2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

Transkripsi

1 No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 151/KMA/SKB/IX/2011. NOMOR : M.HH-08.HM TH NOMOR : KEP-215 / A / JA / 09 / NOMOR : B / 24 / IX / TENTANG KOORDINASI ANTAR APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA Menimbang : a. bahwa perkembangan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Indonesia menunjukan kecenderungan yang terus meningkat, disisi lain penanganan terhadap pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh aparat penegak hukum dirasakan belum maksimal;

2 2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksanaannya belum optimal; c. bahwa dalam rangka meningkatkan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dioptimalkan kerja sama dan koordinasi antara Mahkamah Agung, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan dan Kepolisian secara terintegrasi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diterbitkan Peraturan Bersama Tentang Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). 2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, 4150). 3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) yang diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, 4359) dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, 4958).

3 3 2011, No Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). 5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67). 6. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074). 7. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). 8. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Tentang Pemasyarakatan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614). 9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216). 10. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor : 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, 5145). 11. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.

4 2011, No MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA JAKSA AGUNG DAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA TENTANG KOORDINASI ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan : 1. Koordinasi ialah kegiatan saling memberikan masukan berupa informasi, data, pendapat, dan saran yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian, Penyidik Kejaksaan, Jaksa Peneliti/Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim, Petugas Pemasyarakatan, dan Pejabat Imigrasi, dalam proses penanganan Tindak Pidana Korupsi sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. 2. Penelitian ialah kegiatan yang dilakukan oleh Jaksa Peneliti dan Jaksa Penuntut Umum terhadap berkas perkara Tindak Pidana Korupsi yang dikirimkan oleh Penyidik Polri kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipelajari, diteliti, dan diberikan pendapat serta petunjuk. 3. Gelar atau ekspose perkara ialah suatu kegiatan yang dilakukan bersama antara Penyidik Kepolisian, Jaksa Peneliti dan Jaksa Penuntut Umum untuk menyempurnakan hasil penyidikan, serta saling memberikan masukan guna mempercepat penyelesaian penyidikan Tindak Pidana Korupsi. BAB II TUJUAN Pasal 2 a. Tujuan ditetapkan Peraturan Bersama ini, adalah untuk mewujudkan koordinasi yang optimal antara Mahkamah Agung, Kementrian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian secara terpadu dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Koordinasi ini bersifat fungsional dengan tidak mengurangi kewenangan masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5 5 2011, No.655 BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 Lingkup Koordinasi dalam Peraturan Bersama ini, meliputi dukungan administrasi dan teknis pada tahap: a. Penyelidikan; b. Penyidikan; c. Penuntutan; d. Persidangan; e. Pelaksanaan putusan Pengadilan. BAB IV PELAKSANAAN KOORDINASI PENYELIDIKAN Pasal 4 (1) Dalam rangka penyelidikan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian dapat bekerja sama untuk : a. Saling memberi data dan informasi tentang penyelidikan Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan; b. Pengembangan Basis data dan Informasi Tindak Pidana Korupsi. (2) Pengembangan Basis data dan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di Pusat Informasi Kriminal Nasional (PIKNAS) di Polri dan Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (PUSDASKRIMTI) di Kejaksaan. Pasal 5 (1) Dalam hal Kepolisian dan atau Kejaksaan menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi, setelah diterbitkan Surat Perintah Penyelidikan, maka Kepolisian dan Kejaksaan saling memberikan data dan informasi, untuk mengungkap indikasi tindak pidana korupsi tersebut. (2) Dalam hal Kepolisian dan Kejaksaan melakukan penyelidikan Tindak Pidana Korupsi atas perkara yang sama, untuk menghindari duplikasi dalam penyelidikan, maka penentuan Instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan ialah instansi yang lebih dulu mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan. (3) Hasil penyelidikan oleh Instansi yang tidak melanjutkan penyelidikannya lagi, wajib diserahkan kepada instansi yang menindaklanjuti penyelidikan, guna mempercepat proses penyelidikan selanjutnya.

6 2011, No PENYIDIKAN Pasal 6 (1) Apabila Penyidik Kepolisian mulai melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi, segera menerbitkan Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan dalam waktu 7 ( tujuh ) hari kerja sudah disampaikan kepada Penuntut Umum. (2) Penuntut Umum setelah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari Penyidik Kepolisian, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja telah menunjuk Jaksa Peneliti dan memberitahukannya kepada Penyidik Kepolisian. (3) Penyidik Kepolisian dan Jaksa Peneliti yang ditunjuk, sejak awal penyidikan bersama-sama dan saling berkoordinasi untuk mempercepat proses penyidikan. (4) Penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan strata organisasi yang setingkat, yaitu Mabes Kepolisian kepada Kejaksaan Agung, Kepolisian Daerah kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Resort kepada Kejaksaan Negeri sesuai daerah hukumnya. PENUNTUTAN Pasal 7 (1) Setelah diterbitkan surat penunjukan Jaksa Peneliti oleh Kejaksaan, maka dalam waktu 7 ( tujuh ) hari kerja Penyidik Kepolisian melakukan gelar / ekspose perkara kepada Jaksa Peneliti untuk Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan penyidikan oleh Penyidik Kepolisian. (2) Sebelum penyerahan berkas perkara, Penyidik Kepolisian menyerahkan draft kepada Penuntut Umum untuk dilakukan gelar / ekspose perkara guna mendapatkan masukan tentang kelengkapan alat bukti dan barang bukti dalam rangka memaksimalkan hasil penyidikan. Setelah Penyidik melengkapi draf berkas perkara sesuai hasil konsultasi, selanjutnya berkas perkara diserahkan kepada Penuntut Umum (tahap I). (3) Dalam hal berkas perkara dikembalikan untuk dilengkapi, Penyidik wajib melengkapi sesuai petunjuk yang diberikan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setelah Penyidik melengkapi petunjuk Penuntut Umum, Penyidik menyerahkan berkas kembali dan melakukan gelar / ekspose guna mengetahui apakah petunjuk Penuntut Umum telah dipenuhi. (4) Setelah berkas perkara dilengkapi sesuai petunjuk, dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, berkas perkara diserahkan kembali kepada Penuntut Umum, selanjutnya Penuntut Umum menerbitkan surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap.

7 7 2011, No.655 (5) Dalam hal Penyidik dan Penuntut Umum telah melakukan penyitaan terhadap barang bukti, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), wajib mempersiapkan sarana penyimpanan benda sitaan tersebut. (6) Dalam hal Kepolisian dan Kejaksaan akan melakukan pencekalan terhadap tersangka / terdakwa tindak pidana korupsi, atau DPO (Daftar Pencarian Orang), agar melakukan koordinasi dengan Direktorat Jendral Imigrasi. PERSIDANGAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Pasal 8 (1) Dalam hal Penyidik dan Penuntut umum mengajukan permohonan izin/persetujuan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan tindakan lain menurut hukum yang memerlukan izin/persetujuan Pengadilan berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi, maka pengadilan memberikan prioritas untuk memperlancar dan mempercepat pemberian izin/persetujuan tersebut serta mengutamakan pelaksanaan persidangannya. (2) Dalam hal Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara Tindak Pidana Korupsi ke Pengadilan, Pengadilan memberikan prioritas untuk pelaksanaan persidangannya. (3) Dalam hal masa penahanan tersangka atau terdakwa Tindak Pidana Korupsi telah berakhir sedangkan penetapan perpanjangan penahanan oleh pengadilan masih dalam proses, maka Penyidik dan Penuntut Umum yang melakukan penahanan mengkoordinasikan terlebih dahulu kepada Pengadilan sesuai dengan tingkatannya sebelum tersangka atau terdakwa dikeluarkan demi hukum. (4) Dalam hal pelaksanaan penahanan / putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Lembaga Pemasyarakatan harus menyediakan blok khusus untuk penempatan tersangka / terdakwa perkara tindak pidana korupsi. (5) Kepala Rumah Tahanan Negara wajib memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang melakukan penahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan mengenai tahanan yang akan berakhir masa penahanan atau berakhir masa perpanjangan penahanan. (6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (5) disampaikan dan diterima paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum masa penahanan atau masa perpanjangan penahanan berakhir oleh yang berwenang. (7) Apabila dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud ayat (5) pejabat yang berwenang menahan tidak melakukan atau menyampaikan perpanjangan penahanan, Kepala Rutan dapat mengeluarkan tahanan demi hukum.

8 2011, No BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 9 (1) Untuk memperlancar pelaksanaan koordinasi perlu diadakan rapat koordinasi antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan, dan Kepolisian sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sekali. (2) Pelaksanaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. Rapat koordinasi antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian. b. Materi rapat koordinasi membahas berbagai permasalahan dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan dan Kepolisian; c. Penyelenggaraan dan tempat pelaksanaan rapat koordinasi ditetapkan sesuai kesepakatan; d. Rapat koordinasi dapat mengikutsertakan instansi lain yang terkait dengan penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi; (3) Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian dapat melakukan koordinasi lain diluar bentuk kesepakatan yang telah diatur dalam Peraturan Bersama ini. (4) Untuk efektifnya pelaksanaan Peraturan Bersama ini, Ketua Mahkamah Agung menunjuk Ketua Muda Pidana Khusus, Menteri Hukum dan HAM menunjuk Dirjen Pemasyarakatan dan Dirjen Imigrasi, Jaksa Agung menunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, dan Kepala Kepolisian menunjuk Kepala Badan Reserse Kriminal, untuk melaksanakan Peraturan Bersama ini. (5) Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Bersama ini, apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dianggap tidak berlaku. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Peraturan Bersama ini berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal ditetapkan.

9 9 2011, No.655 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bersama ini, dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. KETUA MAHKAMAH AGUNG HARIFIN A TUMPA Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 September 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PATRIALIS AKBAR JAKSA AGUNG BASRIEF ARIEF KEPALA KEPOLISIAN NEGARA TIMUR PRADOPO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PATRIALIS AKBAR