LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013 STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013 STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013 STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

2 STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN ABSTRACT UU Pangan No 12/2012 mengamatkan kepada pemerintah untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Istilah kemandirian pangan menjadi menarik dan kontroversial mengingat kenyataan terus menurunnya kapasitas produksi pangan nasional dan terus meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap produk pangan impor. Tujuan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan merupakan legitimate objective yang perlu didukung semua komponen bangsa. Namun untuk mencapainya perlu strategi, kebijakan dan instrumen kebijakan yang tepat, tidak hanya terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor yang membebani konsumen dan perekonomian. Disamping memberikan perlindungan dari ancaman produk impor ( border measures ), sangat diperlukan kebijakan dan program behind the border yang mencerminkan keberpihakan dan perhatian lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Kebijakan stabilisasi harga pangan pokok (strategis) merupakan salah satu kebijakan yang dinilai penting dalam mencapai tujuan ini, khususnya untuk menjamin keuntungan layak dan kelangsungan usaha petani. Namun, kebijakan stabilisasi harga pangan tidak mungkin efektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan dan program lain, khususnya kebijakan dan program peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, pembenahan standar mutu produk pangan dan perluasan Sistem Resi Gudang (SRG). Roadmap pembenahan dan penerapan standar mutu produk pangan sangat penting dilakukan, tidak hanya karena standar mutu menjadi syarat memperoleh RG tetapi urgent untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN PENDAHULUAN Beberapa bulan terakhir ini, media masa diramaikan oleh berita seputar kelangkaan pasokan dan lonjakan harga eceran beberapa produk pangan. Belum sampai lonjakan harga satu komoditas pangan selesai ditangani dan dicari pemecahannya oleh pemerintah, muncul lagi berita kelangkaan dan lonjakan harga komoditas pangan lainnya. Tidak hanya beras, gula, jagung, kedele yang selama ini 1

3 dikenal sebagai komoditas pangan rawan gejolak, tetapi juga terjadi pada komoditas pangan lain seperti daging sapi dan beberapa produk sayuran. Situasi ini tidak hanya meresahkan konsumen, khususnya para ibu rumah tangga, tetapi juga meresahkan para pedagang dan membuat sibuk pemerintah. Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga daging sapi, cabe dan bawang merah, serta kedele. Situasi ini telah memancing debat publik, pro-kons, seputar politik pangan dan kebijakan pertanian umumnya. Kebijakan pemerintah dinilai gagal dalam menciptakan stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagian politisi dan pengamat ekonomi mengungkapkan kerisauan mereka dengan terus meningkatnya impor produk pangan dan menuntut pemerintah untuk mengendalikan dan kalau perlu menyetop impor beberapa produk pangan. Yang menarik, karena harga terus meningkat dan tidak terkendali, pemerintah justru mengambil langkah ad-hoc yang sebaliknya, yakni melonggarkan aturan impor dengan menghilangkan tarif impor dan meningkatkan kuota impor kedele, daging sapi dan sapi bakalan. Beberapa tahun terkahir memang ada keinginan kuat dari pemerintah yang didukung para politisi di Parlemen (DPR) untuk mencapai swasembada dan kemandirian pangan, tidak hanya pangan mencakup beras, gula, kedele dan jagung, tetapi juga daging sapi dan beberapa produk hortikultura. Terbitnya UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No 13/2010 tentang Hortikultura dan UU No 18/2012 tentang Pangan, menjadi bukti komitmen politik untuk mencapai tujuan itu. Kementerian Pertanian (Kementan) bahkan mentargetkan surplus beras 10 juta ton, mencapai swasembada jagung, kedele, gula dan daging sapi pada tahun Keinginan kuat untuk merealisasi swasembada daging sapi dan meningkatkan kemandirian produk hortikultura terlihat dari langkah Kementan bersama Kemendag untuk membatasi impor daging sapi dan produk hortikultura lewat kebijakan Rekomendasi Impor Produk Peternakan (RIPP) dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) (Erwidodo dan Sayaka, 2013). Sesuai alam demokrasi saat ini, silang pendapat (pro-kons) sering terjadi seputar kebijakan perdagangan dan ketahanan pangan. Ada pendapat moderat ada pula 2

4 pendapat ekstrim dalam menyikapi kebijakan perdagangan. Pendapat moderat menyatakan pentingnya negara hadir dan berperan untuk menjamin stabilisasi harga dan ketahanan pangan (pokok) tanpa mendistorsi pasar secara berlebihan, serta tetap konsisten dengan aturan perdagangan multilateral (WTO). Sementara pendapat yang ekstrem menyatakan bahwa pemerintah harus berdaulat dan berperan aktif untuk mencapai kemandirian dan ketahanan serta stabilisasi harga pangan at all costs, tidak harus mengikuti aturan WTO. Mereka yang terakhir ini berpandangan bahwa impor pangan harus dikendalikan atau kalau perlu distop dan urusan pangan tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Mereka ini juga berpandangan bahwa keterpurukan sektor pertanian dan membanjirnya produk pangan impor sebagai akibat masuknya Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional, baik perdagangan multilateral (WTO) maupun regional (AFTA dan ASEAN+partner). Diluar kebijakan perdagangan, ada juga keinginan kuat untuk mencapai diversifikasi produksi pertanian, yang diartikan meningkatkan produksi semua produk pangan khususnya dan produk pertanian umumnya. Mereka menganggap, impor pangan berapapun besarnya dan prosentasinya terhadap total konsumsi tetap dianggap sebuah kegagalan Negara dalam mencapai kemandirian pangan. Semua produk pangan, mulai dari beras, kedele, jagung, sayuran buah2an harus meningkat produksinya, tanpa kejelasan dimana lokasi, berapa luas area dan produksinya. Tidak heran jika program peningkatan produksi dan produktivitas hanya sebatas angka2 target area tanam dan produksi tanpa disertai pemetaan lokasi. Mereka kurang memperhitungkan kenyataan adanya keterbatasan dan kompetisi dalam penggunaan lahan, baik secara total wilayah maupun pemilikan lahan petani. Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa pertanyaan diatas dan polemik tentang kebijakan stabilisasi harga, kemandirian dan ketahanan pangan, dengan mengambil kasus komoditas pangan beras, kedele, dan jagung. Sengaja hanya mengambil ketiga komoditas ini karena ketiganya diusahakan secara intensif di Jawa dan sangat terkait dengan masalah konversi lahan dan kompetisi penggunaan lahan. Tulisan ini menjelaskan aturan WTO dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas regional yang membatasi kebebasan negara anggota untuk memilih 3

5 instrumen kebijakan perdagangan. Kebijakan harga dan stabilisasi harga pangan menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini. Selain kebijakan stabilisasi harga juga dibahas kebijakan lain dalam upaya menyiasati masalah instabilitas harga yakni kebijakan dan program peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, Sistem Resi Gudang (SRG) dan penerapan standar mutu produk pangan. KEDAULATAN, KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN Sebelum membahas lebih lanjut ketahanan pangan (food security) yang menjadi fokus bahasan makalah ini, ada baiknya memperjelas beberapa definisi terkait lainnya, yaitu kedaulatan pangan (food severegnity), kemandirian pangan (food resilience), swasembada pangan (food self sufficiency) dan keamanan pangan (food safety) sebagaimana tertuang dalam UU No. 18/2012, sebagai berikut: Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 4

6 Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Kata kedaulatan, sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan, merupakan landasan filosofis yang memberikan pesan bahwa sebagai negara merdeka dan berdaulat maka Indonesia punya kebebasan atau kedaulatan untuk menentukan strategi, kebijakan dan program serta sistem pangan sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, tidak dapat atau tidak boleh diatur, didekte atau diintervensi oleh negara lain. Namun demikian, perlu dicatat bahwa keterikatan Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional (WTO) yang juga telah diratifikasi dalam UU nasional, memberikan makna bahwa kebebasan atau kedaulatan tersebut tidak lagi penuh dalam menentukan instrumen kebijakan tetapi harus disesuaikan atau konsisten dengan aturan internasional/regional yang telah disepakati dan diratifikasi dalam UU Republik Indonesia. Kata kemandirian menjelaskan perlunya kemampuan negara dan bangsa untuk memproduksi sendiri pangan yang beraneka ragam di dalam negeri dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam di dalam negeri. Definisi ini juga perlu interpretasi secara hati-hati karena dapat mengarah ke interpretasi bahwa Indonesia harus memproduksi beragam pangan sendiri dan kegiatan impor adalah suatu bentuk kegagalan sehingga harus dibatasi atau dilarang. Yang lebih mengkawatirkan adalah interpretasi bahwa untuk memproduksi dan mencukupi kebutuhan pangan nasional adalah tanggung jawab sepenuhnya Kementerian Pertanian, sementara para Menteri terkait tidak secara langsung turut bertanggung-jawab. Contoh nyata dari situasi ini adalah terus berlangsungnya konversi lahan pertanian/sawah di Jawa sementara pembukaan lahan pertanian dan pencetakan sawah baru di luar Jawa berjalan sangat lambat. Kementerian keuangan, Bappenas dan kementerian PU tidak menganggap situasi ini sebagai situasi darurat yang harus disikapi bersama dengan menyusun 5

7 program nasional pencetakan sawah sawah. Hal ini menunjukan bahwa politik pangan nasional belum ada atau baru sebatas wacana. Definisi ketahanan pangan dalam UU No diatas merupakan penyempurnaan dan pengkayaan cakupan dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukan perorangan dan sesuai keyakinan agama serta budaya bangsa. Definisi UU No 18 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya. Satu lagi definisi yang kita kenal adalah swasembada pangan, yakni merujuk kepada suatu keadaan dimana suatu Negara dapat mencukupi seluruh atau sebagian besar kebutuhan pangan penduduknya dari produksi dalam negeri 1. Dalam kaitan dengan komoditas beras, Indonesia pernah pertama kali mencapai swasembada pada tahun 1994 dan berhasil mengekspor sebagian berasnya. Namun beberapa tahun kemudian status swasembada beras secara perlahan tergerus dengan seiring pertambahan jumlah penduduk dan meluruhnya kapasitas produksi beras dalam negeri. Selanjutnya dan sampai sekarang, Indonesia menggunakan istilah swasembada on trend dengan membuka kemungkinan untuk impor maksimal 10 persen dari jumlah konsumsi. Interpretasi atau penjelasan lebih detail yang tertuang dalam bagian Penjelasan dari UU No tidak cukup jelas dan masih dapat memicu perbedaan interpretasi. Namun demikan, makalah ini tidak membahas lebih lanjut. Dari 5 definisi tersebut diatas, sesuai judul makalah ini, penulis fokus kepada ketahanan pangan dan mengkaitkannya dengan isu kemandirian. Penulis berpendapat bahwa yang paling penting bagi Indonesia sebagai negara berdaulat dan berpenduduk besar (250 juta jiwa) adalah langkah kongkrit dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas 1 Yang menarik definisi swasembada pangan tidak masuk dalam UU no Alasannya adalah bahwa definisi kemandirian dinilai lebih penting dan mencakup kondisi swasembada, dimana kemandirian dapat mencapai 100 persen (swasembada), kurang atau lebih dari 100 persen. 6

8 produksi pangan nasional yang berdaya-saing sehingga tercapai ketahanan dan sekaligus kemandirian pangan. Semakin besar kapasitas Indonesia untuk memproduksi produk pangan secara efisien maka semakin besar peluang Indonesia mencapai ketahanan dan kemandirian pangan. Polemik dan pro-kons terkait dengan definisi menjadi tidak lagi muncul. PERKEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI PANGAN NASIONAL Banyak faktor yang menentukan besarnya kapasitas produksi pangan nasional. Salah satunya yang penting adalah ketersediaan lahan yang dapat ditanami tanaman pangan. Ketersediaan lahan pada gilirannya menentukan luas pengusaan dan skala usaha tani. Sayangnya pemerintah tidak menyadari hal ini. Terus berkurangnya luas lahan sawah dan lahan kering untuk tanaman pangan, akibat konversi lahan ke penggunaan non-pertanian dan perkebunan (khususnya kelapa sawit), mengakibatkan kapasitas produksi pangan nasional semakin menurun. Dengan terus meningkatnya kebutuhan pangan akibat terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan, tidak mengherankan apabila Indonesia beberapa tahun terkahir mengalami defisit pangan dan impor produk pangan terus meningkat. Kalau situasi ini dibiarkan terus berlangsung, hampir dapat dipastikan dari sekarang, ketergantungan terhadap pangan impor akan terus meningkat membuat Indonesia menjadi salah satu negara importir pangan terbesar di dunia. Tabel 1 memperlihatkan bahwa dalam periode , total luas lahan pertanian di Indonesia hanya sedikit bertambah, dari 40.1 juta ha tahun 2005 menjadi 40.7 juta ha tahun Penambahan tersebut terjadi di areal sawah irigasi dan lahan kering, sementara terjadi penurunan luas pada jenis lahan sawah non-irigasi dan lahan terlantar. Statistik juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari pertambahan luas lahan kering didominasi oleh usaha perkebunan, khususnya kelapa sawit. Sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi penyedia pangan nasional. Konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa terus berlangsung. Tabel 2 memperlihatkan penurunan luas lahan sawah beririgasi di wilayah Pantura akibat dikonversi menjadi 7

9 kawasan industri dan sebagian untuk pembangunan jalan (tol). Selama periode , luas lahan sawah irigasi di Jawa Barat menurun dari 748 ribu ha menjadi 674 ribu ha, atau berkurang dengan laju 2 persen per tahun. Situasi ini perlu diwaspadai mengingat sawah irigasi di Jawa Barat, khususnya di daerah Pantura, merupakan sawah berigasi teknis. Berkurangnya luas lahan berigisasi teknis tentu saja akan menurunkan produksi dan kontribusi Jawa Barat secara nyata. Situasi yang sama juga terjadi di DI Yogyakarta. Lebih jauh, minimnya anggaran untuk pemeliharaan sarana dan saluran irigasi membuat kualitas irigasi juga terus menurun. Situasi ini akan semakin menurunkan kapasitas produksi beras (pangan) nasional. Tabel 1. Luas Lahan Pertanian menurut Jenis di Indonesia, (Juta Ha) Jenis Lahan Growth rataan Sawah Irigasi non-irigasi Tegal Ladang/Huma Lahan terlantar Total Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian. Tabel 2. Perkembangan Lahan Sawah di Jawa, Jenis lahan Growth rataan Sawah Irigasi Jawa Barat Banten Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Sawah Non-irigasi Jawa Barat Banten Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian. 8

10 Terus merosotnya luas lahan pertanian (arable land) juga telah diutarakan oleh beberapa penulis lain termasuk Kasryno (2013) dan Soemarno (2013). Menurut Soemarno (2013), dari luas lahan yang dapat ditanami 24.9 juta ha, sekitar 11 juta ha merupakan lahan perkebunan, sisanya 13.4 juta ha merupakan lahan sawah dan lahan kering yang diperuntukan bagi usaha produksi tanaman pangan. Kalau tidak ada penambahan area, maka pada tahun 2020 pengusaan lahan per kapita hanya 495 m2 turun dibandingkan pada tahun 2000 seluas 608 m2 per kapita (Soemarno, 2013). Mengingat teknologi ada batasnya, maka masalah defisit pangan tidak mungkin dipecahkan jika tidak dibarengi dengan perluasaan lahan yang dapat ditanami (Soemarno (2013); Suyamto dan Zaini (2009)). Tabel 3 memperlihatkan perkembangan penguasaan lahan pertanian per kapita tahun di beberapa negara tahun 1970, 1990 dan 2010 (World Bank, 2012). Secara keseluruhan, penurunan luas lahan per kapita terjadi di semua negara, yang berbeda luas penguasaan dan laju penurunan. Eksportir utama produk pangan dunia umumya adalah negara-negara yang mempunyai lahan pertanian dan penguasaan lahan per kapita yang luas, seperti Australia, Brazil, Canada, Amerika Serikat, New Zealand, dan Thailand. Oleh karena itu, agar Indonesia dapat mencapai ketahanan sekaligus kemandirian dan surplus pangan, maka program intensifikasi harus disertai dengan program ekstensifikasi yang didukung dengan perluasan lahan pertanian, khususnya lahan sawah beririgasi baru. Pemerintah, dipimpin oleh Presiden dan seluruh anggota Kabinet, seharusnya segera menyadari situasi ini, dan segera mengambil langkah proaktif untuk menambah luas lahan pertanian (pangan) dan mencetak lahan sawah baru. Penambahan lahan pertanian dan pencetakan sawah di luar Jawa harus menjadi program nasional dan prioritas kedepan. Terlepas adanya Pro-Kons waktu itu, progran Sawah Sejuta Hektar jaman pemerintah Orde baru merupakan langkah terobosan kongkrit yang didasari oleh pemahaman pentingnya kecukupan lahan pertanian untuk mencapai ketahanan sekaligus kemandirian pangan nasional. Presiden Suharto, berani mengambil keputusan tidak populer dan melaksanakannya meskipun mengundang pro-kons. Sayangnya, pemerintahan era reformasi tidak meneruskan langkah tersebut dengan mengambil sisi 9

11 positif dan meninggalkan sisi negatif, tetapi terlalu banyak berwacana tanpa dibarengi langkah nyata untuk keluar dari permasalahan. Tabel 3. Perkembangan Lahan Pertanian per Kapita di Beberapa Negara, Negara Argentina Australia Brazil Canada China Indonesia India Korea, Rep Malaysia New Zealand Pakistan Philippines Thailand United States Vietnam Sumber: World Bank: World Development Indicators. PERKEMBANGAN HARGA BEBERAPA PRODUK PANGAN Kurangnya pasokan dan terus meningkatnya permintaan mengakibatkan lonjakan harga. Situasi ini yang terjadi di pasar domestik untuk beberapa komoditas pangan beberapa tahun terakhir ini. Lonjakan harga kedele dan harga beberapa produk sayuran merupakan bukti kurangnya pasokan. Gambar 1, 2 dan 3, memperlihatkan perkembangan dan fluktuasi harga eceran beras, kedele dan jagung beberapa tahun terakhir disandingkan dengan harga paritas impor di tingkat eceran dari ketiga kemoditas tersebut. Ketiga gambar memperlihatkan pola perkembangan harga yang serupa, yakni berfluktuasi dan cenderung terus meningkat. Kecuali untuk beras, harga eceran kedele dan Jagung selama periode lebih tinggi dibandingkan harga paritas impor di tingkat eceran. Perbedaan harga ini memperlihatkan bahwa konsumen kedele dan jagung menanggung beban harga yang 10

12 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul lebih tinggi dibandingkan jika tidak ada hambatan impor. Selisih harga tersebut besar kemungkinan dinikmati oleh importir dan pedagang dalam bentuk rente ekonomi (keuntungan diatas normal), belum tentu petani ikut menikmatinya. Untuk beras agak berbeda karena beras impor yang digunakan untuk perhitungan harga paritas adalah beras kualitas Thai 5% broken yang kualitasnya lebih baik dibandingkan beras yang beredar di pasar domestik pada umumya. Jika menggunakan beras kualitas Thai 20% broken, dapat dipastikan harga eceran beras akan lebih tinggi dibandingkan harga paritas impornya Gambar 1: Harga Paritas Impor dan Eceran Beras di Jawa H-Eceran H-Paritas Relatif kecilnya fluktuasi harga ketiga komoditas tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah. Pemerintah menerapkan kebijakan stabilisasi harga untuk ketiga komoditas tersebut, hanya berbeda dalam instrumen kebijakan yang dipergunakan. Untuk beras, stabilisasi harga dilakukan dengan menugaskan BULOG mengelola stok penyangga dan menerapkan operasi pasar dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP), sementara untuk kedele dan 11

13 jagung intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan impor (membatasi dan membuka kran impor) untuk mencegah gejolak dan lonjakan harga eceran kedua komoditas tersebut. Sampai bulan Agustus 2013, Pemerintah belum menetapkan HPP untuk kedele dan jagung dan belum menugaskan BULOG untuk mengelola stok penyangga. Beberapa bulan lalu Media ramai memberitakan gejolak harga kedele dan langkah mogok berproduksi pengrajin tahu dan tempe sebagai bentuk tuntutan agar pemerintah menurunan harga kedele. Tidak demikian halnya untuk komoditas jagung. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, relatif masih rendahnya ketergantungan terhadap impor jagung (rasio dibawah 10%) membuat kenaikan harga jagung dunia tidak secara langsung memacu kenaikan harga eceran jagung di pasar domestik. Kedua, jagung tidak dikonsumsi secara langsung melainkan sebagai bahan baku pakan ternak sehingga gejolak harganya tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Oleh karena itu, lonjakan harga jagung tidak dirasakan langsung oleh konsumen rumah tangga sehingga tidak menimbulkan keresahan rumah tangga. Berbeda halnya dengan kedele, besarnya ketergantungan terhadap kedele impor membuat harga kedele domestik ikut bergejolak seiring dengan gejolak harga kedele di pasar dunia. Kenaikan harga kedele dunia ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik, yakni menaikan harga kedele, harga tahu dan tempe yang merupakan menu keseharian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kenaikan harga kedele secara bersamaan meresahkan pengrajin dan konsumen tahu dan tempe secara luas. Dalam merespon tuntutan para pengrajin tahu-tempe, pemerintah mengambil langkah adhoc-jangka pendek dengan menambah kuota impor kedele dan menentukan patokan harga kedele di tingkat penrajin serta mengharuskan para impotir terdaftar (IT) untuk menjual kedele ke pengrajin tahu-tempe pada tingkat harga tersebut. Untuk kepentingan jangka menengah-panjang, pemerintah memutuskan untuk melakukan stabilisasi harga kedele dengan menentukan HPP dan HJP kedele serta menugaskan BULOG untuk menangani operasi pasar, terutama pembelian kedele pada saat panen raya pada tingkat HPP tersebut. Namun, informasi yang penulis peroleh, pemerintah tidak menyediakan anggaran untuk melaksanakan kebijakan dukungan harga (price 12

14 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul support) tetapi meminta BULOG untuk melaksanakannya dengan dana komersial/bulog. Kebijakan pemerintah seperti ini dinilai tidak serius dan belum jelas apakah akan dilaksanakan oleh BULOG atau tidak. Gambar 2: Harga Paritas Impor dan Eceran Kedele di Jawa H-Eceran H-Paritas 7000 Gambar 3: Harga Paritas Impor dan Eceran Jagung di Jawa H-Eceran H-Paritas 13

15 PRODUKSI, KEBUTUHAN DAN IMPOR PRODUK PANGAN Sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, produksi beras nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, kebutuhan atau konsumsi beras juga terus meningkat, melebihi peningkatan produksi. Akibatnya, sebagian dari tambahan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Situasi inilah yang dihadapi oleh Indonesia, tidak hanya beras tetapi juga produk pangan lain termasuk jagung dan kedele. Pada tahun 2006, misalnya, produksi beras 33.8 juta ton meningkat menjadi 40.8 juta ton pada tahun Meningkatnya kebutuhan beras memaksa Indonesia harus tetap mengimpor beras bahkan dalam jumlah lebih besar, yakni meningkat dari juta ton pada tahun 2006 menjadi 2.7 juta ton pada tahun Kenyataan ini mengakibatkan rasio impor (terhadap total konsumsi) meningkat dari 1.3 persen menjadi 6.3 persen. Meskipun masih dibawah 10 persen, peningkatan rasio impor beras ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Perhatian serius perlu diberikan terhadap kenyataan bahwa lebih dari 50 persen produksi padi/beras dihasilkan di pulau Jawa. Ketergantungan produksi beras (dan produk pangan lain) ke pulau Jawa menjadi sangat rentan manakala konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa semakin tidak terkendali, sementara perluasan lahan untuk tanaman pangan, khususnya lahan sawah irigasi, di luar jawa tidak dilakukan. Lebih dari 17 persen beras di produksi di Jawa Barat, sementara luas lahan sawah irigasi di wilayah ini terus berkurang akibat konversi dengan laju penurunan 2 persen per tahun. Kenyataan bahwa kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk haruslah menyadarkan para pemimpin, khususnya Presidem sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan jajaran Kabinetnya, untuk segera mengambil langkah kongkrit dan antisipatif untuk meningkatkan kapasitas produksi beras nasional. Langkah antisipatif utama adalah dengan menambah luas lahan baku tanaman pangan dan mencetak sawah irigasi baru, khususnya di luar Jawa. Menjadi sangat ironis bilamana defisit beras dan pangan lainnya yang dihadapi selalu 14

16 diselesaikan dengan langkah adhoc-jangka pendek dengan cara menambah impor, tanpa dibarengi dengan langkah jangka menengah-panjang untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui program perluasan area atau ekstensifikasi. Dari sudut devisa, perluasan areal perkebunan sawit memang menguntungkan, namun tidak seharusnya melupakan pentingnya untuk mempertahankan atau meningkatkan luas areal tanaman pangan bila ketahanan atau kemandirian pangan menjadi tujuan nasional. Bagaimana mungkin mencapai ketahanan pangan bila pemerintah hanya mengandalkan kebijakan pembatasan atau pelarangan impor. Bisa saja kemandirian pangan tercapai, dengan melarang atau membatasi impor, tetapi dengan harga pangan mahal yang tidak terjangkau oleh konsumen secara luas, termasuk para petani sendiri. Artinya, kemandirian pangan mungkin dapat tercapai tetapi ketahanan pangan tidak. Tabel 4. Produksi, Impor dan Kebutuhan Beras, Tahun Produksi Gabah Produksi Beras Impor Permintaan Rasio 2005 na Na na Na Situasi lebih rawan terjadi di kedele, dimana produksi kedele dalam negeri yang sangat fluktuatif dan cenderung menurun sementara konsumsi terus meningkat. Akibatnya impor kedele terus meningkat, dari 1.1 juta ton tahun 2006 meningkat menjadi 2.1 juta ton tahun 2011 (Tabel 5). Ketergantungan terhadap impor meningkat dari 60 persen menjadi 71 persen. Kalau situasi saat ini dibiarkan terus berlansung, maka target kemandirian kedele hanya sekedar retorika dan impian belaka. Pada tahun 2011, lebih dari 67 persen produksi kedele nasional dihasilkan di Pulau Jawa. Jawa Timur merupakan penghasil kedele terbesar dengan kontribusi

17 persen, disusul Jawa Tengah 13.2 persen dan Jawa Barat 6.6 persen. Propinsi Aceh merupakan penghasil kedele terbesar di Luar Jawa dengan kontribusi 5.9 persen, sementara kontribusi propinsi-propinsi lain sebesar 26.7 persen dari total produksi kedele Tabel 5. Produksi, Impor dan Kebutuhan Kedele Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio 2005 na Na Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian Situasi serupa juga terjadi di jagung. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6, produksi jagung nasional mengalami peningkatan dari 11.6 juta ton tahun 2006 menjadi 17.6 juta ton. Namun demikian, kenaikan konsumsi jagung untuk industri pakan dan industri makanan membuat impor jagung meningkat drastic periode , dari juta ton menjadi 3.2 juta ton. Rasio atau ketergantungan terhadap impor meningkat dari 1.6 persen menjadi 15.4 persen. Produksi jagung nasional juga sangat tergantung ke Pulau Jawa, dimana 53.7 persen produksi jagung nasional tahun 2011 (17.6 juta ton) dihasilkan pulau Jawa. Dari total produksi nasional tersebut, Jawa Timur memberikan kontribusi sebesar 31 persen, disusul oleh Jawa Tengah dengan kontribusi 16 persen dan Lampung 10 persen. Dengan meningkatnya persaingan penggunaan lahan di Jawa kedepan, produksi jagung di Jawa dikuatirkan kontribusi produksi jagung di Jawa akan menurun dan rasio/ketergantungan terhadap impor akan semakin bertambah. 16

18 Tabel 6. Produksi, Impor dan Kebutuhan Jagung Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio 2005 na 186 na Na na na na Sumber: Statistik Indonesia, Kementerian Pertanian Dari data dan uraian diatas nampak jelas bahwa laju peningkatan produksi ketiga komoditas pangan tersebut tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi/permintaan akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri pangan dan industri perunggasan. Gejolak dan lonjakan harga eceran yang terjadi merupakan indikator situasi kelangkaan pasokan. Sampai saat ini, membuka kran impor menjadi langkah ad-hoc pemerintah dalam upaya meredam gejolak harga. Merosotnya luas lahan pertanian dan sawah di Jawa akibat konversi dipastikan akan memperburuk situasi dan ketahanan pangan kedepan. Defisit pangan dan ketergantungan impor kedepan semakin besar, akibatnya kemandirian menjadi sekedar jargon politik dan impian belaka. Oleh karenanya, agar kemandirian pangan dapat dicapai tanpa harus melanggar aturan WTO, menjadi keniscayaan dan keharusan bagi pemerintah untuk menggulirkan program nasional ekstensifikasi produksi pangan didukung program pencetakan sawah dan pembangunan sarana irigasi di Luar Jawa. Dalam ketentuan WTO, program seperti ini termasuk kategori Green Box yang diperbolehkan. WTO DAN ATURAN PERDAGANGAN PRODUK PERTANIAN WTO adalah organisasi perdagangan Dunia yang beranggotakan Negara-negara, baik kelompok Negara anggota pendiri maupun Negara anggota yang melalui proses aksesi. Saat ini WTO beranggotakan 159 Negara anggota, terdiri dari 123 Negara pendiri dan siasanya 36 Negara anggota lewat proses aksesi. Untuk menjadi anggota WTO lewat proses aksesi melewati proses yang panjang dan membutuhkan waktu 17

19 lama. China, misalnya, menjadi anggota WTO lewat proses aksesi selama lebih dari 10 tahun dan harus melakukan berbagai economic and trade reforms sebelum akhirnya diterima menjadi anggota WTO. Demikian pula Rusia, baru resmi diterima menjadi anggota WTO tahun 2012 setelah melalui proses aksesi selama 15 tahun. Aturan WTO bersifat mengikat (binding) bagi seluruh Negara anggota, tidak ada pengecualian. Artinya, aturan WTO mengikat setiap negara anggota sehingga kebijakan dan aturan perdagangan nasional tetap konsisten dengan ketentuan WTO. Adalah menjadi kewajiban setiap negara anggota untuk menyelaraskan aturan dan kebijakan perdagangannya sehingga konsisten dengan ketentuan WTO. Konsistensi aturan dan kebijakan perdagangan nasional secara periodik dievaluasi oleh seluruh anggota WTO dalam forum Trade Policy Review Mechanism (TPRM) dan laporan kuartalan Dirjen WTO dalam sidang TPRB. Disamping itu, aturan WTO memberikan hak kepada anggota untuk mempertanyakan atau menggugat aturan dan kebijakan nasional yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO dalam sidang regular komite dan kemungkinan berakhir dalam proses penyelesaian sengketa dagang di forum Dispute Settlement Mechanism. Aturan WTO yang terkait dengan perdagangan produk pertanian antara lain adalah: (i) perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture-AoA), (ii) aturan Sanitary and Phyto-sanitary (SPS), (ii) aturan Import licencing, dan (iv) aturan General Agreement on Tarif and Trade (GATT 1994). Perjanjian Pertanian (AoA) terutama mencakup ketentuan tentang akses pasar sesuai schedule of concession Negara anggota, ketentuan tentang subsidi domestik, ketentuan kompetisi ekspor, dan ketentuan subsidi ekspor dan pembatasan larangan ekspor. Aturan SPS terutama terkait dengan ketentuan basic right and obligation, ketentuan harmonisasi, adaptasi kondisi regional, dan ketentuan transparansi melalui notifikasi, control dan inspeksi. Aturan Import Licensing mencakup ketentuan automatic import licensing dan non-automatic import licensing. Aturan GATT 1994, antara lain terkait dengan ketentuan penerapan Most Favored Nation (MFN), ketentuan National Treatment on internal taxation and regulation, ketentuan tentang General Elimination of Quantitative Restriction, dan General Assistance to Economic Development. Perdagangan produk pertanian juga 18

20 terikat oleh aturan WTO lainnya, seperti ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT), State Trading Enterprises (STE), Anti-dumping and Counterveiling Measures, Safeguard dan trade defense lainnya. KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INSTRUMEN PEMBATASAN IMPOR Secara umum, kebijakan pengaturan dan pembatasan impor diperlukan untuk melindungi petani dan produk pertanian domestik agar tidak merugi atau tersingkir akibat melimpahnya produk impor. Dalam teori perdagangan internasional, dikenal argumen Terms of Trade dan Domestic market failure sebagai justifikasi penerapan proteksi perdagangan. Teori dan ilmu perdagangan internasional memberikan landasan teoritis untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak negatif terhadap konsumen dan perekonomian. Sejalan dengan landasan teoritis, aturan WTO juga mengatur instrumen pembatasan impor yang less trade distorting. Aturan WTO, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994 Article XI General Elimination of Quantitative Restriction melarang negara anggota menerapkan restriksi kuantitatif, termasuk kuota impor, dan menggantikannya dengan tariff (tariffication) karena didasari landasan teoritis dan bukti empiris bahwa kuota impor tidak transparan dan lebih distortif dibandingkan tariff impor. Namun demikian, disamping memanfaatkan bound tariff, masih ada instrumen pembatasan impor dan perlindungan kepada produsen domestik antara lain, lisensi impor, standar atau technical barriers to trade, trade remedies (anti-dumping, safeguard, anti-subsidy dan counterveiling measures) dan instrumen trade defense lainnya. Indonesia dapat menaikan tarif impor dan mengkombinasikan dengan kebijakan lisensi impor secara automatic untuk melindungi petani produsen di Indonesia dari serbuan produk pangan impor. Secara teoritis tariff impor lebih superior dibandingkan kuota (Timmer, 1986; Krugman dan Obstfeld, 2003). Pertama, pemerintah menerima revenue dari tariff impor yang berlaku. Kedua, tariff impor dikenal sebagai the second best policy karena less trade distorting dan lebih transparan dibandingkan kuota. Ketiga, tariff impor tidak menyuburkan praktek rent seeking. Keempat, kebijakan tariff tidak mengakibatkan 19

21 melonjaknya harga produk yang bersangkutan di pasar domestik manakala terjadi kenaikan permintaan, sebaliknya terjadi untuk kebijakan kuota impor (Erwidodo dan Sayaka, 2013). Permasalahnya adalah apakah kebijakan menaikan tariff impor dimungkinkan dalam konteks FTA (ASEAN)? Ada pemahaman banyak pihak, baik di Kemendag maupun Kementan, bahwa instrumen import tariff tidak lagi efektif dalam memberikan perlindungan kepada petani dan produsen domestik umumnya, karena tingkat tariff impor di AFTA dan ASEAN+partner umumnya sdh rendah dan bahkan zero. Mereka berpendapat bahwa menaikan tarif tidak berlaku bagi Negara anggota ASEAN dan ASEAN+partner. Mereka berpandangan bahwa kalau Indonesia menaikan tarif impor, harus melakukan renegosiasi dengan seluruh anggota ASEAN dan ASEAN+partner, sedangkan kalau menerapkan kuota impor tidak perlu renegosiasi. Tidak mengherankan kalau kuota impor belakangan menjadi populer dan menjadi andalan Kemendag maupun Kementan 2. Benarkah pemahaman seperti itu? Memang benar, dalam perdagangan intra- ASEAN, pemerintah Negara ASEAN tidak lagi leluasa menerapkan kebijakan tariff, kecuali dalam situasi emergensi akibat lonjakan impor yang menyebabkan atau mengancam akan menyebabkan kerugian petani produsen, sebagaimama diatur dalam Artikel 6 tentang Emergency Measures perjanjian CEPT-AFTA (1992) dan Chapter 9 ATIGA (ASEAN Trade in Good Agreement) tentang Trade Remedy Measures, artikel 86 tentang safeguard measure dan artikel 87 tentang Anti-dumping and Countervailling Measures. Dengan demikian, dalam perdagangan intra-asean pemerintah Negara anggota masih dapat menerapkan kebijakan tarif untuk melindungi petani dan sektor pertanian, sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Bilamana terjadi lonjakan produk impor yang merugikan atau berpotensi merugikan petani, Negara anggota ASEAN dapat menerapka tariff beamasuk sesuai dengan aturan general safeguard-wto, Demikian juga, jika terjadi lonjakan impor akibat dumping yang diterapkan oleh Negara eksportir 2 Pemahaman ini secara resmi tercermin dalam Nota Dinas dari Kepala Badan Ketahanan Pangan kepada Menteri Pertanian, tanggal 7 Mei 2013, tentang pertimbangan penggunaan tarif impor produk hortikultura 20

22 anggota ASEAN, maka pemerintah dapat menerapkan anti-dumping measures berupa kenaikan tariff bea-masuk, sesuai dengan aturan Anti-Dumping Measures WTO. Namun Negara anggota yang menerapkan kebijakan safeguard dan anti-dumping tersebut harus dapat membuktikan terjadinya lonjakan impor yang secara potential akan merugikan petani. KEBIJAKAN HARGA DAN KETAHANAN PANGAN Hampir semua pemerintahan/negara di dunia melakukan kebijakan harga dan intervensi pasar terhadap produk pangan utama (Timmer, 1986). Kebijakan harga dilakukan pemerintah dengan cara mempengaruhi besar-kecilnya kuantitas dan distribusi dari produk di pasar. Umumnya intervensi pemerintah hanya fokus ke proses pembentukan (formasi) harga sedangkan fungsi engineering lain dari pemasaran suatu produk, yakni fungsi transportasi, pengelolaan cadangan (storage) dan pengolahan produk, diserahkan kepada meanisme pasar. Kebijakan harga yang mengkombinasikan intervensi pemerintah dan mekanisme pasar semacam ini yang paling banyak diterapkan, termasuk di negara yang menganut sistem pasar bebas. Kebijakan harga semacam ini tidak memerlukan anggaran pemerintah dan efektif dalam menekan gejolak dan fluktuasi harga pangan. Secara umum formasi harga terdiri dari: (i) determinasi harga domestik untuk petani dan konsumen relative harga paritas dan harga produk pangan lain, (ii) stabilisasi harga pangan domestic terhadap pengaruh fluktuasi harga pangan dunia, dan (iii) penentuan margin harga antar wilayah dan antar waktu (transportasi dan storage), serta margin harga antar bentuk produk akibat pengelolahan produk (Timmer, 1986; Newbery and Stiglitz, 1981). Sangat mungkin kebijakan harga hanya berfokus tujuan pertama, yakni pembentukan harga domestik. Penerapan tariff impor, tanpa intervensi lainnya, hanya membuat harga domestik lebih mahal dibanding harga paritas impornya. Tujuannya terutama untuk memperoleh penerimaan negara dari tariff dan tidak untuk tujuan stabilisasi harga dari produk pangan yang bersangkutan. 21

23 Kebijakan stabilisasi harga pangan merupakan salah satu kebijakan penting untuk menjamin harga layak bagi produsen untuk keberlansungan usahatani dan ketahanan pangan. Stabilisasi harga tidak hanya untuk kepentingan produsen tetapi juga konsumen, yakni kebijakan harga yang bertujuan untuk menjamin harga layak (remunerative) bagi produsen dan pedagang tetapi masih terjangkau konsumen. Pertanyaan yang sering muncul adalah berapa tingkat harga yang dipandang layak dan harga mana yang dijadikan pembanding? Bagaimana menentukan harga layak bagi petani dan konsumen domestik dalam situasi pasar dunia yang terdistorsi. Demikian juga, berapa nilai tukar yang seharusnya dipergunakan?. Dalam bukunya Getting Prices Right Timmer (1986) membahas harga tepat untuk produk pertanian. Terlepas perlunya catatan dan koreksi, harga perbatasan border price masih tetap penting sebagai referensi dalam menentukan harga layak untuk produk pertanian tertentu. Dalam pasar bersaing, pembentukan harga domestik yang mengacu kepada harga perbatasan menghasilkan tingkat kesejahteraan masyarakat maksimum. Namun, mengingat pasar tidak bersaing sempurna dan kenyataan bahwa pasar dunia terdistorsi maka diperlukan koreksi terhadap penggunaan harga perbatasan dengan pendekatan harga bayangan (shadow price) atau dengan rataan harga untuk jangka waktu tertentu. Pendekatan serupa juga dilakukan untuk memilih nilai tukar. Kebijakan harga tidak selalu bertentangan dengan mekanisme pasar. Namun, kebijakan harga yang menggunakan pembatasan impor kuantitatif (kuota) mendistorsi mekanime pasar dalam pembentukan harga keseimbangan. Kebijakan harga yang tetap membuka peluang terjadinya proses pembentukan harga antar wilayah, waktu dan bentuk produk serta interaksi antar penjual-pembeli secara kompetitif masih tetap dapat mencapai efisiensi eonomi. Dengan demikian, penerapan kebijakan harga tidak selalu bertentangan dengan mekanisme pasar bebas dan kalau dilakukan dengan tepat justru dapat mengkoreksi kegagalan pasar untuk tujuan melindungi petani dan konsumen. 22

24 ATURAN WTO DAN STABILISASI HARGA Awal tahun 2013, Presiden memberikan penugasan kepada kementerian terkait dan Perum Bulog untuk melaksanakan pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga 4 komoditas pangan lain, disamping beras, yaitu kedele, jagung, gula dan daging sapi. Belum sampai rencana ini dilaksanakan, ada wacana yang berkembang agar pemerintah perlu hadir dan proaktif dalam menjamin stabilisasi harga pangan lainnya termasuk sayuran (cabe, bawang merah dan bawang putih) yang juga sering mengalami gejolak harga akhir-akhir ini. Dalam diskusi terbatas yang dikoordinasi oleh Staff Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi, dibahas beberapa pertanyaan berikut : (i) apakah aturan WTO melarang Negara anggota untuk menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan dan public stock holding, (ii) apakah aturan WTO melarang Negara anggota untuk memberikan hak monopoli impor kepada state trading Enterpises (STE), (iii) Negaranegara mana yang menerapkan program stabilisasi dan stok penyangga? Aturan WTO tidak melarang Negara anggota untuk melakukan kebijakan harga. Secara umum Article GATT XXXVIII 1994 bahkan memberikan hak Negara anggota untuk melakukan joint action including action through international arrangements to stabilize and improve conditions of the world markets in commodities. Tidak ada aturan WTO yang melarang keterlibatan STE. Namun demikian ada aturan yang mengharuskan Negara anggota untuk memperlakukan STE konsisten dengan general principles of non-discriminatory treatment dalam kegiatan impor dan ekspor yang diberlakukan bagi pemain swasta (Understanding on the interpretation of Artcle XVII of GATT 1994). Tidak ada aturan WTO yang melarang Negara memberikan hak monopoli kepada STE sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip Most Favored Nation (MFN) and National Treatment yang merugikan Negara anggota lain. Upaya untuk membatasi/mendisiplinkan STE sedang dalam proses perundingan Doha (DDA) yang sampai sekarang belum selesai. Namun demikian, mengingat program stabilisasi harga secara langsung terkait dengan peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, mengatur impor dan 23

25 ekspor serta mengelola stock, maka dalam pemilihan policy instruments dan pelaksanaannya perlu konsisten dengan aturan WTO. Misalnya, dalam pengelolaan stock, operasi pasar (pembelian oleh STE pada saat musim panen dan penjualan saat musim paceklik) perlu mengacu kepada aturan WTO tentang domestic subsidy (aturan de minimis dan amber box). Demikian juga aturan WTO melarang pemerintah Negara anggota melakukan pelarangan impor/ekspor dan menerapkan restriksi kuantitatif (quota) kecuali disebutkan/termasuk dalam Schedule of commitment tahun 1994 (UR disepakati). Dengan demikian, program stabilisasi harga tidak dilarang tetapi pemilihan instrument kebijakan subject to atau harus compliance with aturan WTO yang berlaku. Negara-negara anggota WTO yang menerapkan program stabilisasi harga antara lain India, China, Pakistan, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, Korea Selatan, Turki, Swiss, Finlandia dan Estonia. Hampir semua Negara net-food importing, pemerintahnya melaksanakan program stabilisasi harga pangan, menggunakan berbagai instrumen kebijakan mulai dari pengaturan/pembatasan impor, public stockholding dan operasi pasar. Seperti Indonesia, India dan China menerapkan program stabilisasi melalui pengaturan impor, pembelian pemerintah dan pengelolaan stok, serta melakukan operasi pasar. KEBIJAKAN STABILISASI HARGA KEDELE Untuk kedele pemerintah telah memutuskan untuk melakukan stabilisasi harga dengan menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian kedele petani, melakukan impor dan mengelola cadangan (stok penyangga), serta melakukan penjualan (operasi pasar) saat pasokan ke pasar langka dan harga kedele melonjak. Pada awal Juli 2013, pemerintah lewat Permendag 25/M-Dag/Per/6/2013 menetapkan HPP kedele petani seharga Rp7000 per kg, dan lewat Permendag no 26/M-Dag/Per/6/2013 memutuskan untuk melakukan penjualan kedele ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Juli 2013 dengan harga Rp7450 per kg. Selanjutnya, melalui Permendag 37/M-Dag/Per/6/

26 menugaskan Bulog untuk penjualan ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Agustus dengan harga jual Rp7700 per kg. Kebijakan stabilisasi harga kedele tidak berjalan efektif terlihat dari kenyataan terus meningkatnya harga kedele di tingkat pengrajin diatas Rp9500 per kg. Salah satu penyebabnya adalah terus meningkatnya harga kedele impor seiring dengan kenaikan harga kedele di pasar dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Diperoleh informasi bahwa Bulog diminta untuk melakukan operasi pasar dengan dana komersial, tidak didukung dengan dana pemerintah sebagaimana dilakukan untuk stabilisasi harga beras. Situasi inilah yang membuat kebijakan stabilisasi harga kedele tidak berjalan efektif. Ketersediaan anggaran pemerintah untuk pengelolaan cadangan dan operasi pasar merupakan suatu keniscayaan agar kebijakan stabilisasi harga suatu komoditas pangan tertentu berjalan efektif. Keniscayaan ini menjadi semakin nyata pada situasi dimana Bulog diwajibkan untuk membeli kedele pada tingkat harga subsidi (HPP) dan menjual stok penyangga dibawah harga keseimbangan pasar. Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah agar stabilisasi harga kedele berjalan efektif? Mungkinkah stabilisasi harga berjalan efektif tanpa anggaran pemerintah yang besar? Jawabannya mungkin, yakni dengan mengkombinasikan peran Perum Bulog sebagai pengelola stok penyangga dan kebijakan impor yang lebih terbuka dan transparan dengan instrumen tariff impor dan automatic import licensing, dimana Bulog bersama Importer Terdaftar (IT) sebagai pelaku impor. Pemerintah harus mendorong agar swasta (importir) berkembang agar bisa lebih cepat merespon signal yang muncul baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Stok penyangga yang dikelola Bulog masih tetap diperlukan, namun jumlahnya relatif kecil. Agar dapat befungsi efektif, Perum Bulog membutuhkan keuangan yang kuat, manajemen handal dan jadwal pembelian dan penjualan yang ketat. Kebijakan stabilisasi harga pangan di beberapa Negara terbukti berjalan efektif melalui kombinasi kebijakan pengelolaan stok penyangga dan kebijakan perdagangan (impor) secara transparan. Pemerintah menerapkan tariff impor optimum, yakni tingkat tarif impor yang menjamin keuntungan layak bagi petani dan harga eceran yang terbentuk tidak memberatkan konsumen (Erwidodo dan Sayaka, 2013). Dengan tingkat tarif optimum 25

27 ini, semua IT dan Bulog dapat melakukan impor sepanjang mereka membayar tariff impor yang berlaku. Bulog dapat menjalankan perannya untuk mengamankan HPP, melakukan impor untuk mengisi stok penyangga, dan melakukan operasi penjualan manakala harga di pasar domestik melebihi HJP yang ditetapkan pemerintah. Secara ringkas langkah yang harus diambil dalam melakukan kebijakan stabilisasi harga pangan adalah sebagai berikut: (1) Menghitung berapa Break Even Point (BEP) 3 dan tingkat harga yang membuat produsen memperoleh keuntungan yang wajar untuk terus berusahatani komoditas dimaksud (2) Secara periodik menghitung dan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP). Pengamanan kedua administered prices ini dilakukan oleh Perum Bulog melalui operasi pembelian kedele petani khususnya saat musim panen raya, manakala harga farm-gate kedele anjlok, dan penjualan kedele ke pasar manakala harga pasar melampaui HJP. (3) Melakukan pengendalian impor untuk mencegah membanjirnya kedele impor ke pasar domestik khususnya bila harga kedele impor jauh lebih murah dari harga di pasar domestik. Dalam situasi ini pemerintah perlu menerapkan tarif impor optimum agar HPP dapat diamankan berlakunya. Instrumen kuota impor harus dihindari, karena melanggar ketentuan WTO dan berpotensi menyuburkan perilaku mencari rente ekonomi (rent seeking behavior) serta sangat rawan terhadap penyalah-gunaan wewenang dan suap-menyuap. (4) Kebijakan pengendalian atau pembatasan impor harus dilakukan secara transparan, yakni dengan menerapkan automatic import licensing. Pemerintah harus bertindak sebagai promotor persaingan sehat, tidak malah sebaliknya. Kebijakan lisensi impor ekstra ketat yang membatasi jumlah importir dengan persyaratan-persyaratan berlebihan justru membuka peluang terjadinya pasar 3 Ketersediaan data Struktur Ongkos Usahatani yang reliable dan updated menjadi sangat penting untuk mengetahui biaya produksi dan keuntungan petani. Sampai dengan akhir tahun 1990an, BPS secara rutin melakukan survei dan mempublikasikan data ini, namum kemudian ditiadakan. Lewat tulisan ini, penulis mengusulkan agar BPS kembali melakukan kegiatan survei dan mempublikasi data struktur ongkos usahatani sebagai referensi resmi untuk menentukan HPP dan HJP dalam perumusan kebijakan impor dan kebijakan stabilitas hraga pangan (strategis). 26

28 tidak bersaing/oligopoli, praktek kartel dan imperfeksi pasar lain yang merugikan konsumen dan perekonomian. Pengalaman selama ini membuktikan situasi ini, dan pemerintah tidak mampu mencegah atau mengendalikan. Gejolak dan lonjakan harga daging sapi dan kedele belakangan ini menjadi bukti adanya imperfeksi pasar sebagai akibat kesalahan kebijakan pemerintah (policy failure). (5) Untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga kedele dan empat produk strategis lain (beras, jagung, gula dan daging sapi), pemerintah menugaskan Perum Bulog sebagai Badan Penyangga untuk mengelola stock penyangga dan melakukan operasi pasar guna menjamin berlakunya HPP dan HJP. (6) Mengingat kebijakan stabilisasi harga terkait dengan anggaran pemerintah (subsidi) dan untuk menghindari polemik politik (terkait Hak Budget DPR), perlu disiapkan UU Stabilisasi Harga Pangan dan aturan pelaksanaan sebagai payung hukum bagi pemerintah dan kementerian terkait untuk meyiapkan dan membelanjakan anggaran subsidi stabilisasi harga pangan. Butir ke-6 diatas sangat penting mengingat kebijakan ini mmemerlukan anggaran pemerintah/negara. Dengan adanya UU seperti ini, secara politik DPR telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk menganggarkan dan membelanjakan dana publik untuk stabilisasi harga ke-5 komoditas pangan strategis diatas. Keberadaan anggaran ini mirip dengan Dana Pengadaan Pangan dan Stabilisasi Harga Pangan di masa Orde Baru. Bedanya adalah sekarang pemerintah harus mengikuti aturan dan disiplin anggaran dan Bank Indonesia tidak lagi dalam pengaruh langsung pemerintah. Pada masa Orde Baru anggaran tersebut berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang jumlahnya tidak terbatas tergantung kebutuhan dan BI berada dalam komando pemerintah. Artinya, kebijakan stabilisasi harga pangan kedepan menuntut akuntabilitas anggaran dan kredibilitas Pemerintah dan Bulog. Agar efektif, kebijakan stabilisasi harga pangan harus menjadi keputusan politik dan dipayungi oleh UU. Kebijakan ini menjadi terbuka dan transparan baik dalam pelaksanaan maupun pertanggung-jawaban anggarannya. Perum Bulog sebagai pengelola stok penyangga dan pelaksana operasi pasar mempunyai kepastian hukum 27

29 dalam melaksanakan tugas stabilisasi dan didukung dengan anggaran yang cukup dan jelas keberadaannya. Penggunaan anggaran stabilisasi harga pangan harus dimonitor dan di-audit secara ketat, pemerintah harus transparan dan bersedia memfasilitasi kelompok-kelompok penggiat pemberantasan korupsi untuk ikut memonitor penggunaan anggaran ini. Langkah transparansi anggaran seperti diatas juga sesuai dengan aturan subsidi domestik di WTO. Negara anggota berkewajiban untuk menotifikasikan anggaran subsidi domestik dalam kategori Amber box yakni subsidi yang dinilai akan mendistorsi pasar dan perdagangan. Bagi Negara berkembang umumnya termasuk Indonesia, batas maksimum subsidi domestik mengacu ketentuan de minimis, yakni 10% dari nilai total produksi pertanian (Value of Agricultural Production). Sampai saat ini, Indonesia baru sekali menyampaikan notifikasi subsidi domestik, yakni pada tahun Alasannya adalah anggaran subsidi domestik yang dikeluarkan pemerintah secara total maupun per komoditas pertanian tidak pernah diketahui dan dihitung berapa besarnya. Dengan transparansi anggaran seperti tersebut diatas, tidak akan ada kesulitan lagi untuk memenuhi kewajiban notifikasi di WTO. Kebijakan stabilisasi harga kedele akan lebih mudah dilakukan pada saat harga kedele di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga di pasar domestik. Dalam situasi ini, yang harus dilakukan pemerintah adalah pengendalian/pembatasan impor dengan penerapan tariff impor optimum agar petani, tidak dirugikan oleh banjir impor kedele dari manca-negara. Dengan tarif impor optimum harga kedele eceran di pasar domestik akan meningkat tetapi tidak kelewat tinggi sehingga tetap terjangkau konsumen secara luas. Polemik muncul pada saat harga dunia kedele tinggi seperti saat ini. Meskipun semua hambatan impor termasuk tariff telah dihilangkan, harga kedele impor masih kelewat tinggi karena depresaiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dalam kondisi seperti ini, komitmen pemerintah untuk menjamin stabilisasi harga diuji. Pemerintah harus konsisten untuk menjamin berlakunya HJP. Tentu saja pemerintah harus menanggung biaya subsidi, yakni selisih harga pasar dengan HJP. Dalam situasi seperti ini, keberadaan UU Stabilisasi Harga Pangan sebagaimana dibahas diatas sangat 28

30 diperlukan sebagai pijakan hukum dalam menyiapkan dan menggunakan anggaran (APBN). Ulasan diatas sebagai ilustrasi kehadiran pemerintah/negara dalam mengatasi masalah instabilitas harga dan keberpihakan kepada petani produsen dan konsumen komoditas pangan secara luas. Kebijakan stabilisasi harga berperan sangat penting dalam mendukung program peningkatan produksi dan produktivitas untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan secara berkelanjutan. Dari ulasan diatas dan instrument yang dipergunakan, sangat jelas bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan mencakup tidak hanya border measures tetapi juga measures beyond the border. Keberadaan program peningkatan produksi dan produktivitas yang kongkrit dan terukur, sebagaimana dibahas diatas, harus menjadi komitmen politik Negara agar ketahahan pangan secara berkelanjutan dapat dicapai. Pengalaman negara lain memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi harga yang dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dapat berjalan efektif tanpa perlu anggaran publik (stok penyangga) yang besar. Instrumen kebijakan lain yang efektif dalam menghadapi instabilitas harga pangan adalah sistem resi gudang (warehouse receipt system). SISTEM RESI GUDANG Sifat musiman dari produksi pertanian pada umumnya rentan terhadap fluktuasi dan gejolak harga. Harga jatuh pada saat musim panen raya (peak harvest season) dan naik pada saat non-musim (off season). Banyak negara, khususnya negara maju, memiliki instrumen untuk menghadapi fluktuasi harga produk pertanian, mulai dari bursa berjangka komoditas, sistem kontrak serah (future contract) sampai ke Sistem Resi Gudang-RSG (warehouse receipt system). Sistem ini sudah lama diterapkan di banyak negara, termasuk negara berkembang pengekspor produk pertanian. SRG baru mulai dikenal di Indonesia sejak terbitnya UU No 9/2006 tentang Resi Gudang, dan mulai diterapkan secara bertahap sejak tahun

31 Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan, diperjaul-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan bagi pinjaman maupun dapat dipergunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi derivative seperti halnya kontrak serah (future contract). RG dapat digunakan oleh petani untuk memperoleh kredit pembiayaaan dari per-bank-an untuk usahataninya. SRG sangat cocok untuk komoditas pertanian yang rentan terhadap fluktuasi harga. Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani dapat menyiasatinya dengan cara menunda penjualan produksinya, tetapi tetap mendapatkan uang tunai untuk melaksanakan usahatani dan menyambung hidup keluarganya. SRG merupakan alternatif bagi petani untuk melakukan strategi pemasaran hasil produksinya. Sesuai Permendag No 26/M-DAG/PER/2007, pemerintah telah menetapkan 8 komoditas pertanian sebagai produk yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan SRG, yaitu: gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan jagung, belakangan menyusul dua tambahan produk yaitu rotan dan garam. Adapun persyaratannya produknya adalah: (i) memiliki daya simpan minimal 3 bulan, (ii) memenuhi standar mutu tertentu, dan (iii) memenuhi jumlah minimum yang disimpan. Bank dan Lembaga Keuangan yang telah berpartisipasi dalam menyalurkan pembiayaan resi gudang, antara lain, Bank BRI, Bank Jabar, Bank Jatim, Bank Kalsel. Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan, memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas, meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam peneribitan resi gudang selama tiga tahun terakhir (Gambar 4). Sejak 2008-November 2013, dilaporkan 1216 resi gudang telah diterbitkan dengan total nilai Rp213 milyar, mencakup 1070 RG untuk gabah dengan nilai Rp 197 milyar, 77 RG untuk beras dengan nilai Rp 32 milyar, 45 RG untuk jagung dengan nilai Rp 4 milyar, sisanya 24 RG untuk produk lain dengan nilai Rp 3.1 milyar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak 975 pemilik RG memperoleh kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai kredit Rp141 milyar. Dari 30

32 total nasabah penerima kredit 863 pemilik RG gabah dan 61 pemilik RG beras dengan total nilai kredit masing-masing sebesar Rp 119 milyar dan Rp 17 milyar. Menteri Perdagangan (2013) menyatakan bahwa Indonesia kekurangan gudang penyimpanan pangan, yang bisa dikelola secara modern untuk menerapkan SRG. Menurut Mendag, saat ini baru ada 81 unit dan hanya mampu menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan petani, yang sulit mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tak ada bukti kepemilikan hasil produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh kredit perbankan. Mendag menyatakan perlunya situasi ini terus disuarakan agar pemerintah bersedia menambah anggaran untuk membangun gudang modern. Pertanyaannya adalah mengapa Mendag (Kemendag) tidak mengusulkan rencana ini ke Menteri Keuangan (Kemenkeu) dan Ka-Bappenas dalam sidang Kabinet yang dipimpin oleh Presiden? Bukankah keberadaan SRG merupakan amanat Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh pemerintah? Mengapa Mendag masih harus berwacana di dalam Seminar? Jika pemerintah benar-benar serius untuk membangun sektor pertanian, membantu dan melindungi petani dari masalah anjloknya harga saat musim panen serta memfasilitasi petani untuk memperoleh kredit perbankan maka sudah seharusnya pemerintah melaksanakan amanat UU SRG No 9/2006 secara penuh. Jika SRG diterapkan secara meluas di seluruh propinsi, maka instabilitas harga produk pangan dapat dikurangi, petani memperoleh margin keuntungan lebih besar serta dapat memperoleh kredit perbankan untuk usahataninya. Pemerintah tidak harus melakukan program stabilisasi harga pangan secara konvensional dengan mengelola stok penyangga yang memerlukan anggaran besar. Stok penyangga pemerintah (yang dikelola BULOG) tidak perlu terlalu besar, digantikan oleh stok swasta (pedagang) dan petani yang dibentuk lewat SRG. Disamping itu, penerapan SRG yang memerlukan syarat standar mutu akan mendorong dan membudayakan petani untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu. 31

33 Resi Gudang Gambar 4 Penerbitan dan Pembiayaan Resi Gudang ,0 379, **) Penerbitan RG Pembiayaan RG Standar mutu menjadi penting tidak hanya karena menyadi syarat penerbitan RG tetapi sangat urgent untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN Perdagangan antar negara ASEAN (intra-asean trade) bebas hambatan tariff, namun harus memenuhi standar mutu yang disepakati bersama. Jika Indonesia tidak segera membenahi, mensosialisasikan dan menerapkan standar mutu secara wajib (Standar Nasional Indonesia-SNI) maka produk pangan Indonesia tidak dapat masuk ke pasar negara ASEAN, sementara produk pangan Negara ASEAN membanjiri pasar Indonesia. Jadi, Kementan perlu menyusun roadmap penerapan standar mutu produk pertanian (pangan) agar dapat membantu petani memanfaatkan SRG dan sekaligus menghadapi persaingan di era MEA

Dr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian. Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014

Dr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian. Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014 Dr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014 1 Multilateral (WTO) Plurilateral/Regional : APEC, ASEAN-FTA (AFTA),

Lebih terperinci

TANGGAPAN TERHADAP MATERI PRESENTASI PROF.DR. ACHMAD SURYANA BERJUDUL: 15 TAHUN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN INDONESIA 1

TANGGAPAN TERHADAP MATERI PRESENTASI PROF.DR. ACHMAD SURYANA BERJUDUL: 15 TAHUN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN INDONESIA 1 TANGGAPAN TERHADAP MATERI PRESENTASI PROF.DR. ACHMAD SURYANA BERJUDUL: 15 TAHUN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN INDONESIA 1 Dr. Erwidodo Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Badan

Lebih terperinci

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l BAB V 5.1 Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dalam kesepakatan AoA, syarat hegemoni yang merupakan hubungan timbal balik antara tiga aspek seperti form of state, social force, dan world order, seperti dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL

KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL LAPORAN AKHIR KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL Tim Peneliti: Reni Kustiari Achmad Suryana Erwidodo Henny Mayrowani Edi Supriadi Yusuf Soeprapto Djojopoespito

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman pangan yang sampai saat ini dianggap sebagai komoditi terpenting dan strategis bagi perekonomian adalah padi, karena selain merupakan tanaman pokok bagi sebagian

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Oleh: Bambang Sayaka Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESRA. Penugasan. PERUM BULOG. Ketahanan Pangan. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG PENUGASAN KEPADA PERUSAHAAN

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Musyawarah perencanaan pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan pembangunan pertanian periode 2005 2009 dilaksanakan melalui tiga program yaitu :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG PENUGASAN KEPADA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) BULOG DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG PENUGASAN KEPADA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) BULOG DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010 Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan memperingatkan adanya penyusutan luas panen lahan padi nasional. Tahun ini saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan melonjaknya harga bahan pangan pokok, banyak pihak yang mulai meninjau kembali peran dan fungsi BULOG. Sebagian pihak menginginkan agar status BULOG dikembalikan

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara study literatur yang data-datanya diperoleh dari buku, jurnal, arsip, maupun artikel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Menurut Amang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Menurut Amang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya 255 juta pada tahun 2015, dengan demikian Indonesia sebagai salah satu pengkonsumsi beras yang cukup banyak dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia, karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA Dr. Muchjidin Rahmat PENDAHULUAN 1. Dalam dekade terakhir impor produk hortikultura cenderung meningkat, akibat dari keterbukaan pasar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA 131 132 STABILISASI HARGA DAN PASOKAN PANGAN POKOK Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia yang setiap tahun bertambah sehingga permintaan beras mengalami peningkatan juga dan mengakibatkan konsumsi beras seringkali melebihi produksi. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan adalah ketersediaan bahan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi domestik, perdagangan dan bantuan. Ketersediaan

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan beraneka ragam (mega biodiversity). Keanekaragaman tersebut tampak pada berbagai jenis komoditas tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian dalam perekonomian. Selain itu sebagian besar penduduk Indonesia bekerja pada sektor

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama : Nov 10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Nop-11 Edisi : 11/AYAM/TKSPP/2011 Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam Informasi Utama : Harga daging ayam di pasar

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 FLEKSIBILITAS PENERAPAN SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DAN KAJI ULANG KEBIJAKAN DOMESTIC SUPPORT UNTUK SPECIAL PRODUCT INDONESIA Oleh : M. Husein Sawit Sjaiful Bahri Sri Nuryanti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia Kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan yang berkaitan dengan produksi, konsumsi,

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa

Lebih terperinci

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Dalam rangka pelaksanaan Revitalisasi Pertanian (RP) Departemen Pertanian telah dan sedang melaksanakan berbagai kebijakan yang meliputi : (a)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN MENUJU KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN MENUJU KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian REFORMASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN MENUJU KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Erwidodo PENDAHULUAN Terlepas dari berbagai keberhasilan yang telah dicapai,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim

Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Dapatkah manusia bertahan hidup tanpa pangan? Rasanya mustahil. Pangan selalu menjadi kebutuhan hidup dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI. Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis

POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI. Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Bidang Pangan dan Pertanian 2016 Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS MEMBANGUN KEMANDIRIAN PANGAN: MANDAT TERBESAR DARI RAKYAT KEPADA KITA SEMUA ) Oleh Kwik Kian Gie ) Saudara-saudara dan hadirin sekalian.

Lebih terperinci

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih 1.1. Latar Belakang Pembangunan secara umum dan khususnya program pembangunan bidang pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan

Lebih terperinci

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN A. Landasan Hukum Memahami pentingnya cadangan pangan, pemerintah mengatur hal tersebut di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, khususnya dalam pasal

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah merupakan salah satu komoditas pangan penting yang perlu dikonsumsi manusia dalam rangka memenuhi pola makan yang seimbang. Keteraturan mengonsumsi buah dapat menjaga

Lebih terperinci