BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan namun demikian Kejaksaan juga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan namun demikian Kejaksaan juga"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan namun demikian Kejaksaan juga mempunyai wewenang lain sebagai pelaksana penetapan atau putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, Jaksa Pengacara Negara, intelijen yustisial, dan penyidikan dalam tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Meskipun dalam prosedur acara pemeriksaan tindak

2 2 pidana ringan yang berfungsi sebagai penuntut adalah penyidik, namun kehadiran penyidik tersebut atas kuasa dari penuntut umum. Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain seperti Jaksa Pengacara Negara dan intelijen yustisial berdasarkan Undang-Undang. 1 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Kejaksaan memiliki wewenang pro justitia (untuk keadilan) bergerak di tiga tataran, yaitu penyidikan, penuntutan (termasuk di dalamnya pelimpahan wewenang barang bukti dan penguasaan atas aset selama persidangan) dan eksekusi (wewenang eksekutorial). 2 Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagai mana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai dengan ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan tersebut ditegaskan lagi dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (perubahan pengaturan ketentuan mengenai penyidik terutama mengenai PPNS) jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (perubahan besaran ganti kerugian dan proses pembayaran ganti kerugian 1 Pengertian Kejaksaan, diakses tanggal 30 Desember Ferdinand T. Andi Lolo, Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia. Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 11

3 3 kepada pemohon ganti kerugian) yang menyatakan bahwa penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan tentang tugas dan wewenang jaksa sebagai berikut : 1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

4 4 a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Penegasan bahwa jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, dapat ditelusuri dari Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menyatakan apabila dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk ditindaklanjuti. Penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi 3, dapat diketahui bahwa jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. 3 R.Wiyono, 2008, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. hlm 171

5 5 Wewenang Jaksa untuk melakukan penyidikan, lebih ditegaskan lagi oleh Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menentukan bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. Dalam penjelasannya disebutkan kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008 bahkan telah menyatakan bahwa Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disamping tidak bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 4 Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi, jaksa bertugas melakukan penyidikan guna menyelesaikan suatu perkara yang diduga tindak pidana korupsi agar tersangka atau terdakwanya dapat diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berkenaan dengan aset yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang dikenakan tindakan penyitaan sebagai tindakan pro justitia yang dilakukan oleh penyidik, Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penanganan terhadap aset yang disita oleh penyidik sejak berkas dinyatakan lengkap dan dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (kecuali penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan, penanganan aset oleh Kejaksaan mulai dilakukan sejak dilakukan Penyitaan 4 Ibid, hlm 172

6 6 pada tahap Penyidikan) hingga melakukan eksekusi terhadap aset yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum (Kejaksaan) dalam penanganan aset yang dilakukan tindakan pro justitia sesungguhnya memberikan potensi penyimpangan. Mantan Wakil Jaksa Agung Darmono mengakui bahwa potensi korupsi di lembaganya cukup besar. Potensi ini bisa saja dilakukan pejabat Kejaksaan mulai dari penyidik, penuntut umum hingga pelaksana atas putusan hakim. Darmono menjelaskan, dengan kewenangan yang ada, Kejaksaan atau Jaksa memiliki kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Menurut Darmono, jika penyimpangan itu terkait dengan aset dalam suatu perkara, berarti berkaitan dengan kekayaan negara. Aset dalam suatu perkara bisa berupa barang bukti, barang rampasan, uang pengganti, dan denda. 5 Pernyataan mantan Wakil Jaksa Agung tersebut dikuatkan oleh lembaga pegiat antikorupsi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Menurut FITRA, dari 83 lembaga negara ada 10 lembaga yang potensial melakukan korupsi dengan total potensi kerugian mencapai Rp 16,4 triliun. FITRA menuding potensi korupsi di Kejaksaan mencapai Rp 5,43 triliun dengan 473 kasus penyimpangan dan berada pada urutan pertama. Jumlah sebesar itu antara lain karena Kejaksaan tidak dapat mengelola dan menyelesaikan barang sitaan dan aset rampasan para pihak berperkara. Aset dan barang rampasan tersebut diduga masih banyak yang belum diurus, penghentian kasus, hilang, diselewengkan atau berbagai modus lainnya. Kesimpulan tersebut atas dasar audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap 83 Kementerian dan lembaga negara di Indonesia periode Istman MP, et al, Kejaksaan Agung Paling Korup, diakses pada tanggal 30 Desember Bosco Nambut, Kejaksaan Lembaga Paling Korup, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.

7 7 Kejaksaan Agung kemudian merespon dengan membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi. Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-X-361/C/11/2010 tanggal 25 November 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi yang merupakan revisi dari Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-X- 308/C/10/2010 tanggal 27 Oktober 2010 tentang Pembentukan Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi. Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi ini mempunyai tugas untuk menyelesaikan asset recovery (pemulihan aset) beberapa perkara tindak pidana korupsi besar yang penyelesaiannya berlarut-larut dengan wilayah kerja Indonesia dan luar wilayah Indonesia. Hal tersebut terlihat dari dua Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan yang diterbitkan setelah Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi ini didirikan. Pertama diterbitkan Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin-021/C/Cu.3/02/2011 pada tanggal 18 Februari Surat perintah tersebut memerintahkan Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas nama terpidana : 1. Hendra Raharja, dan kawan-kawan; 2. Adrian Herling Woworuntu, dan kawan-kawan; 3. Arie Lestario; 4. Widjanarko Puspoyo; 5. David Nusa Wijaya;

8 8 6. Edy Tanzil; 7. Muhammad Hasyim; 8. Sudjono Timan; 9. Mohammad Hasan; 10. Edward Cornelis William Neloe, dan kawan-kawan. Kedua, Surat Perintah Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor Prin- 170/C/Cu.3/09/2011 tanggal 23 September Surat perintah tersebut memerintahkan Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi untuk menangani dan menyelesaikan barang rampasan perkara tindak pidana atas nama terpidana Bambang Sutrisno, dan kawan-kawan serta atas nama terpidana Dra. Hardieni Soegito. Prosedur kerjanya secara garis besar adalah unit yang bertanggung jawab atas penuntutan menyerahkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang bermasalah atau berlarut-larut penyelesaiannya sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk kemudian ditindaklanjuti dengan penanganan aset pelaku tindak pidana oleh Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi sesuai dengan amar pengadilan. Namun demikian, tidak semua putusan pengadilan yang diserahkan kepada Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi, hanya putusan pengadilan yang memiliki yurisdiksi di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, diluar itu belum bisa ditangani oleh Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi. Selain itu, tidak semua putusan pengadilan atas perkara tindak pidana korupsi yang diserahkan ke Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi, terbatas hanya putusan perkara tindak pidana korupsi yang dikategorikan perkara besar dan penyelesaian asetnya

9 9 berlarut-larut. 7 Fokus Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi perkara besar dan penyelesaian asetnya berlarut-larut supaya lebih terfokus untuk mengembalikan kerugian negara dan mengurangi secara signifikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kejaksaan. Mekanisme penanganan aset Kejaksaan yang hanya aktif di hilir (eksekusi) namun kurang memberdayakan di hulu (penyidikan dan penuntutan) membuat permasalahan terutama saat dilakukan pemeriksaan BPK. Pada tahun 2014 Kejaksaan RI yang dipimpin oleh Basrief Arief mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan status Satgassus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi menjadi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI. Pemerintah Republik Indonesia kemudian menyetujui usulan pembentukan dari Pusat Pemulihan Aset berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Per- 006/A/JA/3/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Per-009/A/JA/01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Pusat Pemulihan Aset sebagai satuan kerja Kejaksaan bertanggung jawab memastikan terlaksananya pemulihan aset di Indonesia secara optimal dengan pola sistem pemulihan aset terpadu (integrated asset recovery system) secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Pusat Pemulihan Aset berwenang melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset yang dalam melaksanakan tugasnya sebagai Center of Integrated Asset Recovery System. Pembentukan Pusat Pemulihan Aset oleh Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menarik peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul PERAN PUSAT PEMULIHAN ASET KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM 7 Ferdinand T. Andi Lolo, Op.Cit, hlm. 20

10 10 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Penelitian ini bertujuan menggambarkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan pusat pemulihan aset, kegiatan pemulihan aset yang dilaksanakan oleh Pusat Pemulihan Aset kaitanya dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menganalisis kendala yang ada di dalamnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, peneliti merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis pembentukan Pusat Pemulihan Aset yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana pelaksanaan tugas Pusat Pemulihan Aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini ada dua hal, yaitu : 1. Menelisik latar belakang pembentukan Pusat Pemulihan Aset sehingga diketahui landasan filosofis, landasan yuridis, maupun landasan sosiologisnya. 2. Mengetahui mekanisme dan kinerja Pusat Pemulihan Aset, faktor pendukung maupun faktor penghambat bekerjanya Pusat Pemulihan Aset, serta prospek Pusat Pemulihan Aset yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan RI.

11 11 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pihak yang terkait khususnya Kejaksaan Republik Indonesia. 1. Kegunaan Akademis Kegunaan akademis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi (sumbangsih) bagi ilmu pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana pada umumnya. Peneliti juga berharap penelitian ini bisa menambah kajian mengenai Pemulihan Aset pada umumnya dan peran Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan RI kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi pada khususnya. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bagian dari referensi penelitian lain selanjutnya. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi Kejaksaan RI penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, saran dan pendapat terutama kepada Pusat Pemilihan Aset Kejaksaan RI, memberikan gambaran kepada insan Adhyaksa khususnya mengenai pentingnya peran Pusat Pemulihan Aset terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Selain itu juga memberikan gambaran mengenai pentingnya total law enforcement, yakni penegakan hukum tidak hanya kepada pelakunya saja, akan tetapi juga mengejar terhadap asetnya. b. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan sekaligus memperoleh pengetahuan baik secara normatif maupun empiris mengenai peran Pusat Pemulihan Aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia

12 12 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat 1 (satu) penelitian pada lingkup Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang sejenis dengan penelitian yang membahas mengenai eksistensi Pusat Pemulihan Aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, selain itu pada lingkup strata 1 (skripsi) peneliti menemukan 3 (tiga) penelitian dengan judul sejenis sebagai berikut : 1. Upaya Pengembalian Aset (Aset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Berada Di Luar Negeri. Penelitian ini dilakukan oleh Beniharmoni Harefa, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, NIM 09/291864/PHK/05930, pada bulan September tahun Adapun rumusan masalahnya, yaitu : a. Bagaimanakah upaya pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri? b. Apa kendala-kendala yang dihadapi perihal pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri? Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan yaitu : a. Upaya-upaya pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri merupakan bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Kejaksaan sebagai lembaga yang berperan dalam melaksanakan putusan pengadilan untuk mengembalikan aset yang berada di luar negeri. Upaya-upaya kongkrit yang telah dilakukan Kejaksaan berdasarkan penelitian 8 Beniharmoni Harefa, 2011, Upaya Pengembalian Aset (Aset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Berada Di Luar Negeri, Tesis, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

13 13 adalah dengan membentuk tim terpadu pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Kejaksaan melalui tim terpadu, berdasarkan data dari unit pidana khusus Kejaksaan RI dari tahun 2006 s/d tahun 2011 telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp ,- (enam puluh lima trilyun dua ratus sembilan milyar empat ratus lima juta lima ratus lima puluh dua ribu sembilan ratus dua puluh rupiah). Penyelamatan uang negara ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Upaya lain yang dilakukan Kejaksaan untuk mengejar dan mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri adalah dengan peningkatan hubungan diplomatik secara intensif dengan negara lain. Upaya peningkatan hubungan diplomasi ini dilakukan secara intensif yakni pada setiap pertemuan internasional yang diharapkan dapat membina hubungan baik antara Indonesia dengan negara-negara yang sering menjadi tujuan aset dipindahkan. b. Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana yang berada di luar negeri yakni perbedaan sistem hukum antar negara, adanya pihak ketiga yang menghambat proses pengembalian aset, serta lambannya proses hukum di Indonesia. Penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan, perbedaannya Beniharmoni Harefa meneliti upaya-upaya pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Penelitian tersebut membahas upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan RI dengan membentuk tim terpadu pengembalian aset, hasil yang dicapai tim terpadu serta kendala-kendala yang dihadapi. Berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan karena obyek penelitian lebih spesifik mengkaji tentang eksistensi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peneliti menelisik sejarah pembentukan Pusat

14 14 Pemulihan Aset serta mekanisme dan kinerja Pusat Pemulihan Aset serta faktor penghambat bekerjanya Pusat Pemulihan Aset. 2. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Penelitian ini dilakukan oleh Riani Atika Nanda Lubis, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, NIM , pada bulan Juli tahun Adapun rumusan masalahnya, yaitu : a. Bagaimanakah perbandingan pengaturan dan pelaksanaan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, Britania Raya, dan Thailand? b. Apakah bentuk perampasan aset hasil tindak pidana korupsi sejalan dengan program keadilan restoratif yang sedang berkembang saat ini? c. Hal apa sajakah yang harus disiapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum agar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berjalan? Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan yaitu : a. Pengembalian aset tindak pidana korupsi di Indonesia telah dikenal sejak tahun 1957, yakni saat disahkannya Peraturan Penguasa Militer nomor : Prt/PM- 06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Di Indonesia sendiri, dasar hukum pengembalian aset diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun Indonesia sebenarnya telah memiliki Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang telah disusun sejak tahun 2008, tetapi sejak tahun 2011 belum disahkan. Rancangan Undang- Undang Perampasan Aset di Indonesia juga mengamanatkan didirikannya 9 Riani Atika Nanda Lubis, 2011, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Skipsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

15 15 Badan Pengembalian Aset, yaitu Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN). Sedangkan di Britania Raya, tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 dimana pengembalian aset tindak pidana dapat dilakukan dengan pengembalian secara pidana, juga pengembalian secara perdata, bahkan telah memiliki Asset Recovery Agent (ARA), yaitu badan independen khusus yang menangani pengembalian asset hasil tindak pidana. Di Thailand, pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Undang-undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999, kemudian membentuk Kantor Anti Pencucian Uang untuk melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap pencucian uang. b. Untuk memaksimalkan upaya penegak hukum atas tindak pidana korupsi berupa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka gagasan yang timbul adalah adanya keseriusan dari penegak hukum dan political will dari Indonesia, segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, penggunaan upaya pengembalian aset secara non-conviction based (NCB) sebagai alternatif, menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternatiif pengembalian aset tindak pidana korupsi, dan pengefektifan RUPBASAN sebagai badan pengembalian aset. c. Keadilan restoratif merupakan pemikiran dari tujuan pemidanaan yang mengutamakan konsep pemulihan keadaan akibat terjadinya tindak pidana sehingga keadaan kembali seperti semula dengan pendekatan yang mengutamakan penyesalan oleh pelaku karena kesadarannya atas konsekuensi dari perbuatannya, dimana dalam pelaksanaannya pelaku, korban, penegak hukum, dan masyarakat dengan perannya masing-masing saling bekerja sama untuk memulihkan keadaan. Konsep keadilan restoratif merupakan sebuah konsep yang secara bijaksana dan fleksibel dapat diintegrasikan dan

16 16 diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, karena konsep keadilan restoratif tidak bisa ditafsirkan secara sempit begitu saja. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang sejalan dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa upaya pengembalian aset. Hal ini dikarenakan tindakan pengembalian aset sendiri merupakan tindakan yang bersifat restoratif untuk mengembalikan keseimbangan yaitu mengembalikan kerugian akibat tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, Negara dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi, dan pengembalian aset tindak pidana korupsi adalah tindakan yang bersifat restoratif. Penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan, Riani Atika Nanda Lubis meneliti pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi secara umum, pengembalian aset dalam Rancangan Undangundang Perampasan Aset, perbandingan dengan pengembalian aset di Britania Raya dan Thailand serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dikaitkan dengan penerapan keadilan restoratif. Berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan karena obyek penelitian lebih spesifik mengkaji tentang eksistensi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.peneliti menelisik sejarah pembentukan Pusat Pemulihan Aset serta mekanisme dan kinerja Pusat Pemulihan Aset serta faktor penghambat bekerjanya Pusat Pemulihan Aset. 3. Peran Jaksa terdahap Asset Recovery dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini dilakukan oleh Maggie Regina Imbar, Mahasiswa Fakultas Hukum

17 17 Universitas Sam Ratulangi, NIM , pada bulan tahun Adapun rumusan masalahnya, yaitu : a. Bagaimana upaya asset recovery diindonesia? b. Bagaimana penanganan serta peran jaksa terhadap asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang? Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan : a. Perkembangan upaya asset recovery di Indonesia dimulai dengan adanya Peraturan Penguasa Perang Pusat No.PRT/PEPERPU/013/1958 dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, selain itu juga termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 beserta perubahannya, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Selain peraturan perundang-undanganupaya asset recovery juga dilakukan dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiatives. Upaya penting lainnya yaitu dengan Mutual Legal Assistance (MLA) untuk membantu asset recovery yang ada di luar negeri. Adapun langkah progresif yang diambil pemerintah Indonesia terkait dengan asset recovery yaitu adanya RUU Perampasan Aset. b. Selanjutnya dalam penanganan asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang terbagi dalam lima tahapan penting. Adapun pengaturan mengenai asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun Jaksa memiliki kewenangan dalam setiap tahapan asset recovery. Dalam KUHAP juga disebutkan tugas jaksa 10 Maggie Regina Imbar, 2015, Peran Jaksa Terdahap Asset Recovery dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulanggi, Manado.

18 18 sebagai eksekutor putusan pengadilan. Pada perkembangannya kejaksaan membentuk Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk membantu penanganan asset recovery baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan, Maggie Regina Imbar meneliti perkembangan upaya asset recovery diindonesia mulai dari Peraturan Penguasa Perang Pusat No.PRT/PEPERPU/013/1958 sampai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur upaya asset recovery saat ini hingga pengaturan upaya asset recovery ke depan dalam Rancangan Undang- Undang Pemulihan Aset, serta meneliti penanganan asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang yang terbagi dalam lima tahapan. Jaksa memiliki kewenangan dalam setiap tahapan asset recovery dan pada perkembangannya Kejaksaan membentuk Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk membantu penanganan asset recovery baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan karena obyek penelitian lebih spesifik mengkaji tentang eksistensi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peneliti menelisik sejarah pembentukan Pusat Pemulihan Aset serta mekanisme dan kinerja Pusat Pemulihan Aset serta faktor pendukung maupun faktor penghambat bekerjanya Pusat Pemulihan Aset. Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Maggie Regina Imbar menyebutkan juga keberadaan Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan, namun peneliti tidak membahas lebih lanjut mengenai eksistensi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan, hanya memberi informasi Kejaksaan membentuk Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk membantu penanganan asset recovery baik di dalam negeri maupun di luar negeri 4. Perampasan Aset Dalam Penganganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung No.

19 K/Pid.Sus/2011 dengan Terdakwa Bahsyim Assifie) oleh Hangkoso Satrio W., Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, NIM , pada bulan Juni tahun Adapun rumusan masalahnya, yaitu : a. Bagaimanakah pengaturan mengenai perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang di Indonesia? b. Bagaimana hubungan antara penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan ketentuan mengenai perampasan aset di Indonesia? c. Bagaimana penerapan ketentuan mengenai perampasan aset pada kasus Bahsyim Assifie? Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan : a. Pengaturan mengenai perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur di dalam KUHP, KUHAP, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dijabarkan sebagai berikut : 1) KUHP mengatur ketentuan mengenai perampasan aset di dalam Pasal 10 huruf b angka 2 yang merupakan pidana tambahan yang bersifat fakultatif dan mengatur mengenai barang-barang yang dapat dirampas di dalam Pasal 39 KUHP yaitu barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan dan barang-barang sengaja yang dipakai untuk melakukan 11 Hangkoso Satrio W, 2012, Perampasan Aset Dalam Penganganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung No. 1454K/Pid.Sus/2011 dengan Terdakwa Bahsyim Assifie), Skripsi, Fakultas Hukum,Universitas Indonesia, Jakarta.

20 20 kejahatan. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang di dalam KUHP berlaku juga pada tindak pidana lainnya berdasarkan Pasal 103 KUHP selama tidak diatur khusus. 2) KUHAP tidak mengatur mengenai perampasan aset karena hal tersebut diatur dalam hukum pidana materiil. Namun demikian, KUHAP yang merupakan ketentuan mengenai hukum pidana formil mengatur mengenai tata cara perampasan aset dapat dilakukan, yaitu : a) Dilakukan penyitaan sebagai upaya sementara untuk menguasai benda yang berhubungan dengan tindak pidana. Barang yang telah disita tidak secara otomatis dapat dilakukan perampasan aset. b) Status barang-barang yang sudah disita akan ditentukan di dalam putusan pengadilan yaitu : 1. dikembalikan kepada pihak yang berhak, 2. dirampas untuk kepentingan negara, 3. dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, 4. tetap di dalam kekuasaan Kejaksaan sebab barang bukti tersebut masih digunakan dalam perkara lain. c) Status barang bukti juga dapat berakhir masa penyitaannya jika : 1. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukannya lagi. 2. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau bukan merupakan suatu tindak pidana. 3. perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum. ketiga keadaan tersebut tidak dapat dilakukan perampasan aset.

21 21 Tidak ditentukan status barang bukti yang telah disita oleh penyidik di dalam putusan pengadilan bukan merupakan faktor yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. 3) Perampasan aset di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih luas dari KUHP karena dapat dilakukan perampasan aset terhadap barang yang tidak berwujud dan dapat dilakukan terhadap barang yang bukan milik terdakwa. Terdapat ketentuan mengenai pergeseran beban pembuktian di dalam Pasal 38 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 akan tetapi hanya terbatas pada harta kekayaan milik terdakwa yang belum didakwakan oleh Penuntut Umum. Tersedia juga perampasan aset dengan menggunakan gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi yang terdapat unsur kerugian keuangan negara. 4) Perampasan aset di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur mengenai pembalikan beban pembuktian yang bertujuan untuk melakukan perampasan aset. Hal itu diatur di dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimiliki bukan merupakan hasil tindak pidana. Ketentuan mengenai tindak pidana pencucian uang berfokus pada asal usul harta kekayaan sehingga mempermudah perampasan aset. b. Terdapat hubungan antara penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang. Pada tindak pidana korupsi menggunakan pendekatan follow the suspect, sedangkan

22 22 ketentuan di dalam tindak pidana pencucian uang menggunakan pendekatan follow the money. Perampasan aset menggunakan ketentuan dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih sulit dilakukan karena terdapat keterbatasan, yaitu 1. kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta benda yang dimilikinya, suami atau istri, anak atau koorporasi hanya bendampak untuk memperkuat alat bukti; 2. ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian yang tidak dapat dilakukan pada semua keadaan; 3. perampasan aset milik pihak ketiga yang masih dapat dimungkinkan dilakukannya upaya hukum yang dapat membatalkan perampasan aset; 4. tidak dapat menjangkau hasil investasi yang berasal dari tindak pidana; dan juga 5. kesulitan pembuktian secara formil di dalam perampasan aset dengan menggunakan gugatan perdata. Sedangkan ketentuan perampasan aset di dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berfokus kepada asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana sehingga dapat menjangkau hasil investasi yang berasal dari tindak pidana, dapat dirampasnya aset tindak pidana yang dikuasai oleh pihak ketiga dengan cara memidanakannya dan juga terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian yang berlaku bagi semua tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk menangani perkara tindak pidana korupsi akan lebih mudah jika disertakan ketentuan tindak pidana pencucian uang, karena mekanisme perampasan aset lebih mudah dilakukan dan juga jangkauan perampasan aset lebih luas dibanding ketentuan dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga dapat memaksimalkan hasil atau instrumen dari tindak pidana.

23 23 c. Perampasan aset dalam perkara Bahsyim Asyifie dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada kasus ini hanya dapat merampas hasil tindak pidana korupsi sebesar Rp ,- (satu milyar rupiah). Sedangkan perampasan aset dengan menggunakan tindak pidana pencucian uang berhasil merampas sebesar Rp ,- dan USD ,37 yang dilakukan tanpa membuktikan tindak pidana asal dan juga dengan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perampasan aset menggunakan tindak pidana pencucian uang lebih efektif untuk merampas aset hasil tindak pidana korupsi. Penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan, Hangkoso Satrio W. meneliti pengaturan mengenai perampasan aset di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan perkara tindak pidana pencucian uang terkait dengan ketentuan mengenai perampasan aset di Indonesia, dan penerapan ketentuan mengenai perampasan aset pada kasus Bahsyim Assifie baik ketentuan dalamundang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan karena obyek penelitian lebih spesifik mengkaji tentang eksistensi Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peneliti menelisik sejarah pembentukan Pusat Pemulihan Aset serta mekanisme dan kinerja Pusat Pemulihan Aset serta faktor pendukung maupun faktor penghambat bekerjanya Pusat Pemulihan Aset.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. No.857, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-013/A/JA/06/2014 TENTANG PEMULIHAN ASET DENGAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Alatas, Syed Hussain, 1997, Korupsi Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Alatas, Syed Hussain, 1997, Korupsi Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta. 139 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adji, Indriyanto Seno, 2001, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan Konsutan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan rekan, Alatas, Syed Hussain, 1997, Korupsi Sifat, Sebab,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kendala yang mempengaruhi sulitnya upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk juga pembayaran Uang Pengganti dan Uang Denda dipengaruhi oleh faktor substansi

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.453, 2014 JAKSA AGUNG. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-006/A/JA/3/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN JAKSA AGUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 alinea ke- IV terkandung sejumlah tujuan negara yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia, diantaranya membentuk

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor BAB 1V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan undang-undang pemberantasan korupsi yang berlaku

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap pelanggaran hukum yang menjadi perhatian adalah pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus pelanggaran hukum tersebut.

Lebih terperinci

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.751, 2017 KEJAKSAAN. Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Sita Eksekusi. Pelelangan atau Penjualan Langsung. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana 43 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan ancaman kepada

Lebih terperinci

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.160, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Sistem Pengelolaan. Benda Sitaan, Barang Rampasan Negara, Ketatalaksanaan. PERATURAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas keamanan negara, masyarakat, serta merugikan keuangan negara. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Aliyth Prakarsa dan Rena Yulia* Abstrak Aset negara yang dikorupsi tidak saja

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB II PERAN JAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA. 1. Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

BAB II PERAN JAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA. 1. Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana BAB II PERAN JAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA A. Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana 1. Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana Menurut istilah barang bukti dalam perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5937 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN. Pajak. PNBP. Jenis. Tarif. Kejaksaan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 201). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. 1 Pertumbuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG Oleh : Yenti Garnasih ABSTRAK Perkara kejahatan perbankan yang sangat penting dilakukan adalah bagaimana upaya pengembalian uang hasil

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang- 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci