PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN OLEH HAKIM DALAM PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN OLEH HAKIM DALAM PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA"

Transkripsi

1 1 PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN OLEH HAKIM DALAM PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Komjen Pol Budi Gunawan Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) Oleh: FETY RAHMAH WARDANI, SH.. A Pembimbing I : Prof. Dr. YC. Thambun Anyang, SH Pembimbing II :Fransiscus, SH., M.Hum ABSTRACT This thesis discusses the problem of analysis of the pretrial ruling by the judge in the determination of the suspect in terms of Indonesian criminal procedure law (Case Study Verdict Against Pretrial Penetapan.Metode used in this study is a research method by using juridical - normative. That pretrial ruling that granted Budi Gunawan although rise to various controversies, must be respected. However, the lessons to be learned from this debate is the investigator and the prosecutor is expected to be cautious in handling every case. Moreover, it can be taken another way, namely the improvement of the process of inquiry and investigation on the case alleged against Budi Gunawan so that the case can be proved the truth or non-benarannya.dengan pretrial ruling concerns the implications bad in law enforcement in Indonesia, legislators -undang, namely the legislative and the executive is expected to immediately pass the bill Discussion and Criminal Procedure Code in which there are provisions related to Judge Preliminary Examining Authority which is the recency of the pretrial system. With these efforts, the legal problems that may arise in the future as a result of the abuse of power by law enforcement officials within the criminal justice system, can be set up legal mechanisms show in more detail. Moreover, perdebatan -debate filled with various kinds of interpretations can be avoided and legal certainty will be assured that it will affect the confidence of citizens against law enforcement. ABSTRAK Tesis ini membahas masalah analisis terhadap putusan praperadilan oleh hakim dalam penetapan tersangka ditinjau dari hukum acara pidana indonesia (Studi Kasus Putusan Praperadilan Terhadap Penetapan.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan menggunakan pendekatan yuridis - normatif. Bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan walaupun menimbulkan berbagai kontroversi, harus dihormati. Namun demikian, pelajaran yang bisa dipetik dari polemik ini adalah penyidik dan penuntut umum diharapkan lebih bersikap hati-hati dalam penanganan setiap perkara. Selain itu dapat ditempuh jalan lain, yaitu melakukan perbaikan atas proses penyelidikan dan penyidikan atas perkara yang disangkakan terhadap Budi Gunawan sehingga perkara tersebut dapat dibuktikan kebenaran atau ketidak-benarannya.dengan adanya kekhawatiran putusan praperadilan tersebut membawa implikasi buruk dalam penegakan hukum di Indonesia, pembuat undangundang, yaitu legislatif dan eksekutif diharapkan segera melakukan Pembahasan dan mengesahkan RUU KUHAP yang di dalamnya terdapat ketentuan terkait dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang merupakan kemutakhiran dari sistem praperadilan. Dengan upaya ini, permasalahanpermasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, dapat diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail. Selain itu, perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin yang akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum. Kata Kunci: analisis putusan, praperadilan,dalam penetapan tersangka

2 2 Latar Belakang Berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula adanya perubahan dalam cara berpikir, dan mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara bertindak para aparat penegak hukum secara keseluruhan. Dalam upaya untuk menjamin agar ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tersebut dapat terlaksana dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan, maka di dalam KUHAP diatur lembaga baru yang dinamakan dengan Praperadilan. Lembaga ini berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sejak berdirinya Negara Hukum Republik Indonesia, perundang-undangan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum acara pidana warisan pemerintah kolonial Belanda yang terkenal dengan nama HIR / Het Herziene Inlandsch Reglement. Ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR dirasakan dan dinilai tidak sesuai dengan jiwa dan cita-cita hukum yang terkandung dalam dasar Negara Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan penjabarannya telah dituangkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Berdasarkan UUD 1945 Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechsstaat/constitsionalstate) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjunghukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR dirasakan kurang menghargai hak asasi manusia, maka Pemerintah RI bersamasama DPR-RI berupaya melakukan pembaharuan hukum acara pidana dengan mencabut HIR dan menggantinya dengan undang-undang hukum acara pidana baru dengan perumusan Pasal-Pasal dan ayatayat yang menjamin pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang sejak tanggal 23 September 1999 telah diatur dalam UU No. 39 Tahun Undang-undang hukum acara pidana yang baru tersebut mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Dalam upaya untuk menjamin agar ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang dicitacitakan, maka didalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama praperadilan sebagai pemberi wewenang tambahan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lainlain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kalimat yang lebih tegas dapat dikatakan bahwa diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan

3 3 horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. Kehadiran lembaga praperadilan sama halnya dengan kelahiran KUHAP disambut dengan penuh kegembiraan oleh segenap bangsa Indonesia pada umumnya dan warga masyarakat pencari keadilan pada khususnya terutama warga masyarakat yang berstatus sebagai tersangka dan atau terdakwa. Akan tetapi sangat disayangkan meskipun keberadaan lembaga praperadilan tersebut telah berusia lebih dari dua puluh tahunternyata dalam praktek hukum selama ini warga masyarakat pencari keadilan yang berupaya memohon perlindungan hukum kepada lembaga praperadilan sebagian besar belum mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan. Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan kelahiran KUHAP 1. Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari pengadilan negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri (hanya kepada Pengadilan Negeri). Pengadilan Negeri (PN) sebagai peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus atau mengadili dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama 2.Di samping tugas dan wewenang pokoknya mengadili dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata kepada pengadilan negeri oleh KUHAP diberikan wewenang tambahan berupa praperadilan yaitu wewenang untuk memeriksa dan memutus permasalahan/kasus yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP BAB X Bagian Kesatu Pasal 77 s/d 83 dan BAB XII Bagian Kesatu dan Kedua Pasal 95, 96 dan 97. Wewenang praperadilan yang diberikan kepada pengadilan negeri adalah wewenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP tentang 3 : a. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal 77 huruf a kuhap ); c. Sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (pasal 82 ayat (1) huruf b jo pasal 95 ayat (2) kuhap); d. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (pasal 77 huruf b kuhap). Akan tetapi sangat disayangkan meskipun keberadaan lembaga praperadilan tersebut telah berusia lebih dari dua puluh tahun ternyata dalam praktek selama ini tidak menutup dimungkinkannya adanya diskriminasi/penyimpangan dalam pelaksanaannya. 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 2 Pasal 2 jo Pasal 50 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

4 4 Salah satu contoh konkret adalah kisruh yang tengah berlangsung antara KPK vs POLRI. Carut marutnya informasi terkait posisi hukum dan politik dua lembaga ini, ditambah dengan pemberitaan media yang bertumpu pada sensasionalisme berita, menggiring masyarakat pada sebuah keadaan yang membingungkan. Opini-opini yang berkembang di tengah publik cenderung tidak mendidik secara politik sehingga terkesan memecah belah dan menyederhanakan kompleksitas masalah. KPK yang dipandang sebagai lembaga super body terkait upaya pemberantasan korupsi, sejauh ini menjadi satu-satunya lembaga yang dipercaya mampu menuntaskan persoalan korupsi yang menggurita di negeri ini. Namun, di saat yang bersamaan masyarakat juga dibuat tercengang dengan tingkah para pemberantas korupsi tersebut. Hal tersebut erat bertaut dengan kecurigaan bahwa para komisioner KPK tidak menjalankan tugas sesuai prosedur sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang. Hal itu dibuktikan dengan adanya putusan praperadilan terhadap Budi Gunawan. Sumber-sumber hukum di atas kemudian dalam analisisnya dikombinasikan dengan data sekunder yang dikumpulkan dari teks berjalan (running text) beberapa media audio-visual (televisi). Keterbatasan akan akses terhadap data primer, disebabkan karena isi putusan praperadilan, belum juga diperoleh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap struktur putusan hukum tersebut. Sebagai suatu kasus/perkara, putusan PN Jakarta Selatan tentang gugatan praperadilan Budi Gunawan, dapat dianalisis dari beberapa versi. Argumentasi prematur ini didasarkan pada pendekatan sebagai pihak yang netral, dengan berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat juga bahwa Hakim Praperadilan bersifat Hakim Tungggal, maka tentu sangat besar kemungkinan jika segala hasil putusan juga tidak objektif, melainkan subjektif. Analisis ini juga mengacu pada sejarah Sarpin sebagai hakim peradilan yang dinilai memiliki rekam jejak yang buruk di hadapan para aktivis, yang disebabkan keputusannya untuk membebaskan seorang terdakwa tindak pidana korupsi. Analisis terhadap permasalahan ini saya dasarkan pada beberapa fakta baru yang mengemuka sepanjang berlangsungnya proses peradilan, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Kedudukan KPK dengan kewenangan yang sangat besar 2. Objek praperadilan 3. BG bukan Pejabat Negara 4. Putusan praperadilan bersifat final Dari empat poin di atas, penjelasan secara spesifik akan diarahkan untuk secara singkat menjabarkan relasi antara fakta-fakta persidangan tersebut dengan produk hukum perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Jika dikaji secara sederhana, maka rumusan praperadilan berkenaan dengan 2 (dua) tindakan hukum yakni penangkapan dan penahanan. Redaksi rumusan tersebut berkaitan dengan tersangka, yakni pihak yang dikenakan penangkapan dan penahanan karena dicurigai melawan hukum. Di dalam KUHAP disebutkan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau

5 5 penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Butir 20). Sedangkan penahanan adalah penetapan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 Butir 21). Dari segi objek praperadilan, maka penangkapan dan penahanan lazimnya dikenal dan diterapkan pada Tindak Pidana Umum seperti kejahatan pembunuhan, pencurian, atau pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sedangkan jika mengacu pada yang diatur dalam UU No. 20/2001 dan UU No. 30/1999, maka yang disebutkan adalah Tindak Pidana Khusus. Jika kasus praperadilan menimpa seseorang dengan status tersangka dalam kasus gratifikasi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Khusus dengan demikian seharusnya praperadilan tidak dapat diberlakukan. Sebabnya, praperadilan hanya diberlakukan atas dan untuk kepentingan yang dimaksudkan oleh Tindak Pidana Umum. Praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan KUHAP merupakan bagian hukum pidana formal dan hukum pidana material, yang menjelaskan putusannya keterkaitan lembaga praperadilan pada tindak-tindak pidana khusus (seperti tindak pidana korupsi). Putusan praperadilan dalam kasus Budi Gunawan juga bertentangan dengan sistem pemeriksaan saksi. Yaitu dengan menghadirkan saksi seorang penyidik KPK yang notabene berasal dari institusi yang sama dengan terdakwa, yaitu lembaga POLRI. Sebabnya, sudah dapat dipastikan hampir tidak mungkin seorang saksi yang merupakan bawahan, dapat memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa paksaan, tekanan, jika ia kemudian bersaksi secara terbuka untuk pimpinannya. Jenis kesaksian seperti itu bertentangan dengan ketentuan KUHAP yang menyebutkan bahwa mereka yang pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (Pasal 70 ayat (1)). Pembebasan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi juga sebenarnya diatur dalam Pasal 168 KUHAP. Bagian ini mengatur bagaimana seorang saksi dapat mengundurkan diri karena merupakan anggota keluarga sedarah dan lainnya dengan terdakwa, atau jikalau saksi berstatus anak-anak dan atau orang gila (Pasal 171 KUHAP). Dengan begitu, argumentasi mengenai tidak adanya perangkat hukum yang mengatur penyimpangan jenis kesaksian seperti yang terjadi dalam kasus Praperadilan yang menimpa Budi Gunawan ternyata dapat ditemukan dalam KUHAP. Argumentasi mengenai kekosongan hukum ini, dengan sendirinya mendorong kita untuk memberikan perhatian terkait revisi KUHAP untuk mempertegas wajibnya tidaknya seorang saksi yang berasal dari struktur organisasi yang sama, atau saksi mengundurkan diri dan dijamin haknya secara hukum untuk tidak memberikan kesaksian. Pada fakta persidangan ketiga, tersangka Budi Gunawan kemudian dinyatakan bukan sebagai pejabat Negara. Dalam teks berjalan (running text) yang disebar oleh beberapa media audio-visual (televisi) disebutkan bahwa, Sarpin sebagai Hakim Praperadilan menyatakan bahwa BG bukan pejabat Negara. Pendapat ini sangat keliru, karena tindak pidana korupsi tidak hanya dapat ditimpakan kepada

6 6 seseorang sebagai pejabat Negara, tapi juga kepada unsur non-pejabat negara. Kekeliruan lainnya adalah ketika Sarpin menyatakan bahwa ia menemukan tidak adanya unsur kerugian Negara. Kekeliruan tersebut dapat dianalisis lebih jauh dengan membaginya ke dalam beberapa poin. Pertama, ialah proses praperadilan dan putusannya bukan lembaga peradilan seperti Pengadilan Tipikor dengan proses yang lebih panjang dan rumit. Praperadilan pada kasus Budi Gunawan hanya memutuskan sah tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, bukan menyatakan bersalah (ajudikatif) seperti kewenangan putusan yang dimiliki oleh Pengadilan Tipikor. Hakim Praperadilan dengan demikian telah melampaui batas kewenangannya dan bukan memeriksa dan menafsirkan adanya kerugian Negara. Terkait perihal status Budi Gunawan yang dinyatakan bukan sebagai pejabat Negara memiliki beberapa kebenaran literer dalam undang-undang. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa mereka yang disebut sebagai sebagai pejabat Negara (pasal 2), ialah 4 : 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara 3. Menteri 4. Gubernur 5. Hakim 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat tersebut kemudian dicurigai menjadi alasan bagi Sarpin sebagai Hakim Praperadilan menyatakan, bahwa Budi Gunawan yang ketika itu menjabat sebagai Kakorlantas (Kepala Korps Lalu Lintas) bukanlah pejabat Negara, sehingga penetapan tersangka yang menimpa Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Namun pendapat ini memiliki kekeliruannya sendiri karena hanya memandang kompetensi KPK semata berkaitan dengan pejabat Negara dan keuangan Negara. Padahal, siapa saja, baik pejabat Negara maupun bukan, termasuk warga negara sipil non-pejabat negara tidak terkecuali dapat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK jika kemudian ditemukan terindikasi merugikan negara. Dengan demikian, keputusan Sarpin dalam posisinya sebagai Hakim Praperadilan yang memberi penekanan terhadap status BG yang bukan pejabat Negara dan dianggap tidak merugikan keuangan Negara, secara hukum telah melampaui batas kewenangan (ultra petita). Tindakan melampaui kewenangan hukum inilah yang merupakan salah satu praktik penyebab rusaknya struktur dan sistem peradilan di Indonesia. Terkait fakta persidangan keempat terkait putusan dalam praperadilan yang menilai bahwa keputusan tersebut bersifat final. Kabareskim POLRI sendiri bahkan menyatakan bahwa jika kasus ini terus 4 UU No. 28 Tahun Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

7 7 dilanjutkan oleh KPK, maka para komisioner KPK akan ditangkap karena dianggap menyalahi prosedur yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Pendapat ini memang mengandung sedikit kebenaran karena KUHAP memang menyatakan dalam salah satu ketentuannya bahwa putusan praperadilan bersifat final. Tetapi KUHAP juga menyebutkan bahwa terdapat pengecualiannya terkait keputusan final dalam praperadilan. Pasal 83 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 60, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. Tetapi Pasal 83 ayat (2) KUHAP, menyatakan dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Itu sebabnya pernyataan yang datang dari mantan Hakim Agung, Harifin Tumpa yang menegaskan bahwa KPK dapat meminta petunjuk pada Mahkamah Agung, benar secara hukum. Karena KUHAP menyatakan Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi (Pasal 88). Ketentuan ini terkait dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yang mengemukakan pengecualiannya serta dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi (banding). Atas dasar permintaan banding inilah, Mahkamah Agung, menurut pasal 88 KUHAP, berwenang untuk mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi. Memang, kuasa hukum Budi Gunawan telah menyatakan bahwa paska Praperadilan maka status hukum Budi Gunawan sebagai tersangka telah selesai dan menutup pintu terhadap kemungkinan lahirnya upaya hukum lainnya. Tetapi jika kita merujuk pada dasar hukum mengenai pengajuan banding dan kasasi yang diatur oleh KUHAP, maka peluang pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat di tempuh oleh KPK.Salah satu alasan dan dasar hukum pengajuan PK ialah terjadinya ultra petita, yang diperagakan oleh hakim Sarpin dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan Bagaimana Kekuatan Hukum Putusan Praperadilan Dalam Kasus Komjen Pol Budi Gunawan Berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia? Pembahasan Wewenang Praperadilan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Praperadilan mempunyai wewenang terbatas, tidak seluas seperti hakim komisaris (rechter commissaris) di Belanda atau judge d instruction di Perancis yang disamping menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dinyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus tentang:

8 8 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Secara limitatif mengenai Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain itu, juga terdapat pasal lain yang masih berhubungan dengan Praperadilan, yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi. Hal itu diatur dalam Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP. Kewenangan secara spesifik Praperadilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan, serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Hanya saja, jika dikaitkan dengan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP, kewenangan Praperadilan justru ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata-mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, melainkan juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum. Hal itu sesuai dengan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan, Yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Dari beberapa ketentuan KUHAP terkait dengan Praperadilan sebagaimana diulas di atas, dapat diketahui bahwa Praperadilan memiliki kewenangan yang sangat jelas dan limitatif, yaitu untuk memeriksa dan memutus : 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; 2. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi karena tidak diajukannya suatu perkara ke pengadilan; 3. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; 4. Tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau karena tindakan lain berupa pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; dan 5. Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Berdasarkan wewenang Praperadilan dalam sejumlah ketentuan KUHAP di atas, terlihat jelas bahwa Praperadilan hanya disediakan oleh undang-undang untuk menguji sebagian kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dan sebagian kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan, penutupan perkara demi hukum, dan penghentian penuntutan.

9 9 Ikhwal kewenangan penyidik, Pasal 7 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara rinci 10 (sepuluh) kewenangan, yaitu : a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) mengambil sidik jari dan memotret seorang; g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) mengadakan penghentian penyidikan; dan j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Sedangkan terkait penuntut umum, Pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP menentukan ada 11 (sebelas) kewenangan penuntut umum, yaitu: 1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5) melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) melakukan penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10) melaksanakan penetapan hakim; dan 11) menghentikan penuntutan. Andaipun ada tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j dan Pasal 14 huruf i KUHAP yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, obyek permohonan yang menjadi wewenang Praperadilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai 88, dan Pasal 95 sampai 97 KUHAP telah sangat jelas dan limitatif. Limitasi tersebut tidak membuka peluang adanya obyek permohonan Praperadilan lain diluar yang sudah ditentukan, kecuali ada frase dan lain-lain tindakan penyidik atau penuntut umum setelah bunyi Pasal 1 angka 10 huruf a atau huruf b atau setelah bunyi Pasal 77 huruf a atau ada frase serta tindakan lain yang dilakukan dalam penyidikan atau penuntutan setelah frase menurut hukum pada kalimat pertama dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP. Penemuan Hukum Oleh Hakim Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses mencari norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan maupun norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam kondisi undangundang tidak jelas atau tidak lengkap mengatur, hakim sebagai pelaksana undang-undang wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pada hakekatnya, penemuan hukum oleh hakim merupakan tindakan untuk menyiasati kesenjangan yang terjadi antara hukum yang di atas kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam kenyataan atau yang hidup dalam masyarakat (law in action, the living law). Melihat begitu

10 10 pentingnya peranan hakim dalam melakukan penemuan hukum, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjadikan peranan hakim tersebut sebagai suatu kewajiban seorang hakim dengan menyatakan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum oleh hakim sesungguhnya merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh hakim untuk tidak hanya sekadar menerapkan maksud dan bunyi peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya (penemuan hukum dalam arti sempit), tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas yakni dengan cara memperluas makna suatu ketentuan undangundang (penemuan hukum dalam arti luas), melalui dua metode penemuan hukum, yaitu metode penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam undangundang tetapi tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, sedangkan metode konstruksi hukum adalah penalaran logis untukmengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Agar proses penemuan hukum oleh seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang berkualitas yang pada ujungnya memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, maka kemampuan memilih metode penemuan hukum yang tepat dan jenis penemuan hukum mana dari kedua metode tersebut yang akan digunakan harus dikuasai secara baik oleh seorang hakim. Adapun jenis-jenis penemuan hukum melalui metode interpretasi atau penafsiran menurut Andi Hamzah terdiri dari 13 (tiga belas) jenis penafsiran, yaitu penafsiran gramatikal (taalkundig), penafsiran sistematis atau dogmatis, penafsiran historis (historia legis), penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif, penafsiran rasional (rationeele interpretatie), penafsiran antisipasi (anticeperende interpretatie), penafsiran perbandingan hukum, penafsiran kreatif (creative interpretatie), penafsiran tradisionalistik (traditionalistiche interpretatie), penafsiran harmonisasi (harmoniserende interpretatie), penafsiran doktriner (doctrinaire interpretatie), dan penafsiran sosiologis. Dalam konteks metode interpretasi, hakim harus tetap bertolak dari rumusan yang ada dalam UU. Misalnya, apabila hakim hendak melakukan interpretasi terhadap kewenangan praperadilan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP, maka hakim secara tekstual tidak boleh keluar dari bunyi rumusan Pasal 77 KUHAP tersebut. Hanya kewenangan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP itu sajalah yang dapat ditafsirkan. Artinya, hakim tidak boleh membuat rumusan baru atau menambah rumusan yang ada yang akan mengakibatkan kewenangan praperadilan menjadi lebih luas daripada apa yang diatur dalam UU. Kalau hakim membuat rumusan baru tentang kewenangan, itu artinya hakim telah melampaui kewenangannya sendiri dalam penemuan hukum, dan hal tersebut jelas melanggar asas legalitas. Demikian juga halnya dengan metode konstruksi hukum. di mana metode konstruksi hukum juga terdiri dari beberapa jenis yaitu metode analogi atau argumentum peranalogian, penalaran (argumentum a contrario), penyempitan atau penghalusan hukum (rechtsvervijnings), dan fiksi hukum (fictie).

11 11 Sehubungan dengan perkara ini, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat dibaca dari kedua metode penemuan hukum tersebut. Dalam konteks metode penafsiran, dari tiga belas jenis penafsiran hukum sebagaimana diulas sebelumnya, salah satu jenis penafsiran yang terkait dengan perkara a quo adalah penafsiran ekstensif. Melalui penafsiran ekstensif, hakim melakukan perluasan makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya. Di sini hakim menafsirkan kaidah tata bahasa, karena maksud dan tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menjadi jelas dan konkrit, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata pencurian barang dalam Pasal 362 KUHP, diperluas esensi maknanya terhadap aliran listrik sebagai benda yang tidak berwujud. Hasil dari penafsiran ekstensif dalam kasus pencurian barang ini adalah barang diartikan luas oleh hakim meliputi juga aliran listrik, tapi tidak menciptakan delik baru melainkan masih tetap pencurian. Berdasarkan esensi makna dan praktik penerapannya, penafsiran ekstensif dilakukan dengan memperluas makna kata atau kalimat yang terdapat dalam suatu peraturan perundangundangan dengan menemukan padanan atau kecocokannya dengan kata atau kalimat yang lain tanpa mengubah atau mengganti substansi maksud dari ketentuan perundang-undangan yang ditafsirkan. Sementara untuk metode konstruksi hukum, dari empat variannya, salah satu jenis konstruksi hukum yang perlu dibahas lebih jauh karena terkait dengan perkara a quo adalah argumentum a contrario. Konstruksi hukum argumentum a contrario adalah penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a contrario atau sebaliknya ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal atau kebalikannya (expressie unius est exclusio alterius, the mention of obe is the ezclusion of another). Metode konstruksi digunakan ketika dalam penyelesaian peristiwa kongkrit hakim dihadapkan pada kekosongan hukum. Dari beberapa metode penemuan hukum yang termasuk ke dalam metode konstruksi, metode argumentum per analogiam atau sering disebut metode analogi merupakan metode yang cenderung dan sering digunakan. Terkait dengan metode ini, Prof Sudikno Mertokusumo menyatakan: kadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini menurut beliau, untuk dapat menerapkan UU pada peristiwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode berfikir analogi. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam UU diperlakukan sama. Berdasarkan metode ini, suatu peristiwa hukum yang sudah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan untuk peristiwa hukum lain, karena berlakunya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut terbatas hanya pada peristiwa hukum yang sudah ditentukan, sedangkan untuk peristiwa hukum yang lain berlaku sebaliknya. Terkait metode konstruksi hukum, dalam hukum pidana, diterima secara luas keberlakuan asas legalitas, yang di dalamnya terkandung ajaran untuk tidak melakukan konstruksi, terlebih-lebih konstruksi yang memperluas makna. Hal ini dapat dipahami karena perluasan makna sama artinya dengan perumusan norma baru. Namun untuk interpretasi ekstensif masih dapat diterima walaupun sama-sama memperluas makna. Lalu, apa beda di antara keduanya?

12 12 Menurut Prof. Moeljatno, ada perbedaan gradasi (Moejatno menyebutnya perbedaan graduil ) antara analogi dan tafsir ekstensif. Perbedaan ini sangat signifikan. Pada tafsir ekstensif, si penafsir masih tetap berpegang pada bunyi aturan. Hanya saja ada kata-kata yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu undang-undang itu dibuat. Sementara itu, pada analogi, si penafsir sudah tidak berpegang pada aturan itu lagi, melainkan pada inti atau rasio dari aturan itu. Mengingat obyek Permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo adalah mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, sementara Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP secara limitatif telah mengatur hal-hal apa saja yang menjadi wewenang Praperadilan yaitu mengenai keabsahan tindakan penyidik atau penuntut umum (penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan), mengenai ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat penghentian penyidikan atau penuntutan, mengenai tuntutan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain (pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan) tanpa alasan yang sah atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, dan mengenai permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan undangundang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka langkah Hakim Praperadilan melakukan rechtsvinding sudah tepat dan memang sudah seharusnya demikian, karena salah satu dari beberapa alasan perlunya melakukan penemuan hukum oleh hakim telah terpenuhi yaitu peraturannya tidak ada atau peraturannya memang ada tapi kurang jelas. Bahkan, tanpa alasan-alasan tersebut pun, seorang hakim tetap dianggap melakukan penemuan hukum (dalam arti sempit) yaitu ketika ia menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan perundangundangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya. Dalam perkara a quo, Hakim Praperadilan secara tegas menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk obyek Praperadilan, dengan alasan hal tersebut tidak diatur baik dalam KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) maupun dalam peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Atas alasan itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan dilakukan karena dalam peraturan perundang-undangan yang ada, baik KUHAP maupun undang-undang lain, tidak mengatur masalah keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan. Di sini terlihat, Hakim Praperadilan telah menempatkan dirinya bukan hanya sekadar corong undang-undang (qui pronoce les paroles de al loi) sebagaimana dikatakan Montesquieu, tetapi telah menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Namun sejauh mana penemuan hukum tersebut telah sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perlu dilihat beberapa hal seperti metode penemuan hukum seperti apa yang digunakan Hakim Praperadilan, ketepatan metode penemuan hukum yang dipilih, dan argumentasi yuridis yang dibangun oleh Hakim Praperadilan dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya sehingga sampai pada kesimpulan, mengabulkan atau menolak Permohonan Praperadilan. Hal-hal itulah yang akan diulas lebih jauh.

13 13 1. Penerapan Metode Dari 2 (dua) metode penemuan hukum yang tersedia, Hakim Praperadilan memilih metode interpretasi atau penafsiran, dengan alasan untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas. Alasan pemilihan metode interpretasi atau penafsiran ini mengindikasikan bahwa Hakim Praperadilan dalam pertimbangan hukumnya berpandangan bahwa pengaturan masalah sah atau tidaknya penetapan tersangka dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain belum atau tidak jelas, sehingga diperlukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan yang ada guna memperjelas apakah keabsahan penetapan tersangka termasuk dalam wewenang Praperadilan yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Alasan ini tentu sejalan dengan tujuan digunakannya interpretasi atau penafsiran dalam penemuan hukum, yaitu untuk menafsirkan perkataan dalam undang-undang dengan tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, manakala suatu peristiwa konkrit tidak secara jelas dan tegas dianut atau diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Masalahnya, alasan digunakannya interpretasi atau penafsiran oleh Hakim Praperadilan ini bertentangan dengan pertimbangan hukum terdahulu yang menyatakan, Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan, karena hal itu tidak diatur dan Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan Pidana Khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya Penetapan Tersangka menjadi objek praperadilan, karena bila pertimbangan hukum ini yang dijadikan alasan, maka metode penemuan hukum yang seharusnya dipilih oleh Hakim Praperadilan adalah metode konstruksi, bukan metode interpretasi atau penafsiran. Dari dua pertimbangan hukum yang bertolak belakang dengan pertimbangan hukum yang mendasari pemilihan metode penafsiran atau interpretasi ini menunjukkan ketidakjelasan sikap Hakim Praperadilan, apakah menurutnya KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain yang berlaku saat ini tidak mengatur atau sudah mengatur, tapi belum cukup jelas. Ketidakjelasan sikap ini semakin tampak manakala Hakim Praperadilan seolah-olah ingin mencampuradukkan antara metode penafsiran dan metode konstruksi dengan menyebut penafsiran penghalusan hukum (recht verfeining), padahal penghalusan hukum bukan merupakan metode penafsiran melainkan metode konstruksi hukum. KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain yang ada sekarang belum atau tidak mengatur perihal keabsahan penetapan tersangka sebagai wewenang Praperadilan, sehingga bila mau melakukan penemuan hukum, maka metode yang paling tepat untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi oleh Hakim ini adalah metode konstruksi hukum. Melalui metode argumentum a contrario sebagai salah satu dari metode konstruksi hukum, maka hanya hal-hal yang telah ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP sajalah yang dapat dimohonkan Praperadilan, sedangkan peristiwa atau hal-hal yang tidak diatur dalam hal ini sah atau tidaknya penetapan tersangka, berlaku

14 14 sebaliknya alias tidak dapat dimohonkan Praperadilan karena hal-hal yang tidak diatur tersebut bukan merupakan obyek Praperadilan. Disamping penggunaan metode penemuan hukum yang keliru, argumentasi yuridis Hakim Praperadilan dalam menggunakan penafsiran ekstensif sebagai salah satu dari jenis penafsiran dengan menyatakan É bahwa segala tindakan penyidik É. dan segala tindakan penuntut umum É. yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (10 dan ayat (2) KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik É dan segala tindakan penuntut umum É adalah lembaga praperadilan, dan É karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik É, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan penetapan tersangka adalah lembaga praperadilan, sama sekali tidak jelas. Bahkan, Hakim Praperadilan sama sekali tidak mengemukakan argumentasi dan alasan-alasan yang logis sehingga berkesimpulan bahwa segala tindakan penyidik dan penuntut umum termasuk penetapan tersangka merupakan obyek Praperadilan. Selain tidak didukung dengan argumentasi yang jelas, memasukan segala tindakan penyidik dan penuntut umum menjadi obyek Praperadilan memunculkan banyak pertanyaan terkait dengan ditetapkannya tindakantindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum diluar yang sudah diatur dalam KUHAP sebagai obyek Praperadilan. Misalnya, apakah tindakan penyidik seperti menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan tindakan penuntut umum seperti mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang dan melaksanakan putusan penetapan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP merupakan obyek Praperadilan? Bila ya, maka pemberian wewenang tambahan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum melalui Lembaga Praperadilan tidak bisa lagi dipertahankan mengingat tidak semua tindakan penyidik dan penuntut umum dapat dikategorikan sebagai upaya paksa. Padahal menurut Yahya Harahap, tujuan yang ingin dicapai oleh Praperadilan adalah untuk melakukan pengawasan horizontal terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka maupun terdakwa supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Lebih jauh, dalam putusan praperadilan ini, kata-kata penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan telah mendapat perluasan makna, sehingga seolah-olah sekarang bisa dibaca menjadi penangkapan, penahanan, penetapan sebagai tersangka, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah objek praperadilan. Pertanyaannya: apakah perluasan ini termasuk ke dalam kriteria interpretasi atau konstruksi? Pasal 77 KUHAP menyatakan, Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya

15 15 penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Formulasi yang relevan untuk dibahas dalam putusan praperadilan adalah Pasal 77 huruf a KUHAP. Dalam ketentuan huruf a tersebut disebutkan secara eksplisit adanya empat tindakan yang dapat diperiksa atau diputuskan keabsahannya. Jadi, apabila hakim praperadilan ingin melakukan penafsiran yang memperluas makna (interpretasi ekstensif), ia harus berpegang kepada perluasan makna atas dua kata penting: penangkapan dan/atau penahanan. Apakah penetapan tersangka merupakan klasifikasi yang sama dengan penangkapan dan/atau penahanan? Dapat disimpulkan bahwa penangkapan dan/atau penahanan adalah proses sebelum seseorang dinyatakan sebagai tersangka. Jadi, penetapan sebagai tersangka bukanlah perluasan makna dari kata penangkapan dan/atau penahanan. Dengan perkataan lain, seorang penafsir tidak dapat menggunakan penafsiran ekstensif dari kata penangkapan dan/atau penahanan untuk kemudian sampai pada kesimpulan bahwa dari kedua kata itu bisa dimunculkan kata penetapan tersangka. Bagaimana dengan kata-kata penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan? Tidakkah kata-kata ini berada dalam satu klasifikasi dengan penetapan tersangka? Sekilas ya, karena penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah implikasi yang bernuansa kebalikan dari penetapan seseorang sebagai tersangka. Namun, rasio dari Pasal 77 huruf a menjadi kehilangan makna jika kata penetapan tersangka disandingkan sebagai perluasan makna dari kata-kata penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Alasannya adalah karena spirit dari Pasal 77 KUHAP adalah untuk memberi hak bagi seseorang yang tidak bersalah namun sudah terlanjur diperlakukan tidak adil akibat tindakan penyidik yang tidak profesional, yaitu: (1) salah menangkap orang, dan/atau (2) salah menahan orang. Dalam kasus Budi Gunawan, jelas tidak ada indikasi adanya dua tindakan tidak profesional tersebut telah dilakukan oleh penyidik KPK. Kondisi berikutnya adalah soal penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Hal ini berbeda dengan kondisi pertama (penangkapan dan penahanan). Jika pada kondisi pertama, yang merasa diperlakukan tidak adil adalah orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, yang kemudian ditangkap dan/atau ditahan secara tidak sah. Sebaliknya, pada kondisi kedua, yang merasa diperlakukan tidak adil adalah si pelapor tindak pidana itu (saksi korban). Dalam konteks ini, jelas kasus yang menimpa Budi Gunawan tidak relevan untuk dikaitkan dengan kondisi tersebut. Berangkat dari analisis di atas, maka penemuan hukum oleh hakim praperadilan yang memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek yang dapat diproses menurut ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP adalah sebuah kekeliruan. Kalaupun hal ini dilakukan, berarti hakim sudah melakukan konstruksi, menambahkan unsur objek norma (normgedrag) baru di dalam rangkaian Pasal 77 huruf a KUHAP. Sementara, penambahan tersebut justru bertentangan dengan rasio yang dibangun oleh rumusan Pasal 77 KUHAP. Lalu bagaimana dengan ketentuan KUHAP lainnya yang berhubungan dengan praperadilan, yaitu Pasal 95 KUHAP? Ruang lingkup Pasal 95 berada dalam konteks yang sama dengan Pasal 77 huruf b,

16 16 yaitu berkaitan dengan ganti kerugian dan rehabilitasi. Kedua pasal ini, Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP harus dibaca dalam satu nafas yang sama. Kata kunci Pasal 95 sebenarnya terletak pada kondisi norma yang dilekatkan pada anak kalimat pada ayat (1), yaitu Étanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Anak kalimat tersebut mensyaratkan bahwa semua tindakan ini (termasuk kata tindakan lain yang ditambahkan pada Pasal 95 ayat [1] KUHAP tersebut) harus terlebih dulu dibuktikan memang sudah ada kesalahan, yaitu tidak berdasarkan undang-undang, ada kekeliruan mengenai orang, atau keliru hukum yang diterapkan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak ada alasan untuk memakai Pasal 95 KUHAP guna minta ganti kerugian. Kata tindakan lain berarti harus juga dibaca dalam kaitan dengan Pasal 77 KUHAP, yakni ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili. Dalam kasus penetapan tersangka terhadap BG, jelas bahwa tersangka BG tidak ditangkap, tidak ditahan, juga belum dituntut dan belum diadili. Dengan demikian, tidak ada relevansinya menggunakan Pasal 95 KUHAP. Hakim praperadilan setuju dengan argumen bahwa walaupun tersangka tidak ditangkap dan tidak ditahan, namun Pasal 77 KUHAP tetap bisa menjangkau tindakan penyidik KPK karena semua tindakan itu sekarang bisa diganti dengan satu kata yang lain, yaitu upaya paksa. Dengan demikian, berdasarkan putusan ini, Pasal 77 huruf a KUHAP sekarang bisa dibaca menjadi sebagai berikut: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya upaya paksaé Dengan demikian, semua rincian termasuk tindakan lain yang ada dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP sekarang menjadi terbuka untuk dimaknai secara seluas-luasnya, yakni semua tindakan yang tergolong upaya paksa. Apa yang dimaksud dengan upaya paksa adalah semua tindakan berlabel pro justitia. Padahal, pembentuk undang-undang (KUHAP) jelas sekali ingin memberi makna limitatif atas terminologi tindakan lain yang ada di dalam Pasal 95. Di mana, dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, frasa tindakan lain dijelaskan sebagai tindakan pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah. Formulasinya sudah sangat eksplisit. Clara non sunt interpretanda. Artinya, dalam rumusan itu tidak berdasar untuk memasukkan unsur norma baru dengan mengartikan tindakan lain dengan tambahan penetapan tersangka atau malahan lebih luas lagi: upaya paksa. Lebih jauh, jika dilihat dari pertimbangan hukum yang digunakan hakim praperadilan yang berangkat dari kekosongan hukum, dapat dikatakan bahwa metode argumentum per analogiam telah digunakannya untuk menarik kewenangan pengujian sah atau tidaknya penetapan tersangka.penggunaan metode itu memang tidak secara eksplisit disebut hakim dalam pertimbangannya. Hakim hanya menyebut penggunaan metode penemuan hukum (rechtvinding), tanpa meneruskan pada metode penemuan hukum yang mana yang digunakan. Tapi dengan memperluas kewenangan praperadilan dapat dikatakan hakim telah menggunakan argumentum per analogiam. Karena KUHAP tidak menentukan kewenangan praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan seseorang menjadi tersangka, maka secara analogi hakim memposisikan kewenangan itu sama dengan kewenangan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP.

HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI

HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI Prof. Dr. Elwi Danil, SH., MH. (Guru Besar Hukum Pidana Unand) Dr. Yuslim, S.H.,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Presiden Joko Widodo menghadapi ujian mahadahsyat setelah permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA ( Studi Kasus Putusan No: 02/Pid.Prap/2015/PN.Pwt dan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) Oleh : Ni Made Ira Sukmaningsih Tjok Istri Putra Astiti Bagian Hukum Acara Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa pengertian tentang gratifikasi seks yang tidak lama ini terjadi belum ada pengertian secara eksplisit. Akan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja PENDAHULUAN Kekosongan waktu pembahasan RUU KUHAP oleh DPR periode 2014-2019, dimanfaatkan oleh ICW untuk kembali mengundang pakar dan pemerhati hukum

Lebih terperinci

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI Publicadm.blogspot.com I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci