran menurut ketinggian tempat (elevasi). Karena elevasi setiap titik pemasangan kamera diketahui, maka keberadaan harimau juga dapat dianalisis berdasarkan data ini. Sebaran spasial hewan ini ditunjukan dengan melihat jumlah gambar independen pada setiap kelas elevasi. Sama halnya dengan sebaran spasial, dengan melihat jumlah gambar independen beserta waktu kapan gambar tersebut terpotret oleh kamera jebak, maka kita juga mengetahui sebaran temporal ataupun waktu aktif individu tersebut. Korelasi antara skor tingkat gangguan dan jumlah gambar independen Kondisi lingkungan dalam sel sangat mempengaruhi jumlah kehadiran harimau. Dalam penelitian ini kondisi lingkungan dalam sel dilihat dari tingkat gangguan manusia. Gangguan manusia yang dimaksud berupa perburuan, aktivitas pengambilan hutan hasil nonkayu, aktivitas pencarian ikan dan penebangan yang dimana masingmasing gangguan diberi skor antara 0 (tidak ada) hingga 5 (relatif tinggi). Data skor tingkat gangguan tersebut berkorelasi dengan jumlah gambar independen. Dan analisis data ini dikelola di program aplikasi statistik yaitu SPSS. 51

6 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemotretan secara umum Penelitian ini secara keseluruhan telah dilakukan dengan jumlah usaha hari-kamera efektif. Usaha yang telah dilakukan menghasilkan 444 gambar harimau, yang mana hanya 149 gambar yang dapat dikategorikan sebagai gambar independen. Semua gambar ini diperoleh pada 29 lokasi atau sel dari 45 sel tempat pemasangan kamera. Wilayah dimana kamera jebak dipasang dapat dibagi secara virtual menjadi sektor utara dan sektor selatan serta sektor barat dan sektor timur. Di sektor utara terdapat 20 sel tempat dimana kamera jebak dipasang, sedangkan di sektor selatan terdapat 25 sel. Di sektor barat terdapat 19 sel tempat pemasangan kamera, sedangkan di sektor timur terdapat 26 sel. Tabel 1. Hasil pemasangan kamera jebak di masing-masing sektor dalam wilayah penelitian Sektor Parameter Utara Selatan Barat Timur Jumlah sel dengan kamera jebak Jumlah sel dengan gambar independen Frekuensi sel dengan gambar independen (%) Jumlah total gambar independen Jumlah rerata gambar independen per 4,3 2,5 3 3,5 sektor Kisaran jumlah gambar independen per sel Jumlah rerata gambar independen per sel Tabel 1 terlihat adanya variasi jumlah sel dalam suatu sektor dimana harimau tertangkap oleh kamera yang dipasang. Proporsi sel dengan gambar independen dalam suatu sektor berkisar 47-76% atau rata-rata 63%. Sektor timur memiliki proporsi sel dengan gambar independen terbesar (76%), sebaliknya sektor barat dijumpai proporsi sel dengan gambar independen terkecil (47%). Jumlah gambar independen per sel secara umum berkisar 0-23 gambar atau rata-rata 3 gambar per sel. Jumlah kehadiran harimau dalam suatu sel kemungkinan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam sel yang bersangkutan. Dalam penelitian ini kondisi lingkungan yang dimaksud dilihat dari tingkat gangguan manusia yang berupa perburuan, aktivitas pengambilan hutan hasil nonkayu, aktivitas pencari ikan dan penebangan yang masing-masing diberi skor antara 0 (tidak ada) hingga 5 61

7 (relatif tinggi). Kondisi lingkungan secara umum dicerminkan dalam bentuk jumlah total skor dari keempat parameter ini. Tabel 2. Korelasi antara skor tingkat gangguan dan jumlah gambar independen harimau/sel Jenis gangguan Korelasi Pearson Sig. Perburuan -0,112 0,462 HHNK -0,008 0,956 Pencarian ikan -0,094 0,537 Penebangan -0,003 0,982 Gabungan -0,068 0,655 Keterangan: *Signifikasi pada tingkat 0,05 Sebagaimana yang dapat dilihat dalam tabel ini, secara umum kegiatan manusia yang berupa perburuan, pengambilan hasil hutan non kayu, kegiatan pencarian ikan dan penebangan baik secara individual maupun kolektif berkolerasi negatif dengan tingkat kehadiran harimau dalam sel. Meskipun demikian korelasi yang ditemukan masih sangat lemah dan tidak signifikan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan masih relatif rendahnya tingkat gangguan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut. Menurut Sunarto (2013), adanya kegiatan manusia cenderung mengganggu keberadaan harimau baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil Identifikasi Individu a b c a2 a1 b1 Gambar 5. Karakteristik individual harimau yang dapat dikenali: (a) individu jantan dewasa; (b) individu betina dewasa; (c) individu remaja (tidak diketahui jenis kelamin); (a1) penanda kelamin jantan; (a2) panjang surai; (b1) penanda kelamin betina. c Dari 444 gambar harimau yang diperoleh ternyata hanya 361 gambar saja yang dapat diidentifikasi. Sisanya, yaitu 83 gambar, tidak dapat 71

8 diidentifikasi dikarenakan beberapa hal, seperti pencahayaan yang terlalu lemah dan kuat, kekaburan, dan tertangkapnya tubuh harimau secara parsial. Dari gambar-gambar yang diidentifikasi dapat diperoleh informasi tentang kategori umur harimau, yaitu dewasa dan remaja beserta jenis kelamin berdasarkan penanda kelamin, panjang surai dan ukuran tubuh. Proses identifikasi tidak hanya dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologis saja, waktu dan tempat tertangkapnya masing-masing individu harimau oleh kamera yang dipasang, juga dapat membantu proses identifikasi. Pada prinsipnya tidak mungkin individu yang sama terpotret dalam waktu yang bersamaan dan ditemukan di sel-sel yang berbeda, apalagi apabila jarak antara sel-sel ini cukup berjauhan. Dalam hal ini, menurut tempat terpotretnya, dapat diketahui bahwa jumlah tempat kehadiran masing-masing individu tersebut cukup beragam yaitu, Tabel 3. Perbandingan hasil identifikasi harimau yang pernah dilakukan di empat kawasan lindung di Sumatera Tempat Penelitian Usaha Sampling (Kamerahari) Jumlah Gambar independen harimau Jumlah Individu Laju Perjumpaan * Sumber TNTN ,01 Hutajulu (2007) TNBG Kerumutan ,01 0,01 Wibisono (2009) Sunarto (2013) TNBBS ,03 Penelitian ini *Laju Perjumpaan = jumlah foto yang diperoleh/ usaha sampling Dengan menggabungkan antara identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologis dan kesesuaian antara waktu dan tempat terpotretnya, dapat diperoleh taksiran bahwa populasi harimau yang dipelajari terdiri dari 16 individu yang berbeda. Jumlah individu yang didapatkan relatif besar apabila dibandingkan dengan temuan-temuan penelitian lain (Tabel 3). Selain itu, laju perjumpaan harimau oleh kamera jebak dalam penelitian ini juga cukup tinggi, yaitu 0,03 gambar/kamera-hari apabila dibandingkan dengan temuan penelitian lain (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dalam upaya penjebakkan atau trapping effort (Azlan 2009). Dapat dilihat di tabel 3 bahwa usaha sampling pada penelitian ini lebih besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan penelitian lain. Sunarto (2013) menambahkan, hal ini juga terkait dengan kombinasi kualitas habitat, ketersediaan mangsa dan aktivitas manusia yang berbeda pada lokasi penelitian yang dimana hal ini dapat mempengaruhi keberadaan harimau. Struktur Populasi Kekhasan dari populasi yang penting dari segi ekologi adalah keragaman morfologi dalam suatu populasi alam sebaran umur, jenis 81

9 kelamin dan komposisi genetik (Odum, 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa populasi harimau yang berhasil diidentifikasi terdiri dari tujuh individu jantan dewasa (44%), delapan individu betina dewasa (50%) dan satu individu remaja tidak diketahui jenis kelaminnya (6%). Dengan demikian, proporsi harimau dewasa jauh lebih besar (94%) dibanding proporsi harimau remaja dan proporsi harimau betina dewasa (50%) lebih besar dibanding harimau jantan dewasa (44%). Rasio kelamin memiliki arti yang sangat penting dalam proses reproduksi hewan khususnya mamalia. Secara umum diketahui bahwa apabila jumlah individu berkelamin betina lebih banyak, artinya rasio kelamin populasi <1, hal ini dapat menjamin keberlanjutan proses reproduksi dibanding sebaliknya (Montenegro 1998; Subiarsyah 2014). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa populasi harimau yang berada di lokasi penelitian terbilang cukup sehat. Karanth dan Stith (1999) menyarankan bahwa populasi harimau di alam memiliki 25% anak. Pola Aktifitas Sebaran menurut tempat Persebaran satwa terestrial sangat dipengaruhi oleh elevasi. Oleh karenanya pada penelitian ini kamera jebak telah dipasang dalam rentang ketinggian tempat mulai dari 252 hingga 1199 m dpl, antara lain sebagai upaya untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap sebaran harimau. Jumlah gambar/100 trap night Kisaran ketinggian tempat (m dpl) Gambar 6. Perbandingan frekuensi kehadiran harimau pada berbagai ketinggian tempat berdasarkan jumlah gambar independen yang diperoleh Hasil yang diperoleh secara keseluruhan berupa 47,24 gambar independen/100 kamera-hari, dimana keberadaan harimau ternyata paling banyak terdeteksi pada ketinggian > m dpl (18,43 gambar independen/100 kamera-hari atau 39 %) (Gambar 4.4). Menurut O Brien et al. (2003) harimau sumatera dapat ditemukan pada berbagai ketinggian tempat, mulai dari 0 hingga 2000 m dpl. Linkie et al. (2003) menambahkan bahwa satwa ini tidak terlalu jarang ditemukan di tempat-tempat yang 91

10 tinggi, yaitu hingga lebih dari 2400 m dpl. Keberadaan mangsa adalah faktor penting yang mempengaruhi keberadaan harimau (Karanth et al. 2004). Menurut Griffth (1994) keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100 hingga 600 m dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan 9 ketinggian 600 hingga 1700 m dpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang memepengaruhi kepadatan satwanya. Dinata (2008) menambahkan, hipotesis ini tidak berlaku untuk kawasan habitat yang terganggu seperti hasil yang ditunjukkan pada penelitian ini (Gambar 4.4), yang menunjukkan hal sebaliknya. Whitten et al (1984) menambahkan keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat mendukung biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa. Namun luasan dataran rendah di Sumatera yang tersisa menyusut secara cepat akibat alih fungsi lahan untuk pemukiman, pertanian dan lain-lain. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Seidensticker et al (1999) yang menyatakan bahwa disamping variasi jenis vegetasi, kepadatan satwa juga bergantung pada tingkat kerawanan kawasan hutan terhadap perburuan dan gangguan dari aktivitas manusia lainnya. Bahkan tidak jarang hewanhewan ungulata tersebut akan melakukan migrasi ke daerah dataran tinggi (Ramono dan Santiapillai 1993). Sebaran menurut waktu Secara umum spesies mamalia diketahui memiliki pola aktifitas harian yang cukup beraturan (Hearn et al. 2013). Waktu aktivitas dibagi dalam 2 periode yaitu siang mulai pukul 07:00 sampai 17:59 dan malam mulai pukul 18:00 sampai pukul 06:59 (Kawanishi & Sunquist 2004). Bernard et al. (2013) menambahkan adanya waktu aktif yang aritmik atau meliputi kedua belahan hari. Jumlah gambar / 100 trap night 0,20 0,18 0,16 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 0,02 0 0,07 0,05 0,04 0,14 0,18 0,11 0,04 0,04 0,13 0,11 0,02 0,09 0,09 0,07 0,02 0,13 0,04 0,04 0, :00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00 Kisaran waktu Gambar 7. Perubahan frekuensi kehadiran harimau selama 24 jam berdasarkan jumlah gambar independen yang diperoleh 10 1

11 Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa harimau lebih banyak tertangkap kamera dalam selang waktu antara jam 05:00 sampai 17:00 (0,02 0,18 gambar independen/100 kamerahari) dibandingkan antara jam 18:00 sampai 04:00 (0,00 0,07 gambar independen/100 kamera-hari) (Gambar 4.4). Pola aktifitas yang sama juga ditemukan dalam penelitian Linkie & Ridout (2011) dan Hutajulu (2007). Waktu aktif harimau pada siang hari ditemukan disepanjang hari dan pada malam hari tidak ditemukan aktivitas pada pukul 20:00, 21:00, 23:00 dan 00:00. Pola aktivitas harimau dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas satwa mangsa yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi, pelanduk dan rusa) (Hutajulu 2007). Relevansi Pengelolaan Sebagaimana telah disebutkan dalam sub-bab sebelumnya, melalui penelitian ini dapat dipastikan bahwa setidaknya terdapat 16 individu harimau dalam wilayah penelitian yang meliputi areal seluas 390 km². Hal ini memberikan taksiran kasar bahwa di wilayah ini terdapat kurang lebih empat individu harimau dalam setiap 100 km². Taksiran ini menunjukkan bahwa TNBBS memiliki populasi harimau yang cukup besar. Penelitian serupa yang telah dilakukan di wilayahwilayah lain di Sumatera (Linkie et al. 2006; O Brien et al. 2003; Sunarto 2013; Wibisono 2006) umumnya menghasilkan taksiran densitas harimau <2 individu/100 km². Meskipun kemungkinan temuan penelitian ini tetap perlu diverifikasi dengan menggunakan metode perhitungan yang setara, misalnya program DENSITY (Linkie et al. 2006; Subagyo 2013; Sunarto 2013), terdapat indikasi positif bahwa TNBBS merupakan kantong populasi harimau Sumatera yang sangat penting di pulau ini. Menurut Franklin (1999), daerah 10 jelajah harimau betina dewasa berkisar km², sedangkan daerah jelajah harimau jantan diperkirakan kurang lebih 180 km². Merujuk pendapat ini, apabila diasumsikan bahwa densitas harimau di TNBBS benar-benar mencapai 4 individu/100km² maka dalam wilayah ini terdapat tumpang tindih daerah jelajah dari satwa yang sebenarnya sangat teritorial ini (Priatna et al. 2012). Hal ini bukan tidak mungkin memiliki konsekuensi tersendiri yang kontra-produktif bagi konservasi spesies yang terancam kepunahan ini, terutama sekali apabila populasi hewan-hewan mangsanya seperti rusa sambar, kijang dan babi hutan tidak cukup berlimpah (Linkie 2011; Sunarto 2013). Konsekuensi lain adalah tingginya densitas harimau suatu wilayah berpotensi menjadikan wilayah ini menjadi sasaran perburuan liar, apalagi apabila pihak yang berwenang belum mampu melakukan perlindungan secara efektif (Shepherd & Magnus 2004). Ditinjau dari rasio kelamin populasi harimau di TNBBS, dimana ditemukan 7 individu jantan dewasa dan 8 betina dewasa serta 1 individu remaja yang tidak diketahui jenis kelaminnya, terdapat peluang yang cukup besar bagi populasi ini untuk terus bertahan. Persoalannya adalah sejauh mana perburuan liar, baik secara langsung terhadap harimau maupun secara tidak langsung terhadap hewan-hewan mangsanya, serta kerusakan habitat seperti yang diakibatkan oleh 11 1

12 penebangan liar maupun penjarahan lahan dapat dicegah semaksimal mungkin. Menurut Sunarto (2013), upaya perlindungan harimau Sumatera beserta habitat aslinya memerlukan dukungan banyak pihak, mulai dari tingkat lokal hingga internasional guna menekan berbagai gangguan manusia semacam ini. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, terdapat indikasi positif bahwa TNBBS merupakan kantong populasi harimau Sumatera yang sangat penting di pulau ini. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Besar Taman Nasional Bukit barisan Selatan dan WWF Indonesia Program Lampung yang telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Ahmad Muhammad selaku pembimbing 1 dan Bapak Sunarto, Ph.D selaku pembimbing 2 serta kepada Febri Anggriawan Widodo dari WWF Indonesia-Program Sumatera bagian Tengah, Beno Fariza Syahri dan Bapak Yob Charles dari WWF Indonesia- Sumatera bagian Selatan, yang telah membantu penulis dalam penelitian dari mulai pengelolaan data hingga memberikan informasi berupa teknis maupun non-teknis. DAFTAR PUSTAKA Ancrenaz M, Hearn AJ, Ross R, Sollmann R, and Wilting A Handbook for wildlife monitoring using camera traps. BBEC Publication, Malaysia. Azlan, M. J The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of Tropical Biology and Conservation, 5:81-86 Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS) Rencana pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (RPTN) (Buku II). Lampung: Balai TNBBS. (Tidak diterbitkan). Bernard H., Ahmad AH., Brodie J., Giardano AJ., Lakim M., Amat R., Hue pei SK., Khee LS., Tuuga A., Malim PT., Hasegawa DL., Wai YS., Sinun W Camera trapping survey of mammals in and around imbak canyon conservation area in Sabah Malaysian Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 61: C.J. Krebs Ecology. 3rd ed. Harper & Row, New York. Dinata, Y., dan Jito Sugardjito Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Jurnal Biodiversitas. 7(3):

13 Griffiths, M Population density of Sumatran tigers in Gunung Leuser National Park. In Tilson R.L., Komar Soemarna, Widodo Ramono, Sukianto Lusli, Traylor-Holzer K., and Seal U.S. (eds). Sumatran Tiger Report: Population and Habitat Viability Analysis. Apple Valley, Minnesota, Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature 104 Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. p: Hearn AJ., Ross J., Pamin D., Bernard H., Hunter L., Macdonald DW Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard Neofelis diardi. The Raffles Bulletin of Zoology 61: Hutajulu, M.B Studi karakteristik ekologi harimau Sumatera [Panthera tigrissumaterae (Pockok 1929)] berdasarkan camera trap di landsekap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. Thesis. Program Pasca Sarjana FMIPA. Program Studi Biologi Konservasi. Universitas Indonesia. Depok IUCN IUCN Red List of Critically Endangered Species. (diakses pada 15 September 2015) Karanth, K. U. & Bradley M. Stith Prey depletion as a critical determinant of tiger population viability. In Seidensticker, J., Christie S. & Jackson P. (eds.). Riding the Tiger: Conservation in human dominated landscapes. Cambridge University press, Cambridge, UK. p: Karanth, K. U. and J. D. Nichols Monitoring Tiger and Their Prey ; a Manual Research, Managers and Conservation in Tropical Asia. Center for Wildlife Studies. India. Karanth K. U., Nichols J. D., Kumar N. S., Link W. A. & Hines J. E Tigers and their prey: Predicting carnivore densities from prey abundance. PNAS 101 (14): Kawanishi, K. & M. Sunquist Conservation Status of tigers in a primary rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation 120: Kinnaird MF, Sanderson EW, O Brien TG, Wibisono HT,Woolmer G Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered large mammals. Conservation Biology 17, Lettink, M.; Armstrong, D.P. 2003: An introduction to using markrecapture analysis for monitoring threatened species. Department of Conservation Technical Series 28A: Linkie, M., M.S. Ridout Assessing Tiger-Prey Interactions in Sumatran Rainforests. Journal of Zoologi 284,

14 Linkie, M., D.J. Martys, J. Holden, A. Yanuar, A.T. Hartana, J. Sugarditjo, and N.L. William Habitat Destruction and Poaching Threaten the Sumatran Tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37: Mazak, V Panthera tigris. Mamalia Species. 152, 1-8. Montenegro. O.L The Behavior Of Lowland Tapir (Tapirus Terrestris) at A Natural Mineral Lick Dl The Peruvian Amazon. Unpublished Thesis. University of Florida. Nemora, and Ng. Julia Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia. O Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono Crouching tigers, hidden prey: Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: Odum, E.P Dasar-Dasar Ekologi. Tj. Samigan. [Penerjemah]; Srigandono [Editor]. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Gajah Mada Press.Yogyakarta. Paul, L Closed population Capture-Recapture models. Chapter 14. University of Montana, Cooch & White. Pocock, R. I Tigers. Journal of the Bombay Natural History Society 33, Poole, R.W An Introduction to quantitative ecology. McGraw- Hill, New York Ramono, W & Santiapillai, C Conservation of Sumatran Tigers in Indonesia, In Tilson R.L., Soemarna K., Ramono W., Lusli S., Traylor-Holzer K., & Seal U.S. (eds.). Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report, Apple Valley, Minnesota, Royle, J. A., and K. V. Young A hierarchical model for spatial capture-recapture data. Ecology 89: Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson Preface. In: Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Riding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge, UK.: Cambridge University Press. Stoklosa, J Modern Statistical Methods for the Analysi of Capture-Recapture Data. Australia. Departement of Matematics and Statistic, University of Melbourne. Subiarsyah, M.I Struktur Populasi Monyet Ekor Panjang di Kawasan Pura Batu Pageh Ungasan Badung Bali. Indonesia Medicus Veterinus 3(3) : Sunarto Ecology And Restoration Of Sumatran Tigers In Forest And Plantation Landscapes. [Disertasi]. Virginia: The faculty 14

15 of Polytechnic Institute and State, University of Virginia. Sunarto, M.J. Kelly, S. Klenzendorf, M.R.Vaughan, Zulfahmi, M.B. Hutajulu and K. Parakkasi Threatened predator on the equator: multi-point abundance estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra. Oryx 47(2): Uryu, Y.; Purastuti, E.; Laumonier, Y.; Sunarto, Setiabudi & Budiman, A Sumatra s Forests, their Wildlife and the Climate Windows in Time: 1985,1990,2000 and A quantitative assessment of some of Sumatra s natural resources submitted as technical report by invitation to the National Forestry Council (DKN) of Indonesia. WWF Indonesia, Jakarta, Indonesia. Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar, dan N. Hisjam Ekologi Sumatera. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Wibisono H. T., Sugesti M. Arief, Anton Ario, Wagiman & Abu H. Lubis Population and Ecology of Sumatran Tiger in Batang Gadis National Park: A Preliminary Study. Final Technical Report. CI-Indonesia, Jakarta. 22p WWF Indonesia Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). tra.org (diakses pada 21 September 2015) 15

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU ABSTRACT

STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU ABSTRACT STUDI POPULASI TAPIR ASIA (Tapirus indicus) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, PROVINSI RIAU Antika Fardilla 1*, Ahmad Muhammad 2, Sunarto 3 1 Mahasiswa Program S1 Biologi, FMIPA,

Lebih terperinci

B I O D I V E R S I T A S ISSN: X Volume 9, Nomor 3 Juli 2008 Halaman:

B I O D I V E R S I T A S ISSN: X Volume 9, Nomor 3 Juli 2008 Halaman: B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 9, Nomor 3 Juli 2008 Halaman: 222-226 Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat Hutan

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT Fauziah Syamsi Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau Kepulauan Koresponden : fauziah@unrika.ac.id

Lebih terperinci

PENGENALAN KUCING CONGKOK (Prionailurus bengalensis) BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA di TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (TNWK)

PENGENALAN KUCING CONGKOK (Prionailurus bengalensis) BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA di TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (TNWK) PENGENALAN KUCING CONGKOK (Prionailurus bengalensis) BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA di TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (TNWK) Garnis Widiastuti 1, Elly Lestari Rustiati 1, Jani Master 1, Agus Subagyo 2, Muhammad

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ESTIMASI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) DI SUAKA MARGASATWA BUKIT RIMBANG BUKIT BALING MENGGUNAKAN BANTUAN PERANGKAP KAMERA

ESTIMASI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) DI SUAKA MARGASATWA BUKIT RIMBANG BUKIT BALING MENGGUNAKAN BANTUAN PERANGKAP KAMERA ESTIMASI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) DI SUAKA MARGASATWA BUKIT RIMBANG BUKIT BALING MENGGUNAKAN BANTUAN PERANGKAP KAMERA Maryani, Ahmad Muhammad, Sunarto Mahasiswa Program S1 Biologi Bidang

Lebih terperinci

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Gunardi Djoko Winarno dan Revi Ameliya Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Abstract

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan sub spesies macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) yang memiliki morfologi dan genetika sangat berbeda

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Hutan dan Harimau Sumatera Indonesia sebagai negara berkembang sedang sangat giat melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis Siti Chadidjah Kaniawati pada situs Balai Taman Nasional Kayan Mentarang menjelaskan dalam beberapa

Lebih terperinci

STUDI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) MENGGUNAKAN KAMERA JEBAK DI HUTAN LINDUNG BUKIT BATABUH PROVINSI RIAU

STUDI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) MENGGUNAKAN KAMERA JEBAK DI HUTAN LINDUNG BUKIT BATABUH PROVINSI RIAU STUDI POPULASI MACAN DAHAN SUNDA (Neofelis diardi) MENGGUNAKAN KAMERA JEBAK DI HUTAN LINDUNG BUKIT BATABUH PROVINSI RIAU Riska Julianti 1, Yulminarti 2, Febri Anggriawan Widodo 3, Eka Septayudha 3 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor 67 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor [Anonim]. 2004. Teritori. Bahan Kuliah Perilaku Satwa. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Data-data yang diperoleh dalam bab ini didapat melalui beberapa metode seperti yang dijabarkan sebagai berikut : Data Sumatif : Berasal dari survey dan artikel internet

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gajah Sumatera merupakan salah satu mamalia besar yang ada di Sumatera dan merupakan satwa yang dilindungi secara nasional maupun internasional. Berdasarkan Redlist yang

Lebih terperinci

KEBERADAAN HARIMAU SUMATERA

KEBERADAAN HARIMAU SUMATERA KEBERADAAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DAN SATWA MANGSANYA DI BERBAGAI TIPE HABITAT PADA TAMAN NASIONAL TESSO NILO (The Existence of Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) and animal

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53 SIARAN PERS Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Jakarta, 29 Desember 2011 Badak jawa merupakan satu dari dua jenis spesies badak yang ada di Indonesia dan terkonsentrasi hanya di wilayah

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badak merupakan salah satu mamalia darat terbesar setelah gajah yang terancam punah. Saat ini, hanya terdapat 5 spesies badak yang masih bertahan di dunia, tiga jenis berada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 PENDUGAAN JUMLAH INDIVIDU HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) DENGAN MENGGUNAKAN CAMERA TRAP SKRIPSI Oleh: DELCIA SEPTIANI 071201003 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KEBERADAAN BERUANG MADU (Helarctosmalayanus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS MENGGUNAKAN JEBAKAN KAMERA. Surel:

PEMANTAUAN KEBERADAAN BERUANG MADU (Helarctosmalayanus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS MENGGUNAKAN JEBAKAN KAMERA. Surel: PEMANTAUAN KEBERADAAN BERUANG MADU (Helarctosmalayanus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS MENGGUNAKAN JEBAKAN KAMERA Suci Natalia 1), Jani Master 1), Sumianto 2), Muhammad Yunus 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di Resort Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, bekerja sama dan di bawah program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

PANTHERA MERAYAKAN KESUKSESAN ATAS UPAYA KONSERVASI HARIMAU SUMATRA

PANTHERA MERAYAKAN KESUKSESAN ATAS UPAYA KONSERVASI HARIMAU SUMATRA July 17, 2014 For Immediate Release Contact for Panthera: Susie Weller, (+1) 347-446-9904 // sweller@panthera.org PANTHERA MERAYAKAN KESUKSESAN ATAS UPAYA KONSERVASI HARIMAU SUMATRA Jakarta, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera Forum HarimauKita - Jakarta, 30 Juli 2017 Kita tidak mau kehilangan lagi, 30 tahun yang lalu kita kehilangan harimau jawa (Panthera

Lebih terperinci

Penggunaan Jerat dalam perburuan liar: Pengetahuan masyarakat di perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung

Penggunaan Jerat dalam perburuan liar: Pengetahuan masyarakat di perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Penggunaan Jerat dalam perburuan liar: Pengetahuan masyarakat di perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Alek Sander 1, Elly L. Rustiati 1, Andjar Rafiastanto 2, Rudi Akbarta 3 1 Jurusan

Lebih terperinci

Wildlife Conservation Society Indonesia Program Jalan Tampomas No.35, Babakan, Bogor Tengah, Jawa Barat *

Wildlife Conservation Society Indonesia Program Jalan Tampomas No.35, Babakan, Bogor Tengah, Jawa Barat * KEANEKARAGAMAN JENIS FELIDAE MENGGUNAKAN CAMERA TRAP DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (Diversity of Felidae Using Camera Trap at Bukit Barisan Selatan National Park) Rizki Amalia Adinda Putri 1*,

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) ) terbagi menjadi sembilan subspesies yang tersebar di Asia, mulai dari daratan Turki hingga ke Rusia dan Indonesia. Namun saat ini hanya tersisa enam subspesies harimau saja di dunia. Tiga subspesies

Lebih terperinci

PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR. Indonesia-Program Kutai Barat

PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR. Indonesia-Program Kutai Barat PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR (Sumatran Rhino Observation Presence in the Kutai Barat and Mahakam Ulu of East Kalimantan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan alam tropis yang tak ternilai harganya dan dipandang di dunia internasional. Tidak sedikit dari wilayahnya ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar

Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar NURI DWI 1 YUDARINI, I GEDE SOMA 2, SRIKAYATI WIDYASTUTI 1 1) Lab Penyakit Dalam Veteriner, 2) Lab

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA NEWSLETTER [CLICK TO TYPE THE PHOTO CREDIT] 2013 MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA Badak Jawa yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus merupakan salah satu hewan yang dijamin oleh Undang-undang di Indonesia

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Arahan Dalam EU RED Terkait Sumber Biofuel Ramah Ligkungan - Penggunaan biofuel harus bersumber dari penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

Konservasi Biodiversitas Indonesia

Konservasi Biodiversitas Indonesia Konservasi Biodiversitas Indonesia Dr. Luchman Hakim Bahan Kuliah PS S2 Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan dan Pembangunan Program Pasca Sarjana Univesitas Brawijaya Posisi Indonesia dalam dunia 1 2 3 4

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan faunanya. Dari segi fauna, Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi karena wilayahnya yang terdiri dari kepulauan

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)

STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) 2007-2017 Departemen Kehutanan 2007 STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) 2007-2017

Lebih terperinci

UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA Saat ini TFCA- Sumatera kembali membuka kesempatan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM),

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1. Sumber Data 2.1.1. Literatur Buku 1. Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada tingkat Penangkaran, oleh Gono Semiadi dan R. Taufiq Purna Nugraha 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) merupakan kadal besar dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya Desa Fajar Baru Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Gambar

Lebih terperinci

KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA 1. Hibah Khusus Spesies karismatik TFCA- Sumatera merupakan kerja sama antara Indonesia dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1 Taksonomi Di dalam ilmu biologi, suatu jenis hewan atau tumbuhan dapat diklasifikasikan kedalam satu golongan tertentu. Pengelompokkan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci