HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI"

Transkripsi

1 HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI Prof. Dr. Elwi Danil, SH., MH. (Guru Besar Hukum Pidana Unand) Dr. Yuslim, S.H., M.H. (Ahli Hukum Administrasi Negara Unand) Dr. Shinta Agustina, SH., M.H. (Ahli Hukum Pidana Unand) Dr. Shidarta, S.H., M.H. (Pengajar Filsafat Hukum Binus University) Gandjar Laksmana, SH., MH. (Ahli Hukum Pidana UI) Sudi Prayitno, S.H., LL.M (Advokat) Diselenggarakan oleh : LEMBAGA KONSULTASI DAN BANTUAN HUKUM (LKBH) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS Padang, Maret 2015

2 I. PENDAHULUAN Pada saat putusan pengadilan telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sejak saat itu ia menjadi milik publik. Bagi pihak yang berperkara atau pencari keadilan, jika tidak puas dapat melakukan upaya hukum. Bagi lembaga yang diberi mandat untuk menjaga dan menegakkan kehomatan dan perilaku hakim, putusan hakim dapat dikaji untuk tujuan memberikan rekomendasi dalam rangka melakukan mutasi hakim. Sementara bagi publik, putusan tersebut juga dapat dijadikan objek kajian, bahkan objek untuk diuji dalam rangka memperoleh pembelajaran sekaligus melakukan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Dalam konteks itu, sesungguhnya menguji atau melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim merupakan hak publik. Melalui proses eksaminasi, publik setidaknya dapat mengupas keganjilan yang ada dalam putusan pengadilan dan dinilai secara objektif menurut ukuran-ukuran ilmiah. Dengan cara itulah warga negara dapat turut serta dalam mengawasi lembaga peradilan. Pada saat yang sama, eksaminasi juga dapat dijadikan instrumen pengawasan publik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Lebih jauh dari itu, melalui proses eksaminasi tentunya akan dapat dilacak sejauh mana pertimbangan hukum hakim telah sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dan prosedur hukum acara yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, sesungguhnya eksaminasi juga dapat dijadikan bahan pembanding terhadap putusan hakim, sehingga untuk jangka panjang, hakim akan lebih hati-hati dan mendorongnya untuk melahirkan putusan- putusan yang lebih berkualitas. Selain itu, eksaminasi juga dapat memperkaya khasanah ilmu hukum. Sebab, silang pendapat atas sebuah putusan tentunya akan memberikan banyak pembelajaran dalam pengembangan ilmu hukum dan penyempurnaan hukum di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini, objek yang dieksaminasi adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN/Jkt.Sel terkait permohonan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan. Putusan ini dianggap penting untuk dinilai karena sangat kontroversial. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hal : Pertama, hakim tunggal yang memeriksa perkara praperadilan ini menyatakan bahwa lembaga praperadilan berwenang untuk memeriksa keabsahan penetapan status tersangka kepada seseorang yang sedang disidik dalam perkara pidana. sementara, KUHAP secara tegas, jelas dan limitatif menentukan apa saja yang menjadi kewenangan praperadilan; kedua, hakim perkara ini menggunakan metode penemuan hukum dalam merekonstruksi pertimbangan hukumnya, sehingga melahirkan putusan yang dinilai sangat kontroversial; ketiga, putusan tersebut dinilai banyak kalangan ahli pidana akan berefek pada runtuhnya asas legalitas dalam proses penegakan hukum pidana. Pada saat yang sama, juga dinilai akan berdampak luas terhadap ketidakpastian hukum bagi proses

3 penegakan hukum pidana yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum. II. POSISI KASUS Pemohon dalam Perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, S.H., M.si, sedangkan Termohon adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK. Adapun yang menjadi obyek Permohonan Praperadilan adalah penetapan Pemohon sebagai tersangka dengan alasan-alasan (antara lain) sebagai berikut: 1. Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP adalah upaya hukum sebagai sarana kontrol untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang dilindungi, sesuai dengan semangat atau ruh seperti yang tersirat dalam konsideran menimbang huruf a dan c, serta penjelasan umum angka 2 paragraf 6 KUHAP; 2. Obyek Praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP maupun tindakan lain yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) merupakan tindakan penyidik/penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum atau cacat hukum, sehingga melanggar harkat martabat kemanusiaan seseorang, termasuk dalam menentukan atau menetapkan seseorang menjadi tersangka yang merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, karena penetapan mana akan berakibat hukum pada terampasnya hak tertentu, kebebasan, nama baik in casu Pemohon; 3. Kendati peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara jelas terkait penetapan seseorang menjadi tersangka sebagai obyek praperadilan, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasan Kehakiman, bahkan sesuai dengan praktik peradilan hakim telah melakukan beberapa kali penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain yang dilakukan penyidik/penuntut umum termasuk penetapan tersangka seperti Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel., yang pada pokoknya mengabulkan Permohonan Pemohon dengan menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka; 4. Termohon tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara a quo karena sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 huruf a UU TIPIKOR dimana Termohon berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, sedangkan Pemohon sesuai

4 tindak pidana yang disangkakan pada saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir POLRI (Karo Binkar Polri), dalam hal ini tidak termasuk dalam pengertian aparat penegak hukum sebab tidak berwenang sebagai penyelidik/penyidik, maupun dalam pengertian penyelenggara negara mengingat jabatan mana bukan Eselon I (satu) tapi Eselon II (dua) sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi. Terhadap alasan-alasan Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tersebut, Termohon mengajukan Jawaban Dalam Eksepsi dan Dalam Pokok Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Dalam Eksepsi: 1.1 Obyek Permohonan Praperadilan bukan kewenangan Hakim Praperadilan; 1.2 Permohonan Praperadilan prematur; 1.3 Petitum Permohonan Praperadilan tidak jelas (obscuur libel) dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya; 2. Dalam Pokok Perkara: 2.1 Termohon mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi terhadap Pemohon; 2.2 Pengambilan keputusan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah sah karena dilaksanakan berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU KPK serta telah sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi prinsip fundamental pelaksanaan tugas dan wewenang Termohon; 2.3 Penggunaan kewenangan Termohon dalam penetapan status tersangka terhadap diri Pemohon telah sesuai dengan tujuan diberikannya wewenang kepada Termohon sehingga bukan merupakan penyalahgunaan wewenang; 2.4 Keputusan Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah tindakan yang berdasarkan asas kepastian hukum yang menjadi fundamen pelaksanaan wewenang termohon berdasarkan UU KPK; Sebelum menjatuhkan putusannya, Hakim Praperadilan membuat beberapa pertimbangan hukum (antara lain) sebagai berikut: 1. Penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan tidak diatur dalam perundang-undangan, sedangkan hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak mengatur maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan metode penafsiran untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas; 2. Segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum diatur

5 dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah lembaga praperadilan; 3. Penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, di mana penetapan sebagai tersangka merupakan bagian dari upaya paksa, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan penetapan tersangka adalah lembaga praperadilan; 4. Proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK sebagaimana yang disangkakan tidak sah dan berdasar hukum karena Pemohon bukanlah subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan Termohon untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan atas dasar tersebut, maka Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Termohon sebagai tersangka pun harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim Praperadilan menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan antara lain : 1) Surat Perintah Penyidikan Nomor. Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2) penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait peristiwa yang disangkakan adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan 3) penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah.

6 III. PEMBAHASAN A. Wewenang Praperadilan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Praperadilan mempunyai wewenang terbatas, tidak seluas seperti hakim komisaris (rechter commissaris) di Belanda atau judge d instruction di Perancis yang disamping menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dinyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus tentang: 1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan 3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Secara limitatif mengenai Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain itu, juga terdapat pasal lain yang masih berhubungan dengan Praperadilan, yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi. Hal itu diatur dalam Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP. Kewenangan secara spesifik Praperadilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan, serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Hanya saja, jika dikaitkan dengan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP, kewenangan Praperadilan justru ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata-mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, melainkan juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum. Hal itu sesuai dengan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan, Yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Dari beberapa ketentuan KUHAP terkait dengan Praperadilan sebagaimana diulas di atas, dapat diketahui bahwa Praperadilan memiliki kewenangan yang sangat jelas dan limitatif, yaitu untuk memeriksa dan memutus :!" sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

7 penyidikan, atau penghentian penuntutan; #" permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi karena tidak diajukannya suatu perkara ke pengadilan; $" permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan; %" tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau karena tindakan lain berupa pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; dan &" permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri. Berdasarkan wewenang Praperadilan dalam sejumlah ketentuan KUHAP di atas, terlihat jelas bahwa Praperadilan hanya disediakan oleh undang-undang untuk menguji sebagian kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dan sebagian kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan, penutupan perkara demi hukum, dan penghentian penuntutan. Ikhwal kewenangan penyidik, Pasal 7 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara rinci 10 (sepuluh) kewenangan, yaitu : a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) mengambil sidik jari dan memotret seorang; g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) mengadakan penghentian penyidikan; dan j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Sedangkan terkait penuntut umum, Pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP menentukan ada 11 (sebelas) kewenangan penuntut umum, yaitu: 1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5) melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun

8 kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) melakukan penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10) melaksanakan penetapan hakim; dan 11) menghentikan penuntutan. Andaipun ada tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j dan Pasal 14 huruf i KUHAP yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, obyek permohonan yang menjadi wewenang Praperadilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai 88, dan Pasal 95 sampai 97 KUHAP telah sangat jelas dan limitatif. Limitasi tersebut tidak membuka peluang adanya obyek permohonan Praperadilan lain diluar yang sudah ditentukan, kecuali ada frase dan lain-lain tindakan penyidik atau penuntut umum setelah bunyi Pasal 1 angka 10 huruf a atau huruf b atau setelah bunyi Pasal 77 huruf a atau ada frase serta tindakan lain yang dilakukan dalam penyidikan atau penuntutan setelah frase menurut hukum pada kalimat pertama dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP. B. Penemuan Hukum Oleh Hakim Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses mencari norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan maupun norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam kondisi undang-undang tidak jelas atau tidak lengkap mengatur, hakim sebagai pelaksana undang-undang wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pada hakekatnya, penemuan hukum oleh hakim merupakan tindakan untuk menyiasati kesenjangan yang terjadi antara hukum yang di atas kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam kenyataan atau yang hidup dalam masyarakat (law in action, the living law). Melihat begitu pentingnya peranan hakim dalam melakukan penemuan hukum, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjadikan peranan hakim tersebut sebagai suatu kewajiban seorang hakim dengan menyatakan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum oleh hakim sesungguhnya merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh hakim untuk tidak hanya sekadar menerapkan maksud dan bunyi peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya (penemuan hukum dalam arti sempit), tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas yakni dengan cara memperluas makna suatu ketentuan undangundang (penemuan hukum dalam arti luas), melalui dua metode penemuan hukum, yaitu metode penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam undangundang tetapi tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, sedangkan metode konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk

9 mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Agar proses penemuan hukum oleh seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang berkualitas yang pada ujungnya memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, maka kemampuan memilih metode penemuan hukum yang tepat dan jenis penemuan hukum mana dari kedua metode tersebut yang akan digunakan harus dikuasai secara baik oleh seorang hakim. Adapun jenis-jenis penemuan hukum melalui metode interpretasi atau penafsiran menurut Andi Hamzah terdiri dari 13 (tiga belas) jenis penafsiran, yaitu penafsiran gramatikal (taalkundig), penafsiran sistematis atau dogmatis, penafsiran historis (historia legis), penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif, penafsiran rasional (rationeele interpretatie), penafsiran antisipasi (anticeperende interpretatie), penafsiran perbandingan hukum, penafsiran kreatif (creative interpretatie), penafsiran tradisionalistik (traditionalistiche interpretatie), penafsiran harmonisasi (harmoniserende interpretatie), penafsiran doktriner (doctrinaire interpretatie), dan penafsiran sosiologis. Dalam konteks metode interpretasi, hakim harus tetap bertolak dari rumusan yang ada dalam UU. Misalnya, apabila hakim hendak melakukan interpretasi terhadap kewenangan praperadilan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP, maka hakim secara tekstual tidak boleh keluar dari bunyi rumusan Pasal 77 KUHAP tersebut. Hanya kewenangan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP itu sajalah yang dapat ditafsirkan. Artinya, hakim tidak boleh membuat rumusan baru atau menambah rumusan yang ada yang akan mengakibatkan kewenangan praperadilan menjadi lebih luas daripada apa yang diatur dalam UU. Kalau hakim membuat rumusan baru tentang kewenangan, itu artinya hakim telah melampaui kewenangannya sendiri dalam penemuan hukum, dan hal tersebut jelas melanggar asas legalitas. Demikian juga halnya dengan metode konstruksi hukum. di mana metode konstruksi hukum juga terdiri dari beberapa jenis yaitu metode analogi atau argumentum peranalogian, penalaran (argumentum a contrario), penyempitan atau penghalusan hukum (rechtsvervijnings), dan fiksi hukum (fictie). Sehubungan dengan perkara ini, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat dibaca dari kedua metode penemuan hukum tersebut. Dalam konteks metode penafsiran, dari tiga belas jenis penafsiran hukum sebagaimana diulas sebelumnya, salah satu jenis penafsiran yang terkait dengan perkara a quo adalah penafsiran ekstensif. Melalui penafsiran ekstensif, hakim melakukan perluasan makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya. Di sini hakim menafsirkan kaidah tata bahasa, karena maksud dan tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menjadi jelas dan konkrit, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata pencurian barang dalam Pasal 362 KUHP, diperluas esensi maknanya terhadap aliran listrik sebagai benda yang tidak berwujud. Hasil dari penafsiran ekstensif dalam kasus pencurian barang ini adalah barang diartikan luas oleh hakim meliputi juga aliran listrik, tapi tidak menciptakan delik baru melainkan masih tetap pencurian. Berdasarkan esensi makna dan

10 praktik penerapannya, penafsiran ekstensif dilakukan dengan memperluas makna kata atau kalimat yang terdapat dalam suatu peraturan perundangundangan dengan menemukan padanan atau kecocokannya dengan kata atau kalimat yang lain tanpa mengubah atau mengganti substansi maksud dari ketentuan perundang-undangan yang ditafsirkan. Sementara untuk metode konstruksi hukum, dari empat variannya, salah satu jenis konstruksi hukum yang perlu dibahas lebih jauh karena terkait dengan perkara a quo adalah argumentum a contrario. Konstruksi hukum argumentum a contrario adalah penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a contrario atau sebaliknya ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal atau kebalikannya (expressie unius est exclusio alterius, the mention of obe is the ezclusion of another). Metode konstruksi digunakan ketika dalam penyelesaian peristiwa kongkrit hakim dihadapkan pada kekosongan hukum. Dari beberapa metode penemuan hukum yang termasuk ke dalam metode konstruksi, metode argumentum per analogiam atau sering disebut metode analogi merupakan metode yang cenderung dan sering digunakan. Terkait dengan metode ini, Prof Sudikno Mertokusumo menyatakan: kadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini menurut beliau, untuk dapat menerapkan UU pada peristiwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode berfikir analogi. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam UU diperlakukan sama. Berdasarkan metode ini, suatu peristiwa hukum yang sudah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan untuk peristiwa hukum lain, karena berlakunya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut terbatas hanya pada peristiwa hukum yang sudah ditentukan, sedangkan untuk peristiwa hukum yang lain berlaku sebaliknya. Terkait metode konstruksi hukum, dalam hukum pidana, diterima secara luas keberlakuan asas legalitas, yang di dalamnya terkandung ajaran untuk tidak melakukan konstruksi, terlebih-lebih konstruksi yang memperluas makna. Hal ini dapat dipahami karena perluasan makna sama artinya dengan perumusan norma baru. Namun untuk interpretasi ekstensif masih dapat diterima walaupun sama-sama memperluas makna. Lalu, apa beda di antara keduanya? Menurut Prof. Moeljatno, ada perbedaan gradasi (Moejatno menyebutnya perbedaan graduil ) antara analogi dan tafsir ekstensif. Perbedaan ini sangat signifikan. Pada tafsir ekstensif, si penafsir masih tetap berpegang pada bunyi aturan. Hanya saja ada kata-kata yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu undang-undang itu dibuat. Sementara itu, pada analogi, si penafsir sudah tidak berpegang pada aturan itu lagi, melainkan pada inti atau rasio dari aturan itu. Mengingat obyek Permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo adalah mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, sementara Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal

11 95 sampai Pasal 97 KUHAP secara limitatif telah mengatur hal-hal apa saja yang menjadi wewenang Praperadilan yaitu mengenai keabsahan tindakan penyidik atau penuntut umum (penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan), mengenai ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat penghentian penyidikan atau penuntutan, mengenai tuntutan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain (pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan) tanpa alasan yang sah atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, dan mengenai permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka langkah Hakim Praperadilan melakukan rechtsvinding sudah tepat dan memang sudah seharusnya demikian, karena salah satu dari beberapa alasan perlunya melakukan penemuan hukum oleh hakim telah terpenuhi yaitu peraturannya tidak ada atau peraturannya memang ada tapi kurang jelas. Bahkan, tanpa alasan-alasan tersebut pun, seorang hakim tetap dianggap melakukan penemuan hukum (dalam arti sempit) yaitu ketika ia menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan perundangundangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya. Dalam perkara a quo, Hakim Praperadilan secara tegas menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk obyek Praperadilan, dengan alasan hal tersebut tidak diatur baik dalam KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) maupun dalam peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Atas alasan itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan dilakukan karena dalam peraturan perundang-undangan yang ada, baik KUHAP maupun undang-undang lain, tidak mengatur masalah keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan. Di sini terlihat, Hakim Praperadilan telah menempatkan dirinya bukan hanya sekadar corong undang-undang (qui pronoce les paroles de al loi) sebagaimana dikatakan Montesquieu, tetapi telah menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Namun sejauh mana penemuan hukum tersebut telah sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perlu dilihat beberapa hal seperti metode penemuan hukum seperti apa yang digunakan Hakim Praperadilan, ketepatan metode penemuan hukum yang dipilih, dan argumentasi yuridis yang dibangun oleh Hakim Praperadilan dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya sehingga sampai pada kesimpulan, mengabulkan atau menolak Permohonan Praperadilan. Hal-hal itulah yang akan diulas lebih jauh. 1. Penerapan Metode Dari 2 (dua) metode penemuan hukum yang tersedia, Hakim Praperadilan memilih metode interpretasi atau penafsiran, dengan alasan untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas. Alasan pemilihan metode interpretasi atau penafsiran ini mengindikasikan bahwa

12 Hakim Praperadilan dalam pertimbangan hukumnya berpandangan bahwa pengaturan masalah sah atau tidaknya penetapan tersangka dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain belum atau tidak jelas, sehingga diperlukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan yang ada guna memperjelas apakah keabsahan penetapan tersangka termasuk dalam wewenang Praperadilan yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Alasan ini tentu sejalan dengan tujuan digunakannya interpretasi atau penafsiran dalam penemuan hukum, yaitu untuk menafsirkan perkataan dalam undang-undang dengan tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, manakala suatu peristiwa konkrit tidak secara jelas dan tegas dianut atau diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Masalahnya, alasan digunakannya interpretasi atau penafsiran oleh Hakim Praperadilan ini bertentangan dengan pertimbangan hukum terdahulu yang menyatakan, Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan, karena hal itu tidak diatur dan Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan Pidana Khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya Penetapan Tersangka menjadi objek praperadilan, karena bila pertimbangan hukum ini yang dijadikan alasan, maka metode penemuan hukum yang seharusnya dipilih oleh Hakim Praperadilan adalah metode konstruksi, bukan metode interpretasi atau penafsiran. Dari dua pertimbangan hukum yang bertolak belakang dengan pertimbangan hukum yang mendasari pemilihan metode penafsiran atau interpretasi ini menunjukkan ketidakjelasan sikap Hakim Praperadilan, apakah menurutnya KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain yang berlaku saat ini tidak mengatur atau sudah mengatur, tapi belum cukup jelas. Ketidakjelasan sikap ini semakin tampak manakala Hakim Praperadilan seolah-olah ingin mencampuradukkan antara metode penafsiran dan metode konstruksi dengan menyebut penafsiran penghalusan hukum (recht verfeining), padahal penghalusan hukum bukan merupakan metode penafsiran melainkan metode konstruksi hukum. KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain yang ada sekarang belum atau tidak mengatur perihal keabsahan penetapan tersangka sebagai wewenang Praperadilan, sehingga bila mau melakukan penemuan hukum, maka metode yang paling tepat untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi oleh Hakim ini adalah metode konstruksi hukum. Melalui metode argumentum a contrario sebagai salah satu dari metode konstruksi hukum, maka hanya hal-hal yang telah ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP sajalah yang dapat dimohonkan Praperadilan, sedangkan peristiwa atau hal-hal yang tidak diatur dalam hal ini sah atau tidaknya penetapan tersangka, berlaku sebaliknya alias tidak dapat dimohonkan Praperadilan karena hal-hal yang tidak diatur

13 tersebut bukan merupakan obyek Praperadilan. Disamping penggunaan metode penemuan hukum yang keliru, argumentasi yuridis Hakim Praperadilan dalam menggunakan penafsiran ekstensif sebagai salah satu dari jenis penafsiran dengan menyatakan bahwa segala tindakan penyidik. dan segala tindakan penuntut umum. yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (10 dan ayat (2) KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dan segala tindakan penuntut umum adalah lembaga praperadilan, dan karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan penetapan tersangka adalah lembaga praperadilan, sama sekali tidak jelas. Bahkan, Hakim Praperadilan sama sekali tidak mengemukakan argumentasi dan alasan-alasan yang logis sehingga berkesimpulan bahwa segala tindakan penyidik dan penuntut umum termasuk penetapan tersangka merupakan obyek Praperadilan. Selain tidak didukung dengan argumentasi yang jelas, memasukan segala tindakan penyidik dan penuntut umum menjadi obyek Praperadilan memunculkan banyak pertanyaan terkait dengan ditetapkannya tindakantindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum diluar yang sudah diatur dalam KUHAP sebagai obyek Praperadilan. Misalnya, apakah tindakan penyidik seperti menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan tindakan penuntut umum seperti mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang dan melaksanakan putusan penetapan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP merupakan obyek Praperadilan? Bila ya, maka pemberian wewenang tambahan kepada pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum melalui Lembaga Praperadilan tidak bisa lagi dipertahankan mengingat tidak semua tindakan penyidik dan penuntut umum dapat dikategorikan sebagai upaya paksa. Padahal menurut Yahya Harahap, tujuan yang ingin dicapai oleh Praperadilan adalah untuk melakukan pengawasan horizontal terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka maupun terdakwa supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Lebih jauh, dalam putusan praperadilan ini, kata-kata penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan telah mendapat perluasan makna, sehingga seolah-olah sekarang bisa dibaca menjadi penangkapan, penahanan, penetapan sebagai tersangka, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah objek praperadilan. Pertanyaannya: apakah perluasan ini termasuk ke dalam kriteria interpretasi atau konstruksi? Pasal 77 KUHAP menyatakan, Pengadilan negeri berwenang untuk

14 memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Formulasi yang relevan untuk dibahas dalam putusan praperadilan adalah Pasal 77 huruf a KUHAP. Dalam ketentuan huruf a tersebut disebutkan secara eksplisit adanya empat tindakan yang dapat diperiksa atau diputuskan keabsahannya. Jadi, apabila hakim praperadilan ingin melakukan penafsiran yang memperluas makna (interpretasi ekstensif), ia harus berpegang kepada perluasan makna atas dua kata penting: penangkapan dan/atau penahanan. Apakah penetapan tersangka merupakan klasifikasi yang sama dengan penangkapan dan/atau penahanan? Dapat disimpulkan bahwa penangkapan dan/atau penahanan adalah proses sebelum seseorang dinyatakan sebagai tersangka. Jadi, penetapan sebagai tersangka bukanlah perluasan makna dari kata penangkapan dan/atau penahanan. Dengan perkataan lain, seorang penafsir tidak dapat menggunakan penafsiran ekstensif dari kata penangkapan dan/atau penahanan untuk kemudian sampai pada kesimpulan bahwa dari kedua kata itu bisa dimunculkan kata penetapan tersangka. Bagaimana dengan kata-kata penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan? Tidakkah kata-kata ini berada dalam satu klasifikasi dengan penetapan tersangka? Sekilas ya, karena penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah implikasi yang bernuansa kebalikan dari penetapan seseorang sebagai tersangka. Namun, rasio dari Pasal 77 huruf a menjadi kehilangan makna jika kata penetapan tersangka disandingkan sebagai perluasan makna dari kata-kata penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Alasannya adalah karena spirit dari Pasal 77 KUHAP adalah untuk memberi hak bagi seseorang yang tidak bersalah namun sudah terlanjur diperlakukan tidak adil akibat tindakan penyidik yang tidak profesional, yaitu: (1) salah menangkap orang, dan/atau (2) salah menahan orang. Dalam kasus Budi Gunawan, jelas tidak ada indikasi adanya dua tindakan tidak profesional tersebut telah dilakukan oleh penyidik KPK. Kondisi berikutnya adalah soal penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Hal ini berbeda dengan kondisi pertama (penangkapan dan penahanan). Jika pada kondisi pertama, yang merasa diperlakukan tidak adil adalah orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, yang kemudian ditangkap dan/atau ditahan secara tidak sah. Sebaliknya, pada kondisi kedua, yang merasa diperlakukan tidak adil adalah si pelapor tindak pidana itu (saksi korban). Dalam konteks ini, jelas kasus yang menimpa Budi Gunawan tidak relevan untuk dikaitkan dengan kondisi tersebut. Berangkat dari analisis di atas, maka penemuan hukum oleh hakim praperadilan yang memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek yang dapat diproses menurut ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP adalah sebuah kekeliruan. Kalaupun hal ini dilakukan, berarti hakim sudah melakukan konstruksi, menambahkan unsur objek norma (normgedrag) baru

15 di dalam rangkaian Pasal 77 huruf a KUHAP. Sementara, penambahan tersebut justru bertentangan dengan rasio yang dibangun oleh rumusan Pasal 77 KUHAP. Lalu bagaimana dengan ketentuan KUHAP lainnya yang berhubungan dengan praperadilan, yaitu Pasal 95 KUHAP? Ruang lingkup Pasal 95 berada dalam konteks yang sama dengan Pasal 77 huruf b, yaitu berkaitan dengan ganti kerugian dan rehabilitasi. Kedua pasal ini, Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP harus dibaca dalam satu nafas yang sama. Kata kunci Pasal 95 sebenarnya terletak pada kondisi norma yang dilekatkan pada anak kalimat pada ayat (1), yaitu tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Anak kalimat tersebut mensyaratkan bahwa semua tindakan ini (termasuk kata tindakan lain yang ditambahkan pada Pasal 95 ayat [1] KUHAP tersebut) harus terlebih dulu dibuktikan memang sudah ada kesalahan, yaitu tidak berdasarkan undang-undang, ada kekeliruan mengenai orang, atau keliru hukum yang diterapkan. Jika tidak ada kesalahan, maka tidak ada alasan untuk memakai Pasal 95 KUHAP guna minta ganti kerugian. Kata tindakan lain berarti harus juga dibaca dalam kaitan dengan Pasal 77 KUHAP, yakni ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili. Dalam kasus penetapan tersangka terhadap BG, jelas bahwa tersangka BG tidak ditangkap, tidak ditahan, juga belum dituntut dan belum diadili. Dengan demikian, tidak ada relevansinya menggunakan Pasal 95 KUHAP. Hakim praperadilan setuju dengan argumen bahwa walaupun tersangka tidak ditangkap dan tidak ditahan, namun Pasal 77 KUHAP tetap bisa menjangkau tindakan penyidik KPK karena semua tindakan itu sekarang bisa diganti dengan satu kata yang lain, yaitu upaya paksa. Dengan demikian, berdasarkan putusan ini, Pasal 77 huruf a KUHAP sekarang bisa dibaca menjadi sebagai berikut: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya upaya paksa Dengan demikian, semua rincian termasuk tindakan lain yang ada dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP sekarang menjadi terbuka untuk dimaknai secara seluas-luasnya, yakni semua tindakan yang tergolong upaya paksa. Apa yang dimaksud dengan upaya paksa adalah semua tindakan berlabel pro justitia. Padahal, pembentuk undang-undang (KUHAP) jelas sekali ingin memberi makna limitatif atas terminologi tindakan lain yang ada di dalam Pasal 95. Di mana, dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, frasa tindakan lain dijelaskan sebagai tindakan pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah. Formulasinya sudah sangat eksplisit. Clara non sunt interpretanda. Artinya, dalam rumusan itu tidak berdasar untuk memasukkan unsur norma baru dengan mengartikan tindakan lain dengan tambahan penetapan tersangka atau malahan lebih luas lagi: upaya paksa. Lebih jauh, jika dilihat dari pertimbangan hukum yang digunakan hakim praperadilan yang berangkat dari kekosongan hukum, dapat dikatakan bahwa metode argumentum per analogiam telah digunakannya untuk menarik kewenangan pengujian sah atau tidaknya penetapan tersangka.

16 Penggunaan metode itu memang tidak secara eksplisit disebut hakim dalam pertimbangannya. Hakim hanya menyebut penggunaan metode penemuan hukum (rechtvinding), tanpa meneruskan pada metode penemuan hukum yang mana yang digunakan. Tapi dengan memperluas kewenangan praperadilan dapat dikatakan hakim telah menggunakan argumentum per analogiam. Karena KUHAP tidak menentukan kewenangan praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan seseorang menjadi tersangka, maka secara analogi hakim memposisikan kewenangan itu sama dengan kewenangan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP. Agaknya konsepsi perlindungan hak asasi manusia telah digunakan hakim untuk menganalogkan keabsahan penetapan tersangka dengan kewenangan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP. Dengan menggunakan metode argumentum per analogiam, hakim telah keluar dari asas legalitas. Padahal atas dasar asas legalitas itu pulalah penggunaan metode analogi tidak diperkenankan dalam lapangan hukum pidana. Pemaksaan penggunaan metode analogi dalam menemukan hukum di lapangan hukum pidana, baik hukum pidana materiel maupun hukum pidana formiel dapat dianggap sebagai kesewenang-wenangan. Seperti dikatakan Logeman, hakim tidak diperkenankan menafsirkan UU secara sewenang-wenang. Orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat UU saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Jadi, apabila hakim praperadilan dianggap melakukan penemuan hukum yang memperluas makna dari bunyi Pasal 77 dan Pasal 95, terlihat betapa sangat tidak jelasnya metode yang digunakan. Jika dikatakan hakim praperadilan disebut telah menggunakan penafsiran ekstentif, justru tidak ditemukan ada unsur-unsur norma di dalam kedua pasal itu yang dijadikan titik tolak perluasannya. Jika dikatakan bahwa hakim praperadilan disebut menggunakan metode konstruksi, justru tidak ditemukan rasio yang mendukung penggunaan metode tersebut. Ketidakjelasan metode penemuan hukum yang digunakan hakim praperadilan, putusan ini pun diperparah dengan anggapan bahwa asas legalitas tidak berlaku untuk hukum acara pidana. Asas legalitas, menurut hakim, hanya berlaku untuk hukum pidana material. Entah dari mana pula diperoleh argumen untuk mengatakan demikian. Argumen itu jelas tidak dapat diterima karena dalam literatur pun delapan prinsip legalitas sebagaimana diajarkan oleh Lon L. Fuller tatkala ia berbicara tentang inner morality of law, sepenuhya berbicara tentang ketentuan norma-norma hukum formal. Salah satu dari delapan prinsip legalitas yang dikemukakan Fuller adalah tentang larangan retroaktif; sangat sejalan dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP kita. Fuller tercatat sebagai orang yang sangat meyakini prosedur, seperti katanya dalam suatu kesempatan, If we do things the right way, we are likely to do the right thing. Lagi pula, hukum acara pidana mengenal dan menganut asas legalitas sebagai pendamping bagi asas legalitas dalam hukum pidana materiel. Asas legalitas dalam hukum acara pidana Indonesia tidak saja tergambar dari Konsideran KUHAP, namun secara eksplisit dinormakan dalam ketentuan

17 Pasal 3 KUHAP yang menentukan, peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dengan asas legalitas dipahami, bahwa setiap tindakan aparat penegak hukum harus didasarkan pada undang-undang. Itu artinya, penegak hukum (termasuk hakim) tidak diperkenankan mengambil tindakan di luar apa yang telah ditentukan dalam UU. Oleh karena UU telah menentukan batas kewenangan praperadilan secara eksplisit dan limitatif, maka hakim tidak boleh bergerak dari kerangka rumusan UU tersebut. Namun demikian, dalam konteks kedua prinsip kekuasaan kehakiman tadi, sepanjang dapat diletakkan dalam kerangka asas legalitas, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum sesuai dengan metode yang diperkenankan. Artinya, metode penemuan hukum yang tidak melanggar asas legalitas masih dimungkinkan untuk digunakan. Misalnya penggunaan metode penafsiran ekstensif dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yang terkenal dengan elektriciteit arrest. 2. Penafsiran Hukum Hakim Merujuk ketentuan KUHAP terkait kewenangan Praperadilan, dikaitkan dengan gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan, tidak ada rumusan normatif yang bisa digunakan oleh hakim praperadilan untuk menilai keabsahan penetapan tersangka. Artinya, secara legalistik tidak ada aturan hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar oleh hakim praperadilan untuk menilai keabsahan penetapan seorang menjadi tersangka. Kenyataan seperti itupun bahkan diakui sendiri oleh hakim praperadilan di dalam putusannya yang menyebutkan: Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut dapat diketahui dengan jelas, bahwa sah atau tidaknya Penetapan Tersangka tidak termasuk obyek praperadilan, karena hal itu tidak diatur. Oleh karena itu dalam pertimbangan hukumnya, hakim mencoba menggiring dan mengembalikan persoalannya kepada dua prinsip yang terkandung dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pertama, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Kedua, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Atas dasar kedua prinsip di atas, ketiadaan norma hukum dalam Pasal 77 KUHAP jo Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP untuk memeriksa dan memutus tentang keabsahan penetapan tersangka, telah membawa hakim praperadilan ke arah penggunaan metode penemuan hukum. Pertimbangan hakim berbunyi: Menimbang bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (rechtsvinding), yang jika dikaji sec ara i l m i ah ( k ei l m u an ) d an sec ara y u ri d i s h aru s d ap at dipertanggungjawabkan.

18 Hanya saja, metode penemuan hukum seperti apakah yang dimungkinkan untuk diterapkan dalam lapangan hukum pidana. Penentuan penggunaan metode penemuan hukum ini menjadi amat penting terkait dengan pengakuan terhadap asas legalitas sebagai prinsip fundamental dan tiang penyangga hukum pidana. Sebagai hukum undang-undang, hukum pidana akan runtuh pada ketika asas legalitas dikangkangi. Penyimpangan terhadap asas legalitas hanya dimungkinkan dengan UU seperti diterapkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penganutan ajaran melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk) dalam fungsi positif adalah bentuk pengingkaran Pembentuk UU terhadap asas legalitas. Tapi itupun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan menyatakannya sebagai melanggar asas legalitas sehingga bertentangan dengan konstitusi. Mesti diingat, KUHAP adalah hukum pidana formil atau hukum acara. KUHAP berisi ketentuan tentang cara bagaimana suatu tindak pidana diperiksa dalam sistem peradilan pidana, yang berlangsung dalam suatu proses yang disebut dengan proses peradilan pidana. Oleh karena KUHAP adalah hukum acara, maka ketentuan di dalamnya berisi tata cara melakukan pemeriksaan tindak pidana, termasuk institusi, kewenangan, serta semua tindakan yang dapat dilakukan guna mendapatkan kebenaran materil tentang tindak pidana tersebut. Bila suatu hal tidak diatur secara tegas di dalam KUHAP, tidak berarti bahwa tidak ada pengaturannya. Sebagai contoh adalah pengaturan tentang Peninjauan Kembali (PK). Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Pasal ini sama sekali tidak mengatur hak penegak hukum (JPU) untuk mengajukan PK. Apakah dengan demikian berarti KUHAP tidak mengatur, sehingga dianggap tidak ada hukumnya? Praktik penegakan hukum selama ini memperlihatkan bahwa penegak hukum, termasuk hakim menafsirkan karena tidak ada aturannya, tidak ada larangan secara tegas bagi Jaksa untuk mengajukan PK, maka permohonan PK yang diajukan Jaksa diterima. Banyak contoh putusan hakim yang mengabulkan permohonan PK dari Jaksa tersebut. Hal ini merupakan kekeliruan dalam praktik penegakan hukum, yang berawal dari kekeliruan penafsiran terhadap ketentuan KUHAP tersebut. Tidak diaturnya hak jaksa untuk mengajukan PK dalam pasal di atas, sesungguhnya karena jaksa telah terlebih dahulu diberikan hak yang lain, yaitu hak untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Penegak hukum (hakim) seharusnya melakukan penafsiran sistematis terhadap pasalpasal dalam Bab XVIII KUHAP, yang mengatur tentang upaya hukum luar biasa tersebut, termasuk PK. Bab tersebut dimulai dengan Bagian I tentang upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 sampai dengan Pasal 262), yang diikuti dengan Bagian II tentang PK. Penafsiran sistematis terhadap pasal-pasal dalam bab tersebut, akan memperlihatkan bahwa kedua

19 upaya hukum luar biasa itu telah diatur secara setara dan adil untuk penegak hukum dan untuk terpidana (serta ahli warisnya). Dengan kata lain, tidak diaturnya hak jaksa untuk mengajukan PK, bukan karena tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas, melainkan karena sudah ada pengaturan yang lain baginya. KUHAP bukanlah hukum pidana materil yang berisi larangan, sehingga kalau tidak dilarang berarti dibolehkan. Demikian juga seharusnya sikap penegak hukum dalam memahami tentang pengaturan praperadilan. Tidak diaturnya penetapan tersangka sebagai objek pemeriksaan praperadilan harus diteliti dengan cara yang sama. Penafsiran hukum terhadap pasal-pasal pengaturan praperadilan dapat dilakukan dengan metode penafsiran sistematis, sejarah, dan teleologis. Penafsiran sistematis terhadap beberapa pasal di atas memperlihatkan bahwa praperadilan mengatur kewenangan pengadilan untuk menguji keabsahan tindakan penyidik atau penuntut umum, yang berakibat pada pengurangan HAM seseorang. Jika tindakan tersebut terbukti dilakukan secara salah atau tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh hukum, maka hukum memberi kompensasi dalam bentuk ganti rugi dan rehabilitasi. Tindakan yang berdampak pada pengurangan HAM tersebut dan dapat diuji hanyalah tindakan yang berupa upaya paksa. Yang termasuk upaya paksa adalah penangkapan, penahanan (vide Pasal 77), penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat (vide Pasal 95). Dengan demikian jelas bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka tidak dianggap sebagai salah satu upaya paksa. Penafsiran sejarah membawa pada proses penyusunan KUHAP, khususnya perdebatan ketika praperadilan itu akan diatur dalam KUHAP. Penyusun KUHAP ketika itu berbeda pendapat tentang apakah akan diatur Rechter Commissaris (hakim komisaris) sebagaimana yang ada di beberapa negara lain, sebagai alat kontrol terhadap penggunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Sebagian pihak berpandangan bahwa pengaturan demikian akan memperlambat jalannya proses pemeriksaan perkara pidana, karena kondisi geografis Indonesia yang akan menyulitkan koordinasi antar penegak hukum dalam melakukan kekuasaannya (perlunya izin dari hakim komisaris untuk melakukan penangkapan, penahanan dll). Padahal proses peradilan yang lama ini merupakan salah satu kondisi yang hendak dirobah dengan penyusunan KUHAP. Pilihan pembuat KUHAP jatuh pada praperadilan, dengan asumsi adanya kepercayaan bahwa penegak hukum Indonesia cukup profesional untuk tidak menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Bila terjadi penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang atau salah secara prosedural, barulah sistem mengujinya melalui praperadilan. Oleh karenanya pengaturan praperadilan tidak hanya terkait dengan tindakan upaya paksa, tapi juga keputusan penyidik untuk menghentikan penyidikan dan keputusan penuntut umum untuk menghentikan penuntutan. Dengan kata lain, praperadilan kemudian juga sekaligus menjadi alat kontrol horizontal di antara penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Penafsiran teleologis berkenaan dengan tujuan diadakannya pranata hukum praperadilan ini. Dari sejarah penyusunan KUHAP serta tulisan beberapa ahli tentang praperadilan, termasuk keterangan ahli dalam

20 pemeriksaan perkara ini, jelas bahwa ada dua tujuan diaturnya praperadilan. Pertama untuk melindungan HAM tersangka/terdakwa, dan kedua sebagai alat kontrol horizontal antar penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dimaksudkan agar terdapat proses hukum yang baik dan adil (due process of law) dalam sistem peradilan pidana kita. Namun harus disadari bahwa tujuan tersebut hanya dilakukan melalui pengujian secara prosedural, dalam arti keabsahan semua tindakan penegak hukum yang diatur dalam praperadilan, sebatas pengujian prosedur hukumnya. Praperadilan bukanlah peradilan yang mengadili perkara tindak pidana itu sendiri, atau memeriksa persoalan subtansi hukum dalam perkara pidana tersebut. Berdasarkan ketiga metode penafsiran tadi terhadap pengaturan praperadilan, pernyataan hakim berdasarkan beberapa pertimbanganya, bahwa penetapan tersangka termasuk objek pemeriksaan praperadilan karena merupakan upaya paksa, telah melampaui batas kewenangan. KUHAP bukan tidak mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek pemeriksaan praperadilan, tapi KUHAP telah tidak menentukan bahwa penetapan tersangka sebagai upaya paksa. Oleh karena bukan upaya paksa, maka dia tidak termasuk dalam objek pemeriksaan praperadilan. Pertimbangan hakim yang menyatakan antara lain:.bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah merupakan tindakan upaya paksa, karena telah menempelkan atau menggunakan label pro justitia pada setiap tindakan, adalah pertimbangan yang sangat simplistis. Suatu tindakan dikatakan merupakan upaya paksa karena dia berdampak pada pengurangan HAM seseorang, bukan hanya karena dia dilakukan di bawah label pro yustisia. Pertimbangan hakim yang simplistis tersebut kemudian diikuti oleh penetapan hakim yang gegabah bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan, yang belum diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah lembaga Praperadilan. Penetapan demikian sungguh akan berdampak besar terhadap proses peradilan pidana. Ada banyak tindakan yang menjadi wewenang penyidik dalam proses penyidikan, dan wewenang penuntut umum dalam proses penuntutan. Bila terhadap semua tindakan tersebut, misalnya pemanggilan seseorang sebagai saksi, tiap orang yang dikenai tindakan mengajukan permohonan praperadilan, maka proses peradilan pidana akan berjalan lama. Dengan demikian keadilan prosedural dan mungkin juga keadilan subtansial, tidak terwujud hanya karena tiap tindakan yang diambil atau dilakukan akan diuji secara prosedural. Pengadilan akan kehabisan energi, waktu dan biaya, hanya untuk melakukan pengujian prosedural atas semua tindakan penyidik dan penuntut umum, hingga tidak tersisa lagi sumber daya untuk memeriksa subtansi perkara. Lebih jauh, sekiranya perluasan kewenangan praperadilan

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA

(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA ANALISA SITUASI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA Disusun oleh: Purnianti Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Mamik Sri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PENELITIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT. Tim di bawah Pimpinan : MOSGAN SITUMORANG

PENELITIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT. Tim di bawah Pimpinan : MOSGAN SITUMORANG PENELITIAN HUKUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT Tim di bawah Pimpinan : MOSGAN SITUMORANG BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN

Lebih terperinci

WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Mansyur Achmad i ii Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH. Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H. WAWASAN DUE PROSES

Lebih terperinci

PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.

PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN. PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.Mks) Rezki Erawati. S Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan

Lebih terperinci

PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG DENGAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG DENGAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA 121 PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG DENGAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Muhammad Fauzan Fakultas Hukum dan Program MIH UNSOED Email : fauzanhtn@yahoo.co.id

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Diadopsi pada 20 Desember 2006 oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/61/177 Mukadimah Negara-negara

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 108/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 108/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 108/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA E/CN.4/2005/WG.22/WP.1/REV.4 23 September 2005 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah Asli dalam Bahasa Prancis) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN

Lebih terperinci

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Tim Penyusun: Dhoho A. Sastro M. Yasin Ricky Gunawan Rosmi Julitasari Tandiono Bawor JAKARTA 2010 Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Lebih terperinci

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 i PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 10/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 10/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 10/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh : ANDI HAKIM PARLINDUNGAN LUMBANGAOL 1010112026

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Disusun Oleh : ANDI HAKIM PARLINDUNGAN LUMBANGAOL 1010112026 PERANAN KEPOLISIAN SEBAGAI KUASA JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PERADILAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS JALAN TERTENTU (Studi Pada Satuan Lalu Lintas Polresta Padang) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber : LN 1997/68; TLN

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 37/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 37/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 37/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

Rr. Rizki A Putri et al., Klausul Perbuatan Melawan Hukum Yang Dapat Membatalkan Putusan Arbitrase. Abstrak

Rr. Rizki A Putri et al., Klausul Perbuatan Melawan Hukum Yang Dapat Membatalkan Putusan Arbitrase. Abstrak 1 Klausul Perbuatan Melawan Hukum Yang Dapat Membatalkan Putusan Arbitase onrechtmatige daad clause to invalidate the arbitration decision Rr. Rizki A Putri, Dyah Ochtorina S, Emi Zulaika. Hukum Keperdataan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa

Lebih terperinci