2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid"

Transkripsi

1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid Kedudukan udang penaeid secara taksonomi menurut Racek dan Dall (1965), Kubo (1949), Naamin et al., (1992) diacu oleh Nelly (2005) adalah sebagai berikut : Filum : Arthrophoda Kelas : Crustacea Sub-Kelas : Malacostraca Series : Eumalacostraca Super-Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub-Ordo : Natantia Tribe : Penaeidea Famili : Penaeidae Sub-famili : Penaeinae Genus : Penaeus, Metapenaeus, Parapenaeus, Parapenaeopsis,dll Morfologi udang penaeid antara lain ditandai dengan warna badannya yang putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit yang tipis dan tembus cahaya dengan bintik coklat dan hijau. Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam seksi penaeidea dapat dibedakan dari jenis udang lainnya oleh dua ciri utama yaitu pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua ditutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan yang pertama (periopod) mempunyai capit (chelae) dan hampir sama besarnya. Hampir sebagian besar jenis-jenis udang lainya termasuk ke dalam seksi caridea, dengan ciri antara lain kulit bagian depan dan bagian belakang pada segmen kedua menutupi kulit pada segmen pertama dan ketiga, sedangkan pasangan ketiga kaki jalan (periopod) tidak mempunyai capit (chelae) dan biasanya besarnya tidak sama (Naamin,1984).

2 8 Genus Penaeus mempunyai rostrum dengan gigi-gigi pada bagian ventral (ventral rostral teeth) dan pada bagian distral (last or distral rostral teeth). Genus Parapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, telson mempunyai sepasang duri tetap (fixed spines) dekat ujung. Genus Metapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, tidak terdapat sepasang duri tetap (fixed spines) pada telson dan jika terdapat duri pada telson, duri tersebut dapat bergerak (movable spines), tidak terdapat exopod (kaki kecil tambahan yang muncul pada pangkal kaki udang) pada ruas (segment) kaki kelima. Genus Parapenaeopsis tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, jika terdapat duri pada telson, merupakan movable spines, terdapat exopod pada ruas kaki kelima (Grey et al., 1983 diacu oleh Nelly 2005). Morfologi udang penaeid disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Morfologi udang penaeid ( Habitat dan penyebarannya Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Udang memasuki lingkungan perairan pantai sebagai pasca-larva. Yuwana ditemukan pada lingkungan muara-muara sungai dan gobah-gobah (Naamin, 1984). Udang bersifat bentik hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai ialah dasar

3 9 laut yang lumer (soft), biasanya terdiri dari campuran pasir dan lumpur. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah udang yang baik. Udang penaeid adalah termasuk jenis decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi. Sedangkan jenis-jenis decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva (Soegiarto et al., 1979). Pada umumnya udang tertangkap dalam jumlah banyak di perairan yang agak dangkal terutama di daerah-daerah muara-muara sungai. Udang penaeid senang tinggal di daerah dimana terjadi percampuran air sungai dan air laut, karena disini banyak terdapat makanan dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan udang. Hutan mangrove merupakan daerah dimana tempat terjadinya pencampuran antara air sungai dan air laut, disamping itu hutan mangrove juga merupakan ekosistem yang khas dan mempunyai corak tersendiri bagi komunitas sumber hayati, termasuk udang melalui jaringan makanannya (food web) yang tidak ada putus-putusnya. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah hutan mangrove merupakan habitat yang baik sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung bagi kehidupan udang (Poernomo, 1968). Menurut Naamin (1984), udang penaeid hampir secara eksklusif ditemukan pada daerah masuknya air sungai (river discharge) yang biasanya ditandai oleh dasar lumpur yang lunak dan kekeruhan tinggi. Hasil tangkapan udang penaeid berfluktuasi menurut fase bulan dimana hasil tangkapan yang lebih tinggi terjadi sekitar bulan gelap, setengah purnama dan setelah purnama penuh. Sedangkan hasil tangkapan udang penaeid pada waktu siang hari lebih baik atau lebih tinggi dari pada waktu malam hari Daur hidup udang penaeid Dahuri (2003) menguraikan daur hidup udang penaeid dapat dikelompokan menjadi dua fase yaitu fase di tengah laut dan fase di estuaria (sekitar muara sungai). Menurut Naamin (1984), udang dewasa hidup dan berkembang biak di tengah laut. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali ganti kulit (moulting), nauplius berubah menjadi protozoa. Kemudian protozoa berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit.

4 10 Tingkatan ini masih bersifat planktonis. Setelah berganti kulit sebanyak tiga kali, maka mysis berubah menjadi pasca-larva. Pasca- larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju ke dasar perairan. Pada daerah asuhan, pasca-larva secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah beberapa kali ganti kulit. Yuwana ini makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian setelah tiga sampai empat bulan tersebut, yuwana berubah menjadi udang muda dan beruaya ke laut. Pada saat di laut udang menjadi dewasa kelamin, kemudian kawin dengan udang betina dan kemudian memijah. Daur hidup udang penaeid dimulai dari saat pemijahan hingga memperoleh individu baru (Gambar 3). Gambar 3 Siklus hidup udang penaeid (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979). Naamin (1984) melanjutkan, daur hidup udang penaeid pada fase di laut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Seekor udang penaeid betina bertelur kira-kira butir, yang diletakkan di dasar laut yang kedalamannya cm. Dalam waktu satu jam telur-telur itu akan menetas menjadi larva disebut nauplius (2) Tingkat nauplius, larva nauplius itu berukuran satu millimeter. Dalam waktu jam berubah menjadi zoea (3) Tingkat zoea, zoea ini ditemukan pada semua kedalaman, tapi pada tingkat selanjutnya bergerak mendekati permukaan perairan dan mulai migrasi ke arah pantai

5 11 (4) Tingkat mysis, pada tingkat ini nampak lebih menyerupai udang dewasa dari pada tingkat sebelumnya dimana semua anggota tubuh udang dewasa mulai kelihatan disini. Fase di estuaria dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Tingkat post larva, selama musim panas, larva-larva udang mencapai daerah pantai memasuki muara sungai sebagai post larva. Disini mereka harus menyesuaikan diri dengan suhu dan salinitas yang bervariasi antara 4-35 o / oo (2) Tingkat juvenil, setelah tinggal di muara sungai, maka post larva berkembang menjadi udang muda, yang makan dan tumbuh di muara-muara sungai sampai umur 2 bulan. Setelah dewasa migrasi ke daerah lepas pantai. Udang penaeid yang memijah di lepas pantai, akan melepaskan telur secara demersal. Setelah 24 jam telur akan menetas menjadi larva (nauplius). Nauplius ini bersifat planktonik, bergerak mengikuti arus dan gelombang menuju daerah asuhan (nursery ground) di daerah pantai, estuary atau muara sungai. Larva udang mengalami metamorfosis menjadi yuwana dalam perjalanannya menuju daerah pantai. Proses metamorfosis dari larva sampai yuwana berlangsung selama tiga sampai empat bulan, sedangkan dari yuwana untuk mencapai udang dewasa diperlukan waktu selama delapan bulan (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979) Tingkah laku dan distribusi udang penaeid Udang mempunyai dua periode tingkah laku yang berbeda yaitu aktif dan pasif. Udang melakukan aktifitas pada malam hari dan membenamkan diri pada siang hari. Menjelang matahari terbit udang membenamkan diri di dalam lumpur atau pasir atau mencari tempat yang agak gelap. Juvenil yang hidup di daerah estuaria menguburkan diri selama siang hari pada dasar yang lembek untuk menghindari gangguan ikan predator sampai tumbuh menjadi udang muda. Migrasi udang dari satu tempat ke tempat lain disebabkan oleh migrasi untuk mencari makanan, migrasi untuk memijah, dan migrasi untuk mempertahankan diri dari perubahan iklim. Dalam usaha pencarian makanannya udang penaeid bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dilihat dari kenyataan bahwa udang mempunyai

6 12 pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makan, sedangkan udang selalu menjadi sumberdaya dan hasil tangkapan oleh manusia, maka udang dapat dikatakan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, dengan kata lain bersifat tidak terlalu memilih-milih (Soegiarto et al., 1979). Udang dewasa biasanya terdapat pada perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya (shelf) cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalam antara meter. Udang-udang muda (yuwana) dan udang dewasa mempunyai toleransi suhu antara o C, tapi jarang ditemukan pada 36 o C atau lebih. Toleransi salinitas udang-udang muda sampai 5 o / oo dan udang dewasa jarang terdapat pada perairan dengan salinitas lebih dari o / oo (Munro,1968 diacu oleh Naamin, 1984). Perairan yang disenangi adalah yang airnya agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar,1965 diacu oleh Naamin,1984). Larva udang ternyata melakukan ruaya secara vertikal pada jam-jam gelap, tetapi tingkah laku ini hilang setelah pasca larvanya berada di sungai. Pola kehidupan udang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman. Migrasi yang dilakukan udang ini selalu terjadi dalam siklus hidupnya, mulai dari bentuk telur hingga menjadi udang dewasa. Hal ini terjadi sebagai suatu reaksi terhadap perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya, baik itu yang disebabkan faktor luar atau faktor dari dalam dirinya sendiri. Migrasi merupakan suatu upaya yang dilakukan udang untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya (Gunarso, 1985). 2.2 Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net Menurut Purbayanto (2006), trammel net adalah alat tangkap yang terbentuk dari tiga susunan jaring yang dirangkai secara memanjang seperti jaring insang secara umum. Jaring lapisan dalam (inner net) dengan mata jaring berukuran kecil diapit oleh dua lembar jaring lapisan luar (outer net) dengan mata jaring berukuran lebih besar dan berfungsi sebagai bingkai. Tinggi jaring lapisan dalam yang dipasang melebihi tinggi jaring lapisan luar, menyebabkan jaring

7 13 lapisan dalam menjadi sangat kendur (high slackness) sehingga akan memudahkan ikan untuk tertangkap secara terpuntal maupun terjebak kedalam kantong (pocketing) yang dibentuk oleh jaring lapisan dalam. Trammel net udang terbuat dari bahan PA multifilament 210d/2 dan monofilament no.2 untuk jaring bagian dalam dan 2d/6 untuk jaring bagian luar. Ukuran mata jaring bagian dalam 38 mm dan 44 mm, sedangkan ukuran mata jaring bagian luar 162 mm dan 250 mm. Trammel net yang bagian dalamnya terbuat dari nilon monofilament oleh nelayan dinamakan jaring tilek. Bentuk mata jaring ditentukan oleh nilai pengerutan adalah beda panjang tubuh jaring dalam keadaan terenggang sempurna dengan panjang jaring setelah terpasang pada tali pelampung dan tali pemberat. Nilai pengerutan trammel net udang yang umumnya dipakai oleh nelayan untuk jaring bagian dalam 0.41 sampai 0.67 dan untuk jaring bagian luar 0.25 sampai Telah dikatakan bahwa jaring bagian dalam terpasang secara kendor diantara dua panel jaring bagian luar. Ini diakibatkan oleh take up rate. Disebutkan oleh Nomura (1981) bahwa take up rate adalah perbedaan tinggi jaring bagian dalam dan tinggi jaring bagian luar setelah terpasang pada tali pelampung dan pemberat, yang mana bagian dalam lebih tinggi dari bagian luar. Nilai take up rate yang digunakan oleh nelayan di beberapa perairan di Jawa Barat berkisar antara 0.20 sampai Gambar 4 Alat tangkap trammel net ( Trammel net menurut cara pengoperasiannya terdiri dari bottom set trammel net dan sweeping trammel net. Cara pengoperasian sweeping trammel net

8 14 adalah salah satu bagian ujung jaring didiamkan dengan jangkar kemudian ujung jaring yang lainnya ditarik dengan kapal dalam bentuk lingkaran. Waktu untuk sekali operasi kira-kira satu jam dan kecepatan penarikan sangat lambat (Nomura dan Yamasaki, 1977). Cara pengoperasian demikian ini lebih produktif daripada cara pengoperasian dengan membiarkan jaring hanyut pada dasar perairan, demikian juga cara pengoperasian ini lebih baik dari cara pengoperasian jaring ditarik lurus menyapu dasar perairan (Puspito, 2002). Tupamahu (2006) mengatakan pengoperasian sweeping trammel net dilakukan dengan cara jaring ditarik dari salah satu ujungnya seperti yang diilustrasikan pada gambar 5. Penarikan dilakukan di bagian haluan kapal dimana arah kemudi sejajar dengan haluan kapal (kemudi disegel). Waktu yang dibutuhkan mulai dari penarikan sampai dengan hauling adalah 1 jam dengan kecepatan penarikan berkisar antara 1 sampai 1,4 knot. Sweeping trammel net ini dikonstruksikan dari bahan PA monofilament No. 20 untuk jaring bagian dalam, PA multifilament 210d/12 untuk jaring bagian luar dengan tinggi jaring sekitar 1,2 meter. Ukuran mata jaring bagian dalam bervariasi mulai dari 1,5 inch (38,1 mm) sampai 2,0 inch (50,8 mm). Cara pengoperasiannya dilakukan dengan menarik salah satu ujung jaring secara melingkar menyapu dasar perairan sehingga udang penaeid dapat tertangkap. Pelampung tanda Arah penarikan Gambar 5 Ilustrasi sweeping trammel net ( Tupamahu, 2006).

9 Pendugaan Stok Gulland (1983) menyatakan bahwa data hasil penangkapan per satuan upaya penangkapan (catch per unit effort; CPUE) dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kelimpahan stok. Pengukuran kelimpahan dan perubahannya adalah suatu yang penting dalam pendugaan stok. Oleh karena itu data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) merupakan langkah dasar yang penting dalam pengukuran tersebut. Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan di suatu perairan dengan menyapu suatu area di dasar perairan tertentu dengan menggunakan alat tangkap trawl atau sejenisnya. Tujuan utama pendugaan stok ikan adalah untuk mengetahui kelimpahan stok di suatu perairan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk eksploitasi secara maksimum dari sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati tersebut tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas tetapi dapat diperbaharui, namun penangkapan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kepunahan. Pendugaan stok ikan dapat digambarkan dari tingkat pengeksploitasian dalam waktu yang cukup lama (Sparre, et al., 1989). Menurut Pauly (1979), pendugaan stok sumberdaya perikanan tergantung dari habitatnya, yaitu : 1. Ikan-ikan pelagis kecil diduga dengan menggunakan metode akustik. 2. Ikan-ikan karang umumnya diduga dengan metode pembiusan dan metode perhitungan secara langsung. 3. Ikan-ikan demersal diduga dengan metode swept area. Pendugaan stok ikan di daerah tropis lebih sulit daripada di daerah sub tropis. Hal ini antara lain dikarenakan: 1. Perkiraan di daerah tropis terutama perikanan demersal saling dieksploitasi dalam jumlah spesies yang banyak secara serentak. 2. Negara-negara di daerah tropis pada umumnya mempunyai kemampuan penelitian yang terbatas, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan tidak diteliti dengan baik. Dalam pendugaan besarnya stok ikan terlebih dahulu ditentukan metode survei yang akan dipergunakan. Metode survei yang digunakan ialah simple

10 16 random sampling dan stratified random sampling. Simple random sampling digunakan untuk dristibusi horizontal stok ikan yang akan diduga kelimpahannya dengan asumsi bahwa ikan menyebar seragam dan kelimpahannya tidak dihubungkan dengan kedalaman, sedangkan stratified random sampling digunakan untuk distribusi ikan menurut kedalaman (Sparre et al., 1989). Rata-rata laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dianggap proporsional dengan kelimpahan stok di alam. Indeks ini kemudian dikonversikan ke dalam ukuran besar biomassa secara mutlak dengan menggunakan metode swept area. Maksud dari pengkajian stok adalah memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang optimum seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas, tetapi dapat memperbaharui dirinya. Stok diartikan sebagai sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama dan menghuni suatu wilayah geografis yang sama. Untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat (terutama spesies demersal, misalnya udang penaeid) lebih mudah untuk menentukannya sebagai satu stok dari pada spesies yang beruaya jauh seperti tuna dan ikan2 pelagis lainnya (Sparre and Venema, 1999). Selanjutnya Sparre and Venema (1999) menyatakan tujuan penggunaan model schaefer adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield-msy). Model schaefer termasuk model holistic yang lebih sederhana dibanding model analitik karena model ini memerlukan data yang lebih sedikit, sehingga model ini banyak digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model schaefer dapat diterapkan apabila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (cath per unit effort) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang cukup.

11 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Suatu tingkat pemanfaatan yang optimum adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlah atau kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami. Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus menerus secara maksimal dalam waktu yang terbatas maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu dibatasi sampai pada suatu titik tertentu. Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan. Tanpa didasari oleh pengetahuan tersebut, usaha untuk mencapai program perikanan belum tentu dapat dipercayai (Dahuri, 2003). Dalam pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan, udang atau hutan mangrove, laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode tertentu. Berdasarkan pedoman dari Direktorat Jendral Perikanan yang mengacu pada code of conduct for resposible fisheries (FAO, 1995), tingkat penangkapan/ pemanenan suatu stok sumberdaya tidak boleh melebihi 80% nilai MSY (JTB, jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut termasuk udang, prinsip pendekatan berhati-hati (precautionary approach) perlu dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan (Dahuri, 2003). 2.5 Model Produksi Model dalam suatu proses produksi merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor input yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Ada dua tahap penting dalam penyusunan model, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen yang penting dari sistem dan menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari komponen (Komarudin, 1995) Hubungan teknis antara produksi yang dihasilkan per satuan waktu dengan jumlah faktor produksi yang dipakai, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun faktor produksi itu sendiri disebut fungsi

12 18 produksi. Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi didefinisikan sebagai jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dengan menggunakan jumlah input tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X 1, X 2, X 3,...,...,..., X n ) Keterangan : Y = output X n f = input = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output. Menurut Teken dan Asnawi (1984), dalam persamaan fungsi produksi dapat diterangkan bahwa produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor produksinya, tetapi persamaan tersebut belum dapat memberikan hubungan kuantitatif. Fungsi tersebut terlebih dahulu dinyatakan dalam bentuk yang lebih khas seperti fungsi Cobb-Douglas, fungsi linear, kuadratik dan sebagainya. Fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linear dan analisis regresi. Dalam persamaan regresi tercakup dua variabel, yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di dalam regresi linear berganda (multiple linear regression), variabel tak bebas (Y) tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : Y = b + b X + b X + b X b X n n Dimana X 1, X 2, X 3,, X n melambangkan masing-masing faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi senilai Y. Soekartawi (1994) menyatakan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang satu disebut variabel dependent yang dijelaskan oleh (Y) dan yang lain disebut variabel independent yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara X dan Y biasanya dengan cara regresi, variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas banyak dipakai oleh peneliti, yaitu :

13 19 1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus akan menunjukkan besaran elastisitas. 3. Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran skala pengembalian (return to scale). 2.6 Analisis Usaha Analisis usaha merupakan suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et al., 1978). Suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya memenuhi syarat berikut : 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; 2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa serta dana penyusutan modal; dan 3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja, atau bentuk-bentuk lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Seorang pengusaha dapat membuat perhitungan dan menentukan langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam perusahaannya dengan analisis usaha. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi. Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan adalah biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Pendapatan adalah total penerimaan (total revenue = TR) dikurangi dengan total biaya (total cost = TC). Penerimaan adalah total produksi dikalikan dengan harga per satuan produk. Biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu.

14 Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan Potensi sumberdaya perikanan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dapat memberikan sumber devisa bagi negara dari sektor non migas melalui peningkatan ekspor. Di samping itu, perikanan sebagai sumberdaya, juga rentan terhadap pemanfaatan oleh manusia secara berlebihan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang memerlukan penyelesaian sangat hati-hati dan berdimensi jangka panjang/strategis. Purwanto (2000) membagi profil perikanan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Profil perikanan produktif, perikanan yang mampu mendayagunakan sumberdayanya secara optimal, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia; 2. Profil perikanan stabil, perikanan yang mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, misalnya dalam mengatasi musim paceklik ikan yang panjang; 3. Profil perikanan berlanjut, perikanan yang mampu menyesuaikan pola dan struktur produksinya terhadap perubahan permintaan masyarakat, perubahan lingkungan hidup maupun perubahan teknologi; dan 4. Profil perikanan terpadu, perikanan yang mampu berperan positif dalam pembangunan nasional dan pembangunan wilayah; peningkatan pendapatan masyarakat nelayan/petani/pengusaha ikan dan perluasan lapangan kerja. Lebih lanjut Purwanto (2000) mengatakan bahwa perikanan yang tepat dalam mengantisipasi kondisi tersebut adalah (1) suatu profil perikanan yang dapat mendorong pelestarian usaha perikanan dengan menciptakan teknologi tepat guna sesuai daya dukung lingkungan; (2) profil perikanan yang memiliki daya saing komoditi tinggi melalui penekanan daya produksi serta menjaga produk. Untuk mendukung pembangunan perikanan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan yang berwawasan lingkungan perlu disusun suatu konsep tata ruang wilayah pesisir dan laut dan konsep pengembangan perikanan yang mampu berusaha secara terpadu. Pengembangan perikanan dapat dilakukan melalui pelaksanaan tujuan dasar atau bidang hasil pokok pembangunan perikanan, yaitu :

15 21 1. Mendorong pengembangan perikanan yang berorientasi pasar (demand driven); 2. Mendorong pemanfaatan sumberdaya pantai secara optimal (efficiency); 3. Mendorong pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainability); dan 4. Mendorong berkembangnya manajemen perikanan berbudaya industri (quality). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Haluan dan Nurani (1988), empat aspek yang harus dipenuhi suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu (1) Secara biologi tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberdaya; (2) Secara teknis efektif digunakan; (3) Secara Sosial dapat diterima oleh nelayan dan (4) Secara ekonomi bersifat menguntungkan. Satu aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu adanya izin dari pemerintah (kebijakan atau peraturan pemerintah). Menurut Kesteven (1973) pengembangan usaha perikanan harus mempertimbangkan aspek aspek bio-technico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu : 1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberadaya; 2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan; 3. Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan; dan 4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan. Monintja (1987) menyatakan dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang

16 22 tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap : 1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan; 2. Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani; 3. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; 4. Menciptakan lapangan kerja; dan 5. Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing masing tempat. Namun tidak semua moderinisasi dapat mengahasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu mengahasilkan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu penggunaan teknik teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan (Barus et al., 1991). Selanjutnya Barus et al., (1991) menyatakan bahwa upaya pengelolaaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK, akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk medapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi. Kusumastanto (1984), mengemukakan bahwa hal hal yang perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan perikanan tangkap adalah : 1. Adanya musim penangkapan ikan yang berbeda sepanjang tahun; 2. Adanya beberapa jenis perikanan tangkap dengan mengkombinasikannya dengan alat tangkap lain; 3. Adanya tingkat teknologi tertentu untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap; 4. Adanya harga korbanan dan harga hasil tangkapan dari setiap jenis perikanan tangkap;

17 23 5. Terbatasnya trip penangkapan yang dapat dilakukan setiap tahunnya; 6. Terbatasnya kemampuan nelayan untuk membiayai usahanya dan melakukan invesatasi dalam unit perikanan tangkap yang dilakukan; dan 7. Terbatasnya tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan yang diusahakan. Djamali dan Burhanuddin (1995) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan perikanan, perlu didukung oleh suatu perencanaan pembangunan yang lebih didasari atas data dan informasi yang menyeluruh termasuk sumberdaya perikanannya, maupun aspek sosial dan ekonominya. Pengkajian perlu dilakukan secara berkesinambungan agar data dan informasi yang mutakhir dapat selalu tersedia yang dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijaksanaan dalam rangka pengembangan perikananya. Hartati (1996) mengatakan bahwa jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat memenuhi semua kriteria di atas pada suatu daerah perikanan dengan dilakukan penelitian terhadap unit unit penangkapan ikan yang ada di daerah tersebut. Selain untuk mengarahkan modal nelayan ke arah alat penangkapan ikan yang lebih produktif agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya juga untuk pembangunan dan pengembangan perikanan di masa mendatang. Nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk dapat memiliki SDM bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan. Karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan serta. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Selanjutnya peran bidang pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalar para nelayan, karena penangkapan ikan di laut tidak hanya menuntut kemauan dan ketahanan fisik tetapi juga kemampuan penggunaan teknologi peralatan yang canggih untuk setiap kapal penangkap. Oleh karena itu

18 24 dua masalah ini merupakan kendala utama yang sering dihadapi dalam usaha pengembangan alat penangkapan ikan di Indonesia. Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya adalah (1) Pengembangan prasarana perikanan; (2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan dibidang perikanan; (3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan; dan (4) Pengembangan system informasi manajemen perikanan (Ditjen Perikanan, 1994). Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan modal yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan (Syafrin, 1993). 2.8 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. AHP merupakan metode analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metode ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarkhi dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty, 1991). Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat. Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarkhi kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan

19 25 menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas (Saaty, 1991). Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kekompleksitasan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarkhi, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarkhi yang disesuaikan dengan pokok permasalahan. Selanjutnya Nurani (2003) menjelaskan bahwa metode analisis analytical hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan yang bertujuan untuk memecahkan konflik yang terjadi sehingga mendapatkan lokasi yang tepat dan optimal bagi pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable). Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) kedalam ukuran yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Menurut Saaty (1991) prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hierarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1. Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks dengan menggunakan rata-rata aritmetik sebagai berikut : Nkj = n kj= 1 aij( k) Keterangan : Nkj : Nilai kolom ke j aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j n : Jumlah elemen

20 26 Ndij = aij Nkj Keterangan : Ndij aij Nkj : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasikan pada baris i dan kolom j : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j : Nilai kolom ke j Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen komparasi perpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai terendah. Pembobotan melalui keputusan (judgement) oleh pakar berdasarkan nilai skala komparasi antara 1-9 (Saaty, 1991). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantifikasi data yang bersifat kualitatif. Tabel 1 Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991) Tingkat Definisi Penjelasan kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya Satu elemen dengan kuat disokong, dominannya terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan Kebalikan Jika elemen i mendapat satu angka dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan dibandingkan dengan elemen i

21 Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten pemekaran yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun Pemekaran Kabupaten Sorong Selatan ini diresmikan oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 dengan batas-batas wilayah administratif : 1. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Morait dan Distrik Sausapor Kabupaten Sorong; 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari; 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram (Propinsi Maluku); dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Distrik Beraur Kabupaten Sorong. Luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan km 2 dengan luas laut km 2. Ibukota kabupaten adalah Kota Teminabuan yang terletak di kawasan pesisir dan berjarak 235 km dari Kabupaten Sorong. Terdiri dari 14 distrik, 210 kampung dan 3 kelurahan. Secara geografis Kabupaten Sorong Selatan ini terletak antara BT dan LS. Hutan mangrove tersebar disepanjang garis pantai serta perairan umum (hulu/hilir sungai) di Kabupaten Sorong Selatan, diantaranya di Distrik Teminabuan, Inanwatan, Seremuk, Kais dan Kokoda dan kawasan Selat Sele. hutan mangrove didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Aonneratiacaeae dan Avicenniaceae. Iklim wilayah Sorong Selatan tergolong iklim tropis monsoon. Musim hujan terjadi saat berlaku monsoon Barat Laut, yaitu pada bulan Desember Maret. Musim kemarau terjadi saat berlaku monsoon tenggara, yaitu pada bulan Mei Oktober (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Suhu udara rata-rata berkisar antara C. Fluktuasi suhu rata-rata tahunan tidak lebih dari 2 C. kecepatan angin berkisar dari lambat hingga sedang (8m/det), dengan frekuensi kejadian kurang dari 2%. Kecepatan angin terbesar umumnya bertiup dari arah barat daya (>15 m/det).tekanan udara barometrik berkisar dari 998,6 mb 1.013,0 mb dengan tekanan udara rata-rata 1.006,1 mb. Kelembaban udara rata-rata 84,7% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 54,3%.

22 Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan Armada penangkapan udang di Kabupaten Sorong Selatan antara lain perahu tanpa motor dan perahu yang menggunakan motor yaitu ketinting, jolor, johnson dan pengangkut kapal perikanan (pkp). Ketinting dan perahu tanpa motor adalah jenis armada yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini menggambarkan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar masih tergolong kecil atau tradisional. Jumlah armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Armada Jumlah yang ada (unit) Prosentase (%) 1 Perahu tanpa motor Kapal bermesin Ketinting Kapal bermesin Jolor Kapal bermesin Johnson Kapal pkp jumlah Jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 5 alat tangkap yaitu trammel net, gillnet, jala, hand line dan bubu. Dari kelima alat tangkap tersebut, trammel net merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan dalam usaha penangkapan udang. Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Jenis alat tangkap Jumlah (pcs) prosentase (%) 1 trammel net gillnet jala hand line (unit) bubu (unit) total

23 29 Hasil tangkapan yang didapatkan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 4 komoditi yaitu udang penaeid, kepiting bakau, ikan mas dan ikan campuran. Dari keempat komoditi tersebut, komoditi udang penaeid mendominasi jumlah hasil tangkapan dibandingkan komoditi lainnya. Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Jenis komoditi Jumlah (ton) 1 Udang penaeid Kepiting bakau Ikan mas Ikan campuran 450 Jumlah Penduduk Menurut Anonim (2004), lebih kurang 90% penduduk Kabupaten Sorong Selatan adalah penduduk asli, dan sisanya adalah pendatang (Jawa, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan sebanyak jiwa terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Dihubungkan dengan luas kabupaten, maka kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 jiwa /km 2. Hal ini mengandung arti bahwa Kabupaten Sorong Selatan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah berdasarkan kriteria BPS (1999) karena kurang dari 200 jiwa/km 2. Penduduk di Kabupaten Sorong Selatan paling banyak berada di Distrik Teminabuan yang merupakan ibukota Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebanyak jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Distrik Wayer yaitu sebanyak jiwa. Distrik Teminabuan sebagai pusat dan gerbang kegiatan ekonomi lebih maju dan berkembang pesat dibanding distrik-distrik yang lain, hal ini disebabkan belum adanya sarana transportasi (jalan darat) yang menghubungkan antar distrik (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan disajikan pada Tabel 5.

24 30 Tabel 5 Jumlah Penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan 2006) No. Distrik Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Inanwatan 4,243 4,014 8,258 2 Kokoda 7,740 7,324 15,063 3 Aifat timur 2,026 2,034 4,060 s4 Aifat 2,999 3,012 6,011 5 Aitinyo 4,372 4,139 8,511 6 Moswaren 1,795 1,849 3,644 7 Teminabuan 8,526 8,050 16,576 8 Ayamaru 6,866 6,433 13,302 9 Sawiat 3,234 3,105 6, Mare 1,891 1,772 3, Matemani kais 2,030 1,920 3, Wayer 1,749 1,639 3, Seremuk 2,993 2,827 5, Ayamaru utara 3,698 3,479 7,177 Jumlah 54,163 51, ,763 Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya (75 %) di sektor perikanan yaitu sebagai nelayan. Adapun Nelayan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari nelayan yang menangkap ikan di laut dengan perahu tanpa mesin, armada penangkapan ketinting, jolor, johnson, pkp, dan nelayan pembudidaya ikan. Jumlah nelayan perahu tanpa motor merupakan nelayan paling banyak dengan jumlah 43,13 % atau 710 orang dibandingkan jumlah nelayan-nelayan lainnya. Jumlah nelayan dan proporsinya di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No kategori nelayan jumlah (orang) Prosentase (%) 1 Nelayan perahu tanpa motor ,13 2 Nelayan perahu bermesin ketinting ,21 3 Nelayan perahu bermesin jolor 164 9,96 4 Nelayan perahu bermesin johnson 83 5, 04 5 Nelayan perahu pkp 95 5,77 6 Nelayan pembudidaya ikan ,88 jumlah

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel.

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel. JARING TRAMMEL Trammel net (Jaring trammel) merupakan salah satu jenis alat tangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan terutama sejak pukat harimau dilarang penggunaannya. Di kalangan nelayan, trammel

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Udang Vannamei Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkatnya permintaan udang baik di pasar domestik maupun di pasar

PENDAHULUAN. meningkatnya permintaan udang baik di pasar domestik maupun di pasar PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78.800 ton per tahun. Udang merupakan komoditas unggulan perikanan Indonesia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG. I MADE KORNl ADNYANA. PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM

SKRIPSI. STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG. I MADE KORNl ADNYANA. PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG (venaeus mmguefi-ais, de Man) DI LAUT ARAFURA DAN SEKITARNYA SKRIPSI Oleh I MADE KORNl ADNYANA C 24. 1475 PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan atau binatang air lainnya serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Udang Air Tawar Secara garis besar Crustacea dibagi menjadi enam kelas, yaitu Branchiopoda, Cephalocarida, Malacostraca, Maxillopoda, Ostracoda dan Remipedia (Martin 2001).

Lebih terperinci

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) UPAYA, LAJU TANGKAP, DAN ANALISIS USAHA PENANGKAPAN UDANG PEPEH (Metapenaeus ensis) DENGAN TUGUK BARIS

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci