APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG"

Transkripsi

1 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG (Bos javanicus d Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Studi Kasus Padang Penggembalaan Cidaon) ANDITA HUSNA DESTRIANA E DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi kasus padang penggembalaan Cidaon) benar-benar hasil dari pemikiran dan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di bawah bimbingan dosen pembimbing skripsi dan belum pernah dipublikasikan oleh pihak manapun. Segala bentuk sumber atau kutipan yang digunakan dalam skripsi ini telah dicantumkan dalam daftar pustaka. Bogor, September 2008 Penulis

3 RINGKASAN ANDITA HUSNA DESTRIANA. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi kasus padang penggembalaan Cidaon). Dibimbing oleh Ir. HARYANTO R. PUTRO, MS dan Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, MSc. Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1992 berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992. Selain itu pada tahun yang sama kawasan ini juga ditetapkan sebagai World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO dengan SK No. SC/Eco/ karena merupakan kawasan konservasi yang mempunyai habitat satwa langka dan dilindungi, yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Selain sebagai habitat badak jawa, TNUK juga merupakan habitat bagi banteng (Bos javanicus) dan satwaliar dilindungi lainnya. TNUK merupakan habitat yang cocok untuk badak jawa dan banteng karena menyediakan kebutuhan spesies tersebut baik jenis pakan, tempat berlindung, air dan mineral maupun tempat berhubungan sosial. Akan tetapi, beberapa temuan-temuan lapangan dari beberapa peneliti menunjukkan adanya indikasi persaingan badak jawa dan banteng. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya kondisi habitat banteng dan badak jawa mempunyai kualitas dan kuantitas yang terbatas. Untuk menghindari terjadinya persaingan di antara dua jenis satwa tersebut, maka diperlukan suatu kegiatan pengelolaan habitat dengan terlebih dahulu mengetahui karakteristik habitat yang diperlukan oleh banteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu kegiatan pengelolaan habitat yang dapat dilakukan adalah mengetahui kondisi kualitas habitat banteng dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder yang kemudian disusun berdasarkan urutan kebutuhan hidup banteng yang kemudian dalam SIG dikenal dengan istilah layer atau peta tematik. Terdapat tujuh layer yang dijadikan indikator kriteria kesesuaian habitat, yaitu data jenis dan jumlah pakan yang dianalisis terhadap peta indeks vegetasi atau NDVI (Natural Difference Vegetation Index), jenis tutupan lahan, kelas ketinggian, kelas lereng, jarak dengan sumber air dan jarak dengan jalan. Analisis data spasial menggunakan metode CMA (Composite Mapping Analysis) yang pada dasarnya akan memberikan skor pada masing-masing faktor sehingga menghasilkan suatu bobot kesesuaian. Berdasarkan hasil analisis data diketahui tipe vegetasi merupakan faktor yang paling penting bagi habitat banteng dan kemiringan lereng merupakan faktor yang dianggap paling tidak berpengaruh bagi habitat banteng. Sedangkan apabila ditinjau dari faktor-faktor penyusun kelas kesesuaian habitat secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa padang penggembalaan Cidaon merupakan areal dengan habitat yang sangat sesuai bagi banteng, hal ini dapat dibuktikan dengan sekitar 58.02% dari seluruh luasan merupakan habitat dengan kesesuaian yang tinggi. Kata kunci : Banteng (Bos javanicus d alton 1832), SIG (Sistem Informasi Geografis), kesesuaian habitat, CMA (Composite Mapping Analysis).

4 SUMMARY ANDITA HUSNA DESTRIANA. Application of Geographic Information System for Mapping of Habitat Suitability of Banteng (Bos javanicus d Alton 1832) In Ujung Kulon National Park (Case Study of Cidaon Grazing Ground) Supervised by Ir. HARYANTO R. PUTRO, MS and Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, MSc. Ujung Kulon was officially declared as a National Park since 1992 based on Forestry Minister decree No. 284/Kpts-II/1992. In the same year this park was also declared as World Heritage Site by World Nature Heritage Commission of UNESCO by decree No. SC/Eco/ for being conservation area that had the habitat of endangered and protected species, which is Javan Rhinoceros (Rhinocheros sondaicus Desmarest, 1822). Beside the habitat of Javan Rhinoceros, UKNP is also a habitat for banteng (Bos javanicus d Alton 1832) and other protected wild animals. UKNP is a suitable habitat for Javan rhinoceros and banteng because providing the life-requisites of those species either food type, shelter, water and mineral, or place for socialization. But then, several finding in the field from several researchers showed indication of competition of Javan rhinoceros and banteng. This was because in fact the habitat condition of Javan rhinoceros and banteng had limited quality and quantity. To avoid competition between those two species, then certain habitat management activity is required by knowing beforehand the habitat characteristic needed by banteng to fulfill its life-requisites. One of the habitat management activities that can be done was observing the condition of banteng habitat quality by using Geographic Information System (GIS) application. The type of collected data included primary data and secondary data which was then sorted based on the order of banteng life-requisites which in GIS known as layer or thematic map. There were seven layers which were then developed into criteria indicator of habitat suitability, that were data of food type and quantity which were analyzed toward Natural Difference Vegetation Index map, vegetation type, altitude, slope, distance to water source and distance to road. The analysis of those spatial data used Composite Mapping Analysis method which was basically would give score to each indicator so that produced certain suitability value. Based on data analysis known that vegetation type is most important factor for banteng habitat and slope factor it doesn t equally influence. While if it examined from entire factor Cidaon grazing ground was an area with habitat that suitable for banteng, this could be confirmed by around 58.02% from whole area was a habitat with high suitability. Keywords : Banteng (Bos Javanicus), GIS (Geographic Information System), suitable habitat, CMA (Composite Mapping Analysis).

5 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG (Bos javanicus d Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Studi Kasus Padang Penggembalaan Cidaon) ANDITA HUSNA DESTRIANA E Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Desember 1986 dan merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Subiyanto (Alm) dan Ibu Ernawati. Penulis telah menyelesaikan masa sekolahnya di TK Tunas Rimba 1 Bogor ( ), SD Negeri Polisi 4 Bogor ( ), SMP Negeri 1 Bogor ( ), SMA Negeri 1 Bogor ( ) dan selanjutnya penulis melanjutkan ke bangku kuliah di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB Selama perkuliahan di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota dari Kelompok Pemerhati Flora (KPF) dan Biro Infokom pada tahun kemudian menjadi ketua Biro Kewirausaahaan pada tahun Pada tahun 2007 penulis pernah melakukan praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan Kehutanan di CA/TWA Kamojang dan CA Sancang kemudian dilanjutkan melakukan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Ciamis. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsinya yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi kasus padang penggembalaan Cidaon). Di bawah bimbingan Bapak Ir Haryanto. R. Putro, MS dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc.

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat lindungan, rahmat dan hidayah-nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (bos javanicus d alton 1832) Di Taman Nasional Ujung Kulon (Studi kasus padang penggembalaan Cidaon) diharapkan memiliki manfaat untuk dapat menyampaikan data dan informasi mengenai karakteristik habitat banteng di padang penggembalaan Cidaon yang nantinya mampu menjadi dasar pertimbangan bagi pengelolaan populasi maupun habitat banteng di TNUK agar kelestaran jenis ini tetap terjaga. Dalam pelaksanaannya di lapangan, penulis mengalami beberapa keterbatasan baik dalam biaya, waktu dan tenaga. Sehingga penelitian ini hanya dilakukan pada saat musim hujan yang berakibat data yang dikumpulkan tidak memenuhi kondisi kualitas habitat banteng khususnya di padang penggembalaan Cidaon pada saat musin kemarau. Namun dengan segala upaya penulis berusaha memberikan data dan juga informasi yang optimal. Akhir kata ibarat pepatah Tak ada gading yang tak retak, sama halnya dengan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan di kemudian hari sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, September 2008 Penulis

8 UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah... dengan telah diselesaikannya skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Mama, Mas Andi dan Dik Dustin atas doa, dukungan, semangat dan kehangatan yang luar biasa selama ini. 2. Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prastyo, MSc sebagai pembimbing skripsi penulis atas ilmu, kritik dan saran kepada penulis dalam proses peyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS, dosen dan staf Departemen KSHE yang telah menambah ilmu, pengajaran dan arti penting kehidupan selama perkuliahan. 4. Kepala Balai, kepala SPTN dan staf Taman Nasional Ujung Kulon atas bantuan, kerjasama dan tempat istrahat yang nyaman bagi penulis selama penelitian. 5. Pak Sasriful, Pak Ameng, Pak Seha, Pak Weli dan Pak Tumino atas bantuan dan kerjasama yang luar biasa selama penulis melakukan penelitian. 6. Ndut yang terus memberikan semangat, dukungan, senyuman dan menguatkan perjalanan penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 7. Teman-teman seperjuangan PKLP TNUK (Aaf, Yogi, Hasto, Afn dan Sukma) atas cerita dan keindahan kebersaman selama hampir 2 bulan. 8. Keluarga Besar KSH 41 atas kekeluargaan, persahabatan dan kenangan yang luar biasa selama 4 tahun bersama. 9. Semua pihak yang telah menjadi bagian dalam perjalanan hidup penulis selama ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindugan bagi kita semua.. amin..

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Penyebaran Habitat Aktivitas dan Perilaku Banteng Pola Penggunaan Ruang Konservasi Banteng Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Analisis Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Dasar Hukum Keadaan Fisik Kawasan Potensi Biotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Ukuran Populasi dan Aktivitas Harian Karakteristik Habitat Penentuan Model Kesesuaian Habitat Peta Kesesuaian Habitat VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 75

10 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Aplikasi prinsip dan saluran spektral thematic mapper Contoh aplikasi sistem informasi geografis Aktifitas banteng di padang pengembalaan Aktifitas banteng di hutan dataran rendah Aktifitas banteng di hutan pantai Analisis vegetasi di padang pengembalaan Analisis vegetasi dominasi di hutan dataran rendah Analisis vegetasi dominasi di hutan pantai Jenis pakan banteng yang dijumpai di lokasi penelitian Luas pg. Cidaon dan sekitarnya berdasarkan kelas lereng Kelas Klasifikasi NDVI Perbandingan antara INP dengan kelas NDVI Perbandingan Jumlah Pakan Terhadap Nilai NDVI Skor tiap indikator pada faktor lingkungan (environment factors) Skor tiap indikator pada faktor manusia (human factor) Bobot per indikator faktor lingkungan Bobot per indikator faktor gangguan manusia Bobot faktor lingkungan Bobot faktor manusia Luasan tiap kelas kesesuaian Validasi model pada tiap kelas kesesuaian... 69

11 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Uraian-uraian subsistem SIG Peta lokasi penelitian Bentuk plot contoh analisis vegetasi dan pakan banteng Diagram alir pengolahan citra Tahapan metode penelitian Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng Proses pembuatan peta jarak sungai (buffer) Peta kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Kondisi populasi banteng di pg. cidaon Histogram jumlah individu dengan tipe vegetasi Menara pengamatan dan suasana di padang penggembalaan Perilaku makan sambil waspada Hutan dataran rendah Cidaon Histogram jenis aktivitas dengan tipe vegetasi Beberapa jenis pakan banteng Perlakuan terhadap rumput Kondisi cover di pg. Cidaon Peta penutupan lahan Beberapa sumber air yang terdapat di lokasi penelitian Peta jaringan sungai Peta ketinggian Peta kemiringan lereng Histogram perbandingan antara jenis pakan dengan kelas NDVI Perbandingan NDVI terhadap jumlah pakan Peta lokasi plot biomassa Peta persebaran jenis pakan Peta kesesuaian habitat... 68

12 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Model NDVI yang digunakan Analisis vegetasi di hutan dataran rendah Analisis vegetasi di hutan pantai Nilai biomassa dan produktivitas di lokasi penelitian... 81

13 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1992 berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 pada tanggal 26 Februari Selain itu pada tahun yang sama kawasan ini ditetapkan sebagai World Herritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia Unesco dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/ Taman Nasional Ujung Kulon merupakan hutan hujan tropis dataran rendah terluas di Pulau Jawa dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi. Diantara jenis satwaliar yang terdapat didalamnya, salah satunya adalah banteng, jenis ini merupakan salah satu satwaliar yang dilindungi oleh Undang-Undang. Penyebaran banteng di Indonesia sangat terbatas, selain di Taman Nasional Ujung Kulon dapat juga ditemukan di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Taman Nasional Baluran (TNB) serta di Taman Nasional Kutai (TNK), Kalimantan Timur. Di Taman Nasional Ujung Kulon masih terdapat populasi banteng dalam jumlah yang relatif banyak dan tersebar di beberapa padang penggembalaan. Padang penggembalaan Cidaon merupakan salah satu habitat dengan populasi banteng dalam jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan 3 padang penggembalaan yang masih aktif lainnya (Hasil penelitian YMR dengan WWF pada tahun 2002). Di sisi lain jenis ini terancam keberadaannya karena semakin meningkatnya perburuan liar, kerusakan habitat dan eksploitasi. Hal ini dikarenakan banteng merupakan jenis satwaliar yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, selain dagingnya yang menjadi perburuan masyarakat adalah kulit dan tengkorak, padahal keberadaan hidup jenis banteng sangat penting bagi kemantapan ekosistem hutan di TNUK. Selain beberapa permasalahan di atas, beberapa temuan-temuan lapangan dari beberapa peneliti menunjukkan adanya indikasi persaingan badak jawa dan banteng. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya kondisi habitat banteng dan badak jawa mempunyai kualitas dan kuantitas yang terbatas. Oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan pengelolaan habitat dengan terlebih dahulu mengetahui karakteristik habitat yang

14 diperlukan oleh banteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tipe vegetasi yang dimanfaatkan oleh banteng sebagai habitat diantaranya terdiri atas padang penggembalaan, hutan dataran rendah, hutan pantai dan hutan alam. Pengelolaan banteng harus mengetahui penyebarannya pada saat musim kemarau dan musim penghujan. Dengan mengetahui kondisi penyebaran dan juga karakteristik habitatnya maka dapat dilakukan manajemen pengelolaan agar banteng tersebut dapat selalu terjaga, terutama oleh kegiatan perburuan liar. Perencanaan dan pengelolaan SDAH yang baik mutlak diperlukan untuk itu diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai oleh pengambil keputusan termasuk menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Seiring dengan perubahan trend dalam perencanaan dan pengelolaan hutan tropis ke arah meningkatnya kesadaran akan nilai lingkungan hidup, yang disertai pula oleh perubahan pendekatan dari top down dan desentralized menjadi bottom up dan desentralized transparancy dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan meningkat. Selain itu koordinasi dan kooperasi inter dan intra organisasi menjadi lebih efektif serta semakin banyak sektor dan disiplin ilmu yang terlibat. Kebutuhan informasi sebagai bahan dalam pengambilan keputusan meningkat akibat dari semakin meningkatnya penggunaan dan kebutuhan informasi kehutanan baik secara kualitatif maupun kuantitatif menyebabkan semakin rumitnya proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek pengelolaan hutan membuat kebutuhan informasi semakin penting. Informasi bisa dipandang sebagai input dasar dari perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi. Tidak adanya dan tidak layaknya informasi bisa berakibat fatal pada program dan proyek kehutanan. Maka informasi berupa spasial dan non spasial sangat diperlukan dalam langkah awal memetakan kesesuaian habitat yang khusus sebagai wilayah kegiatan konservasi banteng, untuk selanjutnya menjadi data dasar yang berguna dalam melakukan kegiatan konservasi SDAH dan menentukan suatu kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Taman Nasional Ujung Kulon.

15 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. mengidentifikasi ukuran populasi dan aktivitas harian banteng di sekitar padang penggembalaan Cidaon. 2. mengetahui kesesuaian habitat banteng dari karakteristik jumlah pakan, jumlah jenis pakan, jenis cover, jarak dengan sumber air, ketinggian, kelerengan, serta gangguan (jarak dengan jalan). 1.3 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian adalah mampu memberikan data dan informasi mengenai karakteristik habitat yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pengelolaan habitat dan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon agar kelestarian jenis ini tetap terjaga.

16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Lekagul dan McNeely (1977) secara taksonomi banteng dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Super Ordo : Eutheria Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bos Spesies : Bos Javanicus d Alton 1832 di Pulau Jawa Banteng memiliki bentuk tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bagian bahu depannya lebih tinggi dibandingkan bagian belakang tubuhnya. banteng jantan memiliki warna tubuh yang hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warnanya serta memiliki sepasang tanduk berwarna hitam, mengkilap, runcing, dan melengkung simetris ke dalam. Pada bagian dada banteng jantan terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Sedangkan banteng betina memiliki warna tubuh cokelat kemerah-merahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap warnanya serta memiliki tanduk yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan banteng jantan (Alikodra,1983). Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng memiliki penciuman dan pendengaran yang sangat tajam dibandingkan dengan penglihatannya. Lekagul dan McNeely (1977) juga menyatakan bahwa penglihatan banteng tidak begitu tajam sehingga kemampuan utamanya untuk membedakan musuh-musuhnya tergantung pada kemampuan penciuman dan pendengarannya. Oleh karena itu arah angin sangat penting bagi banteng untuk mempelajari kondisi lingkungannya.

17 2.2 Penyebaran Berdasarkan Hoogerwerf (1970), wilayah penyebaran banteng meliputi Myamnar, Tahiland, Indocina, Semenanjung Malaya, dan Indonesia. Di Indonesia banteng tersebar di beberapa daerah seperti Kalmantan, Bali dan Jawa. 2.3 Habitat Menurut Alikodra (1990), habitat merupakan suatu tempat yang dapat memenuhi kebutuhan satwa yang digunakan untuk tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembangbiak. Habitat dapat dikelola, sehingga memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Yoakum dan Dasman (1971) dalam Alikodra (1980), pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis dalam mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik sehingga dicapai kondisi yang optimal bagi perkembangan populasi satwaliar. Menurut Alikodra (1983) dan Subroto (1996), tempat yang disukai dan merupakan komponen hidup banteng yang ideal adalah : 1. Hutan primer yang berbatasan dengan padang rumput yang digunakan banteng sebagai tempat berlindung dari serangan predator atau pemburu, tempat beristirahat, tempat tidur serta tempat berkembangbiak. 2. Padang rumput yang terletak pada daerah perbukitan sampai datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan payau atau pantai ke arah laut. Padang rumput sebaiknya diselingi oleh tumbuhan seperti Sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis-jenis Palem. 3. Padang rumput yang berdekatan dengan sumber air baik mata air, danau maupun sungai yang berair sepanjang tahun. 4. Hutan payau sebagai daerah penyangga. Daerah penyangga berfungsi sebagai penghalang angin terutama tajuknya, untuk mencegah intrusi garam ke darat melalui perakarannya, sebagai tempat berlindung atau beristirahat, tempat bersarang dan tempat mencari makan satwa serta mempersulit pemburu masuk ke dalam habitat banteng dari arah laut. 5. Air laut yang penting bagi kehidupan banteng, yaitu untuk membantu proses pencernaannya.

18 2.4 Aktivitas dan Perilaku Banteng Perilaku Umum Perilaku adalah semua gerak atau perubahan gerak, termasuk perubahan dari bergerak ke tidak bergerak sama sekali atau membeku. Jadi perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya (Tinbergen 1979 dalam Alikodra 1983). Pada umumnya banteng mempunyai kegiatan pola aktivitas harian yang tetap dan tergantung pada kondisi lingkungannya. Banteng pada umumnya beraktivitas dari pagi sampai sore hari. Pola hidup banteng lebih banyak diisi oleh kegiatan merumput dan memamah biak secara bergantian. Menurut Hoogerwerf (1970), banteng akan mulai merumput jika cuaca cukup cerah, kelompok banteng tersebut akan memilih hari yang agak berawan dibandingkan hari yang amat terik. Sedangkan menurut Alikodra (1983), pada waktu siang hari, banteng lebih memilih padang terbuka dan biasanya mereka terdiri dari beberapa kawanan Banteng yang biasanya berkisar antara ekor yang terdiri dari banteng jantan dewasa, induk dan anak-anaknya. Mereka merumput sambil berjalan berlawanan dengan arah mata angin dan selalu bersikap waspada serta selalu memperhatikan keadaan sekitarnya Perilaku Makan dan Minum Banteng sebagai satwa herbivora, seperti juga satwa lainnya, mempunyai suatu cara adaptasi yang khusus untuk menyeleksi jenis-jenis makanannya. Pemilihan jenis makanan ini tergantung dari nilai gizi, daya cerna, ukuran, jumlah dan kemampuan makanan tersebut untuk memberikan kekuatan dan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Kandeigh 1975 dalam Delfiandi 2006). Selanjutnya Alikodra (1983), menyatakan bahwa jenis rerumputan yang dimakan oleh banteng diantaranya : Jampang piit (Cytococcum patens), Rumput geganjuran (Paspalum commersonii), Rumput bambu (Panicum montanum), Rumput memerakan (Themeda arquens), Ki pait (Axonopus compresus) dan Alang-alang (Imperata cylindrica). Menurut Hoogerwerf (1970), waktu merumput banteng sangat bervariasi, umumnya diselingi dengan beristirahat sambil memamah biak. Bila cuaca baik, banteng

19 lebih suka memamah biak sambil berbaring di atas rumput, tetapi jika hujan lebat turun terlalu lama banteng sering kali memamah biak sambil berdiri. Sedangkan menurut Sancayaningsih dkk (1983), periode memamah biak tersebut ± 2-5 jam/hari. Kecepatan mengunyah selama periode tersebut adalah kali/menit dan untuk memenuhi kebutuhan garam dan mineral yang dapat membantu proses pencernaannya, banteng seringkali minum air laut Perilaku Anak Anak banteng yang baru lahir memiliki perkembangan yang cepat, selang beberapa menit setelah lahir sudah mampu berdiri dan dalam beberapa hari saja sudah mampu berlari-lari. Banteng yang masih muda biasanya senang bermain-main. Tingkah laku bermain ini sangat bermanfaat besar bagi perkembangan kemampuan banteng untuk tetap bertahan hidup (survive). Semakin aktif banteng bermain-main, semakin terlatih dan lincah dalam hal pergerakannya. Kadang-kadang dua ekor banteng muda akan saling mengadukan kepalanya. Jika banteng muda menandukkan kepalanya pada banteng dewasa, maka banteng dewasa tersebut akan mengusirnya (Sancayaningsih, dkk, 1983 dalam Delfiandi 2006) Perilaku Istirahat Banteng biasanya beristirahat setelah mencari makan pada pagi hari menjelang siang hari. Pada saat matahari bersinar sangat terik, biasanya banteng akan beristirahat di bawah tegakan hutan. Jika cuaca cerah atau agak berawan banteng lebih sering berada di padang penggembalaan dan kadang pula banteng terlihat beristirahat di tepi pantai. (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Alikodra, 1983) Perilaku Kawin dan Reproduksi Aktivitas kawin banteng dilakukan pada bulan-bulan tertentu. Menurut Hoogerwerf (1970), musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon adalah bulan Juli sampai Oktober dan kadang-kadang juga dalam bulan November dan Desember. Perkawinan tersebut dilakukan pada malam hari, pada musim kawin banteng jantan tampak lebih agresif dibandingkan banteng betina. Banteng mulai berkembangbiak pada umur tiga tahun dan mulai melakukan perkawinan setelah berumur enam tahun. Banteng mengandung bayinya sekitar bulan dengan jumlah anak per kelahiran 1-2 ekor.

20 2.5 Pola Penggunaan Ruang Menurut Legay dan Debouzie dalam Santosa (1990), pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwaliar dengan habitatnya. Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diteliti ada dua hal yaitu wilayah jelajah dan pergerakan. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan pasar, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Bailley 1984; Anderson 1985 dalam Alikodra 1990). Pola penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh keterbatasan, distribusi makanan dan cover, sedangkan pola penggunaan ruang oleh jantan dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial betina (Osfield et al dalam Mauziah 1994). Pergerakan atau perpindahan banteng cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, regenerasi rumput yang lambat dan juga dipengaruhi oleh predator (Fryxell dan Sinclair 1988 dalam Mauziah 1994). Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwaliar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : sejarah penyebaran masa lalu, jenis satwaliar, kemampuan gerak, penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi dan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwaliar pada suatu tempat sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan. Pergerakan satwaliar dapat dilakukan melalui : 1. Lorong (koridor), yaitu jalan yang memberikan peluang yang sama kepada setiap jenis satwaliar untuk berpindah melalui koridor. 2. Tapisan, yaitu jenis perpindahan yang hanya meliputi beberapa tipe habitat, sehingga beberapa jenis satwaliar tertentu tercegah atau terhambat untuk pindah karena habitatnya tidak sesuai. 3. Undian, yaitu jalan perpindahan melalui laut. Menurut Alikodra (1983), untuk memenuhi kebutuhannya banteng melakukan pergerakan secara tetap setiap hari, pergerakannya dilakukan pada waktu-waktu sebagai berikut : 1. Jam WIB, berada di padang penggembalaan untuk makan, minum, mengasuh, dan membesarkan anaknya serta melakukan perkawinan. 2. Setelah jam WIB, banteng kembali menuju hutan untuk beristirahat.

21 3. Jam WIB, banteng menuju tempat minum dan pada waktu tertentu menuju pantai. Banteng termasuk jenis satwaliar yang hidup berkelompok, sehingga bergerak dalam kelompok yang terdiri dari individu jantan, betina dan anak-anaknya yang dipimpin oleh banteng betina dewasa yang lebih tua. Pengelompokkan yang dilakukan merupakan strategi dasar untuk mempertahankan kelestarian hidupnya untuk memanfaatkan makanan yang optimal, perkawinan, mengasuh dan membesarkan anaknya serta mempertahankan diri dari pemangsa (Alikodra, 1983). 2.6 Konservasi Banteng Sebagai satwa langka dan terancam kelestariannya maka pemerintah Indonesia merasa perlu untuk melindungi banteng terutama dari kegiatan perburuan yang dilakukan oleh para pemburu liar serta terdesaknya banteng oleh pemukiman manusia. Hal ini didukung dengan telah adanya Undang-Undang yang mengatur akan hal tersebut, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Beserta Ekosistemnya, dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi. 2.7 Penginderaan Jauh Pengertian Penginderaan Jauh Pengertian penginderaan jauh telah banyak didefinisikan dan berikut beberapa definisi dari penginderaan jauh yang telah beredar di berbagai pustaka : 1. Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungan dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. (Lo, 1995). 2. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh suatu informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). 3. Penginderaan jauh dalam artian yang lebih luas yaitu pengukuran atau pemrolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau

22 bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Manual of Remote Sensing, 1983 dalam Howard, 1996). 4. Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu ilmu dan tekhnologi dimana karakteristik suatu obyek dapat dilihat, diukur dan dianalisa tanpa menyentuh obyek tersebut secara langsung (Japan Assosiation on Remote Sensing, 1999 dalam Wulandari, 2002) Teknologi Penginderaan Jauh Paine (1993) menjelaskan batasan pengertian yang lebih tepat tentang penginderaan jauh yang meliputi teknik-teknik yang digunakan untuk perekaman dan evaluasi deteksi energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah obyek pada suatu jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Tiga sistem sensor yang digunakan dalam penginderaan jauh untuk dapat menghasilkan suatu citra antara lain kamera, scanner garis dan radar. Proses utama dalam kegiatan penginderaan jauh meliputi proses pengumpulan data dan analisis (Lillesand dan Kiefer, 1990). Dalam pengumpulan data, alat penginderaan jauh dapat memperoleh data baik dengan cara-cara fotografis maupun elektronis. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada lapisan emulsi film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan variasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan. Sensor-sensor elektronik menimbulkan pulsa-pulsa listrik ini biasanya disimpan pada pita komputer magnetik dimana pulsa listrik tersebut diubah menjadi gambar digital (Paine, 1993) Penginderaan Jauh Sistem Satelit Penginderaan jauh satelit merupakan salah satu jenis Optical Remote Sensing yang menggunakan spektrum tampak dan spektrum inframerah dekat sebagai sumber energi dan satelit sebagai wahananya (Lillesand dan Kiefer, 1990) Satelit Sumberdaya Landsat Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat tahun 1970-an. Landsat diluncurkan pada tanggal 22 Juli 1972 sebagai ERTS-1 yang kemudian diganti namanya menjadi Landsat-1. Sejak itu tiga Landsat generasi berikutnya telah diluncurkan dengan berhasil. Landsat memiliki sudut inklinasi garis edar (orbit) satelit

23 sekitar 99,1, sehingga dapat menghasilkan liputan global antara 81 N- 81 S dan hampir mendekati kutub (nealy polar). Periode orbit Landsat sekitar 103,3 menit sehingga dalam satu hari dapat mengelilingi bumi 14 kali. Garis edar Landsat seluruhnya sinkron matahari (sun synchronous) sehingga bidang edar satelit berimpit dengan bidang edar bumi mengelilingi matahari. Karakteristik garis edar melintasi ekuator pada arah utara ke selatan terjadi pada sekitar pukul pagi setiap hari dan ketinggian satelit bervariasi antara Km. Satu siklus liputan penuh dari 251 revolusi atau 18 hari. Siklus liputan dapat diperpendek menjadi 9 hari atau bahkan 6 hari dengan diluncurkannya Landsat II dan III (Lo, 1995). Sistem pencitraan Landsat I, II dan III adalah kamera RBV (Return Bean Vidicom) dan MSS (Multispectral Scanner). RBV pada Landsat I dan II memiliki sistem tiga kamera tipe elektro-optik. Sistem ini mampu menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi yang terdiri dari 4125 garis penyiaman dan 4500 elemen gambar (pixel/picture element) per garis penyiaman yang setara dengan resolusi 80 x 80 m di lapangan. Pada Landsat III, sistem RBV hanya terdiri dua kamera di dalam sistem optik, yang merekam hanya pada saluran tunggal, yaitu 0,505 0,750 μm (pankromatik). Hal ini menyebabkan pengurangan peliputan areal sampai mencapai seperempat areal yang terliput oleh kamera RBV tunggal yang digunakan Landsat I dan II, namun memperbaiki resolusi spasial menjadi 40 x 40 (Lo, 1995). Pada tanggal 16 Juli 1982 diluncurkan Landsat IV, mengawali generasi baru satelit sumberdaya dengan resolusi tinggi, yang menampilkan suatu perbaikan dibanding generasi model sebelumnya. Pada Landsat IV dipasang suatu generasi sistem sensor baru, yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan data radiometrik dan ketelitian geometrik maka ditambah sensor Thematic Mapper (TM) pada empat saluran Multispectral Scanner (Solomonson dan Park 1972 dalam Lo, 1995). Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak dan inframerah bahkan saluran spektral. Satelit ini memakan waktu 16 hari untuk meliput seluruh bumi (kecuali kutub). Aplikasi prinsip dan saluran spektral dari Citra Landsat TM, disajikan pada Tabel 1.

24 Tabel 1. Aplikasi prinsip dan saluran Spektral Thematic Mapper Saluran (Band) Panjang Gelombang (μm) 1 0,45 0,52 2 0,52 0,60 3 0,63 0,69 4 0,76 0,90 5 1,55 1,75 6 2,08 2, ,45 12,50 Sumber : Lo (1995) Potensi Pemanfaatan Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai. Juga berguna untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer. Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan. Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi. Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk delineasi tubuh air. Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah. Juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan. Saluran inframerah termal yang penggunannya untuk perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal. Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal Aplikasi Citra Landsat TM Citra satelit landsat sebagai satelit sumberdaya bumi telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Contoh penggunaan citra landsat dalam bidang kehutanan dan lingkungan antara lain : identifikasi penyebaran habitat, pemantauan perubahan penggunaan lahan atau tutupan lahan, evaluasi lahan basah sebagai feeding ground burung air, identifikasi penyebaran spasial dan karakteristik ruang terbuka hijau (RTH), serta masih banyak aplikasi-aplikasi yang lainnya Analisis Digital Citra Satelit Sejumlah informasi dapat diperoleh dari data Landsat dalam format salinan keras (photographic), volume data Landsat yang melimpah dan berbentuk digital menjadikan data tersebut lebih cocok dianalisis dengan bantuan komputer. Analisis digital dilakukan terhadap setiap piksel, melalui cara ini informasi yang diperoleh lebih banyak, karena dapat mengidentifikasi derajat keheterogenan obyek (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penganalisaan data Landsat dengan menggunakan komputer dapat dikelompokkan sebagai berikut :

25 1. Pemulihan Citra (Image Restoration) Tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatannya meliputi pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada citra asli. 2. Penajaman Citra (Image Enchancement) Proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar obyek pada sebuah citra. Pada berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra. 3. Klasifikasi Citra (Image Classification) Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik dan citra digital. Tiap pengamatan piksel (picture element) dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi, jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matriks jenis kategori. Menurut Jaya (1996) dalam Hastuti (1998), klasifikasi diartikan sebagai suatu proses pengelompokkan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value) atau digital number (DN) piksel yang bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi dapat dibedakan atas klasifikasi manual dan klasifikasi kuntitatif. Pada klasifikasi manual, pengelompokka piksel ke dalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (BV), contoh yang diambil disebut sebagai area contoh (trainning area). Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi kedalam dua pendekatan dasar klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada poses klasifikasi tidak terbimbing dimulai dengan pemeriksaan seluruh piksel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pengelompokkan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-

26 kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut Analisis Akurasi Uji akurasi tidak bisa diabaikan dari pengolahan data digital, seperti halnya dengan interpretasi visual citra satelit atau foto udara. Obyek yang telah terklasifikasi pada citra perlu dilakukan uji di lapangan. Untuk melakukan uji hasil klasifikasi spektral citra satelit telah tersedia beberapa uji secara statistik. Metode-metode tersebut biasanya bersifat kualitatif dan kuantitatif. Hal ini disebabkan oleh kondisi dari citra satelit itu sendiri (Howard, 1996). Menurut Jensen (1986) dalam Hastuti (1998) cara yang paling umum digunakan untuk menghitung akurasi adalah dengan menggunakan ERROR MATRIX (EM) atau CONFUSSION MATRIX (CM). Error Matrix merupakan matriks berupa bujur sangkar yang tata letak kolom dan barisnya menyatakan jumlah unit contoh (piksel atau poligon) yang masuk kedalam suatu kategori tertentu dibandingkan dengan jumlah unit kategori sebenarnya yang ada di lapangan. Kesalahan dalam error matrix dapat dievaluasi dengan beberapa cara diantaranya : 1. Kesalahan eksklusi (ommisison errors), yaitu evaluasi terhadap piksel yang tidak dijelaskan pada kelas sebenarnya. 2. Kesalahan inklusi (commision errors), yaitu evaluasi terhadap piksel yang dijelaskan pada kelas yang bukan miliknya. Hasil analisis akurasi dapat diketahui dari nilai akurasi keseluruhan (Overall Accuracy) dan akurasi Kappa (Overall Kappa Statistics). Perbedannya pada akurasi Kappa perhitungannya mempertimbangkan semua elemen dalam error matrix sehingga lebih reliable. Sedangkan pada Overall Accuracy perhitungannya hanya mempertimbangkan jumlah elemen dalam diagonal matriks saja, sementara yang off diagonal tidak dipertimbangkan. 2.8 Sistem Informasi Geografis (SIG) Konsep Dasar dan Definisi SIG Prahasta (2001) menjelaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1970-an, telah dikembangkan sistem-sistem khusus dibuat untuk menangani masalah informasi yang

27 bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Sebutan umum untuk sistemsistem yang menangani masalah tersebut adalah SIG, Sistem Informasi Geografis. Dalam berbagai literatur SIG dipandang sebagai hasil dari perkawinan antara sistem komputer untuk bidang kartografi (Computer Aided Cartography/CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (Computer Aided Design/CAD) dengan teknologi basis data (database). Masalah-masalah tersebut mencakup: 1. Pengorganisasian data dan informasi 2. Menempatkan informasi pada tempat tertentu 3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan satu sama lainnya beserta analisa spasial lainnya. Berikut beberapa pengertian dari definisi SIG yang telah beredar di berbagai pustaka : 1. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk meyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geogrefis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karateristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang berefernsi geografis : (a). Masukan, (b). Manajemen data, (c). Analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. (Aronoff, 1989). 2. SIG adalah kumpulan yang teroganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personal yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis. (ESRI, 1990). 3. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografis. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk : (a). akusisi dan verifikasi data, (b). kompilasi data, (c). penyimpan data, (d). perubahan dan updating data, (e). manajemen dan pertukaran data, (f). manipulasi data, (g). pemangilan dan presentasi data, (h). analisa data. (Bern, 1992 dalam Prahasta, 2001).

28 4. SIG merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau kordinat-koordinat geografis. Dengan kata lain, SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang terferensi secara geografi berikut sekumpulan operasi yang mengelola data tersebut. (Foote, 1995 dalam Prahasta, 2001) Subsistem SIG Prahasta (2001) menguraikan Sistem Informasi Geografis berdsarkan definisidefinisi yang telah berkembang menjadi beberapa subsistem berikut : 1. Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format-format data aslinya kedalam format yang dapat sigunakan SIG. 2. Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti : tabel, grafik, peta, dan lain-lain. 3. Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial mupun atribut kedalam sebuah data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit. 4. Data Manipulation dan Analysis Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Dari uraian subsistem SIG tersebut di atas dapat dijelaskan melalui Gambar 1.

29 DATA INPUT Tabel Laporan DATA Pengukuran Lapangan MANAGEMENT & MANIPULATION Data digital lain Storage (Database) Peta (termasuk topografi, dll) Input Retrieval Processing Citra Satelit Output Foto Udara Peta Data Lainnya Tabel Laporan Informasi Digital Gambar 1. Uraian-uraian subsistem SIG Komponen SIG SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta 2001) : 1. Perangkat Keras : pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan

30 dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian fungsionalitas SIG tidak terkait secara ketat terhadap karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC-pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. 2. Perangkat Lunak : bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap sub sistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. 3. Data dan Informasi Geografi : SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan secara tidak langsung dengan cara mengimport dari perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan masukan data atributnya dari tabel dan laporan menggunakan keyboard. 4. Manajemen : suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan dengan oleh orangorang yang memiliki keahlian yang yepat pada semua tingkatan.

31 2.8.4 Aplikasi SIG Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak diaplikasikan untuk berbagai bidang kehidupan. Contoh-contoh aplikasi tersebut disajikan pada Tabel 2 berikut : Tabel 2. Contoh Aplikasi Sistem Informasi Geografis No. Bidang Aplikasi Contoh Aplikasi SIG 1 Sumberdaya Alam Inventarisasi, manajemen, dan kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan bencana alam. 2 Perencanaan Perencanaan pemukiman transmigrasi, perencanaan tata ruang wilayah, perencanaan kota, perencanaan relokasi dan lokasi industri, pasar, pemukinan dan sebagainya. 3 Kependudukan Penyusunan data pokok, penyediaan informasi kependudukan/sensus dan sosial ekonomi, sistem informasi untuk Pemilu, dan sebagainya. 4 Lingkungan Pencemaran sungai, danau, laut; evaluasi sedimentasi, pemodelan pencemaran udara, limbah berbahaya dan sebagainya. 5 Utility Inventarisasi dan manajemen informasi jaringan pipa air minum, jaringan listrik, jaringan pipa gas, sistem informasi pelanggan perusahaan, perencanaan perluasan dan pemeliharaan jaringan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya seperti taman, tempat pembuangan sampah/limbah, WC umum, dan sebagainya. 6 Ekonomi, Bisnis Penentuan lokasi-lokasi bisnis yang prospektif untuk bank, dan Marketing pasar swalayan, mesin ATM, kantor cabang, show room, counter, outlet, gudang, dan sejenisnya. 7 Biologi Inventarisasi, kesesuaian lahan, manajemen kawasan 8 Hidrografi dan Kelautan perlindungan flora dan fauna yang dilindungi. Inventarisasi dan manajemen stasiun pengamatan pasang-surut, manajemen daerah pesisir pantai, manajemen daerah wisata bahari, taman laut, costal management, dan sejenisnya. 9 Kesehatan Penyediaan data atribut dan spasial yang menggambarkan distribusi penderita suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unit-unit pelayanan kesehatan. 10 Militer Penyediaan data spasial untuk analisis rute-rute perjalanan logistik, peralatan perang, dan sebagai tools untuk kebutuhankebutuhan war game. Sumber : Prahasta (2001)

32 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian adalah di padang penggembalaan Cidaon, Resort Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan data. Sedangkan untuk kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Spasial Database and Analyisis Facilities (SDAF) Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2 di bawah ini. Waktu yang digunakan untuk penelitian yaitu selama 3 bulan, sejak bulan April hingga Juni Dimana 1 bulan digunakan untuk pengamatan dan pengambilan data di lapangan dan 2 bulan selanjutnya digunakan untuk mengolah dan menganalisa data tersebut di laboratorium. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

33 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Citra Landsat TM Path 123 Row 065, Agustus Peta topografi, skala 1: Peta tata batas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, skala 1: Peta jaringan sungai Taman Nasional Ujung Kulon, skala 1: Peta kontur, skala 1: Tally sheet Peralatan yang digunakan di lapangan adalah GPS (Global Positioning System), kamera, golok, pita meter dan alat tulis. Sedangkan yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data antara lain : satu paket SIG termasuk komputer (PC Dekstop), Ms. Excell, Software ArcView 3.3 dan ERDAS Imagine Tahapan Penelitian Pengumpulan data A. Data Primer Data primer yang diperoleh langsung di lapangan yaitu : 1. Tipe aktifitas, meliputi makan, minum, sosial, mengasin dan beristirahat. 2. Titik keberadaan banteng saat melakukan aktifitas. Data ini diperoleh dengan mengambil titik pada GPS. 3. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik, tipe habitat, tipe vegetasi dan jenis pakan. B. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan terdiri atas data spasial dan data atribut. Data spasial merupakan data yang bersifat keruangan terdiri dari data citra satelit Landsat TM, Peta Topografi, Peta Tata Batas Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Peta Jaringan Sungai, dan Peta Kontur. Sedangkan data atribut merupakan data yang berbentuk tulisan maupun angka-angka. Data tersebut adalah data fluktuasi jumlah populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon, letakan posisi geografis, tipe-tipe habitat, dan beberapa data penunjang lainnya.

34 Metode Pengumpulan Data A. Data Primer A.1. Inventarisasi Populasi dan Aktifitas Banteng 1. Padang Penggembalaan Metode yang digunakan dalam inventarisasi populasi banteng di padang penggembalaan atau rumpang adalah metode terkonsentrasi (concentration count). Pengamatan banteng di padang penggembalaan dilakukan dengan cara : a. Mengamati seluruh wilayah padang penggembalaan dari atas menara pengamat. b. Mencatat jumlah kelompok atau individu banteng yang ada di dalam padang penggembalaan dan banteng yang masuk ke dalam padang penggembalaan. c. Pengamatan dilakukan sepanjang hari dari pukul WIB dengan penghitungan individu banteng setiap dua jam sekali dan mengamati karakteristik individu/kelompok banteng tersebut. Hasil penghitungan dikumulatifkan sehingga diperoleh data populasi banteng yang berada di padang penggembalaan setiap hari pengamatan. d. Kelompok banteng yang dicatat diklasifikasikan berdasarkan kelas umur dewasa (jantan dan betina) dan anakan. 2. Hutan Inventarisasi populasi banteng di dalam hutan dilakukan melalui pendekatan penemuan jejak terpadat di sepanjang jalur analisis vegetasi (pengamatan tidak langsung) sebanyak lima kali ulangan atau hari pengamatan. A.2. Penentuan Koordinat Geografis Banteng Metode yang digunakan dalam menentukan posisi 2 D (latitude dan langitude) adalah absolut positioning yaitu hanya menggunakan alat GPS receiver pada saat banteng melakukan aktifitasnya pada titik-titik tertentu baik di padang penggembalaan, dalam hutan dan tepi pantai yang merupakan bagian dari komponen habitatnya.

35 A.3. Inventarisasi Tumbuhan 1. Padang Penggembalaan Inventarisasi di padang penggembalaan dilakukan untuk mengetahui nilai komposisi, biomassa dan produktivitas rumput dan bukan rumput. Petak contoh diletakkan tersebar secara sistematik dengan petak awal ditentukan secara acak dan jarak antar petak contoh sekitar 50 meter. Petak contoh dibuat dengan menggunakan bambu berukuran 1 m x 1 m. Jumlah petak contoh ditentukan sebanyak 10 buah dan pada setiap petak contoh dicatat nama jenis, jumlah individu setiap jenis dan berat basahnya. Menurut Alikodra (1983), pengukuran biomassa setiap jenis rumput dapat dilakukan dengan cara memotong rumput pada setiap petak contoh sampai batas permukaan tanah lalu ditimbang berat basahnya. Pengukuran produktivitas dilakukan setelah bekas potongan tersebut berumur 30 hari. Rumput yang tumbuh dicatat nama jenisnya, jumlah individu setiap jenis kemudian ditimbang untuk mengetahui berat basahnya. 2. Hutan Untuk mengetahui komposisi jenis pakan dengan potensi tingkat pohon, tiang, semai dan pancang maupun tumbuhan bawah untuk masing-masing tipe habitat dilakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang menjadi habitat satwaliar yang akan diteliti. Kegiatan ini bermanfaat untuk mengetahui angka nilai penting yang dapat digunakan sebagai parameter tumbuhan untuk mengetahui dominasi suatu jenis tumbuhan yang menempati suatu daerah. Selain itu dapat mengetahui jenis tumbuhan yang dimakan oleh banteng. Kegiatan inventarisasi vegetasi dilakukan pada jalur yang sama dengan jalur pengamatan banteng di dalam hutan. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak-petak contoh di sepanjang jalur pengamatan pada setiap tipe vegetasi, yaitu di hutan pantai dan hutan dataran rendah. Ukuran petak adalah 20m x 20m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Dalam petak dibuat sub plot berukuran 2m x 2m untuk tingkat pertumbuhan semai, 5m x 5m untuk tingkat pertumbuhan pancang dan 10m x 10m untuk tingkat pertumbuhan tiang (Gambar 3). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis dan jumlah individu tiap jenis pada diameter

36 setinggi dada. Untuk tingkat semai dan pancang data yang dikumpulkan hanya jenis dan jumlah individu. Pengamatan vegetasi dilakukan pada empat jalur yang terdiri dari masing-masing tipe vegetasi satu jalur dengan panjang jalur 100 meter dan lebar 20 meter. Pengukuran ini dilakukan untuk memperoleh Indeks Nilai Penting (INP) pada tipe vegetasi dan pakan banteng. 100 m 10 m 5 m 52 m Aa 10 m Gambar 3. Bentuk Plot Contoh Analisis Vegetasi dan Pakan Banteng. B. Data Sekunder Data spasial dan data atribut penunjang penelitian berasal dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Biotrop Training and Information Centre, Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan berbagai hasil yang dikumpulkan dari studi literatur Pengolahan Data Pembangunan model spasial kesesuaian habitat banteng di padang penggembalaan Cidaon dilakukan dengan pengumpulan data yang terdiri dari penelusuran literatur, data peta digital dan survey lapangan untuk menganalisis faktorfaktor habitat banteng. Literatur digunakan sebagai dasar atau kriteria dalam menilai kebutuhan hidup (life requisitas) terhadap habitat banteng yang selanjutnya dalam SIG disebut dengan layer (peta tematik). Data masukan (input data) diperoleh dari analisis peta dan survey lapang. Dari analisis peta diperoleh 5 layer yang digunakan dalam pemodelan yaitu peta penutupan

37 lahan, analisis lahan terhadap nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), jarak dengan sungai (buffer), kelas ketinggian dan kemiringan lereng. Dari survey lapang diperoleh data jumlah pakan, data jumlah jenis pakan, data tempat berteduh, data jarak dengan jalan, serta diperoleh titik sebaran banteng di sekitar padang penggembalaan Cidaon. Berdasarkan survey lapang kemudian diidentifikasi (Summarize Zones) komponennya terhadap tiap layer, kemudian titik tersebut dianalisis dengan menggunakan Composite Mapping Analysis (CMA) untuk mendapatkan bobot masingmasing layer. Selanjutnya semua layer ditumpang tindih (overlay) sesuai dengan bobot masing-masing sehingga diperoleh peta kesesuaian habitat banteng. Hasil model yaitu peta kesesuaian habitat kemudian divalidasi kembali terhadap areal referensi yang menjadi lokasi penelitian. Secara umum tahapan metode penelitian dapat dilihat pada bagan alir tahapan penelitian yang disajikan pada Gambar 5. Peta penutupan lahan diperoleh berdasarkan hasil pengolahan citra dengan menggunakan teknik supervised classification, yaitu dimana proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Proses pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis lahan terhadap nilai NDVI dilakukan untuk mengetahui besar dan luasan NDVI pada masing-masing titik plot vegetasi. Nilai NDVI dapat digunakan sebagai acuan di dalam penentuan jenis tanaman yang sesuai pada suatu lahan. Nilai dan kondisi NDVI pada suatu kawasan akan berbeda sesuai dengan kondisi iklimnya. Model NDVI yang digunakan untuk mengetahui setiap nilai dan luasan area NDVI pada lokasi penelitian disajikan pada lampiran 1.

38 Citra Landsat 2003 Koreksi Geometris Citra terkoreksi Peta batas TNUK Pemotongan Citra Citra lokasi penelitian Supervised Classification Citra hasil klasifikasi Peta Penutupan Lahan Gambar 4. Diagram alir pengolahan citra.

39 DATA Layer (peta tematik) peta penutupan lahan peta kelas ketinggian peta kemiringan lereng peta jaringan sungai Jml jenis pakan Jml pakan Peta ndvi Jarak dengan jalan Model Peta Kesesuaian Habitat CMA VALIDASI Peta Kesesuaian Habitat Gambar 5. Tahapan metode penelitian. Peta ketinggian dan peta kemiringan lereng dibuat dari data kontur (vektor) yang dianalisis dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 6. Data vektor kontur Surface (Erdas Imagine 9.1) Digital Elevation Model Peta ketinggian Slope Peta kemiringan lereng Gambar 6. Proses Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng.

40 Peta jarak sungai (buffer) dibuat dari data jaringan sungai (vektor) yang dianalisis dengan menggunakan ArcView 3.3. Proses pembuataanya disajikan pada Gambar 7. Peta Sungai Find distance (ArcView 3.3) Peta jarak ke sungai (buffer) Gambar 7. Proses pembuatan peta jarak sungai (buffer) Analisis Data Data yang diperoleh dari pengamatan di lapangan kemudian dianalisis dengan cara sebagai berikut : Analisis Tumbuhan Pada Petak Contoh (Padang Penggembalaan dan Hutan) Dari hasil pengukuran vegetasi dan jenis pakan banteng dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a) Kerapatan Jenis K = Jumlah individu KR = kerapatan suatu jenis x 100 % Luas contoh kerapatan semua jenis b) Frekuensi Jenis F = plot ditemukannya suatu jenis seluruh plot FR = frekuensi suatu jenis x 100% frekuensi semua jenis c) Dominasi Jenis D = luas bidang dasar luas plot contoh DR = dominasi suatu jenis x 100% dominasi semua jenis

41 d) Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan tiang INP = KR + FR+ DR e) Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang, semai, tumbuhan bawah dan di padang penggembalaan INP = KR + FR Keterangan : K = Kerapatan D = Dominasi KR = Kerapatan Relatif DR = Dominasi Relatif F = Frekuensi INP = Indeks Nilai Penting FR = Frekuensi Relatif Analisis Nilai Biomassa Untuk mengetahui nilai bomassa di padang penggembalaan (rumput maupun bukan rumput) dilakukan penghitungan melalui pendekatan rumus sebagai berikut : Biomassa = Biomassa basah akhir Biomassa basah awal Keterangan : Akhir : setelah plot dilakukan pemagaran dan dipotong selama 30 hari Awal : awal dilakukan pemotongan sebelum plot diberi pagar Analisis Potensi Pakan Aktual Untuk mengetahui nilai potensi pakan aktual dilakukan penghitungan dengan pendekatan rumus sebagai berikut : Ppa = a x PU x p Keterangan : Ppa : Potensi pakan aktual a : Panjang bagian tumbuhan yang benar-benar dimakan (1/3) PU : 0.65 (guna nyata untuk daerah yang datar sampai bergelombang) p : Potensi pakan potensial Analisis Nilai Produktivitas Menurut Widyatna (1982), nilai produktivitas suatu padang penggembalaan dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Ppr = a x PU x p x t Keterangan : Ppr : Produktivitas padang rumput/jenis rumput yang dimakan banteng (kg/ha) a : Panjang bagian tumbuhan yang benar-benar dimakan (1/3) PU : 0.65 (guna nyata untuk daerah yang datar sampai bergelombang) p : Produksi hijauan rata-rata per hari (kg/ha/hari) t : Waktu pertumbuhan rumput yang digunakan banteng untuk mencapai kondisi semula (5 hari).

42 3.4.5 Analisis Perilaku Data dan informasi yang telah diperoleh di lapangan kemudian dikumpulkan berdasarkan jenis aktifitas dan distribusinya menurut tipe habitat setiap hari, selanjutnya informasi perilaku banteng dianalisis secara deskriptif yaitu menggambarkan seluruh jenis aktifitas banteng yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan Analisis Spasial Dengan menggunakan SIG, titik sebaran banteng dianalisis faktor-faktor spasialnya yang meliputi jumlah pakan, jumlah jenis pakan, jenis cover, jarak dengan sumber air, ketinggian, kelerengan dan jarak dengan jalan untuk mendapatkan bobot. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan metode tumpang tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting) serta pengharkatan (scoring). Pemberian skor akan dilakukan pada 5 output peta yaitu peta penutupan lahan, peta NDVI, ketinggian, kelerengan dan peta jarak dengan sungai yaitu dengan menggunakan metode Composite Mapping Analysis (CMA) dengan menghubungkan faktor penutupan lahan, analisis nilai NDVI, ketinggian, kelerengan dan jarak dari sungai pada setiap kelas klasifikasinya terhadap suatu kelompok banteng. Parameter penyusun kesesuaian habitat yang telah dimanipulasi dengan pemberian skor pada setiap kelas klasifikasinya (skala mikro) selanjutnya akan diproses lagi dengan melakukan pemberian bobot skor pada satu kesatuan tunggalnya (skala makro). Pemberian bobot skor pada skala makro yang digunakan adalah akumulasi 1 atau 100%. Nilai 1 atau 100% merupakan asumsi bahwa 7 parameter yang coba disusun sebagai model kesesuaian habitat banteng dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kegiatan pemberian skor atau bobot pada skala mikro dan skala makro yang telah dilakukan menghasilkan kumpulan total skor. Kumpulan total skor tersebut diolah kembali dengan membuat klasifikasi kesesuaian habitat banteng. Kumpulan total skor yang telah diklasifikasikan menjadi kelas-kelas kesesuaian habitat menghasilkan kumpulan peta kesesuaian habitat, namun dari kumpulan peta kesesuaian habitat yang telah dibuat hanya dipilih satu peta kesesuaian habitat dengan nilai akurasi tertinggi. Dimana untuk melakukan pemilihan peta dengan akurasi tertinggi yaitu dengan membandingkan jumlah individu banteng hasil observasi lapangan sesuai terhadap model

43 yang dibuat dengan total jumlah individu banteng yang ditemukan pada saat observasi lapangan. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan Bobot dengan Composite Mapping Analysis Composite Value : V = E wi. xi + H vi. yi E + H = 1 Keterangan : E = bobot pada faktor yang dipengaruhi lingkungan H = bobot pada faktor yang dipengaruhi manusia xi = skor pada masing-masing sub faktor lingkungan yi = skor pada masing-masing sub faktor manusia wi = bobot relatif masing-masing sub faktor lingkungan vi = bobot relatif masing-masing sub faktor lmanusia 2. Nilai skor pada masing-masing sub faktor xi dan yi = [(oi/ei) / (oi/ei)] x 100% dimana ei = T x (Fi/100) Keterangan : oi = jumlah observasi banteng pada sub faktor ke i. ei = jumlah banteng yang diharapkan pada sub faktor ke-i T = total banteng Fi = proporsi (presentase) area dari masing-masing sub faktor ke-i. 3. Bobot relatif masing-masing sub faktor wi = (Mi / Mi) Mi = rata-rata % banteng pada masing-masing faktor lingkungan vi = (Ni / Ni) Ni = rata-rata % banteng pada masing-masing faktor pengaruh manusia. 4. Bobot relatif (faktor lingkungan dan manusia) E = [(o/e faktor lingkungan)] [(o/e faktor ling) + (o/e faktor manusia)] H = [(o/e faktor manusia)] [(o/e faktor ling) + (o/e faktor manusia)] 5. Nilai selang skor klasifikasi Selang = maks-min jumlah kelas 6. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat banteng Validasi = n / N x 100% Keterangan : n = jumlah banteng pada satu klasifikasi kesesuaian N = jumlah total banteng

44 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Dasar Hukum Ujung Kulon pertama kali diperkenalkan oleh F. Junghuhn, seorang ahli botani Jerman pada tahun 1846 karena memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna yang luar biasa. Selanjutnya muncul dukungan dari berbagai pihak untuk melindungi kawasan Ujung Kulon agar terjaga keaslian dan kelestariannya. Pada tanggal 16 November 1921, Ujung Kulon ditetapkan sebagai suaka alam berdasarkan Keputusan Pemerintah No.60, dan pada tanggal 24 Juni 1937 berubah statusnya menjadi suaka margasatwa berdasarkan Keputusan Pemerintah No.17 dengan memasukkan Pulau Peucang dan Kepulauan Handeuleum. Kemudian menjadi suaka alam kembali pada tanggal 17 April 1958 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.43/Um/1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 m dari batas air laut surut terendah. Tanggal 16 Maret 1967 berubah menjadi cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.16/Kpts/3/1967 dengan memasukkan kawasan Gunung Honje. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 ditetapkan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon. Pada tanggal 1 Februari 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Ujung Kulon sebagai warisan alam dunia (natural world heritage site) berdasarkan surat No.SC/ECO/ Keadaan Fisik Kawasan Berdasarkan pernyataan Menteri Kehutanan No.284/Kpts-II/1992 luas kawasan TNUK adalah ha yang terdiri dari ha daratan (63,22%) dan ha (36,78%) perairan laut. Penataan zonasi kawasan TNUK berdasarkan Keputusan Dirjen PHPA No.172/Kpts/Dj-VI/1991 tanggal 7 November 1991, terbagi menjadi 6 zona pengelolaan yang terdiri dari: zona rimba ha, zona inti ha, zona pemanfaatan tradisional ha, zona pemanfaatan intensif ha, zona rehabilitasi ha, dan zona penyangga ha. Peta kawasan TNUK dapat dilihat pada Gambar 8. di bawah ini.

45 Gambar 8. Peta Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Semenanjung Ujung Kulon merupakan daerah yang membentuk daratan utama TNUK. Semenanjung Ujung Kulon ini mempunyai topografi datar di sepanjang pantai utara dan timur dan pantai bagian barat daya dari selatan Gunung Telanca dan pantai bagian barat daya dari selatan, dengan puncak gunung tertingginya 480 meter di atas permukaan laut. Dataran rendahnya merupakan rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan pantainya terdiri dari formasi daerah pesisir dan batu karang. Bagian tengah dan timur Semenanjung Ujung Kulon terdiri atas formasi batu kapur miosen yang tertutupi oleh endapan aluvial di bagian utara dan endapan pasir di bagian selatan, serta di bagian baratnya yang terdiri dari deretan Gunung Payung terbentuk oleh endapan batu miosen. Menurut Hommel (1987) dalam Departemen Kehutanan (1995) tanah di TNUK telah mengalami modifikasi lokal yang ekstrim mengiringi terjadinya endapan gunung berapi selama letusan Gunung Krakatau tahun Jenis tanah yang paling luas penyebarannya di sebagian wilayah TNUK adalah jenis tanah kompleks grumosol, regosol dan mediteran dengan fisiografi bukit lipatan. TNUK beriklim tropik laut yang khusus dan menurut Schmidt-Ferguson termasuk iklim tipe B, dengan curah hujan tahunan rata-rata mm. Temperatur udara berkisar 25º-30ºC dan kelembaban 80%-90%. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut, dimana curah hujan mencapai lebih dari

46 200 mm/bulan. Curah hujan pada bulan Desember dan Januari mencapai lebih dari 400 mm. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup dari arah timur dengan curah hujan normalnya mencapai lebih dari 100 mm/bulan. Iklim di sekitar kawasan TNUK memiliki iklim laut tropika dan tipe B, dengan temperatur 15 o - 30 o C, kelembaban udara 80%-90% dan curah hujan mm/bulan. Di Semenanjung Ujung Kulon terdapat pola aliran sungai yang berbeda, pada daerah berbukit di bagian barat banyak sungai kecil dengan arus yang pada umumnya deras dan tidak pernah kering sepanjang tahun yang berasal dari Gunung Payung. Sungai Cikuya dan Ciujungkulon mengalirkan airnya ke arah utara, sedangkan Sungai Cibunar mengalirkan airnya ke arah selatan dari daratan Telanca. Di bagian timur Semenanjung Ujung Kulon tidak memiliki pola aliran sungai yang baik dan umumnya mengalir ke arah utara, timur dan selatan darai Daratan Telanca dengan muara-muara yang berendapan/gugusan pasir sehingga membentuk rawa-rawa musiman. Di bagian ini terdapat sungai-sungai seperti Cigenter, Cikarang, Citadahan, Cibandawoh dan Cikeusik. Di bagian utara terdapat pula Sungai nyawaan, Nyiur, jamang dan Citelang yang membentuk daerah-daerah rawa air tawar yang luas. 4.3 Potensi Biotik Kawasan TNUK memiliki tiga tipe ekosistem yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem daratan dan ekosistem pesisir pantai. Ekosistem perairan laut terdapat di wilayah perairan semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan yang meliputi habitat terumbu karang dan padang lamun. Ekosistem daratan terdapat di Gunung Honje, semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan yang berupa hutan hujan tropis asli. Sedangkan ekosistem pesisir pantai terdiri dari hutan pantai dan hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai, serta hutan mangrove di bagian timur laut semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum dan sekitarnya. Tipe vegetasi di kawasan TNUK berupa vegetasi hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan hujan dataran rendah dan padang rumput. Kawasan TNUK memiliki potensi biotik berupa keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. TNUK memiliki 700 jenis flora, dengan 57 jenis diantaranya termasuk jenis langka. Beberapa tumbuhan diketahui langka diantaranya Batryophora

47 geniculata, Cleidion spiciflorum, Heritiera percoriacea dan Knema globularia. Selain itu, TNUK juga memiliki 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan dan 33 jenis terumbu karang. Kawasan TNUK memiliki beragam jenis fauna yang bersifat endemik maupun bersifat penting untuk dilindungi. Beberapa jenis fauna endemik penting dan langka yang sangat perlu dilindungi adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis aygula) dan Anjing Hutan (Cuon alpinus javanicus).

48 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Ukuran Populasi dan Aktivitas Harian Inventarisasi Populasi Banteng Banteng menyebar di seluruh tipe vegetasi di sekitar Cidaon. Tipe vegetasi yang selalu dikunjungi banteng yaitu hutan dataran rendah, hutan pantai dan padang penggembalaan. Alikodra (2002) menyatakan bahwa ukuran populasi merupakan satuan ukuran yang dapat memberikan informasi mengenai nilai rata-rata, nilai minimum dan nilai maksimum dari jumlah individu di dalam suatu jenis populasi satwa tertentu. Jumlah banteng yang dapat ditemukan pada padang penggembalaan sebagai areal feeding ground sebanyak 11 ekor dengan kelas umur masing-masing 3 ekor jantan dewasa, 6 ekor betina dewasa dan 2 ekor anakan. Banteng di padang penggembalaan dijumpai sebanyak 22 kali perjumpaan dalam 22 hari pengamatan dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga dapat dikatakan setiap melakukan pengamatan dapat dijumpai kelompok banteng. Pada hutan dataran rendah jumlah banteng yang ditemukan sebanyak 16 ekor dengan pembagian kelas umur yaitu 4 ekor jantan dewasa, 9 ekor betina dewasa dan 3 ekor anakan. Pengamatan dilakukan pada 6 jalur dengan frekuensi pengamatan selama 18 kali dengan ulangan sebayak 3 kali. Frekuensi perjumpaan yang banyak berbanding lurus dengan banyaknya jalur yang diamati karena semakin banyak jalur yang diamati semakin banyak pula individu banteng yang dapat ditemukan. Hutan pantai sangat jarang digunakan banteng untuk mengasin. Hal ini terlihat dari frekuensi perjumpaan yang sedikit sekali, dari 3 jalur yang diamati dengan frekuensi pengamatan selama 9 kali hanya ditemukan banteng sebayak 2 kali perjumpaan dengan jumlah 3 ekor dengan kelas umur masing-masing yaitu 1 ekor jantan dewasa dan 2 ekor betina dewasa. Jumlah individu banteng yang paling banyak dijumpai yaitu 16 ekor di hutan dataran rendah. Berdasarkan kelas umur yang paling banyak dijumpai pada seluruh tipe vegetasi yaitu betina dewasa dengan jumlah 9 ekor sedangkan jumlah yang paling sedikit dijumpai yaitu banteng anakan dengan jumlah 5 ekor yang hanya ditemukan di padang penggembalaan dan hutan dataran rendah.

49 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di tiap-tiap tipe vegetasi dijumpai kelompok banteng yang cukup bervariasi. Jumlah banteng total yang dijumpai yaitu sebanyak 30 ekor yang terdiri dari 11 ekor di padang penggembalaan, 16 ekor di hutan dataran rendah dan 3 ekor di hutan pantai. Banyaknya jumlah individu banteng yang dijumpai selama penelitian berdasarkan tipe vegetasinya disajikan pada Gambar 10 di bawah ini. Jumlah Individu padang penggembalaan hutan dataran rendah hutan pantai jantan dewasa betina dewasa anakan Tipe Vegetasi Gambar 10. Histogram jumlah individu dengan tipe vegetasi. Perbedaan jumlah individu banteng pada tipe vegetasi ini dapat dimungkinkan karena banteng di TNUK telah mengalami perubahan perilaku pakan yaitu yang pada awalnya banteng merupakan satwa pemakan rumput (grazer) menjadi satwa pemakan pucuk daun (browser) akibat adanya invasi tumbuhan berkayu di sekitar padang penggembalaan Aktivitas Harian Aktivitas harian merupakan periode aktif atau bangun antara satu tempat bermalam sampai masuk ke tempat bermalam berikutnya. Aktivitas tersebut dapat berupa mencari makan, istirahat, sosial, mengasin dan berpindah tempat Perilaku Banteng di Padang Penggembalaan Padang penggembalaan Cidaon dengan luas ± 6.7 hektar dijadikan sebagai tempat penelitian satwaliar dan rekreasi. Padang penggembalaan merupakan salah satu habitat banteng dan satwaliar lainnya. Satwaliar lain yang hidup di padang penggembalaan

50 Cidaon terdiri dari babi hutan, burung merak hijau, bangau tong-tong dan burung rangkong badak. Banteng merupakan salah satu satwaliar yang lebih menyukai tempat terbuka dan terdapat tempat berumput yang dijadikan sebagai areal feeding ground, sehingga dapat dikatakan padang penggembalaan merupakan pusat dari aktivitas banteng (Alikodra dan Sastradipradja 1983). Seluruh aktivitas banteng dapat diamati secara jelas di padang penggembalaan dengan tidak mengganggu keberadaan banteng karena telah disediakan menara pengamatan. Adanya menara pengamatan, membuat semua aktifitas banteng dapat teramati dengan jelas dan mudah. Aktivitas yang diamati terdiri dari makan, minum, istirahat, aktivitas sosial dan kawin. (a) (b) Gambar 11. (a) dan (b) Menara pengamatan dan suasana di padang penggembalaan. Dalam aktivitas sehari-hari banteng memiliki ritme aktivitas yang tetap tergantung dengan kondisi lingkungan. Menurut Alikodra (1983), banteng di TNUK mulai berada di padang penggembalaan pada pukul WIB kemudian dilanjutkan pada pukul WIB untuk merumput, sedangkan pada saat penelitian, dijumpai banteng sudah mulai masuk ke dalam padang penggembalaan pukul WIB dan mulai melakukan aktivitasnya pada pukul WIB dan keluar menuju hutan dataran rendah pada pukul WIB. Pada pukul WIB banteng masih terlihat beristirahat di bawah tegakan pohon yang terdapat di sekitar padang penggembalaan. Aktivitas banteng yang teramati terdiri dari aktivitas makan, minum, istirahat, waspada terhadap gangguan dan aktivitas sosial, sedangkan aktivitas kawin tidak

51 dijumpai. Menurut Hoogerwerf (1970) aktivitas kawin banteng di TNUK dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober bahkan terlihat banteng kawin pada bulan November dan Desember sehingga pada penelitian ini tidak dijumpai perilaku kawin banteng di padang penggembalaan. Perilaku makan di padang penggembalaan dilakukan pada dua periode yaitu, pada pagi hari pukul WIB dan pada sore hari pukul WIB. Perilaku makan banteng dilakukan dengan menundukkan kepalanya sambil merenggut rumput yang dekat dengan mulutnya. Pada saat makan, banteng sesekali melihat ke arah sekitarnya untuk mengawasi kondisi sekitar dan jika merasa aman, banteng akan melanjutkan kembali aktivitas makannya. Gambar 12. Perilaku makan sambil waspada. Di padang penggembalaan Cidaon banteng dapat hidup dan berdampingan bersama-sama dengan satwaliar lainnya misalnya burung merak hijau dan babi hutan. aktivitas mereka tidak saling mengganggu antara satu dengan yang lainnya. Pada saat ini ketersediaan makanan di padang penggembalaan terus mengalami penurunan akibat dari adanya invasi tumbuhan berkayu, misalnya lampeni, semak dan herba. Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan upaya suatu pembinaan habitat. Setelah merumput banteng biasanya beristirahat di hamparan rumput atau berada di bawah tegakan pohon. Perilaku istirahat ini dilakukan dengan cara merebahkan badannya di hamaparan rumput tapi terkadang terlihat banteng istirahat seperti keadaan tidur. Biasanya banteng memilih tempat istirahat yang datar, kering dan terlindung dari

52 sengat matahari. Sambil beristirahat banteng memamah biak rumput yang ada di sekitarnya. Menurut Hoogerwerf (1970) hubungan sosial di dalam kawasan banteng dapat dipelajari di dalam kawanan banteng. Kawanan banteng ini pada umumnya terdiri dari ekor yang dipimpin oleh beberapa ekor betina dewasa yang selalu bersikap waspada terhadap lingkungan sekitarnya, sedangkan pada saat penelitian dijumpai kawanan banteng di padang penggembalaan sekitar 5-8 ekor. Di padang penggembalaan terlihat aktivitas sosial yang dilakukan oleh anakan banteng seperti berlari-lari dan mengadukan kepalanya kepada induknya atau kepada sesama anakan. Setelah selesai melakukan aktivitasnya dan pada saat cuaca mulai terik banteng keluar dari padang penggembalaan menuju hutan dataran rendah yang berada dekat dengan padang penggembalaan untuk beristirahat sambil mencari makanan tambahan di dalam hutan. Banteng keluar dari padang penggembalaan sekitar pukul WIB dan kembali masuk pada pukul WIB, namun menjelang malam hari banteng keluar dari padang penggembalaan. Aktivitas banteng di padang penggembalaan disajikan pada Tabel 3. di bawah ini. Tabel 3. Aktivitas banteng di padang pengembalaan Kelas Umur Rata-rata lama aktivitas Aktivitas Jantan dewasa Betina dewasa Anakan menit % makan istirahat waspada sosial Perilaku Banteng di Hutan Dataran Rendah Menurut Alikodra dan Sastradipradja (1983), hutan dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu. Di dalam hutan sambil berjalan dan beristirahat, banteng selalu makan hijauan yang terdapat di sekitarnya sehingga mudah untuk dijangkau. Jika bertemu dengan manusia di dalam hutan banteng akan berlari dengan cepat sampai merasa aman.

53 Gambar 13. Hutan dataran rendah Cidaon. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, banteng memanfaatkan hutan dataran rendah sebagai tempat mencari makan tambahan dan juga sebagai tempat untuk beristirahat. Tempat istirahat yang dipilih biasanya di bawah tegakan rotan yang datar dan sekitarnya terdapat tumbuhan bawah atau semai yang dapat dijadikan sebagai pakan tambahan. Pada saat pengamatan banteng mulai masuk ke dalam hutan dataran rendah sekitar pukul WIB hingga pukul WIB. Kemudian dilanjutkan pada malam hingga pagi hari yaitu pukul WIB. Selama di dalam hutan dataran rendah banteng beristirahat sambil memamah biak dan sesekali minum di sungai yang terdapat di sekitar hutan. Aktivitas banteng di hutan dataran rendah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Aktivitas banteng di hutan dataran rendah Kelas Umur Rata-rata lama aktivitas Aktivitas Jantan dewasa Betina dewasa Anakan menit % makan minum istirahat waspada Aktivitas yang dominan di hutan dataran rendah yaitu istirahat, karena selain lokasinya yang aman dari gangguan, hutan dataran rendah juga jarang sekali terdapat aktifitas manusianya, sehingga banteng dapat merasa lebih aman untuk beristirahat. Pada saat istirahat banteng juga selalu waspada terhadap lingkungan sekitarnya, hal ini terbukti

54 pada saat pengamatan dijumpai banteng dalam keadaan istirahat tetapi setelah mengetahui adanya bau asing banteng langsung berlari dengan cepat Perilaku Banteng di Hutan Pantai Banteng memerlukan garam untuk membantu proses pencernaannya sehingga untuk memperoleh kandungan garam banteng selalu mendatangi pantai untuk minum air laut. Hutan pantai dimanfaatkan banteng untuk mengasin dan sesekali sambil memakan beberapa jenis tumbuhan seperti klampis cina (Hernandia peltata) dan ketapang (Terminalia catappa). Pada saat pengamatan dijumpai banteng mulai masuk ke dalam hutan pantai sekitar pukul WIB dan berada di sekitar pantai pukul WIB. Individu banteng yang dijumpai di hutan pantai sedikit sekali yaitu 1 ekor jantan dewasa dan 2 ekor betina dewasa. Aktivitas banteng di hutan pantai disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Aktivitas banteng di hutan pantai Kelas Umur Rata-rata lama aktivitas Aktivitas Jantan dewasa Betina dewasa Anakan menit % makan mengasin Aktivitas banteng yang dijumpai pada berbagai tipe vegetasi terdiri dari aktivitas makan, minum, istirahat, sosial dan berpindah tempat, sedangkan perilaku kawin tidak pernah dijumpai. Hal ini di karenakan pada saat penelitian sedang tidak berlangsung musim kawin. Musim kawin di TNUK yaitu berkisar pada bulan Juli hingga Desember. Jumlah jenis aktivitas banteng dengan tipe vegetasinya disajikan pada Gambar Jumlah Individu makan minum istirahat waspada sosial mengasin 0 padang penggembalaan hutan dataran rendah hutan pantai Tipe Vegetasi Gambar 14. Histogram jenis aktivitas dengan tipe vegetasi.

55 5.2 Karakteristik Habitat Ketersediaan Pakan Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi pakan satwaliar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh satwaliar tersebut. Menurut Alikodra (1990), potensi makanan (penyebaran dan nilai gizinya) di alam berkaitan erat dengan kondisi musim. Penggunaan makanan satwaliar ditentukan oleh perubahan ketersediaan dan kualitas jenis-jenis makanan di dalam lingkungan. Pada umumnya banteng merupakan satwaliar yang cenderung lebih menyukai memakan rerumputan (grazer) dibandingkan dengan memakan pucuk daun (browser), namun tidak demikian kondisinya di TNUK. Hal ini dikarenakan jumlah dan luasan padang penggembalaan di seluruh TNUK telah mengalami penyempitan akibat dari adanya invasi beberapa jenis tumbuhan berkayu (misalnya lampeni), semak dan herba termasuk yang terjadi di padang penggembalaan Cidaon. Penyempitan dan kemunduran kualitas padang penggembalaan ini menyebabkan banteng menjadi kurang terkonsentrasi lagi di padang penggembalaan namun sebaliknya banteng lebih sering masuk ke dalam hutan-hutan di sekitar padang penggembalaan. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa tumbuhan pakan yang dapat dijangkau oleh banteng adalah dengan ketinggian pohon pakan mencapai 150 cm dari permukaan tanah. A. Jumlah Jenis Pakan A.1. Padang Penggembalaan Padang penggembalaan sangat penting peranannya bagi banteng, terutama bagi social behaviour dan learning process kelompoknya, mengasuh maupun membesarkan anaknya.serta sebagai tempat merumput. Padang penggembalaan Cidaon memiliki luas sekitar 6 ha dan terdiri dari dua macam vegetasi, yaitu vegetasi rumput serta vegetasi semak dan herba (bukan rumput). Berdasarkan hasil analisis vegetasi di padang penggembalaan Cidaon ditemukan 9 jenis rumput dan 6 jenis bukan rumput (semak dan herba). Jenis yang mendominasi diantaranya antanan (Centella asiatica), domdoman (Chrysopogon aciculatus) dan rumput teki (Cyperus brevifolia) dengan INP masingmasing sebesar : %, % dan %. Jenis-jenis rumput yang terdapat di padang penggembalaan Cidaon umumnya merupakan sumber pakan banteng karena

56 banteng merupakan satwaliar yang tidak selektif dalam memilih makanan. Data selengkapnya mengenai komposisi jenis rumput dan herba disajikan Tabel 6. Tabel 6. Analisis vegetasi di padang pengembalaan. Nama Jenis KR (%) FR (%) INP (%) antanan* rumput teki rumput jarum amis mata* domdoman* jejerukan* meniran* rumput kawat tapak liman jarong* ki jampang jampang pait rumput kiseuseut ki bareula kukucayan Keterangan : * Jenis herba (bukan rumput) A.2. Hutan A.2.1. Hutan Dataran Rendah Menurut Endarwin (2006) hutan dataran rendah memiliki komposisi dan keanekaragaman baik tumbuhan maupun satwaliar yang cukup tinggi dibandingkan formasi hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada hutan dataran rendah terdapat 27 jenis tumbuhan. Data selengkapnya mengenai komposisi dan keanekaragaman jenis di hutan dataran rendah Cidaon disajikan pada lampiran 2. Pada tingkatan semai dan tumbuhan bawah ditemukan sebanyak 22 jenis dengan jenis yang mendominasi diantaranya salam (Eugenis polyantha) dan tepus (Ammomum coccineum) dengan INP masing-masing sebesar : % dan %; tingkatan pancang ditemukan sebanyak 16 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya peuris (Aporosa aurita) dan ki genteul (Diospyros javanica) dengan INP masing-masing sebesar % dan %; pada tingkat tiang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya salam dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : % dan %; sedangkan untuk tingkat pohon ditemukan sebanyak 11 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya

57 lampeni dan salam dengan INP masing-masing sebesar : % dan %. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang mendominasi di hutan dataran rendah disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis vegetasi dominasi di hutan dataran rendah Tingkatan Jenis KR FR DR INP Semai dan tumbuhan bawah lampeni salam tepus Pancang ki lalayu peuris ki genteul Tiang ki genteul lampeni salam Pohon ki tanjung bungur salam Kondisi tumbuhan hutan dataran rendah cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kondisi penutupan vegetasi yang masih rapat dan diameter pohon yang besar. Dilihat dari jumlah komposisi tumbuhan yang ditemukan, hutan dataran rendah memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika dibandinakan dengan tipe vegetasi lainnya seperti pada hutan pantai dan padang penggembalaan. Di hutan dataran rendah terdapat berbagai macam tumbuhan bawah yang dapat dijadikan sebagai sumber pakan bagi banteng di dalam hutan. Tumbuhan bawah di dalam hutan dataran rendah ini tumbuh di sela-sela tegakan yang merupakan perlintasan banteng, selain tumbuhan bawah anakan rotan yang masih muda juga dimanfaatkan banteng sebagai pakan tambahan. A.2.2. Hutan Pantai Tipe vegetasi lainnya yang juga dimanfaatkan oleh banteng yaitu hutan pantai yang dijadikan tempat oleh banteng untuk memperoleh makanan, beristirahat dan juga sebagai tempat berlindung pada saat sebelum maupun sesudah melakukan kegiatan mengasin di pantai. Hutan pantai ini langsung berhadapan dengan laut tetapi pada saat air laut pasang hutan pantai ini tidak akan tergenang oleh air laut karena hutan pantai ini tidak terpenaruh oleh pasang surut air laut. Hutan pantai di lokasi pengamatan memiliki keanekaragaman jenis yang cukup tinggi, berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan

58 total jenis sebanyak 12 jenis tumbuhan. Data selengkapnya mengenai komposisi dan keanekaragaman jenis di hutan pantai Cidaon disajikan pada lampiran 3. Untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah ditemukan sebanyak 10 jenis dengan jenis yang paling mendominasi ketapang (Terminalia catappa) dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : % dan %; tingkat pancang ditemukan sebanyak 7 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya waru laut (Thespesia populnea) dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar % dan % ; untuk tingkat tiang ditemukan sebanyak 8 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya malapari dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : % dan %; sedangkan untuk tingkat pohon ditemukan sebanyak 7 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya lampeni dan nyamplung (Calophyllum inophyllum) dengan INP masing-masing sebesar : % dan %. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang mendominasi di hutan pantai disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Analisis vegetasi dominasi di hutan pantai Tingkatan Jenis KR FR DR INP Semai dan tumbuhan bawah klampis cina ketapang lampeni Pancang malapari waru laut lampeni Tiang waru laut malapari lampeni Pohon laban laut lampeni nyamplung Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di padang penggembalaan, hutan dataran rendah dan hutan pantai tersebut, total jenis tumbuhan pakan banteng yang dapat teridentifikasi sebanyak 32 jenis dengan jenis yang paling mendominasi adalah rumput teki (Cyperus brevifolia) dengan besar INP 58.3%. Peyebaran pakan banteng di padang penggembalaan Cidaon, berdasarkan INP terbagi menjadi 3 kategori, yaitu jenis pakan berpotensi rendah, sedang dan tinggi. Tumbuhan yang menjadi pakan banteng

59 tersebut dapat dikenali dari bagian daunnya yang tersisa setengah bagian sampai 2/3 nya dan juga banyak ditemukan bekas jejak banteng di sekelilingnya (Gambar 15). (a) (b) (c) Gambar 15. (a) Langkap (Arenga obtusifolia); (b) Rotan Seel (Daemonorops melanochaetes) dan (c) Sulangkar (Leea indica). Dari 32 jenis pakan yang ditemukan 20 jenis diantaranya berpotensi rendah (INP 10%), 8 jenis berpotensi sedang (10%>INP 20%) dan 4 jenis berpotensi tinggi (INP>20%). Data selengkapnya mengenai kondisi potensi tumbuhan yang menjadi pakan banteng disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis pakan banteng yang dijumpai di lokasi penelitian No. Nama Jenis INP (%) KET 1 rumput teki 58.3 *** 2 rumput jarum ** 3 rumput kawat 5.91 * 4 tapak liman ** 5 jampang pait 6.63 * 6 rumput kiseuseut 3.96 * 7 ki bareula 2.69 * 8 jejerukan 6.14 * 9 domdoman *** 10 ki jampang 4.1 * 11 sulangkar ** 12 huru 7.98 * 13 ki genteul ** 14 ki teja 1.8 *

60 15 cariang 2.64 * 16 ki tanjung 4.44 * 17 sariawan 4.61 * 18 bungur 4.44 * 19 ki calung 1.07 * 20 lampeni ** 21 heucit 2.15 * 22 ki lalayu ** 23 salam *** 24 tepus ** 25 kapol 1.25 * 26 kilaja 1.6 * 27 patat 2.84 * 28 langkap 5.54 * 29 rotan seel 7.98 * 30 malapari ** 31 waru laut *** 32 asahan 7.63 * Keterangan : *** :Potensi Tinggi ** : Potensi Sedang * : Potensi Rendah Jumlah Pakan Penghitungan jumlah pakan banteng yang dinyatakan dalam biomassa basah hanya dilakukan di padang penggembalaan, tidak sama halnya dengan pengukuran jumlah jenis pakan yang merupakan hasil dari analisis vegetasi di tiga tipe habitat, yaitu padang penggembalaan, hutan dataran rendah dan hutan pantai (Gambar 16.) Berdasarkan hasil penghitungan biomassa pada setiap titik plot di padang penggembalaan diperoleh hasil biomassa basah berkisar antara 1927 kg/ha sampai dengan kg/ha. Hasil ini dinilai cukup besar karena penelitian dilakukan pada saat musim hujan, sehingga rumput dapat tumbuh kembali lebih cepat. Berdasarkan hasil analisis data di padang penggembalaan Cidaon menunjukkan besarnya nilai biomassa tersebut berbanding lurus dengan nilai produktivitas, artinya semakin besar nilai biomassa suatu padang penggembalaan maka nilai produktivitasnya akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan jenis tumbuhan (rumput dan bukan rumput) yang tumbuh kembali umumnya jenis yang paling mendominasi kawasan tersebut. Data selengkapnya mengenai besarnya biomassa dan produktivitas di padang penggembalaan Cidaon disajikan pada lampiran 4

61 (a) (b) (c) Gambar 16. Perlakuan Terhadap Rumput (a) dan (b) Kondisi Sebelum Dilakukan Pemagaran ; (c) Kondisi Setelah Dilakukan Pemagaran Ketersediaan Cover Cover atau pelindung merupakan komponen habitat berikutnya yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh banteng. Banteng merupakan salah satu jenis satwaliar yang tidak terlalu menyukai sengatan cahaya matahari yang terik. Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng tidak menyukai cuaca dengan panas matahari yang terik dan umumnya mencari perlindungan di bawah tegakan hutan untuk beristirahat. Selain itu, cover juga dijadikan oleh banteng sebagai tempat untuk bersembunyi agar keberadaannya tidak mudah diketahui oleh pemangsa. Padang penggembalaan Cidaon dikelilingi oleh pohon-pohon dan sebagian besar tertutupi oleh semak dan belukar yang kemudian dijadikan oleh banteng sebagai tempat berlindung (cover) serta padang penggembalaan ini dikelilingi oleh perbukitan, hutan dataran rendah dan hutan pantai yang mampu memberikan rasa aman terhadap satwaliar yang berada di dalam padang penggembalaan khususnya banteng. Pada umumnya banteng di padang penggembalaan Cidaon lebih menyukai melakukan kegiatan

62 merumput di bawah tegakan pohon dibandingkan di areal padang penggembalaan yang terbuka. Jenis-jenis pohon yang dijadikan cover oleh banteng diantaranya bungur, sempur, ketapang, salam dan gempol. Pada umumnya tajuk yang dimiliki oleh pohonpohon tersebut lebar dan rindang, sehingga kondisinya sesuai untuk melindungi banteng dari sengatan matahari (Gambar 17). Profil umum tipe penutupan hutan di sekitar padang penggembalaan Cidaon disajikan pada Gambar 18. Gambar 17. Kondisi cover di Pg. Cidaon.

63 Gambar 18. Peta penutupan lahan.

64 5.2.3 Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup dan komponen terbesar di dalam sel-sel yang berguna untuk proses-proses metabolisme dan pertumbuhan. Di hutan tropis, sungai mengalir sepanjang tahun dan merupakan salah satu sumber air utama bagi makhluk hidup di dalamnya. Air tawar digunakan banteng untuk kebutuhan minum sedangkan air laut penting bagi kehidupan banteng untuk memenuhi kebutuhan garamnya yang berfungsi di dalam membantu proses pencernaan. Oleh karena itu biasanya banteng mendiami habitat yang terutama merupakan padang rumput yang berbatasan langsung dengan sumber air baik mata air, danau maupun sungai yang berair sepanjang tahun dan juga berbatasan langsung dengan pantai. Menurut Alikodra (1983), ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal dan air memegang peranan penting bagi kehidupan banteng sebagai sumber air minum, sehingga air harus tersedia di dalam wilayah jelajah (home range) banteng dalam keadaan bersih. Perilaku minum banteng sama halnya dengan perilaku makannya, yaitu membutuhkan air pada jumlah yang banyak.. (a) (b) Gambar 19. Beberapa sumber air yang terdapat di lokasi penelitian : (a) Sungai Ciujung Kulon; (b) Genangan Air di Sekitar Pg. Cidaon. Perilaku dan pergerakan banteng khususnya pada saat musim kemarau akan berbeda pada saat musim penghujan, karena kondisi sumber air minum banteng menjadi lebih terbatas. Pada saat musim hujan banteng di padang penggembalaan Cidaon memperoleh kebutuhan air dari daun dan rumput yang masih mengandung air bekas hujan dan embun. Selain mengambil sisa air yang ada di rumput dan daun, banteng juga

65 meminum di genangan-genangan air sementara (pond) yang terdapat di sekeliling padang penggembalaan. Namun pada saat musim kemarau tiba, banteng akan lebih agresif mencari sungai-sungai yang terdekat dengan padang rumput untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. Di sekitar padang penggembalaan Cidaon terdapat dua sungai yang cukup besar, yaitu sungai Cidaon dan sungai Ciujung Kulon. Peta jaringan sungai (buffer) di sekitar lokasi penelitian disajikan pada Gambar 20.

66 Gambar 20. Peta Jaringan Sungai.

67 2.4 Aksesibilitas (Topografi) A. Ketinggian (Elevasi) Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Van Steenis (1972) dan Simbolon & Mirmanto (1997) dalam Dewi (2005) menyatakan adanya zona-zona vegetasi menurut ketinggian di Taman Nasional Halimun Salak. Masing-masing zona vegetasi terbentuk karena adanya perbedaan kondisi iklim (karena perbedaan ketinggian) dan akibatnya perbedaan spesies yang dominan. Menurut Hoogerwerf (1970), habitat banteng meliputi daerah pantai hingga pegunungan. Secara alami banteng menyukai habitat hutan terbuka yang diselingi daerah berumput atau padang rumput tetapi tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Tempattempat yang terbuka dan datar sampai bergelombang merupakan tempat mencari makan sedangkan hutan digunakan sebagai tempat berlindung. Di lokasi penelitian hanya terdapat dua tipe hutan berdasarkan ketinggian, yaitu hutan dataran rendah dan hutan pantai. Terkait dengan faktor ketinggian dan pengaruhnya pada jenis vegetasi, hutan dataran rendah memiliki komposisi dan tingkat keanekaragaman jenis serta tingkat kerapatan yang tinggi dibanding dengan hutan pantai. Namun, keberadaan hutan pantai sangat penting peranannya bagi banteng, karena seperti yang telah dijelaskan di atas, banteng memerlukan air laut untuk membantu proses pencernannya. Susetyo (1980) juga menyatakan bahwa faktor yang paling mempengaruhi banyaknya bagian rumput yang dimakan oleh satwaliar pada suatu padang penggembalaan adalah topografi lapangan, semakin curam topografinya maka akan semakin kecil bagian rumput yang dimakan. Hal tersebut dikarenakan ruang gerak satwa menjadi terbatas. Dengan demikian diketahui bahwa semakin rendah ketinggian maka semakin sesuai bagi habitat banteng. Peta kelas ketinggian disajikan pada Gambar 21. B. Kemiringan Lereng (Slope) Slope adalah ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dinyatakan dalam derajat atau persen. Pembagian kelas lereng didasarkan pada SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Kondisi kemiringan lereng sebenarnya tidak terlalu menghambat aksesibilitas banteng, kecuali kemiringan lereng yang ekstrim (sangat curam). Seperti yang telah dijelaskan di atas,

68 Gambar 21. Peta Ketinggian.

69 banteng dapat hidup mulai dari daerah pantai hingga pegunungan. Namun demikian banteng merupakan satwa yang oportunitis yang akan memilih daerah yang lebih gampang dilalui yaitu daerah yang datar dan terbuka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga beristirahat. Hal tersebut sependapat dengan Susetyo (1980) yang menyatakan bahwa faktor yang paling mempengaruhi jumlah pakan yang dimakan oleh banteng adalah kondisi topografi lapangannya. Semakin curam topografinya, maka akan semakin sedikit bagian tumbuhan yang dimakan, hal tersebut dikarenakan ruang gerak banteng menjadi terbatas. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 22. Kelas lereng yang dibuat dinyatakan dalam empat kelas dan satuan nilai yang digunakan dalam mendefinisikan kelas lereng pada penelitian ini adalah persen. Di lokasi penelitian kemiringan lereng sebagian besar dengan tingkat kemiringan 0-8% yaitu daerah yang didominasi oleh hutan dataran rendah, datar dan terbuka Data selengkapnya mengenai luasan masing-masing berdasarkan kelas kemiringan lereng disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Luas kawasan padang penggembalaan Cidaon dan sekitarnya berdasarkan kelas lereng Kelas lereng (%) Luas (ha) Kelas lereng 0-8 % merupakan kelas lereng yang memiliki luas paling besar dibandingkan dengan kelas lereng lainnya pada setiap kelas lereng yang terdapat di sekitar lokasi penelitian yaitu dengan luas sekitar hektar. Luasan terkecil dari kelas lereng yang ada di sekitar lokasi penelitian yaitu hektar dengan kelas lereng 25-40%. Kondisi lapangan yang demikian sangat ideal bagi banteng untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga aman untuk istirahat, karena apabila banteng merasa terganggu, maka dengan mudah banteng dapat berlari cepat masuk ke dalam hutan yang susah untuk dilalui oleh pemangsanya.

70 Gambar 22. Peta Kemiringan Lereng.

71 5.2.5 Jarak dengan Jalan Kondisi populasi banteng yang mengalami penurunan seperti di Taman Nasional Baluran diakibatkan oleh aktivitas manusia melalui perburuan liar. Perburuan liar ini dapat dengan mudah dilakukan apabila aksesibilitas manusia untuk masuk ke dalam hutan yang merupakan habitat banteng juga mudah, misalnya dengan adanya jalan setapak. Di samping itu, adanya jalan setapak secara tidak langsung dapat mengganggu habitat dan satwaliarnya, terutama apabila jalan setapak tersebut juga melintasi jalur pergerakan satwaliar. Jalan setapak Cidaon-Cibunar merupakan jalan yang paling sering dilalui oleh wisatawan yang akan melakukan trekking di dua lokasi tersebut. Hal ini mengakibatkan banteng di sekitar Cidaon lebih menyukai aktivitas makan dan istirahat jauh di dalam hutan. Dengan demikian semakin dekat habitat banteng dengan jalan yang dapat dilalui oleh aktifitas manusia maka semakin tidak sesuai dengan kondisi yang disukai oleh banteng dan begitu pula dengan sebaliknya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya banteng merupakan salah satu satwaliar yang sangat sensitif yaitu memiliki indera penciuman yang sangat peka sehingga selalu waspada dan menjaga diri jika ada gangguan, termasuk gangguan dari manusia Nilai Indeks Vegetasi NDVI (Natural Difference Vegetation Index) merupakan suatu metode standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi pada satelit. Selain itu NDVI juga dapat digunakan sebagai indikator biomassa pada suatu tutupan lahan. Pengolahan citra pada lokasi penelitian dan sekitarnya menghasilkan rentang nilai NDVI antara sampai Nilai NDVI yang dominan yaitu pada rentang nilai dengan jenis vegetasi yang sesuai bagi pakan banteng yaitu didominasi dengan jenis rumput yang juga memiliki nilai biomassa yang dapat mendukung kebutuhan hidup banteng. Dengan demikian jika pengolahan citra dengan metode NDVI ini diterapkan di lokasi lain, maka dapat diasumsikan hasil interpretasi citra untuk rentang nilai tersebut akan memberikan informasi bahwa lahan tersebut ditanami oleh jenis rumput yang sesuai bagi kebutuhan banteng. Data selengkapnya mengenai luasan, nilai NDVI, hubungan dengan INP dan biomassa pada setiap kelas klasifikasi disajikan pada Tabel 11, 12 dan 13.

72 Tabel 11. Kelas Klasifikasi NDVI Kelas Klasifikasi Luasan (ha) 1 NDVI dan NDVI NDVI > 0 dan NDVI NDVI > 0.1 dan NDVI NDVI > 0.2 dan NDVI NDVI > 0.3 dan NDVI NDVI > 0.4 dan NDVI NDVI > Total Tabel 12. Perbandingan antara INP dengan kelas NDVI No. INP (%) KET Kelas NDVI Luasan (ha) *** ** * ** * * * * *** * ** * ** * * * * * * ** * ** *** ** * * * * * ** *** * Keterangan : * Potensi Rendah ** Potensi Sedang *** Potensi Tinggi

73 INP Perbandingan Jenis Pakan Terhadap NDVI Titik Tumbuh Kelas NDVI INP NDVI Gambar 23. Histogram perbandingan antara jenis pakan dengan kelas NDVI. Tabel 13. Perbandingan Jumlah Pakan Terhadap Nilai NDVI No Plot Biomassa (kg/ha) Tingkat Luasan Kelas NDVI Potensi (ha) ** * * ** * * *** *** * *** Keterangan : * Potensi Rendah ** Potensi Sedang *** Potensi Tinggi Perbandingan NDVI Terhadap Jumlah Pakan Jumlah Pakan (Kg/ha) Plot Kelas NDVI Jumlah Pakan Kelas NDVI Gambar 24. Perbandingan NDVI Terhadap Jumlah Pakan.

74 Gambar 25. Peta Lokasi Plot Biomassa.

75 Gambar 26. Peta Persebaran Jenis Pakan.

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG (Bos javanicus d Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Studi Kasus Padang Penggembalaan Cidaon) ANDITA HUSNA DESTRIANA

Lebih terperinci

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI SISTEM IFORMASI GEOGRAFI A. DEFINISI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas SIG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas SIG BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian SIG Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografi merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO Pengantar Teknologi FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO http://www.dinus.ac.id Informasi (Teori) Minggu ke-11 Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom Definisi GIS

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. atau instruksi-instruksi yang diformalkan dan sesuai untuk komunikasi,

BAB 2 LANDASAN TEORI. atau instruksi-instruksi yang diformalkan dan sesuai untuk komunikasi, 7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar / Umum 2.1.1 Data dan Informasi Data adalah representasi dari kenyataan apa adanya di lapangan, konsepkonsep atau instruksi-instruksi yang diformalkan dan sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng.

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng. Media Konservasi Vol. VII, No. 2, Juni 2001 : 69-74 PENGGUNAAN SUMBERDAYA AIR, PAKAN DAN COVER OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DAN BANTENG (Bos javanicus, d'alton 1832) DI DAERAH

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang dan Wilayah Menurut UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Windhu Purnomo FKM UA 2013 SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni Juli 2012 di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Mamberamo Alasmandiri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat Pengertian masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional I yang dikemukakan oleh Moniaga (2004), yaitu kelompok masyarakat

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. - Jalan Umum adalah : jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum

BAB II LANDASAN TEORI. - Jalan Umum adalah : jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Jalan Dalam undang-undang jalan raya no. 13/1980 bahwa jalan adalah : - Suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol)

APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol) APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol) Habib Sidiq Anggoro sidiqanggoro@gmail.com Sigit Heru Murti B S sigit@geo.ugm.ac.id

Lebih terperinci

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 77 M. Indica et al. / Maspari Journal 02 (2011) 77-82 Maspari Journal 02 (2011) 77-81 http://masparijournal.blogspot.com Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA Agus Rudiyanto 1 1 Alumni Jurusan Teknik Informatika Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta Email: a_rudiyanto@yahoo.com (korespondensi)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci