SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH"

Transkripsi

1 SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sumberdaya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya Di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2008 Endang Gunaisah C

3 RINGKASAN ENDANG GUNAISAH. Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan DOMU SIMBOLON. Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat merupakan kabupaten baru yang terbentuk berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002 yang diresmikan secara lokal oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus Sektor kelautan dan perikanan khususnya udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan cukup melimpah namun masih dikelola dalam skala kecil, karena para nelayan masih menggunakan alat tangkap dan armada yang sederhana seperti perahu layar dan mesin ketinting (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengestimasi potensi lestari udang penaeid, (2) menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan menghitung kelayakan usaha, (3) menentukan jumlah unit penangkapan udang penaeid yang optimum dan (4) menyusun strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Penelitian ini menerapkan perhitungan swept area, analisis Cobb-Douglas dan kelayakan usaha, linear goal programming dan analitycal hierarchy process. Hasil perhitungan dari swept area menunjukan dugaan potensi udang penaeid sebesar ,175 ton/tahun dengan stok density sebesar 0,508 ton/km2 dan biomasa sebesar ,566 ton. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan udang penaeid adalah jumlah trip dan usaha perikanan udang penaeid dinyatakan layak diteruskan. Jumlah kapal yang beroperasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan yang optimum untuk kelestarian udang penaeid yang berkelanjutan berada pada kisaran 219 unit ketinting, 217 unit jolor, 25 unit johnson dan 20 unit pkp. Nelayan merupakan aktor yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan udang penaeid disusul dengan peran Dinas Perikanan, pengusaha perikanan dan pedagang ikan. Alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan tersusun secara berurutan sesuai prioritas adalah pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan, meningkatkan produksi udang penaeid, meningkatkan sarana dan prasarana dan meningkatkan potensi pasar. Kata kunci : Sumberdaya udang penaeid, trammel net, alternatif pengembangan, Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat.

4 ABSTRACT ENDANG GUNAISAH. The penaeid shrimps resources and the prospects develpoment in the South Sorong Regency of West Irian Jaya Province.Supervised SUGENG HARI WISUDO and DOMU SIMBOLON. The South Sorong Regency is a new regency based on the Government Rules No : 26/2002 as a consequence of Sorong Regency expansion. The dominating fishery in this area is shrimps. However, it has not been fully optimized (Fishery Academic Sorong, 2004). The objectives of this study are : (1) To estimate the maximum sustainable yield. (2) To calculate the fishing effort feasibility. (3) To decide the optimum number of fishing unit. (4) To arrange the strategy of sustainable development policy. Swept area method, analysis of effort feasibility, linear goal programming and analytical hierarchy process were used to solve the problem. The result of research show that sustainable stock of penaeid shrimps based on the result analysis, can be concluded that is ,174 ton/year. Shrimp fisheries in South Sorong Regency potential to be developed. To develop shrimp fisheries, the result analysis suggest allocation of fishing gear as below: number of vessel are approximately ketinting (219 units), jolor (217 units), johnson (25 units) and pkp (20 units). The alternative of strategy policy organized by priority as follow : capacity building to fisherman and cooperation with actor, to developed the fishing unit which sustainable of environment, to improve the penaeid shrimps productions, to improve facility and equipments, and to improve the market potency. Key Words : Penaeid shrimps, trammel net, strategy of sustainable development policy, South Sorong Regency of West Irian Jaya Province.

5 SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH TESIS Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis : Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat Nama Mahasiswa : Endang Gunaisah Nomor Pokok : C Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si. Ketua Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir.John Haluan, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

7 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes Jawa Tengah pada tanggal 21 September 1965, sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Soedjono R (almarhum) dan Salwie (almarhumah). Pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas ditempuh di kota kelahiran. Gelar Sarjana Keguruan dan Ilmu Pendidikan (KIP) diraih pada tahun 1989 di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS ) Surakarta. Seusai menempuh pendidikan sarjana penulis bekerja di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Surakarta hingga tahun Penulis pindah ke Sorong mengikuti suami dan bekerja sebagai guru di Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Sorong-Papua hingga tahun Selanjutnya penulis diangkat sebagai dosen di Akademi Perikanan Sorong (APSor) sejak tahun 2002 hingga sekarang. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana (SPs-IPB) pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP) dengan biaya tugas belajar dari Akademi Perikanan Sorong-Papua. vii

9 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kapada : 1. Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing dengan tulus sejak proses penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr.Ir.Eko Sri Wiyono,M.Si selaku penguji luar komisi yang bersedia menguji dengan bijaksana demi penyempurnaan tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi TKL atas dukungan bimbingan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Pascasarjana. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Victor PH Nikijuluw, M.Sc. yang telah memberikan rekomendasi sehingga penulis bisa mengenyam pendidikan di Program Studi TKL. 5. Bapak Ir. Samuel Hamel, M.Si, selaku Direktur Akademi Perikanan Sorong- Papua yang telah memberikan kepercayaan tugas belajar serta dukungan sepenuhnya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. 6. Bapak Drs. Otto Ihalauw, selaku Bupati Kabupaten Sorong Selatan yang telah memberikan ijin sekaligus dukungan material maupun moril kepada penulis selama proses pengambilan data tesis. 7. Bapak Stevanus Kocu, S.St.Pi selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan beserta staf yang telah membantu sepenuhnya selama penulis berada di lapangan. x

10 8. Suami yang penulis sayangi H.Ir.Eko Tavip Maryanto dan anak-anak mutiaraku Darin Asiilah Ismar, Farah Azzah Aqilah Ismar yang senantiasa memancarkan keindahan asa dalam keberhasilan penulis menempuh pendidikan ini. 9. Ibu Bapak tercinta yang telah mendahului menghadap Sang Khalik dan Ibu Bapak mertua yang penulis hormati dan sayangi yang tulus berdoa atas cinta yang luhur. 10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program studi TKL 2006, Azmir, Hendro, Lee, Purba, Yudi, Elvisar,Yuyun, Eta, Erwin, David, atas kerja sama yang baik dan kebersamaan selama pendidikan. 11. Bapak John Kafiar, nelayan trammel net yang telah membantu penulis melakukan pengambilan data tesis, atas jasa dan kebaikannya. 12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang telah memberikan dukungan baik materi maupun spiritual dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang kontruktif sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Bogor, Januari 2008 Penulis xi

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xv xvi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid Habitat dan penyebarannya Daur hidup udang penaeid Tingkah laku dan distribusi udang penaeid Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net Pendugaan Stok Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Model Produksi Analisis Usaha Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan Penduduk METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengumpulan Data Analisis Data Pendugaan jumlah stok udang penaeid dengan metode swept area Faktor-faktor produksi Analisis usaha Alokasi jumlah unit penangkapan optimum Strategi pengembangan xii

12 4 HASIL PENELITIAN Potensi Sumberdaya Udang Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Unit penangkapan udang Operasi penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan Swept area trammel net Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Hasil analisis usaha Pendapatan nelayan Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Optimasi produksi dan unit penangkapan Optimasi produksi Optimasi unit penangkapan Pengembangan perikanan udang penaeid Aktor atau pelaku perikanan udang penaeid Faktor yang berpengaruh dalam perikanan udang penaeid Tujuan pengembangan perikanan udang penaeid Alternatif kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid PEMBAHASAN Potensi Perikanan Udang Penaeid Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Usaha penangkapan udang penaeid Pendapatan nelayan Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Optimasi produksi dan unit penangkapan Optimasi produksi Optimasi unit penangkapan Pengembangan perikanan udang penaeid Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku Meningkatkan produksi udang penaeid Meningkatkan potensi pasar Meningkatkan sarana dan prasarana Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Skala banding secara berpasang Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan tahun Strata kedalaman pada perairan pengamatan Matriks untuk perbandingan berpasang Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai Hasil perhitungan stock density, potential yield, standing stock Spesifikasi armada penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan Variasi jumlah hasil tangkapan pada setiap strata kedalaman Hasil analisis usaha trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tahun Pendapatan setiap nelayan pertahun pada armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan Hasil analisis ragam faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan Hasil uji-t masing-masing faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan Jumlah armada optimum untuk perairan Kabupaten Sorong Selatan xiv

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran Morfologi udang penaeid Siklus hidup udang penaeid Alat tangkap trammel net Ilustrasi sweeping trammel net Peta lokasi penelitian Ilustrasi kegiatan swept area Hierarki untuk pengembangan udang penaeid Kontruksi umum jaring trammel net Jaring trammel net yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan Dimensi umum perahu ketinting yang digunakan nelayan Kegiatan penebaran jaring trammel net Kegiatan pengambilan hasil tangkapan udang oleh nelayan Grafik jumlah hasil tangkapan pertitik pengamatan Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Faktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Tujuan dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Alternatif kebijakan untuk pengembangan perikanan di Kabupaten Sorong Selatan Nilai hasil AHP pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat xv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Kabupaten Sorong Selatan Data swept area Perhitungan stock density Perhitungan biomasa (standing stock) Perhitungan potensial yield Analisis faktor-faktor produksi Perhitungan analisis usaha Persamaan fungsi tujuan linear goal programming Hasil analytical hierarchy process (AHP) Simulasi perhitungan pendapatan asli daerah (PAD) dan hasil tangkapan pada kondisi optimum xvi

16 DAFTAR ISTILAH Analytical hierarchy process : Metoda analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah Armada penangkapan ikan : Kumpulan unit penangkapan ikan berupa kapal beserta mesin, alat tangkap dan alat bantu penangkapan. Biomassa Break event point Bubu Chelae Gillnet Hauling Ikan demersal Ikan pelagis : Massa total (pada waktu tertentu) dari satu atau lebih jenis organisme per satuan luas : Jumlah penjualan dan volume produksi yang tidak memperoleh kerugian dan tidak memperoleh laba : Alat penangkapan ikan yang berifat pasif dan masuk ke dalam kategori perangkap : Capit pada udang : Alat penangkapan ikan yang terbentuk dari susunan jaring satu lapis yang dirangkai secara memanjang : Penarikan jaring atau pengambilan alat tangkap pada proses penangkapan ikan : Ikan-ikan (termasuk crustacea atau cephalopoda) yang hidup di dekat atau sekitar dasar perairan : Ikan-ikan yang hidup di permukaan perairan Inner net : Jaring bagian dalam pada alat tangkap trammel net Omnivora Outter net Over fishing Payback period : Hewan atau tumbuhan pemakan segala jenis (hewan dan tumbuhan) : Jaring bagian luar pada alat tangkap trammel net : Penangkapan ikan secara berlebihan : Penilaian investasi suatu proyek yang didasarkan pada pelunasan biaya investasi oleh net benefit dari proyek viii

17 Pengelolaan perikanan Pengelolaan Perikanan Periopod Potential yield Return of investment Setting Stock density Sumberdaya ikan Standing stock Trammel net Trawl : Tindakan yang terorganisasi untuk mengatur pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya ikan agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara berkesinambungan : Suatu kumpulan tindakan (aksi) yang terorganisasi untuk mencapai tujuan : Kegiatan untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan : Kaki jalan pada udang : Kemampuan pemanfaatan sumberdaya perikanan dari suatu perairan untuk memperoleh hasil yang maksimum dan lestari : Tingkat keuntungan yang diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan dalam suatu usaha : Penurunan jaring atau alat tangkap pada proses penangkapan ikan : Kepadatan stok sumberdaya ikan dalam suatu perairan : Sumberdaya alam berupa ikan dan sejenisnya termasuk crustacea, cephalopoda dan mamalia air : Penggandaan antara luas area survei terhadap kepadatan (kelimpahan) stok : Alat penangkapan ikan yang terbentuk dari tiga susunan jaring yaitu jaring bagian luar (outter net) dan jaring bagian dalam (inner net) yang dirangkai secara memanjang : Alat penangkapan ikan berbentuk kantung, dimana pada mulut kantung dilengkapi dengan rantai pemberat dan papan pembuka, dalam pengoperasiannya ditarik oleh satu atau dua kapal ix

18 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat besar namun belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu wilayah KTI adalah Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru yang terbentuk berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002 yang diresmikan secara lokal oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 selanjutnya menjadi kabupaten definitif terhitung mulai tanggal 14 November 2005 bertepatan dengan diresmikan dan dilantiknya Bupati Kabupaten Sorong Selatan periode oleh Pejabat Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat atas nama Menteri Dalam Negeri. Sebagai wilayah yang baru terbentuk, Kabupaten Sorong Selatan perlu mengkaji dan mengidentifikasi sumberdaya alam yang ada pada semua sektor, termasuk sektor perikanan. Hal tersebut diperlukan dalam rangka pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya yang ada di Kabupaten Sorong Selatan. Akademi Perikanan Sorong (2004) menyatakan bahwa hasil tangkapan udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan cukup tinggi sehingga diduga potensinya cukup besar. Besarnya potensi dan tingginya harga udang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Udang merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Sorong Selatan yang penangkapannya dilakukan oleh nelayan tradisional di perairan Distrik Teminabuan, Inanwatan dan Selat Sele, yang terletak di wilayah bagian selatan Kabupaten Sorong Selatan. Jenis-jenis udang penaeid yang memberikan kontribusi nyata pada perikanan di Kabupaten Sorong Selatan adalah udang jenjang dan udang windu dari genus penaeus dan beberapa jenis dari genus metapenaeus (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006). Tingginya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada terutama udang penaeid yang terdapat di perairan Kabupaten Sorong Selatan merupakan suatu peluang besar bagi berbagai pihak (stakeholders) untuk mengoptimalkan

19 2 pemanfaatannya. Namun demikian, dalam pemanfaatannya harus sesuai dengan daya dukung (carryng capacity) perairannya dan berdasarkan kaidah-kaidah pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable). Hal ini perlu diantisipasi karena permasalahan umum yang dijumpai dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah terbangunnya asumsi dasar bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan sumberdaya milik bersama (common property) sehingga semua orang memiliki akses tanpa batas (open access) (Dahuri, 1998). Asumsi dasar ini pula yang sering melahirkan bentuk-bentuk kegiatan penangkapan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bom dan racun sianida, penangkapan ikan jenis tertentu secara berlebihan (over fishing), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan berbagai kegiatan lainnya yang tidak memperhatikan kaidah pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya udang penaeid yang ada di Kabupaten Sorong Selatan, maka ketersediaan data dan informasi yang memadai, aktual dan akurat yang bersifat spasial (keruangan) mutlak diperlukan. Ketersediaan data dan informasi tersebut akan membantu dalam menetapkan rencana dan strategi pengelolaannya secara optimal, terpadu dan berkelanjutan serta untuk mendukung sektor swasta dalam mengembangkan investasinya. Selanjutnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut, maka perlu melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholders) dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat adalah udang penaeid yang memiliki nilai ekonomi penting namun belum termanfaatkan secara optimal. Selain mempunyai potensi yang besar, sumberdaya udang penaeid juga mempunyai harga yang tinggi. Besarnya potensi dan tingginya harga udang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat, namun kenyataan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan belum dilakukan secara optimal. Tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan, disebabkan oleh berbagai faktor seperti minimnya informasi tentang

20 3 sumberdaya udang, sarana dan prasarana usaha perikanan udang yang masih terbatas, alat tangkap dan armada yang digunakan masih tergolong skala kecil, minimnya kualitas sumberdaya manusia perikanan yang dicirikan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, rantai pemasaran belum tertata dengan baik yang ditunjukan dengan masih dominannya peran tengkulak, keterbatasan modal usaha dan adopsi teknologi yang rendah serta kemampuan manajemen yang lemah (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Informasi dasar tentang potensi lestari dan penyebaran sumberdaya udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan masih sangat terbatas. Padahal informasi tersebut sangat penting untuk menentukan tingkat intensitas dan perencanaan alokasi upaya penangkapan yang optimal. Pemanfaatan sumberdaya udang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan juga memenuhi kontinuitas permintaan pasar masa kini dan masa yang akan datang, sehingga peningkatan pemanfaatan sumberdaya udang juga menumbuhkan peningkatan pendapatan nelayan secara optimal. Peningkatan pendapatan yang optimal ditentukan oleh pilihan teknologi yang digunakan dalam operasi penangkapan udang sesuai aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Hal ini penting karena pemanfaatan yang dilakukan haruslah dengan tetap menjaga ketersediaan sumberdaya udang yang berkelanjutan. Faktor-faktor pendukung dan penghambat perikanan udang penaeid perlu diidentifikasi secara holistic dan terintegrasi mulai dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut kemudian disinergikan untuk mewujudkan strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid sebagai sentra pertumbuhan ekonomi baru yang strategis dan berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Memperhatikan kondisi tersebut di atas, garis besar permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah (1) Tidak adanya data potensi sumberdaya udang penaeid menyebabkan belum diketahuinya kondisi pengelolaan dan peluang pengembangan yang akan dilakukan. (2) Belum diketahuinya faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap usaha perikanan udang serta belum diketahuinya kelayakan usaha. (3) Belum diketahuinya berapa jumlah armada dengan alat tangkap trammel net yang optimal yang beroperasi di

21 4 Kabupaten Sorong Selatan untuk perikanan udang yang berkelanjutan. (4) Belum diketahuinya strategi kebijakan yang tepat dalam pengembangan sumberdaya udang penaeid yang berkelanjutan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan antara lain : 1. Mengestimasi potensi lestari udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan. 2. Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan kelayakan usaha perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. 3. Menentukan jumlah unit penangkapan udang penaeid yang optimal di Kabupaten Sorong Selatan 4. Menyusun strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. 1.4 Manfaat Keluaran dari penelitian ini antara lain : 1. Memberikan informasi yang berkaitan dengan potensi lestari udang penaeid dan tingkat pemanfaatannya sehingga didapatkan komposisi armada penangkapan yang optimum di perairan Kabupaten Sorong Selatan 2. Memberi masukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sorong Selatan mengenai strategi pengembangan perikanan udang penaeid yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat 3. Sebagai data awal diharapkan dapat digunakan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan. 1.5 Hipotesis Sumberdaya udang penaeid masih potensial untuk dikembangkan.

22 5 1.6 Kerangka Pemikiran Pengembangan perikanan udang merupakan permasalahan sistem yang bersifat kompleks karena terdiri dari banyaknya kepentingan, sasaran, alternatif dan banyaknya faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut karena sumberdaya udang di laut bersifat common property (kepemilikan bersama) sehingga sangat rentan terhadap upaya penangkapan yang berlebihan (over fishing), kapasitas yang berlebihan (over capacity) yang dapat menimbulkan konflik atau permasalahan yang saling berpengaruh terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya kebijakan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya udang yang berkelanjutan. Kebijakan pengembangan perikanan udang, tidak bisa dipisahkan dengan faktor sumberdaya yang ada. Upaya pengembangan dapat dilakukan jika informasi mengenai potensi sumberdaya udang, tingkat pemanfaatan serta pengusahaan dari sumberdaya udang diketahui. Tingkat pemanfaatan serta pengusahaan yang lebih besar dari potensi yang ada menyebabkan usaha mengalami kemunduran. Untuk kondisi seperti ini, upaya pengendalian pengelolaan harus menjadi prioritas utama. Salah satu faktor pendorong pengembangan perikanan adalah dengan mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh nelayan. Dalam mencapai sasaran pengelolaan perikanan yang berkelanjutan maka dilakukan berbagai pendekatan yaitu pendekatan biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Output dari berbagai pendekatan yang dilakukan akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengembangan perikanan udang di Kabupaten Sorong Selatan. Identifikasi masalah dilakukan untuk membatasi masalah dengan cara mengidentifikasi keterkaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan. Hal ini berguna untuk menyederhanakan konteks kajian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan dianalisis untuk mengkaji kondisi perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan analisis dengan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) untuk menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten

23 6 Sorong Selatan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 1. Perikanan udang penaeid Common property Over capacity Over fishing Conflic Aspek : Biologi Teknologi Sosial Ekonomi Sasaran pengelolaan perikanan udang yang berkelanjutan Pendugaan potensi Swept area - Potensial yield - Standing stock - Stock density Upaya penangkapan Armada penangkapan Prospek perikanan udang penaeid Pendekatan ekonomi R/C ratio, BEP, RoI dan PP - Pendapatan usaha - Kelayakan usaha Strategi pengembangan Analitycal hierarchy procces (AHP) - Model produksi - Alokasi armada penangkapan Gambar 1 Kerangka pemikiran.

24 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid Kedudukan udang penaeid secara taksonomi menurut Racek dan Dall (1965), Kubo (1949), Naamin et al., (1992) diacu oleh Nelly (2005) adalah sebagai berikut : Filum : Arthrophoda Kelas : Crustacea Sub-Kelas : Malacostraca Series : Eumalacostraca Super-Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub-Ordo : Natantia Tribe : Penaeidea Famili : Penaeidae Sub-famili : Penaeinae Genus : Penaeus, Metapenaeus, Parapenaeus, Parapenaeopsis,dll Morfologi udang penaeid antara lain ditandai dengan warna badannya yang putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit yang tipis dan tembus cahaya dengan bintik coklat dan hijau. Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam seksi penaeidea dapat dibedakan dari jenis udang lainnya oleh dua ciri utama yaitu pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua ditutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan yang pertama (periopod) mempunyai capit (chelae) dan hampir sama besarnya. Hampir sebagian besar jenis-jenis udang lainya termasuk ke dalam seksi caridea, dengan ciri antara lain kulit bagian depan dan bagian belakang pada segmen kedua menutupi kulit pada segmen pertama dan ketiga, sedangkan pasangan ketiga kaki jalan (periopod) tidak mempunyai capit (chelae) dan biasanya besarnya tidak sama (Naamin,1984).

25 8 Genus Penaeus mempunyai rostrum dengan gigi-gigi pada bagian ventral (ventral rostral teeth) dan pada bagian distral (last or distral rostral teeth). Genus Parapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, telson mempunyai sepasang duri tetap (fixed spines) dekat ujung. Genus Metapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, tidak terdapat sepasang duri tetap (fixed spines) pada telson dan jika terdapat duri pada telson, duri tersebut dapat bergerak (movable spines), tidak terdapat exopod (kaki kecil tambahan yang muncul pada pangkal kaki udang) pada ruas (segment) kaki kelima. Genus Parapenaeopsis tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, jika terdapat duri pada telson, merupakan movable spines, terdapat exopod pada ruas kaki kelima (Grey et al., 1983 diacu oleh Nelly 2005). Morfologi udang penaeid disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Morfologi udang penaeid ( Habitat dan penyebarannya Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Udang memasuki lingkungan perairan pantai sebagai pasca-larva. Yuwana ditemukan pada lingkungan muara-muara sungai dan gobah-gobah (Naamin, 1984). Udang bersifat bentik hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai ialah dasar

26 9 laut yang lumer (soft), biasanya terdiri dari campuran pasir dan lumpur. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah udang yang baik. Udang penaeid adalah termasuk jenis decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi. Sedangkan jenis-jenis decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva (Soegiarto et al., 1979). Pada umumnya udang tertangkap dalam jumlah banyak di perairan yang agak dangkal terutama di daerah-daerah muara-muara sungai. Udang penaeid senang tinggal di daerah dimana terjadi percampuran air sungai dan air laut, karena disini banyak terdapat makanan dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan udang. Hutan mangrove merupakan daerah dimana tempat terjadinya pencampuran antara air sungai dan air laut, disamping itu hutan mangrove juga merupakan ekosistem yang khas dan mempunyai corak tersendiri bagi komunitas sumber hayati, termasuk udang melalui jaringan makanannya (food web) yang tidak ada putus-putusnya. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah hutan mangrove merupakan habitat yang baik sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung bagi kehidupan udang (Poernomo, 1968). Menurut Naamin (1984), udang penaeid hampir secara eksklusif ditemukan pada daerah masuknya air sungai (river discharge) yang biasanya ditandai oleh dasar lumpur yang lunak dan kekeruhan tinggi. Hasil tangkapan udang penaeid berfluktuasi menurut fase bulan dimana hasil tangkapan yang lebih tinggi terjadi sekitar bulan gelap, setengah purnama dan setelah purnama penuh. Sedangkan hasil tangkapan udang penaeid pada waktu siang hari lebih baik atau lebih tinggi dari pada waktu malam hari Daur hidup udang penaeid Dahuri (2003) menguraikan daur hidup udang penaeid dapat dikelompokan menjadi dua fase yaitu fase di tengah laut dan fase di estuaria (sekitar muara sungai). Menurut Naamin (1984), udang dewasa hidup dan berkembang biak di tengah laut. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali ganti kulit (moulting), nauplius berubah menjadi protozoa. Kemudian protozoa berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit.

27 10 Tingkatan ini masih bersifat planktonis. Setelah berganti kulit sebanyak tiga kali, maka mysis berubah menjadi pasca-larva. Pasca- larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju ke dasar perairan. Pada daerah asuhan, pasca-larva secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah beberapa kali ganti kulit. Yuwana ini makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian setelah tiga sampai empat bulan tersebut, yuwana berubah menjadi udang muda dan beruaya ke laut. Pada saat di laut udang menjadi dewasa kelamin, kemudian kawin dengan udang betina dan kemudian memijah. Daur hidup udang penaeid dimulai dari saat pemijahan hingga memperoleh individu baru (Gambar 3). Gambar 3 Siklus hidup udang penaeid (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979). Naamin (1984) melanjutkan, daur hidup udang penaeid pada fase di laut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Seekor udang penaeid betina bertelur kira-kira butir, yang diletakkan di dasar laut yang kedalamannya cm. Dalam waktu satu jam telur-telur itu akan menetas menjadi larva disebut nauplius (2) Tingkat nauplius, larva nauplius itu berukuran satu millimeter. Dalam waktu jam berubah menjadi zoea (3) Tingkat zoea, zoea ini ditemukan pada semua kedalaman, tapi pada tingkat selanjutnya bergerak mendekati permukaan perairan dan mulai migrasi ke arah pantai

28 11 (4) Tingkat mysis, pada tingkat ini nampak lebih menyerupai udang dewasa dari pada tingkat sebelumnya dimana semua anggota tubuh udang dewasa mulai kelihatan disini. Fase di estuaria dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Tingkat post larva, selama musim panas, larva-larva udang mencapai daerah pantai memasuki muara sungai sebagai post larva. Disini mereka harus menyesuaikan diri dengan suhu dan salinitas yang bervariasi antara 4-35 o / oo (2) Tingkat juvenil, setelah tinggal di muara sungai, maka post larva berkembang menjadi udang muda, yang makan dan tumbuh di muara-muara sungai sampai umur 2 bulan. Setelah dewasa migrasi ke daerah lepas pantai. Udang penaeid yang memijah di lepas pantai, akan melepaskan telur secara demersal. Setelah 24 jam telur akan menetas menjadi larva (nauplius). Nauplius ini bersifat planktonik, bergerak mengikuti arus dan gelombang menuju daerah asuhan (nursery ground) di daerah pantai, estuary atau muara sungai. Larva udang mengalami metamorfosis menjadi yuwana dalam perjalanannya menuju daerah pantai. Proses metamorfosis dari larva sampai yuwana berlangsung selama tiga sampai empat bulan, sedangkan dari yuwana untuk mencapai udang dewasa diperlukan waktu selama delapan bulan (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979) Tingkah laku dan distribusi udang penaeid Udang mempunyai dua periode tingkah laku yang berbeda yaitu aktif dan pasif. Udang melakukan aktifitas pada malam hari dan membenamkan diri pada siang hari. Menjelang matahari terbit udang membenamkan diri di dalam lumpur atau pasir atau mencari tempat yang agak gelap. Juvenil yang hidup di daerah estuaria menguburkan diri selama siang hari pada dasar yang lembek untuk menghindari gangguan ikan predator sampai tumbuh menjadi udang muda. Migrasi udang dari satu tempat ke tempat lain disebabkan oleh migrasi untuk mencari makanan, migrasi untuk memijah, dan migrasi untuk mempertahankan diri dari perubahan iklim. Dalam usaha pencarian makanannya udang penaeid bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dilihat dari kenyataan bahwa udang mempunyai

29 12 pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makan, sedangkan udang selalu menjadi sumberdaya dan hasil tangkapan oleh manusia, maka udang dapat dikatakan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, dengan kata lain bersifat tidak terlalu memilih-milih (Soegiarto et al., 1979). Udang dewasa biasanya terdapat pada perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya (shelf) cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalam antara meter. Udang-udang muda (yuwana) dan udang dewasa mempunyai toleransi suhu antara o C, tapi jarang ditemukan pada 36 o C atau lebih. Toleransi salinitas udang-udang muda sampai 5 o / oo dan udang dewasa jarang terdapat pada perairan dengan salinitas lebih dari o / oo (Munro,1968 diacu oleh Naamin, 1984). Perairan yang disenangi adalah yang airnya agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar,1965 diacu oleh Naamin,1984). Larva udang ternyata melakukan ruaya secara vertikal pada jam-jam gelap, tetapi tingkah laku ini hilang setelah pasca larvanya berada di sungai. Pola kehidupan udang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman. Migrasi yang dilakukan udang ini selalu terjadi dalam siklus hidupnya, mulai dari bentuk telur hingga menjadi udang dewasa. Hal ini terjadi sebagai suatu reaksi terhadap perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya, baik itu yang disebabkan faktor luar atau faktor dari dalam dirinya sendiri. Migrasi merupakan suatu upaya yang dilakukan udang untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya (Gunarso, 1985). 2.2 Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net Menurut Purbayanto (2006), trammel net adalah alat tangkap yang terbentuk dari tiga susunan jaring yang dirangkai secara memanjang seperti jaring insang secara umum. Jaring lapisan dalam (inner net) dengan mata jaring berukuran kecil diapit oleh dua lembar jaring lapisan luar (outer net) dengan mata jaring berukuran lebih besar dan berfungsi sebagai bingkai. Tinggi jaring lapisan dalam yang dipasang melebihi tinggi jaring lapisan luar, menyebabkan jaring

30 13 lapisan dalam menjadi sangat kendur (high slackness) sehingga akan memudahkan ikan untuk tertangkap secara terpuntal maupun terjebak kedalam kantong (pocketing) yang dibentuk oleh jaring lapisan dalam. Trammel net udang terbuat dari bahan PA multifilament 210d/2 dan monofilament no.2 untuk jaring bagian dalam dan 2d/6 untuk jaring bagian luar. Ukuran mata jaring bagian dalam 38 mm dan 44 mm, sedangkan ukuran mata jaring bagian luar 162 mm dan 250 mm. Trammel net yang bagian dalamnya terbuat dari nilon monofilament oleh nelayan dinamakan jaring tilek. Bentuk mata jaring ditentukan oleh nilai pengerutan adalah beda panjang tubuh jaring dalam keadaan terenggang sempurna dengan panjang jaring setelah terpasang pada tali pelampung dan tali pemberat. Nilai pengerutan trammel net udang yang umumnya dipakai oleh nelayan untuk jaring bagian dalam 0.41 sampai 0.67 dan untuk jaring bagian luar 0.25 sampai Telah dikatakan bahwa jaring bagian dalam terpasang secara kendor diantara dua panel jaring bagian luar. Ini diakibatkan oleh take up rate. Disebutkan oleh Nomura (1981) bahwa take up rate adalah perbedaan tinggi jaring bagian dalam dan tinggi jaring bagian luar setelah terpasang pada tali pelampung dan pemberat, yang mana bagian dalam lebih tinggi dari bagian luar. Nilai take up rate yang digunakan oleh nelayan di beberapa perairan di Jawa Barat berkisar antara 0.20 sampai Gambar 4 Alat tangkap trammel net ( Trammel net menurut cara pengoperasiannya terdiri dari bottom set trammel net dan sweeping trammel net. Cara pengoperasian sweeping trammel net

31 14 adalah salah satu bagian ujung jaring didiamkan dengan jangkar kemudian ujung jaring yang lainnya ditarik dengan kapal dalam bentuk lingkaran. Waktu untuk sekali operasi kira-kira satu jam dan kecepatan penarikan sangat lambat (Nomura dan Yamasaki, 1977). Cara pengoperasian demikian ini lebih produktif daripada cara pengoperasian dengan membiarkan jaring hanyut pada dasar perairan, demikian juga cara pengoperasian ini lebih baik dari cara pengoperasian jaring ditarik lurus menyapu dasar perairan (Puspito, 2002). Tupamahu (2006) mengatakan pengoperasian sweeping trammel net dilakukan dengan cara jaring ditarik dari salah satu ujungnya seperti yang diilustrasikan pada gambar 5. Penarikan dilakukan di bagian haluan kapal dimana arah kemudi sejajar dengan haluan kapal (kemudi disegel). Waktu yang dibutuhkan mulai dari penarikan sampai dengan hauling adalah 1 jam dengan kecepatan penarikan berkisar antara 1 sampai 1,4 knot. Sweeping trammel net ini dikonstruksikan dari bahan PA monofilament No. 20 untuk jaring bagian dalam, PA multifilament 210d/12 untuk jaring bagian luar dengan tinggi jaring sekitar 1,2 meter. Ukuran mata jaring bagian dalam bervariasi mulai dari 1,5 inch (38,1 mm) sampai 2,0 inch (50,8 mm). Cara pengoperasiannya dilakukan dengan menarik salah satu ujung jaring secara melingkar menyapu dasar perairan sehingga udang penaeid dapat tertangkap. Pelampung tanda Arah penarikan Gambar 5 Ilustrasi sweeping trammel net ( Tupamahu, 2006).

32 Pendugaan Stok Gulland (1983) menyatakan bahwa data hasil penangkapan per satuan upaya penangkapan (catch per unit effort; CPUE) dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kelimpahan stok. Pengukuran kelimpahan dan perubahannya adalah suatu yang penting dalam pendugaan stok. Oleh karena itu data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) merupakan langkah dasar yang penting dalam pengukuran tersebut. Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan di suatu perairan dengan menyapu suatu area di dasar perairan tertentu dengan menggunakan alat tangkap trawl atau sejenisnya. Tujuan utama pendugaan stok ikan adalah untuk mengetahui kelimpahan stok di suatu perairan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk eksploitasi secara maksimum dari sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati tersebut tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas tetapi dapat diperbaharui, namun penangkapan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kepunahan. Pendugaan stok ikan dapat digambarkan dari tingkat pengeksploitasian dalam waktu yang cukup lama (Sparre, et al., 1989). Menurut Pauly (1979), pendugaan stok sumberdaya perikanan tergantung dari habitatnya, yaitu : 1. Ikan-ikan pelagis kecil diduga dengan menggunakan metode akustik. 2. Ikan-ikan karang umumnya diduga dengan metode pembiusan dan metode perhitungan secara langsung. 3. Ikan-ikan demersal diduga dengan metode swept area. Pendugaan stok ikan di daerah tropis lebih sulit daripada di daerah sub tropis. Hal ini antara lain dikarenakan: 1. Perkiraan di daerah tropis terutama perikanan demersal saling dieksploitasi dalam jumlah spesies yang banyak secara serentak. 2. Negara-negara di daerah tropis pada umumnya mempunyai kemampuan penelitian yang terbatas, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan tidak diteliti dengan baik. Dalam pendugaan besarnya stok ikan terlebih dahulu ditentukan metode survei yang akan dipergunakan. Metode survei yang digunakan ialah simple

33 16 random sampling dan stratified random sampling. Simple random sampling digunakan untuk dristibusi horizontal stok ikan yang akan diduga kelimpahannya dengan asumsi bahwa ikan menyebar seragam dan kelimpahannya tidak dihubungkan dengan kedalaman, sedangkan stratified random sampling digunakan untuk distribusi ikan menurut kedalaman (Sparre et al., 1989). Rata-rata laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dianggap proporsional dengan kelimpahan stok di alam. Indeks ini kemudian dikonversikan ke dalam ukuran besar biomassa secara mutlak dengan menggunakan metode swept area. Maksud dari pengkajian stok adalah memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang optimum seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas, tetapi dapat memperbaharui dirinya. Stok diartikan sebagai sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama dan menghuni suatu wilayah geografis yang sama. Untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat (terutama spesies demersal, misalnya udang penaeid) lebih mudah untuk menentukannya sebagai satu stok dari pada spesies yang beruaya jauh seperti tuna dan ikan2 pelagis lainnya (Sparre and Venema, 1999). Selanjutnya Sparre and Venema (1999) menyatakan tujuan penggunaan model schaefer adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield-msy). Model schaefer termasuk model holistic yang lebih sederhana dibanding model analitik karena model ini memerlukan data yang lebih sedikit, sehingga model ini banyak digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model schaefer dapat diterapkan apabila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (cath per unit effort) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang cukup.

34 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Suatu tingkat pemanfaatan yang optimum adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlah atau kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami. Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus menerus secara maksimal dalam waktu yang terbatas maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu dibatasi sampai pada suatu titik tertentu. Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan. Tanpa didasari oleh pengetahuan tersebut, usaha untuk mencapai program perikanan belum tentu dapat dipercayai (Dahuri, 2003). Dalam pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan, udang atau hutan mangrove, laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode tertentu. Berdasarkan pedoman dari Direktorat Jendral Perikanan yang mengacu pada code of conduct for resposible fisheries (FAO, 1995), tingkat penangkapan/ pemanenan suatu stok sumberdaya tidak boleh melebihi 80% nilai MSY (JTB, jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut termasuk udang, prinsip pendekatan berhati-hati (precautionary approach) perlu dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan (Dahuri, 2003). 2.5 Model Produksi Model dalam suatu proses produksi merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor input yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Ada dua tahap penting dalam penyusunan model, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen yang penting dari sistem dan menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari komponen (Komarudin, 1995) Hubungan teknis antara produksi yang dihasilkan per satuan waktu dengan jumlah faktor produksi yang dipakai, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun faktor produksi itu sendiri disebut fungsi

35 18 produksi. Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi didefinisikan sebagai jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dengan menggunakan jumlah input tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X 1, X 2, X 3,...,...,..., X n ) Keterangan : Y = output X n f = input = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output. Menurut Teken dan Asnawi (1984), dalam persamaan fungsi produksi dapat diterangkan bahwa produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor produksinya, tetapi persamaan tersebut belum dapat memberikan hubungan kuantitatif. Fungsi tersebut terlebih dahulu dinyatakan dalam bentuk yang lebih khas seperti fungsi Cobb-Douglas, fungsi linear, kuadratik dan sebagainya. Fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linear dan analisis regresi. Dalam persamaan regresi tercakup dua variabel, yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di dalam regresi linear berganda (multiple linear regression), variabel tak bebas (Y) tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : Y = b + b X + b X + b X b X n n Dimana X 1, X 2, X 3,, X n melambangkan masing-masing faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi senilai Y. Soekartawi (1994) menyatakan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang satu disebut variabel dependent yang dijelaskan oleh (Y) dan yang lain disebut variabel independent yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara X dan Y biasanya dengan cara regresi, variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas banyak dipakai oleh peneliti, yaitu :

36 19 1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus akan menunjukkan besaran elastisitas. 3. Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran skala pengembalian (return to scale). 2.6 Analisis Usaha Analisis usaha merupakan suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et al., 1978). Suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya memenuhi syarat berikut : 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; 2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa serta dana penyusutan modal; dan 3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja, atau bentuk-bentuk lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Seorang pengusaha dapat membuat perhitungan dan menentukan langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam perusahaannya dengan analisis usaha. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi. Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan adalah biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Pendapatan adalah total penerimaan (total revenue = TR) dikurangi dengan total biaya (total cost = TC). Penerimaan adalah total produksi dikalikan dengan harga per satuan produk. Biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu.

37 Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan Potensi sumberdaya perikanan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dapat memberikan sumber devisa bagi negara dari sektor non migas melalui peningkatan ekspor. Di samping itu, perikanan sebagai sumberdaya, juga rentan terhadap pemanfaatan oleh manusia secara berlebihan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang memerlukan penyelesaian sangat hati-hati dan berdimensi jangka panjang/strategis. Purwanto (2000) membagi profil perikanan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Profil perikanan produktif, perikanan yang mampu mendayagunakan sumberdayanya secara optimal, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia; 2. Profil perikanan stabil, perikanan yang mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, misalnya dalam mengatasi musim paceklik ikan yang panjang; 3. Profil perikanan berlanjut, perikanan yang mampu menyesuaikan pola dan struktur produksinya terhadap perubahan permintaan masyarakat, perubahan lingkungan hidup maupun perubahan teknologi; dan 4. Profil perikanan terpadu, perikanan yang mampu berperan positif dalam pembangunan nasional dan pembangunan wilayah; peningkatan pendapatan masyarakat nelayan/petani/pengusaha ikan dan perluasan lapangan kerja. Lebih lanjut Purwanto (2000) mengatakan bahwa perikanan yang tepat dalam mengantisipasi kondisi tersebut adalah (1) suatu profil perikanan yang dapat mendorong pelestarian usaha perikanan dengan menciptakan teknologi tepat guna sesuai daya dukung lingkungan; (2) profil perikanan yang memiliki daya saing komoditi tinggi melalui penekanan daya produksi serta menjaga produk. Untuk mendukung pembangunan perikanan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan yang berwawasan lingkungan perlu disusun suatu konsep tata ruang wilayah pesisir dan laut dan konsep pengembangan perikanan yang mampu berusaha secara terpadu. Pengembangan perikanan dapat dilakukan melalui pelaksanaan tujuan dasar atau bidang hasil pokok pembangunan perikanan, yaitu :

38 21 1. Mendorong pengembangan perikanan yang berorientasi pasar (demand driven); 2. Mendorong pemanfaatan sumberdaya pantai secara optimal (efficiency); 3. Mendorong pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainability); dan 4. Mendorong berkembangnya manajemen perikanan berbudaya industri (quality). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Haluan dan Nurani (1988), empat aspek yang harus dipenuhi suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu (1) Secara biologi tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberdaya; (2) Secara teknis efektif digunakan; (3) Secara Sosial dapat diterima oleh nelayan dan (4) Secara ekonomi bersifat menguntungkan. Satu aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu adanya izin dari pemerintah (kebijakan atau peraturan pemerintah). Menurut Kesteven (1973) pengembangan usaha perikanan harus mempertimbangkan aspek aspek bio-technico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu : 1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberadaya; 2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan; 3. Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan; dan 4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan. Monintja (1987) menyatakan dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang

39 22 tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap : 1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan; 2. Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani; 3. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; 4. Menciptakan lapangan kerja; dan 5. Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing masing tempat. Namun tidak semua moderinisasi dapat mengahasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu mengahasilkan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu penggunaan teknik teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan (Barus et al., 1991). Selanjutnya Barus et al., (1991) menyatakan bahwa upaya pengelolaaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK, akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk medapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi. Kusumastanto (1984), mengemukakan bahwa hal hal yang perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan perikanan tangkap adalah : 1. Adanya musim penangkapan ikan yang berbeda sepanjang tahun; 2. Adanya beberapa jenis perikanan tangkap dengan mengkombinasikannya dengan alat tangkap lain; 3. Adanya tingkat teknologi tertentu untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap; 4. Adanya harga korbanan dan harga hasil tangkapan dari setiap jenis perikanan tangkap;

40 23 5. Terbatasnya trip penangkapan yang dapat dilakukan setiap tahunnya; 6. Terbatasnya kemampuan nelayan untuk membiayai usahanya dan melakukan invesatasi dalam unit perikanan tangkap yang dilakukan; dan 7. Terbatasnya tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan yang diusahakan. Djamali dan Burhanuddin (1995) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan perikanan, perlu didukung oleh suatu perencanaan pembangunan yang lebih didasari atas data dan informasi yang menyeluruh termasuk sumberdaya perikanannya, maupun aspek sosial dan ekonominya. Pengkajian perlu dilakukan secara berkesinambungan agar data dan informasi yang mutakhir dapat selalu tersedia yang dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijaksanaan dalam rangka pengembangan perikananya. Hartati (1996) mengatakan bahwa jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat memenuhi semua kriteria di atas pada suatu daerah perikanan dengan dilakukan penelitian terhadap unit unit penangkapan ikan yang ada di daerah tersebut. Selain untuk mengarahkan modal nelayan ke arah alat penangkapan ikan yang lebih produktif agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya juga untuk pembangunan dan pengembangan perikanan di masa mendatang. Nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk dapat memiliki SDM bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan. Karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan serta. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Selanjutnya peran bidang pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalar para nelayan, karena penangkapan ikan di laut tidak hanya menuntut kemauan dan ketahanan fisik tetapi juga kemampuan penggunaan teknologi peralatan yang canggih untuk setiap kapal penangkap. Oleh karena itu

41 24 dua masalah ini merupakan kendala utama yang sering dihadapi dalam usaha pengembangan alat penangkapan ikan di Indonesia. Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya adalah (1) Pengembangan prasarana perikanan; (2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan dibidang perikanan; (3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan; dan (4) Pengembangan system informasi manajemen perikanan (Ditjen Perikanan, 1994). Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan modal yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan (Syafrin, 1993). 2.8 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. AHP merupakan metode analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metode ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarkhi dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty, 1991). Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat. Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarkhi kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan

42 25 menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas (Saaty, 1991). Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kekompleksitasan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarkhi, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarkhi yang disesuaikan dengan pokok permasalahan. Selanjutnya Nurani (2003) menjelaskan bahwa metode analisis analytical hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan yang bertujuan untuk memecahkan konflik yang terjadi sehingga mendapatkan lokasi yang tepat dan optimal bagi pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable). Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) kedalam ukuran yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Menurut Saaty (1991) prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hierarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1. Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks dengan menggunakan rata-rata aritmetik sebagai berikut : Nkj = n kj= 1 aij( k) Keterangan : Nkj : Nilai kolom ke j aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j n : Jumlah elemen

43 26 Ndij = aij Nkj Keterangan : Ndij aij Nkj : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasikan pada baris i dan kolom j : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j : Nilai kolom ke j Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen komparasi perpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai terendah. Pembobotan melalui keputusan (judgement) oleh pakar berdasarkan nilai skala komparasi antara 1-9 (Saaty, 1991). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantifikasi data yang bersifat kualitatif. Tabel 1 Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991) Tingkat Definisi Penjelasan kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya Satu elemen dengan kuat disokong, dominannya terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan Kebalikan Jika elemen i mendapat satu angka dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan dibandingkan dengan elemen i

44 Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten pemekaran yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun Pemekaran Kabupaten Sorong Selatan ini diresmikan oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 dengan batas-batas wilayah administratif : 1. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Morait dan Distrik Sausapor Kabupaten Sorong; 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari; 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram (Propinsi Maluku); dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Distrik Beraur Kabupaten Sorong. Luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan km 2 dengan luas laut km 2. Ibukota kabupaten adalah Kota Teminabuan yang terletak di kawasan pesisir dan berjarak 235 km dari Kabupaten Sorong. Terdiri dari 14 distrik, 210 kampung dan 3 kelurahan. Secara geografis Kabupaten Sorong Selatan ini terletak antara BT dan LS. Hutan mangrove tersebar disepanjang garis pantai serta perairan umum (hulu/hilir sungai) di Kabupaten Sorong Selatan, diantaranya di Distrik Teminabuan, Inanwatan, Seremuk, Kais dan Kokoda dan kawasan Selat Sele. hutan mangrove didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Aonneratiacaeae dan Avicenniaceae. Iklim wilayah Sorong Selatan tergolong iklim tropis monsoon. Musim hujan terjadi saat berlaku monsoon Barat Laut, yaitu pada bulan Desember Maret. Musim kemarau terjadi saat berlaku monsoon tenggara, yaitu pada bulan Mei Oktober (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Suhu udara rata-rata berkisar antara C. Fluktuasi suhu rata-rata tahunan tidak lebih dari 2 C. kecepatan angin berkisar dari lambat hingga sedang (8m/det), dengan frekuensi kejadian kurang dari 2%. Kecepatan angin terbesar umumnya bertiup dari arah barat daya (>15 m/det).tekanan udara barometrik berkisar dari 998,6 mb 1.013,0 mb dengan tekanan udara rata-rata 1.006,1 mb. Kelembaban udara rata-rata 84,7% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 54,3%.

45 Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan Armada penangkapan udang di Kabupaten Sorong Selatan antara lain perahu tanpa motor dan perahu yang menggunakan motor yaitu ketinting, jolor, johnson dan pengangkut kapal perikanan (pkp). Ketinting dan perahu tanpa motor adalah jenis armada yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini menggambarkan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar masih tergolong kecil atau tradisional. Jumlah armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Armada Jumlah yang ada (unit) Prosentase (%) 1 Perahu tanpa motor Kapal bermesin Ketinting Kapal bermesin Jolor Kapal bermesin Johnson Kapal pkp jumlah Jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 5 alat tangkap yaitu trammel net, gillnet, jala, hand line dan bubu. Dari kelima alat tangkap tersebut, trammel net merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan dalam usaha penangkapan udang. Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Jenis alat tangkap Jumlah (pcs) prosentase (%) 1 trammel net gillnet jala hand line (unit) bubu (unit) total

46 29 Hasil tangkapan yang didapatkan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 4 komoditi yaitu udang penaeid, kepiting bakau, ikan mas dan ikan campuran. Dari keempat komoditi tersebut, komoditi udang penaeid mendominasi jumlah hasil tangkapan dibandingkan komoditi lainnya. Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No Jenis komoditi Jumlah (ton) 1 Udang penaeid Kepiting bakau Ikan mas Ikan campuran 450 Jumlah Penduduk Menurut Anonim (2004), lebih kurang 90% penduduk Kabupaten Sorong Selatan adalah penduduk asli, dan sisanya adalah pendatang (Jawa, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan sebanyak jiwa terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Dihubungkan dengan luas kabupaten, maka kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 jiwa /km 2. Hal ini mengandung arti bahwa Kabupaten Sorong Selatan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah berdasarkan kriteria BPS (1999) karena kurang dari 200 jiwa/km 2. Penduduk di Kabupaten Sorong Selatan paling banyak berada di Distrik Teminabuan yang merupakan ibukota Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebanyak jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Distrik Wayer yaitu sebanyak jiwa. Distrik Teminabuan sebagai pusat dan gerbang kegiatan ekonomi lebih maju dan berkembang pesat dibanding distrik-distrik yang lain, hal ini disebabkan belum adanya sarana transportasi (jalan darat) yang menghubungkan antar distrik (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan disajikan pada Tabel 5.

47 30 Tabel 5 Jumlah Penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan 2006) No. Distrik Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Inanwatan 4,243 4,014 8,258 2 Kokoda 7,740 7,324 15,063 3 Aifat timur 2,026 2,034 4,060 s4 Aifat 2,999 3,012 6,011 5 Aitinyo 4,372 4,139 8,511 6 Moswaren 1,795 1,849 3,644 7 Teminabuan 8,526 8,050 16,576 8 Ayamaru 6,866 6,433 13,302 9 Sawiat 3,234 3,105 6, Mare 1,891 1,772 3, Matemani kais 2,030 1,920 3, Wayer 1,749 1,639 3, Seremuk 2,993 2,827 5, Ayamaru utara 3,698 3,479 7,177 Jumlah 54,163 51, ,763 Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya (75 %) di sektor perikanan yaitu sebagai nelayan. Adapun Nelayan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari nelayan yang menangkap ikan di laut dengan perahu tanpa mesin, armada penangkapan ketinting, jolor, johnson, pkp, dan nelayan pembudidaya ikan. Jumlah nelayan perahu tanpa motor merupakan nelayan paling banyak dengan jumlah 43,13 % atau 710 orang dibandingkan jumlah nelayan-nelayan lainnya. Jumlah nelayan dan proporsinya di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006) No kategori nelayan jumlah (orang) Prosentase (%) 1 Nelayan perahu tanpa motor ,13 2 Nelayan perahu bermesin ketinting ,21 3 Nelayan perahu bermesin jolor 164 9,96 4 Nelayan perahu bermesin johnson 83 5, 04 5 Nelayan perahu pkp 95 5,77 6 Nelayan pembudidaya ikan ,88 jumlah

48 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Nopember 2007, meliputi studi pustaka, survei penelitian, pembuatan proposal, pengumpulan data dan informasi di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penyusunan hasil penelitian. Sedangkan lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat (Peta Lampiran 1). 3.2 Bahan dan Alat Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu kayu bermesin ketinting (5,5 PK), alat tangkap jaring trammel net, kompas, timbangan, alat tulis, tape recorder (kaset dan baterai) untuk keperluan peliputan diskusi dan tanya jawab, kamera (film dan baterai) untuk keperluan merekam data fisik dalam bentuk gambar/video, kendaraan bermotor (roda empat atau roda dua) untuk keperluan mobilisasi survei. 3.3 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara dengan pengisian kuesioner dan studi pustaka. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan survei, swept area (experimental fishing) dan wawancara dengan pengisian kuesioner oleh responden. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan dan dinas-dinas lain yang terkait. Kegiatan swept area dilakukan untuk mengambil data primer dengan membagi lokasi penelitian menjadi 5 wilayah pengamatan atau strata kedalaman yang tersebar berdasarkan topografi wilayah pesisir, kedalaman yang berbeda dan habitat udang penaeid (Gambar 6). Pemilihan daerah pengamatan tersebut berdasarkan asumsi bahwa daerah tersebut dapat mewakili daerah penangkapan udang di lokasi penelitian. Kedalaman perairan pada kelima strata kedalaman pengamatan dapat dilihat pada Tabel 7.

49 32 II I IV III V Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

50 33 Tabel 7 Strata kedalaman pada perairan pengamatan Strata kedalaman Kedalaman m m m m m Sweeping dilakukan lima kali pada setiap strata kedalaman. Pada masingmasing strata kedalaman diambil lima titik pengamatan sehingga data primer ini diambil dengan 25 kali penebaran/penarikan jaring. Kegiatan swept area yang dilakukan pada penelitian ini dapat diuraikan sebagaimana prosedur operasi penangkapan udang dengan trammel net pada umumnya yang dilakukan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan ditambah dengan sedikit perlakuan untuk menentukan luas sapuan trammel net sebagaimana yang ditentukan, sehingga pada penelitian ini bisa dihitung luas sapuan trammel net. Prosedur sweeping yang dilakukan pada penelitian ini sebagaimana ditunjukan pada Gambar 7. (1) Memasang pelampung tanda pada salah satu ujung jaring (2) Kapal bergerak menurunkan badan jaring dari posisi pelampung tanda dengan arah lurus sehingga seluruh badan jaring terbentang secara sempurna di perairan (3) Kapal bergerak menarik ujung jaring dari posisi setting terakhir untuk menyapu (sweeping) dasar perairan yang menjadi habitat udang (4) Kapal berhenti melakukan sweeping ketika luas area sapuan telah mencapai seperempat lingkaran (5) Nelayan mengangkat jaring (hauling) dan mengambil hasil tangkapan. Metode swept area yang dilakukan pada unit penangkapan udang penaeid dengan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong Selatan ini menggunakan asumsi-asumsi di bawah ini. 1. Badan jaring selama operasi penangkapan terbentang sempurna 2. Kekuatan arus kecil dan tidak mempengaruhi alat tangkap pada saat operasi penangkapan

51 34 3. Populasi udang menyebar merata di seluruh daerah penangkapan di perairan Kabupaten Sorong Selatan. Ilustrasi kegiatan swept area yang dilakukan pada penelitian yang berlokasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan sebagaimana terlihat pada Gambar 7. Gambar 7 Ilustrasi kegiatan swept area. 3.4 Analisis Data Pendugaan jumlah stok udang penaeid dengan metode swept area Pendugaan jumlah stock udang penaeid dengan metode swept area dilakukan dengan cara menghitung stock density, standing stock dan potential yield yang menggunakan rumus-rumus seperti yang diuraikan di bawah ini. 1. Stock density Stock density merupakan penentu kepadatan dari rata-rata hasil tangkapan per upaya penangkapan terhadap luas jalur yang dilalui oleh trammel net dengan asumsi bahwa escapment factor (udang yang diperkirakan lolos pada waktu penangkapan) sebesar 0,5 (Sparre et al., 1989). Stock density dapat dihitung dengan rumus persamaan seperti di bawah ini. SD = c f A ef / 3 10

52 35 Keterangan : SD = stock density (ton/km 2 atau kg/ km 2 ) c/f = rata-rata hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg) A = luas area sapuan trammel net per satuan waktu (km 2 ) = ¼ π r 2 ef = escapement faktor (0,5) 2. Standing stock Metode swept area dapat juga digunakan untuk menghitung standing stok (biomassa), khususnya udang yang tertangkap selama survei penelitian dilakukan. Standing stock merupakan penggandaan antara luas area survei terhadap kepadatan (kelimpahan) stok (Saeger et al., 1976). Rumus yang digunakan untuk menghitung standing stock (Sparre et al., 1989) adalah sebagai berikut : SS = SD x A Keterangan : SS = standing stock (ton) A = luas area survei (km 2 ) 3. Potential yield Pendugaan potential yield pada dasarnya sama dengan maksimum sustainable yield (MSY) ialah kemampuan pemanfaatan sumberdaya perikanan dari suatu perairan untuk memperoleh hasil yang maksimum dan lestari. Besarnya nilai potential yield untuk perairan yang belum dieksploitasi/virgin (8) dan non virgin (9), masing-masing dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut (Gulland, 1983) : Py = k x M x SS.(8) Py = k (Y + MSS)..(9) Keterangan : Py = potential yield (ton/tahun) M = koefisien kematian alami (0,5 2,0) SS = standing stock (ton) k = konstanta (0,4 0,6), untuk daerah tropis k = 0,5 Y = hasil tangkapan pada tahun terakhir dari daerah survei (ton)

53 Faktor-faktor produksi Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi udang penaeid dari tiap unit penangkapan udang dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda fungsi produksi linear dan Cobb-Douglas. Menurut Soekartawi (1994), kaidah-kaidah pada garis regresi berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb- Douglas. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : b 1 b Y = a + X + X X n bn + e...(10) Fungsi ini dapat disederhanakan untuk memperoleh bentuk fungsi linear dengan cara ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma, sehingga menjadi bentuk persamaan linear berganda yaitu : LogY = Loga0 + b1 LogX 1 + b2logx bn Logxn + Loge...(11) Keterangan : Y = produksi X 1 - X n = faktor produksi a 0 = intersep b 1 - b n = koefisien regresi dari parameter penduga e = peubah pengganggu Dalam pengolahan data akan menggunakan pengujian statistik uji-f, R 2 dan dapat pula dengan melihat tanda (positif atau negatif) dari parameter-parameter yang diduga. Penggunaan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi diuji menggunakan uji hipotesis, yaitu dengan menggunakan uji statistik berupa : 1. Pengujian pengaruh bersama-sama faktor-faktor produksi yang digunakan terhadap produksi (Y) yang dilakukan dengan uji F, yaitu : H 0 : b i = 0 (untuk i = 1, 2, 3,..., n), berarti antara Y dengan X i tidak ada hubungan. H 1 : minimal salah satu b i # 0 (untuk i = 1, 2, 3,..., n), berarti bahwa Y tergantung terhadap X i secara bersama-sama. Jika F hitung > F tabel H 0 ditolak Jika F hitung < F tabel H 0 diterima

54 37 2. Pengujian pengaruh masing-masing faktor produksi terhadap produksi dilakukan menggunakan uji t-student, yaitu : H 0 : b i = 0 (untuk i = 1, 2, 3,..., n), berarti antara Y dengan X i tidak ada hubungan. H 1 : b i # 0 (untuk i = 1, 2, 3,..., n), berarti antara Y dengan X i ada hubungan. Jika t hitung > t tabel H 0 ditolak Jika t hitung < t tabel H 0 diterima Keterangan : H 0 ditolak, artinya pada selang kepercayaan tertentu faktor teknis produksi (X i ) berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). H 0 diterima, artinya pada selang kepercayaan tertentu faktor teknis produksi (X i ) tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan fungsi linear berganda untuk mencari hubungan antara faktor-faktor teknis produksi dengan produksi hasil tangkapan yang merupakan variabel bebas dan variabel tak bebas. Pengolahan variabel bebas dan variabel tak bebas menggunakan program SPSS (stastical product and service solution) dengan petunjuk seperti diterangkan oleh Santoso (1984). Ada banyak faktor produksi yang mempengaruhi proses produksi dalam usaha penangkapan udang penaeid. Oleh karena itu, dalam analisis ini dipilih beberapa faktor yang dianggap sebagai parameter penentu di dalam pengoperasian trammel net, diantaranya adalah : 1. Jumlah trip (X 1 ) Jumlah trip dalam satu tahun. 2. Panjang jaring (X 2 ) Panjang jaring merupakan panjang rangkaian jaring yang membentuk trammel net diukur dalam satuan meter. 3. Bahan bakar minyak (X 3 ) Perahu trammel net menggunakan mesin tempel sebagai tenaga penggerak dengan solar sebagai bahan bakarnya. Jumlah solar yang digunakan selama operasi penangkapan dihitung dalam liter.

55 38 4. Tenaga kerja/abk (X 4 ) Tenaga kerja adalah setiap nelayan yang terlibat langsung di dalam usaha penangkapan ikan (udang) di laut termasuk juru mudi. 5. Daya mesin (X 5 ) Daya mesin adalah kekuatan mesin dalam menggerakkan perahu, sehingga sangat menentukan kecepatan gerak perahu. Ukuran daya mesin dinyatakan dalam satuan PK. 6. Tinggi jaring (X 6 ) Ukuran jaring antara tali ris bawah dengan tali ris atas, diukur dalam satuan meter. 7. Ukuran perahu / GT (X 7 ) Ukuran perahu dinyatakan dalam gross tonnage (GT), semakin besar GT maka semakin besar kapasitas muat perahu tersebut. Besarnya GT perahu akan menentukan jarak operasi penangkapan ikan, karena dengan memperbesar GT memungkinkan perahu beroperasi lebih jauh dari pantai. Untuk mendapatkan GT perahu digunakan rumus berikut (Nomura and Yamazaki, 1975) : GT = L B D C 0,353 Keterangan : L = panjang perahu (m) B = lebar perahu (m) D = dalam perahu (m) C = konstanta bahan perahu (fiber = 0,55) Analisis usaha Menurut Kadariah et al. (1999), Analisis usaha merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha yang telah dicapai selama usaha tersebut berjalan. Analisis usaha ini dapat dijadikan sebaga sumber pegangan untuk memperhitungkan dan menentukan langkah dalam memperbaiki atau meningkatkan keuntungan dalam usahanya. Komponen yang digunakan dalam analisis usaha meliputi biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Dalam analisis usaha, dilakukan analisis

56 39 usaha pendapatan, analisis imbangan penerimaan dan biaya, analisis payback period serta analisis break event point (Djamin 1984). Analisis usaha yang dilakukan dalam usaha perikanan udang penaeid adalah analisis usaha pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio), analisis break event point (BEP), return of investment (ROI) serta payback period (PP). 1. Analisis pendapatan usaha Untuk mengukur apakah kegiatan usaha yang sedang dijalani berhasil atau tidak maka dilakukan analisis pendapatan usaha yang bertujuan mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dengan rumus (Djamin, 1984). Rumus yang digunakan untuk menghitung pendapatan usaha tersebut adalah : Keterangan : π = TR TC π : keuntungan TR: total penerimaan TC: total biaya Dengan kriteria : 1) TR > TC, maka usaha tersebut menguntungkan dan dapat dilanjutkan 2) TR < TC, maka usaha tersebut merugikan dan tidak layak dilanjutkan 3) TR = TC, maka usaha tersebut berada dalam titik impas. 2. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue-cost ratio) Analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Djamin 1984). Rumus yang digunakan adalah : R/C = TR/TC Keterangan : TR : total penerimaan TC : total biaya Dengan kriteria 1) Jika R/C > 1, maka kegiatan usaha mendapatkan keuntungan

57 40 2) Jika R/C < 1, maka kegiatan usaha menderita kerugian 3) Jika R/C = 1, maka usaha berada dalam titik impas atau usaha tidak mendapatkan untung atau rugi. 3. Break event point (BEP) Skala usaha perlu diketahui pada jumlah penjualan dan volume produksi yang tidak memperoleh kerugian dan tidak memperoleh laba, juga pada jumlah penjualan dan volume produksi yang dapat mencapai keuntunngan tertentu. Analisa break even point (BEP) dihitung dengan rumus (Edris, 1983 diacu dalam Citrasari, 2004), yaitu : BEP = 1 Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap Penjualan (Rp) BEP = Biaya Tetap Pr oduksi Penjualan Biaya Tidak Tetap (Kg) 4. Return of investment (ROI) Tingkat keuntungan yang diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan dalam suatu usaha dapat dihitung dengan rumus (Munawir, 1988 diacu dalam Ariestine, 2001) : ROI = Keuntungan Investasi 5. Payback period (PP) Payback period (PP) merupakan penilaian investasi suatu proyek yang didasarkan pada pelunasan biaya investasi oleh net benefit dari proyek, payback period dapat dihitung dengan rumus (Djamin, 1984) : Investasi PP = ( 1tahun) Keuntungan Alokasi jumlah unit penangkapan optimum Optimalisasi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan menggunakan analisis goal programming, yaitu mengalokasikan jumlah alat

58 41 tangkap dengan tujuan mengoptimalkan hasil tangkapan udang, mengoptimalkan ketersediaan es dan ketersediaan BBM. Prinsip dasar dari analisis goal programming atau disebut juga analisis program tujuan ganda adalah berusaha meminimalkan deviasi dari berbagai tujuan, sasaran, atau target yang hendak dicapai. Model matematik dari linear goal programming dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Fungsi tujuan: Meminimalkan Z = P 1 (db 1 +da 1 ) + P 2 (db 2 +da 2 ) + P 3 (db 3 +da 3 ) + P 4 (db 4 ) + P 5 (db 5 )+ P6 (db 6 )+ P7( db 7 ) Kendala-kendala tujuan / ST: 1. a 11 x 1 + a 12 x a in x n + (db 1 - da 1 ) = b1 2. a 21 x 1 + a 22 x a in x n + (db 2 - da 2 ) = b2 3. a 31 x 1 + a 32 x a in x n + (db 3 - da 3 ) = b3 4. x 1 - (db 4 ) b4 5. x 2 - (db 5 ) b5 6. x 3 - (db 6 ) b6 7. x 4 - (db 7 ) b7 Keterangan : Z : Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan P1 P5 : Urutan prioritas tujuan dimana P1>P2>P3>P4>P5 db 1 - da 1 : Jumlah hasil tangkapan ikan yang telah tidak tercapai atau sudah terlewati db 2 - da 2 : Jumlah persediaan es yang telah tidak tercapai atau sudah terlewati db 3 - da 3 : Jumlah persediaan BBM yang telah tidak tercapai atau sudah terlewati db 4 : Jumlah perahu jolor yang telah ditetapkan telah dilewati db 5 : Jumlah perahu johnson yang telah ditetapkan telah dilewati db 6 : Jumlah perahu ketinting yang telah ditetapkan telah dilewati db 7 : Jumlah perahu pkp yang telah ditetapkan telah dilewati x n : Jenis armada penangkapan ikan ke-n (X 1 = perahu jolor, X 2 = perahu johnson, X 3 = perahu ketinting dan X 4 = kapal pkp) a : Parameter fungsi kendala pada armada penangkapan ke-n b : Kapasitas kendala dimana b1 (JTB), b2 (persediaan es), b3 (persediaan BBM), b4 (jumlah existing jolor), b5 (jumlah existing johnson), b6 (jumlah existing ketinting), b7 (jumlah existing pkp)

59 42 Data yang dibutuhkan dalam analisis goal programming adalah sebagai berikut: 1. Jumlah hasil tangkapan per trip per armada penangkapan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan; 2. Jumlah kebutuhan es per trip per armada penangkapan dan kapasitas persediaan es; 3. Jumlah kebutuhan BBM per trip per armada penangkapan dan kapasitas persediaan BBM; 4. Jumlah existing setiap armada penangkapan. Data tersebut diperoleh dari wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden (nelayan) ditambah dengan perolehan data sekunder dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan. Selanjutnya model goal programming tersebut diatas diproses dengan menggunakan software LINDO Strategi pengembangan Proses penentuan alternatif kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid menggunakan aplikasi hierarki analitik (analitical hierarchy process- AHP). Kriteria untuk alternatif pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebagai berikut : 1. Aspek biologi, yaitu ditinjau dari aspek biologi yang berarti tidak merusak lingkungan dan tidak mengganggu kelestarian sumberdaya. 2. Aspek teknis, yaitu dari aspekteknis kebijakan yang diambil bersifat efisiensi teknis yang optimum 3. Aspek sosial, yaitu kebijakan yang diambil bersifat sosial yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya nelayan. 4. Aspek ekonomi, yaitu kebijakan yang diambil bersifat menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu : 1. Prinsip menyusun hierarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkahlangkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang

60 43 merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hierarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan. Penyusunan hierarki untuk menggambarkan saling ketergantungan elemen-elemen dalam upaya pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan seperti pada Gambar 8. FOKUS PENGEMBANGAN PERIKANAN UDANG PENAEID AKTOR Nelayan Pengusaha Perikanan Pedagang Dinas Perikanan FAKTOR Potensi SDI Sarana dan prasarana SDM Peluang pasar Teknologi Aspek kelem bagaan TUJUAN Usaha penangkapan berkelanjutan Hasil tangkapan tinggi Keuntu ngan usaha maksi mal Kesejahte raan nelayan mening kat Potensi SDI lestari Mutu udang baik Pemas aran dan harga terja min Lapang an kerja mening kat PAD meni ngkat ALTERNATIF KEBIJAKAN Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku Meningkat kan produksi udang penaeid Meningkat kan potensi pasar Meningkat kan sarana dan prasarana Mengembang kan alat tangkap yang ramah lingkungan Gambar 8 Hierarki untuk pengembangan udang penaeid. 2. Prinsip menetapkan prioritas Menetapkan prioritas dimaksudkan untuk dapat membandingkan tingkat kepentingan dari berbagai pertimbangan yang ada. Perbandingan dilakukan dengan membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan elemen pada satu tingkat di atasnya.

61 44 Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang. Dibuat dari puncak hierarki, kemudian satu tingkat di bawahnya dan seterusnya dibuat untuk keseluruhan tingkatan hierarki. Matriks banding berpasang dapat berdasarkan pendapat perseorangan (matriks individu), dapat pula berdasarkan pendapat dari beberapa orang (matriks gabungan). Tabel 8 Matriks untuk perbandingan berpasang C A1 A2 A3 A4 A5... An A1 1 a12 a13 a14 a15... a1n A2 1/a12 1 a23 a24 a25... a2n A3 1/a13 1/a a3n A4 1/a14 1/a a4n A5 1/a15 1/a25 1/a a5n. An. 1/a1n 1/a2n 1/a3n 1/a4n... 1 Keterangan : C : Kriteria atau sifat yang digunakan untuk pembandingan A1,A2,...An : Set elemen yang akan dibandingkan, satu tingkat di bawah C A12,A13,...A1n : Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj. 3. Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsistensi memiliki dua makna yaitu: pertama, obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency ratio : CR). Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungin acak dan perlu diperbaiki. Nilai indeks acak (RI)

62 45 dari matriks berordo 1 sampai dengan 10 yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Nurani, 2003) N RI N RI 1 0,00 6 1,24 2 0,00 7 1,32 3 0,58 8 1,41 4 0,90 9 1,45 5 1, ,49

63 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Potensi Sumberdaya Udang Tersedianya informasi tentang potensi sumberdaya perikanan di suatu perairan merupakan satu dasar bagi langkah pengembangan upaya penangkapan dan pengelolaannya dalam rangka memperoleh manfaat yang berkelanjutan dari sumberdaya tersebut (Nurhakim, 2004). Adapun potensi lestari (potential yield) udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebesar ,174 ton/tahun, dengan stock density sebesar 0,508 ton/km 2 dan biomassa (standing stock) sebesar ,566 ton. Hasil perhitungan potential yield, stock density dan standing stock pada setiap strata kedalaman pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil perhitungan stock density, potential yield dan standing stock Strata kedalaman Stock density (ton/km 2 ) Standing stock (ton) Potential yield (ton/th) 3-6 0, , , , , , , , , , , , , , ,287 Jumlah 2, , ,872 Rata-rata 0, , , Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Unit penangkapan udang 1) Alat tangkap Alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah jaring trammel net. Kontruksi umum dari jaring trammel net dapat dilihat pada Gambar 9. Badan jaring terdiri atas tiga lapis jaring yaitu satu lapis jaring bagian dalam (inner net) yang berfungsi sebagai penjerat udang dan dua lapis jaring bagian luar (outer net) yang berfungsi sebagai penguat inner net dan kerangka untuk terbentuknya kantong saat inner net menjerat udang.

64 47 Jaring yang digunakan terbuat dari bahan nylon multifilament dengan mesh size inner net 38 mm dan mesh size outer net 140 mm. Hanging ratio untuk inner net yaitu %, sedangkan untuk outer net %. Hanging ratio yang digunakan adalah hanging ratio yang baik untuk menangkap udang sesuai dengan hasil penelitian Mangunsukarto et al., tahun 1996 yang menyebutkan bahwa trammel net dengan hanging ratio yang tertinggi (80 %) dapat menangkap udang lebih efektif daripada yang lainnya. Gambar 9 Kontruksi umum jaring trammel net. Panjang jaring pada operasi penangkapan udang berukuran 300 meter atau menggunakan jaring sebanyak 33 piece yang terdiri dari 15 piece untuk inner net dan 18 piece untuk outer net. Lebar jaring trammel net yang digunakan adalah 1,5 m. Untuk memberikan daya apung dan menambah berat supaya kedudukan jaring di perairan sesuai dengan yang diharapkan maka di sepanjang jaring terdapat pelampung dan pemberat. Pelampung berfungsi untuk mengangkat tali ris atas agar posisi jaring berdiri tegak (vertikal) terhadap permukaan air laut, sedangkan pemberat berfungsi untuk memberikan gaya berat pada jaring agar dapat tenggelam pada saat pengoperasian dengan kedalaman yang diharapkan, selain itu pemberat juga berfungsi sebagai pengimbang dari buoyancy force yang dihasilkan oleh pelampung sehingga jaring dapat terentang di dalam air dan kedudukan jaring menjadi stabil. Pelampung yang digunakan berjumlah 90 buah dengan jarak antara pelampung yang satu dengan pelampung yang lainnya sebesar 100 cm. Pelampung yang digunakan terbuat dari gabus berukuran panjang 5 cm dengan

65 48 diameter/lebar 10 cm. Sedangkan untuk pemberat, bahan yang digunakan adalah timah berukuran 2,75 cm dengan berat 40 gr. Pemberat yang digunakan sebanyak 50 buah/piece jaring. Selain pemberat yang digunakan pada kontruksi trammel net, digunakan pula pemberat tambahan yang dipasang diantara tali selambar dengan jaring. Pemberat tambahan ini berfungsi agar kedudukan jaring di dasar perairan lebih stabil. Bagian lain yang terdapat dalam kontruksi alat tangkap trammel net adalah tali ris. Tali ris ini terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas berfungsi untuk menggantungkan jaring utama dan pelampung. Sedangkan tali ris bawah berfungsi sebagai tempat melekatnya jaring dengan pemberat. Bahan penyusun tali ris adalah PE multifilament. Panjang tali ris atas yang digunakan adalah 320 m dengan diameter 5 mm, sedangkan tali ris bawah adalah 340 m dengan diameter 3 mm.tali pelampung yang menempel bersama tali ris atas mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan tali pemberat yang menempel bersama tali ris bawah, hal ini dimaksudkan agar daya apung tali pelampung lebih besar daripada tali pemberat.dan pada saat hauling jaring lebih mudah ditarik. Bagian yang menghubungkan badan jaring dengan tali pelampung dan tali pemberat disebut selvedge yang berfungsi untuk melindungi jaring terutama pada bagian bawah jaring dari gesekan dengan dasar perairan. Selain tali ris, terdapat pula tali selambar yang berfungsi untuk menghubungkan jaring dengan perahu dan jaring dengan pelampung tanda. Tali yang menghubungkan jaring dengan perahu disebut tali selambar depan sedangkan yang menghubungkan jaring dengan pelampung tanda disebut tali selambar belakang. Tali selambar depan memiliki panjang 60 m sedangkan tali selambar belakang memiliki panjang 50 m. Pelampung tanda adalah pelampung tambahan yang berada di permukaan perairan dan berfungsi sebagai tanda tempat trammel net dioperasikan. Pelampung tanda ini dilengkapi dengan tiang bendera sehingga akan mudah terlihat meskipun jaraknya relatif jauh. Pelampung yang digunakan sebagai pelampung tanda ini berbentuk kotak yang terbuat dari bahan gabus dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 30 cm, 20 cm dan 20 cm. Pada penelitiann ini jaring trammel net yang digunakan sebagian besar nelayan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Gambar 10.

66 49 Gambar 10 Jaring trammel net yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. 2) Armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan Armada penangkapan udang yang beroperasi dengan menggunakan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong Selatan adalah perahu ketinting, jolor, johnson dan pkp. Spesifikasi armada penangkapan trammel net yang ada di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Spesifikasi armada penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan Armada penangkapan ketinting jolor johnson pkp Dimensi kapal (m) ( L x B x D ) 9 x 0,7 x 0,7 9 x 0,7 x 0,7 12 x 2,5 x 2,5 12 x 2,5 x 2,5 Kekuatan mesin (PK) 5, Ukuran trammel net (m) Jumlah nelayan (orang) Berdasarkan Tabel 11, perahu johnson dan pkp memiliki dimensi kapal, kekuatan mesin, ukuran trammel net lebih besar dibandingkan perahu ketinting dan jolor. Namun besarnya dimensi kapal, kekuatan mesin, ukuran trammel net yang digunakan untuk penangkapan udang dan jumlah nelayan yang lebih besar tersebut tidak menjadikan armada penangkapan dengan perahu johnson dan pkp dianggap sebagai armada yang produktif dan banyak digunakan oleh nelayan

67 50 penangkap udang di Kabubaten Sorong Selatan. Sedikitnya penggunaan perahu johnson dan pkp dalam penangkapan dengan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tersebut disebabkan oleh daerah operasi yang jauh sehingga membutuhkan anggaran biaya yang lebih besar dan waktu yang lebih banyak dan resiko keselamatan di laut lebih besar. Selain itu, banyaknya udang di lokasi yang dekat sehingga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mencapai fishing ground dan juga anggaran menjadi alasan sedikitnya penggunaan armada penangkapan dengan perahu johnson dan pkp. Penggunaan perahu johnson dan pkp lebih banyak digunakan sebagai perahu pengangkut hasil tangkapan ikan dari Kabupaten Sorong Selatan ke Kota Sorong. Armada penangkapan yang digunakan untuk pengoperasian trammel net di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya adalah perahu ketinting. Dimensi perahu ketinting ini adalah L x B x D = 900 cm x 70 cm x 70 cm (Gambar 11). 70 cm 70 cm 900 cm Gambar 11 Dimensi umum perahu ketinting yang digunakan nelayan. 3) Nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan Nelayan yang melakukan operasi penangkapan dengan trammel net yang menggunakan perahu ketinting di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya berjumlah 1-2 orang. Kedua orang nelayan tersebut memiliki peran dan tugas yang sama dalam melakukan pengoperasian alat tangkap baik dalam penyiapan perbekalan, perjalanan menuju fishing ground maupun pada saat setting dan hauling. Untuk perjalanan menuju fishing ground, mesin dikemudikan oleh nelayan secara bergantian namun pada umumnya cukup dengan satu orang.

68 51 Banyaknya nelayan yang bekerja pada armada selain ketinting masing-masing adalah jolor (2-3 orang), johnson (6-7 orang) dan pkp (4-5 orang) Operasi penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan Pengoperasian trammel net yang dilakukan di Kabupaten Sorong Selatan dimulai dengan pemberangkatan kapal dari fishing base menuju fishing ground setelah pengecekan alat tangkap dan semua perbekalan seperti bahan bakar, air tawar dan bahan makanan selesai dilakukan. Penentuan fishing ground dilakukan berdasarkan pengalaman nelayan dan tujuan kedalaman pengoperasian yang diinginkan atau dapat juga berdasarkan jumlah hasil tangkapan trip sebelumnya dan informasi dari nelayan lain yang mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Selain itu, pemilihan fishing ground memperhatikan juga pada kondisi perairan seperti gelombang, arus dan arah angin sebelum melakukan operasi penangkapan. Setelah sampai di fishing ground, dilakukan penurunan jaring (setting). Penurunan jaring trammel net ini dilakukan secara berurutan dimulai dari penurunan pelampung tanda, tali selambar belakang, pemberat tambahan, jaring dan selanjutnya selambar depan yang menghubungkan dengan perahu. Setting ini dilakukan selama menit. Setelah dilakukan setting, jaring dibiarkan di dasar perairan selama kurang lebih 1 jam dengan kondisi perahu dalam keadaan diam tanpa menghidupkan mesin (perahu membuang jangkar). Kegiatan penebaran jaring (setting) trammel net dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Kegiatan penebaran jaring trammel net.

69 52 Setelah jaring berada di perairan selama kurang lebih 1 jam, kemudian dilakukan penarikan jaring (hauling). Penarikan jaring (hauling) dengan cara menarik tali selambar depan ke atas kapal yang kemudian diikuti dengan penarikan bagian-bagian yang berada pada kontruksi alat tangkap trammel net lainnya secara berurutan. Proses hauling dapat berlangsung selama 2-3 jam, hal ini dikarenakan pada proses hauling diikuti pula dengan pengambilan udang sebagai hasil tangkapan. Proses ini merupakan kegiatan yang paling lama, hal ini dikarenakan banyaknya hasil tangkapan udang dan perlunya penanganan hasil tangkapan (Gambar 13). Gambar 13 Kegiatan pengambilan hasil tangkapan udang oleh nelayan Swept area trammel net Trammel net yang digunakan dalam melakukan swept area memiliki panjang 300 m. Pengoperasian alat dilakukan dengan cara ditarik hingga daerah sapuan berbentuk 1/4 lingkaran dengan luas sapuan jaring sebesar m 2. Lama penarikan jaring berkisar antara menit. Luas sapuan jaring bergantung pada penampilan jaring di dalam air yang dipengaruhi oleh kecepatan arus pada kedalaman perairan, kecepatan kapal serta daya apung-tenggelam dan hang in ratio jaring. Pada penelitian ini kecepatan penarikan jaring berkisar antara 26,17m/menit hingga 31,40 m/menit.

70 53 Hasil tangkapan udang selama penelitian berjumlah 448,41 kg yang didapatkan dari 25 kali melakukan penebaran jaring (titik pengamatan). Penebaran jaring dilakukan sebanyak 5 kali pada setiap strata kedalaman. Variasi jumlah hasil tangkapan pada setiap strata kedalaman dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Variasi jumlah hasil tangkapan pada setiap strata kedalaman Ulangan Hasil tangkapan pada strata kedalaman (kg) (titik pengamatan) 3 6 m 3 8 m 3 10 m m m 1 10,16 15,56 26,92 29,62 21, ,25 17,20 21,54 25,85 19,82 3 7,41 9,15 23,34 20,08 17, ,79 14,34 14,59 16,79 22, ,25 7,08 18,40 22,23 24,75 Jumlah 58,86 63,33 104,79 114,57 106,86 Berdasarkan Tabel 12, jumlah hasil tangkapan terbanyak didapatkan pada strata kedalaman meter yaitu sebesar 114,57 kg dan hasil tangkapan terendah terdapat pada strata kedalaman 3-6 meter yaitu sebesar 58,86 kg. Grafik hasil tangkapan per titik pengamatan pada setiap strata kedalaman dapat dilihat pada Gambar 14. jumlah hasil tangkapan (kg) Strata kedalaman Gambar 14 Grafik jumlah hasil tangkapan per titik pengamatan. Jumlah hasil tangkapan pada strata kedalaman 4 yaitu meter lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan pada strata kedalaman yang lain (Gambar 14). Besarnya jumlah hasil tangkapan pada strata kedalaman 4 (10-20 m) diduga

71 54 strata kedalaman tersebut merupakan habitat yang disukai udang. Hal ini sesuai dengan Naamin (1984) yang menyampaikan bahwa udang bersifat bentik hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai ialah dasar laut yang lumer (soft), biasanya terdiri dari campuran pasir dan lumpur. 4.3 Prospek Pengembangan Perkanan Udang Penaeid Hasil analisis usaha Analisis usaha penangkapan udang penaeid merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha yang telah dicapai selama usaha tersebut berjalan. Dalam analisis usaha ini dilakukan perhitungan pendapatan usaha, break event point (BEP), return of investment (RoI), R/C ratio dan payback period (PP). Selain menghitung analisis usaha penangkapan udang dengan trammel net yang menggunakan ketinting (5,5 PK) dalam penelitian ini dilakukan pula penghitungan terhadap armada lain yang beroperasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan sebagai bahan perbandingan dan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya udang. Hasil analisis usaha trammel net dengan menggunakan beberapa armada yang ada di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil analisis usaha trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 No Kriteria Armada Pendapatan Payback BEP BEP R/C penangkapan ROI (Rp) period (Kg) (Rp) ratio 1. Ketinting Rp , , ,799 1, Jolor Rp , , ,947 2, Johnson Rp , , ,518 1, PKP Rp , , ,935 1, Pendapatan nelayan Pendapatan nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan dipengaruhi oleh sistem bagi hasil yang berlaku. Sistem bagi hasil nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan dengan armada penangkapan ketinting sebesar 60 % untuk pemilik kapal dan 40 % untuk ABK. Sedangkan armada penangkapan jolor,

72 55 johnson dan pkp bagi hasil yang berlaku adalah 60 % ABK dan 40 % pemilik kapal. Perbedaan sistem bagi hasil tersebut dikarenakan pada armada penangkapan jolor, johnson dan pkp, nelayan (ABK) berjumlah lebih banyak dibandingkan armada penangkapan ketinting. Pendapatan nelayan pada masingmasing armada penangkapan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Pendapatan setiap nelayan per tahun pada armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan No Nelayan Armada penangkapan Ketinting jolor johnson pkp 1. Pemilik Rp Rp Rp Rp A B K Rp Rp Rp Rp Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Optimasi produksi dan unit penangkapan Optimasi produksi Faktor-faktor produksi yang diduga memiliki pengaruh pada produksi operasi penangkapan trammel net di Sorong Selatan terdiri dari tujuh faktor, yaitu jumlah trip, panjang jaring, bahan bakar minyak (BBM), jumlah nelayan (ABK), ukuran daya mesin, tinggi jaring dan ukuran kapal. Variabel yang dipergunakan dalam fungsi produksi hanya enam variabel yang mempunyai pengaruh terhadap produksi yaitu jumlah trip, panjang jaring, bahan bakar minyak, jumlah nelayan (ABK), ukuran daya mesin dan ukuran kapal. Faktor produksi tinggi jaring tereliminasi karena nilai variabelnya konstan. Dari hasil nilai koefisien varian untuk uji koefisien regresi fungsi produksi unit trammel net, nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel. Dengan menggunakan selang kepercayaan 95%, diperoleh nilai F hitung sebesar 5,725 dan nilai F tabel 2,848. Berdasarkan hasil pengujian uji F, maka tolak Ho, artinya dengan selang kepercayaan 95% secara bersama-sama faktor-faktor produksi unit penangkapan trammel net (X i ) yang digunakan memiliki pengaruh nyata terhadap perubahan hasil produksi trammel net (Y). Uji F dengan menggunakan analisis ragam fungsi produksi pada jaring trammel net dapat dilihat pada Tabel 15.

73 56 Tabel 15 Hasil analisis ragam faktor produksi terhadap hasil tangkapan Sumber keragaman db Σ kuadrat kuadrat tengah Fhit Ftab Regresi 6 11,045 1,841 5,725* 2,848 Sisaan 14 4,501 0,322 Total 20 15,546 Besarnya pengaruh variabel independen (X i ) terhadap nilai variabel dependen (Y) dapat diketahui dengan melihat nilai determinasi (R 2 ) dari hasil perhitungan dengan menggunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yaitu sebesar 0,710 dan nilai korelasi berganda (multiple R) sebesar 0,586. Uji selanjutnya yaitu dengan menggunakan uji t-student untuk mengetahui koefisien regresi dan nilai t hitung dari tiap-tiap faktor produksi pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil uji-t masing-masing faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan Faktor produksi Koefisien regresi T hit T tab Intersep Konstanta BB0 0,572 0,312 2,145 Jumlah trip X 1 BB1 0,015 4,719* Panjang jaring trammel net X 2 BB2 0,002 0,852 Jumlah BBM X 3 BB3 0,001-0,175 Jumlah ABK X 4 BB4-0,056-0,740 Daya mesin X 5 BB5 0,004 0,334 Ukuran kapal X 7 BB7 0,022 0,186 Perhitungan dari nilai koefisien regresi (b i ), standard error koefisien regresi (Sb i ) dan t hitung fungsi produksi unit trammel net di Sorong Selatan didapatkan nilai t hitung dari tiap enam faktor produksi yaitu jumlah trip (X 1 ) 4,719, panjang jaring (X 2 ) 0,852, bahan bakar minyak (X 3 ) -0,175, anak buah kapal (X 4 ) -0,740, daya mesin (X 5 ) 0,334 dan ukuran kapal (X 7 ) 0,186. Nilai t tabel pada uji t- student didapatkan sebesar 2,145 dengan selang kepercayaan 95%. Nilai t hitung dari faktor produksi jumlah trip (X 1 ) didapat nilai yang lebih besar dari nilai t tabel, maka tolak H 0, artinya dengan selang kepercayaan 95% faktor produksi jumlah trip (X 1 ) yang digunakan secara parsial memiliki peran nyata terhadap perubahan produksi (Y) pada unit penangkapan trammel net. Pada uji t-student yang telah

74 57 dilakukan, koefisien regresi yang didapat pada faktor produksi jumlah trip (X 1 ) menunjukkan pengaruh nyata pada produksi trammel net dengan nilai 0,015. Model fungsi produksi yang digunakan dalam analisis hubungan produksi dengan faktor-faktor produksi adalah model regresi berganda fungsi produksi Cobb-Douglas, berikut hasil pendugaan fungsi produksi dengan persamaan yang dihasilkan yaitu : Y = 0, ,015 X 1 + 0,002 X 2 + 0,001 X 3-0,056 X 4 + 0,004 X 5 + 0,022 X 7 Keterangan : X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 7 = jumlah trip = panjang jaring = BBM = jumlah ABK = ukuran daya mesin = ukuran kapal Optimasi Unit Penangkapan Optimasi unit penangkapan udang di kabupaten Sorong Selatan memerlukan fungsi-fungsi pembatas untuk mencapai nilai optimum dalam pemanfaatan sumberdaya udang dengan tetap menjaga keberlanjutan kegiatan penangkapan. Fungsi pembatas ialah nilai-nilai yang tidak boleh dilampaui agar tidak merusak kelestarian sumber daya yang ada. Fungsi pembatas untuk menentukan unit penangkapan optimum pada penelitian ini meliputi hasil tangkapan lestari, jumlah suplai bahan bakar minyak (BBM) dan persediaan es. Udang penaeid di perairan kabupaten sorong selatan hanya ditangkap dengan menggunakan trammel net, sehingga hasil tangkapan gabungan dari beberapa jenis armada penangkapan harus lebih kecil dari CMSY. Dari hasil penelitian didapatkan potensi lestari (MSY) udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan sebesar ,175 ton/tahun sehingga jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB, total allowable catch) sebesar 80 % dari MSY atau sebesar ton/tahun. Berdasarkan pedoman dari Direktorat Jendral Perikanan yang mengacu pada code of conduct for resposible fisheries (FAO, 1995), tingkat penangkapan/pemanenan suatu stok sumberdaya tidak boleh melebihi 80% nilai MSY untuk menjamin kelestarian stok ikan dan keberlanjutan perikanan tangkap.

75 58 Besarnya produksi udang penaeid untuk perahu ketinting adalah 1,208 ton/unit/tahun, perahu jolor sebesar 3,451 ton/unit/tahun, perahu johnson sebesar 3,316 ton/unit/tahun, dan kapal pkp sebesar 2,302 ton/unit/tahun. Dengan demikian didapatkan fungsi pembatas udang penaeid terhadap hasil tangkapan lestari adalah: 1,208 X 1 + 3,451 X 2 + 3,316 X 3 + 2,302 X 4 + db 1 da 1 = Adapun X 1 adalah jumlah perahu ketinting, X 2 adalah jumlah perahu jolor, X 3 adalah jumlah perahu johnson dan X 4 adalah jumlah kapal pkp. Upaya penangkapan yang optimum didapatkan dari kapasitas persediaan es yang dapat dialokasikan untuk setiap armada penangkapan udang penaeid yang beroperasi di Kabupaten Sorong Selatan. Oleh karena itu harus diketahui jumlah kebutuhan es dari masing-masing armada penangkapan. Pada penelitian ini diketahui kemampuan penyediaan es di Kabupaten Sorong Selatan adalah 1500 ton/tahun. Sedangkan jumlah kebutuhan es untuk masing-masing armada yang beroperasi di Kabupaten Sorong Selatan adalah perahu ketinting membutuhkan es sebanyak 3,38 ton/tahun, perahu jolor membutuhkan 3,26 ton/tahun, perahu johnson membutuhkan 1,22 ton/tahun dan kapal pkp sebanyak 1,18 ton/tahun, maka fungsi pembatas es terhadap upaya penangkapan adalah: 3,38 X 1 + 3,26 X 2 + 1,22 X 3 + 1,18 X 4 + db 2 da 2 = 1500 Adapun X 1 adalah jumlah perahu ketinting, X 2 adalah perahu jolor, X 3 adalah perahu johnson dan X 4 adalah kapal pkp. Upaya penangkapan yang optimum juga ditentukan dari total suplai bahan bakar minyak (BBM) yang dapat dialokasikan untuk setiap armada penangkapan udang penaeid yang beroperasi di Kabupaten Sorong Selatan. Oleh karena itu harus diketahui jumlah maksimum BBM yang dibutuhkan dari masing-masing armada penangkapan. Penulis sampaikan bahwa di Kabupaten Sorong Selatan belum mempunyai SPBU. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kemampuan penyediaan BBM yang ada di Kabupaten Sorong Selatan adalah liter/tahun. Sedangkan Jumlah maksimum BBM yang dibutuhkan untuk masingmasing armada adalah perahu ketinting membutuhkan BBM sebanyak 845 liter/unit/tahun, perahu jolor sebanyak 1630 liter/unit/tahun, perahu johnson

76 59 sebanyak 1525 liter/unit/tahun dan kapal pkp sebanyak 1180 liter/unit/tahun, sehingga fungsi pembatas BBM terhadap upaya penangkapan adalah: 845 X X X X 4 + db 3 da 3 = Adapun X 1 adalah jumlah perahu ketinting, X 2 adalah perahu jolor, X 3 adalah perahu johnson dan X 4 adalah kapal pkp. Selain beberapa pembatas yang telah diuraikan di atas syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk pengelolaan sumberdaya udang penaeid yang baik adalah keberadaan armada penangkapan yang ada saat ini sebaiknya tidak dihilangkan. Pada penelitian ini diketahui jumlah armada yang beroperasi di Kabupaten Sorong Selatan berjumlah 172 unit dengan jumlah masing-masing armada adalah perahu ketinting sebanyak 97 unit, perahu jolor sebanyak 30 unit, perahu johnson sebanyak 25 unit dan kapal pkp sebanyak 20 unit. Dengan demikian fungsi matematika yang terbentuk seperti di bawah ini. X 1 db 4 97; X 2 db 5 30; X 3 db 6 25; X 4 db 7 20 Adapun X 1 adalah jumlah perahu ketinting, X 2 adalah perahu jolor, X 3 adalah perahu johnson dan X 4 adalah kapal pkp. Dari analisis linear goal programming didapat jumlah optimum dari masingmasing armada yang bisa beroperasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan antara lain ketinting (219 unit), perahu jolor (217 unit), johnson (25 unit) dan kapal pkp (20 unit) dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah armada optimum untuk perairan Kabupaten Sorong Selatan No Jenis armada Jumlah yang ada (unit) Jumlah optimum (unit) Keterangan 1 Perahu ketinting belum optimum 2 Perahu jolor belum optimum 3 Perahu johnson optimum 4 Perahu pkp optimum Total

77 Pengembangan perikanan udang penaeid Aktor atau pelaku perikanan udang penaeid Aktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah nelayan, pengusaha perikanan, pedagang ikan dan dinas perikanan. Hasil analisis AHP yang dilakukan pada penelitian ini diketahui nelayan mendapat prioritas tertinggi dengan nilai 0, 462 yang berarti responden memilih nelayan dengan bobot 46,2% dari keempat aktor-aktor yang ada. Hal ini menunjukan bahwa nelayan terpilih sebagai ujung tombak dalam memberikan kontribusi pemanfaatan dan pengembangan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Prioritas kedua adalah dinas perikanan dengan nilai 0,277 atau 27,7%, kemudian pengusaha perikanan dengan nilai 0,160 atau16 % dan pedagang ikan dengan nilai 0,101 (10,1%), disajikan pada Gambar Nelayan Pengusaha Perikanan Pedagang ikan Dinas Perikanan Gambar 15 Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Faktor yang berpengaruh dalam perikanan udang penaeid Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah potensi sumber daya ikan (SDI), sarana dan prasarana, sumber daya manusia (SDM), peluang pasar, teknologi dan aspek kelembagaan. Dari enam faktor yang disebutkan, pengembangan perikanan di Kabupaten Sorong Selatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu potensi sumber daya ikan dengan nilai 0,330, kemudian

78 61 peluang pasar dengan nilai 0,240, sarana dan prasarana dengan nilai 0,200. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 16. Dari hasil analisis AHP diperoleh gambaran nelayan, pengusaha perikanan dan pedagang ikan menilai bahwa potensi sumber daya ikan merupakan faktor yang harus ditingkatkan. Pengusaha perikanan dan pedagang ikan menganggap bahwa potensi sumber daya ikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam keberlanjutan usaha perikanan udang. Sedangkan nelayan menilai bahwa potensi sumber daya ikan (udang penaeid) yang tinggi akan meningkatkan produksi hasil tangkapan yang akan meningkatkan pendapatan keluarga nelayan. Kelembagaan Teknologi Peluang pasar SDM Sarana & prasarana Potensi SDI Gambar 16 Faktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Tujuan pengembangan perikanan udang penaeid Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah hasil tangkapan tinggi, keuntungan usaha maksimal, kesejahteraan nelayan meningkat, potensi sumber daya ikan (SDI) lestari, mutu udang baik, pemasaran dan harga terjamin, lapangan kerja meningkat dan pendapatan asli daerah (PAD) meningkat. Dari sembilan tujuan yang tertata pada hierarki pengembangan perikanan udang penaeid diperoleh empat tujuan yang menjadi prioritas utama yaitu kesejahteraan nelayan meningkat dengan nilai 0,310, usaha penangkapan berkelanjutan dengan nilai 0,169, keuntungan usaha maksimal dengan nilai 0,149 dan hasil tangkapan tinggi di urutan keempat dengan nilai 0,106 selengkapnya disajikan pada Gambar 17.

79 62 Usaha penangkapan berkelanjutan Hasil tangkapan tinggi Keuntungan usaha maksimal Kesejahteraan nelayan meningkat Potensi SDI lestari Mutu udang baik Pemasaran dan harga terjamin Lapangan kerja meningkat PAD meningkat Gambar 17 Tujuan dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Udang penaeid merupakan salah satu komoditas ekspor dan bernilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, usaha penangkapannya memerlukan pengembangan yang terpadu agar termanfaatkan dengan optimal dan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang efisien agar sumberdaya yang ada tetap lestari Alternatif kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid Alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku, meningkatkan produksi udang penaeid, meningkatkan potensi pasar, meningkatkan sarana dan prasarana dan mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan. Alternatif kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan nilai prioritas dari hierarki yang dibangun. Dari lima alternatif kebijakan, didapatkan urutan prioritas sebagai berikut pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku merupakan strategi yang menjadi prioritas pertama dengan nilai 0,300, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan (0,260), meningkatkan produksi udang penaeid (0,170), meningkatkan sarana dan prasarana (0,150) serta meningkatkan potensi pasar (0,120). Penilaian dari hasil AHP ditunjukan pada Gambar 18.

80 63 Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan Meningkatkan sarana dan prasarana Meningkatkan potensi pasar Meningkatkan produksi udang Penaeid Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku Gambar 18 Alternatif kebijakan untuk pengembangan perikanan di Kabupaten Sorong Selatan. Tingkatan sistem dalam penentuan kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat, berikut bobot penilaian hasil analitycal hierarchi process disajikan pada Gambar 19. FOKUS PENGEMBANGAN PERIKANAN UDANG PENAEID AKTO R Nelayan 0,462 Pengusaha Perikanan 0,160 Pedagang 0,101 Dinas Perikanan 0,277 FAKTOR Potensi SDI 0,336 Sarana & prasarana 0,193 SDM 0,042 Peluang pasar 0,248 Teknologi 0,108 Aspek kelembagaan 0,072. TUJU AN Usaha penangkap an berke lanjutan 0,169 Hasil tangkapan tinggi 0,106 Keuntung an usaha maksimum 0,149 Kesejah -teraan nelayan meningkat 0,310 Potensi SDI lestari 0,059 Mutu udang baik 0,048 Pemasar -an dan harga terjamin 0,088 Lapangan kerja me -ningkat 0,039 PAD mening -kat 0,032 ALTERNATIF KEBIJAKAN Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku 0,296 Meningkatkan produksi udang penaeid 0,172 Meningkatkan potensi pasar 0,118 Meningkatkan sarana dan prasarana Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan 0,264 Gambar 19 Nilai hasil analisis AHP pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat.

81 5 PEMBAHASAN 5.1 Potensi Perikanan Udang Penaeid Potensi udang penaeid terdapat di sepanjang perairan Sorong Selatan. Banyaknya pohon bakau yang masih terjaga kelestariannya di sepanjang pesisir pantai Sorong Selatan merupakan habitat yang sesuai dengan keberadaan udang penaeid terutama sebagai tempat mencari makan. Tersedianya informasi tentang potensi sumberdaya perikanan di suatu perairan merupakan satu dasar bagi langkah pengembangan upaya penangkapan dan pengelolaannya dalam rangka memperoleh manfaat yang berkelanjutan dari sumberdaya tersebut (Nurhakim, 2004). Potential yield atau maksimum sustainable yield (potensi lestari) dari udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan diduga sebesar ,174 ton/tahun, dengan stock density sebesar 0,508 ton/km 2 dan biomasa (standing stock) sebesar ,566 ton. Nurhakim (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan yang semata-mata didasarkan atas diperolehnya tingkat MSY banyak mengalami kegagalan. Hal ini antara lain disebabkan oleh banyaknya aspek-aspek perikanan yang belum difahami dan adanya unsur ketidakpastian yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan sumberdaya baik dari dalam ataupun dari luar. Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2008) bahwa untuk menjamin kelestarian stok ikan dan keberlanjutan perikanan tangkap maka laju penangkapan ikan di suatu Wilayah Pengelolaan Perikanan tidak boleh melampaui jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB, total allowable harvest) (FAO code of conduct for resposible fisheries, 1995) Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 baru mencapai 4,70% (600 ton). Menurut Azis (1989) diacu oleh Muksin (2006), tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu pertama; tingkat pemanfaatan lebih kecil atau sama dengan 65% dikategorikan dalam pemanfaatan under exploited, kedua; tingkat pemanfaatan lebih besar dari 65% dan lebih kecil dari 100% dikategorikan dalam pemanfaatan yang optimal dan ketiga; tingkat pemanfaatan sama dengan atau

82 65 lebih besar dari 100% dikategorikan dalam pemanfaatan over fishing. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka tingkat pemanfaatan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan termasuk dalam kategori pemanfaatan under exploited yaitu sebesar 4,70%. Kondisi tingkat pemanfaatan yang masih under exploited membuka peluang nelayan untuk lebih mengintensifkan kegiatan penangkapan udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan. Dari pengamatan di lapangan, kendala utama yang menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya udang antara lain alat tangkap dan armada yang digunakan masih sederhana dan rantai pemasaran yang belum tertata dengan baik yang ditunjukkan adanya kondisi pasar masih sederhana, selain itu kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung tingginya nilai jual hasil tangkapan. Hal ini sangat disayangkan karena hasil tangkapan udang yang melimpah seharusnya dapat ditampung dan dikelola dengan semestinya tetapi karena belum ada sarana seperti pabrik es maka hasil tangkapan menjadi berkurang mutunya. 5.3 Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Usaha penangkapan udang penaeid Usaha penangkapan udang penaeid yang dilakukan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan menggunakan alat tangkap trammel net dengan armada perahu ketinting, perahu jolor, perahu johnson dan pkp, jika ditinjau secara ekonomi dapat dijelaskan dengan melihat pendapatan usaha, R/C ratio, Break event point (BEP), Return of investment (ROI) dan Payback period (PP) nya. Di bawah ini dijelaskan masing-masing hasil analisa usaha yang telah dilakukan. a. Pendapatan usaha Pendapatan yang diterima oleh nelayan trammel net dengan masingmasing armada yang digunakan adalah perahu ketinting sebesar Rp , perahu jolor sebesar Rp , perahu johnson Rp dan kapal pkp sebesar Rp Dilihat dari pendapatan usaha, maka perahu johnson merupakan armada yang paling besar memperoleh pendapatan. Namun pada kenyataannya, nelayan yang menggunakan perahu ketinting lebih menguntungkan dibandingkan jenis-jenis armada lainnya, hal ini dikarenakan perahu ketinting

83 66 dioperasikan oleh nelayan yang lebih sedikit (1-2 orang) sehingga dalam pembagian hasil nelayan mendapat porsi yang besar bahkan bagi nelayan yang beroperasi seorang diri maka hasilnya akan lebih besar, juga karena jarak operasi penangkapan yang dekat sehingga resiko keselamatan lebih terjamin dan trip penangkapan yang lebih banyak. Secara umum pendapatan dari semua jenis armada penangkapan yang digunakan di Kabupaten Sorong Selatan cukup besar, namun apabila ditunjang dengan optimasi unit penangkapan dengan melihat besarnya potensi udang di Kabupaten Sorong Selatan, maka pendapatan yang diterima dengan unit penangkapan trammel net ini akan semakin besar pula. b. R/C ratio R/C ratio dari hasil perhitungan didapatkan bahwa R/C ratio pada semua jenis armada yang menggunakan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong Selatan yang dilakukan selama tahun 2006 memperoleh keuntungan. Hal ini dikarenakan R/C ratio yang didapatkan seluruhnya lebih besar dari 1. Berdasarkan nilai R/C ratio, maka dapat dikatakan bahwa usaha penangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan dengan menggunakan alat tangkap trammel net layak untuk dilanjutkan karena merupakan usaha yang menguntungkan. c. Break event point (BEP) Analisa break event point yang dilakukan pada usaha penangkapan trammel net dengan menggunakan perahu ketinting sebesar Rp untuk nilai produksi dan sebesar 176,363 kg untuk volume produksi. Hal ini mengandung arti bahwa nelayan tidak mengalami untung atau rugi jika total penerimaan yang diperoleh sebesar Rp atau 176,363 kg volume produksi yang dihasilkan pertahunnya. d. Return of investment (ROI) Nilai ROI yang didapat pada hasil analisa ini adalah sebesar 1,799 untuk trammel net dengan menggunakan perahu ketinting. Nilai tersebut mengandung arti bahwa setiap rupiah investasi yang ditanamkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp. 1,799. Nilai ROI untuk jenis trammel net lainnya adalah 3,991 untuk jolor, 0,935 untuk pkp dan 1,518 untuk johnson. Armada penangkapan jolor dan

84 67 ketinting mempunyai nilai ROI yang tinggi dibandingkan dengan armada penangkapan johnson dan pkp. Sehingga armada penangkapan ketinting dan jolor lebih layak diusahakan dan mempunyai peluang untuk dikembangkan dibandingkan dengan armada penangkapan johnson dan pkp e. Payback period (PP) Payback period ini digunakan untuk melihat perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam pengembalian modal investasi yang telah ditanamkan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan payback period (PP) alat tangkap trammel net dengan menggunakan perahu ketinting adalah selama 0,926 tahun atau kurang lebih 11 bulan 27 hari. Angka tersebut mengandung arti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian seluruh biaya investasi yang telah dikeluarkan adalah selama 11 bulan 27 hari. Payback period untuk armada lainnya adalah 0,630 untuk jolor, 2,673 untuk pkp dan 1,647 untuk johnson Pendapatan nelayan Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada usaha penangkapan udang penaeid dengan alat tangkap trammel net tergantung dari jumlah hasil tangkapan dan sistem bagi hasil yang dilakukan. Jumlah hasil tangkapan udang yang cukup besar adalah pada musim timur yaitu pada bulan Juni September. Sistem bagi hasil untuk armada penangkapan jolor, johnson dan pkp yaitu sebesar 40 % untuk pemilik dan 60 % untuk ABK. Besarnya persentase ABK dalam sistem bagi hasil armada penangkapan jolor, johnson dan pkp karena jumlah ABK pada armada tersebut lebih banyak atau lebih dari satu orang. Untuk armada penangkapan ketinting, sistem bagi hasil nelayan pada umumnya sebesar 60 % untuk pemilik kapal dan 40 % untuk ABK. Namun pada kenyataan di lapangan, sistem bagi hasil sangat sedikit dilakukan oleh nelayan dengan armada ketinting dikarenakan nelayan ketinting di Kabupaten Sorong Selatan dalam melakukan proses penangkapannya umumnya berjumlah satu orang dan merupakan pemilik alat tangkap. Pendapatan rata-rata nelayan trammel net armada penangkapan ketinting per bulan di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebesar Rp untuk nelayan pemilik dan sebesar Rp untuk ABK atau nelayan pengikut.

85 68 Namun dikarenakan sistem bagi hasil jarang dilakukan akibat dari pengoperasian alat tangkap trammel net armada penangkapan ketinting umumnya dilakukan oleh satu orang dan berstatus sebagai pemilik, maka dapat dikatakan pendapatan ratarata per bulan nelayan trammel net armada penangkapan ketinting di Kabupaten Sorong Selatan adalah sebesar Rp Sedangkan untuk armada penangkapan lainnya yaitu jolor Rp (pemilik) dan Rp (ABK), johnson Rp (pemilik) dan Rp (ABK), pkp Rp (pemilik) dan Rp (ABK). Surat Keputusan Gubernur Propinsi Papua no. 222 tahun 2007 tanggal menetapkan bahwa upah minimum propinsi (UMP) Papua adalah sebesar Rp Berdasarkan hal tersebut, maka pendapatan per bulan nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan cukup besar karena umumnya berada di atas UMP Papua. Meskipun pendapatan yang cukup besar, keadaan ekonomi keluarga nelayan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya dapat dikategorikan kurang. Kategori tersebut diukur dari kondisi kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan dan papan yang serba kekurangan (BPS Propinsi Papua Barat, 2007) yang didapat berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan nelayan. Besarnya pendapatan yang tidak diimbangi dengan baiknya kesejahteraan rumah tangga dikarenakan dua faktor utama yang dimiliki oleh nelayan, yaitu (1) kemampuan yang lemah dalam mengelola keuangan, (2) pola hidup yang kurang hemat. Berdasarkan pengamatan di lapangan besarnya pendapatan rata-rata per bulan yang tidak diimbangi dengan kesejahteraan rumah tangga nelayan, maka dibutuhkan suatu pendekatan dari pemerintah berupa pembinaan terhadap nelayan antara lain dengan pembinaan manajemen keuangan keluarga dan kerjasama antar pelaku perikanan misalnya pemberian modal usaha oleh pengusaha perikanan kepada nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. 5.4 Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan diutamakan pada optimasi produksi dan unit penangkapan udang, dan pengembangan perikanan udang penaeid pada level-level yang berkaitan dengan

86 69 strategi tersebut. Dalam mencapai optimasi produksi dapat dilakukan dengan penambahan atau pengurangan pada faktor/variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi. Optimasi unit penangkapan dapat dilakukan dengan penambahan atau pengurangan armada penangkapan. Armada penangkapan yang mempunyai hasil tangkapan tinggi dan memenuhi kriteria kelayakan usaha berpeluang untuk dilakukan penambahan yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya udang yang ada. Sehingga didapatkan usaha penangkapan udang yang berkelanjutan. Pengembangan perikanan udang penaeid didapatkan dari level-level yang diprioritaskan diantaranya nelayan pada level aktor, potensi SDI pada level faktor dan peningkatan kesejahteraan nelayan pada level tujuan. Alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku, meningkatkan produksi udang penaeid, meningkatkan potensi pasar, meningkatkan sarana dan prasarana dan mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan Optimasi produksi dan unit penangkapan Optimasi produksi 1) Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan udang penaeid dengan menggunakan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong selatan adalah jumlah trip. Pengaruh nyata terhadap produksi tersebut dikarenakan dengan penambahan jumlah trip, maka peluang dalam menemukan lokasi udang akan semakin besar dan hal ini memberikan peluang tertangkapnya udang sebagai hasil tangkapan akan semakin besar juga. 2) Faktor produksi yang tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (1) Panjang jaring Panjang jaring tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi udang penaeid karena pengoperasian trammel net yang dibiarkan hanyut (drifting) menyebabkan bentuk atau keragaan trammel net lebih dipengaruhi oleh arah dan

87 70 kecepatan arus, sehingga panjang jaring tidak berpengaruh nyata terhadap produksi udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. (2) Jumlah BBM Jumlah BBM tidak berpengaruh nyata terhadap produksi karena wilayah operasi penangkapan trammel net relatif dekat yaitu hanya pada perairan kabupaten atau sejauh 3-4 mil dari garis pantai. (3) Jumlah nelayan (ABK) Jumlah nelayan (ABK) tidak memberi pengaruh secara nyata terhadap produksi karena ukuran perahu relatif kecil sehingga hanya dapat memuat ABK sebanyak 2-5 orang. (4) Daya mesin dan ukuran perahu Daya mesin dan ukuran perahu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi karena mesin dan perahu hanya digunakan untuk mencapai lokasi penangkapan (fishing ground) dan perjalanan kembali ke pelabuhan. Pada saat melakukan proses penangkapan ikan, mesin dalam keadaan mati Optimasi unit penangkapan Tingkat upaya penangkapan (effort) perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan masih sangat rendah. Salah satu indikasi dari masih rendahnya tingkat upaya penangkapan perikanan udang di Kabupaten Sorong Selatan tersebut adalah armada penangkapan yang digunakan dalam usaha penangkapan udang penaeid sebagian besar masih tergolong kedalam skala kecil. Armada penangkapan yang termasuk kedalam skala kecil tersebut adalah armada penangkapan dengan menggunakan perahu tanpa motor dan armada penangkapan dengan menggunakan perahu motor tempel 5,5 PK. Keberadaan kedua armada tersebut mencapai 88,13 % dari total armada penangkapan yang ada di sana. Optimasi unit penangkapan merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam optimasi pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari potensi udang penaeid yang diduga sebesar ,175 ton/tahun sementara yang telah dimanfaatkan sebesar kurang lebih 600 ton/tahun (4,70%). Keadaan ini

88 71 disebabkan upaya penangkapan udang penaeid masih tergolong rendah yang ditunjukkan dengan jumlah armada yang masih sedikit yaitu sebesar 172 unit. Jumlah armada yang ada saat ini sebanyak 172 unit dengan rincian perahu ketinting sebanyak 97 unit, perahu jolor 30 unit, perahu johnson 25 unit dan kapal pkp sebanyak 20 unit. Sedangkan dari hasil analisis dengan linear goal programming, untuk pemanfaatan optimum udang penaeid sebesar ,175 ton/tahun bisa dilakukan dengan upaya penangkapan yang menggunakan armada penangkapan sejumlah 481 unit dengan rincian perahu ketinting sebanyak 219 unit, yang berarti dari jumlah yang ada masih bisa dilakukan penambahan sebanyak 122 unit (belum optimum), perahu jolor optimum pada kisaran 217 unit, (masih bisa ditambah dengan 187 unit dari kondisi yang sudah ada), perahu johnson sebanyak 25 unit dan kapal pkp sebanyak 20 unit dinyatakan telah mencapai jumlah optimum Pengembangan perikanan udang penaeid Hasil analisis dengan menggunakan metode AHP menunjukan prioritas utama aktor yang berperan dalam pengembangan perikanan udang penaeid adalah nelayan dengan bobot nilai 0,462. Perolehan nilai ini menggambarkan kondisi riil di lapangan bahwa nelayan merupakan aktor yang paling berperan dalam perolehan tangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Kondisi nelayan Kabupaten Sorong Selatan masih dikategorikan dalam nelayan tradisional yang dicirikan oleh kesederhanaan usaha penangkapan baik dari kuantitas dan kualitas alat tangkap yang digunakan. Tidak dapat disangkal bahwa keadaan nelayan seperti ini berada dalam kemiskinan. Selanjutnya aktor yang berperan selain nelayan adalah dinas perikanan (0,277), pengusaha perikanan (0,160) dan pedagang ikan (0,101). Vektor prioritas pada level faktor diperoleh nilai potensi SDI (0,336), peluang pasar (0,248), sarana dan prasarana (0,193), teknologi (0,108), aspek kelembagaan (0,072) dan SDM (0,042). Hal ini menggambarkan bahwa, faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan pada pengembangan perikanan udang penaeid adalah faktor potensi SDI diikuti dengan peluang pasar. Hal ini dapat dimengerti karena tingkat pemanfaatan SDI masih tergolong under exploited

89 72 dengan nilai sebesar 4,70% (600 ton pada tahun 2006) dari potensial yield sebesar ,175 ton/tahun. Faktor peluang pasar juga merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, hal ini berkaitan dengan kondisi pasar saat ini yang masih tradisional serta tidak mempunyai fasilitas yang memadai. Pada level tujuan, peningkatan kesejahteraan nelayan merupakan tujuan utama dari pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini dapat dijelaskan dari posisi nelayan yang merupakan prioritas utama pada level aktor dan potensi SDI pada level faktor. Keterkaitan antara nelayan, potensi SDI dan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat erat. Pemanfaatan secara optimal potensi SDI yang masih dalam kondisi under exploited oleh nelayan yang merupakan aktor utama dalam kegiatan penangkapan diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan. Peningkatan hasil tangkapan akan diikuti penambahan penghasilan yang berimplikasi pada kesejahteran nelayan. Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di kabupaten Sorong Selatan dimulai dengan meningkatkan kinerja pelaku dan kerjasama antar pelaku dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Kemudian memfasilitasi faktor-faktor yang dinilai sebagai faktor yang paling mempengaruhi kegiatan usaha. Memfokuskan pencapaian prioritas tujuan yang diharapkan. Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan sehingga terwujud pemanfaatan sumberdaya udang yang lestari dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku 1) Pembinaan nelayan Tujuan utama dilakukan pembinaan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Diharapkan dengan adanya pembinaan nelayan, nelayan dapat terlepas dari status miskin menjadi sejahtera bahkan usaha penangkapan udang penaeid tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tetapi dapat memenuhi kebutuhan usahanya. Untuk meningkatkan peran nelayan dalam upaya pengembangan perikanan udang penaeid maka perlu dilakukan pembinaan nelayan yang kontinyu melalui pelatihan teknis tangkapan, manajemen usaha, dan mengintensifkan

90 73 penyuluhan-penyuluhan di lapangan. Selain itu, program pemberdayaan dengan melakukan motorisasi unit penangkapan sangat diperlukan bagi nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Pembinaan nelayan yang kontinyu diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan nelayan dalam menjaga kualitas hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap yang efektif untuk penangkapan udang penaeid, menjamin ketersediaan udang penaeid dan menjaga hubungan antara nelayan dengan nelayan dan antar nelayan dengan pelaku perikanan lain. Pembangunan masyarakat nelayan tidak terlepas dari pembangunan masyarakat desa pada umumnya. Pembangunan yang dilakukan yaitu untuk membantu masyarakat agar dapat membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri, dengan mendasarkan pada pengembangan potensi alam lingkungan desa. Masyarakat desa ini sebagian besar bermata pencaharian nelayan, karena itu pembangunan masyarakat desa/nelayan penting untuk dilakukan. Pembinaan nelayan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat desa. Tujuan dari pembangunan masyarakat desa dan pembinan nelayan adalah sama untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga kedepannya usaha-usaha pembangunan masyarakat perlu dilakukan yang merupakan tanggung jawab seluruh pihak yang berkepentingan di dalamnya. 2) Meningkatkan kerjasama antar pelaku Pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan diharapkan tetap mengacu pada pertimbangan aspek biologis, teknis, sosial dan ekonomi. Pertimbangan aspek-aspek tersebut dimaksudkan agar pemanfaatan potensi sumber daya udang penaeid menguntungkan dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya yang optimal dalam upaya meningkatkan produksi diikuti dengan keuntungan ekonomi yang optimal. Upaya peningkatan produksi udang penaeid akan meningkatkan pendapatan seluruh stakeholders perikanan udang penaeid. Terutama nelayan yang menjadi aktor utama dalam upaya penangkapan udang penaeid, sehingga kesejahteraan nelayan akan meningkat. Peningkatan produksi ikan yang ditangkap oleh nelayan, tentunya akan meningkatkan keuntungan usaha pedagang ikan dan pengusaha perikanan dan

91 74 bagi pemerintah daerah akan memberikan kontribusi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pungutan retribusi perikanan. Strategi pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan yang optimal adalah dengan melakukan peningkatan partisipasi dari semua pelaku perikanan udang penaeid, yaitu nelayan, pedagang ikan, pengusaha ikan dan pemerintah. Pembentukan pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak merupakan cara yang terbaik untuk hal ini. Dimana kepercayaan antar pelaku menjadi modal utama. Pertemuan-pertemuan dilakukan untuk membicarakan kendala-kendala yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dan kemudian memecahkan masalah yang ada dengan pertimbangan keuntungan bersama. Dengan mengacu kepada hasil pengolahan kuisioner, maka nelayan sebagai aktor utama harus menjadi perhatian utama dibandingkan aktor lain. Nelayan sebagai penentu dari hasil tangkapan (produksi) ikan harus tidak dirugikan oleh tekanan harga oleh pedagang dan pengusaha ikan. Maka penataan yang lebih dini dalam pengelolaan sumber daya perikanan kedepan diperbaiki sehingga pemanfaatan udang penaeid akan menguntungkan semua pihak. Perlunya kerjasama dari masing-masing pelaku untuk mensinergikan peranan dalam pengelolaan sumber daya udang penaeid. Agar masing-masing kebutuhan dari pelaku dapat dipenuhi dengan mempertimbangkan kelangsungan pelaku lainnya. Adanya pola kemitraan yang dibangun dengan baik akan menghasilkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya udang penaeid yang optimal dan berkelanjutan. Suharyano et al., (2005) yang menyatakan bahwa bentuk co-management yang berbasis masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Masyarakat sekitar tentunya mempengaruhi dalam penentuan kebijakan yang diambil, sehingga berbagai strategi yang ditetapkan dapat terlaksana. Co-management sendiri dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitaraan kedinasan pemerintah, nelayan, pedagang ikan dan pengusaha ikan yang berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Sedangkan Co-management berbasis masyarakat mengikutsertakan masyarakat dalam pengaturan kemitraan dimana nantinya mereka diberikan peluang dan tanggung

92 75 jawab mengatur sumber daya alam pantai untuk kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya dalam kemitraan. Menurut Mardianto (2004), pengelolaan yang berdasarkan sumber daya perikanan pantai dapat dilaksanakan berdasarkan beberapa alternatif pendekatan. Salah satu pendekatan adalah model pengelolaan perikanan oleh pemerintah sendiri yang menempatkan pemerintah sebagai otorita sepenuhnya untuk mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan. Pola yang dianut oleh pemerintah saat ini merupakan pola yang tidak mengikutsertakan masyarakat dalam penentuan kebijakan. Sehingga banyak terjadi penolakan kebijakan yang telah ditetapkan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan, agar aturan yang dibuat tidak mandul. Pada akhirnya, bukan tidak jarang konflik terjadi antara pemeritah sebagai pengelola dan nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya. Walaupun hal itu tidak terjadi, maka praktek pelanggaran aturan dilakukan oleh nelayan. Pada gilirannya semua pihak akan menanggung kerugian yang timbul akibat kegagalan mencapai pengelolaan yang baik. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memperhatikan aspirasi masyarakat adalah sebuah keharusan Meningkatkan produksi udang penaeid Tentunya semua pihak menginginkan produksi udang penaeid meningkat, karena akan meningkatkan pendapatan semua pihak. Nelayan akan meningkat kesejahteraan keluarganya dengan meningkatnya produksi ikan, sedangkan pedagang ikan dan pengusaha perikanan akan meningkatkan pendapatan usahanya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menaungi kebutuhan semua pihak, sehingga dengan meningkatnya produksi udang penaeid maka kebijakan yang diterapkan telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, pemerintah mendapatkan keuntungan berupa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang semestinya dikelola untuk kepentingan usaha yang bersangkutan. Berdasarkan hasil linear goal programming (LGP) tentang armada penangkapan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan yang optimum, maka pendapatan asli daerah (PAD) yang akan didapat setelah kondisi optimum tersebut diduga dapat mencapai Rp atau naik sebesar 210,798 % dari

93 76 pendapatan sebelum kondisi optimum yaitu sebesar Rp Pendapatan asli daerah (PAD) tersebut didapat berdasarkan retribusi pada sektor perikanan yang berlaku di Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebesar 5 %. Hasil tangkapan udang penaeid yang optimum diduga dapat mencapai 1.142,359 ton dari semua armada penangkapan atau naik sebesar 226,718 % dari hasil tangkapan sebelum kondisi optimum yaitu sebesar 349,646 ton. Namun demikian, besarnya pendapatan asli daerah (PAD) optimum yang dikehendaki perlu diimbangi dengan penyediaan kebutuhan-kebutuhan operasional yang memadai bagi nelayan dalam melakukan operasi penangkapan udang penaeid seperti bantuan pengadaan armada penangkapan beserta alat tangkapnya, ketersediaan, es, BBM dan keperluan operasional nelayan lainnya. Simulasi perhitungan besarnya pendapatan asli daerah (PAD) dan hasil tangkapan yang optimum di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada lampiran 10. Strategi meningkatkan produksi udang penaeid diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumber daya secara rasional. Untuk meningkatkan produktivitas nelayan, peningkatan produksi diarahkan untuk lebih mengintensifkan upaya penangkapan di wilayah perairan masing-masing kampung. Intensifikasi upaya penangkapan dilakukan secara merata untuk menghindari pemanfaatan yang berlebih (over fishing) pada daerah tertentu saja Meningkatkan potensi pasar Meningkatkan potensi pasar menjadi alternatif strategi kebijakan yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan udang penaeid. Ketersediaan pasar turut menentukan tingkat produksi hasil tangkapan udang penaeid. Hal ini sesuai dengan hukum pasar, dimana hasil tangkapan udang penaeid (supply) berhubungan erat dengan permintaan udang penaeid (demand) Meningkatkan sarana dan prasarana Faktor yang menjadi prioritas ketiga adalah sarana dan prasarana. Faktor ini akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas dari hasil tangkapan udang penaeid. Peningkatan sarana prasarana dapat dilakukan dengan motorisasi sarana tangkap nelayan dari perahu tanpa motor menjadi perahu motor tempel.

94 77 Meningkatkan prasarana di sentra-sentra produksi seperti pembangunan pabrik es untuk menjaga mutu hasil tangkapan, membangun cold storage mini sebagai tempat penyimpanan ikan pada musim puncak dan membangun dermaga perikanan rakyat Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan yang berkelanjutan diperlukan suatu alat tangkap yang ramah lingkungan. Sejak diberlakukannya Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl di seluruh perairan laut Indonesia, trammel net atau jaring tiga lapis telah direkomendasikan sebagai salah satu alat tangkap alternatif pengganti trawl untuk tujuan penangkapan udang. Pemilihan trammel net didasarkan atas pertimbangan antara lain harganya relatif murah, selektivitasnya cukup baik dan metode pengoperasiannya mudah (Purbayanto, 2006). Di Kabupaten Sorong Selatan upaya penangkapan udang penaeid hampir semuanya menggunakan trammel net, dengan beberapa armada dari yang sederhana sampai yang menggunakan mesin dalam.teknik pengoperasian dengan cara dihanyutkan (drifting). Untuk itu diperlukan pengkajian tentang status kini dari alat tangkap trammel net yang ada di Kabupaten Sorong Selatan sebagai dasar menentukan program pengembangan selanjutnya, antara lain dengan mengkaji teknik operasional trammel net yang lebih efektif dengan cara ditarik (sweeping) di dasar perairan.

95 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat dapat disimpulkan bahwa: 1) Potensi lestari udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan diduga sebesar ,174 ton/tahun, dengan stock density sebesar 0,508 ton/km 2 dan standing stock sebesar ,566 ton. 2) Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan udang penaeid dengan menggunakan alat tangkap trammel net adalah jumlah trip, panjang jaring, bahan bakar minyak dan jumlah nelayan. Secara finansial usaha penangkapan udang dengan jaring trammel net menguntungkan dan layak diteruskan. 3) Jumlah alokasi optimum untuk penangkapan lestari udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan adalah ketinting 219 unit, jolor 217 unit, johnson 25 unit dan pkp 20 unit. 4) Strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat dapat dilakukan dengan antara lain : (1) Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku (2) Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan (3) Meningkatkan produksi udang penaeid (4) Meningkatkan sarana dan prasarana dan (5) Meningkatkan potensi pasar. 6.2 Saran 1) Sebagai kabupaten baru yang sedang berkembang perlu melakukan langkah-langkah kongkrit untuk pengelolaan dan pengembangan perikanan udang sebagai komoditi unggulan, antara lain dengan pembinaan nelayan yang berupa pelatihan-pelatihan dan pendampingan, pembenahan sekaligus pembangunan sarana dan prasarana penunjang

96 79 diantaranya pelabuhan perikanan, pasar ikan dan pembangunan sarana transportasi yang memadai. 2) Perlu dilakukan kajian tentang teknik penangkapan udang dengan jaring trammel net yang lebih efektif dengan tetap menjaga potensi lestari sumberdaya yang ada di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat, sehingga sumberdaya udang penaeid bisa dikelola dengan baik.

97 DAFTAR PUSTAKA Akademi Perikanan Sorong. Departemen Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan, Irian Jaya Barat Potensi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan. Laporan Akhir. Sorong. 70 hal. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat Profil Rumahtangga Miskin Provinsi Papua Barat (Hasil Pendataan PSE05). BPS Provinsi Papua Barat. Papua. Bahari, R Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat; Jakarta, Desember Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Barus, H.R., Badrudin dan N. Naamin Prosiding Forum II Perikanan; Sukabumi; Juni Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Dahuri, R Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan SumberdayanPesisir dan Lautan secara Terpadu. Jurnal Pesisir & Lautan. PKSPL-IPB. Bogor. Hal Dahuri, R Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal Dahuri, R Jurus Membangun Perikanan Tangkap di Indonesia. PT. Samudra Komunikasi Utama. Jakarta. Edisi 59 tahun VI. Hal Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2001, Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. BRKP-DKP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.LIPI. Jakarta. Hal 5-7. Dinas Perikanan Kabupaten Sorong Selatan, laporan tahunan tahun anggaran Sorong. Direktorat Jendral Perikanan Spesifikasi Teknis Kapal dan Alat Penangkapan Ikan Laut dan Perairan Umum. Direktorat Bina Produksi. Dirjen Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Djamali, A. dan Burhanuddin Keanekaragaman Jenis Ikan Pelagik yang Tertangkap dengan Gillnet di Perairan Selat Sunda Jawa Barat. Makalah Disampaikan pada Simposium Perikanan Indonesia I, Agustus. Eriyatno Ilmu sistem, meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. IPB Press. Bogor. Hal

98 81 Grey, D.L, W. Dall, A. Baker A Guide to The Australian Penaeid Prawns. Darwin : The Departement of Primary Production of the Northern Territory. 140 p. Gulland, J.A Fish Stock Assessment. Annual of basic Methods. John Wiley and Sons. Great Britain. 233 p. Haluan, J. dan T.W. Nurani Penerapan Metode Skoring dalam Penelitian Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Buletin PSP. Vol II. No. 1 Juni Fakultas Perikanan. Intitut Pertanian Bogor. 14 hal. Hartati, K Studi Tentang Pengembangan Perikanan Tangkap Di Desa Muara Ciasem Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kadariah, Lien K dan Clive G Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. 104 hal. Kesteven, G.L Manual of Fisheries Science, Part 1 an Introduction to Fisheries science. FAO Fisheries technical Paper No FAO. Rome. 43 p. Kusumastanto, T Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Cakalang di Perairan Utara Irian Jaya. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Mangunsukarto, K. M. Baskoro, M. Radianto Pengaruh Hanging Ratio Trammel Net terhadap Hasil Tangkapan Udang di Perairan Cirebon, Jawa Barat. Buletin PSP Volume V No. 2. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monintja, D.R Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin Jurusan PSP. Volume I No. 1. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Muksin D Optimalisasi Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis (Tidak dipublikasikan). 119 hlm. Naamin, N Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya (Disertasi). (tidak dipublikasikan). IPB. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Naamin, N, B. Sumiono, S. Ilyas Pedoman Teknik Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Udang Penaeid bagi Pembangunan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 89 hal.

99 82 Nelly, E Rancang bangun sistem informasi perikanan udang penaeid di perairan Arafura yang berbasis di Sorong dan Bintuni. Tesis. (tidak dipublikasikan). IPB. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Hal Nomura, M, T, Yamazaki Fishing Techniques (1). Tokyo. International Cooperation Agency Tokyo. 206 p. Nomura, M Fishing Techniques (2). Japan International Cooperation Agency (JICA). Tokyo. Nuitja, N.S Ekologi Kelautan. Suatu Tantangan Besar Negara Bahari, Analisis CSIS. EKOINFO. Jakarta. Nurani, T.W Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) suatu metode untuk analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Memoar Purnabakti untuk H. Ayodhyoa, M.Sc. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Hal Nurhakim, S Estimasi Hasil Tangkapan Maksimum Sumberdaya Udang di Laut Arafura dengan Model Produksi Surplus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal Pauly, D., Theory and management of tropical multispecies stocks : a review with emphasis on the Southeast Asian demersal fisheries. ICLARM Stud.Rev., (1):35 pp. Purbayanto, A Perikanan Trammel Net. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 188 hal. Puspito, G Persamaan Matematika untuk Memperkirakan Tegangan dan Konfigurasi Shrimp Trammel Net. Buletin PSP Volume XI. No.1. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB.Bogor. Purwanto, J Perencanaan Strategik Pengembangan Kelautan dan Perikanan Pasca terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Marine Techno Fisheris. 42 hal. Saaty, T.L Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 269 hal. Saaty, T.L Decission making in Ekonomic, Political, Social and Technological Environment with the Analytical Hierarchi Process. University of Pittsburgh, America.

100 83 Santoso, S. N SPSS Versi 10. mengolah Data Statistik secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Komputindo Kelompok Gramedia. 373 hal. Soekartawi Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Rajawali Press. Jakarta. 257 hal. Sparre, P, E. Ursin, dan S.C. Venema Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. Part I : Manual. FAO Fisheries Technical Paper No.306. FAO. Rome. Sparre, P, S.C. Venema Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku 1. Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assessment Part 1- Manual. 451 hal. Suman, A Optimasi pemanfaatan sumber daya udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 10 Nomor 4 tahun Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal Syafrin, N Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tupamahu, A Selektifitas Sweeping Trammel Net Udang Penaeid (Penaeus semisulcatus) Di Perairan Kepulauan Aru Tengah. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan dan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja (Guru Besar Departemen PSP FPIK-IPB) tanggal Agustus hal. Unar, M Beberapa Aspek Tentang Fishing Ground Udang di Perairan Indonesia. Kertas Kerja Simposium Udang. Jakarta, Februari 1965, 4 p.

101 LAMPIRAN

102 Lampiran 1 Peta perairan Kabupaten Sorong Selatan 84

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi Udang Penaeid Sistematika dan identifikasi udang penaeid 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Penaeid 2.1.1 Sistematika dan identifikasi udang penaeid Kedudukan udang penaeid secara taksonomi menurut Racek dan Dall (1965), Kubo (1949), Naamin et al., (1992)

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG. I MADE KORNl ADNYANA. PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM

SKRIPSI. STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG. I MADE KORNl ADNYANA. PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM STUDl TENTANG STOK UDANG JERBUNG (venaeus mmguefi-ais, de Man) DI LAUT ARAFURA DAN SEKITARNYA SKRIPSI Oleh I MADE KORNl ADNYANA C 24. 1475 PROGRAM STUDl ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKAPIAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel.

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel. JARING TRAMMEL Trammel net (Jaring trammel) merupakan salah satu jenis alat tangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan terutama sejak pukat harimau dilarang penggunaannya. Di kalangan nelayan, trammel

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU Proporsi dan Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Tiga Lapis (Trammel Net) di Pelabuhan Ratu (Hufiadi) PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU ABSTRAK Hufiadi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

POTENSI IKAN KAKAP PUTIH

POTENSI IKAN KAKAP PUTIH Agricola, Vol 6 (1), Maret 2016, 31-39 p-issn : 2088-1673., e-issn 2354-7731 POTENSI IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer Bloch, 1790) DI SUNGAI KUMBE DISTRIK MALIND KABUPATEN MERAUKE Mohamad Hari Widodo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN

Lebih terperinci