FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β RODHI FIRMANSYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β RODHI FIRMANSYAH"

Transkripsi

1 FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β RODHI FIRMANSYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Rodhi Firmansyah NIM C

4 RINGKASAN RODHI FIRMANSYAH. Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β. Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DINAR TRI SOELISTYOWATI. Ikan Iriatherina werneri adalah salah satu kelompok ikan rainbow yang memiliki nilai komersil terutama pada individu jantan. Kebutuhan ikan jantan belum terpenuhi sebab pada populasi ikan I. werneri yang dihasilkan menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi, karena itu diperlukan alternatif untuk mendapatkan keturunan monoseks jantan. Produksi monoseks jantan dapat diperoleh dengan melakukan perkawinan ikan betina normal (XX) dengan ikan jantan super (YY) sehingga menghasilkan 100% ikan jantan. Produksi jantan super diperoleh dari hasil perkawinan antara jantan normal (XY) dengan betina fungsional yang berkromosom XY dan diperoleh melalui feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum feminisasi ikan I. werneri menggunakan hormon estradiol 17β pada dosis dan lama perendaman yang berbeda. Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari faktor dosis hormon estradiol-17β 0, 200, 400 dan 600 µg/l dan faktor lama perendaman 6, 12 dan 18 jam masing-masing diulang 3 kali. Perendaman dilakukan pada embrio stadia bintik mata sebanyak 200 embrio per ulangan perlakuan menggunakan kantong plastik kemas ukuran 35 x 25 cm 2 yang di dalamnya telah diisi 1 liter larutan hormon estradiol-17β sesuai dengan dosis perlakuan dan diisi oksigen. Kantong plastik tersebut ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran 90 x 60 x 25 cm 3 dengan tinggi air 20 cm. Setelah perendaman dilakukan selama 6, 12, dan 18 jam, kemudian larva dipelihara selama 70 hari. Tingkat penetasan (hatching rate) dihitung setelah semua embrio menetas (hari ke-7 setelah pemijahan) dan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada umur 70 hari serta dilakukan pemeriksaan nisbah kelamin. Selanjutnya dilakukan uji progeny untuk mengevaluasi ikan betina fungsional (XY) melalui persilangan dengan ikan jantan (XY) yang diasumsikan akan menghasilkan keturunan berjenis kelamin jantan 75% melalui pemeriksaan nisbah kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan estariol-17β dapat meningkatkan persentase ikan betina I. werneri 85,56-92,22% pada dosis 400 dan 600 µg/l selama 6 dan 12 jam (P<0,05). Lama perendaman 6 jam menghasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri yang terbaik yaitu 52,55-67,75% (P<0,05), sedangkan perbedaan dosis dan lama perendaman tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penetasan ikan I. werneri (P 0,05). Hasil uji progeny menunjukkan 40% induk betina hasil feminisasi diduga betina fungsional berjenis kelamin XY. Kata Kunci: Feminisasi, Iriatherina werneri, estradiol-17β, uji progeni

5 SUMMARY RODHI FIRMANSYAH. Feminization of Rainbow fish Iriatherina werneri using Estradiol-17β hormone. Supervised by ODANG CARMAN and DINAR TRI SOELISTYOWATI. Iriatherina werneri is a species of rainbow fish that has commercial value, especially the male fish. Unfortunately, unmet needs of male fish happens because the population of the I. werneri showed that the number of males produced was 20-25% of the total population. In that case, the alternative to fulfill the need of monosex breeding on male fish is necessary. Monosex production of the male can be obtained by breeding the normal female (XX) with a super male (YY) to produce 100% male. Production of super male is obtained from the breeding process between the normal male fish (XY) with the functional female by chromosome XY and feminization process through the use of estradiol-17β hormone. This study aimed to evaluate the optimum conditions of feminization process of I. werneri by using the estradiol-17β hormone on different dose and duration of immersion. The study was designed using factorial design of Completely Randomized Design consist of a dose factor of estradiol-17β hormone 0, 200, 400 and 600 µg/l and immersion duration factor 6, 12 and 18 hours (each repeated three times). Soaking process applied on embryo eyed stage with a number of 200 embryos per treatment by using a 35 x 25 cm 2 plastic bags in which has been filled with 1 litter solution of the estradiol-17β hormone in accordance with dose treatment and filled with oxygen. The plastic bags were placed inside the aquarium with the size of 90 x 60 x 25 cm 3 and filled with water of 20 cm height. After immersion conducted for 6, 12 and 18 hours later, the larvae then reared for 70 days. The hatching rate calculated after the embryos hatched (the 7th day after spawning) and survival (survival rate) at the age of 70 days. Other than this, the sex ratio examination also conducted. Progeny test was then performed to evaluate the functional female (XY) through crossbreeding with normal male (XY) which is assumed to produce progeny male as much as 75 % through a sex ratio examination. The result showed that the treatment of estradiol-17β hormone could increase the percentage of female fish from to 92.22% at doses of 400 and 600 µg/l for 6 and 12 hours (P< 0.05). Soaking time for 6 hours resuted the best number of survival rate of I. werneri which was to 67.75% (P<0.05), while the difference in the dose and duration of immersion showed no significant effect on the level of I. werneri hatcheries (P 0.05). Progeny test results showed that 40% of the female parent were feminization functional alleged sex XY females. Keywords: Feminization, Iriatherina werneri, estradiol-17β, progeny test.

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β RODHI FIRMANSYAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Julie Ekasari, S.Pi, M.Si

9 Judul Tesis : Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β Nama : Rodhi Firmansyah NIM : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Odang Carman MSc Ketua Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Widanarni, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 03 Februari 2016 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April-Desember 2015 ini ialah Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do a dan motivasi yang telah diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk rekan-rekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Terima kasih kepada Jurnal Ikhtiologi Indonesia yang telah menerima jurnal penulis untuk diterbitkan. Akhir kata, penyusun berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Februari 2016 Rodhi Firmansyah

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Hipotesis 3 Tujuan dan Manfaat 3 2 METODE 4 Waktu dan Tempat 4 Ikan Uji 4 Rancangan Penelitian 4 Prosedur Penelitian 4 Parameter Uji 6 Analisis Data 7 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Hasil 7 Pembahasan 12 4 SIMPULAN 15 Simpulan 15 DAFTAR PUSTAKA 16 LAMPIRAN 19 RIWAYAT HIDUP 25 xii xii xii

12 DAFTAR TABEL 1 Jadwal dan jenis pakan alami yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri 5 2 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri 6 3 Hasil pemijahan pada uji progeni ikan I. werneri 12 DAFTAR GAMBAR 1 Perbedaan morfologi ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) 8 2 Perbedaan jaringan gonad ikan I. werneri jantan (1) dan betina (2) 8 3 Jumlah ikan betina I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β 9 4 Tingkat penetasan telur ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β 10 5 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β 10 6 Persentase nisbah kelamin jantan dan betina ikan I. werneri hasil uji progeni pada verifikasi ikan betina fungsional (XY) 11 DAFTAR LAMPIRAN 1 Gambar Ikan Iriatherina werneri jantan (a) dan betina (b) 19 2 Tabel perendaman dengan hormon estradiol-17β pada beberapa spesies 19 3 Tabel hasil pemijahan ikan I. werneri 19 4 Data persentase nisbah kelamin betina, tingkat penetasan dan tingkat kelangsungan hidup ikan Iriatherina werneri 20 5 Analisis ragam (UNIVARIATE) Jumlah ikan betina I. werneri (SPSS 16) 20 6 Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat penetasan I. werneri (SPSS 16) 22 7 Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat kelangsungan hidup I. werneri (SPSS 16) 23 8 Data persentase nisbah kelamin hasil uji progeni ikan I. werneri 24 9 Analisis nisbah kelamin jantan dan betina pada uji progeni ikan I. werneri dengan uji chi-square pada selang kepercayaan 95% 24

13 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang menjadi bisnis perdagangan yang potensial di dalam maupun di luar negeri. Ikan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para pecinta ikan hias, seperti keindahan akan warna, corak yang beragam dan bentuk yang berbeda dari setiap jenis, serta dapat dijadikan sebagai pajangan atau hiasan, salah satunya adalah kelompok ikan pelangi yang umumnya dikenal dengan nama ikan rainbow atau rainbowfish. Ikan jenis ini termasuk ke dalam famili Melanotaeniidae. Sejauh ini, sudah ada sekitar 76 spesies dari 7 genus yang telah berhasil dideskripsi oleh ahli taksonomi (Allen et al., 2008; Tappin, 2011; Kadarusman et al., 2010; Nugraha 2015). Salah satu ikan hias yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu ikan Iriatherina werneri yang merupakan kelompok ikan hias rainbow. Ikan I. werneri dikenal dengan nama Threadfin rainbow fish memiliki bentuk yang sangat menarik khususnya pada individu jantan. Ikan I. werneri merupakan spesies tunggal pada genus Iriatherina dalam famili Melanotaeniidae. Ikan I. werneri dapat tumbuh hingga ukuran maksimum 5 cm dengan ukuran umumnya 3-4 cm ditemukan pada sungai yang jernih, sedikit mengalir, rawa-rawa berumput dan laguna yang memiliki vegetasi berlimpah. Ikan ini sering ditemukan di sepanjang tepi hutan lebat laguna, sungai-sungai kecil dengan kedalaman m, dan di perairan terbuka yang tidak jauh dari rumpun tanaman. Menurut Tappin (2011) I. werneri dapat tumbuh dan berkembangbiak pada kisaran suhu C dan ph antara di habitat alaminya. Ikan jantan dewasa memiliki dua sirip punggung di mana sirip punggung yang pertama berbentuk seperti fin kipas dan sirip punggung kedua memiliki filamen yang sangat panjang sehingga terlihat elegant, begitu juga dengan sirip anal. Sirip yang elegant ini digunakan untuk memamerkan keindahan tubuh di antara ikan jantan lainnya serta untuk menarik perhatian ikan betina. Bentuk tubuh ikan jantan ramping, lateral compressed, berwarna silver metalik dengan sedikit terlihat garis vertikal gelap. Menurut Tappin (2011) warna sirip punggung, anal dan dada hitam kemerah-merahan, sedangkan sirip ekor bercagak, transparan dan tipis berwarna merah muda, sedangkan ikan betina memiliki warna terlihat pucat dibandingkan ikan jantan, tidak memiliki filamen-filamen panjang namun terdapat persamaan bentuk dan warna pada sirip ekor sehingga mengakibatkan ikan jantan I. werneri lebih diminati dibandingkan dengan ikan betinanya (Lampiran 1) Permintaan ikan I. werneri cukup besar terutama pada ikan jantan. Hal ini diketahui berdasarkan wawancara pembudidaya ikan di daerah Bogor yang menjelaskan bahwa berapa pun jumlah ikan yang dihasilkan dari kegiatannya selalu terjual habis bahkan jumlah tersebut masih belum memenuhi permintaan kuota para pengumpul yang biasa mensuplai para eksportir, selain itu; pada populasi ikan Iriatherina werneri yang dihasilkan oleh para pembudidaya tersebut menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan I. werneri ini adalah menghasilkan individu jantan secara massal, yaitu dengan teknik sex reversal. Sex reversal merupakan satu teknik untuk mengarahkan kelamin jantan atau betina pada masa diferensiasi kelamin (Arfah et al., 2002), Zairin (2002)

14 menambahkan bahwa teknik seks reversal mengubah fenotipe ikan jantan atau betina tetapi tidak mengubah genotipenya. Sex reversal dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara langsung menggunakan hormon steroid (estrogen atau androgen) untuk mempengaruhi proses diferensiasi kelamin dan secara tidak langsung melalui persilangan. Pengarahan kelamin secara langsung menghasilkan pembalikan kelamin secara fungsional tanpa merubah kromosom kelamin secara genetik. Secara genetik, jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh kromosom kelamin, namun fungsi kelamin dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada fase diferensiasi kelamin yaitu saat awal pembentukan zigot hingga larva, pembentukan jenis kelamin ikan masih labil, sehingga dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid (Yamazaki, 1983). Menurut Strussman et al. (1996), perlakuan hormonal harus dilaksanakan pada periode labil yaitu sebelum gonad berdiferensiasi, karena periode ini sensitif terhadap perlakuan hormon. Selain itu sensitivitas hormon steroid terhadap perkembangan diferensiasi seks sangat tergantung pada fase perkembangan gonad yang terjadi (Piferre dan Donaldson, 1991). Dalam hal ini puncak sensitivitas terjadi setelah pembelahan sel jaringan gonad atau sebelum jaringan gonad terdiferensiasi. Fenomena ini menurut Carman et al. (1998), berhubungan dengan fungsi kromosom kelamin pada pembentukan jenis kelamin belum aktif. Pada produksi ikan jantan secara masal melalui persilangan dapat dilakukan dengan mengawinkan individu betina dengan jantan super yaitu individu jantan dengan kromosom homogametik (YY), sehingga menghasilkan 100% ikan jantan (XY). Ikan jantan super dapat diperoleh dengan cara perkawinan silang antara jantan normal dengan betina fungsional (XY) yaitu ikan jantan yang diarahkan fungsi kelaminnya menjadi betina sehingga akan dihasilkan 25% betina normal (XX) dan 75% jantan yang terdiri dari 25% jantan super (YY) dan 50% jantan normal (XY). Teknologi jantan super (YY) memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan dan peningkatan nilai komersial budidaya (Mair et al., 1997). Untuk mendapatkan betina fungsional yang memiliki kromosom (XY) dapat dilakukan melalui feminisasi, di antaranya menggunakan hormon estradiol-17β. Feminisasi pada ikan I. werneri merupakan langkah awal untuk memperoleh individu jantan super. Menurut Pongthana et al. (1999) dan Sutrisno (1996) produksi ikan betina dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu cara langsung dengan perlakuan hormon dan cara tidak langsung yaitu melalui manipulasi genom yang dilanjutkan dengan perlakuan hormon. Sedangkan menurut Wihardi et al. (2014) feminisasi dapat dilakukan dengan penggunaan bahan aktif yang terdapat pada Solanum sp. melalui ekstraksi. Estradiol-17β adalah hormon estrogen alami yang telah terbukti efektif mengarahkan kelamin betina (feminisasi) pada Cyprinidae, Anabantidae, Poeciliidae, Ictaluridae, Salmonidae dan Cichlidae (Pandian dan Shella, 1995), Pseudobagrus fulvidraco (Park et al., 2004) dan Salmoides micropterus (Arslan et al., 2009). Pemberian hormon estradiol-17β secara langsung dapat dilakukan dengan pemberian oral (Kurniasih et al., 2006), penyuntikan dan perendaman (Sutaman, 2002). Pemberian hormon estradiol-17β secara oral dapat dilakukan dengan mencampurkan hormon dalam pakan buatan atau dengan pakan alami melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp. Saat ini pemberian hormon melalui pakan banyak dilakukan, tetapi hanya terbatas pada ikan yang dapat mengkonsumsi pakan buatan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Di samping itu, pemberian hormon steroid melalui pakan buatan kemungkinan dapat mengalami pencucian (leaching) selama di dalam air (Tan-Fermin et al., 1994). Pemberian hormon 3

15 melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp. membutuhkan hormon yang lebih sedikit tetapi dari segi teknis, cara ini kurang praktis karena perendaman naupli perlu dilakukan setiap waktu saat larva akan diberi pakan. Di samping itu, penanganan sulit dan memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses perendaman. Bila dilihat dari segi efisiensi waktu dan penanganan serta jumlah hormon yang digunakan maka cara yang paling baik adalah dengan sistem perendaman embrio (Arfah, 2002). Perendaman telur dilakukan pada saat setelah terbentuk bintik mata (eyed stage). Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Baker et al. (1988) pada telur ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) yang baru membentuk bintik mata dan akan menetas. Menurut Purwati et al. (2004) pemberian hormon estradiol-17β melalui perendaman embrio dapat meningkatkan persentase jenis kelamin betina sebesar 77.47% dengan dosis 400 µg/l dan waktu perendaman 12 jam; Hunter & Donaldson (1983) melaporkan bahwa pada ikan coho dan chinook salmon yang direndam dalam estradiol-17β dengan konsentrasi µg /l menghasilkan betina masing-masing 87-97% dan 66-91% (Lampiran 2) Rumusan Masalah Ikan I. werneri adalah salah satu ikan hias yang memiliki nilai komersil, terutama pada individu jantan karena bentuknya yang sangat menarik, banyak diminati oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional. Kebutuhan ikan jantan I. werneri ini belum dapat terpenuhi pada pemijahan alami, sebab pada populasi ikan Iriatherina werneri yang dihasilkan menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi. Upaya peningkatan populasi jantan adalah memproduksi ikan jantan secara masal (monoseks jantan). Monoseks jantan dapat diperoleh dengan menyilangkan betina normal dengan jantan super sehingga diperoleh 100% jantan. Jantan super dapat diperoleh dengan cara perkawinan silang antara jantan normal (XY) dengan betina fungsional (XY) sehingga akan dihasilkan 25% betina normal, 25% jantan super dan 50% jantan normal. Sedangkan untuk mendapatkan betina fungsional berkromosom XY melalui feminisasi dapat dilakukan dengan menggunakan hormon Estrogen (estradiol-17β) melalui perendaman embrio. Hipotesis Dosis hormon estradiol-17β dan lama perendaman embrio stadia bintik mata pada feminisasi ikan I. werneri mempengaruhi persentase ikan berjenis kelamin betina yang dihasilkan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum feminisasi I. werneri dengan cara perendaman embrio stadia bintik mata di dalam larutan hormon estradiol 17β pada dosis dan lama perendaman yang berbeda sebagai upaya penyediaan calon induk betina fungsional (XY) untuk memproduksi ikan I. werneri jantan super (YY).

16 5 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Desember 2015 di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairain, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan Uji Ikan uji yang digunakan untuk feminisasi adalah embrio ikan I. werneri stadia bintik mata. Jumlah embrio yang digunakan untuk setiap unit ulangan perlakuan sebanyak 200 embrio dari hasil pemijahan alami secara masal 240 ekor induk betina dan 120 ekor induk jantan. Sedangkan untuk uji progeni, ikan yang digunakan adalah 15 ekor induk betina dari hasil feminisasi dan 15 ekor induk jantan normal. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari faktor dosis hormon estradiol-17β 0, 200, 400 dan 600 µg/l dan faktor lama perendaman 6, 12 dan 18 jam masing-masing diulang 3 kali. Prosedur Penelitian Pemeliharaan dan Pemijahan Induk Induk dipelihara di dalam kolam ukuran cm 3 dengan ketinggian air 40 cm. Induk ikan I. werneri dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina, dengan kepadatan 1-2 ekor/liter, serta diberi pakan komersial berbentuk tepung (Fengli 0, dengan kandungan protein 40%) dan zooplankton (Moina sp.) secara adlibitum dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Induk jantan dan betina yang siap memijah di seleksi secara morfologi dengan melihat bentuk perut yang relatif lebih besar pada ikan betina, dan melihat ukuran tubuh yang lebih besar dengan warna relatif cerah serta melihat pergerakan sirip punggung dan anal yang lebih aktif pada ikan jantan. Selanjutnya induk yang siap memijah tersebut dimasukkan ke dalam empat wadah pemijahan berupa akuarium ukuran cm 3 pada malam hari (20.00 WIB) dengan jumlah jantan dan betina pada setiap akuarium masing-masing 30 dan 60 ekor. Pada pagi hari berikutnya (jam WIB), 30 menit setelah ikan diberi pakan, dimasukkan tali rafia yang berfungsi sebagai substrat untuk penempelan telur. Beberapa menit setelah substrat dimasukkan biasanya induk akan mulai memijah dan selesai memijah pada sore hari (15.00 WIB). Pada saat pemijahan berakhir telur dikoleksi dengan cara mengangkat substrat, telur yang telah dibuahi digunakan untuk perlakuan feminisasi. Proses pemijahan dilakukan selama 5 hari pemasangan induk jantan dan betina. Feminisasi dengan Hormon Estradiol-17β Telur yang telah dipanen dimasukkan ke dalam wadah inkubasi berupa kotak plastik ukuran cm 3 yang diisi air sebanyak 1 liter sampai mencapai

17 stadia bintik mata (±72 jam). Pada saat stadia bintik mata, 200 embrio dimasukkan ke dalam kantong plastik kemas ukuran cm 2 yang di dalamnya telah diisi 1 liter larutan hormon estradiol-17β sesuai dengan dosis perlakuan (0, 200, 400 dan 600 µg/l) kemudian diisi oksigen dan diikat dengan karet gelang seperti prosedur pengemasan pada transportasi benih ikan. Kantong plastik tersebut ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran cm 3 dengan tinggi air 20 cm. Perendaman dilakukan selama 6, 12, dan 18 jam. Setelah perendaman, plastik diangkat dari akuarium perendaman dan semua embrio dimasukkan kembali ke dalam wadah inkubasi hingga menetas menjadi larva. Tingkat penetasan (hatching rate) dihitung setelah semua embrio menetas sampai hari ke-7 pasca pemijahan. Pemeliharaan Larva Larva yang menetas dipelihara hingga umur 7 hari dalam wadah inkubasi, kemudian dipindahkan ke dalam akuarium ukuran cm 3 dengan air setinggi 20 cm dan dipelihara sampai umur 70 hari serta dihitung tingkat kelangsungan hidupnya (survival rate). Pemberian pakan dilakukan saat larva berumur tiga hari sebanyak 3 kali sehari secara adlibitum. (Tabel 1). Tabel 1 Jadwal dan jenis pakan yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri No Umur ( hari setelah menetas) Jenis Pakan Infusoria Infusoria dan rotifera Rotifera Rotifera dan artemia Artemia dan pakan buatan Penyifonan dilakukan setiap pagi dengan pergantian air sebanyak 20% untuk menjaga agar kualitas air tetap baik. Pengukuran kualitas air dilakukan pada wadah inkubasi, penetasan dan wadah pemeliharaan (Tabel 2). Tabel 2 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri Parameter Satuan Kisaran Nilai Toleransi Oksigen terlarut mg/l (Tapin 2011) ph Unit 7,0 7,8 5,2 7,5 (Tapin 2011) Suhu ºC (Tapin 2011) Pemeriksaan jenis kelamin Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan pada hari ke 70 setelah penetasan berdasarkan pengamatan karakter sekunder secara morfologis serta pemeriksaan jaringan gonad dengan menggunakan metode asetokarmin. Secara morfologi ikan jantan dan betina dibedakan berdasarkan sirip punggung, sirip dada, sirip anal dan bentuk tubuh. Sedangkan pemeriksaan jaringan gonad dengan metode asetokarmin dilakukan dengan mengambil gonad ikan uji, diletakkan di atas gelas objek dan diwarnai dengan larutan asetokarmin, lalu diamati di bawah mikroskop. Uji progeni Uji progeny dilakukan dengan mengawinkan satu persatu induk betina hasil feminisasi dengan jantan normal secara berpasangan di dalam wadah pemijahan berupa kotak plastik ukuran cm 3 yang diisi 1,5 liter air. Proses pemijahan

18 7 berlangsung secara alami dan pelaksanaannya sama dengan prosedur pemijahan pada penyediaan embrio untuk feminisasi. Telur ikan hasil pemijahan diangkat dan dihitung jumlahnya serta tingkat pembuahannya, kemudian dipindahkan ke dalam akuarium ukuran cm 3 dengan ketinggian air 17 cm untuk diinkubasi. Larva ikan menetas setelah 7 hari kemudian dipelihara di dalam akuarium yang sama hingga berumur 58 hari. Jenis pakan dan jadwal pemberian pakan seperti pada Tabel 2. Tingkat kelangsungan hidup dan identifikasi jenis kelamin dilakukan pada hari ke 58 dengan metode seperti dijelaskan pada pemeriksaan jenis kelamin. Uji progeny bertujuan untuk memverifikasi induk betina fungsional (XY) hasil feminisasi, yaitu dengan mengasumsikan bahwa nisbah kelamin keturunan dari hasil perkawinan antara jantan normal (XY) dan betina fungsional (XY) adalah 75% berjenis kelamin jantan dan 25% betina. Parameter Uji Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Nisbah Kelamin Nisbah kelamin adalah perbandingan jumlah persentase ikan berjenis kelamin jantan atau betina dibandingkan dengan jumlah ikan yang diamati. Persamaan yang digunakan adalah : Keterangan : J k (%) = N t N o x 100 Jk = Ikan berjenis kelamin jantan atau betina (%) Nt = Jumlah ikan berjenis kelamin jantan atau betina (ekor) = Jumlah ikan yang diamati (ekor) No Tingkat Pembuahan Tingkat pembuahan adalah persentase jumlah telur yang terbuahi dibandingkan dengan jumlah total telur. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat pembuahan adalah : T pb (%) = T t T o x 100 Keterangan : Tpb = Tingkat pembuahan (%) Tt = Jumlah telur yang terbuahi (ekor) T = Jumlah total telur (butir) Tingkat Penetasan Tingkat penetasan adalah persentase jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan jumlah larva yang terbuahi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat penetasan adalah :

19 T pt (%) = T t T o x 100 Keterangan : Tpt = Tingkat penetasan (%) Tt = Jumlah telur larva menetas (ekor) = Jumlah telur yang terbuahi (butir) Tb Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup adalah persentase jumlah ikan yang hidup di akhir penelitian dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditebar. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup adalah : T kh (%) = K t x 100 K o Keterangan : Tkh = Tingkat kelangsungan hidup (%) Kt = Jumlah ikan yang hidup di akhir penelitian (ekor) = Jumlah ikan yang ditebar (ekor) Ko Analisis Data Data yang didapat ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan statistik (ANOVA) dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan SPSS 18, meliputi jumlah telur, tingkat pembuahan, tingkat penetasan, tingkat kelangsungan hidup dan persentase jenis kelamin. Analisis asumsi nisbah kelamin betina:jantan pada uji progeni sebesar 75%:25% diuji menggunakan uji chi-square dengan selang kepercayaan 95%. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Total telur yang dihasilkan pada pemijahan ikan I. werneri adalah 7368 butir yang didapat dari pemijahan alami antara 120 ekor induk jantan dan 240 ekor induk betina Iriatherina werneri yang dipijahkan selama 5 hari berturut-turut, jumlah telur yang dihasilkan /hari dengan rata-rata jumlah telur untuk setiap induk betina adalah 3,75-7,18 butir sehari dan tingkat pembuahan %. (Lampiran 3). Nisbah Kelamin Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan berdasarkan pengamatan karakter sekunder secara morfologis. Ikan jantan dan betina dibedakan berdasarkan sirip punggung, sirip perut, sirip anal, sirip ekor dan bentuk tubuh. Perbedaan yang mencolok dapat dilihat pada filamen yang dimiliki oleh ikan jantan pada sirip

20 9 punggung kedua dan pada filamen sirip anal yang tidak dimiliki oleh ikan betina (Gambar 1). Sumber: Dokumentasi penulis Keterangan : 1. Sirip punggung pertama 5. Sirip anal 2. Sirip punggung ke dua 6. Filamen-filamen sirip punggung 3. Sirip dada 7. Filamen-filamen sirip anal 4. Sirip perut 8. Sirip ekor Gambar 1 Perbedaan morfologi ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Hasil pemeriksaan jaringan gonad pada ikan I. werneri hasil perlakuan yang menggunakan metode asetokarmin memperlihatkan bahwa jaringan gonad jantan (testis) yang terlihat di bawah mikroskop berupa titik-titik kecil yang merupakan sel-sel spermatozoa (Gambar 2a), sedangkan jaringan gonad betina (ovari) berbentuk bulatan relatif besar yang merupakan sel telur (oogonium) dengan ukuran yang berbeda dan di tengahnya terdapat inti (Gambar 2b). a b 2 1 Keterangan : Spermatozoa (1), Oogonium (2) Gambar 2 Perbedaan jaringan gonad ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Feminisasi ikan I. werneri melalui perendaman embrio pada stadia bintik mata menggunakan hormon estradiol-17β dengan dosis dan lama perendaman yang berbeda mempengaruhi persentase ikan betina (p<0,05) dan tingkat kelangsungan hidup ikan (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat penetasan telur (p 0,05). Persentase nisbah kelamin betina tertinggi yaitu sebesar 92,22% terdapat pada perlakuan dosis 400 µg/l dengan lama perendaman 12 jam, diikuti oleh perlakuan dosis 600 µg/l dengan lama perendaman 12 jam sebesar 90 %.

21 Jumlah Ikan Betina (%) Lama Perendaman 6 jam 12 jam 18 jam Ab Ab Bb Bb Ba Cb Cb Ca Cb Cb Ca Dosis Estradiol-17β (µg/l) Gambar 3 Jumlah ikan betina (%) I. werneri hasil feminisasi dengan Estradiol-17β. (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%) Persentase kelamin betina yang terendah terdapat pada perlakuan dosis 200 µg/l dengan lama perendaman 12 jam yaitu 77,78%, sedangkan pada perlakuan kontrol (0 µg/l) % (Gambar 3). Hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dengan lama perendaman tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan dosis menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kontrol, sedangkan antara perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada perlakuan lama perendaman 6 dan 2 jam menunjukkan hasil yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan lama perendaman 18 jam (Lampiran 5). Tingkat Penetasan Berdasarkan data tingkat penetasan telur pasca perlakuan perendaman dalam larutan estradiol-17β (Gambar 4), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase tingkat penetasan pada semua perlakuan bervariasi dengan kisaran 69,00-79,17% dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan kisaran 75,50-77,33% (P 0,05). Dengan kata lain perlakuan perendaman embrio stadia bintik mata pada dosis dan lama perendaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tingkat penetasan ikan I. werneri. Dari hasil pengujian interaksi antara faktor dosis dan faktor lama perendaman tidak ditemukan adanya interaksi diantara kedua faktor tersebut yang mempengaruhi tingkat penetasan (Lampiran 6)

22 Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Tingkat Penetasan (%) 11 Lama Perendaman 6 jam 12 jam 18 jam Dosis Estradiol-17β µg/l Gambar 4 Tingkat penetasan telur (%) ikan I. werneri hasil feminisasi dengan estradiol-17β. (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%) Tingkat Kelangsungan Hidup Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup I. werneri menunjukkan bahwa perlakuan dosis 400 µg/l selama 6 jam menghasilkan kelangsungan hidup tertinggi dengan nilai 67,75%, pada semua perlakuan lama perendaman 12 dan 18 Lama Perendaman 6 jam 12 jam 18 jam Ab Ab Ab Ab Dosis Estradiol-17 µg/l Gambar 5 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β melalui perendaman embrio. (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%)

23 Nisbah Kelamin (%) jam menunjukkan adanya kecenderungan penurunan tingkat kelangsungan hidup dibandingkan dengan perlakuan lama perendaman 6 jam. Semakin lama waktu perendaman menyebabkan tingkat kelangsungan hidup semakin menurun, hal ini terlihat jelas pada perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l (Gambar 5). Dari hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada interaksi antara pemberian dosis dengan lama perendaman yang berbeda dan perlakuan lama perendaman 6 jam menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan perendaman 12 dan 18 jam (Lampiran 7). Uji Progeni Berdasarkan hasil identifikasi jenis kelamin pada uji progeni menunjukkan bahwa ada 6 ekor induk betina hasil feminisasi yang menghasilkan 50-75% keturunan jantan yaitu induk betina no 1, 2 (dosis 200µ/l + 18 jam), 7, 9 (dosis 400µ/l + 18 jam), 10 dan 11 (dosis 600µ/l + 18 jam), sedangkan induk betina sisanya menghasilkan keturunan jantan di bawah 50% (Gambar 6). Jantan Betina 100 * * * * * * µ/l + 18 jam 400 µ/l + 12 jam 400 µ/l + 18 jam 600 µ/l + 12 jam 600 µ/l + 18 jam No Induk Gambar 6 Persentase nisbah kelamin jantan dan betina ikan I. werneri hasil uji progeny pada verifikasi ikan betina fungsional (XY) melalui perkawinan dengan ikan jantan normal (XY). (*diduga induk betina fungsional (XY) hasil feminisasi, memenuhi asumsi dengan selang kepercayaan 95%) Hasil pemijahan untuk uji progeni terhadap 15 ekor induk betina hasil feminisasi menunjukkan bahwa telur yang dihasilkan adalah 6-76 butir, tingkat pembuahan 82,61-100%, tingkat penetasan 71,11-83,32% dan tingkat kelangsungan hidup di akhir penelitian 46,67-80,00% (Tabel 3).

24 13 Tabel 3 Hasil pemijahan pada uji progeni ikan I. werneri Dosis estradiol-17β No Telur Tingkat (µg/l) + lama Induk (butir) pembuahan (%) perendaman (jam) Tingkat penetasan (%) Tingkat kelangsungan hidup (%) Pembahasan Diferensiasi kelamin pada ikan belum bersifat permanen pada fase perkembangan awal saat embrio atau larva (Arfah & Carman 2008). Fase awal pada proses diferensiasi kelamin dapat diamati dengan mendeteksi perkembangan Primordial Germ Cell (PGC) yang merupakan sel bakal gonad. Dari sel tersebut secara normal arahan dari gen-gen penentu jenis kelamin akan dibentuk gonad untuk individu yang memiliki kromosom (XX) dan individu yang memiliki kromosom (XY). Pada ikan channel catfish fase diferensiasi terjadi pada hari ke-22 setelah menetas yang pada saat itu PGC dapat dideteksi dengan metode histologis (Patino et al. 1996). Faktor genetik dan lingkungan adalah faktor penentu jenis kelamin pada ikan. Kromosom merupakan faktor genetis yang menentukan jenis kelamin suatu individu (Yatim 1983). Pada awal perkembangan embrio, faktor genetis lebih banyak berperan dalam menentukan arah perkembangan organ primer yaitu testis atau ovari, selanjutnya sel-sel gonad yang telah diarahkan tersebut akan menghasilkan hormon-hormon kelamin dengan gamet sesuai dengan kelamin yang ditentukan (Arfah & Carman 2008). Hormon-hormon kelamin tersebut akan mengatur kelanjutan dari proses diferensiasi (Yatim 1983). Semua vertebrata memiliki sel-sel yang akan terdiferensiasi menjadi testis atau ovari yaitu germ cell (PGC). Pada kebanyakan hewan, sel ini akan terdiferensiasi menjadi; bagian medulla sebagai bakal testis dan bagian korteks luar sebagai bakal ovari. Menurut Matty (1985), sel-sel bakal gonad tersebut dapat dirangsang untuk membentuk testis atau ovari yang definitif melalui manipulasi hormonal, sedangkan menurut Strussman dan Patino (1995), sel-sel tersebut dapat dirangsang juga dengan manipulasi temperatur. Secara fisiologis, jenis kelamin ikan dapat diubah dengan hormon steroid. Hormon tersebut pertama kali akan merangsang fenomena reproduksi yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku kawin

25 (Yamazaki 1983). Proses ini hanya akan berpengaruh terhadap fenotipe jenis kelamin dan tidak pada genotipenya atau gonosomnya. Perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada awal pertumbuhan gonad belum terdiferensiasi menjadi testis atau ovari dengan menggunakan hormon steroid sintesis (Hunter & Donaldson 1983). Penelitian ini menunjukkan bahwa feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β dengan cara perendaman pada embrio stadia bintik mampu meningkatkan jumlah persentase individu betina dari 75,51-77,73% menjadi 77,78-92,22%, dengan peluang mendapatkan betina fungsional sebanyak 1,63-20,50%. Hasil ini menunjukkan bahwa feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β dengan cara perendaman menunjukkan efektivitas yang relatif sama dengan metode oral seperti yang dilakukan oleh Carvalho et al. (2014) pada ikan Centropomus undecimalis dengan persentase betina tertinggi 90% dan Subagja et al. (2007) pada ikan Osteochilus hasselti dengan persentase betina tertinggi 94% yang menggunakan metode perendaman pada stadia yang sama. Tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan cara perendaman yang dilakukan secara kontinyu selama 6 minggu dengan menggunakan dosis yang lebih rendah (dosis µg/l) seperti dilaporkan oleh Uma (2014) yang menggunakan ikan Gymnocorymbus ternetzi yang mampu meningkatkan persentase betina 33-44%. Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis estradiol-17β dari dosis 200 µg/l ke dosis 400 µg/l dapat meningkatkan persentase betina I. werneri, akan tetapi peningkatan dosis estradiol-17β dari dosis 400 µg/l ke dosis 600 µg/l menyebabkan penurunan persentase betina. Hasil ini mengindikasikan adanya hubungan parabolik antara penggunaan dosis estradiol dengan persentase betina yang dihasilkan dengan puncak tertinggi pada dosis 400 µg/l. Pola hubungan seperti ini relatif sering dijumpai dalam riset sex reversal sebagaimana yang dilaporkan oleh Wang et al. (2008) yang menyatakan bahwa pemberian dosis hormon estradiol-17β yang berlebihan pada ikan Lepomis macrchirus dapat menurunkan persentase betina. Hasil serupa terjadi pada feminisasi ikan cupang menggunakan hormon estradiol-17β dosis 400 µg/l selama 6, 12, 18 dan 24 jam yang menunjukkan puncak perendaman yang efektif pada perlakuan perendaman 12 jam (Purwati et al., 2004). Walaupun tidak ditemukan adanya interaksi antara faktor dosis hormon estradiol-17β dengan faktor lamanya perendaman, pengaruh lama perendaman terhadap persentase betina cenderung menunjukkan hubungan parabolik yang sama; puncaknya ditunjukkan pada lama perendaman 12 jam. Fenomena hubungan parabolik antara kedua faktor perlakuan feminisasi dengan persentase betina yang dihasilkan diduga berkaitan erat dengan efek paradoksial yang menyebabkan pengaruh kontra produktif dengan target jenis kelamin yang diharapkan (Sakdiah et al., 2003), di samping perlakuan perendaman hormon yang terlalu lama menyebabkan organ tubuh rusak sehingga proses metabolisme di dalam tubuh ikan tidak berjalan normal (Wihardi et al., 2014). Pada penelitian sex reversal baik feminisasi maupun maskulinisasi umumnya ditemukan adanya individu hermaprodit atau intersex, seperti pada ikan Misgurnus mizolepis yang direndam pada dosis yang lebih rendah ( µg/l) menghasilkan 0,7-4,7% individu intersex (Jo et al., 1997), akan tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya individu intersex, hasil yang sama juga dilaporkan oleh Solar II et al. (1994) pada ikan Chinook salmon yang direndam di dalam 400 µg/l hormon estradiol-17β. Feminisasi pada ikan I. werneri menggunakan hormon estradiol-17β dengan dosis µg/l dan lama perendaman 6-18 jam tidak berpengaruh terhadap

26 tingkat penetasan, hal menunjukkan bahwa pada kisaran dosis dan lama perendaman tersebut, perlakuan feminisasi tidak menimbulkan efek negatif yang dapat menggangu proses embriogenesis dan penetasan. Hasil yang relatif sama ditemui pada penelitian Subagja et al. (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda toksisitas terhadap pemberian hormon estradiol-17β sehingga tidak memberikan perbedaan terhadap tingkat penetasan (93,97-96,57%) pada ikan Osteochilus hasselti yang direndam dalam hormon estradiol-17β dosis µg/l dan lama perendaman 8-12 jam. Tappin (2011) menyatakan bahwa pada habitat alaminya pemijahan ikan pelangi dapat berlangsung dengan tingkat keberhasilan pembuahan umumnya sekitar 70-80%, sedangkan daya tetas telur dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kualitas telur, media penetasan, dan kualitas air yang meliputi suhu, ph (Alamsyah et al., 2013) tekanan osmotik, cahaya, oksigen (Burmansyah et al., 2013), jenis ikan, ukuran telur, ikan predator (Heltonika, 2014), serta faktor intrinsik embrio (Said & Mayasari, 2010). Secara umum tingkat penetasan telur yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan nilai pada kisaran yang normal Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan lama perendaman 6 jam menunjukkan nilai tertinggi di semua level dosis yang diuji dan berbeda nyata dengan perlakuan lama perendaman 12 dan 18 jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman cenderung menurunkan tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri. Dengan mempertimbangkan data penetasan dan tingkat kelangsungan hidup pada penelitian ini, diduga bahwa efek negatif dari perlakuan perendaman hormon estradiol-17β baru nampak pada masa pemeliharaan yang menunjukkan semakin lama waktu perendaman menyebabkan semakin tinggi mortalitasnya. Hasil serupa terjadi pada feminisasi ikan cupang, Purwati et al. (2004) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan umur 2 minggu cenderung menurun dengan meningkatnya lama waktu perendaman yaitu 42,7-80,4% dan terus menurun pada akhir pemeliharaan (umur 3 bulan) yaitu 31,0-44,8%. Pada penelitian ini perbedaan faktor dosis hormon estradiol-17β µg/l tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup ikan I. werneri dan kisaran dosis hampir sama dibandingkan dengan yang digunakan pada ikan pada ikan Chinook salmon (dosis 400 µg/l) dengan menggunakan metode yang sama (perendaman) yaitu sebesar 83.2% (Weithermer & Barnum, 1984). Uji progeni atau uji keturunan adalah teknik verifikasi berdasarkan karakteristik keturunan hasil pemijahan ikan uji (Hanif et al. 2006). Uji progeni ini bertujuan untuk memverifikasi induk betina fungsional (XY). Hasil uji progeni berdasarkan tingkat pembuahan dan penetasan pada ikan I. werneri menunjukkan keragaan pemijahan yang relatif tinggi (Tabel 3) dan menunjukkan bahwa ikan betina hasil sex reversal mampu menghasilkan keturunan. Dari 15 ekor induk betina yang dipijahkan berpasangan dengan ikan jantan, 6 di antaranya diduga ikan betina fungsional (XY). Hal ini berdasarkan jumlah jantan yang dihasilkan yaitu 50-75% (Lampiran 9). Hasil uji progeni ini membuktikan bahwa feminisasi yang dilakukan berhasil mendapatkan ikan betina fungsional. Hanif et al. (2006) melaporkan hasil uji progeni yang dilakukan pada ikan Oreochromis niloticus terhadap 47 ekor induk, 41 ekor induk berhasil memijah dan menghasilkan keturunan dan ada 5 ekor induk yang diduga induk betina fungsional yang menghasilkan keturunan berjenis kelamin jantan mencapai 70%. Berdasarkan hasil tertinggi pada persentase betina sebesar 87,78-92,22% pada perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l dengan lama perendaman masing 6 dan 12 15

27 jam dan kelangsungan hidup tertinggi sebesar 67,75% pada perlakuan dosis 400 µg/l dengan lama perendaman 6 jam, menunjukkan bahwa feminisasi pada I. werneri melalui perendaman embrio pada stadia bintik mata dengan dosis 400 µg/l yang direndam selama 6 jam memberikan hasil yang baik. Perlakuan tersebut berpeluang untuk menghasilkan betina fungsional 20,50%. 4 SIMPULAN Feminisasi ikan I. werneri melalui perendaman hormon estradiol-17β dengan dosis 400 µg/l selama 6 jam pada embrio stadia bintik mata merupakan perlakuan optimum yang dapat menghasilkan persentase betina sebesar 87,78% dan kelangsungan hidup 67,75% dengan peluang menghasilkan betina fungsional sebanyak 20,50%. Hasil uji progeni menunjukkan 40% induk betina yang diuji diduga ikan betina fungsional. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah S, Sara L, Mustafa A Studi Biologi Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus areolatus) pada musim tangkap. Jurnal Mina Laut. 1: Allen GR, Unmack PJ, Hadiaty RK Two new species of rainbowfishes (Melanotaenia: Melanotaeniidae) from Western New Guinea (Papua Barat Province, Indonesia). Aquaculture International Journal of Ichthyology. 14: Arfah H, Alimuddin, Sumantadinata K, Ekasari J Seks reversal pada ikan Tetra congo stadia larva. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1: Arfah H, Carman O Manipulasi hormon dan suhu untuk produksi jantan homogametik (xx) dalam rangka pengembangan budidaya monoseks betina ikan patin Pangasianodon hypophthalmus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7: Arslan T, Phelps RP, Osborne JA Effects of estradiol-17β or 17αmethyltestosterone administration on gonadal differentiation of largemouth bass Micropterus salmoides(lacepède). Aquaculture Research. 40: Baker IJ, Solar II, Donaldson EM Masculinization of Chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) by immersion treatment using 17- methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: Burmansyah, Muslim, Fitrani M Pemijahan ikan Betok (Anabas testudineus) semi alami dengan sex ratio berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1). Carman O, Satrawibawa S, Alimuddin, Peningkatan kualitas genetik produksi jantan super pada ikan nila merah (Oreochromis niloticus) secara masal dalam rangka peningkatan efisiensi produksi. Laporan riset unggulan terpadu IV. Jakarta : Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional.

28 Carvalho CVA, Passini G, Costa WM, Vieira BN, Cerqueira VR Effect of estradiol-17β on the sex ratio, growth and survival of juvenile common snook (Centropomus undecimalis). Acta Scientiarum. 36: Goetz FW, Donaldson EM, Hunter GA, Dye HM Effect of estradiol-17β and 17α-methyltestosteron on gonadal differentiation in the coho salmon (Oncorhynchus kisutch). Aquaculture. 17: Hanif S, Yuniati T, Junaedi D Teknik produksi induk jantan YY ikan nila (Oreochromis niloticus). BBPBAT Sukabumi. Seminar Indoaqua Jakarta 3-6 Agustus. 19p. Heltonika B Pengaruh salinitas terhadap penetasan telur ikan jambal siam (Pangasius hypohthalmus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2: Hunter JE, Donaldson EM Hormonal sex control and its application to fish culture. In Fish Physiology (W.S. Hoar, D.J. Randal and E.M. Donaldson, Eds.), vol IX. Academic Press. New York. 304 p. Jo JY, Kim CG, Kim DS Sex reversal in Mud Loach Misgurnus mizolepis by immersion. Department of Aquaculture, National Fisheries University of Pusan. South Korea. 5p. Kadarusman, Sudarto, Paradis E, Pouyaud L Description of Melanotaenia fasinensis, a new species of rainbowfish (Melanotaeniidae) from West Papua, Indonesia with comments on the rediscovery of M. ajamaruensis and the endangered status of M. parva. Cybium. 34: Kurniasih T, Arifin OZ, Marizal Feminisasi nila (Gift), Oreochromis niloticus sp. menggunakan hormon estradiol-17β. Jurnal Perikanan. 8: Mair GC, Abucay JS, Skibinski DOF, Abella TA, Beardmore JA Genetic manipulation of sex ratio for the large-scale production of all-male tilapia. Oreochromis niloticus. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 54: Matty A Fish endocrinology. Croom Helm. London and Sydney. 259p Nugraha Keragaman genetik filogeni dan konservasi ikan pelangi (Melanotaeniidae) dari Papua Barat dan prospeknya sebagai komoditas baru ikan hias. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pandian TJ, Shella SG Hormonal induction of sex reversal in fish. Aquaculture. 138: Park I, Kim J, Cho SH, Kim DS Sex differentiation and hormonal sex reversal in the bagrid catfish Pseudobagrus fulvidraco (Richardson). Aquaculture. 232: Patino R, Davis KB, Schoore JE, Uguz, Strussman CA, Parker NC, Simco BA, Goudie CA Sex differentiation of channel catfish Ictalurus punctatus. Aquaculture. 8:81-93 Piferre F, Donaldson EM Dosage dependent differences in the effect of aromatizable and non aromatizable androgen on the resulting phenotype of coho salmon (Oncorhynchus kisutch). Fish Physiology and Biochemistry 9: Pongthana N, Penman DJ, Baoprasertkul P, Hussain MG, Shahidul MI, Powell SF, McAndrew BJ Monosex female production on the silver barb (Puntius gonionotus Bleeker). Aquaculture. 173: Purwati S, Carman O, Zairin MJ Feminisasi ikan betta (Betta splendens, Regan) melalui perendaman embrio dalam larutan hormon Estradiol-17β 17

29 dengan dosis 400 mg/1 selama 6,12,18 dan 24 jam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 3: Said MS, Mayasari N Pertumbuhan dan pola reproduksi ikan bada Rasbora argyrotaenia pada rasio kelamin yang berbeda. Limnotek. 17: Sakdiah M, Carman O, Zairin MJ Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon triiodotironin terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 2: 1-6. Sollar II, Donaldson EM, Charles J The effect of three estrogens on the direct feminization of Chinook Salmon (Oncorhychus tshawytscha). Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences. Strussman CA, Patino R Temperature Manipulation of Sex Differentiation in Fish. In: F. W. Goetz and P. Thomas (Eds.), Proceedings of the Fifth International Symposium on the Reproductive Physiology of the Fish. Texas. Strussman CA, Takashima F, Toda K Sex differentiation and hormonal feminization in pejerrey (Odontesthes bonariensis). Aquaculture 139: Subagja.J, Gustiano R, Winarlin Pelestarian Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V) melalui teknologi pembenihannya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumberdaya Genetik Di Indonesia pdf?secure=1. [2 Desember 2015] Sutaman Pengaruh dosis dan lama waktu perendaman larva udang windu (Penaeus monodon Fab.) pada stadia nauplius dalam larutan hormon estradiol-17b terhadap nisbah kelamin dan pertumbuhannya. [Tesis] Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor. Bogor Sutrisno E Pengaruh lama waktu pemberian hormon Estradiol-17β secara oral terhadap nisbah kelamin ikan nila merah (Oreochromis niloticus). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tan-Fermin ID, Garcia LMB, Castillo JAR Induction of sex inversion in juvenile grouper, Epinephelus suillus (Valenciennes) by injections of 17- methyltestosterone. Japanese Journal of Ichthyology, 40: Tappin AR Rainbow fisher-their care & keeping in captivity. Art Publication. 484 p. Uma B Hormonal sex reversal in Gymnocorymbus ternetzi (Boulenger) using continuous immersion of estradiol-17β for feminization. Indian Journal of Applied Research. 4: Wang H, Gao Z, Beres B, Ottobre J, Wallat G, Tiu L, Rapp D, O Bryant P, Yao H Effects of estradiol-17β on survival, growth performance, sex reversal and gonadal structure of bluegill sunfish Lepomis macrochirus. Aquaculture. 285: Weithermer AC, Barnum J Use of Estradiol and Methyltestosterone to Change Sex Ratios of Chinook salmon. Northwest and Alaska Fisheries Center Auke Bay Laboratory. National Marine Fisheries Service. Alaska. Wihardi Y, Yusanti IA & Haris RBK Feminisasi pada ikan mas (Cyprinus carpio) dengan perendaman ekstrak daun-tangkai buah terung cepoka (Solanum torvum) pada lama waktu perendaman berbeda. Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. 9 (1).

30 Yamazaki F Sex control and manipulation in fish. Aquaculture 33: Yatim W Genetika. Edisi 11. Tarsito. Bandung. 397p. Zairin M Seks Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta. 96p. 19

31 LAMPIRAN Lampiran 1 Gambar Ikan Iriatherina werneri jantan (a) dan betina (b) a b Sumber:Bernd Jung 2007 Lampiran 2 Tabel perendaman dengan hormon estradiol-17β pada beberapa spesies ikan Spesies Dosis Hormon hormon estradiol-17β (µg/l) Lama Perendaman (jam) Betina (%) Oncorhynchus tshawytscha a Betta splendens b Oncorhynchus kisutch c Oncorhynchus tshawytscha c Oncorhynchus kisutch d a Solar II et al. (1994).; b Purwati et al. (2004).; c Hunter & Donaldson (1983).; d Goetz et al. (1979). Lampiran 3 Tabel hasil pemijahan ikan I. werneri Hari ke - Jumlah telur (butir) Tingkat Pembuahan (%) Rata-rata jumlah telur per induk per hari (butir) Jumlah 7368

S. Purwati, O. Carman & M. Zairin Jr.

S. Purwati, O. Carman & M. Zairin Jr. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(3): 9-13 (2004) FEMINISASI IKAN BETTA (Betta splendens REGAN) MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM LARUTAN HORMON ES TRADIOL-17β DENGAN DOSIS 400 µg/1 SELAMA 6,12,18 DAN 24 JAM

Lebih terperinci

H. Arfah dan O. Carman. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680

H. Arfah dan O. Carman. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(1): 33 38 (2008) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 33 MANIPULASI HORMON DAN SUHU UNTUK PRODUKSI JANTAN HOMOGAMETIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

ikan pelangi Iriatherina werneri (Meiken, 1974) dengan hormon estradiol-17β

ikan pelangi Iriatherina werneri (Meiken, 1974) dengan hormon estradiol-17β Jurnal Iktiologi Indonesia 16(3): 269-278 ikan pelangi Iriatherina werneri (Meiken, 1974) dengan hormon estradiol-17β [Feminization of raibow Iriatherina werneri (Meiken, 1974) using estradiol-17β hormone]

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila 6 TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam family Chiclidae. Ciri yang spesifik pada ikan nila adalah adanya garis vertikal berwarna gelap di tubuh berjumlah 6-9 buah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lebih terperinci

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN :

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN : Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN : 2303-2960 MASKULINISASI IKAN GAPI (Poecilia reticulata) MELALUI PERENDAMAN INDUK BUNTING DALAM LARUTAN MADU DENGAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA Masculinitation

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

The Effect of Sex Reversal Using 17 α-metiltestosteron Hormones Toward The Color Intensity of Male XX and Male XY of Figting Fish (Betta sp.

The Effect of Sex Reversal Using 17 α-metiltestosteron Hormones Toward The Color Intensity of Male XX and Male XY of Figting Fish (Betta sp. AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) The Effect of Sex Reversal Using 17 α-metiltestosteron Hormones Toward The Color Intensity of Male XX and Male XY of Figting Fish (Betta sp.) Muhammad

Lebih terperinci

BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi 2004

BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi 2004 BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN ADI SUCIPTO Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi 2004 Latar Belakang Ikan Nila merupakan komoditas lokal dan expor Ukuran pasar dapat dicapai bila pembesaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata Peters)

EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata Peters) Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 155 160 (2007) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 155 EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI

Lebih terperinci

SEKS REVERSAL PADA IKAN TETRA KONGO STADIA LARVA Sex Reversal on Congo Tetra Fish (Micraleptus intterruptus ) Larvae

SEKS REVERSAL PADA IKAN TETRA KONGO STADIA LARVA Sex Reversal on Congo Tetra Fish (Micraleptus intterruptus ) Larvae Sex Jurnal Reversal Akuakultur pada Indonesia, Ikan Tetra (): Kongo 69 () Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 69 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id SEKS REVERSAL PADA IKAN TETRA

Lebih terperinci

PERFORMA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HASIL SEX REVERSAL, GENETICALLY MALE DAN YY PADA FASE PENDEDERAN PERTAMA

PERFORMA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HASIL SEX REVERSAL, GENETICALLY MALE DAN YY PADA FASE PENDEDERAN PERTAMA Performa ikan nila (Oreochromis niloticus) hasil sex reversal... (Odang Carman) PERFORMA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HASIL SEX REVERSAL, GENETICALLY MALE DAN YY PADA FASE PENDEDERAN PERTAMA Odang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)

Lebih terperinci

Pengaruh perendaman dosis hormon methyl testosteron berbeda terhadap sintasan hidup dan pertumbuhan larva ikan nila, Oreochromis niloticus

Pengaruh perendaman dosis hormon methyl testosteron berbeda terhadap sintasan hidup dan pertumbuhan larva ikan nila, Oreochromis niloticus Pengaruh perendaman dosis hormon methyl testosteron berbeda terhadap sintasan hidup dan pertumbuhan larva ikan nila, Oreochromis niloticus (The effect of immersion in different doses of methyl testosteron

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan guppy (Poecillia reticulata) merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy diantaranya

Lebih terperinci

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA. T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA. T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso Abstrak Dalam rangka memenuhi kebutuhan induk betina sebagai pasangan dari induk jantan YY, maka diperlukan suatu teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak diminati oleh semua kalangan masyarakat. Dapat dikatakan lebih lanjut

I. PENDAHULUAN. banyak diminati oleh semua kalangan masyarakat. Dapat dikatakan lebih lanjut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar sebagai salah satu negara penghasil ikan hias terbesar di dunia. Saat ini permintaan ikan hias tidak hanya berasal

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹

PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹ PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹ ¹Dosen Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan upaya tersebut sudah umum dilakukan dalam

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C14101048 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data

I. PENDAHULUAN. Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data profil pembudidaya di tingkat internasional, Indonesia baru dapat memenuhi pangsa pasar ikan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (1): ISSN: FEMINISASI NILA (GIFT), Oreochromis sp. MENGGUNAKAN HORMON ESTRADIOL 17-β

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) VIII (1): ISSN: FEMINISASI NILA (GIFT), Oreochromis sp. MENGGUNAKAN HORMON ESTRADIOL 17-β 74 Full Paper Abstract FEMINISASI NILA (GIFT), Oreochromis sp. MENGGUNAKAN HORMON ESTRADIOL 17-β FEMINIZATION OF NILE (GIFT), Oreochromis sp. USING ESTRADIOL 17-β Titin Kurniasih *) ), Otong Zenal Arifin

Lebih terperinci

BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN DI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR (BBAT) SUKABUMI ABSTRAK

BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN DI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR (BBAT) SUKABUMI ABSTRAK BREEDING PROGRAM PRODUKSI NILA KELAMIN JANTAN DI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR (BBAT) SUKABUMI Oleh: Adi Sucipto, Sofi Hanif, Didi Junaedi, Tristiana Yuniarti ABSTRAK Secara genotipe, pola gonosom ikan nila

Lebih terperinci

Lama Waktu Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta splendens) yang Berumur 5 Hari dengan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Keberhasilan Monosex Jantan

Lama Waktu Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta splendens) yang Berumur 5 Hari dengan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Lama Waktu Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta splendens) yang Berumur 5 Hari dengan Hormon 17α-Metiltestosteron terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Prama Hartami, Asyraf dan Muhammad Hatta Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS LAMA PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG

EFEKTIVITAS LAMA PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG EFEKTIVITAS LAMA PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG Pimpinella alpina TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN JANTAN IKAN PELANGI Iriatherina werneri SOFIA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Alih kelamin jantan ikan nila menggunakan 17α-metiltestosteron melalui pakan dan peningkatan suhu

Alih kelamin jantan ikan nila menggunakan 17α-metiltestosteron melalui pakan dan peningkatan suhu Jurnal Akuakultur Indonesia 14 (2), 159 163 (2015) Artikel Orisinal Alih kelamin jantan ikan nila menggunakan 17α-metiltestosteron melalui pakan dan peningkatan suhu Sex reversal of red tilapia using 17α-methyltestosterone-enriched

Lebih terperinci

UJI KETURUNAN JANTAN HASIL PENGALIHAN KELAMIN PADA IKAN NILEM (Osteochilus hasselti C.V)

UJI KETURUNAN JANTAN HASIL PENGALIHAN KELAMIN PADA IKAN NILEM (Osteochilus hasselti C.V) UJI KETURUNAN JANTAN HASIL PENGALIHAN KELAMIN PADA IKAN NILEM (Osteochilus hasselti C.V) Jojo Subagja 1 dan Rydhy Gustiano 1 1 Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Alamat: Jl. Sempur 1, Bogor, Tlp.0251-831320.

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS AKRIFLAVIN YANG DIBERIKAN SECARA ORAL KEPADA LARVA IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) TERHADAP NISBAH KELAMINNYA

PENGARUH DOSIS AKRIFLAVIN YANG DIBERIKAN SECARA ORAL KEPADA LARVA IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) TERHADAP NISBAH KELAMINNYA Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 131 17 (2005) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 131 PENGARUH DOSIS AKRIFLAVIN YANG DIBERIKAN SECARA ORAL

Lebih terperinci

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) 1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),

Lebih terperinci

SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENGGUNAKAN AROMATASE INHIBITOR

SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENGGUNAKAN AROMATASE INHIBITOR Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(1): 103 108 (2007) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id Bulan Ke-2 SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.)

Lebih terperinci

Kejutan suhu pada penetasan telur dan sintasan hidup larva ikan lele. Clarias gariepinus)

Kejutan suhu pada penetasan telur dan sintasan hidup larva ikan lele. Clarias gariepinus) Kejutan suhu pada penetasan telur dan sintasan hidup larva ikan lele (Clarias gariepinus) (Temperature shock on egg hatching and survival rate of catfish larvae, Clarias gariepinus) Christo V. S. Aer 1,

Lebih terperinci

PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 40 DAN 60 EKOR/LITER DALAM SISTEM RESIRKULASI

PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 40 DAN 60 EKOR/LITER DALAM SISTEM RESIRKULASI Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 211 215 (2007) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 211 PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan

Lebih terperinci

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 103 108 (2005) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 103 PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU 110302072 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun

I. PENDAHULUAN. Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun karena memiliki daya tarik yang sangat kuat, salah satu jenisnya adalah lobster air tawar (Cherax

Lebih terperinci

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin Pengaruh Jurnal Akuakultur Tiroksin Indonesia, terhadap Larva 1(1): Ikan 21 25(2002) Gurami Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 21 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH UMUR

Lebih terperinci

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 25 3 (25) 25 Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA POTENSI : - daya adaptasi tinggi (tawar-payau-laut) - tahan terhadap perubahan lingkungan - bersifat omnivora - mampu mencerna pakan secara efisien

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh :

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : FIRMAN HIKMAWAN C14103067 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Budidaya Perairan

Lebih terperinci

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP)

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) 1. Mata Kuliah : Genetika dan Pemuliaan Ikan 2. Kode / bobot : PKB 363/ 3 SKS 3. Deskripsi Singkat : Genetika dan Pemuliaan Ikan merupakan mata kuliah dasar yang

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI OLEH : DWI AULIA ALWI 100302071 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TAHAP VERIFIKASI JANTAN FUNGSIONAL (XX)

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TAHAP VERIFIKASI JANTAN FUNGSIONAL (XX) Jurnal Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1, 2009, 38-43 TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TAHAP VERIFIKASI JANTAN FUNGSIONAL (XX) Production Technique of Female Tilapia (Oreochromis

Lebih terperinci

Yunus Ayer*, Joppy Mudeng**, Hengky Sinjal**

Yunus Ayer*, Joppy Mudeng**, Hengky Sinjal** Daya Tetas Telur dan Sintasan Larva Dari Hasil Penambahan Madu pada Bahan Pengencer Sperma Ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Egg Hatching Rate and Survival of Larvae produced from Supplementation of Honey

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA (Oreochromis niloticus) 567 Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi... (Didik Ariyanto) EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA (Oreochromis niloticus) ABSTRAK Didik Ariyanto

Lebih terperinci

KERAGAAN PERTUMBUHAN IKAN NILEM BETINA ALL FEMALE HASIL PERSIL ANGAN JANTAN FUNGSIONAL DENGAN BETINA NORMAL

KERAGAAN PERTUMBUHAN IKAN NILEM BETINA ALL FEMALE HASIL PERSIL ANGAN JANTAN FUNGSIONAL DENGAN BETINA NORMAL 1171 Keragaan pertumbuhan ikan nilem betina... (Jojo Subagja) KERAGAAN PERTUMBUHAN IKAN NILEM BETINA ALL FEMALE HASIL PERSIL ANGAN JANTAN FUNGSIONAL DENGAN BETINA NORMAL ABSTRAK Jojo Subagja, Lies Setijaningsih,

Lebih terperinci

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

Dukungan kelestarian keanekaragaman melalui produksi larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) pada ukuran induk berbeda

Dukungan kelestarian keanekaragaman melalui produksi larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) pada ukuran induk berbeda PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume, Nomor, Agustus 0 ISSN: 7-800 Halaman: 7- DOI: 0.07/psnmbi/m00 Dukungan kelestarian keanekaragaman melalui produksi larva ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva)

Lebih terperinci

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS MADU LEBAH TERHADAP JANTANISASI (SEX REVERSAL) LARVA IKAN CUPANG (Betta splendens, Blkr)

EFEKTIFITAS MADU LEBAH TERHADAP JANTANISASI (SEX REVERSAL) LARVA IKAN CUPANG (Betta splendens, Blkr) EFEKTIFITAS MADU LEBAH TERHADAP JANTANISASI (SEX REVERSAL) LARVA IKAN CUPANG (Betta splendens, Blkr) Oktarianto 1, Azrita 2 dan Dahnil Aswad 3 E-mail : oktarianto75@yahoo.com 1 Mahasiswa Jurusan Budidaya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian maskulinisasi ikan nila dengan perendaman dalam ekstrak purwoceng diperoleh data utama berupa data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan.

Lebih terperinci

M. Zairin Jr., A. Yunianti, R.R.S.P.S. Dewi, dan K. Sumantadinata

M. Zairin Jr., A. Yunianti, R.R.S.P.S. Dewi, dan K. Sumantadinata Pengaruh Jurnal Akuakultur Metiltestosteron Indonesia, terhadap (): 5(2002) Ikan Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH LAMA WAKTU PERY.NDAMAN

Lebih terperinci

HASIL DAN BAHASAN. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai akhir tahap pendederan.

HASIL DAN BAHASAN. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai akhir tahap pendederan. 20 HASIL DAN BAHASAN Hasil penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah hasil percobaan tahap 1 meliputi nisbah kelamin, bobot individu dan sintasan benih ikan nila sampai umur 95 hari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan

Lebih terperinci

Pengaruh Fluktuasi Suhu Air Terhadap Daya Tetas Telur dan Kelulushidupan Larva Gurami (Osphronemus goramy)

Pengaruh Fluktuasi Suhu Air Terhadap Daya Tetas Telur dan Kelulushidupan Larva Gurami (Osphronemus goramy) Aquacultura Indonesiana (2008) 9 (1) : 55 60 ISSN 0216 0749 (Terakreditasi SK Nomor : 55/DIKTI/Kep/2005) Pengaruh Fluktuasi Suhu Air Terhadap Daya Tetas Telur dan Kelulushidupan Larva Gurami (Osphronemus

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor (16680), Indonesia ABSTRACT

Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor (16680), Indonesia ABSTRACT Jurnal Pengaruh Akuakultur Hormon Indonesia, Triiodotironin 2(1): 1 6 terhadap (23) Larva Ikan Gurame Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 1 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH

Lebih terperinci

THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV)

THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV) THE EFFECT OF IMPLANTATION ESTRADIOL-17β FOR FERTILITY, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE OF GREEN CATFISH (Mystus nemurus CV) BY FITRIA RONAULI SIHITE 1, NETTI ARYANI 2, SUKENDI 2) ABSTRACT The research

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SUHU DAN DOSIS PROPOLIS YANG BERBEDA TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GUPPY (Poecilia reticulata)

PENGGUNAAN SUHU DAN DOSIS PROPOLIS YANG BERBEDA TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GUPPY (Poecilia reticulata) e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume I No 1 Oktober 2012 ISSN: 2302-3600 PENGGUNAAN SUHU DAN DOSIS PROPOLIS YANG BERBEDA TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GUPPY (Poecilia reticulata) EFFECTS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Kegiatan penelitian berupa percobaan di laboratorium yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi 56 Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 56 60 (2010) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) termasuk kedalam salah satu komoditas budidaya yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan bahwa ikan nilem

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di laboratorium penelitian Biologi Akuatik Gedung MIPA Terpadu Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Pematangan Gonad di kolam tanah

Pematangan Gonad di kolam tanah Budidaya ikan patin (Pangasius hypopthalmus) mulai berkemang pada tahun 1985. Tidak seperti ikan mas dan ikan nila, pembenihan Patin Siam agak sulit. Karena ikan ini tidak bisa memijah secara alami. Pemijahan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TESTIS SAPI DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP KEBERHASILAN JANTANISASI PADA IKAN CUPANG (Betta sp.)

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TESTIS SAPI DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP KEBERHASILAN JANTANISASI PADA IKAN CUPANG (Betta sp.) PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TESTIS SAPI DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP KEBERHASILAN JANTANISASI PADA IKAN CUPANG (Betta sp.) Effect of Cow Testicle Flour with Different Doses of the Masculinization Success

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN :

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : UJI AKTIVITAS EKSTRAK TERIPANG PASIR YANG TELAH DIFORMULASIKAN TERHADAP KEMAMPUAN SEX REVERSAL DAN KELANGSUNGAN HIDUP UDANG GALAH (Macrobrachium rosembergii) Haryo Triajie Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.4-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1

Lebih terperinci

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus.

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus. e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 2 Februari 2015 ISSN: 2302-3600 PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BERHORMON 17a-METILTESTOSTERON PADA DOSIS 30, 40, DAN 50 mg/kg PAKAN TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN LUO HAN (Cichlasoma spp.

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BERHORMON 17a-METILTESTOSTERON PADA DOSIS 30, 40, DAN 50 mg/kg PAKAN TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN LUO HAN (Cichlasoma spp. PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BERHORMON 17a-METILTESTOSTERON PADA DOSIS 30, 40, DAN 50 mg/kg PAKAN TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN LUO HAN (Cichlasoma spp.) Oleh : M. Fauzan Adam C01400049 SKRIPSI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PERGANTIAN PAKAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN PANJANG LARVA IKAN SEPAT COLISA (Trichogaster lalius)

PERGANTIAN PAKAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN PANJANG LARVA IKAN SEPAT COLISA (Trichogaster lalius) PERGANTIAN PAKAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN PANJANG LARVA IKAN SEPAT COLISA (Trichogaster lalius) Arli 1, Yuneidi Basri 2, Mas Eriza 2 E-mail : aarnye@ymail.com 1 Mahasiswa Jurusan Budidaya

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 PEMBENIHAN : SEGALA KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM PEMATANGAN GONAD, PEMIJAHAN BUATAN DAN PEMBESARAN LARVA HASIL PENETASAN SEHINGGA MENGHASILAKAN BENIH YANG SIAP DITEBAR DI KOLAM, KERAMBA ATAU DI RESTOCKING

Lebih terperinci

NISBAH KELAMIN IKAN PELANGI Iriatherina werneri PADA PERBEDAAN SUHU PEMELIHARAAN WULAN NURINDAH RAKHMAWATI

NISBAH KELAMIN IKAN PELANGI Iriatherina werneri PADA PERBEDAAN SUHU PEMELIHARAAN WULAN NURINDAH RAKHMAWATI NISBAH KELAMIN IKAN PELANGI Iriatherina werneri PADA PERBEDAAN SUHU PEMELIHARAAN WULAN NURINDAH RAKHMAWATI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Percobaan ini dilakukan di Kolam Percobaan Babakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Dramaga. Percobaan dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011. 2.1.1 Persiapan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan September 2009 bertempat di Laboratorium Sistem Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen

Lebih terperinci

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(2) : (2013) ISSN :

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(2) : (2013) ISSN : Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(2) :184191 (2013) ISSN : 23032960 PERSENTASE PENETASAN TELUR IKAN BETOK (Anabas testudineus) DENGAN SUHU INKUBASI YANG BERBEDA The Hatching Of Climbing Perch Eggs (Anabas

Lebih terperinci

MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta splendens) MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina) ASEP BULKINI

MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta splendens) MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina) ASEP BULKINI MASKULINISASI IKAN CUPANG (Betta splendens) MELALUI PERENDAMAN EMBRIO DALAM EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina) ASEP BULKINI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci