BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastritis Definisi Gastritis Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung secara histopatologi. Sedangkan definisi lain dari gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas (injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik. 1,16 Mukosa lambung terdiri dari sel-sel yang memproduksi asam dan enzim. Asam dan enzim ini akan berperan dalam pencernaan makanan, sedangkan mukus berperan dalam melindungi mukosa lambung dari asam. Ketika mukosa mengalami inflamasi, maka produksi asam, enzim dan mukus akan terganggu. Sampai saat ini masih belum jelas hubungan antara gambaran mikroskopi (histopatologi) dengan keluhan pada lambung. Hubungan antara gambaran mikroskopi dengan endoskopi juga tidak konsisten. Pada kebanyakan pasien dengan gambaran gastritis pada pemeriksaan PA sering tidak meunjukkan kelainan saat endoskopi Epidemiologi Gastritis Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis. Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut: Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya. 5,7,8 Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit. 9,10 6

2 Etiologi Gastritis Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman H.pylori, gangguan fungsi sistem imun, infeksi virus seperti: enteric rotavirus, calicivirus dan cytomegalovirus, infeksi jamur seperti: candida species, histoplasma capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi nonsteroid, konsumsi alkohol, usia, stress oleh karena trauma, tindakan operatif, luka bakar, dll. 7,8 Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat penting. Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang ± 90%. Di Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan urea breath test cukup tinggi pada pasien dispepsia. 9,10 Etiologi gastritis oleh Rugge atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu : kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan gastritis autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis menjadi 3 kelompok yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik. Adapun Adibi menuliskan etiologi gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis H. pylori dan gastritis non H. pylori. 9 Sampai saat ini belum ada klasifikasi gastritis yang dapat diterima secara luas. Salah satu klasifikasi yang digunakan oleh banyak ahli adalah the Sydney System yang diperbaharui. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : 10 Tabel 2.1. Klasifikasi Gastritis kronik berdasakan topograpi, morfologi & etiologi 7

3 2.1.4 Patofisiologi Gastritis secara Umum Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor agresif dan defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor defensif. Yang termasuk faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks bilier, nikotin, alkohol, NSAID, kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal bebas. Yang termasuk faktor defensif antara lain mikrosirkulasi mukosa, sel epitel permukaan, prostaglandin, fosfolipid, mukus, bikarbonat, dan motilitas saluran pencernaan. 27 Gambar 2.1. Patofisiologi gastritis 26 Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan antara faktor agresif dan pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus gaster karena ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor pertahanan mukosa. 2.2 Gastritis H.Pylori H.pylori pertama kali ditemukan oleh Robin Warren dan Marshall pada tahun H.pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada permukaan epitel lambung yang menginfeksi sekitar 50% dari populasi umum. H.pylori bersifat mikroaerofilik, berbentuk batang melengkung, berukuran 8

4 panjang 1-3 µm dan lebar 0,3-0,6 µm serta berflagella pada satu ujung polenya. Bakteri ini memiliki adaptasi yang sangat baik pada kondisi asam. H.pylori mengekskresikan urease yang berperan dalam merubah urea menjadi amonia sehingga ph gaster meningkat. H.pylori juga dapat menghindari kontak dengan gastric juice yang bersifat asam melalui crossing lapisan tebal dari mukus dengan menggunakan flagelnya. 22 Epidemiologi H.pylori sekitar 50% populasi di dunia. Di negara barat seperti USA, prevalensi H.pylori < 30% pada usia < 30 tahun dan > 75% pada usia > 60 tahun. Di Asia, prevalensi H.pylori sangat tinggi. 22 Infeksi kronik dari H.pylori biasanya menyebabkan atrofi serta metaplasia dan juga diplasia serta ca gaster. H.pylori dapat menyebabkan ulkus peptikum (70%) dan ulkus duodeni (90%). Transmisi infeksi H.pylori melalui mulut ke mulut atau feses ke mulut. 22, Virulensi H.Pylori Kebanyakan kasus gastritis H pylori, infeksi yang terjadi merupakan asimtomatik dan manifestasi yang terjadi hanya % individu yang terinfeksi. Hal ini tergantung dari virulensi dari strain H pylori, serta respon imun terhadap bakteri ini. Perbedaan klinis dapat dijelaskan berdasarkan faktor bakteri dan respon imun yang mendasari. 26 Dua faktor virulensi yang telah terlibat dalam proses Gastritis H.pylori adalah cytotoxin-associated gene A (CagA) dan vacuolating cytotoxin A (Vaca), yang disekresikan oleh H. pylori. Kedua faktor virulensi ini polimorfik dan mempengaruhi banyak jalur. CagA dan vacuolating cytotoxin A (Vaca), juga telah terbukti mempengaruhi keadaan penyakit, dan kemungkinan faktor virulensi yang paling baik dipelajari dari H. pylori. 11 Proses pengiriman toksin seperti urease, heat shock protein (hsp) 60, arginase, neutropil-activating protein (Nap)-A, vacuolating cytotoxin (Vac)A, cytotoxin-associated antigen (Cag)A dan adesin melalui lapisan sel-sel lambung yang rusak akan mengaktifkan makrofag. Komplikasi dan gejala klinis 9

5 selanjutnya tergantung kemampuan virulensi dari strain H pylori menginduksi terjadinya perubahan morfologi, vakuolisasi dan degenerasi sel epitel lambung. 11 Saat ini makin bertambah adanya bukti-bukti mengenai pengaruh faktorfaktor CagA, VacA, alel s1m1 dan adesin A2 ( BabA2) terhadap manifestasi klinik yang dihubungkan peningkatan risiko gastritis lebih berat, atropi lambung dan/ atau kanker lambung. 11 Strain H pylori dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu strain tipe 1 dan tipe 2. Strain tipe 1 dengan CagA dan VacA (+) sedangkan tipe 2 dengan CagA (-) dan sistesis VacA yang in aktif. Dibandingkan dengan tipe 2, tipe 1 lebih berperan dalam timbulnya ulkus peptikum, radang dan kerusakan jaringan. 11 Protein Vac A diproduksi sebagai protoksin 140-kDa yang dipecah menjadi bentuk matang 95-kDa untuk disekresi. Walaupun semua strain H pylori membawa gen VacA namun aktivitasnya bervariasi. 8,11 Aktivitas protein VacA termasuk membuat lubang membran sel-sel epitel, mengganggu aktifitas endosomal dan lisosom, menghambat fungsi sitoskleton, induksi apoptosis dan mengatur imunitas. 7,8,11 Toksin VacA yang dihasilkan oleh vaca gen merangsang vakuola sitoplasmik dan peningkatan permeabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel-sel epithelial lambung. Gen vaca menunjukkan variasi alel yang signifikan pada s dan m regional. Regional s terdiri dari 2 subtipe yaitu s1 dan s2. Subtipe s1 dibagi menjadi 3 bagian yaitu s1a,s1b,s1c, sedangkan regional m terdiri dari m1 dan m2 subtipe. Kombinasi pleomorfik dari s dan m regional berpengaruh terhadap aktifitas vakuolisasi dari gen vaca. Perbedaan kombinasi genotype dari vaca menyebabkan perbedaan level patogenitas seperti s1am1 dan s1bm1 menghasilkan jumlah toksin yang sangat tinggi dan merupakan genotype yang paling virulen dibandingkan dengan s1m1 yang hanya menghasilkan virulensi yang moderate. Akan tetapi, genotype s2m1 dan s2m2 dikatakan bervirulensi rendah, hal ini didasarkan pada kemampuan untuk menghasilkan vacuola yang rendah pula. Genotipe s1am1 dan s1bm1 dilaporkan sering terjadi pada kasus akut gastritis, ulkus peptikum, dan 10

6 karsinoma lambung, sementara itu genotype s2m1 dan s2m2 hanya dijumpai pada ulkus lambung 7,20 Gen VacA pada H. Pylori memiliki genetik heterogenenicity yang signifikan, sehingga menghasilkan hasil klinis yang berbeda. Toksin VacA diberikan kode oleh gen VacA untuk menginduksi vakuola sitoplasma dan meningkatkan permeabilitas, yang mengarah ke kerusakan sel epitel lambung. 3,11,20 Sekitar 50 % dari semua strain H.Pylori mengeluarkan VacAprotein 95 -kda sangat imunogenik yang menginduksi vacuolization besar dalam sel epitel in vitro. Protein VacA berperan penting dalam pogenesis pada ulkus peptikum dan kanker lambung. 2,11 Gen CagA dengan segmen DNA 40 kb ditemukan pada salah satu ujung cytotoxin-associated gene pathogenicity island (CagPAI), tepatnya yang mengkode sistem sekresi tipe IV (T4SS). CagPAI dijumpai pada % strain H pylori di Asia. Salah satu strain spesifik yang paling penting mempengaruhi patogenesis H pylori adalah CagPAI. Protein CagA sangat imunologik dan ditemukan sekitar % dari strain H pylori. Pada perlekatan H pylori dengan sel epitel lambung, protein CagA ditranslokasi ke membrana sel-sel epitel melalui sistem sekresi tipe IV. Pada membran sel epitel, Cag A menyebabkan redistribusi protein perlekatan antar sel yang menyebabkan kebocoran sel. Selain itu, Cag A juga disebutkan dapat mengubah struktur sel lambung, sehingga membuat bakteri melekatkan diri lebih mudah. Dalam waktu panjang, toxin tersebut menyebabkan inflamasi kronis. 11,20 Pada dasarnya CagA merupakan kunci dari faktor virulensi masuknya H pylori kedalam sel host. Adanya CagA dihubungkan dengan beratnya penyakit. Bahkan, pasien kanker setidaknya dua kali lebih mungkin terinfeksi dengan strain H. pylori yang CagA positif daripada CagA negatif. 15 CagA juga dapat menimbulkan respon proinflamasi, dan mengaktifkan signal transduser dan aktivasi jalur transkripsi 3 (STAT3) yang berperan terhadap cancerogenesis pada lambung. 11 Beberapa penelitian analisisis molekular pada mrna lambung terhadap ekspresi CagA pada H pylori telah memberikan bukti lebih lanjut, bahwa infeksi dengan strain CagA (+) dikaitkan dengan peningkatan transkripsi IL8, IL-1 α & 11

7 IL-1β dibandingkan dengan infeksi CagA (-), sehingga mungkin mencerminkan respon sitokin dengan strain yang spesifik. Beberapa penelitian invitro yang menggunanakan sel epitel lambung menunjukkan bahwa respon epitelial IL-8 diamati lebih spesifik dengan strain CagA (+). 13,14 Gambar 2.2 Perbedaan Patofisiologi Cag A (+), CagA (-) pada Gastritis H pylori Patofisologi Gastritis H pylori H pylori memiliki flagela yang memungkinkan bergerak dan dapat menembus lapisan mukus epitel lambung. Selubung flagela sebagai pelindung terhadap asam lambung. Hal ini mendukung persistensi infeksi H pylori dalam lambung. Pergerakan flagela dirangsang aktifitas kemotaksis berbagai senyawa termasuk glutamin, histidin, lisin, alanin, musin, urea, bikarbonas dan natrium klorida. 7,8,12 Penularan infeksi H pylori terjadi antar manusia secara langsung baik melalui oral-oral maupun feko-oral sehingga H pylori ditemukan pada saliva, muntahan dan tinja. 7,8,12 Adanya mekanisme kemotaksis, saat H pylori berada dalam lambung dapat melakukan gerak rotasi yang aktif disertai bantuan flagelanya, meluncur ke arah lapisan mukus epitel lambung. 7,12 12

8 Di dalam lambung H pylori berhadapan dengan imunitas bawaan sel epitel lambung sebagai faktor anti mikroba berupa molekul protektif non spesifik seperti laktoferin, lisosim dan defensin. Faktor anti mikroba lain yang tersedia yaitu asam lambung. H pylori dapat beradaptasi terhadap lingkungan asam dengan memproduksi enzim urease. Urease menghidrolisis urea menjadi amoniak dan karbamat. Karbamat secara spontan pecah menjadi amoniak dan asam karbonat, yang akan meningkatkan ph lambung. 7,8 Faktor lain yang memungkinkan H pylori dapat beradaptasi terhadap lingkungannya adalah sifat bakteri tersebut mikroaerofilik, yang mempunyai pertahanan terhadap stres oksidatif akibat respons radang mukosa. Setelah berhasil beradaptasi, H pylori akan adesi pada permukaan epitel lambung dengan menggunakan adesin baba dan saba. Namun kurang dari 1 % H pylori dapat beradesi dengan sel epitel lambung, sebagaian besar pada lapisan mukus atau dibersihkan oleh peristaltik atau pengosongan lambung. Adesi yang erat H pylori pada sel-sel epitel lambung akan memfasilitasi proses pengiriman toksin dan proses induksi respons imun, yang keduanya menyebabkan kerusakan sel-sel epitel. 7,8,12 Gambar 2.3. Imunopatogenesis infeksi H.pylori 14 13

9 2.5. Pemeriksaan diagnostik H.pylori Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 24,26 Tabel 2.2. Pemeriksaan diagnostik untuk H. pylori 26 Selain tabel di atas, terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan masing-masing test untuk diagnostik H.pylori. Keuntungan dan kerugian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.3. Keuntungan dan kerugian test H.pylori 26 Test endoskopi Keuntungan Kerugian 1. Histologi Sensitifitas dan Mahal, memerlukan spesifisitas tinggi infrastruktur & personal 2. Rapid Urease Test Murah, hasil cepat, sensitivitas dan spesitifitas tinggi 3. Kultur Spesifisitas tinggi, dapat melihat 4.Polimerase Chain Reaction sensitivitas bakteri Sensitifitas & spesifisitas tinggi, sensitifitas antibiotik training Sensitifitas menurun sesudah terapi Mahal, sulit dilakukan, ketersediaan terbatas, sensitifitas rendah Ketersediaan terbatas, metode tidak standar pada lab 14

10 Test non endoskopi 1. Antibody testing (quantitative & qualitative) 2. Urea Breath Test (13C dan 14C) 3.Faecal antigent test Murah, tersedia, NPV baik Identifikasi aktif H.pylori, NPV & PPV baik, berguna pada pre& post terapi Identifikasi aktif H.pylori, NPV & PPV baik, berguna pada pre& post terapi PPV bergantung pada prevalensi H.pylori, tidak direkomendasikan pada post terapi Ketersediaan terbatas Poliklonal test lebih baik dibandingkan UBT, tidak nyaman H.pylori dapat dideteksi dari endoskopi melalui histologi, kultur, maupun tes urease, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua metode berbasis biopsi tersebut dapat mengalami kesalahan pengambilan sampel karena infeksi tersebut bersifat patchy. Sekitar 14% pasien tidak mengalami infeksi di antrum namun memiliki H.pylori di suatu tempat di lambung, terutama jika pasien tersebut mengalami atrofi gaster, metaplasia intestinal, ataupun refluks empedu. Selain itu, pasca-eradikasi dengan efektivitas parsial, infeksi dalam kadar rendah dapat terlewatkan pada biopsi melalui endoskopi. Hal ini menimbulkan overestimasi efikasi eradikasi dan tingkat reinfeksi. Penghambat pompa proton mempengaruhi pola kolonisasi H.pylori di lambung dan mengurangi akurasi biopsi di antrum. Oleh karena itu, pedoman konsensus merekomendasikan untuk dilakukan biopsi multipel dari antrum dan korpus untuk histologi dan satu untuk metode lain (baik kultur maupun pemeriksaan urease) Pemeriksaan invasif 1. Histologi Meskipun H.pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa, Genta, Gimenez, perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi infeksi dalam kadar rendah dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi H.pylori. Keuntungan pemeriksaan 15

11 secara histologi selain dapat disimpan, irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun; dan adanya gastritis, atrofi, ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa. Spesimen biopsi dari bagian lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk diproses hanya jika histologi antrum tidak dapat disimpulkan Kultur Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi bakteri, namun kultur H.pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan berlebih maupun kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini adalah metode yang paling tidak mudah dikerjakan bersama endoskopi. Meskipun hanya sedikit pusat kesehatan yang secara rutin menawarkan isolasi mikrobiologis H.pylori, prevalensi strain multiresisten membuat metode kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan infeksi persisten dengan kegagalan terapi Uji urease Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan pemeriksaan urease yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari sampel tambahan ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di dalam satu vial untuk pemeriksaan Pemeriksaan non-invasif 1. Serologi Infeksi H.pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik. Antibodi IgG terhadap H.pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui antibodi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi lateks. Pemeriksaan tersebut umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal, dan dapat dilakukan 16

12 terhadap sampel yang disimpan. Metode ini banyak digunakan dalam studi epidemiologi, termasuk studi retrospektif untuk menentukan prevalensi maupun insiden infeksi. Individu sangat bervariasi terkait respon antibodi terhadap antigen H.pylori, dan tidak ada antigen yang sama yang dapat dikenali melalui serum dari semua subyek. Oleh karena itu akurasi pemeriksaan serologis bergantung kepada antigen yang digunakan sehingga penting untuk melakukan validasi lokal terhadap ELISA H.pylori. Pada orang tua dengan infeksi yang telah berlangsung lama, gastritis atrofi dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun secara perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat digunakan untuk menentukan eradikasi H.pylori ataupun untuk menentukan tingkat reinfeksi. Meskipun titer antibodi IgM terhadap H.pylori menurun seiring bertambahnya usia, tidak ada assay yang menunjukkan akuisisi baru. Karena infeksi ini biasanya asimtomatik, sulit untuk mengidentifikasi dan menegakkan jalur transmisi. Keuntungan metode serologi adalah perkembangan uji finger prick yang menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi adanya imunoglobulin H.pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat kesehatan primer dan lebih sederhana dibanding 13 C-urea breath test yang merupakan satu-satunya NPT yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT serologis lebih rendah dibanding yang dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA standar menggunakan preparat antigen yang sama. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini belum ada studi yang membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan dari 13 C-urea breath test dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer Urea breath test (UBT) Deteksi non-invasif terhadap H. pylori melalui uji 13 C-urea breath test memiliki prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan karbon-13 akan dihidrolisasi secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan melalui sirkulasi sistemik, diekskresikan sebagai 13 CO2 dalam udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi infeksi saat ini dan tidak bersifat radioaktif, dapat digunakan sebagai uji skrining untuk H.pylori, menilai eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan 17

13 14 C-urea breath test mirip dengan 13 C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan tidak dapat dilakukan di pusat kesehatan primer Faecal antigen test Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori yang terbungkus feses. Studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang mirip dengan 13 C-urea breath test (>90%) dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai NPT. Keutungan utama dari pemeriksaan ini adalah dalam studi epidemiologi berskala besar terhadap akuisisi H. pylori pada anak Peranan Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis H.pylori Inflamasi kronis H pylori melibatkan netrofil, limfosit (sel T dan B), sel plasma, dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya. Mekanisme inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan sel epitel lambung dan merangsang pembentukan serta pelepasan sitokin inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat ditunjukkan dengan peningkatan IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF-α. 26 Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi dengan H pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap organisme. Mekanisme inflamasi terhadap infeksi H pylori melibatkan respon imun spesifik dan imun non spesifik, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. 25 Gambar 2.4. TNF-α yang berhubungan dengan H. pylori 18

14 Tabel 2.4. Sitokin yang dihasilkan sebagai implikasi dari gastritis H. pylori 18 TNF-α berperan untuk meningkatkan reaksi inflamasi dan diyakini berperan penting dalam kerusakan mukosa gaster akibat H.pylori. TNF-α menyebabkan kaskade inflamasi terhadap infeksi, respons inflamasi berlebihan di mukosa gaster yang berhubungan dengan inhibisi sekresi asam lambung dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap Ca gaster. 20 Pada gastritis kronis terjadi inflamasi pada mukosa lambung selama >2 minggu sehingga terjadi peningkatan sitokin pada darah. 23 Infeksi H.pylori berkontribusi terhadap rekrutmen neutrofil dan limfosit yang menyebabkan kerusakan epitel melalui pelepasan sitokin, salah satunya TNF-α. Bodger et al melaporkan bahwa ada hubungan signifikan antara IL-6, IL-8, TNF-α pada pasien yang terinfeksi H.pylori. Sitokin ini berkorelasi dengan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil, di mana makin tinggi kadar sitokin sebanding dengan peningkatan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil. 26 Makrofag yang teraktivasi akan menstimulasi terjadinya inflamasi melalui sekresi sitokin (terutama TNF-α dan IL1-β), kemokin dan short-lived lipid mediator (platelet activating factor /PAF, prostaglandin, leukotrien). Kerja kolektif dari macrophage-derived cytokine dan lipid mediator adalah menginduksi inflamasi lokal yang banyak mengandung neutrofil yang akan memfagositosis dan menghancurkan patogen. Selain itu, makrofag yang teraktivasi (bersama neutrofil) memfagositosis jaringan yang mati dan memfasilitasi perbaikan jaringan akibat infeksi. 21,22 19

15 TNF-α merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang berat dapat memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin. 25 TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag sel NK, dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot polos, sementara TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T. 23 LPS (lipopolysakarida) adalah endotoxin dari H pylori yang merupakan rangsangan poten untuk mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan sintesis TNF. TNF memiliki efek biologik antara lain pengerahan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan mikroba, memacu ekspresi molekul adesi sel endotel vaskular terhadap leukosit, merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis dan pengerahan leukosit, merangsang fagosit mononuklear. 24 TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam respon baik akut maupun kronis pada infeksi virus, bakteri, dan parasit. Bioaktivitas TNF-α terjadi melalui terikatnya TNF-α pada reseptor seluler spesifik TNF-R, TNF-R1 (p55) dan TNF-R2 (p75), yang berbeda berat molekul, lokasi, dan fungsinya. TNF-R1 tersebar di banyak tempat, sementara TNF-R2 lebih terbatas distribusinya, yaitu pada sel-sel asal hematopoietin. TNF-R1 memperantarai kebanyakan respon seluler yang diinduksi TNF-α, termasuk aktivasi faktor traskripsi seperti NF-κB dan apoptosis 25 TNF-α, IL1-β bekerja pada imunitas alami dan inflamasi. Sumber utama kedua sitokin tersebut adalah fagosit mononuklear yang teraktivasi. Interleukin-1 diproduksi oleh fagosit mononuklear yang teraktivasi karena adanya induksi produk bakterial seperti LPS dan oleh beberapa sitokin lainnya seperti TNF-α. TNF-α tidak hanya diproduksi oleh makrofag, tetapi juga oleh neutrofil, sel epitel seperti keratinosit dan sel endotel. 22,25 20

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena

Lebih terperinci

merupakan suatu pertahanan diri. Kuman ini bersifat gram negatif dengan ukuran panjang

merupakan suatu pertahanan diri. Kuman ini bersifat gram negatif dengan ukuran panjang Morfologi Helicobacter pylori adalah suatu kuman pleomorfik yang dapat berbentuk spiral atau batang bengkok. Pada keadaan substrat yang kurang baik, kuman ini bebrbentuk kokus yang merupakan suatu pertahanan

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia kronis didefinisikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulkus lambung merupakan masalah pencernaan yang sering ditemukan di masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi penduduk dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi, sedangkan di negara maju < 40%. Infeksi Helicobacter pylori lebih banyak didapatkan

Lebih terperinci

GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK. Muhammad Yusuf

GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK. Muhammad Yusuf GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK Tesis Oleh: Muhammad Yusuf DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori Dispepsia Organik Dispesia Non Organik Dispesia Diagnosa Penunjang Pengobatan H. pylori Tes CLO Biopsi Triple therapy Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di masyarakat. Sepsis menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia. Diagnosis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia memiliki sistem imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh sebagai pertahanan terhadap berbagai macam organisme asing patogen yang masuk ke

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh V. PEMBAHASAN UMUM Lesi mukosa akut lambung akibat efek samping OAINS/Aspirin merupakan kelainan yang sering ditemukan. Prevalensi kelainan ini sekitar 70 persen sedangkan pada 30 persen kasus tidak didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamatory bowel disease (IBD) mewakili suatu kondisi inflamasi kronik usus yang idiopatik. IBD terdiri atas dua jenis penyakit, yaitu Crohn's disease (CD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Infeksi Helicobacter pylori pada saluran cerna bagian atas mempunyai

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Infeksi Helicobacter pylori pada saluran cerna bagian atas mempunyai BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. HELICOBACTER PYLORI Infeksi Helicobacter pylori pada saluran cerna bagian atas mempunyai variasi klinis yang luas, dimulai daripada kelompok asimtomatik sampai tukak peptik,

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan konsentrasi obat yang efektif selama periode yang diperlukan, terutama untuk obat-obat yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Tifoid 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang terdapat pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi BAB VI PEMBAHASAN Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi kriteria penelitian, 65% di antaranya laki-laki, dengan rentang umur 6-156 bulan, dengan 75% gizi baik, 25%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Dispepsia ditujukan kepada nyeri berulang, bersifat kronik dan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Dispepsia ditujukan kepada nyeri berulang, bersifat kronik dan BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DISPEPSIA Dispepsia ditujukan kepada nyeri berulang, bersifat kronik dan rasa tidak nyaman di daerah perut atas yang dapat berupa mual, muntah, rasa penuh di perut terutama

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dikenal masyarakat Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang terkandung seperti polisakarida,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Secretory Leukocyte Protease Inhibitor (SLPI) MENURUNKAN ESKPRESI IL-1β MELALUI PENGHAMBATAN EKSPRESI SELULER NF-Kβ PADA PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Rattus Novergicus ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM Kebiasaan merokok sejak lama telah diasosiasikan sebagai penyebab berbagai macam perubahan dalam rongga mulut, seperti kaitannya dengan kanker mulut dan penyakit

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga mulut dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, prevalensi penyakit periodontal

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari 14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci